Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMASI FISIKA
Semester III | Tahun Ajaran 2022/2023

Asisten Penanggung Jawab


Firliani Dwiputri, S.Fatm.

Praktikan
Kelompok 2A

1. Salma Nisrina Nurhabibah (10060321011)


2. Haura Syabihah (10060321012)
3. Lutfi Anggita (10060321013)
4. Trisha Marizcha Anindita (10060321016)
5. Tarisa Perolin (10060321017)
6. Vadia Amanda (10060321018)

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E — Farmasetika


Program Studi Farmasi – Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Islam Bandung
1444H/2022
MODUL 1
KELARUTAN 1

I. PRINSIP PERCOBAAN

Menentukan pengaruh pelarut campur (kosolven), penambahan surfaktan


dan pengaruh pH terhadap kelarutan asam salisilat (titran) dengan menetapkan
konsentrasi asam salisilat yang terlarut secara kuantitatif pada uji kelarutan
menggunakan titrasi asam basa dengan pentiter NaOH 0,1 N dan indikator
fenolftalein.

II. TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan dari praktikum ini yaitu:

2.1 Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat aktif.

2.2 Menentukan usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelarutan


suatu zat.

III. PROSEDUR KERJA

Dibuat larutan NaOH dengan cara ditimbang NaOH sebanyak 2 gram. Lalu,
dilarutkan dengan aquadest dan dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan
akuadest hingga tanda batas.

A. Pengaruh pelarut campur (kosolven) terhadap kelarutan suatu zat

50 ml pelarut campur dibuat dengan komposisi sebagai berikut:

No Solvent (% v/v) Cosolvent (% v/v)


Air Etanol Propilen glikol
1 100 0 0
2 60 10 30
3 60 20 20
4 60 30 10
5 60 40 0
6 60 0 40

Kemudian 1 gram asam salisilat dilarutkan di dalam masing-masing


campuran pelarut. Larutan dikocok dengan pengocok orbital (lab. Sheaker) selama
1 jam. Jika terdapat endapan selama pengocokan, maka ditambahkan sejumlah
tertentu asam salisilat hingga kondisi kembali jenuh. Lalu, larutan disaring dan 20
ml filtrat ditentukan kadar asam salisilat terlarutnya dengan titrasi asam basa
dengan indikator Fenolftalein dengan penifer NaOH 0,1 N. lalu, dibuat kurva antara
kelarutan asam salisilat dengan konstanta dielektrik campuran pelarut.

B. Pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat


Dibuat larutan seri yang mengandung Tween 80 dengan konsentrasi:
(0|0,2|0,4|0,6|, 8|1,0|2,0|4,0|6,0|8,0|)𝑔 𝑇𝑤𝑒𝑒𝑛 80
𝑎𝑑. 100 𝑚𝑙 𝑎𝑖𝑟
Lalu ditambahkan 1 gram asam salisilat pada setiap komposisi pelarut.
Larutan dikocok dengan lab. Sheaker selama 1 jam, Jika terdapat endapan selama
pengocokan, maka ditambahkan sejumlah tertentu asam salisilat hingga kondisi
kembali jenuh. Lalu, larutan disaring dan 20 ml filtrat ditentukan kadar asam
salisilat terlarutnya dengan titrasi asam basa dengan indikator Fenolftalein dengan
penifer NaOH 0,1 N. lalu, dibuat kurva antara kelarutan asam salisilat dengan
konsentrasi surfaktan, serta ditentukan KMK (Konsentrasi Misel Kritis) Tween 80.
C. Pengaruh pH terhadap kelarutan suatu zat

Dibuat 100 ml larutan dapar fosfat dengan pH 5, 6, 7, 8, dan 9. Lalu diambil


25 ml dari setiap larutan, dan ditambahkan 0,5 gram asam salisilat. Lalu, larutan
disaring dan 20 ml filtrat ditentukan kadar asam salisilat terlarutnya dengan titrasi
asam basa dengan indikator Fenolftalein dengan penifer NaOH 0,1 N. Lalu, dibuat
kurva hubungan antara konsentrasi zat yang dioperoleh dengan pH larutan.
IV. EVALUASI DAN DATA PENGAMATAN
4.1 Pengaruh kosolven terhadap kelarutan suatu zat
1. Perhitungan pengaruh kosolven terhadap kelarutan suatu zat
• Air
100
1. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 50 𝑚𝑙
100
60
2. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 30 𝑚𝑙
100
60
3. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 30 𝑚𝑙
100
60
4. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 30 𝑚𝑙
100
60
5. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 30 𝑚𝑙
100
60
6. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 30 𝑚𝑙
100

• Etanol
1. 0 ml
10
2. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 5 𝑚𝑙
100
20
3. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 10 𝑚𝑙
100
30
4. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 15 𝑚𝑙
100
40
5. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 20 𝑚𝑙
100

6. 0 𝑚𝑙
• Propilen glikol
1. 0 ml
30
2. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 15 𝑚𝑙
100
20
3. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 10 𝑚𝑙
100
10
4. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 5 𝑚𝑙
100

5. 0 𝑚𝑙
40
6. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 20 𝑚𝑙
100

• Pembuatan NaOH
𝑔𝑟 1000
𝑀= 𝑥
𝑚𝑟 𝑣
𝑔𝑟 1000
0,1 = 𝑥
40 500
0,1𝑥40𝑥500
𝑔𝑟 =
1000
2000
=
1000
=2g
• Konstanta Dielektrik
1. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (100% . 80,4) + (0 . 24,3) + (0.50)
= 80,4
2. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (10% . 24,3) + (30% . 50)
= 65,67
3. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (20% . 24,3) + (20% . 50)
= 63,1
4. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (30% . 24,3) + (10% . 50)
= 60,53
5. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (40% . 24,3) + (0% . 50)
= 57,96
6. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (0% . 24,3) + (40% . 50)
= 68,24
• Titrasi
1. V0 = 0
Vt = 3,2 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1 = 3,2. 0,1
N1 =0,016 N
2. V0 = 3,2
Vt = 13,5 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 13,5 . 0,1
N1 = 0,0185 N
3. V0 = 0
Vt = 9 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1 = 9 . 0,1
N1 = 0,045 N
4. V0 = 9 ml
Vt = 18,8 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 9,8 . 0,1
N1 = 0,049 N
5. V0 = 24,9 ml
Vt = 36,6 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 11,7 . 0,1
N1 = 0,0585 N
6. V0 = 18,8 ml
Vt = 24,9 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 6,1. 0,1
N1 = 0,0305 N
2. Tabel pengaruh kosolven terhadap kelarutan suatu zat
Konstanta
No. NaOH ( mL) Konsentrasi (N)
Dielektrik

1 3,2 0,016 80,4


2 10,3 0,0515 65,67
3 9 0,045 63,1
4 9,8 0,049 60,53
5 11,7 0,0585 57,96
6 6,1 0,0305 68,24

3. Grafik pengaruh kosolven terhadap kelarutan suatu zat

Kurva Pengamatan Kosolven


90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8

NaOH ( mL) Konsentrasi (N) Konstanta Dielektrik

4.2 Pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat


1. Perhitungan penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat
• Titrasi Tween 0
V0 = 0
Vt = 3,7 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1 = 3,7 . N2
N1 = 0,0185 N
• Tween 0,2

V0 = 3,7 ml
Vt = 6 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 2,3.0,1
N1 = 0,0115 N

• Tween 0,4

V0 = 25,5 ml
Vt = 29,5 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 4.0,1
N1= 0,02 N

• Tween 0,6

V0 = 6 ml
Vt = 10,5 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1 = 4,5. 0,1
N1= 0,0225 N

• Tween 0,8

V0 = 29,5 ml
Vt = 24,2 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 4,7.0,1
N1 = 0,0235 N

• Tween 1

V0 = 10,5 ml
Vt = 17,9 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1 =7,4 . 0,1
N1 = 0,037 N
• Tween 2

V0 = 17,9 ml
Vt = 25,8 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 7,4.0,1
N1= 0,0395 N

• Tween 4

V0 = 44 ml
Vt = 43,4 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1 = 9,2.0,1
N1 = 0,046 N

• Tween 6

V0 = 25,8 ml
Vt = 6 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 11,4. 0,1
N1= 0,057 N

• Tween 8

V0 = 13,3 ml
Vt = 13,3 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 13,3.0,1
N1= 0,0665 N
2. Tabel pengamatan pengaruh penambahan surfaktan

No. Bobot NaOH (mL) Konsentrasi

1 0 3,7 0,0185
2 0,2 2,3 0,0115
3 0,4 4 0,02
4 0,6 4,5 0,0225
5 0,8 4,7 0,0235
6 1 7,4 0,037
7 2 7,4 0,0395
8 4 9,7 0,046
9 6 11,4 0,057
10 8 13 0,0665

3. Grafik pengamatan pengaruh penambahan surfaktan


14
12
10
8
6
4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bobot NaOH (mL) Konsentrasi

4.3 Pengaruh pH terhadap kelarutan suatu zat


1. Perhitungan konsentrasi (N) asam salisilat yang dipengaruhi pH.

Rumus Konsentrasi asam salisilat: 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2

1) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2

20 𝑚𝐿 × 𝑁1 = 11 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁 N1 = 0,055 N

2) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2

20 𝑚𝐿 × 𝑁1 = 11,1 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁 N1 = 0,0555N

3) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2
20 𝑚𝐿 × 𝑁1 = 10,1 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁 N1 = 0,0505N

4) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2

20 𝑚𝐿 × 𝑁1 = 10,1 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁 N1 = 0,0565N

5) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2

20𝑚𝐿 × 𝑁1 = 3,4 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁 N1 = 0,017 N

2. Tabel pengamatan pengaruh pH


No. NaOH (mL) Konsentrasi (mL) pH

1 11 0,055 5
2 11,1 0,0555 6
3 10,1 0,0505 7
4 10,1 0,0505 8
5 3,4 0,017 9

3. Grafik pengaruh pH terhadap kadar asam salisilat

Grafik Terhadap Pengaruh PH


0,055 0,0555 0,0505 0,0505 0,017
9
7 8
6
5

1 2 3 4 5

X Y

Keterangan :

X : PH

Y : konsentrasi
V. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan beberapa uji kelarutan, yaitu pengaruh
pelarut campur (kosolven) terhadap kelarutan suatu zat, pengaruh penambahan
surfaktan terhadap kelarutan suatu zat, dan pengaruh pH terhadap kelarutan suatu
zat. Kelarutan zat yang dimaksud yaitu kelarutan dari asam salisilat. Tujuan
praktikum ini adalah untuk menerapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kerutan
suatu zat aktif dan menentukan usaha yang akan dilakukan untuk meningkatan
kelarutan suatu zat.

Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam


larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam
satuan milliliter pelarut yang dapat melarutkan suatu gram zat. Misalnya 1 g asam
salisilat akan larut dalam 500 ml air. Kelarutannya dapat juga dinyatakan dalam
satuan molalitas, molaritas, dan persen. Kelarutan dalam besaran kuantitatif
didefinisikan sebagai air konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada
temperatur tertentu, sedangkan secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi
spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen
(Baroroh, 2004).

Dilakukannya percobaan kelarutan ini karena kelarutan suatu zat aktif


sangat penting. Nantinya suatu zat tersebut akan menjadi suatu sediaan farmasi
sehingga kita harus mengetahui cara agar zat tersebut memiliki kelarutan yang
tinggi dan hal-hal yang harus dilakukan agar mencapai kelarutan yang baik untuk
dibapai bahan sediaan farmasi.

Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam
pembuatan sediaan farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes
mata, injeksi dan lain-lain dibuat dengan menggunakan pembawa air. Bahkan untuk
bentuk sediaan obat lainnya seperti suspensi, tablet atau kapsul yang diberikan
secara oral, data ini tetap diperlukan karena dalam saluran cerna obat harus dapat
melarut dalam cairan saluran cerna yang komponen utamanya adalah air agar dapat
diabsorbsi (Baroroh, 2004)
5.1 Pengaruh pelarut campur (kosolven) terhadap kelarutan suatu zat

Percobaan yang pertama kali dilakukan yaitu menetukan pengaruh kosolven


terhadap kelarutan suatu zat. Percobaan pengaruh pelarut campur (kosolven)
terhadap kelarutan suatu zat yaitu dengan tujuan untuk menentukan konsentrasi
pelarut campur dan menentukan komposisi kosolven yang paling baik. Kosolven
merupakan pelarut yang ditambahkan dalam suatu sistem untuk membantu
melarutkan atau meningkatkan stabilitas suatu zat. Penggunaan kosolven dapat
mempengaruhi polaritas sistem, yang dapat ditunjukkan dengan pengubahan
tetapan dielektriknya (Martin, 1993).

Hal yang pertama dilakukan pada percobaan ini yaitu pelarut campur
dengan 6 komposisi yang berbeda dibuat sebanyak 50 ml masing-masing pada labu
erlenmeyer, dimana solven atau pengontrolnya adalah air dan kosolvennya yaitu
etanol dan propilen glikol. Tujuan dibuat pelarut yang berbeda-beda adalah sebagai
pembanding untuk menetapkan komposisi kosolven yang paling baik. Kemudian
ditambahkan 1 gram asam salisilat pada setiap komposisi, dimana asam salisilat
disini sebagai zat yang diuji kelarutannya dalam pelarut campur. Asam salisilat
merupakan senyawa yang berkhasiat sebagai fungisidal dan bakteriostatis lemah
(Martin, 1983). Fungsi etanol dan propilen glikol adalah sebagai zat untuk
meningkatkan kelarutan asam salisilat dalam air. Propilen glikol dapat berfungsi
sebagai pengawet, antimikroba, disinfektan, solven, stabilizer untuk vitamin dan
kosolven yang dapat bercampur dengan air (Rowe, 2003).

Setelah itu, larutan dikocok dengan menggunakan lab sheaker selama 1 jam
dengan tujuan agar larutan menjadi homogen (tidak adanya endapan). Kemudian
dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring dan corong pemisah supaya
pelarut campuran yang akan diuji terbebas dari endapan asam salisilat. Masing-
masing pelarut yang telah disaring ditentukan kadar asam salisilatnya dengan
metode titrasi asam basa dengan indikator fenolftalein. Titrasi asam basa
merupakan salah satu metode analisis kuantitatif untuk menentukan konsentrasi
dari suatu zat yang ada dalam larutan. Keberhasilan dalam titrasi asam-basa sangat
ditentukan oleh kinerja indikator yang mampu menunjukkan titik akhir dari titrasi.
Indikator merupakan suatu zat yang ditambahkan ke dalam larutan sampel sebagai
penanda yang menunjukkan telah terjadinya titik akhir titrasi pada analisis
volumetrik. Suatu zat dapat dikatakan sebagai indikator titrasi asam basa jika dapat
memberikan perubahan warna sampel seiring dengan terjadinya perubahan
konsentrasi ion hidrogen atau perubahan pH (Day & Underwood, 1986). Indikator
fenolftalein ini berfungsi untuk menentukan titik ekuivalen dengan merubah warna
larutan sehingga titik akhir titrasi dapat terlihat (Nuryanti, dkk., 2010). Metode
titrasi asam basa untuk menentukan kadar asam salisilat dengan menggunakan
peniter NaOH 0,1 N yang didasarkan pada reaksi netralisasi. Titrasi dilakukan
hingga mencapai titik akhir dan titik ekuivalen, yaitu keadaan dimana perubahan
warna indikator dari titrasi harus dihentikan tepat pada saat indikator menunjukkan
warna (titik akhir titrasi), sehingga diperoleh hasil titrasi yang tepat (Harjadi, 1990).
Fenolftalein akan berubah warna yang semula bening menjadi merah muda pada
suasana basa.

Hasil yang didapatkan pada percobaan ini, yaitu pada perlarut campur 1
yang berisi 50 ml air didapatkan konstanta dielektrik sebesar 80,4. Pada pelarut
campur 2 yang berisi 30 ml air, 5 ml etanol, dan 15 ml propilen glikol didapatkan
konstanta dielektrik sebesar 65,67. Pada pelarut campur 3 yang berisi 30 ml air, 10
ml etanol, dan 10 ml propilen glikol didapatkan konstanta dielektrik sebesar 63,1.
Pada pelarut campur 4 yang berisi 30 ml air, 15 ml etanol, dan 5 ml propilen glikol
didapatkan konstanta dielektrik sebesar 60,53. Pada pelarut campur 5 yang berisi
30 ml air dan 20 ml etanol didapatkan konstanta dielektrik sebesar 57,96. Pada
pelarut campur 6 yang berisi 30 ml air dan 20 ml propilen glikol didapatkan
konstanta dielektrik sebesar 68,24.

Dapat dilihat bahwa pelarut campur 5 yang berisi 30 ml air dan 20 ml etanol
merupakan pelarut campur paling baik dalam melarutkan asam salisilat karena
memiliki konstanta dielektrik paling rendah yaitu sebesar 57,96 dengan konsentrasi
0,585 N. Konstanta dielektrik berhubungan dengan suatu zat. Zat yang memiliki
konstanta dielektrik dengan nilai yang tinggi merupakan zat yang bersifat polar.
Sebaliknya, zat yang konstanta dielektriknya rendah merupakan senyawa nonpolar.
Senyawa yang digunakan dalam percobaan ini adalah asam salisilat. Sedangkan
pelarut campur yang digunakan pada labu erlenmeyer 5 adalah air dan etanol. Air
mempunyai nilai konstanta dielektrik 80,4 dan etanol 24,3. Semakin rendah
konstanta dielektrik pelarut campur yang digunakan, semakin besar kelarutan asam
salisilat, dengan kata lain kelarutan asam salisilat dalam pelarut campuran tersebut
semakin tinggi. Hal ini disebabkan asam salisilat sukar larut dalam air tetapi mudah
larut dalam etanol (Martin, 1993). Sehingga semakin banyak jumlah etanol dalam
pelarut campur, semakin besar konsentrasi asam salisilat yang terlarut

Dapat disimpulkan bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur


dimana berdasarkan literatur, asam salisilat bersifat non-polar dengan konstanta
dielektrik yang rendah sehingga asam salisilat larut pada pelarut dengan nilai
konstanta dielektrik terendah (Sudjadi, 2007).

5.2 Pengaruh surfaktan terhadap kelarutan suatu zat

Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai kemampuan untuk


menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu medium dan menurunkan
tegangan antarmuka (interfacial tension) antar dua fase yang berbeda derajat
polaritasnya. Istilah antarmuka menunjuk pada sisi antara dua fase yang tidak saling
melarutkan, sedangkan istilah permukaan menunjuk pada antarmuka dimana salah
satu fasenya berupa udara (gas) (Rosen, 1989).

Struktur surfaktan dapat digambarkan seperti berudu yang memiliki kepala


dan ekor. Bagian kepala pada surfaktan bersifat hidrofilik atau polar dan kompatibel
dengan air, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik atau non-polar dan lebih
tertarik ke, minyak/lemak. Bagian kepala pada surfaktan ini dapat bersifat anionik,
kationik, amfoterik atau nonionik, sedangkan bagian ekor dapat berupa hidrokarbon
rantai linier atau cabang. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan
memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui, 1996).

Sifat dari surfaktan adalah menambah kelarutan senyawa organik dalam


sistem berair. Sifat ini tampak hanya pada cairan dan di atas konsentrasi misel kritis.
Ini menunjukkan bahwa misel adalah bersangkutan dengan fenomena ini. Berbagai
bahan tambahan dalam produk obat juga dapat mempengaruhi kinetika kelarutan
obat itu sendiri (Lachman dkk, 1986).

Pada percobaan ini dilakukan penentuan kelarutan suatu zat dengan


pengaruh penambahan surfaktan. Surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu bagian
polar dan non-polar, bila didispersikan dalam air pada konsentrasi rendah akan
berkumpul pada permukaan. Pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan
asam salisilat, yang pertama dibuat larutan seri yang mengandung Tween 80 dengan
konsentrasi 0,4 | 0,6 | 0,8 | 1,0 | 2,0 | 4,0 | 6,0 | 8,0 gram. Untuk larutan seri yang
pertama mengandung akuadest sebanyak 100 ml, larutan seri yang kedua ditimbang
sebanyak 0, 6 gram Tween 80 kemudian dilarutkan menggunakan akuadest.
Diaduk sampai tween larut dengan air. Setelah larut kemudian dimasukkan kedalam
labu ukur dan ditambahkan air hingga tanda batas. Hal yang sama dilakukan untuk
membuat larutan Tween dengan konsentrasi 0,8 % hingga 8% yaitu dengan cara
menimbang Tween 80 sebanyak 0,8 gram kemudian dilarutkan menggunakan
akuadest dan ditambahkan air hingga 100 ml. Hal yang sama untuk pembuatan
larutan seri 2% hingga 8%. Penambahan surfaktan tween 80 dapat meningkatkan
kelarutan hidroklortiazida melalui mekanisme solubilisasi miselar. Kemudian
larutan seri dimasukkan kedalam masing-masing Erlenmeyer dan ditambahkan
asam salisilat sebanyak 1 gram. Masing-masing Erlenmeyer ditutup menggunakan
plastic craft agar cairan dalam Erlenmeyer tidak tumpah dan mudah menguap.
Setelah itu, larutan dikocok menggunakan lab sheaker selama 1 jam, tujuannya agar
larutan Tween 80 dengan asam salisilat homogen atau tercampur dengan merata.
Setelah 1 jam, larutan disaring dan di pipet sebanyak 20 mL dimasukkan kedalam
Erlenmeyer. Penyaringan ini bertujuan untuk mendapatkan filtrat asam salisilat
yang telah larut dan homogen di dalam larutan Tween 80. Kemudian di titrasi untuk
ditentukan kadar asam salisilatnya dengan larutan penifer NaOH 0,1 N. Sebelum
dititrasi ditambahkan indicator fenolftlaein sebanyak 3 tetes, indikator fenolftalein
berfungsi untuk mengetahui titik berhentinya titrasi ditandai dengan perubahan
warna. Larutan di titrasi sampai berubah warnanya menjadi warna pink. Setelah itu,
catat volume pada buret. Lalu dilakukan titrasi terhadap seluruh larutan mulai dari
konsentrasi 0,6 hingga 8,0%. Tween 80 (Polysorbat 80) berbentuk cairan kental
berwarna kuning. Larut dalam air, dalam minyak biji kapas, praktis tidak larut
dalam minyak mineral. Inkompatibilitas dengan perubahan warna dan/atau
pengendapan terjadi dengan berbagai zat. Digunakan dala formulasi sediaan
sebagai emulsifying agent (nonionik surfaktan). Tween 80 merupakan surfaktan
non-ionik hidrofilik yang digunakan secara luas sebagai agen pengemulsi pada
emulsi minyak dalam air. Selain itu tween 80 juga digunakan sebagai bahan untuk
meningkatkan kelarutan dari minyak esensial dan vitamin yang larut dalam minyak
juga digunakan sebagai agen pembasah pada suspensi oral dan parenteral. Kadar
yang digunakan sebagai agen pengemulsi jika dikombinasikan dengan pengemulsi
hidrofilik lain dalam emulsi minyak dalam air adalah 1-10% (Rowe et al., 2009).

Hubungan suatu surfaktan mempengaruhi kelarutan asam salisilat yaitu


dimana surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikkan
kelarutan suatu zat. Oleh karena itu, surfaktan mempunyai kecenderungan
berasosiasi membentuk agregat yang dikenal dengan misel dimana misel ini dapat
menaikkan kelarutan asam salisilat yang sukar larut dalam air. Dengan penambahan
surfaktan terdiri dua bagian yaitu bagian polar dan non polar, bila didispersikan
dalam air pada konsentrasi rendah, akan berkumpul pada permukaandengan
mengorientasikan bagian polar ke arah bagian air. Setelah itu dilakukan titrasi
pembakuan terhadap larutan baku sekunder (NaOH 0,1N). Titrasi yang dilakukan
adalah titrasi asam-basa, yaitu titrasi terhadap larutan asam salisilat terhadap larutan
yang berasal dari basa dengan menggunakan indikator fenolptalein (pp). Indikator
fenolptalein dipilih karena rentang pH yang dimilikinya, yaitu berkisar 8,0 - 10,0.
Indikator fenolptalein berfungsi untuk menetapkan atau mengetahui titik akhir
titrasi atau titik ekuivalen. Titik ekuivalen titrasi adalah titik dimana larutan titran
dan larutan uji telah bereaksi sempurna yang ditandai dengan terjadinya perubahan
warna dari tidak berwarna menjadi warna merah muda. Sehingga diperoleh larutan
jenuh, yaitu larutan dimana zat terlarut ada yang tidak larut dalam pelarutnya.
Larutan kemudian difiltrasi dengan kertas saring untuk memisahkan endapan dan
pengotor.Larutan yang telah disaring kemudian di titrasi dengan larutan NaOH dan
indikator pp hingga diperoleh titik ekuivalen.
Volume NaOH yang dibutuhkan untuk menitrasi asam salisilat dalam
berbagai konsentrasi pelarut dan surfaktan, berbeda-beda. Dari data hasil percobaan
didapat pada konsentrasi surfaktan (Tween-80) 0,1 gram dibutuhkan volume NaOH
4mL, 0,2 gram dibutuhkan volume NaOH 4.5 mL, 0,3 gram dibutuhkan volume
NaOH 5,3 mL, 0,4 gram dibutuhkan volume NaOH 5,6 gram, 0,5 gram dibutuhkan
NaOH 6,9 mL, 1 gram dibutuhkan volume NaOH 9.1 mL, 2 gram dibutuhkan
volume NaOH 13,2 mL, 3 gram dibutuhkan volume NaOH 15,7 mL dan 4 gram,
dibutuhkan volume NaOH 22,3 mL. Dari hasil yang didapat bahwa semakin besar
konsentrasi surfaktan yang ditambahkan ke dalam larutan asam salisilat maka
semakin besar pula volume NaOH yang dibutuhkan.

Pada praktikum kali ini dapat dilihat dari data pengamatan bahwa semakin
besar konsentrasi surfaktan yang dimasukan kedalam larutan asam salisilat,
semakin besar juga volume NaOH pada saat dilakukan titrasi asam basa. Hal ini
menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan, maka semakin tinggi juga
kelarutan dari asam salisilat. Ini terjadi karena surfaktan merupakan molekul
ampifilik yaitu memiliki gugus hidrofil (suka air/polar) dan memiliki gugus lipofil
(suka minyak nonpolar) sehingga surfaktan memiliki afinitas dengan pelarut polar
(air) ataupun nonpolar (minyak). Pengertian lainnya adalah surfaktan atau yang
kepanjangannya Surface active agent adalah senyawa yang ampifilik atau memiliki
2 gugus. Gugus yang pertama adalah gugus hidrofilik atau suka air dan gugus kedua
adalah lipofilik atau suka minyak. Surfaktan memiliki kepala yang bersifat
hidrofilik biasanya mengandung gugus hidroksil, sedangkan bagian ekor yang
merupakan gugus lipofilik biasanya terdiri dari rangakaian panjang alkil (Lachman
dkk, 1986). Penambahan surfaktan dalam larutan akan menurunkan tegangan
permukaan larutan. Namun, setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan walau ditambah surfaktan sebanyak apapun. Hal itu
disebut dengan titik KMK atau Konsentrasi Misel Kritis, pada titik ini surfaktan
menjadi jenuh dan surfaktan yang berlebihakan membentuk misel. Nantinya,
setelah mencapai titik KMK, di dalam larutan akan terbentuk misel (agregat
koloidal) yang berperan dalam proses solubilasi miselar. Misel sendiri adalah suatu
agregat yang mengandung monomer-monomer surfaktan. Pada konsentrasi setelah
KMK akan meningkatkan kelarutan zat yang tidak larut air karena zat tersebut dapat
tersembunyi di dalam misel. Misel ini berperan dalam proses solubilisasi miselar.
Solubilisasi miselar adalah suatu pelarutan spontan yang terjadi pada molekulzat
yang sukar larut dalam air melalui interaksi yang reversible dengan misel dari
surfaktan larutan sehingga terbentuk suatu larutan yang stabil secara
termodinamika.

Solubilisasi didefinisikan sebagai jumlah maksimum suatu zat yang


benarbenar dapat dilarutkan dalam sejumlah tertentu pelarut.Untuk meningkatkan
kelarutan suatu zat dalam air dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain
dengan pembentukan garam, pembentukan kompleks, peningkatan suhu,
mengurangi ukuran partikel atau menambahkan surfaktan (Augustin & Brewster,
2007).

Dari hasil percobaan kadar asam salisilat hasil terendah di dapat pada
penambahan tween 80 0% b/v didapatkan Kadar asam salisilat yang kurang sesuia
dengan literatur. Faktor kesalahan yang dapat terjadi sehingga kadar kurang sesuai,
karena kurang telitinya dalam penimbangan zat uji pada sampel maupun standar,
kurang lamanya dalam pengocokan sehingga masih ada sampel yang belum larut
atau pada saat penyaringan terdapat zat yang tidak terlarut yang terbawa sehingga
tidak didapat larutan yang jenuh.

5.3 Pengaruh pH terhadap kelarutan suatu zat

Penetapan kadar asam salisilat dapat dilakukan dengan beberapa metode,


misalnya dengan metode Spektrofotometri UV, titrasi, Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Namun, Untuk menetapkan kadar asam salisilat, Farmakope Indonesia
menyatakan bahwa analisis kadar dilakukan secara volumetri menggunakan larutan
titer natrium hidroksida 0,1N. Metode titrasi yang menggunakan larutan titer
natrium hidroksida dikenal sebagai metode alkalimetri, cara ini didasarkan pada
reaksi netralisasi antara zat uji asam dengan larutan baku basa sebagai larutan titer.

Pada percobaan ketiga yaitu pengaruh pH terhadap kelarutan asam salisilat.


Dibuat 100 mL larutan dapar fosfat dengan berbagai pH yaitu 5, 6, 7, 8 dan 9.
Tujuan dibuat larutan dapar fosfat dengan pH berbeda yaitu untuk menentukan dan
membandingkan pH yang paling baik dalam kelarutan asam salisilat. Diambil
masing-masing 25 mL dari setiap larutan pH lalu ditambahkan 0,5 gram asam
salisilat. Larutan dikocok dengan lab sheaker selama 1 jam, supaya larutan larut
sempurna atau tidak adanya endapan dalam larutan. Disaring larutan agar didapat
larutan yang jernih dan tidak adanya endapan asam salisilat. Masing-masing larutan
asam salisilat yang sudah disaring kemudian dititrasi dengan metode titrasi asam
basa. Titrasi asam basa adalah suatu titrasi dengan menggunakan reaksi asam dan
basa (reaksi penetralan). Dititrasi dengan NaOH 0,1 N dan digunakan indikator
fenolftalein yang akan memberikan warna merah merah muda dalam lingkungan
basa pada pH 8,4 – 10,4 (Sudjadi, 2007). Fenolftalein akan berubah warna ketika
telah mencapai titik akhir titrasi dan titik ekuivalennya.

Dari hasil percobaan didapat data kelarutan asam salisilat yang tertinggi
yaitu pada pH 6, dimana menandakan kelarutan asam salisilat terbaik ada di
konsentrasi tertinggi yaitu 0,0555 N. Namun, berdasarkan literatur sebaiknya asam
salisilat memiliki kelarutan konsentrasi tinggi pada pH 9 karena asam salisilat
merupakan asam lemah dimana kelarutan akan meningkat dan baik pada kondisi
pH basa. Kesalahan ini dapat saja terjadi karena sifat dari larutan NaOH yang
merupakan higroskopis yang menjadikan konsentrasinya berbeda. Kesalahan ini
dapat saja terjadi karena sifat dari larutan NaOH yang merupakan higroskopis yang
menjadikan konsentrasinya berbeda. Jika data kelarutan tidak optimum, maka
kecepatan disolusinya pun tidak optimum. Jika disolusi tidak optimum maka
absorpsi juga tidak optimum sehingga obat tidak akan memberikan efek yang
diinginkan karena obat untuk diabsorpsi tubuh itu adalah terlarut dalam cairan
tubuh.
VI. KESIMPULAN

Dari hasil percobaan dan pengamatan yang sudah kami lakukan dapat
ditarik kesimpulan bahwa:

1. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat aktif


diantaranya adalah pH, suhu, jenis pelarut dan konstanta dielektrik, bentuk
dan ukuran partikel zat terlarut dan adanya zat lain (penambahan ion sejenis
dan penambahan surfaktan).

2. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, disimpulkan bahwa:

a) Penambahan kosolven berupa etanol dan propilen glikon dapat


mempengaruhi kelarutan asam salisilat dan yang paling besar
mempengaruhi kelarutan asam salisilat yaitu etanol.
b) Kelarutan pada asam salisilat dapat ditingkatkan dengan ditambahnya
surfaktan hingga terbentuk misel yang dapat melarutkan zat secara
spontan.
c) Penambahan pH dapat meningkatkan konsentrasi dari asam salisilat.
DAFTAR PUSTAKA

Augustin, P. & Brewster, M. E. (2007). Solvent System and Their Selection in


Pharmaceutics and Biopharmaceutics. Belgium: Catholic
University of Levven & Janssen Pharmaceutica N. V., Beerse.

Baroroh, U. L. (2004). Diktat Kimia Dasar 1. Banjar Baru: Universitas Lambung


Mangkurat.

Day, R. A., & Underwood, A. L. (1986). Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:


Erlangga.

Harjadi, W. (1990). Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT. Gramedia.

Hui, Y. H. Bailey’s. (1996). Industrial Oil and Fat Products. New York: Jhon
Wiley & Sons Inc., Fifth Edition.

Lachman, L., H. A. Lieberman dan J. L. Kanig (1986). Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.

Martin, A. J. (1983). Physical Pharmacy: Physical Chemical Principles in The


Pharmaceutical Sciences, 3rd Ed, 827, 846-847.

Martin, D. (1993). Farmasi Fisika Jilid 2. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Rosen, M. J. (1989). Surfactants and Interfacial Phenomena. New York: Wiley


Interscience.

Rowe, D. (2003). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 4th Ed. London: The


Pharmaceutical Press.

Rowe, R.C. et Al. (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed.


London: The Pharmaceutical Press.

Sudjadi. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai