FARMASI FISIKA
Semester III | Tahun Ajaran 2022/2023
Praktikan
Kelompok 2A
I. PRINSIP PERCOBAAN
Dibuat larutan NaOH dengan cara ditimbang NaOH sebanyak 2 gram. Lalu,
dilarutkan dengan aquadest dan dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan
akuadest hingga tanda batas.
• Etanol
1. 0 ml
10
2. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 5 𝑚𝑙
100
20
3. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 10 𝑚𝑙
100
30
4. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 15 𝑚𝑙
100
40
5. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 20 𝑚𝑙
100
6. 0 𝑚𝑙
• Propilen glikol
1. 0 ml
30
2. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 15 𝑚𝑙
100
20
3. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 10 𝑚𝑙
100
10
4. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 5 𝑚𝑙
100
5. 0 𝑚𝑙
40
6. 𝑥 50 𝑚𝑙 = 20 𝑚𝑙
100
• Pembuatan NaOH
𝑔𝑟 1000
𝑀= 𝑥
𝑚𝑟 𝑣
𝑔𝑟 1000
0,1 = 𝑥
40 500
0,1𝑥40𝑥500
𝑔𝑟 =
1000
2000
=
1000
=2g
• Konstanta Dielektrik
1. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (100% . 80,4) + (0 . 24,3) + (0.50)
= 80,4
2. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (10% . 24,3) + (30% . 50)
= 65,67
3. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (20% . 24,3) + (20% . 50)
= 63,1
4. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (30% . 24,3) + (10% . 50)
= 60,53
5. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (40% . 24,3) + (0% . 50)
= 57,96
6. KD = (% Volume air . KD air) + (% Volume etanol . KD etanol) +
(% Volume propilen gllikol . KD propilen glikol)
= (60% . 80,4) + (0% . 24,3) + (40% . 50)
= 68,24
• Titrasi
1. V0 = 0
Vt = 3,2 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1 = 3,2. 0,1
N1 =0,016 N
2. V0 = 3,2
Vt = 13,5 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 13,5 . 0,1
N1 = 0,0185 N
3. V0 = 0
Vt = 9 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1 = 9 . 0,1
N1 = 0,045 N
4. V0 = 9 ml
Vt = 18,8 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 9,8 . 0,1
N1 = 0,049 N
5. V0 = 24,9 ml
Vt = 36,6 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 11,7 . 0,1
N1 = 0,0585 N
6. V0 = 18,8 ml
Vt = 24,9 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 6,1. 0,1
N1 = 0,0305 N
2. Tabel pengaruh kosolven terhadap kelarutan suatu zat
Konstanta
No. NaOH ( mL) Konsentrasi (N)
Dielektrik
V0 = 3,7 ml
Vt = 6 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 2,3.0,1
N1 = 0,0115 N
• Tween 0,4
V0 = 25,5 ml
Vt = 29,5 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 4.0,1
N1= 0,02 N
• Tween 0,6
V0 = 6 ml
Vt = 10,5 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1 = 4,5. 0,1
N1= 0,0225 N
• Tween 0,8
V0 = 29,5 ml
Vt = 24,2 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 4,7.0,1
N1 = 0,0235 N
• Tween 1
V0 = 10,5 ml
Vt = 17,9 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1 =7,4 . 0,1
N1 = 0,037 N
• Tween 2
V0 = 17,9 ml
Vt = 25,8 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1= 7,4.0,1
N1= 0,0395 N
• Tween 4
V0 = 44 ml
Vt = 43,4 ml
V1 . N1= V2 . N2
20 . N1 = 9,2.0,1
N1 = 0,046 N
• Tween 6
V0 = 25,8 ml
Vt = 6 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 11,4. 0,1
N1= 0,057 N
• Tween 8
V0 = 13,3 ml
Vt = 13,3 ml
V1 . N1=V2 . N2
20 . N1= 13,3.0,1
N1= 0,0665 N
2. Tabel pengamatan pengaruh penambahan surfaktan
1 0 3,7 0,0185
2 0,2 2,3 0,0115
3 0,4 4 0,02
4 0,6 4,5 0,0225
5 0,8 4,7 0,0235
6 1 7,4 0,037
7 2 7,4 0,0395
8 4 9,7 0,046
9 6 11,4 0,057
10 8 13 0,0665
1) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2
20 𝑚𝐿 × 𝑁1 = 11 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁 N1 = 0,055 N
2) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2
3) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2
20 𝑚𝐿 × 𝑁1 = 10,1 𝑚𝐿 × 0,1 𝑁 N1 = 0,0505N
4) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2
5) 𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2
1 11 0,055 5
2 11,1 0,0555 6
3 10,1 0,0505 7
4 10,1 0,0505 8
5 3,4 0,017 9
1 2 3 4 5
X Y
Keterangan :
X : PH
Y : konsentrasi
V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan beberapa uji kelarutan, yaitu pengaruh
pelarut campur (kosolven) terhadap kelarutan suatu zat, pengaruh penambahan
surfaktan terhadap kelarutan suatu zat, dan pengaruh pH terhadap kelarutan suatu
zat. Kelarutan zat yang dimaksud yaitu kelarutan dari asam salisilat. Tujuan
praktikum ini adalah untuk menerapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kerutan
suatu zat aktif dan menentukan usaha yang akan dilakukan untuk meningkatan
kelarutan suatu zat.
Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam
pembuatan sediaan farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes
mata, injeksi dan lain-lain dibuat dengan menggunakan pembawa air. Bahkan untuk
bentuk sediaan obat lainnya seperti suspensi, tablet atau kapsul yang diberikan
secara oral, data ini tetap diperlukan karena dalam saluran cerna obat harus dapat
melarut dalam cairan saluran cerna yang komponen utamanya adalah air agar dapat
diabsorbsi (Baroroh, 2004)
5.1 Pengaruh pelarut campur (kosolven) terhadap kelarutan suatu zat
Hal yang pertama dilakukan pada percobaan ini yaitu pelarut campur
dengan 6 komposisi yang berbeda dibuat sebanyak 50 ml masing-masing pada labu
erlenmeyer, dimana solven atau pengontrolnya adalah air dan kosolvennya yaitu
etanol dan propilen glikol. Tujuan dibuat pelarut yang berbeda-beda adalah sebagai
pembanding untuk menetapkan komposisi kosolven yang paling baik. Kemudian
ditambahkan 1 gram asam salisilat pada setiap komposisi, dimana asam salisilat
disini sebagai zat yang diuji kelarutannya dalam pelarut campur. Asam salisilat
merupakan senyawa yang berkhasiat sebagai fungisidal dan bakteriostatis lemah
(Martin, 1983). Fungsi etanol dan propilen glikol adalah sebagai zat untuk
meningkatkan kelarutan asam salisilat dalam air. Propilen glikol dapat berfungsi
sebagai pengawet, antimikroba, disinfektan, solven, stabilizer untuk vitamin dan
kosolven yang dapat bercampur dengan air (Rowe, 2003).
Setelah itu, larutan dikocok dengan menggunakan lab sheaker selama 1 jam
dengan tujuan agar larutan menjadi homogen (tidak adanya endapan). Kemudian
dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring dan corong pemisah supaya
pelarut campuran yang akan diuji terbebas dari endapan asam salisilat. Masing-
masing pelarut yang telah disaring ditentukan kadar asam salisilatnya dengan
metode titrasi asam basa dengan indikator fenolftalein. Titrasi asam basa
merupakan salah satu metode analisis kuantitatif untuk menentukan konsentrasi
dari suatu zat yang ada dalam larutan. Keberhasilan dalam titrasi asam-basa sangat
ditentukan oleh kinerja indikator yang mampu menunjukkan titik akhir dari titrasi.
Indikator merupakan suatu zat yang ditambahkan ke dalam larutan sampel sebagai
penanda yang menunjukkan telah terjadinya titik akhir titrasi pada analisis
volumetrik. Suatu zat dapat dikatakan sebagai indikator titrasi asam basa jika dapat
memberikan perubahan warna sampel seiring dengan terjadinya perubahan
konsentrasi ion hidrogen atau perubahan pH (Day & Underwood, 1986). Indikator
fenolftalein ini berfungsi untuk menentukan titik ekuivalen dengan merubah warna
larutan sehingga titik akhir titrasi dapat terlihat (Nuryanti, dkk., 2010). Metode
titrasi asam basa untuk menentukan kadar asam salisilat dengan menggunakan
peniter NaOH 0,1 N yang didasarkan pada reaksi netralisasi. Titrasi dilakukan
hingga mencapai titik akhir dan titik ekuivalen, yaitu keadaan dimana perubahan
warna indikator dari titrasi harus dihentikan tepat pada saat indikator menunjukkan
warna (titik akhir titrasi), sehingga diperoleh hasil titrasi yang tepat (Harjadi, 1990).
Fenolftalein akan berubah warna yang semula bening menjadi merah muda pada
suasana basa.
Hasil yang didapatkan pada percobaan ini, yaitu pada perlarut campur 1
yang berisi 50 ml air didapatkan konstanta dielektrik sebesar 80,4. Pada pelarut
campur 2 yang berisi 30 ml air, 5 ml etanol, dan 15 ml propilen glikol didapatkan
konstanta dielektrik sebesar 65,67. Pada pelarut campur 3 yang berisi 30 ml air, 10
ml etanol, dan 10 ml propilen glikol didapatkan konstanta dielektrik sebesar 63,1.
Pada pelarut campur 4 yang berisi 30 ml air, 15 ml etanol, dan 5 ml propilen glikol
didapatkan konstanta dielektrik sebesar 60,53. Pada pelarut campur 5 yang berisi
30 ml air dan 20 ml etanol didapatkan konstanta dielektrik sebesar 57,96. Pada
pelarut campur 6 yang berisi 30 ml air dan 20 ml propilen glikol didapatkan
konstanta dielektrik sebesar 68,24.
Dapat dilihat bahwa pelarut campur 5 yang berisi 30 ml air dan 20 ml etanol
merupakan pelarut campur paling baik dalam melarutkan asam salisilat karena
memiliki konstanta dielektrik paling rendah yaitu sebesar 57,96 dengan konsentrasi
0,585 N. Konstanta dielektrik berhubungan dengan suatu zat. Zat yang memiliki
konstanta dielektrik dengan nilai yang tinggi merupakan zat yang bersifat polar.
Sebaliknya, zat yang konstanta dielektriknya rendah merupakan senyawa nonpolar.
Senyawa yang digunakan dalam percobaan ini adalah asam salisilat. Sedangkan
pelarut campur yang digunakan pada labu erlenmeyer 5 adalah air dan etanol. Air
mempunyai nilai konstanta dielektrik 80,4 dan etanol 24,3. Semakin rendah
konstanta dielektrik pelarut campur yang digunakan, semakin besar kelarutan asam
salisilat, dengan kata lain kelarutan asam salisilat dalam pelarut campuran tersebut
semakin tinggi. Hal ini disebabkan asam salisilat sukar larut dalam air tetapi mudah
larut dalam etanol (Martin, 1993). Sehingga semakin banyak jumlah etanol dalam
pelarut campur, semakin besar konsentrasi asam salisilat yang terlarut
Pada praktikum kali ini dapat dilihat dari data pengamatan bahwa semakin
besar konsentrasi surfaktan yang dimasukan kedalam larutan asam salisilat,
semakin besar juga volume NaOH pada saat dilakukan titrasi asam basa. Hal ini
menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan, maka semakin tinggi juga
kelarutan dari asam salisilat. Ini terjadi karena surfaktan merupakan molekul
ampifilik yaitu memiliki gugus hidrofil (suka air/polar) dan memiliki gugus lipofil
(suka minyak nonpolar) sehingga surfaktan memiliki afinitas dengan pelarut polar
(air) ataupun nonpolar (minyak). Pengertian lainnya adalah surfaktan atau yang
kepanjangannya Surface active agent adalah senyawa yang ampifilik atau memiliki
2 gugus. Gugus yang pertama adalah gugus hidrofilik atau suka air dan gugus kedua
adalah lipofilik atau suka minyak. Surfaktan memiliki kepala yang bersifat
hidrofilik biasanya mengandung gugus hidroksil, sedangkan bagian ekor yang
merupakan gugus lipofilik biasanya terdiri dari rangakaian panjang alkil (Lachman
dkk, 1986). Penambahan surfaktan dalam larutan akan menurunkan tegangan
permukaan larutan. Namun, setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan walau ditambah surfaktan sebanyak apapun. Hal itu
disebut dengan titik KMK atau Konsentrasi Misel Kritis, pada titik ini surfaktan
menjadi jenuh dan surfaktan yang berlebihakan membentuk misel. Nantinya,
setelah mencapai titik KMK, di dalam larutan akan terbentuk misel (agregat
koloidal) yang berperan dalam proses solubilasi miselar. Misel sendiri adalah suatu
agregat yang mengandung monomer-monomer surfaktan. Pada konsentrasi setelah
KMK akan meningkatkan kelarutan zat yang tidak larut air karena zat tersebut dapat
tersembunyi di dalam misel. Misel ini berperan dalam proses solubilisasi miselar.
Solubilisasi miselar adalah suatu pelarutan spontan yang terjadi pada molekulzat
yang sukar larut dalam air melalui interaksi yang reversible dengan misel dari
surfaktan larutan sehingga terbentuk suatu larutan yang stabil secara
termodinamika.
Dari hasil percobaan kadar asam salisilat hasil terendah di dapat pada
penambahan tween 80 0% b/v didapatkan Kadar asam salisilat yang kurang sesuia
dengan literatur. Faktor kesalahan yang dapat terjadi sehingga kadar kurang sesuai,
karena kurang telitinya dalam penimbangan zat uji pada sampel maupun standar,
kurang lamanya dalam pengocokan sehingga masih ada sampel yang belum larut
atau pada saat penyaringan terdapat zat yang tidak terlarut yang terbawa sehingga
tidak didapat larutan yang jenuh.
Dari hasil percobaan didapat data kelarutan asam salisilat yang tertinggi
yaitu pada pH 6, dimana menandakan kelarutan asam salisilat terbaik ada di
konsentrasi tertinggi yaitu 0,0555 N. Namun, berdasarkan literatur sebaiknya asam
salisilat memiliki kelarutan konsentrasi tinggi pada pH 9 karena asam salisilat
merupakan asam lemah dimana kelarutan akan meningkat dan baik pada kondisi
pH basa. Kesalahan ini dapat saja terjadi karena sifat dari larutan NaOH yang
merupakan higroskopis yang menjadikan konsentrasinya berbeda. Kesalahan ini
dapat saja terjadi karena sifat dari larutan NaOH yang merupakan higroskopis yang
menjadikan konsentrasinya berbeda. Jika data kelarutan tidak optimum, maka
kecepatan disolusinya pun tidak optimum. Jika disolusi tidak optimum maka
absorpsi juga tidak optimum sehingga obat tidak akan memberikan efek yang
diinginkan karena obat untuk diabsorpsi tubuh itu adalah terlarut dalam cairan
tubuh.
VI. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan dan pengamatan yang sudah kami lakukan dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
Hui, Y. H. Bailey’s. (1996). Industrial Oil and Fat Products. New York: Jhon
Wiley & Sons Inc., Fifth Edition.
Lachman, L., H. A. Lieberman dan J. L. Kanig (1986). Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.