Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ODS COMPOUND MIOP ASTIGMAT

DISUSUN OLEH :
Widya Natasya Asa’ad (C 111 13 581)

PEMBIMBING :
dr. Natalia Stevanie

SUPERVISOR :
dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Widya Natasya Asa’ad

NIM : C111 13 581

Judul Kasus dan Referat : Compound Miop Astigmat / Kelainan Refraksi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Maret 2018

Supervisor Pembimbing

dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes dr. Natalia Stevanie

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I LAPORAN KASUS .................................................................................... 1

I. Identitas Pasien ..................................................................................... 1

II. Anamnesis ............................................................................................ 1

III. Status Generalis .................................................................................... 2

IV. Foto Klinis ............................................................................................ 2

V. Pemeriksaan Oftalmologi ...................................................................... 2

VI. Non-Contact Tonometri ....................................................................... 3

VII. Pemeriksaan Visus ............................................................................... 3

VIII. Penyinaran Oblik .................................................................................. 4

IX. Color Sense .......................................................................................... 4

X. Light Sense ........................................................................................... 4

XI. Campus Visual ..................................................................................... 4

XII. Slit Lamp .............................................................................................. 4

XIII. Funduskopi ........................................................................................... 4

XIV. Pemeriksaan Laboratorium .................................................................. 5

XV. Resume ................................................................................................. 5

XVI. Diagnosis Kerja .................................................................................... 5

XVII. Diagnosis Banding ............................................................................... 5

XVIII. Penatalaksanaan ................................................................................... 5

XIX. Prognosis .............................................................................................. 6

iii
XX. Diskusi ................................................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 8

A. Latar Belakang ..................................................................................... 8

B. Definisi dan Klasifikasi ......................................................................... 9

C. Fisiologi Refraksi pada Mata dan Kerja Lensa ................................... 10

D. Miopia ................................................................................................. 17

E. Astigmatisme ...................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33

iv
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : MF
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 11 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Makassar/Indonesia
Pekerjaan : Pelajar (Kelas 5 SD)
Alamat : Daya, Makassar
No. Register : 088016
Tanggal pemeriksaan : 22 Februari 2018
Tempat pemeriksaan : Pediatri Eye Center RSP Unhas

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Penglihatan kabur kedua mata
Anamnesis terpimpin :
Pasien laki-laki berusia 11 tahun datang ke Poli Mata Anak Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin ditemani oleh kedua orang tuanya dengan keluhan
penglihatan kabur pada kedua mata yang dialami sejak 5 tahun yang lalu secara
perlahan saat melihat jauh. Riwayat pusing ada, sakit kepala kadang-kadang. Mata
merah tidak ada, nyeri tidak ada, gatal tidak ada, air mata berlebih tidak ada,
produksi kotoran mata berlebih tidak ada, mata seperti berpasir tidak ada. Riwayat
menggunakan kacamata minus sejak 4 tahun lalu, namun keluhan di atas berulang
kembali sejak 2 bulan lalu.
Riwayat trauma pada mata disangkal, riwayat hipertensi disangkal, riwayat
diabetes melitus disangkal. Riwayat bermain di depan komputer sekitar 4 jam sehari
sejak 6 tahun lalu. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga ada. Riwayat operasi
mata sebelumnya disangkal.

1
III. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Sakit sedang, gizi cukup, composmentis
Tanda vital : Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,9 C

IV. FOTO KLINIS

Oculus Dextra Oculus Sinistra

V. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
Inspeksi
Pemeriksaan OD OS

Palpebra Edema (-) Edema (-).


Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Apparatus lakrimalis Hiperlakrimasi (-) Hiperlakrimasi (-)

Silia Sekret (-) Sekret (-)

Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Bola Mata Kesan intak Kesan intak

2
Mekanisme muscular

Kesegala arah Kesegala arah

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Kesan normal Kesan normal

Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

Pupil Bulat, sentral, refleks Bulat, sentral, refleks


cahaya (+) cahaya (+)

Lensa Jernih Jernih

Palpasi
Palpasi OD OS

Tensi Okuler Tn Tn

Nyeri Tekan (-) (-)

Massa Tumor (-) (-)

Glandula Preaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

VI. NON-CONTACT TONOMETRI


Tidak dilakukan pemeriksaan.

VII. PEMERIKSAAN VISUS


Pemeriksaan OD OS
Visus 20/200 20/80
Kacamata lama S: -1,50  20/160 S: -1,50  20/40
Koreksi S: -2,00 C: -2,50 AX 180 S: -2,00 C: -3,00 AX 180
Visus hasil koreksi 20/20 20/20

3
VIII. PENYINARAN OBLIK
Pemeriksaan OD OS

Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Normal Normal

Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat, sentral, RC (+)

Lensa Jernih Jernih

IX. COLOR SENSE


Tidak dilakukan pemeriksaan.

X. LIGHT SENSE
Pemeriksaan OD OS

RCL (+) (+)

RCTL (+) (+)

XI. CAMPUS VISUAL


Tidak dilakukan pemeriksaan.

XII. SLIT LAMP


 SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal, iris
coklat, krypte (+), pupil bulat central, RC (+), lensa jernih.
 SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal, iris
coklat krypte (+), pupil bulat central, RC (+), lensa jernih.

XIII. FUNDUSKOPI
Tidak dilakukan pemeriksaan.

4
XIV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak dilakukan pemeriksaan.

XV. RESUME
Pasien laki-laki berusia 11 tahun datang ke Poli Mata Anak Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin ditemani oleh kedua orang tuanya dengan keluhan
penglihatan kabur pada kedua mata yang dialami sejak 5 tahun yang lalu secara
perlahan saat melihat jauh. Keluhan kadang-kadang disertai pusing dan sakit
kepala. Riwayat menggunakan kacamata minus sejak 4 tahun lalu, namun keluhan
di atas berulang kembali sejak 2 bulan lalu. Riwayat bermain di depan komputer
sekitar 4 jam sehari sejak 6 tahun lalu. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga
ada.
Dari pemeriksaan oftalmologi, VOD : 20/200, VOS : 20/80. Visus dengan
kacamata pasien OD S: -1,50 yaitu 20/160 dan OS S:-1,50 yaitu 20/40. Dikoreksi
dengan OD : S -2,00 C -2,50 x 180 ; OS : S -2,00 C -3,00 x 180. Visus hasil koreksi
VOD 20/20, VOS 20/20. Pada pemeriksaan oftalmologi lainnya dalam batas
normal.

XVI. DIAGNOSIS KERJA


ODS Compound Miop Astigmat

XVII. DIAGNOSIS BANDING


Miopia
Simpel Miop Astigmat

XVIII. PENATALAKSANAAN
Kacamata monofocal
OD S: -2,00 C: -2,50 AX 180
OS S: -2,00 C: -3,00 AX 180
DP 60/58 mm

5
XIX. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Visam : Bonam
Quo ad Sanationam : Bonam
Quo ad Comesticam : Bonam

XX. DISKUSI
Pasien laki-laki berusia 11 tahun datang ke Poli Mata Anak Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin ditemani oleh kedua orang tuanya dengan keluhan
penglihatan kabur pada kedua mata yang dialami sejak 5 tahun yang lalu secara
perlahan saat melihat jauh. Mata merupakan organ visual yang membutuhkan
cahaya untuk menjalankan fungsinya dalam melihat. Keluhan pandangan kabur
berarti terjadi gangguan pada proses refraksi cahaya atau proses penerimaan cahaya
di retina. Tidak ada keluhan seperti mata merah, riwayat kemasukan benda asing,
bengkak, berair banyak, kotoran berlebih, dan mata seperti berpasir, dapat
menyingkirkan kelainan penglihatan yang disebabkan oleh infeksi, benda asing,
atau peradangan pada mata. Tidak ada riwayat trauma juga menyingkirkan
kemungkinan gangguan visus akibat trauma.
Setelah anamnesis, maka langkah pertama selanjutnya adalah memeriksa
ketajaman penglihatan pasien (visus). Dari hasil pemeriksaan visus didapatkan
VOD : 20/200, VOS : 20/80. Visus dengan kacamata pasien OD S: -1,50 yaitu
20/160 dan OS S:-1,50 yaitu 20/40. Dikoreksi dengan OD : S -2,00 C -2,50 x 180 ;
OS : S -2,00 C -3,00 x 170. Visus hasil koreksi VOD 20/20, VOS 20/20.
Pemeriksaan lainnya dalam batas normal. Hal ini menunjukkan pasien mengalami
kelainan refraksi dengan diagnosis compound miop astigmat.
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga
menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi
dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus.
Kelainan refraksi dapat diakibatkan karena terjadinya kelainan kelengkungan
kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.

6
Pasien ini didiagnosis sebagai compound miop astigmat. Miop adalah
kelainan refraksi di mana bayangan yang dihasilkan jatuh di depan retina.
Sedangkan astigmatisme merupakan salah satu kelainan refraksi dimana derajat
kelengkungan media refrakta yang tidak sama pada tiap sumbu (aksis) visual
menyebabkan bayangan jatuh pada banyak titik, baik itu di depan, atau di belakang
retina. Jadi compound miop astigmat adalah salah satu kelainan refraksi di mana
bayangan yang dihasilkan terletak di depan retina dan terdapat beberapa titik.
Gejala-gejala yang terjadi pada pasien adalah pandangan kabur, sakit
kepala, dan pusing. Hal ini disebabkan karena adanya bayangan yang tidak sesuai
jatuh di retina sehingga membuat persepsi pada otak juga terganggu dan terjadi
akomodasi mata secara terus menerus. Pada pemeriksaan visus didapatkan
kemunduran visus dan visus membaik dengan pin hole, selain itu tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan oftalmologi lainnya.
Tatalaksana kasus gangguan refraksi adalah dengan menetralisir gangguan
refraksinya atau mengkoreksi kausalitas gangguan refraksinya. Untuk menetralisir
gangguan refraksinya digunakan kacamata yang sesuai dengan tipe kelainan
refraksinya. Jika pasien mengalami myopia, maka diberikan lensa
cekung/negative/divergen untuk mengurangi kekuatan media refraksi agar
bayangan jatuh dari depan menuju tepat ke retina. Sedangkan pada kasus
hipermetropia diberikan lensa cembung/positif/konvergen untuk memperkuat
kekuatan refraksi sehingga bayangan yang tadinya jatuh di belakang retina bergeser
tepat di retina. Pada kasus astigmatisme, di mana terdapat berbagai letak titik fokus
bayangan, maka kita perlu mengetahui dulu lensa silinder yang tepat
(positif/negatif) lalu kemudian menemukan aksis yang tepat agar memberikan
gambaran yang terjelas bagi pasien. Dapat juga dilakukan intervensi untuk
memperbaiki langsung media refraksi yang mengalami kelainan, seperti operasi
LASIK (laser in-situ keratomileusis), Radial Keratotomy atau PRK
(photorefractive keratectomy).

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LATAR BELAKANG
Gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi
dapat memberikan konsekuensi baik jangka pendek maupun jangka
panjang pada anak-anak dan orang dewasa, seperti berkurangnya
produktivitas, kurangnya peluang mendapatkan karier yang baik di
pendidikan dan pekerjaan, dan berkurangnya kualitas hidup. Berbagai
faktor berpengaruh terhadap gangguan refraksi yang tidak terkoreksi,
seperti kurangnya perhatian dan pengenalan terhadap masalah ini pada
tiap individu, kurang tersedianya pelayanan untuk pemeriksaan
gangguan refraksi, kurang terjangkaunya biaya lensa koreksi terutama
pada negara-negara dengan mayoritas status ekonomi penduduk
kategori menengah ke bawah.(1)

Gambar 1. Penyebab Kebutaan di Dunia(1)

Menurut WHO (2004) diperkirakan terdapat sekitar 153.000.000


orang setiap 5 tahunnya yang terganggu penglihatannya akibat
gangguan refraksi yang tidak terkoreksi, di mana 8.000.000 jiwa
tergolong dalam kategori buta. Sebanyak 12,8 juta jiwa pada kelompok
usia 5-15 tahun terganggu penglihatannya akibat gangguan refraksi,
dengan prevalensi tertinggi pada Asia Tenggara dan China. Pada
kelompok usia 16-39 tahun terdapat 27 juta jiwa gangguan refraksi, di

8
mana prevalensi myopia tertinggi pada usia 13-18 tahun. Sedangkan
pada kelompok usia 50 tahun ke atas, terdapat 95 juta jiwa mengalami
gangguan refraksi, di mana 6,9 juta jiwa diantaranya mengalami
kebutaan. Data lain menunjukkan sekitar 1,3 juta jiwa pada kelompok
usia 40-49 tahun mengalami kebutaan akibat gangguan refraksi.(1)

B. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Cahaya dapat didefinisikan sebagai bagian dari spectrum gelombang
elektromagnetik di mana mata sensitive terhadapnya. Bagian yang dapat
dilihat dari spektrum ini terletak pada panjang gelombang 390 nm
sampai 760 nm. Agar mata dapat menghasilkan informasi visual yang
akurat, cahaya harus difokuskan dengan tepat di retina. Fokus harus
disesuaikan untuk menghasilkan pandangan yang jelas untuk objek
dekat maupun jauh. Kornea, atau lebih tepatnya titik pertemuan
udara/air pada mata bertanggung jawab untuk 2/3 kekuatan fokus mata,
sedangkan lensa kristal dan media lainnya adalah 1/3nya.(2)
Ketika sinar cahaya paralel dari objek yang jauh jatuh pada fokus di
retina dengan mata dalam keadaan beristirahat (tidak berakomodasi),
keadaan ini disebut emetropia. Individu dengan mata emetrop dapat
melihat jarak jauh dengan jelas tanpa berakomodasi. Ametropia adalah
suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga pada mata yang
dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak pada
retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia
(rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmat.(2)
Pada gambar 2 di bawah, terlihat berbagai jenis klasifikasi
ametropia. Pada bagian (a) merupakan sketsa cahaya normal, di mana
sinar-sinar parallel difokuskan pada retina, membentuk gambaran yang
tajam.. Pada (b) yaitu myopia di mana sinar-sinar sejajar sumbu utama
yang memasuki mata dikonvergensikan di anterior dari retina,
menghasilkan bayangan yang kabur (warna biru pada gambar), dan
kondisi ini dikoreksi dengan lensa minus (cekung) yang menghasilkan

9
divergensi dari berkas cahaya yang masuk ke mata dan
memfokuskannya tepat di retina (warna merah pada gambar). Pada
bagian (c) hypermetropia terjadi di mana sinar-sinar sejajar sumbu
utama difokuskan dibelakang retina (biru), kondisi ini dikoreksi dengan
lensa positif/konvergen untuk menambah kekuatan refraksi dan
memfokuskan bayangan jatuh di retina (merah). Sedangkan pada
kondisi (d) astigmatisme terjadi ketika sinar-sinar yang masuk
difokuskan pada dua bidang/axis yang berbeda akibat dari kurvatura dari
kornea atau lensa yang berbeda tiap sumbunya (biasanya sumbu yang
saling tegak lurus). Kondisi ini dikoreksi dengan lensa silindris.(3)

Gambar 2.Jenis-jenis Ametropia. (a)Normal (b)Myopia (c)Hipermetropia (d)Astigmat(3)

C. FISIOLOGI REFRAKSI PADA MATA DAN KERJA LENSA


1. Fisiologi Refraksi
Refraksi cahaya adalah fenomena perubahan/pembelokan berkas
cahaya ketika melalui dua medium dengan kerapatan yang berbeda.
Penyebab dasar dari refraksi adalah perubahan kecepatan cahaya pada
medium yang dilaluinya. Hukum refraksi yaitu :

10
1. Sinar datang, sinar refrakta berada pada sisi yang berlawanan
dan kedua tersebut bersama garis normal berada dalam satu
bidang.(4)
2. Perbandingan sinus sudut sinar datang terhadap sinar refrakta
adalah tetap bergantung pada medium cahaya. Besaran ini
disimbolkan dengan n disebut sebagai indeks bias. Indeks bias
udara (vakum) adalah satu. Hukum snellius tentang refraksi
yaitu : sin i/ sin r = n2/n1. Ketika cahaya memasuki medium yang
lebih padat maka arah biasnya mendekati sumbu normal,
sedangkan jika memasuki medum yang lebih renggang maka
arahnya menjauhi garis normal.(4)

Gambar 3. Fenomena refraksi cahaya(4)

Proses refraksi juga terjadi pada mata, yang berfungsi agar bayangan
objek yang dilihat dapat jatuh di retina dengan tepat. Oleh karena itu,
komponen mata yang berfungsi sebagai media refrakta yaitu kornea,
humor aquous, lensa kristalina, dan badan vitreus harus berfungsi
dengan baik dan optimal. Telah dijelaskan di atas bahwa gangguan
refraksi disebut sebagai ametropia. Ametropia dapat terjadi oleh karena
adanya ketidakcocokan/ketidakseimbangan antara panjang axis (sumbu
utama) dengan kekuatan media refrakta, baik itu itu perbandingan axis

11
terhadap kekuatan refraksi terlalu besar atau kecil, sehingga secara
umum ametropia dapat dibagi dua berdasarkan etiologi utamanya, yaitu
ametropia aksial (tersering) atau ametropia refraktif.(5)

Gambar 4. Perbandingan letak fokus bayangan pada emetrop dan ametrop (5)

Gambar 5. Indeks refraksi masing-masing media refraksi pada mata(5)

Kekuatan suatu media dalam merefraksikan cahaya disebut dalam


satuan dioptri, yang merupakan satuan unit internasional. Kekuatan
refraksi dihitung berdasarkan hokum optika geometri. Berdasarkan
hokum snell’s, bahwa refraksi pada cahaya yang memasuki suatu
medium yang berbeda dtentukan oleh sudut masuknya dan perdeaan
indeks bias dari masing-masing medum. Aplikasi hukum ini pada mata
yaitu sudut masuknya sinar datang itu ditentukan oleh kelengkungan
kurvatura lensa atau kornea dan indeksi bias masing-masing media
refrakta ditentukan oleh komponen kimiawi (kepadatan jaringan) pada
media refraksi seperti pada gambar 5 di atas.(5)
Kekuatan refraksi total pada mata yang emetrop adalah 63 dioptri
pada panjang sumbu (axis) 23,5 mm. Kekuatan kornea sekitar 43 dioptri,

12
sedangkan lensa berkisar antara 10-20 doptri, bergantung pada apakah
sedang berakomodasi atau tidak.(5)
Telah dijelaskan pada paragraph di atas bahwa kekuatan refraksi
mata tidak konstan, melainkan harus berubah-ubah untuk
memungkinkan terjadinya visualisasi yang jelas baik pada objek yang
jauh maupun dekat. Proses fisiologis yang mengatur mekanisme
perubahan kekuatan refraksi inilah yang disebut sebagai akomodasi.
Mekanisme akomodasi melibatkan lensa, zonula ciliaris, dan otot
siliaris.(5)

Gambar 6. Proses refraksi pada mata emetrop(5)

Pada gambar 6, bagian a menunjukkan sinar-sinar sejajar sumbu


utama masuk ke mata dari jarak tak hingga difokuskan ke retina pada
mata yang tidak berakomodasi. Pada bagian b, proses akomodasi
memfokuskan cahaya pada sinar yang berasal dari objek yang dekat
tepat di retina untuk menghasilkan bayangan yang tajam. Pada bagian c,
ketika proses akomodasi tidak adekuat, misalkan pada usia tua, objek
yang dekat tampak kabur, Pada bagian d, lensa dibutuhkan untuk
mengoreksi proses akomodasi yang tidak adekuat tersebut untuk melihat
objek dekat pada usia tua. Proses akomodasi terjadi ketika otot-otot

13
siliaris berkontraksi menyebabkan zonula merenggang, hal ini membuat
lensa menjadi lebih globular (bulat) sehingga kekuatan refraksinya
bertambah, hal ini dibutuhkan untuk memfokuskan penglihatan melihat
objek dekat. Seperti yang terlihat pada gambar berikut.(5)

Gambar 7. Proses akomodasi(5)

2. Mekanisme Kerja Lensa


Lensa adalah media transparan yang berufngsi dalam merefraksikan
cahaya, terdiri dari dua permukaan yang dapat membentuk bola (sferis)
atau silinder/torus. Lensa sferis terdiri dari dua permukaan dengan
kelengkungan berbentuk seperti bola, yang bentuk permukaanya terdiri
dari dua yaitu lensa konveks (cembung/positif) atau lensa konkaf
(cekung/negatif). (4)

Gambar 8. Jenis-jenis lensa sferis konveks (A)bikonveks (B)Plano-Konveks (C) Konkavokonveks(4)

Lensa konveks atau lensa positif adalah lensa yang bersifat


konvergen yaitu mengumpulkan cahayayang masuk dapat berbentuk
bikonveks, planokonveks, atau konkavokonveks. Lensa konveks tebal
pada bagian tengah tipis pada bagian perifer, objek yang berada dekat

14
dengan lensa cembung akan tampak membesar, dan ketika digerakkan
maka bayangan objek yang tampak bergerak berlawanan arah dari
gerakan lensa. Lensa ini digunakan dalam mengoreksi kelainan
hipermetropia, afakia, dan presbyopia, selain itu berfungsi dalam
iluminasi oblik, atau oftalmoskopi indirek.(4)

Gambar 9. Sifat-sifat bayangan pada lensa konveks(4)

Lensa konkaf adalah termasuk lensa sferis namun berisfat divergen


(menghamburkan cahaya), bentuknya terdiri dari bikonkaf,
planokonkaf, konveksokonkaf (meniscus). Ciri-cirinya tipis di bagian
tengah dan tebal di perifer, bayangan objek yang ada di depannya
tampak mengecil, ketika digerakkan, bayangan objek yang terlihat
bergerak searah dengan lensa. Adapun kegunaannya adalah untuk
mengoreksi kelainan refraksi seperti myopia dan sebagai lensa Hruby
dalam pemeriksaan fundus dengan slit-lamp. Gambar yang terbentuk
dari lensa cekung ini selalu bersifat maya, tegak dan diperkecil.(4)

15
Gambar 10. Jenis-jenis lensa cekung (A) bikonkaf (B)Plano-konkaf (C) Konveksokonkaf(4)

Gambar 11. Sifat bayangan pada lensa cekung(4)

Lensa silinder merupakan lensa yang berbentuk seperti tabung,


bekerja maksimal hanya pada satu axis/sumbu tertentu dan axis yang
tegak lurus dari axis utamanya memiliki kekuatan refraksi 0 dioptri.
Terdiri dari dua, yaitu lensa silinder konveks (positif) atau konkaf
(negatif). Lensa cylindris terutama digunakan untuk mengkoreksi
astigmatisme, di mana terdapat perbedaan indeks refraksi pada axis
tertentu di kornea sehingga sesuai dengan mekanisme kerja lensa ini
yaitu bekerja pada axis tertentu, untuk menyatukan titik fokus bayangan
akibat perbedaan kekuatan refraksi tersebut. (4)

Gambar 12. Jenis lensa silinder (A) Positif (B)Negatif(4)

16
Gambar 13. Sifat bayangan pada Lensa cylindris(4)

D. MIOPIA
1. Definisi(4, 6,11)
Miopia adalah salah satu bentuk kelainan refraksi dimana
sinar yang datang sejajar dari jarak yang tak berhingga difokuskan
di depan retina saat mata tidak berakomodasi. Pasien dengan miopia
akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat sedangkan melihat
jauh kabur atau pasien adalah rabun jauh.
2. Klasifikasi Etiologi(4)
a. Axial miopi; terjadi karena pertambahan panjang diameter
antero-posterior bola mata, ini penyebab yang paling banyak.
b. Kurvatural miopi ; karena peningkatan kelengkungan kornea
dan atau lensa.
c. Positional miopi; terjadi karena pergeseran lensa ke bagian
anterior.
d. Index myopia; tipe ini terjadi karena peningkatan index refraksi
lensa, misal pada nuklear sclerosis.
e. Miopi yang berhubungan dengan akomodasi yang berlebihan.

17
Gambar 14. Sifat refraksi cahaya pada Miopia(6)

3. Variasi Klinis Miopi(4,11)


a. Miopia Kongenital
Miopi yang sudah terjadi sejak lahir,namun biasanya
didiagnosa saat usia 2-3 tahun, kebanyakan unilateral dan
bermanifestasi anisometropia. Jarang terjadi bilateral.
Miopi kongenital sering berhubungan dengan kelainan
congenital lain seperti katarak congenital, mikrophtalmus,
aniridia, megalokornea. Miopi congenital sangat perlu dikoreksi
lebih awal.
b. Miopi simplek
Jenis miopi ini paling banyak terjadi, jenis ini berkaiatan
dengan gangguan fisiologi, tidak berhubungan dengan penyakit
mata lainnya. Miopi ini meningkat 2 % pada usia 5 tahun sampai
14 % pada usia 15 tahun. Kerena banyak ditemukan pada anak
usia sekolah maka disebut juga dengan ”school Myopia”.
Etiologi
Suatu variasi biologi normal dari perkembangan mata, yang
mana bisa berhubungan maupun tidak berhubungan dengan
genetik.

18
a. Tipe axial
Variasi fisiologis dari perkembangan bola mata atau dapat
berhubungan dengan neurologi prekok pada masa anak-
anak.

b. Tipe kurvatural
Terjadi karena variasi perkembangan bola mata. Hal ini
dikarenakan kebiasaan diet pada masa anak-anak ada
dilaporkan tanpa kesimpulan yang belum terbukti.

c. Genetik
Genetik berperan dalam variasi biologis pada pertumbuhan
bola mata, dengan faktor resiko, jika kedua orang tua miopi
prevalensi terjadinya miopi pada anaknya sekitar 20 %, jika
salah satu dari orang tua menderita miopi maka prevalensi
anaknya menderita miopi sekitar 10%., jika salah satu orang
tua tidak ada menderita miopi,prevalensi miopi pada anak
sekitar 5 %.

d. Teori bekerja dengan penglihatan yang sangat dekat.


Teori ini mengatakan bahwa, miopi dapat terjadi karena
kebiasaan kerja dengan pandangan yang sangat dekat,
namun pada kenyataannya teori ini belum terbukti secara
pasti.

Gejala Klinis
Gejala Subjektif:
a. Penglihatan jauh kabur merupakan gejala utama.
b. Gejala astenopia pada pasien miopi derajat ringan
c. Anak sering menyipitkan mata,merupakan hal yang sering
dikeluhkan oleh orang tua.
Gejala Objektif:
a. bola mata yang besar dan menonjol.

19
b. Kamera okuli anterior lebih dalam dari normal.
c. Fundus Normal, namun miopi kresen temporal jaran terjadi.
d. Biasanya terjadi saat usia 5 – 10 tahun dan meningkat sampai
usia 18-20 tahun. Dengan rata rata – 0.5 ± 0.3 per tahun.
C. Miopi patologis/ degeneratif
Miopi yang terjadi karena kelainan pada bagian mata lain
seperti, adanya pendarahan pada badan kaca, pigmentasi pada
retina dan peripapil. Miopi patologi sudah terjadi saat usia 5 – 10
tahun, yang berefek saat usia dewasa muda yang mana hal ini
berhubungan dengan perubahan degenerasi pada mata.

Gambar 15. Elongasi axis bola mata(4)

Miopi patologis suatu hasil dari pertumbuhan yang cepat dari


panjang axial bola mata. Untuk menerangkan terjadinya kelainan
aksial bola mata banyak teori yang dikemukakan, namun belum
ada hipotesis memuaskan yang bisa menerangkan terjadinya
patologi itu. Namun demikian patologi ini berhubungan dengan
herediter dan pertumbuhan bola mata.
1. Herediter
Sekarang telah dipastikan bahwa genetik merupakan faktor
mayor sebagai etiologi kelainan ini. Progresif miopi yang bersifat
familial, banyak terjadi pada bangsa cina, arab dan jepang.
Namun jarang ditemukan pada bangsa negro dan sudan. Ini

20
menunjukkan hubungan herediter yang mempengaruhi
pertumbuhan retina dalam perkembangan miopi.
2. Proses Pertumbuhan secara umum
Proses pertumbuhan ini merupakan faktor minor pada
perkembangan miopi, Perpanjangan dari segmen posterior bola
mata terjadi hanya sepanjamg masa pertumbuhan aktif dan
diperkirakan berhenti saat pertumbuhan aktif berhenti. Disini ada
beberapa faktor seperti nutrisi, defisiensi, gangguan hormon, dan
penyakit yang terjadi saat pertumbuhan aktif sehingga
mempengaruhi perkembangan miopi.
Gejala Klinis
Gejala subjektif :
a. Kabur bila melihat jauh, penurunan visus umumnya lebih
parah dibanding dengan miopi simplek.
b. Keluhan lain seperti melihat sesuatu berwarna hitam melayang
pada penglihatannya, hal ini berhubungan dengan degenerasi
vitreus.
c. Rabun pada malam hari dapat dikeluhkan pada penderita
dengan miopi tinggi.
Gejala objektif :
a) Gambaran pada segmen anterior serupa dengan myopia
simpleks
b) Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa
kelainan-kelainan pada
1. Badan kaca : dapat ditemukan kekeruhan berupa pendarahan
atau degenarasi yang terlihat sebagai floaters, atau benda-
benda yang mengapung dalam badan kaca. Kadang-kadang
ditemukan ablasi badan kaca yang dianggap belum jelas
hubungannya dengan keadaan myopia
2. Papil saraf optic : terlihat pigmentasi peripapil, kresen
myopia, papil terlihat lebih pucat yang meluas terutama ke

21
bagian temporal. Kresen myopia dapat ke seluruh lingkaran
papil sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid
yang atrofi dan pigmentasi yang tidak teratur.

Gambar 16. Myopic Crescent(4)

3. Degenerasi pada retina dan koroid yang terjadi pada miopi


tinggi. Ditandai dengan plak berwarna keputihan pada
makula dengan sedikit pigmen yang mengelilinginya.
4. Lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid
dan retina. Akibat penipisan ini maka bayangan koroid
tampak lebih jelas dan disebut sebagai fundus tigroid.
Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi yaitu ablasio retina,
katarak komplikata, perdarahan vitreus, perdarahan koroid,
strabismus konvergensi terfiksasi.
4. Diagnosis(5, 6,11)
Upaya dalam mendiagnosis miopia bermacam-macam,
bergantung konteks dalam subjek bentuknya populasi atau personal.
Miopia dapat dideteksi pada anak-anak usia sekolah melalui
skrining di sekolah, adanya gangguan dalam pemeriksaan visus
yang signifikan dapat menjaring anak-anak untuk diperiksa lebih
lanjut. Dalam konteks personal, curiga miopia jika terdapat keluhan
pandangan mata kabur terutama melihat jauh. Selanjutnya, dalam

22
mmmendiagnosis miopia dapat dilakukan secara subjektif atau
objektif, untuk memeriksa visus pasien.
Pemeriksaan secara subjektif dapat dilakukan dengan snellen
chart, kemudian melakukan trial and error dengan memasangkan
lensa yang cocok di trial frame sampai didapatkan visus terbaik
(20/20). Pemeriksaan ini paling baik dengan menggunakan
sikloplegik agar koreksinya tepat.
Pemeriksaan secara objektif dapat dilakukan dengan
menggunakan retinoskop. Alat ini dapat melihat refleks retina
melalui berkas cahaya yang diberikan, setelah itu sumber cahaya
digerakkan dan dilihat bagimana refleks cahaya dari retina, apakah
mengikuti pergerakan atau berlawananarah. Pada kasus miopia akan
terdapat refleks yang arahnya berlawanan dari sumber cahaya.
Metode lainnya dengan menggunakan refraktometer manual atau
automatis, yang juga dapat mendeteksi kelainan refraksi.

Gambar 17. Pemeriksaan objektif dengan retinoskop(5)

E. Penatalaksanaan(4, 6,11)
Prinsip penatalaksaan dari kelainan refraksi adalah dengan
melakukan berbagai upaya agar bayangan jatuh di tepat di retina,
dengan melakukan netralisasi kelainan kekuatan refraksi baik yang
relatif karena axis atau yang absolut yang terjadi atau dengan
memodifikasi indeksi refraksi pada media refrakta.

23
1. Netralisasi ketidakseimbangan kekuatan refraksi dengan
menggunakan lensa cekung (konkaf) baik dalam bentuk
kacamata atau lensa kontak. Lensa yang digunakan
sebaiknya yang terkecil yang memberikan visus terbaik
untuk menghindari akomodasi mata pada kasus-kasus
overkoreksi, karena dapat menyebabkan mata
lelah/astenopia.

Gambar 18. Mekanisme kerja lensa cekung dalam mengoreksi miopia (4)

2. Mengubah/memodifikasi Media Refraksi


Merupakan prosedur operasi gangguan refraksi biasa
disebut keratorefractive surgery karena operasi ini
mengubah kelengkungan kornea sehingga mempengaruhi
pula kekuatan refraksinya, jika operasi berhasil maka pasien
dapat memiliki visus yang baik tanpa perlu menggunakan
kacamata atau lensa kontak lagi. Jenis-jenisnya adalah:
1. Radial Keratotomy (4)
Untuk membuat insisi radial yang dalam pada pinggir
kornea dan ditinggalkan 4 mm sebagai zona optik.Pada
penyembuhan insisi ini terjadi pendataran dari permukaan
kornea sentral sehingga menurunkan kekuatan refraksi.
Prosedur ini sangat bagus untuk miopi derajat ringan dan
sedang. Kelemahannya kornea menjadi lemah, bisa terjadi
ruptur bola mata jika terjadi trauma setelah RK, terutama
bagi penderita yang berisiko terjadi trauma tumpul, seperti
atlet, tentara. Bisa terjadi astigmat irreguler karena

24
penyembuhan luka yang tidak sempurna,namun jarang
terjadi. Pasien Post RK juga dapat merasa silau saat malam
hari.

Gambar 19. Radial Keratotomy(4)

2. Photorefractive Keratectomy (PRK) (4)


Pada teknik ini zona optik sentral pada stroma kornea
anterior difotoablasi dengan menggunakan laser excimer
(193 nm sinar UV) yang bisa menyebabkan sentral kornea
menjadi flat. Sama seperti RK, PRK bagus untuk miopi -
2 sampai -6 dioptri.4 Kelemahan PRK: Penyembuhan
postoperatif yang lambat, keterlambatan penyembuhan
epitel menyebabkan keterlambatan pulihnya penglihatan
dan pasien merasa nyeri dan tidak nyaman selama
beberapa minggu, dapat terjadi sisa kornea yang keruh
yang mengganggu penglihatan, PRK lebih mahal
dibanding RK

25
Gambar 20. PRK(4)

3. Laser in-situ Keratomileusis (LASIK)(4)


Pada teknik ini, pertama sebuah flap setebal 130-160
mikron dari kornea anterior diangkat. Setelah Flap
diangkat, jaringan midstroma secara langsung diablasi
dengan tembakan sinar excimer laser , akhirnya kornea
menjadi flat. Sekarang teknik ini digunakan pada kelainan
miopi yang lebih dari - 12 dioptri. Kriteria pasien untuk
LASIK yaitu umur lebih dari 20 tahun., memiliki refraksi
yang stabil,minimal 1 tahun., motivasi pasien,tidak ada
kelainan kornea dan ketebalan kornea yang tipis
merupakan kontraindikasi absolut LASIK.

Gambar 21. Prosedur LASIK(4)

26
F. ASTIGMATISME
1. Definisi(4,11)
Astigmatisme adalah salah satu kelainan refraksi yang
terjadi akibat ketidakseimbangan/ adanya perbedaan kekuatan
refraksi pada setiap meridian/axis sehingga mengakibatkan cahaya
jatuh tidak pada satu titik fokus. Hal ini disebabkan oleh adanya
iregularitas kurvatur baik itu pada kornea atau lensa.

Gambar 22. Skema pembentukan bayangan pada astigmatisme(9)

2. Etiologi(4)
a. Astigmat korneal, diakibatkan oleh abnormalitas kurvatura
kornea, faktor ini menjadi penyebab paling banyak dari
astigmatisme
b. Astigmat lenticular, bersifat jarang, diakibatkan oleh kelainan
pada lensa, baik itu kurvaturanya, posisi, dan indeks biasnya
c. Astigmat retinal, akibat dari perubahan posisi pada retina,
sangat jarang terjadi
3. Jenis-jenis astigmat(4)
a. Astigmatisma Reguler
Astigmatisma regular merupakan astigmatisma yang
memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau

27
berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke
meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi dengan bentuk
yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.10,11
Astigmatisma reguler dapat diklasifikasikan sebagai berikut:11
 Simple astigmatism, dimana satu dari titk fokus di retina. Fokus
lain dapat jatuh di dapan atau dibelakang dari retina, jadi satu
meridian adalah emetropik dan yang lainnya hipermetropi atau
miop. Yang kemudian ini dapat di rumuskan sebagai Simple
hypermetropic astigmatism dan Simple myopic astigmatism.

Gambar 223. Simple miop astigmat(4)

Gambar 24. Simpel hipermetrop astigmat(4)

28
 Compound astigmatism, dimana tidak ada dari dua focus yang
jatuh tepat di retina tetapi keduanya terletak di depan atau
dibelakang retina. Bentuk refraksi kemudian hipermetropi atau
miop. Bentuk ini dikenal dengan compound hypermetropic
astigmatism dan compound miopic astigmatism.

Gambar 235. Compound Astigmat(4)

 Mixed Astigmatism, dimana salah satu fokus berada didepan


retina dan yang lainnya berda dibelakang retina, jadi refraksi
berbentuk hipermetrop pada satu arah dan miop pada yang
lainnya.

Gambar 246. Astigmat campuran(4)

29
Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak lurus dan
sumbu-sumbunya terletak di dalam 20 derajat horizontal dan
vertical, maka astigmatisme ini dibagi menjadi astigmatism with the
rule (astigmatisme direk), dengan daya bias yang lebih besar terletak
di meridian vertical, dan astigmatism against the rule (astigmatisma
inversi) dengan daya bias yang lebih besar terletak dimeridian
horizontal. Astigmatisme lazim lebih sering ditemukan pada pasien
berusia muda dan astigmatisme tidak lazim sering pada orang tua.
b. Astigmatisma irreguler
Astigmatisma yang terjadi tidak memiliki 2 meridian saling
tegak lurus. Astigmat ireguler dapat terjadi akibat kelengkungan
kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan
menjadi ireguler. Pada keadaan ini daya atau orientasi meridian
utamanya berubah sepanjang bukaan pupil.
Astigmatisma ireguler bisa terjadi akibat infeksi kornea, trauma
dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan
4. Diagnosis Astigmat(4, 5, 7,11)
Untuk menegakkan diagnosis astigmat, dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan gejala melihat objek ganda dan objek tersebut tidak jelas
baik pada melihat dekat ataupun jauh, pandangan kabur, serta sering
disertai gejala-gejala astenopia (mata lelah), karena berusaha
memicingkan mata dan berakomodasi untuk melihat objek di depan
mata yang terus menerus sehingga kelelahan.
Selanjutnya, pada pemeriksaan visus, seperti pada kelainan
refraksi lainnya, dapat dilakukan trial and error sampai didapatkan
visus terbaik. Dengan menggunakan juring atau kipas astigmat, garis
berwarna hitam yang disusun radial dengan bentuk semisirkular
dengan dasar yang putih merupakan pemeriksaan subyektif untuk
menilai ada dan besarnya derajat astigmat.

30
Keadaan dari astigmatisma irregular pada kornea dapat dengan
mudah di temukan dengan melakukan observasi adanya distorsi
bayangan pada kornea. Cara ini dapat dilakukan dengan
menggunakan Placido’s Disc di depan mata. Bayangan yang terlihat
melalui lubang di tengah piringan akan tampak mengalami
perubahan bentuk.
Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea,
maka dengan mempergunakan keratometer, derajat astigmat dapat
diketahui, sehingga pada saat dikoreksi untuk mendapatkan tajam
penglihatan terbaik hanya dibutuhkan lensa sferis saja.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan astigmatisme tergantung pada jenisnya. Untuk
astigmat regular dapat diterapi dengan kacamata lensa sinlinder,
sedangkan untuk yang ireguler dibutuhkan operasi pada mata yang
mengalami gangguan.
a. Tatalaksana pada astigmat reguler(4, 5)
Tujuan koreksi pada jenis ini adalah membawa garis fokus
pada tiap meridian/axis menjadi satu titik fokus saja. Hal ini
membutuhkan lensa yang hanya bekerja pada satu meridian saja.
Lensa silinder dibutuhkan pada kasus ini. Ketika salah satu dari
dua titik fokus tadi sudah disatukan dalam satu titik, dibutuhkan
lensa sferis untuk membawa titik fokus ini ke retina jika
dibutuhkan (pada kasus compound dan mixed astigmat).
Pada astigmatism againts the rule, koreksi dengan silender
negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat)
atau dengan selinder positif dengan sumbu horizontal (30 – 150
derajat). Sedangkan pada astigmatism with the rule diperlukan
koreksi silinder negatif dengan sumbu horizontal (30-150
derajat) atau bila dikoreksi dengan silinder positif sumbu
vertikal (60-120 derajat).

31
b. Tatalaksana pada astigmat irregular(5)
Kasus ini tidak dapat ditatalaksanai dengan kacamata, untuk
astigmat yang eksternal akibat kelainan kurvatur kornea, dapat
diberikan kontak lensa rigid, keratoplasti, atau koreksi bedah.
Pada kasus astigmat ireguler yang kelainannya dari lensa
(internal) dapat dilakukan ekstraksi lensa dan implantasi lensa
buatan.

Gambar 27. (A) Astigmat tanpa koreksi (B) Astigmat sudah dikoreksi dengan lensa sferis (C)
Astigam sudah dikoreksi dengan lensa sferis dan silinder (10)

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Resnikoff S, et al. Global magnitude of visual impairment caused by


uncorrected refractive errors in 2004. USA: World Health Organization;
2004.
2. James B, Chew C, Bron A. Lecture Notes Oftalmologi Ed.9. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2006.
3. Maria A, et al. Primary Care Ophthalmology. Philadelphia: Mosbi Elsevier;
2005.
4. Khurana A. Comprehensive Ophthalmology 4th Ed. India: New Age
International; 2007.
5. Lang G K. Ophthalmology. A Pocket textbook Atlas 2nd Ed. New York:
Thieme; 2006.
6. Gregory I. Ostrow LK, CO. Myopia2014 [cited 2016 April, 28th]. Available
from: http://eyewiki.aao.org/Myopia#Diagnostic_procedures.
7. Riordan-Eva P, Whitcer J. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Ed. 17.
Jakarta: EGC; 2010.
8. Carpenter N, Grigorian AP. Hyperopia2015 [cited 2016 April 28th].
Available from: http://eyewiki.aao.org/Hyperopia.
9. David D. Astigmatism of the Eye. USA: Encyclopedia of Sciences; 2012
[cited 2016 April 28th]; Available from:
http://www.daviddarling.info/encyclopedia/A/astigmatism.html.
10. Anonym. Astigmatic Refractive Error. USA: Kinetic Website; 2011 [cited
2016 April 29th]; Available from:
http://www.antelopemalloptometry.com/learn-about-astigmatism-and-
astigmatic-refractive-error.php.
11. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi 2 Revisi Tahun 2014.

33

Anda mungkin juga menyukai