Kimia Fisika Ii Universitas Jambi PDF
Kimia Fisika Ii Universitas Jambi PDF
KIMIA FISIKA 2
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahaesa, karena berkat bimbingan,
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan buku paparan kuliah Kimia Fisika II.
Dasar penulisan buku paparan perkuliahan Kimia Fisika II ini adalah surat tugas Rektor
Universitas Negeri Semarang nomor 3095/J40/PP/2003 dan dibiayai oleh Pimpinan Proyek
Peningkatan Universitas Negeri Semarang dengan kontrak tanggal 12 September 2003 dengan
nomor 411/J40.19/KU/2003.
Sasaran yang dituju untuk menggunakan buku paparan kuliah Kimia Kimia II ini adalah
mahasiswa kimia dan mahasiswa pendidikan kimia semester IV FMIPA Universitas Negeri
Semarang.
Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor UNNES yang telah menugaskan kami untuk menulis buku paparan kuliah
Kimia Fisika II ini.
2. Bapak Pimpinan Proyek Peningkatan UNNES yang telah sudi membiayai penulisan
buku paparan kuliah ini.
3. Bapak Drs. Kasmui, M.Si yang telah membantu menyelesaikan penulisan buku paparan
kuliah ini.
Tiada gading yang tak retak, oleh sebab itu kami selalu menerima saran dan kritik untuk
menyempurnakan tulisan buku paparan kuliah ini. Semoga buku paparan kuliah ini dapat
bermanfaat untuk pengembangan kimia fisika.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
3
4.5 Sifat-sifat Koligatif ………………………………………………………… 29
4.6 Penurunan Titik Beku ……………………………………………………… 30
4.7 Kelarutan …………………………………………………………………… 32
4.8 Kenaikan Titik Didih ……………………………………………………… 32
4.9 Tekanan Osmotik …………………………………………………………… 33
Soal-soal ……………………………………………………………………
4
VIII KESETIMBANGAN SEL ELEKTROKIMIA ……………………………….. 79
5
9.1 Koloid ……………………………………………………………………….. 118
1
9.1 Zat aktif permukaan …………………………………………………………. 121
2
Soal-soal …………………………………………………………………….. 122
6
DAFTAR GAMBAR
Halaman
7
Gambar 8.3 Elektroda Feri–Fero …………………………………………………… 92
Gambar 8.4 Sirkuit Potensiometer …………………………………………………. 96
Gambar 8.5 Ketergantungan ‘ideal’ E pada m …………………………………….. 97
Gambar 8.6 Sel konsentrasi ………………………………………………………… 99
Gambar 8.7 Sel konsentrasi tanpa pemindahan ……………………………………. 100
Gambar 8.8 Sirkuit terbuka potensial sel ………………………………………….. 103
Gambar 8.9 Skema sel bahan bakar O2–H2 ………………………………………… 105
Gambar 9.1 Lapis tipis cairan ……………………………………………………… 108
Gambar 9.2 Alat DuNouy …………………………………………………………. 110
Gambar 9.3 Pengukuran tegangan permukaan metode tetes ………………………. 110
Gambar 9.4 Perpindahan antar muka ……………………………………………… 111
Gambar 9.5 Tekanan di bawah surface datar dan lengkung ………………………. 112
Gambar 9.6 Contact Angle ……………………………………………………….. 112
Gambar 9.7 Tegangan antarmuka ………………………………………………… 113
Gambar 9.8 Penyebaran cairan di atas padatan …………………………………… 114
Gambar 9.9 Konsentrasi sebagai fungsi posisi ……………………………………. 115
Gambar 9.10 Langmuir Isotherm …………………………………………………… 116
Gambar 9.11 Multilayer adsorpsion ………………………………………………… 117
Gambar 9.12 Lapisan rangkap pada dua partikel ………………………………….. 120
Gambar 9.13 Energi interaksi partikel koloid ………………………………………. 120
Gambar 9.14 Diagram skematik misel ……………………………………………… 121
8
DAFTAR TABEL
Halaman
9
BAB I
KESPONTANAN DAN KESETIMBANGAN
11
Hasil diferensiasinya
dH= dU + pdV + Vdp,
dA= dU ─TdS ─SdT,
dG= dU + pdV + Vdp ─ TdS ─SdT
Jika persamaan untuk dU dimasukkan maka diperoleh persamaan
dU = TdS ─ pdV (1.16)
dH= TdS + Vdp, (1.17)
dA= ─ pdV ─SdT, (1.18)
dG= dU + pdV + Vdp ─ TdS ─SdT (1.19)
Empat persamaan ini sering disebut empat persamaan termodinamika fundamental.
∂S
( ∂U
∂V )T
=T ( ∂V )
T
─p (1.20)
di mana, dari penulisan derivative, U dan S dianggap sebagai fungsi T dan V. Oleh karena itu
derivative parsial persamaan (1.20) adalah fungsi T dan V. Persamaan ini menghubungkan
tekanan itu]untuk fungsi T dan V; adalah suatu persamaan keadaan. Dengan menggunakan
harga─harga persamaan termodinamika dan penyusunan kembali, persamaan (1.20) menjadi
∂p
p=T ( ) ( )
∂T v
─
∂U
∂V T
(1.21)
yang barangkali suatu format lebih rapi untuk persamaan.
Dengan pembatasan persamaan dasar yang kedua, persamaan (1.20), ke temperatur tetap
dan pembagian oleh(∂p)T diperoleh
∂H ∂S
( )∂p T
=T ( )
∂p T
+V (1.22)
Dengan menggunakan persamaan (1.26) dan susun kembali persamaan ini menjadi
∂H
V= ( ) ( )
∂V
∂T p
+
∂p T
(1.23)
Merupakan suatu persamaan keadaan umum yang menyatakan volume itu sebagai fungsi
temperatur dan tekanan. Persamaan keadaan termodinamika ini dapat digunakan untuk unsur
apapun juga.
12
1.4.1 Applikasi persamaan keadaan termodinamika
∂H
Jika diketahui lebih dulu harga ( )
∂U
∂V T
atau ( ) ∂p T
untuk suatu zat, maka persamaan
keadaannya dapat cepat diketahui dari persamaan (1.21) atau (1.23). Biasanya kita tidak
mengetahui nilai-nilai dari derivative ini, maka kita menyusun persamaan (1.21) dalam format
∂p
( )
∂U
∂V T
=T ( ) ∂T v
─p (1.24)
Dari persamaan keadaan empirik, sisi kanan persamaan (1.24) dapat dievaluasi untuk
menghasilkan harga derivativ ( )
∂U
∂V T
. Sebagai contoh, untuk gas ideal, p = nRT/V, sehingga
∂p
( )
∂T v
= nR/V. Dengan menggunakan harga ini dalam persamaan (1.24), diperoleh ( )
∂U
∂V T
=
nRT/V ─ p = p─p= 0
∂p
Karena itu, ( )
∂T v
= α / κ , persamaan (1.24) sering ditulis dalam bentuk
α α . T −κ . p
( )
∂U
∂V T
=T
κ
─p=
κ
(1.25)
dan persamaan (1.23) dalam bentuk
∂H
( )
∂p T
= V (1- α T) (1.26)
Sekarang mungkin, menggunakan persamaan (1.25) dan (1.26) untuk menulis diferensial total
dari U dan H dalam suatu bentuk yang hanya mengandung besaran yang mudah diukur:
α . T −κ . p
dU = Cv − dT + dV (1.27)
κ
dH = CpdT + V (1- α T) dp (1.28)
Dengan menggunakan persamaan (1.26), dapat diperoleh ungkapan sederhana untuk Cp −
Cv.
[ ( )]
Cp − Cv = p+
∂U
∂V T
Vα
TV α 2
Cp − Cv = (1.29)
κ
Yang membolehkan evaluasi Cp − Cv dari besaran yang terukur untuk zat apapun. Karena T, V, κ
dan α2 harus semuanya positif, maka Cp selalu lebih besar daripada Cv.
Untuk koefisien Joule−Thomson,
∂H
Cp µ JT = − ( )∂p T
Dengan menggunakan persamaan (1.26) diperoleh untuk µ JT
Cp µ JT = V(α T − 1) (1.30)
Jadi jika diketahui harga Cp, V,dan α untuk suatu gas, maka µ JT dapat dihitung
1.5 Sifat A
Sifat energi Helmholts A diungkapkan dengan persamaan fundamental (1.18)
dA = − SdT − pdV
Persamaan ini memandang A sebagai suatu fungsi terhadap T dan V, diperoleh persamaan identik
13
dA = ( ∂∂TA ) dT + ( ∂∂VA )
v T
dV
Dengan membandingkan dua persamaan ini didapat
∂A
( )
∂T v
=-S (1.31)
∂A
( )
∂V T
=-p (1.32)
Karena entropi suatu zat berharga positif, persamaan (1.31) menunjukkan bahwa energi
Helmholtz suatu zat berkurang (tanda minus) dengan bertambahnya temperatur. Laju
berkurangnya lebih besar dari daripada besarnya entropi zat. Untuk gas, yang memiliki entropi
besar, laju berkurangnya A terhadap temperatur lebih besar daripada untuk zat cair dan padatan,
yang memiliki entropi kecil.
Demikian pula, tanda minus dalam persamaan (1.32) menunjukkan bahwa dengan
bertambahnya volume akan mengurangi energi Helmholtz; laju pengurangannya adalah lebih
besar daripada tekanan yang lebih tinggi.
1.6 Sifat G
Persamaan fundamental (1.19)
dG = − SdT + Vdp
memandang energi Gibbs sebagai suatu fungsi temperatur dan tekanan; ungkapan yang sama
dG = ( )
∂G
∂T p
dT +
∂G
( )
∂p T
dp (1.33)
dengan membandingkan dua persamaan ini diperoleh
∂G
( )
∂T p
=−S (1.34)
dan
∂G
( )
∂p T
=V (1.35)
karena pentingnya energi Gibbs persamaan (1.34) dan (1.35) mengandung 2 hal penting dalam
termodinamika. Karena entropi suatu zat positif, tanda minus dalam persamaan (1.34)
menunjukkan bahwa meningkatnya temperatur akan mengurangi energi Gibbs jika tekanan
konstan. Laju berkurangnya lebih besar untuk gas, yang mana memiliki entropi besar, daripada
untuk cairan atau padatan, yang memiliki entropi kecil. Karena V selalu positif, peningkatan
14
tekanan akan meningkatkan energi Gibbs pd temperatur konstan, seperti ditunjukkan oleh
persamaan (1.35). Semakin membesar Volume sistem yang lebih besar akan meningkatkan
energi gibbs untuk tekanan yang ditentukan. Volume [yang] besar suatu gas menyiratkan bahwa
energi Gibbs suatu gas meningkat jauh lebih cepat dengan tekanan dibanding untuk suatu cairan
atau suatu padatan.
Energi Gibbs suatu material murni sebaiknya diungkapkan dengan mengintegrasikan
persamaan (1.35) pada temperatur konstan dari tekanan standar, po = 1 atm, ke suatu tekanan p :
p p p
∫p o dG = ∫p o Vdp , G− G o = ∫p o Vdp ,
p
G = G o(T) + ∫p o Vdp (1.36)
o
Dimana G (T) adalah energi Gibbs suatu zat pada tekanan 1 atm Energi Gibbs standar yang
merupakan fungsi temperatur.
Jika zat adalah cairan atau padatan, volume hampir tidak terikat pada tekanan dan dapat
dihilangkan dari tanda integral, maka
G(T,p)= G o(T) + V (p − po) (cairan dan padatan) (1.37)
Karena volume cairan dan padatan kecil, kecuali jika tekanan adalah sangat besar, term
yang kedua pada sisi kanan persamaan (1.36) kecil dapat diabaikan; biasanya untuk fase yang
dipadatkan akan ditulis
G = G o(T) (1.38)
dan mengabaikan ketergantungan G dari tekanan.
Volume gas itu sangat besar dibanding cairan atau padatan dan sangat tergantung pada
tekanan, dengan menerapkan persamaan (1.36) untuk gas ideal, didapat
o
p nRT p . atm
G = G o(T) + ∫ p o
p
dp , G = G (T ) + RT ln
n n 1 . atm ( )
Suatu hal biasa untuk menggunakan lambang khusus, µ, untuk energi Gibbs per mol;
didefinisikan
G
µ= (1.39)
n
Jadi untuk energi Gibbs molar gas ideal, diperoleh
µ = µ o (T) + RT ln p (1.40)
simbol p dalam persamaan (1.40) menunjukkan jumlah murni, jumlah yang kemudian dikalikan
dengan 1 atm menghasilkan harga tekanan dalam atmosfir.
Istilah logaritmis dalam persamaan (1.40) adalah sangat besar dalam kebanyakan keadaan
dan tidak bisa diabaikan. Dari persamaan ini jelas bahw pada temperatur spesifik, tekanan
menggambarkan energi Gibbs gas ideal; semakin tinggi tekanan maka semakin besar energi
Gibbs (gambar 1.1).
Suatu hal berharga untuk ditekankan bahwa jika kita mengetahui format yang fungsional
dari G(T,p), maka dapat diperoleh keseluruhan fungsi termodinamika dengan diferensiasi,
menggunakan persamaan (1.34) dan (1.35), dan mengkombinasikan dengan definisi
µ –µ o
15
Gambar 1.1 Energi Gibbs gas ideal sebagai fungsi tekanan
Diasumsikan p → 0. Sifat suatu gas real mendekati harga idealnya selagi tekanan gas mendekati
*
µ = µ o (T) + RT ln f. Dengan menggunakan harga ini untuk µ dan µid, persamaan (1.42) menjadi
p
RT (ln f − ln p) = ∫ p o (V −V id ) dp
1 p
Ln f = ln p +
RT ∫ po
( V −V id ) dp (1.43)
Integral dalam persamaan (1.43) dapat dievaluasi secara grafik; dengan mengetahui V
sebagai suatu fungsi tekanan, maka ploting besaran (V − Vid)/RT sebagai suatu fungsi tekanan.
Daerah di bawah kurva dari p = 0 sampai p adalah harga kedua sisi kanan persamaan (1.43).
Atau jika V dapat diekspresikan sebagai suatu fungsi tekanan dengan suatu persamaan keadaan,
integral dapat dievaluasi secara analitik, karena Vid = RT/p. Integral dapat diekspresikan dengan
baik dalam ungkapan faktor kompresibilitas Z, dengan definisi V = ZVid. Dengan menggunakan
harga ini untuk V dan Vid = RT/p, dalam integral persamaan (1.43), maka menjadi
p ( Z −1 )
Ln f = ln p + ∫ p o dp (1.44)
p
Integral dalam persamaan (1.44) dievaluasi secara grafik dengan ploting (Z−1)/p terhadap p dan
mengukur daerah di bawah kurva. Untuk gas di bawah temperatur Boyle, Z−1 adalah negatif
16
pada tekanan cukupan, dan fugasitas, persamaan (1.44) akan lebih kecil dibanding tekanan.
Untuk gas di atas temperatur Boyle, fugasitas adalah lebih besar dibanding tekanan.
( )
∂G
∂T p
=−S (1.45)
Dari definisi G = H− TS, diperoleh − S = (G−H)/T, dan persamaan (1.38) menjadi
G− H
( )
∂G
∂T p
=
T
(1.46)
Dengan aturan diferensiasi biasa, dapat dilihat bagaimana fungsi G/T tergantung pada
temperatur
1 ∂G 1
( ∂(G /T )
∂T p
) =
T ∂T p ( )− 2 G
T
Menggunakan persamaan (1.45) persamaan ini menjadi
TS+G
( ∂(G /T )
∂T )
p
=−
T2
kemudian
H
(
∂(G /T )
∂T p
)
=− 2
T
(1.47)
(∂(G /T )
∂(1/T ) p )
=H (1.48)
SOAL–SOAL:
1. Terangkan makna istilah ‘spontaneous’ dalam termodinamika
2. Pada 25o C hitung harga ∆A untuk ekspansi isotermal satu mol gas ideal dari 10 liter
menjadi 40 liter !
3. Dengan diferensial eksak:
∂U
dU =C v dT + ( )∂V T
dV ,
tunjukkan bahwa jika (∂U/∂V)T adalah hanya fungsi volume, maka Cv adalah hanya fungsi
temperatur
4. Diketahui bahwa dS= (Cp/T)dT – Vα dp, tunjukkan bahwa
a) (∂S/∂p)v = κCv/Tα
b) (∂S/∂p)p =Cp/TVα
5. Dengan menggunakan persamaan diferensial dan definisi fungsi, tentukan bentuk fungsional
untuk S, V, H, U untuk
a) gas ideal, dimana µ = µo(T) + RT ln p
b) van der Walls, diberikan µ = µo(T) + RT ln p + (b – a/RT)p
17
BAB II
SISTEM KOMPOSISI VARIABEL
KESETIMBANGAN KIMIA
dimana ni pada derivatif parsial berarti semua jumlah mol konstan dalam diferensiasi dan nj pada
derivatif parsial berarti semua jumlah mol kecuali satu dalam derivatif adalah konstan dalam
diferensiasi.
Jika suatu sistem tidak mengalami suatu perubahan komposisi, maka
dn1 = 0, dn2 = 0,
sehingga
dG = ( )
∂G
∂ T p , ni
dT + ( )
∂G
∂ p T , ni
(2.3)
Pembandingan persamaan (2.3) dan (2.1) menunjukkan
∂G
∂G
( )
∂ T p , ni
= −S dan
∂p T ,ni
=V (2.4a,b)
Untuk penyederhanaan,
∂G
µi = ∂ n ( )
i T , p , nj
(2.5)
dengan melihat persamaan (2.4) dan (2.5), diferensial total G dalam persamaan (2.2) menjadi
dG = −SdT + Vdp + µ1 dn1 + µ 2 dn2 + … (2.6)
Persamaan (2.6)menghubungkan perubahan energi Gibbs dengan perubahan temperatur, tekanan,
dan jumlah mol. Biasanya ditulis
dG = −SdT + Vdp + ∑ µ i dni (2.7)
i
18
2.2 Energi Bebas Campuran
Jika campuran mengandung n1, n2, …, mol, maka µ1, µ 2 ,… adalah potensial kimia dari
komponen 1, 2, … energi bebas campuran pada temperatur dan tekanan konstan adalah
G = n1 µ1 + n2 µ 2 + … (2.8)
= ∑ ni µ i
i
Dengan bantuan persamaan (2.7) dan (2.8), energi bebas dari campuran dpt diturunksn
sebagai
∆Gcamp = nRT ∑ ln xi (2.9)
i
dimana n adalah jumlah mol total, xi adalah fraksi mol komponen. Penjumlahan adalah pada
seluruh jumlah total komponen.
Karena persamaan (2.9) memberikan harga energi bebas dari campuran gas ideal yang
negatif, jelaslah bahwa proses pencampuran ini adalah spontan.
Dengan penggabungan persamaan fungsi termodinamika, panas pencampuran gas ideal
dapat dihitung
∆Gcamp = ∆Hcamp − T ∆Scamp
yaitu
∆H camp = nRT ∑ xi ln xi + (T)(−NR ∑ xi ln xi )
i i
=0
Dalam hal yang sama terlihat juga bahwa perubahan volume dalam pencampuran gas
ideal juga adalah nol, yaitu
∆V = (
∂G camp
∂ p T , xi)=0
19
Pada temperatur dan tekanan konstan adalah
produk reak tan
∆G = ∑ ni μi − ∑ njμj (2.13)
i j
Pada kesetimbangan, ∆G = 0 sehingga persamaan di atas disederhanakan menjadi
produk reak tan
∑ ni μi − ∑ njμj = 0
i j
20
∑ νiµ oi = ∆G o (2.20a)
i
Perubahan energi Gibbs standar , dan νi ln pi = ln piνi, sehingga persamaan menjadi
∆G = ∆G o + RT ∑ ln piνi (2.20b)
i
Tetapi ini merupakan logaritma produk sehingga
ln p1ν1 + ln p2ν2 + … = ln(p1ν1 p2ν2….)
kemudian
∏ p v i = p1ν1 p2ν2….
i i
Disebut sebagai hasil bagi tekanan yang sesuai, Qp
Qp = ∏i p iv i (2.21)
catatan bahwa karena vi untuk komponen reaktan adalah negatif, kita mempunyai reaksi yang
dimasalahkan
ν1 = − α, ν2 = − β, ν3 = γ, ν4 = δ
dan
Qp = pA−α pB− β pC− γ pD− δ (2.22)
Sehingga Kp dapat ditulis
Kp = ∏ ( p i ) v i (2.23)
i e
Persamaan (2. 18) menjadi
∆G o = − RT ln Kp (2.24)
dT
o
d ( ΔG /T ) ∑
= i νi ( ) d
T (2.33)
dT
dimana µoi adalah energi Gibbs standar zat murni. Dengan menggunakan harga molar persamaan
Gibbs−Helmholtz persamaan (1.47)
μ oi
( )
d
T = − Hi /T
o 2
dT
sehingga
o o
d ( ΔG /T ) 1 ΔH
=− 2 ∑ ν i Hi = −
o
(2.34)
dT T i T2
karena penjumlahan adalah entalpi standar meningkat untuk reaksi, ΔH o . Persamaan (2. 34)
mengurangi persamaan (2. 33) menjadi
d ln K p ΔH o d log 10 K p ΔH o
= atau = (2.35)
dT RT 2 dT 2, 303 RT 2
persamaan ini disebut juga persamaan Gibbs−Helmholtz . Jika diekspresikan untuk ploting
grafik
ΔH o dT ΔH o 1
d ln Kp =
R T 2 = − ( )
R
d
T
d ln K p ΔH o d log 10 K p ΔH o
=− , =− (2.36)
d (1 /T ) R d (1 /T ) 2, 303 R
persamaan (2. 36) ini menunjukkan bahwa suatu plot/alur ln Kp terhadap 1/T memiliki slope
ΔH o
sebesar . Karena ΔH o hampr konstan, paling tidak di atas atas cakupan temperatur
R
menengah, alur sering linier.
Konstanta kesetimbangan dapat ditulis sebagai suatu fungsi eksplisit temperatur dengan
integrasi persamaan (2.36). Misalkan pada suatu temperatur To, harga konstanta kesetimbangan
adalah Kp, dan pada suatu temperatur T:
o
∫ln ( Kp p )o d (ln K p ) = ∫T o ΔH
ln K T
dT
RT 2
22
o
T ΔH
ln Kp − ln (Kp)o = ∫T dT
o RT 2
T ΔH o
ln Kp = ln (Kp)o + ∫T dT (2.37)
o RT 2
Jika ΔH o konstan, maka dengan integrasi didapat
o 1 1
ln Kp = ln (Kp)o −
ΔH
R ( −
T To ) (2.38)
dimana ΔH o sub adalah panas sublimasi padatan. Suatu plot ln p terhadap 1/T memiliki suatu
ΔH o
slope sebesar dan mendekati linier.
R
23
SOAL–SOAL:
1. Apa pentingnya potensial kimia ? Apa interpretasinya ?
2. Apa perbedaan antara Kp dan Qp untuk reaksi fase gas ?
3. Energi Gibbs standar konvensional ammonia pada 25 o C adalah –16,5 kJ/mol. Hitung
harga energi Gibbs molar pada ½ , 2, 10, dan 100 atm
4. Perhatikan kesetimbangan berikut pada 25o C:
PCl5(g) PCl3(g) + Cl2(g)
a) Hitung ∆G dan ∆Ho pada 25o C
o
24
BAB III
KESETIMBANGAN FASE DALAM SISTEM SEDERHANA
(ATURAN FASE)
pada suatu temperatur Sgas >> Sliq >> Ssolid. Entropi padatan adalah kecil sehingga gambar 3.1
kurva µ terhadap T untuk padatan, kurva S, memiliki slope negatif lurus. Kurva µ terhadap T
untuk cairan memiliki suatu slope yang mana lurus lebih negatif daripada untuk padatan, kurva
L. Entropi gas adalah sangat lebih besar daripada cairan, sehingga slope kurva G lurus ke bawah.
Tetapi penghalusan ini tidak berpengaruh pada argumen
Kondisi termodinamika untuk kesetimbangan antar fase pada tekanan konstan muncul
dalam gambar 3.1. Padat dan cair koeksis dalam kesetimbangan ketika µ solid = µ liquid; yaitu pada
titik interseksi kurva S dan L. Temperatur yang sesuai adalah Tm, titik leleh. Begitu pulaliquid
dan gas koeksis dalam kesetimbangan pada temperatur Tb, titik interseksi kurva L dan G dimana
µ liquid = µ gas
Sumbu temperatur dibagi menjadi 3 interval, di bawah Tm padatan memiliki potensial
kimia terendah. Antara Tm dan Tb zat cair memiliki potensial kimia terendah. Di atas Tb gas
memiliki potensial kimia terendah. Fase dengan harga potensial kimia terendah adalah fase
stabil. Jika liquid ada dalam sistem pada temperatur di bawah Tm, gambar 3.2, potensial kimia
zat cair memiliki harga µa sedangkan zat padat memiliki harga µb, jadi zat cair dapat membeku
25
secara spontan pada temperatur ini, karena membeku mengurangi energi Gibbs. Pada temperatur
di atas tn situasi akan berbalik. Harga µ zat padat lebih besar daripada µ zat cairdan zat padat
meleleh secara spontan untuk mengurangi energi Gibbs sistem. Pada Tm potensial kimia zat padat
dan zat cair sama, keduanya koeksis dalam kesetimbangan. Situasi sama mendekati Tb. Hanya di
bawah Tb zat cair stabil, sedangkan di atas Tb gas stabil.
Diagram mengilustrasikan sekuen fase yang terkenal terobservasi jika zat padat
dipanaskan di bawah tekanan konstan. Pada temperatur rendah sistem sepenuhnya zat padat.
Pada temperatur definit Tm zat cair terbentuk; zat cair stabil sampai menguap pada temperatur Tb.
Sekuen fase ini adalah konsekuen sekuen harga entropi, dan juga adalah konsekuensi cepat dari
fakta bahwa panas diserap dalam transformasi dari zat padat ke zat cair dan zat cair ke gas.
Gambar 3.1 µ versus T pada tekanan tetap gambar 3.2 µ versus T pada tekanan tetap
26
Tekanan (dalam atm) di bawah sublimasi teramati dapat diestimasikan untuk zat dengan
mengikuti aturan Trouton dengan rumus
Ln p = −10 . 8 ( Tb−Tm
Tm )
(3.4)
(a) (b)
Gambar 3.3 Efek tekanan pada titik didih dan leleh
27
dengan menggunakan persamaan (3. 10) dalam persamaan (3.19) didapat
− Sα dT + Vα dp = − Sβ dT + Vβ dp
(Sβ − Sα) dT = (Vβ − Vα) dp (3.11)
ika transformasi ditulis α → β , maka ∆S = Sβ − Sα dan ∆V = Vβ − Vα dan persamaan (3. 11)
menjadi
dT ΔV dp ΔS
= atau = (3.12)
dp ΔS dT ΔV
Persamaan (3.12) disebut persamaan Clapeyron
(a) (b)
Gambar 3.5 Garis kesetimbangan (a) padat–cair, (b) cair–uap
28
3.4.2 Kesetimbangan zat cair − gas
Aplikasi persamaan Clapeyron dalam transformasi zat cair → gas menghasilkan
∆S = S gas − S liq = ∆H /T adalah + (semua zat)
∆V = V gas − V liq adalah + (semua zat)
akibatnya
dp / dT = ∆S / ∆V adalah + (semua zat)
grs kesetimbangan zat cair − gas selalu memiliki slope positif. Pada harga T dan p biasa besarnya
adalah
∆S ≈ + 90 J/K mol ∆V ≈ + 20000 cm3 = 0,02 m3
tetapi ∆V dangat tergantung pada T dan p sebab Vgas sangat tergantung pada T dan p. Slope kurva
zat cair − gas adalah kecil dibanding dengan kurva zat padat − zat cair.
(dp /dT )liq,gas ≈ 90 J/K mol/0,02 m3/mol = 4000 Pa/K = 0,04 atm/K
Gambar 3.5(b) menunjukkan kurva l-g dan kurva s-l. Dalam gambar 3.5(b), kurva l-g adalah
lokus semua titik (T, p) dimana zat cair dan gas koeksis dalam kesetimbangan. Hanya titik
sebelah kiri kurva l-g di bawah titik didih dan merupakan kondisi dimana zat cair stabil. Titik
sebelah kanan l-g adalah kondisi dimana gas stabil.
Interseksi kurva s-l dan l-g bersesuaian dengan temperatur dan tekanan dimana zat padat,
zat cair, dan gas seluruhnya koeksis dalam kesetimbangan. Harga T dan p pada titik ditentukan
dengan kondisi
µ solid (T, p) = µ liq (T, p) dan µ liq (T, p) = µ gas (T, p) (3.13)
persamaan (3.13 ) dapat dipecahkan untuk harga numerik T dan p definit, yaitu
T = Tt p = pt (3.14)
dimana T t dan p t adalah temperatur dan tekanan titik tripel. Hanya ada satu titik tripel untuk satu
set spesifik tiga fase ( contoh zat padat − zat cair − gas) dapat koeksis dalam kesetimbangan.
29
Gambar 3.6 Diagram fase untuk zat sederhana.
30
Gambar 3.7 Diagram Fase Karbondioksida Gambar 3.8 Diagram Fase Air
31
dp ΔS ΔH
= = T V −V
dT ΔV ( g c)
dimana ∆H adalah panas penguapan molar zat cair atau panas sublimasi molar padatan, dan Vc
adalah volume molar zat padat atau zat cair. Kebanyakan Vg – Vc ≈ Vg, dan diasumsikan sebagai
gas ideal, sama dengan RT/p. Maka persamaan menjadi
d ln p ΔH
= 2 (3.17)
dT RT
yang merupakan persamaan Clausius–Clapeyron, menghubungkan tekanan uap zat cair (zat
padat) dengan panas penguapan (sublimasi) dan temperatur. Integrasi di bawah asumsi bahwa
∆H tidak tergantung temperatur menghasilkan
p T ΔH
∫po d ln p = ∫To RT 2 dT
p ΔH 1 1 ΔH ΔH
ln
po
= − (R T To
−) = −
RT
+
RTo
(3.18)
dimana po adalah tekanan uap pada To, dan p adalah tekanan uap pada T. Jika po = 1 atm, maka
To adalah titik didih normal zat cair (titik sublimasi normal zat padat). Maka
ΔH ΔH ΔH ΔH
ln p = RT − RT , log p = 2, 303. RT − 2, 303. RT (3.19)
o o
menurut persamaan ini jika ln p atau log p dialurkan terhadap 1/T, diperoleh kurva linier dengan
slope = –∆ H/2,303R. Intersep pada 1/T = 0 menghasilkan harga ∆H/Rto. Jadi dari slope dan
intersep ∆H dan To dapat dihitung. Panas penguapan dan sublimasi sering ditentukan melalui
pengukuran tekanan uap zat sebagai suatu fungsi temperatur. Gambar 3.11 menunjukkan suatu
aluran log p terhadap 1/T untuk air. Gambar 3.11 sama juga untuk padatan CO2 (es kering).
32
∂ μ vap ∂ μliq
( ∂ p T ∂P T ) ( ) ( )
∂p
=
∂P T
dengan menggunakan persamaan fundamental didapat
∂p ∂p V liq
( )
V vap
∂P T
= V liq atau ( )
∂P T
=
V vap
(3.21)
Persamaan Gibbs ini menunjukkan bahwa tekanan uap meningkat terhadap tekanan total pada
zat cair; laju kenaikan sangat kecil karena Vliq sangat kurang dibanding Vvap. Jika uap bersifat gas
ideal, maka persamaan ini dapat ditulis sebagai berikut
RT p dp P
dp = Vliq dP, RT ∫ po = Vliq ∫Po dP
p p
dimana p adalah tekanan uap pada tekanan P, po adalah tekanan uap ketika zat cair dan uap di
bawah tekanan yang sama, po, tekanan ortobarik. Jadi
p
RT ln
po( )= Vliq (P – po) (3.22)
Gambar 3. 12
33
Tabel 3.2
Jenis Variabel Jumlah total variabel
Temperatur dan Tekanan 2
Variabel Komponen (dalam setiap fase, fraksi mol setiap PC
komponen harus dispesifikasi; jadi, C fraksi mol
dibutuhkan untuk menggambarkan satu fase; PC
dibutuhkan untuk menggambarkan P fase)
Jumlah total variabel PC + 2
Jumlah variabel bebas, F, diperoleh dengan mengurangkan jumlah total persamaan dari
jumlah total variabel:
F = PC + 2 – P – C (P – 1),
F=C–P+2
Jika sistem satu komponen, C = 1, sehingga F = 3 – P. Persamaan ini adalah aturan fase J.
Willard Gibbs.
SOAL–SOAL:
1. Ilustrasikan dengan grafik µ versus T kenyataan bahwa ∆Sfus dan ∆Ssub dijamin selalu
positif dimana fase padat paling stabil pada temperatur rendah
2. Tekanan uap bromium cair pada 9,3o C adalah 100 atm. Jika panas penguapan adalah
30910 J/mol, hitung titik didih bromium
3. Naftalena, C10H8, meleleh pada 80o C. Jika tekanan uap zat cair adalah 10 atm pada
85,8 C dan 40 atm pada 119,3o C, dan untuk zat padat adalah 1 atm, hitung
o
34
BAB IV
LARUTAN
(LARUTAN IDEAL DAN SIFAT KOLOGATIF)
Tabel 4.1
35
Gambar 4.1 Tekanan uap sebagai fungsi x2 Gambar 4.2 Hukum Raoult untuk pelarut
Karena zat terlarut involatil, maka uap mengandung pelarut murni. Selama zat involatil
ditambah, tekanan dalam fase tekanan akan berkurang. Alur skematik tekanan uap pelarut
terhadap fraksi mol zat terlarut involatil dalam larutan, x2, ditunjukkan dengan garis pada gambar
4.2. Pada x2 = 0, p = po; selama x2 meningkat, maka p berkurang. Ciri penting gambar 4.1 adalah
bahwa tekanan uap larutan encer (x2 mendekati nol), mendekati garis putus−putus yang
menghubungkan po dan nol. Tergantung pada kombinasi pelarut dan zat terlarut tertentu, kurva
tekanan ua− eksperimen pada konsentrasi zat terlarut lebih itnggi dapat terletak di bawah garis
putus−putus, seperti gambar 4.1, atau di atasnya, bahkan tepat terletak pada garis. Tetapi untuk
semua larutan kurva eksperimen adalah tangen dari garis putus−putus pada x2 = 0, dan sangat
mendekati garis putus−putus selagi larutan menjadi semakin encer. Persamaan garis ideal (garis
putus−putus) adalah
p = po − po x2 = po (1−x2)
Jika x adalah fraksi mol pelarut dalam larutan, maka x + x2 = 1, dan persamaan menjadi
p = x po (4.1)
yang merupakan hukum Raoult. Hukum ini menyatakan bahwa tekanan uap pelarut di atas suatu
larutan adalah sama dengan tekanan uap pelarut murni dikalikan dengan fraksi mol pelarut dalam
larutan.
Dari persamaan (4.1), penurunan tekanan uap, po − p dapat dihitung
po − p = po − x po = (1−x)po
po − p = x2 po (4.2)
Tekanan uap merendah proporsional terhadap fraksi mol zat terlarut. Jika ada beberapa zat
terlarut, maka tetap berlaku p = x po ; tetapi dalam kasus, 1−x = x2 + x3 + … dan
po − p = (x2 + x3 +…)po (4.3)
Dalam suatu larutan yang mengandung beberapa zat terlarut involatil, tekanan uap merendah
tergantung pada jumlah fraksi mol berbagai zat terlarut. Tidak tergantung pada jenis zat terlarut,
kecuali involatil. Tekanan uap hanya tergantung pada jumlah relatif molekul zat terlarut.
Dalam campuran gas, rasio tekanan parsial uap air terhadap tekanan uap air murni pada
temperatur yang sama disebut kelembaban relatif. Jika dikalikan 100 disebut persen kelembaban
relatif. Jadi
p p
RH = o dan %RH = o (100)
p p
36
dimana µliq adalah potensial kimia pelarut dalam fase cair, µvap potensial kimia pelarut dalam uap.
Karena uap adalah pelarut murni di bawah tekanan p, ungkapan untuk µvap diberikan oleh
persamaan (1.47), diasumsikan bahwa uap adalah gas ideal µvap = µvap + RT ln p . Maka
persamaan (4.4 ) menjadi
µliq = µo vap + RT ln p
Dengan menggunakan hukum Raoult, p = x po , diperoleh
µliq = µo vap + RT ln po + RT ln x
Jika pelarut murni dalam kesetimbangan dengan uap, tekanan menjadi po; kondisi kesetimbangan
adalah
µo liq = µo vap + RT ln po
dimana µ liq adalah potensial kimia pelarut zat zair murni. Kemudian
o
µliq − µo liq = RT ln x
sehingga dapat ditulis
µ = µo + RT ln x (4.5)
4.4 Potensial Kimia Zat Terlarut dalam Larutan Ideal Biner: Aplikasi Persamaan
Gibbs−Duhem
Persamaan Gibbs−Duhem dapat digunakan untuk menghitung potensial kimia zat terlarut
dari pelarut sistem ideal biner. Persamaan Gibbs−Duhem persamaan (2.96) untuk sistem biner
(T, p konstan )adalah
ndµ + n2 dµ2 = 0 (4.6)
37
murni. Jika diasumsikan bahwa zat padat hanya mengandung pelarut, maka kurva untuk zat
padat tidak berubah. Tetapi karena zat zair mengandung zat terlarut, maka µ pelarut menurun
pada setiap temperatur sebesar −RT ln x. Kurva putus−putus dalam gambar 4.4(a) adalah kurva
untuk pelarut dalam larutan ideal. Gambar menunjukkan secara langsung bahwa titik interseksi
dengan kurva untuk zat padat gas telah bergeser. Titik interseksi baru adalah titik beku, Tf’, dan
titik didih Tb’, larutan. Tampak bahwa titik didih larutan lebih tinggi daripada pelarut murni
(kenaikan titik didih), sedangkan titik beku larutan adalah menurun (penurunan titik beku). Dari
gambar tampak jelas bahwa perubahan titik beku adalah lebih besar daripada perubahan titik
didih untuk larutan dalam konsentrasi yang sama.
Penurunan titik beku dan kenaikan titik didih dapat digambarkan pada diagram fase
pelarut biasa , ditunjukkan dengan kurva gambar 4.4(b). Jika zat involatil ditambahkan ke
pelarut cair, maka tekanan uap menurun pada larutan ditunjukkan oleh garis titik−titik. Garis
putus-putus menunjukkan titik beku baru sebagai fungsi temperatur. Pada tekanan 1 atm, titik
beku dan titik didih diberikan oleh interseksi garis padat dan putus-putus dengan garis datar pada
tekanan 1 atm. Diagram ini juga menunjukkan bahwa konsentrasi zat terlarut yang diberikan
menghasilkan efek lebih banyak kepada titik beku daripada kepada titik didih.
(a) (b)
Gambar 4.3 Sifat koligatif
Titik beku dan titik didih larutan tergantung pada kesetimbangan pelarut dalam larutan
dengan pelarut padatan murni atau uap pelarut murni. Keseimbangan lain yang mungkin adalah
antara pelarut dalam larutan dan pelarut cairan murni. Kesetimbangan ini dapat diperoleh dengan
menaikkan tekanan pada larutan secukupnya untuk menaikkan µ pelarut dalam larutan ke harga
µ pelarut murni. Tekanan tambahan pada larutan yang dibutuhkan untuk memperoleh kesamaan
µ pelarut dalam larutan dan pelarut murni disebut Tekanan Osmotik larutan
38
μ o (T , p )− μ solid (T , p)
ln x = − (4.11)
RT
karena µo adalah potensial kimia zat zair murni, maka µo (T,p ) − µsolid (T, p) = ∆Gfus, dimana
∆Gfus adalah energi Gibbs molar peleburan dari pelarut murni pada temperatur T. Persamaan (4.
11) menjadi
ΔG fus
ln x = − (4.12)
RT
Untuk menemukan bagaimana T tergantung pada x, evaluasi (∂T/∂x )p . Hasil diferensiasi
1
x
=- − [ 1 ∂( ΔG fus /T )
R ∂T ]( ) p
∂T
∂x p
Dengan menggunakan persamaan Gibbs−Helmholtz, persamaan (1.54),
H
( ∂T)
∂(G /T )
p
=− 2
T
diperoleh
1 ΔH fus ∂T
x
= ( )
RT 2 ∂x p
(4.13)
jika diintegralkan
T ΔH
∫1 dxx = ∫T o fus2 dT
x
(4.14)
RT
ΔH fus 1 1
ln x = − (R ) −
T To (4.15)
1 1 R ln x
= T − ΔH (4.16)
T o fus
yang menghubungkan titik beku larutan ideal dengan titik beku pelarut murni, To, panas
peleburan pelarut, dan fraksi mol pelarut dalam larutan, x.
Hubungan antara titik beku dan komposisi suatu larutan dapat sangat disederhanakan
jika larutan encer. Fraksi mol pelarut diberikan sebagai berikut
n n
x = n+n +n =
2 3 n+nM ( m 2 +m3 +. .. )
1
x= (4.17)
1+Mm
dengan logaritma dan diferensiasi didapat ln x = − ln(1+Mm), dan
M . dm
d ln x = − (4.18)
1+Mm
persamaan (4. 4) dapat ditulis
RT 2
dT = d ln x
ΔH fus
penggantian d ln x dengan harga dalam persamaan (4.18) didapat
MRT 2 dm
dT = (4.19)
ΔH fus (1+ Mm)
Jika larutan sangat encer dalam keseluruhan zat terlarut, maka m mendekati nol dan T mendekati
T0, dan persamaan (4. 19) menjadi
∂T MRT 2
( )
−
∂ m p , m=0
=
ΔH fus
0
= Kf (4.20)
39
subskrip, m = 0 menandai harga batas derivativ, dan Kf adalah konstan penurunan titik beku.
Penurunan titik beku θf = To−T, dθf = −dT, sehingga untuk larutan encer didapat
∂T
( ) ∂ m p , m=0
= Kf (4.21)
jika m kecil maka
θf = Kf m (4.22)
Konstanta Kf hanya tergantung pada sifat pelarut murni.
Jiks w2 kg zat terlarut tidak diketahui dengan massa molar M2 dilarutkan dalam w kg
pelarut, maka molalitas zat terlarut adalah m = w2/wM2. Sehingga untuk M2:
K f w2
M2 =
θf w
Dari persamaan (4. 20) dengan menggantikan ∆H= To∆ Sfus, diperoleh
RMT o
Kf = (4.23)
ΔS fus
4.7 Kelarutan
Dalam kondisi kesetimbangan harga µ zat terlarut harus sama dimana saja yaitu
µ 2(T,p, x2) = µ solid (T, p) (4.24)
dimana x2 adalah fraksi mol zat terlarut dalam larutan jenuh, karena itu kelarutan zat terlarut
diungkapkan sebagai fraksi mol. Jika Jika larutan ideal, maka
µ2 o (T, p) + RT ln x2 = µ2 solid (T, p)
dimana µ2 (T, p) adalah potensial kimia zat terlarut cairan murni.
o
∆Hfus adalah panas peleburan zat terlarut murni, To titik beku zat terlarut murni. Dengan
menggunakan ∆ Hfus = To∆ Sfus dalam persamaan (4. 25) diperoleh
ΔS fus T
ln x2 = −
R (
1− o
T ) (4.26)
40
ΔH vap 1 1 1 R ln x
ln x2 =
R ( −
T To ) atau
1
T
= +
T o ΔH vap (4.29)
Titik didih T larutan diungkapkan dalam terminologi panas penguapan dan titik didih pelarut
murni, ∆Hvap dan To, dan fraksi mol x pelarut dalam larutan. Jika larutan encer dalam semua zat
terlarut, maka m mendekati nol dan T mendekati To. Konstanta kenaikan titik didih didefinisikan
dengan
∂T MRT 2
Kb= ( )
∂ m p , m=0
=
ΔH vap
0
(4.30)
Kenaikan titik didih, θ b = T − To, sehingga dθ b = dT. Selama m adalah kecil, persamaan (4. 30)
terintegrasi menjadi
θ b = Kb m (4.31)
Kenaikan titik didih digunakan untuk menentukan berat molekular zat terlarut dalam cara yang
sma sebagaimana penurunan titik beku. Dalam persamaan (4. 30) jika ∆Hvap diganti dengan To∆
Svap maka
RMT o
Kb =
ΔS vap
Tetapi banyak zat zair mengikut aturan Trouton : ∆ S ≈ 90 J/K mol. Karena R = 8,3 J/K mol,
maka perkiraan Kb ≈ 10−1 MTo.
p+π o
µo(T, p+π ) − µ o (T, p) = ∫p V dp (4.34)
Persamaan (4. 33) menjadi
p+π
∫p V o dp + RT ln x = 0 (4.35)
Dalam persamaan (4. 35) V o adalah volume molar pelarut murni. Jika pelarut tidak dapat
ditekan, maka V o bebas dari tekanan dan dapat dibuang dari integral. Maka
41
V o π + RT ln x = 0 (4.36)
Untuk konsentrasi zat terlarut, ln x = ln (1−x2). Jika larutan adalah encer, maka x2 << 1; logaritma
dapat diekspansi dalam deret,
n2 n
ln (1−x2) = −x2 = − ≈− 2
n+n 2 n
Karena n2 << n dalam larutan encer. Maka persamaan (4. 36) menjadi
n 2 RT
π= (4.37)
nV o
Jika larutan encer, maka n2 sangat kecil sehingga
n RT
π= 2 atau π = cRT (4.38)
V
Persamaan ini adalah persamaan van’t Hoff untuk tekanan osmotik.
SOAL–SOAL:
1. Interpretasikan (a) penurunan titik beku dan (b) kenaikan titik didih dalam terminologi
potensial kimia sebagai suatu ukuran ‘escaping tendency’
2. Dua puluh gram zat terlarut ditambahkan ke 100 gram air pada 25 o C. Tekanan uap air
murni adalah 23,76 mmHg; tekanan uap larutan adalah 22,41 mmHg.
a) Hitung massa molar zat terlarut
b) Berapa massa zat terlarut yang dibutuhkan dalam 100 gram air untuk mengurangi
tekanan uap 1,5 harga untuk air murni?
3. Dua gram asam benzoat dilarutkan dalam 25 gram benzena, Kf = 4,9 K kg/mol,
menghasilkan penurunan titik beku 1,62 K. Hitung massa molar. Bandingkan dengan massa
molar yang diperoleh dari rumus asam benzoat, C6H5COOH.
4. Panas peleburan asam asetat adalah 11,72 kJ/mol pada titik leleh 16,61 oC. Hitung Kf
untuk asam asetat
5. Jika 6 gram urea, (NH2)2CO, dilarutkan dalam 1 L larutan, hitung tekanan osmotik
larutan pada 27o C
42
BAB V
LARUTAN
(BANYAK KOMPONEN VOLATIL; LARUTAN ENCER IDEAL)
43
dimana µio (T, p) adalah potensial kimia zat cair murni i pada temperatur T dan di bawah tekanan
p. Potensial kimia setiap komponen larutan diberikan dalam ungkapan dalam persamaan (5.3).
Gambar 5.1 menunjukkan variasi µi – µio sebagai fungsi xi . Selagi xi menjadi sangat kecil, harga
µi berkurang dengan sangat cepat. Pada semua harga xi, harga µi kurang dari µio.
Karena persamaan (5.3) secara formal sama dengan persamaan (2.5) untuk setiap µ gas
ideal dalam campuran, dengan alasan sama dalam pencampuran
∆Gmix = n RT ∑ xi ln xi (5.4)
i
∆Smix = - n R ∑ xi ln xi (5.5)
i
∆Hmix = 0, ∆Vmix = 0 (5.6)
dimana n adalah jumlah mol total dalam campuran. Tiga sifat larutan ideal (hukum Raoult, panas
pencampuran nol, volume pencampuran nol) sangat dekat dihubungkan. Jika hukum Raoult
untuk setiap komponen, kemudian panas dan volume mencampur akan menjadi nol.
(µ i – µ i o)
44
(a) (b)
Gambar 5.2 Tekanan uap sebagai fungsi komposisi
5.4 Azeotrop
Campuran ideal atau hampir ieideal dapat dipisahkan ke dalam unsur mereka oleh
penyulingan fraksi. Pada sisi lain, jika penyimpangan dari hukum Raoult menjadi sangat besar
seperti menghasilkan suatu maksimum atau suatu minimum kurva-tekanan uap air, maka
maksimum atau minimum yang bersesuaian muncul dalam kurva titik didih itu. Campuran
seperti itu tidak bisa sepenuhnya dipisahkan ke dalam unsur oleh penyulingan fraksi. Hal Itu
dapat ditunjukkan bahwa jika kurva-tekanan uap mempunyai suatu yang minimum atau
maksimum, maka pada titik itu kurva uap dan cairan itu harus menjadi tangen untuk satu sama
lain dan cairan dan uap harus mempunyai komposisi yang sama. Campuran yang mempunyai
tekanan uap minimum atau maksimum disebut azeotrop ( dari Yunani: untuk mendidih tanpa
perubahan).
Perhatikan sistem yang ditunjukkan dalam Gambar 5.3 yang memperlihatkan titik didih
maksimum. Jika suatu campuran yang digambarkan dengan titik a memiliki komposisi azeotrop,
dipanaskan, pertama uap akan terbentuk pada temperatur t; dimana uap memiliki komposisi
sama sebagai zat cair; konsekuensinya, hasil penyulingan yang diperoleh mempunyai komposisi
yang sama persis seperti cairan yang asli; tidak ada separasi yang dihasilkan. Jika suatu
campuran digambarkan dengan b dalam Gambar 5.3 dipanaskan, uap pertama terbentuk pada t’,
dan memiliki komposisi v’. Uap ini kaya dengan komponen titik didih lebih tinggi. Fraksinasi
akan memisahkan campuran menjadi komponen 1 asli dalam hasil distilasi dan meninggalkan
campuran azeotrop dalam wadah. Suatu campuran yang digambarkan dengan c akan mendidih
pertama pada t’’; uap akan memiliki komposisi v’’. Fraksinasi campuran ini akan menghasilkan
komponen 2 murni dalam hasil distilasi dan azeotrop dalam wadah.
Perilaku azeotrop titik didih minimum ditunjukkan dalam Gambar 5.4 adalah analog.
Campuran yang digambarkan dengan b pertama mendidih pada temperatur t, uap memiliki
45
komposisi v. Fraksinasi campuran ini menghasilkan azeotrop dalam distilatnya; komponen 1
murni tersisa dalam wadah. Begitu juga fraksinasi campuran yang digambarkan dengan c akan
menghasilkan azeotrop dalam distilatnya dan meninggalkan komponen 2 murni dalam wadah.
Azeotrop menyerupai suatu campuran murni dalam sifat mendidih pada suatu temperatur
tetap, sedangkan campuran biasa mendidih untuk suatu rentang temperatur. Bagaimanapun,
perubahan tekanan menghasilkan perubahan dalam komposisi azeotrop, sebagaimana perubahan
dalam titik didih, sehingga tidak dapat menjadi senyawa.
46
x j = Mmj (5.18)
Dapat ditulis
mj
( )
xj = Mmo m
o
(5.19)
dimana mo adalah konsentrasi molal standar, mo = 1mol/kg. Harga xj ini dapat digunakan dalam
persamaan (5.15)
mj
µj = µj* + RT ln Mmo + RT ln( ) mo
dengan mendefinisikan µj** = µj* + RT ln Mmo, maka
µj = µj** + RT ln mj (5.20)
dimana mj sebagai suatu singkatan jumlah murni, mj / (1 mol/kg). Persamaan (5.20)
mengungkapkan µj dalam larutan encer sebagai fungsi yang cocok dari mj. Harga standar µj**
adalah harga µj yang dipunyai dalam keadaan hipotetik molalitas satuan jika larutan telah
memiliki sifat larutan encer ideal dalam rentang 0 ≤ mj ≤ 1.
47
yang merupakan hubungan antara konstanta hukum Henry Kj dan koefisien absorpsi αj; jika
salah satu diketahui maka yang lain dapat dihitung. Kelarutan gas dalam mol per satu satuan
o
volume pelarut, n j /(nM/ρ ), berbanding lurus dengan αj, persamaan (5.23); karena itu αj lebih
sesuai dibanding Kj untuk diskusi kelarutan.
SOAL–SOAL:
1. Campuran gas dari dua zat di bawah tekanan total 0,8 atm berada dalam kesetimbangan
dengan larutan cair ideal. Fraksi mol zat A adalah 0,5 dalam fase uap dan 0,2 dalam fase cair.
Berapa tekanan uap dua cairan murni tersebut?
2. Beberapa sistem nonideal dapat direpresentasikan dengan persamaan p1 = x1o p1o dan p2 =
x2 p2o. Tunjukkan bahwa jika konstanta a > 1, maka tekanan total menunjukkan harga
o
minimum, sedangkan jika a < 1, maka tekanan total menunjukkan harga maksimum.
3. Komposisi uap di atas suatu larutan ideal biner ditentukan dengan komposisi zat cair.
Jika x1 dan y1 adalah fraksi mol zat 1 dalam zat cair dan uap, tentukan harga x1 yang mana y1
– x1 memiliki harga maksimum. Berapa harga tekanan pada komposisi tersebut?
4. Konstanta hukum Henry untuk argon dalam air adalah 2,17 x 104 pada 0o C dan 3,97 x
104 pada 30o C. Hitung panas larutan standar argon dalam air.
5. Pada 800o C, 1,6 x 104 mol O2 larut dalam 1 mol perak. Hitung koefisien edsorpsi Bunsen
untuk oksigen dalam perak; ρ(Ag) = 10,0 gram/cm3.
48
BAB VI
KESETIMBANGAN ANTAR FASE TERKONDENSASI
49
0
Untuk kelarutan parsial nilai µA - μ A akan nol pada beberapa komposisi tertentu,
0
sehingga µA - μ A akan membentuk semacam kurva seperti yang tertera pada gambar 6.1. Pada
' 0 '
titik x A ,nilai µA- μ A adalah nol,dan sistemnya adalah larutan dengan fraksi mol A = x A dan
'
lapisan lainnya terdiri dari cairan A murni.Nilai x A adalah kelarutan A dalam B yang
dinyatakan dalam fraksi mol.Jika fraksi mol A dalam B melebihi nilai ini ,maka seperti
0 0
ditunjukkan oleh gbr.6.1 tampak bahwa µA- μ A akan positif sehingga µA > μ A .Pada keadaan ini
A secara spontan akan meninggalkan larutan untuk masuk ke cairan murninya (A), sehingga
'
mengurangi xA hingga tercapai nilai kasetimbangan x A .
Cairan yang hanya saling melarutkan sebagian akan membentuk larutan yang jauh dari
ideal sebagaimana tampak pada kurva 6.1. Untuk mempelajari hal ini kita akan membatasi
deskripsi masalahnya pada interpretasi hasil hasil eksperimen dalam lingkup aturan fase.
Perhatikan jika pada suhu T1, sejumlah kecil zat A ditambahkan secara berturut turut ke
dalam cairan B. Mula mula A akan larut sempurna, keadaan ini dapat dilihat sebagaimana
digambarkan pada diagram T-X yaitu gambar 6.2a, yang dinyatakan pada tekanan konstan. Titik
a,b,c menunjukkan komposisi setelah penembahan A pada B. Karena semuanya larut maka titik
titik tersebut terletak pada daerah satu fase. Setelah penambahan sejumlah tertentu akan dicapai
suatu batas kelarutan yaitu pada titik l1. Bila penambahan dilanjutkan akan dihasilkan dua lapisan
cairan karena A tidak dapat larut lagi. Jadi daerah disebelah kanan l1 adalah daerah dua fase. Hal
yang sama dapat dilakukan sebaliknya yaitu B ditambahkan ke A dan akan diperoleh kurva
sebagaimana tampak pada gambar 6.2a.
Gambar 6.2
Diagram T-X untuk sistem phenol-air tampak pada gambar 6.2b, apabila suhu dinaikkan
maka kelarutan masing masing zat akan berubah . Kurva kelarutan akan bertemu di titik yaitu
pada suhu konsolut atas(upper consolute temperature) yang juga disebut suhu larutan kritis
(critical solution temperature), tc, di atas tc air dan phenol akan larut sempurna. Sembarang titik a
di bawah lengkungan menyatakan keadaan sistem yang terdiri dari dua lapisan cairan, yaitu L1
dengan komposisi l1 dan L2 dengan komposisi l2 . Massa relativ dari dua lapisan tersebut
dinyatakan oleh aturan Lever, yaitu merupakan perbandingan segmen dari garis dasi
(l1l2).Yaitu :
moll 1 ( al 2 )
= .
moll 2 ( al 1 )
Beberapa sistem diketahui kelarutannya akan berkurang dengan naiknya suhu. Pada sistem ini
dapat diamati adanya suhu konsolut bawah (lower consolute temperature),sebagaimana tampak
pada gambar 6.3(a) yaitu sistem trietilamin-air yang suhu konsolut bawahnya 18,50C. Karena
kurva yang begitu datar sehingga sulit menentukan komposisi larutan pada suhu konsolutnya,
hanya tampak kira kira 30% berat trietilamina. Jika larutan pada keadaan a dipanaskan
keadaannya akan tetap homogen sampai pada suhu sedikit di atas 18,5 0C; kemudian pada titik a’
cairan akan memisah menjadi dua lapisan. Pada suhu yang lebih tinggi lagi misalnya a ” larutan
akan mempunyai komposisi l1 dan l2, menurut aturan lever l1 akan lebih besar daripada l2. Pada
50
tipe ini kelarutan bertahan pada suhu yang rendah,sehingga pada suhu yang lebih tinggi senyawa
akan terdissosiasi.
Gambar 6.3.
Beberapa zat memiliki baik suhu konsolut atas maupun bawah. Diagram untuk sistem
nikotin-air tampak pada gambar 6.3(b). Suhu konsolut bawah sekitar 61 0C, suhu konsolut
atasnya 210 0C. Semua titik di dalam lengkungan terdapat dua fase, di luarnya adalah satu fase.
Aturan fase untuk sistem pada tekanan konstan adalah F’= C-P+1, dengan F’ adalah
jumlah variabel selain tekanan yang diperlukan untuk mendeskripsikan sistem. Untuk sistem dua
komponen, F’ = 3-P. Jika ada dua fase maka hanya perlu satu variabel untuk mendeskripsikan
sistem. Di daerah dua fase jika suhunya ditentukan maka perpotongan garis dasi dengan kurva
akan menghasilkan komposisi larutan yang bersesuaian. Jika hanya satu fase, F’ = 2 maka suhu
dan komposisi telah tertentu.
Pada bahasan di atas diasumsikan tekanan cukup tinggi sehingga uap tidak terbentuk di
daerah kisaran suhu yang dibahas. Situasi serupa pada suhu yang lebih rendah digambarkan pada
gambar 6.4a yang juga menampakkan kurva uap-cair masih dengan asumsi pada tekanan yang
cukup tinggi, sampai di sini interpretasi masih bisa dibuat secara terpisah. Biasanya kelarutan
parsialpada suhu rendah, walau tidak selalu demikian, menunjukkan azeotrop didih minimum,
seperti tampak pada gambar 6.4a. Kelarutan parsial menunjukkan bahwa saat dicampurkan,
kedua komponen memiliki kecenderungan menguap yang lebih besar dibanding dalam larutan
ideal. Kecenderungan yang besar ini dapat mencapai maximum dalam kurva komposisi –tekanan
uap, dan sesuai dengan itu juga mencapai minimum dalam kurva komposisi-titik didih.
Jika tekanan pada sistem seperti gambar 6.4a diturunkan, titik didih akan turun juga
secara bertahap. Pada tekanan yang cukup rendah, kurva titik didih akan berpotongan dengan
kurva kelarutan cair-cair seperti tampak pada gambar 6.4b yang merupakan skema sistem air-n
butanol pada tekanan 1 atmosphere.
Pada gambar 6.4a, jika suhu dari cairan homogen a dinaikkan, akan terbentuk uap dengan
komposisi b pada ta. Selanjutnya jika uap tersebut didinginkan dan dibawa ke titik c, akan
terbentuk kondensat yang terdiri dari dua lapisan cairan. Jadi distilat pertama hasil distilasi dari
cairan homogen a akan terpisah membentuk dua cairan dengan komposisi d dan e.
51
Gambar 6.4 Distilasi parsial cairan tidak larut
Jika temperatur dari kedua cairan pada c tersebut dinaikkan, komposisi dari kedua cairan
tersebut sedikit bergeser. Sistem menjadi univarian, F’ = 3-P = 1 di daerah ini. Pada suhu t’
,larutan konjugat tersebut memiliki komposisi f dan g dan juga muncul uap pada komposisi h.
Terdapat 3 fase, sepanjang ketiga fase tersebut dipertahankan maka komposisi dan suhunya akan
tetap. Contoh, aliran panas ke dalam sistem tidak mengubah suhu, tetapi hanya menghasilkan
uap lebih banyak pada kedua cairan. Uap h, yang terbentuk lebih kaya air dibanding komposisi
sebelumnya, c, jadi lapisan kaya air akan lebih suka menguap. Setelah lapisan kaya air lenyap,
suhu naik dan komposisi uap berubah sepanjang kurva hb. Terakhir, cairan dengan komposisi a
lenyap pada tA.
Jika dua fase sistem pada daerah komposisi antara f dan h dipanaskan, kemudian pada t ’
akan terbentuk cairan dengan komposisi f dan g dan uap pada titik h. Sistem pada t ’ adalah
invarian. Karena uapnya kaya butanol dibanding komposisi sebelumnya,lapisan kaya butanol
tersebut lebih mudah menguap meninggalkan cairan f dan uap h. Titik h memiliki sifat
azeotropik, sisitem dengan komposisi ini tidak mengalami perubahan komposisi selama
distillasi. Jadi tidak dapat dipisahkan ke dalam komponen-komponennya dengan cara distillasi.
Distillasi zat yang tidak larut lebih mudah didiskusikan dari titik pandang yang berbeda.
Perhatikan dua cairan yang tidak larut berada dalam kesetimbangan dengan uapnya pada suhu
tertentu (gambar 6.5). Penghalang hanya memisahkan cairannya, karena tidak saling larut maka
pengambilan penghalang tidak mempengaruhi apapun. Tekanan uap total adalah jumlah dari
0 0 p0
tekanan uap cairan murni: p= p A + p B . Fraksi mol yA dan yB dalam uap adalah : yA = A , yB
p
0 0 o
pB nA y A p A / p p A
= jika nA dan nB adalah jumlah mol A dan B dalam uap, maka = = =
p n B y B p 0B / p p 0B
massa A dan B adalah wA = nAMA dan wB = nBMB sehingga
w A M A p 0A
= (6.3)
w B M B p 0B
yang menghubungkan massa relatif dari kedua zat yang ada di fase uap terhadap massa molar
dan tekanan uapnya. Jika uap ini diembunkan, pers.(6.3) menyatakan massa relatif dari A dan B
dalam kondensatnya. Misalnya sistem anilin(A)-air(B) pada 98,4oC. Tekanan uap anilin pada
52
suhu ini sekitar 42 mmHg, sementara air sekitar 718 mmHg. Tekanan uap total adalah 718+42=
760 mmHg, sehingga campuran ini mendidih pada 98,4oC pada 1 atm.Massa anilin yang
terdistillasi tiap 100 gram air yang terbentuk adalah:
(94 g/mol)(42 mmHg)
wA = 100 g ≈ 31 g.
(18 g/mol)(718 mmHg)
Persamaan (6.3) dapat digunakan untuk distillasi uap dari suatu cairan. Beberapa cairan yang
terdekomposisi jika didistillasi secara biasa dapat didistillasi uap jika zat itu memiliki volatilitas
yang cukup di sekitar titik didih air. Di laboratorium, uap dilewatkan pada cairan yang akan
didistillasi uap. Karena tekanan uap lebih besar daripada komponen yang sama, akibatnya titik
didih ada di bawah titik didih kedua cairan. Selanjutnya titik didih adalah merupakan suhu
invarian sepanjang kedua cairan dan uap ada bersama-sama.
Jika tekanan uap dari zat diketahui meliputi suhu di sekitar 100 0C, pengukuran pada
suhu terjadinya distillasi dan rasio massa pada hasil distillasi, dengan persamaan (6.3).
Dengan T adalah titik beku B dalam larutan. Kurva ini digambarkan dalam Gambar 6.6b
bersama dengan kurva A pada gambar 6.6a. Kurva berpotongan pada suhu T e, yaitu suhu
53
eutektik. Komposisi xe adalah komposisi eutektik. Garis GE adalah titik beku melawan kurva
komposisi B. Titik semacam a di bawah kurva ini menunjukkan keadaan yaitu padatan B dalam
kesetimbangan dengan larutan pada komposisi xb. Titik pada EF menunjukkan padatan B murni
dalam kesetimbangan dengan larutan berkomposisi xe. Sedangkan titik pada DE menunjukkan
padatan murni A dalam kesetimbangan dengan larutan berkomposisi x e. Oleh karena itu larutan
yang memiliki komposisi eutektik xe ada dalam kesetimbangan dengan padatan A dan padatan B.
Jika terdapat tiga fase bersama, maka F’ = 3 – P = 3-3=0; sistemnya adalah invarian pada suhu
ini. Jika panas keluar dari sistem ini, suhunya akan tetap sampai satu fase lenyap, sehingga
jumlah relatif dari ketiga fase berubah hingga panas dihilangkan. Jumlah cairan berkurang
sedangkan jumlah kedua padatan yang ada bertambah. Di bawah garis DEF adalah keadaan
sistem yaitu hanya dua padatan, dua fase, murni A dan murni B.
Beberapa contoh sistem kesetimbangan padat cair adalah : sistem Sb-Pb, yang diagram
fasenya dapat dilihat di gambar 6.7. Daerah berlabel L adalah cairan, Sb adalah padatan Sb dan
Pb adalah padatan Pb. Suhu eutektik adalah 2460C, komposisi eutektik adalah 87% massa Pb.
Nilai xe dan te dihitung dengan persamaan 6.4 dan 6.5 dan ternyata sesuai dengan hasil
eksperimen. Berarti cairan tersebut hampir menyerupai larutan ideal.
Bentuk kurva titik beku dapat ditentukan secara experimental dengan analisa termal.
Pada metoda ini, campuran yang diketahui komposisinya dipanaskan sampai suhu yang cukup
tinggi hingga homogen. Kemudian didinginkan secara bertahap. Suhu diplot sebagai fungsi
waktu. Kurva yang diperoleh pada berbagai komposisi untuk sistem A-B tampak pada gambar
6.8. Kurva pertama, cairan homogen didinginkan sepanjang kurva ab, pada b pertama kali
terbentuk kristal komponen A. Peristiwa ini melepaskan panas laten pembekuan, laju
pendinginan berkurang dan lekukan pada kurva muncul di b.
Banyak sistem biner, baik ideal maupun tidak, memiliki diagram fase bertipe eutektik
sederhana. Invariansi sistem pada titik eutektik memungkinkan campuran eutektik dipergunakan
sebagai bak bersuhu konstan. Misalnya padatan NaCl dicampur dengan es pada 0 oC dalam labu
vakum. Titik komposisi berpindah dari 0% ke sejumlah kecil nilai positif. Padahal pada
komposisi ini titik beku es di bawah 0oC, sehingga sejumlah kecil es melebur. Karena sistem ada
dalam labu terisolasi, meleburnya es mengurangi suhu campuran. Jika NaCl yang ditambahkan
cukup, suhu akan turun sampai suhu eutektik,-21,1oC. Pada suhu eutektik ini, es,padatan garam
dan larutan jenuh terdapat bersama sama dalam kesetimbangan. Suhu bertahan di suhu eutektik
hingga es yang tersisa melebur karena panas yang menerobos secara lambat ke dalam labu.
54
Tabel 6.1
Garam Temperatur % massa garam anhidrat
eutektik (C) dalam eutektik
NaCl –21,1 23,3
NaBr –28,0 40,3
Na2S –1,1 3,84
KCl –10,7 19,7
NH4Cl –15,4 19,7
Gambar 6.8 Pembentukan senyawa Gambar 6.9 Titik beku dalam sistem H2O–Fe2Cl6
55
Ini adalah reaksi peritektik atau reaksi fase. Senyawanya disebut melebur secara inkongruen,
karena leburan berbeda dari senyawanya dalam komposisinya.(Senyawa yang digambarkan pada
gambar 6.8 dan 6.9 melebur secara kongruen ,komposisi tidak berubah). Yaitu terdapat tiga
fase;padatan Na2K, padatan Na, dan cairannya ada bersama sama, sistemnya adalah invarian,
selagi panas mengalir ke dalam sistem, suhu akan tetap sama sampai senyawa padat melebur
sempurna. Kemudian suhu naik, titik keadaan bergerak sepanjang garis bef dan sistem terdiri
dari Na padat dan cair. Di f sisa terakhir dari Na melebur, dan di atas f sistem terdiri dari satu
fase cairan. Pendinginan komposisi g membalikkan perubahan ini. Di f muncul Na padat,
komposisi cairan bergerak sepanjang fc. Di b cairan berkomposisi c ada bersama dengan Na
padat dan Na2K padat. Kebalikan dari reaksi fase yang terjadi sampai kedua cairan Na dan
padatannya habis secara simultan, hanya tinggal Na2K dan titik keadaanbergerak sepanjang ba.
56
komposisinya terletak mungkin pada g. Sehingga sejumlah cairan tertinggal pada suhu ini dan
pendinginan lebih lanjut diperlukan sebelum sistem mengendap seluruhnya.
karena ∆G10 =∆H10 - T∆S10; dan titik lebur, T01, dari zat murni, ∆S10 =∆H10/ T01, persama–an ini
menjadi
x 1( l ) ΔH 0 1
ln
( )x 1( s )
=−
(R T
−
) T
1
01
Menyelesaikan persamaan ini untuk T, kita peroleh
0
ΔH
T =T 01 { 0
} (6.8)
ΔH +RT 01 ln [ x 1 ( s )/ x 1 ( l )]
Jika terdapat padatan murni, maka x1(s)=1; dalam kasus ini suku kedua dari penyebut
dalam pers.(6.8) positif sehingga fraksi dalam kurung dari satu. Titik beku T berarti kurang dari
T01.Jika larutan padat ada dalam kesetimbangan maka jika x1 (s) < x1(l), suku kedua pada
penyebut akan negativ, fraksi dalam kurung lebih besar dari satu dan titik lebur lebih besar dari
T01.
Gambar 6.14 menunjukkan bahwa fraksi mol Cu dalam larutan padat xCu(s) selalu lebih
kecil dari fraksi mol Cu dalam larutan cairnya xCu(l). Konsekuensinya titk lebur Cu naik. Satu
kelompok persamaan analog dapat dijabarkan untuk komponen kedua, darinya kita dapat
menyimpulkan bahwa titik lebur Nickel turun. Dengan alasan yang telah dikemukakan bahwa
∆H0 dan ∆S0 tidak berubah terhadap suhu; hal ini tidak benar tetapi tidak terlalu berpengaruh
terhadap kesimpilan secara keseluruhan.
58
putus c; lapisan kaya air bertambah sedangkan lapisan kaya chloroform berkurang. Pada c ” hanya
sedikit lapisan kaya chloroform yang tinggal, sedangkan di atas c” sistemnya homogen.
Karena garis dasi tidak paralel, titik yang disitu dua larutan konjugat memiliki komposisi
yang sama tidak terletak pada puncak dari kurva binodal tetapi keluar ke satu sisi pada titik k,
yaitu titik sambung. Jika sistem berkomposisi d dan ditambahkan asam asetat ke dalamnya,
komposisi akan berubah sepanjang dk; hanya di bawah k dua lapisan akan ada dalam jumlah
yang komparabel; pada k, batas antara dua larutan lenyap sehingga sistem menjadi homogen.
Bandingkan perilaku ini dengan yang ada di titik c ” yang disitu hanya ada sedikit dari satu
lapisan konjugat yang tinggal.
Gambar 6.18
59
Tabel 6.2
Daerah Sistem varian
Cacb Larutan takjenuh 2
Aac NH4Cl+larutan jenuh 1
Bbc (NH4)2SO4+larutan jenuh 1
AcB NH4Cl+(NH4)2SO4+larutan jenuh c 0
Anggap suatu larutan takjenuh dinyatakan oleh P dievaporasikan secara isotermal; titik
keadaan seharusnya bergerak sepanjang garis Pdef, yang digambarkan melalui puncak C dan
titik P. Pada d, NH4Cl mengkristal, komposisi larutan bergerak sepanjang garis dc. Pada titik e,
komposisi larutan adalah c, dan (NH4)2SO4 mulai mengkristal. Evaporasi lebih lanjut akan
mengendapkan kedua NH4Cl dan (NH4)2SO4 hingga titik f dicapai, di situ larutan menghilang
secara sempurna.
Gambar 6.19 (a) Senyawa jenuh sebangun (b) Senyawa jenuh tidak sebangun
60
bercampur sempurna, penambahan garam ke dalam sistem dapat menghasilkan pemisahan
menjadi dua lapisan cairan – salah satu kaya dengan cairan organik, yang lain kaya dengan air.
Relasi fasenya dapat diilustrasikan seperti dalam tabel 6.4 dan oleh diagram K 2CO3-H2O-
CH3OH, yaitu gambar 6.20, yang merupakan tipikal sistem garam-air-alkohol
Tabel 6.4
Daerah Sistem
Aab K2CO3 dalam kesetimbangan dengan larutan jenuh kaya air
Aed K2CO3 dalam kesetimbangan dengan larutan jenuh kaya alkohol
bcd Dua cairan konjugat digabung oleh dua garis dasi
Abd K2CO3 dalam kesetimbangan dengan cairan konjugat b dan d
Gambar 6.20
Sistem tersebut dibedakan oleh penampakan dua daerah cairan bcd. Misalnya dianggap
bahwa padatan K2CO3 ditambahkan ke dalam campuran air dan alkohol pada komposisi x. Titik
keadaan akan bergerak sepanjang garis xyzA. Di y terbentuk dua lapisan; di z K 2CO3 berhenti
melarut sehingga padatan K2CO3 dan cairan b dan d ada bersama sama. Cairan d adalah lapisan
kaya alkohol dan bisa dipisahkan dari b, lapisan kaya air.Ingat bahwa penambahan garam setelah
padatan berhenti melarut tidak menghasilkan perubahan pada komposisi di lapisan b dan d, tentu
saja terjadi seperti ini sebab sistemnya adalah isotermal dan invarian di segitiga Abd.
Diagram ini dapat juga dipakai untuk menunjukkan bagaimana garam yang ditambahkan
dapat diendapkan oleh penambahan alkohol ke dalam larutan jenuh; titik keadaan bergerak dari
a, misalnya dikatakan, sepanjang garis yang menghubungkan a dan B. Karena dalam kasus
khusus ini,hanya lebih sedikit garam yang diendapkan sebelum dua lapisan cairan terbentuk, cara
ini tidak terlalu bermanfaat. Sistem ini mengherankan dalam pengaruh penambahan air ke dalam
larutan takjenuh K2CO3 dalam alkohol pada komposisi x’.Garis x’y’z’ yang menghubungkan x’
dan c menunjukkan bahwa K2CO3 akan mengendap di y’ jika air ditambahkan ke dalam larutan
alkohol. Penambahan air lebih lanjut akan menyebabkan larutnya kembali K2CO3 di z’.
SOAL SOAL:
1. Tekanan uap chlorobenzena dan air pada berbagai temperatur berbeda adalah
t/oC 90 100 110
62
BAB VII
KESETIMBANGAN DALAM SISTEM NON IDEAL
bergantung pada suhu, tekanan dan komposisi campuran. Fugasitas adalah ukuran potensial
kimia gas I dalam campuran.
Sekarang kita akan memusatkan perhatian ke larutan cair, walaupun kebanyakan apa
yang dikemukakan tadi juga berlaku pada larutan padat sama baiknya. Untuk tiap komponen i
dalam setiap campuran cair, kita tuliskan:
μi =g i (T , p )+RT ln a i (7.2)
dengan gi(T,p) adalah hanya fungsi suhu dan tekanan, sedang ai, aktifitas i, dapat merupakan
fungsi suhu, tekanan, dan komposisi. Sebagaimana tampak, persamaan 7.2 tidak begitu
informatif; akan tetapi, ia dapat menunjukkan; pada suhu dan tekanan tertentu penambahan
aktifitas zat berarti penambahan dalam potensial kimia zat. Ekivalensi aktifitas dengan potensial
kimia, melalui persamaan yang berbentuk seperti persamaan 7.2 adalah merupakan sifat
fundamental dari aktifitas. Teori kesetimbangan dapat dikembangkan secara menyeluruh dalam
term aktifitas zat daripada dalam term potensial kimia.
Untuk menggunakan persamaan (7.2) signifikansi fungsi gi(T,p) harus dideskripsikan
secara akurat sehingga ai mempunyai arti yang tepat. Dua cara untuk mendeskripsikan gi(T, p)
adalah dengan cara yang biasa; masing masing membawa ke sistem yang berbeda dari aktifitas.
Dalam sistem yang serupa aktifitas komponen masih merupakan pengukuran potensial kimia.
63
Jika kita membandingkan persamaan (7.4) dengan µi dalam larutan cair ideal,
μid 0
i =μ i +RT ln x i (7.6)
dengan mengurangkan persamaan (7.6) dari persamaan (7.4) kita akan memperoleh
ai
μi − μidi =RT ln (7.7)
xi
Koefisien aktifitas rasional dar i, γi, didefinisikan:
a
γi = i (7.8)
xi
Dengan definisi ini, persamaan (7.7) menjadi
id
μi = μi +RT ln γ i (7.9)
yang menunjukkan bahwa ln γi merupakan ukuran besarnya penyimpangan dari keadaan ideal.
Dari relasi pada persamaan (7.5), dan definisi γi , kita peroleh
γi =1 sedangkan xi →1 (7.10)
Koefisien aktifitas rasional lebih menguntungkan untuk sistem itu karena di dalamnya fraksi mol
setiap komponen dapat bervariasi dari nol sampai satu,campuran cairan semacam acetone dan
chloroform, sebagai contoh.
pi
ai = (7.11)
p 0i
hal itu analog dengan hokum Raoult’s untuk larutan nonideal. Jadi pengukuran pi pada larutan
bersama sama dengan mengetahui nilai pi0 akan menghasilkan nilai ai. Dari pengukuran pada
berbagai nilai xi,nilai ai dapat juga diplotkan atau ditabulasikan sebagai fungsi xi. Dengan cara
yang sama, koefisien aktifitas dapat dihitung memakai persamaan (7.8) dan diplotkan sebagai
fungsi xi. Pada gambar 7.1 dan 7.2, plot ai dan γi terhadap xi ditunjukkan untuk sistem biner yang
melibatkan penyimpangan positif dan negative dari hokum Raoult’s. Jika larutan ideal, maka ai
= xi dan γi =1 untuk semua nilai xi.
Bergantung pada sistemnya, koefisien aktifitas komponen dapat lebih besar atau lebih
kecil dari satu. Pada sistem dengan penyimpangan positif dari ideal, koefisien aktifitas, yang
juga adalah kecenderungan menguap,lebih besar daripada dalam larutan ideal pada konsentrasi
yang sama. Pada larutan yang mnunjukkan penyimpangan negative dari hokum Raoult’s,zat
memiliki kecenderungan menguap yang lebih rendah daripada dalam larutan idealnya pada
konsentrasi yang sama, γ lebih kecil dari satu.
64
Gambar 7.1 Aktivitas versus fraksi mol Gambar 7.2 Koefisien aktivitas
Versus fraksi mol
7.3 Sifat Koligatif
Sifat sifat koligatif larutan untuk solut nonvolatile dinyatakan secara sederhana dalam
bentuk aktifitas rasional dari solven.
yang merupakan analog dengan persamaan (13.15) untuk larutan ideal. Dengan mengetahui a
dari pengukuran tekanan uap, titik beku dapat dievaluasi dari persamaan (7.12); sebaliknya, jika
titik beku T diukur, a dapat dievaluasi dari persamaan (7.12).
65
yang analog dengan persamaan (13.36). Pada persamaan (7.11a), (7.12), (7.13), dan (7.14), a
adalah aktifitas rasional dari solven. Pengukuran berbagai nilai koligatif menghasilkan nilai nilai
memalui pers persamaan ini.
μ j =g j (T , p )+ RT ln a j (7.16)
Jika kita mengurangkan persamaan (7.15) dari persamaan (7.16) dan menyatakan gj (T,p) =
µj**maka
aj
μ j − μidj =RT ln (7.17)
mj
identifikasi untuk gj (T,p)denganµj**menyatakan sistem praktis dari aktifitas;koefisien aktifitas
praktis γj didefinisikan oleh
a
γ j= j (7.18)
mj
Persamaan (7.17) dan (7.18) menunjukkan bahwa ln γj adalah ukuran kebiasaan solute dari
perilakunya dalam larutan encer ideal. Akhirnya ,selama m j→0,solute berperilaku seperti dalam
larutan ideal sehingga
Itu mengikuti bahwa aj =mj selama mj =0. Jadi potensial kimia solute dalam sistem praktis,kita
miliki
μ j = μ**j + RT ln a j (7.20)
µj**adalah potensial kimia solute yang dimiliki dalam larutan 1 molal jika larutan
berperilaku menurut aturan larutan encer ideal. Keadaan standart ini disebut larutan idealpada
molalitas satu. Ini adalah keadaan hipotetik dari sistem. Menurut persamaan (7.20) aktifitas
praktis mengukur potensial kimia zat relative terhadap potensial kimia dalam larutan ideal
bermolalitas satu hipotetiknya. Persamaan (7.20) dapat diterapkan juga kepada solute volatile
maupun nonvolatile.
66
Karena µj0 dan µj**hanya bergantung pada suhu dan tekanan dan bukan pada komposisi, kita
dapat menentukan konstanta Kj’, yang tidak bergantung pada komposisi, yaitu:
' 0 **
RT ln K j =−( μ j − μ j )
Hubungan antara pj dan aj menjadi
p j =K 'j a j (7.21)
’ ’
Konstanta Kj adalah modifikasi dari konstanta pada hukum Henry. Jika Kj diketahui,nilai aj dapat
dihitung dengan mudah dari nilai pj terukur. Dengan membagi persamaan (7.21) dengan mj, kita
peroleh
pj a
mj
=K ' j j
mj( ) (7.22)
Nilai nilai terukur pada rasio pj/mj diplot sebagai fungsi mj. Kurva diekstrapolasi ke mj =0. Nilai
ekstrapolasi pj/mj sama dengan Kj’, karena aj/mj =1 jika mj→0. Sehingga
pj
’
( ) mj m j =0
=K ' j
Dengan memperoleh nilai Kj , nilai nilai aj dihitung dari pj terukur dengan persamaan (7.21).
Solven: μ= μ 0+ RT ln a
Solut: μ2 = μ**
2 +RT ln a 2
n2
dμ=− dμ2 (T,p konstan)
n
dµ = RT d ln a dan dµ2 = RT d ln a2
Dengan menggunakan nilai nilai ini dalam pers Gibbs-Duhem, kita peroleh
n2
d ln a=− d ln a2
n
Tetapi n2/n = Mm, dengan M adalah massa molar solven, dan m adalah molalitas solute. Oleh
karena itu:
d ln a= -Mmd ln a2 (7.23)
67
adalah relasi yang dikehendaki antara aktifitas solven dan solute.
ΔH 0fus dθ
d ln a 2=− 2
dT =
MRT m K f m(1−θ /T 0 )2
dengan Kf =MRT02/∆H0fus, dan penurunan titik beku, θ = T0-T, dθ = -dT telah diperkenalkan. Jika
θ /T0 << 1, maka:
dθ
d ln a 2= (7.24)
Kfm
Seperti halnya, persamaan (7.24) tidak sangat sensitive terhadap penyimpangan dari
keadaan ideal. Untuk menyusunnya dalam bentuk fungsi fungsi yang lebih responsive, kita
perkenalkan koefisien osmotic, 1—j, yang didefinisikan oleh:
θ = Kf m(1 – j) (7.25)
Di dalam suatu larutan encer ideal, θ = Kf m, sehingga j = 0. Dalam larutan nonideal, j tidak nol.
Dengan mendeferensialkan persamaan (7.25) kita peroleh :
dθ = Kf [(1-j) dm – m dj].
dm
d ln a 2=d ln γ 2 +d ln m=d ln γ 2 + .
m
D ln γ2 = - dj − ( mj ) dm
Persamaan ini diintegralkan dari m = 0 ke m ; pada m = 0, γ2 = 1, dan j = 0 kita peroleh
( mj ) dm ,
ln γ 2 j m
∫0 d ln γ 2 =−∫0 ¿ dj−∫0
( mj ) dm
m
ln γ 2 =− j−∫0 (7.26)
Integral dalam persamaan (7.26) dievaluasi secara grafik. Dari eksperimen, nilai nilai θ
dan m, j dihitung dari persamaan (7.25); j/m diplot terhadap m; area di bawah kurva adalah nilai
integral. Setelah menperoleh nilai γ2, aktifitas a2 diperoleh dari relasi a 2 = γ2 m. Kita telah
68
berasumsi bahwa ∆H0fus tidak bergantung pada suhu dan bahwa θ jauh lebih kecil daripada T0.
Di dalam pengerjaan yang tepat, lebih banyak pertanyaan rumit dan tidak terbatas pada asumsi
asumsi ini, diperhitungkan. Setiap sifat koligatif dapat diinterpretasikan dalam bentuk aktifitas
solute.
∆G** = - RT ln Ka (7.27)
dengan ∆G** adalah perubahan energi Gibbs standart, dan K a tetapan yang berkaitan dengan
aktifitas kesetimbangan. Karena ∆G** hanya fungsi T dan p, Ka juga fungsi T dan p dan tidak
bergantung pada komposisi. Karena tiap aktifitas memiliki bentuk ai = γimi, kita dapat menulis :
Ka = KγKm, (7.28)
Dengan Kγ dan Km berturut turut adalah tetapan yang berkaitan dengan koefisien aktifitas dan
molalitas. Karena γ bergantung pada komposisi, persamaan (7.28) menunjukkan bahwa Km
bergantung pada komposisi. Dalam larutan yang encer semua γ mendekati satu, Kγ mendekati
satu, dan Km mendekati Ka. Kecuali jika kita khusus membahas evaluasi koefisien aktifitas, kita
akan membahas Km seolah olah ia tidak bergantung pada komposisi; dikerjakan sedemikian
hingga menyederhanakan pembahasan tentang kesetimbangan.
Di dalam pembahasan dasar dasar kesetimbangan dalam larutan, konstanta
kesetimbangan biasanya dituliskan sebagai hasil bagi konsentrasi kesetimbangan dinyatakan
dalam molaritas, Kc. Ada kemungkinan mengembangkan keseluruhan aktifitas sistem dan
koefisien aktifitas menggunakan konsentrasi molar lebih disukai daripada molal. Kita dapat
menuliskan a = γc c, dengan c adalah konsentrasi molar dan γc adalah koefisien aktifitas yang
bersesuaian; selama c mendekati nol , γc harus mendekati satu. Kita tidak akan membahas sampai
rinci sistem ini kecuali hanya untuk menunjukkan bahwa dalam larutan encer sistem berdasarkan
molaritas atau molalitas adalah hampir sama.
Biasanya dengan maksud menggambarkan kita akan menggunakan konsentrasi molar
dalam konstanta kesetimbangan, dengan menyadari bahwa agar tepat kita harus menggunakan
aktifitas. Satu kesalahpahaman yang muncul karena penggantian aktifitas ini oleh konsentrasi
seharusnya bisa dihindari. Aktifitas kadang kadang ditujukan seolah olah suatu “konsentrasi
efektif”. Hal ini hanya suatu penegasan cara pandang; bagaimanapun, hal itu seakan akan seperti
menyampaikan dugaan yang keliru bahwa aktifitas dirancang untuk mengukur konsentrasi zat
dalam campuran. Aktifitas dirancang hanya dengan satu maksud yaitu ,untuk menyediakan
pengukuran potensial kimia zat yang memudahkan dalam campuran. Hubungan antara aktifitas
dan konsentrasi dalam larutan encer adalah tidak seperti salah satu dapat mengukur yang lain,
tetapi bahwa salah satu adalah ukuran potensial kimia zat. Akan lebih baik menyatakan
konsentrasi dalam larutan ideal sebagai aktifitas efektif.
69
akan digunakan subskrip s untuk sifat sifat solven; symbol tanpa subskrip mengacu kepada
solute; subskrip + dan – mengacu kepada sifat sifat ion positif dan ion negative.
Perhatikan suatu larutan elektrolit yang terdisosiasi sempurna menjadi ion. Dengan aturan
aditif, energi Gibbs larutan adalah jumlah dari energi Gibbs solven, ion positif dan ion negative:
Jika tiap mol elektrolit terdisosiasi menjadi ν+ ion positif, dan ν- ion negative, maka n+ =
ν+ n, dan n- = ν- n dengan n adalah jumlah mol elektrolit dalam larutan. Persamaan (7.29)
menjadi
Jika µ adalah potensial kimia elektrolit dalam larutan, maka seharusnya juga diperoleh
Misalnya jumlah total ion yang dihasilkan oleh satu mol elektrolit adalah ν = ν+ + ν-. Maka
potensial kimia ionic rata rata µ± didefinisikan sebagai:
νµ± = ν+ µ+ + ν- µ- (7.33)
Sekarang kita dapat melangsungkan dalam cara formal menentukan berbagai aktifitas.
Kita tulis:
0
μ= μ + RT ln a ; (7.34)
0
μ± = μ±+ RT ln a± 7.35)
Dalam relasi ini, a adalah aktifitas elektrolit, a± adalah aktifitas ionic rata rata, sedang a+
dan a- adalah aktifitas ion individual. Untuk menentukan berbagai aktifitas secara komplit kita
memerlukan relasi tambahan:
0 0 0
μ =ν + μ+ +ν− μ− ; (7.38)
Pertama kita mengerjakan relasi antara a dan a ± . Dari persamaan (7.32) dan (7.33) kita
dapatkan µ = νµ± . Dengan menggunakan nilai µ dan µ± dari persamaan (7.34) dan (7.35), kita
peroleh
70
0 0
μ +RT ln a=νμ±+ν RT ln a±
Berikutnya kita ingin relasi antara a± ,a+ ,dan a-. Dengan menggunakan nilai nilai µ±, µ+,
dan µ- yang diberikan oleh persamaan (7.35), (7.36), dan (7.37) dalam persamaan (7.33), kita
peroleh
0 0 0
νμ± +ν RT ln a±=ν + μ+ +ν − μ−+RT ( ν+ ln a+ +ν− ln a− )
Dari persamaan ini kita kurangkan persamaan (7.39); kemudian ini akan tereduksi menjadi:
ν ν+ ν−
a± =a+ a− (7.41)
Aktifitas ionic rata rata adalah rata rata geometric dari aktifitas ion individual.
a± = γ± m± (7.42)
a+ = γ+ m+ (7.43)
a- = γ- m- (7.44)
dengan γ± adalah koefisien aktifitas ionic rata rata, m± molalitas ionic rata rata ,dan seterusnya.
Dengan menggunakan nilai nilai dari a ± ,a+ ,dan a- dari persamaan (7.42), (7.43), dan (7.44) ke
dalam persamaan (7.41),kita dapatkan
Persamaan ini menunjukkan bahwa γ± dam m± adalah juga rata rata geometric dari kuantitas
ionic individual. Dalam bentuk molalitas elektrolit kita dapatkan:
m+ = ν+ m dan m- = ν- m
Dengan mengetahui formula elektrolit, kita mendapatkan m± dengan mudah dalam bentuk m.
71
Contoh 7.1 Di dalam elektrolit 1 : 1 seperti NaCl, atau dalam elektrolit 2 : 2 seperti MgSO 4 ν+
= ν- = 1, ν = 2, m± = m
Pernyataan potensial kimia dalam bentuk aktifitas ionic rata rata, dari persamaan (7.34)
dan (7.40), adalah
0 ν
μ= μ + RT ln a± (7.48)
Dalam persamaan (7.49), suku kedua di sebelah kanan adalah konstan, evaluasi dari formula
untuk elektrolit; suku ketiga bergantung pada molalitas; yang keempat dapat ditentukan dari
pengukuran titik beku, atau sembarang sifat koligatif lain dari larutan.
7.6.1 Penurunan titik beku dan Koefisien aktifitas ionic rata rata
Relasi antara penurunan titik beku θ dan koefisien aktifitas ionic rata rata dapat
diperoleh dengan mudah. Dengan menulis persamaan (7.24) menggunakan a untuk aktifitas
solute, kita peroleh:
dθ
d ln a= (7.50)
Kf m
maka
ν dm dθ
+νd ln γ± = (7.52)
m Kfm
dθ=νKf dm
sehingga
72
θ = Kf m (7.53)
yang menunjukkan bahwa penurunan titik beku dalam larutan yang sangat encer dari suatu
elektrolit memiliki nilai ν x nilai larutan nonelektrolit, yaitu jumlah ion yang dihasilkan oleh
dissosiasi satu mol elektrolit.
Koefisien osmotic untuk larutan elektrolit didefinisikan sebagai:
Dengan definisi j ini persamaan (7.52) menjadi, sesudah penataan ulang pada seksi 7.4.3,
( mj ) dm
m
ln γ ±=− j −∫0 (7.55)
73
Gambar 7.3 Koefisien aktivitas ionik rata–rata sebagai fungsi m1/2
µ = µ0 + RT ln m (7.56)
Potensial kimia adalah jumlah dari dua suku: yang pertama,µ0, tidak bergantung pada
komposisi,dan yang kedua bergantung pada komposisi. Persamaan (7.56) cukup bagus untuk
hamper semua nonelektrolit pada konsentrasi tidak lebih dari 0,1m, dan untuk kebanyakan yang
lain ia tidak bagus bahkan pada konsentrasi yang tinggi. Pernyataan sederhana dalam persamaan
(7.56) tidak cukup bermanfaat untuk larutan elektrolit; ditemukan penyimpangan bahkan pada
konsentrasi 0,001m. Hal ini benar bahkan jika persamaan (7.56) dimodifikasi untuk mengatasi
perhitungan beberapa ion yang dihasilkan.
Untuk menyatakan perilaku suatu elektrolit dalam larutan encer, potensial kimia harus
ditulis dalam bentuk, lihat persamaan (7.49),
Dalam persamaan (7.57) suku kedua di sebelah kanan persamaan (7.49) telah dimasukkan
kedalam µ0. µ0 tidak bergantungpada komposisi, suku ke dua dan ketiga bergantung pada
komposisi.
Energi Gibbs extra yang direpresentasikan oleh suku νRT ln γ± dalam persamaan (7.57)
adalah terutama merupakan hasil interaksi energi dari muatan listrik ion ion, karena dalam 1 mol
elektrolit terdapat νNA ion, energi interaksi ini adalah,rata ratanya, kT ln γ± per ion, dengan
konstanta Boltzmann k = R/NA . Gaya van der waals yang bekerja antara partikel partikel netral
solven dan nonelektrolit adalah lemah dan hanya efektif pada jarak yang sangat pendek, sedang
gaya coulomb yang bekerja antara ion ion dan juga antara ion dan molekul netral solven jauh
lebih kuat dan berpengaruh pada kisaran jarak yang lebih luas. Perbedaan ini menyebabkan
penyimpangan dari keidealan pada larutan ionic bahkan pada keadaan sangat encer yang di situ
ion ion sangat jauh terpisah. Tujuan kita adalah menghitung kontribusi elektrik ini ke dalam
Energi Gibbs.
Sebagai model larutan elektrolit kita membayangkan bahwa ion ion bermuatan listrik,
berebentuk bola dengan jari jari a, dibenamkan dalam solven dengan permitiviti ε.Misalnya
muatan ion q. Jika ion tidak bermuatan, q=0, µ nya dapat dihitung dengan persamaan (7.56);
karena bermuatan, µ nya harus memasukkan suku tambahan, kT ln γ±. Suku tambahan yang coba
kita hitung, mestinya adalah kerja yang diperlukan untuk memberi muatan ion , membawa q dari
74
nol sampai q. Misalnya potensial listrik di permukaan bola adalah φa, yaitu suatu fungsi q.
Dengan definisi ini, potensial bola adalah kerja yang harus dilakukan untuk membawa satu
satuan muatan positif dari takterhingga ke permukaan bola; jika kita membawa muatan dq dari
tarterhingga ke permukaan, kerja yang diperlukan adalah dW = φa dq. Integralkan dari nol hingga
q, kita peroleh kerja yang diperlukan dalam memuati ion:
q
W= ∫0 ¿ φa dq (7.58)
¿
Dengan W adalah energi tambahan yang dimiliki ion karena muatannya; energi Gibbs sebuah ion
lebih besar dibanding pada partikel netral sebesar W. Tambahan energi ini tersusun atas dua
kontribusi:
W = Ws + Wi (7.59)
Energi yang diperlukan untuk memuati suatu bola terisolasi yang dibenamkan dalam medium
dielektrik adalah energi diri dari bola bermuatan tersebut, Ws. Karena Ws tidak bergantung pada
konsentrasi ion, ia akan terserap dalam nilai µ0. Energi tambahan selain Ws yang diperlukan
untuk memuati ion dalam keberadaan semua ion lain adalah energi interaksi W i, yang nilainya
sangat bergantung pada konsentrasi ion. Inilah Wi yang kita cari dalam suku, kT ln γ± :
kT ln γ± = Wi = W – Ws (7.60)
Potensial dari bola bermuatan terisolasi yang dicelupkan dalam medium yang memiliki
permitiviti ε diberikan oleh formula dari elektrostatika klasik: φa = q/4πεa. Dengan menggunakan
nilai ini dalam integral pada persamaan (7.58), kita peroleh Ws ,
q q q2
Ws = ∫0 4 πε a
dq=
8 πε a
(7.61)
Dengan mengetahui nilai Ws, kita dapat memperoleh nilai Wi jika kita berhasil dalam
menghitung W. Untuk menghitung W pertama kita harus menghitung φa, lihat persamaan (7.58).
Sebelum mengerjakan perhitungan kita dapat memperkirakan secara beralasan bahwa W i akan
negative. Perhatikan suatu ion positif: ia menarik ion negative dan menolak ion positif lainnya.
Sebagai hasilnya adalah ion negative, secara rata rata, sedikit lebih dekat ke ion positive
disbanding ion positive yang lain. Hal ini berakibat ion memiliki energi Gibbs yang lebih rendah
disbanding jika ia tidak bermuatan; itulah sebabnya kita tertarik pada energi relative terhadap
spesies spesies yang tidak bermuatan, Wi negative. Pada tahun 1923 P. Debye dan E. Huckel
berhasil memperoleh nilai φa. Berikut ini adalah versi ringkasan dari metoda yang mereka pakai.
Kita tempatkan titik asal dari sistem koordinat speris di pusat ion positif (gambar 7.4).
Perhatikan titik P pada jarak r dari pusat ion. Potensial φ di titik P dihubungkan dengan densitas
muatan ρ, yaitu muatan per satuan volume, dengan persamaan Poisson (untuk penurunannya,
lihat Appendix II):
1 d 2 dϕ ρ
r 2 dr
r(dr
=−
ε) (7.62)
Jika ρ dapat dinyatakan sebagai fungsi baik φ maupun r , maka pers.(7.62) dapat diintegrasikan
untuk menghasilkan φ sebagai fungsi r, dari sini kita dapatkan φa secara langsung.
Untuk menghitung ρ kita lakukan sebagai berikut, misalnya c+ dan c- konsentrasi ion positif
dan ion negative,jika z+ dan z- adalah valensi ion dan e adalah besarnya muatan electron, maka
75
muatan 1 mol ion positif adalah z+F, dan muatan positif dalam satuan volume adalah c+z+F,
dengan F adalah tetapan Faraday; yaitu F = 96484,56 C/mol. Densitas muatan, ρ, adalah muatan
total,positif plus negatif, dalam satuan volume, oleh karena itu
Jika potensial listrik pada P adalah φ, maka energi potensial ion positif dan ion negative pada P
adalah ez+φ dan ez-φ,. Debye dan Huckel mengasumsikan bahwa distribusi ion adalah distribusi
Boltzmann (Bab 14.3). Sehingga
−z + eφ / kT −z − eφ / kT
c+ =c0+ e dan c− =c0− e
dengan c+0 dan c-0 adalah konsentrasi di daerah dengan φ=0; tetapi di daerah dengan φ=0,
distribusinya adalah seragam dan larutan harus netral listrik;ρ harus nol. Hal ini membutuhkan
bahwa
c+z+ + c-z- =0
[
ρ = F c+ z ++c− z − −
eφ 0 2 0 2
(c z +c z )
kT + + − − ]
Dengan mwngasumsikan bahwa zeφ/kT <<1, eksponensialnya diekspansikan dalam deret ;e-x = 1
– x + … Hali ini mereduksi ρ menjadi
[0 0
ρ = F c+ z + +c− z − −
eφ 0 2 0 2
(c z +c z )
kT + + − − ]
Kondisi netralitas listrik mengeluarkan dua suku pertama; maka, karena e/k = F/R, kita peroleh
F2 φ
ρ=− ∑ c0 z2
RT i i i
(7.64)
Dengan penjumlahan adalah meliputi semua jenis ion dalam larutan,dalam kasus ini,dua jenis
ion yang ada. Dengan menggunakan relasi ini, kita peroleh
F2
ρ
− =
ε (
∑ c 0 z 2 φ= x 2 φ
ε RT i i i ) (7.65)
Dengan menggunakan nilai dari -ρ/ε, persamaan Poisson, persamaan (7.62), menjadi
1 d 2 dφ
r
2 dr
r(dr )
− x 2 φ=0 (7.67)
76
Jika kita substitusikan φ=v/r dalam persamaan (7.67), itu akan mereduksinya menjadi
2
d v
2
− x 2 v =0 .(7.68)
dr
e −xr e xr
φ= A +B (7.69)
r r
Saat r → ∞, suku kedua pada sebelah kanan mendekati takterhingga. * Potensialnya seharusnya
tertentu pada saat r → ∞, jadi suku kedua ini tidak dapat dipisah dari solusi fisiknya; oleh karena
itu kita nyatakan B=0 dan memperoleh
e −xr
φ= A (7.70)
r
Dengan mengekspansikan eksponensial dalam deret dan hanya menetapkan dua suku pertama,
kita peroleh
φ= A ( 1−xr
r ) A
= − Ax
r
(7.71)
Jika konsentrasi nol, maka x = 0, dan potensial di titik P seharusnya hanya disebabkan pusat ion
positif saja, φ =z+ e/ 4πεr. Tetapi saat x = 0, persamaan (7.71) tereduksi menjadi φ = A/r;
sehingga A = z+ e/4πε; persamaan (7.71) menjadi:
z + e z + ex
φ= − (7.72)
4 πε r 4 πε
Pada r = a, kita peroleh
z+ e z + ex
φa = − (7.73)
4 πε a 4 πε
Jika, dengan pengecualian pada ion positif pusat kita, semua ion lain dalam larutan
bermuatan penuh, maka kerja yang diperlukan untuk memberi muatan ion positif ini dalam
keberadaan ion ion lain, adalah persamaan (7.58)
q
W + =∫ φ a dq
0
tetapi q = z+e, sehingga dq = e dz+. Dengan memakai persamaan (7.73)untuk φa, kita peroleh
z+ z+
z + e 2 z+ e 2 x
W +=∫
0
( 4 πε a
−
4 πε ) (
dz +=
e2
−
e2 x
4 πε a 4 πε )∫ z dz
0
+ +
( z+ e )2 ( z+ e )2 x
W += − (7.74)
8 πε a 8 πε
dengan suku pertama adalah energi diri W s,+, dan yang kedua adalah energi interaksi W i,+,yaitu
energi Gibba ekstra dari ion positif tunggal yang disebabkan oleh adanya ion yang lain. Dengan
memakai persamaan (7.60), kita peroleh
77
2
−( z+ e ) x
kT ln γ+ = (7.75)
8 πε
Untuk ion negative kita peroleh
( z− e )2 x
kT ln γ- = − (7.76)
8 πε
Koefisien aktifitas ionic rata rata dapat dihitung menggunakan persamaan (7.45): γ±v
= γ+ γ- .
v+ v-
dengan ci adalah konsentrasi ion ke I dalam mol/L. Karena ci0 =(1000L/m3)ci, kita peroleh
∑ c0i z 2i =(1000 L/m3 )∑ c i z 2i =2( 1000 L/m3 ) I c ,
i i
[ ]
3/ 2
( 2000 L/ m3 )1/ . 2 F 2
log 10 γ ± =
( )
( 2,303 )8πN A ε RT
z+ z − I 1/
c
2
(7.80)
Faktor yang tertulis dalam kurung adalah terdiri dari konstanta universal dan nilai ε serta T.
Untuk medium kontinyu, ε =εrε0, dengan εr adalah konstanta dielektrik medium. Memasukkan
nilai nilai konstanta kita peroleh
78
6 3 /2 1/2 1 /2
(1, 8248 x 10 K L /mol
log 10 γ ±= z+ z− I 1/2
c (7.81)
(ε r T )3/2
Dalam air pada 25oC,εr = 78,54; sehingga kita peroleh
1/2 1/2 1/ 2
log 10 γ ±=( 0, 5092 L /mol ) z + z− I c (7.82)
Baik persamaan (7.81) maupun (7.82) keduanya adalah aturan pembatas Debye-Huckel.
Hukum pembatas ini memprediksikan bahwa logaritma dari koefisien aktifitas ionic rata rata
adalah fungsi linear dari akar pangkat dua kekuatan ionic dan slope pada kurvanya seharusnya
berbanding lurus terhadap hasil kali valensi ion positif dan ion negative.( Slopenya adalah
negative, karena z- adalah negative). Prediksi ini dikonfirmasi dengan eksperimen dalam larutan
encer elektrolit kuat. Gambar 7.4 menunjukkan variasi dari log 10 γ± dengan Ic; kurva padat
adalah data eksperimen; garis putus putus adalah nilai prediksi oleh hukum pembatas, persamaan
(7.82).
79
-z+ex2re-xrdr
Dengan mengintegrasikan kuantitas ini dari nol ke takterhingga kita peroleh muatan total pada
atmosfir yaitu –z+e. Bagian dari muatan total ini yang berada dalam lapisan speris, persatuan
tebal dr dari lapisan, kita sebut f(r). Yaitu
f (r) = x2 re-xr (7.84)
Gambar 7.5
Fungsi f (r) adalah fungsi distribusi muatan dalam atmosfir. Plot f (r) terhadap r tampak
dalam gambar 7.5. Maksimum pada kurva muncul pada rmax =1/x , panjang Debye. Dalam
elektrolit bertipe valensi simetris, 1:1; 2:2; dan lainnya, kita boleh mengatakan bahwa f (r)
merepresentasikan probabilitas persatuan tebal dr untuk menemukan kesetimbangan ion dalam
lapisan speris pada jarak r dari pusat ion. Dalam larutan berkekuatan ionic tinggi penggabungan
ke ion pusat sangat dekat, 1/x adalah kecil; pada kekuatan ionic yang lebih rendah 1/x adalah
besar dan penggabungan menjauh.
Kita telah memakai relasi γ+γ-= γ±2. Jika molalitas total asam adalah m dan derajad dissosiasi
adalah α,
80
mH+ = αm, mA- = αm, mHA = (1 - α)m
2 2
γ± α m
K= (7.86)
γ HA ( 1−α )
Jika larutan encer , kita dapat menyatakan γHA = 1, karena HA adalah spesi yang tidak
bermuatan. Juga jika K kecil, 1-α ≈1. Maka persamaan (7.86) menghasilkan
1/2
K 1
α= ( )
m γ±
(7.87)
Jika kita mengabaikan interaksi ionic, kita harus menyatakan γ± =1 dan menghitung α0 =
(K/m)1/2. Sehingga persamaan (7.87) menjadi
α0
α= (7.88)
γ±
Dari hukumpembatas, γ± < 1; sehingga nilai yang benar dari α diberikan oleh persamaan (7.88)
adalah lebih besar dari nilai kasar α, yang mengabaikan interaksi ionic. Stabilisasi ion oleh
adanya ion ion lain menggeser kesetimbangan untuk menghasilkan lebih banyak ion; sehingga
derajat dissosiasinya bertambah.
Jika larutan cukup encer dengan ion, γ± dapat diperoleh dari hukum pembatas, Persamaan
(7.82), yang untuk elektrolit 1 : 1 dapat ditulis seperti :
1/2 1/ 2
γ± = 10−0, 51 (α0 m ) =e −1,17 (α0 m )
dengan kekuatan ionic Ic = α0m. (kita telah mengabaikan beda antara c dam m). Nilaiα0 dapat
dipakai untuk menghitung Ic, karena α dan α0 tidak berbeda jauh. Dengan memakai ungkapan
ini, Persamaan (7.88) menjadi
1,17( α 0 m )1 / 2
α=α 0 e =α 0 [1+1, 17( α 0 m)1 / 2 ]
Pada persamaan yang terakhir, eksponensial telah diekspansikan dalam deret. Penghitungan
untuk asam asetat 0,1 molal, K = 1,75 x 10-5, menunjukkan bahwa derajat dissosiasi bertambah
sekitar 4%. Pengaruh tersebut kecil karena dissosiasi tidak menghasilkan banyak ion.
Jika sejumlah besar elektrolit inert, salah satunya tidak mengandung baik ion H + maupun
-,
A ditambahkan ke dalam larutan asam lemah, lalu akan dihasilkan pengaruh yang cukup berarti
pada dissosiasinya. Perhatikan larutan asam lemah dalam 0,1 mol KCl, sebagai contoh. Kekuatan
ionic larutan ini terlalu besar untuk menggunakan hukum pembatas, tetapi nilai γ± dapat
diestimasi dari Tabel 7.1 Tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk elektrolit 1:1 nilai γ± dalam
0,1 molal larutan adalah kira kira 0,8. Kita dapat mengasumsikan bahwa ini adalah nilai yang
cukup beralasan untuk ion ion H+ dan A- dalam 0,1 molal larutan KCl. Kemudian dengan pers.
(7.88),
α0
α= =1, 25 α 0
0,8
Jadi adanya sejumlah besar elektrolit inert memberi pengaruh yang cukup apresiatif, efek
garam , pada derajat dissosiasi. Efek garam makin besar pada konsentrasi elektrolit yang lebih
tinggi.
Perhatikan kesetimbangan dari garam yang sedikit larut, seperti Perak klorida dengan ion
ionnya:
81
AgCl(s) ↔ Ag+ + Cl-
Konstanta hasil kali kelarutan adalah
Ksp = aAg+aCl- = (γ+ m+)(γ- m-).
Jika s adalah kelarutan garam dalam mol per kilo air, maka m+ = m- = s, dan
Ksp = γ±2 s2
Jika so adalah kelarutan yang dihitung dengan mengabaikan interaksi ionic, maka s 02 = Ksp, dan
kita memiliki
s0
s= (7.89)
γ±
yang menunjukkan bahwa kelarutan bertambah karena interaksi ionic. Dengan alasan yang sama
seperti yang kita pakai dalam membicarakan dissosiasi asam lemah, kita dapat menunjukkan
bahwa dalam 0,1 molal larutan elektrolit inert seperti KNO 3, kelarutan akan bertambah sekitar
25%. Kenaikan kelarutan ini dihasilkan oleh suatu elektrolit inert yang kadang kadang disebut
“salting in”. Pengaruh elektrolit inert pada kelarutan garam seperti BaSO4 akan menjadi sangat
besar karena muatan lebih besar pada ion ion Ba 2+ dan SO42- . Pengaruh garam pada kelarutan
yang dihasilkan oleh elektrolit inert seharusnya tidak dikacaukan dengan berkurangnya kelarutan
yang dipengaruhi oleh suatu elektrolit yang mengandung ion sejenis dengan garam yang ditinjau
itu. Selain dari kerja yang berlawanan, pengaruh ion sejenis sangat besar dibandingkan dengan
pengaruh elektrolit inert.
SOAL SOAL:
1. Nilai Kf sebenarnya dalam larutan sukrosa (C12H22O11) pada berbagai konsentrasi
82
4. Kesetimbangan cair-uap dalam sistem , isopropyl alcohol-benzene, dipelajari meliputi
komposisi pada 25oC. Uapnya dapat dianggap gas ideal. X1 adalah fraksi mol isopropyl
alcohol dalam cairan, dan p1 adalah tekanan parsial alcohol dalam uap. Datanya adalah
X1 1,000 0,924 0,836
P1/mmHg 44,0 42,2 39,5
a). Hitunglah aktifitas rasional dari isopropyl alcohol pada x 1 = 1,000, x1 = 0,924, dan x1 =
0,836
b). Hitunglah koefisien aktifitas rasional dari isopropyl alcohol pada tiga komposisi di a).
c) Pada x1 = 0,836 hitunglah jumlah yang dengannya potensial kimia alcohol berbeda dari
jika ia dalam larutan ideal.
83
BAB VIII
KESETIMBANGAN DALAM SEL ELEKTROKIMIA
8.1 Pendahuluan
Sel elektrokimia adalah suatu alat yang dapat memproduksi kerja listrik ke lingkungan.
Contoh, sel kering komersial adalah silinder bersegel dengan dua kuningan ysng dihubungkan
dengan terminal yang menonjol darinya. Salah satu terminal ditandai dengan tanda positif(plus),
sedang yang lain dengan tanda negatif (minus). Jika dua terminal dihubungkan ke suatu motor
kecil, elektron mengalir melalui motor dari kutub negatif ke kutub positif dari sel. Dihasilkan
kerja ke lingkungan dan reaksi kimia, reaksi sel, berlangsung di dalam sel. Dengan persamaan
(10.14), kerja listrik yang dihasilkan , Wel, lebih kecil atau sama dengan penurunan energi Gibbs
dari reaksi sel, -∆G.
W el ≤−ΔG (8.1)
Sebelum melanjutkan pembahasan remodinamik kita berhenti sejenak untuk melihat beberapa
hal mendasar tentang elektrostatik.
8.2 Definisi
Potensial listrik suatu titik di dalam ruang didefinisikan sebagai kerja yang dibutuhkan
untuk membawa satu satua muatan positif dari takterhingga, yang disitu potensial listriknya nol,
ke titik yang dimaksud tadi. Jadi jika φ adalah potensial listrik di titik itu dan W adalah kerja
yang diperlukan untuk membawa muatan Q dari takterhingga ke titik itu, maka
W
φ= (8.2)
Q
Dengan cara yang sama, jika φ1 dan φ2 adalah potensial listrik dari dua titik dalam ruang , dan W1
dan W2 adalah kuantitas yang berhubungan dengan kerja yang dibutuhkan untuk membawa
muatan Q ke titik titik ini, maka
W1 + W12 = W2 (8.3)
dengan W12 adalah kerja untuk membawa Q dari titik 1 ke titik 2. Hubungan ini ada karena
medan listrik adalah kekal. Sehingga kerja dengan kuantitas yang sama harus dikeluarkan untuk
membawa Q ke titik 2, apakah dibawa secara langsung, W 2, atau pertama dibawa dulu ke titik 1
kemudian ke titik 2, W1 + W12, Oleh karena itu W12 = W2 – W1, dan dari persamaan (8.2),
W 12
φ2 - φ1= (8.4)
Q
Perbedaan potensial listrik antara dua titik adalah kerja yang dikeluarkan untuk membawa satu
satuan muatan positif dari titik 1 ke titik 2.
Untuk pemindahan sejumlah muatan tertentu, kita peroleh elemen kerja yang dikeluarkan
pada sistem.
W12 = -dWel = ε dQ,
dengan ε adalah beda potensial φ2 - φ1, dan dWel adalah kerja yang dihasilkan.
84
8.3 Potensial kimia Spesi Bermuatan
Kecenderungan melepas dari partikel bermuatan, suatu ion atau elektron, dalam suatu
fase bergantung pada potensial listrik pada fase tersebut. Jelasnya, jika kita menanamkan suatu
potensial listrik negatif yang besar pada sebatang logam, kecenderungan melepas dari partikel
negatif akan bertambah.Untuk menemukan hubungan antara potensial listrik dan kecenderungan
melepas, potensial kimia, kita perhatikan sistem dari dua bola M dan M ’ dari logam yang sama.
Misalnya potensial listrik mereka adalah φ dan φ’.Jika kita memindahkan sejumlah elektron yang
membawa muatan, dQ,dari M ke M’, kerja yang dikeluarkan pada sistem dinyatakan oleh pers.
(8.4): -dWel = (φ’ - φ) dQ. Kerja yang dihasilkan adalah dWel. Jika pemindahan dikerjakan secara
reversibel,maka dengan persamaan (10.13), kerja yang dihasilkan sama dengan penurunan energi
Gibbs sistem; dWel = - dG, sehingga
dG = ( φ’- φ) dQ.
Tetapi, dalam bentuk potensial kimia elektron, µe, jika dn mol elektron dipindahkan, kita peroleh
dG = µe’ – dn - µe - dn
dn mol elektron membawa muatan negatif dQ = - F dn, dengan F adalah muatan per mol
elektron, F = 96.484,56 C/mol. Mengkombinasikan dua pers ini menghasilkan, setelah
pembagian oleh dn,
μ'e− −μ e− =−F ( φ' −φ )
yang setelah penataan ulang akan menjadi
μe− =μ 'e− +Fφ' −Fφ
Misalnya µe- adalah potensial kimia elektron dalam M jika φ adalah nol; maka µe- = µe-‘+ Fφ’.
Kurangkan persamaan ini dari persamaan sebelumnya, kita peroleh
µe-= µe- - F (8.6)
Persamaan (8.6) adalah hubungan antara kecenderungan elektron melepas , µe- dalam fase
dan potensial listrik dari fase φ. Kecenderungan melepas adalah fungsi linear dari φ. Ingat bahwa
persamaan (8.6) menunjukkan bahwa jika φ negatif ,µe- lebih besar daripada jika φ positif.
Dengan alasan yang sama, itu dapat ditunjukkan bahwa untuk tiap spesi bermuatan dalam
fase
µi = µi + zi Fφ (8.7)
dengan zi adalah muatan pada spesi. Untuk elektron, z e- = -1, sehingga persamaan (8.7) akan
tereduksi menjadi persamaan (8.6). Persamaan (8.7) membagi potensial kimia µi spesi bermuatan
menjadi dua suku. Suku pertama, µi adalah kontribusi kimia terhadap kecenderungan melepas.
Kontribusi kimia dihasilkan oleh lingkungan kimia yang di dalamnya terdapat spesi bermuatan,
dan besarnya sama dalam dua fase yang berkomposisi kimia sama karena hanya merupakan
fungsi T,p dan komposisi saja. Suku kedua, ziFφ adalah kontribusi elektrik terhadap
kecenderungan melepas; ia bergantung pada kondisi elektrik dari yang dimanifestasikan dalam
nilai φ. Karena menguntungkan untuk membagi potensial kimia menjadi dua kontribusi ini , µi,
potensial elektrokimia, telah diajukan untuk menetapkan µi sebagai potensial kimia biasa.
85
Elektron dalam logam
Di dalam bagian logam dari sistem kita kita tidak dapat mengabaikan potensial elektrik, karena
kita sering menbandingkan potensial listrik dari dua kawat yang berbeda yang berkomposisi
sama (dua ujung sel). Demikian juga, pada sebatang logam jelas bahwa pembagian potensial
kimia ke dalam ‘bagian kimia’ dan ‘bagian elektrik’ adalah sembarang, hanya dibenarkan oleh
keadaan mana yang lebih menguntungkan.Karena ‘bagian’ kimia dari kecenderungan melepas
timbul dari interaksi pada partikel bermuatan listrik yang menyusun tiap materi, tidak ada cara
untuk menentukan dalam suatu materi tertentu, mana yang merupakan bagian’kimia’ berakhir
dan bagian’listrik’ muai.
Untuk membuat sembarang pembagian µi seenak mungkin, kita menetapkan bagian
‘kimia’ dari µe- nilai uang paling menguntungkan, nol, dalam tiap logam. Sehingga dalam tiap
logam, terdapat aturan,
µe- = 0 (8.8)
Kemudian, untuk elektron dalam tiap logam, persamaan(8.6) menjadi
µe- = -Fφ (8.9)
86
Partikel partikel bermuatan:
Bentuk umum µi =µi +zi Fφ (8.7)
a) on ion dalam larutan berair φaq=0
keadaan standart µ H+=0
o
(8.13)
Bentuk umum µi =µi =µio + RT ln ai
Lengkap PtH2(g,p=0,8)H2SO4(aq,a=0,42)Hg2SO4(s)Hg(l)
Singkat PtH2H2SO4(aq)Hg2SO4(s)Hg
87
antarmuka PtIZn dan CuPtII terbentuk kesetimbangan oleh lintasan elektron elektron bebas
yang melalui antarmuka tersebut.Kondisi kesetimbangan pada antarmuka ini adalah
µe-(PtI) = µe- (Zn) dan µe- (Cu) = µe- (PtII) (8.14)
Dengan menggunakan persamaan (8.9), kita peroleh
φI = φZn , φCu = φII (8.15)
dengan φI dan φII adalah potensial dua batang platinum dan φZn adalah potensial elektroda seng
yang kontak dengan larutan yang mengandung ion seng. Perbedaan potensial listrik dari sel
(potensial sel) didefinisikan oleh
ε = φkanan - φkiri (8.16)
Untuk kasus ini, potensial sel adalah
ε = φII - φI = φCu - φZn (8.17)
Perbedaan φII - φI dapat diukur karena itu adalah beda potensial antara dua fase yang memiliki
komposisi kimia yang sama (keduanya platina).
88
a Zn 2+
o
2Fε = -∆G - RT ln
a Cu2 +
Jika kedua elektroda ada dalam keadaan standart, aZn2+ = 1 dan aCu2+ = 1, potensial sel adalah
potensial sel standart, εo. Sehingga, setelah kita membagi dengan 2F, persamaan menjadi
RT a Zn 2+
ε = εo - ln (8.22)
2F a Cu2 +
yang dengan persamaanNernst untuk sel. Persamaan ini menghubungkan potensial sel ke nilai
standart dan perbandingan aktifitas zat yang tepat dalam reaksi sel.
89
dengan Q adalah hasilbagi dari aktifitas. Mengkombinasikan ini dengan persamaan (8.24), kita
peroleh
-nFε = ∆Go + RT ln Q
Potensial standart sel didefinisikan oleh
-nFε = ∆Go (8.26)
Memasukkan nilai ∆Go ini dan membagi dengan –nF, kita peroleh
RT
ε=ε o − ln Q ; (8.27a)
nF
2, 303 RT
ε=ε o − log 10 Q ; 8.27b)
nF
0, 05916V
ε=ε o − log 10 Q pada suhu 25o (8.27c)
n
Persamaan (8.27) adalah bentuk lain dari persamaan Nernst untuk sel.Persamaan Nernst
menghubungkan potensial sel ke nilai standart,εo,dan aktifitas spesies ambil bagian dalam reaksi
sel.Dengan mengetahui nilai εo dan aktifitas, kita dapat menghitung potensial sel.
90
Gambar 8.2 Elektroda Hidrogen
Dengan f adalah fugasitas H2 dan aH+ adalah aktifitas ion hidrogen dalam larutan berair.Jadi
o 1 o 1
μ H+ − μ H
2 2 RT f2 (8.28)
φ H +/ H = − ln
2 F F aH+
Jika fugasitas gas adalah satu, dan aktifitas H + dalam larutan adalah satu, elektroda ada dalam
keadaan standart, dan potensialnya adalah potensial standart, φoH+/H2. Misalkan f = 1dan aH+ = 1
dalam persamaan (8.28) kita peroleh
o 1 o
μ H+ − μ H 2 μo +
2 (8.30)
φoH + / H = = H
2 F F
karena µo H2 = 0, kurangkan persamaan (8.29) dari persamaan (8.28) menghasilkan
1
RT f 2
φ H + / H =φ oH + / H − ln (8.30)
2 F aH+
yang merupakan persamaan Nernst untuk elektroda hidrogen; itu menghubungkan potensial
elektroda ke aH+ dan f. Sekarang elektron dalam platina pada elektroda hidrogen standart adalah
dalam keadaan standart tertentu. Kita pilih keadaan standart pada energi Gibbs nol untuk
elektron keadaan ini dalam SHE. Karena, dengan persamaan (8.9), µe- = - Fφ kita peroleh
µe-(SHE) = 0 dan φH+/H2 = 0 (8.31)
Energi Gibbs elektron dalam setiap logam diukur relatif terhadap elektroda hidrogen standart.
Penempatan dalam persamaan (8.31) menghasilkan energi Gibbs nol konvensional untuk ion ion
dalam larutan berair. Dengan menggunakan persamaan (8.31) dalam persamaan (8.29), kita
peroleh
µo H+ = 0 (8.32)
Energi Gibbs standard untuk ion ion lain dalam larutan berair diukur relatif terhadap ion H +,
yang memiliki energi Gibbs standart sama dengan nol.
Persamaan Nernst, persamaan (8.30), untuk elektrode hidrogen menjadi
1
RT f 2 (8.33)
φ H + / H =− ln
2 F aH+
91
Ingat bahwa argumen pada logaritma adalah hasil bagi untuk fugasitas dan aktifitas untuk reaksi
elektroda jika adanya elektron diabaikan dalam penyusunan hasilbagi. Dari persamaan (8.33)
kita dapat menghitung potensial, relatif terhadap SHE, dari elektroda hidrogen yang disitu f H2
dan aH+ memiliki nilai sembarang.
Dengan mengukur potensial sel pada berbagai konsentrasi Cu+, kita dapat menentukan
ε Cu2+/Cu = φoCu2+/Cu. Potensial standart ini ditabulasikan sepanjang denganpotensial standart
o
setengah sel yang lain dalam Tabel 8.1. Tabel potensial setengah sel senacam ini, atau potensial
elektroda, adalah sama dengan tabel energi Gibbs standart yang darinya kita dapat menghitung
nilai nilai konstanta kesetimbangan untuk reaksi kimia dalam larutan. Ingat bahwa potensial
standart adalah potensial elektroda jika semua spesi reaktif ada dalam aktifitas satu, a = 1.
Situasi ini dapat dirangkum sebagai berikut: jika reaksi setengah sel ditulis dengan
elektron dalam SHE pada sisi reaktan, setiap sistem elektroda dapat direpresentasikan sebagai
Spesies teroksidasi + ne-SHE ↔ spesies tereduksi
92
Tabel 8.1 Potensial elektode standar pada suhu 25oC
Reaksi elektrode φo/V
K+ + e- ↔ K -2,925
Na+ + e- ↔ Na -2,714
H2 + 2e- ↔ 2H- -2,25
Al3+ 3e- ↔ Al -1,66
Zn(CN)42- + 2e-- ↔ Zn + 4CN- -1,26
ZnO22- + 2H2O + 2e-- ↔ Zn + 4OH- -1,216
Zn(NH3)42+ + 2e- ↔ Zn + 4NH3 -1,03
Sn(OH)62- + 2e-- ↔ HsnO2- + H2O + 3OH- -0,90
Fe(OH)2 + 2e- ↔ Fe + 2OH- -0,877
2H2O + 2e- ↔ H2 + 2OH- -0,828
Fe(OH)3 + 3e- ↔ Fe + 3OH- -0,77
Zn2+ + 2e- ↔ Zn -0,763
Ag2S + 2e- ↔ 2Ag + S2- -0,69
Fe2+ + 2e- ↔ Fe -0,440
Bi2O3 + 3H2O + 6e- ↔ 2Bi + 6OH- -0,44
PbSO4 + 2e- ↔ Pb + SO42- -0,356
Ag(CN)2- + e- ↔ Ag + 2CN- -0,31
Ni2+ +2e- ↔ Ni -0,250
AgI + e- ↔ Ag + I- -0,151
Sn2+ + 2e- ↔ Sn -0,136
Pb2+ +2e- ↔ Pb -0,126
Cu(NH3)42+ + 2e- ↔ Cu + 4NH3 -0,12
Fe3+ + 3e- ↔ Fe -0,036
2H+ + 2e- ↔ H2 0,000
AgBr + e- ↔ Ag + Br- +0,095
HgO(r) + H2O + 2e- ↔ Hg + 2 OH- +0,098
Sn4+ + 2e- ↔ Sn2+ +0,15
AgCl + e- ↔ Ag + Cl- +0,222
Hg2Cl2 + 2e- ↔ 2Hg + 2Cl- +0,2676
Cu2+ + 2e- ↔ Cu +0,337
Ag(NH3)2+ + e- ↔ Ag + 2NH3 +0,373
Hg2SO4 + 2e- ↔ 2Hg + SO42- +0,6151
Fe3+ + e- ↔ Fe2+ +0,771
Ag+ + e- ↔ Ag +0,7991
O2 + 4H+ + 4e- ↔ 2H2O +1,229
PbO2 + SO42- + 4H+ + 2e- ↔ PbSO4 + 2H2O +1,685
O3 + 2H+ + 2e- ↔ O2 + H2O +2,07
93
RT
φ=φo − ln Q (8.41)
nF
• Contoh 8.1 untuk elektroda ion tembaga/tembaga kita secara explisit mempunyai
o o o
2F φCu 2+ /Cu = -∆Go = - ( μ Cu −μ Cu 2+ )
o
karena μCu = 0, ini menjadi
μoCu 2+ = 2F φoCu 2+ /Cu
o
karena φCu 2+ / Cu = +0,337 V, kita mendapatkan :
μo = 2(96484 C/mol)(+0,337V) = 65,0 x 103 J/mol = 65,0 kJ/mol
Cu 2+
o
• Contoh 8.2 Untuk elektrode Sn4+/Sn2+ φ Sn4+ / Sn2+ = 0,15 V; untuk elektrode Sn2+/Sn
φo 2+ μo 4 + , μo 2+ , dan φo 4+ .
Sn / Sn = -0,136 V. Hitung Sn Sn Sn / Sn
Reaksinya adalah :
o o
Sn4+ + 2e- ↔ Sn2+ 2F(0,15 V) = -( μSn 2+ - μSn4 + )
o
Sn2+ + 2e- ↔ Sn 2F(-0,136 V) = -( μSn - μSn 2+ )
Persamaan kedua menghasilkan :
μoSn 2+ = 2(96484 J/mol)(-0,136 V)(10-3 kJ/mol) = -26,2 kJ/mol
kemudian
μoSn4 + = 29 kJ/mol + μoSn 2+ = 29 26,2 = 3 kJ/mol
o
untuk mendapatkan φ Sn4+ / Sn ,tulis reaksi setengah sellnya :
Sn4+ + 4e- ↔ Sn
Kemudian
o o o
4F φ Sn4+ / Sn = -( μSn - μSn4 + ) = μSn4 +
dan
3000 J /mol
φoSn4+ / Sn = =0, 008 V
4(96484 C /mol )
( ∂T∂ ε ) = ΔSnF
p
(8.42)
94
Jika sel tidak mengandung elektroda gas, maka karena perubahan entropi reaksi dalam larutan
seringkali kecil, kurang dari 50 J/K, koefisien suhu potensial sel biasanya setingkat 10 -4 sampai
10-5 V/K. Sebagai konsekuensinya, jika hanya peralatan rutin yang dipakai untuk mengukur
potensial sel dan koefisien suhu dicari, pengukuran yang meliputi kisaran suhu yang luas cukup
layak.
Nilai ∆S tidak bergantung pada suhu adalah pendekatan yang bagus; dengan
mengintegralkan persamaan (8.42), antara suhu acuan To dan T, kita peroleh
ΔS ΔS
ε=ε To + ( T −T o ) atau ε=ε o + (t −25) (8.43)
nF 25 C nF
dengan t dalam oC. Potensial sel adalah fungsi linear dari suhu.
Melalui persamaan (8.42), koefisien suhu dari potensial sel menghasilkan nilai ∆S. Dari
ini dan nilai ε pada sembarang suhu kita dapat menghitung ∆H untuk reaksi sel. Karena ∆H =
∆G + T∆S, maka
ΔΗ=−nF ε −T
[ ( )] ∂ε
∂T p
(8.44)
sehingga dengan mengukur ε dan ( ( ∂ ε /∂T ) P kita dapat memperoleh sifat sifat termodinamis
reaksi sel,∆G,∆H,∆S.
• Contoh 8.3 Untuk reaksi sell
Hg2Cl2 (s) + H2 (1 atm) → 2Hg(l) + 2H+ (a=1) + 2Cl-(a=1),
εo298 = +0,2676 V dan ( ∂ ε o /∂T ) p = -3,19 x 10-4 V/K
karena n = 2,
∆Go = -2(96484 C/mol)(0,2676 V)(10-3 kJ/J) = -51,64 kJ/mol;
∆Ho = -2(96484 C/mol)[0,2676 V-298,15 K(-3,19 x 10-4 V/K)](10-3 kJ/J)
= -69,99 kJ/mol;
∆So = 2(96484 C/mol)(-3,19 x 10-4 V/K) = -61,6 J/K mol
95
8.11 Macam–macam Elektroda
Di sini kita akan menyebutkan beberapa jenis elektroda yang penting, dan memuat reaksi
setengah sel dan persamaan Nernst.
8.11.1 Elektroda Gas Ion
Elektroda gas ion terdiri dari suatu pengumpul elektron yang inert, seperti platina atau
grafit, kontak dengan gas dan ion yang larut. Elektroda H 2H+, yang didiskusikan secara detail
dalam bab 8.8 adalah salah satu contoh. Contoh yang lain adalah elektroda klorin, Cl 2Cl-
grafit:
2
RT aCl −
o
Cl2 (g) + 2e ↔ 2 Cl (aq)
- -
φ=φ − ln (8.46)
2F p Cl 2
Elektrode Mercuri-Merkuri Oksida. Sejumlah merkuri dilapisi oleh pasta merkuri oksida dan
larutan basa.
o RT
HgO(s) + H2O 2e- ↔ Hg(l) + 2OH- (aq) φ=φ − ln a 2OH −
2F
Elektode Mercuri-Merkuro sulfat. Sejumlah merkuri dilapisi dengan pasta merkurosulfat dan
larutan yang mengandung sulfat.
o RT
Hg2SO4(s) + 2e- ↔ 2Hg(l) + SO42-(aq) φ=φ − ln a 2−
2F SO 4
96
8.3.4 Elektrode ”Oksidasi-Reduksi”
Setiap elektroda yang melibatkan oxidasi reduksi dalam operasinya, tetapi elektroda ini
memiliki bentuk superfluos yang terikat kepadanya. Suatu elektroda oxidasi reduksi memiliki
pengumpul logam inert, biasanya platina, dibenamkan dalam larutan yang mengandung dua soesi
yang larut dalam keadaan oksidasi yang berbeda. Suatu contoh adalah elektroda ion feri-fero
(gambar 8.3)
RT a Fe 2+
Fe3+ + e- ↔ Fe2+ φ=φo − ln (8.50)
F a Fe 3+
97
Langkah 1. Pilih spesi teroksidasi Fe3+ pada sisi reaktan sebagai reaksi setengah sell yang
pertama ; pilih spesi teroksidasi Sn4+ pada sisi produk sebagai reaksi setangah sell kedua. Reaksi-
reaksi setengah sellnya adalah :
Fe3+ + e ↔ Fe2+ φo = 0,771 V
Sn4+ + e ↔ Sn2+ φo = 0,15 V
Langkah 2. Kalikan reaksi setengah sell pertama dengan 2 sehingga masing-masing akan
melibatkan jumlah electron yang sama.
Langkah 3. Kurangkan reaksi kedua dari yang pertama ; ini menghasilkan reksi asal.
Pengurangan potensial kedua dari yang pertama menghasilkan εo. εo = 0,771 – 0,15 = 0,62 V
Langkah 4. Karena n = 2, kita temukan :
nε o 2( 0, 62 V ) maka K = 1021
log 10 K = = =21
0,05916 V 0, 05916 V
Contoh 8.5 2MnO4- + 6H+ + 5H2C2O4 ↔ 2Mn2+ + 8H2O + 10CO2
Reaksi setengah ini (pilih spesi teroksidasi, MnO4-, pada sisi reaktan untuk reaksi setengah sell)
MnO4- + 8H+ + 5e- ↔ Mn2+ + 4H2O εo= 1,51V;
2CO2 + 2H+ + 2e- ↔ H2C2O4 εo = - 0,49V.
Kalikan koefisien reaksi pertama dengan 2, juga reaksi kedua dengan 5, kita peroleh :
2MnO4- + 16H+ + 10e- ↔ 2Mn2+ + 8H2O εo= 1,51V;
10CO2 + 10H+ + 10e- ↔ 5H2C2O4 εo = - 0,49V.
Dikurangkan, kita peroleh
2MnO4- + 6H+ + 5H2C2O4 ↔ 2Mn2+ + 8H2O + 10CO2
εo = 1,51 V – (-0,49V) = 2 V
karena n = 10,
10( 2V )
log 10 K = =338 atau K = 10338
0,05916 V
Contoh 8.6 Cd2+ + 4 NH3 ↔ Cd(NH3)42+
Reaksi ini bukan reaksi oksidasi reduksi ; walaupun demikian itu mungkin saja
terdekomposisi menjadi dua buah reaksi setengah sell. Pilih Cd2+ sebagai spesi teroksidasi untuk
reaksi setengah sell pertama, akan kita sadari bahwa tidak ada spesi tereduksi yang sesuai.
Situasi yang sama muncul jika kita pilih Cd(NH3)42+ sebagai spesi teroksidasi untuk reaksi
setengah sell kedua. Kita ambil saja, kita masukan spesi tereduksi yang sama untuk kedua reaksi
tersebut, logam cadmium tampaknya pilihan yang logis. Sehingga reaksi-reaksi setengah sellnya
adalah :
Cd2+ + 2e-↔Cd εo = -0,40 V;
Cd(NH3)42+ + 2e- ↔ Cd + 4 NH3 εo = -0,61 V
Dikurangkan , kita peroleh :
Cd2+ + 4 NH3 ↔ Cd(NH3)42+ εo = -0,40 V - (-0,61 V) = +0,21 V
2 ( 0, 21V )
log 10 K = =7,1 atau K = 1,3 x 107
0,05916 V
ini merupakan konstanta stabilitas untuk ion kompleks
Contoh 8.7 Cu(OH)2 ↔ Cu2+ + 2OH-,
Cu(OH)2 + 2e- ↔ Cu + 2 OH-, εo = - 0,224 V
Cu2+ + 2e- ↔ Cu, εo = + 0,337 V
Dikurangkan, kita peroleh
Cu(OH)2 ↔ Cu2+ + 2OH-, εo = - 0,224 V – (+0,337 V) = -0,561 V
98
2(−0, 561V )
log 10 K = =−18 , 97 atau K = 1,1 x 10-19
0, 05961V
ini merupakan konstanta hasil daya larut tembaga hidroksida
Untuk setiap pengurangan aktifitas ion perak sebesar pangkat sepuluh, potensialnya anjlog
hingga 59,16mV.
Dibandingkan bila kita mengencerkan larutan untuk mengurangi aktifitas ion perak, jika
kita menambahkan zat pengendap – atau zat pengkompleks yang dengan kuat bergabung dengan
ion perak- sehingga baik aktifitas ion perak maupun potensial elektroda akan berkurang secara
drastis. Sebagai contoh, jika kita menambahkan cukup HCl ke dalam larutan AgNO 3 dalam
elektroda Ag+Ag, tidak hanya untuk menyempurnakan pengendapan ion perak sebagai AgCl
tetapi juga untuk membawa aktifitas ion Clorida menjadi satu,elektroda akan dikonversi menjadi
elektroda standart AgAgClCl-. Untuk elektroda ini kesetimbangannya adalah:
AgCl (s) + e- ↔ Ag (s) + Cl- ; φo = 0,222 V
Potensial ini, jika kita menggunakan Persamaan Nernst untuk elektroda Ag +Ag, berkaitan
dengan aktifitas ion perak yang diberikan oleh:
1
0, 222 V =0, 799V −( 0,05916 V )log 10 a =1,8 x 10−10
a Ag+ atau Ag+
Pada saat yang sama, kesetimbangan kelarutan harus dipenuhi. Sehingga
AgCl (s) + e- ↔ Ag (s) + Cl- ; K sp =a Ag+ aCl−
dan a Cl− =1 , kita simpulkan bahwa
−10
Karena a + =1,8×10
Ag
K sp =a a =1,8(10−10 )( 1)=1,8×10−10
Ag + Cl−
99
Hal itu mengikuti bahwa kita dapat menentukan konstanta hasil kali kelarutan untuk zat yang
sedikit larut dengan mengukur potensial standart dari sel elektrokimia yang bersesuaian.
(Bandingkan dengan contoh 8.6 dan 8.7 bab 8.12)
Dari alasan di atas dapat dilihat bahwa semakin stabil spesi yang berikatan dengan ion
perak, semakin rendah potensial elektroda perak. Sekelompok nilai φ0 untuk berbagai pasangan
perak diberikan di Tabel 8.2. Dari nilai di Tabel 8.2, jelas bahwa ion iodida mengikat Ag + lebih
effektif daripada bromida atau clorida; AgI kurang dapat larut dibanding AgCl atau AgBr. Fakta
bahwa perak iodida- pasangan perak yang memiliki potensial negatif berarti bahwa perak
seharusnya larut dalam HI dengan membebaskan hidrogen. Hal ini berlangsung dalam
kenyataan, tetapi tindakan tersebut berhenti tepat pada waktunya karena lapisan tak larut AgI
yang terbentuk dan melindungi permukaan Ag dari serangan lebih lanjut.
Tabel 8.2
Pasangan φo/V
Ag+ + e- ↔ Ag 0,7991
AgCl (s) + e- ↔ Ag (s) + Cl- 0,2222
AgBr (s) + e ↔ Ag (s) + Br
- - 0,03
AgI (s) + e- ↔ Ag (s) + I- -0,151
Ag2S (s) + e ↔ Ag (s) + S
- = -0,69
Zat yang membentuk komplek yang larut dengan ion logam juga menurunkan potensial
elektroda. Dua contoh adalah
Ag(NH3)2+ + e- ↔ Ag + 2NH3, φo = +0,373 V;
Ag(CN)2- + e- ↔ Ag + 2CN-, φo = -0,31 V.
Apakah logam itu mulia atau logam aktif bergantung pada lingkungannya. Biasanya perak
adalah logan mulia,dengan adanya ion iodida, sulfida, atau sianida, ia menjadi logam aktif (jika
kita memandang potensial nol sebagai garis pembagi antara logam aktif dan mulia.)
100
8.15 Reversibilitas
Dalam pembahasan tentang elektroda dan sel sebelumnya kita mengasumsikan secara
implisit bahwa elektroda atau sel berada dalam kesetimbangan terhadap transformasi kimia dan
listrik tertentu. Dengan definisi ini, elektroda atau sel semacam ini adalah reversibel. Untuk
mengkorelasikan nilai nilai potensial terukur dengan yang dihitung memakai persamaan Nernst,
nilai nilai terukur harus setimbang atau nilai nilai reversibel; pengukuran potensiometrik yang
didalamnya tidak ada arus yang dipindahkan dari sel idealnya diset untuk pengukuran potensial
reversibel.
Perhatikan sel, PtH2H+Cu2+Cu, yang kita diskusikan dalam bab 8.9 reaksi selnya
adalah
Cu2+ + H2 ↔ 2H+ + Cu
Tembaga adalah elektroda positif dan platina adalah elektroda negatif. Anggap bahwa sel dalam
kesetimbangan dengan potensiometer ,seperti tampak pada gambar 8.5. Sekarang jika kita
menggerakkan pengaturan kontak,S, ke sebelah kana titik setimbang, yang akan membuat
tembaga lebih positif; Cu kemudian akan meninggalkan sebagai Cu 2+ dan elektron akan
berpindah dari sebelah kanan ke kiri di rangkaian luar. Pada platina elektron akan bergabung
dengan H+ membentuk H2. Keseluruhan reaksi berlangsung dalam arah yang berlawanan dari
kanan ke kiri. Sebaliknya, jika pengatur kontak digerakkan ke kiri, elektron akan berpindah dari
kiri ke kanan di rangkaian luar; H2 akan terionisasi membentuk H+ dan Cu2+ akan tereduksi
sebagai tembaga. Dalam situasi ini sel memproduksi kerja, sedang pada siklus sebelumnya tadi
kerja dihilangkan.
Sel akan bersifat reversibel jika menggerakkan kontak potensiometer sedikit ke satu sisi
dari titik kesetimbangan dan kemudian ke sisi yang lain, membalikkan arus dan arah reaksi
kimia. Pada prakteknya, itu tak perlu menganalisa jumlah reaktan dan produk setelah tiap tiap
pengaturan untuk memastikan apakah reaksi berjalan seperti yang dikehendaki. Jika selnya
irreversibel, memindahkan potensiometer sedikit di luar kesetimbangan biasanya mengakibatkan
aliran arus yang cukup besar, sementara kebutuhan reversibilitas yaitu hanya aliran arus sedikit
jika ketidakseimbangan antara potensial adalah sedikit. Lebih jauh lagi, dalam sel yang
irreversibel, setelah sedikit pengusikan kesetimbangan dalam rangkaiannya, titik kesetimbangan
yang baru biasanya berbeda secara signifikan dari sebelumnya. Untuk alasan ini, sel irreversibel
menunjukkan suatu perilaku tak menentu (tak teratur) yang nyata dan seringkali tidak mungkin
membawa potensiometer ke kesetimbangan dengan sel semacam ini.
o RT 1
ε=ε Ag+ / Ag =ε Ag+ / Ag − ln
F a Ag+
pada suhu 25oC
ε=ε o +(0, 05916 V ) log 10 a Ag+ (8.53)
Ag + / Ag
Jika larutan adalah larutan encer ideal, kita dapat mengganti a Ag+ dengan m+ = m, molalitas
garam perak tersebut.Persamaan (8.53) akan menjadi
ε = εoAg+/Ag + (0,05916V)log10 m
101
Dengan mengukur ε pada beberapa nilai m dan mengeplot ε terhadap log10m, garis lurus dengan
slop 0,05916 V akan diperoleh, seperti dalam Gambar 8.5(a). Intersep pada sumbu tegak, m =
1,adalah nilai εo. Bagaimanapun, kehidupan tidaklah begitu sederhana. Kita tidak dapat
mengganti aAg+ dengan m dan mengharapkan ketelitian dalam persamaan kita. Di dalam larutan
ionik, aktifitas ion dapat diganti dengan oleh aktifitas ionik rata rata a ± = γ± m± . Jika larutan
hanya mengandung perak nitrat, maka m± = m; dan persamaan (8.53) menjadi:
ε = εoAg+/Ag + (0,05916V)log10 m + (0,05916V)log10 γ±..
Gambar 8.5 (a) Ketergantungan ‘ideal’ E pada m, (b) Alur untuk mencari Eo dengan ekstrapolasi
Jika pengukuran dilakukan pada larutan yang cukup encer sedemikian hingga hukum pembatas
Debye-Huckel, persamaan (7.82) adalah valid, maka
log10 γ± = -(0,5092 V kg1/2/mol1/2)m1/2,
dan kita dapat mereduksi persamaan menjadi:
ε - (0,05916V)log10 m = εoAg+/Ag - (0,03012 V kg1/2/mol1/2)m1/2 (8.54)
Dari nilai nilai ε dan m yang terukur, bagian kiri dari persamaan ini dapat dihitung. Bagian kiri
diplot terhadap m1/2; ekstrapolasi kurva ke m1/2 = 0 menghasilkan intersep yaitu sama dengan
εoAg+/Ag. Plot tersebut ditunjukkan secara skematik di gambar 8.6(b). Begitulah dengan metoda ini
nilai nilai εo yang teliti diperoleh dari nilai nilai ε yang terukur pada tiap setengah sel.
Menurut persamaan (8.55), potensial sel tidak bergantung pada aktifitas ion individual tetapi
pada hasilkali aH+aCl-. Jika hal itu dibalik tidak ada kuatitas yang dapat diukur yang bergantung
pada aktifitas ion individual. Konsekuensinya, kita mengganti hasilkali a H+aCl- dengan a±2.
Sedang dalam HCl, m± = m, kita dapatkan a±2 = (γ± m)2 ; ini mereduksi persamaan (8.55)
menjadi:
2 RT 2 RT
ε = εo - ln m - ln γ± (8.56)
F F
pada suhu 25oC
ε = εo – (0,1183 V)log10 m – (0,1183)log10 γ± (8.57)
Setelah menentukan ε dengan ekstrapolasi seperti dijelaskan dalam bab 8.16, kita lihat bahwa
o
nilai nilai ε menentukan nilai nilai γ± pada setiap nilai m. Sebaliknya, jika nilai γ± diketahui pada
semua nilai m, potensial sel ε dapat dihitung dari persamaan (8.56) atau (8.57) sebagai fungsi m.
102
Pengukuran potensial sel adalah metoda yang paling bermanfaat untuk memperoleh nilai
nilai aktifitas elektrolit. Secara eksperimen, paling tidak pada banyak kasus, jauh lebih mudah
untuk menanganinya daripada pengukuran sifat sifat koligatif. Hal itu memiliki keuntungan
tambahan yaitu dapat dipakai untuk daerah suhu yang luas. Walaupun potensial sel dapat diukur
dalam solven non air, kesetimbangan elektrodanya seringkali tidak mudah ditetapkan sehingga
kesulitan kesulitan eksperimentalnya lebih besar.
Gambar 8.6
Kita dapat menghitung potensial sel jika kita menganggap bahwa pada lintasan satu mol
muatan listrik melalui sel semua perubahan berlangsung reversibel. Kemudian potensial sel
dinyatakan sebagai:
−Fε=∑ ΔG i (8.58)
i
dengan ∑ ∆Gi adalah jumlah semua perubahan energi Gibbs dalam sel yang menyertai lintasan
satu mol muatan positif naik melalui sel. Perubahan energi Gibbs adalah :
elektroda bawah Ag(s) + Cl- (a1)→ AgCl(s) + e-
elektoda atas AgCl(s) + e- → Cl- (a2) + Ag(s)
perubahan netto di kedua elektroda Cl-(a1) → Cl-(a2)
Selain itu, pada batas di kedua larutan sebagian t+ dari muatan dibawa oleh H+ dan sebagian t-
dibawa oleh Cl-. Fraksi t+ dan t- adalah bilangan transfer, atau bilangan transport, dari ion. Satu
103
mol muatan positif melintasi batas memerlukan bahwa t + mol ion H+ bergerak naik dari larutan a1
ke larutan a2, dan t- mol Cl- bergerak turun dari a2 ke a1. Sehingga pada batas:
t+ H+ (a1) → t+ H+ (a2) dan t - Cl- (a2) → t – Cl- (a1)
Perubahan total dalam sel adalah jumlah perubahan pada elektroda dan pada batas:
t+ H+ (a1) + Cl- (a1) + t - Cl- (a2) → t+ H+ (a2) + Cl- (a2) + t – Cl- (a1)
Jumlah fraksi fraksi harus satu, sehingga t- = 1 – t+. Dengan memakai nilai t- ini dalam
persamaan, setelah ditata ulang , tereduksi menjadi:
t+ H+ (a1) + t + Cl- (a1) → t+ H+ (a2) + t + Cl- (a2 ) (8.59)
Reaksi sel (8.59) adalah transfer t+ mol HCl dari larutan a1 ke larutan a2. Perubahan energi Gibbs
total adalah :
∆G = t +[µoH++RT ln(aH+)2+µoCl-+RT ln (aCl-)2 - µoH+ -RT ln (aH+)1 - µoCl- - RT ln (aCl-)1]
( a H+ aCl− )2 ( a± )2
∆G = t + RT ln = 2t + RT ln
(a H + a Cl− )1 ( a± )1
karena aH+aCl- = a2±.. Dengan menggunakan pers (8.58), kita peroleh potensial sel dengan
pemindahan (transference),
2t RT ( a± ) 2
ε wt =− + ln (8.60)
F (a± )1
Jika batas antara dua larutan tidak memberi kontribusi pada potensial sel, maka hanya
perubahan yang dikontribusikan oleh elektroda, yang adalah
Cl- (a1) → Cl- (a2)
Nilai yang bersesuaian dari ∆G adalah
( a± )2
∆G = µoCl- + RT ln (aCl-)2 - µoCl- - RT ln (aCl-)1 = RT ln ,
( a± )1
dengan aCl- telah diganti oleh aktifitas ionik rata rata a±.. Sel ini tanpa pemindahan dan memiliki
potensial:
ΔG RT (a± )2
ε wot =− =− ln (8.61)
F F (a± )1
Potensial total sel dengan pemindahan adalah sel tanpa pemindahan plus potensial ‘junction’, εj.
sehingga εwt = εwot + εj , jadi
εj = εwt - εwot (8.62)
gunakan persamaan (8.60) dan (8.61), menjadi
RT ( a± )2
εj = (1 – 2t +) ln (8.63)
F ( a± )1
Dari persamaan (8.63) jelas bahwa jika t+ mendekati 0,5 ; potensial’liquid junction’ kecil,relasi
ini benar hanya bila dua elektroda dalam sel menghasilkan dua ion dalam larutan. Dengan
mengukur potensial sel dengan dan tanpa pemindahan dimungkinkan untuk mengevaluasi εj dan
t+. Ingat, dengan membandingkan persamaan (8.60) dan (8.61) bahwa
εwt = 2t + εwot (8.64)
Trik (cara) dalam semua ini dapat untuk menetapkan batas yang jelas (tajam) sehingga
untuk memperoleh pengukuran εwt yang reprodusibel dan dapat untuk membangun sel yang
menghilangkan εj sehingga εwot dapat diukur. Ada beberapa cara yang cerdas untuk menetapkan
batas yang tegas antara dua larutan; bagaimanapun,itu tak akan dibicarakan di sini. Problem
kedua untuk menyusun sel tanpa batas cairan adalah lebih berkaitan dengan pembicaraan kita.
Sel konsentrasi tanpa pemindahan (yaitu, tanpa ‘liquid junction’) tampak dalam gambar
8.8. Sel terdiri atas dua sel seri, yang dapat disimbolkan dengan
PtH2(p) H+ , Cl-(a±)1AgClAg AgAgClCl-,H+ (a±)2H2(p) Pt
Potensial adalah jumlah dari potensial dua sel secara terpisah:
104
ε = [φ(AgCl/Ag) - φ(H+/H2)]1 + [φ(H+/H2) - φ(AgCl/Ag)]2
Gambar 8.7
Dengan menuliskan persamaan Nernst untuk tiap potensial,diperoleh
[ ][ ]
1 1
2
o RT RT p RT p2 RT
ε= φ AgCl / Ag / Cl− − ln ( aCl − )1 + ln +− ln −φ AgCl / Ag / Cl− + ln ( aCl− )2
F F (a H + )1 F ( a H + )2 F
RT (a H+ aCl− )2 2 RT ( a± ) 2
ε= ln = ln
F (a H + a Cl− )1 F ( a± )1
105
aluminium teranodisasi. Dissolusi anodik suatu logam sangat penting dalam elektrorefining dan
elektromachining dari logam.
Proses yang menghasilkan tenaga berlangsung di dalam sel elektrokimia; proses ini
menyerap zat berenergi tinggi dan menghasilkan tenaga listrik. Dua peralatan yang penting
dideskripsikan di bab 8.21.
Sangat menarik untuk mengingat bahwa penemuan sel elektrokimia oleh Alessandro
Volta pada 1800 adalah, pada kenyataannya, suatu penemuan kembali. Akhir akhir ini,
penggalian arkeologis di Timur Dekat menemukan dengan penggalian itu semacam sel
elektrokimia yang didasarkan pada elektroda besi dan tembaga; peralatan tersebut diperkirakan
umurnya kira kira antara 300 sebelum masehi dan 300 AD. Juga terdapat bukti bukti dan
petunjuk bahwa, segera setelah awal 2500 sebelum masehi, penduduk Mesir mengetahui
bagaimana melapisi suatu benda.
106
Contoh yang lain adalah sel Edison dan sel Nikel-kadmium yang dapat diisi kembali dan
dipakai pada kalkulator dan lampu sorot.
3. Sel Bahan bakar. Sel bahan bakar seperti halnya sel primer ,dirancang menggunakan
bahan-bahan berenergi tinggi untuk menghasilkan tenaga(energi). Ada perbedaan dari sel
primer yaitu sel ini dirancang untuk menerima pasokan kontinyu dari bahan bakar, dan bahan
bakar tersebut adalah bahan bahan yang umumnya kita sebut sebagai bahan bakar, seperti
hidrogen,karbon,dan hidrokarbon. Akhirnya kita bahkan boleh berharap untuk memakai
arang dan petroleum.
Gambar 8.8
Kurva pada gambar 8.9 menunjukkan potensial sel versus waktu untuk berbagai sel
setelah hubungan ke suatu beban yang menggambarkan suatu densitas arus, i1. Reaksi elektroda
dalam sel A dan B sangat lambat dan tidak dapat mempertahankan aliran arus. Potensial sel
tersebut turun dengan cepat ke nol dan tenaga(energi), εI, juga menuju nol. Kedua sel mula mula
menyediakan sedikit energi, tetapi sel tidak juga dapat dipakai menjadi sumber tenaga praktis.
Dengan kata lain, reaksi elektroda dalam sel C cukup cepat untuk menyimpan muatan pada
elektroda. Potensial sel turun sedikit tetapi kemudian tetap pada nilai yang relatif tinggi selama
beberapa waktu yang lama, jadi tenaga(energi), εI, tersedia cukup. Jika arus yang lebih besar
digambarkan dari sel C (i2 > i1), potensial turun sedikit lebih tetapi masih relatif tinggi. Bahkan di
107
dalam keadaan ini sel C adalah sumber energi yang praktis. Turunan yang cepat pada potensial
seperti pada akhir kurva C, menandai ausnya bahan bahan aktif, yaitu bahan bakar. Jika
didatangkan bahan bakar lagi, kurva akan tetap datar, dan sel akan melanjutkan penyediaan
tenaga.
Kita simpulkan bahwa jika sel dijadikan sumber energi praktis reaksi elektroda harus
cepat. Reaksi harus terjadi dengan cukup cepat sehingga potensial sel hanya turun sedikit di
bawah potensial rangkaian luarnya. Masalah dalam merencanakan sel bahan bakar untuk
membakar arang terletak dalam menemukan permukaan elektroda yang di atasnya reaksi yang
tepat akan berlangsung dengan cepat pada suhu yang layak. Dapatkah kita menciptakan katalis
yang tepat? Waktu yang akan bicara.
108
Ingat bahwa reaksinya endotermis jika sel tampil reversibel. Gambaran ini berarti bahwa tidak
hanya perubahan energi, ∆H, yang tersedia untuk menyediakan kerja listrik tetapi juga kuantitas
panas, Qrev = T∆S, yang mengalir dari lingkungan untuk menjaga sel isotermal dapat dikonversi
ke kerja listrik. Rasionya:
o
−ΔG 376 , 97
= =1,36
−ΔΗo 277 , 58
bandingkan kerja listrik yang dapat diproduksi untuk untuk penurunan entalpi bahan. Extra 36
% adalah energi yang mengalir masuk dari lingkungan.
109
tabel 8.3 Sifat termodinamika reaksi sel bakar yang mungkin
Reaksi
−ΔG −ΔΗ −ΔG o TΔS o εo
kJ / mol kJ / mol −ΔΗo kJ /mol V
H2 + ½ O2 →H2O 237,178 285,830 0,83 -48,651 1,23
C + O2 → CO2 394,359 393,509 1,002 +0,857 1,02
C + ½ O2 →CO 137,152 110,524 1,24 26,628 1,42
CO + ½ O2 →CO2 257,207 282,985 0,91 -25,77 1,33
CH4 + 2O2 → CO2 + H2O 817,96 890,36 0,92 -72,38 1,06
CH3OH + 3/2 O2 → CO2 + 2 H2O 702,36 726,51 0,97 --24,11 1,21
C8H18 + 25/2 O2 → 8 CO2 + H2O 5306,80 5512,10 0,96 -205,19 1,10
1325,36 1366,82 0,97 -41,36 1,15
C2H5OH + O2 → 2 CO2 + 9 H2O
SOAL SOAL:
1. Hitung potensial sell dan tentukan reaksi sell untuk masing-masing sell ini (data dalam tabel
8.1)
a). Ag(s)Ag+(aq.a± = 0,01) Zn2+( a± = 0,1) Zn(s);
b). Pt(s)Fe2+(aq.a± = 0,1).Fe3+(aq.a± = 0,1)Cl-(aq. a± = 0,001) AgCl(s)Ag(s);
c). Zn(s)ZnO22- (aq.a± = 1) ,OH-(aq.a± = 1) HgO(s) Hg(l).
2. Hitung konstanta kesetimbangan masing-masing reaksi sell pada soal 1
3. Dari data dalam tabel 8.1 hitung konstanta kesetimbangan untuk masing- masing reaksi
dibawah ini :
a. Cu2+ + Zn ↔ Cu + Zn2+ ;
b. Zn2+ + 4CN- ↔ Zn(CN)42-;
c. 3H2O + Fe ↔ Fe(OH)3(s) + 3/2 H2
110
d. Fe + 2Fe3+ ↔ Fe2+
e. 3HsnO-2 + Bi2O3 + 6H2O + 3 OH- ↔ 2Bi + 3Sn(OH)62-
f. PbSO4(s) ↔ Pb2+ + SO42-
4. Perhatikan sel berikut ini
Hg(l) Hg2SO4(s) FeSO4(s)(aq,a = 0,01) Fe(s)
a.Tuliskan reaksi sel
b.Hitunglah potensial sel, konstanta kesetimbangan untuk reaksi sel, dan perubahan energi
Gibbs standart,∆Go pada 25oC (data di tabel 8.1)
5. Potensial standart pada 25oC adalah
Pd2+(aq) + 2e- ↔ Pd(s), φo = o,83 V
PdCl4 (aq) + 2e ↔ Pd(s) + 4Cl (aq), φo = 0,64V
2- - -
111
BAB IX
FENOMENA PERMUKAAN
Gambar 9.1
Gambar 9.1 menggambarkan suatu film cairan yang direnggangkan pada suatu bingkai kawat
yang salah satu rusuknya bebas digerakan. Bila suatu kerja dikenakan kepada film tersebut untuk
memperluas areanya maka energi Gibbs film akan bertambah sebesar γdA. γ disini adalah energi
Gibbs permukaan persatuan luas. Besarnya tambahan energi Gibbs sama dengan besarnya kerja
yang dikenakan pada film. Bila gaya yang dikenakan pada film sebesar f dan film bergerak
sepanjang dx, maka :
f dx = γ dA
Jika ℓ adalah panjang rusuk yang bisa digerakan, maka penambahan luas film adalah 2( ℓ dx);
angka 2 menunjukan bahwa film memiliki 2 sisi ; sehingga :
fdx=γ ( 2ℓ ) dx
f =2ℓγ
panjang film yang bersentuhan dengan kawat (rusuk) adalah ℓ pada tiap sisi. Sehingga :
f
γ=
2ℓ
Dapat disimpulkan bahwa γ adalah gaya per satuan panjang yang bekerja pada rusuk kawat yang
kontak dengan film cairan. Kemudian γ ini disebut ‘Tegangan Permukaan’ zat cair. Secara
definitif, tegangan permukaan adalah gaya yang melawan pertambahan luas area cairan. Satuan
tegangan muka dalam SI adalah Newton/meter yang setara dengan pertambahan E Gibbs
112
permukaan; E = joule/m2. Untuk cairan-cairan umum, γ berkisar antara puluhan mili Newton
permeter. Beberapa nilai tersedia di Tabel 9.1.
Tabel 9.1 Tegangan permukaan cairan pada 20oC
Cairan γ/(10-3N/m) Cairan γ/(10-3N/m)
Acetone 23,70 Ethyl ether 17,01
Benzene 28,85 n-Hexane 18,43
Carbontetrachlorida 26,95 Methyl alcohol 22,61
Ethyl acetate 23,9 Toluena 28,5
Ethyl alcohol 22,75 Air 72,75
= (1010 a )3 = 1030a3 jumlah molekul pada tiap sisi = 6(10 10 .a)2 = 6.1020 a2. Sehingga fraksi
20 2
6 .10 a 6
molekul dipermukaan = 30 3 = 10 =6 . 10−10 a−1
10 a 10 a
Bila a = 1 meter, maka hanya ada 6 molekul untuk setiap 10 10 molekul keseluruhan. Sehingga
permukaan
untuk nisbah sangat kecil, maka pengaruh permukaan dapat diabaikan. sedang bila
volume
nisbah permukaan /volume cukup besar maka pengaruh permukaan cukup signifikan. Misalkan
energi permukaan memberikan kontribusi sebesar 1% dari total energi.
E = Ev.V + Es.A
dengan Ev = energi per volume V = volume
Es = energi per area A = area
dan E v =¿ v . N v E s=¿ s . N s
Es A
E= E v .V 1+
( Ev V )
¿s N s A
(
¿ E v V 1+
¿v N v V )
Ns
Ns = 1020 m-2 =10−10 m
Nv
¿s
Nv = 1030 m-3 =1, 25 ≈ 1
¿v
A
(
E= E v V 1+10−10
V )
Jika suku kedua dalam kurung dianggap 1%, maka 0,01 = 10 -10A/V ; sehingga A/V = 108 jika
sistem tersebut berbentuk kubus, maka A/V = 6/a. (a = rusuk). 6/a = 108 sehingga a = 6.10-8 m =
0,06 µm. sehingga dapat diperkirakan mengenai ukuran partikel maksimum kenyataannya ;
untuk partikel yang berukuran kurang dari 0,5 µm masih dapat memberikan pengaruh
permukaan yang cukup signifikan.
113
Gambar 9.2 Alat DuNouy
Perhatikan gambar 9.2, bila cincin pada cairan ditarik keluar maka pada saat tepat cincin
akan lepas, besarnya gaya yang menarik cincin sama dengan besarnya tegangan permukaan
cairan yang melawan pertambahan luas akibat tarikan pada cincin. Yaitu :
F =2 ( 2πR )∗γ (9.1)
angka 2 menunjukan bahwa cairan tersentuh pada bagian luar maupun bagian dalam cincin.
Kadang-kadang diperluukan factor koreksi, karena memperhitungkanbentuk cairan yang ditarik
sehingga
F = 2(2πR) f.γ
f = factor koreksi
Cairan yang akan diukur diletakan dalam suatu alat yang didalamnya terdapat bagian
berupa kapiler, sehingga dengan mengatur jumlah cairan, waktu untuk pembentukan tetesan
dapat diatur. Pada saat cairan menetes, gaya-gaya yang bekerja adalah :
2πRγ=mg (9.2)
m = massa tetesan
g = percepatan grafitasi
bila didinginkan hasil yang akurat, maka tetesan harus terbentuk selambat mungkin, namun
factor koreksi tetap diperlukan.
114
Pada persamaan (5), bentuk pdV diganti bentuk γdA karena di permukaan tidak bervolume.
dU = dU1 + dU2 + dUσ = Td ( S1 + S2 + Sσ ) – p1dV2 + γdA
= TdS – p1dV – p2dV2 + γdA
V1 + V2 = V
dV1 + dV2 = dV → dV1 = dV – dV2
dU = TdS – p1dV + (p1 – p2)dV2 + γdA (9.6)
Jika entropi dan volume konstan, maka pada kesetimbangan, energi minimumnya adalah; dU =
0, sehingga persamaan (6) menjadi :
( p1 – p2 )dV2 + γdA = 0 (9.7)
Dari gambar 9.4a nampak bahwa interfacenya adalah datar, dan kelilingnya adalah silinder
sehingga area antara muka tidak berubah, dA = 0 ; karena dV 2 ≠ 0 maka p1 = p2. konsekuensinya
tekanan kedua fase adalah sama yang dipisahkan oleh bidang datar.
Apabila kelilingnya berbentuk kerucut, sedangkan antara muka berbentuk speris dengan
jejari curvature R ( gambar 9.4b). maka area dari tutup adalah A = ωR2. volume M2 yang
dilingkupi oleh kerucut dan tutup adalah V2 = ωR3/3 dengan ω adalah sudut dari kerucut yang
melingkupi antar muka :
dV2 = ωR2 dR dan dA = 2ωR dR ,
sehingga
(p2 – p1) ωR2 dR = 2γωRdR
p2 = p1 + 2γ/R (9.8)
Persamaan (8) menyatakan persamaan dasar bahwa tekanan didalam fase yang punya permukaan
cembung adalah lebih besar daripada diluarnya. Perbedaan tekanan inilah yang merupakan alas
an fisis terjadinya kenaikan atau penurunan kapiler. Di dalam kasus gelombang, penambahan
tekanan di dalam pergerakan dari luar ke dalam adalah 4γ karena terdapat 2 buah antar muka
yang cembung. Jika antarmuka tidak speris tapi memiliki jejari prinsip R dan R1, maka
persamaan akan menjadi :
1 1
(
p 2 = p1 +γ + 1
R R ) (9.9)
115
9.5 Kenaikan Kapiler dan Penurunan Kapiler
Bila pipa kapiler dicelupkan sebagian dalam cairan, maka tinggi cairan di dalam dan di luar pipa
tidak sama. Permukaan cairan di dalam cairan melengkung, sedang di luar pipa mendatar.
Berdasarkan persamaan (8) dapat dicari hubungan antara perbedaan tinggi cairan, tegangan
muka, dan rapat jenis (densitas) kedua fase relatif. Perhatiakan gambar 9.5. Densitas fase 1 = ρ1 ;
densitas fase 2 = ρ2. Bila p1 adalah tekanan dalam fase 1 pada permukaan datar yang
memisahkan 2 fase ; posisi ini diambil sebagai posisi nol (z = 0) dari sumbu z ; yang arahnya ke
bawah. Tekanan pada bagian lain adalah sebagaimana terlihat pada gambar.
Kondisi kesetimbangan yaitu tekanan pada ketinggian z, yang terletak dibawah
interfacedatar maupun lengkung adalah sama disemua titik. Persamaan tekanan pada titik z,
menghendaki :
p1 + ρ2gz = p21 + ρ2 g( z – h ) (9.10)
1 1 2γ 1
karena p 2 = p1 + danp 1= p1 + ρ1 gh , maka
R
2γ
( ρ 2 − ρ1 ) gh= (9.11)
R
Persamaan ini menghubungkan tegangan muka dengan persamaan kapiler, h ; dan jejari
lingkungan R.
Bila permukaan cairan dalam pipa cekung, terjadi penaikan kapiler dan R nya juga
negative. Hubungan antara R dan r (jejari pipa) adalah :
r
=sin (θ−90 o )
R
r −r
=−cos θ → R=
R cosθ
sehingga persamaan (11) menjadi :
−2γ cos θ=( ρ2 − ρ1 ) grh
1
γ cos θ = ( ρ 2− ρ1 ) grh (9.12)
2
Jika θ < 90o, miniskus cairan adalah cekung, h positif, terjadi kenaikan kapiler. Bila θ > 90o,
miniskus cembung, cos θ dan h negative.
116
αβ
Pertambahan energi Gibbs ini disebut kerja Adhesi, W A , antar fase α dan β. Jika yang
dipisahkan adalah α murni, akan terbentuk permukaan 2a m2, dan :
α αν
ΔG=W C =2γ (9.14)
α
W C adalah kerja kolusi α. Demikian pula untuk fase β
β βν
ΔG=W C =2γ (9.15)
maka
1 α 1 β αβ
W αβ
A = W C + W C −γ
2 2
1
γ αβ= (W Cα +W Cβ )−W αχA (9.16)
2
αβ
jika energi adhesi, W A bertambah maka γ αβ berkurang.jika γ αβ = 0 maka tak ada tahanan
untuk memperluas antarmuka antara fase α dan β, kedua cairan bercampur spontan.
1
W αβ α
A = ( W C +W C )
β
(9.17)
2
Table 9.2.Interfacial tension between water (α) and various liquid (β) at 20oC
γαβ/10-3 N/m γαβ/10-3 N/m
Hg 375 C6H6 35,0
n-C6H14 51,1 C6H5CHO 15,5
n-C7H16 50,2 C2H5OC2H5 10,7
n-C8H18 50,8 n-C8H17OH 8,5
Alasan yang sama dipakai pula untuk tegangan interface antara padatan dan cairan.
Sehingga analog dengan persamaan (16), diperoleh :
W Sℓ Sv ℓv Sℓ
A =γ +γ −γ (9.18)
Perhatikan gambar 9.8, jika setetes cairan pada permukaan padatan tersebut ditekan sedikit,
maka area antar padatan-cairan bertambah sebesar dA Sℓ , dan perubahan E gibbs nya :
dG =γ Sℓ dA Sℓ +γ Sv dASv +γ ℓv dAℓv
−dASv =dASℓ dandA ℓv =dASℓ Cos θ
sehingga
dG=( γ Sℓ −γ Sv +γ ℓv cos θ ) dASℓ (9.19)
Kemudian timbulsuatu besaran yang disebut spreading coefficient atau koefisien penyebaran
cairan pada padatan :
∂G
σ ℓS =−
∂ ASℓ
∂G
Bila σ ℓS positif, ( )
∂ ASℓ adalah negatif, dan energi Gibbs akan berkurang jika
antarmuka padatan-cairan membesar, cairan akan menyebar dengan spontan. Jika σ ℓS =0 ,
117
konfigurasinya stabil, berada dalam kesetimbangan terhadap berbagai luasan antarmuka padatan
– cairan. Jika σ ℓS negative, cairan maka mengkerut dan A ℓS berkurang secara spontan.
∫ dG σ =γ∫ dA+∑ i μ i ∫ dn σi
0 0 0
G =γA+∑i μ i nσi
σ
(9.24)
σ n σi
bila g σ =G dan Γ i = (surface excess), maka .
A A
g σ =γ+∑i μ i Γ i (9.25)
Dengan mendeferensialkan persamaan (24) dan mengurangkannya terhadap persamaan (23) akan
diperoleh :
O=S σ dT +Ad γ+∑i n σi dμ i (9.26)
σ
S
bila s σ = maka pada keadaan ini
A
dγ =−s σ dT −∑i Γ i dμ i (9.27)
dan pada T,p konstan
dγ =−( Γ 1 dμ1 + Γ 2 dμ 2+. . . )
(9.28)
Jadi pada kondisi ini, perubahan γ ditentukan oleh perubahan µi. Pada sistem komponen tunggal,
maka posisi antarmuka bisa dipilih sedemikian hingga Γ1 = 0 , sehingga :
118
σ
g σ =γ dansσ =− ( ∂∂Tγ ) A
(9.29) a,b
[ ]
z zo Z
z zo Z
σ
ni
bila Γ i =
A
dan ∫ C i dz=∫ C i dz +∫ C i dz maka
0 0 zo
zo Z
( 1)
Γ i =∫ ( C i −C i ) dz+∫ ( C i −C (i 2)) dz (9.32)
0 zo
Dengan memperhatikan gambar 9.12, tampak bahwa nilai ΓI bergantung pada posisi yang dipilih
untuk acuannya ; zo. Bila zo digeser ke kiri, ΓI akan bernilai positif ; dan sebaliknya. Bila zo
ditetapkan sedemikian hingga surface excess salah satu komponen = 0 , komponen ini biasanya
dipilih untuk solven dan diberi tanda 1, sehingga ΓI = 0.
Untuk sistem 2 komponen ; persamaan (28) adalah :
−dγ= Γ 2 dμ 2 (dengan ΓI = 0)
o
di dalam larutan encer ideal, berlaku : μ2 = μ 2+RT ln C 2
dC 2
dμ 2 =RT
C2 ( )
sehingga
RT
−
( )
∂lγ
∂C 2 T .p
=Γ2
C 2 atau
119
1
Γ 2 =−
(
∂γ
RT ∂ ln c 2 ) T ,p
(9.33)
Bentuk ini dinamakan Isoterm Adsorpsi Gibbs. Jika tegangan muka berkurang dengan
bertambahnya konsentrsi solut, maka Γ2 adalah positif, berarti terdapat kelebihan solute pada
antarmuka. Demikian sebaliknya, bila tegangan muka membesar dengan bertambahnya C 2 maka
Γ2 adalah negative.
120
K.P
θ= (9.37)
1+KP
Jika yang dibahas adalah adsorpsi zat dari larutan, persamaan (9.37) dapat digunakan dengan P
diganti C (konsentrasi molar). Jumlah zat teradsorb, m, sebanding terhadap θ untuk adsorben
tertentu, sehingga m = bθ , dengan b adalah suatu konstanta. Maka :
bKP
m= (9.38)
1+ KP
Jika diinversikan akan diperoleh :
1 1 1
= + (9.39)
m b bKP
1 1
dengan mengeplot vs , konstanta K dan b dapat ditentukan dari slope dan intersep.
m P
Dengan mengetahui K, dapat dihitung fraksi dari permukaan yang tertutupi. (persamaan 37)
Persamaan (9.37) umumnya lebih berhasil dalam menginterpretasikan data dibanding
persamaan (9.34) jika lapisan teradsorpsinya adalah monolayer. Plot θ vs P tampak pada gambar
9.10. Pada P rendah, KP<< 1 sehingga θ = KP, θ bertambah secara linier terhadap P. Pada P
tinggi, KP>> 1 sehingga θ = 1, permukaan hamper tertutup seluruhnya dengan lapisan
monomolekuler. Pada kondisi ini, perubahan tekanan hanya sedikit sekali mengubah jumlah zat
teradsorb.
121
K1 = konstanta kesetimbangan
θ1 = fraksi dari situs permukaan yang terisi molekul tunggal
θv = fraksi dari situs kosong
Bila tidak ada hal lain terjadi, persamaan ini akan menjadi isotherm langmuir.
Selanjutnya mereka berasumsi bahwa molekul-molekul tambahan menduduki puncak
salah satu yang lain membentuk multilayer. Mereka menginterpretasikan prosesnya seperti reaksi
kimia berturutan, masing-masing dengan konstanta kesetimbangan yang berkaitan :
θ
A(g) + AS ↔ A2S K 2= 2
θ1 P
θ
A(g) + A2S↔ A3S K 3= 3
θ2P
θn
A(g) + AnS↔ AnS K n=
θ n−1 P
Pada notasi A3S menunjukan bahwa situs permukaan memiliki 3 tampak molekul A diatasnya. θI
adalah fraksi dari situs yang ditempati molekul A setinggi I lapis. Interaksi antara molekul A
pertama dengan situs permukaan adalah unik, bergantung pada perilaku tertentu dari molekul A
dan permukaan. Tetapi, sewaktu molekul A kedua menduduki molekul A yang pertama,
interaksinya tidak jauh berbeda dari interaksi 2 molekul A dalam cairan, hal yang sama berlaku
juga saat molekul ke -3 menduduki molekul ke-2, sehingga semua proses ini, kecuali yang
pertama, dapat dipandang sebagai proses peleburan (liquefaction); sehingga memiliki konstanta
kesetimbangan yang sama, yaitu K
9.11 Koloid
Dispersi koloid secara tradisional didefinisikan sebagai suspensi partikel-partikel kecil
dalam medium continue. Karena kemampuannya menghamburkan cahaya dan berkurangnya
tekanan osmotic, partikel ini diakui lebih besar disbanding molekul kecil sederhana seperti air,
alkohol, atau benzena dan garam-garam sederhana seperti NaCl. Diasumsikan bahwa partikel-
partikel tersebut mengumpul terdiri dari kumpulan-kumpulan molekul kecil, yang bersama-sama
dalam keadaan menggerombol,berbeda dengan keadaan kristal biasa. Sekarang diketahui bahwa
banyak dari kumpulan-kumpulan partikel ini pada kenyataannya adalah molekul tunggal yang
memiliki massa molar yang tinggi. Batas ukurannya sulit ditentukan, tetapi bila partikel-partikel
terdispersi tersebut berukuran antara 1µm sampai 1nm, kemungkinannya sistemnya adalah
disperse koloid.
Secara klasik, koloid dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok :
1. LYOPHILIC atau solvent-loving-colloids (juga disebut gel)
2. LYOPHOBIC atau solvent-fearing-colloids (juga disebut sol)
Reduksi :
SO2 + 2 H2S → 2 S (koloid) + 2 H2O
2 AuCl3 + 3 H2O + 3 CH2O → 2 Au (koloid) + 3 HCOOH + 6 H+ + 6 Cl-
Karena sol sangat sensitive terhadap adanya elektrolit, maka reaksi-reaksi preparative
yang tidak menghasilkan elektrolit lebih baik dari pada sebaliknya. Untuk menghindari adanya
pengendapan sol oleh elektrolit, sol dapat dimurnikan dengan dialisa. Sol diletakan dalam
kantong koloidon, dan kantong tersebut dicelupkan dalam aliran air. Ion-ion kecil dapat berdifusi
melalui koloidon dan tercuci, sedangkan partikel koloid yang lebih besar tetap tinggal di dalam
kantong.
Namun demikian, sekelumit elekrolit tetap diperlukan untuk menstabilkan koloid, sebab
sol memperoleh stabilitasnya dari adanya lapisan rangkap listrik pada partikel.
123
Gambar 9.12 Lapisan rangkap pada dua partikel dan 9.13 Energi interaksi partikel koloid
Kurva (a) pada gambar 9.13 memperlihatkan energi potensial yang disebabkan gaya tarik
van der Waals sebagai fungsi jarak pisah antara 2 partikel. Kurva (b) memperlihatkan energi
tolakan. Kurva kombinasi untuk tolak menolak lapisan rangkap dan gaya tarik van der
Waalsditunjukan oleh kurva (c). Pada saat kurva (c) maksimum, koloid akan memiliki stabilitas.
Lapisan rangkap yang terbentuk pada permukaan partikel koloid terikat dengan lemah ke
permukaan prtikel itu, oleh karena itulah lapisan ini mudah bergerak(mobil). Terdapat suatu
garis pemisah antara bagian yang mobil dari lapisan rangkap dengan bagian yang tetap di
permukaan, didearah ini timbul suatu potensial elektrik yang disebut Potensial zeta (ς potensial).
Muatan pada bagian yang mobil dari lapisan rangkap bergantung pada potensial zeta ini.
Penambahan elektrolit ke dalam sol akan menekan lapisan rangkap terdifusi (bagian yang
mobil) sehingga potensial zeta berkurang. Hal ini akan menurunkan gaya tolak menolak
elektrostatik secara drastic antara partikel-partikel sehingga mengendapkan koloid. Koloid ini
sangat sensitive terhadap ion yang mutannya berlawanan. Sol bermuatan positif seperti Fe(OH) 3
akan diendapkan oleh ion-ion negative seperti ion Cl-dan SO42-, ion-ion tergabung ke bagian
tertentu dari lapisan rangkap, sehingga mereduksi muatan partikel secara keseluruhan. Akibat
selanjutnya akan menurunkan potensial zeta, yang akan mengurangi gaya tolak antar partikel.
Serupa dengan hal itu; sol negative akan di destabilisasi oleh ion-ion positif. Makin tinggi
muatan suatu ion akan makin efektif mengkoagulasi koloid. Konsentrsi minimum yang
diperlukan untuk menghasilkan koagulasi yang cepat adalah kira-kira 1 : 10 : 500 untuk muatan
3 : 2 : 1. ion yang memiliki muatan sama seperti partikel koloidnya tidak banyak berpengaruh
dalam koagulasi ; kecuali pengaruhnya dalam menekan lapisan rangkap difusi. karena lapisan
rangkap hanya memiliki sedikit ion, maka hanya memerlukan elektrolit berkonsentrasi rendah
untuk menekan lapisan rangkap tersebut dan akhirnya mengendapkannya.
124
Gambar 9.14 Diagram skematik misel
Jadi surfaktan merupakan spesies yang aktif pada antarmuka antara dua fase, seperti
antarmuka antara fase hidrofil dan hidrofob. Surfaktan berakumulasi di permukaan dapat
dihitung dengan persamaan surface excess (lihat pembahasan di depan).
σ
ni
Γ i=
A
Γi adalah kelebihan permukaan per satuan luas
σ
n i adalah jumlah mol zat i dipermukaan
A adalah area dipermukaan
Γi dapat bernilai positif (akumulasi i pada antarmuka) atau negative (kekurangan i pada
permukaan)
Contoh molekul surfaktan adalah sabun dan diterjen. Contoh molekul sabun, C 17H35COO-
Na+ , pada konsentrasi yang rendah, larutan sabun terdiri dari ion Na + dan ion stearat seperti
halnya larutan garam pada umumnya. Pada konsentrasi yang agak tinggi, yaitu konsentrasi misel
kritis (CMC), ion-ion stearat menggumpal menjadi gumpalan, dan disebut micelles (gambar
9.23). Micelle ini berisi ± 50 sampai 100 buah ion stearat. Bentuk misel kira-kira speris dan
rantai hidrokarbon ada dibagian dalam, sedangkan gugus polar , COO - ada dipermukaan.
Permukaan misel ini yang berhubungan dengan air, dan gugus polar ini yang menstabilkan misel
tersebut.
Ukuran misel adalah koloid, karena bermuatan, maka misel adalah ion koloid. Misel
banyak mengikat banyak sekali ion-ion positif ke permukaannya sebagai ion counter sehingga
sngat mengurangi muatannya. Pembentukan misel menghasilkan penurunan konduktifitas listrik
yang tajam per mol elektrolit. Misal terdapat 100 ion Na + dan 100 ion stearat; jika ion –ion
stearat mengumpul menjadi misel dan misel mengikat 70 ion Na+ sebagai ion lawan, maka akan
ada 30 ion Na+ dan 1 miseler yang memiliki muatan -30 unit; total ada 31 ion. Reduksi inilah
yang secara tajam menurunkan konduktifitas listrik.
Dengan menggabung molekul-molekul hidrokarbon ke dalam micel, larutan sabun dapat
bertindak sebagai solven hidrokarbon, aksi sabun sebagai pembersih bergantung pada
permukaannya untuk menahan kotoran dalam suspensi. Struktur deterjen mirip sabun. Deterjen
tipe anionic adalah alkyl sulfonat, RSO3-Na+, agar diterjen bertindak bagus, R harus memiliki
sekurang-kurangnya 16 atom C. diterjen kationik biasanya garam ammonium kuartenair, yaitu
satu alkyl (gugus alkyl) berantai panjang, contoh (CH 3)3RNa+Cl- , dengan R memiliki 12 sampai
18 C.
125
SOAL SOAL:
1. Pada 25oC, densitas mercury adalah 13,53 g/cm 3 dan γ = 0,484 N/m. Berapakah penurunan
kapiler mercuri dalam pipa gelas dengan diameter dalam 1 mm jika kita asumsikan bahwa θ
= 180o? Abaikan densitas udara.
2. Dalam pipa gelas , air memperlihatkan kenaikan kapiler 2cm pada 20 oC. Jika ρ = 0,9982
g/cm3 dan γ = 72,75x10-3 n/m, hitunglah diameter pipa (θ =0oC)
3. Pada 20oC tegangan antarmuka antara air dan benzene adalah 35 mN/m. Jika γ = 28,85
mN/m untuk benzene dan 72,75 mN/m untuk air (asumsikan bahwa θ = 0), hitung
a) kerja adhesi antara air dan benzene.
b) kerja kohesi untuk benzene dan untuk air.
c) Koefisien penyebaran untuk benzene di atas air.
4. a)Adsorpsi etil chloride pada sample arang pada 0oC dan pada beberapa tekanan yang berbeda
adalah
p/mmHg 20 50 100 200 300
Jml gram teradsorbsi 3,0 3,8 4,3 4,7 4,8
Dengan isotherm Langmuir, tentukan fraksi permukaan yang tertutupi pada tiap tekanan
yang tertera.
b)Jika luas area molekul etil chloride adalah 0,260 nm2, berapakah luas area arang?
5. Adsorpsi butane pada bubuk NiO diukur pada 0 oC; volume butane pada STP yang
teradsorpsi per gram NiO adalah
p/kPa 7,543 11,852 16,448 20,260 22,959
3
v/(cm /g) 16,46 20,72 24,38 27,13 29,08
a) Dengan isotherm BET, hitunglah volume yang teradsorpsi pada STP pergram jika NiO
tertutup oleh lapisan monolayer; po = 103,24 kPa.
b) Jika luas penampang molekul butane tunggal adalah 44,6 x 10-20 m2, berapa area pergram
bubuk NiO?
c). Hitunglah θ1,θ2,θ3, dan θv pada 10 kPa dan 20 kPa.
d). Dengan menggunakan isotherm Langmuir, hitunglah θ pada 10 kPa dan 20 kPa dan
perkirakan luas permukaan.Bandingkan dengan pada b).
126
DAFTAR PUSTAKA
Alberty, R. A. 1987. Physical Chemistry. New York : John Wiley and Sons
Atkins, P. W. 1994. Kimia Fisika, terjemahan oleh Irma I.K. Jakarta : Penerbit Erlangga
Castellan, G.W. 1983. Physical Chemistry. New York : Addison- Wesley Publising
Company.
Dogra, S.K. dan Dogra, S. 1990. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia
S. K. Dogra, dan S. Dogra. 1990. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia
127