Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325216565

HERMENEUTIK

Preprint · April 2018


DOI: 10.13140/RG.2.2.26443.69921

CITATIONS READS
0 4,425

1 author:

Petrus Jacob Pattiasina


Pattimura University
15 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Ragam Bentuk Sapaan dalam Bahasa Melayu Ambon View project

All content following this page was uploaded by Petrus Jacob Pattiasina on 18 May 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HERMENEUTIK
oleh
Petrus J. Pattiasina

Kehadiran hermeneutik dalam deretan ilmu-ilmu sosial, sebenarnya masih relatif baru.
Dilihat dari keberadaannya, hermeneutika baru dalam pertengahan abad ke-XIX dipakai sebagai
dasar metodologi ilmu-ilmu sosial, dan mula-mula dalam ilmu sejarah. Tokoh yang perlu disebut
dalam konteks ini adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Akar hermeneutika sebenannya berada
di luar lingkungan ilmu pengetahuan modern dan dapat ditelusuri jauh ke belakang dalam waktu
sampai masa permulaan peradaban Yunani yang mulai bekembang kurang lebih pada abad ke-IX
sebelum Masehi. Ini berarti, hermeneutika pada hakikatnya bukan aliran filsafat ilmu
pengetahuan yang timbul dan berkembang dalam jalur dunia ilmu pengetahuan, seperti halnya
dengan aliran filsafat ilmu pengetahuan yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya tetapi
merupakan satu unsur yang mempunyai sifat lebih umum dan berkembang dalam proses yang
berlangsung sudah lama sekali dan terus-menerus berubah.
Proses perkembangan hermeneutika dapat dibagi ke dalam empat tahap. Dalam masing
masing tahap itu konsep „hermeneutika‟ dipakai dengan pengertian tersendiri. (1) hermeneutika
berperan sebagai unsur dalam konteks kepercayaan dan ritus agama. (2) hermeneutika dipakai
sebagai metode atau teknik analisis dokumen. (3) hermeneutika diangkat menjadi ilmu
pengetahuan kemanusiaan. (4) hermeneutika berubah menjadi spesifik dalam ilmu filsafat.

Sejarah Hermeneutik
Secara etimologis kata „hermeneutika‟ berasal dan kata „hermeneuein‟ dalam bahasa
Yunani kuno dan berarti “seni menerangkan makna” (juga: “seni memberikan interpretasi, “the
art of interpretation, ars interpretandi). Asal-usul istilah “hermeneutika” pada masa sekarang
lazim dikaitkan dengan kata „Hermes,‟ nama seorang tokoh dalam mitologi bangsa Yunani yang
menurut sumber-sumber tertulis kuno, ia berperan sebagai pesuruh dewa-dewa utama dan
mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia. Pada tahap perkembangan
awal ini konsep „hermeneutika‟ telah mempunyai tiga unsur pengertian yang masih berlaku
sampai sekarang.
Unsur pertama, secara harfiah hermeneutika berarti “mengalihkan makna yang
terkandung dalam konteks yang agak tertutup, tidak dikenal, sulit dimengerti, asing atau sulit
dimasukkan ke dalam konteks (kebahasaan) yang lebih dikenal, terbuka dan dapat dimengerti.”.
Secara lebih spesifik, hermeneutika adalah “menerangkan apa yang tidak dapat dimengerti atau
dipahami dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa yang memang dapat dimengerti.”
Berbeda dengan tahap perkembangan pertama pada zaman Yunani dahulu, penerjemahan itu
pada masa kemudian tidak lagi dikaitkan dengan pemisahan antara alam dewa-dewa di satu
pihak dan dunia manusia di pihak lain, melainkan dengan pemisahan antara dua kebudayaan
yang berbeda atau perbedaan zaman dalam perkembangan sejarah.. Selanjutnya konsep
„hermeneutika‟ masih ditemukan dalam anggapan yang tersebar luas bahwa hermeneutika
mencakup “analisis atau telaah tentang segalanya yang bermakna.” Proses perluasan pemakaian
konsep hermeneutika ini sebenarnya sudah mulai pada permulaan zaman Yunani itu sendiri.
Unsur kedua, pengertian konsep hermeneutika mengenai hakikat atau sifat makna yang
ingin dipahami. Tulisan ataupun berita yang hendak diterjemahkan dianggap memiliki makna
yang selalu melebihi daya pemahaman yang berusaha mengungkapkannya. Artinya, melalui
hermeneutika makna yang terkandung dalam tulisan atau berita hanya dapat diketahui sebagian
saja. Makna yang hakiki dianggap selalu lebih mendalam atau lebih menyeluruh daripada yang
berhasil melalui analisis hermeneutika. Penting diperhatikan bahwa konsep „hermeneutika‟ di
sini dipakai dalam arti agak terbatas, yaitu analisis terhadap makna yang terkandung dalam
tulisan atau berita itu sendiri.
Unsur ketiga, hermeneutika, baik secara tegas tak terkatakan berangkat dan asumsi
bahwa suatu tulisan atau berita hanya dapat diartikan dengan satu cara saja. Asumsi ini
khususnya dianggap berlaku apabila terdapat langsung atau tidak langsung bahwa dokumen
bersangkutan dibuat untuk tujuan spesifik. Pikiran tentang metode hermeneutika ini
dikemukakan dalam bentuk aturan dan kaidah.
Dalam tahap perkembangan selanjutnya di Eropa,Zaman Romawi, hermeneutika lebih
khusus dipakai untuk menganalisis makna yang terkandung dalam dokumen hukum, seperti
undang-undang, dan dokumen agama, seperti Kitab Injil agama Kristen. Dokumen semacam ini
pada dasarnya bersifat normatif atau mengenai moral. Tujuan khusus analisis hermeneutika
adalah mengungkapkan dan menetapkan makna yang terkandung dalam teks itu sendiri.
Tahap awal zaman baru ini dinamakan “Kebangkitan Kembali” (Renaissance) dan berlangsung
sampai kurang lebih pertengahan abad ke-XVI. Periode itu ditandal dengan usaha mempelajari
kembali peradahan Yunani dan Romawi pada Zaman Klasik, yang memang sangat berlainan dan
situasi dan kondisi di Eropa pada Abad Pertengahan. Untuk mempelajari peradaban tersebut
dipakai hermeneutika sebagai metode. Analisis tulisan Zaman Klasik menyebabkan munculnya
dua macam pemakaian hermeneutika, masing-masing untuk kepentingan yang berbeda. Pertama
terdapat kelompok yang cenderung menggunakan hermeneutika khusus untuk mengungkapkan
dan mempelajari makna “murni” yang terkandung dalam tulisan yang berasal dari Zaman Klasik.
Tujuan spesifiknya adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman
dan penjelasan menyeluruh dan mendalam darinya. Aliran hermeneutika ini di kemudian hail
dinamakan „hermeneutika ilmiah” (zetetische Hermeneutik). Kedua terdapat aliran yang ingin
menggunakan makna yang terungkapkan dan tulisan zaman tersebut untuk usaha-usaha
menangani masalah praktis dalam kehidupan sosial pada masa itu. Untuk ini perhatian
dipusatkan pada upaya menetapkan isi “normatif‟ atau beserta “autoritas” tulisan orang Zaman
Klasik. Aliran hermeneutika yang kedua ini dikenal dengan nama “hermeneutika dogmatis” dan
memainkan peranan penting dalam ilmu hukum dan ilmu teologi hingga sekarang.
Munculnya dua aliran hermeneutika yang berbeda, masing-masing mempunyai tujuan
relatif lebih spesifik dan tegas daripada hermeneutika yang dipraktikkan pada masa sebelumnya,
antara lain dimungkinkan oleh perkembangan yang telah terjadi di bidang ilmu filsafat dan ilmu
teologi. Bersamaan dengan munculnya dua aliran spesifik tersebut, dalam hermeneutika terjadi
pergeseran “objek studinya.” Kalau pada masa sebelumnya perhatian sepenuhnya dipusatkan
pada isi tulisan maka mulai dari akhir abad ke-XV perhatian lambat laun bergerser”dari tulisan
ke penulisnya.” Mulai disadari bahwa makna yang terkandung dalam tulisan yang lain itu tidak
bisa ditangkap terpisah dan pemaknaan pihak yang membuatnya. Dengan kata lain, mulai
disadari bahwa makna tidak dapat dipahami dan dijelaskan terpisah dari pikiran, perasaan, cita-
cita dan dorongan orang bersangkutan.
Pergeseran pandangan ini menyebabkan juga perluasan pemakaian analisis hermeneutika.
Di samping analisis tulisan dan dokumen tua, hermeneutika juga mulai dianggap sebagai metode
yang tepat untuk mengungkapkan makna yang terkandung dalam karya-karya di bidang seni lain
seperti misalnya sastra, patung, lukisan, musik, bangunan dan tarian. Semua bentuk kesenian ini
dianggap merupakan ekspresi pikiran, perasaan, nilai-nilai maupun cita-cita penciptanya.
Meskipun pemakaian hermeneutika menjadi jauh lebih luas dibandingkan dengan masa
sebelumnya, dalam hal analisis perhatian ilmuwan masih sepenuhnya terpusat pada si pencipta
karya seni. Selain itu juga dipertahankan asumsi yang menyatakan bahwa makna yang
terkandung dalam suatu karya seni bersifat tunggal dan, sejauh mengenai objek studi
bersangkutan, dianggap mengandung nilai abadi, tidak berubah ubah.
Hermeneutika dianggap sebagai metode yang tepat untuk mengungkapkan makna yang
dimaksud dan yang memungkinkan diberikan pemahaman dan penjelasan mendalam dan
menyeluruh terhadapnya. Akibatnya hermeneutika memusatkan perhatian pada karya-karya seni
yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh seni budaya dan pencipta karya budaya yang termashur, seperti
penyair, pelukis, pematung, arsitek, komponis, ahli filsafat dan sebagainya.
Pada akhir abad ke-XVII muncul untuk pertama kali sejumlah upaya mengembangkan
hermeneutika yang bersifat umum atau universal, baik di bidang hermeneutika ilmiah maupun
hermeneutika dogmatis. Namun demikian, upaya pertama ini tidak membawa banyak hasil.
Sebab, iklim cendekia yang berkembang dalam abad keXVIII tidak menguntungkan. Masa itu
dikenal sebagai “Zaman Pencerahan” (Enlightenment) dan ditandai di satu pihak oleh penolakan
total segala yang diteruskan secara turun-temurun dari masa-masa sebelumnya dan, di pihak lain,
oleh penerimaan secara tak bersyarat segala sesuatu yang dianggap “modern.” Yang modern
dianggap lebih baik dan lebih unggul daripada apa yang dihasilkan pada zaman sebelumnya.
Kemajuan ini langsung dikaitkan dengan pendayagunaan pikiran manusia (rasio) untuk
mengembangkan pengetahuan dan teknologi.
Dalam abad ke-XVII dan ke-X VIII ditemukan apa yang lazim dinamakan “semangat
zaman” (spirit of the era, Geist der Zeit) dan kesatuan-kesatuan luas jenis lain seperti
“kebudayaan” (culture), “bangsa” (people), “negara” (nation), dan “hukum-hukum universal”
(universal rights). Akibatnya, tulisan kuno, benda peninggalan dan karya seni tidak lagi semata-
mata dipandang sebagai ekspresi pikiran, nilai dan cita-cita penciptanya, tetapi sebagai simbol
untuk suatu kesatuan yang lebih menyeluruh dan abstrak dan jenis-jenis tersebut. Kesatuan yang
lebih menyeluruh ini dianggap “hasil” atau suatu “semangat” (spirit) yang mewujudkan atau
menyatakan diri dalam proses perkembangan sejarah. Penemuan kemungkinan terdapat
hubungan antara segala macam hasil cipta karya manusia di satu pihak dan kesatuan-kesatuan
yang bersifat abstrak dan menyeluruh di pihak lain, memerlukan diadakan refleksi kembali atas
arti hermeneutika sendiri dan mendorong berbagai usaha mengembangkan suatu pandangan
menyeluruh dan mendalam terhadapnya.
Pada abad ke-XIX muncul untuk pertama kali “teori hermeneutika.” Keistimewaan teori
ini adalah bahwa di dalamnya diadakan penggolongan baru lagi. Di samping penggolongan
hermeneutika menurut tujuannya, yaitu “hermeneutika ilmiah” dan dogmatis,” sekarang mulai
dibedakan antara dua tingkat analisis hermeneutika, yaitu: (1) “Hermeneutika tingkat tinggi;”
dan (2) “Hermeneutika tingkat rendah.” Kalau hermeneutika tingkat rendah dianggap mencakup
apa yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala, yaitu satu metode yang berguna untuk
mengungkapkan dan memastikan makna yang terkandung dalam satu dokumen atau tulisan,
objek seni rupa dan benda peninggalan kongkret, maka hermeneutika tingkat tinggi khusus
bermaksud mengungkapkan dan memastikan makna yang terkandung dalam kesatuan abstrak
dan umum yang telah disebut. Kalau hermeneutika tingkat rendah cenderung bersifat teknis dan
praktis dan terarah pada objek studi spesifik dan terbatas.
Hermeneutika tingkat tinggi dianggap bersifat lebih bebas, spekulatif dan akrab dengan
seni dan terarah kepada kesatuan yang bersifat umum atau menyeluruh. Hermeneutika tingkat
tinggi didasarkan pada anggapan bahwa terdapat satu “semangat umum” (universal spirit) atau
“semangat dunia” (world spirit) yang bersifat tunggal dan tidak berubah-ubah dan dianggap
mengilhami baik pencipta karya seni beserta zaman di mana dia hidup maupun orang yang
benisaha menerangkan makna yang terkandung di dalamnya beserta zaman atau masa di mana
dia hidup. Dengan perkataan lain, “semangat umum” atau “semangat dunia” itu dianggap
merupakan kenyataan tersendiri yang melebihi segala sesuatu yang lebih kongkret dan terbatas
dan sekaligus memenuhinya dengan satu makna umum dan yang sama..
Wilhelm Dilthey adalah salah satu tokoh yang menyebabkan penyesuaian ini pada awal
abad ke-XX. Ia mengubah arah perkembangan hermeneutika menuju idealisme, dan menjadi
empirisme maupun positivisme.. Tujuan spesifik ilmuwan sejarah dan ahli ilmu filsafat ini
adalah menunjukkan dasar baru untuk hermeneutika sebagai metodologi yang khusus berlaku
untuk ilmu kemanusiaan. Dengan upaya ini Dilthey bermaksud, di satu pihak, menerobos
perkembangan yang sedang terjadi dalam pertengahan abad ke-XIX dalam ilmu sejarah menuju
apa yang lazim dinamakan “psikologisme,” yaitu kecenderungan menjelaskan semua gejala
sejarah dan sosial-budaya sebagai wujud “semangat umum” atau “semangat dunia” yang
mengendalikan perkembangan sejarah maupun proses pengembangan peradaban.
Ilmuwan yang mengadakan analisis hermeneutika bertindak seakan seorang “pemain
sandiwara:” Ini berarti, walaupun Dilthey mengadakan perubahan terhadap hermeneutika tingkat
tinggi tentang apa yang menurutnya merupakan sifat dasar objek studi ilmu kemanusiaan, tetapi
ia mempertahankan prinsip-prinsip pelaksanaan analisis hermeneutika yang sudah dianggap
baku. Selain menerobos perkembangan menuju “psikologisme” upaya Dilthey menunjukkan
dasar baru bagi hermeneutika juga dimaksudkan untuk membela sifat khas ilmu kemanusiaan
terhadap ilmu alam.
Pertama, dalam jangkauan objek studi. Kalau dalam tahap-tahap perkembangan
hermeneutik sebelumnya perhatian ilmuwan secara eksklusif terpusatkan pada tokoh-tokoh
utama berbagai bidang cipta karya seni, seperti pelukis, pencipta musik, filsuf dan penyair
terkenal, dan diusahakan mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya dengan
mengaitkannya pada suatu keseluruhan yang abstrak atau menyeluruh. Sekarang jangkauan
analisis diperluas mencakup semua anggota masyarakat (umat manusia) tanpa kecuali.
Kedua, terjadi pergeseran dalam isi permasalahan. Oleh karena Dilthey tidak berhasil
menunjukkan secara meyakinkan kriteria metodologis untuk menentukan keabsahan analisis
hermeneutika, maka hanya penyesuaiannya terhadap objek studi ilmu kemanusiaan saja diterima
di kalangan luas ilmuwan sosial di kemudian hari.

“Hermeneutika Sebagai Aliran Ilmu Filsafat”


Sejak permulaan abad ke-XX hermeneutika berubah lagi menjadi aliran tersendiri dalam
ilmu filsafat. Dua nama yang tidak dapat dipisahkan dan perkembangan baru ini adalah Martin
Heidegger (1889-1976) dan Hans-Georg Gadamer (1900-). Heidegger adalah filsuf pertama yang
memperluas pengertian konsep “verstehen” lebih jauh daripada yang diberikan oleh Dilthey.
Kalau Dilthey menggunakan konsep verstehen dalam arti “upaya memahami seeara psikologis
kejiwaan dan kelakuan orang lain serta hasil cipta karyanya,” yakni upaya interpretatif untuk
memberikan makna kepada sesuatu yang dianggap pada hakikatnya bersifat “fakta objektif”
maka dalam pandangan filsafat Heidegger verstehen menjadi “sesuatu yang sudah menjadi
pembawaan manusia.” ini berarti, menurut Heidegger, keperluan manusia memberikan makna
kepada segala sesuatu sudah ditentukan terlebih dahulu sebelum keberadaannya.. Antara
pandangan Heidegger (dan Gadamer) di satu pihak dan Dilthey di pihak lain terdapat perbedaan
mendasar dalam beberapa hal.
Dalam keberadaan manusia Delthey menegaskan persatuan yang mula-mula (primordial
unity) antara “subjek” dan “objek.” Manusia adalah “makhluk yang berada dalam dunia”
sebeluni menjadi “subjek” yang menuntut mempunyai pengetahuan tentang “objek-objek” dalam
dunia. Ini berarti, dalam pandangan Heidegger, pengembangan pengetahuan benlangsung dalam
konteks interpretasi dan pemahaman jauh lebih luas dan menyeluruh daripada yang digambarkan
oleh Dilthey.
Hermeneutika bukan pandangan filsafat ilmu pengetahuan yang seragam. Ada banyak
perbedaan dalam hal asas, tujuan maupun pendekatan atau metode. Juga terdapat perbedaan
pandangan yang cukup tajam antara para “peletak dasar” (founding fathers), seperti misalnya W.
Dilthey, dan “penerusnya” pada zaman sekarang, seperti, antara lain, Gadamer (1900), P.
Ricoeur (1913-), K.-O. Apel (1922-) dan J. Habermas (1929-). Dalam pasal ini diterangkan asas-
asas yang mendasari aliran hermeneutika yang berlaku pada masa kini, khususnya “pendekatan
interpretatif‟ dalam ilmu sosial di Amenika Serikat, dengan cara mempertentangkannya dengan
pandangan Dilthey.

Pandangan Filsafat Ilmu


(1) Asumsi Dasar
Prinsip yang mendasari gejala yang dipelajari oleh ilmu kemanusiaan sebagai objek studi
khasnya, menurut Dilthey, adalah “verstehen,” yakni kemampuan manusia saling memahami
berdasarkan pengalaman sendiri. Sehubungan dengan prinsip ini dibuat lima asumsi dasar:
1. Memahami adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia sehari-sehari. Sebab,
tanpa mengadakan interpretasi terhadap kelakuan orang lain, manusia tidak bisa bertindak, yaitu
mengarahkan kelakuannya untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Tindakan (actions), dan juga gerak-gerik tubuh (gesticulation) serta tutur kata atau suara,
hanya merupakan “isyarat” (signs). Diasumsikan bahwa “di bawah” atau “di belakang” lapiran
luar itu tersembunyi dorongan-dorongan subjektif seperti pikiran, cita-cita, perasaan, harapan.
“isyarat-isyarat” itu adalah lambang atau simbol dari dorongan-dorongan yang
membelakanginya.
3. Manusia memiliki kemampuan “menembus” lapisan luar itu sampai pada dorongan
sesama manusia tersebut dan dapat memahaminya karena pihak yang bertindak dan pihak yang
hendak memahaminya, dua-duanya berada dalam “lingkup pengalaman” (Erlebnisraum)
bersama. Keberadaan dalam lingkup pengalaman yang sama menyebabkan dorongan dua belah
pihak pada hakikatnya mempunyai persamaan.
4. Daya pemahaman manusia tidak terbatas pada tindakan perseorangan (individual actions)
yang terbatas pada tempat dan waktu tertentu, tetapi juga menjangkau gejala yang lebih
menyeluruh seperti misalnya sandiwara, acara tv, lagu, maupun tatanan ekonomi dan zaman
peradaban. Gejala menyeluruh ini dapat dipahami karena pada hakikatnya merupakan “fakta
maknawi” yang juga berdasarkan pada pemberian makna oleh orang bersangkutan.
5. Dua orang yang asing satu sama lain, karena hidup dalam konteks sejarah yang berbeda,
dapat saling memahami karena dua-duanya adalah “bagian” dari suatu “pemahaman kolektif‟
yang memuat semua “fakta maknawi” yang ada. Pemahaman kolektif ini melebihi kesadaran
setiap individu, yakni tidak dapat begitu saja dipengaruhi oleh daya pikir masing-masing. Namun
demikian, apa yang dipikirkan seseorang adalah cermin dari fakta-fakta maknawi yang bersifat
umum itu.

Usaha mengembangkan pengetahuan ilmiah, menurut Dilthey, dimulai dari pemahaman


(verstehen) terhadap “isyarat” yang tersedia dan terbuka untuk diamati melalui pancaindra
dengan maksud mengenal “bagian dalamnya.”“Isyarat” itu diasumsikan merupakan ekspresi atau
ungkapan “dorongan-dorongan dan dalam.” Dorongan ini dianggap bagian pemahaman kolektif
yang bersifat umum dan menyeluruh. Pemahaman kolektif adalah kenyataan tersendiri yang
mempunyai perkembangan (sejarah) sendiri pula dan terungkapkan dalam segala macam bentuk
kehidupan.Pemahaman tentang isyarat perlu dikembangkan menjadi “interpretasi sempurna”
tentang “kenyataan” yang tersembunyi di dalamnya
Pandangan Wilhem Dilthey tentang hakikat objek studi ilmu kemanusiaan dan tujuan
penelitian ilmiah mempunyai implikasi lanjut terhadap pengertian konsep „kebenaran‟ dan
„objektivitas.‟ Pengertian dua konsep dasar ini tidak dapat dilihat terpisah satu dan yang lain.
Kebenaran menurut Dilthey berarti “terdapat persamaan dengan pemahaman kolektif manusia”
yang umum dan menyeluruh. Kebenaran ini pada hakikatnya bersifat normatif.
Pengetahuan yang dikembangkan dengan metode verstehen dianggap bersifat “objektif‟ jika
memenuhi tiga syarat berikut:
1. Didorong oleh perhatian (interest) yang benar-benar murni objek studi, yaitu ungkapan
dalam kehidupan manusia telah “baku” atau “tetap” selama masa yang panjang, sehingga
wujudnya benar-benar sesuai dengan bentuk aslinya.
2. Dihasilkan sesuai dengan aturan mengadakan interpretasi yang sudah baku untuk
“menciptakan kembali” objek studi dalam diri ilmuwan sendiri berdasarkan perasaan empati
terhadap sesama manusia.
Penting ditambahkan di sini bahwa dalam pandangan Dilthey metode hermeneutika
berjalan menurut dua prinsip. Pertama, “prinsip ketidakterpisahan antara usaha mengenal sesuatu
dan memberikan penilaian (evaluation) terhadapnya.” misalnya satu jenis tindakan yang terjadi
pada waktu dan tempat tertentu, perlu diketahui konteks luas di mana tindakan itu terjadi.
Artinya, pemahaman hanya dapat dikembangkan dengan cara mengaitkan apa yang spesifik dan
kongkret dengan sesuatu yang bersifat lebih menyeluruh atau abstrak.

Masalah Metodologis Dilthey


Masalah metodologis pokok yang tersimpan dalam pandangan Dilthey berkisar pada
pertanyaan, “Bagaimana berdasarkan kesadaran perseorangan, yang bersifat subjektif,
mempunyai susunan khas dan terkait dengan fakta-fakta tunggal yang terbatas dalam waktu dan
tempat, dapat dikembangkan pengetahuan yang bersifat objektif dan berlaku umum?” Pertanyaan
ini oleh Dilthey sendiri dijawab dengan mengatakan, pertama, bahwa „objektif‟ berarti
“berhubungan dengan objek (studi)” atau “keluar dan sesuatu yang berada di luar atau berdiri
sendiri terlepas dan kesadaran yang berpikir.” Dengan perkataan lain, dalam pandangan Dilthey
“pengetahuan objektif‟ adalah pengetahuan yang “mencerminkan” objek luar itu dengan
sempuma. Kedua, “objektif” berarti “dianggap oleh umum merupakan pengetahuan penting.”.
Weber memperlihatkan bahwa objek studi ilmu kemanusiaan tidak bersifat normatif, tetapi
deskriptif, dan dapat dipelajari dengan metode yang juga bebas nilai (value free) seperti metode
penelitian ilmu alam. Dengan demikian ia membuka jalan untuk perkembangan baru ilmu sosial.

Hermeneutik Paul Ricoeur


Menurut Ricoeur fakta atau produk itu dibaca sebagai suatu naskah. Pemahaman seperti
itu terjadi, jikalau misalnya ada pemahaman mengenai :
1. Bahasa bukan sekedar sebagai bunyi-bunyian, tetapi sebagai komunikasi.
2. Tarian tidak hanya sebagai gerak yang bersifat biotik, tetapi sebagai bagian dalam upacara
ritual.
3. Kurban tidak hanya sebagai pembakaran benda, atau penyembelihan binatang, tetapi sebagai
tanda penyerahan.
Bagi Ricoeur hidup ini merupakan interpretasi, terutama jika terdapat pluralitas makna,
disaat itulah interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika symbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi
penting, sebab disini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan. Menurutnya interpretasi
adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk
membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna
kesusastraan.Kata-kata adalah symbol yang menggambarkan makna lain yang sifatnya “tidak
langsung, tidak begitu penting serta figurative (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti
melalui symbol-simbol tersebut”.( Sumaryono, 1999,105)
Kedudukan penafsir menurut Ricoeur harus mengambil jarak dengan obyek yang kita
teliti supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Ia sadar bahwa setiap manusia pasti
dalam benaknya sudah membawa anggapan-anggapan atau gagasan-gagasan, oleh karenanya kita
sama sekali tidak dapat menghindari diri dari prasangka. Dibalik itu pula anggapan-anggapan
dan gagasan-gagasan yang terdapat pada para penafsir itu turut memengaruhi dalam mereka
dalam memberi kritik. Tugas dari seorang penafsir adalah menguraikan keseluruhan rantai
kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa atau teks (Sumaryono, 1999,108)
Tugas hermeneutik adalah disatu pihak mencari dinamika internal yang mengatur
struktural kerja didalam teks, dilain pihak mencari daya yang dimikili kerja teks itu untuk
memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan “hal”-nya teks itu muncul ke permukaan. Peran
bahasa dalam interpretasi sangatlah penting, karena pengungkapan gagasan, emosi, kesusastraan
dan filsafat semua melalui bahasa, bahkan Ricoeur berpendapat bahwa manusia adalah bahasa
dan bahasa merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia. Selanjutnya, setiap teks
yang hadir dihadapan kita selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi maupun aliran yang
hidup dari macam-macam gagasan.
Dalam melakukan interpretasi, menurut Ricoeur, terdapat dua kegiatan yaitu kegiatan
Dekontekstualisasi (proses „pembebasan‟ diri dari konteks) dan kegiatan Rekontekstualisasi
(proses masuk kembali ke dalam konteks). Dari penjelasan ini maka telihat bahwa tugas dari
penafsir sangat berat, karena ia harus dapat membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau
menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari
kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia
harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta
harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektif. Penafsir
pada suatu saat harus dapat membuka diri terhadap teks yang hadir dihadapannya. Membuka diri
disini maksudnya adalah mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri kita dengan
cara yang obyektif. Maksudnya adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan
cara menghayatinya. (Sumaryono, 1999,109). Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu,
intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi social pengadaan teks, serta untuk
siapa teks itu dimaksudkan.( Sumaryono, 1999,109)

Kesimpulan
Bagi Paul Ricoeur kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang
harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus
diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. Ricoeur menjelaskan tentang
simbol-simbol dengan menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari
kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Dari sini Ia menerangkan tentang betapa
pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang hidup dalam masyarakat.
Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa penafsir dihadapkan pada tugas yang
berat, karena ia harus menghadapi dua situasi yang sangat berbeda dalam satu waktu, dimana
disatu sisi ia harus dapat menjaga jarak dengan teks yang hadir dihadapannya, sekaligus ia juga
harus dapat membuka diri agar dapat menghayati teks tersebut secara menyeluruh dengan tidak
lupa memperhatikan latar belakang kehadiran teks tersebut. Disadari pula oleh Ricoeur bahwa
setiap penafsir sudah mempunyai angapan atau gagasan yang melekat pada diri mereka, dan itu
semua turut mewarnai hasil interpretasi yang dihadirkan oleh setiap penafsir.

Daftar Pustaka
1. Sumaryono, E.1999. Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat. ed.1. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius
2. Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa; Realitas Bahasa,Logika Bahasa, Hermeneutika, dan
Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma
3. Ibrahim, A. S. 2012. Teori-Teori Pengetahuan. Malang: Universitas Negeri Malang

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai