BUKU 19
Kata Pengantar
Paribasan, Simpul Kearifan Lokal Budaya Jawa
Paribasan atau juga disebut Peribahasa atau pepatah adalah butir-butir kearifan yang
dihasilkan sebuah peradaban tertentu. Setiap bangsa di dunia ini mengenal peribahasa dan
menggunanakannya sebagai alat komunikasi yang efektif dan efisien. Efektif karena dengan
peribahasa makna sesuatu dalat disampaikan dengan jelas karena umumnya orang sudah tahu
sama tahu apa maknanya. Efisien karena dengan mengungkap satu peribahasa makna yang
luas telah berhasil disampaikan, tanpa harus memberi penjelasan yang panjang lebar.
Dalam budaya Jawa peribahasa dikenal dengan nama paribasan. Ada banyak paribasan dalam
bahasa Jawa dalam berbagai bentuk dan varian, antara lain bebasan dan saloka. Namun kita
tidak perlu terlalu membedakannya sekarang. Kali ini kita akan membahas masalah paribasan
ini satu persatu agar makna yang dikandung dapat dimengerti oleh generasi muda yang sudah
tidak begitu paham bahasa Jawa. Dalam setiap paribasan akan diberi arti harfiahnya, makna
yang dikandungnya serta contoh keadaan yang digambarkan dalam paribasan itu. Contoh-
contoh tersebut dimaksud agar membantu memahami makna paribasan dengan lebih akurat.
Selamat membaca.
Orang tersebut menjawab, “Saya mau menukarkan emas. Boleh ditukar dengan uang atau
beras Pak. Murah Pak. Cukup ditukar dengan uang lima juta atau satu ton beras juga
boleh!”
Mas Jono meminta orang tersebut menunjukkan emas yang dimaksud. Orang tersebut
kemudian mengeluarkan kotak perhiasan. Mas Jono kaget karena kotak itu adalah kotak
perhiasannya yang hilang semalam. Mas Jono menyetujui untuk membayar emas tersebut.
Dengan alasan akan mengambil uang di bank, Mas Jono mengajak orang tersebut
bersamanya. Berangkatlah keduanya membonceng mobil Mas Jono. Di tengah jalan Mas
Jono berbelok ke kantor polisi. Dia kemudian turun dan menyerahkan si pencuri berserta
barang buktinya untuk diproses hukum.
Kepala Polisi tertawa dan berkata, “Wah Pak Pencuri, sampeyan ki kaya ula marani gitik,
hahaha...”
Sementara si tentangga menggerutu, “Orang kok licik betul. Masa hutang lima ratus ribu
saja mau minta kalung emas yang harganya jutaan. Itu sama dengan: welut didoli udhet!”
Ada peribahasa yang artinya mirip dengan paribasan ini. Yakni; Cina didoli dom.
Bupati marah dan memaki-maki Pak Camat. Namun setelah kemarahannya reda Pak Camat
menjelaskan duduk perkaranya. Pak Bupati menyadari bahwa dia telah diadu domba oleh
satpamnya sendiri. Dia berkata dengan menyesal, “Wow dik Camat, kita ini seperti gajah
diadu cindhil!”
hornorarium kecamatan. Maka statusnya juga menjadi bekerja juga tidak, wong gajinya
kecil. Namun juga tidak nganggur, wong nyatanya tiap hari dengan rajin Bagong berangkat
pagi-pagi memakai baju seragam dan menenteng tas.
Satu hal yang belum dipunyai Bagong adalah pacar. Walau demikian sudah umum diketahui
kalau si Bagong ini sudah lama menyimpan hati untuk Jamilah putri Pak Kades Wangon
yang cuantiikk dan shalihah itu.
Oleh Pak Camat si Bagong diberi saran, “Gong kamu segera lamar saja si Jamilah itu!”
Bagong menjawab sambil gugup, “Eh tapi Pak.Kami kan tidak pacaran Pak!”
Pak Camat menjawab, “Ah tak apa Gong. Siapa tahu karena ketulusanmu dan kejujuranmu
si Jamilah menerima lamaranmu. Kalah cacak menang cacak Gong! Patut dicoba!”
Keesokan harinya Mr Lionel banyak mendapat ucapan keprihatinan atas nasibnya itu.
Termasuk dari seorang perajinnya Pak Kusen, yang rumahnya jauh di Klaten, 50 km dari
rumah Lionel. Tentu saja Lionel kaget bukan kepalang, “Rumahmu 50 km jauhnya dan kamu
tahu kabar ini? Mustahil!”
Pak Kusen menjawab, “Di sini orang saling bertukar informasi secara lisan tentang apa
saja. Jarak yang jauh bukan halangan karena: sadawa-dawane lurung isih dawa gurung!”
“Pak, itu di desa sebelah ada seorang aparat desa yang ditangkap polisi karena korupsi
dana desa. Lha menurut saya anakmu itu berbakat untuk mencuri juga. Wong sejak kecil
sudah nakal kok. Sekarang malah jadi aparat desa yang megang uang banyak. Salahmu
sendiri sih Pak memanjakan anak. Harus diawasi selalu Pak anakmu itu. Sebelum terlanjur
mencuri.”
Tentu saja Pak Dhadhap marah mendengar perkataan tamunya. Wong belum-belum kok
sudah su’udzan kepada anaknya, “Kamu ini ngomong apa kok sembarangan menuduhkan
sesuatu yang belum terjadi!”
Pak Dhadhap mengelus dada sambil berguman, “Mimpi apa aku semalam. Ora ngubengke
jantra kok kedhayohan wong edan!”
Paribasan ini mempunyai varian lain yang pengertiannya sama. Car-Cor kaya wong kurang
jangan. Arti harfiahnya berkali-kali mengucurkan kuah seperti orang kurang sayuran
(makanan). Maknanya sama dengan paribasan di atas.
Sang pejabat mengangguk-angguk, dan berkata, “Oh pantas, rupanya dia kere munggah
bale!”
Akhirnya setelah usianya cukup Kyai Jafar mengutarakan kepada Nyai Jafar maksudnya itu.
Tentu saja Nyai Jafar kaget bukan kepalang karen si gadis sudah dianggap sebagai anak
sendiri. Namun karena Nyai Jafar adalah istri yang patuh pada suami akhirnya dia
merelakan suaminya mengambil gadis itu sebagai istri muda. Posisi si gadis inilah yang
disebut kurung munggah lumbung.
Cao Yen adalah seorang tukang pandai besi. Kegiatan sehari-harinya adalah membuat pisau
dari baja. Suatu ketika anggota geng kapak merah memesan sebuah pisau panjang. Setelah
selesai Cao Yen menyerahkan pisau itu beserta tagian ongkosnya. Tak disangka anggota
kapak merah itu marah-marah dan menempeleng Cao Yen. Merasa haknya tidak diberikan
dan malah mendapat pukulan Cao Yen membalas. Akhirnya keduanya berkelahi dan Cao Yen
dapat mengalahkan anggota kapak merah itu, kemudian memaksanya memberikan ongkos
dan pulang.
Malam harinya desa Thru Cuk, tempat kediaman Cao Yen dikepung oleh anggota kapak
merah. Kepala geng kapak merah, Bha Gong, mengultimatum agar Cao Yen menyerahkan
diri dan meminta maaf. Tidak ada rekasi apapun dari rumah Cao Yen. Bha Gong marah dan
mengobrak-abrik rumah Cao Yen serta menghajarnya beramai-ramai.
Cao Yen yang kesakitan berteriak nyaring meminta tolong. Para tetangga berdatangan. Tak
disangka oleh kapak merah, ternyata desa Thru Cuk penuh dengan para pendekar Kung Fu.
Tanpa dikomando spontan mereka balik menghajar anggota kapak merah hingga tak bersisa.
Nasib mereka seperti sulung malebu ing geni, hancur binasa!
Ada seorang pemuda gagah yang sifatnya buruk, malas dan tidak suka bekerja keras.
Pemuda tadi pekerjaannya hanya meminta-minta untuk menyambung hidupnya. Karena
dianggap masih mampu bekerja banyak yang enggam memberi.
Suatu ketika dia meminta-minta di rumah seorang pasangan muda. Oleh tuan rumah dia
tidak diberi. Wong masih muda gagah perkasa kok minta-minta, kata si tuan rumah. Pemuda
tersebut sakit hatinya dan merencanakan kejahatan.
Malam harinya dengan memakai topeng si pemuda menggasak rumah pasangan muda
tersebut. Namun karena baru saja dari tempat itu si tuan rumah merasa curiga dengan sosok
yang merampok rumahnya. Dia kemudian melaporkan si pemuda bahwa dia dicurigai
merampok tadi malam. Si pemuda mengelak dan mengeluarkan sumpah, bahwa bukan dia
pelakunya.
Sebulan kemudian setelah keadaan reda si pemuda membual di gardu kalau dia itu seorang
pemberani. Ketika orang-orang menyanggah dan minta bukti, dengan lantang dia
mengatakan bahwa yang merampok rumah pasangan muda bulan lalu adalah dirinya. Serta
merta kabar itu menyebar dan keesokan harinya polisi menangkapnya ketika dia masih
mendengkur.
Apa yang dilakukan pemuda tadi adalah alingan wekasan ngaton.
Ki Slamet adalah bekel di Sabranglor. Dia mempunyai anak lelaki yang sudah waktunya
berumah tangga. Sebagai orang tua Ki Slamet sadar akan kewajibannya mencarikan jodoh
yang baik. Maka dia meminta pendapat Ki Demang tentang keinginannya untuk melamar nini
Jamilah putri ki Patih Pringgalaya yang terkenal cuantiiikk itu.
Ki Demang tertawa mendengarnya. Katanya, “Anakmu itu tampan tidak, pintar juga tidak,
punya kedudukan juga tidak. Kok berani-beraninya kamu hendak melamar putri Ki Patih?
Keinginanmu itu ibarat: cebol nggayuh lintang, mustahil akan diterima. Sudahlah carikan
istri yang sepadan dengannya. Itu lebih baik!”
Ki Bekel menurut dan mengurungkan niatnya yang mustahil terlaksana itu.
Paribasan ini punya varian lain, yakni; cêcak anguntal kalapa (cicak hendak mencaplok
kelapa), utawi kate pan ngrangsang rêdi, (ayam kate hendak menyerang gunung). Makna
kedua paribasan terakhir ini sama dengan paribasan di atas.
Pak Durna seorang kaya raya. Dia mempunyai teman yang gemar menghisap candu,
namanya Pak Bondet. Suatu ketika Pak Durna sakit parah beberapa bulan. Setelah sembuh
badanya terasa tidak sekuat dulu. Gampang lelah dan rasanya lesu.
Pak Bondhet menengok Pak Durna sambil membawa candu. Katanya, “Mungkin sampeyan
perlu mencoca ini sedikit saja. Barangkali lesu dan lemah badanmu hilang.”
Karena sudah putus asa Pak Durna menurut. Dia coba satu linting candu seharga seratus
ribu. Keesokan harinya tubuhnya terasa segar. Dia mengira candu itulah penyebabnya. Dia
kemudian menyuruh Pak Bondhet untuk membawa lagi candunya itu. Begitulah kebiasaan itu
berlanjut karena Pak Durna menjadi ketagihan.
Namun walau sudah menjadi pecandu Pak Durna tidak bisa meracik sendiri ramuan
candunya itu, bagaimana takaran yang pas dan cara meraciknya. Tentu saja yang untung
Pak Bondhet, setiap Pak Durna madat Bondhet selalu disuruh menemani dan tentu saja
dapat candu gratis. Si Bondhet ini ikut senang-senang tapi tak keluar modal. Keplok ora
tombok!
Sudah lama Budi Ulya ingin menjadi polisi. Itu cita-citanya sejak kecil. Maka dia giat
berlatih untuk persiapan masuk tes bintara di Semarang. Setiap siang hari jam 12 tepat dia
melatih fisik dengan berlari keliling lapangan. Memakai jaket tebal dan berlari 50 kali.
Sudah sebulan ini dia melakukan.Namun apa daya ketika ikut tes dia tidak lulus. Tentu saja
dia sangat kecewa.
Oleh salah seorang dukun setempat Budi Ulya diberi saran agar jangan memakai cara-cara
fisik saja. Berdoa itu juga penting. Dan yang lebih penting harus memakai sarat sarana,
yakni jimat keberuntungan. Maka dia ikut tes lagi dengan memakai jimat yang harus dibayar
dengan harga mahar 10 juta rupiah. Hasilnya gagal lagi.
Tak patah arang Budi Ulya kali ini ikut tes lagi. Kalau dulu mengandalkan dukun, sekarang
mengandalkan koneksi dari orang dalam. Dia rela menyogok dengan upeti 300 juta. Edan!
Namun lagi-lagi dia gagal. Sampai petugas penerima kasihan dan mengatakan.
“Sudah besok gak usah tes lagi saja. Percuma! Wong kamu tidak diterima itu bukan karena
masalah lain-lain. Tinggi kamu kurang 5 cm!”
Budi Ulya tertegun, berbagai cara yang dilakukannya selalu gagal, ibarat matang tuna
numbak luput.
Sejak meninggalnya Sultan Agung kekuasaan Mataram jatuh ke tangan Amangkurat I. Raja
penggantinya ini mewarisi kekuasaan yang besar, tetapi sayang tidak didukung dengan
kecakapan yang sepadan. Satu per satu wilayah Mataram memisahkan diri. Amangkurat I
Dia seringkali memakai cara keji dalam menyingkirkan lawan-lawannya. Konon dia hampir
selalu menghukum mati orang yang berbeda pendapat dengannya. Akibatnya muncul rasa
antipati kepadanya.
Salah seorang pembesar dari Madura Trunajaya menyatakan tidak lagi tunduk kepada
Mataram. Dia sengaja merebut wilayah timur dan memberlakukan pemerintahan sendiri. Dia
bermaksud mbondhan tanpa ratu atau memberontak.
Pemberontakan Trunajaya berhasil merebut kraton Mataram dan mengusir raja Amangkurat
I. Walau akhirnya dengan bantuan VOC Trunajaya berhasil dikalahkan.
Wan Aziz sudah lama menjadi menteri besar negara bagian. Karena sudah lama berkuasa
koneksinya banyak dan pengaruhnya merasuk ke semua bidang kehidupan. Hal itu
dimanfaatkannya untuk membangun kerajaan bisnis. Mulai pariwisata, konstruksi, rumah
sakit, pendidikan semua ditangani melalui kaki tangannya.
Namun ada salah satu lengan gurita bisnisnya yang mendatangkan banyak keuntungan yakni
kasino atau rumah judi. Dari sinilah hampir sepatuh kekayaan Wan Aziz berasal. Tentu saja
dia bermalin di balik layar karena bisnis perjudian jelas tidak pantas bagi menteri besar
seperti dirinya.
Suatu ketika timbul krisis yang menyeret anak bisnis Wan Aziz. Hal itu bermula dari
gagalnya proyek jembatan gantung di salah satu proyek negeri bagian. Jembatan gantung
yang berbiaya 9 trilyun itu runtuh dan kerajaan memerintahkan untuk melakukan investigasi
menyeluruh. Maka terbongkarlah kedok Wan Aziz yang ternyata perusahaannya menangani
jembatan itu dengan tender fiktif. Tim investigasi membeberkan perusahaan Wan Aziz yang
beroperasi dengan cara kolusi, termasuk rumah judinya yang terkenal itu. Keri tanpa pinecut
Wan Aziz mengundurkan diri dari jabatan menteri besar. Namun jeruji besi segera
menantinya sebagai buah dari kecurangannya.
Ki Nopanto adalah seorang mantan demang senior di Desa Kapundhung. Dia dipecat tahun
lalu karena terbukti menggelapkan uang bulu bekti dari para bekel bawahannya. Sejak saat
itu hidup Ki Nopanto sangat menderita. Mau berdagang orang sudah tidak yakin karena
pernah menggelapkan duit orang banyak. Mau mengabdi di lain daerah juga tidak ada
pembesar yang mau menerima, karena mereka kawatir dikianati. Mau belantik burung pun
tak ada mantri pasar yang mengijinkan dia masuk pasar.
Hidup Ki Nopanto serba terjepit, ke utara selatan, ke barat timur, semua arah bertemu
dengan orang yang mengenal kejahatannya dulu. Bagi Ki Nopanto dunia ini sempit. Rupak
jagade!
Pak Sutrim bisa dikatakan orang paling sukses di desanya. Rumahnya gedung menjulang
lima lantai. Kerbau sapinya memenuhi kandang yang seluas lapangan bola. Kendaraan
apalagi, garasinya saja seluar lapangan bola volli. Dan yang sungguh mengiurkan, istrinya
tiga, cantik-cantik pula.
Walau begitu tak banyak yang tahu kalau dahulu hidupnya susah dan sengsara. Ibarat mau
bernapas saja tak ada udara yang mau masuk hidungnya. Semua menjauhinya, baik sanak
saudara atau kawan sepermainan.
Semua diawali ketika orang tuanya dijebloskan ke penjara oleh KPK. Harta benda disita dan
keluarganya dimiskinkan. Dia bersama ibunya dan adik-adik harus menempati sepetak kios
di pasar sapi yang hanya muat untuk tidur dua orang. Untuk bertahan hidup ibunya membuat
pisang goreng, dan Sutrim menjadi kuli di pasar, kadang menjual rumput di hari pasaran.
Karena setiap hari mengenal sapi dia menjadi hapal mana sapi baik atau buruk. Dia
kemudian mendapat upah untuk saran-saran kepada pembeli sapi. Seorang sudagar
kemudian merekrutnya sebagai kepala anak kandang di peternakannya.
Anak saudagar itu rupanya menaruh hati kepada Sutrim yang pekerja keras itu. Namun ada
banyak pemuda yang mengincar anak gadis saudagar. Mereka menfitnah Sutrim mencuri
sapi sang saudagar. Akhirnya Sutrim dipecat dan harus hengkang dari peternakan. Nasib
Sutrim sungguh malang karena dia ditolak pula di pasar sapi, tempat dia mencari maka
selama ini. Dia kemudian merantau ke kota dan menjadi tukang tambal ban.
Dasar Sutrim anak berbakat bengkel tambal bannya ramai sekali. Ini pun mengundang rasa
cemburu tukang tambal ban lain sehingga beramai-ramai mengusir Sutrim. Nasib Sutrim
sungguh malang. Celaka selalu menghampirinya. Nasibnya; ketula-tula katali.
Lalu bagaimana bisa dia menjadi kaya? Yang sabar to. Ini kan baru membahas tentang
katula-tula katali.
Bagong adalah anak pertama dari pasangan suami-istri yang masih sangat muda. Ibunya
masih kelas 2 SMP ketika menikah dengan bapaknya yang baru kelas satu SMA. Keduanya
kemudian merantau ke kota setelah Bagong lahir.
Bagong tinggal bersama neneknya yang sudah tua dan pikun. Karena itu dia tidak terawat.
Ketika sudah bisa berjalan Bagong mondar-mandir di jalanan tanpa baju. Keadaannya
membuat orang-orang iba dan memberi Bagong makanan. Karena saking laparnya membuat
Bagong sangat lahap makannya. Orang-orang senang dan semakin semangat memberi
makanan kepada Bagong. Tiap hari ada-ada saja yang memberi makan.
Tanpa disadari kebaikan tetangganya telah menumbuhkan watak tak baik kepada Bagong.
Dia pikir kalau makanan itu tidak usah beli, asal mau minta pasti dikasih. Setelah besar pun
Bagong selalu meminta makanan kepada orang-orang. Dan karena terbiasa kecukupan dari
pemberian orang Bagong makannya sangat banyak. Semakin besar jatah makannya semakin
banyak sampai orang-orang kewalahan.
Mereka sekarang menjadi berat menanggung makanan si Bagong. Banyak yang kemudian
mengeluh, “Gong, Bagong! Apakah perutmu itu wadhuk beruk? Kok diisi makanan sebanyak
apapun tidak penuh?”
Arti harfiahnya adalah pelannya anjing dipukul. Maknanya adalah seorang yang cepat sekali
menerima perintah, segera melaksanakan.
Gareng adalah anak semata wayang dari Pak Broto, seorang juragan tembakau kaya di
Birit. Meski sang ayah kaya raya Gareng selalu kesepian. Dia adalah anak tunggal yang
tinggal di rumah gedung magrong-magrong.
Kesehariannya Gareng hanya main video game dan Facebook saja. Orang tua Gareng
sampai pusing kepala. Bagaimana ya caranya agar si Gareng ini mau keluar rumah untuk
main-main atau syukur-syukur membantu bapaknya di los tembakau.
Setelah diselidiki dengan seksama, Pak Broto menemukan fakta menarik. Ternyata Gareng
punya gadis incaran yang membuatnya terkintil-kintil siang dan malam. Gadis itu bernama
Siti Zulaikha, anak Kyai Kasan Besari dari tembayat. Tentiu saja Pak Broto tidak keberatan,
wong anaknya cantik dan shalihah kok. Calon besannya juga pintar mengaji. Wis pokoke
mantu ideal.
Maka Pak Broto menyerahkan salah satu los tembakaunya supaya dikelola Gareng.
Maksudnya agar si Gareng ini mandiri dan punya penghasilan.
“Reng los tembakau yang di Bayat itu kau kelola ya. Ada tanaman 40 hektar di sana!”
“Ogah Pak!” kata Gareng singkat.
“Lho bagaimana to. Itu buat bekal kamu kalau kawin sama Zulaikhah tahun depan. Apa
kamu mau menunda lagi? Bapak tidak akan melamarkan kalau kamu tak bisa cari uang
sendiri!”
Gareng kaget, kok bapaknya tahu. Secepat kilat dia bangkit meninggalkan video gamenya.
“Kapan Pak saya berangkat ke Bayat?”
“Wah kamu Reng, kalau sudah ada maunya, ibarat rindhik asu ginitik! Tanpa disuruh
langsung jalan! Hahahah...
Arti harfiahnya adalah burung emprit berbuntut bedhug. Burung emprit adalah burung kecil
yang suaranya tidak nyaring, bedhug adalah alat musik pukul yang suaranya keras. Makna
paribasan ini adalah hal-hal kecil sekalipun apabila menjadi viral akan menimbulkan
kehebohan.
Ki Agong adalah seorang demang yang sedang menjabat (inkamben) di kotaraja. Tahun
depan masa jabatannya habis, tetapi dia sudah bertekad mencalonkan kembali. Persiapan
menghadapi taun politik telah dia siapkan, salah satunya dengan berkeliling mencari massa.
Di sebuah resort tepi danau Rawa Jombor dia menyinggung tentang kompetitornya yang
berasal dari rakyat biasa, Kyai Enis. Dasar Ki Agong suka bercanda, dia meledek
saingannya.
“Enis itu bisa apa kok mau mencalonkan diri jadi demang. Mbok sudah jadi modin saja. Itu
orang pekok dai kalangan gembel yang hanya bisa ngaji saja!”
Tak dinyana omongan yang berbau guyonan itu ada yang merekam. Mereka kemudian
memposting rekaman di yutub dan diberi judul provokatif, “Gembel hanya bisa ngaji!”
Rekaman itu kemudian menjadi viral di medsos dan ditonton 7 laksa orang, dan marahlah
mereka oleh perkataan demang bermulut ember itu.
Akibatnya di pemilihan demang Ki Agong keok, dan sebaliknya Kyai Enis menang telak.
Begitulah kekuatan medsos, kicaun kecil bisa menjadi besar. Ibaratnya emprit abuntut
bedhug.
Arti harfiahnya adalah gajah menginjak pembatas. Maknanya adalah orang yang berkuasa
seringkali melanggat peraturan yang dia buat sendiri.
Ki Bekel Dadya Tinumbala jengkel. Hari ini dia dipanggil ke kademgangan untuk diberi
pengarahan bahwa tahun ini rakyatnya tidak boleh menanam tembakau. Alasannya adalah
komoditi tembakau sudah melimpah sejak tahun lalu sehingga dikhawatirkan harganya
anjlog.
Semula Ki Bekel menganggap ide Ki Demang Agong sebagai langkah cerdas untuk
memakmurkan masyarakat. Dengan mengatur supply and demand diharapkan harga akan
terkontrol pada level aman. Sungguh ide brilian, pikir Ki Bekel.
Tapi ketika melewati wilayah Manisrengga dia kaget. Ada ribuan hektar petak sawah yang
siap ditanami tembakau. Dia mencoba bertanya kepada pekerja itu siapa pemilik lahan
tembakau itu. Dia mendapat jawaban yang membuatnya njondhil, sampai blangkonnya lepas.
“Ini milik Ndara Pur, anak Ki Demang Agong!”
Seketika dongkollah hati Ki Bekel. Tadi di Kademangan Demang Agong menyuruh rakyatnya
tidak menaman tembakau. Sekarang kok anaknya sendiri malah menanam. Ini namanya
gajah ngidah rapah. Tidak boleh seperti ini!”
Arti harfiahnya adalah anjing besar menang berkelahi. Maknanya adalah orang yang berkuasa
akan menang selalu dalam perselisihan.
Ki Basri sejatinya sudah menjual tanah itu kepada Ki Tambakbaya. Peristiwanya sudah
lama, waktu keluarga Ki Basri belum menjadi keluarga kaya dan berkuasa. Sekarang hal itu
memang tampak mustahil. Lebih-lebih setelah anak Ki Basri menjadi seorang camat di kota.
Entah siapa yang lalai waktu itu, surat-surat tanah itu tak segera diurus. Mungkin
kendalanya zaman itu lebih karena persoalan teknis. Tanah tak bisa dipecah-pecah. Menjual
tanah harus seluruhnya. Maka mereka sepakat bahwa jual-beli itu cukup dibuat perjanjian
dengan disaksikan saja oleh tetangga sekitar.
Lama berlalu, tanah itu menurun kepada anak cucu mereka. Celakanya cucu Ki Basri yang
sekarang menempati sebagian tanah itu mengingkari kalau kakek mereka telah menjual tanah
sebagian itu.
“Mana buktinya?” katanya.
Maka gegerlah seluruh kampung. Banyak tokoh tua yang melihat bahwa tanah itu memang
telah dijual. Itu sudah menjadi berita heboh di zaman dahulu. Bahkan tanah itu juga sudah
dtempati.
Cucu Ki Basri tetap ngeyel, dia minta bukti. Secarik kertas diajukan sebagai bukti.
Sayangnya orang yang bertanda tangan di kertas itu sebagai saksi telah meninggal semua.
Akhirnya keluarga Ki Tambakbaya menggugat ke pengadilan. Sekarang mereka saling
mencari saksi untuk memenangkan perkara. Tapi keluarga Basri adalah keluarga kuat yang
punya koneksi pejabat di pengadilan. Segala cara ditempuh untuk menang, dari mulai
mencari saksi palsu sampai menyuap aparat pengadilan. Akhirnya cucu Ki Basri menang.
Memang susah kalau melawan orang berkuas, di sini masih berlaku: Asu gedhe menang
kerahe!
Arti harfiahnya seperti lonceng ditendang kucing. Maknanya adalah orang yang selalu
cerewet, suaranya membuat gaduh dan jengkel.
Sudah satu minggu kakek Wardi tidak bekerja. Pekerjaan sebagai tukang batu memang tidak
pasti. Kadang ada yang membutuhkan jasanya, kadang tidak. Kadang pekerjaan bertumpuk-
tumpuk, kadang lama tidak ada yang butuh jasanya.
Maka sudah seminggu ini pula dapur nenek Wardi tidak mengepul. Mereka hanya tinggal
berdua dan kakek Wardi suka sekali meminta makanan yang enak-enak. Namun tiap pagi
hanya merokok di teras sambil ngopi, sudah seminggu ini.
Semula nenek Wardi sabar, tapi kata orang sabar ada batasnya. Sebatas apa? Sebatas
tabungannya habis.
“Sana to kek, cari-cari pekerjaan. Jangan hanya merokok dan ngopi saja tiap hari. Masak
gak malu dilihat orang, tiap pagi cuma klepas-klepus saja!”
Kakek Wardi tak mau kalah, “Apa ada orang membuang pekerjaan, kok suruh nyari!”
Nenek Wardi semakin jengkel mendengar jawaban bercanda itu.
“Namanya kerjaan ya harus dicari keluar sana. Kalau di rumah saja ya tidak ada pekerjaan
mampir!”
Kakek Wardi diam, sambil menikmati kepulan asap rokoknya yang membentuk huruf “O”.
Nek Wardi semakin menjadi.
“Lelaki pemalas. Tidak kerja malah kesenangan menganggur, biar bisa klepas-klepus santai
di rumah!”
Kakek Wardi ikut jengkel sekarang, dia mendekat dan berkata.
“Diam kamu! Dari tadi berisik kaya klinthing disampar kucing!”
Arti harfiahnya adalah memakai kedok kulit macan. Maknanya adalah bersembunyi di balik
orang yang berkuasa.
Thakur bukan siapa-siapa, bukan pejabat atau konglomerat. Dia hanya satpam di rumah
dinas Bupati. Tapi siapa sangka pengaruhnya terhadap perolitikan di Kabupaten Silong luar
biasa. Bagaimana tidak? Dia punya tiga bego ilegal, kasino ilegal dan delapan warung
remang-remang yang tentu saja juga ilegal.
Tapi walau begitu tidak ada yang berani menumpas usaha Thakur. Dia selalu memakai kedok
sebagai “orang suruhan bupati” sehingga tak satupun berani menganggu usahanya.
Namun lama-lama ada juga yang risih dan berani mempertanyakan. Seorang pengusaha
tambang pasir yang banyak dirugikan oleh ulah Thakur. Tidak tanggung-tanggung dia
memprotes sendiri kepada Bu Bupati.
“Bu Bupati, mengapa sampeyan punya usaha tidak taat aturan dan tak pakai ijin. Tidak pula
pakai kuota setiap mengeluarkan pasir dari depo. Juga tidak pakai istirahat, masa 24 jam
ngeduk pasir terus?”
Bu Bupati kaget bukan kepalang. Dia merasa tidak punya usaha tambang pasir dan juga
usaha yang lain.
“Lho itu yang tiap malam ditunggui Thakur, apa bukan punya ibu Bupati?”
Bupati marah dan memanggil, “Thakuuuuurr!!!”
Yang dipanggil menghadap sambil kencing di celana.
“Kurang ajar kamu ya! Memakai nama saya untuk membuat usaha legal. Tega kamu
memakai saya untuk kekudhung walulang macan! Sekarang juga saya pecat dan kamu saya
laporkan ke polisi. Pergi sana!”
Thakur hendak keluar tanpa mampu mengucap kata pamit.
Bu Bupati kembali berteriak, “Dipel dulu ompolnya!”
Arti harfiahnya bersembunyi malah ketemu macan. Maknanya adalah bersembunyi malah
ketemu bahaya.
Lontong punya motor baru. Dengan bangga dia tunjukkan motor barunye kepada Indah, guru
TK yang sudah lama ditaksirnya. Lontong bermaksud mengajak Indah untuk piknik ke Bunbin
Gembira Loka. Berboncengan berdua, dhuh asyiknya.
“Lha apa kamu punya SIM mas Lontong?” Tanya Indah manja.
“Tenang Dik! Nanti kita lewat jalur tikus melaui Srowot lalu ke arah Piyungan. Aman dik
dari razia petugas!”
Akhirnya mereka berangkat berdua berboncengan. Wuih jalanan bagai milik berdua. Inilah
saat yang sudah lama Lontong idam-idamkan.
Stasiun Srowot berhasil dilalui dengan aman. Mereka telah melewati Sengon, terus ke
Pereng, sebentar melalui jalan besar di Taman Wisata Boko paling 200 meter saja, terus
melalu jalur tikus lagi di Berbah. Aman wis pokoke.
Baru saja mau masuk jalan besar 50 ke depan meter mendadak Lontong mengerem motor.
Indah kaget dan menubruk Lontong. “Adhuh!” Pekik Lontong ketika kuku Indah mencubit
pahanya.
“Nakal kamu! Sengaja ya?” Teriak Indah.
“Bu..bukan! Itu di depan ada razia. Wah kita nggak bisa balik lagi!”
Wah kena mereka berdua. Maksud hati bersembunyi di jalan tikus malah begitu keluar pas
kena razia. Ibarat singidan nemu macan. Apes!
Arti harfiahnya menyentuh dahi, sejengkal tanah. Maknanya kalau masalah kehormatan
walau hanya disentuh dahinya atau diduduki sejengkal tanahnya orang akan melawan.
Pangeran Dipanegara bukan pangeran biasa. Sejak kecil dia sudah meninggalkan keraton
dan hidup sederhana di desa Tegalreja. Tempat tinggalnya jauh di luar benteng dan menyatu
dengan rakyat jelata.
Walau demikian Pangeran Dipanegara tidak kehilangan trah awirya, darah pemberaninya.
Ketika Kumpeni Belanda hendak membuat jalan kereta api melewati pedukuhan tempat
tinggalnya tanpa ijin Dipanegara marah besar.
Asisten Residen Chevalier mencoba membujuk dengan mengatakan, “Wong yang kena rel
kereta api cuma dikit aja marah. Mbok jangan sumbu pendek to. Gampang marah bikin cepat
tua lhoh! Hehehe...”
Dipanegara tak pedulu. Pokoknya satu jengkal pun tak kurelakan. Sadumuk bathuk sanyari
bumi. Walau satu jengkal kau rebut, kita perang. Dan Dipanegara serius. Pecahlah Perang
Jawa yang terkenal itu. Akibat perang kas Kumpeni akhirnya kobol-kobol, jebol-bol.
Arti harfiahnya adalah terlepas dari gendongan. Maknanya adalah anak yang karena salah
pergaulan menjadi jauh dari harapan orang tuanya.
Niatnya sih baik, agar anak mendapat pendidikan yang sempurna. Maka kedua orang tua
Karin rela mengirim anaknya menyeberang pulau ke kota besar. Gadis lugu berjilbab itu
masuk ke SMA Favorit di kota.
Namun kedua orang tua Karin harus menelan pil pahit ketika tiga tahun kemudian mendapati
anaknya sudah tidak seperti dulu lagi. Karin pulang dengan rambut terurai berwarna blonde,
sepati hak tinggi selutut, memakai rok mini dan aduhai bajunya pun tak berlengan.
Para sanak saudara dan tetangga pun kaget bukan kepalang. Mereka berbisik-bisik, “Lihat
tuh si Karin jadi kayak gitu! Dia ibarat mrucut saka gendhongan!”
Arti harfiahnya adalah sudah menyingsingkan kain akhirnya basah juga. Maknanya adalah
berencana hanya dilakukan dengan sederhana ternyata malah banyak biaya.
seyogyanya orang menikah memang harus dipersaksikan para sanak saudara dan tetangga.
Namun karena waktunya mendesak takkan cukup kalau harus mengadakan pesta besar.
Calon mempelai pria harus segera bertugas sebagai anggota pasukan perdamaian di
Libanon. Sedangkan calon pengantin wanita ngebet ingin segera kawin, tak mau menunggu
dua tahun lagi sepulang calon suaminya bertugas.
Apa boleh buat, Pak Darmo terpaksa melakukan pesta pernikahan ala kadarnya. Dan karena
belum punya tabungan serta tidak ingin berhutang Pak Darmo merancang pesta pernikahan
kecil-kecilan saja.
“Hanya mengundang satu RT saja.”
Begitu katanya ketika seoran sahabatnya bertanya kok belum mendapatkan undangan.
Namun untung memang tak dapat ditolak. Tamu yang datang banyak sekali. Pak Darmo
memang populer dan bersahabat kepada siapa saja sehingga yang tak diundang pun
berdatangan. Mau tidak mau terpaksa harus mendatangkan sarana dan prasarana untuk
menjamu tamu. Acara yang semula dirancang sederhana malah menjadi pesta besar.
Tapi Pak Darmo senang kok, bukti bahwa dia dicintai para sahabat dan tetangganya. Ya
walaupun harus cincing-cincing klebus.
Arfi harfiahnya anjing yang berebut tulang. Maknanya adalah dua orang yang bertengkar
memperebutkan hal sepele.
Dr. Durjo dan Dr. Durmo adalah kolega satu kantor. Sama-sama memegang mata kuliah
teknik Pondasi. Keduanya seringkali terlihat bersama-sama, juga seringkali membimbing
mahasiswa bersama-sama.
Yang tak banyak diketahui orang, keduanya sebenarnya saling bersaing dan selalu ingin
menjadi yang nomer satu. Saling ingin mengalahkan dan tak mau dikalahkan di antara
keduanya.
Jika sudah demikian yang pusing adalah mahasiswa yang menjalani bimbingannya. Karena
dosen pembimbing harus dua dan salah satunya menjadi asisten maka seringkali menjadi
problem tersendiri, seperti yang dialami Paijo, mahasiswa yang mengambil tugas akhir
penelitian daya dukung tanah gambut.
Semula dari ketua jurusan mengarahkan agar Dr. Durjo yang menjadi pembimbing dan Dr.
Durmo yang menjadi asisten pembimbing. Namun Dr Durmo tidak mau. masalah dapat
diatasi dengan menulis keduanya sebagai dosen pembimbing saja tanpa embel-embel asisten.
Namun masalah kembali timbul ketika kedua nama harus dituliskan urut. Semula Dr. Durjo
ditulis duluan dan Dr. Durmo ditulis belakangan. Namun lagi-lagi Dr Durmo tidak mau.
“Itu sama saja menomor duakan saya!” kata Dr. Durmo.
Persoalan itu diatasi dengan menuliskan nama keduanya sejajar, dengan demikian harus
ditulis atas dan bawa dalam tanda kurung. Lagi-lagi keduanya minta ditulis di atas.
“Sama saja dik, kalau ditulis di bawah berarti menomorduakan juga. Maaf dik saya tak
mau!”
Paijo akhirnya mundur, memilih ganti dosen. Dia meninggalkan kantor keduanya sambil
berguman, “Dosen wis tuwa-tuwa kok isih kaya asu rebutan balung. Kakrekane tenan!”
Arti harfiahnya anjing belang berkalung uang. Maknanya orang nistha tapi banyak uang.
Semua orang meremehkannya dalam hal keuangan, bahkan menganggapnya orang terlantar.
Pengemis tua itu selalu mengundang belas kasih yang melihat.
“Siapa sih keluarganya kok tak ada yang peduli?”
“Kok tega ya anak cucunya menelantarkannya?”
“Setua itu masih meminta-minta di jalan?”
“Biadab orang yang menelantarkannya!
Begitulah celetukan orang melihat kakek tua, lumpuh, bisu dan kayaknya juga tuli itu.
Namun mereka sungguh terkejut ketika si kakek tua itu tiba-tiba sakit. Terkejutnya bukan
karena sakitnya. Sakitnya sih biasa saja, hanya sedikit terlambat ditangani. Maka perlu
dibawa ke RS untuk mondok beberapa hari. Yang membuat terkejut adalah ketika orang-
orang telah bersiap urunan untuk membayar biaya RS. Mereka terkejut ketika si kakek itu ke
RS dengan tetap memegang tas bututnya, seolah tak mau berpisah dengannya. Orang-orang
menjadi penasaran dan kemudian berhasil memisahkan kakek dari tasnya. Mereka terbelalak
ketika melihat isinya: uang kertas seratus ribuan yang diikat dengan karet yang setelah
dihitung berjumlah 150 juta. Alamak! Si kakek ini sudah punya segitu banyak kok masih
menggelandang di jalan hidup dengan cara orang fakir.
Ibaratnya asu belang kalung wang.
Namun kini keadaan berbalik Tun Mahatir Muhammad kembali mengambil alih kendali
pemerintahan setelah menang pemilu di usia 92 tahun.
Sekarang apa yang dulu mustahil menjadi terbuka peluangnya, yakni investigasi menyeluruh
terhadap Najib Razak atas berbagai kasus yang dituduhkan padanya. Posisinya sekarang
ibarat ancik-ancik pucuking eri atau ibarat telur di ujung tanduk.
Arti harfiahnya anak bertingkah bapak yang memberi. Maknanya semua perilaku anak orang
tua yang menanggung.
Pak Yadi berpikir keras, sampai ubun-ubunnya panas. Terlihat asap tipis mengepul dari
dahinya, tanda bathuke anget tenan. Bagaimana tidak, kemarin sore anaknya minta agar
dijinkan ke Jepang. Persoalannya bukan karena dia merasa tak tega melepas anaknya pergi,
lha wong juga sudah besar, biar saja cari pengalaman. Namun yang membuatnya pusing
adalah biaya berangkat ke sana.
“Dua belas juta Pak. Itu sudah termasuk pelatihan dan visa. Adapun tiketnya yang 10 juta
nanti dicicil dari gajiku kalau sudah bekerja di sana.” Itu kata anaknya kemarin.
Sekarang angka 12 menjadi momok karena ada enam nol dibelakangnya.
“Lha mbok iya dikasih to kang. Kalau anaknya mau bekerja keras dan bertekad kuat, Insya
Allah akan tercapai keinginannya.” Itu kata Lik Suta, adik Pak Yadi.
“Iya dik, tapi uangnya itu dari mana?”
“Wah saya juga tidak tahu kang. Bagiku itu juga angka yang besar.” Jawab Suta mengkerut,
takut diutangi kali.
Akhirnya Pak Yadi nekad menjual sawah satu-satunya selama lima tahun. dia rela tidak
panen lima tahun ini demi anaknya bisa ke Jepang. Begitulah orang tua, anak polah bapa
kepradhah. Anak berkeinginan oran tua yang harus mewujudkan.
Minggu lalu ketika dia memasang gambar presiden dan wakil presiden, dia melewati lemari
yang belum sempat dikunci oleh kepala sekolah. Isinya tumpukan kantong kertas warna
coklat. Ada berpuluh tumpuk di sana. Di bagian depan tertulis Lembar Soal Ujian Akhir
Semester. Inilah yang membuat pikirannya tertuju pada kantor kepala sekolah. Dia ingin
mengambil satu lembar saja soal itu kalau bisa. Atau kalaupun tak bisa dia ingin memfoto
lembar-lembar itu. Yah Cuma memfoto saja.
Sudah dua kali dia tidak naik kelas. Dan kalau sampai tidak naik lagi alamat bakal DO. Dia
tak ingin itu terjadi. Malu lah kepada orang di kampung halaman.
Di tengah lamunan, tiba-tiba pak Kepsek memanggil, “Muk besok kamu piket di kantor. Ini
kuncinya. Petugas kebersihan tidak masuk karena sakit. Kamu yang menggantikan! Siap?”
“Siap!” Jawab Gemuk mantap. Ini kan ibarat ati bengkong oleh oncong. Batin Gemuk
sambil menimang-nimang kunci ruang Kepsek. Bajigur tenan kowe Muk!
Prabu Kresna segera memberi isyarat kepada Setyaki untuk membereskan kekacauan ini.
Setyaki mengajak Burisrawa ke alun-alun depan.
“Mau apa ke alun-alun?” Tanya Burisrawa.
“Kita main karambol di sana!” Jawab Setyaki sambil menjambak rambut gimbal Burisrawa.
Kejadian selanjutnya bisa ditebak. Mereka memang sparing partner yang kompak.
ini dia mondar-mandir mencari pembeli sawah depan rumah yang menjanjikan komisi 75
juta. Namun hasilnya nihil.
“Orangnya ke Belanda mas!” Kata satpam rumahnya.
“Lha kapan pulangnya?” Tanya Kancil.
“Mungking nanti kalau lebaran kuda.” Kata satpam.
Aduh, kasihan Pak Kancil, seminggu uangnya hilang kalau lebaran kuda tak jadi ada.
Kemana lagi dia harus mengejar orang itu, serba gelap seperti memburu kidang mlayu.
“Terus ini di bagian bawah kayaknya kayunya agak gapuk. Bisa dimakan jamur itu.”
Akhirnya pembeli kedua gak jadi beli. Pak Khusen kesal bukan main.
Hampir saja dia mengusir pembeli pertama. Namun kemudian dia memutuskan untuk
mengambil meja yang tadi, dengan syarat: diberi potongan harga yang besar.
“Toh mebel itu banyak cacatnya kan?”
Entah mengapa Pak Khusen mau-mau saja. Mungkin agar pembeli gila itu segera pergi.
Pembeli yang dahwen ati open itu.
Ketika telah berkumpul semua, putra tertua Makdum mempunyai usulan yang katanya
cemerlang.
“Bapak kan sudah tidak mampu mengembalakan bebek-bebek itu. Jadi sebaiknya dijual saja
semuanya. Beres kan?”
Tentu saja Mbah Dul marah besar. Bukan itu solusi yang diinginkan. Katanya,”Kalian ini
saya undang ke sini untuk menggantikanku mengembala. Silakan atur sendiri giliran kalian.
Bukan malah menyuruh menjual bebek-bebek. Kalian ini bagaimana, dudu berase kok
ditempurke. Kurang ajar kalian!”
Akhirnya kakak Sukro yang sebenarnya juga gak punya duit bersedia membayar biaya
perbaikan, namun kalau untuk ganti motor tidak bisa karena itu motor kreditan. Ayah
Marjono kemudian menyerahkan motor itu dan meminta pengembalian DP dan cicilan yang
sudah terbayar. Adapun dia akan kredit lagi. Kakak Sukro terpaksa menerima karena sudah
tak enak hati untuk menolak. Dia dengan berat hati terpaksa menanggung beban kredit motor
akibat ulah adiknya yang gila itu.
Tiga bulan kemudian terjadi sesuatu yang sungguh mengejutkan. Sukro mendapat hadiah
pelunasan dari kreditur motor di hari ulang tahun perusahaan pembiayaan itu. Motor itu
dianggap lunas. Kini Sukro bisa membonceng Midah dengan lelusa tanpa takut dengan biasa
cicilan bulan depan. Hanya saja kakak Sukro tetap mengingatkan agar Sukro bekerja dulu
kalau sudah senang pacar-pacaran. Biar ada penghasilan.
“Dan jangan membuat repot saya lgi nanti ya?” kata kakak Sukro.
“Ah saya tak membuat repot, buktinya kini kita punya motor baru, yakan?” Jawab Sukro.
Sang kakak meninju kepalanya, “Dasar tak tahu di untung. Tapi kok iya kamu malah
beruntung ya. Hem..benar-benar gemblung jinurung edan kawarisan.”
Itulah Sukro yang edan kuwarisan, tapi jangan ditiru ya sobat, kerja dong kalau mau
bonceng cewek. Lebih bagus lagi kalau dihalalin dulu gih...
“Jelas bukan cuk! Paling isinya kelereng!” timpal yang lain. Gerr, semua tertawa.
Akhirnya guci berhasil dibukan setelah segel kayu berhasil dicopot. Pak Purbakala melongok
isi guci dan tertawa.
“Saudara, guci ini isinya beras dari zaman kuno. Tampak masih bagus bulir-bulirnya. Luar
biasa! Ini penemuan arkeolgi yang langka. Jangan khawatir saudara, negara akan mengganti
penemuan ini dengan harga seratus kali lipat. Yang berarti satu kuintal gabah kering giling.
Besok bisa diambil di gudang Bulog terdekat!”
Orang-orang tak dapat menahan tawa. Sementara delapan belas pemuda gotot tiba-tiba
menjadi lunglai. Usaha kerasnya sejak pagi seolah hanya nggepuk kemiri kopong.
Namun malang bagi Juan Jin, orang desa seolah tak peduli dengan tradisi itu. Maka ketika
Juan Jin berusaha mandiri sejak kecil dengan berdagang pisang goreng, orang desa malah
mentertawakan.
“Juan, kamu gak perlu jualan pisan goreng! Tinggal minta duit sama baba kamu, beres
kan!” Kata seseorang.
“Ah Juan, baba kamu itu payah. Tak kasihan sama anak! Payah!”
Oleh karena orang desa menganggap jualan Juan Jin hanya guyonan saja maka mereka juga
tak serius. Kadang mereka membeli pisang tapi ngasih harga kelewatan.
“Ah, dikorting lah Juan.”
“Seribu tiga ya? Nih uangnya.”
“Gak habis ya? Bawa ke gardu saja, tuh banyak orang ronda. Lumayan dapat pisang
gratis!”
Ada-ada saja mereka itu. Namun memang ayah Juan Jin, Baba Juan tak ambil pusing.
“Sudahlah, kau jualan saja. Rugi pun tak apa. Yang penting kau tahu caranya jualan.”
Apa yang dilakukan Juan Jin dan saudara-saudaranya memang membuahkan hasil. Ketika
dewasa mereka semua menjadi pengusaha sukses. Semua dapat hidup mandiri tanpa
bergantung pada orang tuanya. Di masa tuanya Baba Juan malah mewakafkan sebagian
hartanya untuk kepentingan umum. Semua anaknya sudah bisa menjalankan prinsip hidup
opor bebek mateng awak dhewek, berdikari sampai mandiri dengan usaha sendiri.
Salut Baba Juan.
Dahlan Iskan mengambil langkah beresiko dan menantang sebagai pengisi hari tuanya,
keliling Amerika. Berbagai tempat telah beliau singgahi, mulai Texas, Niagara, Laredo, New
York, sampai ke pedalaman Amerika seperti di Hays. Kebiasaan beliau adalah mencari
masjid untuk ikut berjamaah dengan umat Islam di sana. Praktis dia bertemu dengan para
imigran muslim yang menetap atau sedang musafir di Amerika dari berbagai budaya dan
aliran. Dengan tatacara mereka yang khas dalam ibadah.
Meski ada tugas besar dalam setiap perjalannya, Abah Dahlan menikmatinya seolah sedang
piknik. Pengalamannya njajah desa milang kori di Amerika kemudian dituangkan ke dalam
situs pribadinya, disway.id. Selamat Piknik Abah Dahlan!
Prabu Salya telah menyiapkan balatentara menuju padang Kuruksetra. Dia sudah bertekad
untuk membela Pandawa. Dua keponakannya yang telah yatim-piatu itulah alasannya untuk
bergabung. Sejak kecil Nakula dan Sadewa, putera dari mendiang adiknya, Madrim, sudah
dianggapnya sebagai anak sendiri. Teramat besar kasih sang Prabu Salya kepada keduanya.
Memang ini perang yang membingungkan. Di satu pihak ada keponakan yang sangat
dikasihi. Di lain pihak ada anak dan menantu, darah dagingnya sendiri. Para ksatria Kurawa
adalah menantu-menantunya, Prabu Duryudana menikah dengan anaknya, Banuwati dan
Senapati Karna menikah dengan Surtikanti. Dua putrinya akan jadi janda jika mereka tewas
dalam perang. Namun karena panggilan kebenaran, Salya memilih untuk berpihak kepada
Pandawa.
Akan tetapi keberpihakan itu tidaklah mudah. Jelas para ahli strategi Kurawa menangkap
kegalauan yang amat besar di hati Prabu Salya. Mereka merencanakan trik yang sangat
halus. Di sepanjang rute yang akan dilalui Prabu Salya dari negeri Madra ke Kuruksetra
telah dibangun pondok-pondok untuk singgah. Setiap saat pasukan Salya mendapat
penghormatan dan jamuan yang ramah. Prabu Salya merasa dihargai dan dihormati dengan
cara yang membuat hatinya berkenan. Ketika hampir tiba di Kuruksetra Prabu Anom
Kurupati (Duryudana) sendiri yang menyambutnya. Dengan bertingkah sopan, memberi
hormat dan mangestu pada kepada sang mertua. Adipati Karna yang biasa bermulut lancap
pun kali ini selalu berkata manis.
Prambu Salya bimbang, terutama setelah tahu bahwa pondok-pondok yang disinggahi
pasukannya di sepanjang perjalanan adalah pekerjaan Duryudana. Dan Duryudana pun
tanggap.
“Rama Prabu segala keselamatan ananda saya serahkan kepada Rama Prabu sebagai
senapati Perang. Siapa lagi yang bisa saya minta perlindungan selain rama Prabu sendiri.
yang sudah saya anggap sebagai ayah sendiri.”
Prabu Salya akhirnya tebujuk ikut ke barisan Kurawa, karena tindakan halus Duryudana
yang melakukan jabung alus, terus menempel dengan ketat sepanjang jalan. Namun
kegalauan tetap merayap di hati Prabu Salya. Itu sebabnya ketika menjadi sais Karna dia
tidak sepenuh hati menjalankan tugas. Akibatnya Karna tewas di tangan Arjuna. Dan ketika
Salya akhirnya menjadi Mahasenapati, dia memilih tewas di tangan keponakan yang sangat
dia hormati karena kejujurannya, Puntadewa. Sebuah lembing jelmaan pusaka serat jamus
Kalimasada menembus dadanya.
Bobby Leach dan tong yang dia pakai untuk mengarungi sungai-sungai
(Sumber: nationalgeographic.grid.id)
Semula di melakukannya sebagai hobi. Dasarnya memang pecinta tumbuhan dan tananam.
Kalau tanaman atau bunga yang bagus pasti dia tertarik untk menanam. Pekerjaannya
sehari-hari adalah satpam, profesi yang jauh dari dunia tanaman.
Rezeki kadang datang tak terduga, itu pula yang dialami Pak Bendhot, tokoh kita ini. Sepuluh
tahun yang lalu dia membeli tujuh pohon Anthurium Jemani.
“Pohonnya bagus. Saya suka aja!” itu katanya.
Kini tujuh pohon itu telah menjadi indukan besar yang berbunga dan berbuah. Setiap pohon
idukan bisa menghasilkan ribuan anakan. Ketika musim Jemani booming beberapa tahun
lalu, Pak Bendot untung besar.
“Saya sampai tak bisa berkata-kata Mas. Bisa bunga seperti itu menghasilkan uang yang
sangat banyak. Subhanallah. Luar biasa!” Katanya haru.
Jauh sebelum Jemani booming dia memang sudah membudidayakan. Dengan modal tujuh
indukan itu dia telah mempunyai ribuan bibit Jemani siap jual. Bahkan dia sempat
kewalahan menangkarkan benihnya. Tiga dari tujuh indukannya waktu itu kemudian dijual
seharga masing-masing 100 juta.
Ketika ditanya berapa pendapatannya ketika booming Jemani itu. Pak Bendot hanya
menjawab diplomatis.
“Wah banyak mas. Saya ini ibaratnya karubuhan gunung menyan. Sampai tak bisa
menghitung saya. Karena untung saya bukan hanya uang yang melimpah tapi juga
bertambah sanak saudara dan mendapat banyak teman sesama penyuka tanaman hias. Itu
luar biasa.”
Luar biasa Pak Bendot ini. Rejeki orang memang tak bisa diduga.
Pak Modin pusing tujuh keliling. Sudah tiga bulan ini berturut-turut dia selalu dipanggil oleh
guru BP di sekolah Nandang, anaknya yang baru SMP. Yang terakhir dia diultimatum; kalau
tidak bisa mendidik anaknya di rumah si anak akan dikeluarkan dari sekolah.
Pokok persoalannya adalah si Nandang ini sering dilaporkan oleh teman sekolahnya mencuri
onderdil kendaraan para guru. Sering kelihatan nongkrong di perempatan jalan menggoda
gadis-gadis. Dan yang parah, pernah ketahuan merokok di kantin Pak Ono. Tukang kebun
yang mantan preman itu.
Siang ini sepulang dari menghadap guru BP Pak Modin sangat marah karena ultimatum Pak
Guru tadi. Dia kemudian memanggil anaknya si Nandang.
“Nandang! Bapak sangat malu karena kata gurumu tadi engkau sering berbuat jahat di luar
sana. Apa bapak pernah mengajarkan yang demikian itu padamu? Apakah kamu tidak
melihat kedudukan bapakmu ini yang selalu memberi nasihat kepada banyak orang. Kok
malah anaknya sendiri nakal gak ketulungan. Bagaimana kamu ini, Nandang?”
Nandang hanya bisa gemetar mengetahui bapaknya marah. Dia harus menjawab dengan
hati-hati kalau tidak ingin tabung gas melayang ke kepalanya, seperti yang terjadi minggu
lalu pada pamannya. Dia tahu ayahnya sangat tidak toleran dengan anak nakal.
“Anu Pak, e..eh, sebenarnya bukan saya pelakunya Pak. Teman-teman saya yang
melakukan!”
“Siapa?”
“Dandung dan Gombloh!”
“Lalu mengapa engkau bisa tertuduh?”
“Mereka langsung lari ketika kepergok, sedangkan saya tak bisa lari kencang. Jadi orang
tahunya saya yang mengambil.” Nandang masih gemetar, tampak celananya basah.
Pak Modin menarik napas panjang. Dia tahu anaknya jujur.
“Makanya Ndang, kalau bergaul itu memilih teman yang baik. Kalau kau berteman dengan
orang jahat engkau akan terkena akibatnya, atau malah nanti bisa ikut-ikutan jahat.
Ibaratnya cerak kebo gupak! Paham kamu ya?”
“Eh..i..iya Pak!” Nandang ngompol beneran!
terlambat, sedang di hari esok kesengsaraan sudah terbayang. Hanya ada satu cara untuk
menyelesaikan itu semua. Yah, hanya itu caranya.
Perlahan Pringgalaya mengambil warangan dan mencampurnya dengan perasan jeruk nipis,
sedikit gula akan membuatnya tidak terasa pahit. Akhirnya yang terjadi mesti terjadi dan
menjadi catatan sejarah hitam keraton Surakarta. Ah, Pringgalaya. Hmmm.....
Ki Juru manut saja. Dan akhirnya dia menemukan pemilik tanah itu, lebih tepatnya gunung
itu. Seorang seniman bernama Ki Wahyono.
“Itu tidak dijual Mister! Untuk apa dijual wong saya tidak sedang butuh uang?”
“Tapi saya ingin memiliki tanah itu. Bagaimana kalau saya tukar di tempat lain? Jadi
saudara tetap punya tanah. Saya kasih tanah yang lebih produktif. Bagaimana?”
“Tapi itu mahal Mister. Karena tanahnya seluas 10 hektar dan bukan hanya punya saya
sendiri. ada beberapa saudara dan tetangga.”
“Silakan dirundingkan dulu. Kalau sudah sepakat silakan bicara. Sekarang juga.”
“Kok maksa sih tuan!”
“Iya mumpung saya masih di sini. Saya hanya lewat lho. Kalau saudara tidak cepat
kesempatan hilang.”
“Ya tuan, tapi tanah mana yang akan dipakai ganti?”
“Saudara tunjuk saja tanah yang akan dijual nanti saya yang bayar!”
Mereka berunding dan sepakat untuk tidak menjualnya. namun kalau menolak orang bule itu
pasti akan membujuk lagi. Jadi mereka meminta tanah lapang di sebelah jalan raya
Kuthaarja sebagai ganti. masing-masing dari sepuluh orang pemiliknya minta sepuluh
hektar. Jadi 100 hektar tanah lapang dekat jalan raya. Biar saja sekalian tidak tanggung-
tanggung mintanya. Wong mereka juga sebenarnya enggan menjual. Hitung-hitung menolak
halus.
“Ah, begitu saja kok lama negonya. Mbok dari tadi ngomong. Saya setuju.”
“Tapi Tuan, apakah tuan punya duitnya? Itu...itu mahal sekali lho...”
“Ya saya tidak membawa, tapi kalau Anda semua serius segera saya wujudkan. Ini saya beri
tanda jadi 10 Milyar dulu. Nanti segera diurus staf saya. Ok ya! Ini kartu nama saya.”
Bule itu meninggalkan mereka dengan uang 10 M. Sampai-sampai Ki Wahyono pingsan
ketika menerima uang sebanyak itu. Tapi siapa sih bule itu kok beraninya membeli tanah
gunung dengan harga sangat tinggi.
Mereka membaca kartu nama yang diberikan, dan tertera disana namanya dengan jelas.
Wooow......lha pantes dia orangnya. Lha mbok ibarat mecel manuk miber, keinginan orang
ini akan terlaksana.
menahan lapar, rela telanjang tanpa baju, demi menyisihkan sedikit harta untuk anak
cucunya. Itu pula impian Mbah Cipta ketika mendirikan rumah bagi anak-anaknya. Dia pilih
bahan-bahan dari kayu jati bagus yang sanggup bertahan ratusantahun. Harapannya kelak
anak-anaknya dapat hidup nyaman, tinggal nglungguhi klasa gumelar. Karena semua sudah
tersedia.
Namun impian Mbah Cipto sirna. Anak-anaknya memilih membongkar bangunan tua nan
kukuh itu. Dan alasannya membuat Mbah Cipto tak kuasa menahan airmata.
“Pak rumah ini modelnya sudah ketinggalan zaman. Sudah tidak model lagi sekarang. Jadi
harus dibongkar!”
Mbah Cipto memandang hasil karya masa mudanya itu, sambil mupus menenangkan diri,
“Ah, setidaknya anakku bisa membuat sesuatu yang lebih baik dari padaku dahulu!”
Cempala Radya adalah Joko Sempulur, tokoh yang dikenal bersih dan jujur, berintegritas
dan berakhlak mulia, rendah hati dan santun.
Ini jelas beda dengan sang paman yang sudah dikenal culas, omongnya kasar, pernah
menerima upeti dari pencuri, dan yang terakhir ini parah; gagal dalam pemilihan raja muda
di Cempala Madya selama empat kali berturut-turut.
Tapi bukan Harya Suman kalau tidak menimpakan kesalahan kepada sang keponakan yang
gagap itu. Setelah panjang lebar marah, Harya Suman masih tega mengatai Citraksi begini.
“Citraksi..Citraksi...kamu ini ksatria cap apa? Midak telek wae ora penyek. Bisamu apa
Citraksi? Dasar bego!”
“Mmm...a...a...pa....pam.....!” tiba-tiba. Des! Plok! Glangsar! Citraksi menampar dan
memukul sang paman. Dan tiba-tiba gagapnya hilang. Sambil berkacak pinggang dia memaki
sang paman yang terkapar.
“Dasar Sengkuni Culas! Mampus kau!”
Dia berjalan ke arah pintu depan dan menendangnya, hancur berkeping-keping.
Sengkuni masih berkunang-kunang memandang sang keponakan yang menjauh. Kali ini dia
yang gemetaran.
Paimo jengkel, geram dan kemropok. Besok dia harus menghadiri wisuda di balai desa
sebagai aparat desa terpilih. Jas hitam dan kemeja putih sudah disiapkan, tapi mendadak
mesin cucinya rusak.
Sudahsejak pagi dia pencet tombol start, mungkin sudah ada lima puluh kali. Mesin cuci
hanya berdengung tanpa berputar. Waduh, ini bagaimana mesin cuci tak bisa kompromi.
Wah harus ganti dinamo ini. Harus cepat! Dia segera mengambil obeng dan
membongkarnya.
Ketika dinamo sudah copot dia heran. Kok dinamo ini tampak waras. Tidak ada tanda-tanda
terbakar. Apakah mungkin korslet kabelnya ya? Dia turut jalur kabel dan tidak tampak ada
yang gosong atau putus. Dia kemudian membongkar pasang gigi-gigi yang dikiranya
menghambat laju putaran motor listrik. Dan gagal. Mesin cuci tetap tak berfungsi.
Akhirnya Paimo menyerah dan membawa mesin cucinya ke bengkel.
“Tentu saja sampeyan gagal memperbaiki mesin cuci ini. Wong yang rusak bagian luar
sampeyan bongkar bagian dalam. Mesin ini hanya perlu ganti kapasitor, dan itu letaknya di
belakang kabel power ini. Tinggal nyopot sekerup dan ganti kapasitor. Sudah beres.” Kata
tukang servis di bengkel.
“Tapi sampeyan malah mencopot seluruh gigi dan motor yang ada. Ini kan seperti nggered
ori saka pucuk. Masalah tidak beres, malah pekerjaan tambah banyak. Sekarang saya harus
mengecek satu per satu pekerjaan sampeyan ini. Barangkali ada sekerup yang hilang atay
gigi yang salah posisi. Wah merepotkan saja!”
Paimo kukur-kukur kepala dan pringas-pringis malu.
Daftar Isi:
Daftar Pustaka