Anda di halaman 1dari 52

Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 0

BUKU 19

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK

100 Paribasan Jawa


Simpul-Simpul Kearifan Lokal Budaya Jawa

Disajikan Dalam Bahasa Indonesia Oleh:


BAMBANG KHUSEN AL MARIE
2018

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 1

Kata Pengantar
Paribasan, Simpul Kearifan Lokal Budaya Jawa

Paribasan atau juga disebut Peribahasa atau pepatah adalah butir-butir kearifan yang
dihasilkan sebuah peradaban tertentu. Setiap bangsa di dunia ini mengenal peribahasa dan
menggunanakannya sebagai alat komunikasi yang efektif dan efisien. Efektif karena dengan
peribahasa makna sesuatu dalat disampaikan dengan jelas karena umumnya orang sudah tahu
sama tahu apa maknanya. Efisien karena dengan mengungkap satu peribahasa makna yang
luas telah berhasil disampaikan, tanpa harus memberi penjelasan yang panjang lebar.
Dalam budaya Jawa peribahasa dikenal dengan nama paribasan. Ada banyak paribasan dalam
bahasa Jawa dalam berbagai bentuk dan varian, antara lain bebasan dan saloka. Namun kita
tidak perlu terlalu membedakannya sekarang. Kali ini kita akan membahas masalah paribasan
ini satu persatu agar makna yang dikandung dapat dimengerti oleh generasi muda yang sudah
tidak begitu paham bahasa Jawa. Dalam setiap paribasan akan diberi arti harfiahnya, makna
yang dikandungnya serta contoh keadaan yang digambarkan dalam paribasan itu. Contoh-
contoh tersebut dimaksud agar membantu memahami makna paribasan dengan lebih akurat.
Selamat membaca.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 2

Paribasan (1): Bocah wingi sore


Arti harfiahnya adalah anak kemarin sore, maknanya anak atau orang yang masih muda
sehingga belum banyak pengalaman atau pengetahuan.
Ketika Lebaran Badrun sekeluarga mudik ke desa. Di desa dia bersilaturahmi dengan banyak
kerabat dan teman-teman. Salah seorang kerabat, Pakdhe Sutajaya, sangat terharu atas
kedatangan Badrun sekeluarga. Pakdhe Sutajaya memeluk Badrun sambil menangis karena
terharu.
Anak Badrun yang paling besar, Toyib, sangat heran dengan kelakuan Pakdhe Sutajaya. Dia
kemudian bertanya kepada bapaknya, “Pak itu siapa orang tua yang sudah pikun kok
memeluk bapak sambil menangis?”
Badrun menjawab, “Itu kakek Sutajaya, Pakdhe dari bapakmu ini. Beliau itu orang yang
memelihara bapak sejak kecik sebelum bapak merantau ke Jakarta!”
Si Thoyib terheran-heran, “Kok aku tidak pernah tahu?”
Jawab si Badrun, “Lha iya, wong kamu kan bocah wingi sore!”

Paribasan (2): Amburu udhèt kelangan wêlut


Arti harfiahnya adalah mengejar udhet kehilangan belut. Udhet adalah belut kecil. Makna
paribasan ini adalah mengejar sesuatu yang kurang berharga tetapi malah menjadi kehilangan
sesuatu yang lebih berharga.
Versi lain paribasan ini adalah: Mburu uceng kelangan dheleg. Uceng adalah ikan yang
sangat kecil yang sebenarnya tak patut menjadi lauk-pauk, dheleg adalah ikan yang besar,
yang cukup pantas untuk dimasak. Makna dua paribasan tersebut sama.
Ki Ramu sudah seharian ini berburu rusa di hutan. Rusak gemuk berhasil dia tembak dengan
panahnya. Dia bermaksud pulang, dengan menyusuri jalanan setapak di hutan. Tubuh rusa
yang lumayan besar itu dia panggul di pundaknya yang kekar. Hasil buruan yang lumayan
untuk cadangan lauk-pauk makan seminggu ini.
Di tengah jalan setapak itu mendadak Ki Ramu melihat seekor kelinci besar menyeberang.
Kelinci gemuk itu tampak menggoda. Ki Ramu berpikir, “Wah lumayan juga itu kelinci buat
nambah lauk-pauk!”
Akhirnya Ki Ramu mengejar kelinci itu. Rusa yang pingsan akibat anak panah Ki Ramu
digeletakkan di pinggir jalan setapak. Ki Ramu memburu kelinci masuk ke hutan. Tetepi
ternyata kelinci itu sangat gesit. Berlari amat cepat sehingga Ki Ramu kehilangan jejak.
Dengan masygul Ki Ramu kembali. Namun dia kaget ketika mendapati rusanya telah hilang
entah kemana.
Ki Ramu hanya bisa menyesali perbuatannya sambil bergumam, “Wah, mburu udhet
kelangan welut!”

Paribasan (3): Ula marani gitik


Arti harfiahnya adalah ular mendekati pemukul. Maknanya orang yang mendekati
marabahaya bagi dirinya.
Suatu pagi Mas Jono membuka toko kelontongnya dengan lunglai. Semalam dia kehilangan
harta benda berupa sekotak perhiasan. Pikirannya sungguh kacau sehingga dia terlambat
datang ke toko. Sudah banyak antrian pembeli yang hendak berbelanja.
Setelah selesai melayani pembeli Mas Jono duduk-duduk di teras tokonya. Seseorang datang
dengan tergesa-gesa ke toko Mas Jono.
“Ada apa mas? Kok tampak buru-buru?” tanya Mas Jono.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 3

Orang tersebut menjawab, “Saya mau menukarkan emas. Boleh ditukar dengan uang atau
beras Pak. Murah Pak. Cukup ditukar dengan uang lima juta atau satu ton beras juga
boleh!”
Mas Jono meminta orang tersebut menunjukkan emas yang dimaksud. Orang tersebut
kemudian mengeluarkan kotak perhiasan. Mas Jono kaget karena kotak itu adalah kotak
perhiasannya yang hilang semalam. Mas Jono menyetujui untuk membayar emas tersebut.
Dengan alasan akan mengambil uang di bank, Mas Jono mengajak orang tersebut
bersamanya. Berangkatlah keduanya membonceng mobil Mas Jono. Di tengah jalan Mas
Jono berbelok ke kantor polisi. Dia kemudian turun dan menyerahkan si pencuri berserta
barang buktinya untuk diproses hukum.
Kepala Polisi tertawa dan berkata, “Wah Pak Pencuri, sampeyan ki kaya ula marani gitik,
hahaha...”

Paribasan (4): Uyah kêcêmplung ing sagara


Arti harfiahnya adalah garam tercebur ke lautan. Maknanya sesuatu yang hilang tanpa
disadari, seperti hilangnya bongkah garam yang tercebur ke laut. Baru saja tercebur ketika
dicari sudah larut dalam lautan.
Dahulu kala ada seorang sudagar kaya raya bernama Ki Deksa. Sebagai orang kaya dia
punya banyak kawan yang sering berkunjung. Kawan-kawan di Deksa ini sering mengajak ki
Deksa berjudi. Sebenarnya Ki Deksa sendiri tidak pernah berjudi dan selalu menolak, tapi
kawan-kawan selalu mengajak sambil sesekali meledek.
Karena risih dan tak tahan ejekan suatu ketika Ki Deksa menerima ajakan itu. Ternyata Ki
Deksa menang dan girang bukan main. Keesokan harinya Ki Deksa ikut lagi, dan lagi sampai
ketagian. Namun akhir-akhirnya Ki Deksa selalu kalah. Hal itu tidak membuatnya kapok,
malah membuatnya semakin penasaran. tiap kali menerima hasil perdagangan dari tokonya
dia membawa ke tempat perjudian dan lagi-lagi kalah. Rasa penasarannya semakin
bertambah.
Ketika uangnya habis, dia tidak berhenti. Dia masih berharap akan menang dan
membalikkan keadaan. Namun yang diharapkan tak kunjung didapatkan. Dia terlilit utang
yang sangat besar hingga bangkrut.
Setelah harta bendanya habis dan banyak utang, dia baru menyadari bahwa apa yang
dilakukannya tidak benar. Seperti baru kemarin saja dia menjadi orang kaya, dan sekarang
dia mendapati dirinya miskin. Semua hartanya habis seolah seperti: uyah kecemplung
segara.

Paribasan (5): Wêlut didoli udhèt


Arti harfiahnya adalah belut hendak ditukar udhet. Udhet adalah sejenis belut kecil.
Maknanya barang yang bernilai tinggi hendak dihargai murah.
Bu Sura Klumpuk mempunyai piutang kepada seoran tetangganya sejumlah lima ratus ribu
rupiah. Karena sudah lama tak kunjung disaur Bu Sura Klumpuk bermaksud menagih hutang
itu. Dia merancang cara agar di tetangga tidak tersinggung. Maka dia berpura-pura untuk
meminjam kalung emas milik tetangganya itu.
Berkatalah kepada si tetangga, “Tante, saya besok mau jagong ke acara pernikahan di Solo.
Tapi saya tidak punya perhiasan yang pantas untuk dipakai. Jika berkenan bolehkah aku
meminjam kalungmu?”
Si tetangga menjawab, “Aduh Budhe, kebetulan kalung emas saya itu sedang saya gadaikan.
Jadi mohon maaf tidak bisa saya pinjamkan. Maaf ya Budhe.”
Bu Sura Klumpuk pulang dengan hati masygul karena maksunya tak kesampaian.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 4

Sementara si tentangga menggerutu, “Orang kok licik betul. Masa hutang lima ratus ribu
saja mau minta kalung emas yang harganya jutaan. Itu sama dengan: welut didoli udhet!”

Ada peribahasa yang artinya mirip dengan paribasan ini. Yakni; Cina didoli dom.

Paribasan (6): Ambuwang rase nêmu kuwuk


Arti harfiahnya adalah membuang luwak kembang, dan menemukan kucing kudisan.
Maknanya; menukar hal yang kurang baik untuk mendapat yang lebih baik, tetapi malah
menemui hal yang lebih buruk.
Pak Krama punya istri yang cantik, tapi sayang dia punya kekurangan yang sangat
menganggu, pemalas bukan main. Segala pekerjaan rumah terbengkelai, melayani suami pun
tak becus. Akibatnya rumah menjadi berantakan, dan Pak Krama sering uring-uringan.
Karena sudah tak tahan lagi Pak Krama menceraikan istrinya itu dan segera mencari ganti.
dia sudah trauma dengan istrinya yang cantik tapi pemalas. Maka dia menerima apa adanya
istri barunya yang tak terlalu cantik tapi kelihatan gesit dan cekatan.
Sekarang sebagai pengantin baru Pak Karta merasa bahagia karena impiannya terwujud.
Namun selang tiga bulan kemudian watak istri barunya mulai nampak. Ternyata dia juga tak
jauh beda dengan istri pertamanya, tak pandai mengurus rumah tangga. Urusan banyak yang
tak beres, bahkan sering kali membantah kalau diingatkan. Yang lebih menyakitkan, istrinya
sering ngutang ke tetangga tanpa izin suaminya. Sering kali Pak Krama menanggung malu
karena ditagih.
Para tetangga sangat kasihan dengan Pak Krama, mereka berujar, “Pak Krama ini ingin
ganti istri yang lebih baik malah dapat istri yang lebih jelek. Ibaratnya: membuang rase
nemu kuwuk!”

Paribasan (7): Kêpatèn obor


Arti harfiahnya adalah terlanjur mati obornya. Maknanya sudah tidak bisa melacak jejak
sanak atau saudara yang hilang.
Pak Kerta lan Pak Karta saudara kembar yang hidup di tahun 1800an. Di jaman itu ada
angkatan pekerja ke Suriname. Pak Kerta ikut dalam rombongan yang dikirim ke Suriname
itu. Di sana Pak Kerta menetap dan berkeluarga, beranak pinak sampai cucu-cucunya.
Setelah merdeka salah seorang cucu bernama Kramayuda bermaksud melacak leluhurnya di
tanah Jawa. Dia kemudian pergi ke Banyumas, wilayah asal Pak Kerta. Di sana dia
bertanya-tanya kepada orang-orang, tetapi tak satupun yang mengenal anak keturunan Pak
Karta.
Salah seorang pinisepuh, mengatakan kalau tetangganya dulu memang pernah berkata
bahwa ayahnya punya saudara yang pergi ke Suriname dan tidak pulang-pulang. Namun
pinisepuh tadi juga sudah lupa apakah ayah dari tetangganya tersebut bernama Pak Karta.
Si tetangga itu sudah meninggal. Anaknya kemudian merantau ke Sumatera dan juga sudah
tidak pernah pulang-pulang lagi. Alamatnya pun tak diketahui lagi.
Pinisepuh tadi berkata, “Nak, aku pun tak yakin kalau tetangga saya itu adalah orang yang
kau maksud. Jadi engkau sudah kepaten obor sekarang.”

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 5

Paribasan (8) Anggênthong umos


Arti harafiahnya adalah genthong bocor. Genthong adalah tempat wadah air, umos adalah
porus atau rembes sehingga airnya keluar perlahan-lahan. Makna paribasan ini adalah orang
yang tidak dapat menjaga harta bendanya sehingga habis tak berbekas.
Mboh Dhadhap adalah janda satu anak yang sudah lama ditinggal mati suaminya. Karena
tinggal hidup dengan anak semata wayang dia sangat mengasihi anaknya itu. Rasa kasih
sayangnya membuat dia memaanjakan anaknya itu. Akibatnya anaknya menjadi boros dan
banyak keinginan.
Setelah tua Mbok Dhadhap menyerahkan sebagian harta kekayaan peninggalan suaminya
untuk dikelola anak gadisnya itu. Dengan maksud agar si anak mandiri. Namun karena sejak
kecil sudah berlaku boros, harta yang dikelolanya tak kunjung bertambah. Bahkan sedikit
demi sedikit harta itu habis.
Mbok Dhadhap kecewa dan menahan sisa harta yang masih ada padanya. Dia berkata kesal,
“Sekarang engkau jangan pegang harta lagi. Engkau ini seperti genthong umos!”

Paribasan (9): Kêmladheyan ngajak sêmpal


Arti harafiahnya adalah benalu membuat patah. Kemladheyan adalah sejenis benalu yang
menempek pada batang induk. Lama-lama kemladheyan ini bisa tumbuh besar melebihi
cabang yang ditempeli, sehingga akhirnya patah. Maksudnya adalah menolong orang lain
tetapi malah menimbulkan celaka.
Ada seorang kaya namanya Pak Sada yang tiba-tiba kedatangan teman lamanya Durmuka. Si
Durmuka mengatakan kalau sedang kesulitan, menganggur tidak bekerja dan tidak punya
uang lagi. Pak Sada bermaksud menolong dengan mengangkat temanya tadi untuk menjadi
manajer di salah satu cabang tokonya yang baru dibuka di daerah lain.
Setelah beberapa bulan diketahui kalau laporan keuangan toko baru tersebut jeblok. Toko
menderita kerugian terus menerus. Pak Sada kemudian memeriksa pembukuan secara teliti.
Ternyata teman lamanya, si Durmuka terbukti korupsi.
Pak Sada kemudian melaporkan Durmuka ke pihak berwajib. Setelah Durmuka ditangkap
Pak Sada mengeluarkan isi hatinya. Dia memaki Durmuka, “Engkau ini kutolong tapi malah
merusak usaha saya. Kelakuanmu itu seperti: kemladheyan ngajak sempal!”

Paribasan (10): Cindhil ngadu gajah


Arti harfiahnya adalah anak tikus mengadu gajah. Maknanya adalah orang lemah yang
sanggup mengadu domba orang besar.
Seorang Bupati mempunyai seorang karyawan yang bertugas sebagai satpam. Si Satpam ini,
bernama Bagor, sangat disayang oleh sang Bupati. Namun dia punta watak yang kurang
baik, sangat gemar mengutip uang dari para tamu yang datang. Tingkahnya juga sombong
sekali, mentang-mentang dekat dengan Bupati.
Suatu ketika seorang camat amat kecewa hatinya karena sudah satu jam dibuat menunggu
oleh si satpam itu. Hal itu ternyata karena Pak Camat tidak mau memberi uang tips, sehingga
si Bagor tidak melaporkan kalau Pak Camat akan menghadap.
Pak Camat marah dan menegur Si Bagor, “Kalau kamu kerjanya begitu, nanti akan saya
laporkan pada Bupati agar kamu dipecat!”
Si Bagor khawatir dan kemudian mengadukan kepada Bupati. Dia berbohong dengan
mengatakan kalau Pak Camat datang dengan marah-marah minta segera ditemui oleh Pak
Bupati.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 6

Bupati marah dan memaki-maki Pak Camat. Namun setelah kemarahannya reda Pak Camat
menjelaskan duduk perkaranya. Pak Bupati menyadari bahwa dia telah diadu domba oleh
satpamnya sendiri. Dia berkata dengan menyesal, “Wow dik Camat, kita ini seperti gajah
diadu cindhil!”

Paribasan (11): Kacang môngsa ninggala lanjaran


Arti harfiahnya adalah pohon kacang tidak dapat meninggalkan lanjaran agar dapat hidup.
Maknanya seorang anak tidak dapat meninggalkan watak dari orang tuanya, walau mungkin
anak tersebut tidak dididik langsung oleh orang tuanya, tetepi sifatnya dapat menurun.
Yoko seorang anak kecil yatim piatu di desa Wangon. Walau begitu tak ada orang yang mau
merawat. Dia hidup hanya dari belas kasih orang yang ditemui hari itu. Keadaannya ini
membuat prihatin seorang konglomerat dari kota, Baba Chen. Oleh Baba Chen si Yoko
diambil sebagai anak angkat dan disekolahkan. Orang desa pun senang karena Yoko
akhirnya menemukan orang yang mau merawatnya.
Yoko akhirnya tumbuh besar sebagai anak muda yang cerdas. Setelah lulus dari universitas
dia diserahi mengelola sebuah supermarket milik Baba Chen. Tapi belum dua tahun
supermarket itu bangkrut. Baba Chen kemudian menyuruh Yoko mengelola Bank. Baru satu
tahun bangkrut juga. Baru kemudian diketahui kalau si Yoko ini sangat glamour hidupnya.
Suka membeli barang mahal dan berjudi, juga suka main perempuan.
Orang-orang desa yang mendengar nasib Yoko berkata, “Oh, itu kelakuannya seperti
bapaknya dulu, suka mencuri, mabuk-mabukan dan menganggu istri orang. Makanya setelah
mati anak keturunannya tak ada yang mau merawat. Watak anak kok sama dengan watak
bapaknya. Kacang mangsa ninggala lanjaran!”

Paribasan (12) Awor sambu


Arti harfiahnya adalah bersama-sama baunya, maknanya adalah menyamar dengan cara
bergabung sehingga tak dikenali.
Ada seorang polisi yang ditugaskan untuk mengungkap perdagangan narkoba. Dia berusaha
menangkap bandar besar yang terkenal licin. Sudah berbagai cara dia lakukan,
menghadang, mencegat dan mengejar bandar itu. Tapi hasilnya nol besar. Bandar itu selalu
lolos karena tak ditemukan barang bukti.
Dia kemudian punya akal dengan berpura-pura menjadi pecandu. Memakai narkoba beneran
dan begabung dengan anak muda pecandu lainnya. Suatu hari dia menemui bandar itu untuk
membeli narkoba. Si Bandar tidak curiga karena perangainya sudah seperti pecandu
beneran. Si Bandar berkata, “Jangan sekarang kalau mau narkoba. Nanti sore di jembatan,
temui saya di tiang lampu nomer tiga.”
Sore harinya polisi itu benar ke jembatan. Si Bandar benar-benar bawa narkoba. Setelah
transaksi dan terbukti bahwa si Bandar mempunyai narkoba polisi memanggil temannya
yang sudah menunggu di ujung jembatan untuk menangkap si Bandar.
Si Bandar terkena tipudaya orang yang awor sambu.

Paribasan (13): Kalah cacak mênang cacak


Cacak artinya mencoba-coba. Makna paribasan ini adalah orang yang mencoba-coba sesuatu
yang sebenarnya peluangnya tak diketahui.
Bagong adalah pemuda desa yang sederhana. Tidak ganteng juga tidak jelek. Ayah Bagong
juga bukan orang kaya, meski juga tidak miskin. Bagong sudah bekerja sebagai pegawai

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 7

hornorarium kecamatan. Maka statusnya juga menjadi bekerja juga tidak, wong gajinya
kecil. Namun juga tidak nganggur, wong nyatanya tiap hari dengan rajin Bagong berangkat
pagi-pagi memakai baju seragam dan menenteng tas.
Satu hal yang belum dipunyai Bagong adalah pacar. Walau demikian sudah umum diketahui
kalau si Bagong ini sudah lama menyimpan hati untuk Jamilah putri Pak Kades Wangon
yang cuantiikk dan shalihah itu.
Oleh Pak Camat si Bagong diberi saran, “Gong kamu segera lamar saja si Jamilah itu!”
Bagong menjawab sambil gugup, “Eh tapi Pak.Kami kan tidak pacaran Pak!”
Pak Camat menjawab, “Ah tak apa Gong. Siapa tahu karena ketulusanmu dan kejujuranmu
si Jamilah menerima lamaranmu. Kalah cacak menang cacak Gong! Patut dicoba!”

Paribasan (14): Ambanyu mili


Arti harfiahnya seperti air mengalir. Paribasan ini biasa untuk menyebut kebaikan yang
datang berurutan bertubi-tubi. Atau juga sering dipakai untuk menyebut hidangan yang keluar
bertubi-tubi dalam sebuah jamuan.
Suatu hari Kyai Jalil dan beberapa muridnya dari Funduk Al Ikhlas sedang melakukan safar
ke daerah Bayat untuk berziarah ke makam Sunan Tembayat. Setelah selesai ziarah Kyai
Jalil bermaksud hendak pulang. Namun baru sampai di tempat parkir rombongan Kyai Jalil
dicegat oleh seseorang yang tampaknya tidak asing dengan Kyai Jalil.
“Saya Hasan Kyai, dahulu santri Kyai di Funduk Al Ikhlas. Bila berkenan sudilah Kyai
mampir di rumah saya untuk memberi barokah. Saya baru saja terpilih sebagai kepala desa
di sini!”
“Oh ya. Saya ikut senang Hasan. Bolehkah saudara-saudaramu ini ke rumahmu juga?”
“Tentu saja Kyai, dengan senang hati!”
Mereka kemudian mampir ke rumah Kades Hasan. Di sana sedang ada acara syukuran dari
para pendukung Hasan. Kyai kemudian diminta untuk memberi nasihat-nasihat kepada
Kades Hasan dan para aparat desa. Sementara murid-murid Kyai Jalil sibuk melahap
hidangan yang tersedia. Pertama ada sop, kemudian keluar sate, setelah itu buah-buahan,
kemudian makan besar, dan setelahnya masih keluar es krim nan lezat.
Sepulang dari acara itu, seorang murid berkata kepada Kyai Jalil, “Kyai kami kenyang dan
puas. Hidangannya keluar seolah mbanyu mili!”
Kyai Jalil menjawab, “Ya tapi nanti sampai di Funduk kalian harus menebusnya dengan
puasa tiga hari ya? Supaya kalian tidak lalai dari hidup prihatin. Kalian kan baru belajar!”
Para murid tertawa bersama...

Paribasan (15): Sadawan-dawane lurung isih dawa gurung


Arti harfiahnya adalah sepanjang-panjangnya jalan masih lebih panjang kerongkongan.
Maknanya omongan orang bisa nebjalar dari mulut ke mulut, mengular ke mana-mana
mengalahkan panjangnya jalan.
Mr Lionel seorang ekspatriat yang bekerja sebagai kepala Divisi Produksi di sebuah pabrik
mebel di Jogja. Pabrik itu bekerja sama dengan perajin lokal sebagai supplier. Suatu hari dia
kedatangan tamu seorang yang menawarkan kerajian souvenir dengan maksud agar diterima
sebagai supplier di pabrik tersebut. Oleh Mr Lionel si perajin tersebut disuruh menunggu, dia
akan ke belakang sebentar untuk mendapat persetujuan Direktur.
Ketika Mr Lionel ke belakang, si perajin mengambil laptop dan tas Mr Lionel yang berisi
uang kontan 50 juta. Rupanya si perajin adalah perampok yang berpura-pura. Maka
gegerlah seluruh pabrik. Kabar Lionel kena rampok menyebar dengan cepat.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 8

Keesokan harinya Mr Lionel banyak mendapat ucapan keprihatinan atas nasibnya itu.
Termasuk dari seorang perajinnya Pak Kusen, yang rumahnya jauh di Klaten, 50 km dari
rumah Lionel. Tentu saja Lionel kaget bukan kepalang, “Rumahmu 50 km jauhnya dan kamu
tahu kabar ini? Mustahil!”
Pak Kusen menjawab, “Di sini orang saling bertukar informasi secara lisan tentang apa
saja. Jarak yang jauh bukan halangan karena: sadawa-dawane lurung isih dawa gurung!”

Paribasan (16): Calak ora pacak


Calak artinya menyela-nyela perkataan orang. Pacak artinya pantas, maka orang yang berhias
sering disebut sedang macak. Makna paribasan ini adalah orang yang menyela-nyela
pembicaraan tidak pada tempatnya.
Pak Wangsa punya anak namanya Peyang. Si Peyang ini punya kebiasaan suka ikut-ikutan
pembicaraan orang. Kalau ada orang ngobrol dia selalu nimbrung. Suatu hari Pak Wangsa
kedatangan kakaknya, Pak Sura, dengan maksud meminta pertimbangan.
Pak Sura berkata, “Dik keponakanmu, anakku si Lindri sudah dilamar orang desa sebelah
yang namanya Surata. Bagaimana pendapatmu tentang anak muda itu dan asal keturunan
dari bapak-bapaknya dulu apakah seorang yang baik?”
Belum lagi Pak Wangsa menjawab si Peyang sudah mendahului, “Pakdhe, kalau menurut
saya jangan diterima karena Surata itu baru jadi pekerja magang di kelurahan. Belum
berpenghasilan, kasihan mbakyu Lindri nanti, tidak dapat uang belanja.”
Pak Wangsa marah mendengar perkataan Peyang dan mengusirnya, “Hush sana pergi.
Kamu ini menyela-nyela orang bicara saja. Tidak patut ikut-ikutan pembicaraan orang-orang
tua. Itu namanya: calak ora pacak!”
Peyang mengeloyor pergi sambil kukur-kukur kepala yang tak gatal.

Paribasan (17): Angon môngsa


Arti harafiahnya adalah menggembala waktu. Maksudnya menunggu saat yang tepat untuk
bertindak.
Di gardu ronda Si Suta berkata kepada Si Naya, “Pencuri yang membobol rumah Ki Bekel
Kramayuda kemarin kok bisa pas waktunya ya kang? Biasanya rumah Ki Bekel selalu dijaga
ketat oleh Jagabaya dan anak buahnya. Kok kemarin pas hujan deras itu apa semua
penjaganya pada ngantuk atau gimana. Kebetulan Ki Bekel tertidur pulas karena siangnya
baru mengantar tamu ke kotaraja.”
Si Naya menjawab, “Ya, namanya pencuri itu tidak bodoh. Dia mengamat-amati saat semua
orang lengah. Si Pencuri tampaknya sudah beberapa hari mengintai dan angon mangsa.”
“Iya kang, tampaknya si pencuri menunggu saat yang tepat untuk masuk!” Jawab Si Suta.

Paribasan (18): Ora ngubêngake jôntra, têka kêdhayohan wong edan


Jantra adalah roda atau cakra. Maksud paribasan ini adalah tidak melakukan apa-apa kok
kedatangan orang yang mengungkit-ungkit kelemahannya.
Suatu hari Pak Dhadhap mengadakan acara kenduri di rumahnya. Acara itu sebagai
ungkapan syukur atas lulusnya anak Pak Dhadhap sebagai aparat desa. Setelah acara
makan-makan selesai para tamu berbincang dengan santai sekendaknya. Salah seorang tamu
berkata kepada Pak Dhadhap.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 9

“Pak, itu di desa sebelah ada seorang aparat desa yang ditangkap polisi karena korupsi
dana desa. Lha menurut saya anakmu itu berbakat untuk mencuri juga. Wong sejak kecil
sudah nakal kok. Sekarang malah jadi aparat desa yang megang uang banyak. Salahmu
sendiri sih Pak memanjakan anak. Harus diawasi selalu Pak anakmu itu. Sebelum terlanjur
mencuri.”
Tentu saja Pak Dhadhap marah mendengar perkataan tamunya. Wong belum-belum kok
sudah su’udzan kepada anaknya, “Kamu ini ngomong apa kok sembarangan menuduhkan
sesuatu yang belum terjadi!”
Pak Dhadhap mengelus dada sambil berguman, “Mimpi apa aku semalam. Ora ngubengke
jantra kok kedhayohan wong edan!”

Paribasan ini mempunyai varian lain yang pengertiannya sama. Car-Cor kaya wong kurang
jangan. Arti harfiahnya berkali-kali mengucurkan kuah seperti orang kurang sayuran
(makanan). Maknanya sama dengan paribasan di atas.

Paribasan (19): Kakèhan galudhug kurang udan


Arti harfiahnya adalah kebanyakan petir tapi tak pernah hujan. Maknanya; orang yang terlalu
mengumbar janji atau perkataan tetapi tidak pernah terwujud.
Peyang sering kali menjanjikan kepada teman-temannya sesuatu, tapi seringkali janjinya tak
terwujud. Suatu kali dia menjadi kader pencari suara salah seorang calon kepala desa. Dia
berkata pada teman-temannya saat mereka berkumpul di gardu ronda.
“Kalau kalian memilih ketela nanti saya bagi masing-masing satu bungkus rokok. Juga besok
saya ajak piknik ke Parang Tritis satu bus!”
Teman-temannya tidak percaya karena dia sudah sering berjanji akan memberi ini itu tapi
tak satupun janji itu dipernuhi. Mereka kompak menjawab, “Kami tak percaya. Kamu itu:
kakehan gludhug kurang udan!”

Paribasan (20): Kêriga têkan cindhile abang


Arti harfiahnya berbarislah sampai anak-anak tikus yang masih merah. Maknanya, majulah
seluruh pasukan atau balanya, yang masih anak-anak pun suruh maju sekalian.
Arya Penangsang adalah prajkurit yang gagah berani. Dia punya cita-cita hendak
menguasai kasultanan Demak. Penguasa sekarang adalah sang paman sendiri, Sultan
Adiwijaya. Dia selalu mencari gara-gara agar dapat berperang dengan Sultan dari
Kadipaten Pajang itu.
Suatu ketika dia dinasehati agar berhati-hati karena lawannya bukan orang sembarangan.
Selain mantan prajurit juga orang yang suka bertapa dan prihatin. Maka Arya Penangsang
pun disuruh untuk berpuasa juga oleh sang Guru, Sunan Kudus selama empat puluh hari.
Belum genap puasanya mendadak dia menerima surat tantangan yang isinya membuat panas
hati Arya Penangsang. Surat itu dari Danang Sutawijaya, seorang senapati yang masih anak-
anak.
“Ayo Arya Penangsang kalau kamu ksatria sejati lawanlah aku Danang Sutawijaya. Jangan
maju sendirian, seluruh Jipang majulah bersama-sama. Bila perlu: keriga tekan cindhile
abang! Aku tidak takut!”
Arya Penangsang amat murka dan tanpa persiapan langsung menyterang pasukan musuh.
Dalam pertempuran itu Arya Penangsang tewas.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 10

Paribasan (21): Kêrig lampit


Arti harfiahnya adalah bersama-sama sampai tikar pun dibawa. Maknanya adalah berangkat
bersama-sama sampai membawa semua peralatan mereka.
Sudah lama di Desa Mireng tidak digelar bioskop misbar (gerimis bubar). Itulah
pertunjukkan yang murah meriah sekaligus menghibur. Zaman dahulu seringkali diputar
bioskop misbar oleh Departemen Penerangan dan BKKBN dengan acara pokok penyuluhan
Keluarga Berencana. Kemudian dilanjutkan acara pemutaran film sebagai hiburan. Tapi itu
sudah lama sekali, sebelum reformasi.
Baru-baru ini Karang Taruna setempat bermaksud menggelar bioskop misbar di lapangan
Mireng. Pokok acara adalah penyuluhan program lingkungan dengan tujuan agar warga
tidak membuang sampah sembarangan, tidak meracun sungai dan tidak menyulut petasan di
bulan Puasa. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film berjudul: Dilan!
Wah masyarakat sangat antusias menyambut film yang dibintangi Iqbal Ramadhan itu.
Waktu film diputar, di perkampungan tidak ditemukan satu orang pun. Mereka semua kerig
lampit menuju ke lapangan Mireng untuk menonton.

Paribasan (22): Kêbo nusu gudèl


Arti harfiahnya adalah kerbau menyusu kepada gudel (anak kerbau). Maknanya adalah orang
tua yang belajar atau bertanya kepada anaknya karena anaknya lebih tahu.
Pakdhe Sur adalah seorang pensiunan pegawai pemerintah. Beberapa bulan ini Pakdhe Sur
kesulitan mengambil gaji pensiun. Semua itu terjadi karena uang pensiun sekarang ditransfer
ke rekening di Bank. Dan untuk mengambil uang itu harus melalui ATM.
Berhubung Pakdhe Sur tidak paham teknologi zaman now, maka dia bingung.
Ketika anaknya, bernama Khusen, pulang Pakdhe Sur minta untuk diantar ke ATM.
“Shen nanti antar aku ke ATM ya? Sambil nanti ditunjukkan cara untuk mengambil uang
lewat ATM. Ya gak papa kamu mengajari bapakmu. Ini ibaratnya kebo nusu gudel.”
Akhirnya Pakdhe Sur berangkat ke ATM bersama gudel, eh.....Khusen!

Paribasan (23): Kere munggah bale


Arti harfiahnya orang fakir naik ke bala-balai. Maksudnya orang yang kedudukannya rendah
ikut menikmati fasilitas untuk orang terhormat.
Juragan Sutrim adalah seorang kontraktor kelas atas yang kaya raya. Walau demikian
jangan dikira dia keturunan orang kaya. Bapaknya hanyalah seorang petani desa yang yutun.
Maka tak aneh kalau dia tidak bisa melanjutkan sekolah alias DO. Namun berkat
ketekunannya dia menjadi orang yang sukses. Seringkali dia terlihat duduk-duduk bersama
pejabat setempat, mulai tingkat kecamatan sampai propinsi. Juga seringkali dia terlihat
bersama tentara dan polisi. Karena pergaulan yang luas itu kekayaannya bertambah-tambah.
Orderan datang dari berbagai kalangan.
Namun ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Dia merasa bukan keturunan
bangsawan sehingga penghargaan orang padanya berkurang. Maka dia sering menyumbang
atau memberi hadiah kepada pejabat agar dia diundang ke berbagai acara penting. Tapi
karena dia kurang dalam tatakrama dan etika, tingkahnya seringkali mengundang cemooh
dan tawa.
Salah seorang pembesar dari istana negara melihat Sutrim yang dirasa agak kurang dalam
hal tatakrama dan sopan santun. Dia kemudian bertanya, “Siapa orang desa itu? Dan
mengapa dia bisa ikut bergabung dengan para pejabat?”
“Dia orang desa kaya raya yang bisa menyumbang acara-acara kita tuan!”

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 11

Sang pejabat mengangguk-angguk, dan berkata, “Oh pantas, rupanya dia kere munggah
bale!”

Paribasan (24): Ninggal bocah ana ing waton


Arti harfiahnya adalah meninggalkan anak kecil di atas batu. Maknanya sangat-sangat
khawatir karena sebab meninggalkan sesuatu yang bisa berakibat bahaya.
Sodrun adalah seorang guru wiyata bakti yang masih ngontrak. Karena bujang Sodrun
mengusir kesepian dengan bermain kartu di gardu ronda. Ada banyak orang-orang tua yang
sering nongkrong di sana, berbagi cerita dan pengalaman hidup.
Suatu malam Sodrun bergadang sampai larut malam. Esoknya dia kesiangan. Padahal dia
mengajar di jam pertama. Dia kelabakan. Sambil mandi dia memasak air di kompor gas.
Ketika selesai mandi jam sudah hampir pukul 7. Sodrun langsung lari sambil memakai baju.
Akhirnya sampai juga ke sekolah tepat waktu.
Di tengah waktu mengajar mendadak Sodrun ingat kalau belum mematikan kompor gas yang
menyala. Dia begitu khawatir kalau-kalau kompor meledak karena airnya habis menguap.
Sepanjang mengajar dia sangat was-was, khawatir sesuatu akan terjadi. Perasaannya seperti
seorang ibu yang: ninggal bocah ana ing waton.

Paribasan (25): Nututi layangan pêdhot


Arti harfiahnya adalah mengejar layangan putus. Maknanya melakukan usaha untuk
menyelamatkan sesuatu tetapi malah memakan biaya yang lebih banyak dari nilai barang
yang hendak diselamatkan.
Si Jamil meminjam kamera digital dari Kusno. Namun malang bagi si Jamil karena kamera
itu tiba-tiba rusak. Karena khawatir dianggap tidak bertanggung jawab si Jamil membawa
kamera itu ke bengkel.
Oleh si bengkel diberitahu kalau kamera itu model lama, jadi onderdilnya langka, mungkin
agak mahal. Karena khawatir dianggap tak bertanggung jawab akhirnya dia menyanggupi.
Setelah dibongkar ternyata ditemukan komponen selain yang dicurigai rusak tadi, sehingga
ongkosnya semakin bertambah. Lagi-lagi karena tidak enak hati dengan si pemilik Jamil
menyanggupi.
Akhirnya jadi juga kamera itu setelah menghabiskan uang yang bila dipakai untuk membeli
versi terbaru dari kamera itu akan dapat tiga kamera.
Ah, tak apa! Kata si Jamil sambil menenteng kamera itu.
“Hitung-hitung nututi layangan pedhot,” katanya sambil cengar-cengir.

Paribasan (26): Kurung munggah lumbung


Kurung artinya sengkeran atau seorang yang dalam perlindungan. Lumbung adalah gudang
makanan. Makna paribasan ini adalah pembantu yang diambil sebagai istri.
Kyai Jafar mempunyai seorang gadis pembantu yang masih kecil. Karena Nyai Jafar tidak
mempunyai anak pembantu tadi amat disayang, dianggap sebagai anak sendiri. Nyai Jafar
sangat perhatian kepada si pembantu, diberi pakaian bagus dan diperlakukan sebagai anak
sendiri.
Namun Kyai Jafar ternyata punya pandangan lain. Melihat keakraban dua orang perempuan
itu Kyai Jafar mempunyai rencana yang disimpan dalam hati. dia berharap kelak apabila
sudah menginjak usia remaja gadis kecil itu akan diambil sebagai istri muda.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 12

Akhirnya setelah usianya cukup Kyai Jafar mengutarakan kepada Nyai Jafar maksudnya itu.
Tentu saja Nyai Jafar kaget bukan kepalang karen si gadis sudah dianggap sebagai anak
sendiri. Namun karena Nyai Jafar adalah istri yang patuh pada suami akhirnya dia
merelakan suaminya mengambil gadis itu sebagai istri muda. Posisi si gadis inilah yang
disebut kurung munggah lumbung.

Paribasan (27): Sulung malêbu ing gêni


Arti harfiahnya adalah laron masuk ke dalam api. Maknanya adalah segerombolan besar orang yang bersama-
sama binasa akibat masuk dalam daerah yang berbahaya.

Cao Yen adalah seorang tukang pandai besi. Kegiatan sehari-harinya adalah membuat pisau
dari baja. Suatu ketika anggota geng kapak merah memesan sebuah pisau panjang. Setelah
selesai Cao Yen menyerahkan pisau itu beserta tagian ongkosnya. Tak disangka anggota
kapak merah itu marah-marah dan menempeleng Cao Yen. Merasa haknya tidak diberikan
dan malah mendapat pukulan Cao Yen membalas. Akhirnya keduanya berkelahi dan Cao Yen
dapat mengalahkan anggota kapak merah itu, kemudian memaksanya memberikan ongkos
dan pulang.
Malam harinya desa Thru Cuk, tempat kediaman Cao Yen dikepung oleh anggota kapak
merah. Kepala geng kapak merah, Bha Gong, mengultimatum agar Cao Yen menyerahkan
diri dan meminta maaf. Tidak ada rekasi apapun dari rumah Cao Yen. Bha Gong marah dan
mengobrak-abrik rumah Cao Yen serta menghajarnya beramai-ramai.
Cao Yen yang kesakitan berteriak nyaring meminta tolong. Para tetangga berdatangan. Tak
disangka oleh kapak merah, ternyata desa Thru Cuk penuh dengan para pendekar Kung Fu.
Tanpa dikomando spontan mereka balik menghajar anggota kapak merah hingga tak bersisa.
Nasib mereka seperti sulung malebu ing geni, hancur binasa!

Paribasan (28): Alingan wêkasan ngaton


Arti harfiahnya adalah bersembunyi di balik tabir, akhirnya menampakkan diri. Maknanya adalah orang yang
semula menutupi kejahatan tapi akhirnya tidak tahan untuk menutupi sehingga membongkar aibnya sendiri.

Ada seorang pemuda gagah yang sifatnya buruk, malas dan tidak suka bekerja keras.
Pemuda tadi pekerjaannya hanya meminta-minta untuk menyambung hidupnya. Karena
dianggap masih mampu bekerja banyak yang enggam memberi.
Suatu ketika dia meminta-minta di rumah seorang pasangan muda. Oleh tuan rumah dia
tidak diberi. Wong masih muda gagah perkasa kok minta-minta, kata si tuan rumah. Pemuda
tersebut sakit hatinya dan merencanakan kejahatan.
Malam harinya dengan memakai topeng si pemuda menggasak rumah pasangan muda
tersebut. Namun karena baru saja dari tempat itu si tuan rumah merasa curiga dengan sosok
yang merampok rumahnya. Dia kemudian melaporkan si pemuda bahwa dia dicurigai
merampok tadi malam. Si pemuda mengelak dan mengeluarkan sumpah, bahwa bukan dia
pelakunya.
Sebulan kemudian setelah keadaan reda si pemuda membual di gardu kalau dia itu seorang
pemberani. Ketika orang-orang menyanggah dan minta bukti, dengan lantang dia
mengatakan bahwa yang merampok rumah pasangan muda bulan lalu adalah dirinya. Serta
merta kabar itu menyebar dan keesokan harinya polisi menangkapnya ketika dia masih
mendengkur.
Apa yang dilakukan pemuda tadi adalah alingan wekasan ngaton.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 13

Paribasan (29): Nguthik-uthik macan dhedhe


Arti harfiahnya adalah menjahili macan berjemur. Maknanya menganggu orang kuasa yang
sebenarnya tidak ada urusan dengan kita.
Darmo Gandul adalah seorang preman tengik. Kerjaanya hanya ngompas dan malak
pedagang di pasar dan di kios-kios pinggir jalan. Suatu ketika dia sedang meminta uang di
warung swike bu Darmi, seperti kebiasaannya setiap hari.
“Uang kemanan bu!” Pinta Darmogandul.
Bu Darmi memberikan dengan enggan. Namun apa daya dia tak kuasa menolak preman
galak itu.
Dengan pongah Darmogandul menyambar uang dari tangan Bu Darmi. Entah karena kesal
melihat Bu Darmi memberi uang sambil mecucu atau memang niat cari gara-gara, di dekat
pintu keluar dia menyepak kaki seorang pengunjung. Bu Darmi menyuruh Darmogandul
segera pergi, khawatir ribut-ribut.
“Apa? Mau sekali lagi?” tantang Darmogandul sambil menyepak kaki pengunjung itu.
Sebenarnya pengunjung itu cukup sabar dengan menghindar, tapi Darmogandul semakin
nekat. Akhirnya si pengunjung marah besar. Dikeluarkan pistol dari balik jaketnya dan
ditodongkan ke kepala Darmogandul.
“Kembalikan uang yang tadi ke Bu Darmi. Atau pecah kepalamu?”
Darmogandul tak berkutik. Ternyata pengunjung tadi adalah keponakan Bu Darmi yang baru
datan dari kota. Sengaja menengok sang Bibi karena sudah lama tak bersua.
Kena batunya kau Darmogandul! Sudah enak-enak kok nguthik-uthik macan dhedhe.

Paribasan (30): Lêbak ilining banyu


Arti harfiahnya adalah tempat rendah akan dialiri air. Maknanya orang kecil akan ditimpakan
kesalahan orang besar.
Pak Lurah Sentot sedang bersiap menerima kedatangan Pak Bupati yang akan mengunjungi
potensi wisata di desa itu, yakni pemandian air panas Cideng. Setelah viral di medsos
sebagai tempat wisata yang eksotis Pak Bupati ingin juga mandi di situ. Pak Lurah bersiap-
siap menemani.
Umbul Cideng terletak di kaki Gunung Babu Angrem, keluar dari mata air di lereng gunung
air kemudian mengalir ke sepanjang sungai Luk Ula. Berhubung hari ini Pak Bupati mandi di
mata air maka pengunjung hanya boleh mandi di hilir, letaknya sedikit di bawah sendang
mata air.
Bersamaan Pak Bupati mandi di sendang ada anak muda miskin yang juga mandi di bagian
hilir, dibawah sendang. Rupanya Pak Bupati tidak suka ketenangannya diganggu. Pak Lurah
tanggap dan menyuruh anak muda miskin itu pergi.
“Hai anak muda, engkau pergilah. Kau membuat air di kolam ini kotor karena ulahmu!”
Anak muda menjawab, “Bagaimana mungkin Pak Lurah, wong malah air dari tempat Pak
Lurah itu yang mengalir ke tempat saya?”
“Mungkin saja, karena kau mandi di situ bau kudis tubuhmu itu membuat ikan-ikan di sini
mati! Tahu tidak?”
Si anak muda bergegas keluar dari sungai sambil ngedumel, “Dasar orang kecil tempatnya
salah. Ibarat lebak ilining banyu. Sial!”

Paribasan (31): Cebol anggayuh lintang


Arti harfiahnya adalah orang cebol hendak menggapai bintang. Maknanya keinginan yang
terlalu tinggi sehingga mustahil kesampaian.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 14

Ki Slamet adalah bekel di Sabranglor. Dia mempunyai anak lelaki yang sudah waktunya
berumah tangga. Sebagai orang tua Ki Slamet sadar akan kewajibannya mencarikan jodoh
yang baik. Maka dia meminta pendapat Ki Demang tentang keinginannya untuk melamar nini
Jamilah putri ki Patih Pringgalaya yang terkenal cuantiiikk itu.
Ki Demang tertawa mendengarnya. Katanya, “Anakmu itu tampan tidak, pintar juga tidak,
punya kedudukan juga tidak. Kok berani-beraninya kamu hendak melamar putri Ki Patih?
Keinginanmu itu ibarat: cebol nggayuh lintang, mustahil akan diterima. Sudahlah carikan
istri yang sepadan dengannya. Itu lebih baik!”
Ki Bekel menurut dan mengurungkan niatnya yang mustahil terlaksana itu.

Paribasan ini punya varian lain, yakni; cêcak anguntal kalapa (cicak hendak mencaplok
kelapa), utawi kate pan ngrangsang rêdi, (ayam kate hendak menyerang gunung). Makna
kedua paribasan terakhir ini sama dengan paribasan di atas.

Paribasan (32): Kêplok ora tombok


Arti harfiahnya adalah bertepuk tangan tidak keluar modal. Maknanya ikut menikmati kesenangan tanpa
mengeluarkan biaya.

Pak Durna seorang kaya raya. Dia mempunyai teman yang gemar menghisap candu,
namanya Pak Bondet. Suatu ketika Pak Durna sakit parah beberapa bulan. Setelah sembuh
badanya terasa tidak sekuat dulu. Gampang lelah dan rasanya lesu.
Pak Bondhet menengok Pak Durna sambil membawa candu. Katanya, “Mungkin sampeyan
perlu mencoca ini sedikit saja. Barangkali lesu dan lemah badanmu hilang.”
Karena sudah putus asa Pak Durna menurut. Dia coba satu linting candu seharga seratus
ribu. Keesokan harinya tubuhnya terasa segar. Dia mengira candu itulah penyebabnya. Dia
kemudian menyuruh Pak Bondhet untuk membawa lagi candunya itu. Begitulah kebiasaan itu
berlanjut karena Pak Durna menjadi ketagihan.
Namun walau sudah menjadi pecandu Pak Durna tidak bisa meracik sendiri ramuan
candunya itu, bagaimana takaran yang pas dan cara meraciknya. Tentu saja yang untung
Pak Bondhet, setiap Pak Durna madat Bondhet selalu disuruh menemani dan tentu saja
dapat candu gratis. Si Bondhet ini ikut senang-senang tapi tak keluar modal. Keplok ora
tombok!

Paribasan (33): Maling sandi


Arti harfiahnya mencuri dengan sembunyi-sembunyi. Maknanya orang yang mencuri tapi
menyamarkan diri dalam pekerjaan.
Probo adalah seorang anemer atau pemborong terkenal di Klaten. Berbagai proyek besar dia
tangani. Proyak pelebaran sungai, gedung pemerintah dan pasar-pasar. Walau sudah
berpenghasilan besar Probo masih saja merasa kurang. Maka dia mereka-reka agar
mendapat tambahan penghasilan dari proyek yang dikerjakannya.
Yang pertama dilakukannya adalah mengurangi takaran semen. Kemudian juga mengurangi
jumlah besi yang dipakai dalam bangunan. Lama-kelamaan hampir semua bahan dikurangi
jumlahnya. Untuk aksinya itu dia cukup aman karena tidak ada yang akan tahu. Hanya dia
sendiri ahli bangunan yang ada pada zaman itu.
Dia mencuri tanpa diketahui orang lain, dia maling sandi.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 15

Paribasan (34): Arêp jamure êmoh watange


Jamur adalah tumbuhan liar yang bisa dimakan, watang adalah galah. Kami kesulitan mencari
hubungan arti kedua kata itu. Namun paribasan ini maknanya mau enaknya tapi tak mau
kesulitannya.
Pak Drana sudah lama menjadi carik desa di Gading. Dia merasa sudah capek mengabdi
sebagai aparat desa. Untuk itu dia berencana mengajukan asisten untuk membantu tugas-
tugasnya sebagai carik.
“Pensiunmu masih tiga tahun lagi Pak Drana. Masih cukup lama!” Kata Pak Lurah.
“Ya Pak, tapi saya sudah merasa berat untuk bertugas. Penyakit encok saya sering kambuh
sekarang ini. Membuat saya tak bisa bekerja dengan enak. Sakit seluruh badan Pak.” Alasan
Pak Drana.
Pak Lurah kemudian menugaskan seorang anak magang untuk menggantikan tugas Pak
Drana sebagai carik. Karena sekarang Pak Drana tidak bertugas maka tanah lungguhnya
diambil oleh Pak Lurah. Dan Pak Drana hanya diberi sepertiganya saja. Namun Pak Drana
ternyata tidak mau. Dia menuntut dua pertiga tanah lungguh itu sebagai haknya.
Menanggapi hal itu Pak Lurah hanya tertawa, “Pak Drana ini bagaimana to? Kan sampeyan
sudah bebas tugas dan sebentar lagi pensiun. Masa masih mengharap lungguh seluas itu? Itu
namanya arep jamure emoh watange! Hahaha..”

Paribasan (35): Nyambung watang putung


Arti harfiahnya adalah menyambung galah yang putus. Maknanya adalah menyambung
persaudaraan yang sudah terputus karena satu masalah.
Pak Tanta dan Pak Mulya adalah kakak-beradik yang sudah lama berseteru. Penyebabnya
apalagi kalau bukan warisan. Masing-masing mereka merasa lebih berhak mendapat warisan
yang lebih banyak dari orang tuanya. Akhirnya mereka berselisih dan tidak saling
mengunjungi. Memang keduanya terpisah jarak, Pak Tanta di Jogja dan Pak Mulya di
Semarang.
Ketika anak-anak mereka besar mereka pun tak saling tahu. Kebetulan anak Pak Mulya yang
bernama Bambang kemudian bertugas sebagai penyuluh pertanian di Jogya. Dia kemudian
bertemu dengan Pak Tanta. Kini mereka tahu kalau ada hubungan paman dan keponakan.
Karena antara keduanya tidak ada masalah keduanya bisa bergaul dengan baik.
Namun mendadak Bambang mempunyai ide yang unik untuk mencairkan hubungan antara
bapak dan pamannya yang beku selama puluhan tahun. Ketika pulang ke Semarang Bambang
membeli oleh-oleh berupa Jus Durian. Kepada bapaknya dia mengatakan, “Pak ini ada oleh-
oleh dari Paklik Tanta, mohon diterima.” Bapaknya sangat senang dan merasa sudah
waktunya mereka melupakan masalah di masa lalu.
Ketika dia kembali bertugas ke Jogja dia juga membeli oleh-oleh wingka babat dan
menyerahkan kepada Pak Tanta sambil berkata, “Paklik ini ada oleh-oleh dari Bapak di
Semarang. Asli makanan khas Semarang Paklik.
Pak Tanta senang sekali dan juga merasa sudah saatnya melupakan perselisihan mereka.
Akhirnya melalui WA si Bambang keduanya sudah ngobrol ngalor ngidul dan tertawa-tawa.
Bambang berhasil nyambung watang putung.

Paribasan (36): Matang tuna numbak luput


Arti harfiahnya adalah menyerang memakai galah meleset memakai tumbak juga meleset.
Maknanya apa yang ingin dicapainya selalu gagal

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 16

Sudah lama Budi Ulya ingin menjadi polisi. Itu cita-citanya sejak kecil. Maka dia giat
berlatih untuk persiapan masuk tes bintara di Semarang. Setiap siang hari jam 12 tepat dia
melatih fisik dengan berlari keliling lapangan. Memakai jaket tebal dan berlari 50 kali.
Sudah sebulan ini dia melakukan.Namun apa daya ketika ikut tes dia tidak lulus. Tentu saja
dia sangat kecewa.
Oleh salah seorang dukun setempat Budi Ulya diberi saran agar jangan memakai cara-cara
fisik saja. Berdoa itu juga penting. Dan yang lebih penting harus memakai sarat sarana,
yakni jimat keberuntungan. Maka dia ikut tes lagi dengan memakai jimat yang harus dibayar
dengan harga mahar 10 juta rupiah. Hasilnya gagal lagi.
Tak patah arang Budi Ulya kali ini ikut tes lagi. Kalau dulu mengandalkan dukun, sekarang
mengandalkan koneksi dari orang dalam. Dia rela menyogok dengan upeti 300 juta. Edan!
Namun lagi-lagi dia gagal. Sampai petugas penerima kasihan dan mengatakan.
“Sudah besok gak usah tes lagi saja. Percuma! Wong kamu tidak diterima itu bukan karena
masalah lain-lain. Tinggi kamu kurang 5 cm!”
Budi Ulya tertegun, berbagai cara yang dilakukannya selalu gagal, ibarat matang tuna
numbak luput.

Paribasan (37): Baladewa ilang gapite


Arti harfiahnya adalah wayang Baladewa yang hilang gapitnya. Maknanya orang yang gagah
perkasa tiba-tiba lemah seakan hilang kekuatannya.
Richard adalah seorang bule dari negeri Inggris. Sudah lama menetap di Pulau Jawa
sebagai mahasiswa jurusan musik tradisional di sebuah universitas di Solo. Karena sangat
sukanya dengan kebudayaan Jawa Richard betah sekali tinggal di Jawa. Dia menyewa
sebuah rumah di perkampungan di Solo dan berbaur dengan masyarakat.
Suatu hari Richard ini memutuskan menjadi mualaf dan menikah dengan Siti Sundari anak
Kyai Rejo. Oleh istrinya Richard dibimbing untuk menjalankan ibadah sesuai tuntunan
agama Islam.
Salah satu ibadah yang harus dijalani adalah puasa. Richard pun bermaksud
menjalankannya pula dengan penuh. Dia ogah menuruti tawaran istrinya untuk puasa
mbedhug dulu. Itu kan puasa untuk anak-anak, sangkal Richard. Dia memang tahu karena
melihat anak-anak tetangganya yang puasa mbedhug.
Hari puasa pertama Richard kelaparan. Sejak pagi telah berkali-kali lewat dapur. Uh, lapar,
katanya kepada istrinya. Siang hari Richard kelimpungan. Maklum seumur-umur baru kali
ini puasa. Menjelang sore Richard lemas dan pucat. Istrinya mentertawakan Richard, sambil
bercanda berkata, “Mas Richard ini kok seperti Baladewa ilang gapite!”

Paribasan (38): Ambondhan tanpa ratu


Arti harfiahnya adalah menari bondhan tidak di depan raja. Maknanya adalah memberontak tidak mau tunduk
kepada penguasa yang sah.

Sejak meninggalnya Sultan Agung kekuasaan Mataram jatuh ke tangan Amangkurat I. Raja
penggantinya ini mewarisi kekuasaan yang besar, tetapi sayang tidak didukung dengan
kecakapan yang sepadan. Satu per satu wilayah Mataram memisahkan diri. Amangkurat I
Dia seringkali memakai cara keji dalam menyingkirkan lawan-lawannya. Konon dia hampir
selalu menghukum mati orang yang berbeda pendapat dengannya. Akibatnya muncul rasa
antipati kepadanya.
Salah seorang pembesar dari Madura Trunajaya menyatakan tidak lagi tunduk kepada
Mataram. Dia sengaja merebut wilayah timur dan memberlakukan pemerintahan sendiri. Dia
bermaksud mbondhan tanpa ratu atau memberontak.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 17

Pemberontakan Trunajaya berhasil merebut kraton Mataram dan mengusir raja Amangkurat
I. Walau akhirnya dengan bantuan VOC Trunajaya berhasil dikalahkan.

Paribasan (39): Anggajah êlar


Arti harfiahnya sayapnya seperti gajah. Maknanya serba besar dan mewah keinginannya.
Puguh adalah orang yang beruntung. Sejak ada proyek jaringan saluran listrik tengangan
ekstra tinggi (sutet) dia mendapat rejeki nomplok. Setiap tanah yang di atasnya dilewati
kabel sutet akan diberi ganti rugi yang lumayan setiap meternya. Tanah Puguh yang dua
hektar tegalan kering tak produktif itupun mendapat ganti rugi juga. Puguh kaya mendadak.
Karena lama menjadi orang miskin Puguh gagap dalam membelanjakan uangnya. Dikiranya
uang ganti rugi yang jumlahnya 500 juta itu adalah uang yang banyak. Dalam sekejab
wataknya berubah 180 derajat. Dia merenovasi rumahnya yang reyot dan mengisi dengan
perabot yang mewah. Lemari bagus dia pesan dari perajin mebel di Mireng di bengkel Milik
Pak Khusen. Bufet, meja tamu, meja makan lengkap dan lemari dhapur yang mewah.
“Semua pakai kayu jati kelas satu ya!” jelas Puguh.
Pak Khusen hanya manthuk-manthuk, sambil membatin, “Wah Puguh ini kok sekarang
anggajah elar!”

Paribasan (40): Kêri tanpa pinêcut


Arti harfiahnya geli tanpa dicambuk. Maknanya orang yang merasa dituduh padahal hanya dibeberkan
kesalahannya.

Wan Aziz sudah lama menjadi menteri besar negara bagian. Karena sudah lama berkuasa
koneksinya banyak dan pengaruhnya merasuk ke semua bidang kehidupan. Hal itu
dimanfaatkannya untuk membangun kerajaan bisnis. Mulai pariwisata, konstruksi, rumah
sakit, pendidikan semua ditangani melalui kaki tangannya.
Namun ada salah satu lengan gurita bisnisnya yang mendatangkan banyak keuntungan yakni
kasino atau rumah judi. Dari sinilah hampir sepatuh kekayaan Wan Aziz berasal. Tentu saja
dia bermalin di balik layar karena bisnis perjudian jelas tidak pantas bagi menteri besar
seperti dirinya.
Suatu ketika timbul krisis yang menyeret anak bisnis Wan Aziz. Hal itu bermula dari
gagalnya proyek jembatan gantung di salah satu proyek negeri bagian. Jembatan gantung
yang berbiaya 9 trilyun itu runtuh dan kerajaan memerintahkan untuk melakukan investigasi
menyeluruh. Maka terbongkarlah kedok Wan Aziz yang ternyata perusahaannya menangani
jembatan itu dengan tender fiktif. Tim investigasi membeberkan perusahaan Wan Aziz yang
beroperasi dengan cara kolusi, termasuk rumah judinya yang terkenal itu. Keri tanpa pinecut
Wan Aziz mengundurkan diri dari jabatan menteri besar. Namun jeruji besi segera
menantinya sebagai buah dari kecurangannya.

Paribasan (41): Rupak jagade


Arti harfiahnya sempit dunianya. Maknanya orang yang ke manapun bertemu dengan orang yang bermasalah
dengannya sehingga serba kerepotan.

Ki Nopanto adalah seorang mantan demang senior di Desa Kapundhung. Dia dipecat tahun
lalu karena terbukti menggelapkan uang bulu bekti dari para bekel bawahannya. Sejak saat
itu hidup Ki Nopanto sangat menderita. Mau berdagang orang sudah tidak yakin karena
pernah menggelapkan duit orang banyak. Mau mengabdi di lain daerah juga tidak ada

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 18

pembesar yang mau menerima, karena mereka kawatir dikianati. Mau belantik burung pun
tak ada mantri pasar yang mengijinkan dia masuk pasar.
Hidup Ki Nopanto serba terjepit, ke utara selatan, ke barat timur, semua arah bertemu
dengan orang yang mengenal kejahatannya dulu. Bagi Ki Nopanto dunia ini sempit. Rupak
jagade!

Paribasan (42): Ana catur mungkur


Arti harfiahnya adalah ada perkataan membelakangi. Maknanya orang yang lebih suka
menghindari perselisihan dan memilih mengalah.
Ki Mulyareja adalah petani yutun yang giat bekerja. Dia selalu menyisihkan hasil panen
agar dapat menabung. Dengan hidup sederhana dia berhasil menyekolahkan anaknya Joko
Prasaja sehingga menjadi perwira polisi.
Keberhasilan Ki Mulyareja rupanya membuat iri sudagar kaya Ki Guna Sampeka. Meski
jauh lebih kaya anak-anak Ki Guna tidak ada yang jadi orang. Jadi orang berpangkat juga
tidak, jadi orang baik juga tidak. Dua anak lelakinya malah suka minum minuman keras di
gardu, dan digotong pulang esok harinya. Kegagalannya dalam hidup kemudian
dilampiaskan dengan sikap iri hati kepada Ki Mulyareja. Tiap bertemu pasti dia nyinyir,
mencari-cari kesalahan Ki Mulyareja.
Ki Mulyareja tahu diri. Sebagai orang miskin tidak elok jika berselisih atau bertengkar
dengan Ki Guna Sampeka. Maka setiap Ki Guna nyinyir dia selalu menanggapi dengan
senyum dan memilih menghindar dengan baik-baik. Ana catur mungkur.

Paribasan (43): Iwak kalêbu ing wuwu


Arti harfiahnya ikan masuk jebakan. Maknanya adalah orang yang sudah masuk jebakan
kejahatan orang lain sehingga tragis nasibnya.
Burhan adalah pemuda lugu yang giat bekerja. Dengan tekad kuat dia merantau ke Jakarta
mencari penghasilan yang besar. Semua itu dilakukan agar kehidupan kedua orang tuanya di
desa tidak susah lagi. Konon kabarnya Jakarta adalah tempat yang mudah untuk mendulang
uang atau dalam istilah oran desa: duit gedhe.
Namun karena orang lugu dan selalu berprasangka baik Burhan kehilangan kehati-hatian.
Dikiranya oran kota semua baik-baik seperti tetangga di desanya. Maka ketika Boris,
tetangga kost, mentraktir di warung dia manut-manut saja. Dia merasa beruntung mendapat
teman di perantauan. Tiap kali mentraktir boris selalu menyuguhkan rokok lintingan yang
rasanya nikmat. Lama-lama Burhan merasa ketagihan dengan rokok itu dan merasa pusing
kalau belum menghisapnya. Namun Boris sering menghilang sekarang.
Ketika bertemu Burhan menanyakan rokok itu. Jawab Boris, “Rokok itu mahal. Aku juga
sudah lama tak menghisap. Lagi gak punya duit!”
Burhan menawarkan untuk memakai uangnya memberi rokok itu. Dan setiap hari semakin
lama Burhan menjadi ketagihan hingga uangnya habis dipakai untuk menghisap rokok itu.
Suatu ketika Boris ditangkap polisi karena ternyata dia pengejar ganja. Sedangkan Burhan
walau Boris sudah tak ada selalu ketagihan rokok ganja itu. Tiap hari selalu mencari rokok
itu di pengedar lain. Dia sudah masuk perangkap sebagai pecandu dan tak bisa sembuh. Dia
bagai iwak kalebu ing wuwu.

Paribasan (44): Katula-tula katali


Arti harfiahnya berkali-kali terjerat. Maknanya adalah orang yang selalu mendapat celaka.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 19

Pak Sutrim bisa dikatakan orang paling sukses di desanya. Rumahnya gedung menjulang
lima lantai. Kerbau sapinya memenuhi kandang yang seluas lapangan bola. Kendaraan
apalagi, garasinya saja seluar lapangan bola volli. Dan yang sungguh mengiurkan, istrinya
tiga, cantik-cantik pula.
Walau begitu tak banyak yang tahu kalau dahulu hidupnya susah dan sengsara. Ibarat mau
bernapas saja tak ada udara yang mau masuk hidungnya. Semua menjauhinya, baik sanak
saudara atau kawan sepermainan.
Semua diawali ketika orang tuanya dijebloskan ke penjara oleh KPK. Harta benda disita dan
keluarganya dimiskinkan. Dia bersama ibunya dan adik-adik harus menempati sepetak kios
di pasar sapi yang hanya muat untuk tidur dua orang. Untuk bertahan hidup ibunya membuat
pisang goreng, dan Sutrim menjadi kuli di pasar, kadang menjual rumput di hari pasaran.
Karena setiap hari mengenal sapi dia menjadi hapal mana sapi baik atau buruk. Dia
kemudian mendapat upah untuk saran-saran kepada pembeli sapi. Seorang sudagar
kemudian merekrutnya sebagai kepala anak kandang di peternakannya.
Anak saudagar itu rupanya menaruh hati kepada Sutrim yang pekerja keras itu. Namun ada
banyak pemuda yang mengincar anak gadis saudagar. Mereka menfitnah Sutrim mencuri
sapi sang saudagar. Akhirnya Sutrim dipecat dan harus hengkang dari peternakan. Nasib
Sutrim sungguh malang karena dia ditolak pula di pasar sapi, tempat dia mencari maka
selama ini. Dia kemudian merantau ke kota dan menjadi tukang tambal ban.
Dasar Sutrim anak berbakat bengkel tambal bannya ramai sekali. Ini pun mengundang rasa
cemburu tukang tambal ban lain sehingga beramai-ramai mengusir Sutrim. Nasib Sutrim
sungguh malang. Celaka selalu menghampirinya. Nasibnya; ketula-tula katali.
Lalu bagaimana bisa dia menjadi kaya? Yang sabar to. Ini kan baru membahas tentang
katula-tula katali.

Paribasan (45): Ilang jarake kari jaile


Arti harfiahnya adalah hilang akalnya tinggal jahilnya. Maknanya kalau orang sudah
kehilangan pikirannya maka yang tertinggal adalah keinginan untuk berbuat jahat.
Burhan tidak mengira jika usaha merantaunya ke Jakarta membuatnya terjebak dalam
belenggu kecanduan ganja. Semua sudah terlambat untuk kembali. Dia sudah terlanjur
ketagihan. Setiap hari harus dipenuhi kebutuhannya untuk merokok ganja. Semua
pekerjaannya masih bisa diandalkan untuk membiayai kebutuhannya akan rokok lintingan
ganja itu. Tapi makin hari fisiknya makin parah. Bosnya mengetahui kalau dia seorang
pemadat. Dia dipecat.
Kini dia hidup dari sisa tabungan yang semula akan dikirim ke desa. Namun esok pagi
tabungan itu sudah habis. Dia bingung harus mencari uang kemana lagi. Sedang bekerja pun
sekarang dia tak mampu. Tiap hari tubuhnya sakau dan harus dipenuhi. Dia bingung untuk
memikirkan itu semua.
Pikirannya mulai tidak waras. Dia tak bisa berpikir jernih lagi. Hanya tinggal satu jalan
keluarnya. Mencuri! Dia harus melakukan itu sekarang. Kalau tidak tubuhnya akan
menggigil esok pagi.
Maka dia ke pasar sapi dekat terminal. Seorang bapak tani yang baru saja menjual sapi
menjadi kurban pertamanya. Tas besar wadah uang yang dibawanya koyak oleh silet Burhan.
Burhan telah masuk ke dalam golongan pencopet. Ibarat pepatah ilang jarake kari jaile.

Paribasan (46): Wadhuk bêruk


Arti harfiahnya adalah perut yang seperti gentong. Maknanya adalah orang yang tidak bisa
kenyang seolah perutnya seperti gentong, semua masuk. Varian paribasan ini adalah; weteng
bagor (perutnya seperti karung, muat apa saja).

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 20

Bagong adalah anak pertama dari pasangan suami-istri yang masih sangat muda. Ibunya
masih kelas 2 SMP ketika menikah dengan bapaknya yang baru kelas satu SMA. Keduanya
kemudian merantau ke kota setelah Bagong lahir.
Bagong tinggal bersama neneknya yang sudah tua dan pikun. Karena itu dia tidak terawat.
Ketika sudah bisa berjalan Bagong mondar-mandir di jalanan tanpa baju. Keadaannya
membuat orang-orang iba dan memberi Bagong makanan. Karena saking laparnya membuat
Bagong sangat lahap makannya. Orang-orang senang dan semakin semangat memberi
makanan kepada Bagong. Tiap hari ada-ada saja yang memberi makan.
Tanpa disadari kebaikan tetangganya telah menumbuhkan watak tak baik kepada Bagong.
Dia pikir kalau makanan itu tidak usah beli, asal mau minta pasti dikasih. Setelah besar pun
Bagong selalu meminta makanan kepada orang-orang. Dan karena terbiasa kecukupan dari
pemberian orang Bagong makannya sangat banyak. Semakin besar jatah makannya semakin
banyak sampai orang-orang kewalahan.
Mereka sekarang menjadi berat menanggung makanan si Bagong. Banyak yang kemudian
mengeluh, “Gong, Bagong! Apakah perutmu itu wadhuk beruk? Kok diisi makanan sebanyak
apapun tidak penuh?”

Paribasan (47): Gondhelan poncoting tapih


Arti harfiahnya berpegang ujung kain perempuan. Maknanya adalah seorang lelaki yang
hidup mengikuti istrinya.
Burhan sungguh beruntung. Meski bekas seorang pemabuk masih ada gadis yang mau
menjadi istrinya. Sripeni, gadis tersebut baru saja ditinggal kekasihnya menikah dengan
perempuan lain. Ia tak mau kalah dengan sang mantan. Dia juga segera menikah. Dan
pilihannya jatuh pada Burhan. Pora penak jal?
Meski belum bekerja Sripeni tak terlalu risau. Yang penting Burhan sudah tidak mabuk lagi
seperti dulu, waktu dia pertama kenal. Sripeni dahulu memang pernah menaruh hati pada
Burhan, tetapi dia urungkan niatnya karena melihat Burhan yang kemana-mana membawa
botol oplosan. Kini pujaan hatinya di masa lalu itu tampak sempurna baginya.
Burhan sendiri tampak tahu diri. Sudah payah dia keluar dari jerat narkoba, mabuk ganja
dan oplosan. Kesediaan Sripeni menerimanya adalah berkah luarbiasa dalam hidupnya.
Lalu bagaimana pasangan itu memenuhi kebutuhan hidupnya? Oh, itu tak jadi soal. Sripeni
adalah gadis yang ulet. Sejak muda dia telah merintis usaha warung makan ayam bakar.
Burhan sekarang bekerja membantu istrinya mencari penghasilan dari warung itu. Pokoknya
Burhan tinggal hooh saja kalau istrinya memberi perintah. Semua beres. ibaratnya Burhan
sekarang gondhelan poncoting tapih pada istrinya itu.
Pora penak jal?

Paribasan (48): Rindhik asu ginitik

Arti harfiahnya adalah pelannya anjing dipukul. Maknanya adalah seorang yang cepat sekali
menerima perintah, segera melaksanakan.
Gareng adalah anak semata wayang dari Pak Broto, seorang juragan tembakau kaya di
Birit. Meski sang ayah kaya raya Gareng selalu kesepian. Dia adalah anak tunggal yang
tinggal di rumah gedung magrong-magrong.
Kesehariannya Gareng hanya main video game dan Facebook saja. Orang tua Gareng
sampai pusing kepala. Bagaimana ya caranya agar si Gareng ini mau keluar rumah untuk
main-main atau syukur-syukur membantu bapaknya di los tembakau.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 21

Setelah diselidiki dengan seksama, Pak Broto menemukan fakta menarik. Ternyata Gareng
punya gadis incaran yang membuatnya terkintil-kintil siang dan malam. Gadis itu bernama
Siti Zulaikha, anak Kyai Kasan Besari dari tembayat. Tentiu saja Pak Broto tidak keberatan,
wong anaknya cantik dan shalihah kok. Calon besannya juga pintar mengaji. Wis pokoke
mantu ideal.
Maka Pak Broto menyerahkan salah satu los tembakaunya supaya dikelola Gareng.
Maksudnya agar si Gareng ini mandiri dan punya penghasilan.
“Reng los tembakau yang di Bayat itu kau kelola ya. Ada tanaman 40 hektar di sana!”
“Ogah Pak!” kata Gareng singkat.
“Lho bagaimana to. Itu buat bekal kamu kalau kawin sama Zulaikhah tahun depan. Apa
kamu mau menunda lagi? Bapak tidak akan melamarkan kalau kamu tak bisa cari uang
sendiri!”
Gareng kaget, kok bapaknya tahu. Secepat kilat dia bangkit meninggalkan video gamenya.
“Kapan Pak saya berangkat ke Bayat?”
“Wah kamu Reng, kalau sudah ada maunya, ibarat rindhik asu ginitik! Tanpa disuruh
langsung jalan! Hahahah...

Paribasan (49): Emprit abuntut bedhug

Arti harfiahnya adalah burung emprit berbuntut bedhug. Burung emprit adalah burung kecil
yang suaranya tidak nyaring, bedhug adalah alat musik pukul yang suaranya keras. Makna
paribasan ini adalah hal-hal kecil sekalipun apabila menjadi viral akan menimbulkan
kehebohan.
Ki Agong adalah seorang demang yang sedang menjabat (inkamben) di kotaraja. Tahun
depan masa jabatannya habis, tetapi dia sudah bertekad mencalonkan kembali. Persiapan
menghadapi taun politik telah dia siapkan, salah satunya dengan berkeliling mencari massa.
Di sebuah resort tepi danau Rawa Jombor dia menyinggung tentang kompetitornya yang
berasal dari rakyat biasa, Kyai Enis. Dasar Ki Agong suka bercanda, dia meledek
saingannya.
“Enis itu bisa apa kok mau mencalonkan diri jadi demang. Mbok sudah jadi modin saja. Itu
orang pekok dai kalangan gembel yang hanya bisa ngaji saja!”
Tak dinyana omongan yang berbau guyonan itu ada yang merekam. Mereka kemudian
memposting rekaman di yutub dan diberi judul provokatif, “Gembel hanya bisa ngaji!”
Rekaman itu kemudian menjadi viral di medsos dan ditonton 7 laksa orang, dan marahlah
mereka oleh perkataan demang bermulut ember itu.
Akibatnya di pemilihan demang Ki Agong keok, dan sebaliknya Kyai Enis menang telak.
Begitulah kekuatan medsos, kicaun kecil bisa menjadi besar. Ibaratnya emprit abuntut
bedhug.

Paribasan (50): Gajah ngidak rapah

Arti harfiahnya adalah gajah menginjak pembatas. Maknanya adalah orang yang berkuasa
seringkali melanggat peraturan yang dia buat sendiri.
Ki Bekel Dadya Tinumbala jengkel. Hari ini dia dipanggil ke kademgangan untuk diberi
pengarahan bahwa tahun ini rakyatnya tidak boleh menanam tembakau. Alasannya adalah
komoditi tembakau sudah melimpah sejak tahun lalu sehingga dikhawatirkan harganya
anjlog.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 22

Semula Ki Bekel menganggap ide Ki Demang Agong sebagai langkah cerdas untuk
memakmurkan masyarakat. Dengan mengatur supply and demand diharapkan harga akan
terkontrol pada level aman. Sungguh ide brilian, pikir Ki Bekel.
Tapi ketika melewati wilayah Manisrengga dia kaget. Ada ribuan hektar petak sawah yang
siap ditanami tembakau. Dia mencoba bertanya kepada pekerja itu siapa pemilik lahan
tembakau itu. Dia mendapat jawaban yang membuatnya njondhil, sampai blangkonnya lepas.
“Ini milik Ndara Pur, anak Ki Demang Agong!”
Seketika dongkollah hati Ki Bekel. Tadi di Kademangan Demang Agong menyuruh rakyatnya
tidak menaman tembakau. Sekarang kok anaknya sendiri malah menanam. Ini namanya
gajah ngidah rapah. Tidak boleh seperti ini!”

Paribasan (51): Asu gedhe menang kerahe

Arti harfiahnya adalah anjing besar menang berkelahi. Maknanya adalah orang yang berkuasa
akan menang selalu dalam perselisihan.
Ki Basri sejatinya sudah menjual tanah itu kepada Ki Tambakbaya. Peristiwanya sudah
lama, waktu keluarga Ki Basri belum menjadi keluarga kaya dan berkuasa. Sekarang hal itu
memang tampak mustahil. Lebih-lebih setelah anak Ki Basri menjadi seorang camat di kota.
Entah siapa yang lalai waktu itu, surat-surat tanah itu tak segera diurus. Mungkin
kendalanya zaman itu lebih karena persoalan teknis. Tanah tak bisa dipecah-pecah. Menjual
tanah harus seluruhnya. Maka mereka sepakat bahwa jual-beli itu cukup dibuat perjanjian
dengan disaksikan saja oleh tetangga sekitar.
Lama berlalu, tanah itu menurun kepada anak cucu mereka. Celakanya cucu Ki Basri yang
sekarang menempati sebagian tanah itu mengingkari kalau kakek mereka telah menjual tanah
sebagian itu.
“Mana buktinya?” katanya.
Maka gegerlah seluruh kampung. Banyak tokoh tua yang melihat bahwa tanah itu memang
telah dijual. Itu sudah menjadi berita heboh di zaman dahulu. Bahkan tanah itu juga sudah
dtempati.
Cucu Ki Basri tetap ngeyel, dia minta bukti. Secarik kertas diajukan sebagai bukti.
Sayangnya orang yang bertanda tangan di kertas itu sebagai saksi telah meninggal semua.
Akhirnya keluarga Ki Tambakbaya menggugat ke pengadilan. Sekarang mereka saling
mencari saksi untuk memenangkan perkara. Tapi keluarga Basri adalah keluarga kuat yang
punya koneksi pejabat di pengadilan. Segala cara ditempuh untuk menang, dari mulai
mencari saksi palsu sampai menyuap aparat pengadilan. Akhirnya cucu Ki Basri menang.
Memang susah kalau melawan orang berkuas, di sini masih berlaku: Asu gedhe menang
kerahe!

Paribasan (52): Kaya klinthing disampar kucing

Arti harfiahnya seperti lonceng ditendang kucing. Maknanya adalah orang yang selalu
cerewet, suaranya membuat gaduh dan jengkel.
Sudah satu minggu kakek Wardi tidak bekerja. Pekerjaan sebagai tukang batu memang tidak
pasti. Kadang ada yang membutuhkan jasanya, kadang tidak. Kadang pekerjaan bertumpuk-
tumpuk, kadang lama tidak ada yang butuh jasanya.
Maka sudah seminggu ini pula dapur nenek Wardi tidak mengepul. Mereka hanya tinggal
berdua dan kakek Wardi suka sekali meminta makanan yang enak-enak. Namun tiap pagi
hanya merokok di teras sambil ngopi, sudah seminggu ini.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 23

Semula nenek Wardi sabar, tapi kata orang sabar ada batasnya. Sebatas apa? Sebatas
tabungannya habis.
“Sana to kek, cari-cari pekerjaan. Jangan hanya merokok dan ngopi saja tiap hari. Masak
gak malu dilihat orang, tiap pagi cuma klepas-klepus saja!”
Kakek Wardi tak mau kalah, “Apa ada orang membuang pekerjaan, kok suruh nyari!”
Nenek Wardi semakin jengkel mendengar jawaban bercanda itu.
“Namanya kerjaan ya harus dicari keluar sana. Kalau di rumah saja ya tidak ada pekerjaan
mampir!”
Kakek Wardi diam, sambil menikmati kepulan asap rokoknya yang membentuk huruf “O”.
Nek Wardi semakin menjadi.
“Lelaki pemalas. Tidak kerja malah kesenangan menganggur, biar bisa klepas-klepus santai
di rumah!”
Kakek Wardi ikut jengkel sekarang, dia mendekat dan berkata.
“Diam kamu! Dari tadi berisik kaya klinthing disampar kucing!”

Paribasan (53): Macan guguh


Arti harfiahnya harimau yang pikun. Maknanya adalah orang berkedudukan tinggi walau
sudah tidak berkuasa tetap berpengaruh.
Jenderal HM Soeharto adalah presiden sebuah negara berkembang yang berkuasa amat
lama. Tiga puluh dua tahun berturut-turut. Itupun kekuasaannya berhenti secara paksa,
setelah muncul gerakan reformasi.
Walau demikian setelah lengser kekuasaannya tak habis begitu saja. Karismanya tetap
melekat pada sebagian orang Indonesia. Maka tak aneh tatkala ingatan orang tentang
keburukannya sudah hilang partainya kembali mendominasi. Berturut-turut selalu keluar
sebagai pemenang kedua pemilu.
Selain itu juga anak-anak beliau mencoba mendirikan partai baru, dan juga cukup mendapat
sambutan. Ada pula anak-anaknya yang berhasil kembali masuk parlemen. Itu semua berkat
karisma sang ayah.
Soeharto begitu dirindukan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya politisi dan praktisi
hukum, pengamat atau birokrat. Sopir truk pun merindukannya. Coba tengok bak belakang
truknya, ada gambar Soeharto mesem dan tulisan, “Pye kabare? Enak jamanku to?”
Soharto ibarat macan guguh, walau tak berkuasa tetap menakutkan.

Paribasan (54): Kekudhung walulang macan

Arti harfiahnya adalah memakai kedok kulit macan. Maknanya adalah bersembunyi di balik
orang yang berkuasa.
Thakur bukan siapa-siapa, bukan pejabat atau konglomerat. Dia hanya satpam di rumah
dinas Bupati. Tapi siapa sangka pengaruhnya terhadap perolitikan di Kabupaten Silong luar
biasa. Bagaimana tidak? Dia punya tiga bego ilegal, kasino ilegal dan delapan warung
remang-remang yang tentu saja juga ilegal.
Tapi walau begitu tidak ada yang berani menumpas usaha Thakur. Dia selalu memakai kedok
sebagai “orang suruhan bupati” sehingga tak satupun berani menganggu usahanya.
Namun lama-lama ada juga yang risih dan berani mempertanyakan. Seorang pengusaha
tambang pasir yang banyak dirugikan oleh ulah Thakur. Tidak tanggung-tanggung dia
memprotes sendiri kepada Bu Bupati.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 24

“Bu Bupati, mengapa sampeyan punya usaha tidak taat aturan dan tak pakai ijin. Tidak pula
pakai kuota setiap mengeluarkan pasir dari depo. Juga tidak pakai istirahat, masa 24 jam
ngeduk pasir terus?”
Bu Bupati kaget bukan kepalang. Dia merasa tidak punya usaha tambang pasir dan juga
usaha yang lain.
“Lho itu yang tiap malam ditunggui Thakur, apa bukan punya ibu Bupati?”
Bupati marah dan memanggil, “Thakuuuuurr!!!”
Yang dipanggil menghadap sambil kencing di celana.
“Kurang ajar kamu ya! Memakai nama saya untuk membuat usaha legal. Tega kamu
memakai saya untuk kekudhung walulang macan! Sekarang juga saya pecat dan kamu saya
laporkan ke polisi. Pergi sana!”
Thakur hendak keluar tanpa mampu mengucap kata pamit.
Bu Bupati kembali berteriak, “Dipel dulu ompolnya!”

Paribasan (55): Singidan nemu macan

Arti harfiahnya bersembunyi malah ketemu macan. Maknanya adalah bersembunyi malah
ketemu bahaya.
Lontong punya motor baru. Dengan bangga dia tunjukkan motor barunye kepada Indah, guru
TK yang sudah lama ditaksirnya. Lontong bermaksud mengajak Indah untuk piknik ke Bunbin
Gembira Loka. Berboncengan berdua, dhuh asyiknya.
“Lha apa kamu punya SIM mas Lontong?” Tanya Indah manja.
“Tenang Dik! Nanti kita lewat jalur tikus melaui Srowot lalu ke arah Piyungan. Aman dik
dari razia petugas!”
Akhirnya mereka berangkat berdua berboncengan. Wuih jalanan bagai milik berdua. Inilah
saat yang sudah lama Lontong idam-idamkan.
Stasiun Srowot berhasil dilalui dengan aman. Mereka telah melewati Sengon, terus ke
Pereng, sebentar melalui jalan besar di Taman Wisata Boko paling 200 meter saja, terus
melalu jalur tikus lagi di Berbah. Aman wis pokoke.
Baru saja mau masuk jalan besar 50 ke depan meter mendadak Lontong mengerem motor.
Indah kaget dan menubruk Lontong. “Adhuh!” Pekik Lontong ketika kuku Indah mencubit
pahanya.
“Nakal kamu! Sengaja ya?” Teriak Indah.
“Bu..bukan! Itu di depan ada razia. Wah kita nggak bisa balik lagi!”
Wah kena mereka berdua. Maksud hati bersembunyi di jalan tikus malah begitu keluar pas
kena razia. Ibarat singidan nemu macan. Apes!

Paribasan (56): Sadumuk bathuk sanyari bumi

Arti harfiahnya menyentuh dahi, sejengkal tanah. Maknanya kalau masalah kehormatan
walau hanya disentuh dahinya atau diduduki sejengkal tanahnya orang akan melawan.
Pangeran Dipanegara bukan pangeran biasa. Sejak kecil dia sudah meninggalkan keraton
dan hidup sederhana di desa Tegalreja. Tempat tinggalnya jauh di luar benteng dan menyatu
dengan rakyat jelata.
Walau demikian Pangeran Dipanegara tidak kehilangan trah awirya, darah pemberaninya.
Ketika Kumpeni Belanda hendak membuat jalan kereta api melewati pedukuhan tempat
tinggalnya tanpa ijin Dipanegara marah besar.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 25

Asisten Residen Chevalier mencoba membujuk dengan mengatakan, “Wong yang kena rel
kereta api cuma dikit aja marah. Mbok jangan sumbu pendek to. Gampang marah bikin cepat
tua lhoh! Hehehe...”
Dipanegara tak pedulu. Pokoknya satu jengkal pun tak kurelakan. Sadumuk bathuk sanyari
bumi. Walau satu jengkal kau rebut, kita perang. Dan Dipanegara serius. Pecahlah Perang
Jawa yang terkenal itu. Akibat perang kas Kumpeni akhirnya kobol-kobol, jebol-bol.

Paribasan (57): Mrucut saka gendhongan

Arti harfiahnya adalah terlepas dari gendongan. Maknanya adalah anak yang karena salah
pergaulan menjadi jauh dari harapan orang tuanya.
Niatnya sih baik, agar anak mendapat pendidikan yang sempurna. Maka kedua orang tua
Karin rela mengirim anaknya menyeberang pulau ke kota besar. Gadis lugu berjilbab itu
masuk ke SMA Favorit di kota.
Namun kedua orang tua Karin harus menelan pil pahit ketika tiga tahun kemudian mendapati
anaknya sudah tidak seperti dulu lagi. Karin pulang dengan rambut terurai berwarna blonde,
sepati hak tinggi selutut, memakai rok mini dan aduhai bajunya pun tak berlengan.
Para sanak saudara dan tetangga pun kaget bukan kepalang. Mereka berbisik-bisik, “Lihat
tuh si Karin jadi kayak gitu! Dia ibarat mrucut saka gendhongan!”

Paribasan (58): Cincing-cincing klebus

Arti harfiahnya adalah sudah menyingsingkan kain akhirnya basah juga. Maknanya adalah
berencana hanya dilakukan dengan sederhana ternyata malah banyak biaya.
seyogyanya orang menikah memang harus dipersaksikan para sanak saudara dan tetangga.
Namun karena waktunya mendesak takkan cukup kalau harus mengadakan pesta besar.
Calon mempelai pria harus segera bertugas sebagai anggota pasukan perdamaian di
Libanon. Sedangkan calon pengantin wanita ngebet ingin segera kawin, tak mau menunggu
dua tahun lagi sepulang calon suaminya bertugas.
Apa boleh buat, Pak Darmo terpaksa melakukan pesta pernikahan ala kadarnya. Dan karena
belum punya tabungan serta tidak ingin berhutang Pak Darmo merancang pesta pernikahan
kecil-kecilan saja.
“Hanya mengundang satu RT saja.”
Begitu katanya ketika seoran sahabatnya bertanya kok belum mendapatkan undangan.
Namun untung memang tak dapat ditolak. Tamu yang datang banyak sekali. Pak Darmo
memang populer dan bersahabat kepada siapa saja sehingga yang tak diundang pun
berdatangan. Mau tidak mau terpaksa harus mendatangkan sarana dan prasarana untuk
menjamu tamu. Acara yang semula dirancang sederhana malah menjadi pesta besar.
Tapi Pak Darmo senang kok, bukti bahwa dia dicintai para sahabat dan tetangganya. Ya
walaupun harus cincing-cincing klebus.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 26

Paribasan (59): Asu arebut balung

Arfi harfiahnya anjing yang berebut tulang. Maknanya adalah dua orang yang bertengkar
memperebutkan hal sepele.
Dr. Durjo dan Dr. Durmo adalah kolega satu kantor. Sama-sama memegang mata kuliah
teknik Pondasi. Keduanya seringkali terlihat bersama-sama, juga seringkali membimbing
mahasiswa bersama-sama.
Yang tak banyak diketahui orang, keduanya sebenarnya saling bersaing dan selalu ingin
menjadi yang nomer satu. Saling ingin mengalahkan dan tak mau dikalahkan di antara
keduanya.
Jika sudah demikian yang pusing adalah mahasiswa yang menjalani bimbingannya. Karena
dosen pembimbing harus dua dan salah satunya menjadi asisten maka seringkali menjadi
problem tersendiri, seperti yang dialami Paijo, mahasiswa yang mengambil tugas akhir
penelitian daya dukung tanah gambut.
Semula dari ketua jurusan mengarahkan agar Dr. Durjo yang menjadi pembimbing dan Dr.
Durmo yang menjadi asisten pembimbing. Namun Dr Durmo tidak mau. masalah dapat
diatasi dengan menulis keduanya sebagai dosen pembimbing saja tanpa embel-embel asisten.
Namun masalah kembali timbul ketika kedua nama harus dituliskan urut. Semula Dr. Durjo
ditulis duluan dan Dr. Durmo ditulis belakangan. Namun lagi-lagi Dr Durmo tidak mau.
“Itu sama saja menomor duakan saya!” kata Dr. Durmo.
Persoalan itu diatasi dengan menuliskan nama keduanya sejajar, dengan demikian harus
ditulis atas dan bawa dalam tanda kurung. Lagi-lagi keduanya minta ditulis di atas.
“Sama saja dik, kalau ditulis di bawah berarti menomorduakan juga. Maaf dik saya tak
mau!”
Paijo akhirnya mundur, memilih ganti dosen. Dia meninggalkan kantor keduanya sambil
berguman, “Dosen wis tuwa-tuwa kok isih kaya asu rebutan balung. Kakrekane tenan!”

Paribasan (60): Asu belang kalung wang

Arti harfiahnya anjing belang berkalung uang. Maknanya orang nistha tapi banyak uang.
Semua orang meremehkannya dalam hal keuangan, bahkan menganggapnya orang terlantar.
Pengemis tua itu selalu mengundang belas kasih yang melihat.
“Siapa sih keluarganya kok tak ada yang peduli?”
“Kok tega ya anak cucunya menelantarkannya?”
“Setua itu masih meminta-minta di jalan?”
“Biadab orang yang menelantarkannya!
Begitulah celetukan orang melihat kakek tua, lumpuh, bisu dan kayaknya juga tuli itu.
Namun mereka sungguh terkejut ketika si kakek tua itu tiba-tiba sakit. Terkejutnya bukan
karena sakitnya. Sakitnya sih biasa saja, hanya sedikit terlambat ditangani. Maka perlu
dibawa ke RS untuk mondok beberapa hari. Yang membuat terkejut adalah ketika orang-
orang telah bersiap urunan untuk membayar biaya RS. Mereka terkejut ketika si kakek itu ke
RS dengan tetap memegang tas bututnya, seolah tak mau berpisah dengannya. Orang-orang
menjadi penasaran dan kemudian berhasil memisahkan kakek dari tasnya. Mereka terbelalak
ketika melihat isinya: uang kertas seratus ribuan yang diikat dengan karet yang setelah
dihitung berjumlah 150 juta. Alamak! Si kakek ini sudah punya segitu banyak kok masih
menggelandang di jalan hidup dengan cara orang fakir.
Ibaratnya asu belang kalung wang.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 27

Paribasan (61): Abang-abang lambe


Arti harfiahnya memerah-merahkan bibir, maknanya adalah perkataannya hanya untuk basa-
basi saja.
Suatu hari Ndoro Tejo berkunjung ke rumah Mbah Kusen, seorang perajin mebel
langganannya. Dengan ditemani oleh sopirnya yang bernama Wanto, Ndoro Tejo menempuh
jarak hampir 50 km, menerabas hutan kecil di Gunung Kidul.
“Wah njanur gunung, kadingaren Ndoro datang ke sini. Silakan masuk Ndara!” Pak Kusen
menyilakan sambil mengulurkan tangan dengan menjempol, tanda penghargaan yang sangat.
Namun mendadak pandangan Pak Kusen tertuju pada mobil antik keluaran tahun 76 yang
baru saja dibeli dari Semarang minggu lalu.
“Wah mobil bagus sekali ini. Pasti limited edition. Dan sudah dimodif pula dengan onderdil
yang dipermak halus. Wah berapa Ndara mau jual? 500 juta bolehlah ditinggal di sini.”
Sopir Wanta terkejut, “Gila orang tua ini punya uang 500 juta kah?” Batin si sopir lugu itu.
Sepulang dari rumah Pak Kusen sopir Wanta masih penasaran.
“Ndara apakah Pak Kusen itu mengerti mobil antik? Dan betulkah dia mau membeli seharga
500 juta? Apa dia punya duit sebanyak itu?”
“Ah, kau! Jadi orang kok lugu begitu. Itu tadi hanya abang-abang lambe. Berkata-kata yang
menyenangkan hatiku. Begitulah adat istiadat orang desa, selalu membuat senang hati
tamunya!”
Sopir Wanto manthuk-manthuk. Kok bodoh sekali sih aku, batinnya.

Paribasan (62): Adol lenga kari busik


Arti harfiahnya adalah menjual minyak tinggal keraknya. Maknanya adalah tukang membagi
sesuatu tapi tidak kebagian, hanya dapat keraknya saja.
Sebagai ketua PKK dukuh Lari, sudah menjadi kewajiban bagi Bu Susan untuk membagi
kiriman sembako bagi ibu-ibu PKK. Tahun lalu dia tidak kebagian karena ternyata paket
yang dikirim pas-pasan. Bahkan ada juga pengurus lain yang juga tak dapat jatah.
Tahun ini dia minta tambahan lagi agar semua mendapat bagian, termasuk dirinya.
Bos besar Khairul Shalih menyanggupi dan sekarang paket dikirim dengan tambahan 10
paket ekstra. Tentu saja Bu Susan senang karena juga akan dapat bagian.
Ketika tiba hari pembagian sembako para warga sudah berkumpul di balai desa.
Sembako kemudian dibagi sesuai jumlah yang tertera dalam daftar. Ketika hampir selesai
mendadak ada seorang ibu muda yang masuk ke balai. Rupanya dia juga antri sembako. Wah
gak bisa itu, dia belum terdaftar. Tapi ibu itu ngotot, “Kan saya juga warga sini? Kok gak
dapat gimana?”
“Lha kamu siapa kok ngaku warga sini?”
“Saya istrinya mas Bejo, anak pak RT. Baru sebulan ini pindah ikut suami yang balik
kampung!”
Lho, akhirnya Bu Susan yang ngalah. Tahun ini tak kebagian sembako lagi. Memang
beginilah nasib ketua, selalu adol lenga kari busik!

Paribasan (63): Ancik-ancik pucuking eri


Arti harfiahnya adalah berpijak pada ujung duri. Maknanya adalah orang yang keadaannya
sangat mengkawatirkan karena di ujung marabahaya.
Malaysia bergolak. Rakyat sudah muak dengan Perdana menteri Najib Razak yang katanya
banyak korupsi. Hanya katanya sih, wong selama pemerintahannya dia tak terbukti korupsi.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 28

Namun kini keadaan berbalik Tun Mahatir Muhammad kembali mengambil alih kendali
pemerintahan setelah menang pemilu di usia 92 tahun.
Sekarang apa yang dulu mustahil menjadi terbuka peluangnya, yakni investigasi menyeluruh
terhadap Najib Razak atas berbagai kasus yang dituduhkan padanya. Posisinya sekarang
ibarat ancik-ancik pucuking eri atau ibarat telur di ujung tanduk.

Paribasan (64): Angin silem ing warih


Arti harfiahnya adalah angin menyelam di dalam air. Maknanya adalah berbuat jahat dengan
cara sembunyi-sembunyi atau menyusup.
Semua bergembira, semua bersorak, semua meneriakkan yel-yel penyambutan calon
pemimpin karismatik di negara bagian Mahajodipraya. Bunyi bedug bertalu-talu, penari-
penari meliuk-liuk ditingkah bunyi gendang berkumandang. Semua gembira menyambut sang
pemimpin agung negeri Ayodiapura.
Hari ini sang pemimpin berkunjung ke negara bagian Mahajodipraya untuk menyapa
pendukung yang telah memenangkan pilihan Perdana menteri tahun kemarin.
Seribu pesta rakyat digelar sekaligus sebagai syukuran atas terpilihnya pemimpin agung Raj
Prasada.
Ketika tiba sang pemimpin semua mengelu-elukan, semua berebut menyentuh kakinya. Dua
orang gadis berpakaian merah pun tak mau kalah berebutan menyentuh kakai sang
pemimpin. Semua gaduh dan keadaan menjadi hiruk-pikuk tak terkendali. Di tengah situasi
yang kacau terdengarlah suara keras.
“BOOOMMM!!!”
Tubuh dua gadis berpakaian merah meledak. Untung sang pemimpin selamat karena dua
gadis meledak agak jauh darinya.
Selidik punya selidik, dua gadis adalah anggota pemberontak Kerbau Giro yang menyamar,
berlaku angin silem ing warih, dengan menyamar sebagai pendukung Raj Prasada.

Paribasan (65): Angon ulat umbar tangan


Arti harfiahnya adalah memperhatikan keadaan sambil mengumbar tangan. Maknanya
mengawasi orang lain setelah terlena diambil barangnya.
“Aku tahu dia di sana. Sudah sejak tadi.
Mengawasi orang-orang.
Dia toleh kiri kanan, itu terlihat jelas.
Sebentar kemudian tangannya nampak bergerak cepat.
Itu terlihat jelas.
Semua terlihat dari sini..
Iya itu yang berbaju merah, memakai selendang dan berbaju longgar.
Cepat tangkap segera!”
Itulah perintah yang diterima satpam di pos jaga. Dua orang sekuriti perempuan segera
mengamankan perempuan dimaksud menuju pos. Di sana digeledah dan ditemukan, 2 hp, 1
jam tangan Rolex dan sejumlah perhiasan. Rupanya ada copet beroperasi di pusat
perbelanjaan ini. Sambil berpura-pura menawar barang dia angon ulat ngumbar tangan.
Untung ada CCTV di ruang kontrol.

Paribasan (66): Anak molah bapa kepradhah

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 29

Arti harfiahnya anak bertingkah bapak yang memberi. Maknanya semua perilaku anak orang
tua yang menanggung.
Pak Yadi berpikir keras, sampai ubun-ubunnya panas. Terlihat asap tipis mengepul dari
dahinya, tanda bathuke anget tenan. Bagaimana tidak, kemarin sore anaknya minta agar
dijinkan ke Jepang. Persoalannya bukan karena dia merasa tak tega melepas anaknya pergi,
lha wong juga sudah besar, biar saja cari pengalaman. Namun yang membuatnya pusing
adalah biaya berangkat ke sana.
“Dua belas juta Pak. Itu sudah termasuk pelatihan dan visa. Adapun tiketnya yang 10 juta
nanti dicicil dari gajiku kalau sudah bekerja di sana.” Itu kata anaknya kemarin.
Sekarang angka 12 menjadi momok karena ada enam nol dibelakangnya.
“Lha mbok iya dikasih to kang. Kalau anaknya mau bekerja keras dan bertekad kuat, Insya
Allah akan tercapai keinginannya.” Itu kata Lik Suta, adik Pak Yadi.
“Iya dik, tapi uangnya itu dari mana?”
“Wah saya juga tidak tahu kang. Bagiku itu juga angka yang besar.” Jawab Suta mengkerut,
takut diutangi kali.
Akhirnya Pak Yadi nekad menjual sawah satu-satunya selama lima tahun. dia rela tidak
panen lima tahun ini demi anaknya bisa ke Jepang. Begitulah orang tua, anak polah bapa
kepradhah. Anak berkeinginan oran tua yang harus mewujudkan.

Paribasan (67): Asor kilang munggwing gelas


Arti harfiahnya bagian gelas paling bawah selalu manis. Maknanya dalam kehidupan
bersikaplah selalu dengan sikap yang menyenangkan orang.
“Mangga Mas, mangga. Silakan dimakan, apa adanya ya.” Kata Pak Darmo ramah. Di hari
pernikahan anaknya ini banyak tamu yang datang. Semua harus dihormati dan dijamu
dengan senang hati.
“Silakan Bapak-bapak. Silakan dicicipi!” Katanya lagi pada serombongan tamu.
“Lho kok sudah mau pulang. Mbok singgah dulu di angkringan bakso itu.” Katanya lagi
pada serombongan tamu yang tergesa-gesa pulang.
“Mangga lho nak, tanduk lagi.” Wah tahu aja Pak Darmo ini kalau asupan anak muda itu
dua piring.
Hari itu Pak Darmo benar-benar gembira. Kontras dengan Mbok Darmo yang pecuca-
pecucu sejak pagi.
“Kamu ini menggelar pesta dengan duit utangan aja kok senang sekali to Pak.” Kata Mbok
Darmo sambil membetulkan letak susurnya.
“Aduh mbokne, kamu ini bagaimana. Semestinya walau hati kita senang apa bukan kita tetap
harus bersikap manis. Kita ini kedatangan tamu yang akan memberi selamat lho mbokne.
Jadi harus bisa bersikap asor kilang munggwing gelas, menyenangkan semua oran yang
datang, mbokne.”
Mbok Darmo hanya bisa ngowoh, sampai susurnya jatuh.

Paribasan (68): Ati bengkong oleh oncong


Arti harfiahnya adalah hati bengkok mendapat jalan terang. Maknanya perbuatan jahat
mendapat dukungan secara tak sengaja.
Sudah lama Gemuk ingin masuk kantor guru itu. Sudah sejak minggu kemarin dia ingin
datang lagi. Bukan karena hendak piket bulanan seperti biasanya. Bukan pula hendak
memasang gambar presiden seperi minggu kemarin. Ada sebab lain yang menggerakkan
hatinya ke sana.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 30

Minggu lalu ketika dia memasang gambar presiden dan wakil presiden, dia melewati lemari
yang belum sempat dikunci oleh kepala sekolah. Isinya tumpukan kantong kertas warna
coklat. Ada berpuluh tumpuk di sana. Di bagian depan tertulis Lembar Soal Ujian Akhir
Semester. Inilah yang membuat pikirannya tertuju pada kantor kepala sekolah. Dia ingin
mengambil satu lembar saja soal itu kalau bisa. Atau kalaupun tak bisa dia ingin memfoto
lembar-lembar itu. Yah Cuma memfoto saja.
Sudah dua kali dia tidak naik kelas. Dan kalau sampai tidak naik lagi alamat bakal DO. Dia
tak ingin itu terjadi. Malu lah kepada orang di kampung halaman.
Di tengah lamunan, tiba-tiba pak Kepsek memanggil, “Muk besok kamu piket di kantor. Ini
kuncinya. Petugas kebersihan tidak masuk karena sakit. Kamu yang menggantikan! Siap?”
“Siap!” Jawab Gemuk mantap. Ini kan ibarat ati bengkong oleh oncong. Batin Gemuk
sambil menimang-nimang kunci ruang Kepsek. Bajigur tenan kowe Muk!

Paribasan (69): Buyung lokak isine kocak-kocak


Arti harfiahnya adalah tempayan yang tidak penuh akan kocak-kocak. Maknanya adalah
orang yang ilmunya belum sempurna akan banyak bicara.
Surip baru satu bulan ikut pondok pesantren. Di sana diajari tentang tatacara shalat yang
benar. Pelajaran satu bulan ini tentang gerakan shalat menurut tatacara yang benar.
Sewaktu libur Surip pulang kampung. Karena mendengar kalau di Masjid Agung al Aqsa
akan kedatangan ulama dari Timur Tengah surip mengajak untuk ikut serta menghadiri
pengajian.
Betul juga, disana telah penuh dengan orang-orang yang akan menimba ilmu dari ulama
tersebut. Hanya yang menjadi tanda tanya besar, mengapa ulama yang ilmunya seberapa kok
di sini sangat dihargai, apa di sini kekurangan orang pintar, kata Surip.
“Dari mana kau menyimpulkan kalau ulama itu ilmunya belum seberapa Rip?” Tanya Pak
Modin yang duduk di dekat Surip.
“Lha tadi waktu shalat isya’ tangannya tidak sedekap di dada, malah menjulur jatuh ke
bawah begitu saja. Itu jelas salah.”
“Oh itu to. Gini Rip! Kamu harus tahu kalau tangan sedekapitu adalah menurut mazhab
Syafi’i, sedangkan menurut mazhab yang lain tidak sedekap.”
“Mosok Pak Modin, seumur-umur saya kok belum pernah mendengar soal itu. Setahu saya
shalat itu ya sedekap Pak! Kalau tidak sedekap ya salah Pak!”
Pak Modin mengelus dada. Beginilah kalau ilmu belum sempurna. Baru mondok satu bulan
sudah menyalahkan ulama dari Timur Tengah. Benarlah kata pepatah, buyung lukak isine
kocak-kocak alias tong kosong nyaring bunyinya.

Paribasan (70): Barung sinang


Arti harfiahnya adalah bersamaan menyala. Maknanya adalah menyela-nyela orang bercakap-
cakap.
Waktu menjelang tengah hari, utusan dari negara amarta masih bercakap-cakap dengan
Prabu Bathara Kresna. Mereka sedang membicarakan perihal persyaratan yang harus
dipenuhi oleh Arjuna jika ingin meminang Sembadra. Yakni, harus ada kereta emas, kembang
mayang dari kayu dewandaru asal suralaya, kerbau danu sebagai srasrahan, gamelan
lokananta sebagai pengiring dan bidadari untuk mengiringi pengantin.
Di saat sedang serius berbincang mereka dikejutkan kedatangan Burisrawa yang mbarung
sinang, menyela-nyela pembicaraan.
“Oh..oh..Mbok Bodro..Mbok Bodro. Aku juga ingin menikah denganmu mbok...aku juga ingin
mencari syarat-syarat itu mbokkk...”

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 31

Prabu Kresna segera memberi isyarat kepada Setyaki untuk membereskan kekacauan ini.
Setyaki mengajak Burisrawa ke alun-alun depan.
“Mau apa ke alun-alun?” Tanya Burisrawa.
“Kita main karambol di sana!” Jawab Setyaki sambil menjambak rambut gimbal Burisrawa.
Kejadian selanjutnya bisa ditebak. Mereka memang sparing partner yang kompak.

Paribasan (71): Beras wutah arang mulih marang takere


Arti harfiahnya adalah beras tumpah jarang yang kembali ke tempatnya semula. Maknanya
adalah sembarang yang sudah berubah dari asalnya sulit untuk kembali seperti semula.
Pole adalah pelawak papan atas yang sangat terkenal. Bersama istrinya Poni, dia merintis
menjadi komedian sejak pengantin baru. Keduanya sering main bersama sebagai pasangan
babu miskin. Logatnya yang kocak dan ekspresif membuat keduanya menjadi tenar. Sekarang
Pole dan Poni sudah tidak lagi memainkan peran pasangan babu. Mereka sudah lupa cara
menjadi orang miskin.
Pole lalu mengambil peran sebagai juragan kaya, sedang istrinya sekarang sering menjadi
Nyonya Direktur. Celakanya Pole sering main bareng dalam satu adegan dengan Inem,
pelayan seksi yang bersuara manja. Entah siapa yang memulai keduanya menjadi saling
suka. Mengetahui hal itu Poni tak terima, kemudian dia minta cerai dan keluar dari group
lawak.
Rumah tangga Pole dan Inem tidak langgeng karena Inem kepergok juga menyukai Paimo,
yang sering memerankan drakula. Pole dan Inem akhirnya bercerai juga.
Pole kini sendiri lagi dan merasa kesepian. Tiba-tiba kenangan bersama Poni hadir di
pelupuk mata. Bagaimana mereka berdua dulu bersusah payah merintis jalan menuju sukses.
Pole menyesal dan ingin kembali. Namun apa jawaban Poni?
“Tidak bisa mas. Hatiku terlanjur luka. Sudahlah kita lebih baik berteman saja. Toh kita
takkan mampu mengulang semua keindahan yang telah lalu. Ibarat beras wutah arang mulih
marang takere, begitu pula cinta kita yang terlanjur tumpah, takkan mampu kembali ke hati
kita masing-masing.”
Puitis ya jawaban Poni. Sayang Pole malah mewek mendengarnya..

Paribasan (72): Mburu kidang lumayu


Arti harfiahnya adalah mengejar kijang yang lari. Maknanya adalah mengejar sesuatu yang
belum pasti.
Pak Kancil sudah lama ingin punya rumah. Kebetulan ada tanah yang mau dijual, murah,
strategis dan sudah ada bangunan kecil di atasnya. Ya kalau nrimo bangunan itu sudah bisa
dipakai sebagai tempat tinggal sederhana.
Persoalannya, pemilik tanah ingin segera mendapat uang penjualan tanah itu. Jadi harus
cepat-cepat. Pak Kancil sudah merasa cocok dengan tanah itu. Namun uangnya belum cukup.
Khawatir tanah terlepas darinya dia memberi DP, 25 juta.
“Lha yang 75 juta sisanya kapan? Saya butuh cepat lho.” Kata si penjual.
“Saya belum bisa bilang kapan, tapi jelas jadilah itu tanah kubeli.”
“Jangan begitu, uang itu segera kupakai untuk bayar anak kuliah. Bulan depan!”
“Ya sudah bulan depan!” Kata Kancil.
Pemilik tanah tampak tak yakin, dia kemudian membuat syarat, “Kalau bulan depan kamu
gagal uangmu hilang dan tanah kujual pada yang lain.”
“Setuju!”
Sekarang Kancil yang pusing sendiri. seminggu lagi uang harus ada. sementara uang yang
diharapkan dari komisi menjualkan sawah depan rumah tak kunjung cair. Sudah seminggu

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 32

ini dia mondar-mandir mencari pembeli sawah depan rumah yang menjanjikan komisi 75
juta. Namun hasilnya nihil.
“Orangnya ke Belanda mas!” Kata satpam rumahnya.
“Lha kapan pulangnya?” Tanya Kancil.
“Mungking nanti kalau lebaran kuda.” Kata satpam.
Aduh, kasihan Pak Kancil, seminggu uangnya hilang kalau lebaran kuda tak jadi ada.
Kemana lagi dia harus mengejar orang itu, serba gelap seperti memburu kidang mlayu.

Paribasan (73): Ciri wanci lelai ginawa mati


Arti harfiahnya adalah ciri atau kelemahan akan dibawa mati. Maknanya adalah kelemahan
pada seseorang kadang tak bisa hilang dan terbawa sampai mati.
“Katanya sudah hijrah ke jalan yang benar, kok masih memaki?” Itu kataku padanya
sebulan lalu, ketika aku bertemu dengan Senton, saat takziyah meninggalnya ayah Joko.
Dia hanya tertawa, “Sudah watak mas. Kadang meluncur sendiri makian itu.” katanya malu.
Memang dia dikenal bermulut ember dan bocor lagi. Sedikit-sedikit, akan keluar nama-nama
binatang dari mulutnya. Yang paling populer adalah “asu”, atau kalau sedang sedikit waras
ya “anjing”. (podo ae rek..).
Oleh kyai yang mengajarinya ngaji, yang membuatnya mampu hijrah dari dunia kegelapan,
dia diajari dengan membiasakan kalimat thoyibah.
“Wah bagus itu!” kataku.
“Ya mas. Tapi yang sulit, mulut itu bisa bicara sendiri mas. Tanpa berpikir.” Katanya
ngelak.
Di tengah pembicarakan kami, seoran teman kami datang dari arah belakang Senton dan
menepok pundaknya.
“Astaghfirullah. Asu tenan kowe, gawe kaget!” kata Senton spontan.
Aku tak dapat menahan tawa. Tampaknya watak Senton yang ini takkan sembuh kalau
orangnya tidak mati. Benar kata pepatah Jawa, ciri wanci lelai ginawa mati.
Asem!

Paribasan (74): Dahwen ati open


Arti harfiahnya adalah mencela tapi ingin merawat. Maknanya adalah banyak mencela tapi
ingin memiliki barang yang dicelanya itu.
Pak Khusen pusing tujuh keliling menghadapi pembeli yang satu ini. Sudah sejak pukul 7 dan
sekarang sudah pukul 9, pembeli ini masih sibuk meneliti barang-barang dagangannya. Meja
kursi dan lemari diteliti satu persatu. Begitu dia menemukan cacat kecil dia pindah ke barang
lain. Kalau barang yang lain ada cacatnya, dia pindah lagi ke barang lainnya lagi, dan
seterusnya.
Tadi pagi dia datang untuk mencari meja makan. Hanya tersisa satu buah di showroom.
“Wah gak mau, ini ada retak dikit nih di pojok.” Katanya.
“Di bagian kaki juga ada sedikit lubang.” Katanya sambil terus meneliti.
“Lha ini di top daun, ada plituran yang kasar.”
“Terus ini di bagian bawah kayaknya kayunya agak gapuk. Bisa dimakan jamur ini.”
Kemudian dia pergi meneliti barang-barang lain.
Di saat yang sama seorang pembeli datang mencari meja makan juga. Tadinya sudah hampir
membeli meja makan yang tadi, eh kok ya pembeli yang datang pertama ikut campur.
“Awas, ada retak dikit nih di pojok.” Katanya.
“Di bagian kaki juga ada sedikit lubang.” Katanya sambil nujukin.
“Dan ini di top daun, ada plituran yang kasar.”

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 33

“Terus ini di bagian bawah kayaknya kayunya agak gapuk. Bisa dimakan jamur itu.”
Akhirnya pembeli kedua gak jadi beli. Pak Khusen kesal bukan main.
Hampir saja dia mengusir pembeli pertama. Namun kemudian dia memutuskan untuk
mengambil meja yang tadi, dengan syarat: diberi potongan harga yang besar.
“Toh mebel itu banyak cacatnya kan?”
Entah mengapa Pak Khusen mau-mau saja. Mungkin agar pembeli gila itu segera pergi.
Pembeli yang dahwen ati open itu.

Paribasan (75): Dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk


Arti harfiahnya dipeluk seperti kain, disuapi seperti burung. Maknanya adalah sangat dikasihi
sehingga semua kebutuhannya dipenuhi.
Mbok Dariyah hanya punya satu anak, itupun sudah besar. Maka dia girang bukan main
ketika adiknya hendak menitipkan anaknya untuk tinggal bersama Mbok Dariyah.
“Wah itung-itung jadi anak perempuanku yang bungsu.” Begitu pikirnya.
Maka Mbok Dariyah begitu sayang dengan keponakannya. Disekolahkan di TK favorit yang
pulangnya jam 3 sore. Diberi pakaian yang bagus-bagus. Pokoknya diistimewakan layaknya
seorang yang lama tak punya anak. Maklum memang Mbok Dariyah sudah lama tidak
merawat anak, anaknya sendiri sudah bekerja dan jarang pulang.
Maka ketika ada anak kecil sayangnya bukan main. Ibaratnya kemanapun selalu dikempit
kaya wade, dijuju kaya manuk.

Paribasan (76): Dolanan ula mandi


Arti harfiahnya bermain dengan ular berbisa. Maknanya adalah sengaja melakukan pekerjaan
yang beresiko.
Gun adalah pemuda desa yang kuat dan kekar. Namun Gun punya sifat yang amat dibenci
oleh bapaknya, dia tidak mau ke sawah mencangkul. Tentu saja Pak Dunadi, bapaknya, amat
jengkel. Siapa yang akan diharapkan untuk menggarap tujuh hektar sawahnya itu kalau
bukan Gun.
Kejengkelan Pak Gunadi makin menjadi ketika Gun malah ikut menjadi driver permainan
bola maut. Ajang pertunjukkan mengadu nyawa itu dilakoni sudah setahun lalu.
Satu ketika Pak Gunadi dilapori bahwa Gun terjatuh dan patah tulang lengan.
Pak Gunadi menanggapi dingin, “Ya sudah dibawa ke rumah sakit sana. Aku sih gak kaget
kalau satu saat dia celaka. Wong tiap hari dolanan ula mandi, wajar kalau digigit!”

Paribasan (77): Dudu berase ditempurake


Arti harfiahnya adalah bukan berasnya kok dijual. Maknanya menyumbang saran tapi malah
bertentangan.
Mbah Dul sudah merasa tua dan lemah. Dia bermaksud mengumpulkan anak-anaknya untuk
berunding dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Pokok masalahnya adalah
tentang bebek-bebek piaraan Mbah Dul yang jumlahnya 1000 ekor itu. Kini Mbah Dul tidak
kuat lagi untuk mengelolanya.
Yang menjadi keinginannya adalah anak-anaknya yang berjumlah empat orang laki-laki
gagah itu mau menggantikan dirinya untuk mengurus bebek-bebek itu. Menggembalakan bila
musim panen tiba. Agar bebek itu tetap kecukupan nutrinya. Toh selama ini telur-telur bebek
itu juga sampai ke dapur masing-masing anak.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 34

Ketika telah berkumpul semua, putra tertua Makdum mempunyai usulan yang katanya
cemerlang.
“Bapak kan sudah tidak mampu mengembalakan bebek-bebek itu. Jadi sebaiknya dijual saja
semuanya. Beres kan?”
Tentu saja Mbah Dul marah besar. Bukan itu solusi yang diinginkan. Katanya,”Kalian ini
saya undang ke sini untuk menggantikanku mengembala. Silakan atur sendiri giliran kalian.
Bukan malah menyuruh menjual bebek-bebek. Kalian ini bagaimana, dudu berase kok
ditempurke. Kurang ajar kalian!”

Paribasan (78): Durung cundhuk acandhak


Arti harefiahnya adalah belum cocok sudah ditangkap. Maknanya adalah belum tahu
perkaranya sudah ikut-ikutan bicara.
Sepasang suami istri sedang bercakap-cakap di beranda rumah. Mereka sedang
membicarakan adik perempuan si suami yang telah mempunyai anak 5 orang. Tiba-tiba
istrinya berbisik, “Pah, kayaknya Papah mau punya keponakan lagi nih, Pah.”
“Ah, siapa yang hamil lagi ma?”
“Tuh adik Papah, yang tahun kemarin baru lahiran.”
“Hah? Masa sih Mah, kan masih punya bayi? Kok Mama tahu?” si suami terheran.
“Iya, Pah. Kebobolan Pah. Jadi enam dong Pah.” Jawab si istri sambil mengisyaratkan
jumlah jari 6. Udin anak sulung mereka yang melihat kedua orang tuanya asyik
bercengkerama menguping dengar dan sempat mendengar beberapa kalimat. Tiba-tiba Udin
menyahut. “Betul Pah. Suarez mencetak hattrick. Skor Barcelona-Bilbao 6:0, Pah!”
Sang Ayah menjenggung kepala Udin, “Apa kamu anak kecil nimbrung-nimbrung? Salah
lagi! Durung cundhuk acandhak kamu!”
Udin menggelyor sambil cengengesan.

Paribasan (79): Gemblung jinurung edan kawarisan


Arfi harfiahnya adalah orang gila didorong malah mendapat untung. Maknanya adalah orang
yang berbuat nekad tapi malah menemui keberuntungan.
Sukro adalah pemuda nganggur yang suka tampil necis. Maklum hanya itulah yang dapat
diandalkan untuk bergaya, menarik perhatian gadis-gadis di desanya. Dengan ekonomi yang
pas-pasan dan otak ber-IQ jongkok, Sukra harus berusaha keras untuk tampil habis-habisan.
Dia sudah lulus dari sekolah dasar, itupun setelah 6 kali tinggal kelas. Setiap kelas dia jalani
dua tahun-dua tahun, sehingga ketika teman-temannya sudah pada lulus SMA.
Merasa serba kurang, Sukra bermaksud mendongkrak performanya. Dia minta shohib
kentalnya sejak kelas 1 SD yang sekarang baru masuk kuliah, Marjono, untuk membantu.
“Pinjami aku motor dong Jon. Buat nglencer dengan si Midah?”
“Aduh Sukro, besok kan saya kuliah. Gak bisa dong!” Jawab Marjono.
Sukro memaksa, dan akhirnya Marjono tidak enak hati terpaksa menyerahkan motornya pada
Sukro yang belum mahir mengendarai itu. Tidak punya SIM lagi.
Sore harinya, entah Sukro jadi membonceng Midah atau tidak, sepulang kuliah dengan naik
bus Marjono mendapat kabar yang membuat dunianya gelap gulita. Sukro menabrak buk
jembatan dan motornya ringsek. Aduh, bagaimana ini. Itu motor kreditan pemberian ayahnya
untuk kuliah. Urusan bisa panjang nanti.
Memang benar urusannya sangat merepotkan. Sukro tak punya uang untuk memperbaiki
motor Marjono. Di lain pihak Marjono juga tak mau motornya sudah dhedhel duwel gak
karuan, dia minta ganti motor baru kepada Sukro, entah bagaimana caranya.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 35

Akhirnya kakak Sukro yang sebenarnya juga gak punya duit bersedia membayar biaya
perbaikan, namun kalau untuk ganti motor tidak bisa karena itu motor kreditan. Ayah
Marjono kemudian menyerahkan motor itu dan meminta pengembalian DP dan cicilan yang
sudah terbayar. Adapun dia akan kredit lagi. Kakak Sukro terpaksa menerima karena sudah
tak enak hati untuk menolak. Dia dengan berat hati terpaksa menanggung beban kredit motor
akibat ulah adiknya yang gila itu.
Tiga bulan kemudian terjadi sesuatu yang sungguh mengejutkan. Sukro mendapat hadiah
pelunasan dari kreditur motor di hari ulang tahun perusahaan pembiayaan itu. Motor itu
dianggap lunas. Kini Sukro bisa membonceng Midah dengan lelusa tanpa takut dengan biasa
cicilan bulan depan. Hanya saja kakak Sukro tetap mengingatkan agar Sukro bekerja dulu
kalau sudah senang pacar-pacaran. Biar ada penghasilan.
“Dan jangan membuat repot saya lgi nanti ya?” kata kakak Sukro.
“Ah saya tak membuat repot, buktinya kini kita punya motor baru, yakan?” Jawab Sukro.
Sang kakak meninju kepalanya, “Dasar tak tahu di untung. Tapi kok iya kamu malah
beruntung ya. Hem..benar-benar gemblung jinurung edan kawarisan.”
Itulah Sukro yang edan kuwarisan, tapi jangan ditiru ya sobat, kerja dong kalau mau
bonceng cewek. Lebih bagus lagi kalau dihalalin dulu gih...

Paribasan (80): Nggepuk kemiri kopong


Arti harfiahnya memukul kemiri kosong. Maknanya adalah melakukan pekerjaan berat yang
tidak ada hasilnya.
Entah siapa yang mulai menghembuskan isu, yang jelas kabar bahwa di dalam sumur itu
terdapat perhiasan peninggalan zaman kuno, sudah menyebar luas. Orang kemudian ribut
mengklaim itu sumur siapa dan siapa yang berhak untuk mengambil perhiasan kuno itu.
Pak Lurah kemudian mengambil alih sumur tua dekat balai desa itu dan menempatkan hansip
untuk berjaga-jaga. Rapat LKMD memutuskan bahwa perhiasan kuno dalam sumur itu akan
diambil oleh perwakilandari seluruh RW. Masing-masing diminta mengirim dua oran untuk
team penggalian.
Pada hari yang telah ditentukan team yang terdiri dari delapan belas pemuda gotot mulai
melakukan penggalian. Seorang turun ke dalam sumur dan menggali, dua orang menarik
tanah galian. Sementara yang lain bergiliran setiap dua jam.
Pada sore harinya mereka menemukan sebuah guci dari tembikar yang disegel. Orang-orang
bersorak kegirangan.
“Ini pasti harta karun dari dinasti Syailendra!” Kata seseorang.
“Bukan, jelas ini peninggalan Wangsa Sanjaya!” Sanggah yang lain.
“Sok tahu kalian. Kalau dilihat fisiknya yang dari tembikar, ada kemungkinan ini lebih muda
lagi. Mungkin zaman sultan Agung.”
Macam-macamlah komentar orang. Mereka hanya menebak-nebak saja, tetapi argumen dan
dalilnya seolah arkeolog saja.
Pak Lurah memeriksa guci tembikar yang baru saja dinaikkan. Dengan hati-hati Pak Lurah
memindahkan tembikar itu ke atas meja.
“Saudara-saudara semua, kita berhasil menemukan harta karun peninggalan zaman kuno.
Kita berharap harta ini adalah warisan nenek moyang yang diperuntukkan bagi kemakmuran
desa kita. Namun saudara, guci ini milik negara dan harus kita serahkan. Lhah kita berharap
saja negara mau mengganti jerih payah kita ini dengan memberi ganti yang pantas. Setuju
saudara?”
“Setujuuuu...” Serentak mereka menjawab.
Petugas dari dinas purbakala kemudian membuka guci itu dengan hati-hati. orang-orang
berdebar-debar menantikan sambil saling ribut.
“Pasti emas!” kata seseorang.
“Bukan, pasti batu permata simbol negara!”

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 36

“Jelas bukan cuk! Paling isinya kelereng!” timpal yang lain. Gerr, semua tertawa.
Akhirnya guci berhasil dibukan setelah segel kayu berhasil dicopot. Pak Purbakala melongok
isi guci dan tertawa.
“Saudara, guci ini isinya beras dari zaman kuno. Tampak masih bagus bulir-bulirnya. Luar
biasa! Ini penemuan arkeolgi yang langka. Jangan khawatir saudara, negara akan mengganti
penemuan ini dengan harga seratus kali lipat. Yang berarti satu kuintal gabah kering giling.
Besok bisa diambil di gudang Bulog terdekat!”
Orang-orang tak dapat menahan tawa. Sementara delapan belas pemuda gotot tiba-tiba
menjadi lunglai. Usaha kerasnya sejak pagi seolah hanya nggepuk kemiri kopong.

Paribasan (81): Nampel puluk


Arti harfiahnya menepis puluk, yakni kepalan tangan yang mau memasukkan nasi ke mulut.
Maknanya adalah menggagalkan rejeki orang yang sudah di depan mata.
Pak Khusen mengirim bufet raksasa yang dipesan oleh seorang pelanggannya, Pak Rudi.
Buffet itu istimewa, besar dan berat. Dibutuhkan delapan orang untuk mengangkat ke lokasi
penempatan. Itu pun juga harus dicari dahulu personil yang mengangkatnya.
Akhirnya genap juga pekerja yang akan mengangkat. Mereka adalah abang becak di depan
apotik Sriwijaya. Setelah siap mobil pikap yang membawa segera mundur agar tepat di pintu
gerbang.
Belum lagi mobil pikap berhasil masuk, sebuah mobil sedan tampak berhenti minta
didahulukan. Tapi agaknya posisinya susah kalau pikap harus balik lagi. Sementara bagian
atas mebel terjebak pada talang gantung. Jadi lebih baik menurunkan dahulu supaya pikap
bisa segera pergi. Para penumpang mobil sedan mengalah. Mereka bahkan kemudian ikut
melihat proses penurunan mebel itu.
“Wah ini mebel besar sekali Pak Rudi?” kata mereka.
“Iya pak. Sesuai ukuran kamar tamu. Jadi harus pesan ini Pak. Tak ada di toko.” Jawab
Rudi.
“Oh pesan ini ya? Mengapa tidak minta warna yang bagus pak kalau pesan. Sayang ini Pak.
Coba kalau warnanya agak sedikit gelap. Cocok Pak untuk mebel ruang tamu itu.”
Pak Rudi memperhatikan dengan seksama dan mengangguk-angguk.
“Kok iya to. Wah ini gak cocok kalau di kamar tamu.”
“Betul kan Pak kata saya?” kata penupang mobil sedan itu, yang ternyata pegawai Bank
Plecit Rakyat.
Akhirnya Pak Rudi menyuruh membawa mebel itu kembali untuk dicat ulang. Pak Khusen
geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Gagal bayaran dah! Sambil ngeloyor dia
mendenkati pegawai bank dan berkata, “Sampeyan itu tega nampel puluk. Saya hampir
bayaran lho, jadi gagal. Sialan sampeyan!”

Paribasan (82): Opor bebek mateng awak dhewek


Arti harfiahnya adalah opor bebek matang dengan sendirinya. Maknaya adalah berusaha
dengan kekuatan sendiri agar dapat mandiri.
Juan Jin sebenarnya anak orang kaya. Dan dia beruntung tinggal di desa, tempat dimana
orang kaya dihargai lebih dari sesamanya. Namun hal itu pula yang membuatnya merasa
jengkel. Dalam tradisi keluarga Juan Jin orang harus berlatih mandiri sejak kecil, dan tidak
boleh hanya ongkang-ongkang kaki saja. Katanya itu tradisi keluarga Juan Jin yang harus
dilestarikan. Karena tradisi itu pula keluarga Juan Jin dapat bertahan dari berbagai krisis
sejak mereka masih tinggal di negeri Tiongkok, tiga ratus tahun yang lalu.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 37

Namun malang bagi Juan Jin, orang desa seolah tak peduli dengan tradisi itu. Maka ketika
Juan Jin berusaha mandiri sejak kecil dengan berdagang pisang goreng, orang desa malah
mentertawakan.
“Juan, kamu gak perlu jualan pisan goreng! Tinggal minta duit sama baba kamu, beres
kan!” Kata seseorang.
“Ah Juan, baba kamu itu payah. Tak kasihan sama anak! Payah!”
Oleh karena orang desa menganggap jualan Juan Jin hanya guyonan saja maka mereka juga
tak serius. Kadang mereka membeli pisang tapi ngasih harga kelewatan.
“Ah, dikorting lah Juan.”
“Seribu tiga ya? Nih uangnya.”
“Gak habis ya? Bawa ke gardu saja, tuh banyak orang ronda. Lumayan dapat pisang
gratis!”
Ada-ada saja mereka itu. Namun memang ayah Juan Jin, Baba Juan tak ambil pusing.
“Sudahlah, kau jualan saja. Rugi pun tak apa. Yang penting kau tahu caranya jualan.”
Apa yang dilakukan Juan Jin dan saudara-saudaranya memang membuahkan hasil. Ketika
dewasa mereka semua menjadi pengusaha sukses. Semua dapat hidup mandiri tanpa
bergantung pada orang tuanya. Di masa tuanya Baba Juan malah mewakafkan sebagian
hartanya untuk kepentingan umum. Semua anaknya sudah bisa menjalankan prinsip hidup
opor bebek mateng awak dhewek, berdikari sampai mandiri dengan usaha sendiri.
Salut Baba Juan.

Paribasan (83): Suku jaja teken janggut


Arti harfiahnya adalah berkaki dada bertongkat dagu. Maknanya adalah melakukan sesuatu
dengan susah payah namun tetap semangat.
Kyai Kasan Besari adalah ulama kondang yang sangat dihormati oleh orang-orang desa.
Selain ulama yang mumpuni Kyai Kasan adalah seorang petani ulet. Dia sering ditemukan
pada jam-jam tertentu masih mencangkul sendiri di sawah. Orang-orang kadang heran, Kyai
Kasan kan punya murid banyak, kok tidak menyuruh muridnya saja. Namun Kyai Kasan
punya alasan sendiri.
“Masa iya untuk makan diri sendiri saya harus menyuruh orang lain untuk menanamnya?
Kelak bagaimana aku mempertanggung jawabkan di hadapan Allah jika urusan pribadiku
saja ditangani orang lain.”
Oleh sebab itu pula murid-murid Kyai Kasan sering kali menunggu sang Kyai selesai macul
dahulu baru dapat menimba ilmu.
“Perjalanan menuju Allah itu sulit, jalannya terjal, upayanya keras dan satu hal lagi; tidak
boleh diwakilkan. Harus bersusah payah dalam menapakinya, ibaratnya suku jaja teken
janggut. Beda dengan jalan bersama Iblis, upayanya mudah dan modalnya murah. Kalau aku
berjalan menuju Allah tapi kok jalannya mudah, aku khawatir telah salah jalan.”
Filosofi hidup yang khas orang desa. Itulah sebabnya sampai hari ini masih tersedia sepiring
nasi di meja makan, setiap pagi, di rumah-rumah semua orang di negeri ini.

Paribasan (84): Jajah desa milang kori


Arti harfiahnya adalah memasuki setiap desa dan menghitung pintu. Maknanya adalah
bepergian ke mana-mana, setiap daerah dan tempat disinggahi.
Abah Dahlan Iskan, begitu dia dipanggil, adalah mantan menteri BUMN era Presiden SBY.
Dahulu sebelum menjabat mentri beliau adalah Dirut PLN dan jauh sebelumnya adalah
direktur koran Jawa Pos. Kini setelah pensiun dari semua jabatan beliau seharusnya bisa
menikmati hidup dengan mengandalkan laba berbagai perusahaan dan uang pensiunnya.
Namun bukan Dahlan Iskan kalau mau berpangku tangan, atau ongkang-ongkang kaki.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 38

Dahlan Iskan mengambil langkah beresiko dan menantang sebagai pengisi hari tuanya,
keliling Amerika. Berbagai tempat telah beliau singgahi, mulai Texas, Niagara, Laredo, New
York, sampai ke pedalaman Amerika seperti di Hays. Kebiasaan beliau adalah mencari
masjid untuk ikut berjamaah dengan umat Islam di sana. Praktis dia bertemu dengan para
imigran muslim yang menetap atau sedang musafir di Amerika dari berbagai budaya dan
aliran. Dengan tatacara mereka yang khas dalam ibadah.
Meski ada tugas besar dalam setiap perjalannya, Abah Dahlan menikmatinya seolah sedang
piknik. Pengalamannya njajah desa milang kori di Amerika kemudian dituangkan ke dalam
situs pribadinya, disway.id. Selamat Piknik Abah Dahlan!

Paribasan (85): Jabung alus


Jabung adalah getah pohon yang sangat lengket. Arti harfiahnya adalah menempel dengan
halus. Makna peribahasa ini adalah menipu atau membujuk dengan perkataan yang manis dan
ramah.

Duryudana sedang njabung alus, membujuk agar Prabu Salya membantunya


Ilustrasi dari kitab Mahabharata terbitan Gorakhpur Geeta Press (dimuat Wikipedia)

Prabu Salya telah menyiapkan balatentara menuju padang Kuruksetra. Dia sudah bertekad
untuk membela Pandawa. Dua keponakannya yang telah yatim-piatu itulah alasannya untuk
bergabung. Sejak kecil Nakula dan Sadewa, putera dari mendiang adiknya, Madrim, sudah
dianggapnya sebagai anak sendiri. Teramat besar kasih sang Prabu Salya kepada keduanya.
Memang ini perang yang membingungkan. Di satu pihak ada keponakan yang sangat
dikasihi. Di lain pihak ada anak dan menantu, darah dagingnya sendiri. Para ksatria Kurawa
adalah menantu-menantunya, Prabu Duryudana menikah dengan anaknya, Banuwati dan

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 39

Senapati Karna menikah dengan Surtikanti. Dua putrinya akan jadi janda jika mereka tewas
dalam perang. Namun karena panggilan kebenaran, Salya memilih untuk berpihak kepada
Pandawa.
Akan tetapi keberpihakan itu tidaklah mudah. Jelas para ahli strategi Kurawa menangkap
kegalauan yang amat besar di hati Prabu Salya. Mereka merencanakan trik yang sangat
halus. Di sepanjang rute yang akan dilalui Prabu Salya dari negeri Madra ke Kuruksetra
telah dibangun pondok-pondok untuk singgah. Setiap saat pasukan Salya mendapat
penghormatan dan jamuan yang ramah. Prabu Salya merasa dihargai dan dihormati dengan
cara yang membuat hatinya berkenan. Ketika hampir tiba di Kuruksetra Prabu Anom
Kurupati (Duryudana) sendiri yang menyambutnya. Dengan bertingkah sopan, memberi
hormat dan mangestu pada kepada sang mertua. Adipati Karna yang biasa bermulut lancap
pun kali ini selalu berkata manis.
Prambu Salya bimbang, terutama setelah tahu bahwa pondok-pondok yang disinggahi
pasukannya di sepanjang perjalanan adalah pekerjaan Duryudana. Dan Duryudana pun
tanggap.
“Rama Prabu segala keselamatan ananda saya serahkan kepada Rama Prabu sebagai
senapati Perang. Siapa lagi yang bisa saya minta perlindungan selain rama Prabu sendiri.
yang sudah saya anggap sebagai ayah sendiri.”
Prabu Salya akhirnya tebujuk ikut ke barisan Kurawa, karena tindakan halus Duryudana
yang melakukan jabung alus, terus menempel dengan ketat sepanjang jalan. Namun
kegalauan tetap merayap di hati Prabu Salya. Itu sebabnya ketika menjadi sais Karna dia
tidak sepenuh hati menjalankan tugas. Akibatnya Karna tewas di tangan Arjuna. Dan ketika
Salya akhirnya menjadi Mahasenapati, dia memilih tewas di tangan keponakan yang sangat
dia hormati karena kejujurannya, Puntadewa. Sebuah lembing jelmaan pusaka serat jamus
Kalimasada menembus dadanya.

Paribasan (86): Kebak sundukane


Arti harfiahnya adalah sudah penuh sundukannya. Maknanya adalah sudah lengkap perbuatan
buruknya.
Halayuda benar-benar terjepit. Dia sudah tidak bisa bergerak lagi. Semua teman yang dulu
seperjuangan sekarang menjadi musuh baginya. Tidak ada lagi sekutu baginya. Semua itu
akibat ulahnya sendiri.
Dahulu ketika Patih Nambi baru diangkat Halayuda sudah menghasut dengan menyebarkan
berita kalau Nambi tidak pantas menjadi patih amangkubumi. Dia kemudian menghasut agar
Ranggalawe menuntut Jabatan itu. Halayuda belum puas kalau orang-orang yang dibencinya
belum sirna. Dia menghasut pula kepada Nambi untuk menghabisi Ranggalawe. Akhirnya
Nambi mengerahkan pasukan Majapahit. Kebo Anabrang turun tangan membereskan
Ranggalawe dengan membunuhnya dalam pertempuran di sungai tambak beras. Paman
Ranggalawe, Lembu Sora tidak tahan melihat cara Kebo Anabrang membunuh Ranggalawe.
Dia kemudian membunuh Kebo Anabrang dari belakang.
Kelak Halayuda pula yang menghasut anak Kebo Anabrang agar menuntut balas. Raja
kemudian menghukum Lembu Sora atas perbuatannya membunuh Kebo Ananbrang.
Namun tampaknya Halayuda belum puas juga. Nambi pun difitnah sebagai pemberontak
sehingga dia pun tewas diserang pasukan Majapahit ketika berada di rumah orang tuanya.
Akhirnya Halayuda diangkat sebagai mahapatih menggantikan Nambi. Hal itu terjadi setelah
semua rekan seperjuangannya dalam mendirikan Majapahit disingkirkannya. Walau sudah
menjadi Mahapatih apa yang akan dilakukannya kini? Sedang dirinya sudah penuh dosa,
sudah kebak sundukane. Semua orang membencinya kini. Satu persatu musuhnya keluar
hendak membalas dendam. Sebentar lagi dia habis.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 40

Paribasan (87): Kesandhung ing rata, Kabentus ing tawang


Arti harfiahnya adalah tersandung tanah rata, terbentur oleh langit. Maknanya menemui
kecelakaan tanpa diduga atau kecelakaan yang sepele.
Bobby Leach adalah penantang maut kelas wahid. Berkali-kali atraksi berbahaya dia
lakukan. Tahun 1910 dia terjun ke pusaran sungai Whirpool dengan mengarungi jeram-
jeram berbahaya dalam sebuah tong. Itu tak cukup baginya. Tahun 1911 dia melakukan hal
yang sama di atas air terjun niagara. Dia selamat meski keadaannya parah. Dua tempurung
lututnya pecah dan rahangnya patah.
Kegemarannya masuk tong dan dihanyutkan di sungai telah mengantarkannya ke berbagai
belahan dunia, di Amerika dan Eropa. Dan dia selalu selamat, bak punya seribu nyawa.
Setelah berkali-kali selamat dari aksi yang membahayakan nyawa ini, Bobby Leach akhirnya
meninggal akibat perkara yang sepele.
Saat melakukan tur di Selandia Baru, dia terpeleset kulit jeruk. Ia kemudian
menderita gangrene yakni kematian jaringan tubuh di kaki dan harus diamputasi. Kecelakaan
yang dialaminya sungguh tak disangka akan menyebabkan kematian. Akhirnya, ia pun
mengembuskan napas terakhir akibat komplikasi. (Sumber national geographic)..
Kalau dibanding dengan marabahaya yang telah ditempuhnya, kecelakaan yang dialami
Bobby Leach ibarat kesandhung ing rata, kabentus ing tawang. Kecelakaan yang tak
terduga.

Bobby Leach dan tong yang dia pakai untuk mengarungi sungai-sungai
(Sumber: nationalgeographic.grid.id)

Paribasan (88): Karubuhan gunung menyan


Arti harfiahnya adalah tertimpa runtuhan gunung menyan. Maknanya adalah mendapat
keberuntungan yang sangat besar.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 41

Semula di melakukannya sebagai hobi. Dasarnya memang pecinta tumbuhan dan tananam.
Kalau tanaman atau bunga yang bagus pasti dia tertarik untk menanam. Pekerjaannya
sehari-hari adalah satpam, profesi yang jauh dari dunia tanaman.
Rezeki kadang datang tak terduga, itu pula yang dialami Pak Bendhot, tokoh kita ini. Sepuluh
tahun yang lalu dia membeli tujuh pohon Anthurium Jemani.
“Pohonnya bagus. Saya suka aja!” itu katanya.
Kini tujuh pohon itu telah menjadi indukan besar yang berbunga dan berbuah. Setiap pohon
idukan bisa menghasilkan ribuan anakan. Ketika musim Jemani booming beberapa tahun
lalu, Pak Bendot untung besar.
“Saya sampai tak bisa berkata-kata Mas. Bisa bunga seperti itu menghasilkan uang yang
sangat banyak. Subhanallah. Luar biasa!” Katanya haru.
Jauh sebelum Jemani booming dia memang sudah membudidayakan. Dengan modal tujuh
indukan itu dia telah mempunyai ribuan bibit Jemani siap jual. Bahkan dia sempat
kewalahan menangkarkan benihnya. Tiga dari tujuh indukannya waktu itu kemudian dijual
seharga masing-masing 100 juta.
Ketika ditanya berapa pendapatannya ketika booming Jemani itu. Pak Bendot hanya
menjawab diplomatis.
“Wah banyak mas. Saya ini ibaratnya karubuhan gunung menyan. Sampai tak bisa
menghitung saya. Karena untung saya bukan hanya uang yang melimpah tapi juga
bertambah sanak saudara dan mendapat banyak teman sesama penyuka tanaman hias. Itu
luar biasa.”
Luar biasa Pak Bendot ini. Rejeki orang memang tak bisa diduga.

Paribasan (89): Kandhang langit kemul mega


Arti harfiahnya adalah berkandang langit berselimut mega. Maknaya adalah hidup yang
sangat menderita, sampai tak punya apa-apa.
Sejak ada program rumah DP 0 rupiah, Slamet bernapas lega. Harapannya kembali bangkit
untuk mempunyai rumah sendiri. Sebagai manusia gerobak yang tidur di jalanan Slamet jelas
butuh tempat berteduh. Sesederhana apapun itu, entah tipe 21 atau tipe15 atau bahkan tipe 9,
dia pasrah. Itu dirasa lebih layak ketimbang rumahnya sekarang yang tipe 2x1 portable, alias
gerobak bututnya itu.
Memang keadaan Slamet amat memprihatinkan. Setiap hari dia keliling mencari sampah
dengan gerobaknya itu. Setelah menyetor ke pengepul sampah dia buru-buru membersihkan
gerobaknya untuk nanti malam disulap menjadi rumah, tempat untuk tidur.
Karena parkirnya tak tetap dia juga tak punya sarana lain. MCK dan makan dapat dilakukan
dimana saja. Kadan di toilet umum atau di masjid-masjid. Dia selalu berpindah-pindah agar
rejekinya yang tak seberapa itu tidak mandeg.
Ketika ditanya warga, sampeyan kok tidak ngontrak aja atau mencicil rumah? Slamet selalu
menjawab, “Saya punya rumah besar, dunia seisinya ini dan saya tak perlu takut dingin
karena berselimut mega. Kata pepatah Jawa; kandhang langit kemul mega.”
Tapi tampaknya jawaban Slamet akan lain, di bulan-bulan mendatang. Itu kalau rumah DP 0
rupiah terlaksana. Sabar ya Met!

Paribasan (90): Cerak kebo gupak


Arti harfiahnya adalah dekat dengan kerbau akan terkena lumpur. Karena kerbau adalah ewan
yang suka berkubang, jadi tubuhnya akan selalu berlepotan lumpur. Siapa saja yang dekat
akan beresiko terkena. Makna paribasan ini adalah jika kita dekat dengan orang jahat kita
akan terpapar kejahatannya.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 42

Pak Modin pusing tujuh keliling. Sudah tiga bulan ini berturut-turut dia selalu dipanggil oleh
guru BP di sekolah Nandang, anaknya yang baru SMP. Yang terakhir dia diultimatum; kalau
tidak bisa mendidik anaknya di rumah si anak akan dikeluarkan dari sekolah.
Pokok persoalannya adalah si Nandang ini sering dilaporkan oleh teman sekolahnya mencuri
onderdil kendaraan para guru. Sering kelihatan nongkrong di perempatan jalan menggoda
gadis-gadis. Dan yang parah, pernah ketahuan merokok di kantin Pak Ono. Tukang kebun
yang mantan preman itu.
Siang ini sepulang dari menghadap guru BP Pak Modin sangat marah karena ultimatum Pak
Guru tadi. Dia kemudian memanggil anaknya si Nandang.
“Nandang! Bapak sangat malu karena kata gurumu tadi engkau sering berbuat jahat di luar
sana. Apa bapak pernah mengajarkan yang demikian itu padamu? Apakah kamu tidak
melihat kedudukan bapakmu ini yang selalu memberi nasihat kepada banyak orang. Kok
malah anaknya sendiri nakal gak ketulungan. Bagaimana kamu ini, Nandang?”
Nandang hanya bisa gemetar mengetahui bapaknya marah. Dia harus menjawab dengan
hati-hati kalau tidak ingin tabung gas melayang ke kepalanya, seperti yang terjadi minggu
lalu pada pamannya. Dia tahu ayahnya sangat tidak toleran dengan anak nakal.
“Anu Pak, e..eh, sebenarnya bukan saya pelakunya Pak. Teman-teman saya yang
melakukan!”
“Siapa?”
“Dandung dan Gombloh!”
“Lalu mengapa engkau bisa tertuduh?”
“Mereka langsung lari ketika kepergok, sedangkan saya tak bisa lari kencang. Jadi orang
tahunya saya yang mengambil.” Nandang masih gemetar, tampak celananya basah.
Pak Modin menarik napas panjang. Dia tahu anaknya jujur.
“Makanya Ndang, kalau bergaul itu memilih teman yang baik. Kalau kau berteman dengan
orang jahat engkau akan terkena akibatnya, atau malah nanti bisa ikut-ikutan jahat.
Ibaratnya cerak kebo gupak! Paham kamu ya?”
“Eh..i..iya Pak!” Nandang ngompol beneran!

Paribasan (91): Keduwung nguntal wedhung


Arti harfiahnya adalah menyesal memakan pisau. Maknanya adalah menyesali suatu
perbuatan tetapi sudah terlambat. Sudah terlanjur berbuat, akan mundur sudah tak bisa, maju
pun susah.
Entah bagaimana mulanya, Patih Patih Pringgalaya kini hanya bisa meratapi nasib.
Hidupnya kini tak menentu. Belanda tak lagi mempercayainya. Raja pun sudah angkat
tangan tidak bisa menolongnya. Sementara, seteru abadinya, Pangeran Mangkubumi kini
sudah menjadi raja yang berkuasa dan ditakuti Belanda.
Dia ingat akan sumpahnya dulu ketika Pangeran Mangkubumi masih memberontak. Kalau
saja dia berhasil dirinya lebih suka keluar dari keraton untuk hidup mengembara,
meninggalkan semua kedudukan sebagai pejabat. Kini apa yang disumpahinya telah terjadi.
Dan ternyata dia merasa berat untuk menepatinya.
Segala usaha telah dia kerahkan agar seterunya itu lenyap, namun justru bertambah kuat.
Seolah angin berbalik, kini Belanda yang selalu dia bantu pun tak lagi berpihak kepadanya.
Terakhir dia kena semprot Letnan Gubernur Nicholas Hartingh akibat pendapatnya yang
kukuh mempertahankan beberapa wilayah agar tak jatuh ke tangan Mangkubumi.
Kini Nicholas Hartingh sangat marah kepadanya dan menuduhnya sebagai orang yang
menghambat perdamaian.
Eh..hmmm. Pringgalaya mendesah pelan, membuang galau yang meliputi hati. Tak juga dia
mendapat titik terang. Nasibnya memang sudah habis kini. Sebentar lagi dia akan dicopot
dari jabatan patih. Kekuasaannya akan dilucuti dan boleh jadi dia akan dibuang. Posisinya
sudah keduwung nguntal wedhung. Menyesal tapi jalan untuk memperbaiki semuanya sudah

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 43

terlambat, sedang di hari esok kesengsaraan sudah terbayang. Hanya ada satu cara untuk
menyelesaikan itu semua. Yah, hanya itu caranya.
Perlahan Pringgalaya mengambil warangan dan mencampurnya dengan perasan jeruk nipis,
sedikit gula akan membuatnya tidak terasa pahit. Akhirnya yang terjadi mesti terjadi dan
menjadi catatan sejarah hitam keraton Surakarta. Ah, Pringgalaya. Hmmm.....

Paribasan (92): Kerot ora duwe untu


Arti harfiah kerot-kerot adalah bunyi gesekan antara dua gigi atas dan bawah. Makna
paribasan ini adalah akan melakukan pekerjaan tapi tak punya sarana yang cukup.
Ki Bekel Dadya Tinumbala sebenarnya ingin agar penikahan putrinya diramaikan dengan
meriah. Karena ini adalah pernikahan terakhir dari anak-anaknya yang berjumlah delapan.
Ketika anak pertama menikah dahulu Ki Bekel masih berstatus magang karena mertuanya, Ki
Bekel Dadya Mulyaharja masih menjabat. Maka dia tak mampu menyelenggarakan pesta.
Hanya cukup menikahkan anaknya dihadapan pak Modin saja.
Selanjutnya ketika anak-anaknya yang lain menikah negara dalam keadaan peperangan yang
berkelanjutan. Kini dia merasa keadaan telah aman selama bertahun-tahun, seharusnya dia
dapat mengadakan pesta pernikahan dengan meriah. Acara itu juga sekaligus akan menjadi
ajang reuni untuk mengumpulkan sanak saudara, teman-teman pondoknya dahulu dan para
kolega di pemerintahan. Sudah lama Ki Bekel menunggu hal itu terjadi.
Namun yang menjadi masalah, pernikahan putrinya baru terlaksana saat usia Ki Bekel sudah
95 tahun. dalam usia selanjut itu apa yang bisa dilakukan Ki Bekel. Jabatan sudah lama
diserahkan kepada negara, takkan mampu lagi dia menyelenggarakan pesta meriah.
Diantara teman dan kolega hanya tinggal Ki Pujanagara yang masih hidup. Reuni dengan
teman yang diangankan Ki Bekel jelas takkan terwujud.
Keadaan Ki Bekel sudah kerot ora duwe untu. Walau kehendaknya masih ada, sarananya
sudah tak tersedia.

Paribasan (93): Kulak warta adol pangrungon


Arti harfiahnya adalah memborong berita dan menjual apa yang dia dengar. Makna paribasan
ini adalah menyebarkan berita tanpa diklarifikasi, apa yang dia dengar langsung disebarkan.
Akhir-akhir ini, sejak marak penggunaan telepon pintar dan kemudahan sarana komunikasi
banyak tersebar berita bohong atau hoax. Sejak platform komunikasi berindah ke aplikasi
berbasis data seperti Whatsapp, Facebook, Instagram dan media jaring sosial yang lain,
penyebaran berita memang menjadi sangat mudah. Terutama sejak adanya tombol sialan
yang bernama “share”. Dengan sekali memencet tombol digital itu, tersebarlah apa yang
baru saja dibaca ke seluruh penjuru jejaring sosial yang bersangkutan.
Banyak orang yang tidak peduli lagi, apakah berita yang di-share tadi benar atau tidak.
Mereka menganggap remeh validitas sebuah berita. Toh kalau tidak benar juga berita baik
akan menginspirasi, begitu pikir mereka. Orang-orang ini telah meremehkan kenyataan
bahwa jika berita itu tidak benar maka itu berarti sebuah kebohongan.
Namun sejatinya perilaku demikian sudah dilakukan oleh orang-orang sejak zaman dahulu.
Oleh karena itu para leluhur mengingatkan agar kita tidak melakukan hal tersebut. Mereka
mempunyai ungkapan untuk menggambarkan hal tersebut, yakni aja sok kulak warta adol
pangrungon.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 44

Paribasan (94): Kuping budheg dikoroki


Arti harfiahnya telinga tuli dibersihkan. Maknanya adalah mengatakan kepada orang tak tahu,
akhirnya malah merugikan.
Dul Kempul untung besar.
“Luar biasa! Yes!” Begitu pekiknya tadi. Seharian mancing di tempat sepi, eh... dia tidak
mendapatkan satu ikan pun. Ketika mau berhenti, dengan perasaan dongkol. Eh... ada tas
kecil nyangkut di kailnya. Tampaknya tas bagus, entah dari mana. Tapi yang bikin kaget
adalah isinya, 4 juta rupiah.
Bergegas dia keluar dari tempat mancingnya. Ketika hendak menuju jalan besar tampak
olehnya banyak orang dan polisi.
“Ada apa itu Pak?” Tanya Dul Kempul pada seseorang yang baru datang membawa pnacing
juga.
“Oh, itu ada kecelakaan mobil tadi. Bisa kecebur sungai. Semua penumpangnya selamat, tapi
ya bisnya gak ketulungan karena nyemplung di tengah sungai. Tuh di atas sana!”
Dul Kempul menduga, tas yang ia temukan adalah milik penumpang bus yang kecebur. Boleh
jadi polisi itu sedang merazia barang-barang yang hilang. Dia tak mau dituduh mencuri, dan
sayang juga uang 4 juta nanti diambil, padahal ia sedang butuh.
Akhirnya Dul Kempul kembali ke tempat mancingnya yang tersembunyi, menyembunyikan
tasnya di bawah semak-semak dekat pohon pisang.
Dia kemudian kembali ke jalan, tapi kok kepikiran tas itu lagi. Oh ya, si bapak yang juga
mancing tadi bisa dititipi.
“Pak saya pulang sebentar, saya titip tas saya di bawah pohon pisanng itu, kalau ada yang
ngambil sampeyan larang ya?”
“Oh ya nak!”
Malam harinya Dul Kempul ditemani Dul Robot kembali untuk mengambil tas itu. Masih
utuh. Tapi isinya kok...tinggal 800.000? lha lainnya kemana? Waduh, pasti si bapak itu tadi!
Dul Robot yang menyertai Dul Kempul tertawa, “Bodoh kamu Pul, orang tidak tahu kok
kamu kasih tahu. Ibarat kuping budheg dikoroki. Tentu saja dia penasaran. Tapi mending
kau masih kebagian Pul. Hahaha...”
Lha iyo to, kuping budheg kok dikoroki. Salahmu dhewe Dul...

Paribasan (95): Mecel manuk miber


Arti harfiahnya adalah membuat pecel burung yang masih terbang. Maknanya orang yang
serba tercapai apa yang diinginkan.
Pada suatu hari Ki Juru Mudhi menemani seorang bule dari Amerika ke Waduk Wadas
Lintang. Hujan rintik-rintik ketika mereka sampai di bendungan. Bule itu menyuruh Ki Juru
berhenti sebentar untuk melihat-lihat pemandangan yang asri.
Sampai jauh di sana, yang tampak hanya air. Entah dimana ekor dari waduk yang besar ini,
tak kelihatan. Jajaran pegunungan menyembunyikan ujung waduk yang dibuat di era
Presiden Soeharto ini.
“Wah Ki pemandangan di sini sangat indah ya. Aku pengin punya villa di sana itu Ki. Pasti
kalau suasana hujan begini sangat menyenangkan untuk tetirah. Bisa menghilangkan stress.”
Ki Juru dalam batin tak percaya dan menganggap perkataan itu sekedar guyonan. Maka dia
menanggapi ringan dan mengiyakan saja.
“Betul Tuan, itu bagus buat villa. Adem dan sejuk!”
Namun dia kaget ketika Bule itu mengajak mencari pemilik gunung itu.
“Itu gunung besar Tuan. Harganya pasti mahal dan mungkin tidak dijual oleh semua
pemiliknya.”
“Kita coba dulu Ki. Belum mencoba kok sudah pesimis!”

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 45

Ki Juru manut saja. Dan akhirnya dia menemukan pemilik tanah itu, lebih tepatnya gunung
itu. Seorang seniman bernama Ki Wahyono.
“Itu tidak dijual Mister! Untuk apa dijual wong saya tidak sedang butuh uang?”
“Tapi saya ingin memiliki tanah itu. Bagaimana kalau saya tukar di tempat lain? Jadi
saudara tetap punya tanah. Saya kasih tanah yang lebih produktif. Bagaimana?”
“Tapi itu mahal Mister. Karena tanahnya seluas 10 hektar dan bukan hanya punya saya
sendiri. ada beberapa saudara dan tetangga.”
“Silakan dirundingkan dulu. Kalau sudah sepakat silakan bicara. Sekarang juga.”
“Kok maksa sih tuan!”
“Iya mumpung saya masih di sini. Saya hanya lewat lho. Kalau saudara tidak cepat
kesempatan hilang.”
“Ya tuan, tapi tanah mana yang akan dipakai ganti?”
“Saudara tunjuk saja tanah yang akan dijual nanti saya yang bayar!”
Mereka berunding dan sepakat untuk tidak menjualnya. namun kalau menolak orang bule itu
pasti akan membujuk lagi. Jadi mereka meminta tanah lapang di sebelah jalan raya
Kuthaarja sebagai ganti. masing-masing dari sepuluh orang pemiliknya minta sepuluh
hektar. Jadi 100 hektar tanah lapang dekat jalan raya. Biar saja sekalian tidak tanggung-
tanggung mintanya. Wong mereka juga sebenarnya enggan menjual. Hitung-hitung menolak
halus.
“Ah, begitu saja kok lama negonya. Mbok dari tadi ngomong. Saya setuju.”
“Tapi Tuan, apakah tuan punya duitnya? Itu...itu mahal sekali lho...”
“Ya saya tidak membawa, tapi kalau Anda semua serius segera saya wujudkan. Ini saya beri
tanda jadi 10 Milyar dulu. Nanti segera diurus staf saya. Ok ya! Ini kartu nama saya.”
Bule itu meninggalkan mereka dengan uang 10 M. Sampai-sampai Ki Wahyono pingsan
ketika menerima uang sebanyak itu. Tapi siapa sih bule itu kok beraninya membeli tanah
gunung dengan harga sangat tinggi.
Mereka membaca kartu nama yang diberikan, dan tertera disana namanya dengan jelas.

Wooow......lha pantes dia orangnya. Lha mbok ibarat mecel manuk miber, keinginan orang
ini akan terlaksana.

Paribasan (96): Nglungguhi klasa Gumelar


Arti harfiahnya adalah menduduki tikar yang sudah digelar. Maknanya adalah menempati
tempat yang semuanya sudah tersedia.
Mbah Cipto melihat haru ketika rumahnya dirubuhkan. Hasil jerih payah masa mudanya
musnah sudah. Rumah dari kayu jati kelas I yang biaya pembangunannya dikumpulkan dari
tetes-tetes keringat mudanya, kini menjadi kayu bongkaran tak bernilai.
Anak-anak muda zaman sekarang sering melupakan sejarah. Bagaimana orang-orang tua
zaman dahulu harus berjuang melawan ketidakadilan di masa penjajahan. Dengan bekerja
keras orang tua zaman dahulu baru dapat membuat rumah. Setelah mereka rela berpuasa,

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 46

menahan lapar, rela telanjang tanpa baju, demi menyisihkan sedikit harta untuk anak
cucunya. Itu pula impian Mbah Cipta ketika mendirikan rumah bagi anak-anaknya. Dia pilih
bahan-bahan dari kayu jati bagus yang sanggup bertahan ratusantahun. Harapannya kelak
anak-anaknya dapat hidup nyaman, tinggal nglungguhi klasa gumelar. Karena semua sudah
tersedia.
Namun impian Mbah Cipto sirna. Anak-anaknya memilih membongkar bangunan tua nan
kukuh itu. Dan alasannya membuat Mbah Cipto tak kuasa menahan airmata.
“Pak rumah ini modelnya sudah ketinggalan zaman. Sudah tidak model lagi sekarang. Jadi
harus dibongkar!”
Mbah Cipto memandang hasil karya masa mudanya itu, sambil mupus menenangkan diri,
“Ah, setidaknya anakku bisa membuat sesuatu yang lebih baik dari padaku dahulu!”

Paribasan (97): Wastra lungset ing sampiran


Arti harfiahnya adalah kain yang kusut di gantungan. Maknanya sesuatu yang tidak dipakai
justru akan rusak.
Sudah lama Rahmad membeli motor skuter itu. Sejak dia kenal dengan Minten, gadis
tetangga desa yang hitam manis. Maksud hati hendak menyenangkan hati Minten dengan tiap
hari antar jemput ke pabrik, tempat kerjanya. Namun malang tak dapat ditolak. Belum
sempat angan-angannya tercapai, baru sepulang dari dealer motor, mendadak Rahmad
mendengar kabar yang mengagetkan. Layaknya disambar geledek, sampai Rahmad pingsan
tiga hari-tiga malam. Minten dilamar den baguse Gondo. Pemuda tampan dan kaya dari
kampung sebelah.
Hancur sudah harapan Rahmad, rasanya kepengin mati saja. Percuma beli skuter keluaran
terbaru bila Minten tak diboncengan. Dan benar saja skuternya ndongkrok tak terpakai.
Kini setelah lima tahun berlalu. Rahmad sudah bisa move on. Limbuq, gadis ayu anak Kades
Dadapan yang menjadi incarannya. Tiap hari dia harus kuliah di Unwidha. Kesempatan
baginya untuk antar jemput.
Maka dia keluarkan skuter lawas yang masih baru itu. Tapi dia harus menelan kekecewaan
karena skuternya mogok. Di bengkel teknisi menyarankan ganti beberapa onderdil.
“Lho kok bisa mas. Ini sekuter baru lho, maksudnya belum pernah dipakai.”
Jawab si teknisi, “Justru itu mas. Onderdil ini rusak karena skuter ini tidak pernah dipakai.
Ibaratnya wastra lungset ing sampiran mas. Seperti kain itu kalau tidak dipakai kan malah
rusak dan jamuran mas. Ini yang terjadi.”
Wah Rahmad harus merogoh kocek lagi dalam-dalam. Sabar Mad, nanti kalau jodoh takkan
kemana kok si Limbuq itu.

Paribasan (98): Midak telek ora penyek


Arti harfiahnya adalah menginjak kotoran ayam saja tak mampu. Maknanya adalah tak
mampu melakukan sesuatu pekerjaan apapun.
Citraksi duduk termenung di hadapan sang paman Patih Harya Suman sambil ngoplok
gemetaran. Dia dimarahi habis-habisan. Itu memang salahnya, dia tak hendak membela diri.
Walau sejatinya tugasnya memang berat, sangat berat untuk siapapun.
“Kamu Citraksi...Citraksi.....diberit tugas untuk mencari suara di Kadipaten Cempala Madya
saja kok tidak becus. Satria kok tidak pernah menunjukkan kemampuan. Mbok lihat si Gatot
kaca itu. Mengatrol orang sudra saja bisa jadi bupati. Lha kamu? Ah....dasar bego!’
Kata Paman Haryo Suman tadi bener-benar membuatnya sakit hati. lha iya jelas kalau
Gatotkaca berhasil, lha wong tokoh yang didukung untuk maju sebagai raja muda di

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 47

Cempala Radya adalah Joko Sempulur, tokoh yang dikenal bersih dan jujur, berintegritas
dan berakhlak mulia, rendah hati dan santun.
Ini jelas beda dengan sang paman yang sudah dikenal culas, omongnya kasar, pernah
menerima upeti dari pencuri, dan yang terakhir ini parah; gagal dalam pemilihan raja muda
di Cempala Madya selama empat kali berturut-turut.
Tapi bukan Harya Suman kalau tidak menimpakan kesalahan kepada sang keponakan yang
gagap itu. Setelah panjang lebar marah, Harya Suman masih tega mengatai Citraksi begini.
“Citraksi..Citraksi...kamu ini ksatria cap apa? Midak telek wae ora penyek. Bisamu apa
Citraksi? Dasar bego!”
“Mmm...a...a...pa....pam.....!” tiba-tiba. Des! Plok! Glangsar! Citraksi menampar dan
memukul sang paman. Dan tiba-tiba gagapnya hilang. Sambil berkacak pinggang dia memaki
sang paman yang terkapar.
“Dasar Sengkuni Culas! Mampus kau!”
Dia berjalan ke arah pintu depan dan menendangnya, hancur berkeping-keping.
Sengkuni masih berkunang-kunang memandang sang keponakan yang menjauh. Kali ini dia
yang gemetaran.

Paribasan (99): Nabok nyilih tangan


Arti harfiahnya adalah memukul dengan meninjam tangan orang lain. Maknanya adalah
mencelakakan orang dengan memakai kekuatan orang lain.
Sudah lama Prabu Anom Kurupati memendam kebencian kepada Bratasena. Panenggak
Pandawa itu ibarat klilip di mata, kerikil dalam sepatu, yang membuat hidupnya tidak
nyaman. Sebagai sesama murid Pandita Durna Bima lebih menonjol dari dirinya dalam
menguasai ilmu sang guru. Bratasena adalah murid yang patuh dan selalu menurut. Mungkin
itulah yang membuat Bratasena cepat menguasai ilmu yang diberikan oleh sang Guru.
Kelebihan Bratasena adalah memainkan senjata gada, sama dengan Duryudana. Namun
yang disebut belakangan selalu menjadi pecundang.
Oleh karena itu Duryudana bermaksud mencelakakan Bratasena melalu kepatuhannya
kepada sang Guru. Rupanya Pandita Drona terdesak oleh kuasa Duryudana sebagai Prabu
Anom sehingga terpaksa meluluskan permintaan Duryudana yang licik.
Pandita Drona mamanggil Bratasena dan menyuruh untuk mencari air suci di dasar
samudra. Dasar Bratasena selalu menurut tanpa ragu lagi dia melaksanakan perintah sang
Guru. Dia menceburkan diri dan menuju dasar samudra. Sebelum terjun banyak orang
mengingatkan agar Bratasena mengurungkan niatnya. Namun dia memaksakan diri untuk
terjun ke laut karena sangat percaya kepada gurunya.
“Guruku takkan mencelakakanku!” begitu katanya.
“Tugasku memang berat, tapi aku sudah bertekad untuk melaksanakannya. Kalaupun nanti
aku mati itu sudah takdir, bukan karena ditelan lautan ini penyebabnya!”
Begitulah Bratasena yakin dan mencebur betulan.
Sementara itu Duryudana bertepuk tangan di atas tebing yang jauh, merayakan kematian
musuhnya yang sudah di depan mata. Takkan ada orang yang bisa hidup kalau masuk ke
dasar samudra. Itu pasti. Akhirnya dia lega karena tipudayanya nabok nyilih tangan
gurunya berlangsung sukses.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Kalau pembaca ingin tahu silakan mengikuti lakon Bima
Suci di pertunjukkan wayang kulit terdekat.

Paribasan (100): Nggered ori saka pucuk


Arti harfiahnya menyeret bambu ori dari pucuk. Maknanya adalah melakukan sesuatu tampa
pengetahuan sehingga salah perhitungan.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 48

Paimo jengkel, geram dan kemropok. Besok dia harus menghadiri wisuda di balai desa
sebagai aparat desa terpilih. Jas hitam dan kemeja putih sudah disiapkan, tapi mendadak
mesin cucinya rusak.
Sudahsejak pagi dia pencet tombol start, mungkin sudah ada lima puluh kali. Mesin cuci
hanya berdengung tanpa berputar. Waduh, ini bagaimana mesin cuci tak bisa kompromi.
Wah harus ganti dinamo ini. Harus cepat! Dia segera mengambil obeng dan
membongkarnya.
Ketika dinamo sudah copot dia heran. Kok dinamo ini tampak waras. Tidak ada tanda-tanda
terbakar. Apakah mungkin korslet kabelnya ya? Dia turut jalur kabel dan tidak tampak ada
yang gosong atau putus. Dia kemudian membongkar pasang gigi-gigi yang dikiranya
menghambat laju putaran motor listrik. Dan gagal. Mesin cuci tetap tak berfungsi.
Akhirnya Paimo menyerah dan membawa mesin cucinya ke bengkel.
“Tentu saja sampeyan gagal memperbaiki mesin cuci ini. Wong yang rusak bagian luar
sampeyan bongkar bagian dalam. Mesin ini hanya perlu ganti kapasitor, dan itu letaknya di
belakang kabel power ini. Tinggal nyopot sekerup dan ganti kapasitor. Sudah beres.” Kata
tukang servis di bengkel.
“Tapi sampeyan malah mencopot seluruh gigi dan motor yang ada. Ini kan seperti nggered
ori saka pucuk. Masalah tidak beres, malah pekerjaan tambah banyak. Sekarang saya harus
mengecek satu per satu pekerjaan sampeyan ini. Barangkali ada sekerup yang hilang atay
gigi yang salah posisi. Wah merepotkan saja!”
Paimo kukur-kukur kepala dan pringas-pringis malu.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 49

Daftar Isi:

1. Bocah wingi sore 2


2. Amburu udhèt kelangan wêlut 2
3. Ula marani gitik 2
4. Uyah kêcêmplung ing sagara 3
5. Wêlut didoli udhèt 3
6. Ambuwang rase nêmu kuwuk 4
7. Kêpatèn obor 4
8. Anggênthong umos 5
9. Kêmladheyan ngajak sêmpal 5
10. Cindhil ngadu gajah 5
11. Kacang môngsa ninggala lanjaran 6
12. Awor sambu 6
13. Kalah cacak mênang cacak 6
14. Ambanyu mili 7
15. Sadawan-dawane lurung isih dawa gurung 7
16. Calak ora pacak 8
17. Angon môngsa 8
18. Ora ngubêngake jôntra, têka kêdhayohan wong edan 8
29. Kakèhan galudhuk kurang udan 9
20. Kêriga têkan cindhile abang 9
21. Kêrig lampit 10
22. Kêbo nusu gudèl 10
23. Kere munggah ing bale 10
24. Ninggal bocah ana ing waton 11
25. Nututi layangan pêdhot 11
26. Kurung munggah lumbung 11
27. Sulung malêbu ing gêni 12
28. Alingan wêkasan ngaton 12
29. Uthik-uthik macan dhedhe 13
30. Lêbak ilining banyu 13
31. Cebol anggayuh lintang 13
32. Kêplok ora tombok 14
33. Maling sandi 14
34. Arêp jamure êmoh watange 15
35. Nyambung watang putung 15
36. Numbak tuna matang putung 15
37. Baladewa ilang gapite 16
38. Ambondhan tanpa ratu 16
39. Anggajah êlar 17
40. Kêri tanpa pinêcut 17
41. Rupak jagade 17
42. Ana catur mungkur 18
43. Iwak kalêbu ing wuwu 18
44. Katula-tula katali 18
45. Ilang jarake kari jaile 19
46. Wadhuk bêruk 19
47. Ngêtutake poncoting tapih 20

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 50

48. Rindhik asu ginitik 20


49. Emprit abuntut bedhug 21
50. Gajah ngidak rapah 21
51. Asu gedhe menang kerahe 22
52. Kaya klinthing disampar kucing 22
53. Macan guguh 23
54. Kekudhung walulang macan 23
55. Singidan nemu macan 24
56. Sadumuk bathuk sanyari bumi 24
57. Mrucut saka gendhongan 25
58. Cincing-cincing klebus 25
59. Asu arebut balung 26
60. Asu belang kalung wang 26
61. Abang-abang lambe 27
62. Adol lenga kari busik 27
63. Ancik-ancik pucuking eri 27
64. Angin silem ing warih 28
65. Angin ulat umbar tangan 28
66. Anak molah bapa kepradah 28
67. Asor kilang munggwing gelas 29
68. Ati bengkon oleh oncong 29
69. Buyung lokak isine kocak-kocak 30
70. Barung sinang 30
71. Beras wutah arang mulih marang takere 31
72. Mburu kidang lumayu 31
73. Ciri wanci lelai ginawa mati 32
74. Dahwen ati open 32
75. dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk 33
76. Dolanan ula mandi 33
77. Dudu berase ditempurake 33
78. Durung cundhuk acandhak 34
79. Gemblung jinurung edan kawarisan 34
80. Nggepukkemiri kopong 35
81. Nampel Puluk 36
82. Opor bebek mateng awak dhewek 36
83. Suku jaja teken janggut 37
84. Njajah desa milang kori 37
85. Jabung alus 38
86. Kebak sundukane 39
87. Kasandhung ing rata, kabentus ing tawang 40
88. Karubuhan gunung menyan 40
89. Kandhang langit kemul mega 41
90. Cerak Kebo gupak 41
91. Keduwung nguntal wedhung 42
92. Kerot ora duwe untu 43
93. Kulak warta adol pangrungon 43
94. Kuping budheg dikoroki 44
95. Mecel manuk miber 44
96. Nglungguhi klasa gumelar 45
97. Wastra lungset ing sampiran 46
98. Midak telek ora penyek 46
99. Nabok nyilih tangan 47
100. Nggered ori saka pucuk 47

Situs kajian budaya Paramenkawi.com


Kajian Sastra Klasik Paribasan Jawa, hal 51

Daftar Pustaka

Paribasan, Radèn Mas Arjasoetirta, LANDSDRUKKERIJ-1928-WELTEVREDEN.

Kawruh Kasusastran Jawa, Drs. R.S. Subalidinata.

Situs kajian budaya Paramenkawi.com

Anda mungkin juga menyukai