Anda di halaman 1dari 11

Tugas Patlogi Klinik

PROTEIN

OLEH :

NURUL PATIMA RUSDI

O11116307

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
I. Pengertian
Protein adalah molekul yang kompleks, berat molekul besar, dan terdiri atas
asam amino yang mengalami polimerisasi (gabungan) menjadi suatu rantai
polipeptida. Penggabungan asam amino ini dalam suatu protein dalam suatu ikatan
peptida (Nur, 2007).
II. Manfaat Medis
Kebutuhan protein kucing jauh lebih tinggi dari hewan lain. Hewan
membutuhkan asam amino untuk pemeliharaan dan pertumbuhan jaringan dalam
tubuh serta sebagai prekursor untuk sintesis berbagai senyawa organik yang
mengandung nitrogen seperti kreatin, purin, pirimidin, seronin (Hendricks, 1996).
Diet protein tinggi direkomendasikan selama periode penurunan berat badan.
Menyediakan protein tambahan dapat mencegah kemungkinan kekurangan taurin
atau asam amino lainnya. Selain itu, diet tinggi protein menjaga massa tubuh tanpa
lemak selama penurunan berat badan. Anjing yang diberi makan diet protein tinggi
mengkonsumsi lebih banyak kalori daripada diet rendah protein dan
mempertahankan bobotnya dengan lebih baik setelah penurunan berat badan.
Protein dapat meningkatkan antibodi dari hewan sehingga dapat melawan infeksi
mikroba (Ikliptikawati, 2018).
III. Metabolisme dalam Tubuh
Metabolisme protein pada kucing unik karena kebutuhan pemeliharaan yang
tinggi untuk protein dalam makanan dibandingkan dengan anjing atau omnivora
lainnya. Kucing memiliki kebutuhan dasar protein yang lebih tinggi dan kebutuhan
asam amino esensial yang meningkat (Hendricks, 1996).
Metabolisme dari protein melibatkan pembelahan enzimatik protein
menjadi asam amino dan menjadi peptida kecil yang mampu diserap oleh sel
mukosa dari usus kecil (National Research Council, 2006). Asam-asam amino yang
berlebih tidak akan disimpan, tetapi diuraikan dengan cepat. Di dalam sel, protein
akan diuraikan menjadi asam-asam amino oleh protease dan peptidase. Protease
intrasel akan memutus ikatan peptida internal protein sehingga terbentuk senyawa
peptida. Selanjutnya oleh peptidase, peptida tersebut akan diuraikan menjadi asam-
asam amino bebas. Endopeptidase akan memutus ikatan peptida internal sehingga
terbentuk peptida-peptida yang lebih pendek, selanjutnya ammopeptidase dan
karboksipeptidase akan membebaskan asam-asam amino masing-masing dalam
gugus terminal-N dan -C pada peptida-peptida tersebut. Penguraian protein tersebut
adalah untuk protein ekstrasel dan intrasel yang mana penguraiannya tidak
memerlukan ATP. Untuk protein yang berusia pendek dan yang abnormal
penguraiannya terjadi pada sitosol dan memerlukan ATP atau ubikuitin. Asam
amino yang terbentuk dari katabolisme protein ini akan dimetabolisasi menjadi
ammonia dan kerangka karbon. Selanjutnya kerangka karbon akan ikut dalam
siklus asam sitrat (TCA) dan glukoneogenesis. Sedangkan ammonia akan
mengalami sintesis membentuk urea atau membentuk asam amino baru (Wahjuni,
2002). Hepatosit menghilangkan gugus amino atau deaminasi asam amino sehingga
dapat digunakan untuk sintesis ATP. Metabolisme protein terjadi di dalam hati,
hepatosit dapat mensintesis berbagai protein plasma seperti albumin, protrombin,
fibrinogen, alfa dan beta globulin (diperlukan untuk sintesis hemoglobin) (Akers
dan Michael, 2013).

Gambar 1. Metabolisme protein (Wahyuni, 2002)


IV. Jenis Sampel
Sampel urin digunakan untuk mendeteksi kadar proteinuria. Pada hewan
dengan proteinuria yang persisten pada urinalisis rutin, tingkat keparahan
proteinuria dapat dinilai dengan mengukur ekskresi protein urin selama 24 jam atau
melakukan mengukur kadar protein atau urine kreatinin pada pakan atau ransum
(Grauer, 2019).
V. Alat Diagnostik
Penilaian fisik, kimia dan mikroskopis spesimen urin merupakan prosedur
urinalisis. Urinalisis adalah alat diagnostik untuk mendiagnosa penyakit yang nyata
dengan perubahan dalam komposisi urin. Analisis kimiawi urin umumnya
dilakukan dengan cara uji dipstick. Tes kolorimetri dipstik urin adalah tes skrining
lini pertama yang biasa untuk mendeteksi proteinuria. Uji dipstick yaitu suatu tes
yang menggunakan stik yang dibuat khusus yang terdiri atas strip untuk mendeteksi
glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis, darah, keton, nitrit dan
leukosit. Penggunaan dipstick pada urinalisis tidak memerlukan keterampilan
khusus, selain itu hasilnya bisa didapat hanya dalam waktu beberapa menit
(Fauziah, 2015).

Gambar 1. Tes Urinari Dipstick (Fauziah, 2015)


Langkah kerja awal melakukan sampling dengan mengumpulkan urin
dengan metode sistosentesis. Sampel urin dievaluasi untuk warna, transparansi, bau
dan adanya zat abnormal. Urin juga dinilai menggunakan strip test atau tes dipstick
dan sedimentasi urin (Braun et al., 2008).
Penilaian fisik dengan urinalisis menggunakan sedimentasi urin. Evaluasi
sedimen urin adalah bagian penting dari urinalisis lengkap. Menggunakan volume
urin (5ml atau 10ml) yang konsisten untuk setiap sampel akan mengembangkan
pemahaman tentang apa yang biasanya ditemukan dalam volume urin. Sampel urin
harus dicampur secara menyeluruh dan kemudian ditempatkan dalam tabung
conically meruncing untuk evaluasi. Setelah penilaian fisik dan kimia sampel urin
telah selesai sampel harus disentrifugasi pada kecepatan rendah (1000-1500 rpm)
selama sekitar lima menit. Sentrifugasi di waktu yang lama atau di kecepatan yang
lebih tinggi dapat menyebabkan sel-sel dan struktur untuk menjadi terdistorsi atau
rusak. Perlu berhati-hati untuk tidak mengganggu sedimen ketika pemisahan urin
dengan supernatant. Supernatant dapat menjadi tertuang (ketika sampel urin
terbalik supernatant dituangkan dari) atau dapat dengan cermat menggunakan pipet
tetes dengan pipet sekali pakai. Resuspend sedimen di sisa supernatant diambil satu
tetes campuran ke slide mikroskop dan tempat coverslip di atas cairan (Fauziah,
2015).
VI. Interprestasi
Tabel 1. Substaging Urine Protein: Creatine pada Anjing dan Kucing (International
Renal Interest Society, 2019)
Substage Urine Protein: creatinine (UPC) ratio
Anjing Kucing
Nonproteinuric (NP) < 0.2 < 0.2
Borderline proteinuric 0.2 – 0.5 0.2 – 0.4
(BP)
Proteinuric (P) > 0.5 > 0.4
Interprestasi deteksi yang lebih rendah untuk tes dipstick konvensional
adalah sekitar 30 mg / dl. Sensitivitas (≥ reaksi positif jejak) untuk strip tes protein
urin konvensional untuk albuminuria dalam urine dan urin kucing adalah masing-
masing 81% dan 90%, masing-masing, tetapi spesifisitas masing-masing hanya
48% dan 11% (Grauer, 2019).
Pada pemeriksaan urin rutin ditemukan hematuri mikroskopis ataupun
makroskopis, proteinuria. Proteinuri biasanya sesuai dengan derajat hematuri dan
berkisar antara ± sampai 2+(100 mg/dL). Pemeriksaan mikroskopis sedimen urin
ditemukan eritrosit, kas granular dan hialin (tanda karakteristik dari lesi
glomerulus), urea dan leukosit (Rachmadi, 2010). Hasil dari pemeriksaan urin pada
pasien glomerulonefritis adalah urin berwarna coklat atau merah. Tes strip
mengungkapkan hematuria dan proteinuria sedang hingga berat serta leucocyturia
(Braun et al., 2008).
VII. Pengaruh jika Terjadi Kenaikan dan Penurunan Protein
Peningkatan kadar protein akan meningkatkan fungsi kerja ginjal untuk
menyaring juga akan meningkat. Jika beban filtrasi meningkat melebihi kapasitas
reabsorbsi tubular, proteinuria dapat terjadi (Bilancio et al., 2019).
Peningkatan permeabilitas glomerulus dapat terjadi akibat hipertensi kapiler
glomerulus. Hipertensi glomerulus dapat terjadi sebagai respons maladaptif
terhadap hilangnya fungsi nefron. Dengan kehilangan nefron, terjadi peningkatan
akompensasi pada filtrasi glomerulus nefron tunggal (GFR). Hal ini menghasilkan
peningkatan fluks protein transglomerular yang kemudian melebihi kapasitas
reabsorpsi tubulus ginjal. Selain itu, hipertensi sistemik yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan hipertensi glomerulus melalui hilangnya mekanisme autoregulasi
ginjal (Harley dan Cathy, 2012).
Penurunan kadar protein, tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap
fungsi kerja ginjal. Tingkat protein persisten dan peningkatan dalam urin abnormal.
Kehilangan protein plasma ginjal dapat menyebabkan hipoalbuminemia; perubahan
faktor koagulasi, imunitas seluler, status hormonal, dan metabolisme mineral dan
elektrolit; dan pengembangan hiperlipidemia dalam beberapa kasus (Harley dan
Cathy, 2012). Diet terbatas protein biasanya direkomendasikan untuk manajemen
CKD pada kucing dan anjing. Pada anjing dengan proteinuria sekunder akibat
penyakit glomerular, merekomendasikan pengurangan asupan protein (Cline,
2016).
VIII. Penyakit yang Berhubungan dengan Protein
a. Glomerulonephritis
Kucing yang terkena glumerulonefrtis adalah kucing akan mengalami
proteinuria berat (Dibartola, 2009). Glomerulonefritis adalah suatu keadaan dimana
terjadi inflamasi glomerulus yang dapat terjadi secara primer atau sekunder
(Rasyid, 2015). Gangguan pada glomerulus ginjal terjadi sebagai suatu respon
imunologi yang terjadi dengan adanya perlawanan antibodi dengan
mikroorganisme yaitu Streptococcus tipe A. Protein kationik (antigen kationik)
pada Streptococcus mempunyai afinitas terhadap polianionik membran basalais.
Antigen kationik berperan dalam terjadinya inflamasi glomerulus (Rodriguez-
Iturbe dan Mark, 2016). Reaksi antigen dan antibodi tersebut membentuk imun
kompleks yang menimbulkan respon peradangan yang menyebabkan kerusakan
dinding kapiler dan menjadikan lumen pembuluh darah mengecil yang
mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, insuffisiensi ginjal dan perubahan
permeabilitas kapiler glomerulus sehingga molekul yang besar seperti protein
disekresikan dalam urin atau proteinuria (Lappin, 2008; Chandler et al., 2009).
Glomerulonefritis didiagnosa berdasarkan gejala klinis terjadi proteinuria, dan
sklerosis glomerulus yang menyebabkan hipertensi (Harley dan Cathy, 2012; Ihm,
2015).
b. Chronic Kidney Disease
Proteinuria persisten dengan sedimen urin yang tidak aktif kemungkinan
merupakan penanda penyakit ginjal kronis (CKD) pada anjing dan kucing. Penyakit
ginjal kronis adalah penurunan atau hilangnya kemampuan ginjal dalam
mengeliminasi produk produk tidak terpakai, mengkonsentrasikan urin dan
konservasi elektrolit. Kerusakan dapat terjadi pada setiap bagian dari nefron,
termasuk glomerulus, tubulus, jaringan interstitial atau pembuluh darah, yang dapat
mengakibatkan kerusakan ireversibel dan hilangnya fungsi. Berdasarkan proses
perjalanan penyakit dari berbagai penyebab pada akhirnya akan terjadi kerusakan
nefron. Apabila nefron rusak, maka akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus
dan terjadilah penyakit ginjal kronik yang mana ginjal mengalami gangguan dalam
fungsi eksresi dan fungsi non-eksresi. Penurunan laju filtrasi glomerolus
mengakibatkan turunnya klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum.
Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein (Yanuartono et al., 2017).
IX. Organ yang Terpanguh jika Terjadi Kelainan
Proteinuria terjadi ketika ginjal mengalami malfungsi protein atau
hiperfiltrasi glomerulus. Biasanya sejumlah kecil protein yang ada dalam filtrat
dilewatkan melalui dinding kapiler glomerulus dan diserap kembali oleh tubulus
proksimal. Dinding kapiler glomerulus berfungsi sebagai mekanisme utama,
penghalang protein. Perubahan permeabilitas glomerulus merupakan hasil dari
konsentrasi protein urin tinggi (Harley dan Cathy, 2012).
Proteinuria yang berasal dari ginjal berasal dari dua mekanisme utama.
Proteinuria ginjal dapat berupa fisiologis (fungsional) atau patologis. Proteinuria
ginjal fungsional, yang dapat terjadi akibat olahraga berat atau demam, biasanya
ringan dan menyebabkan fisiologi ginjal yang berubah secara sementara.
Proteinuria patologis adalah hasil dari disfungsi ginjal primer atau sekunder.
Proteinuria glomerulus dapat terjadi akibat penyakit glomerulus primer seperti
amiloidosis atau glomerulonefritis (Harley dan Cathy, 2012). Penyakit glomerulus
menyebabkan hilangnya filtrasi selektif yang menghasilkan peningkatan jumlah
protein dalam filtrat. Penyakit glomerular hadir pada sekitar 50% anjing dengan
CKD, tetapi jarang terjadi pada kucing. Disfungsi tubular dapat menyebabkan
proteinuria tingkat rendah yang menyebabkan kegagalan untuk memproses dan
menyerap kembali sejumlah kecil protein, terutama albumin, yang melintasi
penghalang glomerulus (Tonkin, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Akers, R.M., dan M. Denbow. 2013. Anatomy and Physiology of Domestic Animals
2nd Ed. Wiley-Blackwell: USA.
http://vetbooks.ir/anatomy-and-physiology-of-domestic-animals-2nd-
edition/
Bilancio, G., P. Cavallo, C. Ciacci dan M. Cirillo. 2019. Dietary Protein, Kidney
Function and Mortality: Review of the Evidence from Epidemiological
Studies. Nutrients 11(1): 196.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6356875/
Braun, U., K. Nuss., D. Wehbrink., S. Rauch., dan A. Pospischil. 2008. Clinical and
Ultrasonography Findings, Diagnosis and Treatment of Pyelonephritis in 17
Cows. The Veterinary Journal. 175(2008) : 240-248.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17363303
Chandler, E.A., Gakell C.J., dan Gaskell RM. 2009. Feline Medicine and
Therapeutics. Blackwell : USA.
http://vetbooks.ir/feline-medicine-and-therapeutics-3rd-edition/
Cline, M.G. 2016. Nutritional Management of Chronic Kidney Disease in Cats and
Dogs. ACVN Nutrition Notes 4: 58-66.
https://todaysveterinarypractice.com/acvn-nutrition-notesnutritional-
management-of-chronic-kidney-disease-in-cats-dogs/
Fauziah, H. 2015. Gambaran Cystitis Melalui PeMeriksaan Klinis dan Laboratoris
(Uji Dipstik dan Sedimentasi) Pada Kucing di Klinik Hewan Makassar.
[Skripsi]. Universitas Hasanuddin: Makassar.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/16916/GAMBA
RAN%20CYSTITIS%20MELALUI%20PEMERIKSAAN%20KLINIS%2
0DAN%20LABORATORIS%20%28UJI%20DIPSTIK%20DAN%20SED
IMENTASI%20URIN%29%20PADA%20KUCING%20DI%20KLINIK
%20HEWAN%20MAKASSAR.pdf?sequence=1
Grauer, G.F. 2019. Measurement and Intrepretation of Proteinuria and
Albuminuria. [Artikel]. Diakses pada www. Iris-kidney.com.
http://www.iris-kidney.com/education/proteinuria.html
Harley, L., dan C. Langston. 2012. Proteinuria in Dogs and Cats. Can Vet J 53(6):
631-638.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3354822/
Hendricks, W.H. 1996. Protein Metabolism in The Adult Domestic Cat (Felis
catus). [Tesis]. Massey University: New Zealand.
https://mro.massey.ac.nz/bitstream/handle/10179/2797/02_whole.pdf
Ihm, C. G. 2015. Hypertension in Chronic Glomerulonephritis. Electrolyte Blood
Press. 13(1) : 41-45.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4737660/
Ikliptikawati, D.K. 2018. Formulasi Pakan Diet pada Kasus-Kasus Penyakit
Hewan Kesayangan. Universitas Hasanuddin: Makassar.
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/NjI
5ZjI5MzAzMTRhZGQ2MDE1ZGFkYjU1Njg3MWMyNzY1NTkzYW
Q2Zg==.pdf
International Renal Interest Society. 2019. IRIS CKD Staging Guidelines. [Artikel].
Diakses pada www.iris-kidney.com.
http://www.iris-kidney.com/guidelines/staging.html
Lappin, M.R. 2008. Feline Internal Medicine Secrets. Elsevier : USA.
https://www.sciencedirect.com/book/9781560534617/feline-internal-
medicine-secrets
National Research Council. 2006. Nutrient Requirements of Dogs and Cats.
National Academy Press: Washington.
https://books.google.co.id/books?id=aqeCwxbRWvsC&printsec=frontcove
r&dq=Nutrient+Requirements+of+Dogs+and+Cats&hl=id&sa=X&ved=0a
hUKEwjOnI3Dk_fkAhVHH48KHdgRD3wQ6AEIKTAA#v=onepage&q=
Nutrient%20Requirements%20of%20Dogs%20and%20Cats&f=false
Nur, A. 2007. Penetapan Status Present Sapi-Sapi Perah Education-Corporation
Farming (E.Co.Farm) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Menggunakan Urine-Strip Test Semikuantitatif. [Skripsi]. IPB: Bogor.
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/3245?show=full
Rasyid, H. 2015. Manifestasi Klinis Glomerulonefritis. PERNEFRI: Jakarta.
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/20537
Rodriguez-Iturbe, B., dan M. Haas. 2016. Post-Streptococcus Glomerulonephritis.
Streptococcus pyogenes 1-24.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK333429/
Tonkin, L. 2010. Clinical Significance of Low-Magnitude Proterunia in the Cat.
[Artikel]. Diakses pada pdfs.semanticscholar.org.
https://pdfs.semanticscholar.org/01e0/68d4952ced67d82ac43c483657ae7ff
022b0.pdf
Wahjuni, S. 2002. Metabolisme Biokimia. Udayana Universitas Press: Bali.
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/2c38007b5
86ffa59d79823dad95fecc1.pdf
Yanuartono, A. Nururrozi, dan S. Indarjulianto. 2017. Penyakit Ginjal Kronis pada
Anjing dan Kucing: Manajemen Terapi dan Diet. Jurnal Sain Veteriner
35(1): 16-34.
https://www.researchgate.net/publication/321766142_Penyakit_Ginjal_Kr
onis_pada_Anjing_dan_Kucing_Manajemen_Terapi_dan_Diet

Anda mungkin juga menyukai