Anda di halaman 1dari 14

PENYAKIT METABOLISME

KETOSIS DAN ASIDOSIS

OLEH :

Irindra Sekar Jalu 1709511070

Ni Putu Gupta Novanti 1709511071

Fendik Saputra 1709511072

Putu Diva Adiwinata 1709511073

Pandu Adjie Pamungkas 1709511074

Gusti Agung Rama Wiratama P 1709511075

Aziz Rizal Cahyanto 1709511078

Anak Agung Ngurah Aditya WK 1709511079

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA
KETOSIS PADA SAPI

Definisi Ketosis

Ketosis merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi di sapi perah.
Ketosis terjadi akibat kekurangan glukosa di dalam darah dan tubuh. Peristiwa ini
biasanya sering terjadi pada sapi yang bunting tua (masa kering) atau sapi-sapi
habis melahirkan (masa awal laktasi) dengan produksi susu yang tinggi.
Meningkatnya konsentrasi badan-badan keton dalam darah disebut ketonemia
(hiperketonemia) dan meningkatnya konsentrasi badan-badan keton dalam urin
disebut ketonuria. Keadaan keseluruhari ini disebut juga ketosis. Yang disebut
badan-badan keton (keton Bodies) adalah acetoasetat (CH3-COCH2-COOH), beta
hidroksi butirat (CH3-CHOH-CH2-CDOH), aceton (CH3-CQ-CH3) dan suatu
komponen keempat ditemukan dalam usus yaitu isopropanol, tapi zat ini tidak
timbul setiap saat

Etiologi Ketosis
Pada masa kebuntingan tua kebutuhan akan glukosa meningkat karena
glukosa pada masa itu sangat dibutuhkan untuk perkembangan pedet dan persiapan
kelahiran. Sedangkan pada masa awal laktasi glukosa dibutuhkan sekali untuk
pembentukan laktosa (gula susu) dan lemak, sehingga jika asupan karbohidrat dari
pakan kurang maka secara fisiologis tubuh akan berusaha mencukupinya dengan
cara glukoneogenesis yang biasanya dengan membongkar asam lemak dalam hati.
Efek samping dari pembongkaran asam lemak di hati untuk di dapatkan hasil akhir
glukosa akan meningkatkan juga hasil samping yang disebut benda-benda keton
(acetone, acetoacetate, β-hydroxybutyrate (BHB)) dalam darah.
Ketosis dapat bersifat primer, seperti pada sapi yang mempunyai produksi
susu tinggi dengan pemberian karbohidrat dalam pakan yang kurang. Tetapi ketosis
juga bisa bersifat skunder, yaitu akibat gangguan penyakit tertentu yang
menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme karbohidrat meskipun karbohidrat
dalam pakan yang diberikan cukup. Kejadian ketosis yang bersifat skunder dapat
terjadi akibat kasus Displasia Abomasum, Metritis, Peritonitis, Mastitis atau
penyakit2 yang menyebabkan penurunan nafsu makan dalam waktu yang lama.

1
Patofisiologi Ketosis
Penyebab penyakit Mekanisme asetonemia diawali dengan gangguan
metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi . Pakan yang mengandung
karbohidrat tinggi dipecah oleh mikroorganisme rumen menjadi asam propionat
dan kemudian dibawa ke dalam hati untuk digunakan menghasilkan glukosa .
Fungsi utama glukosa adalah untuk mensintesa susu. Propionat berfungsi pula
dalam metabolisme lemak terutama untuk menghasilkan energi yang berasal dari
lemak . Sapi pada masa awal laktasi umumnya tidak mampu mengonsumsi cukup
energi dari diet pakannya untuk mencukupi kebutuhan energi dalam menghasilkan
susu dan oleh karena itu tubuh mendapatkan energi dari cadangan lemak . Lemak
dipecah menjadi asam lemak kemudian melalui aliran darah dibawa ke jaringan hati
. Di dalam hati, asam lemak dipecah menjadi asam asetat dan kemudian
menghasilkan sejumlah energi . Namun, degradasi asam asetat menjadi karbon
dioksida (C02 ) dan air (H20) yang disertai dengan pelepasan energi membutuhkan
interaksi dengan propionat. Propiont sendiri dihasilkan dari pakan yang
mengandung fiber tinggi akan didekomposisikan oleh mikroba rumen menjadi
asetat dan butirat, dan kedua senyawa ini dibawa ke dalam hati untuk
dimetabolisme . Butirat diubah menjadi asam asetat sehingga meningkatkan
kebutuhan sapi perah akan propionat .

Bila seekor sapi diberi pakan seimbang maka produksi total propionatnya
akan dikonversi menjadi glukosa dan digunakan untuk memproduksi susu . Pada
kondisi ketosis terjadi mobilisasi lemak untuk menghasilkan energi, akan tetapi
karena tidak tersedianya propionat maka metabolisme lemak tidak dapat berlanjut
secara sempurna sehingga hanya menghasilkan asam asetat . Kelebihan asam asetat
akan terakumulasi di dalam hati sampai jaringan hati tidak mampu lagi
mengakumulasi asam asetat . Untuk mengeluarkan asam asetat ini, maka dua
molekul asam asetat akan berikatan untuk menghasilkan aseton . Aseton keluar dari
hati melalui aliran darah dan akan mengintoksikasi sapi yang menimbulkan gejala
asetonernia.

2
Gejala Klinis Ketosis
Gejala ketosis yang tampak adalah menurunnya napsu makan, menurunnya
kegiatan rumen, adanya konstipasi, rendahnya produksi susu dan hilangnya bobot
badan. Bau aceton dapat dicium pada susu atau dari udara pernapasannya. Ketosis
akan menurunkan kandungan lemak susu, laktosa dan casein. Gejala ketosis ada
dua bentuk, yaitu adanya pembuangan benda-benda keton dan gangguan syaraf.
Pada awalnya biasanya hewan akan mengalami penurunan nafsu makan lebih dari
dua atau lima hari, kemudian malas bergerak, kaki gemetar, jalan sempoyongan
atau bahkan tidak kuat berdiri. Pengeluaran benda-benda keton bisa dideteksi
dengan adanya bau khas keton pada urine, susu atau dari nafas sapi yang menderita.
Gejala gangguan syaraf kadang-kadang dapat terlihat, ditandai dengan sering
menjilat, memakan benda-benda asing disekitarnya.

Diagnosis Ketosis
Diagnosis asetonemia banyak ditentukan oleh bangsa sapi dan tingkat
kejadian asetonemia di tempat sapi tersebut, gambaran klinis dan adanya benda
keton dalam kemihnya (ketonuria) dan yang lebih meyakinkan, dalam air susunya
(ketolaktia). Uji untuk mengenal benda keton di lapangan dapat dilakukan dengan
uji nitroprusid. Untuk meneguhkan diagnosis benda keton perlu diperiksa dari darah
penderita, meskipun di dalam praktek biasanya diagnosis asetonemia lebih banyak
ditentukan oleh kejadian penyakit di tempat penderita, gambaran klinis dan hasil
uji nitroprusid, baik dari kemih maupun air susunya. Di dalam praktek telah
diperdagangkan produk untuk uji nitroprusid, antara lain Acetest dalam bentuk
tablet dan Ketostick dalam bentuk lempengan celup.

Cara yang dianjurkan untuk melakukan uji nitroprusid dengan Acetest


dengan Reagent Tablet adalah sebagai berikut. Kepada tablet yang mengandung
nitrprusid ditambahkan satu tetes plasma, kemih atau air susu. Pembacaan hasil uji
dilakukan setelah 2 menit untuk plasma dan untuk cairan lainnya setelah 30 detik.
Tergantung pada jumlah benda keton yang dikandung, warna jingga yang terlihat
pada tablet bervariasi dari jingga muda hingga jingga tua. Hasil positif adanya
benda keton di dalam kemih tanpa disertai gejala klinis lainnya, dapat digunakan
sebagai peringatan akan terjadinya gangguan metabolisme. Sapi-sapi yang bereaksi

3
demikian perlu diamati. Kalau dipandang penting untuk memberikan pengobatan,
sebaiknya dipikirkan untuk memilih obat atau senyawa yang paling minim efek
sampingnya, misalnya propilen-glikol. Penggunaan sediaan glukokortikoid bagi
sapi sehat akan mencemari air susu. Meskipun dapat menaikkan produksi air susu
bagi sapi yang asetonemik, hal tersebut sebaiknya dihindarkan.

Kadar benda keton di dalam air susu kira-kira sama dengan yang terdapat di
dalam plasma, dan untuk diagnosis lebih dapat dipercaya daripada benda keton di
dalam kemih. Kadar 4 mg/dl air susu, atau reaksi positif 1, cukup dipakai untuk
pedoman dalam mengobati ketosis. (Subronto, 2004). Pemeriksaan patologi
anatomi pada hati, ginjal, dan jantung biasanya mengalami degenerasi melemak,
tampak kuning atau lebih pucat dari biasanya, konsistensi kurang padat.
Berdasarkan gejala klinis, terdapat benda keton dalam kemihnya (ketonuria) dan
dalam air susunya (ketolaksia). Beberapa tes laboratorium yang dapat dilakukan,
antara lain:

a. Sebagian besar tes tidak spesifik (enzim sering meningkat pada periode
postpartum):

Peningkatan level serum :

1. Benda keton, FFA, dan NEFA

2. Bilirubin, AST, GGT, dan SDH

Penurunan level serum :

1. Trigliserida ( tidak termobilisasi di dalam hati )

2. Kolesterol

3. Glukosa, albumin, magnesium, globulin dan insulin

b. Pengujian dengan biopsi hati

Tes ekskresi warna sulfobromophthalein dengan waktu paruh > 4 menit. Batas
aman prognosis jika > 9 menit.

c. Pengambilan sampel urin

4
Diagnosa Diferensial Ketosis

Berdasar gejala klinis yang timbul diakibatkan ketosis baik primer atau
sekunder, mempunyai kemiripan dengan penyakit metabolisme lainnya, penyakit
pada system saraf pusat (CNS) (Hyot, 2006) dan penyakit rabies (MVM, 2008).

Pengobatan Ketosis

Pengobatan yang dapat diberikan pada sapi yang mengalami ketosis yaitu :

• Pemberian larutan glukosa 50% 500 ml IV : untuk meningkatkan kadar


glukosa dalam darah, mengurangi proses glukoneogenesis.
• Pemberian hormone insulin yang mempunyai kerja antiketogenik yang
bagus. Selain untuk menurunkan benda keton darah, juga meningkatkan
penggunaan glukosa darah.
• Pemberian Potassium chlorate.
• Pemberian Sodium propionate.
• Pemberian Propylene glikol
• Pemberian glukokortikoid secara injeksi : untuk menurunkan pemanfaatkan
glukosa dalam jaringan.
• Pemberian senyawa-senyawa pembentuk glukosa secara oral seperti asam
laktat 200-250 gr per hari, gliserol 450 gram diberikan 2 kali sehari, asam
propionat 200-250 gram per hari, dan propilen glikol 240-300 gram
diberikan 2 kali sehari tetapi pemebrian propilen glikol tidak efektif
dibandingkan pemberian glycerol.
• Senyawa-senyawa lipotropik seperti Cholin, L-Methionin, Cysteamine
HCl.
• Pemberian vitamin (vit. B12), tiroksin, dan kloralhidrat (untuk sapi yang
mengalami gejala syarafi). Pemberian asam nikotinat 15-30 gram pada
pertama serta pemberian vitamin A dan E diperuntukkan bagi sapi gemuk.

5
Karena glukosa banyak dikuras oleh kelenjar susu, untuk dapat
menghentikan asetonemia maka sering dianjurkan untuk menghentikan pemerahan
dan bahkan dianjurkan pula untuk memompakan udara ke dalam kelenjar susu
(under insufflation). Selain itu juga anjuran untuk memuasakan selama 3 hari pada
penderita yang tidak gemuk. Sapi yang gemuk jangan dipuasakan karena akan
menyebabkan timbulnya ketosis karena lapar namun diberikan saja senyawa
lipotropik dan pemberian glukosa terus menerus sampai gejalanya benar-benar
hilang. Dan yang perlu diingat bahwa penderita mungkin dapat mengalami
kesembuhan secara spontan. (Subronto, 2004)

6
ASIDOSIS METABOLIK

Etiologi Asidosis
Asidosis metabolik umumnya di awali oleh adanya kondisi asidosis rumen
(Greenwood dan McBride 2010). Retikulorumen merupakan organ pencernaan
pada ruminansia yang memiliki ekosistem mikroba anaerobik. Mikroba dalam
rumen melakukan proses pencernaan dengan fermentasi, substrat akan dirubah
menjadi asam organik. Masuknya substrat dalam jumlah yang normal serta proses
penyerapan yang baik akan menciptakan pH rumen yang stabil yaitu berkisar 5,8 –
6, 8. Pada keadaan asidosis pH rumen biasanya dibawah 5,5 (Nagaraja dan
Titgemeyer 2006).
Kejadian asidosis metabolik pada ruminansia terjadi karena adanya
konsumsi karbohidrat yang mudah difermentasi secara berlebihan. Hal ini biasanya
terjadi pada saat pemberian pakan dari biji-bijian, seperti gandum dan jagung
dengan kandungan karbohidrat yang mudah difermentasi sehingga dapat
menyebabkan kejadian asidosis. Pakan selanjutnya akan masuk kedalam rumen dan
melewati tahap fermentasi oleh bakteri. Beberapa bakteri yang berperan
adalah Bifidobacterium, Butyrivibrio, Eubacterium, Lactobacillus, Mitsuokella,
Prevotella, Ruminobacter, Selenomonas, Streptococcus, Succinimonas, dan
Succinivibrio. Tingginya karbohidrat tersebut menyebabkan bakteri mengalami
peningkatan aktivitas yang menghasilkan VFA (volatile fatty acid) dan asam laktat
sehingga memungkinkan tejadinya asidosis rumen (Nagaraja dan Titgemeyer
2006). Hasil fermentasi rumen berupa VFA dan asam laktat yang berlebihan akan
diserap dan masuk kedalam darah. Masuknya VFA dan asam laktat secara
berlebihan dalam darah yang menyebabkan terjadinya kondisi asidosis metabolik.
Dalam darah terdapat mekanisme buffer yang dapat menetralkan asam yang masuk
dalam darah. Kondisi asidosis terjadi saat jumlah asam yang masuk berlebihan dan
jumlah buffer (HCO3-) yang ada sedikit. (Owens et al. 1998).
Penurunan pH dalam rumen juga dapat disebabkan oleh adanya kondisi
kerusakan lapisan epitel pada rumen. Jika terjadi kerusakan pada mukosa rumen
maka kondisi penyerapan akan terganggu sehingga memungkinkan terjadinya
kondisi asidosis rumen. Penyerapan yang lambat memungkinkan adanya
peningkatan aktivitas mikroba rumen sehingga akan menyebabkan produksi asam

7
VFA dan laktat juga meningkat. Peningkatan dua senyawa kimia ini dalam rumen
menyebabkan terjadinya penurunan pH rumen dan menyebabkan kejadian asidosis
(Nagaraja dan Titgemeyer 2006).
Seiring dengan menurunnya pH darah, dan peningkatan ion H + terjadi
penurunan pembentukan urea dan peningkatan sinteasa glutamin di hati, serta
peningkatan aktivitas ginjal (Greenwood dan McBride 2010). Peningkatan
aktivitas ginjal sebagai bentuk kompensasi terhadap keadaan asidosis dengan
mengeluarkan asam pada urin. Selain itu, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih
cepat sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan
cara menurunkan jumlah karbon dioksida.
Laporan dari Greenwood dan McBride (2010) menyebutkan bahwa pada
kondisi asidosis, ruminansia akan melaksanakan mekanisme peningkatan sintesis
glutamine (asam amino) sehingga kadarnya dalam plasma meningkat. Walaupun
demikian pada kasus asidosis kronis, akan terjadi penurunan konsentrasi glutamine,
hal ini disebabkan oleh penggunaan glutamine yang berlebihan saat awal kejadian
asidosis. Glutamine dianggap sebagai molekul penyimpan NH + di dalam otot dan
transportasi antar organ bagi senyawa tersebut. Adanya sintesis glutamine dalam
kasus asidosis yang berlebihan memungkinkan adanya pengambilan glutamine dari
otot melalui mekanisme proteolisis otot.

Patofisiologi Asidosis
Asidosis metabolik akan diawali dengan adanya asidosis rumen yang terjadi
ketika kadar asam organik berlebihan menumpuk dalam rumen, sehingga
menyebabkan pH cairan rumen kurang dari 5,2. Asidosis rumen disebabkan oleh
konsumsi karbohidrat yang mudah difermentasi secara cepat dan dalam jumlah
berlebih. Pakan yang dikonsumsi ternak akan masuk ke rumen dan melewati proses
fermentasi oleh bakteri rumen. Akibatnya, bakteri rumen akan merespon adanya
peningkatan karbohidrat dengan meningkatkan aktivitasnya berupa percepatan
berkembang biak dan peningkatan jumlah. Bakteri-bakteri yang berperan adalah
Lactobacillus, Streptococcus, Eubacterium, Succinimonas dan Succinivibrio
(Nagaraja dan Titgemeyer 2006).

8
Peningkatan aktivitas bakteri ini menyebabkan meningkatnya juga senyawa
kimia yang dihasilkan, seperti asam lemak volatil (VFA) dan laktat hal inilah yang
kemudian menyebabkan pH rumen semakin menurun (Emily dan Brent 2017).
Hasil fermentasi rumen berupa VFA dan laktat yang berlebihan akan diserap dan
masuk kedalam darah. Masuknya VFA dan laktat secara berlebih dalam darah yang
menyebabkan terjadinya kondisi asidosis metabolik.

Gejala Klinis Asidosis


Gejala klinis pada kasus asidosis bervariasi tergantung pada tipe dan jumlah
pakan yang diberikan, waktu pemberian pakan, dan keparahan gangguan fisiologis.
Dalam bentuk akut, hewan akan mengalami ataxia dan gangguan metabolisme.
kontraksi ruminal lemah atau tidak ada adalah indikasi yang sangat kuat terjadinya
asidosis karena hal ini diakibatkan oleh konsentrasi tinggi dari asam laktat dan
VFA, khususnya butyrate. Terkadang disertai anorexia, diare profus, berair, dan
berbau tidak sedap. Feses berwarna abu – abu dan masih mengandung rumput yang
tidak tercerna. Pada awal fase, hewan mengalami kenaikan temperature tubuh,
tetapi selanjutnya akan mengalami hipotermia. Dehidrasi akan berkembang dalam
waktu 24 hingga 48 jam. Hewan akan menunjukkan gejala berupa lemahnya pulsus

9
perifer, dan CRT lambat. Gangguan syaraf dapat muncul berupa obtundation atau
tidak merespon, kebutaan, head pressing, opisthotonus, dan gangguan jalan.
Pada keadaan subakut, hewan akan mengalami anorexia sementara degan gejala
dehidrasi ringan hingga moderate. Motilitas rumen berkurang, tetapi diare dan sakit
abdominal terkadang tidak ditemukan atau inkonsisten. Pada hewan laktasi
menyebabkan produksi susu menurun. Sedangkan pada keadaan perakut, hewan
akan ditemukan mati tanpa memperlihatkan gejala klinis. Pada kasus berat,
prognosis tidak dapat ditegakkan, dan kematian dapat terjadi dalam beberapa jam
saja.

Diagnosis Asidosis
Diagnosa kasus dilakukan berdasarkan riwayat pakan, gejala klinis, dan
pemeriksaan klinis termasuk warna, bau, konsistensi cairan, pergerakan microflora
pada rumen, pH urine dan tes parameter darah

Pengobatan Asidosis

Pengobatan asidosis dapat dilakukan dengan terapi cairan oral maupun


parenteral. Beberapa obat-obatan serta cairan yang diberikan adalah sodium
bikarbonat, ringer laktat, pheneramine maleate dan Oxytetracycline hydrochloride
yang diberikan secara intravena dan pemberian bubuk Bufzone secara oral

Pencegahan Asidosis

Asidosis rumen biasanya berkisar pada mengatasi praktik manajemen yang


mempercepat perkembangan penyakit pada hewan individu. Pada hewan yang tidak
terbiasa dengan ransum berkonsentrasi tinggi, akses ke bahan pakan yang mudah
dicerna harus dibatasi. Perubahan mendadak pada bahan pakan harus dihindari dan,
jika ada perubahan dibuat, harus dilakukan secara bertahap, karena adaptasi
mikroba rumen untuk pakan baru mungkin memakan waktu beberapa minggu.Jika
hewan diberi makan dari alat pakan otomatis, penting untuk memastikan bahwa
serat tersedia dan pakan ditingkatkan secara bertahap. Selain itu, pemantauan

10
tingkat pakan dalam alat pakan otomatis penting untuk memastikan hewan tidak
menjadi terlalu lapar. Aditif pakan seperti antimikroba ionofor, bikarbonat, dan batu
kapur dapat mengurangi keparahan penyakit dan kejadian ketika digunakan secara
tepat

11
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningsih, Budi. “PENGARUH NUTRISI TERHADAP TIMBULNYA
KETOSIS PADA SAPI LAKTASI”. Diakses di:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/03/pengaruh_nutrisi_terhadap_timbulnya_ketosis_p
ada_sapi_laktasi.pdf. Pada tanggal: 25 Februari 2020.
Admin. 2019. “MENGENAL ACIDOSIS PADA TERNAK RUMINANSIA
BESAR”. Diakses melalui http://jatim.litbang.pertanian.go.id/wp-
content/uploads/2019/04/ACIDOSIS-TERNAK.pdf. Diakses pada tanggal
25 Februari 2020
Gupta S.R, R.Yadav, C.S Sharma, A.Gattani. 2012. “Diatery Induced Metabolic
Acidosis In Goats And Its Succesful Therapeutic Management”.
Vol.13(2). 312-313.
Subronto, dan Ida Tjahajati. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: UGM
Press.
Synder, Emily. 2017. “Diagnosis and Treatment of Clinical Rumen Acidosis”.
Veterinary Clinics of North America Food Animal Practice
Sen, Ismail, Peter D Constable. 2013. “General overview to treatment of strong ion
(metabolic) acidosis in neonatal calves with diarrhea”. Department of
Veterinary Clinical Science.
Samin Madreseh-Ghahfarokhi, Azam Dehghani-Samani, Amir Dehghani-
Samani.2018.Ketosis (acetonaemia) in dairy cattle farms: practical guide
based on importance, diagnosis, prevention and treatments. 3 Department
of Clinical Sciences, Faculty of Veterinary Medicine, Shahrekord
University, Shahrekord, Iran. Volume 7 Issue 6 – 2018

12
13

Anda mungkin juga menyukai