Akhlak Tasawuf Fisika Kel.8
Akhlak Tasawuf Fisika Kel.8
Disusun oleh:
Shoddiq
1801130429
Norlaili
1801130401
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat serta salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Allah SWT. karena
berkat inayah-Nya-lah makalah ini dapat disusun dengan harapan dapat memenuhi tugas
kuliah “Akhlak Tasawuf’, yang mana makalah ini berjudul “Kebebasan, Tanggung
jawab dan Hati Nurani”.
Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang turut serta dalam
membuat makalah ini. Pertama, kepada petugas perpustakaan IAIN Palangkaraya yang telah
meminjamkan bukunya kepada kami. Kedua, kepada rekan-rekan penyusun makalah atas kerja keras
dalam menyusun makalah ini. Dan tentunya terima kasih kepada dosen pengampu kami, yaitu Bapak
Hendra Fitra Candra, M.Pd.I. atas ijinnya untuk menyusun makalah ini. Semoga Allah SWT. membalas
kebaikan-kebaikan mereka dengan balasan yang lebih baik. Amin.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis akan siap
menerima kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadikan amal saleh bagi
penulis. Amin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
C. MANFAAT ........................................................................................................ 1
A. KEBEBASAN ................................................................................................... 2
A. KESIMPULAN ................................................................................................ 10
B. SARAN ............................................................................................................ 11
ii
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan Rahmatan Lil Alamin, Islam bersifat universal, Islam
memiliki kitab suci al-Qur’an sebagai pedoman hidup para pemeluknya. Salah
satu ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an adalah memiliki sifat terpuji.
Sifat terpuji harus dimiliki setiap umat manusia supaya kehidupan di dunia
menjadi aman, damai dan tenteram. Salah satu sifat terpuji adalah bertanggung
jawab. Bertanggung jawab sendiri tentunya berkaitan dengan kebebasan dan hati
nurani setiap manusia.
Kebebasan merupakan keadaan dimana seseorang ingin melakukan suatu
tindakan tidak ada unsur paksaan di dalam diri seseorang tersebut. Di mana dalam
melakukan suatu tindakan pastinya ia harus bertanggung jawab atas tindakannya
tersebut. Setiap bertindak manusia selalu dibarengi rasa yang ada dalam dirinya
yang mana rasa tersebut memperingati atas apa yang telah dilakukan, apakah baik
atau buruk, dimana disebut hati nurani.
Kebebasan, bertanggung jawab dan hati nurani merupakan hal penting yang
pasti ada dalam setiap manusia. Untuk itu ketiga hal tersebut akan dibahas lebih
dalam di makalah yang telah disusun penulis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kebebasan?
2. Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab?
3. Apa yang dimaksud dengan hati nurani?
C. MANFAAT
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kebebasan.
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan tanggung jawab.
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan hati nurani.
1
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. KEBEBASAN
Di zaman baru ini perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan tersebut
muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinos, Hucs, dan Malebrache
berpendapat bahwa manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sementara
sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan
untuk menetapkan perbuatannya. Manakah di antara dua pendapat yang paling
benar bukan hak kita untuk menilainya, karena masing-masing argumentasi yang
sama-sama kuat dan meyakinkan. Kencenderungan masing-masing pembacalah
yang mana di antara aliran itu yang lebih diterima akal pikirannya.
Selain itu kebebasan itu meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu
kegiatan yang disadari, disengaja, dan dilakukan demi suatu tujuan yang
2
selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga
memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya keterbatasan
dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, dan sebagainya.
Namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi
kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatasan-keterbatasan
tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.
3
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus
manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau
dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia
yang dapat menentukan sendiri tindakannya.
Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang
diberikan al-Qur’an. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini;
1
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet. 10 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal.130-131.
2
Ibid.,hal 133.
4
B. TANGGUNG JAWAB
Dalam filsafat, pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang
menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan
tidak bertanggung jawab, adalah perbuatan yamg didasarkan pada pengetahuan
dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga.3
Artinya: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (dalam
tindakannya).”
3
Muhammad Mufid, Etika Dan Filsafat Komunikasi Edisi Pertama (Jakarta: Pranamedia Group,
2009), hal. 243.
4
Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 42-43.
5
Secara tersirat, ayat di atas menghimbau hati nurani manusia bahwa manusia
harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Pertanggung jawaban tertuju
kepada segala perbuatan, tindakan, sikap hidup, sebagai pribadi anggota, keluarga
rumah tangga, masyarakat, negara. Manusia mempunyai tanggung jawab baik
terhadap Tuhannya maupun manusia sesamanya. Nabi Muhammad Saw. Sebagai
teladan utama selalu memperlihatkan dalam keseluruhan hidup beliau untuk
mendidik para sahabat bagaimana bertanggung jawab dalam alamiah dan
tindakan. Tanggung jawab manusia mencakup semua aspek kehidupan baik
politik, kenegaraan, ubudiyah, ekonomi, sosial, kebudayaan, ilmiah. Nabi Saw.
Sebagai teladan tanggung jawab dalam pergaulan sehari-hari di rumah tangga
terhadap isteri dan anak, di medan perang, di masjid, kemasyarakatan dan
kenegaraan.5
5
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf Edisi Revisi, Cet. 2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 116.
6
Abuddin Nata, Op.Cit., hal.134.
6
Suneidesis (Yunani), yang arti umumnya “sama-sama mengetahui” dan biasanya
“sama-sama mengetahui perbuatan orang lain”. Jadi “suneidesis” itu ditujukan
kepada perbuatan sendiri, maka suneidesis dapat diterjemahkan dengan “sadar
akan” (perbuatannya sendiri).7
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh
saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada
kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul aliran atau
paham intuisisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik
adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk
adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani,
sebagaimana hal ini telah diuraikan panjang lebar di atas.
Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu
dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia,
yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena
kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan
secara moral.
Dari pemahaman kebebasan yang demikian itu, maka timbullah tanggung
jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat secara hati nurani dan moral harus
dapat dipertanggung jawabkan. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan,
tanggung jawab dan hati nurani.8
Jiwa manusia dapat merasakan ada sesuatu kekuatan yang berfungsi untuk
memperingatkan, mencegah dari perbuatan yang buruk. Atau sebaliknya kekuatan
tersebut mendorong terhadap perbuatan yang baik. Ada perasaan tidak senang
apabila sedang mengerjakan sesuatu karena tidak tunduk kepada kekuatan.
Apabila telah menyelesaikan perbuatan jelek, mulailah kekuatan tersebut
memarahinya dan merasa menyesal atas perbuatan itu.
7
Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali, 1990), hal. 51-52.
8
Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 135
7
Kondisi perasaan yang lain bahwa kekuatan tersebut memerintahkan agar
melakukan kewajiban. Kemudian mendorong untuk melangsungkan
perbuatannya. Dan setelah selesai, dia merasakan lapang dada dan gembira.
Hati nurani yang kita rasakan timbul dari hati kita, perintah kepada kita
supaya melakukan kewajiban dan memperingatkan kita agar jangan sampai
menyalahinya. Walaupun kita tidak mengharap balasan atau takut siksaan yang
lahir. Orang miskin yang mendapat uang di jalan, ia yakin bahwa tidak ada yang
melihatnya kecuali Tuhannya, dan kekuasaan undang-undang negeri tidak akan
mengenainya, kemudian ia sampaikan barang tersebut kepada pemiliknya atau
kepada pusat kepolisian. Hal tersebut dikarenakan ia memiliki hati nurani yamng
memerintahkan ia untuk menjauhi perbuatan yang buruk.9
Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, bahwa hati nurani (suara hati) mempunyai
tiga tingkatan:
9
A. Mustofa, Op.Cit., hal 118.
8
3) Tidak sampai kepada tingkatan ini kecuali orang-orang besar dan para
pemimpin ulung. Yaitu rasa seharusnya mengikuti apa yang dipandang benar
oleh dirinya, berbeda dengan pendapatan orang atau mencocokinya,
menyalahi undang-undang yang terkenal di antara manusia tau mencocokinya.
Dan sebenarnya manusia mau menunaikan kewajiban dan melakukan
perbuatan, yang mendorong adalah hati nurani yang tertanan dalam watak dan
jiwanya.
Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki atau
perbuatan yang dapat di nilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut di lakukan atas
kemauan dan kesadaran sendiri bukan karena paksaan dan bukan pula di buat-buat
dan di lakukan dengan tulus ikhlas.
Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu ialah perbuatan yang di
lakukan dengan sengaja secara bebas. Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus
dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan karena paksaan. Perbuatan seperti
inilah yang dapat dimintai pertanggung jawabannya dari orang yang
melakukannya.dengan demikian kita dapat melihat pentingnya hubungan
tanggung jawab dengan akhlak.10
10
Abuddin Nata,Op.Cit., hal136
9
BAB III PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebebasan merupakan dapat menentukan sendiri apa yang hendak
dilakukannya, dapat memilih kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya,
dan tidak dipaksa atau terikat untuk membuat suatu yang tidak akan dipilihnya
sendiri. Kebebasan meliputi kegatan mausia yang disadari, disengaja dan
diakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan.
Tanggung jawab berarti kemampuan manusia yang menyadari bahwa seluruh
tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Tanggung jawab akan hilang jika
kesengajaan yang berkurang atau lenyap. Kesengajaan dan tanggung jawab selalu
berhubungan.
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh
saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani menjadi salah satu dasar pertimbangan
dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia. Hati nurani ini
diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.
Atas dasar inilah muncul aliran atau paham intuisisme, yaitu paham yang
mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata
hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan
kata hati atau hati nurani, sebagaimana hal ini telah diuraikan panjang lebar di
atas.
10
Maka dapat di simpulkan bahwa kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani
adalah merupakan factor-faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat
di katakan sebagai perbuatan akhlak.
B. SARAN
Diharapkan buat pemakalah berikutnya agar lebih memperhatikan bagaimana
penulisan makalah yang baik dan benar sehingga kesalahan pada makalah ini
tidak terulang kembali.
11
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, A., Akhlak Tasawuf Edisi Revisi, Cet. 2 (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999)
Mufid, Muhammad, Etika Dan Filsafat Komunikasi Edisi Pertama (Jakarta:
Pranamedia Group, 2009)
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Cet. 10 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011),
Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Zubair, Ahmad Charis, Kuliah Etika Ed. 1, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali, 1990)
12