Anda di halaman 1dari 9

Ujian Tengah Semester

Nama : Norlaili
NIM : 1801130401
Mata Kuliah : Hadist dan Tafsir Pendidikan Fisika
Dosen Pengampu : Drs. Rofi’I, M. Ag.
SOAL UTS TAFSIR DAN HADIST TARBAWI
1. Jelaskan tafsir Q.S. An-Nahl : 78. kemudian adakah kaitannya dengan teori Nativisme,
Emperisme, dan Konvergensi dengan penjelasan melalui Hadits
Jawab:
Tafsir qur’an surat an-nahl: 78 dalam kitab tafsir almaraghi yaitu, Allah SWT
menjadikan kalian mengetahui tentang apa yang tidak kalian ketahui, setelah ia
mengeluarkan kalian dalam perut seorang ibu. Kemudian memberikan kalian akal,
dengan seperti itu kalian dapat memahami dan membedakan diantara yang baik dan
yang buruk, antara petunjuk dengan kesesatan, dan antara yang salah dengan yang
benar. Pendengaran menjadikan kalian dapat mendengar berbagai macam suara,
sehingga sebagian dari kalian dapat memahami dari sebagian yang lain tentang apa
yang kalian perbincangkan, dengan penglihatan menjadikan kalian dapat melihat
banyak orang, sehingga kalian dapat saling mengenal dan membedakan antara sebagian
dengan sebagian yang lain, sehingga kalian dapat mengetahui perkara-perkara yang
kalian butuhkan didalam hidup ini, kalian dapat mengetahui jalan, lalu kalian
menempuhnya untuk berusaha mencari rezeki, dan dapat memilih barang-barang yang
baik dan meninggalkan yang buruk.
Dengan harapan kalian dapat bersyukur kepada-Nya dengan menggunakan nikmat-
nikmat-Nya dengan tujuan ia ciptakan untuk dapat beribadah kepada-Nya, dan agar
setiap anggota tubuh kalian melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Karena sesungguhnya
apabila seorang hamba memurnikan ketaatannya kepada Allah SWT, maka seluruh
perbuatannya akan diperuntukkan bagi Allah SWT. Maka dia tidak mendengar kecuali
hanya untuk Allah SWT semata, karena Allah SWT kepadanya, bahwa tidak memegang
dan berjalan kecuali dalam ketaatan kepada-Nya, sambil memohon pertolongan
kepada-Nya dalam melakukan semua hal tersebut.
Secara garis besar teori pendidikan dilatarbelakangi oleh aliran Empirisme,
Nativisme, Konvergensi. Teori Konvergensi merupakan teori yang yang memiliki
pandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun
lingkungan, kedua-keduanya memainkan peranan penting. Dalam hal ini pendidikan
diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada anak didiknya untuk
mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk.
Potensi yang ada pada pembawaan dari seorang anak akan berkembang ketika
mendapatkan pendidikan dan pengalaman dari lingkungan. Untuk mengetahui potensi
yang ada pada anak didik yaitu dengan cara melihat potensi/bakat yang dimunculkan
pada anak tersebut. Ketiga teori di atas tidak ada berkaitan dengan hadists nabi yang
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul kabir. Al- Imam
Muslim rahimahumullah yang meriwayatkan dengan lafaz :
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara). Kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Pada hadits Nabi ini disebutkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrahnya (potensi untuk beriman-bertauhid kepada Allah dan kepada yang baik). Makna
yang terkandung pada hadits ini bahwa setiap manusia pada dasarnya baik, memiliki
fitrah, dan juga jiwanya sejak lahir tidaklah kosong seperti kertas putih tetapi berisi
kesucian dan sifat-sifat dasar yang baik. Di sinilah titik tolak perbedaan atau tidak ada
keterkaitannya antara ketiga teori tersebut dengan ajaran islam. Karena pada dasarnya
ajaran islam menampilkan teori yang fitrah sebagai dasar perkembangan manusia
sementara dalam salah satu hadist Nabi disebutkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrahnya (potensi untuk beriman - tauhid kepada Allah dan kepada yang baik)
dan juga jiwanya sejak lahir tidaklah kosong seperti kertas putih (yang diibaratkan oleh
John Locke dalam teori tabularasanya) tetapi berisi kesucian dan sifat-sifat dasar yang
baik. Hal ini jelas berbeda dengan ketiga teori tersebut yang menampilkan faktor yang
mempengaruhi perkembangan manusia, apakah manusia itu berkembang atas faktor
pembawaan (navisme) ataukah oleh faktor pendidikan dan lingkungan (empirisme),
atau keduanya saling mempengaruhi (konvergensi).
2. Tulislah surat Al-Mujadalah ayat 11 kemudian jelaskan tafsirnya, adakah yang berkaitan
dengan Dikhotomi ilmu
Jawab:
Berikut surat Al-Mujadalah ayat 11:
‫ح هّٰللا ُ لَ ُك ۚ ْم َواِ َذا قِ ْي َل ا ْن ُش ُزوْ ا فَا ْن ُش ُزوْ ا يَرْ فَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا‬ ِ ِ‫﴿ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قِ ْي َل لَ ُك ْم تَفَ َّسحُوْ ا فِى ْال َم ٰجل‬
ِ ‫س فَا ْف َسحُوْ ا يَ ْف َس‬
﴾ ١١‫ت َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ َخبِ ْي ٌر‬
ٍ ۗ ‫ِم ْن ُك ۙ ْم َوالَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِع ْل َم َد َر ٰج‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah
kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu)
berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha
Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Tafsir surat Al-Mujadalah ayat 11:
Dalam ayat di atas, ada dua perintah dari Allah Swt. untuk hamba-Nya. Pertama,
berilah kelapangan saat diperlukan dalam suatu majelis. Kedua, berdirilah saat keadaan
mengharuskan berdiri.
Kelapangan yang dimaksud sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain juz 2/hal.
212 adalah “tawassa’u“, yaitu luaskanlah. Lapang atau luas ini berlaku di majelis mana
saja. Maksudnya bukan berarti kita harus membuat majelis yang luas, akan tetapi selalu
memberikan kesempatan dan keluasan tempat bagi yang baru datang.
Misal kita mengadakan hajatan, atau kita pergi ke hajatan orang lain, di saat kita dan
tamu undangan yang lain sudah duduk, lalu tiba-tiba datang undangan yang lain.
Biasanya orang acuh tak acuh dan tak mau berbagi tempat dengan orang yang
terlambat datang. Nah, di sinilah ayat turun agar kita menguatkan hubungan sosial.
Orang yang rela berbagi tempat dengan orang yang datang adalah orang paling mulia di
majelis tersebut.
Sebenarnya ayat ini bukan hanya berlaku di hajatan dan majelis ilmu atau sholawat,
akan tetapi berlaku juga pada para penumpang transportasi umum. Memang itu sudah
disesuaikan dengan nomer kita saat membeli tiket, atau siapa yang duduk awal akan
kebagian kursi sedang yang paling akhir tidak, akan tetapi jiwa sosial kita tetap harus
dikedepankan. Apalagi yang tidak kebagian tempat adalah kakek-kakek atau nenek-
nenek, apalagi ibu-ibu hamil tua, tentunya kita yang lebih sehat dan kuat seharusnya
berdiri dan mereka yang duduk.
Adapun yang dimaksud dengan lafadz “insyuzuu” dalam Tafsir Jalalain Juz 2/hal. 212
adalah “Qumuu ilassholati waghairiha minalkhoirooti“, segeralah berdiri untuk
melakukan sholat dan kebaikan-kebaikan yang lain. Dalam artian, berlomba-lombalah
dalam hal kebaikan. Ketika sudah masuk waktu sholat, maka jadilah yang pertama
melaksanakannya. Ketika ada seruan kebaikan, misal ada kegiatan gotong-royong
membersihkan selokan atau merenovasi masjid, jadilah yang paling terdepan.
Apabila kita melaksanakan dua hal tersebut, atau dalam artian kita mengikuti dan
melaksanakan petunjuk ayat, maka berarti kita termasuk orang beriman dan berilmu.
Karena kita meyakini (iman) dan memahami (ilmu) adanya perintah tersebut. Ketika kita
sudah beriman dan berilmu, maka Allah Swt. akan meninggikan derajat kita. Baik di
dunia maupun kelak di akhirat. Baik di sisi-Nya ataupun di sisi makhluk-Nya.
Di akhir ayat tersebut Allah Swt. menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui atas
semua amal kita. Dalam artian, sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, seperti
halnya memberikan kelapangan tempat bagi orang lain, pasti akan dibalas oleh-Nya.
Oleh karena itu, marilah kita menjadi hamba yang suka mengalah untuk kebaikan orang
lain. Baik dalam urusan berbagi tempat duduk di suatu majelis (asal bukan berbagi
kedudukan di majelis pemerintah; KKN) atau berbagi ilmu pengetahuan. Hilangkan
pangkat atau kedudukan yang dimiliki saat duduk bersama orang lain. Dalam pribahasa,
“Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”.
Hubungan surat Al-Mujadalah ayat 11 dengan dikhotomi ilmu:
Secara etimologi, istilah dikotomi berasal bahasa Inggris dichotomy yang berarti
pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Sementara, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dikotomi diartikan sebagai pembagian di dua kelompok
yang saling bertentangan. Secara umum, istilah dikotomi ini digunakan untuk
membedakan atau memilah dua hal yang berbeda.
Adapun secara istilah atau terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan
antara ilmu (umum) dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena
dikotomik lainnya. Dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis
menjadi dua yang terpisah satu sama lain di mana yang satu sama sekali tidak dapat
dimasukan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.
Dalam konteks pendidikan Islam, dikotomi lebih dipahami sebagai dualisme sistem
pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan
kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada
pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan
peradaban Islam yang kaffah dan universal.
Secara normatif, Islam sangat menghargai tentang penguasaan ilmu pengetahuan.
Sehingga, ilmu dalam Islam dipandang secara utuh dan universal, tidak ada istilah
pemisahan atau dikotomi. Al-Qur’an juga menekankan agar umat Islam mencari ilmu
pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmu
ditinggikan derajatnya di sisi Allah, bahkan tidak sama orang yang mengetahui dan
dengan orang yang tidak mengetahui. Hal ini sebagaimana firman Allah S.W.T. Dalam
surah al-Mujadalah ayat 11 tersebut.
Ilmu pengetahuan dan agama merupakan satu totalitas yang integral yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan
akal bagi manusia untuk mengkaji dan menganalisis apa yang ada dalam alam ini
sebagai pelajaran dan bimbingan bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya di
dunia.
3. Apa yang dimaksud dengan proses pendidikan kemudian jelaskan melalui Al-Quran dan
Hadits
Jawab:
Pendidikan dalam konsep Islam adalah memelihara, membesarkan dan mendidik
yang sekaligus mengandung makna mengajar. Jadi, pendidikan itu adalah memberikan
bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan rasio dan mental atau
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Ada dua kata yang digunakan al-Qur’an untuk mengungkapkan makna pendidikan
yaitu kata rabb dengan bentuk masdarnya tarbiyah dan kata ‘allama dengan bentuk
masdarnya ta’lim. Kata tarbiyah sebagaimana dijelaskan oleh al-Raghib alAshfahany
adalah sya’a al-syai halan fa halun ila haddi al-tamam; artinya mengembangkan atau
menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai batas yang sempurna. Sedangkan
kata ta’lim digunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang
dan diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang. Kata
rabb dengan segala derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 981 kali. Kata
tersebut selanjutnya digunakan oleh al-Qur’an untuk berbagai makna antara lain
digunakan untuk menerangkan salah satu sifat Allah swt. yaitu rabbul ‘alamin yang
diartikan pemelihara, pendidik, penjaga, dan penguasa alam semesta (lihat QS al-
Fatihah/1: 2, al-Baqarah/2: 131, al-Maidah/5: 28, al-An’am/6: 45, 71, 162, dan 164, al-
A’raf/7: 54, digunakan juga untuk menjelaskan objek sifat tuhan sebagai pemelihara,
pendidik, penjaga, dan penguasa alam semesta seperti: al-‘arsy al-‘azhim yakni ‘arsy
yang agung (QS al-Taubah/9: 129), al-Masyariq, yakni ufuk timur tempat terbitnya
matahari (al-Rahman/55: 17), abaukum al-awwalun yakni nenek moyang para
pendahulu orang-orang kafir Quraisy (QS al-Shaffat/37: 126), al-Baldah, yakni negeri
dalam hal ini Mekah al-Mukarramah (QS al-Naml/27: 91; al-Baqarah/2: 126), al-Bait
yakni rumah, dalam hal ini Ka’bah yang ada di Mekah al-Mukarramah (QS Quraisy/106:
3) dan al-Falaq yakni waktu subuh (QS al-Falaq/112: 1). Berdasarkan makna-makna
tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa kata rabb dalam al-Qur’an digunakan
untuk menunjukkan obyek yang bermacam-macam, baik fisik maupun non fisik. Dengan
demikian, pendidikan oleh Allah swt. meliputi pemeliharaan seluruh makhluk-Nya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan
menurut al-Qur’an adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan bertahap untuk
memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada peserta didik sebagai bekal
dalam melaksanakan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Beberapa prinsip pendidikan seperti itu jika ditelusuri dari perkembangan Islam
awal seperti yang ditunjuki oleh hadis Nabi, meski masih sangat umum, Nabi telah
banyak membicarakannya. Misalnya beberapa prinsip dasar tentang mencari ilmu
maupun petunjuk menyampaikan suatu ilmu yang merupakan bagian dari proses
pendidikan itu antara lain ditemukan dalam hadis-hadis sebagai berikut (Farida, 2016):
‫يب بِ ِه َع َرضًا ِم ْن ال ُّد ْنيَا لَ ْم يَ ِج ْد َعرْ فَ ْال َجنَّ ِة‬ ِ ‫َم ْن تَ َعلَّ َم ِع ْل ًما ِم َّما يُ ْبتَغَى بِ ِه َوجْ هُ هَّللا ِ َع َّز َو َج َّل اَل يَتَ َعلَّ ُمهُ إِاَّل لِي‬
َ ‫ُص‬

“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang tidak untuk mencari keridhan Allah,
tapi hanya untuk mendapatkan nilai-nilai material dari kehidupan duniawi, maka ia
tidak akan mencium harumnya surga.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
Menurut penilaian Muhammad Ibn Shalih al-'Utsaimin, yang mengutif bahwa
penilaian Nashir al- Din al-Albani hadis ini sahih baik yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Ibn Majah, maupun oleh Ahmad. Dalam Sunan Abu Dawud tercantum dalam
hadis no 3664 dalam sunan Ibnu Majah tercantum dalam hadis nomor 252, dan dalam
musnad Ahmad tercantum dalam II:238, dan lain-lain, yang bersumber dari Abu
Hurairah.
Tema-tema pendidikan yang lebih spesifik lagi bila dibandingkan dengan tema
Hadis yang dikemukakan sebelumnya, adalah tentang pendidikan anak. Namun tema ini
pun masih bersifat gagasan umum. Hal ini bisa dimengerti karena kondisi sosial pada
masa awal Islam masih belum disadari arti pentingnya pendidikan itu. Pembicaraan
hadis tentang pendidikan anak yang dimaksud, misalnya hadis di bawah ini (Farida,
2016).
“Semua anak yang dilahirkan atas kesucian sampai lisannya dapat menerangkan
maksudnya, kemudian orangtuanya yang membuatnya jadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi” Riwayat Abu Ya’la, al-thabrani, dan al-Baihaqi, dari Aswad ibn Sari.
Menurut penelitian al-Suyuthi, kualitas hadis ini adalah shahih. Dengan demikian hadis
ini dapat dijadikan hujjah. Karenanya, berdasarkan petunjuk hadis ini peran sentral
orang tua dalam pendidikan anak sangat menentukan bagi suksesnya pendidikan anak.
Petunjuk hadis di atas, jika dikaitkan dengan kajian keilmuan kontemporer, misalnya
ilmu Psikologi, akan bertautan dan saling menguatkan. Misalnya, menurut psikologi,
anak pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor yang terintegrasi yaitu pembawaan
dan lingkungan. Sementara menurut hadis di atas ditegaskan bahwa anak sangat
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga terutama pihak orangtuanya. Di sini faktor
pembawaan atau watak anak yang diturunkan oleh orangtuanya itu sebenarnya sudah
tercakup. Namun demikian, dalam kajian Islam bahwa faktor-faktor pembawaan
maupun maupun faktor-faktor dari luar kedua-duanya dapat berpengaruh pada anak
yang sedang tumbuh dan berkembang [ CITATION Far16 \l 1033 ]
4. Jelaskan tujuan Pendidikan Nasional, tujuan Pendidikan Agama Islam, dan bagaimana
hubungannya dengan Q.S. Al-Isra ayat 23.
Jawab:
Di Indonesia sendiri, tujuan pengadaan pendidikan nasional bagi setiap warga negara
bisa kita temukan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Berdasarkan
undang-undang tersebut, tujuan pendidikan nasional di Indonesia ialah sebagai berikut:
“Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Lewat isi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 di atas, maka bisa kita ambil artian
bahwasanya tujuan pengadaan pendidikan nasional ialah untuk menjadikan setiap
warga negara Indonesia sebagai pribadi yang tidak hanya memiliki wawasan yang luas
namun juga memiliki sikap-sikap yang berbudi luhur sebagaimana yang dicita-citakan
dalam Pancasila.
PAI di sekolah eksistensi dan proses belajar mengajar, tujuan pendidikan agama
Islam yaitu: “Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman
peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan
bertakwa kepada Allah Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pendidikan agama Islam pada
sekolah umum bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan,
pengamalan tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada
jenjang yang lebih tinggi.
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional maupun tujuan pendidikan agama islam
sendiri, ada kaitannya dengan surah Al Isra ayat 23. Surah Al Isra ayat 23 sendiri
mengandung makna dari isi tujuan pendidikan nasional maupun tujuan pendidikan
agama islam.
Berikut ini adalah isi kandungan Surat Al Isra ayat 23:
a. Allah memerintahkan untuk beribadah hanya kepada-Nya. Melarang beribadah
kepada selain-Nya.
b. Sebagaimana dijelaskan Buya Hamka dala Tafsir Al Azhar, ayat ini menerangkan
akhlak seorang muslim. Dimulai dari akhlak kepada Allah lalu akhlak kepada orang
tua.
c. Allah memerintahkan untuk birrul walidain, berbakti kepada orang tua. Perintah ini
sangat penting sehingga pada banyak ayat diletakkan setelah perintah tauhid.
d. Larangan berkata buruk kepada orang tua, meskipun dengan kata-kata buruk paling
ringan sekalipun seperti “ah”, yang merupakan bentuk kekesalan dan keluhan.
e. Larangan membentak dan berkata kasar kepada kedua orang tua.
f. Wajib bertutur kata baik, sopan dan penuh penghormatan kepada kedua orang tua.
g. Orang tua yang telah berusia lanjut lebih membutuhkan bakti dan adab yang baik
dari anaknya karena saat itu kondisinya mulai lemah dan membutuhkan kebaikan.
5. Apa yang anda ketahui tentang
a. Birul Walad alal walid dan Syirrul walad alal walid
b. Uswatun Hasanah
c. Baqiatus Solihat
d. Alamal Insaa na Ma lam ya’ lam
e. Komponen Pendidikan
Jawab:
a. Birul Walad alal walid dan Syirrul walad alal walid
Birul Walad alal walid memiliki arti “kebaikan kepada orang tua”. Mengutip dari
Konsep Birrul Walidain karya Luky Hasnijar, secara luas arti birrul walidain adalah
berbuat baik kepada kedua orangtua, menunaikan hak orangtua dan (kewajiban
terhadap) mereka berdua, tetap menaati keduanya, melakukan hal-hal yang
membuat mereka senang, dan menjauhi berbuat buruk terhadap mereka. Haqqul
waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina
adabahu. (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang
baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik). Jadi, mendidik anak agar menjadi
orang beradab, sejatinya adalah tugas orang tua. Sebagai institusi pendidikan,
sekolah mengambil alih sebagian tugas itu, menggantikan amanah yang dibebankan
kepada orang tua.
Sedangkan, Syirrul walad alal walid berarti bahwa “keburukkan kepada kedua
orangtua”. Jadi, Syirrul walad alal walid merupakan kebalikan dari Birul Walad alal
walid.
b. Uswatun Hasanah
Uswatun hasanah terdiri dari dua rangkaian kalimat, uswah dan hasanah.
Uswah berarti, ikutan, panutan. Hasanah bermakna “yang baik”. Uswatun hasanah
adalah contoh suri teladan yang baik. Hasanah akar kata: hasuna-yahsunu-husnan
wa hasanatan berarti sesuatu yang baik, pantas, dan kebaikan. Kebaikan atau
sesuatu yang baik menurut Islam. Menurut Abi Fadl Jamaludin Muhammad bin
Mukrim bin Manzur al-Afriqi al-Misri, ahli bahasa Arab dari Mesir, hasanah adalah
sesuatu yang baik, segala perbuatan yang baik menurut Islam dan berpahala.
Lawannya adalah sayyi‟ah, yaitu sesuatu yang buruk, tidak baik, dan berdosa.
Menurut Ragib al-Isfahani (w. 502 H/ 1108 M), ahli bahasa dan Ilmu Al Quran,
hasanah adalah segala kebaikan atau kenikmatan yang diperoleh manusia bagi jiwa,
fisik dan kondisi perasaannya.
c. Baqiatus Solihat
Ketika membaca Surat Al-Kahfi ayat ke-46, kita menemukan di sana disebutkan
suatu amalan yang ganjarannya lebih utama dibanding perhiasan dunia yang berupa
anak dan harta. Ya, amalan itu adalah al-bâqiyat ash-shâlihât, adapun ayatnya
adalah:
﴾ ٤٦ ‫ت َخ ْي ٌر ِع ْن َد َربِّكَ ثَ َوابًا َّوخَ ْي ٌر اَ َماًل‬
ُ ‫صلِ ٰح‬ ُ ‫﴿ اَ ْل َما ُل َو ْالبَنُوْ نَ ِز ْينَةُ ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَ ۚا َو ْال ٰبقِ ٰي‬
ّ ٰ ‫ت ال‬
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh (al-bâqiyat ash-shâlihât) adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Jika menelaah dalam kitab tafsir Jalalain, di sana disebutkan:
“Dan al-bâqiyat ash-shâlihât—yaitu subhânallâh, wal hamdulillâh, wa lâ
Ilâha illallâh, wa Allâhu akbar, sebagian ulama menambahkan: wa lâ hawla walâ
quwwata illâ billâh—adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik
untuk menjadi harapan—tegasnya: sesuatu yang mana manusia mencita-citakan
dan mengharapkannya di sisi Allah ta’ala.” (Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam
Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalâlain, Kairo, Daarul Hadits, halaman 386).
Jika melihat dalam tafsir ini, kita dapat menyimpulkan bahwa al-bâqiyat ash-
shâlihât adalah dzikir yang sering kita baca selepas shalat, yaitu tasbih
(subhânallâh), tahmid (alhamdulillâh), takbir (Allâhu akbar), hawqalah (lâ hawla
walâ quwwata illâ billâh), dan tahlil (lâ Ilâha illallâh).
Jika melihat dalam tafsir ini, kita dapat menyimpulkan bahwa al-bâqiyat ash-
shâlihât adalah dzikir yang sering kita baca selepas shalat, yaitu tasbih
(subhânallâh), tahmid (alhamdulillâh), takbir (Allâhu akbar), hawqalah (lâ hawla
walâ quwwata illâ billâh), dan tahlil (lâ Ilâha illallâh).
d. Alamal Insaa na Ma lam ya’ lam
Alamal Insaa na Ma lam ya’lam merupakan ayat ke 5 dalam surah al-Alaq.
Alamal Insaa na Ma lam ya’lam artinya ” Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”.
Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi tafsir ayat ini adalah:
(Dia mengajarkan kepada manusia) atau jenis manusia
(apa yang tidak diketahuinya) yaitu sebelum Dia mengajarkan kepadanya hidayah,
menulis dan berkreasi serta hal-hal lainnya.
e. Komponen Pendidikan
Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang
menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan.
Bahkan dapat diaktan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan
diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau
terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 6 komponen, yaitu 1) tujuan
pendidikan, 2) peserta didik, 3) isi pendidikan, dan 6) konteks yang mempengaruhi
suasana pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai