Anda di halaman 1dari 16

KEBEBASAN, KETERIKATAN MANUSIA

DAN KEADILAN TUHAN

MAKALAH
POLA PIKIR MANUSIA
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah AID, ISD, IBD
Dosen Pengampu
Rudi hanafi, M. SOS

DISUSUN OLEH:
1. Rani Isnaini
2.Triayu Indriani Putri

FAKULTAS USHULUDHIN ADAB DAN DAN DAKWAH


KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUL A’MAL LAMPUNG
TAHUN 2023

Alamat : JL. Pesantren Mulyojati 16 B Kelurahan Mulyojati Kecamatan Metro Barat Kota Metro
Lampung Kode Pos : 34125 Website : https://iaidalampung.ac.id
Email : iaidalampung@gmail.com
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang berkat rahmatnya kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul mengenai kebebasan dan keterikatan manusia. Makalah ini sebagai salah satu tugas
dari mata kuliah ilmu kalam terlebih untuk kita semua agar dapat lebih mengetahui terhadap
materi yang akan dibahas.
Terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Walaupun makalah ini tentunya masih ada kekurangan dan
ketidak sempurnaan, kami berharap dapat menjadi sebuah rujukan bacaan yang bermanfaat
dan kritik saran yang membangun agar kedepannya bisa lebih baik lagi.
Semoga makalah ini juga menjadi sebuah informasi yang mencerahkan khususnya
bagi penulis sendiri maupun para pembacanya.

Metro, 02 Juni 2023

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................
A. Kebebasan dan Keterikatan Manusia....................................................................................
B. Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan................................................................................
C. Perbuatan manusia................................................................................................................
D. Kedilan Tuhan....................................................................................................................10
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................1
A. KESIMPULAN...................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................1

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mulai abad ke dua hijriah studi mengenai ajaran Islam telah mulai terspesialisasi.
Ilmu kalam membahas hal-hal yang menyangkut keimanan (aqidah, akidah). Ilmu fikih
(fiqh) membahas hukum-hukum Allah tentang perbuatan lahiriah manusia (syari’ah),
dan ilmu tasawuf membicarakan masalah-masalah yang menyangkut dengan rasa dalam
berhubungan dengan Tuhan, seperti rasa dekat dengan Tuhan, rasa cinta kepada-Nya
dan lain sebagainya. Masing- masing ilmu itu lambat laun larut dalam pembicaraan
mengenai objeknya masing-masing.

Tindakan manusia berdasarkan pilihan dan kehendaknya sendiri atau


berdasarkan ketentuan dan ketetapan Allah yang mana permasalahannya erat
hubungannya dengan masalah keesaan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan manusia
yang merupakan objek pembahasan ilmu kalam.

Paham Jabariah berpendapat bahwa segala perbuataan manusia telah ditentukan


Allah sehingga manusia hanya tinggal menjalaninya, tanpa adanya pengaruh kehendak
dan kesanggupannya (fatalism). Iman kepada qadha dan qadar (predestination, kadar)
wajib dan termasuk pokok atau rukun iman. Sebaliknya paham Qadariah berpendapat
bahwa manusia bebas memilih dan menentukan tindakannya (free will dan free act),
sehingga dia berhak mendapat pahala atas tindakannya yang baik dan menanggung
dosa dan azab atas tindakannya yang tidak baik. Qadar yang diimani oleh paham ini
adalah ketentuan dan keputusan manusia itu sendiri, tidak ketentuan dan keputusan
Tuhan semenjak azali.
keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.
Sebagai pencipta alam,Tuhan harus mengatasi segala yang ada, bahkan harus
melampaui segala aspek yang ada. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan
kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan
melampaui eksistensi-Nya.
Selain itu permasalahan ini erat hubungannya dengan keadilan tuhan, kehendak
1
dan ketentuan-Nya, juga sangat berpengaruh sekali dalam aktivitas pribadi dan
masyarakat sehari- hari serta kemajuan dan kemunduran suatu bangsa. Dengan
demikian permasalahan ini cukup penting dan aktual. Persoalan keterikatan dan
kebebasan manusia ini telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman dahulu kala
sampai sekarang.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud kebebasan dan keterikatan manusia?


2. Sampaimana batasan manusia bergantung pada kehendak dan kekuasaan
Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
3. Apakah manusia bebas ataukah terikat pada kekuasaan Tuhan dalam
menjalankan hidupnya?
4. Bagaimana keadilan tuhan menurut aliran aliran?

C. Tujuan Penulisan

1. Menguraikan definisi mengenai kebebasan dan keterikatan manusia dalam


pembahasan ilmu kalam.
2. Menjelaskan batasan manusia bergantung pada kehendak dan kekuasaan
Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya
3. Menjelaskan kebebasan atau keterikatan manusia dalam menjalankan hidupnya.
4. Menjelaskan kedialan tuhan mnurut aliran –aliran

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebebasan dan Keterikatan Manusia

Kebebasan secara umum dipahami sebagai satu istilah yang menekankan


kebolehan seseorang individu untuk bertindak mengikut kehendaknya sendiri.
Kebebasan di sini menekankan pada perbuatan manusia yang tentunya berangkat dari
pertanyaan apakah manusia diberi kemerdekaan sepenuhnya atau tidak dalam mengatur
hidupnya oleh Tuhan?

Keterikatan secara umum dipahami suatu hal yang mengikat terhadap seseorang
dalam menjalankan kehidupan. Maksudnya keterikatan dalam hal ini adalah mengenai
perilaku atau semua hal yang dilakukannya apakah manusia terikat seluruhnya pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan sehingga manusia tidak bisa bebas berbuat
sesuai apa yang diinginkannya?

Menurut Abduh1, kebebasan dan keterikatan manusia disamping memiliki daya


pikir manusia juga memiliki daya bebas untuk memilih yang merupakan sifat dasar
manusia. Memulai akal ini manusia mampu mempertimbangkan akibat dari perbuatan
yang dilakukannya. Setelah itu mengambil keputusan dengan kehendaknya dan
mengaktualkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya. Pandangan ini lebih
dekat dengan Mu’tazilah yang sangat menjungjung tinggi akal manusia.

Secara kodrati manusia memiliki kebebasan, kehendak dan daya untuk


mewujudkan kehendak tersebut. Tentu berbeda dengan fatalismenya Jabariyah.
Meskipun demikian, manusia tidak memiliki kebebasan secara mutlak dan absolut,
karena masih ada Tuhan yang lebih berkuasa.1

B. Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan


Semua aliran ilmu kalam berpendapat bahwa Tuhan melakukan perbuatan.

1
Rovi Husnain, “Kebebasan dan Keterikatan Berfikir Manusia Perspektif Theologi Modern”,
Jurnal Sosial dan Humaniora, Vol. 1, No. 2, 2019, hlm.177

3
Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya.

1. Aliran Mu’tazilah
Aliran yang bercorak rasional ini berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya
sebatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Hal ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak
mampu melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk tidak dilakukan-Nya karena ia
mengetahui keburukan perbuatan buruk tersebut. Bahkan, di dalam Al-Quran dikatakan
bahwa Tuhan tidak berbuat zalim.2 Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan dalil oleh
Mu’tazilah untuk mendukung pendapat diatas yaitu QS Al-Anbiya ayat 23 dan QS Ar-
Rum ayat 8.

‫اَل يُسْ ـَٔ ُل َعمَّا َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُسْ ـَٔلُ ْو َن‬


“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan
ditanya.”
(QS Al-Anbiya : 23)
‫ض َو َما َب ْي َن ُه َمٓا ِااَّل ِب ْال َح ِّق‬
َ ْ‫ت َوااْل َر‬ ِ ‫اَ َو َل ْم َي َت َف َّكر ُْوا ف ِْٓي اَ ْنفُسِ ِه ْم ۗ َما َخ َل َق هّٰللا ُ الس َّٰم ٰو‬
‫اس ِبلِ َق ۤاِئ َرب ِِّه ْم َل ٰك ِفر ُْو َن‬
ِ ‫َواَ َج ٍل م َُّس ًّم ۗى َواِنَّ َك ِثيْرً ا م َِّن ال َّن‬
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan
di antara manusia benar-benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya.” (QS Ar-
Rum : 8).
Qadi Abdul Al-Jabbar (w. 415/1024), seorang tokoh Mu’tazilah, mengatakan
bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan tidak akan ditanya mengenai
perbuatan-Nya, tetapi manusia yang ditanya tentang apa yang mereka perbuat. Al-
Jabbai menjelaskan bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan Mahasuci dari perbuatan
buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Al-Jabbai menjelaskan bahwa
seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, sebenarnya tidak perlu
ditanya kenapa perbuatan itu dilakukan. Qs Ar-Rum ayat 8, menurut Al-Jabbai
mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-
perbuatan buruk. Apabila Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia
menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentu tidak benar atau

4
merupakan berita bohong.2

Dasar pemikiran diatas serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan
sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Yang mana kewajiban-kewajiban tersebut
dapat disimpulkan menjadi kewajiban berbuat baik kepada manusia. Paham kewajiban
Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik (ash- shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan
aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban- kewajiban Allah sebagai berikut :

a. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia


Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah
bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu, aliran
Mu’tazilah tidak dapat memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat
dipikul. Hal ini juga bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan
Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika memberikan beban yang terlalu berat
kepada manusia.3
b. Kewajiban mengirimkan rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat
mengetahui hal-hal gaib, pengiriman Rasul seharusnya tidak begitu penting.
Akan tetapi, mereka memasukkan pengiriman Rasul kepada umat manusia
menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumen yang dimajukan mereka adalah
kondisi akal yang tidak dapat mengetahui yang harus diketahui manusia tentang
Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik
dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul, manusia
tidak dapat memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia maupun di akhirat
nanti.
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id)
Janji dan ancaman merupakan satu dari lima dasar kepercayaan aliran
Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan.
Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala

2
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, (Jakarta: Perkasa, 1990), hlm. 89.

5
kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang
berbuat jahat. Selanjutnya, keadaan tidak menepati janji dan tidak
menjalankan ancaman bertentangan dengan kemaslahatan dan kepentingan
manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah
kewajiban bagi Tuhan.

2. Aliran Asy’ariah
Bagi aliran Asy’ariah, paham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi
manusia (ash-shalah wa al-ashlah) sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak
dapat diterimanya karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali (1055-1111) ketika mengatakan bahwa Tuhan
tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran
Asy’ariah tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban. Paham mereka bahwa
Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk, mengandung arti bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali,
perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (jaiz) dan tidak satupun darinya yang
mempunyai sifat wajib. 4

Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai kewajiban, aliran Asy’ariah dapat menerima paham pemberian beban
yang diluar kemampuan manusia. Al-Asy’ari dengan tegas mengatakan dalam Al-
Luma’ bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul manusia. Al-
Ghazali mengatakan demikian juga dalam Al-Iqtishad.3
Meskipun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran
Asy’ariah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan dengan
keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia.
Karena tidak mengakui kewajiban-kewajiban Tuhan, aliran Asy’ariah
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan
ancaman yang tersebut dalam Al-Quran dan Hadits. Akan tetapi, disini timbul
persoalan bagi aliran Asy’ariah karena dalam Al-Quran dengan tegas dikatakan bahwa
siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk

3
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986),
hlm. 129.
6
neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab man, alladzi, dan sebagainya yang
menggambarkan arti siapa, oleh Al-Asy’ari diberi interpretasi “bukan semua orang,
tetapi sebagian”. Dengan demikian kata “siapa” dalam ayat “barang siapa menelan
harta anak yatimn piatu dengan cara tidak adil, ia sebenarnya menelan api masuk
kedalam perutnya” mengandung arti bukan seluruh, melainkan sebagian orang yang
berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam mendapat hukuman bukan semua
orang, melainkan sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapun yang
sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan. Dengan inpretasi demikian, Al- Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan
menepati janji dan menjalankan ancaman.4

3. Aliran Maturidiah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan antara Maturidiah Samarkand
dan Maturidiah Bukhara. Aliran Maturidiah Samarkand, yang juga memberikan batas
pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan
hanya menyangkut hal-hal yang baik. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban
melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang
Maturidiah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.

Maturidiah Bukhara sejalan dengan pandangan Asy’ariah mengenai paham


bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan
Bazdawi, Tuhan harus menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang
berbuat baik, meskipun bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman bagi orang
yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturudiah Bukhara tentang pengiriman Rasul,
sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak
bersifat wajib, tetapi bersifat mungkin.

Uraian Bazdawi diatas mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji
untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan dalam paham
al-Bazdawi mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan
pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya, bahwa tuhan sesekali tidak mempunyai
4
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,
1986), hlm. 129- 130

7
kewajiban apa-apa terhadap manusia. Dari sini dapat diketahui bahwa menurut paham
al-Bazdawi kekuasaan dan kehendak Tuhan tidaklah betul-betul mutlak seperti yang
dianut oleh kaum Asy’ariah. Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan boleh saja melanggar janji-
janjinya. Bagi Maturidiah Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk
memberi upah kepada orang yang berbuat baik.

Kontradiksi yang terdapat dalam pendapat al-Bazdawi ini mungkin timbul dari
keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tetapi
pada itu pula mempertahankan keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa Tuhan dapat
memasukkan orang yang berbuat baik masuk kedalam neraka adalah bertentangan
sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa Tuhan dapat memasukkan orang
yang berbuat jahat ke dalam surga, tidak bertentangan dengan Rahmat Tuhan.

Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan
kaum Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa upah dan hukuman Tuhan tak boleh tidak
mesti terjadi kelak.

C. Perbuatan manusia

Mengenai kebebasan dan keterikatan manusia, terdapat perbedaan dalam


pandangann setiap aliran kalam. Tentunya mengenai sampai mana manusia bergantung
pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidpnya?
Kemudian mengenai kemerdekaannya, apakah dalam mengatur hidupnya manusia
diberi keleluasaan sepenuhnya oleh Tuhan? Ataukah justru manusia terikat seluruhnya
pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?. Berikut akan diuraikan dari beberapa
aliran kalam.

1. Aliran Jabariyah
Antara kabariah ekstrem dan moderat terdapat perbedaan pandangan
dalam masalah ini. Jabariah ekstrem berpendapat bahwa segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya tetapi
merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Missal seorang mencuri
maka menurut mereka perbuatan itu adalah karena qadha dan qodar Tuhan yang
menghendaki.
Jabariah moderat berpendapat bahwa Tuhan menciptakan perbuatan
8
manusia yang baik maupun buruk atau jahat, tetapi manusia mempunyai bagian
di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya.
2. Aliran Qodariah

Menurut mereka, segala tingkah laku manusia dilakukan atas


kehendaknya sendiri. Dengan kata lain, manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri. Maka dari itu ia
berhak medapat balasan sesuai yang dikerjakannya.

3. Aliran Mu’tazilah
Dalam pandangannya, manusia mempunyai daya yang besar dan bebas.
Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut paham Qodariah atau free will.
Sebagaimana yang di jelaskan al-Jubba’I bahwa manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (al-istita’ah)
untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum
adanya perbutan.5

4. Aliran Asy’ariah
Menurut mereka, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia
diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh
karena itu, aliran Asy’ariyah lebih dekat dengan paham Jabariah.
Dalam dasar pijakannya, Asy’ariah menggunakan teori al-kasb
(acquisition, perolehan), yaitu segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya
yang diciptakan. Dengan demikan, mejadi perolehan bagi muktasib (orang yang
memperoleh kasab) sehingga perbuatan itu timbul. Sebagai konsekuensi dari
teori kasab ni, manusia kehilangan keaktifan, sehingga bersikap pasif dalam
perbuatan-perbuatannya.5
5. Aliran Maturidiah

Terdapat perbedaan antara Maturidiah Samarkand yang lebih dekat


5
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press, Jakarta, 1986, hlm. 129.

9
dengan paham
Mu’tazilah dengan Maturidiah Bukhara yang lebih dekat dengan paham
Asy’ariah.

Menurut Maturidiah Samarkand, kehendak dan daya berbuat pada diri


manusia yaitu arti sebenarnnya dan bukan kiasan. Hal tersebut berarti manusia
mempunyai kendali yang utuh untuk berkehendak dan mempunyai kekuatan
untuk menjalankan kehendaknya sendiri.
Maturidiah Bukhara memberikan tambahan dalam masalah daya.
Menurutnya, untuk perwujudan dan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia
tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat
mencpta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Tuhan baginya.6
D. KEADILAN TUHAN
Keadilan Tuhan menurut aliran-aliran sbb:
1. Kaum Mu’tazilah
Kebebasan manusian yang diberikan Tuhan kepadanya, akan
bermakna apabila Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya.
Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan terikat pada norma-norma
keadilan yang apabila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau
zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah, Tuhan tidak
memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah
terbatas.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar bahwa keadilan Tuhan mengandung arti
Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan
kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik.
Keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam
pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak

6
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) hlm. 193

10
pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbat
baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia.
Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan. konsep keadilan
Tuhan menurut Mu’tazilah adalah bermuara pada kepentingan manusia.
2. Kaum Asy’ariah
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran
Asy’ariah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat
sekehendak hati-Nya dalam pandangan Asy’ariah. Dengan demikian,
ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya
terhadap makhluk-Nya. Dengan kata lain, dikatakan tidak adil, apabila yang
dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
3. Kaum Maturidiah
Aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan
sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan
membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan
itu.
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus
dipahami dalam kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas
Al-Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak
mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat
sekehendakNya sendiri.
Dengan demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam
menginterpretasikan keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah.
Masalah dalil yang dipakai pun sama.

11
BAB II
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kehendak Tuhan dipahami oleh aliran Mu’tazilah sebagai kehendak yang tidak
mutlak semutlak-mutlaknya namun dibatasi oleh free will dan free act (kehendak bebas)
manusia, keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan kepada manusia dan kausalitas sunnatullah.
Konsep pemahaman tersebut dalam banyak hal searah dengan yang disampaikan oleh
aliran Maturidiyah Samarkand. Sedangkan oleh aliran Asy’ariyah, kehendak Tuhan ini
dipahami sebagai kehendak mutlak dan absolut dalam semua hal. Konsep pemahaman
tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh aliran Maturidiyah
Bukhara.

Keadilan Tuhan oleh aliran Mu’tazilah dipahami sebagai sesuatu yang terpusat
pada kepentingan manusia. Tuhan tidak dapat mengabaikan pada kewajiban-kewajiban
terhadap manusia. Sedangkan oleh aliran Asy’ariyah dipahami sebagai menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Interpretasinya tetap berorientasi pada absolutisme kehendak
dan kekuasaan Allah. Aliran Maturidiyah Bukhara dalam hal ini serupa dengan
pemahaman Asy’ariyah. Sedang aliran Maturidiyah Samarkand mengutamakan
pengertian keadilan Tuhan sebagai lawan perbuatan zalim.

12
DAFTAR PUSTAKA

Razak, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, cet. ke-2 Edisi
Revisi

Muhammaddin,.Palembang,2009. Ilmu kalam.IAIN RADEN FATAH PRESS


Husnaini, R. (2019). Kebebasan dan Keterikatan Berfikir Manusia Perspektif Theologi
Modern .JURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, 177.

Nasution, H. (1986). Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.


Jakarta: UI Press.

Yusuf, M. Y. (1990). Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam. Jakarta: Perkasa.

13

Anda mungkin juga menyukai