Di Susun Oleh:
Jamalia Pampanua (520120021)
Penulis
ii
Daftar Isi
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup tidak akan lepas dengan namanya permasalahan, siapapun pasti
akan menghadapi problematika yang disebut dengan masalah. Sesuatu yang
real dan nyata adanya bahwa didalam kehidupan ini masalah akan ada dan
datang menghampiri setiap manusia dengan silih berganti. Selama manusia
masih bernyawa, maka saat itu mereka tidak dapat menghindari diri dari
sebuah permasalahan.
Tidak ada manusia yang tidak memiliki masalah dalam kehidupan.
Jika dilihat dari segi pertumbuhan hidup yang dijalani manusia akan kita
temukan fase kehidupan disertai dengan permasalahannya. Permasalahan atau
problematika kehidupan yang dihadapi oleh manusia akan semakin kompleks
dirasakan, seiring dengan kehidupan modern sekarang ini, orang yang
memiliki masalah akan ditandai dengan stres yang cenderung akan
membuatnya lepas kontrol, frustasi dan kehilangan arah dan menata dan
merencanakan kehidupan yang bermakna.
Manusia tidak lepas dari yang namanya permasalahan baik itu di
rumah maupun di tempat kerja. Yang namanya masalah pasti ada
penyebabnya, dan ada juga solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Oleh karena itu, bimbingan dan konseling sangat berperan penting dalam
kehidupan manusia dalam mengatasi dan memberikan solusi terhadap
permasalahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hakikat manusia?
2. Bagaimana hakikat manusia dan hubungannya dengan bimbingan dan
konseling?
3. Apa saja permasalahan manusia?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Murtadha Murthahhari, Manusia Sempurna Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia,
Terj.,(Jakarta: Lantera, 1994), h. 11.
2
Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), Cet. Ke-2, h. 41.
3
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke II, h. 9-10.
2
Zakiha Daradjat berpendapat, bahwa manusia sejak lahir memiliki
potensi baik dan buruk. 5 Itu adalah perwujudan dari fitrah manusia. Kedua
4
4
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986), h. 263.
5
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: PT Eresco, 1995),
h. 241.
6
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Mutu Tenaga Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), h. 32.
3
memperlihatkan betapa manusia sangat berpotensi untuk mengembangkan
dirinya untuk menguasai alam, dan untuk mengembangkan budaya setinggi-
tingginya demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seiring dengan pendapat di atas, Zakiah Darajat menjelaskan bahwa
dimensi kemanusiaan itu sendiri terdiri atas tujuh dimensi, dimensi fisik,
Iman, akhlak, kejiwaan, keindahan, dan sosial kemasyarakatan. Bagi Zakiah
Dradjat, pembagian dimensi kemanusiaan itu menjadi tujuh adalah bahwa
manusia memiliki dimensi yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani
akan tetapi lebih dari itu.
Berikut ini akan dijelaskan ke tujuh dimensi pendidikan secara
ringkas:
1) Dimensi Fisik
Konstruksi fisik manusia merupakan sebuah konstruksi yang paling
sempurna di antara bentuk jasmani sama makhluk Allah. seluruh anggota
badan manusia termasuk pancaindranya menjadikan manusia memiliki
Keluwesan untuk melakukan berbagai aktivitas dalam bentuk apapun dalam
hidupnya. Uraian di atas sejalan dengan pemikiran Prayitno, yang
mengatakan bahwa keadaan fisik seseorang jauh lebih baik dan lebih indah
dari seekor binatang yang paling cantik sekalipun. “Indah” di sini
dimaksudkan bukan semata-mata dari segi bentuk atau wujud penampilannya,
tetapi lebih lagi dari segi maknanya. Oleh karena itu, perangkat jasmani
manusia dibina dengan tujuan:
a. Untuk membangun dan peminat manusia yang kuat, sehat dan
mampu melaksanakan tugasnya.
b. Untuk membina fisik yang sehat, sehingga tercipta kepribadian
yang seimbang dan Selaras sebagai pengabdian kepada Allah SWT.
c. Untuk membina dan mengelola fisik yang kukuh, sehingga terbina
sikap-sikap terpuji misalnya toleransi, sportif, dan kerjasama.7
2) Dimensi Akal
Dimensi akal bagi manusia memiliki fungsi untuk memahami,
mengamati, belajar, dan berpikir. Problematika kehidupan yang dihadapi
manusia baik dalam skala besar maupun kecil, sebagian besar mampu
dipecahkan dengan akal. Akal juga dapat dimanfaatkan untuk mempelajari
dan mendalami objek-objek metafisik dan supranatural, selama dibarengi
dengan kepercayaan. Karenanya dimensi kemanusiaan yang kedua dalam diri
manusia ini memiliki relasi yang kuat dengan dimensi yang pertama. 8
7
Zakiah Daradjat, Ibid, h. 3-4.
8
Zakiah Daradjat, Ibid, h. 6-7.
4
3) Dimensi Iman
Iman sebagai dimensi yang ketiga dalam kajian teologis sebagai
kepercayaan dalam hati, pengucapan oleh lisan, dan dilakukan dalam
bentuk perbuatan nyata.9Oleh karena itu iman memiliki tiga elemen pokok,
yaitu kepercayaan dalam hati, pengucapan oleh lisan, dan realisasi dalam
bentuk tindakan nyata. Ketiga elemen tersebut merupakan satu kesatuan
yang utuh. Salah satu dari ketiga unsur tersebut merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari iman.
4) Dimensi Akhlak
Dimensi akhlak adalah kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan
antara hati nurani, pikiran, perasaan, dan bawaan serta kebiasaan yang
menyatu membentuk satu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam
kenyataan hidup keseharian.
Cara untuk menanamkan akhlak menurut rakyat darajat adalah:
a. Menumbuh kembangkan dorongan dari dalam yang bersumber dari
iman dan takwa.
b. Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak berdasarkan Al-Qu’ran
lewat ilmu pengetahuan, pengalaman, dan latihan agar dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
c. Meningkatkan kemauan yang menumbuhkan kebebasan pada
manusia untuk memilih yang baik dan melaksanakannya. Kemauan
inilah yang mempengaruhi pikiran dan perasaan manusia.
d. Latihan untuk melakukan yang baik serta mengajak orang lain
untuk bersama-sama melakukan perbuatan baik tanpa paksaan.
e. Pembinaan dan pengulangan melaksanakan yang baik, sehingga
perbuatan yang baik itu menjadi kebiasaan yang tumbuh dan
berkembang secara wajar dalam diri manusia. 10
5) Dimensi Kejiwaan
Dimensi kejiwaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam diri
manusia. Kejiwaan pada dasarnya merupakan kekuatan dan penggerak dari
dalam yang mampu mengendalikan serta memadukan keadaan dan seluruh
unsur pada diri manusia dalam memenuhi segala kebutuhan agar dapat
hidup sehat, tentram, dan bahagia. Kejiwaan yang dimaksud di sini lebih
cenderung pada emosi seseorang, bukan jiwa sebagaimana dipahami
9
Lihat Ahmad Fu’ad, al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979)
h.109-110. Baca pula Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 13.
10
Zakiah Daradjat, Ibid, h. 13-14.
5
dalam objek kajian ilmu jiwa. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus
memperhatikan secara serius terhadap dimensi kejiwaan anak didik,
khususnya bagi seorang guru atau pendidik.11
6) Dimensi Keindahan
Dimensi keindahan atau estetika. Estetika menjadi salah satu dimensi
utama manusia, karena betapa gersangnya jiwa manusia yang tidak mampu
mengenal keindahan, keteraturan, keserasian dan keseimbangan tata letak
dan tata tertib alam raya ini, bagi yang mau memikirkannya merupakan
suatu keindahan yang tak ternilai di samping tanda kebesaran Allah SWT.
11
Zakiah Daradjat, Pembinaan Jiwa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 32.
12
Lihat Mahmud al-Syaid Sulthan, Mafahim fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1981), h.
96-96. Baca pula Ibrahim Ishmat Muthawi, Ushul al-Tarbiyah, (Jeddah: Dar al-Syuruq,
1982), h. 126-128.
13
Zakiah Daradjat, Ibid, h. 18-19.
6
keluarga. Para pendidik atau pengelola sekolah memiliki peranan yang
sangat besar dalam melanjutkan upaya pengembangan tersebut dalam
proses pendidikan di lembaga pendidikan formal.
Demikian juga masyarakat memiliki tanggung jawab dan peranan
dalam upaya pengembangan seluruh dimensi manusia secara seimbang.
Meskipun tidak mungkin seseorang dengan sendirinya mampu
mengembangkan seluruh dimensi yang ada, akan tetapi diri manusia itulah
yang memegang peranan utamanya.
Dalam pandangan behavioristik, eksistensi manusia dapat diwujudkan
melalui proses pembelajaran. Apabila hasil dari proses pembelajaran yang
diperoleh berlangsung dengan baik dan mengacu kepada segala aspek
kehidupan, maka individu yang bersangkutan akan dapat menjalani
kehidupannya dengan baik namun tidak semua individu dalam proses
pembelajaran dapat menyerap hasil pembelajaran secara sempurna. Hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan, bakat, serta minat masing-
masing individu, di samping tujuan yang diinginkan dalam proses
pengajaran yang akan dan telah dilalui oleh setiap individu.
Behavioristik secara historisnya merupakan kelanjutan dari investigasi
laboratorium Ivan Pavlov, seorang psikolog Rusia yang bekerja pada
Conditioned Reflexes untuk mengembangkan Classical Conditioning.
Sarlito Wirawan Sarwono menjelaskan, 14 bahwa konsep behavioristik
bermula pada beberapa keyakinan serta martabat manusia, yang meliputi:
1) Manusia pada dasarnya baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia
mempunyai potensi untuk tertinggal aku baik atau buruk, tepat atau
salah. Berdasarkan bekal keturunan dan pembawaan serta berkat
interaksi antara bekal keturunan dengan lingkungan, maka terbentuk
aneka pula bertingkah laku yang menjadi suatu ciri khas pada
kepribadiannya.
2) Manusia mampu untuk ngerap seleksi atas tingkah lakunya sendiri
koma menangkap apa yang dilakukannya komandan mengatur serta
mengontrol perilakunya sendiri.
3) Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu
pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar.
4) Manusia dapat memengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pula
dapat dipengaruhi oleh orang lain.
14
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 27.
7
Lebih lanjut Resmiyati, E. K. menjelaskan, bahwa dalam aliran
behavioristik terdapat empat hal utama yang menjadi pokok perhatian
dalam mengkaji konsep manusia. Empat konsep tersebut sebagai berikut:
1) Sensasionalisme, diasumsikan bahwa semua perilaku manusia terjadi
melalui pengalaman sensorik.
2) Reduksionisme, semua perilaku termasuk perilaku yang paling
kompleks dapat dijelaskan melalui konsep yang cukup sederhana yang
mengikuti konsep stimulus respons.
3) Asosiasisme, bahwa semua perilaku manusia termasuk proses mental
terjadi karena adanya hubungan asosiasi yang kuat akibat perlakuan
yang berulang-ulang.
4) Mekanisme, bahwa unsur-unsur kejiwaan manusia dapat disamakan
dengan mesin yang terbentuk dari proses sederhana stimulus-respons
dan diatur oleh lingkungan tanpa mempertimbangkan komponen
misterius dalam diri manusia. Dengan demikian, manusia tidak
memiliki potensi apapun bagaikan botol yang masih kosong sama
sekali. 15
15
Resmiyati, E.K., ”Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik: Kritik dan
Kesejalanan dengan Konsep Islam” dalam Rendra K., Metodologi Psikologi
Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 50-60.
16
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), h. 175.
8
bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia senantiasa berada dalam
sebuah arena ujian yang sarat dengan berbagai cobaan. 17
Dalam Al-Qur’an dan Sunnah dijelaskan, bahwa manusia pasti
mengalami problem dalam kehidupannya, ringan atau berat. Problem itu
pada hakikatnya adalah ujian. Kesadaran bahwa dalam hidup ini pasti ada
problem dan pada hakikatnya problem itu adalah ujian merupakan langkah
awal untuk mengatasi problem-problem tersebut. Kesadaran itu akan
menumbuhkan semangat untuk menghadapi dan mengatasinya. 18
Lebih lanjut Mahfud An menjelaskan, 19 bahwa dalam menghadapi
problema problema kehidupan, yang harus dimiliki seseorang adalah
kesabaran. Orang yang Sabar adalah orang yang akan menang dalam
menghadapi problem-problem itu. Ia akan diberikan rahmat, keberkahan,
dan petunjuk dari Allah SWT.
Bila ditinjau pengertian konseling, secara etimologi kata bimbingan
"guidance" berasal kata kerja "to guidance" yang berarti menunjukkan
atau menuntun orang lain ke arah yang benar kata guidance dapat
dimaknai sebagai pemberian bantuan kepada orang lain yang
membutuhkan. 20 Dengan demikian dapat dipahami bahwa bimbingan
adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar ia memahami
dirinya dan dunianya sehingga dengan demikian ia dapat memanfaatkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya.
Adapun istilah konseling secara etimologi berasal dari bahasa latin
yaitu “conselium” yang berarti dengan atau bersama yang dirangkai
dengan menerima atau memahami. Dalam bahasa Anglo Saxon, istilah
konseling berasal dari “selian” yang berarti menyerahkan atau
menyampaikan. Pendapat yang hampir bersamaan juga dikemukakan oleh
M. Arifin yang menjelaskan bahwa istilah “Counselling” berasal dari kata
kerja to counsel yang mengandung arti memberikan anjuran kepada orang
lain secaraface to face (tatap muka). 21 Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh seorang yang ahli (konselor) kepada individu
normal yang sedang mengalami suatu masalah agar masalah yang dihadapi
dapat diselesaikan dengan baik.
Prayitno dalam Mulyadi menjelaskan bahwa bimbingan dan konseling
merupakan dua istilah yang sering dirangkai bagaikan majemuk. Hal itu
17
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 168.
18
Mahfud An, Petunjuk Mengatasi Stres, (Bandung: PT Sinar Baru, 2003), h.49.
19
Mahfud An, Ibid, h. 50.
20
M. Arifin, Pokok Pikiran dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.
18.
21
M. Arifin, Op, Cit., h. 20.
9
mengisyaratkan bahwa kegiatan bimbingan kadang dilanjutkan dengan
kegiatan konseling, beberapa ahli menyatakan bahwa konseling
merupakan inti atau jantung hatinya dari kegiatan bimbingan. Adapun
yang menyatakan bahwa konseling merupakan salah satu jenis layanan
bimbingan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam proses
keterlaksanaan kegiatan konseling didalamnya sudah tersirat kegiatan
bimbingan.22
C. Permasalahan Manusia
1. Pengertian Masalah
Ditinjau dari segi makna kata (etimologi) masalah identik dengan kata
problem, yang merupakan kata benda, atau soal, persoalan, 23 masalah, 24
persoalan; problem. 25 Dengan demikian permasalahan dapat didefinisikan
sebagai sesuatu yang menjadi keresahan yang membuat pikiran, perasaan,
tidak tentram, atau suatu kondisi ketidak sesuaian antara harapan dan
kenyataan (yang menyebabkan timbulnya permasalahan). Adapun bila
dilihat dari segi terminology, diantaranya dikemukakan oleh Siti Rahayu
Aditono 26 menyebutkan, bahwa masalah adalah ketidak mampuan
seseorang untuk memenuhi kebutuhannya akan menimbulkan ketegangan-
ketegangan didalam jiwanya sehingga timbul mekanisme tingkah laku atau
pertahanan diri yang kebanyakan berupa mal adjustment (tingkah laku
salah suai) yang merupakan cara penyelesaian atau pelarian dari
kenyataan.
Dilain pihak sehubung dengan pendapat diatas, WS. Winkel 27
mengatakan bahwa masalah adalah sesuatu yang menghambat, merintangi,
mempersulit seseorang dalam usahanyauntuk mencapai sesuatu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masalah adalah segala
sesuatu yang mendatangkan keresahan, kegelisahan, yang akan
mengahambat, merintangi, serta mengganggu pikiran dan perasaan
seseorang sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam dirinya dan
memunculkan tingkah laku yang tidak wajar dan sulit untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
22
Mulyadi, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah dalam Perspektif
Islam, (Padang: Hayfa Perss, 2010), h. 44.
23
John M. Echols dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia, 1993), h. 448.
24
WJS. Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Balai
Pustaka, 1984), h. 634.
25
Widodo, dkk., Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Absolu, 2001), 406.
26
Siti Rahayu Haditono, Dasar-dasar Teori Bimbingan dan Penyuluhan,
(Yogyakarta: PT Gunung Agung, 1972), h. 57.
27
WS. Winkel, Op. Cit., h. 15.
10
Pandangan Islam terhadap masalah yang dirasakan oleh manusia
sebagai berikut:
1. Masalah sebagai ujian, hal ini dapat dipahami dari firman Allah sebagai
berikut:
ِ ِۗ ال ْنفُ ِس َوالث َّ َم ٰر
ِّ َت َوب
ش ِِر َ ْ ال ْم َوا ِل َو ٍ ف َو ْال ُج ْو ِع َونَ ْق
َ ْ َص ِِّمن ِ يءٍ ِِّمنَ ْالخ َْو َ َِولَنَ ْبلُ َونَّكُ ْم ب
ْ ش
َصبِ ِريْنّٰ ال
“Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al-
Baqarah: 2/55).
Berdasarkan terjemahan ayat diatas, menurut Ahmad Mushthafa al-
Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, sesungguhnya Allah akan menguji
kalian dengan aneka ragam percobaan. Misalnya perasaan takut terhadap
musuh dan adanya musibah yang wajar terjadi, seperti kelaparan dan
kekurangan buah-buahan (peceklik) bagi orang yang beriman kepada
Allah. Keadaan seperti ini akan dilaluinya, sekalipun terisolasi dari
lingkungan keluarga, bahkan diusir tanpa membawa sesuatu sampai-
sampaikarena rasa laparnya, orang yang berikan jika memerlukan
makanan hanya cukup dengan mengulum buah kurma lalu disimpanya
kembali mengingat jangka yang masih panjang terutama sekali ketika
mereka berlaga di perang Ahzab dan Tabuk. 28
2. Masalah mempunyai hikmah dan nilai manfaat. Hal ini dapat dipahami
dari firman Allah:
سىا َ ْنت َ ْك َره ُْوا َشيْـًٔ َّاوه َُو َخي ٌْرلَّكُم ۚ كُتِبَعَلَ ْيكُ ُم ْال ِقت َالُ َوه َُوكُ ْرهٌلَّكُ ْم
ٰٓ ع
َ ۚ َو
سىا َ ْنت ُ ِحب ُّْوا َشيْـًٔ َّاوه َُوش ٌَّرلَّكُ ْم َ ََواللّٰ ُه َي ْعلَ ُمو ۗ َو
ٰٓ ع َ َا َ ْنت ُ ْم ََلت َ ْعلَ ُم ْون
“Diwajibkan atas kamu berperang padahal berperang itu adalah sesuatu
yang dibenci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal Ia sangat baik
bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal Ia sangat
buruk bagimu, Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”.
(QS. al-Baqarah: 2/ 216)
Berdasarkan terjemahan di atas, menurut Ahmad Mushthafa al- Maraghi
dalam Tafsir al-Maraghi, bahwasanya telah diwajibkan kepada kalian
memerangi orang-orang kafir secara fardhu kifayah dengan pengertian,
apabila sebagian kaum muslimin telah melakukannya, maka cukuplah hal
itu bagi mereka dan tidak harus semua melakukannya. Apabila musuh
11
telah memasuki negara Islam dan berusaha untuk menundukkannya maka
hukum menjadi fardhu ain (wajib setiap orang). 29
3. Allah mempunyai peran atas kehadiran masalah, hal ini dapat dipahami
dalam firman Allah:
ِ ّٰ ِص ْيبَ ٍةا ََِّّل ِب ِاذْن
اّلل َ َ َو َم ْنيُّؤْ ِم ْۢ ْنبِاللۗ َما ٰٓا
ِ صابَ ِم ْن ُّم َ ع ِل ْي ٌۗم ِهيَ ْه ِدقَ ْلبَه ْ َواللّٰ ُهبِكُ ِل َش
َ ٍيء
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan
izin Allah dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. at-Taghaabun: 64/11)
Berdasarkan terjemahan di atas, menurut Ahmad Mushthafa al-
Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, apa saja yang menimpa seseorang
berupa kebaikan, kenikmatannya, bencana, dan kejahatannya itu terjadi
menurut qadha dan qadhar-Nya sesuai dengan sunah-sunah-Nya dan
diletakkan pada hukum-hukum alam titik orang harus bekerja,
bersungguh-sungguh, dan berupaya untuk mendatangkan kebaikan dan
menolak kejahatan dari dirinya atau dari orang lain, kemudian dia tidak
bersedih dan khawatir sesudah itu terhadap apa yang menimpanya sebab ia
telah mengerjakan apa yang dalam kesanggupannya dan apa yang ada
dalam kemampuannya dan di luar itu sama sekali bukanlah urusannya. 30
4. Masalah sesuai dengan kesanggupan manusia untuk dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapinya, hal ini dapat di pahami dari firman Allah
dalam Surah al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut:
ت ۗ ََّليُ َك ِلفُاللّٰ ُهنَ ْف ًساا ََِّّل ُو ْس َع َها َ َ علَ ْي َها َماا ْكت
ْ َسب َ سبَتْ َو َ اخذْنَآٰاِ ْننَّ ِس ْي َنآٰا ۗ لَ َها َما َك َ طأْنَا
ِ ََر َّبن ََاَّلت ُ َؤ َ ۚ ْوا َ ْخ
ص ًرا َك َما َح َم ْلت َهعَلَىالَّ ِذ ْين َِم ْن َق ْب ِلنَا ْ َاو ََّلتَحْ ِم ْلعَلَ ْينَا ٰٓ ِا
َ ۚ َربَّن
ۗ
طاقَةَلَنَا ِب ۚه َوا ْعفُ َع َّنا َوا ْغ ِفر َ ار َح ْمنَاَْ َربَّن ََاو ََّلت ُ َح ِم ْلنَا َم َاَّل ْ ۗ َلن َۗا َو
َىالقَ ْو ِم ْالك ِف ِريْن
ْ َعل َ ص ْرنَا ُ ࣖ ا َ ْنت َ َم ْولىنَافَا ْن
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebaikan yang
(diusahakannya) dan Ia mendapatkan siksa dari kejahatan (yang
dikerjakannya) mereka berdoa: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikul kan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikul
kannya beri maafkan kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
29
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Ibid., h. 213, 247-248.
30
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Ibid., h. 213-214.
12
Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir”.
QS. al-Baqarah: 2/286)
Akhir ayat ini menjelaskan secara gamblang batas pemisah antara
pelaksanaan kewajiban dan pembangkangan terhadap kejiwaan, sambil
membuktikan bahwa Allah tidak bermaksud membebani umat atau
memberatkannya, tidak juga pilih kasih sebagaimana diakui oleh Bani
Israil dan pada saat yang sama Dia tidak membiarkan mereka dalam
keadaan sia-sia dan kehampaan. 31 Tugas-tugas yang dibebankan Allah
kepada manusia adalah tugas-tugas mudah untuk dilaksanakan, bahkan
setiap orang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan suatu tugas oleh
karena faktor lain.
2. Jenis-Jenis Masalah
Djumhur dan Mohammad Surya 32 menjelaskan, bahwa dilihat dari
individu yang mengalaminya ada masalah individual atau personal atau
pribadi dan ada masalah kelompok. Dilihat dari segi di mana masalah itu
terjadi dalam hubungan dengan situasi, ada masalah keluarga yang itu
yang terjadi dalam hubungan situasi keluarga, ada masalah sekolah yang
31
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Op. cit., Vol. 1, h. 617.
32
Djumhur dan Mohammad Surya, Op. Cit.,h. 32.
13
berhubungan dengan sekolah dan ada pula masalah pekerjaan yang
berhubungan dengan pekerjaan.
Djumhur dan Mohammad Surya mengemukakan jenis-jenis masalah
sebagai berikut:
1. Masalah pengajaran atau belajar yang berhubungan dengan kesulitan
individu dalam menghadapi belajar.
2. Masalah pendidikan yaitu masalah peserta didik yang berhubungan
dengan pendidikan secara umumnya.
3. Masalah pekerjaan, yaitu masalah yang berhubungan dengan memilih
pekerjaan.
4. Masalah penggunaan waktu senggang yang dihadapi dalam
menghadapi waktu-waktu luang.
5. Masalah-masalah sosial yaitu masalah-masalah yang berhubungan
dengan kesulitan individu dalam interaksi dengan individu lainnya.
6. Masalah-masalah pribadi yaitu masalah-masalah yang ditimbulkan
oleh situasi tertentu yang bersumber dari dalam diri individu.
33
Zakiah Daradjat, Problema Remaja di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 85.
14
c. Pengisian waktu luang seperti tidak punya uang untuk rekreasi kurang
terampil dalam pekerjaan.
d. Kondisi kepribadian, seperti perasaan terlalu peka dan mudah
tersinggung, sifat malu-malu, kurang percaya diri.
e. Kehidupan kepercayaan dan keagamaan seperti ragu-ragu terhadap
ajaran agama.
f. Kondisi sekolah seperti kurang kebiasaan.
g. Kondisi sosial seperti kurang normal-norma sosial. 34
34
Kostoer Pastowisastro, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah-sekolah, (Jakarta:
Erlangga, 1985), h. 43-45.
35
Syahril dan Riska Ahmad, Pengantar Bimbingan dan Konseling, (Padang: Angkasa
Raya, 1987), h. 34-39.
15
keinginan orang tuanya. Situasi tempat tinggal misalnya tempat yang jauh
dari sekolah dan sebagainya.
2) Faktor lingkungan sekolah.
Situasi yang dapat menyebabkan peserta didik bermasalah adalah
keberadaan sarana dan prasarana belajar yang dibutuhkan yang tidak
memadai, gedung sekolah banyak yang rusak, kursi yang tidak sesuai
dengan jumlah anak dan sebagainya. Kurikulum mata pelajaran, misalnya
tujuan pembelajaran yang tidak jelas. Metode pembelajaran yang tidak
digunakan misalnya tugas yang tidak pernah dikembalikan. Sikap guru dan
personal lainnya misalnya guru yang terlalu keras, tidak pernah
memberikan kesempatan bertanya. Hubungan dengan teman-teman di
sekolah misalnya tidak mempunyai teman akrab dan sebagainya.
3) Lingkungan Masyarakat
Situasi yang dapat membuat individu bermasalah adalah keindahan
lingkungan masyarakat, misalnya sering diajak bepergian, nilai-nilai yang
dianut, misalnya peraturan yang ada di keluarga tidak sesuai dengan nilai-
nilai yang ada di masyarakat. Adat istiadat misalnya dilarang bergaul
dengan orang lain.
16
e. Arti dari dalam dan arti dari luar terhadap diri sendiri serta arti dari
luar di luar diri sendiri terus memeras berinteraksi yang menghasilkan
perkembangan pada diri individu.
Ciri-ciri arti dari dalam dan arti dari luar seperti itulah kiranya yang
membedakan secara sangat tajam antara manusia dan bukan manusia
sebagai makhluk Tuhan. Lebih dari makhluk-makhluk lainnya. Manusia
adalah makhluk yang tertinggi derajatnya ke tertinggigian derajat ini
dilengkapi dengan lima dimensi kemanusiaan yang melekat kepada setiap
dari insan, yaitu:
a. Dimensi Fitrah (Difit)
b. Dimensi keindividualan (Dimin)
c. Dimensi kesosialan (Dimsos)
d. Dimensi kesusilaan (Dimsus)
e. Dimensi keberagaman (Dimag)
17
kepadanya, menjalankan semua rangkaian titah dan perintah-Nya. Bagi
manusia menjalani ketentuan dan hidup berdasarkan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya maka mereka yang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Namun sebaliknya bila manusia hidup tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan tersebut, hal inilah yang akan
menimbulkan berbagai permasalahan.
Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi oleh individu atau
manusia sebagaimana yang telah diuraikan di atas jika dihubungkan dengan
keterlaksanaan proses kegiatan konseling memberikan isyarat kepada
manusia agar senantiasa membagi suka dan duka kepada sesama saudaranya,
terutama sesama muslim, dalam mengatasi berbagai persoalan yang
dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, makhluk Susila, makhluk berbudaya, dan makhluk beragama
memiliki peran ganda yaitu pada suatu ketika berperan sebagai seorang yang
memberikan bantuan kepada orang lain atau konselor dan pada saat yang lain
berperan sebagai orang yang memerlukan bantuan orang lain atau klien dalam
mengatasi berbagai persoalan hidup yang dihadapinya. 36 Proses konseling
yang terjadi antara konselor dan kliennya bila dihubungkan dengan ajaran
Islam hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
ِ ىاَّلثْ ِم َو ْالعُد َْو
ان ِ ْ َعل ْ َعل
َ ىال ِب ِر َوالتَّ ْقو ۖى َو ََّلت َ َع َاونُ ْوا َ ۖ َوت َ َع َاونُ ْوا
“Dan Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa,
dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS.
Al-Maaidah: 5/2).37
Sehubung dengan terjemahan ayat di atas, Hamka dalam Tafsir al
Azhar menjelaskan bahwa kalimat ta'awwanu adalah kata (masdar) dari
mu’awwanah yang mengandung arti tolong-menolong, bantu membantu.
Allah memerintahkan kepada manusia agar hidup tolong-menolong dalam
membina “al-Birru” yaitu segala ragam maksud yang baik dan berfaedah
yang didasarkan kepada penegakan takwa. Kemudian Allah melarang
manusia tolong-menolong dalam berbuat dosa dan menimbulkan permusuhan
dan menyakiti sesama manusia. Di samping itu juga manusia disuruh untuk
membentuk masyarakat yang baik atas dasar tolong-menolong. Berat sama
dipikul ringan sama dijinjing, dan jangan berkomplot dalam membuat dosa
dan pelanggaran.38
Dalam kaitannya dengan ayat dan pemikiran Hamka sebagaimana
yang dijelaskan di atas nama perintah dan anjuran Rasul tentang tolong-
36
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), h. 108.
37
Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Penafsiran Al-Qur’an, Op. cit., h. 156.
38
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, (Jakarta: PT Panjimas, 1987), h. 103.
18
menolong dan dijumpai dalam beberapa hadis rasulullah shallallahu alaihi
wasallam salah satunya diantaranya:
ص َّلىاللَّ ُه َعلَي ِْهو
َ وَّلللَّ ِه
ُ ُيرقَالَقَا َل َرس ٍ ع ْنالنُّ ْع َمانِ ْبنِبَ ِش َ ََ
عىلَ ُه َسائِ ُرال َ سلَّ َم َمث َ َُل ْل ُمؤْ ِمنِي َن ِفيت ََو ِاد ِه ْم َوت ََرا ُح ِم ِه ْم َوتَعَاطُ ِف ِه ْم َمث َ َُل ْل َج
ِ س ِدإِذَاا ْشت َ َك
َ ىم ْن ُهعُض ٌْوتَدَا َ َْ
س َه ِر َو ْال ُح َّمَّ س ِد ِبال َ َج
()رواهالبخاري
“Dari Nu'man bin Basyir r.a, berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda, perumpamaan orang-orang beriman itu adalah berkasih sayang
dalam cinta mencintai serta menyayangi seperti satu tubuh, bila sakit
anggotanya jasad yang lain merasakan kesakitan atau kepedihan”. (Hadits
Riwayat Bukhari).39
Layanan konseling yang diberikan berlaku untuk semua setting
kehidupan manusia yang memerlukan pengelolaan yang efektif dan diberikan
dalam corak dan nuansa yang bersifat sensitif, antisipatif dan responsif.
Layanan yang diberikan bukan hanya dibatasi di sekolah dan di lingkungan
kampus sesuai dengan sejarah perkembangannya, tetapi konseling
diselenggarakan dalam masyarakat dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang
memerlukannya.
Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughira Bardilbah
39
19
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pandangan Islam manusia merupakan makhluk yang paling
sempurna kejadian dan ciptaannya, bila dibandingkan dengan makhluk
ciptaan Allah yang lainnya.
Keterlaksanaan bimbingan dan konseling yang terjadi antara klien
(orang yang meminta bantuan) dan konselor (orang yang ahli) yang
memberikan bantuan memiliki tujuan dan niat yang tulus, dalam rangka
memberdayakan ketidakberdayaan klien atau dapat dikatakan sebagai
salah satu upaya untuk memanusiakan manusia yang mulia. Hakikat
kemanusiaan manusia yang mulia itu adalah suatu usaha yang dilakukan
oleh manusia, agar memiliki kemampuan untuk menjaga dan memelihara
kemanusiaannya melalui dimensi-dimensi manusia sebagai hakikat
kecitraan manusia yang mulia.
Masalah adalah segala sesuatu yang mendatangkan keresahan,
kegelisahan, yang akan mengahambat, merintangi, serta mengganggu
pikiran dan perasaan seseorang sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam
dirinya dan memunculkan tingkah laku yang tidak wajar dan sulit untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis terkait dengan
pembahasan diatas adalah setiap manusia pasti memiliki masalah, baik
masalah keluarga, kerjaan, ekonomi atau sebagainya. Orang yang memiliki
masalah akan berpengaruh pada kesehatan mentalnya seperti stres, pikiran,
banyak melamun dan lain-lain. Manusia sebagai makhluk sosial yang
hidup selalu membutuhkan manusia lainnya, untuk itu pada pembahasan
ini dijelaskan bagaimana manusia dan permasalahannya dan bimbingan
konseling hadir sebagai wadah untuk membantu mengatasi dan
memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
terhadap pembaca dan juga penulis mengenai manusia dan
permasalahannya, penyebab masalah, jenis-jenis masalah dan bagaimana
bimbingan dan konseling berperan penting didalam penyelesaian masalah.
Jika dalam membaca makalah ini pembaca menyadari adanya
kekurangan dan kesalahan, mohon masukan kritik dan sarannya dari
pembaca terutama kepada dosen pengampu untuk perbaikan pembuatan
makalah kedepannya.
21
Daftar Pustaka
22
Nasution, H. (1986). Akal dan Wahyu dalam Islam. Cet, Ke II. Jakarta: UI
Press.
Pastowisastro, K. (1985). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah-sekolah.
Jakarta: Erlangga.
Poerwardaminta, W. (1984). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Balai Pustaka.
Resmiyati, E. d. (1999). ”Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik:
Kritik dan Kesejalanan dengan Konsep Islam” , Metodologi Psikologi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sarwono, S. W. (1979). Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Shadili, J. M. (1993). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Shihab, M. Q. Tafsir al-Misbah. Op. cit., Vol. 1.
Soemanto, W. (1998). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sulthan, M. a.-S. (1981). Mafahim fi al-Islam. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Surya, D. d. Op. Cit.
Syahril, R. A. (1987). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Padang:
Angkasa Raya.
Widodo. (2001). Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Absolu.
Winkel, W. Op. Cit.
23