Tafsir Dan Mufassir
Tafsir Dan Mufassir
ATIYATUL AFIDAH
Sering terlintas dalam hati manusia beberapa pertanyaan disetiap pikiran: Mengapa Al-
Qur’an meski kita tafsirkan? Apakah untuk menemukan Qiraahnya dan menyakinkan
bacaannya? Apakah untuk menyibakkan tabir persembunyian makna-maknanya? Atau apakah
untuk mengungkap rahasia-rahasia dan hazanah-hazanahnya? Bukan untuk itu saja, akan tetapi
untuk membebaskan manusia dari penyembahan hamba menuju kepada penyembahan terhadap
Tuhan SWT untuk mempertemukan individu dan masyarakat dengan Dzat Pencipta alam,
pengawas semesta, pemelihara langit tinggi, tuhan arsy yang maha agung.
Al-Qur’an adalah pedomat umat, petunjuk dan syari’at Allah untuk ahli bumi. Ia
merupakan nur Tuhan, pentunjuk samawi dan syari’ah umum yang abadi. Ia memuat apa saja
yang dibutuhkan oleh manusia baik urusan agama ataupun urusan mereka. Oleh sebab itu, ia
merupakan kitab yang sempurna, peraturan yang lengkap, memuat berbagai macam aspek
kehidupan manusia baik akidah, ibadah, akhlak, muamalat, politik dan hukum, perdamaian dan
perang, maupun soal ekonomi dan hubungan internasional. Ia kitab Allah yang komplit,
diturunkanNya sebagai penjelas bagi segala sesuatu, serta petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah
sama, padahal penjelasannya sedemikian gambalang dan ayat-ayatnyapun sedemikian rinci.
Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentanglan lagi.
Kalangan awam hanya memahami makna-maknanya yang dzahir dan pengertian ayat-ayat secara
global. Sedangkan kalangan cendekia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula dari makna-
makna yang menarik. Dan diantara dua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat
pemahaman. Maka tidaklah heran jika Al-Qur’an mendapat perhatian besar dari umatnya melalui
pengkajian intensif terutama dalam rangka penafsiran kata-kata garib (aneh, ganjil) atau
menta’wil tarkib (susunan kalimat).
Arti Tafsir
ً سنَ ت َ ْفس
ِيرا ِ َو ََل يَأْتُونَكَ بِ َمث َ ٍل إِ اَل ِجئْنَاكَ بِ ْال َح
َ ْق َوأَح
Artinya : “Mereka tiada memberikan suatu contoh (yang buruk) kepada engkau,
melainkan Kami berikan pula kebenaran engkau beserta keterangan yang baik.”
Adapun tafsir menurut istilah berarti ilmu untuk memahami Kitab Allah, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan
hikmahnya. Adapun definisi lain yaitu ilmu yang membahas dalil-dalil Al-Qur’an sesuian yang
dikehendaki Allah SWT, menurut ukuran kemampuan manusia.
Menurut Abu Hayyan, makna tafsir secara istilah adalah ilmu yang membahas tentang
cara pengucapan lafadz-lafadz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik
ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya
ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Sedangkan menurut Az-Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang memahami Kitabullah yang
diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.
Arti Takwil
Adapun arti takwil secara etimologis berarti ‘kembali’. Seolah-olah mufassir (orang yang
menafsirkan) mengembalikan ayat kepada makna yang terkandung didalamnya. Sebagian ulama
berpendapat takwil searti dengan tafsir. Sehingga ahli bahasa mengatakan yang artinya
“Renungkan, kira-kirakan dan tafsirkan!” . Allah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 7 :
Adapun secara istilah menurut ulama-ulama salaf, takwil berarti tafsir. Maka takwilul
Qur’an terkadang diucapkan tafsirul Qur’an dengan makna yang sama. Ibnu Jarir Ath-Thabari
dalam tafsirnya berkata: “Pendapat dalam menafsirkan firman Allah demikian....... dan para ahli
takwil berbeda pendapat mengenai ayat ini....,” yang dimaksud kata ahli takwil adalah ahli fafsir.
Imam Mujahid berkata: “Sesungguhnya para ulama mengetahui takwil Al-Qur’an,” yang beliau
maksud adalah tafsir maknanya.
Sekelompok ulama berpendapat dengan jelas, dan ini telah masyhur dikalangan ulama
mutaakhirin: “Tafsir adalah makna lahir dari suatu ayat mulia”. Sedangkan takwil adalah
mengunggulkan sebagian makna ayat yang memiliki beberapa makna. Imam Suyuti membahas
soal ini secara panjang lebar dalam kitabnya Al-Itqan, dimana beliau banyak menuqil beberapa
pendapat dari ulma yang lebih mendekati kebenaran. Yaitu bahwa tafsir mengetengahkan
makna-makna Al-Qur’an yang jelas. Adapun takwil adalah sesuatu yang telah digali oleh para
ulama berupa makna-makna samar dna rahasia-rahasia Tuhan yang amat pelik yang terkandung
dalam ayat mulia. Sedangkan Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni memilih pendapat yang
dianggapnya benar yaitu oleh imam Al-Alusi yaitu “Telah jelas dari para muallif bahwa takwil
adalah makna suci dan pengetahuan Tuhan yang begitu halus. Sedangkan Tafsir tidak demikian.”
Kesimpulannya, tafsir adalah makna-makna dari ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas dan
gamblang dilalahnya, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Sedangkan takwil adalah makna-
makna ayat yang amat samar yang masih membutuhkan pemikiran dan penggalian yang juga
mempunyai banyak arti, dimana mufassir mengunggulkan sebagian arti saja yang lebih kuat dari
segi pandangan dan pengambilan dalil serta kecenderungan kepada makna yang lebih jelas dan
lebih kuat, karena pada dasarnya hukum yang dikehendaki secara pasti itu diambil dari kitab
Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 7 :
1. Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan
seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas yang berkhianat dalam
menyampaikan berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka
ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya dan membawanya kepada
madzhabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan
jalan petunjuk.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Menafsirkan, lebih dahulu, Qur’an dengan Qur’an, karena sesuatu yang paling global
pada suatu tempat diperinci ditempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas
disuatu tempat telah diuraikan ditempat lain.
4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan
penjelasnya.
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat para
sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah maupun dalam pendapat
para sahabat maka sebagian besar ulama dalam hal ini memeriksa pendapat tabiin.
7. Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian mufradat
lafadz-lafadz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata
dalam rangkaian kalimat. Bukan hanya itu, Mufassir juga harus mengetahui tentang ilmu
nahwu dan ilmu sharaf, yang dengan ilmu ini akan diketahui bentuk-bentuk kata.
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Qur’an, seperti ilmu
qira’ah, ilmu tauhid serta ilmu ushul.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang
lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syar’ah.
Pembagian Tafsir
1. Tafsir bir-riwayah yang disebut juga dengan tafsir bin-naqli atau tafsir bil-ma’tsur.
2. Tafsir bid-dirayah yang disebut juga dengan tafsir bir-ra’yi.
3. Tafsir bil-isyarah yang disebut juga tafsir isyari.
Tafsir bir-riwayah yang disebut juga dengan tafsir bin-naqli atau tafsir bil-ma’stur
adalah penafsiran Al-Qur’an atau hadist atau ucapan sahabat untuk menjelaskan kepada sesuatu
yang dikehendaki Allah. Atau tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut
urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufassir. Mufassir yang menempuh
cara ini hendaknya mengetahui asar-asar yang ada mengenai makna ayat, kemudian asar tersebut
dikemukakan sebagai tafsir ayat bersangkutan, Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad
untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya meninggalkan hal-hal yang
tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada riwayat shahih mengenainya.
Tafsir ini dibagi menjadi tiga, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an,
penafsiran Al-Qur’an dengan hadist Nabi, penafsiran Al-Qur’an dengan ucapan para sahabat.
Artinya: “Telah dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali apa yang akan dibacakan
kepadamu..”
Kata اَل ما يتلي عليكمditafsirkan dengan ayat lain yaitu QS Al Maidah ayat 3 :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما اهل لغير هللا به
Artinya : “Diharamkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (hewan) yang
disembelih bukan dengan nama Allah”.
النجم الثاقب
الذين امنوا ولم يلبسوا ايمانهم بظلم اولئك لهم اَلمن وهم مهتدون
Nabi SAW menafsirkan lafal Adh-Zhulmu dengan Asy-Syirku. Penafsiran demikian dikuatkan
oleh firman Allah QS. Luqman ayat 13 :
Nabi SAW menafsirkan Al-Hisaabul yasiiru dengan kata Al-ardhi, yakni penyerahan amal-amal
kepada orang mukmin dan mengingatkannya. Beliau bersabda:
Nabi SAW menafsirkan ( الحساب اليسيرalhisaabul yasiiru) dengan kata al-‘ardhu ( (العرضyakni
penyerahan amal-amal kepada orang mukmin dan mengingatkannya. Beliau bersabda:
وينقلب الى اهله مسرورا. فسوف يحاسب حسابا يسيرا.فامامن اوتي كتابه بيمينه
Artinya: “Maka barangsiapa yang diberikan buku (amalannya) dari sebelah kanannya, maka
dia akan diperhitungkan dengan perhitungan yang sedikit. Dan dia akan kembali kepada
keluarganya dengan gembira”.
Kemudian beliau mengatakan bahwa yang dimaksud Al-Ardhu adalah Al-Hisaabul Yasiiru.
Bagian ketiga dari tafsir ma’tsur adalah tafsir sahabat. Ini juga termasuk tafsir yang bisa
diterima sebagai pegangan. Karena para sahabat telah berkumpul dengan Rosulullah SW. dan
mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan
turunnya. Mereka tahu asbabun nuzul. Mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan
keunggulan dalam memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. Bahkan
menjadikan mereka mampu menemukan rahasia-rahasia Al-Qur’an lebih banyak dibandingkan
siapapun orangnya.
Tafsir bilma’tsur adalah macam tafsir yang paling agung, manakala sanadnya sampai
kepada Rosulullah SAW. atau para sahabat. Namun demikian tafsir ini tetap memerlukan
penelitian riwayat. Al-Hafidz Ibn Katsir r.a mengatakan: “sesungguhnya banyak tafsir bil
ma’tsur yang disandarkan kepada para perawi Zindiq Yahudi dan muslim ahli kitab. Hal ini
banyak terdapat dalam kisah-kisah para Rosul beserta kaumnya, sesuatu yang berhubungan
dengan kitab dan mukjizat mereka, juga cerita-cerita selain mereka seperti ashhabul kahfi. Oleh
karena itu perlu penelitian riwayat.”
1. Terjadinya campur baur antara yang shahih dan yang tidak shahih dan banyak pendapat
yang dihubungkan kepada sahabat dan tabiin, tanpa ada isnad dan penelitian yang
mengakibatkan campurnya kebenaran dengan kebathilan.
2. Riwat-riwayat tersebut penuh dengan cerita-cerita israiliyyat yang memuat banyak
khurafat yang bertentangan dengan aqidah islam. Hal itu, sengaja disusupkan kepada
kaum muslimin oleh ahli kitab.
3. Sebagian Ulama madzhab memutar balikkan beberapa pendapat. Mereaka berbuat
kebathilan, kemudian menyandarkannya kepada sebagian sahabat seperti para ulama
madzhab syi’ah. Orang-orang yang keterlaluan menyandarkan sesuatu kepadanya yang
sebenarnya, dia sendiri tidak bertanggungjawab atas sesuatu itu. Seperti halnya mereka
menyandarkan sesuatu kepada ibnu abbas yang sebenarnya hal itu tidak patut
disandarkan kepada beliau, tapi hanya membujuk para hakim.
4. Sesungguhnya musuh-musuh islam dari golongan kafir Zindiq bersembunyi dibelakang
para sahabat dan tabiin sebagaimana mereka bersembunyi dibelakang Rasulullah SAW
dalam rangka menjalankan misinya, merobohkan agama dengan cara bersembunyi dan
menyusup. Maka dari segi ini, perlu adanya penelitian yang sungguh-sungguh terhadap
pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin.
Imam Suyuti dalam kitabnya Al-itqan berkata: “para ahli tafsir termasyhur dari kalangan
sahabat ada 10 orang. Khalifah 4 (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan
Abdullah bin Zubair. Diantara Khulafaur Rasyidin yang paling banyak menjadi sumber riwayat
adalah Ali bin Abi Thalib. Adapun khalifah 3 lainnya amat sedikit riwayat yang bersumber dari
mereka. Karena tidak lain bahwa mereka lebih dahulu meninggal didunia.
Tafsir bid-dirayah yang disebut juga dengan tafsir bir-ra’yi adalah tafsir yang
didalamnya menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan
penyimpulan (istinbath) didasar pada ra’yu semata. Tidak termasuk kategori ini pemahaman
(terhadap Qur’an) yang sesuai dengan roh syari’at dan didasarkan pada nas-nasnya. Ro’yu
semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa pada penyimpangan terhadap Kitabullah.
Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran ini adalah ahli bid’ah, penganut madzhab
yang bathil. Sebab untuk dita’wilkan menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar atau
pijakan berupa pendapat atau penafsir ulama salaf, sahabat dan tabiin. Diantara golongan yang
menulis tafsir ini seperti tafsir karya Abdurrahman bin Kaisan Al-Asam, Al-Jubai, Abdul Jabbar,
Ar-Rummani, Zamahsyari.
Menurut At-Thabari status dari tafsir ini adalah bahwa menafsirkan ayat-ayat Qur’an
yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara tegas atau dengan
dalil yang didirikannya untuk itu, tidak seorangpun diperbolehkan menafsirkannya menurut
pendapat sendiri. Bahkan bila melakukannya sekalipun tepat dan benar ia tetap dipandang telah
melakukan kesalahan karena ia berkata (tentang Qur’an) dengan pendapat sendiri. Hal ini
mengingat ketepatan dan kebenaran pendapatnya itu tidak menyakinkan, melainkan hanya
bersifat dugaan dan perkiraan semata. At-Thabari juga menegaskan Mufassir yang paling berhak
atas kebenaran dalam menafsirkan Qur’an, yang menafsirkan dapat diketahui oleh manusia
adalah Mufassir yang paling tegas hujjahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan dita’wilkannya,
karena penafsirannya disandarkan pada Rasullah bukan orang lain.