1-CF-2013
LAPORAN
Maret, 2013
PENDAHULUAN
Disusun oleh :
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS strategis di Indonesia yang
daya dukungnya saat ini mengalami degradasi. Upaya untuk memulihkan daya dukung DAS
Citarum sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup di
dalamnya telah menjadi perhatian dan komitmen berbagai pihak. Di samping memasok
kebutuhan air untuk kebutuhan domestik, air, industri, pembangkit listrik dan sebagainya,
ekosistem DAS Citarum merupakan ekosistem yang memiliki nilai konservasi hayati tinggi.
Kawasan dengan nilai konservasi tinggi tersebut umumnya berada di hutan-hutan kawasan
konservasi di bagian hulu DAS Citarum. Salah satu upaya untuk meningkatkan pengelolaan
kawasan-kawasan konservasi di DAS Citarum adalah diluncurkannya proyek Citarum
Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC) sebagai bagian dari
proyek Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program
(ICWRMIP).
Implementasi proyek CWMBC tahun 2013 dilaksanakan di 8 (delapan) kawasan konservasi
yang berada di wilayah kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa
Barat dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGP). Salah satu
pihak yang diberi kesempatan sebagai pelaksana CWMBC adalah Consultan Firm (CF) PT.
Inacon Luhur Pertiwi, Joint Venture dengan PT. Multi Tekniktama Prakarsa, PT. Akurat
Supramindo Konsul dan The Indonesian Center Biodiversity and Biotechnology
berdasarkan Kontrak Kerja dengan Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan
Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Kementerian
Kehutanan.
Dokumen Inception Report ini merupakan hasil dari proses persiapan yang dilakukan oleh
Tim Ahli CF-CWMBC. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan pada tahap persiapan ini
diantaranya penyiapan fasilitas perkantoran, kick off meeting, rapat pembahasan awal
rencana kerja di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP, Focused Group Discussion (FGD),
rencana kerja setiap komponen di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP, desk study,
observasi lapangan, serial rapat pembahasan finalisasi rencana kerja, penyusunan dan
peluncuran laporan pendahuluan (inception report) yang berisikan rencana kerja hasil
penyesuaian.
Isi dari dokumen laporan pendahuluan ini pada intinya adalah rencana kerja final yang
merupakan hasil penyesuaian proposal teknis. Proses penyesuaian ini perlu dilakukan untuk
memberikan kesempatan kepada pihak BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP memberikan
koreksi dan masukan terhadap rencana kerja pada masing-masing komponen. Selain itu
beberapa penyesuaian kegiatan juga diperlukan oleh para Tenaga Ahli sehingga rencana
kerja dapat lebih memenuhi preferensi pengguna dan sekaligus lebih kontekstual dengan
kondisi dan situasi terkini pengelolaan kawasan konservasi di BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP. Dengan demikian, buku laporan pendahuluan ini diharapkan dapat menjadi
acuan dalam pelaksanaan seluruh tahapan kegiatan proyek secara efektif sesuai waktu
yang telah direncanakan.
Buku laporan pendahuluan ini telah mengalami beberapa kali penyempurnaan baik
redaksional maupun substansi yang melibatkan seluruh Tenaga Ahli pada setiap komponen,
Project Management Support (PMS), Individual Consultant (IC) dan pendamping program
dari BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP sehingga diharapkan sudah dapat mengakomodasi
kepentingan para pihak tersebut dalam kegiatan proyek CWMBC-ICWRMIP.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang terlibat baik langsung maupun
tidak langsung dalam penyusunan Inception Report CWMBC ini, terutama Direktur dan staf
Tim CWMBC
Pengelolaan kawasan-kawasan konservasi di bagian hulu DAS Citarum yang memiliki nilai
keanekaragaman hayati (biodiversity) tinggi adalah bagian integral dari sistem pengelolaan
DAS Citarum terpadu. Untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi dan
keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini
Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA), Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (KKBHL) mendapat
fasilitas pendanaan hibah (Grant) dari Global Environment Facility (GEF) yang dikelola oleh
Asian Development Bank (ADB) untuk melaksanakan proyek Citarum Watershed
Management and Biodiversity Conservation (CWMBC).
Proyek CWMBC memiliki tujuan strategis untuk mengawal dan mendukung pemanfaatan
lingkungan secara global untuk konservasi sumber daya keanekaragaman hayati yang unik
di dalam kawasan konservasi yang berada di DAS Citarum. Pelaksanaan proyek CWMBC
terbagi ke dalam 4 komponen proyek sebagai berikut :
1. Komponen-1: Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat, dan
Pengembangan GIS untuk Meningkatkan Rencana Pengelolaan dan
Rencana Aksi Kawasan Konservasi
2. Komponen-2: Pilot Proyek untuk Restorasi Hutan di dalam Kawasan Konservasi.
3. Komponen-3: Pembiayaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati
melalui Pembayaran Jasa Lingkungan.
4. Komponen-4: Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap
Produksi.
Pelaksanaan proyek CWMBC melibatkan para pihak yang terdiri dari : Direktorat Jenderal
PHKA yang bertindak sebagai Executing Agency, Direktorat KKBHL, BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP sebagai Project Implementation Unit (PIU), Individual Consultant (IC)
sebagai Technical Advisor PIU dan CF dan Liasson Officer PHKA, dan Consultant Firm
(CF) sebagai Technical Assistance untuk implementasi kegiatan-kegiatan CWMBC.
Implementasi kegiatan CWMBC dilakukan oleh CF dan PIU di beberapa lokasi sebagaimana
disajikan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Lokasi Kegiatan Masing-Masing Komponen Proyek CWMBC
Kawasan
Komponen-1 Komponen-2 Komponen-3 Komponen-4
Konservasi
Cagar Alam Seluruh Kawasan 1. Desa Cihanjawar 2. Desa Cihanjawar 1. Desa Cihanjawar Kec.
Burangrang Kec. Bojong Kec. Bojong, Bojong Kab.
Kab. Purwakarta, Kab. Purwakarta, Purwakarta
(Blok Cihanjawar) (Blok 2. Desa Sakambang
Cihanjawar) Kec. Wanayasa Kab.
untuk PES Air. Purwakarta
3. Desa Pasanggrahan
Kec. Bojong Kab.
Purwakarta
Cagar Alam Seluruh Kawasan - - 1. Desa Cihawuk Kec.
Kawah Kamojang Kertasari Kab.
Bandung
Taman Wisata Seluruh Kawasan - - -
Alam Kawah
Kamojang
Cagar Alam Seluruh Kawasan 1. Desa Sukaluyu Seluruh kawasan 1. Desa Sugihmukti
Gunung Tilu Kec. Pasirjambu untuk persiapan Kec. Pasirjambu Kab.
Kab. Bandung, penyiapan PDD Bandung
Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh konsultan CF-CWMBC secara kontraktual akan
berjalan selama 12 bulan, yaitu sejak bulan Desember 2012 sampai dengan Desember
2013 dengan pendekatan kunci diantaranya adalah : 1) Pendekatan Pengelolaan Basis Data
dan Pengembangan SIG; 2) Pendekatan Lanskap dan Ekosistem kawasan konservasi dan
daerah penyangga di sekitarnya; 3) Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Lokal secara
partisipatif dan Pengarusutamaan Gender; 4) Pendekatan Kolaboratif dan; 5) Pendekatan
Berkelanjutan.
Adapun metode pelaksanaan proyek CWMBC yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Baseline Survey Keanekaragaman Hayati (Desk Study dan Observasi Lapangan)
2. Pengembangan dan Pemanfaatan Basis Data (Metode Waterfall)
3. Pengembangan dan Pemanfaatan MIS dan SIG Berbasis Web
4. Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan(PPR/RL)
5. Model Desa Konservasi (MDK)
6. Advokasi, Workshop dan Focused Group Discussion (FGD)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO iv
7. Pelatihan dan Pendampingan Teknis Kepada Staf UPT dan masyarakat
8. Kampanye Publik (Public Campaign)
Pelaksanaan proyek CWMBC oleh CF melibatkan tenaga ahli yang terdiri dari 2 (dua) orang
konsultan internasional dan 31 orang konsultan nasional serta tenaga pendukung teknis
(asisten, koordinator fasilitator desa, fasilitator, drafter, surveyor dan tenaga lokal) dan
administratif (project manager, sekretaris dan tenaga administratif lainnya). Tenaga ahli
yang terlibat berdasarkan kepakarannya ditempatkan pada setiap komponen yang dipimpin
oleh seorang team coordinator (TC). Masing-masing komponen memiliki rencana kegiatan
dan output penting sebagai berikut:
Secara umum tidak ada perubahan output kegiatan yang signifikan antara proposal teknis
dengan laporan pendahuluan ini. Namun demikian, dengan singkatnya periode pelaksanaan
proyek dipastikan akan terjadi perubahan-perubahan input sumberdaya yang implikasinya
terhadap perubahan struktur dan komposisi anggaran consulting service yang sebelumnya
telah terikat dalam kontrak induk. Kedepan, perubahan-perubahan akan mungkin terjadi
seiring dengan munculnya kebutuhan untuk melakukan percepatan pelaksanaan kegiatan,
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO v
dan perpanjangan pelaksanaan kegiatan selama enam bulan di Tahun 2014. Kondisi
tersebut harus dipahami bersama dan diantisipasi agar pelaksanaan kegiatan dapat
berjalan intensif tanpa terhambat oleh kendala administratif.
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar ........................................................................................................ i
Ringkasan Eksekutif .............................................................................................. iii
Daftar Isi ................................................................................................................ vi
Daftar Tabel ........................................................................................................... ix
Daftar Gambar ........................................................................................................ x
Daftar Lampiran ..................................................................................................... xi
Daftar Singkatan ................................................................................................... xii
1Selener , Daniel (1997) “Participatory Action Research and Social Change” Cornell University, Ithaca, New York, USA,
(hal.203-206)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 2. Resume Focus Group Discussion (FGD) dan Review Existing Program
di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP .....................................................L-32
Lampiran 4. Hasil Review Desa Calon MDK di Wilayah Kerja BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP ............................................................................................L-58
BAB I PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan luas + 659.500,97 Ha1 merupakan salah satu
DAS yang sangat strategis di Indonesia. Wilayah DAS ini dihuni oleh 17.149.146 orang
pada tahun 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai + 7 % setiap tahunnya.
Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar itu, diperkirakan jumlah penduduk yang
mendiami wilayah DAS Citarum pada tahun 2025 berjumlah 20.640.710 orang. Jumlah
penduduk yang terus bertambah disertai dengan berkembangnya berbagai infrastruktur
ekonomi dan pembangunan merupakan permasalahan penting yang menyebabkan DAS
Citarum saat ini dalam kondisi kritis.
Tiga bendungan besar, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur berada di
DAS Citarum berperan penting dalam memasok air untuk pembangkit listrik jaringan inter-
koneksi Jawa-Bali serta memasok 80% air baku ke wilayah Jakarta. Wilayah DAS Citarum
juga merupakan wilayah dengan nilai konservasi tinggi, terutama ekosistem hutan yang
umumnya berada di bagian hulu DAS. Kawasan lindung berupa hutan lindung dan hutan
konservasi di DAS Citarum merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan pegunungan
pulau Jawa dan benteng terakhir kelestarian keanekaragaman hayati di pulau Jawa bagian
barat.
Potensi keanekaragaman hayati di Hulu DAS Citarum berdasarkan beberapa hasil penelitian
yang dilakukan di beberapa kawasan konservasi, diantaranya adalah 160 spesies tanaman,
24 spesies mamalia (20 dilindungi, 3 endemik dan 1 spesies langka); 72 spesies burung (60
dilindungi, 10 endemik, 2 spesies langka); 11 reptilia dilindungi, dan 2 spesies ikan
dilindungi. Diantara jenis fauna yang dilindungi, terdapat spesies indikator dan merupakan
spesies yang secara global diakui dalam kondisi terancam yaitu: Surili (Presbytis comata),
Owa Jawa (Hylobates moloch) dan spesies Macan Tutul (Panthera pardus) yang terus
menurun jumlahnya. Beberapa spesies burung penting antara lain burung Tikus (Tesia
superciliaris), Punai Ekor Panjang (Treron oxyura), burung Anis Hutan (Zoothera
andromedae), dan Burung Celepuk Jawa (Otus angelinae) juga teridentifikasi di beberapa
daerah di hutan Jawa Barat. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan burung paling
terancam punah yang dilaporkan jumlahnya hanya sekitar 50 pasang. Kekayaan flora di
hutan Jawa Barat diantaranya adalah Rasamala (Altingia excelsa), Jamuju (Dacrycarpus
imbricatus), Puspa (Schima walichii), Pasang (Lithocarpus sp.), Kihiur (Castanopsis
javanica), Kihujan (Engelhasdia spicata), Huru (Litsea sp.), dan Riung Anak (Castanopsis
accuminatissima). Jenis pohon yang sudah jarang dijumpai antara lain Baros (Manglietia
glauca), Kiputri (Podocarpus neriifolius) dan Kimerak (Podocarpus amara) yang kayunya
merupakan bahan baku bangunan berkualitas tinggi. Jenis Jamuju (Dacrycarpus
imbricatus) dan Saninten (Castanopsis rgentea) termasuk jenis pohon yang dilindungi (Cies
Appendix II dan Permenhut No.P.57/Menhut-II/2008).
Keanekaragaman flora dan fauna di hulu DAS Citarum tersebut berada di kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung. Kawasan hutan konservasi di hulu DAS Citarum yang secara
administratif berada di Provinsi Jawa Barat dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Kementerian Kehutanan yaitu Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA Jabar)
dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP). Adapun kawasan
hutan lindung dikelola oleh Perum Perhutani.
Proyek Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC)
diluncurkan untuk mencapai pengelolaan dan pelestarian kawasan konservasi yang lebih
baik, selain untuk meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati tetapi sekaligus
memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di DAS Citarum. Proyek CWMBC
adalah bagian dari proyek Integrated Citarum Water Resources Management Investment
Program (ICWRMIP). Visi serta pilar dan pondasi pencapaian visi ICWRMIP disajikan pada
Gambar 1.
VISI
Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi
terciptanya sungai yang bersih, sehat dan produktif,
serta membawa manfaat berkesinambungan bagi
seluruh masyarakat di wilayah Citarum
Area Kunci
Pendukung Pemberdayaan Masyarakat Data dan Informasi
(Pondasi)
Tujuan proyek ICWRMIP dalam pengelolaan DAS Citarum terpadu adalah tercapainya
kondisi sumberdaya air dan daerah tangkapan air yang bersih, sehat, dan produktif, serta
pada saat yang sama melakukan upaya konservasi kekayaan keanekaragaman hayati
sebagai kekayaan lokal, nasional dan global melalui upaya kerjasama antar pemerintah dan
masyarakat. Tujuan tersebut akan dapat tercapai dengan mengimplementasikan kegiatan
pengelolaan DAS dan konservasi keanekaragaman hayati secara terpadu melalui program
CWMBC.
Adapun tujuan dari proyek CWMBC adalah mengawal dan mendukung pemanfaatan
lingkungan secara global untuk konservasi sumber daya keanekaragaman hayati yang unik
pada kawasan konservasi di DAS Citarum.
Proyek Pengelolaan DAS Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (CWMBC) ini
terbagi dalam empat komponen kegiatan utama, yaitu :
Kawasan
Status/Penetapan Luas (Ha) Lokasi Ekstensif
Konservasi
Gunung Cagar Alam; Berdasarkan Kep. Mentan 2.700 Kabupaten
Burangrang No 479/Kpts/Um/8/1979 tgl 2 Agustus Purwakarta
1979
Kawah Kamojang Cagar Alam; Kep Mentan No 7.500 Kabupaten Garut,
170/Kpts/Um/3/1979 tgl 13 Maret, 1979 Bandung
Kawah Kamojang TWA; Kep Mentan No 500 Kabupaten Garut,
170/Kpts/Um/3/1979 tgl 13 Maret, 1979 Bandung
Gunung Tilu Cagar Alam; Kep Mentan No. 8.000 Kabupaten Bandung
68/Um/2/1978 date 2 Februari, 1978
Gunung Cagar Alam; Kep Mentan No. 1.290 Kabupaten Bandung,
Tangkuban Parahu 258/Kpts/Um/9/1974 tgl 3 September, Subang
1974
Gunung TWA; Kep Mentan No. 370 Kabupaten Bandung,
Tangkuban Parahu 258/Kpts/Um/9/1974 tgl 3 September Subang
1974
Gunung Masigit Taman Buru; Kep Mentan No 298/Kpts- 23.000 Kabupaten
Kareumbi II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 Sumedang, Garut dan
Bandung
Gunung Gede – Taman Nasional; Kep. Mentan No 108/ 21.975 Kabupaten Cianjur
Pangrango Kpts/Um/2/1979 tgl 10 Februari 1979;
kemudian diperluas menjadi 21,975 ha
berdasar Kep. Mmenhut No.174/Kpts-
II/2003, merupakan satu dari lima Taman
Nasional Pertama dinyatakan di Indonesia
pada tahun 1980;
2.1 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat merupakan Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Kelas A pada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(Ditjen PHKA) yang wilayah kerjanya meliputi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten 1 ,
serta dibagi ke dalam tiga bidang wilayah kerja, yaitu Bidang KSDA Wilayah I di Bogor,
Bidang KSDA Wilayah II di Soreang, dan Bidang KSDA Wilayah III di Ciamis.
Tugas BBKSDA Jawa Barat adalah melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa,
taman wisata alam, dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan
hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Konservasi Sumber Daya Alam). Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat sesuai
tugasnya sebagai UPT Kementerian Kehutanan menyelenggarakan fungsi :
a. Penataan blok, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan
kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, serta
konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luarkawasan konservasi;
b. Pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman
buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan
konservasi;
c. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung;
d. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan hutan, hasil hutan dan tumbuhan dan satwa
liar di dalam dan di luar kawasan konservasi;
e. Pengendalian kebakaran hutan;
f. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;
g. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya;
h. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta
pengembangan kemitraan;
i. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi;
j. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam;
k. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
1Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Kesatu Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.02/Menhut- Ii /2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam
Kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat berjumlah 51 kawasan dengan luas
total 83.099,60 Ha terdiri dari :
1. Cagar Alam Darat (28 unit) : 50.721,04 Ha
2. Cagar Alam Laut (2 unit) : 1.620,00 Ha
3. Suaka Margasatwa Darat (2 unit) : 13.527,50 Ha
4. Suaka Margasatwa Laut (1 unit) : 90,00 Ha
5. Taman Wisata Alam Darat (16 unit) : 4.000,36 Ha
6. Taman Wisata Alam Laut (1 unit) : 720,00 Ha
7. Taman Buru (1 unit) : 12.420,70 Ha
Tujuh dari 28 kawasan konservasi darat di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat menjadi target
Areas (TAs) dari proyek CWMBC, yaitu :
1) Cagar Alam (CA) Gunung Burangrang seluas 2.700 Ha berada di wilayah Kabupaten
Purwakarta Provinsi Jawa Barat
2) Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang seluas 7.500 Ha berada di wilayah Kabupaten
Garut dan Bandung Provinsi Jawa Barat.
3) Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Kamojang seluas 500 Ha berada di wilayah
Kabupaten Garut dan Bandung Provinsi Jawa Barat.
4) Cagar Alam (CA) Gunung Tilu seluas 8.000 Ha berada di wilayah Kabupaten Bandung
Provinsi Jawa Barat
5) Cagar Alam (CA) Gunung Tangkuban Parahu seluas 1.290 Ha berada di wilayah
Kabupaten Bandung dan Subang Provinsi Jawa Barat.
6) Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu seluas 370 Ha berada
diwilayah Kabupaten Bandung dan Subang Provinsi Jawa Barat.
7) Taman Buru (TB) Gunung Masigit Kareumbi seluas 23.000 Ha berada di wilayah
Kabupaten Sumedang, Garut dan Bandung Provinsi Jawa Barat.
Kondisi kawasan tersebut pada umumnya relatif baik, namun ada beberapa kawasan
konservasi tersebut mengalami kerusakan yang disebabkan oleh gangguan alam maupun
ulah manusia, seperti adanya kebakaran hutan, longsor, perambahan dan penjarahan.
Potensi keanekaragaman hayati flora dan fauna di kawasan KSDA Jawa Barat cukup variatif.
Beberapa sumber penelitian menyebutkan bahwa keanekaragaman flora di 7 (tujuh)
kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat diantaranya adalah : Cagar Alam (CA)
Gunung Burangrang tercatat ada 17 famili dan 29 spesies tumbuhan; Cagar Alam/Taman
Wisata Alam (CA/TWA) Kawah Kamojang 20 famili, 30 spesies; Cagar Alam/Taman Wisata
(CA/TWA) Gunung Tangkuban Parahu 11 famili, 14 spesies; Taman Buru (TB) Gunung
Masigit Kareumbi 23 famili, 46 spesies; dan Cagar Alam (CA) Gunung Tilu 14 famili, 19
spesies. Vegetasi pohon kelompok famili Fagaceae; Lauraceae; Melastomataceae dan
Cagar Cagar
Taman Buru
Cagar Alam Alam/TWA Cagar Alam Alam/TWA
Jenis Masigit
Gunung Tilu Kawah Burangrang Tangkuban
Kareumbi
Kamojang Parahu
Epifit √ √
Herba √ √ √ √ √
Liana √ √ √ √ √
P akis √ √ √ √ √
P alm a √ √ √ √ √
P andan √ √ √
Sumber: Laporan Akhir Konservasi Keanekaragaman Hayati (Hatfield. 2009).
Tabel 4. Jenis Flora yang Dilindungi di Beberapa Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat
Keanekaragaman fauna di kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat cukup
variatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Cagar
Cagar Taman Buru
Cagar Alam Alam/TWA
Cagar Alam Alam/TWA Gunung
Jenis Gunung Gunung
Gunung Tilu Kawah Masigit
Burangrang Tangkuban
Kamojang Kareumbi
Parahu
Am phibi 2 4 1 - -
Burung 13 ; 2 26 ; 7 24 ; 8 33 ; 9 12 ; 1
dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi
I nsekta 2 2
M am alia 21 ; 14 14 ; 7 25 ; 12 6;2 7;2
dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi
N em atoda 1 1 2 1 1
I kan - - - 4
P rim ata 5; 4 3;2 5;2 4;3 3 ; 2 dilindungi
dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi
Reptil 3 6 3 2;1 -
dilindungi
Sumber: Wawancara lapangan, 2013, Skripsi Alternatif Strategi Pengelolaan TWA Kawah kamojang (Poppy
Oktadiyani, 2006) dan laporan akhir konservasi keanekaragaman hayati (Hatfiled. 2009)
Ancaman keanekaragaman hayati di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat berdasarkan hasil
kajian literatur, diskusi dan hasil observasi yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Pemanenan tanaman obat, hasil hutan non kayu yang berlangsung secara terus menerus
di kawasan-kawasan konservasi;
2. Tekanan dari perumahan, kegiatan pariwisata (sampah), peternakan dan pengambilan
tanaman untuk pakan ternak, penambangan galian C (pasir) terutama di sekitar
Kamojang dan Papandayan;
3. Hilangnya atau berkurangnya beberapa jenis spesies dari waktu ke waktu (predator, dsb),
akibat gangguan kegiatan manusia ke dalam kawasan, antara lain: perambahan kawasan
hutan untuk lahan pertanian, kegiatan berburu satwa (burung dan mamalia) atau invasive
species (semak dan herba);
4. Sampah padat dari pengunjung/wisatawan;
5. Bencana alam berupa erosi dan sedimentasi, gunung berapi, gempa bumi vulkanik dan
erosi gangguan terhadap budaya lokal, karena kegiatan perekonomian di sekitar kawasan
konservasi.
6. Perubahan iklim (kekeringan, perubahan suhu ekstrim atau perubahan habitat).
Data dasar mengenai keanekaragaman hayati di BBKSDA Jawa Barat masih belum tersedia
dengan kualitas yang memadai. Data dan informasi yang ada umumnya adalah data lama
yang belum diperbaharui (update). Di sisi lain, laporan penelitian yang dilakukan oleh pihak
lain terutama pihak universitas dan LSM kurang terdokumentasi dan belum menghasilkan
kontribusi terhadap pembaruan (updating) data dasar dengan baik.
Data keanekaragaman hayati telah lama tidak diperbarui dan ini dapat dilihat pada publikasi
resmi BBKSDA Jawa Barat di website. Data keanekaragaman hayati yang dipublikasi tersebut
masih terdapat kesalahan dalam penulisan ilmiah seperti penulisan Burung Raja Udang
(Halcyonchloris palmeri) yang seharusnya Halcyon cyanoventris dan atau terdapat catatan
jenis yang meragukan seperti Gelam (Malaleuca leucadendron) di Gunung Burangrang yang
tidak sesuai dengan habitatnya.
Keberadaan data keanekaragaman hayati belum sepenuhnya dipergunakan untuk
kepentingan pengelolaan kawasan dan banyak species eksotik yang dipergunakan untuk
kepentingan rehabilitasi kawasan seperti di TB Gunung Masigit Kareumbi. Pemahaman
tentang kepentingan pengelolaan spesies endemik, penanggulangan spesies eksotik dan
spesies invasif belum sepenuhnya dipahami dalam konteks pengelolaan keanekaragaman
hayati.
1) Database dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
Database keanekaragaman hayati belum termutkahirkan (updated) untuk menunjang
kepentingan pengelolaan kawasan secara menyeluruh, dikarenakan koleksi data
keanekaragaman hayati masih minim dan belum dikelola secara sistematis dan baik.
Pengelolaan data spasial pada Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kantor BBKSDA Jawa
Barat, belum terinterpretasikan dengan tepat yang mencerminkan alur yang logis. Hal
tersebut terjadi karena terlalu banyak interpretasi data dari citra satelit yang tidak disertai
ground check di lapangan, sehingga data dan informasi lapangan relatif bias.
Sistem database dan informasi geografis yang ada tergolong cukup memadai, namun
tidak didukung kapasitas pengelolaan, input data yang memadai ataupun kemampuan
interpretasi citra satelit yang baik termasuk tidak dilakukannya kegiatan ground check ke
lapangan. Karenanya penyempurnaan database management dan SIG memerlukan
perbaikan dan peningkatan kapasitas serta ditunjang oleh kelembagaan/organisasi khusus
di bagian/bidang teknis BBKSDA Jawa Barat.
2) Kapasitas Sumberdaya Manusia Pengelola
Ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dalam mendukung pengelolaan
keanekaragaman hayati di dalam kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat
perlu ditingkatkan kompetensinya. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas SDM harus
dilakukan, diantaranya melalui pelatihan staf pengelola keanekaragaman hayati baik
dalam teknik pengumpulan data lapangan, pengenalan berbagai metoda
survey/inventarisasi keanekaragaman hayati, analisis data, koleksi spesies, pemetaan,
pengelolaan database dan informasi geografis sangat diperlukan. Selain kegiatan
pelatihan, penyediaan pedoman/petunjuk teknis lapangan (field guide) bagi petugas
(lapangan) perlu disediakan dengan baik.
2.1.2. Kerusakan Hutan di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat
Kerusakan kawasan hutan konservasi di wilayah BBKSDA Jawa Barat umumnya sebagai
akibat dari perambahan hutan oleh masyarakat desa-desa sekitar kawasan konservasi yang
“lapar lahan” karena kepadatan penduduk yang tinggi. Perambahan kawasan hutan yang
ada sekarang ini dan masih berlangsung terutama terjadi pada waktu awal reformasi pada
tahun 1998 di bekas areal Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Selain itu
kerusakan kawasan konservasi juga sebagai akibat dari kebakaran hutan dan illegal logging
seperti yang terjadi di kawasan hutan TB. Gunung Masigit Kareumbi.
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dan kajian literatur secara umum terdapat
kecenderungan penurunan kualitas dan luasan habitat satwa di seluruh kawasan konservasi
dalam wilayah studi pada 7 (tujuh) lokasi. Kejadian perambahan lahan terjadi di berbagai
kawasan konservasi, khususnya pada saat dimulainya era reformasi tahun 1997 di Indonesia.
Berikut contoh-contoh di setiap kawasan kajian:
a) Cagar Alam (CA) Gunung Tilu. Perambahan kawasan hutan, terutama yang berada
diperbatasan dengan desa, yang semula luasannya kecil kemudian meluas dengan
jumlah perambah yang bertambah banyak. Gambaran kondisi masyarakat adalah
sebagian besar masyarakat bercocok tanam sebagai petani dan buruh tani, rata-rata
berpendidikan rendah, kesempatan kerja kecil dan penghasilan yang rendah.
Masyarakat setempat pada umumnya menanam the, tanaman semusim seperti sayur-
sayuran, padi dan palawija. Luas areal hutan yang dirambah keseluruhan
diperkirakan + 50 ha untuk ditanami tanaman pertanian, antara lain sayaur-sayuran
dan kopi. Beberapa desa yang berada di sekitar kawasan hutan yang terdapat
perambahan hutan adalah di desa Sukaluyu dan Sugihmukti, sedagkan desa-desa yang
berdekatan antara lain Mekarsari dan Margamulya dan sekitarnya. Perambah hutan di
CA Gunung Tilu setelah adanya rekonstruksi tata batas CA Gunung Tilu, umumnya
menaman Cabe “Gendot” dengan luasan <1 ha per perambah. Saat ini sudah ada
upaya kerja sama dengan Kepala Desa, TNI dan Masyarakat untuk menurunkan para
perambah. Upaya ini telah berhasil menurunkan sebagian besar perambah (+ 80%)
dan tidak melakukan perambahan lagi didalam kawasan hutan konservasi.
b) Taman Buru (TB) Gunung Masigit Kareumbi (TBMK). Beberapa kerusakan
kawasan antara lain akibat kebakaran, bekas penebangan PT. PMS, pohon tumbang
akibat penyadapan berlebihan (untuk jenis Pinus) lebih dari 9 “kowakan” sadap dan
akibat pengambilan kayu bakar masyarakat sekitar. Telah dilakukan RHL sejak lama
antara lain dengan penanaman jenis Pinus (80% di luas TBMK) dan Puspa. Saat ini di
TBMK tidak ada perambahan hutan. Hasil observasi lapangan di area bekas
perambahan, masih terjadi kegiatan penebangan liar dan kebakaran hutan sehingga
menunjukkan bahwa kawasan tersebut saat ini masih belum pulih.
c) Cagar Alam (CA) Gunung Burangrang. Di kawasan CA. Gunung Burangrang
terjadi perambahan kawasan (Blok Ngagrak/Cikalong Wetan) oleh sekitar 44 KK. Di
sekitar Blok Cikawari/Desa Pasirwangi, kerusakan hutan konservasi di CA Gunung
Burangrang akibat perambahan diperkirakan sekitar + 200 ha dan di Blok Ciwedi
sekitar + 34 ha. Masyarakat perambah kawasan umumnya petani penggarap dan
mereka umumnya adalah masyarakat yang tidak masuk dalam KTH (Kelompok Tani
Hutan) program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Perum Perhutani.
Kebutuhan kayu bakar tinggi, karena penggunaan gas LPJ belum sampai ke desa
menyebabkan masyarakat mengambil kayu bakar dari kawasan CA. Gunung
Burangrang. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) telah dilakukan sejak tahun
2007 dengan sasaran/tujuan program adalah “penurunan perambah”.
d) Cagar (CA) Gunung Tangkuban Parahu dan Taman Wisata Alam (TWA)
Gunung Tangkuban Parahu . Permasalahan di kawasan Tangkuban Parahu yang
sering terjadi adalah alih fungsi lahan terkait Izin Prinsip untuk pengembang/Izin
Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA), perambahan, sampah dan rusaknya bentangan
alam akibat aktivitas masyarakat dan pengusaha di dalam kawasan. Ada 2 (dua) hal
yang harus dicermati terkait kerusakan lingkungan yakni administratif dan psikologis
secara kultural masyarakat dengan terhentinya angkutan rakyat/aktivitas di TWA
Gunung Tangkuban Parahu. Eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya dan bentang
alam mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan didalam dan luar
kawasan. Beberapa kasus terjadi sebagai akibat dari pemberian izin kepada
pengembang yang tidak sesuai dengan prinsip izin tersebut, disamping adanya
aktivitas ekonomi masyarakat.
e) Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang dan Taman Wisata Alam (TWA) Kawah
Kamojang. Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang secara umum berstatus kawasan
relatif terganggu. Kondisi flora dan fauna yang masih baik adalah jenis pohon
penyusun vegetasi hutan yang masih asli, Pada kawasan ini tidak terdapat satwa liar
eksotik dan tumbuhan eksotik. Selain itu, pencemaran yang terjadi adalah pencemaran
suara Adanya status hukum yang jelas serta bentuk geometri kawasan yang
memungkinkan tingkat gangguan keamanan kecil (mendekati lingkaran). Kelemahan
atau kondisi yang mengurangi keutuhan kawasan Kawah Kamojang adalah adanya
sedikitnya perburuan satwa liar dan pencurian pohon sepanjang tahun serta batas
kawasan yang relatif tidak berhutan. Pada CA Kawah Kamojang, kegiatan restorasi
dalam kawasan perlu dilakukan terutama di batas kawasan dan pengendalian
penutupan hutan diluar batas kawasan. Penegakkan hukum/ low enforcement dan
perlunya dibangun kemitraan empat pihak antara BBKSDA Jawa Barat - Pertamina -
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan tujuan meningkatkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keutuhan cagar alam, menemukan
alternatif energi bagi masyarakat dan meningkatkan pendapatan masyarakat. TWA
Kawah Kamojang kawasannya sudah terganggu. Satwa primata asli dilindungi sudah
tidak dijumpai di kawasan tersebut. Kegiatan perburuan satwa liar dan pencurian
pohon masih terjadi sepanjang tahun. Kawasan TWA Kawah Kamojang relatif terbuka,
kondisi di batas kawasan relatif tidak berhutan.
Penutupan lahan di kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat berdasarkan hasil
interpretasi data satelit mengalami perubahan penutupan dan pemanfaatan lahan. Dimana
pada landcover tahun 2011 teridentifikasi luas tutupan lahan di kecamatan dan kabupaten
yang termasuk area proyek di CA. Gunung Tilu seluas 3.647,83 ha, CA Kawah Kamojang
seluas 3.453,24 ha, TWA Kawah Kamojang seluas 185,95 ha, CA. Gunung Burangrang seluas
2.736,59 ha, CA. Gunung Tangkuban Parahu seluas 15,27 ha, TWA Gunung Tangkuban
Parahu 97,83 ha dan TB. Gunung Masigit Kareumbi seluas 3.063,84 ha.
Luas lahan kritis di tujuh kawasan BBKSDA Jawa Barat disajikan pada Tabel 6. Adapun luas
lahan di kawasan konservasi BBKSDA Proyek CWMBC disajikan pada Tabel 7. Adanya lahan
kritis di kawasan konservasi tersebut menunjukkan perlu tindakan rehabilitasi/restorasi untuk
memulihkan ekosistem di kawasan tersebut, sehingga daya dukungnya pulih.
Tabel 6. Luas Lahan Kritis di Tujuh Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat
Tabel 7. Lahan Kritis di Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat yang Berada Pada Proyek
CWMBC
Upaya rehabilitasi lahan (RHL) telah dilakukan sejak tahun 2003-2007 melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari BPDAS Citarum-Ciliwung. Kondisi lahan kritis
terdapat di 3 lokasi yaitu: CA Gunung Burangrang: 59 ha (kritis), CA Gunung Tilu: 42,3 ha
(sangat kritis), TB Gunung Masigit Kareumbi: 602 ha (sangat kritis) dan 619 ha (kritis).
Keberadaan lahan-lahan bekas perambahan dan adanya spesies eksotik, untuk itu perlu
adanya program pemulihan ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan PP No 28
Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA). Berbagai program untuk menanggulangi lahan kritis/kerusakan kawasan telah
dilakukan melalui Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) oleh Kementerian
Kehutanan. Program Gerhan di kawasan konservasi memerlukan adanya kajian dan evaluasi
kembali, khususnya dalam kaitan pemulihan spesies endemik dan penanggulangan spesies
eksotik, maupun species invasive di setiap kawasan konservasi terpilih pada proyek CWMBC.
Pengelola mengharapkan adanya kajian sistematis tentang keberadaan kekritisan/ kerusakan
kawasan konservasi terpilih. Pola pemulihan ekosistem yang dapat dilakukan sesuai
ketentuan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam mencakup mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi
ekosistem. Program penanggulangan spesies eksotik, termasuk keberadaan species invasive
yang berkembang di dalam kawasan konservasi harus menjadi prioritas dalam upaya
pemulihan ekosistem.
B. Upaya Restorasi/Rehabilitasi Hutan
iii) bantuan berupa ternak domba 21 ekor, bibit jabon 5000 bibit untuk ditanam di lahan
masyarakat.
2. Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi CA Kawah Kampjang,
TWA Gunung Guntur di Desa Panjiwangi, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Bandung,
yang kegiatannya dalam bentuk: i) persiapan (pengumpulan data, penyusunan
rancangan); ii) arahan/bintek penyaluran bantuan; iii) pemberian bantuan kambing untuk
kelompok tani; dan iv) BAP dan monitoring
3. Bantuan teknis dan permodalan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan di
CA/TWA Gunung Tangkuban Parahu , yang kegiatannya dalam bentuk: i) pengumpulan
data; ii) penyusunan rancangan; iii) pelaksanaan kegiatan penyerahan bantuan kambing
dan bibit.
2.1.3. Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat
Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam, air untuk komersial, tanaman dan satwa langka
dan ketinggian tempat (elevasi) serta terrain, telah lama terjadi di wilayah BBKSDA Jawa
Barat. Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang dikelola oleh swasta berada di TWA.
Gunung Tangkuban Parahu seluas 370 ha. Kawasan dengan status Cagar Alam (CA)
tertutup kemungkinan dilakukannya kegiatan pemanfaatan, sehingga perubahan atau
pengalihan sebagian kawasan dari Cagar Alam (CA) menjadi Taman Wisata Alam (TWA) atau
penggabungan beberapa CA menjadi Taman Nasional (TN) dapat menjadi pilihan di BBKSDA
Jawa Barat dengan tetap berpedoman pada persyaratan biofisik lapangan dan ketentuan
yang ada.
Peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum dalam pengelolaan jasa lingkungan di
wilayah BBKSDA Jawa Barat adalah:
1) Dasar hukum yang berkaitan dengan teknis
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
c. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
d. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam;
e. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
f. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam;
g. Peraturan Pemerintah No. 36/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam;
h. Surat Edaran Dirjen PHKA No. 03/2012 tentang Ijin Usaha Penyediaan Jasa Wisata
Alam;
i. Surat Edaran Dirjen PHKA No. 7/2012 tentang Penerbitan Pertimbangan Teknis
Permohonan Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam di Taman Nasional dan Taman
Wisata Alam;
Potensi jasa lingkungan air di wilayah BBKSDA Jawa Barat, khususnya kawasan konservasi di
CA Gunung Tilu, CA Kawah Kamojang, TWA Kawah Kamojang, TWA Gunung Tangkuban
Parahu, CA Gunung Burangrang dan TB. Gunung Masigit Kareumbi relatif besar karena
kawasan-kawasan konservasi tersebut umumnya merupakan zona resapan air (lihat peta
zona resapan air).
a) CA Gunung Tilu. Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu yang terletak di wilayah
Kecamatan Ciwidey, Pasir Jambu dan Pangalengan Kabupaten Bandung termasuk
wilayah DAS Citarum dan DAS Cikahuripan sekaligus merupakan kawasan hutan
konservasi dan hutan hujan dataran tinggi yang strategis dalam memberikan layanan
alam dan ekosistem di wilayah Bandung Selatan. Sebagian besar ketersediaan air di
wilayah sekitar Gunung Tilu di pasok dari kawasan hutan Gunung Tilu. Potensi jasa
lingkungan air di CA Gunung Tilu sangatlah banyak. Pemanfaatan air di CA Gunung
Tilu salah satunya oleh PT. Dewata berupa pemanfaatan mikrohidro dengan penerapan
mekanisme PES dan telah melakukan perjanjian (MoU) dengan BBKSDA Jawa Barat.
Sungai dan anak sungai yang berada di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu mengalir
dan bermuara pada dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu:
1) DAS Citarum (Sungai Cipadarum, Cibodas dan Cisondari) bermuara pada Sungai
Ciwidey kemudian Sungai Citarum (Sungai Cilamajang, Ciurug, Cisalada,
Cisanggiang, Cimalawindu, Cikakapa Gede, Cikakapa Leutik dan Cisurudan)
bermuara pada Sungai Cisangkuy kemudian ke Sungai Citarum;
2) DAS Cikahuripan (S. Cibaliung, S. Ciasahan, S. Cinangewer, S. Cimeri, S. Ciawi Tali)
bermuara pada S. Cikahuripan kemudian ke S. Cilaki.
b) TWA/CA Kawah Kamojang; Sungai-sungai yang mengalir dan berasal dari kawasan
TWA/CAKawah Kamojang diantaranya adalah Sungai Cikaso, Cihanjir dan Sungai
Citepus. Sungai-sungai tersebut berasal dari mata air yang mengalir dan menyatu.
Kondisi air umumnya jernih, dengan debit air rata-rata 0,5 – 0,6 liter/detik. Potensi
jasa lingkungan air terdapat di beberapa lokasi, yaitu Citiis, Cibuliran, Citepus I dan
Citepus II. Khusus untuk Cibuliran keadaan air tergolong hangat.
Pemanfaatan air umumnya digunakan untuk penggunaan dan konsumsi rumah tangga
serta pengairan lahan kebun dan pertanian. Fasilitas yang digunakan dalam
memanfaatkan air tersebut adalah dengan membangun bak-bak penampungan yang
bersumber dari aliran alami masing-masing sumber mata air.
c) CA/TWA Gunung Tangkuban Parahu. Kawasan CA dan TWA Gunung Tangkuban
Parahu termasuk tipe ekosistem hutan hujan pegunungan. Kawasan Gunung
Tangkuban Parahu dilalui oleh beberapa sungai, diantaranya Sungai Ciasem, Sungai
Cimuja, Sungai Cikonang, Sungai Cihideung dan Sungai Cimahi. Sedangkan kawasan
TWA Gunung Tangkuban Parahu hanya dilalui oleh Sungai Cikahuripan dengan debit
air yang tidak begitu besar yaitu 6,216 m3/s, namun keberadaannya sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Desa Cikole, Desa Jayagiri dan juga oleh masyarakat pengguna wisata
yaitu warung-warung di TWA Tangkuban Parahu. Pemanfaatan sumber air hingga
saat ini belum dilakukan kerjasama dengan pihak ketiga, sehingga perlu dijalin
kesepakatan bersama yang bersifat mengikat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
d) CA Gunung Burangrang. Kawasan Gunung Burangrang berada di DAS Citarum dan
termasuk Sub DAS Cilamaya, merupakan daerah tangkapan air dan hulu dari 23 aliran
sungai serta daerah tangkapan air bagi 41 (empat puluh satu) mata air (teridentifikasi)
yang keluar di daerah penyangga kawasan. CA Gunung Burangrang memiliki peranan
penting bagi Kawasan Bandung Utara (KBU) KBU dibedakan dalam lima mintakat yang
didasarkan pada (1) karakter morfologinya, (2) sifat tanah dan batuan, dan (3) fungsi
dan perannya terhadap tataair di kawasan bawahnya. Mintakat Burangrang salah
satunya. Mintakat Burangrang merupakan kawasan dari puncak sampai kaki Gunung
Burangrang. Sedikit berbukit, bagian atasnya (pada elevasi 900 m ke atas) merupakan
daerah dengan produktivitas yang tinggi. Peresapan diduga cukup tinggi. Karena itu
dengan daerah bawahnya (Padalarang) mempunyai hubungan tata air melalui air
permukaan dan diduga melalui resapan. Pemanfaatan air di CA Gunung Burangrang,
saat ini sedang proses dengan PDAM Subang.
e) TB. Gunung Masigit Kareumbi. Potensi jasa lingkungan air di TB Gunung Masigit
Kareumbi cukup tinggi, dimana terdapat 6 sungai yang berada dikawasan TB Gunung
Masigit Kareumbi, diantaranya Sungai Cisemat, Sungai Cimulu, Mata Air Blok Buyung
Citaman, Sungai Cileuleuy dan anak Sungai Rengganis 1 dan 2, Sungai Cileuleuy
(PDAM), serta Sungai Cileuleuy. Berikut pemanfaatan jasa lingkungan air di TB
Gunung Masigit Kareumbi tersaji pada Tabel 8:
.
Kondisi
No Nama Sungai Pemanfaatan Sipil Teknis
Sekarang
1 Sungai Cisemat Penerapan Model Bendungan Mikrohidro Daya kurang
Mikrohidro (Wanadri) stabil dan kurang
Irigasi sawah difungsikan oleh
Hulu curug cindulang kaw. PLN
Perhutani
2 Sungai Cimulu Kebutuhan air kegiatan Bendungan Semi Kegiatan Wanadri
Camping Ground permanen (Camping
Hulu curug Sindulang kaw. Ground)
Perhutani
3 Mata Air Blok Rumah tangga Penampungan luar Dimanfaatkan
Buyung Citaman Kolam kawasan dengan masyarakat Kp.
Pertanian dengan Paralon Cibunar Desa.
Citaman (4 RW, +
160 KK)
4 Sungai Cileuleuy Irigasi sawah dengan Saluran alami Irigasi oleh
dam anak Sungai. bangunan check dam masyarakat
Cirengganis 1&2 Dinas PU Naggorak
5 Sungai Cileuleuy PDAM Kab. Sumedang Bendungan permanen Keperluan air
(PDAM) Pipa dia 33,12 cm bersih masyarakat
untuk penampungan Sumedang melalui
pengelolaan IPAL PDAM
6 Sungai Cileuleuy Air bersih dan irigasi - -
masyarakat sekitar hilir
Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat dalam
pengelolaannya dilakukan dengan kerja sama kemitraan dengan para pihak. Sampai saat ini
terdapat 19 kerjasama kemitraan antara BBKSDA Jawa Barat dengan para pihak. Ada 5 Ijin
Prinsip dan 7 pemegang IPPA yang telah mendapatkan ijin pengusahaan pariwisata alam.
Umumnya kerjasama tersebut dilakukan dengan pihak Perum Perhutani dan Perusahaan
Swasta. Taman Wisata Alam yang dikelola oleh pihak ke tiga beserta kewajiban
pengusahaan pariwisata alam yang termasuk Project Area (PA) CWMBC adalah TWA Kawah
Kamojang dan TWA Gunung Tangkuban Parahu .
TWA. Gunung Tangkuban Parahu dengan luas 250 Ha terdiri dari TWA 175 Ha dan HL 75
Ha dikerjasamakan dengan pihak swasta yaitu PT. Graha Rani Putra Persada. Kewajiban
pengguna/pemanfaat kawasan telah terpenuhi dengan adanya RKPPA tahun 2009-2039, RKL
tahun 2009-2014 dan RKT tahap I tahun 2009, sedangkan untuk pembuatan site plan masih
belum dilakukan. Penetapan blok pemanfaatan pengusahaan pariwisata alam berdasarkan
SK. Dirjen PHKA. No 48/Kpts/DJ-VI/1995 tanggal 27 Maret 1995.
Untuk meningkatkan potensi pemasaran jasa lingkungan wisata alam, BBKSDA aktif
melakukan kegiatan promosi dengan mengikuti berbagai kegiatan pameran di tingkat
kabupaten, provinsi, dan nasional (misalnya Pameran Indo Green Expo).
Salah satu jasa lingkungan dari ekosistem, atau lebih tepat dari komponen ekosistem yaitu
permukaan tanah (terrain) dengan ketinggian tertentu, adalah jasa dalam memancarkan
sinyal atau gelombang elektromagnetik. Untuk dapat memanfaatkan kemampuan ketinggian
tempat tersebut, diperlukan infrastruktur berupa repeater tower. Kawasan hutan tertentu
mempunyai terrain dan elevasi seperti itu sehingga memenuhi syarat untuk ditempatkannya
tower dalam kawasan hutan. Menurut informasi awal yang diperoleh dari BBKSDA Jawa
Barat saat ini terdapat 6 atau 7 repeater tower di dalam kawasan CA. Gunung Tangkuban
Parahu (2013).
Identifikasi terhadap keberadaan repeater tower yang telah ada dalam kawasan konservasi
di wilayah BBKSDA Jawa Barat adalah diperlukan, dalam kaitan dengan pengaturannya di
waktu mendatang dan potensinya untuk “pembayaran” jasa lingkungan tersebut bagi
konservasi kawasan. Telaah dari aspek peraturan perundang-undangan diperlukan untuk
menghasilkan skema yang sesuai dengan aturan yang ada.
D. Jasa Lingkungan Penyimpanan Karbon di Kawasan Konservasi Sumber Daya
Alam Jawa Barat
Vegetasi hutan berperan penting dalam menurunkan emisi karbon melalui kemampuannya
dalam menyerap gas CO2 di udara bebas, sehingga efek rumah kaca akibat emisi gas
tersebut dapat dikurangi. Untuk menurunkan emisi rumah kaca global terkait dengan
kegiatan kehutanan, pendekatan baru dalam konservasi (lahan) hutan adalah REDD+
(Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation). Ide REDD+ berbeda
dengan program konservasi sebelumnya, di mana REDD+ memiliki implikasi langsung
terhadap insentif keuangan bagi para pihak dalam melestarikan ekosistem hutan untuk
mengurangi karbon dan menyimpan karbon dalam ekosistem hutan.
REDD+ adalah strategi mitigasi perubahan iklim berdasarkan perjanjian internasional
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), ditambah peran
konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan stok karbon hutan yang ada di
negara berkembang. Untuk Indonesia, program REDD ini memang relatif masih baru dan
sehingga berbagai upaya harus dibuat untuk melaksanakan REDD+. Skema REDD+
merupakan hasil dari beberapa proses kesepakatan dan hasil pertemuaan internasional
sebagai berikut :
1) Protokol Kyoto di Kyoto, Jepang, Desember 1997
Benih REDD mulai ditanam dalam Protokol Kyoto, terutama di pasal 2 dan 3.
4) Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) SBSTA Sesi 24 di Bonn,
Jerman, Mei 2006
REDD mulai dipertimbangkan dengan adanya pernyataan “perlunya membahas
pengurangan emisi dari deforestasi di negara-negara berkembang sebagai bagian upaya
mitigasi perubahan iklim”.
6) Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) Sesi 29 dan UNFCCC COP
14 di Poznan, Polandia, Desember 2008
Istilah REDD+ mulai diperkenalkan dalam SBSTA sesi 29, yang menyebutkan dalam
laporannya “pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara
berkembang, dan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan dari hutan dan
peningkatan stok karbon di negara-negara berkembang”.
8) Pertemuan Kelompok Kerja Ad-hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang (AWG-LCA) Sesi 7 di
Bangkok, Thailand, September/Oktober 2009
Pada pertemuan ini , beberapa negara termasuk Brazil, India, Meksiko, Swis dan
Norwegia meminta pengaman REDD+ dimasukkan lagi dalam teks yang akan diangkat
dalam perundingan di Bercelona, Spanyol, pada bulan November 2009.
11) Kesepakatan Cancun dari UNFCCC COP 16 di Cancun, Meksiko, Desember 2010
Kesepakatan Cancun mengadopsi REDD+ dengan menggunakan pendekatan bertahap
termasuk kegiatan sub-nasional. Dokumen ini juga mendefinisikan program REDD
dengan komprehensif, namun agenda pendanaan ditunda untuk dibicarakan pada tahun
2011. Kegiatan REDD+ yang dirumuskan dalam konvensi adalah sebagai berikut :
a) Mengurangi emisi dari deforestasi;
b) Mengurangi emisi dari degradasi hutan;
c) Konservasi stok karbon hutan;
d) Pengelolaan hutan berkelanjutan;
e) Peningkatan stok karbon hutan.
Dua mekanisme dasar dalam pendanaan REDD+ yang disepakati negara-negara yang
menandatangi konvensi perubahan iklim (UNFCC) yaitu:
a) Sumberdana pemerintah (seperti pemerintah Norwegian, melalui International
Forests and Climate Initiative), atau
b) Sumberdana swasta, yang memperlakukan REDD+ sebagai kompensasi (offset),
dan mengharuskan pembuat polusi (polluter) membayar kompensasi emissi dimana
saja melalui proyek REDD+.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon dengan skema
REDD+. Beberapa kebijakan yang terkait dengan pengurangan emisi karbon tersebut yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework
Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3557);
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
4) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The
United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas
Kerangka Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan
Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4403);
6) Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca;
7) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah
Kaca Nasional;
8) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2004 tentang Tatacara
Aforestasi dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih;
Stakeholder Kepentingan
Pusat
BBKSDA Jawa Barat Pengelolaan keanekaragaman hayati khususnya minimalisir
gangguan dan terpeliharanya jenis dan jumlah serta fungsi
flora fauna dalam kawasan.
BBWS Citarum Pengelolaan fungsi-fungsi wilayah sungai pada sungai yang
mengalir ke Sungai Citarum di wilayah BBKSDA Jawa Barat
atau yang dipengaruhi oleh ekosistem BBKSDA Jawa Barat.
Terutama pengelolaan sumberdaya air dalam wilayah sungai
(in-stream) misalnya terkontrolnya volume air dalam wilayah
Sungai Citarum.
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Dapat memanfaatkan sumberdaya hutan kayu dan non-kayu
Dan Banten (tidak termasuk fauna) berdasar kepentingan ekonomi atas
wilayah kerja hutan negara disekitar kawasan konservasi yang
meliputi hutan produksi maupun hutan lindung.
BPDAS Ciliwung-Citarum Pengelolaan fungsi-fungsi daerah aliran sungai dalam wilayah
konservasi BBKSDA Jawa Barat atau wilayah yang berbatasan
dalam wilayah DAS Citarum sebagai daerah tangkapan air.
Stakeholder Kepentingan
Daerah
P em erintah P rovinsi Jaw a Barat Untuk CA/TWA Kamojang dan CA/TWA Tangkuban Parahu
merupakan kawasan lintas Kabupaten
P em erintah Kab. Bandung Perencanaan dan pengembangan wilayah rakyat Bandung
Selatan (Pangalengan, Ciwidey) setelah wilayah Lembang
menjadi wilayah Kab. Bandung Barat, khususnya agrowisata,
pertanian tanaman pangan (hortikultura), termasuk di wilayah
yang berbatasan dengan kawasan konservasi BBKSDA Jawa
Barat.
Memelihara dan memanfaatkan air untuk keperluan pertanian
di wilayah irigasi atau saluran pembuangan untuk saluran
yang memfasilitasi lahan pertanian kurang dari 1.000 hektar.
Mengelola kualitas sumberdaya air dalam wilayah otoritasnya
dengan menjaga dan meminimalisir kandungan pencemaran.
P em erintah Kab.Bandung Barat Perencanaan dan pemanfaatan pemanfaatan sumberdaya
(lahan) rakyat diwilayah kabupaten Bandung Barat sebagai
sumber pendapatan daerah, termasuk dalam wilayah yang
berbatasan dengan kawasan konservasi BBKSDA Jawa Barat
seperti kawasan Lembang (CA dan TWA Gunung Tangkuban
Parahu ). Pengembangan diorientasikan untuk agrowisata dan
tanaman pangan (hortikultura).
Perencanaan pemanfaatan lahan (untuk bangunan) diwilayah
Kawasan Bandung Utara yang berbatasan diantaranya dengan
Gunung Burangrang, Gunung Masigit Kareumbi, Gunung
Tangkuban Parahu sebagai kawasan konservasi air dalam
wilayah Cekungan Bandung (Perbub No.8/2008).
Memelihara dan memanfaatkan air di wilayah saluran irigasi
yang mengairi lahan pertanian kurang dari 1.000 hektar.
Pengelolaan kawasan di wilayah lahan rakyat sekitar Taman
Pemerintah Kab. Sumedang Buru Masigit Kareumbi (TBMK) untuk peningkatan
perekonomian masyarakat sekitar. Misalnya pengelolaan
kawasan untuk tanaman pangan (hortikultura).
Pemerintah Kab. Subang Pengelolaan kawasan lahan rakyat di sekitar wilayah
Burangrang dan Tangkuban perahu untuk menjadi salah satu
sumber pendapatan masyarakat dan kabupaten.
Peningkatan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan
gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu , melalui
pemanfatan dampak ikutan agrowisata Lembang dan Ciater.
Pengelolaan manfaat sumber-sumber air untuk kegiatan
ekonomi masyarakat.
Pemerintah Kab. Garut Pengelolaan kawasan di sekitar wilayah TB. Gunung Masigit
Kareumbi dan CA/TWA Kawah Kamojang untuk menjadi salah
satu sumber pendapatan masyarakat dan kabupaten.
Peningkatan manfaat wilayah potensial yang disertai dengan
usaha konservasi yang akan dilakukan oleh stakeholder terkait
pada tingkat kabupaten, mengingat sebagian besar wilayah
Kab. Garut adalah wilayah hutan (misalnya Keputusan Bupati
No.522.12/2008) tentang pembentukan forum koordinasi
konservasi hutan dan lahan di Kab. Garut).
Pemerintah Kab. Purwakarta Pengelolaan kawasan disekitar dan dalam kawasan
Burangrang untuk kepentingan ekonomi masyarakat misalnya
perkebunan rakyat cengkeh dan pala.
Pengelolaan sumber-sumber air untuk pengembangan aktivitas
ekonomi dan social masyarakat.
Akademisi (ITB, IPB, UNWIM, Mengembangkan pusat riset dan pelayanan pada masyarakat
UNPAD) di wilayah sekitar untuk meningkatkan fungsi-fungsi ekologis
wilayah baik dalam bentuk fungsi langsung atau jasa
lingkungan bagi masyarakat setempat. Interes meliputi riset
kehutanan, pertanian, perikanan (budidaya) dan perairan air
tawar (waduk, situ/telaga dan sungai).
Kawasan TNGGP memiliki potensi keanekaragaman hayati flora dan fauna, serta jasa
lingkungan yang tinggi. Air, penyimpanan karbon, dan bentang alam merupakan beberapa
jasa lingkungan bernilai tinggi di dalam kawasan TNGGP. Potensi air yang berasal dari
TNGPP diperkirakan mencapai 213 milyar liter/tahun, Dimana kawasan tersebut merupakan
hulu dari 4 (empat) DAS, yaitu DAS Citarum, DAS Cimandiri, DAS Cisadane dan DAS
Ciliwung. Daerah aliran sungai tersebut menyangga kebutuhan air bagi lebih dari 30 juta
penduduk di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek).
Tipe ekosistem TNGGP yang terdiri dari ekosistem sub alphin (2.400 m dpl ke atas);
ekosistem montana (1.500 – 2.400 m dpl ), dan sub montana (1000 – 1500 m dpl ), memiliki
potensi keanekaragaman hayati flora dan fauna yang tinggi. Diperkirakan lebih dari 29 famili
tumbuhan dengan 60 spesies flora yang hidup dan tumbuh di kawasan TNGGP. Famili pohon
yang terdapat di TNGGP diantaranya adalah Aceraceae; Araliaceae; Asteraceae;
Bombacaceae; Elaeocarpaceae; Escaloniaceae; Euphorbiaceae; Fabaceae; Fagaceae;
Flacourtiaceae; Hamamelidaceae; Juglandaceae; Lauraceae; Magnoliaceae;
Melastomataceae; Meliaceae; Moraceae; Myrtaceae; Pinnaceae; Podocarpaceae;
Rhamnaceae; Rosaceae; Rubiaceae; Rutaceae; Sauraiaceae; Staphyleaceae; Symplocaceae;
Theaceae; dan Urticaceae. Kelompok tumbuhan selain pohon yang tumbuh di TNGGP adalah
epifit, liana, pakis, palma dan pandan (Hatfield, 2009). Dari 60 jenis flora pohon yang ada di
TNGGP, sebanyak 3 jenis flora di TNGGP merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan
peraturan nasional, yaitu: Aren (Arenga pinnata), Angkrek bersurat (Maccodes pettola), dan
Saninten (Castanopsis argentea); sebanyak 1 jenis masuk dalam lower risk/least concern
IUCN Red List yaitu Kiputri (Dacrycarpus neriifolius); dan 4 jenis masuk dalam Cites
Appendix II yaitu: Jamuju (Dacrycarpus imbricatus), Paku siur (Cyathea latebrosa); Congkok
(Spathoglothys plicata); dan Anggrek vanda (Vanda tricolor). Beberapa jenis flora di TNGGP
baik dalam kategori pohon maupun non pohon merupakan jenis yang dimanfaatkan oleh
masyarakat. Tercatat sebanyak 91 jenis flora merupakan jenis-jenis yang dimanfaatkan
masyarakat untuk berbagai keperluan, seperti: kayu pertukangan, bahan makanan, pakan
ternak, dan lain-lain. Termasuk yang dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut adalah jenis-
jenis yang dilindungi.
Keanekaragaman fauna di TNGGP yang tercatat oleh Hatfield Indonesia (2009) meliputi :
jenis Amphibia sebanyak 5 spesies; Aves sebanyak 26 spesies dan 8 diantaranya merupakan
spesies dilindungi; Mamalia sebanyak 20 spesies dan 13 spesies diantaranya merupakan
species dilindungi; Nemathoda sebanyak 1 spesies; Pisces sebanyak 2 spesies; Primata
sebanyak 5 spesies dan 3 diantaranya merupakan spesies dilindungi; dan Reptilia sebanyak
6 spesies. Data tersebut berbeda dengan publikasi Conservation International (2010) yang
menyebutkan bahwa Mamalia terdiri dari 50 spesies yang termasuk dalam 9 ordo dan 19
famili; Burung 262 spesies yang termasuk dalam 48 famili; Reptil 30 spesies yang termasuk
dalam 7 famili yang terdiri dari 19 spesies ular dan 11 spesies kadal; Amfibia 23 spesies yang
termasuk dalam 2 ordo dan 6 famili; dan Pisces 7 spesies yang termasuk dalam 6 famili.
Jenis-jenis fauna dilindungi di kawasan TNGGP diantaranya adalah: Alap Kawah(Falco
peregrines), Elang Biasa (Haliastur indus), Elang Hitam (Inchatus malayaensis) Elang Ruyuk
(Spilornis cheela bido) Elang Jawa (Spilornis javanica) Burung Kacamata (Zoosterops
montanus) Ajag (Cuon alvinus) Tupai Terbang/Tando (Cynocephalus variegates), Landak
(Hystrix brachyuran), Peusing (Manis javanicus), Mencak (Muntiacus muntjak), Macan Tutul
(Panthera pardus), Meong Congkok (Prioniculus bengalensis), Jaralang (Ratufa bicolor),
Kancil (Tragulus javanicus), Owa jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis Comata), Lutung
(Trachypithecus auratus), dan lain-lain.
B. Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Keberadaan dan kelestarian keanekaragaman hayati flora dan fauna yang tinggi di TNGGP
saat ini menghadapi beberapa ancaman, yaitu (Hatfield, 2009, dan observasi lapangan Tim
CWMBC 2013) :
1. Kegiatan wisata. Akibat dari banyaknya lokasi wisata secara langsung atau tidak
langsung memberi ancaman berupa pembangunan fasilitas wisata, akses jalan,
pembangunan jalur listrik, jalur komunikasi dan sampah pengunjung;
2. Vandalisme. Akibat sikap “mengekspresikan” diri dengan kecenderungan merusak
dan/atau memorat-coret fasilitas pendakian, shelter di sepanjang jalur pendakian,
sehingga menurunkan kualitas kawasan konservasi;
3. Perburuan satwa. Kegiatan perburuan satwa (masih ditemui beberapa kasus
perburuan burung, kumbang, monyet di dalam kawasan taman nasional);
Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak Balai Besar TNGGP diperoleh
beberapa butir penting terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi berbasis
keanekaragaman hayati, sebagai berikut:
1) Ketersediaan dan Kualitas Data Keanekaragaman Hayati
Data dasar keanekaragaman hayati masih belum tersedia dengan kualitas yang memadai
serta mendukung kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
Data dan informasi yang tersedia umumnya data lama yang belum diperbaharui. Walaupun
banyak hasil penelitian di TNGGP yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama perguruan
tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), tetapi kurang didokumentasikan dengan
baik sehingga kontribusinya dalam pembaruan data keanekaragaman hayati di TNGGP belum
berjalan dengan baik.
2) Database dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
Basis data (database ) keanekaragaman hayati di kawasan TNGGP berperan penting dalam
mendukung sistem pengelolaan TNGGP yang baik dan berkelanjutan. Kendala
pengembangan database di TNGGP terkait dengan sistem, teknologi, dan pengelolaan
database . Input pengumpulan data keanekaragaman hayati masih minim dan belum
dilakukan dengan sistimatis dan baik, plot-plot pengukuran data keanekaragaman hayati
belum ditetapkan secara memadai karena kurang mewakili keberagaman kondisi di
lapangan. Pemetaan kawasan untuk peta kerja maupun peta tematik untuk kepentingan
pengelolaan keanekaragaman hayati telah ada namun belum memenuhi format standar
pemetaan Kementerian Kehutanan.
Sistem database, informasi geografis dan pemetaan yang ada telah cukup baik, dan
pengelola telah melakukan pengelolaan database, GIS dan pemetaan secara terpusat
dilakukan di Kantor Balai Besar TNGGP. Namun demikian beberapa data penting perlu
dikelola dengan lebih baik, misalnya analisis perubahan tutupan lahan yang ada (tahun
1994,1997,dan 2011) kurang mencerminkan alur yang logis. Hal tersebut terjadi karena
banyak input data yang diinterpretasikan dari citra satelit yang tidak disertai ground check
maupun ground thruthing di lapangan, sehingga data dan informasi lapangan menjadi bias.
Penyempurnaan database management, sistem informasi geografis dan pemetaan
memerlukan perbaikan dan peningkatan kapasitas. Untuk itu perlu dukungan
Dalam konteks habitat flora fauna, kondisi eksisting kawasan TNGGP masih cukup baik.
Ancaman dari kegiatan budidaya dan pertanian, perumahan dan konversi lahan dinilai
rendah (Hatfield, 2009). Akan tetapi masih terdapat ancaman lainnya dalam “kategori
sedang” terhadap keberadaan flora fauna diantaranya berupa ekstraksi flora fauna dari
dalam kawasan TNGGP.
Disamping itu, dengan perluasan kawasan taman nasional yang berasal dari eks-hutan
produksi dan hutan lindung yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi hutan
konservasi, terdapat permasalahan serius dengan adanya jenis-jenis eksotik, seperti Pinus
Merkusi, Eucalyptus, Mahoni, Jati, dan lainnya yang dipergunakan oleh Perum Perhutani
untuk kepentingan rehabilitasi kawasan hutan tersebut. Adanya jenis-jenis eksotik tersebut
perlu diidentifikasi dan diprogramkan kegiatan eradikasinya.
Keberadaan lahan-lahan bekas perambahan tanaman sayuran/hortikultural, eks-hutan
lindung dan hutan produksi dengan jenis-jenis eksotik memerlukan adanya program
pemulihan ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan PP No 28 Tahun 2011
tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Berbagai program untuk menanggulangi lahan kritis/kerusakan kawasan telah dilakukan
melalui: (a) Program Adopsi Pohon bekerjasama dengan Konsorsium Gedepahala dan
Conservation International-Indonesia, Green Radio Jakarta; dan (b) Program Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Kementerian Kehutanan.
Pengelola mengharapkan adanya kajian sistematis tentang keberadaan kekritisan/ kerusakan
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pola pemulihan ekosistem yang dapat
dilakukan sesuai ketentuan PP No 28 Tahun 2011 yang mencakup mekanisme alam,
rehabilitasi, dan restorasi ekosistem, program penanggulangan spesies eksotik, termasuk
keberadaan species invasive yang berkembang di dalam kawasan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango.
A. Penutupan Lahan dan Potensi Kekritisan Kawasan
Luas penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) berdasarkan
hasil Ground Check Hasil Penafsiran Citra Satelit Resolusi Tinggi Wilayah TNGGP oleh Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa Madura tahun 2010 terdiri dari yang masih
berhutan adalah + 16.831,27 ha (76,59%) dan yang tidak berhutan + 5.143,70 ha
(23,41%). 2 Lahan berhutan tersebut dibagi berdasarkan kerapatan tajuk pada Hutan Primer
(HP), Hutan Sekunder (HS) dan Hutan Tanaman (HT). Untuk Hutan Primer Kerapatan Tinggi
atau lebih besar dari 70% seluas 2.710,5 ha, HP Kerapatan Sedang antara 40-70% seluas
694.5 ha, sedangkan HP dengan kerapatan rendah atau dibawah 40% tidak ada. Untuk
Hutan Sekunder (HS) Kerapatan Rendah 2.081,5 ha, HS kerapatan sedang 9.004,4 ha dan
HS Kerapatan Tinggi seluas 1.268,6 ha. Untuk Hutan Tanaman (HT) dengan kerapatan
rendah seluas 53,7 ha, HT Kerapatan Sedang seluas 434,3 ha dan HT Kerapatan Tinggi
583,8 ha. Hasil penafsiran areal yang tidak berhutan dapat terjadi pada alun-alun
Suryakencana yang merupakan padang rumput dan edelweiss sepanjang ± 2000 m dan
lebar ± 250 m, Kawah Gunung Gede dengan diameter ± 600 m. Areal lain yang
dimungkinkan diinterpertasikan sebagai tidak berhutan adalah Danau Situ Gunung, Telaga
Biru dan juga rawa. Selain itu dibeberapa tempat tengah dilakukan rehabilitasi lahan (RHL)
dan juga adopsi pohon yang tegakannya masih belum dapat dilihat secara jelas dengan
menggunakan citra satelit.
Dari hasil penafsiran satelit tahun 2010 ini dapat disimpulkan bahwa tutupan lahan yang
dominan adalah Hutan Sekunder Kerapatan Sedang (40-70%) dan Hutan Primer Kerapatan
Tinggi (>70%), selain itu bahwa TNGGP masih sangat baik bagi berbagai jenis satwa dan
tumbuhan endemic (edelweiss) TNGGP. Adanya kawasan non hutan merupakan penafsiran
2 www.gedepangrango.org/penutupan-lahan-taman-nasional-gunung-gede-pangrango-2010/
dari areal khas TNGGP seperti alun-alun suryakencana dan juga kawah Gunung Gede serta
Puncak Pangrango.
Penafsiran ini sangat penting dan berarti bagi Pengelola Taman Nasional sebagai bahan
evaluasi tingkat keberhasilan dalam penerapan management kawasan. Informasi Sumber
Daya Hutan ini juga dapat digunakan bagi pengelola untuk melakukan restorasi kawasan
taman nasional, terutama upaya restorasi lahan kritis.
Kekritisan lahan di kawasan TNGGP disajikan pada Tabel 10 dan tingkat kekritisan lahan di
TNGGP-Proyek CWMBC disajikan pada Tabel 11. Tabel 10 dan 11 menunjukkan bahwa
masih adanya lahan kritis di dalam kawasan TNGGP memerlukan tindakan konservasi untuk
mengurangi lahan kritis yang ada, sehingga ekosistem hutan di TNGGP dapat dipulihkan
daya dukungnya.
Tabel 10 Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah TNGGP
Tabel 1 Tingkat Kekritisan Lahan di TNGGP yang Berada Pada Proyek CWMBC
Potensi kekritisan di TNGGP salah satunya di mata air Batu Karut. Mata air Batu Karut sendiri
dikelilingi 3 (zonasi)3 untuk melindungi mata air Batu Karut, yaitu:
1. Zona Perlindungan Sumber Air Baku I
Zona I berada sekitar mata air beradius minimum 100 m dan di sekitar lingkungan
sumber air baku dan dilengkapi broncoptering yang terawat dan bagus, melindungi
keluaran mata air, dilengkapi pagar pembatas, merupakan lahan kosong, ditumbuhi
bambu dan beberapa pohon yang berumur tahunan.
2. Zona Perlindungan Sumber Air Baku II
Penggunaan lahan zona II adalah untuk pemukiman dan lahan pertanian serta
peternakan berupa tegalan, yang dapat mempengaruhi terjadinya pencemaran kualitas air
tanah selama 50 hari pergerakan air tanah. Sawah di sekitar mata air batukarut, lebih
3 www.wordpress.com/2008/06/action-plan_mata-air-batukarut.pdf
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa potensi kekritisan di beberapa
wilayah khususnya mata air Batu Karut adalah alih fungsi lahan, eksploitasi berlebihan,
kurangnya tanaman tegakan dan tekanan penduduk sekitar.
desa; (e) Pengembangan budidaya jamur, tanaman hias dan ternak kelinci; (f) Kampanye
lingkungan dan pengembangan pembiayaan alternatif bagi program RHLP kepada pendaki
Gunung Gede-Pangrango; dan (g) Penguatan kapasitas kelompok.
2) MDK Berbasis Pengembangan Ekonomi
MDK berbasis Ekonomi di Desa Kebon Peuteuy, selama perode tahun 2006-2008, dengan
dukungan para pemangku kepentingan di Kabupaten Cianjur telah berhasil melakukan:
(a) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan Kawasan
TNGGP; (b) Pengembangan persemaian pohon endemik dan tanaman MPTS; (c) Budidaya
jamur sebanyak 1.000 log; (d) Budidaya stek teh; (e) Peternakan domba sebanyak 15
ekor; (f) Pembuatan irigasi desa sepanjang 200 meter; (g) Perbaikan jalan lintas desa dan
jalan dusun sepanjang 800 meter; dan (h) Penyediaan sarana air bersih sepanjang 500
meter.
3) MDK Pelestarian Mata Air
MDK berbasis Pelestarian Mata Air di Cisarua yang tergabung dalam Kelompok Tani
“Kencana Wangi” telah melakukan sekolah lapangan dalam upaya mengembalikan fungsi
daerah tangkapan air di Cisarua: (a) Kelompok Tani “Kencana Wangi” menjadi motor
penggerak rehabilitasi lahan; (b) Penyediaan lahan seluas total 98 hektar dari berbagai
pihak di Cisarua untuk rehabilitasi lahan; (c) Penyediaan 20.000 bibit pohon untuk
rehabilitasi lahan; dan (d) Pembuatan kesepakatan dan peraturan desa.
4) MDK Desa Wisata
MDK ini fokus pada pengembangan budidaya ikan air deras dan pengembangan air Terjun
Cikaracak di Kampung Cibeling. Saat ini, warga Cinagara yang tergabung dalam Kelompok
Tani Sari mekar berusaha menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan
dengan perbaikan ekonomi mereka : (a) Rehabilitasi dan konservasi lahan melalui
persemaian, penanaman, perawatan dan pola tanam ramah lingkungan.; (b) Pelatihan
pembuatan pupuk organik; (c) Budidaya ikan dan tanaman buah produktif dan organik;
(d) Peternakan kelinci dan domba; (e) Perbaikan sarana air bersih dan sanitasi serta
saluran pembuangan air; dan (f) Pengembangan wisata alam air Terjun Cikaracak.
5) MDK Penanaman Pohon Endemik
MDK di Desa Cihanyawar Kabupaten Sukabumi yang tergabung dalam kelompok tani
Cilondondong Jaya berupaya meningkatkan kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan
ekonomi mereka: (a) Rehabilitasi lahan seluas 30 hektar di lahan perluasan TNGGP
dengan 15.000 pohon Rasamala, Puspa Dan Manglid; (b) Kesepakatan antara TNGGP
dan Cilondondong Jaya untuk menggarap lahan di kawasan TNGGP selama 3 tahun; (c)
Komitmen untuk mengembangkan usaha ternak kambing; dan (d) Budidaya tanaman
obat kumis kucing.
Kawasan TNGGP selain kawasan dengan nilai konservasi keanekaragaman hayati yang
tinggi, juga merupakan zona resapan air utama untuk wilayah-wilayah di sekitarnya.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian bahwa potensi sumberdaya air yang keluar dari
kawasan TNGGP mencapai 213 milyar liter per tahun yang sangat vital manfaatnya untuk
seluruh masyarakat yang ada di wilayah Cianjur, Bogor, Sukabumi, Jakarta, Tangerang, dan
Depok. Jasa lingkungan air dari kawasan TNGGP dimanfaatkan oleh berbagai kelompok
pengguna di sekitar kawasan, mulai dari masyarakat, perusahaan bunga, hotel/restoran,
PDAM, dan lain-lain. Sejumlah pemanfaat jasa lingkungan air tersebut tergabung dalam
sebuah forum pemakai air (Forum Peduli Air/Forpela) yang pembentukannya difasilitasi oleh
proyek Environmental Service Program-United State Agency International Development
(ESP-USAID) sekitar tahun 2006. Tahun 2008 disepakati sebuah MoU antara Forpela dengan
Balai TNGGP untuk jangka waktu lima tahun. Kesepakatan dalam MOU tersebut
mencatumkan kewajiban pihak Forpela sebagai berikut:
1. Bersama pihak pertama (TNGGP) menyusun Rencana Kerja Lima Tahunan (RKL) dan
Rencana Kerja Tahunan (RKT);
2. Melaksanakan RKL dan RKT yang telah disahkan;
3. Mengkoordinir dan memungut iuran dari anggota Forpela;
4. Memberikan dukungan kepada pihak BBTNGGP dalam setiap program sesuai dengan RKL
dan RKT;
5. Berkoordinasi dengan BBTNGGP dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan program
sesuai dengan RKL dan RKT;
6. Melaporkan secara tertulis setiap hasil kegiatan Forpela sesuai dengan RKL dan RKT.
Dasar dan arahan teknis utama yang digunakan bagi pelaksanaan MoU (Memorandum of
Understanding) adalah surat Dirjen PHKA No. 599/2006 tentang Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Air di Kawasan Konservasi. Sampai dengan tahun 2013 telah terdapat lima MoU
dengan pemanfaat air di sekitar wilayah TNGGP. Pedoman pelaksanaan MoU kemudian
diperjelas dengan Surat Edaran Dirjen PHKA No. 3/2008 tentang Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Air Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru, dengan kewajiban
yang lebih kurang sama dengan MoU TNGGP-Forpela. Peraturan-peraturan yang menjadi
dasar hukum dalam pengelolaan jasa lingkungan wisata alam adalah sama dengan di
wilayah BBKSDA Jawa Barat
Analisa sementara berdasarkan penggalian informasi di lingkup Balai Besar TNGGP terhadap
efektivitas MoU BBTNGGP- Forpela adalah sebagai berikut:
a) Forpela merupakan inisiasi yang kreatif dari parapihak. Meskipun pada awalnya
dilatarbelakangi oleh kebutuhan mencari dana untuk konservasi kawasan hutan
TNGGP, inisiasi ini lebih strategis dilihat dari persfektif yang lebih besar yaitu
meningkatkankepedulian dari seluruh masyarakat terhadap lingkungan. Adanya
inisiasi ini juga telah memberi inspirasi bagi lahirnya skema serupa di daerah lain
yaitu di Lombok Barat (TN Rinjani) dan Kuningan-Cirebon.
b) Tidak adanya laporan rutin Forpela kepada TNGGP seperti yang diamanatkan dalam
pasal kewajiban pada kesepakatan. Dalam kaitan ini, MoU tidak menjelaskan atau
mengatur mekanisme apa yang harus dilakukan oleh parapihak bila salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Secara logika dapat ditafsirkan bahwa pemberi
mandat adalah parapihak, dan yang berwenang mencabut mandat adalah parapihak.
c) Dari informasi yang disampaikan staf BBTNGGP, diketahui bahwa kontribusi Forpela
terhadap konservasi kawasan hutan masih rendah.
d) Untuk mengoptimalkan peran dan kontribusi Forpela terhadap konservasi kawasan
hutan dan masyarakat, diperlukan kajian lebih mendalam terhadap Forpela untuk
menemukan inovasi-inovasi dalam konteks peningkatan kualitas pengelolaan
kawasan konservasi melalui peran serta masyarakat dan pengguna jasa lingkungan
air dalam sebuah mekanisme PES yang lebih maju.
Penelitian Siregar (2007) tentang Potensi Serapan Karbon di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, dengan menggunakan metoda United States Department of Agriculture Forest
4 Surat Keputusan Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Nomor: Sk.84/11-Tu/1/2009 tentang Petunjuk
Teknis Pelayanan Pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Service (USDAFS) di titik plot (PAL II) bahwa menunjukkan potensi biomasa kandungan
karbon biomasa dan kandungan setara CO2 berturut-turut sebesar 551.12 ton/ha, 275.56
ton/ha, dan 1,010.38 ton/ha.
Jenis-jenisCastanopsis argentea dan Altingia excelsa merupakan dua jenis tanaman yang
memiliki potensi serapan karbon tertinggi masing-masing sebesar 70,39 ton/ha dan 54,67
ton/ha. Kandungan karbon organik tanah pada kedalaman 0-10 cm tergolong sangat tinggi,
yaitu sebesar 9,97% dan kandungan karbon organik tanah pada kedalaman 10-20 cm
tergolong tinggi yaitu sebesar 4,98%. Besarnya akumulasi karbon terkonservasi dalam
tanah dari permukaan sampai kedalaman 20 cm adalah sebesar 149,50 ton C/ha. Jenis
pohon d dengan Potensi Biomassa dan Kandungan Karbon Tertinggi di TNGGP disajikan
pada Tabel 12.
Tabel 12 Jenis Pohon dengan Potensi Biomassa dan Kandungan Karbon Tertinggi di TNGGP
Kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama, yaitu :
a. Unsur Pemerintah Pusat : BBTNGGP, Perum Perhutani KPH Cianjur, BPDAS Citarum-
Ciliwung dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum;
b. Unsur Pemerintah Daerah : Bappeda Kab. Cianjur; Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kab. Cianjur; Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Cianjur; Dinas
Tata Ruang dan Permukiman, Cianjur; Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air dan
Pertambangan (PSDAD); Kecamatan Pacet; Kecamatan Cipanas; Kecamatan
Cugenang; Kecamatan Warungkondang; serta kepala desa setempat.
c. Unsur Masyarakat dan/atau lembaga lainnya (perguruan tinggi setempat dan lembaga
swadaya masyarakat)
Kepentingan dari setiap stakeholders tersebut disajikan pada Tabel 13.
Stakeholder Kepentingan
Pusat
BBTNGGP Terlaksanannya konservasi keanekaragaman hayati di wilayah
TNGGP, meliputi: perlindungan sistem penyangga kehidupan;
pengawetan (preservasi) flora, fauna dan eksosistemnya;
pemanfaatan sumber daya hutan dan eksosistemnya secara
berkelanjutan. Konservasi dilakukan diwilayah konservasi.
BPDAS Ciliwung-Citarum Pengelolaan fungsi-fungsi daerah aliran sungai dalam wilayah
TNGGP atau wilayah yang berbatasan dengan TNGGP sebagai
daerah tangkapan air.
BBWS Citarum Pengelolaan fungsi-fungsi wilayah sungai pada sungai yang
mengalir ke Sungai Citarum di wilayah TNGGP atau yang
dipengaruhi oleh ekosistem TNGGP. Terutama pengelolaan
sumberdaya air dalam wilayah sungai (in-stream).
Pemerintah Daerah
Pemerintah Kabupaten Cianjur (termasuk Terpeliharanya/terbangunnya kawasan lindung (pada wilayah
unsur-unsur BAPPEDA, Dinas Kehutanan tanah/hutan rakyat). Target menurut tata ruang Jabar 65%.
dan Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Kondisi eksisting 12,8% lahan hutan (rakyat) dan 13,10%
lahan non-hutan. Kegiatan ini meliputi rehabilitasi, reboisasi
dan Hortikultura, Dinas Tata Ruang dan
dan konservasi hutan rakyat di wilayah sekitar TNGGP (lebih
Permukiman) dititikberatkan pada konservasi tanaman/flora sedangkan
interest pada fauna sangat rendah).
Pengembangan wilayah sekitar TNGGP (Kecamatan Pacet dan
Kecamatan Cipanas) menjadi salah satu sumber pertumbuhan
ekonomi berbasis agrobisnis dan agrowisata, khususnya
komoditi hortikultura berdasar pada konsep agropolitan.
Wilayah Pacet dan Cipanas termasuk salah satu andalan
sumber PAD Kab. Cianjur.
Dalam Rencana Tata Ruang Kab. Cianjur 2005-2015.
Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cipanas merupakan sentra
pelayanan orde PKL 1 (kawasan perkotaan dengan fungsi
sebagai pusat perdagangan dan jasa, permukiman, koleksi dan
distribusi dengan skala pelayanan beberapa kecamatan.
Perwujudan pemanfaatan ruang wilayah Kab. Cianjur di sekitar
TNGGP sesuai dengan Peraturan Presiden RI No.54/2008,
tentang penataan ruang Jabodetabekpunjur, yang bertujuan
diantaranya mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
dalam pengelolaan kawasan, konservasi air dan tanah,
menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan serta
menanggulangi banjir.
Pengelolaan sumberdaya air, baik untuk air minum maupun
aktivitas ekonomi lainnya seperti pertanian dan industri.
Akademisi
Institut Pertanian Bogor, khusus Mengembangkan pusat riset dan pelayanan pada masyarakat
Fak.Kehutanan, Fak.Pertanian dan Fak. di wilayah sekitar untuk meningkatkan fungsi-fungsi ekologis
Perikanan dan Ilmu Kelautan wilayah baik dalam bentuk fungsi langsung atau jasa
lingkungan bagi masyarakat setempat. Kepentingan meliputi
riset kehutanan, pertanian, perikanan (budidaya) dan perairan
air tawar (waduk, situ/telaga dan sungai).
Universitas Suryakencana Pengembangan riset bidang agribisnis
LIPI Memanfaatkan dan mengembangkan riset bio-ekologi dan
keanekaragaman hayati di wilayah taman nasional dan
Pengelolaan Kebun Raya Cibodas.
Forpela Melestarikan sumber-sumber mata air untuk mendukung
pemanfaatan bagi aktivitas masyarakat (MCK) maupun
aktivitas ekonomi khususnya pariwisata.
Kelompok Petani Pengembangan sumber-sumber mata air untuk mendukung
pemanfaatan bagi aktivitas masyarakat (MCK) maupun
Stakeholder Kepentingan
aktivitas ekonomi khususnya pertanian.
Masyarakat Mengembangkan sumber ekonomi bagi pemenuhan kebutuhan
keluarga (langsung maupun tidak langsung) seperti kebutuhan
air, kegiatan pertanian, pemanfaatan hasil hutan.
Pengambil Kayu Mendapatkan kayu hutan yang berkualitas sesuai dengan
kebutuhan/permintaan.
Sumber: Laporan Akhir Konservasi Keanekaragaman Hayati, Hatfield, 2009
1) Ketersediaan data dan informasi kawasan konservasi. Data dan informasi potensi
kawasan konservasi relatif terbatas dan relatif lama, serta sistem informasi manajemen
kawasan konservasi yang belum optimal;
2) Adanya ancaman terhadap kelestarian kawasan konservasi yang berpengaruh negatif
terhadap kelestarian biodiversitas dan ekosistem di dalamnya. Keterbukaan penutupan
lahan di dalam kawasan konservasi akibat perambahan lahan, keberadaan vegetasi
yang bersifat invasif dan eksotik merupakan beberapa permasalahan yang mengancam
ekosistem di kawasan konservasi;
3) Manfaat keberadaan kawasan konservasi dalam menyediakan beragam jasa lingkungan
kurang diapresiasi nilainya secara baik oleh masyarakat dan pengguna jasa lingkungan
lainnya. Nilai manfaat jasa lingkungan kawasan konservasi yang masih under value
menjadi salahsatu penyebab terjadinya kegiatan ilegal terhadap lahan di kawasan
konservasi seperti perambahan lahan hutan. Dengan masih rendahnya apresiasi
terhadap nilai manfaat jasa lingkungan kawasan konservasi menyebabkan kontribusi
nilai yang diberikan oleh masyarakat dan pengguna jasa lingkungan lainnya masih
rendah. Kontribusi nilai tersebut sebenarnya dapat menjadi alternatif pendanaan untuk
mendukung kegiatan pengelolaan kawasan konservasi;
4) Keterlibatan dan partisipasi para pihak dalam mendukung kegiatan konservasi belum
optimal, dimana pengarusutamaan konservasi masih relatif rendah di tengah
masyarakat. Dalam hal ini, kepedulian dan partisipasi para pihak belum berjalan
optimal serta pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi masih terbatas.
1) Data dan sistem informasi kawasan konservasi, yaitu dengan melakukan pemutakhiran
data potensi kawasan konservasi dan pengembangan sistem informasi manajemen
kawasan konservasi. Dalam hal ini fokus kegiatan yang dilakukan berupa : inventarisasi
keanekaragaman hayati, pemetaan habitat, dan pengembangan GIS untuk
meningkatkan rencana pengelolaan dan rencana aksi kawasan konservasi (Komponen
1);
2) Restorasi dan rehabilitasi, yaitu dengan melakukan kegiatan restorasi dan rehabilitasi
dalam skala pilot project. Dalam hal ini fokus kegiatan yang dilakukan berupa : pilot
proyek untuk restorasi hutan di dalam kawasan konservasi (Komponen 2);
3) Pengelolaan jasa lingkungan kawasan konservasi, yaitu dengan melakukan valuasi dan
strategi pengembangan potensi jasa lingkungan. Dalam hal ini fokus kegiatan yang
dilakukan berupa : pembiayaan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati
melalui pembayaran jasa lingkungan (Komponen 3);
4) Partisipasi para pihak dalam konservasi kawasan konservasi, yaitu dengan melakukan
pengarusutamaan kegiatan konservasi yang mendukung pengelolaan kawasan
konservasi. Dalam hal ini fokus kegiatan yang dilakukan berupa : pengarusutamaan
konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi (Komponen 4).
Pemutakhiran Data Potensi Kegiatan Restorasi dan Valuasi dan Strategi Pengarusutamaan Kegiatan
Kawasan Konservasi dan Rehabilitasi dalam Skala Pilot Pengembangan Potensi Jasa Konservasi yang Mendukung
Pengembangan Sistem Informasi Project Lingkungan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Manajemen Kawasan Konservasi
KOMPONEN KEGIATAN 1
KOMPONEN KEGIATAN 2 KOMPONEN KEGIATAN 3 KOMPONEN KEGIATAN 4
Inventarisasi Keanekaragaman Hayati,
Pembiayaan Berkelanjutan untuk Pengarusutamaan Konservasi
Pemetaan Habitat, dan Pilot Proyek untuk Restorasi Hutan di
Konservasi Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman Hayati di Lanskap
Pengembangan GIS untuk dalam Kawasan Konservasi
melalui Pembayaran Jasa Lingkungan Produksi
Meningkatkan Rencana Pengelolaan
dan Rencana Aksi Kawasan
Konservasi
Tenaga Ahli pada setiap komponen proyek CWMBC bertugas memberikan technical assistant
guna meningkatkan kinerja pengelolaan delapan kawasan konservasi yang menjadi lokasi
proyek. Peningkatan kinerja pengelolaan pada delapan kawasan konservasi yang menjadi
lokasi proyek ditentukan melalui pengembangan strategi pembandingan (benchmarking).
Mengelola proses pembandingan akan memastikan adanya manfaat dari setiap komponen
proyek, sekaligus mempertahankan pencapaian hasil dan tujuan proyek, seperti dijelaskan
pada Gambar 5.
Struktur jaringan database yang akan dikembangkan disajikan pada Gambar 4. Data
diperoleh dari pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data
yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Data sekunder merupakan data yang
diperoleh dari sumber data lainnya, baik berupa dokumen dan peta (data spasial). Hasil
pengumpulan data di lapangan dikirim ke pusat data untuk ditabulasikan, dikelompokkan,
dan dianalisis sesuai dengan kebutuhan sistem informasi yang akan ditampilkan. Pengiriman
data dan informasi dapat dilakukan melalui internet, smartphone, atau dokumen cetakan
disesuaikan dengan kemampuan tenaga lapangan dan ketersediaan peralatan yang ada.
Dalam pengembangan sistem manajemen informasi ini perlu dilakukan: (1) analisis
infrastruktur jaringan; (2) analisis perangkat lunak; (3) analisis kebutuhan operator sistem;
dan (4) analisis pengguna sistem.
Informasi keanekaragaman hayati per kawasan disajikan pada Gambar 5. Data hasil survey
dan data sekunder dikumpulkan dan diolah dalam sistem manajemen basis data. Informasi
utama keanekaragaman hayati per kawasan disajikan dalam bentuk tabel, peta, dan
deskripsi untuk 5 (lima) kelompok keanekaragaman hayati, yaitu vegetasi, mamalia,
herpetofauna, serangga, dan burung. Jenis, sebaran, populasi dan potensi pemanfaatan dari
lima kelompok keanekaragaman hayati tersebut dideskripsikan melalui tabel dan peta.
Informasi penting lainnya yang ditampilkan adalah: informasi kawasan, struktur pengelola,
perijinan, potensi pemanfaatan kawasan, sumberdaya fisik lahan, sosial ekonomi, dan
gangguan kawasan.
Kegiatan pemetaan sebagai bagian dari pengembangan SIG (Sistem Informasi Geografis)
dirancang secara terpadu antar komponen proyek dalam CWMBC. Alur peta output CWMBC
disajikan pada Gambar 6.
TEKANAN PENDUDUK
PETA ADMINISTRASI
CITRA SATELIT TERHADAP KAWASAN
WILAYAH DESA
KONSERVASI
KEPEMILIKAN
LAHAN
PETA
PETA
PETA LAHAN KRITIS KEBAKARAN
BENCANA
HUTAN
INTER PTRETASI CITRA
PETA
PERAM BAHAN KAWASAN
PENUTUPAN LAHAN TIDAK
HUTAN KONSERVASI PETA KEGIATAN RESTORASI KAWASAN
HASIL INTERPRETASI BERVEGETASI HUTAN DAN LAHAN
dan KON SERVASI
TERBUKA
DEGRADASI HUTAN
KON SERVASI
PETA
SUMBER MATA AIR DALAM KAW ASAN PETA CATCHMENT AREA
JARINGAN PETA PENGGUNA AIR
KONSERVASI SUMBER AIR
SUNGAI
Kerangka kerja logis pada kegiatan CWMBC disusun dengan menggunakan kaidah Logical
Frame Analysis (LFA) yang menghubungkan aliran dan jenjang dari tingkat input – kegiatan
– output – dampak – tujuan strategis hingga tujuan umum proyek.
1. Pada tingkat input menggambarkan sumberdaya yang memberikan kontribusi dalam
menghasilkan output. Pada proyek CWMBC input utama adalah program monitoring
keanekaragaman hayati dan simtem pemetaan GIS dan database .
2. Pada tingkat kegiatan, menggambarkan proses/kegiatan penggunaan input (dengan
metoda pelaksanaan tertentu) untuk menghasilkan output yang diinginkan. Pada proyek
ini kegiatan yang dilakukan antara lain pemanfaatan data/informasi, peningkatan
kapasitas/kapabilitas dan pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) secara efektif untuk
konservasi keanekaragaman hayati.
Strategi yang diadopsi untuk memastikan program CWMBC mencapai tujuannya, antara lain:
1. Sinkronisasi dan mengintegrasikan kebijakan, program kegiatan CWMBC yang disusun
oleh setiap UPT (BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP) dengan program ICWRMIP dan
kebutuhan masyarakat. Hal dilakukan sepanjang siklus hidup proyek (project life cycle)
sejak perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Sinkronisasi akan diwujudkan melalui
Kesepakatan Rencana Kegiatan;
2. Rencana yang disusun berorientasi pada upaya-upaya mengatasi kesenjangan
manajemen dari 8 kawasan konservasi melalui peningkatan kinerja manajemen;
3. Fokus pada 8 kawasan konservasi yang berada di DAS Citarum, secara khusus pada
desa-desa yang ditetapkan sebagai calon MDK untuk Komponen-2 dan Komponen-4;
4. Penguatan kapasitas khususnya staf BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP dalam
pengelolaan kawasan konservasi, serta peningkatan kapasitas masyarakat melalui
pelatihan dan share learning, pendekatan partisipatif dan kemitraan.
5. Memperkuat kemitraan antara stakeholder dalam memanfaatkan potensi sumberdaya
yang tersedia dengan mendorong partisipasi aktif dari semua stakeholder dalam
pegelolaan kawasan konservasi berbasis MBR dan keberlanjutan program.
Untuk menjamin keberlanjutan program pasca proyek CWMBC dan memberikan manfaat
yang berkelanjutan dan dampak positif bagi pengelola kawasan konservasi dan masyarakat,
maka Consultant Firm memastikan hasil atau capaian yang dikembangkan oleh CWMBC
dimanfaatkan, dipelihara secara optimal dan memuaskan, dapat dioperasikan dan dikelola.
Untuk hal ini, CF akan berkontribusi dalam membangun strategi dan menyiapkan pedoman
bagi penguatan kelembagaan, melalui sosialisasi, kampanye publik, pelatihan kepada staf
dan pimpinan desa, serta pelibatan aktif pemerintah daerah.
dan untuk seluruh entitas berkaitan secara tegas. Penegasan ini berguna untuk
menyatakan “harus ada” atau “tidak harus ada”.
c. Pendekatan Fisikal.
Memperlihatkan tabel kerangka dengan atribut yang sesuai. Tabel kerangka
(sceleton tables) sebagai alat bantu untuk menentukan kunci primer (primery
key) dan kunci tamu (foreign key) dari setiap entitas. Semua entitas
dihubungkan dengan kunci primer dan kunci tamu yang bersifat unik.
5. Pemilihan strategi dan metode yang tepat untuk melaksakan kegiatan restorasi
habitat/rehabilitasi lahan di kawasan konservasi berdasarkan acuan informasi ekosistem
referensi.
6. Pelaksanaan restorasi habitat/rehabilitasi lahan pada 4 lokasi pilot proyek area di kawasan
konservasi (Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Cagar Alam Burangrang, Cagar Alam
Gunung Tilu dan TNGGP)
7. Pengumpulan data dalam rangka monitoring dan evaluasi terhadap kriteria ekologi, sosial
dan kelembagaan.
8. Rekomendasi berdasarkan hasil analisis model restorasi habitat/rehabilitasi lahan untuk
dikembangkan ditempat lain dan publikasi ilmiah.
mengetahui ‘tingkat kemanfaatan’ (utility) dari jasa lingkungan untuk berbagai jenis
pengguna diperlukan.
2. Pelibatan multipihak dalam rangka membangun kesepahaman diantara penyedia dan
pemanfaat jasa lingkungan. Suatu peraturan yang ideal dari berbagai aspek ataupun
kesepakatan yang dibangun diantara pihak penyedia dan pengguna jasa lingkungan tetap
berpotensi untuk mendapat tentangan dari kelompok masyarakat tertentu, dari sektor lain
ataupun dari pemerintah daerah misalnya. Pelibatan multipihak perlu dimulai sejak awal
dari proses.
3. Mencari pilihan-pilihan mekanisme (opsi) termasuk pilihan bila pembayaran jasa
lingkungan harus ditempatkan sebagai mekanisme mandatory. Pilihan mekanisme yang
dibuat, untuk dapat diimplementasikan, memerlukan prasyarat-prasyarat yang realistis.
Upaya tersebut diatas akan dilakukan untuk pendekatan jasa lingkungan air, sedangkan
untuk jasa lingkungan wisata alam akan dilakukan review terhadap pelaksanaan wisata alam
secara keseluruhan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan wilayah BBKSDA Jawa
Barat dari perspektif besaran jasa lingkungannya. Suatu bentang alam, landscape, tidak bisa
dipungkiri bernilai ekonomi. Suatu bentang alam juga bisa memberi andil besar dari segi
ekologis, atau peran menjaga keseimbangan lingkungan. Ilustrasi dalam box berikut
menjelaskan perlunya pendekatan dari aspek bisnis terhadap suatu bentang alam atau
landscape.
KEMENHUT
1 Stewart, Alieen Mitchell. (1998) Empowering People (Pemberdayaan Sumber Daya Manusia: Terjemahan Agus M.
Hardjana).Kanisius: Yogyakarta.(hal. 18-22).
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 57
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan
2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat adalah proses menyerahkan/menggulirkan kekuasaan dari
aparat kepada masyarakat (petani dan kelembagaannya). Kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau kelompok (petani dan kelembagaannya) untuk melakukan tindakan agar
sesuatu dapat terjadi atau mencegah sesuatu untuk tidak terjadi. Ada 3 (tiga) jenis
kekuasaan yang harus dimiliki oleh masyarakat yang berdaya, yaitu : kekuasaan peran
(role-power), kekuasaan keakhlian (expert-power) dan kekuasaan sumberdaya (resource-
power).
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk konservasi keanekaragaman hayati,
maka kemampuan yang diperlukan untuk melakukan peranannya dapat dirincikan sebagai
berikut :
Kognisi perlu didukung oleh tumbuhnya kemampuan menyusun rencana kegiatan
konservasi dan rencana usaha-alternatif serta kemampuan merumuskan peraturan-
peraturan yang ralistik dan rasional dalam kegiatan konservasi.
Afeksi harus didukung oleh tumbuhnya kesadaran, keberanian, rasa percaya diri,
semangat dan etos kerja, serta motivasi dan tanggung-jawab sebagai kekuatan
intrinsik, agar mereka mampu melaksanakan rencananya serta memberlakukan dan
menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan tentang konservasi keanekaragaman
hayati di wilayahnya secara taat azas.
Psikomotorik (keterampilan) dalam melaksanakan konservasi keanekaragaman hayati
harus didukung oleh tumbuhnya kemampuan memimpin, berkomunikasi serta
kemampuan bertindak secara efektif dan efisien. Kemampuan pada ketiga ranah
tersebut di atas (afeksi, kognisi dan psikomotorik) harus dilandasi oleh tumbuhnya
kemampuan pada aspek konasi.
Konasi, yaitu kemampuan untuk memiliki dan memelihara tumbuh-kembangnya
keinginan, harapan, dan cita-cita pada masyarakat baik sebagai individu maupun
kelompok atau komunitas sebagai subjek, pelaku utama program konservasi
keanekaragaman hayati di wilayahnya.
Kekuasaan Keakhlian (Expert Power) adalah kemampuan seseorang atau kelompok
(masyarakat dan kelembagaannya) untuk bertindak yang didasari oleh penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, sehingga menjadi kecakapan dan
keakhlian khusus. Dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati, masyarakat dan
kepemimpinannya hasrus menguasi pengetahuan, teknologi dan informasi mengenai hal
itu. Kemampuan bertindak yang didasari oleh penguasaan iptek dan informasi akan
membangun seseorang atau sekelompok orang memiliki kewibawaan, sehingga
berkemampuan dan sangat efektif untuk mempengaruhi orang lain guna mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kekuasaan Peran yang tidak disertai dengan tumbuhnya
Kekuasaan Keakhlian akan dapat menyebabkan seseorang atau kelompok hanya bertindak
berdasarkan kekuasaan semata. Tindakannya cenderung bersifat otoriter, komunikasinya
satu arah, dan bersifat top down dan atau suka memaksakan kehendak. Kekuasaan
keakhlian, atau membangun kemampuan petani dan kelembagaannya ini hanya dapat
dicapai melalui proses pembelajaran yang terus menerus atau berkelanjutan serta
terjalinnya jejaring informasi iptek yang berfungsi secara efektif.
2 Selener , Daniel (1997) “Participatory Action Research and Social Change” Cornell University, Ithaca, New York, USA,
(hal.203-206)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 59
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan
3.3. Metodologi
Teknik atau metode pengukuran keanekaragaman hayati telah banyak dikembangkan, tetapi
yang terpenting adalah digunakan untuk menilai kepentingan suatu tapak pengukuran pada
umumnya dilakukan pada species apa yang hadir dan kelimpahan dari species kunci. Berikut
akan dijabarkan beberapa teknik yang sering digunakan – diambil dari Sutherland
(2000), The Conservation Handbook – Research, Management and Policy.
9. MacKinnon lists
Daftar MacKinnon merupakan salah metode untuk menduga kekayaan jenis di suatu
tempat. Metode ini menggunakan persamaan regresi untuk menduga jenis yang mungkin
ditemukan di tempat tersebut. Kekayaan jenis di tempat tersebut bisa kemudian bisa
diduga dengan menambahkan jenis yang tercatat dengan hasil perhitungan regresi.
Metode ini bagus untuk peneliti atau pengamat yang kurang berpengalaman dan belum
mahir dalam identifikasi jenis.
10. Time species counts
Teknik ini memanfaatkan kenyataan bahwa species umum akan teramati pertama kali
begitu Survey dimulai, dan sebaliknya utuk species jarang akan terlihat terakhir. Teknik
ini dilaksanakan dengan cara membagi 1 jam pengamatan menjadi 6 blok/bagian 10
menit. Daftar dibuat untuk setiap species yang terlihat dalam tiap 10 menit (atau interval
10 menit). Sekali species tercatat, akan diabaikan untuk pengamatan selanjutnya.
Analisis dikerjakan dengan memberikan skor 6 untuk blok 10 menit pertama, 5 untuk blok
10 menit kedua dst .masing-masing 4,3,2 dan 1 untuk blok selanjutnya. Nilai ini kemudian
dirata-rata untuk keseluruhan Survey, yang biasanya dilakukan 10 – 15 kali. Teknik ini
jarang digunakan sehingga sulit jika ingin membandingkan.
Secara umum metodologi dalam pelaksanaan kegiatan Komponen-1 akan mencakup desk
study dan field study. Desk study merupakan kegiatan pengumpulan data dari berbagai
studi, kajian, dan penelitian yang telah dilakukan serta melengkapinya dari berbagai sumber
pustaka, diskusi dan data sekunder lainnya mengenai keaneka-ragaman hayati. Field study
merupakan kegiatan pengumpulan data melalui pengukuran langsung di lapangan berbasis
pada kondisi nyata dalam satuan unit kawasan konservasi.
dengan baik. Untuk itu diperlukan upaya pengumpulan data dan mempelajari dari
berbagai sumber yang ada, antara lain melalui:
Perpustakaan universitas/lembaga penelitian dan LSM
Diskusi parapihak dengan expert di masing-masing bidang dari dalam maupun
luar negeri.
b. Survey Lapangan
Survey lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi
keanekaragaman hayati, yang dilakukan berdasarkan metoda yang baku antara lain
melalui:
Survey/inventarisasi keanekaragaman hayati akan dilakukan melalui biodiversity
rapid survey atau biodiversity rapid inventory mencakup 8 lokasi kawasan
konservasi yang terpilih. Berbagai metoda survey/inventarisasi dapat dipilih dalam
lampiran untuk setiap kelompok biodiversity. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode jelajah dengan menggunakan bantuan jalur setapak atau akses, dengan
pengambilan sampling pada lokasi penelitian mewakili tipe habitat yang ada
dengan cakupan seluas mungkin areal jelajah di setiap kawasan konservasi atau
intensitas sampling yang memadai sekitar 2-5 %.
Survey inventarisasi keanekaragaman hayati akan dilakukan dengan
mempertimbangkan keberadaan habitat dan aktivitas hidupan liar yang ada.
Setiap kelompok hidupan liar dapat dijumpai di berbagai habitat dan juga ada aktif
pada siang (diurnal) dan malam hari (nokturnal). Oleh karena itu untuk
kelengkapan data, survey akan dilakukan pada berbagai tipe habitat dan
sepanjang waktu (baik pagi hari, siang hari, sore hari, maupun malam hari).
Dalam waktu terbatas, dan pertimbangan lokasi dan waktu yang efektif untuk
melakukan survey/inventarisasi fauna, dilakukan pengelompok lokasi dan waktu
kegiatan survey/inventarisasi pada setiap kelompok fauna seperti disajikan pada
Tabel 14 berikut ini:
Kelompok
Lokasi Waktu
Fauna
Amphibia wilayah perairan (kolam, sungai, rawa), seresah menjelang magrib dan
lantai hutan, lumut di pepohonan subuh
Reptilia lantai hutan, banir pohon, batang pohon, tepi pagi dan malam
wilayah perairan
Burung daerah perbatasan dua habitat (daerah ekoton, pagi dan sore
termasuk pinggir sungai), pohon sedang
berbuah yang menyediakan pakan burung.
Primata Hutan, tepi sungai berhutan atau bervegetasi, pagi dan sore
daerah ekoton
Ungulata hutan, perkebunan, padang rumput, lahan yang malam, pagi, sore
baru di buka, tepian sungai
Carnivora hutan, daerah perbatasan (ekoton) malam
Data dan informasi tambahan diperlukan untuk melengkapi data primer hasil
pendataan lapangan. Data dan informasi tambhan tersebut diperoleh dengan
mewawancarai penduduk setempat, dengan mencari tahu dari penduduk atau
orang-orang yang telah memiliki aktivitas dan waktu lebih lama di lokasi yang akan
disurvey. Langkah ini bertujuan untuk mencari bukti keragaman hayati apa yang
ada di sekitar orang-orang tersebut, serta melengkapi informasi dari masyarakat
sekitar.
Bukti keberadaan fauna diperoleh melalui berbagai komponen yang digunakan
untuk mengidentifikasi fauna. Misalnya keberadaan satu spesies mamalia
(carnivora) dapat dibuktikan melalui:
- Melihat langsung (observasi)
- Mendengar suaranya
- Jejak - jejak atau tapak kaki (footprint)
- Cakaran di pohon
- Kotoran
- Bekas makan
Pada survey inventarisasi habitat/vegetasi, selain dicatat tipe-tipe habitat yang
ada, akan lebih baik jika di setiap tipe habitat alami dibuatkan informasi yang lebih
rinci. Informasi yang lebih rinci ini menggambarkan struktur (tingkatan lapisan
dan kerapatan tajuk, basal area) dan komposisi (life form andplant species)
vegetasi penyusunnya, serta ancamannya. Pelaksanaan kajian lebih rinci tersebut
bergantung pada tujuan pengelolaan yang direncanakan.
Pencatatan dan koleksi spesies dilakukan dengan menggunakan alat dan teknik
baku/standar pada masing-masing sub-komponen kajian (lihat lampiran).
Pendokumentasian yang mendeskripsikan spesies juga dapat digunakan sebagai
bahan panduan indentifikasi. Data yang akan dicatat meliputi data spesies dan
jumlah tiap spesies atau taksa, lokasi dan tipe habitat/vegetasi, serta komponen
abiotik.
Analisis data dilakukan untuk mendapat gambaran komposisi spesies, kelimpahan
relatif, frekuensi relatif dan indeks keragaman di setiap lokasi.
c. Kajian Spesies Kunci dan High-Profile Species.
Satu seri data sheet akan dibuat untuk mencatat keberadaan spesies-spesies kunci
dan high profile species. Selain itu, akan dilakukan penggalian informasi dari
masyarakat atau petugas lapangan untuk mengetahui sejarah keberadaan dari setiap
spesies kunci (key species) dan high-profile species di setiap kawasan konservasi
terpilih pada proyek CWMBC.
Spesies kunci adalah spesies dalam ekosistem tertentu yang memegang peranan
penting dalam memelihara kestabilan suatu ekosistem dimana jika spesies ini punah
maka ekosistem tersebut akan goyah/tidak seimbang sehingga akan menyebabkan
punahnya spesies lain dalam ekosistem tersebut. Spesis kunci bermanfaat sebagai
komersial lokasi spesies itu berada. Sedangkan high-profile species
adalahspesiesyang berpotensi berbahaya bagi manusia, dari segi ukuran, kekuatan,
perilaku agresif, dan kasus-kasus kematian terhadap manusia, seperti: kuda nil,
burung unta, buaya, anjing hutan dan lain-lain. 3
3 www. thesafariguide.net/fauna-flora/high-profile-species
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 64
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan
Khusus untuk mengetahui gambaran umum kondisi populasi spesies kunci dilakukan
metoda ekstrapolasi, yaitu dengan menggabungkan data jelajah spesies prioritas
dengan kondisi habitat yang ada di setiap kawasan konservasi. Metoda yang lebih
rinci untuk kajian ini akan disajikan dalam laporan. Data-data lapangan penunjang
kajian seperi kerusakan habitat dan ekstraksi spesies juga akan dikumpulkan selama
kajian. Pengelompokkan sementara species kunci dan punya nilai konservasi penting
dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Pengelompokkan Sementara Species Kunci dan punya Nilai Konservasi
Penting dalam Konteks Konservasi Keanekaragaman Hayati
Deskripsi klasifikasi jenis habitat sebagai bahan monitoring disajikan pada Tabel 16.
C. Pemetaan
Ada beberapa cara dalam mencari dan mengumpulkan data untuk pemetaan, yaitu secara
langsung (Directly) dan secara tidak langsung (Indirectly). Pencarian data secara langsung
dapat dilakukan melalui metode konvensional dengan meninjau secara langsung ke lapangan
pada daerah tersebut akan dijadikan objek dari peta yang dibuat. Cara ini disebut dengan
teristris. Dengan cara ini dilakukan pengukuran areal menggunakan theodolit, GPS, dan
alat lain yang diperlukan serta pengamatan informasi ataupun wawancara dengan penduduk
setempat secara langsung sehingga didapat data yang nantinya akan diolah. Disamping itu
dapat dilakukan secara fotogrameti, yaitu dengan metode foto udara yang dilakukan
dengan memotret kenampakan alam dari atas dengan bantuan pesawat dengan jalur khusus
menurut bidang objek, atau menggunakan citra dari satelit.
Secara tak langsung (Indirectly) dilakukan dengan cara interpretasi peta atau data-data
yang sudah ada sebelumnya baik peta dasar maupun literatur peta lainnya (data sekunder) .
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Data kuantitatif dilakukan perhitungan yang lebih rinci dengan memberikan simbol atau
simbolisasi terhadap data-data yang ada serta melakukan overlay peta.Tahap selanjutnya
adalah mendesain peta baik komposisi dan unsur peta. Proses tersebutdilakukandengan
menggunakan PC (Portabel Computer), software dan aplikasi terkini seperti: ARC View, ARC
Info, AutoCAD Map, Map Info, dan software lainnya. Penggunaan PC dan software tersebut
dapat mempermudah pada tahap editing dan finishing.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 69
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan
Metoda tersebut diatas dapat diimplementasikan pada proyek CWMBC, dengan melakukan
arahan dan pendampingan terhadap user terkait pembuatan peta mengingat jenis dan
jumlah peta tematik yang dihasilkan sangat variatif dengan jumlah yang banyak. Maka dari
itu, cartografi analist diharapkan dapat memberikan pelatihan-pelatihan kepada user
sekaligus melakukan monitoring terhadap kualitas peta yang dihasilkan.
D. Pengembangan Database
Kegiatan Pengembangan Databaseini membutuhkan dukungan software, hardware, dan
brainware.
Kebutuhan Software dan Hardware mencakup:
1. Software & License, dan Hardware untuk mendukung pengolahan data yang dilakukan
GIS Specialist, Remote Sensing Specialist, Cartography Specialist, GIS Assistant
(spesifikasi dan jumlah software dan hardware sesuai dengan kebutuhan).
2. Software dan Hardware yang terkait dengan kebutuhan pekerjaan survey data di
komponen lain (specifikasi dan jumlah GPS included software converter).
3. Installation Networking untuk memudahkan Print & File Sharing, Access Internet Sharing,
dan Server & Storage for BackUp Data untuk Access Data dan BackUp pada GIS
Workstations (2 base office).
4. Mereview eksisting IT System dan IT Infrastructure yang ada di BBKSDA Jawa Barat, dan
BBTNGGP untuk mendukung menerapkan Geograhic Information System (GIS),
Application andn Management Information System (MIS).
5. Bekerjasama dengan team terkait untuk Design Geodatabase .
6. Software dan Hardware untuk mendukung WebGIS.
1. Proyek Restorasi
Identifikasi lokasi plot permanen restorasi di 4 (empat) kawasan hutan konservasi di TB
Gunung Masigit Kareumbi, CA Gunung Burangrang, CA Gunung Tilu dan TN Gunung
Gede Pangrango, dilakukan melalui metode overlay dengan GIS peta-peta, kriteria dan
informasi: land use, land cover (vegetative), topografi, DAS/Sub-DAS, administrasi, soil
characteristics, hasil analisis habitat, iklim, dan kriteria/indikator kerusakan lahan.
Selanjutnya dilakukan orientasi lapangan dan konsultasi para pihak (BKKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP) dengan “Focus Group Discussion” (FGD), untuk menentukan lokasi Pilot
restorasi /rehabilitasi lahan di kawasan konservasi masing-masing seluas ± 10-25 hektar.
Sasaran/peserta training (pelatihan) adalah para Fasilitator dari wilayah Resort BBKSDA
Jawa Barat/BBTNGGP, Pengurus KPSA, Tokoh Masyarakat, LSM setempat dan wakil
Dinas terkait dari 8 sasaran kawasan konservasi proyek CWMBC.
b. Calon Pohon Induk jenis endemik: jenis, kualitas pohon, musim berbunga, berbuah,
dan lainnya.
c. Jenis flora dan fauna endemik yang dilindungi
d. Informasi kerusakan habitat
e. Kecocokan ekologi untuk habitat jenis fauna/flora endemik, dan lainnya.
5. Analisis Deskriptif
a. Analisis deskriptif untuk menjelaskan data dan informasi yang diperoleh.
b. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan data yang berhubungan dengan data
sosial dan ekonomi di daerah kajian PES.
c. Hasil dari analisis deskriptif dilanjutkan dengan interpretasi, generalisasi dan proses
perumusan kesimpulan.
d. Analisis REDD+
6. Diskusi Tim
a. Untuk merumuskan design PES pada pemanfaatan jasa lingkungan air;
b. Mendiskusikan prasarat-prasyarat (precondition) untuk dapat terimplementasikannya
skema PES
c. Inisiasi implementasi voluntary PES
d. Workshop REDD+
7. Workshop Peningkatan Capacity Building
Merumuskan modul pelatihan untuk peningkatan Capacity Building, dan dilanjutkan
dengan Workshop dengan pihak BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat.
4 Selener , Daniel (1997) “Participatory Action Research and Social Change”Cornell University, Ithaca, New York, USA,
(hal.203-206)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 75
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan
4. Komponen utama dan karakteristik pendekatan partisipatif dalam kaji tindak partisipatif
masyarakat di kawasan penyangga kawasan konservasi adalah :
a. Masalah, adalah masalah yang ada di dalam komunitas itu sendiri dan ditemukan,
dianalisis dan dipecahkan oleh komunitas itu sendiri.
b. Tujuan utama adalah transformasi radikal dari realitas sosial dan dikembangkan di
dalam kehidupan masyarakat yang terlibat. Penerima keuntungan dari kegiatan ini
adalah masyarakat itu sendiri.
c. Melibatkan secara penuh dan partisipasi aktif dari masyarakat ke dalam kegiatan.
d. Melibatkan sebagian besar kelompok masyarakat yang lemah yakni kelompok
tertindas, kelompok miskin, dan kelompok yang termarginalkan.
e. Proses dari kegiatan harus mampu menciptakan/membangkitkan perhatian yang
lebih besar di kalangan masyarakat terhadap sumberdaya yang mereka miliki dan
mampu memobilisasi/ mendayagunakannya untuk membangun kemandirian mereka.
f. Sebagai metode ilmiah melalui partisipasi masyarakat dalam memfasilitasi proses
pengkajian yang lebih akurat dan lebih autentik dalam menganalisis realitas sosial.
g. Para peneliti, (termasuk: penyuluh, Group Organizer, orang luar) berkomitmen
sebagai partisipan, fasilitator dan pembelajar dan lebih mendorong pada militansi dari
pada ketidak-berpihakan.
1. Strategi Media
Metode Campaign dapat dilakukan melalui media baik cetak maupun elektronik dengan
teknik kampanye yang tentunya disesuaikan dengan tujuan kampanye. Dipilihnya
metode SEC dengan pertimbangan bahwa isu konservasi keanekaragaman hayati bukan
semata-mata untuk diinformasikan namun merupakan isu yang harus dilakukan melalui
pendidikan dan atau penyuluhan kepada masyarakat. Berikut strategi media yang dapat
dilakukan adalah :
a. Menyasar mainstream issue serta news peg dalam konteks nasional serta lokal.
b. Meningkatkan kapasitas komunikasi lokal dan memobilisasi partner / stakeholders
sebagai pemeran utama dalam advokasi, termasuk jurnalis.
5 Donelan, Joseph G. Kaplan, Edward (2000) Value Chain analysis : Strategic Approach to Cost Management: Thomson
Learning
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 79
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan
d. Media gathering
e. Journalist field visit ke tempat sumber cerita lokal
f. Radio talk show dengan panduan interview
g. Aktivitas berbasis Komunitas dan sekolah
h. Monitoring & Evaluation:
Impact/wacana terhadap kebijakan dan pengelolaan
Jumlah artikel yang dicetak dan perkiraan jangkauan pembaca
Jumah program acara radio, dan perkiraan jangkauan pembaca
Kegiatan komunitas dan perkiraan jangkauan pembaca
4. Tema Kampanye
a. Global Content
Biodiversity dan kontribusi bagi DAS
Indonesia - spesifik isu Konservasi Biodiversity (fakta-fakta)
Kolom anak-anak: konservasi biodiversity dan anak-anak (lingkungan, sekolah)
b. Local Content
Perspektif lokal mengenai biodiversity dan DAS Citarum
Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi konservasi keanekaragaman hayati
‘Happy’ story – inisiatif unik berkaitan dengan manusia dan konservasi
Cerita domestik: Suara dari kampung – perspektif hulu/rural dan hilir/urban
mengenai manusia dan konservasi.
F. Advokasi
Metode advokasi yang akan digunakan untuk mainstreaming biodieversity, adalah metode-
metode yang bersifat persuasif edukatif, antara lain konsultasi, kampanye, diskusi,
workshop, seminar, pelatihan/kursus dll.
Keseluruhan metode yang dipilih dan akan digunakan dalam melaksanakan kegiatan di
komponen-4, dimaksudkan untuk dapat memperlancar proses pencapaian tujuan.
Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh konsultan CF-CWMBC secara kontraktual akan
berjalan selama 12 bulan, yaitu sejak bulan Desember 2012 sampai dengan Desember 2013
dengan pendekatan kunci diantaranya adalah:
1) Pendekatan Pengelolaan Basis Data dan Pengembangan SIG
2) Pendekatan Lanskap dan Ekosistem kawasan konservasi dan daerah penyangga di
sekitarnya
3) Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Pengarusutamaan Gender
4) Pendekatan Kolaboratif dan;
5) Pendekatan Berkelanjutan
Adapun metode pelaksanaan proyek CWMBC yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Baseline Survey Keanekaragaman Hayati (Desk Study dan Observasi Lapangan)
2) Pengembangan dan Pemanfaatan Basis Data (Metode Waterfall)
3) Pengembangan dan Pemanfaatan MIS dan SIG Berbasis Web
4) Demonstrasi Plot/Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Hutan Lahan(PPR/RHL)
5) Model Desa Konservasi (MDK)
6) Advokasi, Workshop dan Focused Group Discussion (FGD)
7) Pelatihan dan Pendampingan Teknis Kepada Staf UPT dan masyarakat
8) Kampanye Publik (Public Campaign)
Pelaksanaan proyek CWMBC oleh CF melibatkan tenaga ahli yang terdiri dari 2 (dua) orang
konsultan internasional dan 31 orang konsultan nasional serta tenaga pendukung teknis
(asisten, koordinator fasilitator desa, fasilitator, drafter, surveyor dan tenaga lokal) dan
administratif (project manager, sekretaris dan tenaga administratif lainnya). Tenaga ahli
yang terlibat berdasarkan kepakarannya ditempatkan pada setiap komponen yang dipimpin
oleh seorang Team Coordinator (TC).
Kepala Balai
Mengambil
Kebijakan Kebijakan Balai
Berdasrkan
Pengetahuan
Bidang Wilayah
dan Bidang Teknis
Pengetahuan Mengolah Bidang
Informasi Menjadi
Pengetahuan
Seksi Sebagai
Informasi Pengolah data Seksi
Menjadi Informasi
Resort Sebagai
Data Produsen Data Resort
Sesuai gambar di atas maka arah penguatan kapasitas pengelolaan keanekaragaman hayati
secara sistematis meliputi: penguatan kapasitas pengumpulan data keanekaragaman hayati,
penguatan kapasitas pengolahan dan analisis data dan informasi keanekaragaman hayati,
penguatan kapasitas dalam memproduksi pengetahuan keanekaragaman hayati, dan
penguatan kapasitas dalam pengambilan kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati
yang difokuskan untuk perbaikan perencanaan dan tindakan pengelolaan keanekragaman
hayati kawasan konservasi.
Dalam proses ini, Komponen-1 akan berupaya memberikan inovasi-inovasi pengelolaan
keanekaragaman hayati dengan memberikan asupan teknologi sistem informasi dan sistem
infomasi geografis.
Pembangunan PSP dan petunjuk teknis monitoring ini berguna untuk pengelolaan
keanekaragaman hayati secara in-situ dalam jangka panjang.
3. Pengembangan sistem GIS untuk pengelolaan keanekaragaman hayati (perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring keanekaragaman hayati kawasan konservasi), terutama
untuk mendukung pemetaan sebaran spesies dan dinamika habitatnya. Pengembangan
GIS juga diarahkan untuk melakukan monitoring kondisi fisik kawasan konservasi.
4. Tim GIS Komponen-1 juga harus mampu mendukung pekerjaan-pekerjaan pada
komponen lain, yaitu sebagai berikut:
a) Melakukan analisis lahan kritis kawasan untuk menetapkan sasaran lokasi restorasi
ekosistem yang akan dilakukan oleh Tim Ahli Komponen-2.
b) Melakukan pemetaan hidrologi kawasan, analisis trend tutupan lahan, dan pemetaan
pengunaan kawasan untuk menara sinyal untuk mendukung upaya pengembangan
jasa lingkungan air, karbon dan ketinggian oleh Tim Ahli Komponen-3.
c) Melakukan analisis penggunaan lahan di daerah penyangga untuk mendukung upaya-
upaya pembinaan di daerah penyangga yang dilakukan melalui MDK oleh Tim Ahli
Komponen-4.
Dari empat butir hasil pembahasan tersebut, penyusunan desain survey berbasis GIS yang
akan dilakukan oleh Tim Ahli Komponen-1 adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan desain survey dan peta-peta kerja survey.
2. Menyiapkan penilaian kebutuhan pelatihan survey biodiversity, dan GIS/Pemetaan.
3. Menyiapkan modul-modul dan panduan praktis untuk pelatihan dan pelaksanaan
kegiatan survey.
4. Pelatihan survey dan monitoring keanekaragaman hayati, terutama untuk spesies-spesies
penting yang telah ditetapkan.
5. Pelatihan dan pendampingan aplikasi GIS untuk kebutuhan survey dan pengelolaan
kawasan konservasi.
ada pada pengelolaan kawasan konservasi dengan menggunakan citra resolusi tinggi. Selain
itu, berdasarkan hasil pembahasan dengan pihak BBKSDA Jabar juga muncul arahan agar
Tim GIS pada Komponen 1 melakukan pengecekan batas kawasan untuk kawasan TB Masigit
Kareumbi dan CA/TWA Kawah Kamojang. Kawasan-kawasan tersebut telah ditetapkan tetapi
tidak didukung oleh peta pal batas kawasan yang seharusnya dilampirkan dalam Berita Acara
Tata Batas (BATB). Pengecekan batas kawasan diharapkan berujung pada upaya
rekonstruksi batas kawasan oleh BPKH Wilayah XI Jawa-Madura di tahun 2014.
Kegiatan-kegiatan pemetaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Akuisisi Citra Resolusi Tinggi Quickbird
2. Melakukan Geo-koreksi, pengecekan lapangan dan interpretasi citra untuk 8 kawasan
konservasi.
3. Melaksanakan pemetaan keanekaragaman hayati untuk 8 kawasan konservasi,
berdasarkan data survey sebelumnya dari tim keanekaragaman hayati.
4. Pengecekan batas kawasan TB Gunung Masigit Kareumbi dan CA/TWA Kawah
Kamojang.
5. Perbaikan peta blok/zona pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan parameter
sensitivitas ekosistem.
6. Perbaikan peta wilayah kerja resort.
7. Memproduksi peta-peta tematik untuk mendukung penyusunan atau perbaikan
perencanaan dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi yang mejadi lokasi proyek.
8. Pembuatan peta proyeksi kondisi biofisik kawasan berdasarkan trend historis untuk
membuat scenario planning dalam perbaikan perencanaan dan tindakan pengelolaan
kawasan konservasi.
Blok/Zona
Nama Fitur Kegiatan Pengelolaan Kebutuhan Kebutuhan
No Luas Nama Permasalahan
Resort Luas Kunci yg diperlukan SDM Sarpras
Blok/Zona
1
2
3
4
5
6
Tabel 20. Rencana Kerja Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat, dan Pengembangan SIG untuk Perbaikan Perencanaan dan
Tindakan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1.1 Perencanaan Survey Keanekaragaman Hayati dan Perangcangan GIS
1. Menyiapkan desain survey dan peta-peta kerja survey
2. Menyiapkan penilaian kebutuhan pelatihan survey biodiversity, dan GIS/Pemetaan
3. Menyiapkan modul dan panduan praktis untuk pelatihan dan pelaksanaan kegiatan
survey
4. Pelatihan survey dan monitoring kehati, terutama untuk spesies-spesies penting yang
telah ditetapkan
5. Pelatihan dan pendampingan aplikasi SIG untuk kebutuhan survey dan pengelolaan
kawasan konservasi.
1.2 Survey Biofisik dan Tutupan Lahan
1. Survey keanekaragaman hayati di seluruh kawasan konservasi lokasi proyek.
2. Survey tutupan lahan terkini di seluruh kawasan konservasi lokasi proyek.
3. Identifikasi kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value area/HCVA)
pada lanskap produksi di sekitar kawasan konservasi
1.3 Analisis dan Pembahasan Hasil Suvey Biofisik Kawasan Konservasi
1. Analisis potensi keanekaragaman hayati (daftar lengkap kehati, sebaran, dan populasi
spesies penting).
2. Membuat status perlindungan spesies dan penetapan spesies kunci/bendera untuk setiap
kawasan konservasi.
3. Penetapan Permanen Sampling Plot untuk spesies kunci yang telah ditetapkan.
4. Konsultasi pakar terhadap proses dan hasil survey biofisik
5. Analisis trend tutupan lahan.
1.4 Mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Berbasis Web-GIS
1. Penyusunan struktur data yang akan dipergunakan untuk pengelompokan data dan
informasi dalam suatu interface Web-GIS.
2. Pembuatan data master untuk masing-masing jenis informasi.
3. Pembuatan protipe SIM berbasis Web-GIS
4. Pembuatan spesifikasi dan pengadaan hardware dan software yang sesuai dengan
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
kebutuhan sistem.
5. Membangun organisasi pengelolaan SIM dan meningkatkan kapasitas sesuai prototype
MIS berbasis Web-GIS yang akan dibangun.
6. Melakukan uji terap dan pendampingan penerapan SIM berbasis Web-GIS sampai bena-
benar aplikatif.
1.5 Perbaikan Peta-peta untuk Mendukung Pengelolaan Kawasan Konservasi
1. Akuisisi Citra Resolusi Tinggi Quickbird
2. Melakukan Geo-koreksi, pengecekan lapangan dan interpretasi citra untuk 8 kawasan
konservasi
3. Melaksanakan pemetaan keanekaragaman hayati untuk 8 kawasan konservasi,
berdasarkan data survey sebelumnya dari tim keanekaragaman hayati
4. Pengecekan batas kawasan TB Masigit Kareumbi dan CA/TWA Kawah Kamojang
5. Perbaikan peta blok/zona pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan parameter
sensitivitas ekosistem
6. Perbaikan peta wilayah kerja resort
7. Memproduksi peta-peta tematik untuk mendukung penyusunan atau perbaikan
perencanaan dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi yang mejadi lokasi proyek
8. Pembuatan peta proyeksi kondisi biofisik kawasan berdasarkan trend historis untuk
membuat scenario planning dalam perbaikan perencanaan dan tindakan pengelolaan
kawasan konservasi
1.6 Menyusun Rencana Pengelolaan atau Rencana Aksi Berbasis Resort
1. Melakukan review terhadap rencana pengelolaan yang telah ada sebelumnya
2. Melakukan overlay peta wilayah kerja resort dengan peta blok/zonasi, untuk memperoleh
informasi mengenai blok/zona apa saja yang menjadi wilayah pangkuan suatu resort
3. Menetapkan fitur kunci dan permasalahan-permasalahan pada masing-msaing blok/zona
dan pada wilayah kerja resort sebagai bahan pertimbangan untuk menyusunan daftar
kegiatan pengelolaan yang diperlukan dan diperioritaskan
4. Menentukan jumlah, komposisi dan kualifikasi sumberdaya manusia beserta sarana dan
prasarana pengelolaan yang dibutuhkan pada suatu resort berdasarkan fitur kunci,
permasalahan dan daftar kegiatan pengelolaan yang diperlukan
5. Penyusunan draft dokumen rencana pengelolaan atau rencana aksi
6. Melakukan pembahasan dengan pihak BBKSDA Jabar dan BBTNGGP terhadap draft
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
rencana pengelolaan atau rencana aksi
7. Finalisasi dokumen rencana pengelolaan atau rencana aksi.
1.7 Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati Hulu DAS Citarum
1.8 Penyusunan dan Pembahasan Laporan Komponen-1
1. Workshop Hasil Komponen-1
2. Penyusunan dan penyerahan laporan komponen-1
pembuatan kompos dan pembuatan persemaian.. Untuk beberapa kegiatan pelatihan, akan
dilaksanakan oleh BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, sementara Tim Ahli Komponen-2 berperan
untuk memberikan asistensi teknis. Kegiatan-kegiatan dalam rangka pelatihan dan
pendampingan yang akan dilakukan oleh Tim Komponen-2 adalah sebagai berikut:
1. Menyusun Panduan Teknis kegiatan pelaksanaan pilot proyek restorasi / rehabilitasi
lahan (PPR/RL)
2. Menyusun modul untuk pelatihan dan pembuatan persemaian dan kompos, pemilihan
pohon plus, dan pelaksanaan kegiatan restorasi secara keseluruhan.
3. Melakukan asistensi pelatihan sebagai instruktur pada pelatihan pembuatan persemaian
dan kompos oleh kelompok restorasi yang dilaksanakan oleh BBKSDA Jabar dan
BBTNGGP.
4. Melakukan asistensi pelaksanaan kegiatan restorasi hutan konservasi (ekosistem) yang
melibatkan para pihak dalam kelembagaan PPR/RL.
5. Melakukan pendampingan dalam pembuatan persemaian dan kompos oleh kelompok
masyarakat yang terlibat dalam pembangunan PPR/RL.
1. Identifikasi/orientasi awal calon lokasi PPR/RL (hasil rekomendasi FGD dengan BBKSDA
dan BBTNGGP)
2. Analisis spasial peta-2 (GIS) untuk penetapan prioritas calon lokasi sebagai peta kerja
survey Rancangan Teknis PPR/RL
3. Tinjauan lapangan, penetapan titik koordinat dengan GPS dan pemetaan lokasi dengan
melibatkan Kelompok Restorasi secara partisipatif
4. Pengumpulan data biophisik melalui risalah/survei lapangan dengan teknik sampling
“systematic sampling with random start” sistim jalur dengan intensitas minimal 30% dan
pengambilan sampel tanah
5. Pengumpulan data sosek & kelembagaan
6. Pengolahan data dan Analisis biophisik, vegetasi, sosek,karakteristik tanah dan
kajian/rujukan ekosistem referensi
7. Penyusunan Draft Rancangan Teknis PPR/RL
8. Pembahasan, Finalisasi Laporan
9. Penggandaan Laporan Rancangan Teknis PPR/RL (dilengkapai dengan Lampiran peta
Rancangan dan peta pendukung)
sedangkan sumber pendanaan dan pelaksanaan kegiatan lapangan untuk 7 unit PPR/RL
dilaksanakan oleh BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP.
Tabel 22. Rencana Kerja Pembangunan Pilot Restorasi /Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) Tahun 2013
Keterangan:
Kegiatan 2.2.3 (3): Pembuatan Kompos dan Persemaian dilaksanakan oleh BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
Kegiatan 2.2.5: Kegiatan Pelaksanaan PPR/RL dilaksanakan olek BBKSDA dan BBTNGGP
Lprn: Laporan, Dok.: Dokumen, Dit. KKBHL: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Pokmas: Kelompok Masyarakat,
BBKSDA Jabar: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, BBTNGGP: Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Inisiatif PES di kawasan konservasi Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga isu utama, yaitu:
keterbatasan pembiayaan untuk pengelolaan kawasan konservasi yang ideal, meningkatkan
kemampuan self financing untuk pendanaan pengelolaan kawasan konservasi dari yang
sebelumnya bersifat cost centre; dan meningkatkan kemanfaatan langsung kawasan
konservasi untuk masyarakat dan pemerintah daerah. Hingga saat pelaksanaan inisiatif PES
di Indonesia masih belum berkembang. Upaya pembangunan demplot PES dalam program
CWMBC ini diharapkan bisa menghasilkan sebuah model yang dapat dipromosikan sebagai
best practise.
Dari hasil proses penyesuaian rencana kerja melalui beberapa kali rapat pembahasan dengan
pihak BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, telah ditetapkan jenis komoditi jasa lingkungan dan
lokasi untuk pembangunan Demplot PES, yaitu sebagai berikut:
1. Pengembangan PES dengan komoditi jasa lingkungan air yang potensial dikembangkan
untuk Demplot PES di wilayah BBKSDA Jabar adalah di CA Gunung Burangrang, TB
Gunung Masigit Kareumbi dan CA Gunung Tangkuban Parahu. Penentuan Demplot di
salah satu kawasan konservasi tersebut ditentukan dari hasil valuasi ekonomi air di
ketiga kawasan tersebut. Pembangunan demplot PES untuk komoditi jasa lingkungan air
diharapkan dapat juga dilaksanakan di TNGGP.
2. Pengembangan PES dengan komoditi jasa lingkungan wisata alam yang perlu diteliti
adalah pepenyelenggaraan wisata alam di TWA Gunung Tangkuban Parahu.
3. Pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan elevasi yang perlu dikembangkan
adalah keberadaan tower repeater di CA Gunung Tangkuban Parahu.
4. Pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan karbon melalui skema REDD+ akan
diuji terapakan di CA Gunung Tilu.
Berdasarkan keempat arahan tersebut, Tim Ahli Komponen-3 telah menyusun rencana kerja
yang terdiri dari 9 kegiatan pokok yang akan dilaksanakan di Wilayah kerja BBKSDA Jawa
Barat dan BBTNGGP, yaitu sebagai berikut:
3. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan elevasi untuk jenis tower repeater di
CA Gunung Tangkuban Parahu.
4. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan wisata alam di TWA Gunung
Tangkuban Parahu.
5. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan karbon di CA Gunung Tilu.
komoditi jasa lingkungan air dan elevasi (tower repeater). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
untuk membangun perjanjian PES ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis terhadap seluruh proses pembahasan dan dialog PES multipihak untuk mendapat
common perspective tentang PES.
2. Legal drafting terhadap kesekatan-kesepakatan yang muncul selama proses
pemabahasan dan dialog PES Multipihak.
3. Serial meeting untuk membahas draft perjanjian.
4. Penandatangan nota perjanjian PES sukarela.
5. Workshop untuk peluncuran Demplot PES berdasarkan nota perjanjian yang dibuat.
.
Tabel 23. Rencana Kerja Pengembangan Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Melalui Pembayaran Jasa Lingkungan
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3.1 Konseptualisasi Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan/Paymen for
Environmental Servies (PES)
1. Telaah menyeluruh terhadap pengembangan pembayaran jasa lingkungan yang telah
dan sedang dikembangkan berbagai pihan untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan
yang telah ditetapkan dalam rangka menarik pembelajaran (lesson learn)
2. Telaah aspek peraturan perundang-undangan dalam pembayaran jasa lingkungan,
khususnya di kawasan konservasi untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan yang
telah ditetapkan
3. Telaah metologi untuk valuasi ekonomi jasa lingkungan hutan untuk setiap jenis
komoditi jasa lingkungan yang telah ditetapkan
4. Studi banding terhadap inisiasi PES di CA Rawa Danau Banten
5. Pembuatan modul atau pedoman praktis pengelolaan jasa lingkungan kawasan
konservasi untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan yang telah ditetapkan
6. Pelatihan pengembangan jasa lingkungan untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan
yang telah ditetapkan
3.2 Penetapan Kriteria dan Indikator PES
3.3 Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan
1. Survey dan analsisi valuasi ekonomi jasa lingkungan air di TNGGP
2. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan air di CA Gunung Burangrang, TB
Gunung Masigit Kareumbi, dan CA Gunung Tangkuban Parahu
3. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan elevasi untuk jenis tower repeater
di CA Gunung Tangkuban Parahu
4. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan wisata alam di TWA Gunung
Tangkuban Parahu dan TNGGP
5. Survey dan analisis valuasi ekonomi terhadap pelepasan dan penyimpanan karbon di
CA Gunung Tilu
3.4 Pemetaan dan Analisis Stakeholder PES untuk Masing-masing Komoditi Jasa
Lingkungan Pada Lokasi yang Telah Ditetapkan
1. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan air di salah satu kawasan
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
konservasi wilayah kerja BBBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau TB Gunung
Masigit Kareumbi atau CA Gunung Tangkuban Parahu)
2. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan air kawasan TNGGP.
3. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan elevasi untuk jenis tower repeater
di CA Gunung Tangkuban Parahu
4. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan wisata alam di TWA Gunung
Tangkuban Parahu
5. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan karbon di CA Gunung Tilu
3.5 Pembahasan dan Dialog PES Multipihak
1. Focus Group Discussion pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan air
kawasan TNGGP
2. Focus Group Discussion pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan air di salah
satu kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau
CA Gunung Tangkuban Parahu atau TB Gunung Masigit Kareumbi)
3. Serial meeting dengan pengembang tower repeater di kawasan CA Gunung Tangkuban
Parahu
4. Serial meeting dengan stakeholder PES untuk komoditi jasa lingkungan air di salah satu
kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau CA
Gunung Tangkuban Parahu atau TB Gunung Masigit Kareumbi)
5. Serial meeting dengan stakeholder PES untuk komoditi jasa lingkungan air kawasan
TNGGP.
3.6 Penyusunan Dokumen Persiapan REDD+ di Cagar Alam Gunung Tilu
1. Menentukan batas-batas kegiatan proyek REDD+ yang diusulkan, meliputi: batas
spasial, batas-batas temporal, sumber karbon (carbon pool) dan sumber emisi
2. Analisis penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan secara historis
3. Analisis masalah atau penyebab deforestasi dan degradasi hutan
4. Analisis proyeksi deforestasi dan degradasi hutan di masa depan
5. Pendugaan perubahan cadangan karbon dan emisi non CO2
6. Pendugaan degradasi keanekaragaman hayati akibat perubahan tutupan lahan
7. Analisis skenario penguatan pengelolaan kawasan konservasi untuk meningkatkan
cadangan karbon hutan dan keanekaragaman hayati melalui pelibatan masyarakat
(climate, community, and biodiversity/CCB Standard)
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
8. Pendugaan perubahan cadangan karbon aktual yang diharapkan berdasarkan pada
scenario penguatan pengelolaan kawasan konservasi yang direncanakan
3.7 Membangun Kesepakatan PES dengan Para Pihak (Memorandum of Agreement)
1. Analisis terhadap seluruh proses pembahasan dan dialog PES multipihak untuk
mendapat common perspective tentang PES
2. Legal drafting terhadap kesekatan-kesepakatan yang muncul selama proses
pemabahasan dan dialog PES Multipihak
3. Serial meeting untuk membahas draft perjanjian
4. Penandatangan nota perjanjian PES sukarela
5. Workshop untuk peluncuran Demplot PES berdasarkan nota perjanjian yang dibuat
Bentang lahan DAS Citarum terdiri dari jaringan mosaik-mosaik lahan dengan berbagai
tipologi penggunaan lahan dan otoritas pengelolaannya. Secara normatif pemetaan bentang
lahan produksi dapat didekati melalui penelaahan terhadap kawasan budidaya pada peta
tata ruang wilayah. Dalam konsep tata ruang wilayah, penggunaan lahan dikatagorikan
menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Sementara pembagian wilayah dalam
konsep DAS meliputi wilayah hulu, tengah dan hilir. Antara mosaik lahan yang terletak di
hulu, tengah dan hilir memliki hubungan ketergantungan dalam konsep keseimbangan
ekosistem lansekap. Hubungan wilayah hulu, tengah dan hilir dalam konsep keseimbangan
ini dijelaskan lebih terinci melalui teori hidrology atau sosil and water conservation.
Pengarusutamaan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi pada program
CWMBC tahap 1 ini akan berfokus pada lanskap produksi yang berada di wilayah hulu DAS
Citarum, dengan unit perlakuan adalah desa-desa sekitar kawasan konservasi di Hulu DAS
Citarum yang menjadi lokasi proyek CWMBC. Upaya ini akan ditempuh melalui pembangunan
beberapa Model Desa Konservasi (MDK), yaitu desa yang dijadikan model dalam upaya
memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi, dengan
memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Desa dalam
kawasan konservasi adalah desa enclave dan desa/desa adat yang telah ditetapkan sesuai
dengan ketentuan. Sedangkan desa di sekitar kawasan konservasi adalah desa yang
keberadaannya terletak di dalam daerah penyangga dan mempunyai interaksi langsung
dengan kawasan konservasi.
Upaya pemabangunan MDK dalam program CWMBC akan dilaksanakan di 13 Desa sekitar
kawasan konservasi, yaitu sebagai berikut:
1. Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang merupakan desa di
sekitar Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu.
2. Desa Sukamandi, Kecamatan Sagala Herang Kabupaten Subang yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tangkuban Parahu.
3. Desa Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang yang merupakan desa
di sekitar Taman Buru Masigit Kareumbi.
4. Desa Cihanjawar, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Burangrang.
5. Desa Pasanggrahan, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta yang merupakan desa
di sekitar Cagar Alam Gunung Burangrang.
6. Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.
7. Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung yang merupakan desa
di sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.
8. Desa Mekarsari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.
9. Desa Sukaluyu, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.
10. Desa Cihawuk, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung yang merupakan desa sekitar
Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang.
11. Desa Sakambang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta yang merupakan desa
di sekitar Cagar Alam Gunung Burangrang.
12. Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung yang merupakan desa
di sekitar Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi.
13. Desa Sukatani, Kabupaten Cianjur yang merupakan desa di sekitar Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango
Pembangunan MDK ini dilaksanakan melalui resource sharing antara Konsultan Perusahaan
pelaksana proyek CWMBC dengan BBKSDA Jabar dan BBTNGGP. Adapun kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam rangka pembangunan MDK ini adalah sebagai berikut:
4.4.1 Pengumpulan Data Awal dan Observasi Desa
Kegiatan pengumpulan data awal dan observasi dimaksudkan untuk mendapatkan profil awal
desa yang akan menjadi lokasi pembangunan MDK. Kegiatan-kegiatan pada tahap ini adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan data sekunder desa meliputi data administraif desa, monografi dan
demografi desa.
2. Observasi singkat untuk melihat siatusi masyarakat desa dan pola interaksinya dengan
kawasan konservasi.
4.4.6 Penyusunan Master Plan dan Rencana Kerja Tahunan MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Kelompok MDK
Dokumen-dokumen utama yang harus dihasilkan dari proses PRA adalah Master Plan dan
RKT MDK serta Rencana Bisnis usaha produktif masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mengawal penyusun dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penyusunan format-format standard untuk mempermudah pengumpulan data dan
informasi yang diperlukan untuk penyunan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Masyarakat.
2. Serial workshop penulisan (writing workshop) Master Plan dan RKT MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Masyarakat yang melibatkan Fasilitator Desa.
3. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di tingkat desa.
4. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di Kabupaten dan Propinsi.
Tabel 24. Rencana Kerja Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
4.1 Pengumpulan Data Awal dan Observasi Desa
1. Pengumpulan data sekunder desa meliputi data administraif desa, monografi dan demografi
desa
2. Observasi singkat untuk melihat siatusi masyarakat desa dan pola interaksinya dengan
kawasan konservasi
4.2 Sosialisasi dan Koordinasi Program di Tingkat Desa
4.3 Perekrutan dan Peningkatan Kapasitas Fasilitator Desa
1. Perekrutan fasilitator desa sebanyak 12 orang oleh BBKSDA Jabar dan 1 orang BBTNGGP
2. Perekrutan 3 orang koordinator fasilitator oleh Tim Ahli Komponen-4 atas dukungan
pendanaan dari manajemen perusahaan.
3. Penyusunan modul pelatihan dan panduan praktis pelaksanaan PRA dalam rangka
pembangunan MDK di 13 desa yang telah ditetapkan
4. Pelatihan fasilitator desa dan koordinator fasilitator oleh Tim Ahli Komponen-4 untuk
pelaksanaan PRA dalam rangka pembangunan MDK
5. Penyusunan rencana kerja fasilitator desa yang disertai dengan tata waktu dan target-target
pencapaian
4.4 Peningkatan Kapasitas dan Pembangunan Kelembagaan Masyarakat
1. Kursus kepemimpinan desa untuk konservasi keanekaragaman hayati di 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
2. Pembentukan kelompok MDK pada 13 desa yang telah ditetapkan menjadi lokasi
pembangunan MDK
4.5 Pendampingan Pelaksanaan PRA
1. Pendampingan proses penilaian potensi desa secara partispatif pada 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
2. Pendampingan proses penyusunan peta penggunaan atau pemanfaatan ruang wilayah desa
di 13 desa yang telah ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
3. Pendampingan proses penguatan kelembagaan kelompok MDK di 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
4. Pendampingan proses penyusunan peraturan kelompok MDK di 13 desa yang telah
Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
5. Pendampingan proses pertemuan-pertemuan kelompok dalam rangka perencanaan desa
secara partis
4.6 Penyusunan Master Plan dan Rencana Kerja Tahunan MDK serta Rencana Bisnis
Usaha Produktif Kelompok MDK
1. Penyusunan format-format standard untuk mempermudah pengumpulan data dan informasi
yang diperlukan untuk penyunan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha
Produktif Masyarakat
2. Serial workshop penulisan (writing workshop) Master Plan dan RKT MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Masyarakat yang melibatkan Fasilitator Desa
3. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di tingkat desa
4. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di Kabupaten dan Propinsi
4.7 Fasilitasi Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan Partisipatif
1. Sosialisasi kegiatan rehabilitasi lahan kepada masyarakat
2. Fasilitasi penyusunan rancangan teknis rehabilitasi lahan pola agroforestry secara partis
3. Fasilitasi pembentukan kelompok kerja rehabilitasi lahan di tingkat desa sebagai bagian dari
kelembagaan MDK
4. Fasilitasi pembangunan jaringan kerjasama pelaksanaan rehabilitasi lahan oleh masyarakat
dengan para pihak terkait (Dinas Kehutanan, BPDAS Citarum, Perhutani, dll)
5. Fasilitasi pelaksanaan rehabilitasi lahan sesuai dengan rancangan teknis rehabilitasi lahan
yang telah dibuat
4.8 Komunikasi dan Publikasi Kampanye Konservasi Keanekaragaman Hayati
1. Persiapan, Pengembangan dan produksi materi
2. Road shows : dinas dan stakeholers
3. Diskusi jurnalis dan NGO
4. Kunjungan lapangan jurnalis
5. Penulisan column by experts and activists
6. Talkshow radio & TV
7. Monitoring pemberitaan
8. Laporan kegiatan
Sekretaris 1. Hadi-ICBB
1. Helda- Bandung 2. Wida-Akurat
Office Manager 3. Yadi-Inacon
2. Indra- Cianjur
3. Dyah- Jakarta
Operator TC Component 1 TC Component 2 TC Component 3 TC Component 4
Computer (Dbase Biodiv & MIS) (Restoration) (PES) (Biodiv. Mainstreaming)
4. Eko W - Inacon Agoes Sriyanto Soeparno W. Endang Setiawan Zahir Zachri
5. Amet
6. Deni Experts Experts Experts Experts
7. Dwi International. International
8. Ida 1. Land Rehab.
1. Biodiversity 1. Forest Ecologist 1. PES Specialist Instructor
Driver
9. Ucup National 2. Land Rehab. National
2. Com- Dev. Specialist
10. Aan 2. Insect Specialist 2. Business Planner
Instructor 3. Fin. Man. Spec.
11. entis 3. Taxonomist 3. Socio-economist
4. Biota Aquatic 3. Field Assistant 4. Architecture 4. Graphic. Designer
Office Boy
12. Edi Specialist Landscape Specialist 5. Media Campaign Spec.
13. Reza 5. Herpetofauna 5. Anthropologist 6. Institutional Spec.
14. Dayat Specialist 6. Institutional Specialist 7. Agroforestry Spec.
15. Ida Anshori 6. Mammal Specialist
7. GIS Specialist
8. Rem. Sensing
Specialist
9. IT/MIS Specialist _ _ _ _ : Fungsi Supervisi
10. Cartography Specialist
11. GIS assistant Gambar 16. Struktur Organisasi dari PMS ........... : Fungsi Advicer
Tabel 25. Komposisi Tim CWMBC, Reposisi dan Penggantian Tenaga Ahli
Berdasarkan Kontrak Komposisi Saat Ini Keterang
No
Posisi Nama Posisi Nama an
Internasional
1 Biodiversity onservation Darrel Kitchener Biodiversity Resit Sὂzer Penggantia
Specialist/Forest Ecologist onservation
Specialist/Forest
Ecologist
2 Natural Resources Economic Malik, Urooj S Natural Malik, Urooj S
Valuation Expert Resources omic
Valuation Expert
Nasional
3 Team Leader Suer Suryadi Team Leader Dwiyono, Ambar Penggantia
Ketua Tim dan Koordinator Tim seluruh komponen telah dimobilisasi sejak pertengahan
bulan Desember 2012 dan mulai aktif menyusun rencana aksi kegiatan sampai dengan Kick-
off Meeting, serta menyusun pengorganisasian tim.
Sehubungan dengan sebaran lokasi/ kedudukan PIU (yaitu Jakarta, Bandung dan Cianjur)
dan untuk memudahkan komunikasi, telah diatur bahwa home base Ketua Tim (Team
Leader) dan Koordinator Tim (Team Coordinator) adalah berikut:
1. Kantor Bandung: home base dari Ketua Tim; Koordinator Komponen-2, and Koordinator
Komponen-4;
2. Kantor Jakarta: home base dari Koordinator Komponen-1; dan
3. Kantor Cianjur: home base dari Koordinator Komponen-3.
Tim tersebut telah sepakat untuk mengadakan pertemuan mingguan (rapat regular) di
kantor Bandung atau salah satu kantor proyek, sesuai dengan kebutuhan/ agenda
pertemuan.
5.4 Pertemuan
Tenaga ahli telah menghadiri beberapa pertemuan dengan PIU sebagaimana dirangkum
pada Tabel 26 berikut ini :
No PERTEMUAN Ulasan
1 Kickoff Meeting PHKA-Jakarta, 9 Kick-off Meeting yang CWMBC-ICWRMIP diselenggarakan di
Januari 2013 Jakarta (Gedung Manggala Wanabhakti Blok A, lt.. 3) Pada
tanggal 9 Januari 2013. Pertemuan ini dimaksudkan untuk
memperkenalkan para ahli dan Direksi konsultan konsorsium
dengan PIU (PHKA-KKBHL) dan pengguna (BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP). Lokakarya ini dibuka oleh Bapak Bambang,
Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (KKBHL)
- Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Acara Kick-off meeting tersebut dihadiri oleh ADB IRM Jakarta,
Bappenas, PCMU; PIU PHKA; PIU BBKSDA Jawa Barat ; PIU
BBTNGGP; PPTK dan staf PHKA, IC; Direktur Konsultan
Konsorsium dan tim CF-CWMBC.
2 Rapat Koordinasi Proyek di Pertemuan ini diselenggarakan di Kantor BBKSDA di Bandung.
BBKSDA Jawa Barat , 15 Januari Para Ahli mempresentasikan rencana kerja proyek mereka.
2013 Kepala BBKSDA Jawa Barat memimpin pertemuan dan
memberikan sejumlah masukan berharga untuk konsultan
khususnya dalam menyinkronkan rencana kerja dengan
rencana kerja BBKSDA Jawa Barat.
Pertemuan tersebut dihadiri olehTeam Leader, Team
Coodinator dari setiap komponen 1, 2, 3, dan 4, dan para ahli.
3 Rapat Koordinasi Proyek di Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk memperkenalkan para
BBTNGGP, 17 Januari 2013 ahli dan staf BBTNGGP, untuk mempresentasikan rencana
kerja proyek dan menyinkronkan rencana kerja . Pertemuan ini
dibuka dan dipimpin oleh Kepala BBTNGGP.
4 Workshop Orientasi Proyek , 28- Workshop Orientasi Proyek idealnya akan dilaksanakan pada
29 Januari tahun 2013 awal proyek tersebut. Mempertimbangkan ke time constraint
dan kegiatan yang ketat, yang dihasilkan dari implementasi
POW) lewat, ia telah diselenggarakan pada bulan Januari 28-29
tahun 2013 di Bandung office (Kawaluyaan).
Workshop ini dihadiri oleh seluruh Tenaga Ahli CWMBC, Direksi
Konsorsium, PMS, staf administrasi dan IC. Workshop dibuka
oleh Bapak S. Agus Nusantoro (Direktur Proyek) dan dipimpin
oleh Ketua Tim (Team Leader).
No PERTEMUAN Ulasan
23 21 Februari 2013 PHKA ditujukan untuk mencermati hasil-hasil yang telah
dilaksanakan oleh CF-CWMBC, serta mencermati rencana kerja
yang telah disusun.
Tim dengan PMS juga mengembangkan situs web (website) www.cwmbc.org sebagai
wadah dalam menginformasikan semua kegiatan yang dilaksanakan. Berikut tampilan
layar utama www.cwmbc.org :
Peserta dari BBKSDA dan BBTNGGP dijadikan nara sumber dengan asumsi, bahwa mereka
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik di lapangan/wilayah kerja.
Agenda FGD pada tiap PIU ditunjukkan pada Tabel 27 di bawah ini.
3. Observasi Lapangan
Observasi lapangan dilakukan oleh Tim CWMBC bersama staf lapangan. Tidak seluruh
lokasi kegiatan dikunjungi. Observasi lapang dilakukan pada lokasi yang disepakati pada
saat FGD tematik komponen. Agenda observasi lapang Tim CWMBC tersaji pada Tabel 28
berikut ini:
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 118
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC
Tabel 28. Observasi Lapangan tiap Komponen di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
Saat ini, Tim CWMBC sedang memesan Quickbird 2013. Selanjutnya diolah/ diinterpretasi
untuk dijadikan basis data spatial tutupan lahan (land cover), penentuan awal jenis
habitat, potensi hidrologi, dan lainnya.
Agudelo, J.I. The Economic Valuation of Water : Principles and Method, 2001.
Agus Supriadi. 2012. Keanekaragaman Udang Air Tawar di Sungai-sungai yang Berasal
dari Gunung Salak. Skripsi. Dept. Biologi FMIFA-IPB. Bogor
Aji Putra Perdana. 2008. Pengolahan Citra Digital Menggunakan Software ArcGIS (Lanjut)).
PT. Geovisi Mitratama. Yogyakarta.
Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia : a Checklist (Peeters' Sequence)/by Paul Andrew
(Kukila Checklist No.1). Jakarta: Indonesia Ornithological Society. 1–55.
Asori S, Karni. 1999. Civil Society Dan Umat, Sintesa Diskusi Rumah Demokrasi. Logos.
Jakarta
Awaludin, Nur. 2010. Geographical Information System with ArcGIS 9.X Principles,
Techniques, Applications, and Management. CV. ANDI OFFSET. Yogyakarta.
Beckwith, Dave. dkk. 1997. People Power from the Grassroots. Center for community
change.
Bibby, C.J., N.D. Burgess, dan D.A. Hill, 1992. Bird Census Techniques. Academy Press.
London. 85–184.
Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang, TNGGP Tahun 1995.
Colfer CJP, Prabhu R. dkk. 1999. Who Counts Most? Assesing Human Well-Being in
Sustainable Forest Management. Volume ke-8, The Criteria & Indicators Toolbox Series.
Center for International Forestry Research. Bogor
Daily, G. Introduction: What are Ecocsystem services. Washington D.C. Island Press.
1997.
Eddy Prahasta. 2004. Sistem Informasi Geografis, Tools dan Plug-ins. Informatika. Bandung
Ernes Gellner. 1995. Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan. Mizan.
Bandung
Erwin Hardika Putra. 2011. Penginderaan Jauh dengan ERMapper. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metoda Sampling Bioekologi. PT. Bumi Angkasa. Jakarta
Gradwohl, Yudith & Greenberg, Russel 1991. Menyelamatkan Hutan Tropika. Terjemahan
oleh Hira Jhamtani dari judul asli Saving The Tropical Forest Ed. Cet. 1. 1988.Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta
Haryono, Fahmi dan Sopian Sauri. 1999. Ichtiofauna di Perairan Kawasan Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi Lipi.
Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives Visions, Analysis
and Practice. Longman: Australia Pty Ltd.
Ife, Jim. dkk. 2008. Community development: alternatif Pengembangan Masyarakat di Era
Globalisasi. (terjemahan: Sastrawan Manullang). Pustaka Pelajar (terjemahan).
Yogyakarta
Iswantoro, Heru. 1999. Konsep dan strategi kemitraan dalam pengelolaan SDA ; Proseding
seminar Pemberdayaan aset perekonomian rakyat melalui strategi kemitraan
pengelolaan SDA di kabupaten Jember. Pustaka Latin. Bogor
John Loomis, Paula Kent, Liz Strange, Kurt Fausch, Alan Covich. 2000. Measuring the total
economic value of restoring ecosystem services in an impaired river basin: results from a
contingent valuation survey. Ecological Economics 33-2000.
Kartamihardja, Endi Setiadi. 2008. Jenis Ikan di Waduk Juanda. Jurnal Iktiologi Indonesia,
Vol. 8 Tahun 2008.
Kartasubrata, Junus. 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia, Buku I Lab. Politik
Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian.Bogor
Kottelat, Maurice, Anthony J. Whitten, Sri Nurai Kartikasari, Sutikno Wirjoatmodjo. 1993.
Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Editions (HK) Ltd bekerja
sama dengan EMDI dan MN KLH
Laporan Akhir . 2009. Program Investasi Pengelolaan Sumberdaya Das Citarum Terpadu.
Asian Development Bank
Liu, Jian-Guo. 2009. Essential image processing and GIS for remote sensing. Wiley-
Blackwell. Oxford, UK.
MacKinnon, J., K. Phillipps, B. dan B. Van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa,
Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi–LIPI.
MacKinnon, J.1995. Burung-burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 1, 3.
Madjid, Noercholish. 1996. Menuju Masyarakat Madani Dalam Ulumul Qur’an. Dalam Jurnal
Ilmu Dan Kebudayaan, No.2/vii/1996
Mayers J. 2005. Power Tools: The Four Rs. International Institute for Environment and
Development.
Milen, Anenli. 2004. Pegangan Dasar, Pengembangan Kapasitas judul asli : What Do We
Know About Capacity Building Pembaruan, Yogyakarta.
Millennium Ecosystem Assessment. Ecosystem and Human Well Being: Current State And
Trends. Washington D.C. Island Press. 2005.
Nancy, et al. On Measuring Economic Value for Nature. Environmental Science Technology
Vol 34:1384-1389, 2000.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008, tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan
Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan
Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3694)
Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3760
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian
Alam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan
Satwa Liar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Air Minum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada
Departemen Kehutanan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya
Air.
Poppy Oktadiyani, 2006. Alternatif Strategi Pengelolaan Taman Wisata Alam Kawah
Kamojang Kab. Bandung Prov. Jawa Barat
Reed MS, Graves A. dkk. 2009. Who’s in and why? A typology of stakeholder analysis
methods for natural resource management. Dalam Journal of Environmental
Management XXX: Halaman 1-17.
Reynold S.R.J.T., scott J.M and Nussbaum R.A. 1980. A Variable Circular-Plot Method for
Estimating Bird Number. Condor No.82:309-313.
Riyanto, Prilnali Eka Putra dan Hendi Indelarko. 2009. Pengembangan Aplikasi Sistem
Informasi Geografis Berbasis Desktop dan Web. Gava Media. Yogyakarta.
Rombang, W.M. dan Rudyanto. 1999. Daerah penting bagi burung di Jawa dan Bali.
PKA/Birdlife International-Indonesia Programme, Bogor.
Setiadi, A.P, Rakhman, Z., Nurwatha, P. N., Muchtar, M., Raharjaningtrah, W. 2000. Status,
Distribusi, Populasi, Ekologi dan Konservasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi Stersemann,
Sozer, R & Nijman, V. 1995. Behavioral ecology, distribution and conservation of the Javan
Hawk-eagle Spizaetus bartelsi Sterssemann, 1924. Verslagen en technische Gegevens
62: 1-22.
Sukmantoro, W. Dkk. 2007. Daftar Burung Indonesia No.2. Bogor. Indonesian Ornithologist
Union.
Sumarto (ed.) 2009. Mt. Gunung Gede Pangrango National Park. Information book series.
Indonesian Ministry of Forestry, Directorate General Forest Protection And Natural
Conservation, Gunung Gede Pangrango National Park.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3687);
van Balen, S., Meyburgh, B. U. 1994. The Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi: resul of
recent research on distribution, status and ecology. Pp. 89-92 in: Meyburgh and
Chancellor, R. D. Raptor Conservation Today. Berlin and Robertsbridge, UK.
van Ballen, S., 1999. Birds on fragmented islands, persistence in the forests of Java and
Bali. PhD Thesis in Wageningen University.
Wawa, Jannes Eudes (ed.). 2011. Ekspedisi Citarum Sejuta Pesona dan Persoalan. Laporan
Jurnalistik Kompas. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta
Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., Afiff, S. A. 1996. The Ecology of Java. The Ecology of
Indonesian Serries Vol. II. Periplus Editions.
Yoyo Budiman 2011. Laporan Foto. Berkenalan Dengan Ikan Sungai Citarum. Cita Citarum.
PENDAHULUAN
Kegiatan inventarisasi keanekargaman hayati (biodiversity inventory) tidak terlepas dari istilah
species diversity (keragaman), abundance (kelimpahan), dan richness (kekayaan jenis). Inventarisasi
keanekaragaman hayati diperlukan untuk menunjukan keberadaan nilai-nilai kualitas ekosistem dan
konservasi terhadap jenis-jenis yang secara regional dan global terancam populasinya. Selain itu, data
dan informasi tentang keanekaragaman hayati diperlukan sebagai data dasar (baseline) dan dasar
kegiatan monitoring dinamika populasi dan keragaman species.
Tujuan survey keanekaragaman hayati pada program CWMBC dilaksanakan untuk mendapatkan
data dasar keanekaragaman hayati yang diperlukan, untuk:
1) identifikasi jenis prioritas dan indikator kualitas ekosistem serta upaya konservasi di masa yang
akan datang;
2) persyaratan validasi; dan
3) membuat rencana pemantauan keragaman hayati pada lokasi kawasan konservasi untuk dapat
dikelola bagi pelestarian hidupan liar.
Inventarisasi keanekaragaman hayati dimaksudkan sebagai petunjuk umum dalam pelaksanaan
inventarisasi keanekaragaman hayati, yang mencakup penyiapan modul pelatihan ditempat kerja (in-
services training), pelaksanaan inventarisasi keanekaragaman hayati di lapangan, serta penyiapan dan
pembuatan permanen sample plot (PSP) untuk program pemantauan keanekaragaman hayati guna
guna mendukung kegiatan-kegiatan CWMBC dengan cara yang dapat diukur, dilaporkan dan
diverifikasi (Monitoring-Reporting-Verification MRV), pada 8 (delapan) lokasi kawasan konservasi,
yang mencakup:
1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
2) Cagar Alam Burangrang
3) Cagar Alam Gunung Tangkubanperahu
4) Cagar Alam Kawah Kamojang
5) Cagar Alam Gunung Tilu
6) TWA Gunung Tangkubanperahu
7) TWA Kawah Kamojang
8) TB Gunung Masigit Kareumbi.
Pada kegiatan CWMBC ini, keanekaragaman hayati hanya meliputi elemen satwa dan tumbuhan
tidak termasuk mikro-organisme. Kriteria flora dan fauna yang dikaji pada kegiatan CWMBC terdiri
dari jenis satwa, yaitu :
1. Vegetasi (Vegetation)
2. Mamalia (Mammal)
3. Burung (Bird)
4. Serangga (Insect)
5. Amphibi dan Ular (Herpertofauna)
6. Biota (Aquatic)
Dalam kegiatan inventarisasi biodiversitas tidak terlepas dari kegiatan penggalian informasi awal
yaitu wawancara masyarakat sekitar kawasan yang akan disurvey serta study literatur baik dari data
sekunder UPT dan literatur lainnya. Keterlibatan masyarakat sangat penting untuk dapat mengakses
keragaman jenis yang sangat diharapkan dan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati di kawasan konservasi.
Spesies Kunci
Dalam rangka pengelolaan sumber daya alam hayati, perlu adanya pemantauan terhadap
kesehatan ekosistem serta perkembangan populasi spesies. Pemantauan langsung terhadap semua
elemen di sebuah ekosistem tidak mungkin dilakukan langsung, sehingga perlu memilih opsi lain
untuk mengetahui kondisi ekosistem tersebut. Opsi yang paling umum dilakukan, dan cukup efektif,
adalah memantau ekosistem melalui perwakilan dari ekosistem tersebut. Dengan perwakilan
dimaksud spesies flora dan fauna tertentu yang diseleksi karena memiliki sifat khusus, seperti
merepresentasikan banyak spesies lain (mencerminkan keadaan populasi spesies lain), atau
mengindikasikan adanya gangguan terhadap ekosistem seperti perburuan atau polusi. Spesies-spesies
ini sekaligus akan membantu untuk melestarikan banyak spesies lain jika dikelola dengan baik.
Spesies-spesies ini disebut “Spesies Kunci”, dan diantaranya ada spesies yang disebut “Spesies
Indikator” dan “Spesies Payung”. Tentunya dalam proses pemilihan species kunci yang akan
dimonitor, perlu diingat bahwa spesies yang akan dipilih perlu memenuhi beberapa syarat, atau
Kriteria.
Spesies kunci yang akan dimonitor sebagai perwakilan dari sebuah ekosistem, perlu secara
langsung maupun secara tidak langsung memberi informasi mengenai kondisi habitat dan populasi
spesies flora dan fauna lain yang berada di dalamnya. Oleh karena itu, spesies kunci perlu memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1) Spesies flora atau fauna yang mewakili banyak spesies lain (Um brella Species )
2) Spesies flora atau fauna yang mengindikasikan adanya gangguan terhadap ekosistem
(I ndicator Species )
3) Spesies flora atau fauna yang dapat dipantau/ dimonitor oleh petugas yang tidak punya
pendidikan ekologi atau biologi.
Spesies yang kurang cocok sebagai species kunci yang akan dimonitor adalah spesies yang sulit
dipantau, sehingga data tahunan yang terkumpul tidak mencukupi untuk analisis dan tidak
memperlihatkan sebuah trend kenaikan, kestabilan atau penurunan populasi dari spesies tersebut
serta spesies-spesies lainnya yang diwakili. Contoh untuk spesies yang kurang cocok adalah Kucing
Hutan (Prionailurus [Felis] bengalensis), karena spesies ini jarang ditemukan, dan memerlukan survey
khusus pada malam hari. Selain itu, spesies ini merupakan spesies yang sangat adaptif terhadap
perubahan habitat, sehingga perubahan populasi Kucing Hutan tidak memberi indikasi terhadap
keadaan ekosistem hutan alaminya. Oleh karena itu, spesies ini tidak memenuhi ketiga kriteria diatas.
Spesies kunci terpilih yang akan dimonitoring tersaji pada Tabel 1 berikut ini:
Spesies Penting
Selain spesies kunci yang akan dimonitor populasinya karena mewakili keseluruhan ekosistem
yang dikelola dan memperlihatkan efektivitas dari sistem pengelolaan sumber daya alam hayati, ada
juga spesies yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value) karena merupakan spesies
yang memiliki peran penting dalam sebuah ekosistem (seperti Top Predators, Pollenators), atau yang
terancam kepunahan (IUCN Endangered atau Critically Endangered), yang sudah sangat langka, yang
endemik /sebaran terbatas, yang dilindungi undang-undang, yang mendapatkan perhatian secara
internasional, atau spesies yang belum ada banyak informasinya (Data Deficient Species). Spesies-
spesies ini disebut “spesies Penting”, dan diantaranya ada spesies yang disebut “Keystone Elements”
dan “High Profile Species”. Spesies penting ini pada umumnya sulit untuk ditemukan dan dimonitor,
namun perlu diberi perhatian khusus dalam survey, dan sebanyak mungkin data primer ataupun
sekunder perlu dikumpulkan mengenai spesies-spesies ini. Spesies kunci terpilih untuk dilakukan
survey dan monitoring disajikan pada Tabel 2 dibawah ini:
METODOLOGI
A. Persiapan
1. Penentuan Kriteria Wilayah Survey
Kawasan High Conservation Value Forest (HCVF)
Wilayah yang mewakili zona/blok Inti, Rimba, Pemanfaatan dan Rehabilitasi yang dapat
dijadikan Petak Contoh Permanen (Permanen Sample Plot atau PSP)
2. Persiapan Alat dan Bahan Survey
Field guide
Tally Sheet dan Dokumentasi
B. Pelaksanaan Survey
Tahapan pelaksanaan survey biodiversitas digunakan terdiri dari 2 tahapan kegiatan, yaitu
penggalian informasi/sekunder masyarakat sekitar kawasan terkait 6 taksa flora/fauna yang akan
diamati dan survey lapangan.
Metode survey yang digunakan untuk ke 6 taksa yang di survey/diamati tersaji paa Tabel 3
berikut :
Metode
Taksa Pengamatan Camera Rapid
Transek Trapping
Terkonsentrasi Trapping Asessment
1. Vegetasi Quadrat √ - - √
2. Mamalia Life, √
- √ -
camera
3. Burung - √
Belt - -
4. Serangga √ Fitfall, √
Line -
Insect Nett
5. Amphibi dan VES
- √ - -
Ular
6. Biota Surber & √
- Electric Fishing -
Plankton
1) Survey vegetasi
Survey vegetasi hutan bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi hutan.
Pelaksanaan survey vegetasi diawali dari tahap persiapan konsep survey secara umum sebagai dasar
pemahaman bagi pelaksana survey, yaitu :
1. Menentukan lokasi analisa vegetasi pada peta berdasarkan zona/blok yang ada pada kawasan
konservasi atau pada areal HCVF
2. Menentukan lokasi analisa vegetasi di lapangan menggunakan alat bantu GPS
3. Membuat jalur pengamatan dengan memotong garis kontur
4. Menentukan titik awal jalur, panjang jalur dan jarak antar jalur yang tergantung pada intensitas
sampling yang ditetapkan untuk luas areal yang akan disurvey dan ketersediaan sumber daya.
5. Membuat petak-petak pada jalur pengamatan
Hal yang paling mendasar dari pelaksanaan survey vegetasi adalah penyediaan peta kerja/survey
vegetasi. Peta tersebut dibuat dengan skala 1:20.000. Peta kerja/survey vegetasi dapat dibuat dengan
menentukan titik koordinat survey (jalur survey) baik penentuan titik lokasi maupun petak secara
umum. Penentuan jalur tersebut dibuat berdasarkan informasi dari UPT setempat dengan mengacu
pada beberapa informasi penting, seperti ketinggian tempat, jenis endemik dan non endemik, tingkat
kesuburan tanah dan lain-lain. Langkah tersebut dapat diperkuat dengan hasil yang didapat pada
saat survey selesai.
Pohon :
Tumb. berkayu
Tiang :
diameter > 20cm
Tumb. berkayu
diameter 10-20 cm
Pancang :
Semai -> Tinggi =
> 1,5 m dan
diameter <10 cm
Semai :
Anakan Pohon
Tinggi < 1,5 m
Semai Semai
(2mx2m) (2mx2m)
Pohon (20mx20m)
Tiang (10mx10m)
Pancang (5mx5m)
Semai
(2mx2m)
Pada masing-masing petak tersebut dilakukan pengukuran tinggi, diameter setinggi dada (1,3 m)
dan identifikasi jenis pohon, tiang, pancang, semai dan vegetasi bawah.
𝐹
3 Frekuensi suatu jenis ∑ 𝑆𝑢𝑏 − 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 Jenis/spesies
=
∑ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏 − 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
Kerapatan relatif 𝐾 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
4 𝐾𝑅 = × 100% %
suatu jenis 𝐾 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Frekuensi relatif suatu 𝐹 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
5 𝐹𝑅 = × 100% %
jenis 𝐹 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Dominansi relative 𝐷 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
6 𝐷𝑅 = × 100% %
suatu jenis 𝐷𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
INP = KR + FR + DR % tingkat pohon
7 Indeks Nilai Penting tingkat semai, pancang
INP = KR + FR %
dan tumbuhan bawah
𝜋𝑟 2 menghitung dominansi
Luas bidang dasar 𝐿𝐵𝐷 =
∑ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏 − 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ jenis
8 (LBD) M2 R = jari-jari lingkaran dari
1
𝐿𝐵𝐷 = 𝜋𝑟 ∗ 𝐷2 diameter batang
4 D = DBH
Tbc = tinggi bebas
𝑉 = 𝐿𝐵𝐷 ∗ 𝑇𝑏𝑐 ∗ 𝑓 cabang pohon
9 potensi suatu pohon M3
F = angka bentuk pohon
(sekitar 0,7-0,8)
H = indeks
keanekaragaman
ni = jumlah individu
suatu jenis ke–i dalam
petak ukur (PU)
n = total jumlah individu
𝐻′ = − �(𝑝𝑖 ln 𝑝𝑖; 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑖
Indeks dalam PU.
10 = (𝑛𝑖/𝑛) -
keanekaragaman Catatan: nilai H’ berkisar
antara 0 – 7 dengan
kriteria (a) 0 – 2
tergolong rendah, (b) 2 –
3 tergolong sedang, dan
(c) 3 atau lebih yang
tergolong tinggi.
R = indeks kekayaan
S = jumlah jenis dalam
𝑅 = 𝑆/√𝑛
11 indeks kekayaan jenis - PU
n = total individu
seluruh jenis dalam PU
E = indeks kemerataan
untuk jenis, marga atau
𝐸 = ′ln(S) suku
12 indeks kemerataan -
S = jumlah jenis, marga
atau suku yang dijumpai
dalam PU
Untuk jenis yang tidak dikenal pada hutan alam, dilakukan identifikasi melalui koleksi contoh
herbarium. Identifikasi dapat dilaksanakan di laboratorium seperti Herbarium Bogoriense Puslit Biologi
LIPI atau Bagian Botani Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Badan Litbang Kehutanan serta
lembaga penelitian lainnya yang relevan.
2) Survey Mamalia
Keanekaragaman jenis flora dan tingkat populasi merupakan suatu indikator dari kualitas vegetasi
atau habitat hutan. Jenis satwa yang menjadi indikator umumnya adalah mamalia, primata, burung
dan herpetofauna (Amphibi, Reptil). Rencana kerja survey mamalia merupakan kegiatan dalam
mengidentifikasi tingkat perkembangan populasi dan keragaman jenis yang disertai dengan
identifikasi jenis endemik, langka dan yang mempunyai nilai penting bagi konservasi
keanekaragaman hayati. Secara umum data yang dikumpulkan dalam survey mamalia meliputi jenis
satwa yang teramati atau berdasarkan jejak dan suara, jumlah individu, jenis kelamin (jantan atau
betina), kelompok usia (bayi, muda, atau tua), aktivitas satwa, pemanfaatan ruang (lokasi satwa liar
strata hutan), waktu teramatinya satwa, serta kondisi habitat tempat ditemukannya satwa.
Metode yang digunakan untuk survey mamalia adalah metode kamera trap (Camera Trapping),
Perangkap (Trapping), Pengamatan Cepat (Rapid Asessment) dan koleksi manual (Hand Collecting).
Selain itu, dalam rangka memudahkan identifikasi dilapangan, juga dilakukan metode wawancara dan
desk study (kajian literatur).
Wawancara
Target wawancara dilakukan pada masyarakat sekitar kawasan dan petugas lapangan.
Keterangan dari masyarakat atau petugas dapat diverifikasi dengan seperti mencocokan dengan
buku panduan pengenalan jenis mamalia.
Desk Study
Desk study dapat berupa pengkajian/menggali informasi awal mengenai keberadaan berbagai
spesies mamalia pada lokasi pengamatan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Sebagai data
sekunder bahan pembanding dengan hasil penelitian yang akan dilakukan (penurunan dan
penambahan jumlah jenis, maupun peningkatan dan penurunan populasi).
Hal lain yang tidak kalah penting adalah rekam jejak. Rekam jejak sangat membantu dalam
memperkuat identifikasi. Jejak dapat berupa jejak kaki (foot‐ print), bekas‐bekas makan (feeding
signs), bekas cakaran, tempat berkubang, rambut dan bulu, sarang, bau yang ditinggalkan, dan
sebagainya. Jejak‐jejak yang ditinggalkan oleh satwa mamalia dapat membantu untuk mengetahui
keberadaan dan kehadiran jenis mamalia disuatu tempat walaupun mamalia tersebut tidak ditemukan
secara langsung. Maka dari itu pemahaman terhadap perlakuan jejak sangatlah penting. Berikut
perlakuan yang harus dilakukan ketika jejak ditemukan :
1. Perendaman dengan alokohol (70%) untuk bekas gigitan dan bekas-bekas makanan.
2. Pendokumentasian objek/ bekas makanan atau cakaran dsb.
3. Pembandingan dengan melakukan pengukuran jejak dengan meteran/mistar.
4. Pencatatan kondisi sekitar jejak (kondisi tanah, corak warna dsb)
5. Bekas rambut, bulu atau sarang dimasukkan kedalam plastik atau wadah kedap udara.
6. Pencetakan jejak dengan bahan gips adalah dengan mangaduk gips dengan air sampai
membentuk adonan yang merata dan tidak terlalu encer (bertekstur seperti pasta gigi). Adonan
dituangkan pada permukaan jejak sampai rata dengan tinggi permukaan tanah di samping jejak.
Jejak sebelumnya dibersihkan dari kotoran seperti dedaunan, kerikil, tanah dan sebagainya.
Cetakan gips diangkat setelah cukup keras (15‐30 menit). Label identitas dibuat dengan
mencantumkan waktu (tanggal, bulan, tahun), lokasi/blok hutan; spesies satwa (jika diketahui);
bagian kaki mana yang jejaknya dicetak (jika diketahui), dan pencetak jejak.
3) Survey Burung
Pengamatan terhadap burung yang dilakukan di alam terbuka dikenal sebagai bird watching.
Aspek yang diamati mulai dari identifikasi jenis berdasarkan morfologi, identifikasi lewat suara,
behaviour, populasi, distribusi, dan lain-lain. Metode survey burung pada prinsipnya sama dengan
metode survey mamalia termasuk transek jalur, transek garis dan metode perhitungan terkonsentrasi
(concentration count).
Metode Pemetaan (M apping )
Salah satu cara yang efektif untuk menghitung populasi burung dan ukuran daerah jelajah
adalah metode pemetaan. Terutama untuk jenis burung yang memiliki teritori dan musim berkembang
biak yang jelas. Pengamatan dilaksanakan secara berulang setiap pagi pada lokasi teritori burung.
Biasanya dilakukan pada musim berkembang biak ketika individu burung berada pada lokasi yang
terbatas, aktif mempertahankan teritorinya dan menghabiskan waktu di sekitar sarang. Teritori yang
jelas dan tepat dapat diplotkan pada peta, sehingga dimungkinkan menghitung jumlah pasangan
burung dari setiap jenis yang ada.
Hasil pengamatan tersebut dapat menghasilkan peta detail sebaran dan ukuran teritori serta
menghasilkan penghitungan yang lebih konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh waktu pengamatan.
Selain itu pula dapat digunakan untuk memahami kondisi habitat.
Untuk menghasilkan data yang akurat dan valid, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Peta kerja/survey berkualitas/resolusi tinggi pada area pengamatan
2. Lama pengamatan sampai dengan 10 kali pengamatan
3. Areal pengamatan sekitar 1-4 km2
4. Memerlukan keterampilan tinggi
5. digunakan, cuaca, jumlah burung yang ditemukan, aktivitas, jarak burung dengan pengamat, dan
sebagainya, tergantung dari penelitian yang dilakukan)
4) Survey Herpertofauna
Pengamatan herpertofauna dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Sampling langsung
herpetofauna meliputi pengamatan hewan yang ada di lokasi sampel. Sedangkan sampling tidak
langsung dilakukan dengan cara memperoleh informasi spesies tanpa melihat hewan itu secara
langsung, misalnya melalui jejak atau suara. Jenis satwa yang diamati/disurvey merupakan golongan
amfibian (termasuk kodok, salamander, dsb), dan reptilia (termasuk ular, kadal, kura-kura, dan
buaya).
5) Survey Serangga
Identifikasi serangga adalah identifikasi jenis yang sulit untuk dilakukan, mengingat keragaman
jenis yang banyak. Namun untuk mempermudah pengidentifikasian, para Entomologits biasanya
pertama kali mengkalisifikasikan serangga kedalam ordo. Ordo utama serangga adalah diptera (lalat),
coleopteran (kumbang), hemiptera (kepik), Odonata (capung), orthoptera (belalang), hymenoptera
(semut), lepidoptera (kupu-kupu), dan isoptera (rayap).
Keberadaan serangga dapat digunakan sebagai indikator hutan primer, hutan sekunder, bekas
terbakar, rawa, savana dan sebagainya. Hal ini dikarenakan serangga dapat hidup diberbagai habitat
atau lingkungan yang berbeda.
Komponen biota akuatik yang diteliti terdiri dari plankton, benthos dan nekton. Pad umumnya
habitat biota akuatik berada di sungai dan situ. Dari telaahan dokumen, hasil FGD dan tinjauan
lapangan tidak terdapat data atau informasi tentang nekton yang hidup di habitat perairan di wilayah
studi kawasan KSDA Jawa Barat. Namun di TNGGP, pernah dilakukan penelitian Ichtyofauna dan
ditemukan hanya 7 jenis ikan yang termasuk kedalam 6 famili.
No Kode
N0 Nama CA/TW/TB Lokasi (Nama Sungai/Desa)
Area
1 CA Burangrang CAB-1 Sungai Cihanjawar/Ds.Cihanjawar
CAB-2 Sungai Cibakong
CAB-3 Sungai Cikao
CAB-4 Sungai Cisomang/Dalam CAB
CAB-5 Sungai Cisomang/Ds. Pasirangin
2/3 CA dan TW Tangkuban CATP-1 Sungai Cikapundung Hulu/ desa
Perahu Suntenjaya
CATP-2 Sungai Cimahi/hilir Curug Cimahi
CATP-3 Sungai Cikapundung/ Hilir pertemuan
Cikapundung-Cimahi
4 CA Gunung Tilu CAGT-1 Sungai Cipadarum
CAGT-2 Sungai Cibodas
CAGT-3 Sungai Cisondari
CAGT-4 Sungai Ciwidey
CAGT-5 Sungai Cimalawindu
CAGT-6 Sungai Cikakapa Gede
CAGT-7 Sungai Cilaki
CAGT-8 Sungai Cisangkuy
5 TB Masigit-Kareumbi TBMK-1 Sungai Cimulu /Camp Wanadri
TBMK-2 Sungai Ciseumat/Camp Wanadri
TBMK-3 Sungai Citarik/Hilir pertemuan Cimulu
dan Ciseumat
6/7 CA dan TWA Kamojang TAK-1 Sungai Ciharo
TAK-2 Sungai Ciharus
TAK-3 Sungai Ciwelirang
TAK-4 Situ Cisanti
TAK-5 Sungai Cisanti
8 TN. Gunung Gede TNGGP-1 Setu Telagabiru
Pangrango TNGGP-2 Sungai Cikundul di Lokasi perkemahan
TWA Komodo-Mandalawangi
TNGGP-3 Setu Mandalawangi
TNGGP-4 Sungai Cikundul di desa Cimacan (dekat
batas kawasan)
TNGGP-5 Sungai Cibeureum dekat desa Cisaongge
(dalam kawasan
TNGGP-6 Sungai Cibeureum di kampong Galudra
(lahan perkebunan sayur, di luar
kawasan
TNGGP-7 Sungai Cibeleng dekat desa Tabrik
(dalam kawasan)
TNGGP-8 Sungai Cibeleng dekat desa Gebrong
(diluar kawasan
.1. K ualitas Air : Sampel air diambil di dengan water sampel. Sampel air diwadahi dengan
botol khusus, dan diberi pengawet. Sampel air dianalisa parameter kunci yang ditentukan
di laboratorium yang terakreditasi KAN
.2. P lankton dan Benthos: Sampel plankton (fitoplankton dan zooplankton) diambil
dengan cara menyaring sebanyak 30 liter air dengan plankton net no. 25 (ukuran pori).
Sampel banthos diambil dengan Eckman grab atau surbur. Sampel plankton dan benthos
diwadahi, diawet dan dianalisa di laboratorium yang terakreditasi KAN. Perhitungan
parameter dilakukan dengan metoda APHA(1989), Welch dan Lindell (1992), Odum,
1977. Indeks keanekaragaman benthos dapat digunakan sebagai indicator tingkat
pencemaran perairan/habitatnya.
.3. N ekton: Data nekton dihimpun dari hasil penelitian, wawancara dan melakukan
penamgkapan di lokasi yang telah dipilih/ditentukan. Sampel ikan yang didapat difoto dan
diidentifikasi ditempat atau diidentifikasi di laboratorium ichthyology. Parameter yang
diukur Komposisi jenis, panjang – berat, tingkat trophic, nilai ekonomi. Tahapan studi
biodiversitas biota akuatik seperti digambarkan pada Gambar 19 dibawah ini:
Empat komponen dasar dari sistem Penginderaan Jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi,
dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi
mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan
energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan
sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor
adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data
akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya
berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses
interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan automatic dengan bantuan computer dan
perangkat lunak pengolah citra. Komponen penginderaan jauh dapat dilIhat pada Gambar 1 dibawah
ini:
a. Bahan
1. Citra Quick Bird resolusi 0.64 m dengan waktu temporal thn 2012 dan 2009 yang ada di
wilayah 8 lokasi TA dan daerah penyangga
2. Peta batas Administrasi dan peta RBI
3. Kertas A3
b. Peralatan
1. Arcgis 10, Global Mapper, Komputer Desktop 4 buah (yang di gunakan operator GIS), GPS
untuk survey yang di gunakan oleh TA dan surveyor dalam pelaksanan survey.
2. Printer untuk ukuran kertas A3
c. Personal Use
Peralatan Safety untuk survey seperti sepatu boot, jas hujan. P3K
Data penginderaan jauh pada umumnya berbentuk data digital yang merekam unit terkecil di
dalam sistim perekam data. Unit terkecil ini dikenal dangan nama pixel (picture element) yang berupa
koordinat 3 dimensi (x,y,z). Koordinat x,y menunjukkan lokasi unit tersebut dalam koordinat geografi
dan y menunjukkan nilai intensitas pantul dari unit dalam tiap selang panjang gelombang yang
dipakai. Nilai intensitas pantul berkisar antara 0 – 255 dimana 0 merupakan intensitas terrendah
(hitam) dan 255 intensitas tertinggi (putih). Ukuran pixel berbeda tergantung pada sistim yang
dipakai, menunjukkan ketajaman/ketelitian dari data penginderaan jauh, atau yang dikenal dengan
resolusi spasial. Makin besar nilai resolusi spasial suatu data makin kurang detail data tersebut
dihasilkan, sebaliknya makin kecil nilai resolusi spasial makin detail data tersebut dihasilkan seperti
dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 berikut ini:
Selain resolusi spasial data penginderaan jauh mengenal suatu istilah lain yaitu resolusi spektral.
Data penginderaan jauh yang menggunakan satu “band” pada sensornya hanya akan memberikan
satu data intensitas pantul pada tiap pixel. Apabila sensor menggunakan 5 band maka data pada tiap
pixel akan menghasilkan 5 nilai intensitas yang berbeda. Dengan menggunakan banyak band
(multiband) maka pemisahan suatu obyek dapat dilakukan lebih akurat berdasarkan nilai intensitas
yang khas dari masing-masing band yang dipakai. Ilustrasi resolusi spectral dapat dilihat pada Gambar
5 dibawah ini :
Untuk keperluan analisis dan interpretasi dapat dilakukan dengan dua cara: (1). Pemrosesan dan
analisis digital dan (2). Analisis dan interpretasi visual. Kedua metoda ini mempunyai keunggulan dan
kekurangan, seyogyanya kedua metoda dipergunakan bersama-sama untuk saling melengkapi.
Pemrosesan digital berfungsi untuk membaca data, menampilkan data, memodifikasi dan memproses,
ekstraksi data secara otomatik, menyimpan, mendesain format peta dan mencetak. Sedangkan
analisis dan interpretasi visual dipergunakan apabila pemrosesan data secara digital tidak dapat
dilakukan dan kurang berfungsi baik. Pemrosesan secara digital lain sangat bervariasi seperti misalnya
deteksi tepi (edge enhancements), filtering, histogram transformations, band ratioing, Principle
Component Analysis (PCA), Classifications, penggunaan formula dan sebagainya. Disamping
pemrosesan digital suatu metoda lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah pemrosesan,
interpretasi dan analisis secara visual. Cara seperti ini dilakukan seperti halnya diterapkan dalam
interpretasi potret udara konvensional yang telah lama dilakukan sebelum era citra satelit
diperkenalkan.
Parameter interpretasi seperti pengenalan obyek berdasarkan bentuk, ukuran, pola dan tekstur
topografi, struktur, rona warna dan sebagainya dipergunakan dalam mengenal dan membedakan
obyek / benda antara satu dengan yang lain. Dalam bidang geologi interpretasi visual memegang
peran sangat penting karena obyek-oyek geologi sukar sekali dipisahkan melalui pemrosesan secara
digital.
Penggunaan data penginderaan jauh dalam bidang kebumian pada dasarnya adalah mengenal
dan memetakan obyek dan parameter kebumian yang spesifik, menafsirkan proses pembentukannya
dan menafsirkan kaitannya dengan aspek lain.
Untuk melakukan hal di atas dua metoda yang umum dilakukan melalui metoda visual/manual
yaitu mengenal obyek obyek geomorfologi seperti perbukitan, dataran, gunungapi, delta dan gejala
geologi spesifik seperti perbedaan jenis batuan, bidang perlapisan, struktur sesar. Pada tabel dibawah
diberikan unsur unsur dasar penafsiran citra. Analisa geomorfologi biasanya dilakukan berdasarkan
metoda analisa visual. Analisa visual untuk geomorfologi didasarkan atas unsur unsur dasar dari citra.
Pengetahuan tentang daerah yang di analisa menjadi faktor yang sangat penting untuk mencapai
hasil yang maksimal. Sebagai contoh tekstur suatu obyek juga akan berguna untuk membedakan
obyek obyek yang mungkin terlihat sama jika penentuan hanya didasarkan pada satu kriteria saja,
yaitu tonanya saja. (karena air dan tutupan lahan kemungkinan bisa mempunyai nilai kecerahan
(brightness) yang sama, akan tetapi teksturnya sangat berbeda.
Asosiasi diantara beberapa kriteria yang terdapat dalam citra dapat menjadi alat yang sangat
berguna dalam analisa citra. Dengan demikian, analisa citra secara visual dengan menerapkan kriteria
dari berbagai sifat dasar yang terdapat pada citra akan menjadi kunci dalam keberhasilan penafsiran.
Cara kedua dilakukan melalui ekstraksi otomatis dari obyek dengan memakai cara dan formula
tertentu dengan menggunakan software yang ada (digital processings). Kedua cara di atas
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga pemilihan penggunaan kedua metoda tersebut perlu
dipertimbangkan secara seksama sesuai dengan keperluaannya. Dalam bidang kebumian, geologi
pada khususnya, interpretasi dan analisis secara visual menempati bagian paling utama dalam
mendapatkan informasi geologi dibandingkan metoda pemrosesan digital misalnya automatic
extraction. Unsur-unsur penafsiran citra quick bird disajikan pada Tabel 5 dibawah ini:
Meskipun demikian penerapan pemrosesan digital, dalam batas tertentu, sangat membantu
kelancaran analisis visual. Data kehutanan dan lingkungan yang diberikan citra inderaja dapat bersifat
tidak jelas, dapat pula berupa data baru yang tidak dapat diperoleh dari survey konvensional. Oleh
sebab itu penggunaan data inderaja seyogyanya dipakai sebagai pelengkap, penunjang bentuk survey
yang lazim dipakai. Data inderaja sebagai data sementara (tentatif) yang perlu divalidasi dan
dikonfirmasi lebih lanjut di lapangan.
1. Tahapan Kegiatan
a. Menentukan batas dari 8 wilayah Kerja (studio dan lapangan) ;
b. Mengumpulkan data sekunder citra satelit di BBKSDA Jawa Barat, BBTNGGP dan instansi
terkait
c. Melakukan review data citra di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP dan instansi di
kementerian kehutanan (Studio);
d. Melakukan Pemesanan Citra di wilayah kerja dari penyedia citra Resolusi Tinggi;
e. Membuat Pembagian wilayah untuk pekerjaa survey lapangan di 8 wilayah kerja (studio);
f. Melakukan Ground Control Point (GCP) dan ground Check untuk koreksi citra (lapangan);
g. Melakukan Survey tutupan lahan berdasarkan (lapangan);
h. Melakukan pembuatan interpretasi tutupan lahan dengan format vector (studio);
i. Melakukan koordinasi dengan TA IT untuk penyimpanan data spasial;
j. Pembuatan basis data spasial untuk tutupan lahan dengan masukan dari semua komponen
(studio);
k. Pelatihan Image Processing Image (2 hari) .
Metode
1. Standarisasi Software dan Hardware
Langkah awal dari penyusunan peta berbasis GIS ini adalah melakukan identifikasi sistim
software/hardware yang digunakan serta batas area kerja (area of interest= AOI). Hal ini sangat
penting untuk menjamin kompatibilitas data yang disusun dengan spesifikasi sistim yang
digunakan di Kementerian Kehutanan dalam hal ini Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina
Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. BBKSDA Jawa
Barat dan TNGGP . Dalam hal ini software peta yang akan digunakan adalah ArcGIS Dekstop ver
10.1. dan untuk packaging market menggunakan ArcGIS Server 10.1 sedangkan untuk hardware
minimum requirment processor intel i5, HD 500 GB, memory 4 GB, nvidia geforce 2 gb.
2. Penyiapan Peta Dasar (baseline map) untuk Peta Tematik habitat (habitat tematic map)
Pada dasarnya data peta yang akan digunakan menggunakan (dua) sekala untuk skala
regional menggunakan peta dasar RBI dari Badan Informasi Geospasial skala 1:25.000
sedangkan untuk peta detail menggunakan hasil objektifitas dari Citra Quickbird skala 1:25.000.
Pada pembuatan baseline akan disiapkan adalah peta dasar pada wilayah kajian dengan tahap
sebagai berikut :
b. Pengorganisasian Layer
Setelah identifikasi feature geografi dan atribut maka langkah selanjutnya adalah
mengorganisasikan feature geografi kedalam layer data, Sejumlah faktor mempengaruhi
organisasi layer pada peta dan faktor ini berbeda untuk setiap peta tematik.
Dua pertimbangan yang sangat umum adalah pengorganisasian layer menurut jenis feature
(titik, garis atau poligon ) dan pengelompokan tematik feature. Feature dapat diorganisasi secara
tematik menurut tema yang akan disajikan. Sebagai contoh jalan raya dan jalan kereta api
dipisahkan pada layer yang berbeda, walaupun keduanya adalah feature garis namun
mempunyai atribut yang berbeda.
3. Kompilasi Data
Kompilasi dimaksud untuk melakukan pengumpulan dan penyesuaian data/peta untuk
memperoleh keragaman sistim dan georefrensinya
1. Bahan
Bahan yang digunakan yakni peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) sekala 1:25.000 dan hasil digitasi
Citraquickbird serta data-data hasil tim biodiversity
2. Peralatan
Peralatan yang digunakan yakni GPS, Komputer, Laptop, Printer serta sofware ArcGIS Dekstop
10.1
3. Personal Use
Personal yakni Tenaga surveyor terdiri dari tenaga pendamping dari UPT maupun tenaga lokal
(masyarakat) dan surveyor. Konsultasi tentang standar simbolisasi dengan PHKA Departemen
Kehutanan RI.
Pengolahan Data
1. Digitasi
Proses digitasi melalui tahapan sebagai berikut :
Parameter yang akan dikaliberasi terlebih dahulu adalah fuzzy tolerance dan dangle length
sedangkan weed tolerance harus ditentukan terlebih dahulu. Pelaksanaan digitasi akan dilakukan
dengan metode digit on screen yaitu dengan digitasi pada peta yang telah di scan dan
dimasukkan kedalam software ARCgis.
3. Editing
Langkah yang ditempuh dalam editing adalah :
a. Menentukan coverage yang berisi feature yang akan di edit
Feature yang akan di edit dipilih terlebih dahulu yaitu arc, node atau label. Setelah ditentukan,
jenis feature lainnya tidak dapat di edit sampai diberikan perintah editfeature dengan jenis
feature yang baru.
Edit pada dasarnya adalah proses menghapus, menambah, mengkopi atau memindahkan
feature tertentu. Agar dapat memberikan gambaran yang lebih baik, sebelum pelaksanaan edit,
lebih baik coverage di zoom-in.
b. Melakukan editing
menambah kekurangan digitasi arc
mengkoreksi over shoot
mengkoreksi undershoot
memperbaiki poligon terbuka
mengubah user ID yang salah
5. Pencetakan
Tahap ini merupakan tahap pembuatan peta dari data yang telah diolah dan dilukiskan atau
dicetak pada media hardcopy.
Dalam tahap ini dapat digunakan cara manual dengan menggunakan alat-alat yang
fungsional, namun cara ini sangat membutuhkan perhitungan dan ketelitian yang tinggi agar
didapat hasil yang baik.
Tahap ini akan lebih baik jika menggunakan teknik digital melalui komputer. Pencetakan peta
bisa menggunakan berbagai macam aplikasiapplikasi pembuatan peta yang mendukung,
misalnya ARC View, ARC Info, AutoCAD Map, Map Info, dan software lain.
Setelah peta tergambar pada komputer, kemudian data yang telah disimbolisasi dalam bentuk
digital dimasukkan dalam peta yang telah digambar pada komputer, pemberian informasi tepi,
dan kemudian dilakukan proses pencetakan peta dengan menggunakan printer wide format
(format lebar/plotter) atau printer ukuran biasa (A4, A3).
Bagian paling penting pada tahap ini adalah standarisasi simbol obyek berdasarkan peraturan
perundang-undang yang berlaku. Konsultasi dengan pihak PHKA (Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam) Departemen Kehutanan Republik Indonesaia menyangkut aturan pewarnaan
dan simbolisasi obyek adalah tahapan terpenting yang harus dilakukan.
Tahapan Kegiatan
tersebut dapat dijadikan sebagai peta tematik yang sesuai dengan keperluan Direktorat Kawasan
Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam .
Dalam membangun ada beberapa tahapan model database Geografi Informatiaon Sistem yakni :
Penentuan Entitas
Entitas didefinisikan sebagai bentuk geografis atau sebuah konsep yang ada dan dapat
dibedakan dari yang lainnya (unik) di dunia nyata. Suatu entitas terdiri dari beberapa atribut.
Model Logikal
Model logikal ini menjelaskan hubungan antar entitas dan unit kerja yang dipakai.
Hubungan entitas (entity relationship) untuk menghasilkan keterkaitan antar semua entitas
seperti halnya keadaan di dunia nyata. Hubungan entitas diatur dengan aturan bisnis
(enterprise rule) sehingga hubungan antara satu entitas dengan yang lainnva dan untuk
seluruh entitas mempunyai ketegasan keterkaitan. Penegasan tersebut berguna untuk
menyatakan obligator (harus ada) atau non obligator (tidak harus ada).
Model Fisikal
Model fiskal memperlihatkan tabel kerangka dengan atribut yang sesuai. Tabel kerangka
(skeleton tables) adalah alat bantu untuk menentukan kunci primer (primery key) dan kunci
tamu (foreign key) dari setiap entitas. Semua entitas dihubungkan dengan kunci primer dan
kunci tamu yang bersifat unik. Tahapan kompilasi data GIS disajikan pada Gambar 6 dibawah
ini:
Administrative, Jalan,
OVERLAY Sungai, Garis Pantai,
Danau, Titik Tinggi,
Perkampungan dan
Permukiman
2) Tahap Internal untuk habitat (habitat mapping) dan inventarisasi keanekaragaman hayati
(biodiversity inventory).
Tahap internal merupakan tahap dimana dari rancangan basis data dalam model data ER
diimplementasikan ke dalam tabel-tabel terstruktur pada perangkat lunak basis data
manajemen sistem (DBMS) yang diinginkan dan merupakan hasil dari pengumpulan data
masing-masing item di komponen satu nantinya akan berupa peta tematik (tematic map) .
Perangkat lunak yang dipilih harus dapat mengelola data spasial dan data atribut yang
mencangkup pemasukan data, editing data, updating data, pemeliharaan data serta
pemanggilan data dengan query. Query dapat didefinisikan sebagai suatu pertanyaan dimana
informasi yang terkandung di dalam basis data dapat menjawabnya.
Data PAT.dbf
(Hasil Overlay)
Ekspor / Import
Tidak Ditransfer
Mau
Transfer
Ditransfer
Proses
Import
Data PENCARIAN
Dbf
Eksport
1. Pencarian
Database
2. Query QUERY
History
3. Pelaporan
Import
PELAPORAN
Aplikasi dikemas kedalam bentuk yang mudah bagi pengguna (user friendly), informatif dan
menarik. Penyusunan desain aplikasi terlebih dahulu melalui konsultasi dengan tim teknis dan
dilaporkan perkembangannya paling tidak satu kali untuk mendapatkan masukan dan koreksi.
Aplikasi diujicoba dengan memasukkan data sehingga terbentuk basis data yang utuh selanjutnya
mencoba semua fasilitas yang disediakan oleh aplikasi yang telah dikembangkan. .
Seiring dengan pembuatan aplikasi disusun pula manual aplikasi, yang berisi petunjuk
pengoperasian aplikasi dan form/tabel database yang digunakan, sehingga diharapkan user tidak
mengalami kesulitan dalam mempelajari, memahami dan mengoperasikan aplikasi tersebut.
Keseluruhan rangkaian tahap pelaksanaan gis-cwmbc tertuang pada bagan alir tahap pengolahan
dan analisa data seperti gambar 8. berikut. Ini:
Laporan
Pendahuluan Hasil
Data yang tersedia
Pembahasan
di pusat dan
konsultan
Diskusi Intensif
Desain DataBase
Histtorical
Pembuatan
Aplikasi DataBase
Histtorical
Penyusunan
Manual Aplikasi
Salah satu hasil utama dalam pekerjaan manajemen konservasi dan program konservasi
keanekaragaman hayati adalah terbentuknya Sistem Informasi Manajemen (SIM), dari pemahaman
terhadap keinginan user tersirat bahwa, sistem informasi manajemen harus dapat memberikan value
added bagi mereka di masa sekarang dan mendatang.
Dalam proses pembuatan SIM tersebut membutuhkan kejelasan mengenai, format data, proses data,
serta informasi yang dihasilkan, dan seluruh deliverables yang dihasilkan harus di jelaskan
keterkaitannya dengan deliverables yang dihasilkan oleh Tenaga ahli lainnya, dengan demikian akan
terbentuk SIM yang tepat guna. (Lihat Gambar 9 dan Tabel 10, 11)
Nama Lampiran
Grup Deliverables Korelasi dengan
Tenaga berkas
komponen (data/analisis/informasi) deliverables TA lain
Ahli (berikan
(berikan kode)
kode)
Resum e Focus Group Discussion (FGD) dI Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango - Jum’at, 8 Februari 2013
1. Eksplorasi Permasalahan
Kawasan konservasi yang ada di BBTNGGP menurut asalnya dapat dibagi dua kawasan, yaitu:
Kawasan yang asli (± 15.000 Ha) dan Kawasan hasil penanaman pohon komersial (dulunya kawasan
perhutani seluas ± 7.000 Ha). Sistem Restorasi yang akan di laksanakan sebaiknya hasil
pengembangan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak TNGGP, diantaranya:
program adopsi pohon dan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
Makna restorasi yang lebih luas perlu di sampaikan pada stekholder maupun masyarakat sekitar
kawasan, sehingga kedepannya dapat dimengerti oleh semua pihak terutama para petugas dari
BBTNGGP yang di lapangan. Restorasi juga harus melihat dari sudut pengembangan Fauna, sehingga
dapat menunjang penyebaran fauna yang ada di daerah asal. Model Restorasi dapat dilaksanakan
pada berbagai kerusakan kawasan, dan dengan konsep yang sederhana dikembangkan oleh pihak
manajemen BBTNGGP.
Tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap kawasan, sehingga sampai sekarang masih
adanya gangguan terhadap kawasan, dimungkinkan untuk Restorasi di laksanakan pada kawasan
peralihan (dulunya kawasan Perhutani) dimana tanamannya merupakan tanaman komersial yang
nantinya akan diubah menjadi tanaman tanaman asli/lokal (endemik)
3) Pemilihan area yang akan di Restorasi di kawasan BBTNGGP di forum FGD belum ada kesepakan
yang tetap, karena: a). Kawasan yang rusak di BBTNGGP hampir 99% sudah dilaksanakan
program rehabilitasi antara lain: RHL, Adopsi pohon, Gerhan, b) Restorasi jangan samapai terjadi
tumpang tindih kegiatan dan pendanaan.
4) Kawasan konservasi di Desa Sukatani dalam forum FGD banyak di bicarakan karena terjadi
perambahan hutan untuk pertanian masyarakat setempat (lahan yang terbuka), faktor
penyebabnya antara lain:
a) Masyarakat Desa Sukatani, tidak punya lahan untuk pertanian --lahan mereka dijual di
bangun villa-villa dan lain-lain, sementara nilai komoditas pertanian al. cabe, cukup
mengiurkan.
b) Kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi sangat kurang, walaupun sudah ada
Per-Des (Peraturan Desa) mengenai lahan.
c) Kawasan yang termasuk pada Desa Sukatani sudah sebagian besar pernah masuk pada
program TNGGP seperti Gerhan dan RHL.
5) Jenis Fauna yang tersebar/yang ada di sekitar kawasan Sukatani yaitu: Owak Jawa, Surili, Macan
Kumbang, Macan Tutul.
6) Dari hasil diskusi ada beberapa masukan dari pihak BBTNGP, untuk pelaksanaan Restorasi
dilakukan di kawasan:
a) Kawasan asli yang Homogen (Mahoni)
b) Di bawah Kawasan perluasan yang sekarang berbenttuk hutan klimak tapi jenis komersial
(Pinus, damar)
c) Diarea kawasan kanan kiri sungai (KAKISU) yang termasuk DAS Citarum
d) Di kawasan yang sekarang di kuasai penggarap (petani)
e) Lahan perluasan yang sekarng terbuka tetapi 99% sudah terkena program rehabilitasi
7) Pola Restorasi yang di laksanakan bersama masyarakat (kolaborasi), menggunakan kriteria:
a) Harus berkelajutan
b) Singkron/sesuai dengan piak UPT
c) Dirancang untuk 5 tahun kedepan sebagai acuanpihak manajemen BBTNGP
d) Sistem monitoring dan pelaporan dibuat panduan jelas jika berhasil atau tidak berhasil diukur
dari apa.
8) Data yang dihasilkan dari Forum FGD selain dari lapangan berbentuk juga secara administrasi
mengenai Juknis-juknis Restorasi, adopsi pohon, RHL
Setelah melalui tahapan-tahapan: i) Koordinasi/Konsultasi, ii) FGD dengan staf BB TNGGP, iii)
Analisis spasial, dan iv) Orientasi Lapangan, prioritas Lokasi PPR/RL di kawasan konservasi
BBTNGGP adalah sebagai berikut:
Resum e FGD Di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Barat -Sabtu, 9
Februari 2013
1. Eksplorasi Permasalahan
(1) CA Burangrang
Kawasan CA Burangrang terjadi perambahan kawasan (Blok Ngagrak/Cikalong Wetan) sekitar 44
KK. Disekitar Blok Cikawari/Desa Pasirwangi, kerusakan hutan sekitar 200 ha dan di Blok Ciwedi
sekitar 34 ha. Masyarakat perambah kawasan umumnya petani penggarap, dan umumnya para
perambah adalah masyarakat yang tidak masuk dalam KTH program PHBM Perum Perhutani.
Kebutuhan kayu bakar tinggi, karena penggunaan gas LPJ belum sampai ke desa, sehingga
masyarakat mengambil kayu bakar dari kawasan CA Burangrang Kegiatan RHL telah dilakukan
sejak tahun 2007. Menjadi sasaran program “penurunan perambah” BBKSDA tahun 2013
f) Kolaborasi Managemen yang telah ada : Koperasi Wanadri (untuk Wisata Alam) dan
pengembangan model “Wali pohon” untuk rehabilitasi
hutan
g) Jenis satwa buru : Babi hutan
h) Aksesibilitas : Infrastruktur cukup memadai
i) Pendekatan restorasi : Rehabilitasi lahan dan Enrichment planting
j) Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat dengan GPS
k) MDK yg diusulkan : Berbasis Usaha Kehutanan Tanaman Produktif Cepat
Tumbuh/MPTS
l) Model RBM : Diusulkan menjadi prioritas model RBM dengan Kantor
Kepala Resort KSDA Masigit Kareumbi dipindahkan
berada di lokasi kawasan TB Masigit Kareumbi.
Acara : Dibuka oleh pak Deni (IC), Dilanjutkan dengan sambutan Kepala Balai TNGGP (Pak Hery)
kemudian diskusi (FGD).
3. Proses Diskusi
Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 9 Berikut ini:
6 Pak Adi (Kasi P3) • Sudah terdapat beberapa juknis di TNGGP (Juknis restorasi,
kajian satwa kunci, juknis adopsi pohon, renstra IAS, juknis
eradikasi IAS, masterplan MDK)
4. Resume
a. Lokasi demplot restorasi belum dapat dipastikan, harus dilakukan survey dulu ke lapangan
pada beberapa calon lokasi yang muncul dala FGD
b. Dari hasil FGD dapat diidentifikasi alternatif model restorasi yang dapat dikembangkan yaitu:
1. Restorasi hutan monokultur menjadi heterokultur
2. Restorasi berbasis alur sungai
3. Restorasi kelompok hutan tanaman komersial menjadi hutan konervasi
4. Restorasi hutan yang diocupasi pengaarap
5. Restorasi kawasan hutan yang memiliki masalah IAS
Acara : Dibuka oleh Pak Ambar (TL), dilanjutkan dengan sambutan Kepala BBKSDA (pak Joko).
Acara diskusi difasilitatori oleh pak Roby.
Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 10 berikut ini:
Tabel 10. Saran dan Masukan Pada Saat FGD di BBKSDA Jawa Barat
Acara FGD dibreak dengan ISOMA, kemudian dilanjutkan dengan diskusi khusus penentuan calon
lokasi demplot pada masing-masing wilayah (CA Burangrang, CA Gunung Tilu, dan TB M Kareumbi).
Narasumber dari BBKSDA adalah para Kepala Resort dan Kepala Seksi 3.
2. Resume
1. Dalam FGD tsb telah teridentifikasi beberapa calon lokasi demplot restorasi
2. FGD akan ditindaklanjuti dengan kegiatan observasi lapangan untuk memastikan lokasi
demplot
Bandung, 12 Februari 2013
TIM RESTORASI-CWMBC
Laporan Hasil Review Existing Program dan Kegiatan BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
Pada umumnya upaya rehabilitasi/restorasi kawasan TNGGP diakukan melalui pengembangan Model
Desa Konservasi (MDK). Upaya rehablitasi/restorasi di TNGGP lainnya adalah melalui program adopsi
pohon yang diprakarsai oleh yayasan Gedepahala.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di kawasan konservasi BKSDA Prov.
Jabar, antara lain :
(a) Pemberian bantuan teknis dan permodalan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan konservasi TB. Masigit Kareumbi (Desa Pangeurauan)
Kegiatan bantuan pemberdayaan masyarakat berupa :
- Pembinaan teknis
- Penandatangan dan pernyatan KPSA sebagai penerima bantuan
- serah terima bantuan (ternak domba 21 ekor, bibit jabon 5000 bibit untuk ditanam di lahan
masyarakat.
(b) Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi TB. Masigit Kareumbi (Desa
Panjiwangi, Kec. Tarogong, Kab. Garut)
Kegiatannya meliputi sebagai berikut:
(c) Bantuan teknis dan permodalan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan
konservasi CA/TWA Tangkuban Perahu.
Kedua: atau disebut kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong,
atau memotivasi agar individu memiliki kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Dalam prakteknya, pemberdayaan masyarakat menggunakan kedua proses tersebut secara simultan.
Kecenderungan primer dilakukan bersifat sementara sampai masyarakat memiliki kemampuannya
sendiri, selanjutnya lebih menekankan pada kecenderungan sekunder untuk memotivasi dan
mendorong individu untuk mengembangkan kapasitas.
Proses memberikan kemampuan dan kekuatan kepada masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat yang lebih tahu untuk memutuskan kebutuhannya dan masalah yang dihadapi. Strategi
bottom up dilakukan dengan perencanaan dimulai dari masyarakat, sehingga pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan akan berkelanjutan karena manfaat yang diterima masyarakat sesuai dengan
kebutuhanya. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan penguasaan pengetahuan dan teknologi
oleh masyarakat masih terbatas, sehingga hasil yang dicapai tidak maksimal.
Penerapan model pembangunan yang bersifat top down telah dinilai gagal karena hanya memberikan
keuntungan pada elit masyarakat yang jumlahnya terbatas dan kurang memberikan kesejahteraan
terhadap masyarakat luas. Sehingga kombinasi penerapan sretegi bottom up dan top down pada
suatu pembangunan akan dirasakan lebih bijaksana. Pemecahahan masalah dengan strategi bottom
up dilakukan melalui proses memahami kebutuhan masyarakat dan kemudian dituangkan pada
perencanaan bersama-sama masyarakat.
Kegiatan perencanaan bersama masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan
konservasi di wilayah BKSDA Jawa Barat ini yang perlu lebih mendapatkan perhatian, agar program
pengelolaan kawasan konservasi berjalan berkelanjutan dan mandiri.
Program ini bertujuan untuk menekan laju akses warga ke dalam kawasan konservasi. Adapun
program yang diusung dapat berupa aktivitas yang berkaitan dengan pengoptimalan potensi
SDA yang dimiliki oleh warga tanaman perkebunan, seperti tanaman kopi. Selain itu,
ditumbuhkembang-kannya usaha pengoptimalan SDA hayati untuk peningkatan pendapatan
warga desa. Juga pengoptimalan potensi kerajinan pembuatan sapu dan anyam-anyaman dari
bambu.
Jenis Vulkanik dan Plutonik (2 Ha), Andesit dan Basatl (2.889 Ha).
Status dan Luas Kepemilikan Lahan/Kepala keluarga (KK) Berdasarkan Komoditi Pertanian di Desa
Cihanjawar adalah sebagaimana Tabel 11 berikut ini:
3. Pengembangan MDK 1
Sebagian besar desa-desa di perbatasan TNGGP memiliki areal berhutan dengan mayoritas
penduduknya adalah petani dan buruh tani. Telah banyak program pengembangan Model Desa
Konservasi (MDK) di sekitar TNGGP antara lain:
a. MDK Berbasis RHLP
MDK berbasis RHLP dilaksanakan di Desa Sukatani Kabupaten Cianjur. Desa ini terletak di kawasan
penyangga TNGGP. Sekitar 11.057 jiwa memadati desa seluas 35.770 hektar. Sebagian besar
penduduk bekerja sebagai buruh tani dan pekerja, sebagian kecil adalah petani pemilik lahan dan
pedagang. Dari 25,5 hektar lahan desa, hampir separohnya adalah hutan.
Komoditas utama desa ini adalah sayuran seperti wortel, bawang daun, brokoli, kubis dan cabe.
Selain itu, masyarakat juga berternak ayam, kambing dan sapi. Dari sisi pendidikan, lebih dari
1 Soemarno. 2011. Model Desa Konservasi (MDK):Disarikan oleh Sumarno dari Beberapa Sumber. pslp-ppsub.
Wawancara Lapangan, Komponen_ 2, 2013.
50% penduduk Desa Sukatani pernah atau menamatkan pendidikan dasar, 10,43% yang pernah
sekolah hingga tingkat menengah dan hanya 2% yang melanjutkan ke pendidikan tinggi. Model
Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan lahan partisipatif di Desa Sukatani
adalah upaya untuk mengurangi tekanan laju pertumbuhan penduduk terhadap sumber daya alam
di kawasan TnGP seperti luasan hutan berkurang, mata air berkurang, tanah longsor serta
lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat.
Kelompok Tani Puspa lestari adalah sebuah kelembagaan lokal yang dibentuk oleh para
penggarap lahan milik bekas Program PhBm Perum Perhutani 2006 untuk memperbaiki kondisi
lahan dan hutan kritis di daerah penyangga kawasan TnGP dan DaS Cikundul.
Selama 2006-2008, Desa model Konservasi Sukatani bersama para pemangku kepentingan di
Kabupaten Cianjur dan Propinsi Jawa Barat berhasil melakukan: (1) Rehabilitasi hutan dan lahan
kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan Kawasan TNGGP; (2) Rehabilitasi hutan dan lahan
kritis seluas 50 hektar; (3) Membuat persemaian untuk 5.000 bibit pohon endemik; (4) Menanam
16,000 pohon di seluruh desa; (5) Pengembangan budidaya jamur, tanaman hias dan ternak
kelinci; (6) Kampanye lingkungan dan pengembangan pembiayaan alternatif bagi program RHLP
kepada pendaki Gunung Gede-Pangrango; dan (7) Penguatan kapasitas kelompok.
Forum masyarakat Peduli lingkungan (maRPElIn) adalah organisasi lokal yang mengembangkan
model desa konservasi ini di Kebon Peuteuy Desa Kebon Peuteuy, Kabupaten Cianjur. Desa Kebon
Peuteuy terletak di kawasan penyangga TNGGP. Sekitar 7.472 jiwa mendiami desa seluas
1.018,250 hektar. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani dan buruh tani. luasan hutan
di Kebon Peuteuy adalah 199 hektar, sedangkan lahan desa hanya 141 hektar.
Para petani Kebon Peuteuy sebagian besar bertanam tomat, buncis, cabe dan singkong. Ternak
unggas dan domba mendominasi usaha ternak Kebon Peuteuy. namun, pendapatan bulanan
petani dan buruh tani hanya berkisar Rp. 300.000 per bulan. Separoh jumlah penduduk desa ini
hanya tamat SD, sebagian kecil sekolah hingga tingkat menengah dan yang melanjutkan ke
pendidikan tinggi kurang dari 0,5%.
Model Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan lahan partisipatif di Desa Kebon
Peuteuy berupaya mengurangi tekanan laju pertumbuhan penduduk terhadap sumber daya alam
di kawasan TNGGP seperti hutan gundul, kekeringan, tanah longsor dan tidak subur, sulit mencari
mata pencaharian serta meningkatnya angka kemiskinan.
Selama perode tahun 2006-2008, berkat dukungan para pemangku kepentingan di Kabupaten
Cianjur dan Propinsi Jawa Barat, maRPElin (Masyarakat Peduli Lingkungan) berhasil melakukan:
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan Kawasan TNGGP; (2)
Pengembangan persemaian pohon endemik dan tanaman MPTS; (3) Budidaya jamur sebanyak
1.000 log; (4) Budidaya stek teh; (5) Peternakan domba sebanyak 15 ekor; (6) Pembuatan irigasi
desa sepanjang 200 meter; (6) Perbaikan jalan lintas desa dan jalan dusun sepanjang 800 meter;
dan (7) Penyediaan sarana air bersih sepanjang 500 meter.
Model Desa Konservasi ini fokus pada rehabilitasi lahan daerah tangkapan air beberapa sub DAS
Cimuncang-Cimandiri hulu dan perlindungan mata air Batu Karut di Cisarua. MDK ini secara umum
bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya air di kawasan TnGGP
seperti alih guna lahan tangkapan air menjadi lahan pertanian satu musim dan penggunaan lahan
yang bermasalah karena 90% lahan sudah dibeli orang dari luar desa.
Desa Cisarua terletak di kawasan penyangga TNGGP, di Kabupaten Sukabumi. Sekitar 6.940 jiwa
tinggal di desa seluas 767.448 hektar, yang separuhnya adalah tanah ladang. Sebagian besar
penduduk Cisarua adalah buruh tani. Komoditas utama desa ini adalah jagung, cabe dan singkong
serta rumput untuk pakan ternak sapi
Saat ini, warga Cisarua yang tergabung dalam Kelompok Tani “Kencana Wangi” melakukan
sekolah lapangan dalam upaya menindaklanjuti hal-hal berikut demi mengembalikan fungsi
daerah tangkapan air di Cisarua: (1) Kelompok Tani “Kencana Wangi” menjadi motor penggerak
rehabilitasi lahan; (2) Penyediaan lahan seluas total 98 hektar dari berbagai pihak di Cisarua untuk
rehabilitasi lahan; (3) Penyediaan 20.000 bibit pohon untuk rehabilitasi lahan; dan (4) Pembuatan
kesepakatan dan peraturan desa.
Sebagian besar masyarakat desa ini adalah buruh tani dan wiraswasta. Selain itu, mereka juga
memelihara ikan air tawar. Para petani banyak menanam buncis dan berternak domba untuk
tambahannya
Saat ini, warga Cinagara yang tergabung dalam Kelompok Tani Sari mekar berusaha
menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan ekonomi mereka
: (1) Rehabilitasi dan konservasi lahan melalui persemaian, penanaman, perawatan dan pola
tanam ramah lingkungan.; (2) Pelatihan pembuatan pupuk organik; (3) Budidaya ikan dan
tanaman buah produktif dan organik; (4) Peternakan kelinci dan domba; (5) Perbaikan sarana air
bersih dan sanitasi serta saluran pembuangan air; dan (6) Pengembangan wisata alam air Terjun
Cikaracak.
Sekitar 40% dari luas desa adalah lahan perkebunan, yang menjadi sumber kehidupan bagi 50%
petani dan buruh tani setempat. Komoditas utama desa ini adalah ubi jalar, talas, singkong, serta
sayuran. Banyak warga Cihanyawar juga hidup dari ternak unggas, kambing dan domba. namun,
hanya 14% dari penduduk setempat yang menikmati pendidikan dasar dan kurang dari 2%
meneruskan pendidikan ke tingkat menengah dan tinggi.
Saat ini, warga Cihanyawar yang tergabung dalam kelompok tani Cilondondong Jaya berupaya
menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan ekonomi mereka:
(1) Rehabilitasi lahan seluas 30 hektar di lahan perluasan TNGGP dengan 15.000 pohon rasamala,
puspa dan manglit; (2) Kesepakatan antara TnGGP dan Cilondondong Jaya untuk menggarap lahan
di kawasan TnGGP selama 3 tahun; dan (3) Komitmen untuk mengembangkan usaha ternak
kambing; dan (4) Budidaya tanaman obat kumis kucing.
4. Kolaborasi Stakeholders
Stakeholder yang pernah berpartisipasi dalam pengelolaan TNGGP adalah: Pengusaha, BUMN seperti
Perhutani Unit III Jabar Banten. Tokoh masyarakat Desa di sekitar TNGGP, NGO (missal Environment
Service Program/ESP (USAID), KTH (Puspa Lestari, Kencana Wangi, Cilondongdong, Sari Mekar), LSM
lokal (maRPELin), perguruan tinggi (ITB, IPB), Dirjen PHKA, Balai Besar TNGGP, Litbang Kehutanan
dan lembaga riset lainnya.
Beberapa hasil litbang yang terkait dengan program dan pengelolaan di TNGGP, disajikan pada Tabel
12 berikut ini:
1 Pola Umum Gangguan Hutan di Bona Insani’s 2000 Jenis-jenis gangguan di TNGP
TNGGP Maylan seperti pencuria, perburuan
DwiEkawati liar, penebangan liar,
penyerobotan lahan dan
kebakaran hutan
2 Intensitas dan motivasi Aris Sudomo dan 2008 Kondisi sosek masyarakat di
masyarakat dalam M. Siarudin sekitar TNGGP
pengambilanTumbuhan hutan Gangguan TNGGP akibat
secara ilegal di seksi konservasi pengambilan tumbuhan secara
wilayah II Taman nasional illegal
gunung gede pangrango
3 Analisis Konflik Areal Eks Eka Ratna Juwita 2007 Para pihak (stake holder) yang
Tumpangsari Perhutanidi Karsodi sering terlibat dengan masalah
wilayah Perluasan TNGGP konflik sosial di TNGGP
4 Panduan Mengenal Satwa Anton Ario 2010 Identifikasi jenis-jenis satwa di
TNGGP TNGGP
5 Inventarisasi Jenis Barkah Ilham 2006 Identifikasi jenis-jenis
Keanekaragaman Jenis Purnawan tumbuhan di TNGGP
Tumbuhan di TNGGP
6 Bentuk-Bentuk danIntensitas Kusnanto, K. 2000 Jenis –jenis gangguan manusia
Gangguan Manusia PadaDaerah di daerah perbatasan TNGGP
Tepi Kawasan TNGGP
7 Tingkat PartisipasiMasyarakat Sylfiani , D. 2004 Tingkat partisipasi masyarakat
dalam Menjaga Kelestarian di sekitar TNGGP
kawasan TNGGP
1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687);
2 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3760);
1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan;
2 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999
Tarif jasa lingkungan (environmental service) rekreasi ke Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut ditetapkan besarnya 2:
Rp 1.000-2.000 untuk Taman Wisata Alam,
Rp 1.500-3.000 untuk Taman Buru, Rp 1.000-2.500 untuk Taman Nasional per orang.
Rp 3.000-20.000 untuk wisatawan asing (mancanegara)
3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk
Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen
Kehutanan
4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan
Hutan
Pasal 2:
Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Pasal 3:
1. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat dilakukan di
dalam:
a. kawasan hutan produksi; dan/atau
b. kawasan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan
jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
2 Analisis : Laporan Monev PNBP Semester II Ingkup Balai Besar KSDA Jawa Barat Tahun 2011, BBKSDA Jawa Barat 2012
1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di
Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan. PP ini mengatur jasa lingkungan al. sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan berasal dari penerimaan Uji Udara Emisi,
Uji Udara Ambien, Uji Kebisingan, Uji Air dan Limbah Cair, Uji Limbah Padat dan Biologi,
serta Uji Karakteristik Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
(3) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) yang belum tercakup dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini akan disusulkan
sebagaibagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini dan pencantumannya
dilakukandengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
1. Pasal 7 UU Sumberdaya Air meng-katagorikan hak dalam air: Hak guna air dapat berupa hak
guna pakai air dan hak guna usaha air.
2. Pasal 1 angka 15: Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
3. Pasal 9 ayat (1): Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan
usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 80:
1. Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
2. Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung biaya
jasa pengelolaan sumber daya air.
3. Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-
jawabkan.
4. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis
penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi
kelompok pengguna dan volume penggunaan sumberdaya air.
5. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis penggunaan
nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
6. Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari para
pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
7. Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Pasal 13:
2. Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional.
Dewan Sumber Daya Air Nasional merupakan wadah koordinasi antar para pemilik kepentingan
sumber daya air tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.
Kesimpulan: Jasa lingkungan air tidak termasuk yang diatur dalam aturan PNBP diatas dan sektor-
sektor lain (luar Kehutanan).
DISKUSI
ISSUE:
1. Apakah pembayaran jasa lingkungan air perlu diatur oleh pemerintah (mandatory)? Ataukah
cukup dengan sukarela antara “pemakai” dan “penghasil” jasa lingkungan tersebut
(voluntary). Jawaban secara common sense adalah:
apakah masyarakat dapat mengatur diri mereka sendiri dengan adil dalam pemakaian dan
penggunaan air (dengan rujukan: pasal 33 UUD 1945), dan
apakah kepentingan pemerintah tidak dirugikan bila tidak mengaturnya? (untuk berbagai
keperluan, membangkitkan tenaga listrik, contohnya).
2. Prinsip dari “public good”: pemanfaatan oleh satu pihak dari masyarakat (terhadap air) tidak
boleh menyebabkan masyarakat lain tidak dapat memanfaatkannya.
3. Terhadap air sebagai “common pool resources” atau sebagai public good, privatisasi dan
pengaturan oleh Pemerintah pusat bukanlah satu-satunya cara dalam mengatur
pemanfaatannya (OECD).
Voluntary Mandatory
1. didasari oleh kesadaran saling memerlukan didasari oleh kepentingan pemerintah untuk
dalam urusan pemanfaatan jasa lingkungan, menjaga keberlanjutan fungsi
dari pihak-pihak yang menyepakati (melestarikan) sumberdaya air untuk
kepentingan masyarakat dan
2. Pihak-pihak: penghasil jasa air-pemanfaat Pihak-pihak: Pemerintah-pemanfaat jasa
lingkungan (beneficiary)
3. Bisa berbentuk pembayaran secara moneter Dengan prinsip untuk kemakmuran rakyat,
ataupun imbal balik, atau lainnya sesuai pemanfaat SDA dapat diwajibkan
yang disepakati. membayar sebagaimana sumberdaya alam
lainnya (hutan, contohnya)
4. Bersifat mengikat secara hukum kedua Kewajiban membayar bersifat wajib karena
pihak bila telah berada dalam kesepakatan. ditetapkan dengan peraturan yang
mengikat (binding) (sebagaimana
kewajiban pajak)
Attachement 4: Hasil Review Desa Calon MDK di Wilayah Kerja BBKSDA Jawa
Barat dan BBTNGGP
Dari hasil FGD dengan petugas BBTNGGP, usulan Desa Sindangjaya untuk calon MDK dari Consultan
Firm (CF) yang sesuai dengan hasil Laporan Akhir Program Investasi Pengelolaan Sumberdaya DAS
Citarum Terpadu (ADB TA 4381) Konservasi Keanekaragaman hayati), diminta untuk diganti oleh Desa
Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
1. 100 % kawasan penyangga dan + 400 Ha digarap oleh petani, dengan komoditi sayuran
(hortikultura) tidak ada pohon tegakan (tanaman keras) sama sekali.
2. Lokasi meliputi 4 kampung dan jumlah penggarap sekitar 396 kk
3. Kepemilikan lahan petani umumnya sempit
4. Upaya rehabilitasi melalui program “Gerhan” gagal kegagalannya disebabkan pengrusakan
oleh para petani dengan perlakuan tidak sesuai kaidah konservasi terhadap pohon hingga “
merana” dan mati.
5. Berpotensi tumbuhnya konflik sosial dengan masyarakat desa sebelahnya yang berada
di”bawah”nya, karena pernah mengalami longsor yang merenggut nyawa. mereka
menuntut agar lahan garapan segera ditutup karena diduga menjadi penyebab terjadinya
longsor di bagian hilir. untuk sementara berhasil didamaikan oleh Petugas BBTNGGP.
6. Berbagai kegiatan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat sudah sering dilakukan, tapi
belum mampu mengubah perilaku dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi
keanekaragaman hayati dan fungsi hutan lainnya.
7. Kelembagaan Petani sudah terbentuk, namun pada umumnya belum memiliki program
kegiatan / action-plan untuk upaya rehabilitasi & konservasi di lahan di kawasan Penyangga
secara sungguh-sungguh.
Profil Desa sukatani Kacamatan Pacet Hasil FGD dan Observasi Lapangan
1. Geografis: Lokasi Desa Sukatani berada di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan termasuk
kawasan penyangga Taman N)asional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Lokasi desa dapat
dicapai melalui Cibodas dan Cipanas.
2. Struktur dan Kultur:
• Struktur dan stratifikasi sosial berbasis agraris, lahan sempit dan buruh.
• Masyarakat terdiri dari kultur Sunda dan beragama Islam.
• Terdapat 4 unit Sekolah dasar (SD), dan 2 unit Sekolah Menengah Pertama (SMP).
• Seluruh petani penggarap telah membentuk 2 (dua) elompok tani, yaitu Kelompoktani
MMH (Masyarakat Membangun Hutan) trerdiri + 270 KK tani dan kelompok tani Puspa
Lestari terdiri dari + 22 KK. Tani. Kedua kelompok tani ini terbagi menjadi 46 sub
kelompok tani.
• Selain kelompok tani di desa juga sudah terbentuk kelembagaan lainnya, yaitu :MMP
(Masyarakat Mitra Polhut), MPA (Masyarakat Peduli Api), dan ada kelompok volunteer
sebanyak 20 orang yang terdiri dari para pemuda.
3. Pola-pola Adaptasi Ekologi: Sekitar 396 KK masyarakat desa Sukatani menggarap 400 Ha
Kawasan Penyangga TNNGP yang semula dikelola Perum Perhutani. Saat ini digunakan
sebagai lahan pertanian sayuran hortikultura.
4. Aksi-Aksi Kolektif: Berdasarkan hasil FGD diperoleh informasi bahwa seluruh petani penggarap
telah membentuk 2 kelompok tani, yaitu kelompok tani MMH (Masyarakat Membangun Hutan)
beranggotakan + 270 KK tani dan kelompok tani Puspa Lestari beranggotakan + 22 KK. Tani.
Kedua kelompok tani ini terbagi menjadi 46 sub kelompoktani. Data yang lebih detail ada
dalam lampiran. Selain kelompoktani di desa juga sudah terbentuk kelembagaan lainnya,
yaitu :MMP (Masyarakat mitra Polhut), MPA (Masyarakat Peduli Api), dan ada kelompok
volunteer sebanyak 20 orang yang terdiri dari para pemuda
5. Isu-isu terkait dengan keanekaragaman hayatii: Hampir seluruh lahan di kawasan penyangga
ditanami tanaman sayuran (kubis, wortel, bawang daun dll.), sedangkan sisanya kurang dari
10% terdiri dari semak belukar, dan tidak ada tegakan sedikitpun. Bila hal ini dibiarkan terus
maka dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya longsor dan sedimentasi pada sungai
Citarum. Berpotensi tumbuhnya konflik sosial dengan masyarakat desa sebelahnya yang
berada di”bawah”nya, karena pernah mengalami longsor yang merenggut nyawa. mereka
menuntut agar lahan garapan segera ditutup karena diduga menjadi penyebab terjadinya
longsor di bagian hilir. untuk sementara berhasil didamaikan oleh Petugas BBTNGGP. Data
lahan calon penanaman Resort Gunung Putri, data monografi Desa Sukatani dan data
perambahan per Blok di TNGGP tersaji pada Tabel 15, 16, 17 berikut ini:
Tabel 15. Data Lahan Terbuka/Calon Penanaman Resort Gunung Putri Tahun 2013
Tabel 16. Kependudukan, Pendidikan dan Program yg telah Masuk ke Desa Sukatani
Tahun Koordinat
No Blok/Desa Ketinggian(Mpdl)
Masuk Keluar X Y
1 Blok Bobojong / Sindangjaya 2001 - 721325 9252716 1636
721153 9252498
721359 9252677
2 Blok Tanggeuk / Sukatani 2001 - 720603 9251719 1852
720917 9251648 1854
721360 9251816 1728
721713 9252254 1658
3 Blok Cipendawa / Cipendawa 2001 - 722048 9252373 1592
722044 9252303 1560
- 721569 9251948 1698
4 Blok Tanah Merah / Sukatani 2001 - 721438 9251633 1783
721492 9251329 1797
721603 9251364 1809
721728 9251614 1720
5 Blok Pasir Pogor / Cipendawa 2001 - 721748 9251103 1824
721756 9251242
- - 721795 9251284 1781
721835 9251236 1761
- - 722232 9251406 1694
722488 9251620 1621
721728 9251614 1720
6 Blok M. upah / Ciherang 2001 - 722154 9251513 1689
722488 9251620 1621
722631 9251778 1577
722612 9251858 1544
722896 9251930 1498
722870 9251978 1512
722414 9251887 1594
7 Blok Ciguntur / Ciherang 2001 - 724106 9252446 1343
724158 9252521 1317
724166 9252555 1337
721728 9251614 1720
1. M odel Desa K onservasi untuk Rehabilitasi K aw asan dan P enyangga dengan Jenis
P ohon Endem ik dan Budidaya di Tam an Buru M asigit K areumbi
Target Desa: Desa Sindulang
Geografis: Desa berbukit, tidak berbatu, dan lahan subur. Berbatasan langsung
dengan Kawasan TBMK. Bahkan terdapat kampung di dalam kawasan (enclave) yaitu
Kampung Cigumentong.
Struktur dan Kultur: Struktur dan stratifikasi sosial masyarakat berbasis sumberdaya
agraria, yakni lahan pertanian dan kehutanan. Tingkat pendidikan masyarakat relatif
rendah. Pola-pola kebudayaan masyarakat dikonstruksikan berdasarkan sistem norma
dan nilai tradisi Sunda dan Agama Islam.
Aksi-Aksi Kolektif: Rancangan warga desa untuk membangun Kampung Wisata, micro-
hydro berkolaborasi dengan Yayasan Mandiri dan LSM Wanadri.
Isu-isu terkait dengan kehati: Penggunaan sumberdaya hutan terutama kayu bakar
sangat tinggi (bahkan cenderung terus meningkat untuk tujuan komersial). Kebakaran
hutan sering terjadi karena ulah masyarakat. Kegiatan konservasi tanah dan air tidak
dilakukan konsisten Perubahan dari status kawasan dari Hutan Produksi (Perum
Perhutani) menjadi kawasan konservasi (BBKSDA Jawa Barat).
Kegiatan: (1) Pengembangan usaha ekonomi produktif (penanaman pohon aren dan
jasa lingkungan wisata); (2) Pelestarian sumberdaya tanah dan air; (3) Pengembangan
masyarakat dan kelembagaan; (4) Peningkatan peran petugas BBKSDA JAwa Barat
sebagai pendamping masyarakat bukan hanya sebagai polisi kehutanan.
2. M odel Desa K onservasi untuk P engembangan K ebun Rakyat untuk M enunjang
K ehati di CA Burangrang
Target Desa: Desa Cihanjawar Kp. Gunung Bakti + 130 KK dan Kp. Pasir Banteng + 70
KK
Struktur dan Kultur: Sumberdaya agraris merupakan basis struktur sosial dan
strtatifikasi komunitas desa. Kepemilikan lahan warga Desa Cihanjawar tergolong kecil.
Rata-rata kepemilikan lahan warga kurang dari 0,5 ha bahkan ada warga yang tidak
memilikinya. Sistem norma dan nilai berbasis pada tradisi Sunda dan Agama Islam.
Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi dan ketergantungan masyarakat dengan kawasan
cagar alam sangat tinggi mulai dari pemanfaatan lahan di sekitar perbatasan kawasan,
penggunaan kayu dan kayu bakar maupun sumberdaya lainnya.
Aksi-Aksi Kolektif: Secara umum kelembagaan di desa (KTH, P3A, Kelompok Tani,
Bumdes) sekitar kawasan cagar alam Burangrang masih belum kuat dan optimal;
Tidak adanya kegiatan kelompok tani. Kelompok tani walaupun besar irisannya dengan
masyarakat tetapi manfaatnya cenderung rendah; dan BBKSDA Jawa Barat juga
menggulirkan program pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH).
Isu-isu terkait dengan kehati: a). Konflik perebutan air kerap kali muncul baik sesama
warga maupun dengan warga luar desa. Hal ini diperparah dengan belum adanya tata
aturan pembagian air baik di aras dusun maupun desa. b). Perambahan hutan + 5 ha
oleh +. 10 orang penduduk
kegiatan: (1) Pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH); (2)
Memberikan bantuan berupa paket ternak kambing bergulir; (3) Bantuan bibit pohon
yang bisa dimanfaatkan KTH sebagai stimulus bagi kegiatan kelompok.
• Struktur dan Kultur: Struktur dan pelapisan sosial masyarakat berbasis agraris, yakni
budidaya hortikultura dan kehutanan. Kepemilikan lahan masyarakat secara umum
sangat sempit Pendidikan formal penduduk desa rata-rata tamat SD. Pola-pola
kebudayaan masyarakat berdasarkan tradisi Sunda dan pengaruh Agama Islam.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi antara masyarakat dengan hutan cukup kuat, hal
ini terlihat telah terjadi perambahan untuk tumpang sari pada area cagar alam seluas
10 ha oleh + 40 orang
• Isu-isu terkait dengan kehati: Erosi yang disebabkan pola pertanian hortikultura
mempengaruhi penurunan kesuburan lahan dan kekeruhan air. Budidaya hortikultur
yang di masyarakat berdampak pada merebaknya praktek tumpangsari pada program
Perhutani (PHBM). Hal ini berdampak pada praktek perambahan kawasan cagar alam
dengan memperlebar area tumpang sari masuk ke kawasan (majusi, maju ka sisi).
Mulai terjadi perebutan air karena sumber mata air mulai berkurang.
Usulan kegiatan: (1) Membangun Bank Benih; (2) Penyediaan modal usaha produktif;
(3) Rehabilitasi hutan bersama masyarakat (partisipatif); (4) Koordinasi antara KTH-
PSDH, pihak desa dan BBKSDA Jawa Barat.
4. M odel Desa K onservasi untuk P engembangan P ohon Sumber K ayu Bakar dan
Bahan Arang di CA Gunung Tilu
• Target Desa: Desa Mekarsari
• Geografis: Desa Mekarsari merupakan lokasi terdekat dengan kawasan hutan Cagar
Alam Gunung Tilu. Berlokasi di kawasan enclave yang dikelilingi oleh kawasan hutan
lindung Perum Perhutani, kawasan perkebunan teh dan kawasan cagar alam.
• Wilayah di desa Mekarsari terdiri dari kawasan pertanian adalah 1049 Ha, kawasan
hutan lindung 5000 ha, kawasan hutan produksi 1200 ha dan kawasan perkebunan teh
600 ha. Jumlah penduduk adalah 5.223 jiwa dengan perincian 2.553 laki laki dan 2.670
perempuan.
• Struktur dan Kultur: Struktur dan kultur masyarakat di Desa Mekarsari sangat
dipengaruh oleh dinamika perkebunan teh dan aktivitas hutan produksi. Status sosial
masyarakat sebagai pekerja atau buruh perkebunan mendominasi proses-proses sosial
masyarakat. Tingkat pendidikan formal masyarakat relatif rendah (mayoritas)
pendidikan SD. Tradisi Sunda dan pengaruh Agama Islam mempengaruhi pola-pola
kebudayaan masyarakat setempat.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Masyarakat memiliki nilai tradisi dalam melestarikan hutan,
dimana setiap tahun ada ritual memberi-kan sedekah bumi bagi hutan serta melakukan
penanaman terhadap kawasan hutan yang rusak.
• Kasus-kasus penebangan liar terjadi terutama pada masa krisis ekonomi tahun 1998,
dimana tekanan terhadap hutan dikarenakan tekanan kemiskinan. Namun tekanan itu
menurun ketika masyarakat mulai mendapatkan akses terhadap pengelolaan hutan
melalui Perum Perhutani dengan penanaman kopi.
• Ketika akses masyarakat terhadap kawasan hutan dibuka dengan skema perjanjian
kerja bagi hasil dalam penanaman kopi dan rumput gajah maka hutan cenderung mulai
membaik.
• Isu-isu terkait dengan kehati: merupakan salah satu wilayah sumber tekanan yang
cukup tinggi terhadap kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Pada tingkat lapangan yang
terjadi respon masyarakat terhadap pola bagi hasil dan kerjasama perhutani dimana
bagi hasil dianggap masih kurang menguntungkan masyarakat, sementara Perhutani
hanya memberikan ijin lahan tanpa memberikan pendampingan teknis produksi sampai
pemasaran termasuk aspek permodalan. Masalah yang paling sering muncul adalah
ketidakjelasan tata batas antara hutan lindung perhutani dan kawasan cagar alam.
Ketidakjelasan tersebut bisa mengakibatkan masyarakat masuk ke kawasan cagar alam
karena ketidaktauan mereka.
• Kegiatan: (1) Pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam sebagai alternatif peningkatan
pendapatan seperti tanaman obat dan buah buahan; (2) Pengembangan pola
kerjasama masyarakat dengan Perhutani; (3) Pengembangan potensi biogas; (4)
Implementasi mekanisme pembayaran untuk kelestarian kawasan daerah tangkapan
air; (5) Pengalokasian areal kawasan untuk cadangan kayu bakar menjadi penting.
Pengembangan areal kawasan tidak hanya pada hutan namun bisa pada areal
perkebunan dan kampung.
Lampiran 2 :
1. Eksplorasi Permasalahan
Kawasan konservasi yang ada di BBTNGGP menurut asalnya dapat dibagi dua kawasan,
yaitu: Kawasan yang asli (± 15.000 Ha) dan Kawasan hasil penanaman pohon komersial
(dulunya kawasan perhutani seluas ± 7.000 Ha). Sistem Restorasi yang akan di laksanakan
sebaiknya hasil pengembangan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak
TNGGP, diantaranya: program adopsi pohon dan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL)
Makna restorasi yang lebih luas perlu di sampaikan pada stekholder maupun masyarakat
sekitar kawasan, sehingga kedepannya dapat dimengerti oleh semua pihak terutama para
petugas dari BBTNGGP yang di lapangan. Restorasi juga harus melihat dari sudut
pengembangan Fauna, sehingga dapat menunjang penyebaran fauna yang ada di daerah
asal. Model Restorasi dapat dilaksanakan pada berbagai kerusakan kawasan, dan dengan
konsep yang sederhana dikembangkan oleh pihak manajemen BBTNGGP.
a) Masyarakat Desa Sukatani, tidak punya lahan untuk pertanian --lahan mereka dijual
di bangun villa-villa dan lain-lain, sementara nilai komoditas pertanian al. cabe, cukup
mengiurkan.
b) Kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi sangat kurang, walaupun
sudah ada Per-Des (Peraturan Desa) mengenai lahan.
c) Kawasan yang termasuk pada Desa Sukatani sudah sebagian besar pernah masuk
pada program TNGGP seperti Gerhan dan RHL.
5) Jenis Fauna yang tersebar/yang ada di sekitar kawasan Sukatani yaitu: Owak Jawa,
Surili, Macan Kumbang, Macan Tutul.
6) Dari hasil diskusi ada beberapa masukan dari pihak BBTNGP, untuk pelaksanaan
Restorasi dilakukan di kawasan:
a) Kawasan asli yang Homogen (Mahoni)
b) Di bawah Kawasan perluasan yang sekarang berbenttuk hutan klimak tapi jenis
komersial (Pinus, damar)
c) Diarea kawasan kanan kiri sungai (KAKISU) yang termasuk DAS Citarum
d) Di kawasan yang sekarang di kuasai penggarap (petani)
e) Lahan perluasan yang sekarng terbuka tetapi 99% sudah terkena program
rehabilitasi
7) Pola Restorasi yang di laksanakan bersama masyarakat (kolaborasi), menggunakan
kriteria:
a) Harus berkelajutan
b) Singkron/sesuai dengan piak UPT
c) Dirancang untuk 5 tahun kedepan sebagai acuanpihak manajemen BBTNGP
d) Sistem monitoring dan pelaporan dibuat panduan jelas jika berhasil atau tidak
berhasil diukur dari apa.
8) Data yang dihasilkan dari Forum FGD selain dari lapangan berbentuk juga secara
administrasi mengenai Juknis-juknis Restorasi, adopsi pohon, RHL
R esum e FGD Di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa
Barat -Sabtu, 9 Februari 2013
1. Eksplorasi Permasalahan
(1) CA Burangrang
Kawasan CA Burangrang terjadi perambahan kawasan (Blok Ngagrak/Cikalong Wetan)
sekitar 44 KK. Disekitar Blok Cikawari/Desa Pasirwangi, kerusakan hutan sekitar 200 ha
dan di Blok Ciwedi sekitar 34 ha. Masyarakat perambah kawasan umumnya petani
penggarap, dan umumnya para perambah adalah masyarakat yang tidak masuk dalam
KTH program PHBM Perum Perhutani. Kebutuhan kayu bakar tinggi, karena penggunaan
gas LPJ belum sampai ke desa, sehingga masyarakat mengambil kayu bakar dari
kawasan CA Burangrang Kegiatan RHL telah dilakukan sejak tahun 2007. Menjadi
sasaran program “penurunan perambah” BBKSDA tahun 2013
penanaman jenis Pinus (80% dari luas TB MK), dan Puspa. Di TB MK tidak ada
perambahan hutan.
Acara : Dibuka oleh pak Deni (IC), Dilanjutkan dengan sambutan Kepala Balai TNGGP (Pak
Hery) kemudian diskusi (FGD).
3. Proses Diskusi
Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 9 Berikut ini:
6 Pak Adi (Kasi P3) • Sudah terdapat beberapa juknis di TNGGP (Juknis restorasi,
kajian satwa kunci, juknis adopsi pohon, renstra IAS, juknis
eradikasi IAS, masterplan MDK)
• Masalah nomenalatur harus diluruskan (apakah restorasi atau
rehabilitasi)
• Dalam restorasi perlu ada ekosistem referensi,
• Perlu identifikasi jenis vegetasi kunci dan satwa kunci, kelemahan
selama ini pemilihan jenis bibit tidak dikorelasikan dengan satwa
yang menjadi agen penyebarannya.
• Sistem zonasi TNGGP sudah disahkan th 2011, kegiatan restorasi
harus ditempatkan di zona rehabilitasi sekuas 4.500 ha
• Renstra IAS sudah dievaluasi selama 5 tahun serta sudah
menghasilkan juknis eradikasi IAS
• IAS sangat responsif terhadap bukaan tajuk (gap)
• IAS yang paling berbahaya konyal dan pisang kole (pisang kole
sering muncul dengan pohon kibima)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-41
Lampiran-2
4. Resume
a. Lokasi demplot restorasi belum dapat dipastikan, harus dilakukan survey dulu ke
lapangan pada beberapa calon lokasi yang muncul dala FGD
b. Dari hasil FGD dapat diidentifikasi alternatif model restorasi yang dapat
dikembangkan yaitu:
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-42
Lampiran-2
Acara : Dibuka oleh Pak Ambar (TL), dilanjutkan dengan sambutan Kepala BBKSDA (pak
Joko). Acara diskusi difasilitatori oleh pak Roby.
Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 10 berikut ini:
Tabel 10. Saran dan Masukan Pada Saat FGD di BBKSDA Jawa Barat
perlu dibuat model, mengapa dalam project ini tidak menjadi prioritas
• Secara tekanis merestrasi kawasan sudah lengkap, justru yang lebih
penting adalah bagaimana merekayasa masyarakatnya
7 Pak Dwi • Th 2011 telah menyusun Rencana RHL, yang mengacu ke RTk RHL
Citarum dan Cimanuk
• BBKSDA telah menyusun RTn (rencana Tahunan) RHL 2011-2015,
yang ditargetkan kepada areal sangat kritis dan kritis
• CA Burangrang: 59,61 ha kritis
• CA Gunung Tilu : 42,32 ha sangat kritis
• CA Kareumbi : wil Cimanuk 44 ha sangat kritis, 396,7 ha kritis; Wil
Citarum: 602 ha sangat kritis, 6,29 ha kritis
• Rehabilitasi di Kareumbi telah dilakukan melalui Gerhan sejak tahun
2003 sekitar 2.000 ha.
Acara FGD dibreak dengan ISOMA, kemudian dilanjutkan dengan diskusi khusus penentuan
calon lokasi demplot pada masing-masing wilayah (CA Burangrang, CA Gunung Tilu, dan TB
M Kareumbi). Narasumber dari BBKSDA adalah para Kepala Resort dan Kepala Seksi 3.
2. Resume
1. Dalam FGD tsb telah teridentifikasi beberapa calon lokasi demplot restorasi
2. FGD akan ditindaklanjuti dengan kegiatan observasi lapangan untuk memastikan
lokasi demplot
Laporan Hasil Review Existing Program dan Kegiatan BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP
(c) Bantuan teknis dan permodalan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan konservasi CA/TWA Tangkuban Perahu.
Kegiatannya meliputi sebagai berikut:
Perencanaan :
- Pengumpulan Data
- Penyusunan rancangan
- Pembagahan rancangan
Jenis Vulkanik dan Plutonik (2 Ha), Andesit dan Basatl (2.889 Ha).
3. Pengembangan MDK 1
Sebagian besar desa-desa di perbatasan TNGGP memiliki areal berhutan dengan mayoritas
penduduknya adalah petani dan buruh tani. Telah banyak program pengembangan Model
Desa Konservasi (MDK) di sekitar TNGGP antara lain:
a. MDK Berbasis RHLP
MDK berbasis RHLP dilaksanakan di Desa Sukatani Kabupaten Cianjur. Desa ini terletak di
kawasan penyangga TNGGP. Sekitar 11.057 jiwa memadati desa seluas 35.770 hektar.
Sebagian besar penduduk bekerja sebagai buruh tani dan pekerja, sebagian kecil adalah
petani pemilik lahan dan pedagang. Dari 25,5 hektar lahan desa, hampir separohnya
adalah hutan.
Komoditas utama desa ini adalah sayuran seperti wortel, bawang daun, brokoli, kubis dan
cabe. Selain itu, masyarakat juga berternak ayam, kambing dan sapi. Dari sisi pendidikan,
lebih dari 50% penduduk Desa Sukatani pernah atau menamatkan pendidikan dasar,
10,43% yang pernah sekolah hingga tingkat menengah dan hanya 2% yang melanjutkan
ke pendidikan tinggi. Model Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan
lahan partisipatif di Desa Sukatani adalah upaya untuk mengurangi tekanan laju
pertumbuhan penduduk terhadap sumber daya alam di kawasan TnGP seperti luasan
hutan berkurang, mata air berkurang, tanah longsor serta lemahnya kemampuan
ekonomi masyarakat.
Kelompok Tani Puspa lestari adalah sebuah kelembagaan lokal yang dibentuk oleh para
penggarap lahan milik bekas Program PhBm Perum Perhutani 2006 untuk memperbaiki
kondisi lahan dan hutan kritis di daerah penyangga kawasan TnGP dan DaS Cikundul.
1
Soemarno. 2011. Model Desa Konservasi (MDK):Disarikan oleh Sumarno dari Beberapa Sumber. pslp-ppsub.
Wawancara Lapangan, Komponen_ 2, 2013.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-49
Lampiran-2
Para petani Kebon Peuteuy sebagian besar bertanam tomat, buncis, cabe dan singkong.
Ternak unggas dan domba mendominasi usaha ternak Kebon Peuteuy. namun,
pendapatan bulanan petani dan buruh tani hanya berkisar Rp. 300.000 per bulan.
Separoh jumlah penduduk desa ini hanya tamat SD, sebagian kecil sekolah hingga
tingkat menengah dan yang melanjutkan ke pendidikan tinggi kurang dari 0,5%.
Model Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan lahan partisipatif di
Desa Kebon Peuteuy berupaya mengurangi tekanan laju pertumbuhan penduduk
terhadap sumber daya alam di kawasan TNGGP seperti hutan gundul, kekeringan, tanah
longsor dan tidak subur, sulit mencari mata pencaharian serta meningkatnya angka
kemiskinan.
Saat ini, warga Cisarua yang tergabung dalam Kelompok Tani “Kencana Wangi”
melakukan sekolah lapangan dalam upaya menindaklanjuti hal-hal berikut demi
mengembalikan fungsi daerah tangkapan air di Cisarua: (1) Kelompok Tani “Kencana
Wangi” menjadi motor penggerak rehabilitasi lahan; (2) Penyediaan lahan seluas total 98
hektar dari berbagai pihak di Cisarua untuk rehabilitasi lahan; (3) Penyediaan 20.000 bibit
pohon untuk rehabilitasi lahan; dan (4) Pembuatan kesepakatan dan peraturan desa.
Sebagian besar masyarakat desa ini adalah buruh tani dan wiraswasta. Selain itu, mereka
juga memelihara ikan air tawar. Para petani banyak menanam buncis dan berternak
domba untuk tambahannya
Saat ini, warga Cinagara yang tergabung dalam Kelompok Tani Sari mekar berusaha
menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan ekonomi
mereka : (1) Rehabilitasi dan konservasi lahan melalui persemaian, penanaman,
perawatan dan pola tanam ramah lingkungan.; (2) Pelatihan pembuatan pupuk organik;
(3) Budidaya ikan dan tanaman buah produktif dan organik; (4) Peternakan kelinci dan
domba; (5) Perbaikan sarana air bersih dan sanitasi serta saluran pembuangan air; dan
(6) Pengembangan wisata alam air Terjun Cikaracak.
Sekitar 40% dari luas desa adalah lahan perkebunan, yang menjadi sumber kehidupan
bagi 50% petani dan buruh tani setempat. Komoditas utama desa ini adalah ubi jalar,
talas, singkong, serta sayuran. Banyak warga Cihanyawar juga hidup dari ternak unggas,
kambing dan domba. namun, hanya 14% dari penduduk setempat yang menikmati
pendidikan dasar dan kurang dari 2% meneruskan pendidikan ke tingkat menengah dan
tinggi.
Saat ini, warga Cihanyawar yang tergabung dalam kelompok tani Cilondondong Jaya
berupaya menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan
perbaikan ekonomi mereka: (1) Rehabilitasi lahan seluas 30 hektar di lahan perluasan
TNGGP dengan 15.000 pohon rasamala, puspa dan manglit; (2) Kesepakatan antara
TnGGP dan Cilondondong Jaya untuk menggarap lahan di kawasan TnGGP selama 3
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-51
Lampiran-2
tahun; dan (3) Komitmen untuk mengembangkan usaha ternak kambing; dan (4)
Budidaya tanaman obat kumis kucing.
4. Kolaborasi Stakeholders
Stakeholder yang pernah berpartisipasi dalam pengelolaan TNGGP adalah: Pengusaha,
BUMN seperti Perhutani Unit III Jabar Banten. Tokoh masyarakat Desa di sekitar TNGGP,
NGO (missal Environment Service Program/ESP (USAID), KTH (Puspa Lestari, Kencana
Wangi, Cilondongdong, Sari Mekar), LSM lokal (maRPELin), perguruan tinggi (ITB, IPB),
Dirjen PHKA, Balai Besar TNGGP, Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya.
1 Pola Umum Gangguan Hutan di Bona Insani’s Maylan 2000 Jenis-jenis gangguan di TNGP
TNGGP DwiEkawati seperti pencuria, perburuan liar,
penebangan liar, penyerobotan
lahan dan kebakaran hutan
2 Intensitas dan motivasi masyarakat Aris Sudomo dan M. 2008 Kondisi sosek masyarakat di
dalam pengambilanTumbuhan Siarudin sekitar TNGGP
hutan secara ilegal di seksi Gangguan TNGGP akibat
konservasi wilayah II Taman pengambilan tumbuhan secara
nasional gunung gede pangrango illegal
3 Analisis Konflik Areal Eks Eka Ratna Juwita 2007 Para pihak (stake holder) yang
Tumpangsari Perhutanidi wilayah Karsodi sering terlibat dengan masalah
Perluasan TNGGP konflik sosial di TNGGP
4 Panduan Mengenal Satwa TNGGP Anton Ario 2010 Identifikasi jenis-jenis satwa di
TNGGP
5 Inventarisasi Jenis Barkah Ilham 2006 Identifikasi jenis-jenis tumbuhan
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Purnawan di TNGGP
di TNGGP
6 Bentuk-Bentuk danIntensitas Kusnanto, K. 2000 Jenis –jenis gangguan manusia di
Gangguan Manusia PadaDaerah daerah perbatasan TNGGP
Tepi Kawasan TNGGP
7 Tingkat PartisipasiMasyarakat Sylfiani , D. 2004 Tingkat partisipasi masyarakat di
dalam Menjaga Kelestarian sekitar TNGGP
kawasan TNGGP
8 Penentuan Jenis Pohon Serbaguna Samsudin, N 2005 Metode penentuan jenis pohon
Secara Partisipatif dalam Rangka serbaguna secara partisipatif di
Pembinaan Daerah Penyangga wilayah daerah penyangga TNGGP
Kawasan Konservasi (studi kasus di
TNGGP)
9 Perilaku Masyarakat dalam Wiguna, R. 2003 Perilaku masyarakat Desa Tebing
Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dalam pemanfaatan SDH di
(Studi kasus di Desa Tebing di TNGGP
TNGGP)
Lampiran 3 :
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan
Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada
Departemen Kehutanan
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan
Kawasan Hutan
Pasal 2:
Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Pasal 3:
1
Analisis : Laporan Monev PNBP Semester II Ingkup Balai Besar KSDA Jawa Barat Tahun 2011, BBKSDA Jawa Barat 2012
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-54
Lampiran-3
2. Pasal 1 angka 15: Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan
air.
3. Pasal 9 ayat (1): Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau
badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 80:
1. Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
2. Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
3. Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat
dipertanggung-jawabkan.
4. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis
penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan
ekonomi kelompok pengguna dan volume penggunaan sumberdaya air.
5. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis
penggunaan nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6. Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari
para pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
7. Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Pasal 13:
2. Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber
Daya Air Nasional.
Dewan Sumber Daya Air Nasional merupakan wadah koordinasi antar para pemilik
kepentingan sumber daya air tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.
Kesimpulan: Jasa lingkungan air tidak termasuk yang diatur dalam aturan PNBP diatas
dan sektor-sektor lain (luar Kehutanan).
Diskusi
I ssue:
1. Apakah pembayaran jasa lingkungan air perlu diatur oleh pemerintah (mandatory)?
Ataukah cukup dengan sukarela antara “pemakai” dan “penghasil” jasa lingkungan
tersebut (voluntary). Jawaban secara common sense adalah:
apakah m asyarakat dapat mengatur diri mereka sendiri dengan adil dalam
pemakaian dan penggunaan air (dengan rujukan: pasal 33 UUD 1945), dan
apakah kepentingan pemerintah tidak dirugikan bila tidak mengaturnya?
(untuk berbagai keperluan, mem bangkitkan tenaga listrik, contohnya).
2. Prinsip dari “public good”: pemanfaatan oleh satu pihak dari masyarakat (terhadap
air) tidak boleh menyebabkan masyarakat lain tidak dapat memanfaatkannya.
3. Terhadap air sebagai “common pool resources” atau sebagai public good, privatisasi
dan pengaturan oleh Pemerintah pusat bukanlah satu-satunya cara dalam mengatur
pemanfaatannya (OECD).
Voluntary Mandatory
Lampiran 4.
Hasil Review Desa Calon MDK di Wilayah Kerja BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP
Dari hasil FGD dengan petugas BBTNGGP, usulan Desa Sindangjaya untuk calon MDK dari
Consultan Firm (CF) yang sesuai dengan hasil Laporan Akhir Program Investasi Pengelolaan
Sumberdaya DAS Citarum Terpadu (ADB TA 4381) Konservasi Keanekaragaman hayati),
diminta untuk diganti oleh Desa Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
1. 100 % kawasan penyangga dan + 400 Ha digarap oleh petani, dengan komoditi
sayuran (hortikultura) tidak ada pohon tegakan (tanaman keras) sama sekali.
2. Lokasi meliputi 4 kampung dan jumlah penggarap sekitar 396 kk
3. Kepemilikan lahan petani umumnya sempit
4. Upaya rehabilitasi melalui program “Gerhan” gagal kegagalannya disebabkan
pengrusakan oleh para petani dengan perlakuan tidak sesuai kaidah konservasi
terhadap pohon hingga “ merana” dan mati.
5. Berpotensi tumbuhnya konflik sosial dengan masyarakat desa sebelahnya yang
berada di”bawah”nya, karena pernah mengalami longsor yang merenggut nyawa.
mereka menuntut agar lahan garapan segera ditutup karena diduga menjadi
penyebab terjadinya longsor di bagian hilir. untuk sementara berhasil didamaikan
oleh Petugas BBTNGGP.
6. Berbagai kegiatan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat sudah sering
dilakukan, tapi belum mampu mengubah perilaku dan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan fungsi hutan lainnya.
7. Kelembagaan Petani sudah terbentuk, namun pada umumnya belum memiliki
program kegiatan / action-plan untuk upaya rehabilitasi & konservasi di lahan di
kawasan Penyangga secara sungguh-sungguh.
Profil Desa sukatani Kacamatan Pacet Hasil FGD dan Observasi Lapangan
1. Geografis: Lokasi Desa Sukatani berada di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan
termasuk kawasan penyangga Taman N)asional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Lokasi desa dapat dicapai melalui Cibodas dan Cipanas.
2. Struktur dan Kultur:
• Struktur dan stratifikasi sosial berbasis agraris, lahan sempit dan buruh.
• Masyarakat terdiri dari kultur Sunda dan beragama Islam.
• Terdapat 4 unit Sekolah dasar (SD), dan 2 unit Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
• Seluruh petani penggarap telah membentuk 2 (dua) elompok tani, yaitu
Kelompoktani MMH (Masyarakat Membangun Hutan) trerdiri + 270 KK tani dan
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-58
Lampiran-4
kelompok tani Puspa Lestari terdiri dari + 22 KK. Tani. Kedua kelompok tani ini
terbagi menjadi 46 sub kelompok tani.
• Selain kelompok tani di desa juga sudah terbentuk kelembagaan lainnya, yaitu
:MMP (Masyarakat Mitra Polhut), MPA (Masyarakat Peduli Api), dan ada
kelompok volunteer sebanyak 20 orang yang terdiri dari para pemuda.
Tabel 15. Data Lahan Terbuka/Calon Penanaman Resort Gunung Putri Tahun 2013
Tabel 16. Kependudukan, Pendidikan dan Program yg telah Masuk ke Desa Sukatani
Tahun Koordinat
No Blok/Desa Ketinggian(Mpdl)
Masuk Keluar X Y
1 Blok Bobojong / Sindangjaya 2001 - 721325 9252716 1636
721153 9252498
721359 9252677
2 Blok Tanggeuk / Sukatani 2001 - 720603 9251719 1852
720917 9251648 1854
721360 9251816 1728
721713 9252254 1658
3 Blok Cipendawa / Cipendawa 2001 - 722048 9252373 1592
722044 9252303 1560
- 721569 9251948 1698
4 Blok Tanah Merah / Sukatani 2001 - 721438 9251633 1783
721492 9251329 1797
721603 9251364 1809
721728 9251614 1720
2001 - 721748 9251103 1824
5 Blok Pasir Pogor / Cipendawa
721756 9251242
- - 721795 9251284 1781
721835 9251236 1761
- - 722232 9251406 1694
722488 9251620 1621
721728 9251614 1720
6 Blok M. upah / Ciherang 2001 - 722154 9251513 1689
722488 9251620 1621
722631 9251778 1577
722612 9251858 1544
722896 9251930 1498
722870 9251978 1512
722414 9251887 1594
7 Blok Ciguntur / Ciherang 2001 - 724106 9252446 1343
724158 9252521 1317
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-60
Lampiran-4
Tahun Koordinat
No Blok/Desa Ketinggian(Mpdl)
Masuk Keluar X Y
724166 9252555 1337
721728 9251614 1720
1. Model Desa Konservasi untuk Rehabilitasi Kawasan dan Penyangga dengan Jenis
Pohon Endemik dan Budidaya di Taman Buru Masigit Kareumbi
Target Desa: Desa Sindulang
Geografis: Desa berbukit, tidak berbatu, dan lahan subur. Berbatasan
langsung dengan Kawasan TBMK. Bahkan terdapat kampung di dalam kawasan
(enclave) yaitu Kampung Cigumentong.
Struktur dan Kultur: Struktur dan stratifikasi sosial masyarakat berbasis
sumberdaya agraria, yakni lahan pertanian dan kehutanan. Tingkat pendidikan
masyarakat relatif rendah. Pola-pola kebudayaan masyarakat dikonstruksikan
berdasarkan sistem norma dan nilai tradisi Sunda dan Agama Islam.
Pola-pola Adaptasi Ekologi: Mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah
usahatani tanaman semusim (sayuran) dengan kepemilikan lahan yang minim,
rata-rata 200 tumbak (1 tumbak = 16 m²). Hasil hutan, seperti bambu, kayu
bakar, dan jlember (jamur) dimanfaatkan untuk memenuhi kayu bakar rumah
tangga dan industri tahu, tempe, dan kerupuk.
Aksi-Aksi Kolektif: Rancangan warga desa untuk membangun Kampung Wisata,
micro-hydro berkolaborasi dengan Yayasan Mandiri dan LSM Wanadri.
Isu-isu terkait dengan kehati: Penggunaan sumberdaya hutan terutama kayu
bakar sangat tinggi (bahkan cenderung terus meningkat untuk tujuan
komersial). Kebakaran hutan sering terjadi karena ulah masyarakat. Kegiatan
konservasi tanah dan air tidak dilakukan konsisten Perubahan dari status
kawasan dari Hutan Produksi (Perum Perhutani) menjadi kawasan konservasi
(BBKSDA Jawa Barat).
Kegiatan: (1) Pengembangan usaha ekonomi produktif (penanaman pohon
aren dan jasa lingkungan wisata); (2) Pelestarian sumberdaya tanah dan air;
(3) Pengembangan masyarakat dan kelembagaan; (4) Peningkatan peran
petugas BBKSDA JAwa Barat sebagai pendamping masyarakat bukan hanya
sebagai polisi kehutanan.
2. Model Desa Konservasi untuk Pengembangan Kebun Rakyat untuk Menunjang
Kehati di CA Burangrang
Target Desa: Desa Cihanjawar Kp. Gunung Bakti + 130 KK dan Kp. Pasir
Banteng + 70 KK
Geografis: Topografi berbukitan, tataguna lahan didominasi oleh pertanian, di
sekitar kawasan cagar alam Burangrang.
Struktur dan Kultur: Sumberdaya agraris merupakan basis struktur sosial dan
strtatifikasi komunitas desa. Kepemilikan lahan warga Desa Cihanjawar
tergolong kecil. Rata-rata kepemilikan lahan warga kurang dari 0,5 ha bahkan
ada warga yang tidak memilikinya. Sistem norma dan nilai berbasis pada
tradisi Sunda dan Agama Islam.
Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi dan ketergantungan masyarakat dengan
kawasan cagar alam sangat tinggi mulai dari pemanfaatan lahan di sekitar
perbatasan kawasan, penggunaan kayu dan kayu bakar maupun sumberdaya
lainnya.
Aksi-Aksi Kolektif: Secara umum kelembagaan di desa (KTH, P3A, Kelompok
Tani, Bumdes) sekitar kawasan cagar alam Burangrang masih belum kuat dan
optimal; Tidak adanya kegiatan kelompok tani. Kelompok tani walaupun besar
irisannya dengan masyarakat tetapi manfaatnya cenderung rendah; dan
BBKSDA Jawa Barat juga menggulirkan program pemberdayaan masyarakat
melalui Kelompok Tani Hutan (KTH).
Isu-isu terkait dengan kehati: a). Konflik perebutan air kerap kali muncul baik
sesama warga maupun dengan warga luar desa. Hal ini diperparah dengan
belum adanya tata aturan pembagian air baik di aras dusun maupun desa. b).
Perambahan hutan + 5 ha oleh +. 10 orang penduduk
kegiatan: (1) Pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH);
(2) Memberikan bantuan berupa paket ternak kambing bergulir; (3) Bantuan
bibit pohon yang bisa dimanfaatkan KTH sebagai stimulus bagi kegiatan
kelompok.
3. Model Desa Konservasi untuk Pengembangan Matapencaharian Alternatif yang tidak
Mengancam Keutuhan Kawasan di CA Kamojang
• Target Desa: Desa Cihawuk Kp. Puncak Mulaya (RW 7)
• Geografis: Desa Cihawuk merupakan desa dengan ketinggian lebih dari 1500 m
dari permukaan laut.
• Struktur dan Kultur: Struktur dan pelapisan sosial masyarakat berbasis agraris,
yakni budidaya hortikultura dan kehutanan. Kepemilikan lahan masyarakat
secara umum sangat sempit Pendidikan formal penduduk desa rata-rata tamat
SD. Pola-pola kebudayaan masyarakat berdasarkan tradisi Sunda dan pengaruh
Agama Islam.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi antara masyarakat dengan hutan cukup
kuat, hal ini terlihat telah terjadi perambahan untuk tumpang sari pada area
cagar alam seluas 10 ha oleh + 40 orang
• Aksi-Aksi Kolektif: Kapasitas masyarakat dalam berkelompok masih rendah
sehingga belum dapat mengatasi persoalan-persoalan riil masyarakat.
Kelompok yang ada saat ini merupakan kelompok yang di’drive’ oleh program,
baik KTH ataupun program PNPM. Ada organisasi pengguna air untuk
pengelolaan air desa.
• Isu-isu terkait dengan kehati: Erosi yang disebabkan pola pertanian hortikultura
mempengaruhi penurunan kesuburan lahan dan kekeruhan air. Budidaya
hortikultur yang di masyarakat berdampak pada merebaknya praktek
tumpangsari pada program Perhutani (PHBM). Hal ini berdampak pada praktek
perambahan kawasan cagar alam dengan memperlebar area tumpang sari
masuk ke kawasan (majusi, maju ka sisi). Mulai terjadi perebutan air karena
sumber mata air mulai berkurang.
Usulan kegiatan: (1) Membangun Bank Benih; (2) Penyediaan modal usaha
produktif; (3) Rehabilitasi hutan bersama masyarakat (partisipatif); (4)
Koordinasi antara KTH-PSDH, pihak desa dan BBKSDA Jawa Barat.
4. Model Desa Konservasi untuk Pengembangan Pohon Sumber Kayu Bakar dan Bahan
Arang di CA Gunung Tilu
• Target Desa: Desa Mekarsari
• Geografis: Desa Mekarsari merupakan lokasi terdekat dengan kawasan hutan
Cagar Alam Gunung Tilu. Berlokasi di kawasan enclave yang dikelilingi oleh
kawasan hutan lindung Perum Perhutani, kawasan perkebunan teh dan
kawasan cagar alam.
• Wilayah di desa Mekarsari terdiri dari kawasan pertanian adalah 1049 Ha,
kawasan hutan lindung 5000 ha, kawasan hutan produksi 1200 ha dan kawasan
perkebunan teh 600 ha. Jumlah penduduk adalah 5.223 jiwa dengan perincian
2.553 laki laki dan 2.670 perempuan.
• Struktur dan Kultur: Struktur dan kultur masyarakat di Desa Mekarsari sangat
dipengaruh oleh dinamika perkebunan teh dan aktivitas hutan produksi. Status
sosial masyarakat sebagai pekerja atau buruh perkebunan mendominasi proses-
proses sosial masyarakat. Tingkat pendidikan formal masyarakat relatif rendah
(mayoritas) pendidikan SD. Tradisi Sunda dan pengaruh Agama Islam
mempengaruhi pola-pola kebudayaan masyarakat setempat.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Masyarakat memiliki nilai tradisi dalam melestarikan
hutan, dimana setiap tahun ada ritual memberi-kan sedekah bumi bagi hutan
serta melakukan penanaman terhadap kawasan hutan yang rusak.
• Kasus-kasus penebangan liar terjadi terutama pada masa krisis ekonomi tahun
1998, dimana tekanan terhadap hutan dikarenakan tekanan kemiskinan. Namun
tekanan itu menurun ketika masyarakat mulai mendapatkan akses terhadap
pengelolaan hutan melalui Perum Perhutani dengan penanaman kopi.
• Aksi-Aksi Kolektif: Keberadaan kelompok organisasi masyarakat, yaitu
kelompok tani hutan, yang telah mulai berinisiatif dalam upaya pelestarian
hutan. Kelompok masyarakat di Gambung memiliki potensi besar karena telah
melakukan upaya pengamanan hutan secara swadaya.
• Ketika akses masyarakat terhadap kawasan hutan dibuka dengan skema
perjanjian kerja bagi hasil dalam penanaman kopi dan rumput gajah maka
hutan cenderung mulai membaik.
• Isu-isu terkait dengan kehati: merupakan salah satu wilayah sumber tekanan
yang cukup tinggi terhadap kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Pada tingkat
lapangan yang terjadi respon masyarakat terhadap pola bagi hasil dan
kerjasama perhutani dimana bagi hasil dianggap masih kurang menguntungkan
masyarakat, sementara Perhutani hanya memberikan ijin lahan tanpa
memberikan pendampingan teknis produksi sampai pemasaran termasuk aspek
permodalan. Masalah yang paling sering muncul adalah ketidakjelasan tata
batas antara hutan lindung perhutani dan kawasan cagar alam. Ketidakjelasan
tersebut bisa mengakibatkan masyarakat masuk ke kawasan cagar alam karena
ketidaktauan mereka.
• Kegiatan: (1) Pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam sebagai alternatif
peningkatan pendapatan seperti tanaman obat dan buah buahan; (2)
Pengembangan pola kerjasama masyarakat dengan Perhutani; (3)
Pengembangan potensi biogas; (4) Implementasi mekanisme pembayaran
untuk kelestarian kawasan daerah tangkapan air; (5) Pengalokasian areal
kawasan untuk cadangan kayu bakar menjadi penting. Pengembangan areal
kawasan tidak hanya pada hutan namun bisa pada areal perkebunan dan
kampung.
Lampiran 5 :
Hasil Kegiatan:
1. Workplan yang disusun sudah disesuaikan dengan agenda kegiatan di BBTNGGP dan
BBKSDA Jawa Barat.
2. BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat bersama Consultant Firm (CF) telah menyepakati
work plan yang disusun dengan catatan-catatan sebagaimana Tabel 18 berikut:
1 Konseptualisasi
Pengembangan PES
a. Review menyeluruh
Pengembangan PES yang
ada
b. Review Regulasi
Pengembangan PES
c. Penyusunan Pedoman
Lapang Pembangunan PES
d. Analisis Ekonomi dan Studi
Kelayakan Berbagai
Skenario Pengembangan
PES
e. Training terhadap PES
development utk staf
2 "Pemilihan lokasi PES
(berdasarkan desk-study
awal, review, survey dan
dialog)
3 Pengembangan Pilot PES
untuk meningkatkan
Manajemen PA
a. Fasilitasi negosiasi dengan
stakeholders untuk
mengkaji kemungkinan
skema PES yang bisa jalan
b. Bekerjasama dengan Pihak
Swasta
c. Mempersiapkan Aspek
Hukun Perjanjian PES
d. Eksekusi kontrak atau MOU
setidaknya 1 atau lebih PES
yang berjalan
e. Penyusunan Project Design
Document (PDD) untuk
REDD+ di salah satu
Kawasan Konservasi
4 Aksi Pembelajaran Pembangunan
PES
a. Review inovasi kebijakan
untuk mengidentifikasi
mekanisme yang untuk
transfer payments
b. Review willingness-to-pay
[Review and survey]
5 Documenting best practices
a. Kompilasi pembelajaran
b. "Diseminasi informasi
replikasi untuk promosi PES
melalui media, training
dan seminars"
Persiapan
a. Riview Model Desa
Konservasi (MDK)di 8 TAs
b. PRA Penetapan Lokasi MDK
c. Observasi lapangan: PRA
dan peninjauan lapangan
d. "Analisis Metodologi ,
Teknis konservasi,. Sosial,
Ekonomi, Budaya Calon
lokasi MDK "
e. Mengembangkan
m e todologi Me nyia pka n
Modul Participatory
Planning & Monev
Pa rtisipa tif focus untuk
pengembangan MDK
f. Training Fasilitator Desa
g. Mobilisasi Fasilitator Desa
Stimulasi Program Konservasi
Kehati di Desa
a. Kursus Kepemimpinan
Desa untuk Program
Konservasi Kehati
b. "Gerakan kampanye
program konservasi kehati
oleh para siswa sekolah
(SD,SMP, SMA,Pemuda"
Inisiasi Program
a. Fasilitasi participatory
planning di lapangan
b. Pengorganisasian Kegiatan
No Topik Uraian
Selasa, 02 April 2013
1. Administrasi 1. SPJ CF sejumlah Rp. 2,2 Milyar, berkas asli difolderkan (Minggu ke-3 April dapat
terselesaikan)
2. PMS harus memegang aturan-aturan yang ada di Kementerian Kehutanan dan ADB
terkait administrasi
3. Bulan Mei 2013 sudah harus terlihat sisa anggaran untuk perpanjangan 2014 (16 April
2013 sudah ada perhitungan karena Bappenas sudah setuju diperpanjang, harus
dilengkapi perhitungan)
4. Masing-masing komponen, harus sudah bergerak dan membuat progress report
disampaikan ke Dit. KKBHL
5. BPKP dan BPK saat ini masih berada di KKBHL, Gedung Manggala Wanabakti-Jakarta
6. KAK harus segera ditandatangani oleh Kepala Balai di setiap UPT, tolong difasilitasi
oleh IC UPT
7. Inception Report diselesaikan dan tidak ada tambahan perbaikan dari Kepala Balai
BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
8. Semua kegiatan didokumentasikan, selain dalam bentuk foto, dibuat dalam bentuk
film DVD dengan kameramen yang berkualitas
9. Untuk semua komponen, bila akan melakukan training/workshop harus ada TOR yang
jelas. Modul/panduan jangan sampai copy paste (divalidasi)
2. Penyusunan 1. 9 Januari 2013: Kick off Meeting di Jakarta
Inception 2. 15 Januari 2013: Pertemuan dengan BBKSDA Jawa Barat
Report 3. 17 Januari 2013: Pertemuan dengan BBTNGGP
4. 28-29 Januari 2013: Evaluasi Pembahasan dari Pertemuan dengan BBKSDA Jawa
Barat dan BBTNGGP
5. 5-9 Februari 2013: FGD dan observasi lapangan di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
6. 13-14 Februari 2013: Observasi lapangan di BBKSDA Jawa Barat
7. 20 Februari 2013: Pembahasan Inception Report dengan BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP di Hotel Bali World-Bandung
8. 21-23 Februari 2013: Pertemuan Inception Report dengan PIU, ADB, dan stakeholder
di Galeri Ciumbuleuit-Bandung
9. 27-28 Februari 2013: Observasi Lapangan
10. 28 Februari 2013: Rencana diskusi final Inception Report di BBTNGGP
11. 1 Maret 2013: Rencana diskusi final di BBKSDA Jawa Barat
12. 4 Maret 2013: Draft Inception Report disampaikan kepada ADB
13. 18-19 Maret 2013: Pembahasan Inception Report dengan IC Pusat, BBKSDA Jawa
Barat, dan BBTNGGP khusus membahas GAP Analysis dan Perubahan Kegiatan
14. 8 April 2013: Final Inception Report harus sudah di-approve dan disubmit ke ADB
3. Kegiatan 1. Rasionalisasi penyelesaian peta baPAs di 8 PAs disebut sebagai “Peta Dasar” untuk
Komponen 1 survey keanekaragaman hayati
2. Penilaian keberhasilan pelatihan dengan membuat questioner pra dan post test
pelatihan
3. Menyiapkan paket-paket pembelajaran bersama dengan modul pelatihan
4. Membuat buku panduan dan petunjuk lapangan
5. Melaksanakan forum diskusi kelompok dan pelatihan
No Topik Uraian
6. Menyiapkan desain spasial (berbasis GIS) pada survey Bio-Fisik-Sosial, metode,
panduan, dan seterusnya
7. Melakukan pelatihan GIS/Remote Sensing.
8. Pendampingan pemanfaatan program database GIS dan untuk menanggapi kasus
aktual di lapangan
9. Pembangunan dan pelatihan geospasial dan Sistem Informasi Manajemen (SIM)
berbasis web
10. Identifikasi lokasi-lokasi perambahan di 8 PAs
11. Melakukan survey lapangan di dalam 8 lansekap PAs yang berdekatan (di dalam dan
luar kawasan konservasi)
12. Akusisi citra satelit (peta RBI dan Quickbird (tahun 2009 dan 2012 pada area seluas
3.340 km2 dengan prioritas pada kawasan BBTNGGP pada 4 resort Bidang PTN
Wilayah I Cianjur, CA Gn. Tilu dan CA & TWA Kawah Kamojang seluas 1.504 km2)).
Pembelian Quickbird pada awal Mei 2013
13. Memperbaiki fitur dari interface web GIS dan MIS untuk 8 PAs
14. Memproduksi peta-peta tematik berbasis web yang diperbaharui setiap triwulan
15. Menyiapkan dan meng-upgrade peta kerja per kawasan dan per RBM dari 1:25.000
menjadi 1:10.000 pada 8 lokasi PAs
16. Conduct Geo-Correction, Ground Checking, and Image Interpretation for 8 PAs and
the whole CRB area/melakukan geo-koreksi, pengecekan lapangan dan interpretasi
citra untuk 8 PAs dan seluruh daerah CRB
17. Melaksanakan pemetaan keanekaragaman hayati terhadap 8 PAs berdasarkan kepada
data survey dari keanekaragaman hayati
18. Produksi peta kerja tematik untuk mendukung rencana pengelolaan habitat 8 PAs
(yaitu spesies kunci, dan sebagainya)
19. Validasi peta skenario masa depan 8 PAs
20. Develop manuals and SOPs for CWMBC GIS and MIS
21. Develop mechanism for user feedback and system improvement
22. Testing and integration of MIS with central database portal
23. Spatial design and planning ground surveys
24. Establishing Permanent Survey Plots
25. Mapping of Key Biodiversity
26. Mapping of Key Habitat
27. Spatial Recommendation of Action Plans for 8 PAs
28. Formal Recognition of Refined Resort-Based Action Plan
29. Facilitation of The Implementation of Refined Action Plans
30. Facilitation of Boundary Marking
31. Facilitation of Awareness-Raising
32. Conduct Appropriate Training and Monitoring for 8 PAs Team untuk pengelolaan
keanekaragaman hayati
Masukan:
• List kegiatan tahun 2014 di setiap UPT (Pak Ambar)
• Buat surat untuk UPT terkait kegiatan CF-ICWRMIP di tahun 2014 yang harus
ditindaklanjuti (Asisten PIU Dit. KKBHL)
• Jangan terlalu rumit untuk pelatihan-pelatihannya
5. Gap Analisis 1. Perubahan sasaran dan jumlah PAs Komponen 2: PPR/RL Technical Proposal: 3
Komponen 2 PAs: i) TB Masigit Kareumbi, ii) CA Kamojang, dan iii) TWA Gn. Tangkuban Parahu,
Inception Report: menjadi 4 PAs: i) TB Masigit Kareumbi, ii) CA Burangrang, iii) CA
Gunung Tilu, dan iv) TN. Gn. Gede Pangrango
2. Kegiatan komponen 2: PPR/RL focus di dalam kawasan konservasi dengan model
restorasi: kerusakan habitat ringan, sedang, dan berat. Sedangkan model rehabiliPAsi
di luar kawasan menjadi kegiatan komponen 4.
3. Model restorasi kerusakan habitat akibat IAS dan model restorasi pengembalian
ekosistem hutan monokultur (pinus) menjadi ekosistem hutan alam jenis endemic di
BBTNGGP memerlukan kajian mendalam melalui workshop/seminar
4. Diperlukan tenaga: 4 fasilitator yang menetap di 4 lokasi PPR/RL dan 1 orang Field
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-76
Lampiran-5
No Topik Uraian
Assistance untuk BBTNGGP yang berimplikasi penyediaan biaya dan rekruitmen
tenaga fasilitator/FA
5. Plot permanen ekosistem referensi (PPER) ±2-4 ha sekaligus menjadi sumber benih
(biji) pada setiap lokasi PPR/RL, yang berimplikasi terhadap penyediaan biaya
pembuatan 4 unit PPER
6. Kegiatan pendampingan/asistensi pemeliharaan, monitoring, dan evaluasi PPR/RL
tidak dapat dilakukan karena kegiatannya bulan November-Desember 2013,
sementara proyek CWMBC berakhir bulan Desember 2013
7. Diusulkan perpanjangan Proyek CWMBC ± 6 bulan untuk kegiatan
asistensi/pendampingan PPR/RL 2014:
1) Pemeliharaan restorasi
2) Pendampingan penguatan kelembagaan
3) Monev aspek teknis, sosial, kelembagaan
4) Pengembangan/pemantapan model PPR/RL
Masukan:
• Cari literature (Litbang) tentang perbanyakan tanaman dengan stek, cabutan, dan
sebagainya, mana yang lebih baik
• Cari literature review tentang restorasi
• PIU memiliki perangkat/tools (berlaku untuk semua komponen) berdasarkan self
assessment untuk menentukan keberhasilan program
6. GAP Analisis 1. Development of field guide on PES development: dibutuhkan tambahan waktu 1
Komponen 3 tahun dan resource dan tenaga ahli
2. Training on PES development: 5 peserta training dari BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP dan diperlukan 3 orang pengajar
3. Selection of PES sites: fasilitation dan negotiation untuk kebutuhan tenaga
4. Pilot development of PES improve the PA management: upaya-upaya peningkatan
awareness yang lebih luar coverage wilayahnya denga stakeholder yang lebih
inclusive, diperlukan
5. FGD best practices dalam pemanfaatan jasa lingkungan air: menyewa tempat (hotel)
2 kali paket meeting dengan jumlah kamar 23, akomodasi, konsumsi, uang sidang,
dan bantuan transport untuk 23 orang
6. Facilitation of stakeholder negotiation to explore workable PES schemes: 2 orang
fasilitator untuk negosiasi yang dapat berperan independen dengan pihak pengusaha,
masing-masing bekerja selama 6 bulan
7. Execution of contract/MOU: waktu tambahan selama 4 bulan pasca Desember 2013
8. Preparation of project design document for REDD+ for one site of conservation areas:
1 orang tenaga ahli diperlukan untuk selama 7 bulan
9. Review of policies innovation identity appropriate mechanisms for transfer of
payments: review terhadap policy innovation dan membangun kesepahaman dengan
intersektor dan multistakeholder tidak akan memadai dalam jangka waktu proyek
10. Review of willingness to pay: survey willingness to pay ke 4 pengguna jasa
lingkungan tidak akan memadai dalam jangka waktu proyek
11. Documenting best practices: sampai derajat tertentu proyek akan dapat
meningkatkan awareness stakeholder. Akan tetapi awareness stakeholder tidak akan
siginifikan peningkatannya di akhir proyek sehingga upaya-upaya peningkatan
awareness yang lebih luas coverage wilayahnya dengan stakeholder yang lebih
inclusive diperlukan
12. Capturing lessons learnt: 2 judul makalah
13. Dissemination of information for replication to promote PES: 4 judul bahan training, 1
kali seminar dengan 20 orang peserta
14. Uploading the progress of PES development pilot site: 1 orang tenaga IT diperlukan
Masukan:
• Review perubahan aturan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.19 tentang
Kolaborasi di KSA/KPA
• Matriks skenario extention dikumpulkan dan dikalkulasikan agar dapat diketahui dana
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-77
Lampiran-5
No Topik Uraian
yang dapat di-carry over ke tahun 2014 (minggu ini selesai) – berlaku untuk semua
komponen
• Perhitungan PNPB di setiap kawasan konservasi
• Basket PNPB di Kementerian Kehutanan dipisah
• Proyek ICWRMIP ini termasuk additional quality atau volume atau terobosan
(breakthrough)?
• Dimana posisi IKU yang dipengaruhi oleh Proyek ICWRMIP ini?
7. GAP Analisis 1. Pengembangan MDK: penambahan coordinator fasilitator
Komponen 4 2. RehabiliPAsi lahan kritis di kawasan produksi: seyogyanya disediakan anggaran untuk
pembibitan, composting, penanaman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana
provsum atau kontingensi. Secara umum, rehabiliPAsi lahan memerlukan waktu yang
panjang, kebih dari 1 tahun.
3. Kursus kepemimpinan desa untuk program konservasi kehati: diusulkan agar dapat
menggunakan dana provsum atau kontingensi
4. Gerakan kampanye penanaman pohon oleh para siswa sekolah (SD, SMP, SMA) di
desa ybs: diusulkan agar gerakan kampanye ini di tahun pertama dibiayai
menggunakan dana provsum atau kontingensi, untuk selanjutnya akan
diprogramkan/disosialisaikan “1 anak 10 pohon”
5. Musyawarah menyusun action plan tiap kelompok di 13 desa: perubahan jumlah desa
dari 5 desa di proposal menjadi 13 desa. Diusulkan didanai dari provsum atau
kontingensi
6. Workshop/lokakarya lapangan pengambilan keputusan partisipatif bersama seluruh
stakeholder di 13 desa: 12 desa di BBKSDA Jawa Barat sudah ada dananya,
sedangkan 1 desa di BBTNGGP belum tersedia dananya
7. Pelatihan pengembangan MDK: diusulkan menggunakan dana provsum atau
kontingensi
8. Diskusi kelompok Lesson Learned di 13 desa: diusulkan menggunakan dana provsum
atau kontingensi
9. Workshop nasional shared learning: diusulkan menggunakan dana provsum atau
kontingensi
Masukan:
• Kegiatan diskusi yang banyak dapat disatukan dan menjadi 2 hari untuk menghemat
biaya karena anggaran dari provsum juga tidak terlalu banyak
• Output dari kegiatan komponen 4 harus betul-betul dilihat time schedule-nya, mana
yang dapat dilaksanakan di 2013 dan 2014
• Perlu ada pembicaraan intens antara TA dan PMS
8. Budgeting 1. Setiap komponen mengusulkan biaya tambahan dan PMS yang akan memberikan
justification
2. Klasifikasikan kegiatan yang termasuk realokasi (tidak menambah biaya) dan mana
yang tidak termasuk kegiatan realokasi. Tetapi sebaiknya tidak ada kegiatan yang
bukan realokasi karena akan memakan waktu
9. Dalam Laporan Implikasi Manajerial terkait
Akhir (Bulan 1. Pentingnya pusat data/informasi KEHATI (BIODIVERSITY) di Direktorat (semacam
Desember PIKA) yang terkait updating dari UPT
2013) agar 2. Menghasilkan sesuatu (konsep) yang baru terkait Model PES, restorasi dan
memuat perhitungan PNBP (saran) terbaik bagi kawasan
tentang: 3. Lesson Learn dari pembinaan habitat yang ditinggalkan oleh Perhutani
Rabu, 03 April 2013
1. Organigram 1. Di dalam kontrak, Consultant Firm dibawah garis komando Direktur KKBHL,
sedangkan hubungan dengan Kepala BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP hanya secara
koordinatif
2. Kotak Tim PIU dan IC menempel dan diberi garis koordinasi bolak-balik ke CF
3. Garis komando dari Kepala BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP dihilangkan, CF hanya
mendapat garis komando dari Direktur KKBHL. CF merupakan perwakilan dari
Direktorat KKBHL
2. Pengajuan WA 1. Dibutuhkan 1 minggu untuk mengajukan WA, dan diajukan dari Dit. KKBHL (masih di
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-78
Lampiran-5
No Topik Uraian
lingkup Kementerian Kehutanan)
2. Pengajuan surat WA ke Kementerian Keuangan membutuhkan waktu ± 1 minggu
3. Pelaporan 1. Surat pelaporan konsultan ditujukan kepada Direktur KKBHL dan di-cc kepada pihak
Konsultan terkait
2. Mekanisme pelaporan bulanan CF dibuat lebih sederhana dibandingkan mekanisme
pelaporan triwulan dan tahunan CF
3. Mekanisme laporan bulanan CF prinsipnya searah dan tidak perlu ada telaah laporan
dari IC PIU, hanya perlu dievaluasi kesesuaian laporan dengan outline (target bulan
ini dan rencana bulan depan) oleh IC PIU
4. CF memberikan laporan kepada Kepala Balai yang berada di wilayah kerja masing-
masing dan yang memberikan ijin adalah pusat
5. SPT CF ditandatangani oleh Dit. KKBHL dan visum ditandatangani oleh pejabat di
tempat yang dituju
6. Laporan disusun oleh konsultan, dinilai oleh Kepala UPT setempat, disahkan oleh Dit.
KKBHL
7. Timesheet ditandatangani oleh PPK ICWRMIP Dit. KKBHL
4. Tata Cara 1. Pengadaan perubahan personil membutuhkan waktu selama 3 (tiga) hari
Perubahan 2. Pengiriman surat pengajuan perubahan personil ke ADB tidak dapat dipastikan lama
Personil CF waktunya
5. Pengajuan 1. Masalah pengajuan pembayaran konsultan perusahaan tidak perlu melibatkan UPT
Pembayaran (BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP), karena pembayaran dilakukan oleh pusat (Dit.
Konsultan KKBHL)
Perusahaan 2. Pengecekan kelengkapan pembayaran konsultan perusahaan akan dilakukan oleh tim
verifikator, kemudian tim verifikator melaporkan kepada PPK (terkait kelengkapan
SPJ)
Lembar Pengesahan
Hasil Diskusi Lapangan Inception Report, Provisional Sum Dan Variasi Kontrak
Mengetahui
Direktur
Mewakili,