Anda di halaman 1dari 254

DOC: 0.2.

1-CF-2013

Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP)

CITARUM WATERSHED MANAGEMENT AND


BIODIVERSITY CONSERVATION (CWMBC)
G.0216-INO

LAPORAN
Maret, 2013
PENDAHULUAN

Disusun oleh :

PT. Inacon Luhur Pertiwi, JV


Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP)

CITARUM WATERSHED MANAGEMENT AND


BIODIVERSITY CONSERVATION (CWMBC)

LAPORAN PENDAHULUAN Disusun oleh :


PT. Inacon Luhur Pertiwi, JV
Maret, 2013
KATA PENGANTAR

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS strategis di Indonesia yang
daya dukungnya saat ini mengalami degradasi. Upaya untuk memulihkan daya dukung DAS
Citarum sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup di
dalamnya telah menjadi perhatian dan komitmen berbagai pihak. Di samping memasok
kebutuhan air untuk kebutuhan domestik, air, industri, pembangkit listrik dan sebagainya,
ekosistem DAS Citarum merupakan ekosistem yang memiliki nilai konservasi hayati tinggi.
Kawasan dengan nilai konservasi tinggi tersebut umumnya berada di hutan-hutan kawasan
konservasi di bagian hulu DAS Citarum. Salah satu upaya untuk meningkatkan pengelolaan
kawasan-kawasan konservasi di DAS Citarum adalah diluncurkannya proyek Citarum
Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC) sebagai bagian dari
proyek Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program
(ICWRMIP).
Implementasi proyek CWMBC tahun 2013 dilaksanakan di 8 (delapan) kawasan konservasi
yang berada di wilayah kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa
Barat dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGP). Salah satu
pihak yang diberi kesempatan sebagai pelaksana CWMBC adalah Consultan Firm (CF) PT.
Inacon Luhur Pertiwi, Joint Venture dengan PT. Multi Tekniktama Prakarsa, PT. Akurat
Supramindo Konsul dan The Indonesian Center Biodiversity and Biotechnology
berdasarkan Kontrak Kerja dengan Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan
Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Kementerian
Kehutanan.
Dokumen Inception Report ini merupakan hasil dari proses persiapan yang dilakukan oleh
Tim Ahli CF-CWMBC. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan pada tahap persiapan ini
diantaranya penyiapan fasilitas perkantoran, kick off meeting, rapat pembahasan awal
rencana kerja di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP, Focused Group Discussion (FGD),
rencana kerja setiap komponen di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP, desk study,
observasi lapangan, serial rapat pembahasan finalisasi rencana kerja, penyusunan dan
peluncuran laporan pendahuluan (inception report) yang berisikan rencana kerja hasil
penyesuaian.
Isi dari dokumen laporan pendahuluan ini pada intinya adalah rencana kerja final yang
merupakan hasil penyesuaian proposal teknis. Proses penyesuaian ini perlu dilakukan untuk
memberikan kesempatan kepada pihak BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP memberikan
koreksi dan masukan terhadap rencana kerja pada masing-masing komponen. Selain itu
beberapa penyesuaian kegiatan juga diperlukan oleh para Tenaga Ahli sehingga rencana
kerja dapat lebih memenuhi preferensi pengguna dan sekaligus lebih kontekstual dengan
kondisi dan situasi terkini pengelolaan kawasan konservasi di BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP. Dengan demikian, buku laporan pendahuluan ini diharapkan dapat menjadi
acuan dalam pelaksanaan seluruh tahapan kegiatan proyek secara efektif sesuai waktu
yang telah direncanakan.
Buku laporan pendahuluan ini telah mengalami beberapa kali penyempurnaan baik
redaksional maupun substansi yang melibatkan seluruh Tenaga Ahli pada setiap komponen,
Project Management Support (PMS), Individual Consultant (IC) dan pendamping program
dari BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP sehingga diharapkan sudah dapat mengakomodasi
kepentingan para pihak tersebut dalam kegiatan proyek CWMBC-ICWRMIP.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang terlibat baik langsung maupun
tidak langsung dalam penyusunan Inception Report CWMBC ini, terutama Direktur dan staf

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO i
Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Kepala Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam Jawa Barat beserta staf, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango beserta staf, Para Individual Consultant (IC) pada masing-masing PIU,
seluruh Tim Consultant Firm - CWMBC, ICWRMIP, Asian Development Bank (ADB). Semoga
buku ini dapat menjadi acuan yang konstruktif bagi Tim CF-CWMBC dalam melaksanakan
kegiatannya.

Tim CWMBC

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO ii
RINGKASAN EKSEKUTIF

Pengelolaan kawasan-kawasan konservasi di bagian hulu DAS Citarum yang memiliki nilai
keanekaragaman hayati (biodiversity) tinggi adalah bagian integral dari sistem pengelolaan
DAS Citarum terpadu. Untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi dan
keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini
Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA), Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (KKBHL) mendapat
fasilitas pendanaan hibah (Grant) dari Global Environment Facility (GEF) yang dikelola oleh
Asian Development Bank (ADB) untuk melaksanakan proyek Citarum Watershed
Management and Biodiversity Conservation (CWMBC).
Proyek CWMBC memiliki tujuan strategis untuk mengawal dan mendukung pemanfaatan
lingkungan secara global untuk konservasi sumber daya keanekaragaman hayati yang unik
di dalam kawasan konservasi yang berada di DAS Citarum. Pelaksanaan proyek CWMBC
terbagi ke dalam 4 komponen proyek sebagai berikut :
1. Komponen-1: Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat, dan
Pengembangan GIS untuk Meningkatkan Rencana Pengelolaan dan
Rencana Aksi Kawasan Konservasi
2. Komponen-2: Pilot Proyek untuk Restorasi Hutan di dalam Kawasan Konservasi.
3. Komponen-3: Pembiayaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati
melalui Pembayaran Jasa Lingkungan.
4. Komponen-4: Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap
Produksi.
Pelaksanaan proyek CWMBC melibatkan para pihak yang terdiri dari : Direktorat Jenderal
PHKA yang bertindak sebagai Executing Agency, Direktorat KKBHL, BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP sebagai Project Implementation Unit (PIU), Individual Consultant (IC)
sebagai Technical Advisor PIU dan CF dan Liasson Officer PHKA, dan Consultant Firm
(CF) sebagai Technical Assistance untuk implementasi kegiatan-kegiatan CWMBC.
Implementasi kegiatan CWMBC dilakukan oleh CF dan PIU di beberapa lokasi sebagaimana
disajikan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Lokasi Kegiatan Masing-Masing Komponen Proyek CWMBC
Kawasan
Komponen-1 Komponen-2 Komponen-3 Komponen-4
Konservasi
Cagar Alam Seluruh Kawasan 1. Desa Cihanjawar 2. Desa Cihanjawar 1. Desa Cihanjawar Kec.
Burangrang Kec. Bojong Kec. Bojong, Bojong Kab.
Kab. Purwakarta, Kab. Purwakarta, Purwakarta
(Blok Cihanjawar) (Blok 2. Desa Sakambang
Cihanjawar) Kec. Wanayasa Kab.
untuk PES Air. Purwakarta
3. Desa Pasanggrahan
Kec. Bojong Kab.
Purwakarta
Cagar Alam Seluruh Kawasan - - 1. Desa Cihawuk Kec.
Kawah Kamojang Kertasari Kab.
Bandung
Taman Wisata Seluruh Kawasan - - -
Alam Kawah
Kamojang
Cagar Alam Seluruh Kawasan 1. Desa Sukaluyu Seluruh kawasan 1. Desa Sugihmukti
Gunung Tilu Kec. Pasirjambu untuk persiapan Kec. Pasirjambu Kab.
Kab. Bandung, penyiapan PDD Bandung

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO iii
Kawasan
Komponen-1 Komponen-2 Komponen-3 Komponen-4
Konservasi
(Blok Cipadarung) REDD+ 2. Desa Mekarsari Kec.
2. Desa Sugihmukti Pasirjambu Kab.
Kec. Pasirjambu Bandung
Kab. Bandung, 3. Desa Sukaluyu Kec.
(Blok Karang Pasirjambu Kab.
Gludug) Bandung
4. Desa Margamulya
Kec. Pasirjambu Kab.
Bandung
Cagar Alam Seluruh Kawasan - 1. Desa 1. Desa Sukamandi Kec.
Tangkuban Karyawangi Sagalaherang Kab.
Parahu Kecamatan Subang
Parongpong,
Kab. Bandung
Barat untuk PES
Air dan Elevasi
(Tower
Repeater)
Taman Wisata Seluruh Kawasan - 1. PES Wisata 1. Desa Jayagiri Kec.
Alam Tangkuban Alam Lembang Kab.
Parahu Bandung Barat
Taman Buru Seluruh Kawasan 1. Desa PES Air 1. Desa Tanjungwangi
Gunung Masigit Tanjungwangi Kec. Cicalengka Kab.
Kareumbi Kec. Cicalengka Bandung
Kab . Bandung 2. Desa Sindulang Kec.
(Blok Cinini) Cimanggung Kab.
Sumedang
Taman Nasional Kawasan Taman 1. Desa Sukatani 1. Desa Ciloto, Kec. 1. Ds. Sukatani Kec.
Gunung Gede Nasional wilayah Kec. Pacet, Kab. Pacet, dan Desa Pacet Kab. Cianjur
Pangrango kerja BWPTN I Cianjur ( Blok Kebon Peutuey,
Cianjur: Romusa) Kec.Warungkond-
1. Desa Cipendawa 2. Desa Cimacan ang Kab. Cianjur
Kec. Pacet Kab. Kec. Pacet Kab. untuk PES Air
Cianjur Cianjur (Blok
2. Desa Ciputri Kec. Telagasaat)
Pacet Kab. Cianjur 3. Desa Ciloto
3. Desa Padaluyu Kec. Pacet
Kec. Cugenang Kab. Cianjur (Blok
Kab. Cianjur Pasirsumbul)
4. Desa Tegallega
Kec.Warungkonda
ng Kab. Cianjur

Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh konsultan CF-CWMBC secara kontraktual akan
berjalan selama 12 bulan, yaitu sejak bulan Desember 2012 sampai dengan Desember
2013 dengan pendekatan kunci diantaranya adalah : 1) Pendekatan Pengelolaan Basis Data
dan Pengembangan SIG; 2) Pendekatan Lanskap dan Ekosistem kawasan konservasi dan
daerah penyangga di sekitarnya; 3) Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Lokal secara
partisipatif dan Pengarusutamaan Gender; 4) Pendekatan Kolaboratif dan; 5) Pendekatan
Berkelanjutan.
Adapun metode pelaksanaan proyek CWMBC yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Baseline Survey Keanekaragaman Hayati (Desk Study dan Observasi Lapangan)
2. Pengembangan dan Pemanfaatan Basis Data (Metode Waterfall)
3. Pengembangan dan Pemanfaatan MIS dan SIG Berbasis Web
4. Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan(PPR/RL)
5. Model Desa Konservasi (MDK)
6. Advokasi, Workshop dan Focused Group Discussion (FGD)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO iv
7. Pelatihan dan Pendampingan Teknis Kepada Staf UPT dan masyarakat
8. Kampanye Publik (Public Campaign)

Pelaksanaan proyek CWMBC oleh CF melibatkan tenaga ahli yang terdiri dari 2 (dua) orang
konsultan internasional dan 31 orang konsultan nasional serta tenaga pendukung teknis
(asisten, koordinator fasilitator desa, fasilitator, drafter, surveyor dan tenaga lokal) dan
administratif (project manager, sekretaris dan tenaga administratif lainnya). Tenaga ahli
yang terlibat berdasarkan kepakarannya ditempatkan pada setiap komponen yang dipimpin
oleh seorang team coordinator (TC). Masing-masing komponen memiliki rencana kegiatan
dan output penting sebagai berikut:

1. Rencana kegiatan dan output penting dari Komponen-1, yaitu :


a. Inventarisasi keanekaragaman hayati, pemetaan habitat dan spesies utama di
delapan kawasan konservasi.
b. Pengembangan database, GIS (Geography Information System) dan MIS
(Management Information System) berbasis web untuk delapan kawasan konservasi.
c. Pengembangan rencana pengelolaan dan rencana aksi berbasis resort.
d. Peningkatan kapasitas untuk inventarisasi keanekaragaman hayati, pengembangan
data base, GIS dan MIS serta pengelolaan kawasan konservasi bagi staf BBKSDA
Jawa Barat dan BBTNGGP.
2. Rencana kegiatan dan output penting dari Komponen-2 antara lain:
a. Pengembangan Model/Pilot Proyek Restorasi /Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) di 3
kawasan konservasi (BBKSDA Jawa Barat) dan 1 kawasan konservasi (BBTNGGP)
b. Peningkatan kapasitas dan kolaborasi kelembagaan para pihak terkait
(stakeholders) dalam program restorasi/rehabilitasi lahan termasuk staf BBKSDA
Jawa Barat, BBTNGGP dan masyarakat.
c. Pengembangan teknik restorasi (ANR, Enrichment Planting, Planting), pengendalian
IAS dan pengembalian ekosistem dalam program PPR/RL di kawasan konservasi
2. Rencana kegiatan dan output penting dari Komponen-3 yaitu :
a. Konsep pengembangan PES untuk jasa pemanfaatan air (BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP), elevasi/ketinggian (tower repeater), jasa wisata alam dan karbon.
b. Panduan Lapangan (Field Guide) pemanfaatan dan pengembangan Payment for
Environmental Services (PES) di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP.
c. Peningkatan kapasitas untuk pengembangan Payment for Environmental Services
(PES) bagi staf di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP.
d. Perjanjian PES pada satu atau lebih jenis komoditi jasa lingkungan
3. Rencana kegiatan dan output penting dari Komponen-4, yaitu :
a. Pengembangan Model Desa Konsevasi (MDK) di 13 desa
b. Pengembangan usaha alternatif di 13 desa MDK
c. Rehabilitasi lahan di 13 desa MDK
d. Peningkatan kapasitas dan pengarusutamaan keanekaragaman hayati
(Keanekaragaman hayati) kepada stakeholder tingkat provinsi, kabupaten, desa,
masyarakat dan swasta.
e. Publikasi/Kampanye keanekaragaman hayati DAS Citarum tingkat nasional dan
lokal.

Secara umum tidak ada perubahan output kegiatan yang signifikan antara proposal teknis
dengan laporan pendahuluan ini. Namun demikian, dengan singkatnya periode pelaksanaan
proyek dipastikan akan terjadi perubahan-perubahan input sumberdaya yang implikasinya
terhadap perubahan struktur dan komposisi anggaran consulting service yang sebelumnya
telah terikat dalam kontrak induk. Kedepan, perubahan-perubahan akan mungkin terjadi
seiring dengan munculnya kebutuhan untuk melakukan percepatan pelaksanaan kegiatan,
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO v
dan perpanjangan pelaksanaan kegiatan selama enam bulan di Tahun 2014. Kondisi
tersebut harus dipahami bersama dan diantisipasi agar pelaksanaan kegiatan dapat
berjalan intensif tanpa terhambat oleh kendala administratif.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO vi
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan
Kata Pengantar ........................................................................................................ i
Ringkasan Eksekutif .............................................................................................. iii
Daftar Isi ................................................................................................................ vi
Daftar Tabel ........................................................................................................... ix
Daftar Gambar ........................................................................................................ x
Daftar Lampiran ..................................................................................................... xi
Daftar Singkatan ................................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Sasaran .............................................................................................. 3
1.3 Ruang Lingkup ...................................................................................................... 4
1.4 Lokasi Kegiatan ..................................................................................................... 4
1.5 Indikator Keberhasilan CWMBC ............................................................................... 5
1.6 Hasil dan Manfaat yang Diharapkan ........................................................................ 6
1.7 Sumber Pembiayaan .............................................................................................. 7

BAB II. GAMBARAN STATUS PENGELOLAAN KAWASAN ........................................ 8


2.1 Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Hayati (BBKSDA) Jawa Barat ...................... 8
2.1.1 Keanekaragaman Hayati di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat . 9
2.1.2 Kerusakan Hutan di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat ......... 13
2.1.3 Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat .......... 18
2.1.4 Stakeholder Pengelolaan Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat .. 25
2.2 Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) .......................... 27
2.2.1 Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Gede Pangrango................. 28
2.2.2 Kerusakan Hutan di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ......... 31
2.2.3 Jasa Lingkungan di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ......... 36
2.2.4 Stakehlder Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango .................. 38
2.3 Kondisi Pengelolaan Kawasan Konservasi ............................................................... 40

BAB III. PENDEKATAN DAN METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN ............. 43


3.1 Pendekatan Umum .............................................................................................. 43
3.1.1 Pendekatan Pengelolaan Basis Data dan Pengembangan SIG.......................... 44
3.1.2 Pendekatan Lanskap yang Lebih Luas dan Pendekatan Ekosistem ................... 47
3.1.3 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Pengarusutamaan Gender ... 47
3.1.4 Pendekatan Kolaboratif ............................................................................... 48
3.1.5 Pendekatan Keberlanjutan .......................................................................... 48
3.2 Pendekatan Spesifik Komponen ............................................................................ 48
3.2.1 Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat dan
Pengembangan Sistem GIS/Database untuk Perbikan Pengelolaan Kawasan
Konservasi ................................................................................................. 50
3.2.2 Pilot Project Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) di Beberapa Kawasan
Konservasi ................................................................................................. 53
3.2.3 Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Melalui
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO vii
Pelaksanaan PES ........................................................................................ 54
3.2.4 Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi ..... 56
3.3 Metodologi ......................................................................................................... 60
3.3.1 Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat dan
Pengembangan Sistem GIS/Database untuk Perbaikan Pengelolaan Kawasan
Konservasi ................................................................................................. 60
3.3.2 Pilot Project Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) di Beberapa Kawasan
Konservasi ................................................................................................. 71
3.3.3 Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Melalui
Pelaksanaan PES ........................................................................................ 73
3.3.4 Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi ..... 74

BAB IV. RENCANA KERJA ...................................................................................... 82


4.1 Rencana Kerja Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat dan
Pengembangan Sistem GIS untuk Perbaikan Perencanaan dan Tindakan Pengelolaan
Kawasan Konservasi ........................................................................................... 82
4.1.1 Perencanaan Survey Keanekaragaman Hayati dan Perancangan GIS .............. 83
4.1.2 Survey Biofisik, Pengecekan Batas dan Tutupan Lahan................................... 84
4.1.3 Analisis Statistikal dan Spasial Status Biofisik Kawasan konservasi ................... 85
4.1.4 Mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Berbasis Web-GIS .................. 85
4.1.5 Perbaikan Peta-peta untuk Mendukung Pengelolaan Kawasan konservasi ......... 85
4.1.6 Menyusun Rencana Pengelolaan atau Rencana Aksi Berbasis Resort ................ 86
4.1.7 Persiapan Profil Keanekaragaman Hayati Hulu DAS Citarum............................ 87
4.1.8 Penyusunan Laporan Komponen-1 ............................................................... 87
4.2 Rencana Kerja Pembangunan Pilot Proyek Restorasi Hutan..................................... 91
4.2.1 Persiapan Kegiatan PPR/RL ......................................................................... 91
4.2.2 Pelaksanaan Kegiatan PPR/RL ..................................................................... 91
4.2.2.1 Identifikasi Prioritas Lokasi Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan ... 91
4.2.2.2 Membangun Kerjasama Masyarakat dan Kolaborasi Para Pihak ........... 92
4.2.2.3 Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Untuk Program Restorasi ........... 92
4.2.2.4 Pembuatan PPER dan Penyusunan Rancangan Teknis PPR/RL............. 93
4.2.2.5 Asistensi Kegiatan Lapangan Pelaksanaan PPR/RL ............................. 94
4.2.3 Monitoring dan Evaluasi .............................................................................. 95
4.2.4 Penyusunan Road Map Restorasi Kawasan Konservasi ................................ 95
4.3. Rencana Kerja Pengembangan Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi
Keanekaragaman Hayati Melalui Pembayaran Jasa Lingkungan ............................... 98
4.3.1 Konseptualiasi Pengembangan PES .............................................................. 98
4.3.2 Penetapan Kriteria dan Indikator PES ........................................................... 99
4.3.3 Valuasi Jasa Lingkungan ............................................................................. 99
4.3.4 Pemetaan dan Analisis Stakeholder PES dan Willingness to Pay untuk Masing-
masing Komoditi Jasa Lingkungan Pada Lokasi yang Telah Ditetapkan ............. 99
4.3.5 Pembahasan dan Dialog PES Multipihak .......................................................100
4.3.6 Penyusunan Dokumen Persiapan REDD+ di Cagar Alam Gunung Tilu .............100
4.3.7 Membangun Kesepakatan PES dengan Para Pihak (Memorandum of Agreement)
.................................................................................................................100
4.4. Rencana Kerja Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap
Produksi ...........................................................................................................105
4.4.1 Pengumpulan Data Awal dan Observasi Desa ..............................................106
4.4.2 Sosialisasi dan Koordinasi Program di Tingkat Desa ......................................106
4.4.3 Perekrutan dan Peningkatan Kapasitas Fasilitator Desa .................................106
4.4.4 Peningkatan Kapasitas dan Pembangunan Kelembagaan Masyarakat .............107
4.4.5 Pendampingan Pelaksanaan PRA ................................................................107
4.4.6 Penyusunan Master Plan dan Rencana Kerja Tahunan MDK serta Rencana
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO viii
Bisnis Usaha Produktif Kelompok MDK .........................................................107
4.4.7 Fasilitasi Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan Partisipatif .....................................107
4.4.8 Komunikasi dna Publikasi Kampanye Konservasi Keanekaragaman Hayati .......108
BAB V. KEGIATAN PERSIAPAN YANG DILAKUKAN OLEH CONSULTANT FIRM
(CF)-CWMBC ............................................................................................. 111
5.1 Penyiapan Dukungan Manajemen Proyek (PMS) CF-CWMBC ...................................111
5.2 Kantor Proyek ....................................................................................................113
5.3 Komposisi Tim dan Mobilisasi ..............................................................................113
5.4 Pertemuan.........................................................................................................115
5.5 Kajian Pustaka, Focus Group Discussion (FGD), Observasi Lapangan dan Penyusunan
Laporan .............................................................................................................117

Daftar Pustaka 120

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lokasi Kegiatan Masing-Masing Komponen Proyek CWMBC ................................ iii


Tabel 2. Lokasi Ekstensif Kegiatan CWMBC – ICWRMIP ................................................... 5
Tabel 3. Sebaran Jenis Tumbuhan Non-Pohon di Beberapa Kawasan Konservasi di Wilayah
Kerja BBKSDA Jawa Barat ............................................................................. 10
Tabel 4. Jenis Flora yang Dilindungi di Beberapa Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat 10
Tabel 5. Keanekaragaman Jenis Fauna di Beberapa Kawasan Konservasi Wilayah Kerja
BBKSDA Jawa Barat ...................................................................................... 11
Tabel 6. Luas Lahan Kritis di Tujuh Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat ................... 15
Tabel 7. Lahan Kritis di Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat Proyek CWMBC............. 16
Tabel 8. Kondisi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di TB Gunung Masigit Kareumbi ......... 21
Tabel 9. Kepentingan Unsur Multi-Stakeholder - BBKSDA Jawa Barat ............................. 25
Tabel 10. Tingkat Kekritisan Lahan di TNGGP ............................................................... 33
Tabel 11. Tingkat Kekritisan Lahan di TNGGP-Proyek CWMBC ........................................ 33
Tabel 12. Jenis Pohon dengan Potensi Biomassa dan Kandungan Karbon Tertinggi di
TNGGP ...................................................................................................... 38
Tabel 13. Kepentingan Unsur Multi-Stakholder - BBTNGGP ............................................ 39
Tabel 14. Pengelompokkan Aktivitas Survey/Inventarisasi Keanekaragaman Hayati ......... 63
Tabel 15. Pengelompokkan Sementara Species Kunci dan punya Nilai Konservasi Penting
dalam Konteks Konservasi Keanekaragaman Hayati ....................................... 65
Tabel 16. Monitoring Database Habitat Hidupan Liar .................................................... 67
Tabel 17. Monitoring Database Spesies Penting ........................................................... 68
Tabel 18. Database untuk Monitoring Spesies Penting .................................................. 68
Tabel 19. Matrik Penilaian Penyusunan Rencana Pengelolaan/Aksi Berbasis Resortr ......... 86
Tabel 20. Rencana Kerja Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat, dan
Pengembangan SIG untuk Perbaikan Perencanaan dan Tindakan Pengelolaan
Kawasan Konservasi .................................................................................. 88
Tabel 21. Asistensi Kegiatan Pilot Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) Tahun 2013 ....... 94
Tabel 22. Rencana Kerja Pembangunan Pilot Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL)
Tahun 2013 ................................................................................................ 94
Tabel 23. Rencana Kerja Pengembangan Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi
Keanekaragaman Hayati Melalui Pembayaran Jasa Lingkungan .......................102
Tabel 24. Rencana Kerja Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap
Produksi ...................................................................................................109
Tabel 25. Komposisi Tim CWMBC, Reposisi dan Penggantian Tenaga Ahli ......................114
Tabel 26. Kegiatan Tenaga Ahli .................................................................................116
Tabel 27. Focus Group Discussion (FGD) Tiap Komponen di BBTNGGP dan
BBKSDA Jawa Barat ...................................................................................118
Tabel 28. Observasi Lapangan tiap Komponen di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP ......119

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pondasi dan Pilar Pencapaian Visi ICWRMIP.................................................. 2


Gambar 2. Peta Revisi Zonasi TNGGP ......................................................................... 28
Gambar 3. Pohon Masalah Pengelolaan Kawasan Konservasi ........................................ 41
Gambar 4. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Kawasan Konservasi .............................. 42
Gambar 5. Strategi Pembandingan (Benchmarking) CWMBC di 8 Kawasan Konservasi..... 44
Gambar 6. Diagram Alir Output Peta CWMBC ............................................................. 46
Gambar 7. Alur Pikir/Kerangka Logis Pelaksanaan Kegiatan Komponen-1 ....................... 53
Gambar 8. Kerangka Pendekatan Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) ..... 54
Gambar 9. Kerangka Pendekatan Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi
Keanekaragaman Hayati Melalui Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan
(PES) ...................................................................................................... 55
Gambar 10. Kerangka Pendekatan Pengarusutamaan Keanekaragaman Hayati di Lanskap
Produksi ................................................................................................. 56
Gambar 11. Tipe Partisipasi 1..................................................................................... 59
Gambar 12. Metode Pelaksanaan Restorasi/Rehabilitasi Lahan Partisipatif ....................... 72
Gambar 13. Pola Membangun Gerakan Masyarakat ...................................................... 75
Gambar 14. Paradigma Pembelajaran Masyarakat Partisipatif......................................... 76
Gambar 15. Logical knowledge management systemt ................................................... 83
Gambar 16. Struktur Organisasi dari PMS ...................................................................111
Gambar 17. Tampilan Situs Web www.cwmb.org ........................................................118

1Selener , Daniel (1997) “Participatory Action Research and Social Change” Cornell University, Ithaca, New York, USA,
(hal.203-206)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Draft SOP Pelaksanaan Survey Biodiversity dan Pemetaan Serta


Pembangunan GIS/MIS/RS ..................................................................... L-1

Lampiran 2. Resume Focus Group Discussion (FGD) dan Review Existing Program
di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP .....................................................L-32

Lampiran 3. Review Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan di Indonesia .........L-54

Lampiran 4. Hasil Review Desa Calon MDK di Wilayah Kerja BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP ............................................................................................L-58

Lampiran 5. Pre-Inception Report Meeting ................................................................L-65

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO xii
DAFTAR SINGKATAN

ADB Asian Development Bank


ANR Assisted Natural Regeneration
BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BBKSDA Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Banten
BBTNGGP Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
BBWS Citarum Balai Besar Wilayah Sungai Citarum
BPDAS Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
BPLHD Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah
BOD Board of Director
CA Cagar Alam
CF Consultant Firm
CF-CWMBC Consultant Firm-Citarum Watershed Management and Biodiversity
Conservation
CII Conservation International Indonesia
CRB Citarum River Basin
CSR Corporate Social Responsibility
CWMBC Citarum Watershed management and Biodiversity Conservation
DAS Daerah Aliran Sungai
DR Dominansi Relatif
ESP Environmental Service Program
FGD Focus Group Discussion
FORPELA Forum Peduli Air
FR Frekuensi Relatif
FTS Framework Tree Species
GEF Global Environment Facility
GERHAN Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
GIS Geographic Information System
GPS Global Positioning System
IAS Invasive Aliens Species
IC-CWMBC Individual Consultant-Citarum Watershed Management and Biodiversity
Conservation
ICWRMIP Integrated Citarum Water Resourcse Management nvestment Program
INP Index Nilai Penting
IPB Institut Pertanian Bogor
ITB Institut Teknologi Bandung
IT Information Technology
KAK Kerangka Acuan Kerja
Kehati Keanekaragaman hayati
KK Kawasan Konservasi
KIMPRASWIL Pemukiman dan Prasarana Wilayah
KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan
KPA Kawasan Pelestarian Alam
KPSA Kelompok Pelestari Suaka Alam
KR Kerapatan Relatif
KSA Kawasan Suaka Alam
KTH Kelompok Tani Hutan
LBD Luas Bidang Dasar
LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
LR/RTTI Land Rehabilitation/Restoration Technique Training Instructure

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO xiii
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MAB-UNESCO Man and the Biosphere – United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization
MDK Model Desa Konservasi
MCK Mandi Cuci Kakus
MIS Management Information System
MoU Memorandum of Understanding
MPTS Multipurpose Tree Species
PAs Protected Area
PD Project Director
PCMU Program Coordination Management Unit
PERHUTANI Perusahaan Hutan Negara Indonesia
PERUM Perusahaan Umum
PES Payment for Environmental Services
PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
PHBM Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
PIU Project Implementation Unit
PMS Project Management Support
PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak
POKMAS Kelompok Masyarakat
PRA Participatory Rural Appraisal
PSP Permanent Sample Plot
PSDAP Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan
REDD+ Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation
RBM Resort Based Management
RHLP Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif
RMCU-ICWRMIP Road Map Coordinator Unit - Integrated Citarum Water Resource
Management Investment Program
RKL Rencana Karya Lima Tahun
RKT Rencana Karya Tahunan
RRA/PRA Rapid Rural Appraisal/Participatory Rural Appraisal
SDM Sumber Daya Manusia
SEC Strategic Extention Campaign
SOP Standard Operating Procedure
TAs Target Area
TA Technical Assistance
TB Taman Buru
TC Team Coordinator
TL Team Leader
TN Taman Nasional
TOR Term of Reference
TWA Taman Wisata Alam
UNWIM Universitas Winaya Mukti
UNPAD Universitas Pajajaran
USAID United State Agency for International Development
VCA Value Changes Analysis
VES Visual Encounter Survey
WTP Willingness to Pay
WWF World Wildlife for Fund

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO xiv
Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan luas + 659.500,97 Ha1 merupakan salah satu
DAS yang sangat strategis di Indonesia. Wilayah DAS ini dihuni oleh 17.149.146 orang
pada tahun 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai + 7 % setiap tahunnya.
Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar itu, diperkirakan jumlah penduduk yang
mendiami wilayah DAS Citarum pada tahun 2025 berjumlah 20.640.710 orang. Jumlah
penduduk yang terus bertambah disertai dengan berkembangnya berbagai infrastruktur
ekonomi dan pembangunan merupakan permasalahan penting yang menyebabkan DAS
Citarum saat ini dalam kondisi kritis.
Tiga bendungan besar, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur berada di
DAS Citarum berperan penting dalam memasok air untuk pembangkit listrik jaringan inter-
koneksi Jawa-Bali serta memasok 80% air baku ke wilayah Jakarta. Wilayah DAS Citarum
juga merupakan wilayah dengan nilai konservasi tinggi, terutama ekosistem hutan yang
umumnya berada di bagian hulu DAS. Kawasan lindung berupa hutan lindung dan hutan
konservasi di DAS Citarum merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan pegunungan
pulau Jawa dan benteng terakhir kelestarian keanekaragaman hayati di pulau Jawa bagian
barat.
Potensi keanekaragaman hayati di Hulu DAS Citarum berdasarkan beberapa hasil penelitian
yang dilakukan di beberapa kawasan konservasi, diantaranya adalah 160 spesies tanaman,
24 spesies mamalia (20 dilindungi, 3 endemik dan 1 spesies langka); 72 spesies burung (60
dilindungi, 10 endemik, 2 spesies langka); 11 reptilia dilindungi, dan 2 spesies ikan
dilindungi. Diantara jenis fauna yang dilindungi, terdapat spesies indikator dan merupakan
spesies yang secara global diakui dalam kondisi terancam yaitu: Surili (Presbytis comata),
Owa Jawa (Hylobates moloch) dan spesies Macan Tutul (Panthera pardus) yang terus
menurun jumlahnya. Beberapa spesies burung penting antara lain burung Tikus (Tesia
superciliaris), Punai Ekor Panjang (Treron oxyura), burung Anis Hutan (Zoothera
andromedae), dan Burung Celepuk Jawa (Otus angelinae) juga teridentifikasi di beberapa
daerah di hutan Jawa Barat. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan burung paling
terancam punah yang dilaporkan jumlahnya hanya sekitar 50 pasang. Kekayaan flora di
hutan Jawa Barat diantaranya adalah Rasamala (Altingia excelsa), Jamuju (Dacrycarpus
imbricatus), Puspa (Schima walichii), Pasang (Lithocarpus sp.), Kihiur (Castanopsis
javanica), Kihujan (Engelhasdia spicata), Huru (Litsea sp.), dan Riung Anak (Castanopsis
accuminatissima). Jenis pohon yang sudah jarang dijumpai antara lain Baros (Manglietia
glauca), Kiputri (Podocarpus neriifolius) dan Kimerak (Podocarpus amara) yang kayunya
merupakan bahan baku bangunan berkualitas tinggi. Jenis Jamuju (Dacrycarpus
imbricatus) dan Saninten (Castanopsis rgentea) termasuk jenis pohon yang dilindungi (Cies
Appendix II dan Permenhut No.P.57/Menhut-II/2008).
Keanekaragaman flora dan fauna di hulu DAS Citarum tersebut berada di kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung. Kawasan hutan konservasi di hulu DAS Citarum yang secara

1 Keputusan Presiden No.12 Tahun 2012 Tentang Penetapan Wilayah Sungai


Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 1
Bab I Pendahuluan

administratif berada di Provinsi Jawa Barat dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Kementerian Kehutanan yaitu Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA Jabar)
dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP). Adapun kawasan
hutan lindung dikelola oleh Perum Perhutani.
Proyek Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC)
diluncurkan untuk mencapai pengelolaan dan pelestarian kawasan konservasi yang lebih
baik, selain untuk meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati tetapi sekaligus
memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat di DAS Citarum. Proyek CWMBC
adalah bagian dari proyek Integrated Citarum Water Resources Management Investment
Program (ICWRMIP). Visi serta pilar dan pondasi pencapaian visi ICWRMIP disajikan pada
Gambar 1.

VISI
Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi
terciptanya sungai yang bersih, sehat dan produktif,
serta membawa manfaat berkesinambungan bagi
seluruh masyarakat di wilayah Citarum

Kelembagaa Pengembangan Penggunaan


Area Kunci Utama n dan dan Pengelolaan dan Perlindungan Manajemen
(Pilar) Perencanaan SDA Pembagian Air Lingkungan Bencana
IWRM

Area Kunci
Pendukung Pemberdayaan Masyarakat Data dan Informasi
(Pondasi)

Gambar 1. Pondasi dan Pilar Pencapaian Visi ICWRMIP

Komponen-komponen ICWRMIP (Integrated Citarum Water Resources Management


Investment Program) adalah sebagai berikut :
1. Komponen-1 : Kelembagaan dan Perencanaan untuk Pengelolaan Sumberdaya Air
Terpadu (Institution and Planning for IWRM)
2. Komponen-2 : Manajemen dan Pengembangan Sumberdaya Air (Water Resource
Development and Management);
3. Komponen-3 : Pembagian Air (Water Sharing);
4. Komponen-4 : Perlindungan Lingkungan (Environm ental Protection );
5. Komponen-5 : Manajemen Bencana (Disaster Management);
6. Komponen-6 : Penguatan Masyarakat (Community Empowerment);
7. Komponen-7 : Data dan Informasi (Data and Information)
8. Komponen-8 : Manajemen Program (Program Management).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 2
Bab I Pendahuluan

Proyek CWMBC termasuk dalam Komponen-4 (Perlindungan Lingkungan) dari ICWRMIP,


sehingga merupakan salah satu pilar bagi pencapaian visi ICWRMIP. Berbeda dengan
komponen kegiatan ICWRMIP lainnya, proyek CWMBC ini merupakan satu-satunya
kegiatan yang sumber pendanaannya berasal dari hibah (grant) Global Environmental
Facility (GEF), sementara yang lainnya bersumber dari pinjaman (loan).
Proyek CWMBC ini dilaksanakan di bawah manajemen Asian Development Bank (ADB)
berdasarkan Grant 0216-INO tahun 2009. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, sebagai Executing Agency (EA) dari
proyek CWMBC ini telah menetapkan konsorsium PT. Inacon Luhur Pertiwi Joint Venture
PT. Akurat Supramindo Konsul, PT. Multi Tekniktama Prakarsa, dan Indonesian Center for
Biodiversity and Biotechnology (ICBB) sebagai Consultant Firm (CF) proyek CWMBC.
Sejak Desember 2012 hingga Maret 2013 pihak konsorsium perusahaan konsultan telah
melakukan serangkaian kegiatan tahap persiapan, yang meliputi: pembentukan project
management support, penyiapan fasilitas perkantoran, kick off meeting, rapat pembahasan
awal rencana kerja di BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, FGD rencana kerja setiap komponen di
BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, desk study, observasi lapangan, dan serial rapat
pembahasan finalisasi rencana kerja.Hasil akhir dari tahap persiapan ini berupa buku
laporan pendahuluan yang berisi rencana kerja final yang disepahami dan disepakati oleh
semua pihak dalam proyek CWMBC.
Tahapan persiapan tersebut sangat strategis karena berkaitan dengan terjadinya
pengurangan durasi proyek yang tentu saja akan mempengaruhi pendekatan dan strategi
pelaksanaan setiap kegiatan. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan inti dalam proyek CWMBC
hanya memiliki durasi pekerjaan selama 12 bulan (hingga Desember 2013), berkurang dua
tahun dari durasi yang direncanakan (tiga tahun). Potensi masalah akibat berkurangnya
waktu bagi pelaksanaan kegiatan tentu mencakup wilayah substansi dan administrasi. Oleh
sebab itu, produk-produk akhir dari tahap persiapan yang dituangkan dalam dokumen
Inception Report merupakan sumber acuan baru untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan
teknis proyek CWMBC yang harus dipedomani semua pihak.

1.2 Tujuan dan Sasaran

Tujuan proyek ICWRMIP dalam pengelolaan DAS Citarum terpadu adalah tercapainya
kondisi sumberdaya air dan daerah tangkapan air yang bersih, sehat, dan produktif, serta
pada saat yang sama melakukan upaya konservasi kekayaan keanekaragaman hayati
sebagai kekayaan lokal, nasional dan global melalui upaya kerjasama antar pemerintah dan
masyarakat. Tujuan tersebut akan dapat tercapai dengan mengimplementasikan kegiatan
pengelolaan DAS dan konservasi keanekaragaman hayati secara terpadu melalui program
CWMBC.
Adapun tujuan dari proyek CWMBC adalah mengawal dan mendukung pemanfaatan
lingkungan secara global untuk konservasi sumber daya keanekaragaman hayati yang unik
pada kawasan konservasi di DAS Citarum.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 3
Bab I Pendahuluan

Sasaran proyek CWMBC adalah sebagai berikut:


1. Tersedianya data yang saat ini langka dan tidak tersedia secara lengkap, yang sangat
dibutuhkan untuk upaya konservasi dan digunakannya data yang ada dalam menyusun
rencana aksi pengelolaan di dalam delapan kawasan konservasi.
2. Perbaikan dan perluasan keberadaan habitat untuk menunjang keberlangsungan
sumberdaya keanekaragaman hayati.
3. Pemastian kawasan yang patut dan layak menjadi kawasan lindung dan konservasi.
4. Pengurangan trend kerusakan kawasan dan kehilangan sumberdaya keanekaragaman
hayati akibat kegiatan manusia.
5. Teratasinya masalah pendanaan untuk pengelolaan jangka panjang kawasan
konservasi.
6. Teridentifikasi dan terlaksananya kegiatan percontohan untuk satu atau lebih
mekanisme yang layak dan bisa memberikan jaminan finansial jangka panjang.
7. Dimasukannya aspek atau pertimbangan konservasi keanekaragaman hayati oleh para
pelaku pengelolaan lahan di luar kawasan konservasi. Pelaku kunci adalah:
pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten), Kimpraswil, Road Map Coordinator Unit –
Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (RCMU-
ICWRMIP), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Perhutani Unit III Jawa
Barat dan Banten (hingga Kesatuan Pemangkuan Hutan/KPH), pelaku swasta, serta
masyarakat sekitar kawasan konservasi.

1.3. Ruang Lingkup

Proyek Pengelolaan DAS Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (CWMBC) ini
terbagi dalam empat komponen kegiatan utama, yaitu :

Komponen-1 : Inventarisasi keanekaragaman hayati, pemetaan habitat, dan


pembangunan sistem informasi geografis (SIG) untuk peningkatan
perencanaan dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi.
Komponen-2 : Pilot proyek restorasi/rehabilitasi lahan (PPR/RL) kawasan konservasi.
Komponen-3 : Pendanaan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati
melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment for
Environmental Program/PES).
Komponen-4 : Pengarusutamaan konservasi keanekaragaman hayati pada bentang
lahan/lanskap produksi.
Di setiap komponen terdapat beberapa kegiatan utama yang terbagi lagi menjadi beberapa
sub kegiatan. Seluruh kegiatan utama dan sub kegiatannya diarahkan untuk mencapai
tujuan dengan indikator-indikatornya yang telah dibahas dan disepakati bersama antara
pihak konsorsium konsultan perusahaan sebagai pihak pelaksana dengan pihak BBKSDA
Jabar, BBTNGGP dan Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (KKBHL)
sebagai pengguna.

1.4. Lokasi Kegiatan


Kegiatan CWMBC dilakukan di 8 (delapan) kawasan konservasi pada wilayah kerja BBKSDA
Jabar dan BBTNGGP. Daftar lokasi proyek dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 4
Bab I Pendahuluan

Tabel 2. Lokasi Ekstensif Kegiatan CWMBC – ICWRMIP

Kawasan
Status/Penetapan Luas (Ha) Lokasi Ekstensif
Konservasi
Gunung Cagar Alam; Berdasarkan Kep. Mentan 2.700 Kabupaten
Burangrang No 479/Kpts/Um/8/1979 tgl 2 Agustus Purwakarta
1979
Kawah Kamojang Cagar Alam; Kep Mentan No 7.500 Kabupaten Garut,
170/Kpts/Um/3/1979 tgl 13 Maret, 1979 Bandung
Kawah Kamojang TWA; Kep Mentan No 500 Kabupaten Garut,
170/Kpts/Um/3/1979 tgl 13 Maret, 1979 Bandung
Gunung Tilu Cagar Alam; Kep Mentan No. 8.000 Kabupaten Bandung
68/Um/2/1978 date 2 Februari, 1978
Gunung Cagar Alam; Kep Mentan No. 1.290 Kabupaten Bandung,
Tangkuban Parahu 258/Kpts/Um/9/1974 tgl 3 September, Subang
1974
Gunung TWA; Kep Mentan No. 370 Kabupaten Bandung,
Tangkuban Parahu 258/Kpts/Um/9/1974 tgl 3 September Subang
1974
Gunung Masigit Taman Buru; Kep Mentan No 298/Kpts- 23.000 Kabupaten
Kareumbi II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 Sumedang, Garut dan
Bandung
Gunung Gede – Taman Nasional; Kep. Mentan No 108/ 21.975 Kabupaten Cianjur
Pangrango Kpts/Um/2/1979 tgl 10 Februari 1979;
kemudian diperluas menjadi 21,975 ha
berdasar Kep. Mmenhut No.174/Kpts-
II/2003, merupakan satu dari lima Taman
Nasional Pertama dinyatakan di Indonesia
pada tahun 1980;

1.5. Indikator Keberhasilan CWMBC


Indikator keberhasilan CWMBC berdasarkan Mid-Term Review ICWRMIP oleh ADB pada
Oktober 2012 adalah sebagai berikut:
1. Lembaga dalam Kementerian Kehutanan bertanggung jawab untuk konservasi
keanekaragaman hayati dan manajemen kawasan konservasi, termasuk bidang yang
menangani perencanaan fungsi DAS secara terintegrasi;
2. Ditetapkannya stasiun permanen untuk monitoring keanekaragaman hayati di delapan
kawasan konservasi;
3. Terencanakannya kerangka aksi pengelolaan keanekaragaman hayati di delapan
kawasan konservasi melalui proses partisipatif, perencanaan termasuk pedoman survey
dan monitoring keanekaragaman hayati secara regular, pembuatan tata batas,
kepedulian dan pelatihan staf;
4. Berkaitan dengan GIS: sistem basis data terdesain, terinstalasi dan operasional di
delapan kawasan konservasi untuk mendukung manajemen dan monitoring
keanekaragaman hayati;
5. Elemen-elemen keanekaragaman hayati dari proyek secara efektif termonitor melalui
alat penelusuran (tracking tool) dan mekanisme monitoring target lainnya;
6. Kurang lebih 75 ha lahan terdegradasi di dalam kawasan konservasi TB Masigit
Kareumbi, CA Burangrang, CA Gunung Tilu dan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango terestorasi melalui kegiatan PPR/RL.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 5
Bab I Pendahuluan

7. Lebih kurang 34 ha lahan terdegradasi di luar kawasan konservasi terehabilitasi melalui


pilot proyek CWMBC tersebar di 13 desa yang berbatasan dengan delapan kawasan
konservasi.
8. Lebih kurang 40.160 ha dari total 54.635 ha lahan di dalam kawasan konservasi
berada dibawah manajemen yang lebih efektif.
9. Setidaknya terdapat 2 (dua) skema PES yang disepakati (MoU) untuk keberlanjutan
pembiayaan kawasan dan operasional di akhir proyek.
10. Sedikitnya terdapat 1 (satu) jenis usaha yang paling menguntungkan dari 3 (tiga)
alternatif (per desa) pengembangan mata pencaharian baru yang diujicobakan di 13
Model Desa Konservasi.
11. Sebanyak 13 desa (1 desa di sekitar wilayah kerja BBTNGGP dan 12 desa di sekitar
wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat), terorganisir dan berkontribusi secara efektif
terhadap pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati.
Indikator keberhasilan proyek CWMBC secara teknis dijelaskan lebih rinci dalam kerangka
kerja logis di Bab III.

1.6. Hasil dan Manfaat Yang Diharapkan


Dampak yang diharapkan dari proyek ICWRMIP secara umum adalah meningkatnya
kesejahteraan masyarakat, standar kesehatan dan kehidupan masyarakat dengan indikator
menurunnya kemiskinan di wilayah Sungai Citarum. Adapun hasil-hasil dari proyek
ICWRMIP yang diharapkan agar memunculkan dampak tersebut di atas adalah:
1. Kelembagaan yang lebih kuat serta kebijakan tegas untuk pengelolaan sumber daya
air terpadu diharapkan akan memberikan pendekatan holistis dan efektif untuk
pengelolaan di wilayah Sungai Citarum .
2. Meningkatnya ketersediaan air, sungai dan tangkapan air yang lebih bersih dan sehat
akan memberikan kontribusi pada meningkatnya produktivitas pertanian dan industri,
meningkatnya penyediaan air di daerah perkotaan dan pedesaan, serta memberikan
kualitas hidup yang lebih baik bagi penduduk yang tinggal di sepanjang aliran sungai.
Adapun outcome yang diharapkan dari proyek CWMBC adalah sebagai berikut:
1. Pengarusutamaan keanekaragaman hayati pada ICWRMIP melalui: (i) mekanisme
koordinasi yang efektif untuk manajemen kawasan konservasi dalam DAS Citarum; (ii)
memadukan pelaksanaan pengarusutamaan keanekaragaman hayati pada kegiatan
proyek ICWRMIP yang lebih luas, dan (iii) menjalin kerjasama dan komunikasi dengan
instansi terkait termasuk BPDAS Citarum.
2. Pemahaman dan penggambaran sumber daya keanekaragaman hayati dan habitat
dalam kawasan konservasi secara akurat.
3. Peningkatan keterampilan dan pengetahuan staf kawasan konservasi secara terukur
untuk memperkuat perencanaan dan manajemen kawasan konservasi.
4. Lahan terdegradasi di dalam dan di luar kawasan konservasi dipulihkan kembali
(restorasi) dan direhabilitasi, agar berkontribusi terhadap pembentukan dan peningkatan
keanekaragaman hayati pada koridor (jalur ekologi) yang berdekatan.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 6
Bab I Pendahuluan

1.7. Sumber Pembiayaan


Sumber pembiayaan kegiatan CWMBC merupakan kontribusi Global Environment Facility
(GEF) yang digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan untuk melestarikan nilai-nilai
keanekaragaman hayati DAS Citarum (khususnya di dalam delapan kawasan konservasi
dan dalam lanskap produksi yang dipilih).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 7
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

BAB II GAMBARAN STATUS PENGELOLAAN KAWASAN

2.1 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat merupakan Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Kelas A pada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(Ditjen PHKA) yang wilayah kerjanya meliputi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten 1 ,
serta dibagi ke dalam tiga bidang wilayah kerja, yaitu Bidang KSDA Wilayah I di Bogor,
Bidang KSDA Wilayah II di Soreang, dan Bidang KSDA Wilayah III di Ciamis.
Tugas BBKSDA Jawa Barat adalah melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa,
taman wisata alam, dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan
hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Konservasi Sumber Daya Alam). Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat sesuai
tugasnya sebagai UPT Kementerian Kehutanan menyelenggarakan fungsi :
a. Penataan blok, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan
kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, serta
konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luarkawasan konservasi;
b. Pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman
buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan
konservasi;
c. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung;
d. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan hutan, hasil hutan dan tumbuhan dan satwa
liar di dalam dan di luar kawasan konservasi;
e. Pengendalian kebakaran hutan;
f. Promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;
g. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya;
h. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta
pengembangan kemitraan;
i. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi;
j. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam;
k. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

1Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 51/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Kesatu Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.02/Menhut- Ii /2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 8
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat berjumlah 51 kawasan dengan luas
total 83.099,60 Ha terdiri dari :
1. Cagar Alam Darat (28 unit) : 50.721,04 Ha
2. Cagar Alam Laut (2 unit) : 1.620,00 Ha
3. Suaka Margasatwa Darat (2 unit) : 13.527,50 Ha
4. Suaka Margasatwa Laut (1 unit) : 90,00 Ha
5. Taman Wisata Alam Darat (16 unit) : 4.000,36 Ha
6. Taman Wisata Alam Laut (1 unit) : 720,00 Ha
7. Taman Buru (1 unit) : 12.420,70 Ha

Tujuh dari 28 kawasan konservasi darat di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat menjadi target
Areas (TAs) dari proyek CWMBC, yaitu :
1) Cagar Alam (CA) Gunung Burangrang seluas 2.700 Ha berada di wilayah Kabupaten
Purwakarta Provinsi Jawa Barat
2) Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang seluas 7.500 Ha berada di wilayah Kabupaten
Garut dan Bandung Provinsi Jawa Barat.
3) Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Kamojang seluas 500 Ha berada di wilayah
Kabupaten Garut dan Bandung Provinsi Jawa Barat.
4) Cagar Alam (CA) Gunung Tilu seluas 8.000 Ha berada di wilayah Kabupaten Bandung
Provinsi Jawa Barat
5) Cagar Alam (CA) Gunung Tangkuban Parahu seluas 1.290 Ha berada di wilayah
Kabupaten Bandung dan Subang Provinsi Jawa Barat.
6) Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu seluas 370 Ha berada
diwilayah Kabupaten Bandung dan Subang Provinsi Jawa Barat.
7) Taman Buru (TB) Gunung Masigit Kareumbi seluas 23.000 Ha berada di wilayah
Kabupaten Sumedang, Garut dan Bandung Provinsi Jawa Barat.

Kondisi kawasan tersebut pada umumnya relatif baik, namun ada beberapa kawasan
konservasi tersebut mengalami kerusakan yang disebabkan oleh gangguan alam maupun
ulah manusia, seperti adanya kebakaran hutan, longsor, perambahan dan penjarahan.

2.1.1 Keanekaragaman Hayati di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa


Barat

A. Potensi Keanekaragaman Hayati di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam


Jawa Barat

Potensi keanekaragaman hayati flora dan fauna di kawasan KSDA Jawa Barat cukup variatif.
Beberapa sumber penelitian menyebutkan bahwa keanekaragaman flora di 7 (tujuh)
kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat diantaranya adalah : Cagar Alam (CA)
Gunung Burangrang tercatat ada 17 famili dan 29 spesies tumbuhan; Cagar Alam/Taman
Wisata Alam (CA/TWA) Kawah Kamojang 20 famili, 30 spesies; Cagar Alam/Taman Wisata
(CA/TWA) Gunung Tangkuban Parahu 11 famili, 14 spesies; Taman Buru (TB) Gunung
Masigit Kareumbi 23 famili, 46 spesies; dan Cagar Alam (CA) Gunung Tilu 14 famili, 19
spesies. Vegetasi pohon kelompok famili Fagaceae; Lauraceae; Melastomataceae dan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 9
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Theacea, tersebar secara merata di 7 (tujuh) kawasan tersebut. Di samping famili-famili


tumbuhan tersebut, ditemukan juga vegetasi pohon dari famili Araliaceae; Asteraceae;
Caprifoliaceae; Dilleniacea; Elaeocarpaceae; Euphorbiaceae; Fabaceae; Flacourtiaceae;
Hamamelidaceae; Juglandaceae; Lauraceae; Magnoliaceae; Melastomataceae; Meliaceae;
Moraceae; Myrsinacea; Myrtaceae; Oleaceae; Piperaceae; Pinnaceae; Polygalaceae;
Proteaceae; Rosaceae; Rutaceae; Sauraiaceae; Symplocaceae; theceae; Ulmaceae, Undet
dan Urticaceae. Jenis-jenis vegetasi bukan pohon berupa epifit, herba, liana, pakis, palma,
dan pandan ditemukan di hutan-hutan konservasi tersebut dengan penyebarannya
ditunjukkan pada Tabel 3. Adapun jenis flora yang dilindungi di kawasan-kawasan konservasi
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 3. Sebaran Jenis Tumbuhan Non-Pohon di Beberapa Kawasan Konservasi di Wilayah
Kerja BBKSDA Jawa Barat

Cagar Cagar
Taman Buru
Cagar Alam Alam/TWA Cagar Alam Alam/TWA
Jenis Masigit
Gunung Tilu Kawah Burangrang Tangkuban
Kareumbi
Kamojang Parahu
Epifit √ √
Herba √ √ √ √ √
Liana √ √ √ √ √
P akis √ √ √ √ √
P alm a √ √ √ √ √
P andan √ √ √
Sumber: Laporan Akhir Konservasi Keanekaragaman Hayati (Hatfield. 2009).

Tabel 4. Jenis Flora yang Dilindungi di Beberapa Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat

Nama Tumbuhan Status dan Deskripsi Perlindungan

Aren (Arenga pinnata ) SK Mentan No. 54/Kpts/Um/2/1972 (Dilarang


melakukan penebangan pohon berdiameter
dibawah 40 cm)
Anggrek bersurat (M accodes pettola ) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999
Saninten (Castanopsis argentea ) Spesies Prioritas Dilindungi dalam Peraturan
Menteri Kehutanan No. P. 57/Menhut-II/2008.
Tentang Strategis Konservasi Spesies Nasional
2008-2018.
Kiputri (Dacrycarpus neriifolius ) Lower risk/least concern IUCN red list
Jamuju (Dacrycarpus im bricatus ) Cites Appendix II
Paku siur (Cyathea latebrosa ) Cites Appendix II
Congkok (Spathoglothys plicata ) Cites Appendix II
Anggrek vanda (Vanda tricolor ) Cites Appendix II
Sumber: Laporan Akhir Konservasi Keanekaragaman Hayati (Hatfield. 2009)

Keanekaragaman fauna di kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat cukup
variatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 10
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Tabel 5. Keanekaragaman Jenis Fauna di Beberapa Kawasan Konservasi Wilayah Kerja


BBKSDA Jawa Barat

Cagar
Cagar Taman Buru
Cagar Alam Alam/TWA
Cagar Alam Alam/TWA Gunung
Jenis Gunung Gunung
Gunung Tilu Kawah Masigit
Burangrang Tangkuban
Kamojang Kareumbi
Parahu
Am phibi 2 4 1 - -
Burung 13 ; 2 26 ; 7 24 ; 8 33 ; 9 12 ; 1
dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi
I nsekta 2 2
M am alia 21 ; 14 14 ; 7 25 ; 12 6;2 7;2
dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi
N em atoda 1 1 2 1 1
I kan - - - 4
P rim ata 5; 4 3;2 5;2 4;3 3 ; 2 dilindungi
dilindungi dilindungi dilindungi dilindungi
Reptil 3 6 3 2;1 -
dilindungi
Sumber: Wawancara lapangan, 2013, Skripsi Alternatif Strategi Pengelolaan TWA Kawah kamojang (Poppy
Oktadiyani, 2006) dan laporan akhir konservasi keanekaragaman hayati (Hatfiled. 2009)

B. Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati Di Kawasan Konservasi BBKSDA


Jawa Barat

Ancaman keanekaragaman hayati di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat berdasarkan hasil
kajian literatur, diskusi dan hasil observasi yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Pemanenan tanaman obat, hasil hutan non kayu yang berlangsung secara terus menerus
di kawasan-kawasan konservasi;
2. Tekanan dari perumahan, kegiatan pariwisata (sampah), peternakan dan pengambilan
tanaman untuk pakan ternak, penambangan galian C (pasir) terutama di sekitar
Kamojang dan Papandayan;
3. Hilangnya atau berkurangnya beberapa jenis spesies dari waktu ke waktu (predator, dsb),
akibat gangguan kegiatan manusia ke dalam kawasan, antara lain: perambahan kawasan
hutan untuk lahan pertanian, kegiatan berburu satwa (burung dan mamalia) atau invasive
species (semak dan herba);
4. Sampah padat dari pengunjung/wisatawan;
5. Bencana alam berupa erosi dan sedimentasi, gunung berapi, gempa bumi vulkanik dan
erosi gangguan terhadap budaya lokal, karena kegiatan perekonomian di sekitar kawasan
konservasi.
6. Perubahan iklim (kekeringan, perubahan suhu ekstrim atau perubahan habitat).

C. Hambatan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Kawasan Konservasi


Sumber Daya Alam Jawa Barat

Hambatan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis keanekaragaman hayati di


wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan
pihak BBKSDA Jawa Barat, yaitu :

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 11
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Data dasar mengenai keanekaragaman hayati di BBKSDA Jawa Barat masih belum tersedia
dengan kualitas yang memadai. Data dan informasi yang ada umumnya adalah data lama
yang belum diperbaharui (update). Di sisi lain, laporan penelitian yang dilakukan oleh pihak
lain terutama pihak universitas dan LSM kurang terdokumentasi dan belum menghasilkan
kontribusi terhadap pembaruan (updating) data dasar dengan baik.
Data keanekaragaman hayati telah lama tidak diperbarui dan ini dapat dilihat pada publikasi
resmi BBKSDA Jawa Barat di website. Data keanekaragaman hayati yang dipublikasi tersebut
masih terdapat kesalahan dalam penulisan ilmiah seperti penulisan Burung Raja Udang
(Halcyonchloris palmeri) yang seharusnya Halcyon cyanoventris dan atau terdapat catatan
jenis yang meragukan seperti Gelam (Malaleuca leucadendron) di Gunung Burangrang yang
tidak sesuai dengan habitatnya.
Keberadaan data keanekaragaman hayati belum sepenuhnya dipergunakan untuk
kepentingan pengelolaan kawasan dan banyak species eksotik yang dipergunakan untuk
kepentingan rehabilitasi kawasan seperti di TB Gunung Masigit Kareumbi. Pemahaman
tentang kepentingan pengelolaan spesies endemik, penanggulangan spesies eksotik dan
spesies invasif belum sepenuhnya dipahami dalam konteks pengelolaan keanekaragaman
hayati.
1) Database dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
Database keanekaragaman hayati belum termutkahirkan (updated) untuk menunjang
kepentingan pengelolaan kawasan secara menyeluruh, dikarenakan koleksi data
keanekaragaman hayati masih minim dan belum dikelola secara sistematis dan baik.
Pengelolaan data spasial pada Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kantor BBKSDA Jawa
Barat, belum terinterpretasikan dengan tepat yang mencerminkan alur yang logis. Hal
tersebut terjadi karena terlalu banyak interpretasi data dari citra satelit yang tidak disertai
ground check di lapangan, sehingga data dan informasi lapangan relatif bias.
Sistem database dan informasi geografis yang ada tergolong cukup memadai, namun
tidak didukung kapasitas pengelolaan, input data yang memadai ataupun kemampuan
interpretasi citra satelit yang baik termasuk tidak dilakukannya kegiatan ground check ke
lapangan. Karenanya penyempurnaan database management dan SIG memerlukan
perbaikan dan peningkatan kapasitas serta ditunjang oleh kelembagaan/organisasi khusus
di bagian/bidang teknis BBKSDA Jawa Barat.
2) Kapasitas Sumberdaya Manusia Pengelola
Ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dalam mendukung pengelolaan
keanekaragaman hayati di dalam kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat
perlu ditingkatkan kompetensinya. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas SDM harus
dilakukan, diantaranya melalui pelatihan staf pengelola keanekaragaman hayati baik
dalam teknik pengumpulan data lapangan, pengenalan berbagai metoda
survey/inventarisasi keanekaragaman hayati, analisis data, koleksi spesies, pemetaan,
pengelolaan database dan informasi geografis sangat diperlukan. Selain kegiatan
pelatihan, penyediaan pedoman/petunjuk teknis lapangan (field guide) bagi petugas
(lapangan) perlu disediakan dengan baik.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 12
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

3) Sistem Monitoring Evaluasi dan Pelaporan Keanekaragaman Hayati


Belum tersedianya perangkat atau sistem monitoring daan evaluasi serta pelaporan
potensi keanekaragaman hayati yang “user friendly”, mudah, cepat dan efektif,
mendorong pengelola untuk menyediakan sistem tersebut dari tingkat Resort hingga ke
kantor pusat BBKSDA Jawa Barat.
Beberapa jenis flora fauna telah ditetapkan untuk dimonitor di beberapa kawasan
konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat. Penetapan jenis flora dan fauna tersebut
masih didasari pada kepentingan kuota pemanfaatan, kekritisan populasi di lapangan,
penetapan indikator kinerja utama flora, fauna dan adanya kepentingan global dan
nasional untuk pelestariannya. Penentuan jenis flora dan fauna tersebut belum
sepenuhnya mampu menggunakan kriteria dan indikator penentuan kategori spesies
kunci, spesies bendera, spesies payung, indikator spesies, spesies endemik, spesies
eksotik, spesies invasif, spesies terancam punah, spesies jarang, dan lain-lain yang
mewakili bagian dari ekosistem. Definisi, kriteria dan indikator, teknik identifikasi dan
penentuan serta pengelolaanya secara praktis dan user friendly sangat diperlukan oleh
petugas lapangan maupun pengambil keputusan di BBKSDA Jawa Barat.

2.1.2. Kerusakan Hutan di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat

Kerusakan kawasan hutan konservasi di wilayah BBKSDA Jawa Barat umumnya sebagai
akibat dari perambahan hutan oleh masyarakat desa-desa sekitar kawasan konservasi yang
“lapar lahan” karena kepadatan penduduk yang tinggi. Perambahan kawasan hutan yang
ada sekarang ini dan masih berlangsung terutama terjadi pada waktu awal reformasi pada
tahun 1998 di bekas areal Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Selain itu
kerusakan kawasan konservasi juga sebagai akibat dari kebakaran hutan dan illegal logging
seperti yang terjadi di kawasan hutan TB. Gunung Masigit Kareumbi.
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dan kajian literatur secara umum terdapat
kecenderungan penurunan kualitas dan luasan habitat satwa di seluruh kawasan konservasi
dalam wilayah studi pada 7 (tujuh) lokasi. Kejadian perambahan lahan terjadi di berbagai
kawasan konservasi, khususnya pada saat dimulainya era reformasi tahun 1997 di Indonesia.
Berikut contoh-contoh di setiap kawasan kajian:
a) Cagar Alam (CA) Gunung Tilu. Perambahan kawasan hutan, terutama yang berada
diperbatasan dengan desa, yang semula luasannya kecil kemudian meluas dengan
jumlah perambah yang bertambah banyak. Gambaran kondisi masyarakat adalah
sebagian besar masyarakat bercocok tanam sebagai petani dan buruh tani, rata-rata
berpendidikan rendah, kesempatan kerja kecil dan penghasilan yang rendah.
Masyarakat setempat pada umumnya menanam the, tanaman semusim seperti sayur-
sayuran, padi dan palawija. Luas areal hutan yang dirambah keseluruhan
diperkirakan + 50 ha untuk ditanami tanaman pertanian, antara lain sayaur-sayuran
dan kopi. Beberapa desa yang berada di sekitar kawasan hutan yang terdapat
perambahan hutan adalah di desa Sukaluyu dan Sugihmukti, sedagkan desa-desa yang
berdekatan antara lain Mekarsari dan Margamulya dan sekitarnya. Perambah hutan di
CA Gunung Tilu setelah adanya rekonstruksi tata batas CA Gunung Tilu, umumnya
menaman Cabe “Gendot” dengan luasan <1 ha per perambah. Saat ini sudah ada

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 13
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

upaya kerja sama dengan Kepala Desa, TNI dan Masyarakat untuk menurunkan para
perambah. Upaya ini telah berhasil menurunkan sebagian besar perambah (+ 80%)
dan tidak melakukan perambahan lagi didalam kawasan hutan konservasi.
b) Taman Buru (TB) Gunung Masigit Kareumbi (TBMK). Beberapa kerusakan
kawasan antara lain akibat kebakaran, bekas penebangan PT. PMS, pohon tumbang
akibat penyadapan berlebihan (untuk jenis Pinus) lebih dari 9 “kowakan” sadap dan
akibat pengambilan kayu bakar masyarakat sekitar. Telah dilakukan RHL sejak lama
antara lain dengan penanaman jenis Pinus (80% di luas TBMK) dan Puspa. Saat ini di
TBMK tidak ada perambahan hutan. Hasil observasi lapangan di area bekas
perambahan, masih terjadi kegiatan penebangan liar dan kebakaran hutan sehingga
menunjukkan bahwa kawasan tersebut saat ini masih belum pulih.
c) Cagar Alam (CA) Gunung Burangrang. Di kawasan CA. Gunung Burangrang
terjadi perambahan kawasan (Blok Ngagrak/Cikalong Wetan) oleh sekitar 44 KK. Di
sekitar Blok Cikawari/Desa Pasirwangi, kerusakan hutan konservasi di CA Gunung
Burangrang akibat perambahan diperkirakan sekitar + 200 ha dan di Blok Ciwedi
sekitar + 34 ha. Masyarakat perambah kawasan umumnya petani penggarap dan
mereka umumnya adalah masyarakat yang tidak masuk dalam KTH (Kelompok Tani
Hutan) program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Perum Perhutani.
Kebutuhan kayu bakar tinggi, karena penggunaan gas LPJ belum sampai ke desa
menyebabkan masyarakat mengambil kayu bakar dari kawasan CA. Gunung
Burangrang. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) telah dilakukan sejak tahun
2007 dengan sasaran/tujuan program adalah “penurunan perambah”.
d) Cagar (CA) Gunung Tangkuban Parahu dan Taman Wisata Alam (TWA)
Gunung Tangkuban Parahu . Permasalahan di kawasan Tangkuban Parahu yang
sering terjadi adalah alih fungsi lahan terkait Izin Prinsip untuk pengembang/Izin
Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA), perambahan, sampah dan rusaknya bentangan
alam akibat aktivitas masyarakat dan pengusaha di dalam kawasan. Ada 2 (dua) hal
yang harus dicermati terkait kerusakan lingkungan yakni administratif dan psikologis
secara kultural masyarakat dengan terhentinya angkutan rakyat/aktivitas di TWA
Gunung Tangkuban Parahu. Eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya dan bentang
alam mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan didalam dan luar
kawasan. Beberapa kasus terjadi sebagai akibat dari pemberian izin kepada
pengembang yang tidak sesuai dengan prinsip izin tersebut, disamping adanya
aktivitas ekonomi masyarakat.
e) Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang dan Taman Wisata Alam (TWA) Kawah
Kamojang. Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang secara umum berstatus kawasan
relatif terganggu. Kondisi flora dan fauna yang masih baik adalah jenis pohon
penyusun vegetasi hutan yang masih asli, Pada kawasan ini tidak terdapat satwa liar
eksotik dan tumbuhan eksotik. Selain itu, pencemaran yang terjadi adalah pencemaran
suara Adanya status hukum yang jelas serta bentuk geometri kawasan yang
memungkinkan tingkat gangguan keamanan kecil (mendekati lingkaran). Kelemahan
atau kondisi yang mengurangi keutuhan kawasan Kawah Kamojang adalah adanya
sedikitnya perburuan satwa liar dan pencurian pohon sepanjang tahun serta batas
kawasan yang relatif tidak berhutan. Pada CA Kawah Kamojang, kegiatan restorasi
dalam kawasan perlu dilakukan terutama di batas kawasan dan pengendalian

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 14
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

penutupan hutan diluar batas kawasan. Penegakkan hukum/ low enforcement dan
perlunya dibangun kemitraan empat pihak antara BBKSDA Jawa Barat - Pertamina -
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan tujuan meningkatkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keutuhan cagar alam, menemukan
alternatif energi bagi masyarakat dan meningkatkan pendapatan masyarakat. TWA
Kawah Kamojang kawasannya sudah terganggu. Satwa primata asli dilindungi sudah
tidak dijumpai di kawasan tersebut. Kegiatan perburuan satwa liar dan pencurian
pohon masih terjadi sepanjang tahun. Kawasan TWA Kawah Kamojang relatif terbuka,
kondisi di batas kawasan relatif tidak berhutan.

A. Penutupan Lahan dan Potensi Kekritisan Kawasan

Penutupan lahan di kawasan konservasi wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat berdasarkan hasil
interpretasi data satelit mengalami perubahan penutupan dan pemanfaatan lahan. Dimana
pada landcover tahun 2011 teridentifikasi luas tutupan lahan di kecamatan dan kabupaten
yang termasuk area proyek di CA. Gunung Tilu seluas 3.647,83 ha, CA Kawah Kamojang
seluas 3.453,24 ha, TWA Kawah Kamojang seluas 185,95 ha, CA. Gunung Burangrang seluas
2.736,59 ha, CA. Gunung Tangkuban Parahu seluas 15,27 ha, TWA Gunung Tangkuban
Parahu 97,83 ha dan TB. Gunung Masigit Kareumbi seluas 3.063,84 ha.
Luas lahan kritis di tujuh kawasan BBKSDA Jawa Barat disajikan pada Tabel 6. Adapun luas
lahan di kawasan konservasi BBKSDA Proyek CWMBC disajikan pada Tabel 7. Adanya lahan
kritis di kawasan konservasi tersebut menunjukkan perlu tindakan rehabilitasi/restorasi untuk
memulihkan ekosistem di kawasan tersebut, sehingga daya dukungnya pulih.
Tabel 6. Luas Lahan Kritis di Tujuh Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat

Kawasan Konservasi Luas (Ha)


CA. GUNUNG BURANGRANG 2.985,00
Agak Kritis 133,01
Kritis 59,67
Potensial Kritis 2.792,32
CA. GUNUNG TANGKUBAN PARAHU 1.204,39
Agak Kritis 2,66
Potensial Kritis 1.201,73
CA. GUNUNG TILU 7.478,85
Agak Kritis 77,49
Kritis 0,78
Potensial Kritis 7.334,05
Sangat Kritis 42,31
Tidak Kritis 24,22
CA. KAWAH KAMOJANG 8.089,18
Agak Kritis 2.144,47
Kritis 2.476,82
Potensial Kritis 3.378,04
Sangat Kritis 89,11
Tidak Kritis 0,75

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 15
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Kawasan Konservasi Luas (Ha)


TB. GUNUNG MASIGIT KAREUMBI 12.721,33
Agak Kritis 6.885,37
Kritis 413,68
Potensial Kritis 4.691,30
Sangat Kritis 657,11
Tidak Kritis 73,86
TWA. KAWAH GUNUNG TANGKUBAN PARAHU 344,56
Potensial Kritis 344,56
TWA. KAWAH KAMOJANG 535,02
Kritis 19,88
Potensial Kritis 506,08
Sangat Kritis 9,06
Luas Total 33.358,34
Sumber : Ditjen PDAS-PS (2011)

Tabel 7. Lahan Kritis di Kawasan Konservasi BBKSDA Jawa Barat yang Berada Pada Proyek
CWMBC

Kawasan Konservasi Luas (Ha)


CA. GUNUNG BURANGRANG 2.985,00
Agak Kritis 133,01
Kritis 59,67
Potensial Kritis 2.792,32
CA. GUNUNG TANGKUBAN PARAHU 1.204,39
Agak Kritis 2,66
Potensial Kritis 1.201,74
CA. GUNUNG TILU 3.579,36
Agak Kritis 69,35
Kritis 0,15
Potensial Kritis 3.448,52
Sangat Kritis 42,31
Tidak Kritis 19,03
CA. KAWAH KAMOJANG 3.346,70
Agak Kritis 73,92
Kritis 656,86
Potensial Kritis 2.572,87
Sangat Kritis 42,82
Tidak Kritis 0,23
TB. GUNUNG MASIGIT KAREUMBI 3.018,89
Agak Kritis 68,70
Kritis 6,60
Potensial Kritis 2.354,93
Sangat Kritis 588,43
Tidak Kritis 0,23

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 16
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Kawasan Konservasi Luas (Ha)


TWA. KAWAH GUNUNG TANGKUBAN PARAHU 344,57
Potensial Kritis 344,57
TWA. KAWAH KAMOJANG 225,19
Kritis 12,27
Potensial Kritis 212,92
Grand Total 14.704,10
Sumber : Ditjen PDAS-PS (2011)

Upaya rehabilitasi lahan (RHL) telah dilakukan sejak tahun 2003-2007 melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari BPDAS Citarum-Ciliwung. Kondisi lahan kritis
terdapat di 3 lokasi yaitu: CA Gunung Burangrang: 59 ha (kritis), CA Gunung Tilu: 42,3 ha
(sangat kritis), TB Gunung Masigit Kareumbi: 602 ha (sangat kritis) dan 619 ha (kritis).
Keberadaan lahan-lahan bekas perambahan dan adanya spesies eksotik, untuk itu perlu
adanya program pemulihan ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan PP No 28
Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA). Berbagai program untuk menanggulangi lahan kritis/kerusakan kawasan telah
dilakukan melalui Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) oleh Kementerian
Kehutanan. Program Gerhan di kawasan konservasi memerlukan adanya kajian dan evaluasi
kembali, khususnya dalam kaitan pemulihan spesies endemik dan penanggulangan spesies
eksotik, maupun species invasive di setiap kawasan konservasi terpilih pada proyek CWMBC.
Pengelola mengharapkan adanya kajian sistematis tentang keberadaan kekritisan/ kerusakan
kawasan konservasi terpilih. Pola pemulihan ekosistem yang dapat dilakukan sesuai
ketentuan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam mencakup mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi
ekosistem. Program penanggulangan spesies eksotik, termasuk keberadaan species invasive
yang berkembang di dalam kawasan konservasi harus menjadi prioritas dalam upaya
pemulihan ekosistem.
B. Upaya Restorasi/Rehabilitasi Hutan

Upaya restorasi/rehabilitasi kawasan hutan konservasi dilakukan melalui program Rehabilitasi


Hutan dan Lahan (RHL) sejak tahun 2007-2011 untuk areal kawasan hutan rusak yang
dikategorikan termasuk lahan sangat kritis dan lahan kritis menurut kriteria Kementerian
Kehutanan. Disamping itu, upaya rehabilitasi/restorasi kawasan hutan konservasi juga
dilaksanakan melalui pendekatan skema bantuan pemberdayaan masyarakat. Bantuan tidak
hanya dalam bentuk barang tetapi juga bimbingan teknis, keterampilan dan ilmu
pengetahuan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan dalam rangka
rehabilitasi/restorasi di kawasan konservasi BBKSDA Jawa Barat, antara lain:
1. Pemberian bantuan teknis dan permodalan dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan
masyarakat sekitar kawasan konservasi TB. Gunung Masigit Kareumbi di Desa
Pangeureunan Kecamatan Balubur Limbangan, yang kegiatannya dalam bentuk: i)
pembinaan teknis; ii) penandatangan dan pernyataan KPSA sebagai penerima bantuan;

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 17
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

iii) bantuan berupa ternak domba 21 ekor, bibit jabon 5000 bibit untuk ditanam di lahan
masyarakat.
2. Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi CA Kawah Kampjang,
TWA Gunung Guntur di Desa Panjiwangi, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Bandung,
yang kegiatannya dalam bentuk: i) persiapan (pengumpulan data, penyusunan
rancangan); ii) arahan/bintek penyaluran bantuan; iii) pemberian bantuan kambing untuk
kelompok tani; dan iv) BAP dan monitoring
3. Bantuan teknis dan permodalan dalam pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan di
CA/TWA Gunung Tangkuban Parahu , yang kegiatannya dalam bentuk: i) pengumpulan
data; ii) penyusunan rancangan; iii) pelaksanaan kegiatan penyerahan bantuan kambing
dan bibit.

2.1.3. Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat
Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam, air untuk komersial, tanaman dan satwa langka
dan ketinggian tempat (elevasi) serta terrain, telah lama terjadi di wilayah BBKSDA Jawa
Barat. Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang dikelola oleh swasta berada di TWA.
Gunung Tangkuban Parahu seluas 370 ha. Kawasan dengan status Cagar Alam (CA)
tertutup kemungkinan dilakukannya kegiatan pemanfaatan, sehingga perubahan atau
pengalihan sebagian kawasan dari Cagar Alam (CA) menjadi Taman Wisata Alam (TWA) atau
penggabungan beberapa CA menjadi Taman Nasional (TN) dapat menjadi pilihan di BBKSDA
Jawa Barat dengan tetap berpedoman pada persyaratan biofisik lapangan dan ketentuan
yang ada.
Peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum dalam pengelolaan jasa lingkungan di
wilayah BBKSDA Jawa Barat adalah:
1) Dasar hukum yang berkaitan dengan teknis
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
c. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
d. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam;
e. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
f. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam;
g. Peraturan Pemerintah No. 36/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam;
h. Surat Edaran Dirjen PHKA No. 03/2012 tentang Ijin Usaha Penyediaan Jasa Wisata
Alam;
i. Surat Edaran Dirjen PHKA No. 7/2012 tentang Penerbitan Pertimbangan Teknis
Permohonan Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam di Taman Nasional dan Taman
Wisata Alam;

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 18
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

2) Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)


a. Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan perubahannya;
b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 28/Kpts-II/2003 jo Keputusan Menteri Kehutanan
No. SK.233/Menhut- II/2004 tentang Pembagian Rayon di Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman Buru Dalam Rangka Pengenaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
Dalam pengelolaan jasa lingkungan air saat ini arahan teknis dari Kementerian
Kehutanan terutama adalah:
1) Surat Direktur Jenderal PHKA No.S.599/IV/PJLWA/2006 tentang Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Air di Kawasan Konservasi;
2) Surat Edaran Dirjen PHKA No. 3/2008 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru;
Permasalahan : Peraturan dalam pemanfaatan air saat ini belum ada, sehingga kebijakan
yang diterapkan baik di BBKSDA Jawa Barat (juga BBTNGGP) bersifat
lokal dengan mendapat arahan teknis di atas. Sementara itu Surat
Edaran Dirjen PHKA No.3/2008 bersifat umum dan memerlukan
penjabaran.

A. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam


Jawa Barat

Potensi jasa lingkungan air di wilayah BBKSDA Jawa Barat, khususnya kawasan konservasi di
CA Gunung Tilu, CA Kawah Kamojang, TWA Kawah Kamojang, TWA Gunung Tangkuban
Parahu, CA Gunung Burangrang dan TB. Gunung Masigit Kareumbi relatif besar karena
kawasan-kawasan konservasi tersebut umumnya merupakan zona resapan air (lihat peta
zona resapan air).
a) CA Gunung Tilu. Kawasan Cagar Alam Gunung Tilu yang terletak di wilayah
Kecamatan Ciwidey, Pasir Jambu dan Pangalengan Kabupaten Bandung termasuk
wilayah DAS Citarum dan DAS Cikahuripan sekaligus merupakan kawasan hutan
konservasi dan hutan hujan dataran tinggi yang strategis dalam memberikan layanan
alam dan ekosistem di wilayah Bandung Selatan. Sebagian besar ketersediaan air di
wilayah sekitar Gunung Tilu di pasok dari kawasan hutan Gunung Tilu. Potensi jasa
lingkungan air di CA Gunung Tilu sangatlah banyak. Pemanfaatan air di CA Gunung
Tilu salah satunya oleh PT. Dewata berupa pemanfaatan mikrohidro dengan penerapan
mekanisme PES dan telah melakukan perjanjian (MoU) dengan BBKSDA Jawa Barat.
Sungai dan anak sungai yang berada di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu mengalir
dan bermuara pada dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu:
1) DAS Citarum (Sungai Cipadarum, Cibodas dan Cisondari) bermuara pada Sungai
Ciwidey kemudian Sungai Citarum (Sungai Cilamajang, Ciurug, Cisalada,
Cisanggiang, Cimalawindu, Cikakapa Gede, Cikakapa Leutik dan Cisurudan)
bermuara pada Sungai Cisangkuy kemudian ke Sungai Citarum;
2) DAS Cikahuripan (S. Cibaliung, S. Ciasahan, S. Cinangewer, S. Cimeri, S. Ciawi Tali)
bermuara pada S. Cikahuripan kemudian ke S. Cilaki.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 19
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

b) TWA/CA Kawah Kamojang; Sungai-sungai yang mengalir dan berasal dari kawasan
TWA/CAKawah Kamojang diantaranya adalah Sungai Cikaso, Cihanjir dan Sungai
Citepus. Sungai-sungai tersebut berasal dari mata air yang mengalir dan menyatu.
Kondisi air umumnya jernih, dengan debit air rata-rata 0,5 – 0,6 liter/detik. Potensi
jasa lingkungan air terdapat di beberapa lokasi, yaitu Citiis, Cibuliran, Citepus I dan
Citepus II. Khusus untuk Cibuliran keadaan air tergolong hangat.
Pemanfaatan air umumnya digunakan untuk penggunaan dan konsumsi rumah tangga
serta pengairan lahan kebun dan pertanian. Fasilitas yang digunakan dalam
memanfaatkan air tersebut adalah dengan membangun bak-bak penampungan yang
bersumber dari aliran alami masing-masing sumber mata air.
c) CA/TWA Gunung Tangkuban Parahu. Kawasan CA dan TWA Gunung Tangkuban
Parahu termasuk tipe ekosistem hutan hujan pegunungan. Kawasan Gunung
Tangkuban Parahu dilalui oleh beberapa sungai, diantaranya Sungai Ciasem, Sungai
Cimuja, Sungai Cikonang, Sungai Cihideung dan Sungai Cimahi. Sedangkan kawasan
TWA Gunung Tangkuban Parahu hanya dilalui oleh Sungai Cikahuripan dengan debit
air yang tidak begitu besar yaitu 6,216 m3/s, namun keberadaannya sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Desa Cikole, Desa Jayagiri dan juga oleh masyarakat pengguna wisata
yaitu warung-warung di TWA Tangkuban Parahu. Pemanfaatan sumber air hingga
saat ini belum dilakukan kerjasama dengan pihak ketiga, sehingga perlu dijalin
kesepakatan bersama yang bersifat mengikat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
d) CA Gunung Burangrang. Kawasan Gunung Burangrang berada di DAS Citarum dan
termasuk Sub DAS Cilamaya, merupakan daerah tangkapan air dan hulu dari 23 aliran
sungai serta daerah tangkapan air bagi 41 (empat puluh satu) mata air (teridentifikasi)
yang keluar di daerah penyangga kawasan. CA Gunung Burangrang memiliki peranan
penting bagi Kawasan Bandung Utara (KBU) KBU dibedakan dalam lima mintakat yang
didasarkan pada (1) karakter morfologinya, (2) sifat tanah dan batuan, dan (3) fungsi
dan perannya terhadap tataair di kawasan bawahnya. Mintakat Burangrang salah
satunya. Mintakat Burangrang merupakan kawasan dari puncak sampai kaki Gunung
Burangrang. Sedikit berbukit, bagian atasnya (pada elevasi 900 m ke atas) merupakan
daerah dengan produktivitas yang tinggi. Peresapan diduga cukup tinggi. Karena itu
dengan daerah bawahnya (Padalarang) mempunyai hubungan tata air melalui air
permukaan dan diduga melalui resapan. Pemanfaatan air di CA Gunung Burangrang,
saat ini sedang proses dengan PDAM Subang.
e) TB. Gunung Masigit Kareumbi. Potensi jasa lingkungan air di TB Gunung Masigit
Kareumbi cukup tinggi, dimana terdapat 6 sungai yang berada dikawasan TB Gunung
Masigit Kareumbi, diantaranya Sungai Cisemat, Sungai Cimulu, Mata Air Blok Buyung
Citaman, Sungai Cileuleuy dan anak Sungai Rengganis 1 dan 2, Sungai Cileuleuy
(PDAM), serta Sungai Cileuleuy. Berikut pemanfaatan jasa lingkungan air di TB
Gunung Masigit Kareumbi tersaji pada Tabel 8:
.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 20
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Tabel 8. Kondisi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di TB Gunung Masigit Kareumbi

Kondisi
No Nama Sungai Pemanfaatan Sipil Teknis
Sekarang
1 Sungai Cisemat Penerapan Model Bendungan Mikrohidro Daya kurang
Mikrohidro (Wanadri) stabil dan kurang
Irigasi sawah difungsikan oleh
Hulu curug cindulang kaw. PLN
Perhutani
2 Sungai Cimulu Kebutuhan air kegiatan Bendungan Semi Kegiatan Wanadri
Camping Ground permanen (Camping
Hulu curug Sindulang kaw. Ground)
Perhutani
3 Mata Air Blok Rumah tangga Penampungan luar Dimanfaatkan
Buyung Citaman Kolam kawasan dengan masyarakat Kp.
Pertanian dengan Paralon Cibunar Desa.
Citaman (4 RW, +
160 KK)
4 Sungai Cileuleuy Irigasi sawah dengan Saluran alami Irigasi oleh
dam anak Sungai. bangunan check dam masyarakat
Cirengganis 1&2 Dinas PU Naggorak
5 Sungai Cileuleuy PDAM Kab. Sumedang Bendungan permanen Keperluan air
(PDAM) Pipa dia 33,12 cm bersih masyarakat
untuk penampungan Sumedang melalui
pengelolaan IPAL PDAM
6 Sungai Cileuleuy Air bersih dan irigasi - -
masyarakat sekitar hilir

B. Pema nfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam di Kawasan Konservasi Sumber


Daya Alam Jawa Barat

Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat dalam
pengelolaannya dilakukan dengan kerja sama kemitraan dengan para pihak. Sampai saat ini
terdapat 19 kerjasama kemitraan antara BBKSDA Jawa Barat dengan para pihak. Ada 5 Ijin
Prinsip dan 7 pemegang IPPA yang telah mendapatkan ijin pengusahaan pariwisata alam.
Umumnya kerjasama tersebut dilakukan dengan pihak Perum Perhutani dan Perusahaan
Swasta. Taman Wisata Alam yang dikelola oleh pihak ke tiga beserta kewajiban
pengusahaan pariwisata alam yang termasuk Project Area (PA) CWMBC adalah TWA Kawah
Kamojang dan TWA Gunung Tangkuban Parahu .
TWA. Gunung Tangkuban Parahu dengan luas 250 Ha terdiri dari TWA 175 Ha dan HL 75
Ha dikerjasamakan dengan pihak swasta yaitu PT. Graha Rani Putra Persada. Kewajiban
pengguna/pemanfaat kawasan telah terpenuhi dengan adanya RKPPA tahun 2009-2039, RKL
tahun 2009-2014 dan RKT tahap I tahun 2009, sedangkan untuk pembuatan site plan masih
belum dilakukan. Penetapan blok pemanfaatan pengusahaan pariwisata alam berdasarkan
SK. Dirjen PHKA. No 48/Kpts/DJ-VI/1995 tanggal 27 Maret 1995.
Untuk meningkatkan potensi pemasaran jasa lingkungan wisata alam, BBKSDA aktif
melakukan kegiatan promosi dengan mengikuti berbagai kegiatan pameran di tingkat
kabupaten, provinsi, dan nasional (misalnya Pameran Indo Green Expo).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 21
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

C. Jasa Lingkungan Ketinggian Tempat (Elevasi/Terrain ) di Kawasan Konservasi


Sumber Daya Alam Jawa Barat

Salah satu jasa lingkungan dari ekosistem, atau lebih tepat dari komponen ekosistem yaitu
permukaan tanah (terrain) dengan ketinggian tertentu, adalah jasa dalam memancarkan
sinyal atau gelombang elektromagnetik. Untuk dapat memanfaatkan kemampuan ketinggian
tempat tersebut, diperlukan infrastruktur berupa repeater tower. Kawasan hutan tertentu
mempunyai terrain dan elevasi seperti itu sehingga memenuhi syarat untuk ditempatkannya
tower dalam kawasan hutan. Menurut informasi awal yang diperoleh dari BBKSDA Jawa
Barat saat ini terdapat 6 atau 7 repeater tower di dalam kawasan CA. Gunung Tangkuban
Parahu (2013).
Identifikasi terhadap keberadaan repeater tower yang telah ada dalam kawasan konservasi
di wilayah BBKSDA Jawa Barat adalah diperlukan, dalam kaitan dengan pengaturannya di
waktu mendatang dan potensinya untuk “pembayaran” jasa lingkungan tersebut bagi
konservasi kawasan. Telaah dari aspek peraturan perundang-undangan diperlukan untuk
menghasilkan skema yang sesuai dengan aturan yang ada.
D. Jasa Lingkungan Penyimpanan Karbon di Kawasan Konservasi Sumber Daya
Alam Jawa Barat

Vegetasi hutan berperan penting dalam menurunkan emisi karbon melalui kemampuannya
dalam menyerap gas CO2 di udara bebas, sehingga efek rumah kaca akibat emisi gas
tersebut dapat dikurangi. Untuk menurunkan emisi rumah kaca global terkait dengan
kegiatan kehutanan, pendekatan baru dalam konservasi (lahan) hutan adalah REDD+
(Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation). Ide REDD+ berbeda
dengan program konservasi sebelumnya, di mana REDD+ memiliki implikasi langsung
terhadap insentif keuangan bagi para pihak dalam melestarikan ekosistem hutan untuk
mengurangi karbon dan menyimpan karbon dalam ekosistem hutan.
REDD+ adalah strategi mitigasi perubahan iklim berdasarkan perjanjian internasional
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), ditambah peran
konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan stok karbon hutan yang ada di
negara berkembang. Untuk Indonesia, program REDD ini memang relatif masih baru dan
sehingga berbagai upaya harus dibuat untuk melaksanakan REDD+. Skema REDD+
merupakan hasil dari beberapa proses kesepakatan dan hasil pertemuaan internasional
sebagai berikut :
1) Protokol Kyoto di Kyoto, Jepang, Desember 1997
Benih REDD mulai ditanam dalam Protokol Kyoto, terutama di pasal 2 dan 3.

2) Kesepakatan Marrakesh dari UNFCCC COP 7 di Marrakesh, Maroko, Desember 2001


Perubahan tata guna lahan dan sektor kehutanan (LULUCF) mulai dibicarakan lebih
komprehensif dan mendorong kesepakatan bahwa kegiatan terkait dengan sektor-sektor
ini dapat dilaksanakan di negara-negara Annex 1.

3) UNFCCC COP 11 di Montreal, Kanada, November 2005


Coalition for Rainforest Nations meminta dimasukkannya agenda tentang “pengurangan
emisi dari deforestasi di negara berkembang: pendekatan untuk mendorong tindakan”.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 22
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

4) Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) SBSTA Sesi 24 di Bonn,
Jerman, Mei 2006
REDD mulai dipertimbangkan dengan adanya pernyataan “perlunya membahas
pengurangan emisi dari deforestasi di negara-negara berkembang sebagai bagian upaya
mitigasi perubahan iklim”.

5) Kesepakatan dari UNFCCC COP 13 di Bali, Indonesia, Desember 2007


Konvensi perubahan iklim ini mengeluarkan dua keputusan penting terkait REDD, yaitu
Bali Action Plan, yang memberikan arahan negosiasi internasional selanjutnya untuk
menuju kesepakatan pasca Protokol Kyoto, serta dimasukkannya pengurangan emisi dari
deforestasi di negara berkembang sebagai salah satu pendekatan untuk mendorong
adanya tindakan dalam salah satu keputusannya.

6) Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) Sesi 29 dan UNFCCC COP
14 di Poznan, Polandia, Desember 2008
Istilah REDD+ mulai diperkenalkan dalam SBSTA sesi 29, yang menyebutkan dalam
laporannya “pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara
berkembang, dan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan dari hutan dan
peningkatan stok karbon di negara-negara berkembang”.

7) Tiga pertemuan di Bonn, Jerman, pertengahan 2009


Ketiga pertemuan tersebut mempersiapkan teks negosiasi yang akan dipakai di UNFCCC
COP 15 di Copenhagen, Denmark dan memastikan bahwa naskah tersebut mencakup
semua isu dan hal penting terkait REDD+, seperti cakupan wilayah, hak-hak masyarakat
setempat, serta pengukuran dan pelaporan.)

8) Pertemuan Kelompok Kerja Ad-hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang (AWG-LCA) Sesi 7 di
Bangkok, Thailand, September/Oktober 2009
Pada pertemuan ini , beberapa negara termasuk Brazil, India, Meksiko, Swis dan
Norwegia meminta pengaman REDD+ dimasukkan lagi dalam teks yang akan diangkat
dalam perundingan di Bercelona, Spanyol, pada bulan November 2009.

9) Pertemuan Kelompok Kerja Ad-hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang (AWG-LCA) di


Barcelona, Spanyol, November 2009
Perundingan ini membicarakan 4 hal terkait REDD+ yaitu cakupan wilayah, komunitas
lokal, pengukuran dan pendanaan.

10) Kesepakatan Copenhagen dari UNFCCC COP 15 di Copenhagen, Denmark, Desember


2009
Kesepakatan ini tidak menyebutkan REDD+ secara eksplisit, namun mendeklarasikan
“pembentukan suatu mekanisme secepatnya untuk memungkinkan mobilisasi sumber
daya financial dari negara maju untuk mendukung usaha mengurangi emisi dari dari
deforestasi dan degradasi hutan serta untuk meningkatkan penyimpanan karbon”.

11) Kesepakatan Cancun dari UNFCCC COP 16 di Cancun, Meksiko, Desember 2010
Kesepakatan Cancun mengadopsi REDD+ dengan menggunakan pendekatan bertahap
termasuk kegiatan sub-nasional. Dokumen ini juga mendefinisikan program REDD

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 23
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

dengan komprehensif, namun agenda pendanaan ditunda untuk dibicarakan pada tahun
2011. Kegiatan REDD+ yang dirumuskan dalam konvensi adalah sebagai berikut :
a) Mengurangi emisi dari deforestasi;
b) Mengurangi emisi dari degradasi hutan;
c) Konservasi stok karbon hutan;
d) Pengelolaan hutan berkelanjutan;
e) Peningkatan stok karbon hutan.
Dua mekanisme dasar dalam pendanaan REDD+ yang disepakati negara-negara yang
menandatangi konvensi perubahan iklim (UNFCC) yaitu:
a) Sumberdana pemerintah (seperti pemerintah Norwegian, melalui International
Forests and Climate Initiative), atau
b) Sumberdana swasta, yang memperlakukan REDD+ sebagai kompensasi (offset),
dan mengharuskan pembuat polusi (polluter) membayar kompensasi emissi dimana
saja melalui proyek REDD+.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon dengan skema
REDD+. Beberapa kebijakan yang terkait dengan pengurangan emisi karbon tersebut yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework
Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3557);
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
4) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The
United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas
Kerangka Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan
Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4403);
6) Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca;
7) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah
Kaca Nasional;
8) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2004 tentang Tatacara
Aforestasi dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih;

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 24
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

9) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan


Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi
Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94):
10) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2009 tentang Pengurangan Emisi
Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 88);
11) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tatacara Perizinan
Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi
dan Hutan Lindung (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 128);
12) Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 20/Menhut-II/2012
Tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 458)
Beberapa areal potensi untuk untuk demplot REDD+ antara lain CA Gunung Tilu dan
CA/TWA Kamojang.

2.1.4. Stakeholder Pengelolaan Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa


Barat

Kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah BBKSDA


Jawa Barat dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama, yaitu :
a) Unsur dari pemerintah pusat, antara lain: BBKSDA Jawa Barat, Perum Perhutani Unit
III Jawa Barat dan Banten, BPDAS Citarum-Ciliwung dan BBWS Citarum.
b) Unsur pemerintah daerah, antara lain: Pemkab. Bandung; Pemkab Bandung Barat;
Pemkab Sumedang; Pemkab. Subang; Pemkab Garut; Pemkab Purwakarta; dan
akademisi (ITB, IPB, Unwim dan Unpad).
c) Unsur Masyarakat dan/alainnya , antara lain: LSM, dunia usaha (Swasta dan BUMN),
lainnya.
Berdasarkan hasil kegiatan identifikasi, diperoleh informasi kepentingan dari unsur multi-
stakeholder seperti disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Kepentingan Unsur Multi-Stakeholder - BBKSDA Jawa Barat

Stakeholder Kepentingan
Pusat
BBKSDA Jawa Barat  Pengelolaan keanekaragaman hayati khususnya minimalisir
gangguan dan terpeliharanya jenis dan jumlah serta fungsi
flora fauna dalam kawasan.
BBWS Citarum  Pengelolaan fungsi-fungsi wilayah sungai pada sungai yang
mengalir ke Sungai Citarum di wilayah BBKSDA Jawa Barat
atau yang dipengaruhi oleh ekosistem BBKSDA Jawa Barat.
Terutama pengelolaan sumberdaya air dalam wilayah sungai
(in-stream) misalnya terkontrolnya volume air dalam wilayah
Sungai Citarum.
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat  Dapat memanfaatkan sumberdaya hutan kayu dan non-kayu
Dan Banten (tidak termasuk fauna) berdasar kepentingan ekonomi atas
wilayah kerja hutan negara disekitar kawasan konservasi yang
meliputi hutan produksi maupun hutan lindung.
BPDAS Ciliwung-Citarum  Pengelolaan fungsi-fungsi daerah aliran sungai dalam wilayah
konservasi BBKSDA Jawa Barat atau wilayah yang berbatasan
dalam wilayah DAS Citarum sebagai daerah tangkapan air.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 25
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Stakeholder Kepentingan
Daerah
P em erintah P rovinsi Jaw a Barat  Untuk CA/TWA Kamojang dan CA/TWA Tangkuban Parahu
merupakan kawasan lintas Kabupaten
P em erintah Kab. Bandung  Perencanaan dan pengembangan wilayah rakyat Bandung
Selatan (Pangalengan, Ciwidey) setelah wilayah Lembang
menjadi wilayah Kab. Bandung Barat, khususnya agrowisata,
pertanian tanaman pangan (hortikultura), termasuk di wilayah
yang berbatasan dengan kawasan konservasi BBKSDA Jawa
Barat.
 Memelihara dan memanfaatkan air untuk keperluan pertanian
di wilayah irigasi atau saluran pembuangan untuk saluran
yang memfasilitasi lahan pertanian kurang dari 1.000 hektar.
 Mengelola kualitas sumberdaya air dalam wilayah otoritasnya
dengan menjaga dan meminimalisir kandungan pencemaran.
P em erintah Kab.Bandung Barat  Perencanaan dan pemanfaatan pemanfaatan sumberdaya
(lahan) rakyat diwilayah kabupaten Bandung Barat sebagai
sumber pendapatan daerah, termasuk dalam wilayah yang
berbatasan dengan kawasan konservasi BBKSDA Jawa Barat
seperti kawasan Lembang (CA dan TWA Gunung Tangkuban
Parahu ). Pengembangan diorientasikan untuk agrowisata dan
tanaman pangan (hortikultura).
 Perencanaan pemanfaatan lahan (untuk bangunan) diwilayah
Kawasan Bandung Utara yang berbatasan diantaranya dengan
Gunung Burangrang, Gunung Masigit Kareumbi, Gunung
Tangkuban Parahu sebagai kawasan konservasi air dalam
wilayah Cekungan Bandung (Perbub No.8/2008).
 Memelihara dan memanfaatkan air di wilayah saluran irigasi
yang mengairi lahan pertanian kurang dari 1.000 hektar.
 Pengelolaan kawasan di wilayah lahan rakyat sekitar Taman
Pemerintah Kab. Sumedang Buru Masigit Kareumbi (TBMK) untuk peningkatan
perekonomian masyarakat sekitar. Misalnya pengelolaan
kawasan untuk tanaman pangan (hortikultura).
Pemerintah Kab. Subang  Pengelolaan kawasan lahan rakyat di sekitar wilayah
Burangrang dan Tangkuban perahu untuk menjadi salah satu
sumber pendapatan masyarakat dan kabupaten.
 Peningkatan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan
gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu , melalui
pemanfatan dampak ikutan agrowisata Lembang dan Ciater.
 Pengelolaan manfaat sumber-sumber air untuk kegiatan
ekonomi masyarakat.
Pemerintah Kab. Garut  Pengelolaan kawasan di sekitar wilayah TB. Gunung Masigit
Kareumbi dan CA/TWA Kawah Kamojang untuk menjadi salah
satu sumber pendapatan masyarakat dan kabupaten.
 Peningkatan manfaat wilayah potensial yang disertai dengan
usaha konservasi yang akan dilakukan oleh stakeholder terkait
pada tingkat kabupaten, mengingat sebagian besar wilayah
Kab. Garut adalah wilayah hutan (misalnya Keputusan Bupati
No.522.12/2008) tentang pembentukan forum koordinasi
konservasi hutan dan lahan di Kab. Garut).
Pemerintah Kab. Purwakarta  Pengelolaan kawasan disekitar dan dalam kawasan
Burangrang untuk kepentingan ekonomi masyarakat misalnya
perkebunan rakyat cengkeh dan pala.
 Pengelolaan sumber-sumber air untuk pengembangan aktivitas
ekonomi dan social masyarakat.
Akademisi (ITB, IPB, UNWIM,  Mengembangkan pusat riset dan pelayanan pada masyarakat
UNPAD) di wilayah sekitar untuk meningkatkan fungsi-fungsi ekologis
wilayah baik dalam bentuk fungsi langsung atau jasa
lingkungan bagi masyarakat setempat. Interes meliputi riset
kehutanan, pertanian, perikanan (budidaya) dan perairan air
tawar (waduk, situ/telaga dan sungai).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 26
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

2.2. Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP)


Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah salah satu dari lima taman
nasional pertama di Indonesia yang diumumkan pada tanggal 6 Maret 1980. Taman nasional
ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 108/Kpts/Um/2/1979 tgl 10 Februari
1979 dengan luas 15.196 Ha. Pada tahun 2003 berdasar Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.174/Kpts-II/2003 terjadi perluasan kawasan TNGGP menjadi 22,851 ha. Secara geografis
posisi kawasan TNGGP terletak diantara 106° 57’ 22” BT, 6° 41’ 38” LS dan 107° 05’ 39”
BT, 6° 53’ 22” LS, yang secara administratif terletak di 3 (tiga) kabupaten yakni Cianjur,
Sukabumi dan Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kawasan TNGGP merupakan perwakilan hutan
tropis pegunungan Pulau Jawa yang relatif masih utuh. Terdapat dua gunung utama, yaitu
Gunung Gede (2.958 m dpl ) dan Gunung Pangrango (3.019 m dpl).
Taman nasional ini sering disebut sebagai show window taman nasional di Indonesia karena
dianggap paling maju pengelolaannya. Kawasan TNGGP juga telah ditetapkan sebagai zona
inti (core zone) cagar biosfer Cibodas oleh MAB-UNESCO pada tahun 1977. Cagar biosfer
adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai Negara melalui kerjasama dengan program MAB-
UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan
berkelanjutan berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal.
Sebagai cagar biosfer, TNGPP beperan dalam : (1) kontribusi konservasi lansekap,
ekosistem, jenis dan plasma nutfah; (2) menumbuhkan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan secara ekologi dan budaya; serta (3) mendukung logistik untuk penelitian,
pemantauan, pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan
pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional maupun global (Soejito dan Rustiami,
2003).
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGPP) merupakan pengelola
TNGPPP yang berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1
Februari 2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber
Daya Alam dan SK BBTNGGP No.SK 95/II-TU/2007 tanggal 28 Desember 2007 merupakan
UPT setingkat eselon IIB. Tugas dan fungsi utama dari BBTNGPP adalah melindungi dan
mengamankan seluruh kawasan TNGGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam
menuju pemanfaatan yang berkelanjutan. Kantor pusat BBTNGPP berada di Cibodas,
Cipanas Kabupaten Cianjur. Wilayah kerja BBTNGPP dibagi ke dalam tiga Bidang Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah (Bidang PTN Wil), yaitu Bidang PTN Wil I di Cianjur, Bidang PTN
Wil II di Selabintana-Sukabumi, dan Bidang PTN Wil III di Bogor, yang meliputi 6 (enam)
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN Wil) dan 22 (dua puluh dua) resort.
Kawasan TNGPP dibagi ke dalam beberapa zona, yaitu : Zona Inti seluas 9.612,592 ha
(42.06%), Zona Rimba seluas 7.175,396 ha (31,40%), Zona Pemanfaatan 1.330,424 ha
(5,82%), Zona Rehabilitasi 4.367,192 ha (19,11), Zona Tradisional 312,136 ha (1,36%) ,
Zona Khusus 3,19 ha (0,01%) dan Zona Konservasi Owa Jawa seluas 50,10 ha (0,21%).
Zonasi tersebut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No.
SK.39/IV-KKBJL/2011 tentang ZonasiTaman Nasional Gunung Gede Pangrango tanggal 22
Pebruari 2011 (Gambar 2).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 27
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Gambar 1. Peta Revisi Zonasi TNGGP

Kawasan TNGGP memiliki potensi keanekaragaman hayati flora dan fauna, serta jasa
lingkungan yang tinggi. Air, penyimpanan karbon, dan bentang alam merupakan beberapa
jasa lingkungan bernilai tinggi di dalam kawasan TNGGP. Potensi air yang berasal dari
TNGPP diperkirakan mencapai 213 milyar liter/tahun, Dimana kawasan tersebut merupakan
hulu dari 4 (empat) DAS, yaitu DAS Citarum, DAS Cimandiri, DAS Cisadane dan DAS
Ciliwung. Daerah aliran sungai tersebut menyangga kebutuhan air bagi lebih dari 30 juta
penduduk di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek).

2.2.1. Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

A. Potensi Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Tipe ekosistem TNGGP yang terdiri dari ekosistem sub alphin (2.400 m dpl ke atas);
ekosistem montana (1.500 – 2.400 m dpl ), dan sub montana (1000 – 1500 m dpl ), memiliki
potensi keanekaragaman hayati flora dan fauna yang tinggi. Diperkirakan lebih dari 29 famili
tumbuhan dengan 60 spesies flora yang hidup dan tumbuh di kawasan TNGGP. Famili pohon
yang terdapat di TNGGP diantaranya adalah Aceraceae; Araliaceae; Asteraceae;
Bombacaceae; Elaeocarpaceae; Escaloniaceae; Euphorbiaceae; Fabaceae; Fagaceae;
Flacourtiaceae; Hamamelidaceae; Juglandaceae; Lauraceae; Magnoliaceae;
Melastomataceae; Meliaceae; Moraceae; Myrtaceae; Pinnaceae; Podocarpaceae;
Rhamnaceae; Rosaceae; Rubiaceae; Rutaceae; Sauraiaceae; Staphyleaceae; Symplocaceae;
Theaceae; dan Urticaceae. Kelompok tumbuhan selain pohon yang tumbuh di TNGGP adalah
epifit, liana, pakis, palma dan pandan (Hatfield, 2009). Dari 60 jenis flora pohon yang ada di

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 28
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

TNGGP, sebanyak 3 jenis flora di TNGGP merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan
peraturan nasional, yaitu: Aren (Arenga pinnata), Angkrek bersurat (Maccodes pettola), dan
Saninten (Castanopsis argentea); sebanyak 1 jenis masuk dalam lower risk/least concern
IUCN Red List yaitu Kiputri (Dacrycarpus neriifolius); dan 4 jenis masuk dalam Cites
Appendix II yaitu: Jamuju (Dacrycarpus imbricatus), Paku siur (Cyathea latebrosa); Congkok
(Spathoglothys plicata); dan Anggrek vanda (Vanda tricolor). Beberapa jenis flora di TNGGP
baik dalam kategori pohon maupun non pohon merupakan jenis yang dimanfaatkan oleh
masyarakat. Tercatat sebanyak 91 jenis flora merupakan jenis-jenis yang dimanfaatkan
masyarakat untuk berbagai keperluan, seperti: kayu pertukangan, bahan makanan, pakan
ternak, dan lain-lain. Termasuk yang dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut adalah jenis-
jenis yang dilindungi.
Keanekaragaman fauna di TNGGP yang tercatat oleh Hatfield Indonesia (2009) meliputi :
jenis Amphibia sebanyak 5 spesies; Aves sebanyak 26 spesies dan 8 diantaranya merupakan
spesies dilindungi; Mamalia sebanyak 20 spesies dan 13 spesies diantaranya merupakan
species dilindungi; Nemathoda sebanyak 1 spesies; Pisces sebanyak 2 spesies; Primata
sebanyak 5 spesies dan 3 diantaranya merupakan spesies dilindungi; dan Reptilia sebanyak
6 spesies. Data tersebut berbeda dengan publikasi Conservation International (2010) yang
menyebutkan bahwa Mamalia terdiri dari 50 spesies yang termasuk dalam 9 ordo dan 19
famili; Burung 262 spesies yang termasuk dalam 48 famili; Reptil 30 spesies yang termasuk
dalam 7 famili yang terdiri dari 19 spesies ular dan 11 spesies kadal; Amfibia 23 spesies yang
termasuk dalam 2 ordo dan 6 famili; dan Pisces 7 spesies yang termasuk dalam 6 famili.
Jenis-jenis fauna dilindungi di kawasan TNGGP diantaranya adalah: Alap Kawah(Falco
peregrines), Elang Biasa (Haliastur indus), Elang Hitam (Inchatus malayaensis) Elang Ruyuk
(Spilornis cheela bido) Elang Jawa (Spilornis javanica) Burung Kacamata (Zoosterops
montanus) Ajag (Cuon alvinus) Tupai Terbang/Tando (Cynocephalus variegates), Landak
(Hystrix brachyuran), Peusing (Manis javanicus), Mencak (Muntiacus muntjak), Macan Tutul
(Panthera pardus), Meong Congkok (Prioniculus bengalensis), Jaralang (Ratufa bicolor),
Kancil (Tragulus javanicus), Owa jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis Comata), Lutung
(Trachypithecus auratus), dan lain-lain.
B. Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango

Keberadaan dan kelestarian keanekaragaman hayati flora dan fauna yang tinggi di TNGGP
saat ini menghadapi beberapa ancaman, yaitu (Hatfield, 2009, dan observasi lapangan Tim
CWMBC 2013) :
1. Kegiatan wisata. Akibat dari banyaknya lokasi wisata secara langsung atau tidak
langsung memberi ancaman berupa pembangunan fasilitas wisata, akses jalan,
pembangunan jalur listrik, jalur komunikasi dan sampah pengunjung;
2. Vandalisme. Akibat sikap “mengekspresikan” diri dengan kecenderungan merusak
dan/atau memorat-coret fasilitas pendakian, shelter di sepanjang jalur pendakian,
sehingga menurunkan kualitas kawasan konservasi;
3. Perburuan satwa. Kegiatan perburuan satwa (masih ditemui beberapa kasus
perburuan burung, kumbang, monyet di dalam kawasan taman nasional);

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 29
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

4. Eksploitasi tanaman non-kayu. Masih ditemuinya pengambilan tanaman non-kayu,


seperti rotan, tanaman hias, media tanam dan tanaman obat;
5. Pembangunan prasarana umum dan pertanian (irigasi). Pembangunan di
perbatasan kawasan. Mengancam bertambahnya fragmentasi hutan dan kemungkinan
hilangnya spesies satwa di dalam kawasan;
6. Kegiatan Ekonomi Lokal. Masyarakat sekitar banyak melakukan kegiatan budidaya
pertanian, perikanan dan konversi lahan menjadi perumahan di luar kawasan, menjadi
ancaman terdesaknya kawasan taman nasional jika tidak ditangani dengan baik bersama
pemda.

C. Hambatan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung


Gede Pangrango

Dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak Balai Besar TNGGP diperoleh
beberapa butir penting terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi berbasis
keanekaragaman hayati, sebagai berikut:
1) Ketersediaan dan Kualitas Data Keanekaragaman Hayati
Data dasar keanekaragaman hayati masih belum tersedia dengan kualitas yang memadai
serta mendukung kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
Data dan informasi yang tersedia umumnya data lama yang belum diperbaharui. Walaupun
banyak hasil penelitian di TNGGP yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama perguruan
tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), tetapi kurang didokumentasikan dengan
baik sehingga kontribusinya dalam pembaruan data keanekaragaman hayati di TNGGP belum
berjalan dengan baik.
2) Database dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
Basis data (database ) keanekaragaman hayati di kawasan TNGGP berperan penting dalam
mendukung sistem pengelolaan TNGGP yang baik dan berkelanjutan. Kendala
pengembangan database di TNGGP terkait dengan sistem, teknologi, dan pengelolaan
database . Input pengumpulan data keanekaragaman hayati masih minim dan belum
dilakukan dengan sistimatis dan baik, plot-plot pengukuran data keanekaragaman hayati
belum ditetapkan secara memadai karena kurang mewakili keberagaman kondisi di
lapangan. Pemetaan kawasan untuk peta kerja maupun peta tematik untuk kepentingan
pengelolaan keanekaragaman hayati telah ada namun belum memenuhi format standar
pemetaan Kementerian Kehutanan.
Sistem database, informasi geografis dan pemetaan yang ada telah cukup baik, dan
pengelola telah melakukan pengelolaan database, GIS dan pemetaan secara terpusat
dilakukan di Kantor Balai Besar TNGGP. Namun demikian beberapa data penting perlu
dikelola dengan lebih baik, misalnya analisis perubahan tutupan lahan yang ada (tahun
1994,1997,dan 2011) kurang mencerminkan alur yang logis. Hal tersebut terjadi karena
banyak input data yang diinterpretasikan dari citra satelit yang tidak disertai ground check
maupun ground thruthing di lapangan, sehingga data dan informasi lapangan menjadi bias.
Penyempurnaan database management, sistem informasi geografis dan pemetaan
memerlukan perbaikan dan peningkatan kapasitas. Untuk itu perlu dukungan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 30
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

kelembagaan/organisasi dan personil khusus yang kompeten di bidang database, sistem


informasi geografis, dan pemetaan. Bagian yang menangani database, SIG, dan pemetaaan
merupakan bagian penting dalam sistem pengelolaan kawasan TNGGP, sehingga perlu
dijadikan unit khusus pada Bagian/Bidang Teknis di BBTNGGP.
3) Kapasitas Sumberdaya Manusia Pengelola
Dalam pengelolaan komponen keanekaragaman hayati, ada hal-hal mendasar lainnya yang
menjadi kendala, yaitu sumber daya manusia yang belum cukup memadai. Oleh karenanya,
pelatihan staf pengelola keanekaragaman hayati baik dalam tehnik pengumpulan data
lapangan, pengenalan berbagai metoda survei/inventarisasi keanekaragaman hayati, analisis
data, koleksi specimen, pemetaan, pengelolaan database dan informasi geografis sangat
diperlukan. Untuk itu diperlukan ada pedoman/petunjuk teknis lapangan (Field Guide Book)
bagi petugas.
4) Sistem Monitoring Evaluasi dan Pelaporan Keanekaragaman Hayati
Kendala belum tersedianya perangkat atau sistem monitoring evaluasi dan pelaporan potensi
keanekaragaman hayati yang “user friendly” dan dilakukan secara mudah, cepat, dan efektif,
mendorong pengelola memerlukan adanya sistem tersebut di tingkat Resort hingga ke
kantor Balai Besar TNGGP.
Penetapan jenis-jenis flora fauna yang telah dimonitoring di TNGGP belum sepenuhnya
mampu menggunakan kriteria dan indikator penentuan kategori spesies kunci, spesies
bendera, spesies payung, spesies indicator, spesies endemic, spesies exotic, spesies
invasive, spesies terancam punah, spesies jarang, dll. yang mewakili bagian dari ekosistem.
Definisi, kriteria dan indikator, teknik identifikasi dan penentuan, dan pengelolaanya secara
praktis dan user friendly sangat diperlukan oleh petugas lapangan maupun pengambil
keputusan di BBTNGGP.
Beberapa jenis fauna seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Macan Tutul (Panthera pardus
melas), Kukang (Nycticebous javanicus), Owa Jawa (Hylobates moloch), dan Katak Api
(Leptophryne cruentata) telah dilakukan monitoring oleh pengelola pada saat ini. Kegiatan
tersebut telah diinisiasi dan dibantu oleh pihak luar (LSM Nasional dan Internasional) yang
melakukan penelitian di kawasan TNGGP. Sementara itu jenis-jenis penting yang idealnya
masuk dalam daftar monitoring seperti jenis-jenis mamalia, burung, insekta, terutama
Lepidoptera (kupu-kupu) dan Odonata (Capung), herpetofauna, serta biota akuatik masih
belum teridentifikasi. Dari hasil kegiatan FGD yang dilakukan menyebutkan bahwa jenis-jenis
tersebut belum dilakukan monitoring dan pengelolaan konservasi secara sistimatis dan baik.

2.2.2. Kerusakan Hutan di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Dalam konteks habitat flora fauna, kondisi eksisting kawasan TNGGP masih cukup baik.
Ancaman dari kegiatan budidaya dan pertanian, perumahan dan konversi lahan dinilai
rendah (Hatfield, 2009). Akan tetapi masih terdapat ancaman lainnya dalam “kategori
sedang” terhadap keberadaan flora fauna diantaranya berupa ekstraksi flora fauna dari
dalam kawasan TNGGP.
Disamping itu, dengan perluasan kawasan taman nasional yang berasal dari eks-hutan
produksi dan hutan lindung yang dulunya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi hutan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 31
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

konservasi, terdapat permasalahan serius dengan adanya jenis-jenis eksotik, seperti Pinus
Merkusi, Eucalyptus, Mahoni, Jati, dan lainnya yang dipergunakan oleh Perum Perhutani
untuk kepentingan rehabilitasi kawasan hutan tersebut. Adanya jenis-jenis eksotik tersebut
perlu diidentifikasi dan diprogramkan kegiatan eradikasinya.
Keberadaan lahan-lahan bekas perambahan tanaman sayuran/hortikultural, eks-hutan
lindung dan hutan produksi dengan jenis-jenis eksotik memerlukan adanya program
pemulihan ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan PP No 28 Tahun 2011
tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Berbagai program untuk menanggulangi lahan kritis/kerusakan kawasan telah dilakukan
melalui: (a) Program Adopsi Pohon bekerjasama dengan Konsorsium Gedepahala dan
Conservation International-Indonesia, Green Radio Jakarta; dan (b) Program Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Kementerian Kehutanan.
Pengelola mengharapkan adanya kajian sistematis tentang keberadaan kekritisan/ kerusakan
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pola pemulihan ekosistem yang dapat
dilakukan sesuai ketentuan PP No 28 Tahun 2011 yang mencakup mekanisme alam,
rehabilitasi, dan restorasi ekosistem, program penanggulangan spesies eksotik, termasuk
keberadaan species invasive yang berkembang di dalam kawasan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango.
A. Penutupan Lahan dan Potensi Kekritisan Kawasan
Luas penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) berdasarkan
hasil Ground Check Hasil Penafsiran Citra Satelit Resolusi Tinggi Wilayah TNGGP oleh Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa Madura tahun 2010 terdiri dari yang masih
berhutan adalah + 16.831,27 ha (76,59%) dan yang tidak berhutan + 5.143,70 ha
(23,41%). 2 Lahan berhutan tersebut dibagi berdasarkan kerapatan tajuk pada Hutan Primer
(HP), Hutan Sekunder (HS) dan Hutan Tanaman (HT). Untuk Hutan Primer Kerapatan Tinggi
atau lebih besar dari 70% seluas 2.710,5 ha, HP Kerapatan Sedang antara 40-70% seluas
694.5 ha, sedangkan HP dengan kerapatan rendah atau dibawah 40% tidak ada. Untuk
Hutan Sekunder (HS) Kerapatan Rendah 2.081,5 ha, HS kerapatan sedang 9.004,4 ha dan
HS Kerapatan Tinggi seluas 1.268,6 ha. Untuk Hutan Tanaman (HT) dengan kerapatan
rendah seluas 53,7 ha, HT Kerapatan Sedang seluas 434,3 ha dan HT Kerapatan Tinggi
583,8 ha. Hasil penafsiran areal yang tidak berhutan dapat terjadi pada alun-alun
Suryakencana yang merupakan padang rumput dan edelweiss sepanjang ± 2000 m dan
lebar ± 250 m, Kawah Gunung Gede dengan diameter ± 600 m. Areal lain yang
dimungkinkan diinterpertasikan sebagai tidak berhutan adalah Danau Situ Gunung, Telaga
Biru dan juga rawa. Selain itu dibeberapa tempat tengah dilakukan rehabilitasi lahan (RHL)
dan juga adopsi pohon yang tegakannya masih belum dapat dilihat secara jelas dengan
menggunakan citra satelit.
Dari hasil penafsiran satelit tahun 2010 ini dapat disimpulkan bahwa tutupan lahan yang
dominan adalah Hutan Sekunder Kerapatan Sedang (40-70%) dan Hutan Primer Kerapatan
Tinggi (>70%), selain itu bahwa TNGGP masih sangat baik bagi berbagai jenis satwa dan
tumbuhan endemic (edelweiss) TNGGP. Adanya kawasan non hutan merupakan penafsiran

2 www.gedepangrango.org/penutupan-lahan-taman-nasional-gunung-gede-pangrango-2010/

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 32
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

dari areal khas TNGGP seperti alun-alun suryakencana dan juga kawah Gunung Gede serta
Puncak Pangrango.
Penafsiran ini sangat penting dan berarti bagi Pengelola Taman Nasional sebagai bahan
evaluasi tingkat keberhasilan dalam penerapan management kawasan. Informasi Sumber
Daya Hutan ini juga dapat digunakan bagi pengelola untuk melakukan restorasi kawasan
taman nasional, terutama upaya restorasi lahan kritis.
Kekritisan lahan di kawasan TNGGP disajikan pada Tabel 10 dan tingkat kekritisan lahan di
TNGGP-Proyek CWMBC disajikan pada Tabel 11. Tabel 10 dan 11 menunjukkan bahwa
masih adanya lahan kritis di dalam kawasan TNGGP memerlukan tindakan konservasi untuk
mengurangi lahan kritis yang ada, sehingga ekosistem hutan di TNGGP dapat dipulihkan
daya dukungnya.
Tabel 10 Tingkat Kekritisan Lahan di Wilayah TNGGP

Tingkat Kekritisan Lahan Luas (Ha)


Agak Kritis 9.458,83
Kritis 547,83
Potensial Kritis 13.724,17
Sangat Kritis 570,58
Tidak Kritis 0,73
Luas Total 24.302,14
Sumber : Ditjen PDAS-PS (2011)

Tabel 1 Tingkat Kekritisan Lahan di TNGGP yang Berada Pada Proyek CWMBC

Tingkat Kekritisan Lahan Luas (Ha)


Agak Kritis 2.366,0
Potensial Kritis 2.760,4
Sangat Kritis 398,1
Luas Total 5.524,5

Sumber : Ditjen PDAS-PS (2011)

Potensi kekritisan di TNGGP salah satunya di mata air Batu Karut. Mata air Batu Karut sendiri
dikelilingi 3 (zonasi)3 untuk melindungi mata air Batu Karut, yaitu:
1. Zona Perlindungan Sumber Air Baku I
Zona I berada sekitar mata air beradius minimum 100 m dan di sekitar lingkungan
sumber air baku dan dilengkapi broncoptering yang terawat dan bagus, melindungi
keluaran mata air, dilengkapi pagar pembatas, merupakan lahan kosong, ditumbuhi
bambu dan beberapa pohon yang berumur tahunan.
2. Zona Perlindungan Sumber Air Baku II
Penggunaan lahan zona II adalah untuk pemukiman dan lahan pertanian serta
peternakan berupa tegalan, yang dapat mempengaruhi terjadinya pencemaran kualitas air
tanah selama 50 hari pergerakan air tanah. Sawah di sekitar mata air batukarut, lebih

3 www.wordpress.com/2008/06/action-plan_mata-air-batukarut.pdf

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 33
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

sempit dibanding tegalan. Sebelumnya lahan di zona II merupakan lahan persawahan


yang cukup besar, namun adanya alih kepemilikan lahan dari masyarakat ke pengusaha
saat ini merubah fungsi peruntukan lahan di zona II ini menjadi tegalan dan saat ini
kondisinya lahan sangat kritis dan memberikan dampak negatif terhadap ketersedian
sumber air bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Masyarakat yang tinggal di
kampung Salakopi saat ini sangat kekurangan air bersih dan mereka sudah tidak bisa lagi
menggunakan sumur air tanah karena tidak ada airnya. Selain itu aktivitas pengolahan
lahan tegalan menggunkan bahan anorganik yang berlebihan.

3. Zona Perlindungan Sumber Air Baku III


Zona III ditentukan berdasarkan luasan daerah tangkapan air (catchment area) mata air
Batu Karut. Luasan catchment area (zona III) sekitar 515,5 ha. Penggunaan lahan zona
III yaitu pemukiman, tegalan/kebun, industri, semak belukar dan hutan. Penggunaan
lahan zona ini berpengaruh terhadap kemampuan lahan dalam meresapkan air hujan atau
jumlah imbuhan air tanah.
Area tegalan/kebun, umumnya dimanfaatkan untuk budidaya tanaman palawija dan
tanaman keras, dan di beberapa tempat terlihat ladang yang tidak terawat, ditumbuhi
rumput. Ladang kurang efektif meresap air sehingga banyak terjadi aliran permukaan.
Pemukiman dalam zona III ini merupakan wilayah kampung Bunisari dan perusahaan
bunga PT. HAS FARM/ Megaflora.

Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa potensi kekritisan di beberapa
wilayah khususnya mata air Batu Karut adalah alih fungsi lahan, eksploitasi berlebihan,
kurangnya tanaman tegakan dan tekanan penduduk sekitar.

B. Upaya Restorasi/Rehabilitasi Hutan

Dalam upaya restorasi/rehabilitasi kawasan TNGGP, pengelola telah menjalankan program


Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif (RHLP) di kawasan TNGGP mulai tahun 2005
hingga 2010. Pelaksanaan RHLP bertujuan untuk: (a) Menyusun model rehabilitasi hutan di
kawasan konservasi yang dikembangkan secara efektif, efisien dan partispatif; (b)
Mengimplementasikan model rehabilitasi hutan di kawasan konservasi secara berkelanjutan;
dan (c) Model percontohan pelaksanaan rehabilitasi hutan di kawasan konservasi lainnya.
Program ini melibatkan Kelompok Tani Hutan (KTH) Puspa Lestari, Balai TNGGP, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten, dan LSM dari Environmental Service Program (ESP).
Pada umumnya, upaya rehabilitasi/restorasi kawasan TNGGP diakukan melalui
pengembangan Model Desa Konservasi (MDK). Upaya rehabilitasi/ restorasi di TNGGP
lainnya adalah melalui program “adopsi pohon” yang diprakarsai oleh Konsorsium
Gedepahala. Model Desa Konservasi (MDK) di sekitar kawasan TNGGP yang
mengintegrasikan program RHL antara lain:
1) MDK Berbasis RHLP
MDK berbasis RHLP dilaksanakan di Desa Sukatani, Kabupaten Cianjur telah berhasil
melakukan: (a) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan
Kawasan TNGGP; (b) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 50 hektar; (c) Membuat
persemaian untuk 5.000 bibit pohon endemik; (d) Menanam 16.000 pohon di seluruh

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 34
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

desa; (e) Pengembangan budidaya jamur, tanaman hias dan ternak kelinci; (f) Kampanye
lingkungan dan pengembangan pembiayaan alternatif bagi program RHLP kepada pendaki
Gunung Gede-Pangrango; dan (g) Penguatan kapasitas kelompok.
2) MDK Berbasis Pengembangan Ekonomi
MDK berbasis Ekonomi di Desa Kebon Peuteuy, selama perode tahun 2006-2008, dengan
dukungan para pemangku kepentingan di Kabupaten Cianjur telah berhasil melakukan:
(a) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan Kawasan
TNGGP; (b) Pengembangan persemaian pohon endemik dan tanaman MPTS; (c) Budidaya
jamur sebanyak 1.000 log; (d) Budidaya stek teh; (e) Peternakan domba sebanyak 15
ekor; (f) Pembuatan irigasi desa sepanjang 200 meter; (g) Perbaikan jalan lintas desa dan
jalan dusun sepanjang 800 meter; dan (h) Penyediaan sarana air bersih sepanjang 500
meter.
3) MDK Pelestarian Mata Air
MDK berbasis Pelestarian Mata Air di Cisarua yang tergabung dalam Kelompok Tani
“Kencana Wangi” telah melakukan sekolah lapangan dalam upaya mengembalikan fungsi
daerah tangkapan air di Cisarua: (a) Kelompok Tani “Kencana Wangi” menjadi motor
penggerak rehabilitasi lahan; (b) Penyediaan lahan seluas total 98 hektar dari berbagai
pihak di Cisarua untuk rehabilitasi lahan; (c) Penyediaan 20.000 bibit pohon untuk
rehabilitasi lahan; dan (d) Pembuatan kesepakatan dan peraturan desa.
4) MDK Desa Wisata
MDK ini fokus pada pengembangan budidaya ikan air deras dan pengembangan air Terjun
Cikaracak di Kampung Cibeling. Saat ini, warga Cinagara yang tergabung dalam Kelompok
Tani Sari mekar berusaha menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan
dengan perbaikan ekonomi mereka : (a) Rehabilitasi dan konservasi lahan melalui
persemaian, penanaman, perawatan dan pola tanam ramah lingkungan.; (b) Pelatihan
pembuatan pupuk organik; (c) Budidaya ikan dan tanaman buah produktif dan organik;
(d) Peternakan kelinci dan domba; (e) Perbaikan sarana air bersih dan sanitasi serta
saluran pembuangan air; dan (f) Pengembangan wisata alam air Terjun Cikaracak.
5) MDK Penanaman Pohon Endemik
MDK di Desa Cihanyawar Kabupaten Sukabumi yang tergabung dalam kelompok tani
Cilondondong Jaya berupaya meningkatkan kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan
ekonomi mereka: (a) Rehabilitasi lahan seluas 30 hektar di lahan perluasan TNGGP
dengan 15.000 pohon Rasamala, Puspa Dan Manglid; (b) Kesepakatan antara TNGGP
dan Cilondondong Jaya untuk menggarap lahan di kawasan TNGGP selama 3 tahun; (c)
Komitmen untuk mengembangkan usaha ternak kambing; dan (d) Budidaya tanaman
obat kumis kucing.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 35
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

2.2.3. Jasa Lingkungan di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

A. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede


Pangrango

Kawasan TNGGP selain kawasan dengan nilai konservasi keanekaragaman hayati yang
tinggi, juga merupakan zona resapan air utama untuk wilayah-wilayah di sekitarnya.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian bahwa potensi sumberdaya air yang keluar dari
kawasan TNGGP mencapai 213 milyar liter per tahun yang sangat vital manfaatnya untuk
seluruh masyarakat yang ada di wilayah Cianjur, Bogor, Sukabumi, Jakarta, Tangerang, dan
Depok. Jasa lingkungan air dari kawasan TNGGP dimanfaatkan oleh berbagai kelompok
pengguna di sekitar kawasan, mulai dari masyarakat, perusahaan bunga, hotel/restoran,
PDAM, dan lain-lain. Sejumlah pemanfaat jasa lingkungan air tersebut tergabung dalam
sebuah forum pemakai air (Forum Peduli Air/Forpela) yang pembentukannya difasilitasi oleh
proyek Environmental Service Program-United State Agency International Development
(ESP-USAID) sekitar tahun 2006. Tahun 2008 disepakati sebuah MoU antara Forpela dengan
Balai TNGGP untuk jangka waktu lima tahun. Kesepakatan dalam MOU tersebut
mencatumkan kewajiban pihak Forpela sebagai berikut:
1. Bersama pihak pertama (TNGGP) menyusun Rencana Kerja Lima Tahunan (RKL) dan
Rencana Kerja Tahunan (RKT);
2. Melaksanakan RKL dan RKT yang telah disahkan;
3. Mengkoordinir dan memungut iuran dari anggota Forpela;
4. Memberikan dukungan kepada pihak BBTNGGP dalam setiap program sesuai dengan RKL
dan RKT;
5. Berkoordinasi dengan BBTNGGP dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan program
sesuai dengan RKL dan RKT;
6. Melaporkan secara tertulis setiap hasil kegiatan Forpela sesuai dengan RKL dan RKT.
Dasar dan arahan teknis utama yang digunakan bagi pelaksanaan MoU (Memorandum of
Understanding) adalah surat Dirjen PHKA No. 599/2006 tentang Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Air di Kawasan Konservasi. Sampai dengan tahun 2013 telah terdapat lima MoU
dengan pemanfaat air di sekitar wilayah TNGGP. Pedoman pelaksanaan MoU kemudian
diperjelas dengan Surat Edaran Dirjen PHKA No. 3/2008 tentang Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Air Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru, dengan kewajiban
yang lebih kurang sama dengan MoU TNGGP-Forpela. Peraturan-peraturan yang menjadi
dasar hukum dalam pengelolaan jasa lingkungan wisata alam adalah sama dengan di
wilayah BBKSDA Jawa Barat
Analisa sementara berdasarkan penggalian informasi di lingkup Balai Besar TNGGP terhadap
efektivitas MoU BBTNGGP- Forpela adalah sebagai berikut:
a) Forpela merupakan inisiasi yang kreatif dari parapihak. Meskipun pada awalnya
dilatarbelakangi oleh kebutuhan mencari dana untuk konservasi kawasan hutan
TNGGP, inisiasi ini lebih strategis dilihat dari persfektif yang lebih besar yaitu
meningkatkankepedulian dari seluruh masyarakat terhadap lingkungan. Adanya
inisiasi ini juga telah memberi inspirasi bagi lahirnya skema serupa di daerah lain
yaitu di Lombok Barat (TN Rinjani) dan Kuningan-Cirebon.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 36
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

b) Tidak adanya laporan rutin Forpela kepada TNGGP seperti yang diamanatkan dalam
pasal kewajiban pada kesepakatan. Dalam kaitan ini, MoU tidak menjelaskan atau
mengatur mekanisme apa yang harus dilakukan oleh parapihak bila salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Secara logika dapat ditafsirkan bahwa pemberi
mandat adalah parapihak, dan yang berwenang mencabut mandat adalah parapihak.
c) Dari informasi yang disampaikan staf BBTNGGP, diketahui bahwa kontribusi Forpela
terhadap konservasi kawasan hutan masih rendah.
d) Untuk mengoptimalkan peran dan kontribusi Forpela terhadap konservasi kawasan
hutan dan masyarakat, diperlukan kajian lebih mendalam terhadap Forpela untuk
menemukan inovasi-inovasi dalam konteks peningkatan kualitas pengelolaan
kawasan konservasi melalui peran serta masyarakat dan pengguna jasa lingkungan
air dalam sebuah mekanisme PES yang lebih maju.

B. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam di Taman Nasional Gunung Gede


Pangrango

Pengelolaan wisata merupakan salah satu program yang dikembangkan di BBTNGGP.


Potensi wisata alam yang telah dimanfaatkan di kawasan TNGGP antara lain: pendakian,
berkemah, rekreasi, pengamatan burung, penelitian, dan pendidikan konservasi. Kegiatan
pengelolaan wisata alam di TNGGP sangat potensial karena letaknya yang strategis,
aksesibilitas yang baik dari kota besar, dan potensi yang dimiliki kawasan ini. Salah satu
atraksi alam yang banyak diminati pengunjung adalah air terjun dan pendakian gunung.
Sebagai kawasan konservasi yang harus dijaga kelestariannya, beberapa kebijakan telah
diterbitkan untuk mengendalikan kunjungan wisatawan agar tidak menggangu keutuhan dan
keseimbangan ekosistem, diantaranya dalam bentuk Petunjuk Teknis Pendakian dan
Pelayanan Pengunjung.4
Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam oleh pengunjung, pembayarannya mengacu pada
Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Peraturan ini banyak diusulkan untuk
diperbaiki untuk mengoptimalkan kontribusi kegiatan wisata alam sebagai salah satu sumber
pendanaan pengelolaan kawasan kearah kemandirian (self financing).
Permasalahan: pengelolaan jasa lingkungan wisata alam telah memiliki dasar hukum yang
lengkap yakni aturan teknis dan operasional maupun aturan dalam pembayaran jasa
lingkungan tersebut sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Meski demikian
terdapat justifikasi untuk me-review besaran tarif yang dikenakan terhadap pemanfaat jasa
lingkungan ini (pengunjung/ wisatawan). Besaran ini berhubungan dengan aspek ‘tingkat
kepuasan’ pengunjung.

C. Jasa Lingkungan Penyimpanan Karbon di Taman Nasional Gunung Gede


Pangrango

Penelitian Siregar (2007) tentang Potensi Serapan Karbon di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, dengan menggunakan metoda United States Department of Agriculture Forest

4 Surat Keputusan Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Nomor: Sk.84/11-Tu/1/2009 tentang Petunjuk
Teknis Pelayanan Pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 37
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Service (USDAFS) di titik plot (PAL II) bahwa menunjukkan potensi biomasa kandungan
karbon biomasa dan kandungan setara CO2 berturut-turut sebesar 551.12 ton/ha, 275.56
ton/ha, dan 1,010.38 ton/ha.
Jenis-jenisCastanopsis argentea dan Altingia excelsa merupakan dua jenis tanaman yang
memiliki potensi serapan karbon tertinggi masing-masing sebesar 70,39 ton/ha dan 54,67
ton/ha. Kandungan karbon organik tanah pada kedalaman 0-10 cm tergolong sangat tinggi,
yaitu sebesar 9,97% dan kandungan karbon organik tanah pada kedalaman 10-20 cm
tergolong tinggi yaitu sebesar 4,98%. Besarnya akumulasi karbon terkonservasi dalam
tanah dari permukaan sampai kedalaman 20 cm adalah sebesar 149,50 ton C/ha. Jenis
pohon d dengan Potensi Biomassa dan Kandungan Karbon Tertinggi di TNGGP disajikan
pada Tabel 12.
Tabel 12 Jenis Pohon dengan Potensi Biomassa dan Kandungan Karbon Tertinggi di TNGGP

Jenis (Species) Kandungan


Biomasa (Ton/Ha) Karbon (Ton/Ha)
1. Castanopsis argentea 140,78 70,39
2. Altingia excelsa 109,35 54,67
3. Castanopsis javanica 63,27 31,64
4. Ficus variegata 37,86 18,93
5. Eugenia sp. 26,75 13,37
6. Ehretia javanica 22,44 11,22
7. P ersea rim osa 22,20 11,10
8. Lithocarpus korthalsii 18,94 9,47
9. M agnolia blum ei 16,93 8,47
10. Vernonia arborea 13,17 6,58
Sumber: Siregar, 2007

2.2.4. Stakeholder Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama, yaitu :
a. Unsur Pemerintah Pusat : BBTNGGP, Perum Perhutani KPH Cianjur, BPDAS Citarum-
Ciliwung dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum;
b. Unsur Pemerintah Daerah : Bappeda Kab. Cianjur; Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kab. Cianjur; Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Cianjur; Dinas
Tata Ruang dan Permukiman, Cianjur; Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air dan
Pertambangan (PSDAD); Kecamatan Pacet; Kecamatan Cipanas; Kecamatan
Cugenang; Kecamatan Warungkondang; serta kepala desa setempat.
c. Unsur Masyarakat dan/atau lembaga lainnya (perguruan tinggi setempat dan lembaga
swadaya masyarakat)
Kepentingan dari setiap stakeholders tersebut disajikan pada Tabel 13.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 38
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Tabel 13. Kepentingan Unsur Multi-Stakholder - BBTNGGP

Stakeholder Kepentingan
Pusat
BBTNGGP  Terlaksanannya konservasi keanekaragaman hayati di wilayah
TNGGP, meliputi: perlindungan sistem penyangga kehidupan;
pengawetan (preservasi) flora, fauna dan eksosistemnya;
pemanfaatan sumber daya hutan dan eksosistemnya secara
berkelanjutan. Konservasi dilakukan diwilayah konservasi.
BPDAS Ciliwung-Citarum  Pengelolaan fungsi-fungsi daerah aliran sungai dalam wilayah
TNGGP atau wilayah yang berbatasan dengan TNGGP sebagai
daerah tangkapan air.
BBWS Citarum  Pengelolaan fungsi-fungsi wilayah sungai pada sungai yang
mengalir ke Sungai Citarum di wilayah TNGGP atau yang
dipengaruhi oleh ekosistem TNGGP. Terutama pengelolaan
sumberdaya air dalam wilayah sungai (in-stream).
Pemerintah Daerah
Pemerintah Kabupaten Cianjur (termasuk  Terpeliharanya/terbangunnya kawasan lindung (pada wilayah
unsur-unsur BAPPEDA, Dinas Kehutanan tanah/hutan rakyat). Target menurut tata ruang Jabar 65%.
dan Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Kondisi eksisting 12,8% lahan hutan (rakyat) dan 13,10%
lahan non-hutan. Kegiatan ini meliputi rehabilitasi, reboisasi
dan Hortikultura, Dinas Tata Ruang dan
dan konservasi hutan rakyat di wilayah sekitar TNGGP (lebih
Permukiman) dititikberatkan pada konservasi tanaman/flora sedangkan
interest pada fauna sangat rendah).
 Pengembangan wilayah sekitar TNGGP (Kecamatan Pacet dan
Kecamatan Cipanas) menjadi salah satu sumber pertumbuhan
ekonomi berbasis agrobisnis dan agrowisata, khususnya
komoditi hortikultura berdasar pada konsep agropolitan.
Wilayah Pacet dan Cipanas termasuk salah satu andalan
sumber PAD Kab. Cianjur.
 Dalam Rencana Tata Ruang Kab. Cianjur 2005-2015.
Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cipanas merupakan sentra
pelayanan orde PKL 1 (kawasan perkotaan dengan fungsi
sebagai pusat perdagangan dan jasa, permukiman, koleksi dan
distribusi dengan skala pelayanan beberapa kecamatan.
Perwujudan pemanfaatan ruang wilayah Kab. Cianjur di sekitar
TNGGP sesuai dengan Peraturan Presiden RI No.54/2008,
tentang penataan ruang Jabodetabekpunjur, yang bertujuan
diantaranya mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
dalam pengelolaan kawasan, konservasi air dan tanah,
menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan serta
menanggulangi banjir.
 Pengelolaan sumberdaya air, baik untuk air minum maupun
aktivitas ekonomi lainnya seperti pertanian dan industri.
Akademisi
Institut Pertanian Bogor, khusus  Mengembangkan pusat riset dan pelayanan pada masyarakat
Fak.Kehutanan, Fak.Pertanian dan Fak. di wilayah sekitar untuk meningkatkan fungsi-fungsi ekologis
Perikanan dan Ilmu Kelautan wilayah baik dalam bentuk fungsi langsung atau jasa
lingkungan bagi masyarakat setempat. Kepentingan meliputi
riset kehutanan, pertanian, perikanan (budidaya) dan perairan
air tawar (waduk, situ/telaga dan sungai).
Universitas Suryakencana  Pengembangan riset bidang agribisnis
LIPI  Memanfaatkan dan mengembangkan riset bio-ekologi dan
keanekaragaman hayati di wilayah taman nasional dan
Pengelolaan Kebun Raya Cibodas.
Forpela  Melestarikan sumber-sumber mata air untuk mendukung
pemanfaatan bagi aktivitas masyarakat (MCK) maupun
aktivitas ekonomi khususnya pariwisata.
Kelompok Petani  Pengembangan sumber-sumber mata air untuk mendukung
pemanfaatan bagi aktivitas masyarakat (MCK) maupun

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 39
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Stakeholder Kepentingan
aktivitas ekonomi khususnya pertanian.
Masyarakat  Mengembangkan sumber ekonomi bagi pemenuhan kebutuhan
keluarga (langsung maupun tidak langsung) seperti kebutuhan
air, kegiatan pertanian, pemanfaatan hasil hutan.
Pengambil Kayu  Mendapatkan kayu hutan yang berkualitas sesuai dengan
kebutuhan/permintaan.
Sumber: Laporan Akhir Konservasi Keanekaragaman Hayati, Hatfield, 2009

2.3. Kondisi Pengelolaan Kawasan Konservasi


Kawasan-kawasan konservasi yang berada di wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP saat ini menghadapi beberapa permasalahan pengelolaan (Gambar 3) yang terkait
dengan :

1) Ketersediaan data dan informasi kawasan konservasi. Data dan informasi potensi
kawasan konservasi relatif terbatas dan relatif lama, serta sistem informasi manajemen
kawasan konservasi yang belum optimal;
2) Adanya ancaman terhadap kelestarian kawasan konservasi yang berpengaruh negatif
terhadap kelestarian biodiversitas dan ekosistem di dalamnya. Keterbukaan penutupan
lahan di dalam kawasan konservasi akibat perambahan lahan, keberadaan vegetasi
yang bersifat invasif dan eksotik merupakan beberapa permasalahan yang mengancam
ekosistem di kawasan konservasi;
3) Manfaat keberadaan kawasan konservasi dalam menyediakan beragam jasa lingkungan
kurang diapresiasi nilainya secara baik oleh masyarakat dan pengguna jasa lingkungan
lainnya. Nilai manfaat jasa lingkungan kawasan konservasi yang masih under value
menjadi salahsatu penyebab terjadinya kegiatan ilegal terhadap lahan di kawasan
konservasi seperti perambahan lahan hutan. Dengan masih rendahnya apresiasi
terhadap nilai manfaat jasa lingkungan kawasan konservasi menyebabkan kontribusi
nilai yang diberikan oleh masyarakat dan pengguna jasa lingkungan lainnya masih
rendah. Kontribusi nilai tersebut sebenarnya dapat menjadi alternatif pendanaan untuk
mendukung kegiatan pengelolaan kawasan konservasi;
4) Keterlibatan dan partisipasi para pihak dalam mendukung kegiatan konservasi belum
optimal, dimana pengarusutamaan konservasi masih relatif rendah di tengah
masyarakat. Dalam hal ini, kepedulian dan partisipasi para pihak belum berjalan
optimal serta pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi masih terbatas.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 40
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

Pengelolaan Kawasan Konservasi


Kurang Efektif

Manfaat Jasa Lingkungan Keterlibatan, Partisipasi Para


Keterbatasan Data dan Informasi Ancaman Degradasi Ekosistem Kawasan Konservasi
Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Pihak, dan Pengarusutamaan
kurang diapresiasi nilainya secara
konservasi di tengah
baik oleh masyarakat dan
pengguna jasa lingkungan lainnya masyarakat relatif rendah

• • • Jasa lingkungan yang


Data dan Informasi Potensi Keterbukaan penutupan lahan • Kepedulian dan partisipasi
Kawasan Konservasi terbatas di dalam kawasan konservasi dihasilkan kawasan konservasi
para pihak dalam mendukung
dan tidak mutakhir akibat perambahan lahan dan dimanfaatkan kurang
pengelolaan kawasan
• Sistem informasi manajemen • Keberadaan spesies vegetasi diapresiasi nilainya oleh
konservasi belum berjalan
kawasan konservasi belum bersifat invasif dan vegetasi masyarakat dan para
optimal
pengguna secara layak
optimal bersifat eksotik • Pemberdayaan masyarakat
• Kontribusi pengguna jasa
sekitar kawasan konservasi
lingkungan belum maksimal
masih terbatas
dalam pengelolaan kawasan
konservasi

Gambar 3. Pohon Masalah Pengelolaan Kawasan Konservasi

Berdasarkan telaah atas permasalahan sebagaimana tersebut sebelumnya, maka diperlukan


upaya-upaya untuk peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 4)
terutama yang terkait dengan :

1) Data dan sistem informasi kawasan konservasi, yaitu dengan melakukan pemutakhiran
data potensi kawasan konservasi dan pengembangan sistem informasi manajemen
kawasan konservasi. Dalam hal ini fokus kegiatan yang dilakukan berupa : inventarisasi
keanekaragaman hayati, pemetaan habitat, dan pengembangan GIS untuk
meningkatkan rencana pengelolaan dan rencana aksi kawasan konservasi (Komponen
1);
2) Restorasi dan rehabilitasi, yaitu dengan melakukan kegiatan restorasi dan rehabilitasi
dalam skala pilot project. Dalam hal ini fokus kegiatan yang dilakukan berupa : pilot
proyek untuk restorasi hutan di dalam kawasan konservasi (Komponen 2);
3) Pengelolaan jasa lingkungan kawasan konservasi, yaitu dengan melakukan valuasi dan
strategi pengembangan potensi jasa lingkungan. Dalam hal ini fokus kegiatan yang
dilakukan berupa : pembiayaan berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati
melalui pembayaran jasa lingkungan (Komponen 3);
4) Partisipasi para pihak dalam konservasi kawasan konservasi, yaitu dengan melakukan
pengarusutamaan kegiatan konservasi yang mendukung pengelolaan kawasan
konservasi. Dalam hal ini fokus kegiatan yang dilakukan berupa : pengarusutamaan
konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi (Komponen 4).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 41
Bab II Gambaran Status Pengelolaan Kawasan

PENINGKATAN KAPASITAS PENGELOLAAN


KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN JASA PARTISIPASI PARA PIHAK


DATA DAN SISTEM INFORMASI
RESTORASI DAN REHABILITASI LINGKUNGAN KAWASAN DALAM KONSERVASI KAWASAN
KAWASAN KONSERVASI
KONSERVASI KONSERVASI

Pemutakhiran Data Potensi Kegiatan Restorasi dan Valuasi dan Strategi Pengarusutamaan Kegiatan
Kawasan Konservasi dan Rehabilitasi dalam Skala Pilot Pengembangan Potensi Jasa Konservasi yang Mendukung
Pengembangan Sistem Informasi Project Lingkungan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Manajemen Kawasan Konservasi

KOMPONEN KEGIATAN 1
KOMPONEN KEGIATAN 2 KOMPONEN KEGIATAN 3 KOMPONEN KEGIATAN 4
Inventarisasi Keanekaragaman Hayati,
Pembiayaan Berkelanjutan untuk Pengarusutamaan Konservasi
Pemetaan Habitat, dan Pilot Proyek untuk Restorasi Hutan di
Konservasi Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman Hayati di Lanskap
Pengembangan GIS untuk dalam Kawasan Konservasi
melalui Pembayaran Jasa Lingkungan Produksi
Meningkatkan Rencana Pengelolaan
dan Rencana Aksi Kawasan
Konservasi

Gambar 4. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Kawasan Konservasi

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 42
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI PELAKSANAAN


PEKERJAAN

3.1 Pendekatan Umum


Untuk memastikan bahwa upaya pengelolaan kawasan konservasi memiliki nilai penting dan
strategis terhadap kepentingan umum, khususnya di wilayah DAS Citarum maka pelaksanaan
seluruh kegiatan proyek CWMBC perlu untuk mengintegrasikan seluruh kegiatan dan hasil
proyek CWMBC ke dalam perencanaan pengelolaan delapan kawasan konservasi yang
menjadi lokasi proyek. Beberapa aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam proses integrasi
ini adalah sebagai berikut:
a. Memperbarui sistem pengelolaan data dan informasi untuk memperbaiki perencanaan
dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi. Sistem pengelolaan data meliputi:
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penggunaan data.
b. Mengembangkan teknologi Sistem Infomrasi Geografis dan Sistem Informasi
Manajemen (SIM) yang kompatibel dengan sistem pengelolaan kawasan konservasi.
c. Meningkatkan kapasitas pada tingkat individu, organisasi dan sistem pengelolaan
kawasan konservasi.
d. Mengembangkan kerjasama dan kolaborasi untuk konservasi keanekaragaman hayati.

Tenaga Ahli pada setiap komponen proyek CWMBC bertugas memberikan technical assistant
guna meningkatkan kinerja pengelolaan delapan kawasan konservasi yang menjadi lokasi
proyek. Peningkatan kinerja pengelolaan pada delapan kawasan konservasi yang menjadi
lokasi proyek ditentukan melalui pengembangan strategi pembandingan (benchmarking).
Mengelola proses pembandingan akan memastikan adanya manfaat dari setiap komponen
proyek, sekaligus mempertahankan pencapaian hasil dan tujuan proyek, seperti dijelaskan
pada Gambar 5.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 43
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Gambar 5. Strategi Pembandingan (Benchmarking) CWMBC di 8 Kawasan Konservasi

3.1.1 Pendekatan Pengelolaan Basis Data dan Pengembangan SIG


Pengelolaan sistem basis data keanekaragaman hayati dan pelaksanaan program konservasi
selalu memiliki aspek keruangan atau kebutuhan terhadap peta. Pengelolaan data peta dan
pengintegrasian dengan sistem database dilakukan melalui pembangunan sistem SIG yang
akan didesain sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kawasan. Pengadaan peralatan
(hardware dan software) untuk mendukung program SIG dan database keanekaragaman
hayati akan meningkatkan kapasitas perencana dan pengelola kawasan.
Merujuk pada struktur organisasi BBKSDA Jawa Barat, akan optimal jika SIG dan database
yang terbangun berada pada tingkat wilayah. Sistem yang dikembangkan diharapkan bisa
mengakomodir kebutuhan data dan peta untuk tujuh kawasan konservasi. Dalam lingkup
BBKSDA Jawa Barat terdapat dua tingkat pengguna dan satu perangkat sistem di BBKSDA
Jawa Barat sebagai server. Satu perangkat pengguna dan server juga diperlukan di
BBTNGGP. Sedangkan untuk pemerintah pusat, akan ada satu server data yang bisa
menampung data dasar (termasuk peta dasar).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 44
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Struktur jaringan database yang akan dikembangkan disajikan pada Gambar 4. Data
diperoleh dari pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data
yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Data sekunder merupakan data yang
diperoleh dari sumber data lainnya, baik berupa dokumen dan peta (data spasial). Hasil
pengumpulan data di lapangan dikirim ke pusat data untuk ditabulasikan, dikelompokkan,
dan dianalisis sesuai dengan kebutuhan sistem informasi yang akan ditampilkan. Pengiriman
data dan informasi dapat dilakukan melalui internet, smartphone, atau dokumen cetakan
disesuaikan dengan kemampuan tenaga lapangan dan ketersediaan peralatan yang ada.
Dalam pengembangan sistem manajemen informasi ini perlu dilakukan: (1) analisis
infrastruktur jaringan; (2) analisis perangkat lunak; (3) analisis kebutuhan operator sistem;
dan (4) analisis pengguna sistem.
Informasi keanekaragaman hayati per kawasan disajikan pada Gambar 5. Data hasil survey
dan data sekunder dikumpulkan dan diolah dalam sistem manajemen basis data. Informasi
utama keanekaragaman hayati per kawasan disajikan dalam bentuk tabel, peta, dan
deskripsi untuk 5 (lima) kelompok keanekaragaman hayati, yaitu vegetasi, mamalia,
herpetofauna, serangga, dan burung. Jenis, sebaran, populasi dan potensi pemanfaatan dari
lima kelompok keanekaragaman hayati tersebut dideskripsikan melalui tabel dan peta.
Informasi penting lainnya yang ditampilkan adalah: informasi kawasan, struktur pengelola,
perijinan, potensi pemanfaatan kawasan, sumberdaya fisik lahan, sosial ekonomi, dan
gangguan kawasan.
Kegiatan pemetaan sebagai bagian dari pengembangan SIG (Sistem Informasi Geografis)
dirancang secara terpadu antar komponen proyek dalam CWMBC. Alur peta output CWMBC
disajikan pada Gambar 6.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 45
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

DATA STATISTIK DAN KONDISI DEMOGRAFI SEKITAR


SPASIAL PO TENSI DESA KAW ASAN KONSERVASI

TEKANAN PENDUDUK
PETA ADMINISTRASI
CITRA SATELIT TERHADAP KAWASAN
WILAYAH DESA
KONSERVASI

KEPEMILIKAN
LAHAN
PETA
PETA
PETA LAHAN KRITIS KEBAKARAN
BENCANA
HUTAN
INTER PTRETASI CITRA

PETA LANSKAP PRODUK SI DAERAH


PENYANGGA

PETA
PERAM BAHAN KAWASAN
PENUTUPAN LAHAN TIDAK
HUTAN KONSERVASI PETA KEGIATAN RESTORASI KAWASAN
HASIL INTERPRETASI BERVEGETASI HUTAN DAN LAHAN
dan KON SERVASI
TERBUKA
DEGRADASI HUTAN
KON SERVASI

PETA KAWASAN KONSERVASI

PENUTUPAN LAHAN BATAS DAS

PETA
SUMBER MATA AIR DALAM KAW ASAN PETA CATCHMENT AREA
JARINGAN PETA PENGGUNA AIR
KONSERVASI SUMBER AIR
SUNGAI

PENUTUPAN LAHAN PETA SURVEY


BERVEGETASI HUTAN BIO DIVERSITAS provider
users
PETA HIDRO GEOLOGI

PETA JASA LINGKU NGAN AIR

PETA SEBARAN PETA (HABITAT)


VEGETASI SEBARAN SATWA

POTEN SI JASA LINGKUNGAN


KARBON

Gambar 6. Diagram Alir Output Peta CWMBC

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 46
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

3.1.2 Pendekatan Lanskap yang Lebih Luas dan Pendekatan Ekosistem


Upaya konservasi keanekaragaman hayati pada wilayah DAS Citarum yang luas perlu
mengikuti pendekatan lanskap, yang mencakup kawasan-kawasan konservasi maupun
rentang perifer yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang signifikan. Selain itu,
pertimbangan pengelolaan keanekaragaman hayati pada delapan kawasan konservasi yang
lebih baik membutuhkan pendekatan holistik dimana peningkatan skala (scaling-up) dari
tingkat lokal ke tingkat ekosistem atau tingkat Lanskap adalah sebuah kebutuhan. Namun
demikian, dengan keragaman tipologi penggunaan lahan yang ada pada suatu lanskap DAS
maka hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada pendekatan tunggal untuk konservasi
keanekaragaman hayati pada tingkat lanskap.
Pendekatan patch-work dalam praktek konservasi menunjukkan bahwa penilaian
keanekaragaman hayati berkonsentrasi pada lokasi tunggal, kawasan konservasi, dan
spesies yang dilindungi. Proyek CWMBC mengembangkan pendekatan ekosistem untuk
menjembatani kesenjangan antara kondisi ideal yang diharapkan dan praktek saat ini.
Kesesuaian habitat, antara lain dapat diperoleh dengan menggunakan GIS berbasis model
ekologi. Pemanfaatan teknologi ini juga dapat memberikan informasi awal tentang potensi,
masalah fragmentasi dan degradasi habitat. Dengan demikian dimungkinkan untuk
memprediksi upaya konservasi keanekaragaman hayati yang lebih sistematis. Hasil studi
literatur menunjukkan, bahwa isu utama pada delapan kawasan konservasi (dalam kaitannya
dengan ancaman keanekaragaman hayati) adalah praktik yang tidak berkelanjutan yang
terjadi di lanskap produktif (di luar kawasan konservasi) dan juga semakin merangsek masuk
ke dalam kawasan konservasi. Oleh karena itu, intervensi pada tingkat lahan perlu
dikembangkan melalui restorasi hutan/habitat. Di sisi lain, intervensi terhadap faktor
penyebab kerusakan hutan juga dilakukan dengan menekan aksi-aksi perambahan. Pada
lanskap produktif, proyek ini diharapkan dapat meningkatkan konektivitas ekosistem antara
fragmen hutan yang tersisa.

3.1.3 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Pengarusutamaan


Gender
Hutan perlu dikelola, baik untuk keberlanjutan produksi hutan, peningkatan nilai-nilai
keanekaragaman hayati , ataupun konservasi tanah dan air. Oleh karena itu, partisipasi
masyarakat sangat penting untuk keberhasilan/ pencapaian pendekatan lanskap konservasi.
Diakui bahwa upaya konservasi keanekaragaman hayati dapat diatur melalui sinkronisasi
antara dinamika sosial-ekonomi dan kelembagaan yang ada saat ini. Proyek CWMBC juga
mendukung upaya pengarusutamaan gender, pengurangan praktik perusakan, pelatihan
terkait mata pencaharian yang berkelanjutan, peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya konservasi keanekaragaman hayati, dan penguatan institusi lokal untuk
membangun tanggung jawab yang lebih tinggi dalam praktik keanekaragaman hayati yang
ramah di lapangan. Pemberdayaan keterlibatan secara partisipatif yang lebih
terintegrasi/terpadu antara masyarakat setempat dan pemerintah daerah untuk menjaga dan
melestarikan kawasan konservasi dan pembangunan ramah lingkungan sangat diperlukan.
Masyarakat lokal dapat menjadi perusak hutan konservasi tetapi juga dapat menjadi
pelestari hutan yang efektif, tergantung dari cara pendekatan dan pengelolaan social-
budaya- ekonomi yang dilakukan.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 47
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

3.1.4 Pendekatan Kolaboratif


Dukungan dari multi-stakeholder merupakan kunci keberhasilan pengelolaan konservasi
keanekaragaman hayati di DAS Citarum. Proses keterlibatan multistakeholder dengan
pendekatan kolaboratif dilakukan pada setiap tahapan siklus proyek CWMBC, antara lain:
perencanaan, implementasi lapangan, pemantauan dan evaluasi.
Dalam rangka penyediaan data primer untuk analisis stakeholder dan keseluruhan desain
lapangan, maka perlu dilakukan konsultasi dengan stakeholder dan survei lapangan. Analisis
stakeholder dilakukan pada tingkat individu, kelompok, atau organisasi. Stakeholder yang
dimaksud adalah stakeholder yang terkait/berkaitan dengan proyek CWMBC dan pengelolaan
kawasan konservasi. Analisis stakeholder ditujukan untuk identifikasi dan penentuan
kepentingan, serta penilaian sumber daya, kapasitas, dan mandat stakeholder.
Metoda konsultasi dengan stakeholder kunci dan masyarakat disekitar kawasan konservasi
merupakan salah satu pilihan. Konsultasi stakeholder antara lain dapat berupa wawancara
informan kunci (KIIS), diskusi kelompok terfokus (FGD) dan lokakarya serial.

3.1.5 Pendekatan Keberlanjutan


Pentingnya aspek keberlanjutan proyek CWMBC sangat relevan, karena semua unit
manajemen di 8 kawasan konservasi dan instansi pemda perlu mengadopsi kegiatan proyek
ke dalam program pembangunan secara reguler. Proyek CWMBC menghasilkan beberapa
model lapangan yang perlu dilengkapi dengan pedoman teknis, agar dapat terus
dilaksanakan oleh pengelola setelah projek berakhir. CWMBC juga memberikan dukungan
melalui penguatan kapasitas untuk unit manajemen kawasan konservasi, serta memfasilitasi
adanya dukungan stakeholder dalam program-program pembangunan berbasis konservasi di
sekitar 8 kawasan konservasi.
CF akan memberikan bantuan intensif untuk membangun kapasitas kepada stakeholder yang
berperan dalam konservasi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas
ditekankan pada manajemen kawasan konservasi, terutama untuk staf tingkat resort/ unit,
dalam rangka mendukung Manajemen Berbasis Resort (MBR) di kawasan konservasi (KSDA
Jawa Barat) dan taman nasional (TNGGP).

3.2. Pendekatan Spesifik Komponen

Kerangka kerja logis pada kegiatan CWMBC disusun dengan menggunakan kaidah Logical
Frame Analysis (LFA) yang menghubungkan aliran dan jenjang dari tingkat input – kegiatan
– output – dampak – tujuan strategis hingga tujuan umum proyek.
1. Pada tingkat input menggambarkan sumberdaya yang memberikan kontribusi dalam
menghasilkan output. Pada proyek CWMBC input utama adalah program monitoring
keanekaragaman hayati dan simtem pemetaan GIS dan database .
2. Pada tingkat kegiatan, menggambarkan proses/kegiatan penggunaan input (dengan
metoda pelaksanaan tertentu) untuk menghasilkan output yang diinginkan. Pada proyek
ini kegiatan yang dilakukan antara lain pemanfaatan data/informasi, peningkatan
kapasitas/kapabilitas dan pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) secara efektif untuk
konservasi keanekaragaman hayati.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 48
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

3. Output/Keluaran/Capaian merupakan produk/barang/jasa akhir yang dihasilkan dari


kegiatan-kegiatan pemanfaatan data/informasi untuk keaneka-ragaman hayati.
4. Dampak merupakan manfaat yang diperoleh dalam jangka menengah – panjang sebagai
titik tonggak (milestone dari sebuah keinginan yang ingin dicapai). Pada proyek ini
antara lain (a) pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati secara berkelanjutan;
(b) peningkatan ekonomi lokal; dan (c) kemitraan yang aktif dari seluruh stakeholder
dalam pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati.
5. Tujuan Strategis dan Tujuan Umum, merupakan hasil yang diperoleh sebagai tolok ukur
capaian keinginan yang ingin diubah.
Dari kerangka pikir tersebut dan untuk mendukung tercapainya tujuan umum, serta tujuan
strategis, maka dalam proyek CWMBC, Consultant Firm (CF) antara lain berperan:
1. Mendukung Project Implementation Unit (PIU) dalam mengelola dan mengkoordinasi
kegiatan pengelola kawasan konservasi secara efektif;
2. Mendukung UPT (BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP) dalam mengelola dan memonitor
proses pelaksanaan program CWMBC;
3. Mendukung upaya peningkatan efektivitas konservasi keanekaragaman hayati;
4. Menyediakan layanan peningkatan kapasitas staf di UPT BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP, serta penguatan pemberdayaan masyarakat setempat dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati dan kawasan konservasi;
5. Menyediakan layanan bimbingan teknis untuk perencanaan aksi pengelolaan kawasan
konservasi; dan
6. Menyediakan data dan informasi keanekaragaman hayati , serta mendukung
pemanfaatan data/ informasi secara efektif melalui sistem informasi manajemen yang
tepat guna.
Wujud peran CF-CWMBC, terbagi menjadi 2 (dua) layanan utama, yaitu:
1. Layanan Pendampingan Manajemen lebih ditekankan pada peningkatan kapasitas
pengelolaan kawasan melalui perencanaan kegiatan proyek, pelaksanaan kegiatan,
monitoring dan evaluasi, serta pelatihan untuk staf.
2. Layanan Pendampingan Teknis lebih difokuskan pada pemberian masukan/ nasihat
teknis kepada Executing Agency (EA) (Kementerian Kehutanan) dan UPT terkait dengan
pengelolaan kawasan konservasi melalui up-dating data dan penyajian data yang lebih
akurat, peningkatan kapasitas, dan materi lain untuk perumusan kebijakan atau pembuat
keputusan. Kondisi dan kemajuan lapangan akan dikaji ulang dan dianalisis.

Strategi yang diadopsi untuk memastikan program CWMBC mencapai tujuannya, antara lain:
1. Sinkronisasi dan mengintegrasikan kebijakan, program kegiatan CWMBC yang disusun
oleh setiap UPT (BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP) dengan program ICWRMIP dan
kebutuhan masyarakat. Hal dilakukan sepanjang siklus hidup proyek (project life cycle)
sejak perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Sinkronisasi akan diwujudkan melalui
Kesepakatan Rencana Kegiatan;
2. Rencana yang disusun berorientasi pada upaya-upaya mengatasi kesenjangan
manajemen dari 8 kawasan konservasi melalui peningkatan kinerja manajemen;
3. Fokus pada 8 kawasan konservasi yang berada di DAS Citarum, secara khusus pada
desa-desa yang ditetapkan sebagai calon MDK untuk Komponen-2 dan Komponen-4;

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 49
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

4. Penguatan kapasitas khususnya staf BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP dalam
pengelolaan kawasan konservasi, serta peningkatan kapasitas masyarakat melalui
pelatihan dan share learning, pendekatan partisipatif dan kemitraan.
5. Memperkuat kemitraan antara stakeholder dalam memanfaatkan potensi sumberdaya
yang tersedia dengan mendorong partisipasi aktif dari semua stakeholder dalam
pegelolaan kawasan konservasi berbasis MBR dan keberlanjutan program.

Untuk menjamin keberlanjutan program pasca proyek CWMBC dan memberikan manfaat
yang berkelanjutan dan dampak positif bagi pengelola kawasan konservasi dan masyarakat,
maka Consultant Firm memastikan hasil atau capaian yang dikembangkan oleh CWMBC
dimanfaatkan, dipelihara secara optimal dan memuaskan, dapat dioperasikan dan dikelola.
Untuk hal ini, CF akan berkontribusi dalam membangun strategi dan menyiapkan pedoman
bagi penguatan kelembagaan, melalui sosialisasi, kampanye publik, pelatihan kepada staf
dan pimpinan desa, serta pelibatan aktif pemerintah daerah.

3.2.1. Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat dan


Pengembangan Sistem SIG/Database untuk Perbaikan Pengelolaan
Kawasan Konservasi
A. Pendekatan Spesifik Komponen-1
1. Pendekatan Rapid Biodiversity Assessments (RBA) dalam Kegiatan Inventarisasi
Keanekaragaman Hayati.
Saat ini telah dikembangkan 3 pendekatan berskala besar yang banyak digunakan
oleh peneliti keanekaragaman hayati, yaitu (1) All-Biota-Taxonomy-
Inventory (ABTI) yang memfokuskan pada taxa tertentu dan inventarisasi seluruh
spesies dalam kelompok tersebut dalam skala global; (2) All-Taxa-Biodiversity-
Inventory (ATBI) yang memfokuskan pada kawasan atau tapak (site) tertentu
secara komplit, luas dan waktu pelaksanaan minimal 5 tahun; dan (3) Rapid
Biodiversity Assessments (RBA).
Pada proyek CWMBC pendekatan inventarisasi keanekaragaman hayati yang
digunakan adalah Pendekatan Rapid Biodiversity Assessments (RBA). Pendekatan
ini memfokuskan pada taxa atau spesies terpilih (prioritas) dan menghasilkan
estimasi kekayaan biologis atau keunikan dari kawasan, serta berguna untuk
penetapan prioritas konservasi. Pendekatan ini merupakan jawaban atas
kebutuhan yang mendesak dari para pengelola kawasan konservasi dalam
menentukan prioritas pengelolaan.
2. Pendekatan Entitas, Logikal dan Fisikal dalam Kegiatan Pengembangan GIS
a. Pendekatan Entitas
Didefinisikan sebagai bentuk geografis atau sebuah konsep yang dapat
dibedakan dari yang lainnya (unik). Suatu entitas terdiri dari beberapa atribut.
b. Pendekatan Logikal
Menjelaskan hubungan antar entitas dan unit kerja yang dipakai. Hubungan
entitas (entity relationship) untuk menghasilkan keterkaitan antar semua entitas
seperti halnya keadaan di dunia nyata. Hubungan entitas diatur dengan
enterprise rule, sehingga hubungan antara satu entitas dengan yang lainnva
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 50
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

dan untuk seluruh entitas berkaitan secara tegas. Penegasan ini berguna untuk
menyatakan “harus ada” atau “tidak harus ada”.
c. Pendekatan Fisikal.
Memperlihatkan tabel kerangka dengan atribut yang sesuai. Tabel kerangka
(sceleton tables) sebagai alat bantu untuk menentukan kunci primer (primery
key) dan kunci tamu (foreign key) dari setiap entitas. Semua entitas
dihubungkan dengan kunci primer dan kunci tamu yang bersifat unik.

3. Pendekatan Prototipe (Rapid Application Development) dalam Pengembangan


Basisdata (Database) dan SIM Keanekaragaman Hayati
Strategi pengembangan sistem informasi seringkali difokuskan dalam kajian basis
data (database) yang konsentrasi pengembangannya hanya difokuskan dalam
pendefinisan (perencanaan tabel dan atribut), desain dan implementasi sebuah
database .
Pengembangan database dilakukan sejalan dengan pengembangan tahapan sistem
informasi (yang inti di dalamnya adalah pengembangan database ). Sehingga SIM
yang dirancang, diproyeksikan untuk dapat menghasilkan sebuah sistem informasi
yang secara menyeluruh bekerja dengan semua aspek dan tahapan yang
membangunnya (seperti: identifikasi SIM proyek, perencanaan, analisis, konsep
perancangan, perancangan fisik, implementasi dan pemeliharaan sistem informasi).
Pendekatan alternatif yang digunakan dalam pengembangan basis data pada
perancangan SIM keanekaragaman hayati pada proyek CWMBC ini adalah
Pendekatan Prototyping. Pendekatan ini juga dikenal dengan nama Rapid
Application Development (RAD).
Proses pembuatan prototipe data dapat dilakukanpada saat pendefinisian data.
Dimana proses identifikasi dan inisalisasi tidak dilakukan secara mendetail.
Prototipe bisa saja dihasilkan tanpa harus melakukan analisis yang mendalam
terhadap semua proses yang akan dilalui. Prototipe mengenal adanya proses revisi
dan perbaikan. Setiap perubahan yang terjadi terhadap perencanaan perancangan
dapat disesuaikan kembali dengan jalan melakukan revisi dan peningkatan
prototipe itu sendiri. Selama tujuan masih belum tercapai atau masalah masih
belum diselesikan, maka selama itu pula sistem ini menunggu perbaikan dan
pengembangan. Hingga tujuan tercapai, dan masalah diselesaikan, maka prototipe
bisa diterapkan dan diubah menjadi sebuah sistem yang siap untuk digunakan.

4. Pendekatan Partisipatif dan Kolaboratif dalam Kegiatan Peningkatan Kapasitas,


Penyempurnaan Rencana Tindak dan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Penyusunan maupun penyempurnaan rencana tindak ataupun rencana pengelolaan
kawasan konservasi, baik yang berbasis resort maupun kawasan, seyogyanya
menggunakan pendekatan partisipatif dan kolaboratif.
Pendekatan partisipatif dan kolaboratif adalah awal kemitraan dari para pihak
(seperti: institusi pemerintah, masyarakat lokal dan pengguna sumber daya,
institusi non pemerintah dan stakeholder yang lainnya). Melalui pendekatan ini
diharapkan para pihak dapat menegosiasikan dan menentukan kerangka kerja
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 51
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

(framework) yang sesuai untuk kewenangan dan pertanggungjawaban dari


penanganan kawasan atau sumber daya tertentu.
Penciptaan proses partisipatif dan kolaboratif akan mendapatkan legitimasi melalui
aktivitas konstruktif bersama para pihak dan menjadi sangat mungkin untuk
dilakukan, serta secara moral merupakan cara untuk mencapai perlindungan alam
dalam jangka panjang dan berpengaruh pada hasil program yang dimanfaatkan
secara berkelanjutan di masyarakat.
Demikian juga dengan peningkatan kapasitas pengelola kawasan konservasi,
pelatihan dan pendampingan teknis, juga dilakukan dengan pendekatan partisipatif
yang menggali kebutuhan peningkatan kapasitas didasarkan pada kebutuhan
prioritas UPT.

A. Kerangka Kerja Logis Komponen-1


Kerangka kerja logis Komponen-1, disusun berdasarkan logika intervensi yang secara
berurutan dari kegiatan hingga sasaran/ dampak yang diharapkan. (1) Sasaran/dampak
yang diharapkan didasarkan pada problem besar atau mendasar apa yang diharapkan bisa
dibantu pemecahannya; (2) Tujuan/ outcome berupa perubahan yang ingin dicapai dalam
kurun waktu program oleh pemanfaat/ kelompok sasaran program; (3) Hasil Capaian/Output
berupa hasil-hasil utama atau bentuk pelayanan yang dihasilkan kegiatan. Secara konseptual
kerangka logis komponen-1 tersaji pada Gambar 7.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 52
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Gambar 7. Alur Pikir/Kerangka Logis Pelaksanaan Kegiatan Komponen-1

3.2.2. Pilot Project Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/L) di Beberapa Kawasan


Konservasi
Kerangka pendekatan dalam melaksanakan Pilot Proyek Restorsi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL)
dilakukan melalui pengelolaan kawasan konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat
secara partisipatif dengan melibatkan multi pihak dan inovasi teknologi sebagai input
pengembangan, sebagaimana disajikan pada Gambar 8.
Kerangka pendekatan pilot proyek restorasi habitat/rehabilitasi lahan di kawasan konservasi
sebagaimana digambarkan pada diagram alur tersebut ditempuh melalui tahapan partisipasi
multi pihak sebagai berikut:
1. Identifikasi lokasi restorasi habitat, tujuan dan informasi terkini yang diperlukan
2. Analisis dampak kerusakan vegetasi/habitat terhadap ekologi/ekosistem
3. Mengkonsolidasikan kriteria yang menjadi faktor penentu kegiatan restorasi
habitat/rehabilitasi lahan sehingga secara ekologi, sosial dan ekonomi fisibel.
4. Identifikasi teknologi/teknik yang sesuai berdasarkan informasi hasil survey kondisi
vegetasi kawasan konservasi dan kerusakan ekosistem/hutan.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 53
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

5. Pemilihan strategi dan metode yang tepat untuk melaksakan kegiatan restorasi
habitat/rehabilitasi lahan di kawasan konservasi berdasarkan acuan informasi ekosistem
referensi.
6. Pelaksanaan restorasi habitat/rehabilitasi lahan pada 4 lokasi pilot proyek area di kawasan
konservasi (Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Cagar Alam Burangrang, Cagar Alam
Gunung Tilu dan TNGGP)
7. Pengumpulan data dalam rangka monitoring dan evaluasi terhadap kriteria ekologi, sosial
dan kelembagaan.
8. Rekomendasi berdasarkan hasil analisis model restorasi habitat/rehabilitasi lahan untuk
dikembangkan ditempat lain dan publikasi ilmiah.

Gambar 8. Kerangka Pendekatan Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL)

3.2.3. Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati


Melalui Pelaksanaan PES
Upaya membangun mekanisme pembayaran jasa lingkungan ditempuh dengan pendekatan
sebagai berikut:
1. Mengkaji mekanisme-mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada di kawasan
konservasi dari aspek legal dan ekonomi. Secara ekonomi, skema yang ada mungkin
pengenaan kewajibannya kepada pemanfaat tertentu sangat kecil nilainya, sementara
bagi pemanfaat lainnya kewajiban yang sama cukup reasonable. Dalam hal ini,

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 54
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

mengetahui ‘tingkat kemanfaatan’ (utility) dari jasa lingkungan untuk berbagai jenis
pengguna diperlukan.
2. Pelibatan multipihak dalam rangka membangun kesepahaman diantara penyedia dan
pemanfaat jasa lingkungan. Suatu peraturan yang ideal dari berbagai aspek ataupun
kesepakatan yang dibangun diantara pihak penyedia dan pengguna jasa lingkungan tetap
berpotensi untuk mendapat tentangan dari kelompok masyarakat tertentu, dari sektor lain
ataupun dari pemerintah daerah misalnya. Pelibatan multipihak perlu dimulai sejak awal
dari proses.
3. Mencari pilihan-pilihan mekanisme (opsi) termasuk pilihan bila pembayaran jasa
lingkungan harus ditempatkan sebagai mekanisme mandatory. Pilihan mekanisme yang
dibuat, untuk dapat diimplementasikan, memerlukan prasyarat-prasyarat yang realistis.
Upaya tersebut diatas akan dilakukan untuk pendekatan jasa lingkungan air, sedangkan
untuk jasa lingkungan wisata alam akan dilakukan review terhadap pelaksanaan wisata alam
secara keseluruhan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan wilayah BBKSDA Jawa
Barat dari perspektif besaran jasa lingkungannya. Suatu bentang alam, landscape, tidak bisa
dipungkiri bernilai ekonomi. Suatu bentang alam juga bisa memberi andil besar dari segi
ekologis, atau peran menjaga keseimbangan lingkungan. Ilustrasi dalam box berikut
menjelaskan perlunya pendekatan dari aspek bisnis terhadap suatu bentang alam atau
landscape.

KEMENHUT

BBKSDA JAWA BARAT


Konsultan dan lembaga riset

Pemetaan & identifikasi sumberdaya alam untuk potensi pembangunan PES


Pemerintah daerah
Keanekaragam Carbon Air Wisata Elevasi &
-an hayati alam Landscape
LSM & Kelompok
masyarakat
Studi kelayakan (penyedia jasa, pembeli jasa, kesediaan
membayar, valuasi ekonomi, aspek legal, dll Departemen terkait

Pelibatan parapihak dan Perhutani dan swasta


partisipasi masyarakat

Pilot proyek implementasi PES


Model PES Multipihak

Analis kebijakan Perancangan Pelibatan masyarakat


kelembagaan

PES Voluntary yang layak

Alternatif pendanaan lain


Pembelajaran dan replikasi model di tempat lain

Gambar 9. Kerangka Pendekatan Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi


Keanekaragaman Hayati Melalui Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan
(PES)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 55
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

3.2.4. Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi


Kerangka pendekatan dalam melaksanakan pilot proyek pengarusutamaan konservasi
keanekaragaman hayati di lanskap produksi dilakukan melalui pengelolaan kawasan
konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan multi pihak dan inovasi
teknologi sebagai input pengembangan, sebagaimana disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Kerangka Pendekatan Pengarusutamaan Keanekaragaman Hayati


di Lanskap Produksi
Tujuan akhir komponen-4 pada umumnya harus menghasilkan peran serta aktif yang
berkualitas dari multi stakeholder yang terlibat dalam upaya konservasi keanekaragaman
hayati. Selain itu khusus untuk masyarakat yang berdomisili disekitar kawasan konservasi
diharapkan dapat memiliki keberdayaan agar mampu mensejahterakan dirinya dan
keluarganya supaya keberadaan mereka bukan menjadi ancaman bagi kawasan konservasi.
Sebaliknya mereka diharapkan akan dapat berperan sebagai pengawal dan penjaga aktif
bagi kawasan konservasi. Berikut tujuan akhir kegiatan pengarusutamaan keanekaragaman
hayati di lanskap produksi, yaitu :
1. Membangun arus utama konservasi alam dalam upaya melestarikan keanekaragaman
hayati yang berdampak pada kemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan dalam
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 56
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

menciptakan keadilan dan kesejateraan rakyat. Melalui upaya kolaborasi antara


pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, sehingga berbagai kegiatan konservasi alam
dalam upaya mewujudkan hal tersebut dapat terintegrasi baik rencana maupun
pelaksanaan pembangunan daerah.
2. Pengembangan model desa konservasi diharapkan dapat memberikan peluang kepada
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya
pengelolaan kawasan konservasi. Model ini juga memberi peluang kepada masyarakat
untuk mendapat akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan sehingga dapat
menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan
hutan. Model akses pemanfaatan ini dapat berbeda-beda dari satu kawasan ke kawasan
lain tergantung pada kesepakatan dengan pihak yang berwenang dalam pengelolaan
kawasan
3. Pengembangan usaha alternatif ditujukan untuk mendorong lahirnya kegiatan ekonomi
yang tidak lagi berbasis pada sumberdaya yang ada didalam kawasan atau setidaknya
kegiatan ekonomi tersebut selaras dengan fungsi kawasan. Berbagai kegiatan ekonomi
tersebut akan memperhatikan potensi yang ada baik secara dari sisi sumberdaya alam
maupun sumberdaya manusia di satu kawasan.
4. Restorasi dan rehabilitasi lahan di kawasan penyangga dengan mengacu pada teknik-
teknik konservasi diharapkan dapat merespon kebutuhan konservasi lingkungan diluar
kawasan konservasi.
5. Proses partisipatif adalah upaya untuk mendorong pengarusutamaan keanekaragaman
hayati di lahan produksi, salah satunya kegiatan publikasi/kampanye. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk membangun kesadaran berbagai pihak baik pemerintah,
masyarakat maupun para-pihak agar dapat memberikan kontribusi terhadap kelestarian
dan keberlanjutan fungsi DAS Citarum.

Pelaksanaan kegiatan Komponen-4 secara garis besar direncanakan akan menggunakan 3


pendekatan, 1 yakni :
1. Desentralisasi
Pada umumnya pemahaman tentang desentralisasi adalah proses menyerahkan atau
menggulirkan kewenangan secara proporsional dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah. Namun di dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati dan khususnya
pelaksanaan kegiatan komponen 4, maka proses desentralisasi inipun diartikan pula
sebagai menggulirkan kewenangan secara proporsional dari aparat kepada masyarakat.
Penerapan desentralisasi dalam program konservasi keanekaragaman hayati harus
mampu membangun pemahaman, keberanian, kemampuan dan kekuatan pemerintah
daerah, para stakeholder serta masyarakat dan kelembagaannya untuk dapat
menggunakan kewenangan yang menjadi miliknya (hak untuk mengambil keputusan dan
bertindak) dalam pembangunan konservasi keanekaragaman hayati di wilayahnya secara
bertanggungjawab.

1 Stewart, Alieen Mitchell. (1998) Empowering People (Pemberdayaan Sumber Daya Manusia: Terjemahan Agus M.
Hardjana).Kanisius: Yogyakarta.(hal. 18-22).
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 57
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat adalah proses menyerahkan/menggulirkan kekuasaan dari
aparat kepada masyarakat (petani dan kelembagaannya). Kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau kelompok (petani dan kelembagaannya) untuk melakukan tindakan agar
sesuatu dapat terjadi atau mencegah sesuatu untuk tidak terjadi. Ada 3 (tiga) jenis
kekuasaan yang harus dimiliki oleh masyarakat yang berdaya, yaitu : kekuasaan peran
(role-power), kekuasaan keakhlian (expert-power) dan kekuasaan sumberdaya (resource-
power).
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk konservasi keanekaragaman hayati,
maka kemampuan yang diperlukan untuk melakukan peranannya dapat dirincikan sebagai
berikut :
 Kognisi perlu didukung oleh tumbuhnya kemampuan menyusun rencana kegiatan
konservasi dan rencana usaha-alternatif serta kemampuan merumuskan peraturan-
peraturan yang ralistik dan rasional dalam kegiatan konservasi.
 Afeksi harus didukung oleh tumbuhnya kesadaran, keberanian, rasa percaya diri,
semangat dan etos kerja, serta motivasi dan tanggung-jawab sebagai kekuatan
intrinsik, agar mereka mampu melaksanakan rencananya serta memberlakukan dan
menerapkan aturan-aturan yang ditetapkan tentang konservasi keanekaragaman
hayati di wilayahnya secara taat azas.
 Psikomotorik (keterampilan) dalam melaksanakan konservasi keanekaragaman hayati
harus didukung oleh tumbuhnya kemampuan memimpin, berkomunikasi serta
kemampuan bertindak secara efektif dan efisien. Kemampuan pada ketiga ranah
tersebut di atas (afeksi, kognisi dan psikomotorik) harus dilandasi oleh tumbuhnya
kemampuan pada aspek konasi.
 Konasi, yaitu kemampuan untuk memiliki dan memelihara tumbuh-kembangnya
keinginan, harapan, dan cita-cita pada masyarakat baik sebagai individu maupun
kelompok atau komunitas sebagai subjek, pelaku utama program konservasi
keanekaragaman hayati di wilayahnya.
Kekuasaan Keakhlian (Expert Power) adalah kemampuan seseorang atau kelompok
(masyarakat dan kelembagaannya) untuk bertindak yang didasari oleh penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, sehingga menjadi kecakapan dan
keakhlian khusus. Dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati, masyarakat dan
kepemimpinannya hasrus menguasi pengetahuan, teknologi dan informasi mengenai hal
itu. Kemampuan bertindak yang didasari oleh penguasaan iptek dan informasi akan
membangun seseorang atau sekelompok orang memiliki kewibawaan, sehingga
berkemampuan dan sangat efektif untuk mempengaruhi orang lain guna mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kekuasaan Peran yang tidak disertai dengan tumbuhnya
Kekuasaan Keakhlian akan dapat menyebabkan seseorang atau kelompok hanya bertindak
berdasarkan kekuasaan semata. Tindakannya cenderung bersifat otoriter, komunikasinya
satu arah, dan bersifat top down dan atau suka memaksakan kehendak. Kekuasaan
keakhlian, atau membangun kemampuan petani dan kelembagaannya ini hanya dapat
dicapai melalui proses pembelajaran yang terus menerus atau berkelanjutan serta
terjalinnya jejaring informasi iptek yang berfungsi secara efektif.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 58
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Kekuasaan Sumberdaya (Resource Power) adalah kemampuan dan kekuatan seseorang


atau kelompok (masyarakat dan kelembagaannya) untuk menguasai dan memanfaatkan
(kontrol dan akses) terhadap sumberdaya (sumberdaya tanah, air, modal, sarana
produksi, alsintan, teknologii, pasar dll.). Kekuasaan atau kemampuan dan kekuatan
masyarakat dan kelembagaannya dalam penguasaan sumberdaya ini merupakan hal
pokok dan penting dalam melakukan peranannya sebagai manajer program konservasi
keanekaragaman hayati di wilayahnya. Tanpa kemampuan dan kekuatan penguasaan
sumberdaya ini, tak mungkin pemberdayaan akan dapat diwujudkan secara optimal.
Untuk membangun kemampuan dan kekuatan masyarakat dan kelembagaannya dalam
penguasaan sumberdaya diperlukan kemampuan manajerial dan kemampuan
membangun jejaring kerjasama baik intra kelompok maupun antar kelompok, agar
tumbuh menjadi kekuatan. Kekuatan masyarakat dan kelembagaannya merupakan
prasyarat utama untuk dapat meningkatkan posisi tawar dalam bermitra dengan pihak-
pihak lain dalam kesetaraan.
3. Partisipatif
Ada 8 (depalan) tipe partisipasi yang harus dipahami oleh para Fasilitator Desa, Penyuluh
atau Group Organizer di desa. (Deshler dan Sock, 1985) menetapkan ada 8 (delapan) tipe
partisipasi berbasiskan pada derajat penggunaan kontrol oleh partisipan yang merupakan
rekonseptualisasi dari Arnstein 1969 (Gambar 11), yaitu:

Gambar 11 Tipe Partisipasi 2:

Ke delapan tipe ini kemudian diklasifikasikan ke dalam 4 kelas berdasarkan pada


hubungan antara keluasan kontrol atau kekuasaan dan partisipasi, yakni:
1. Domestication (1, 2 dan 3);
2. Assistencialism / Paternalism (4 dan 5);
3. Cooperation (6 dan 7);
4. Empowerment (8).

2 Selener , Daniel (1997) “Participatory Action Research and Social Change” Cornell University, Ithaca, New York, USA,
(hal.203-206)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 59
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Domenstication dan Assistencialis/Parternalism dikatagorikan sebagai Pseudo Participation


atau Partisipasi Semu, sedangkan Cooperation dan Empowerment sebagai Partisipasi Murni.
Keempat katagori di atas digunakan untuk menilai tipe partisipasi dalam setiap pendekatan
partisipatif yang digunakan, dan sebagai pedoman untuk mendiskusikan partisipasi dalam
hubungannya dengan isu kekuasaan kontrol dan akses.
Pada Domestication, kekuasaan dan kontrol berada pada perencana, administrator, elit lokal,
ilmuwan, atau profesional. Domestication sering digunakan sebagai teknik partisipasi untuk
memanipulasi masyarakat untuk melakukan apa yang diinginkan oleh orang luar untuk
kepentingan mereka sendiri ketimbang untuk memberdayakan masyarakatnya.
Pada Assistencialism/Paternalism, kekuasaan dan kontrol berada pada kelompok elit atau
orang luar, anggota atau peserta dari kelompok yang berpartisipasi menerima informasi dan
dikonsultasi, dibimbing dan didamaikan. Para peneliti, penyuluh, group organizer
memfokuskan pada pembimbingan kelompok untuk melawan/memerangi gejala sosialnya
saja ketimbang memerangi penyebab penyakit sosial yang terdapat pada masyarakat.
Partisipan diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak berdaya / tidak berkemampuan
dalam bagian-bagian yang aktif pada proses. Mereka mungkin terlibat dalam kegiatan tetapi
tidak mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan atau kontrol dan manfaat.
Partisipasi sebagai Cooperation melibatkan masyarakat untuk berkerja bersama orang luar
untuk melaksanakan kegiatan bagi kemanfaatan partisipan. Pengambilan keputusan dicapai
melalui dialog antara orang luar dengan orang dalam. Partisipan juga terlibat secara aktif
dalam kegiatan. Kekuasaan dan kontrol dilakukan secara bersama-sama dengan proyek
(orang luar) secara lebih ideal, induktif, buttom-up, ketimbang proses yang top-down.
Partisipasi sebagai pemberdayaan adalah sebagai pendekatan di mana masyarakat memiliki
kekuasaan dan kontrol yang penuh terhadap program, kelembagaan termasuk pengambilan
keputusan dan kegiatan administratif. Partisipasi terjadi pada tataran politik, sosial, budaya
dan ekonomi. Pemberdayaan adalah peningkatan kemampuan secara sungguh-sungguh,
demokratisasi, solidaritas/kesetiakawanan dan kepemimpinan. Partisipasi untuk
pemberdayaan selalu berkarakter proses mobilisasi keswatantraan untuk perubahan struktur
sosial dan politik.
Dalam konteks program konservasi keanekaragaman hayati, paling tidak kita mengharapkan
agar dalam masyarakat/target grup tumbuh partisipasi murni, sehingga keterlibatan aktif
masyarakat dalam program konservasi dapat berkelanjutan.

3.3. Metodologi

3.3.1. Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat dan


Pembangunan Sistem GIS/Database Untuk Perbaikan Pengelolaan
Kawasan Konservasi

Teknik atau metode pengukuran keanekaragaman hayati telah banyak dikembangkan, tetapi
yang terpenting adalah digunakan untuk menilai kepentingan suatu tapak pengukuran pada
umumnya dilakukan pada species apa yang hadir dan kelimpahan dari species kunci. Berikut
akan dijabarkan beberapa teknik yang sering digunakan – diambil dari Sutherland
(2000), The Conservation Handbook – Research, Management and Policy.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 60
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

1. Daftar species total


Teknik ini merupakan teknik yang paling umum digunakan. Daftar species berisi seluruh
species dalam suatu kelompok takson yang pernah tercatat di tapak tersebut. Sumber
informasi berasal dari banyak sumber atau kontributor.
2. Daftar genus atau famili total
Metode ini sama dengan metode sebelumnya, hanya menggunakan level takson yang
lebih tinggi.
3. Parallel-line searches
Teknik ini diangap teknik yang terbaik untuk mengukur kehadiran spesies yang terlihat
dan mengelompok dalam kawasan yang relatif kecil. Teknik ini biasa dipakai untuk
tumbuhan atau kelompok seperti amfibi.
Secara teknis kawasan dibagi dalam blok-blok kecil, tidak lebih dari 10 hektar. Jalan
setapak dari dua garis paralel secara sistematis dibuat memotong pada jarak terdekat di
tiap blok. Di tiap jalan setapak tersebut pencatatan dilakukan untuk semua species yang
ditemukan dan lokasi-lokasi kelangkaan.
4. Habitat subsampling
Sampel-sampel dibuat di beberapa micohabitat yang berbeda untuk menghasilkan daftar
species tertinggi. Cara linnya adalah dengan menempatkan sampel secara random –
yang dalam prakteknya sulit. Bentuk sampel atau petak ukur sangatlah bervariasi
tergantung pada takson kajian. Sebongkah tanah hasil penguburan cukup menjadi
sampel untuk invertebrata tanah. Namun untuk tanaman diperlukan petak ukur bersegi
berukuran 20 m x 20 m atau bahkan transek sepanjang daerah kajian.
5. Uniform effort
Teknik ini mensyaratkan usaha sampling yang terstandarisasi untuk tiap tapak. Sebgai
contohnya penghitungan tangkapan per perangkap per hari atau tangkapan per 20
ayunan dengan jaring.
6. Time-restricted search
Teknik ini disebut juga rapid inventory atau rapid biodiversity assessments. Pengukuran
dan pencatatan species dilakukan dalam periode waktu tertentu. Untuk itu sangat
diperlukan pengamat yang perpengalaman. Pada teknik ini peneliti bebas untuk melacak
dimana saja mereka pikir banyak ditemukan species. Akibatnya teknik ini kurang
konsisten dibandingkan dengan teknik lainnya.
7. Encounter rates
Teknik ini merupakan teknik yang paling mendasar dalam upaya untuk menduga
kelimpahan. Survei untuk menentukan Daerah Penting Burung (Importan Bird Area) oleh
BirdLife International dikerjakan dengan teknik ini. Pendugaan kelimpahan dihitung
dengan cara membagi jumlah individu suatu species tercatat dibagi waktu survei, (atau
BirdLife menggunakan jarak jalur pengamatan).
8. Species discovery curves
Apakah makin lama pengamatan lapangan akan menambah daftar species? Salah satu
metode untuk menjawab peranyaan ini adalah mencatat waktu untuk setiap species baru
yang teramati bersama-sama dengan pengukuran lamanya waktu di lapangan. Hubungan
keduanya kemudian dibuat kurva.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 61
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

9. MacKinnon lists
Daftar MacKinnon merupakan salah metode untuk menduga kekayaan jenis di suatu
tempat. Metode ini menggunakan persamaan regresi untuk menduga jenis yang mungkin
ditemukan di tempat tersebut. Kekayaan jenis di tempat tersebut bisa kemudian bisa
diduga dengan menambahkan jenis yang tercatat dengan hasil perhitungan regresi.
Metode ini bagus untuk peneliti atau pengamat yang kurang berpengalaman dan belum
mahir dalam identifikasi jenis.
10. Time species counts
Teknik ini memanfaatkan kenyataan bahwa species umum akan teramati pertama kali
begitu Survey dimulai, dan sebaliknya utuk species jarang akan terlihat terakhir. Teknik
ini dilaksanakan dengan cara membagi 1 jam pengamatan menjadi 6 blok/bagian 10
menit. Daftar dibuat untuk setiap species yang terlihat dalam tiap 10 menit (atau interval
10 menit). Sekali species tercatat, akan diabaikan untuk pengamatan selanjutnya.
Analisis dikerjakan dengan memberikan skor 6 untuk blok 10 menit pertama, 5 untuk blok
10 menit kedua dst .masing-masing 4,3,2 dan 1 untuk blok selanjutnya. Nilai ini kemudian
dirata-rata untuk keseluruhan Survey, yang biasanya dilakukan 10 – 15 kali. Teknik ini
jarang digunakan sehingga sulit jika ingin membandingkan.
Secara umum metodologi dalam pelaksanaan kegiatan Komponen-1 akan mencakup desk
study dan field study. Desk study merupakan kegiatan pengumpulan data dari berbagai
studi, kajian, dan penelitian yang telah dilakukan serta melengkapinya dari berbagai sumber
pustaka, diskusi dan data sekunder lainnya mengenai keaneka-ragaman hayati. Field study
merupakan kegiatan pengumpulan data melalui pengukuran langsung di lapangan berbasis
pada kondisi nyata dalam satuan unit kawasan konservasi.

A. Inventarisasi Keanekaragaman Hayati dan Pemetaan Habitat


Komponen keanekaragaman hayati yang akan dil inventarisasi meliputi tumbuhan, mamalia,
burung, herpatofauna (reptilia dan amfibia), serangga, dan biota air.
Ada empat tahapan untuk memenuhi ketersediaan data keanekaragaman hayati, mencakup:
1. Pengumpulan Data Keanekaragaman Hayati
Inventarisasi keanekaragaman hayati merupakan proses untuk mengetahui keragaman
jenis dan penyebaran flora dan fauna yang terdapat di suatu lokasi kawasan konservasi.
Cara umum untuk menginventarisasi keanekaragaman hayati adalah melakukan survey
lapangan dengan menjelajahi seluas mungkin pada area/lokasi sasaran. Inventarisasi
keanekaragaman hayati (antara lain: jumlah spesies, prakiraan populasi dan distribusi,
kondisi habitat dan ancaman) penting dilakukan untuk mengumpulkan informasi dasar.
Hasil inventarisasi keanekaragaman hayati berupa data dasar yang akan membantu
menuntun langkah-langkah pengelolaan yang akan ditempuh.
Tahapan kegiatan untuk melakukan survey/inventarisasi keanekaragam hayati ditempuh
melalui:
a. Studi Literatur
Berbagai studi, kajian, dan penelitian keanekaragaman hayati di BBKSDA Jawa Barat
maupun di BBTNGGP telah banyak dilakukan, dan hasilnya belum terdokumentasi

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 62
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

dengan baik. Untuk itu diperlukan upaya pengumpulan data dan mempelajari dari
berbagai sumber yang ada, antara lain melalui:
 Perpustakaan universitas/lembaga penelitian dan LSM
 Diskusi parapihak dengan expert di masing-masing bidang dari dalam maupun
luar negeri.

b. Survey Lapangan
Survey lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi
keanekaragaman hayati, yang dilakukan berdasarkan metoda yang baku antara lain
melalui:
 Survey/inventarisasi keanekaragaman hayati akan dilakukan melalui biodiversity
rapid survey atau biodiversity rapid inventory mencakup 8 lokasi kawasan
konservasi yang terpilih. Berbagai metoda survey/inventarisasi dapat dipilih dalam
lampiran untuk setiap kelompok biodiversity. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode jelajah dengan menggunakan bantuan jalur setapak atau akses, dengan
pengambilan sampling pada lokasi penelitian mewakili tipe habitat yang ada
dengan cakupan seluas mungkin areal jelajah di setiap kawasan konservasi atau
intensitas sampling yang memadai sekitar 2-5 %.
 Survey inventarisasi keanekaragaman hayati akan dilakukan dengan
mempertimbangkan keberadaan habitat dan aktivitas hidupan liar yang ada.
Setiap kelompok hidupan liar dapat dijumpai di berbagai habitat dan juga ada aktif
pada siang (diurnal) dan malam hari (nokturnal). Oleh karena itu untuk
kelengkapan data, survey akan dilakukan pada berbagai tipe habitat dan
sepanjang waktu (baik pagi hari, siang hari, sore hari, maupun malam hari).
Dalam waktu terbatas, dan pertimbangan lokasi dan waktu yang efektif untuk
melakukan survey/inventarisasi fauna, dilakukan pengelompok lokasi dan waktu
kegiatan survey/inventarisasi pada setiap kelompok fauna seperti disajikan pada
Tabel 14 berikut ini:

Tabel 14. Pengelompokkan Aktivitas Survey/Inventarisasi Keanekaragaman Hayati

Kelompok
Lokasi Waktu
Fauna
Amphibia wilayah perairan (kolam, sungai, rawa), seresah menjelang magrib dan
lantai hutan, lumut di pepohonan subuh
Reptilia lantai hutan, banir pohon, batang pohon, tepi pagi dan malam
wilayah perairan
Burung daerah perbatasan dua habitat (daerah ekoton, pagi dan sore
termasuk pinggir sungai), pohon sedang
berbuah yang menyediakan pakan burung.
Primata Hutan, tepi sungai berhutan atau bervegetasi, pagi dan sore
daerah ekoton
Ungulata hutan, perkebunan, padang rumput, lahan yang malam, pagi, sore
baru di buka, tepian sungai
Carnivora hutan, daerah perbatasan (ekoton) malam

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 63
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

 Data dan informasi tambahan diperlukan untuk melengkapi data primer hasil
pendataan lapangan. Data dan informasi tambhan tersebut diperoleh dengan
mewawancarai penduduk setempat, dengan mencari tahu dari penduduk atau
orang-orang yang telah memiliki aktivitas dan waktu lebih lama di lokasi yang akan
disurvey. Langkah ini bertujuan untuk mencari bukti keragaman hayati apa yang
ada di sekitar orang-orang tersebut, serta melengkapi informasi dari masyarakat
sekitar.
 Bukti keberadaan fauna diperoleh melalui berbagai komponen yang digunakan
untuk mengidentifikasi fauna. Misalnya keberadaan satu spesies mamalia
(carnivora) dapat dibuktikan melalui:
- Melihat langsung (observasi)
- Mendengar suaranya
- Jejak - jejak atau tapak kaki (footprint)
- Cakaran di pohon
- Kotoran
- Bekas makan
 Pada survey inventarisasi habitat/vegetasi, selain dicatat tipe-tipe habitat yang
ada, akan lebih baik jika di setiap tipe habitat alami dibuatkan informasi yang lebih
rinci. Informasi yang lebih rinci ini menggambarkan struktur (tingkatan lapisan
dan kerapatan tajuk, basal area) dan komposisi (life form andplant species)
vegetasi penyusunnya, serta ancamannya. Pelaksanaan kajian lebih rinci tersebut
bergantung pada tujuan pengelolaan yang direncanakan.
 Pencatatan dan koleksi spesies dilakukan dengan menggunakan alat dan teknik
baku/standar pada masing-masing sub-komponen kajian (lihat lampiran).
Pendokumentasian yang mendeskripsikan spesies juga dapat digunakan sebagai
bahan panduan indentifikasi. Data yang akan dicatat meliputi data spesies dan
jumlah tiap spesies atau taksa, lokasi dan tipe habitat/vegetasi, serta komponen
abiotik.
 Analisis data dilakukan untuk mendapat gambaran komposisi spesies, kelimpahan
relatif, frekuensi relatif dan indeks keragaman di setiap lokasi.
c. Kajian Spesies Kunci dan High-Profile Species.
Satu seri data sheet akan dibuat untuk mencatat keberadaan spesies-spesies kunci
dan high profile species. Selain itu, akan dilakukan penggalian informasi dari
masyarakat atau petugas lapangan untuk mengetahui sejarah keberadaan dari setiap
spesies kunci (key species) dan high-profile species di setiap kawasan konservasi
terpilih pada proyek CWMBC.
Spesies kunci adalah spesies dalam ekosistem tertentu yang memegang peranan
penting dalam memelihara kestabilan suatu ekosistem dimana jika spesies ini punah
maka ekosistem tersebut akan goyah/tidak seimbang sehingga akan menyebabkan
punahnya spesies lain dalam ekosistem tersebut. Spesis kunci bermanfaat sebagai
komersial lokasi spesies itu berada. Sedangkan high-profile species
adalahspesiesyang berpotensi berbahaya bagi manusia, dari segi ukuran, kekuatan,
perilaku agresif, dan kasus-kasus kematian terhadap manusia, seperti: kuda nil,
burung unta, buaya, anjing hutan dan lain-lain. 3

3 www. thesafariguide.net/fauna-flora/high-profile-species
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 64
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Khusus untuk mengetahui gambaran umum kondisi populasi spesies kunci dilakukan
metoda ekstrapolasi, yaitu dengan menggabungkan data jelajah spesies prioritas
dengan kondisi habitat yang ada di setiap kawasan konservasi. Metoda yang lebih
rinci untuk kajian ini akan disajikan dalam laporan. Data-data lapangan penunjang
kajian seperi kerusakan habitat dan ekstraksi spesies juga akan dikumpulkan selama
kajian. Pengelompokkan sementara species kunci dan punya nilai konservasi penting
dalam konteks konservasi keanekaragaman hayati disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Pengelompokkan Sementara Species Kunci dan punya Nilai Konservasi
Penting dalam Konteks Konservasi Keanekaragaman Hayati

Kelompok Spesies Kunci Status Catatan

Mammalia Owa Jawa (Hylobates moloch) CR, I, D mudah dimonitor, perhatian


internasional
Surili (Presbytis comata) EN, II, D mudah dimonitor, spesies prioritas
nasional
Sero Ambrang (Aeonyx VU, II mudah dimonitor, indikator
cinerea) lingkungan akuatik
Jelarang (Ratufa bicolor) NT, D mudah dimonitor,
Burung Elang Jawa (Spizaetus EN, II, D mudah dimonitor, spesies prioritas
bartelsi) nasional
Julang Emas (Rhyticeros II, D mudah dimonitor, indikator
undulatus) lingkungan hutan
Ayam Hutan Merah (Gallus mudah dimonitor, usulan dari UPT
gallus)
Herpetofauna Sanca Bodo (Python molurus II, D mudah dimonitor, spesies dilindungi
bivittatus)
Labi-labi Hutan (Dogania VU mudah dimonitor, indikator
subplana) lingkungan akuatik
Ikan Ikan Kekel (Glyptothorax mudah dimonitor, indikator
platypogon) lingkungan aquatik
Ikan Jeler (Cobitis mudah dimonitor, indikator
choirorhynchos) lingkungan aquatik
Ikan Paray (Rasbora mudah dimonitor, indikator
lateristriata) lingkungan aquatik
Serangga Tonggeret (Cicadidae ) mudah dimonitor, indikator
lingkungan hutan
Kupu-kupu (Troides helena) II, D mudah dimonitor, indikator
lingkungan hutan
Capung (Libellulidae) mudah dimonitor, indikator
lingkungan hutan
Tumbuhan Rasamala (Altingia excelsa) mudah dimonitor, indikator
lingkungan hutan
Jamuju (Dacrycarpus mudah dimonitor, indikator
imbricatus) lingkungan hutan
Kiputri (Podocarpus mudah dimonitor, indikator
neriifolius) lingkungan hutan
Keterangan:
IUCN; CR:Critically Endangered, EN:Endangered, VU:Vulnareble, NT: Near Threatened; CITES; I=
Appendix I, II=Appendix II; D=PP No 7 Tahun 1999

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 65
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

2. Penyajian Data Hasil Studi Literatur dan Survey Lapangan


Dalam kaitan antara studi literatur/referensi dan hasil survey/inventarisasi lapangan akan
dilakukan kajian yang mencakup:
a. Pemeriksaan dan seleksi data
Data yang diperoleh dari pengumpulan data lapangan maupun kajian hasil
referensi/literatur maupun laporan penelitian, dilakukan penampisan dan
pemeriksaan untuk kemudian disusun secara sistematis, serta dikelompok
berdasarkan kepentingan pengelolaan dan konservasinya.
b. Pengolahan dan statistika data
Untuk membuktikan korelasi dan signifikansi antar keragaman jenis di suatu lokasi
dengan lokasi lain, diperlukan pengolahan data dan kemudian dilakukan uji statistik
untuk membandingkan dan mencari korelasi antar lokasi kawasan konservasi pada
delapan lokasi kawasan konservasi terpilih pada proyek CWMBC.
c. Daftar species
Data yang berhasil dikumpulkan dan dihimpun dari hasil survey lapangan, kajian
literatur maupun laporan penelitian tersebut, selanjutnya akan disajikan dalam
bentuk hard copy juga electronic file. Laporan akan menyajikan daftar spesies flora
dan fauna di setiap kawasan konservasi beserta penjelasan-pertelaannya.
d. Profil dan pemetaan
Untuk setiap spesies kunci akan di buat profilnya di setiap kawasan konservasi
terpilih, dugaan populasinya, dan dipetakan sebarannya dalam suatu peta thematik
species kunci.

3. Manual Identifikasi dan Memonitoring Spesies-spesies Kunci

Untuk mendukung kepentingan pengelolaan dan monitoring konservasi keanekaragaman


hayati, khususnya species kunci, akan disusun buku manual identifikasi dan monitoring
species kunci, melalui:
a. Dokumentasi dan koleksi dari hasil survey
Hasil survey/inventarisasi lapangan dan studi literatur akan dikemas dan disajikan
dalam suatu dokumentasi yang akan berupa satu seri panduan identifikasi praktis
bagi petugas lapangan.
Tujuan panduan lapangan ini adalah sebagai alat untuk memudahkan petugas
lapangan dalam melakukan identifikasi dan monitoring keberadaan jenis
keanekaragaman hayati di kemudian hari, serta meminimalisir koleksi spesimen dari
areal/wilayah konservasi, terutama untuk jenis-jenis penting dan dilindungi.
b. Publikasi dan mendistribusikan buku panduan
Mempublikasi dan menyebarkan luaskan buku panduan praktis identifikasi spesies
prioritas kepada setiap pengelola kawasan konservasi, khususnya staf petugas
lapangan.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 66
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

4. Pelatihan Identifikasi dan Monitoring Keanekaragaman Hayati


Mengadakan pelatihan bagi petugas lapangan dalam melaksanakan identifikasi dan
monitoring spesies kunci di kawasan konservasi. Ada dua keterampilan yang perlu
ditingkatkan, yaitu:
a. Pelatihan identifikasi spesies flora dan fauna
b. Pelatihan monitoring spesies kunci, sebagai basisdata (database )

B. Basis Data (Database ) Keanekaragaman Hayati


Penyediaan database keanekaragaman hayati dilakukan untuk melihat dan memonitor
perubahan yang diharapkan dari sebuah tindakan pengelolaan. Database keanekaragaman
hayati dapat berupa :
1. Data Habitat
Data dasar/kondisi awal habitat yang perlu diketahui diantaranya adalah:
a. Lokasi (per Resort): jumlah, letak/posisi, luas tiap area, tipe habitat, kondisi dan
seterusnya yang penting untuk diketahui dan dikelola
b. Habitat buatan: jenis habitat, kepemilikan, bentuk kelola, rotasi/umur tanam, dan
aspek-aspek lainnya
c. Habitat alami: tipe habitat, vegetasi, kondisi, gangguan dan seterusnya.

Deskripsi klasifikasi jenis habitat sebagai bahan monitoring disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Monitoring Database Habitat Hidupan Liar


Klasifikasi Habitat
Deskripsi Jenis Habitat
1 2 3 4
Tengah-
Rendah Tinggi Sangat Tinggi
Tinggi Tajuk Tinggi
<20m 50-100m >100m
<20-50m
Terbuka Jarang Tebal Tertutup
Kepadatan Tajuk
<20% 20-50% 50-80% >80%
Kepadatan Strata Menengah Terbuka Sedang Tebal
(jarak pandang) >50m 10-50m <10m
Jarang Sedang Tebal Sangat Tebal
Penutup Tanah - Seresah Daun
<20% 20-50% 50-80% >80%
Jarang Sedang Tebal Sangat Tebal
Penutup Tanah - Vegetasi <0.5m
<20% 20-50% 50-80% >80%
Sangat
Agak Miring Curam
Kemiringan (derajat) Lahan Datar <10 Curam
10-25 25-45
>45
Dekat Sungai
Sungai
Air Permukaan Tidak ada Kolam sekitar
mengalir
<500m
Penebangan Jalur lintasan Gulma/
Gangguan Perburuan Fauna
pohon orang weeds
Tumbuhan Tumbuhan
Makanan Fauna
Berbunga Berbuah

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 67
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

2. Data Spesies Penting


Data dasar untuk spesies penting yang perlu diketahui diantaranya adalah:
a. Deskripsi : nama spesies status dan tipe umum (penjelajah atau residen), biasanya
fauna berukuran besar cenderung penjelajah.
b. Waktu : tanggal perjumpaan/pertemuan dengan suatu spesies;
c. Jumlah : individu yang dijumpai atau dilaporkan dalam satu kali pertemuan;
d. Lokasi : lokasi pertemuan, dengan mencatat koordinat baik lokasi (Resort) maupun
blok dimana sebuah spesies dijumpai atau dilaporkan;
e. Tipe Habitat : menggunakan istilah tipe habitat yang telah disepakati;
f. Deteksi keberadaan : telihat/terdengar langsung, atau dari sisa aktifitas yang
ditinggalkan, atau berupa berita dari masyarakat;
g. Aktivitas : aktivitas fauna ketika dijumpai, meliputi makan, istirahat, bergerak atau
bersuara. Dalam satu waktu bisa terjadi dua atau aktifitas di temukan;
h. Gangguan yang terjadi : perburuan, perusakan habitat atau keduanya terjadi, atau
gangguan lainnya terhadap kehidupan fauna;
i. Observer : pengamat yang melaporkan pertemuan fauna perlu di cantumkan untuk
verifikasi bila ada diperlukan;
j. Keterangan : hal yang perlu dijelaskan sehubungan dengan spesies yang dijumpai.
Berikut bentuk data base kegiatan monitoring dalam mendeteksi aktivitas dan gangguan
terhadap habitat berdasarkan rencana observasi disajikan pada Tabel 17 dan Tabel 18.
Tabel 17. Monitoring Database Spesies Penting

Lokasi Deteksi Aktivitas Gangguan


Tanggal Jml Habitat Obs. Ket.
Resort Blok LD TK IN M I G B Per Hab Lain

Deteksi : LD=lihat dengar; TK=tanda kehadiran; IN=informasi


Aktivitas : M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi
Gangguan : Per=perburuan; Hab=habitat rusak; Lain=gangguan lainnya
Obs : Observer

Tabel 18. Database untuk Monitoring Spesies Penting

Jumlah Perilaku*) Arah pindah**)


Observasi 
Indvidu M I G B U T S B
Deteksi langsung
Terlihat
Terdengar
Lainnya
Tanda kehadiran
Bekas tapak (footprint)
Cakaran
Sisa makan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 68
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Jumlah Perilaku*) Arah pindah**)


Observasi 
Indvidu M I G B U T S B
Sarang
Kulit/sisik/selongsong
Lainnya
Informasi***)
Sebelum 1 Minggu
1 - 4 minggu
4 - 12 minggu
Terllihat
Terdengar
Jejak kehadiran
Bekas tapak (footprint)
Cakaran
Sisa makan
Sarang
Kulit/sisik/selongsong
Lainnya
Gangguan/Ancaman
Perburuan
Kerusakan habitat
Lainnya:
Hasil observasi lainnya: (misalnya: makan buah pohon ara, dsb.)
*) : M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi
**) : U=Utara; T=Timur; S=Selatan; B=Barat
***) : Setiap informan dicatat: nama, pekerjaan, alamat

C. Pemetaan
Ada beberapa cara dalam mencari dan mengumpulkan data untuk pemetaan, yaitu secara
langsung (Directly) dan secara tidak langsung (Indirectly). Pencarian data secara langsung
dapat dilakukan melalui metode konvensional dengan meninjau secara langsung ke lapangan
pada daerah tersebut akan dijadikan objek dari peta yang dibuat. Cara ini disebut dengan
teristris. Dengan cara ini dilakukan pengukuran areal menggunakan theodolit, GPS, dan
alat lain yang diperlukan serta pengamatan informasi ataupun wawancara dengan penduduk
setempat secara langsung sehingga didapat data yang nantinya akan diolah. Disamping itu
dapat dilakukan secara fotogrameti, yaitu dengan metode foto udara yang dilakukan
dengan memotret kenampakan alam dari atas dengan bantuan pesawat dengan jalur khusus
menurut bidang objek, atau menggunakan citra dari satelit.
Secara tak langsung (Indirectly) dilakukan dengan cara interpretasi peta atau data-data
yang sudah ada sebelumnya baik peta dasar maupun literatur peta lainnya (data sekunder) .
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Data kuantitatif dilakukan perhitungan yang lebih rinci dengan memberikan simbol atau
simbolisasi terhadap data-data yang ada serta melakukan overlay peta.Tahap selanjutnya
adalah mendesain peta baik komposisi dan unsur peta. Proses tersebutdilakukandengan
menggunakan PC (Portabel Computer), software dan aplikasi terkini seperti: ARC View, ARC
Info, AutoCAD Map, Map Info, dan software lainnya. Penggunaan PC dan software tersebut
dapat mempermudah pada tahap editing dan finishing.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 69
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Metoda tersebut diatas dapat diimplementasikan pada proyek CWMBC, dengan melakukan
arahan dan pendampingan terhadap user terkait pembuatan peta mengingat jenis dan
jumlah peta tematik yang dihasilkan sangat variatif dengan jumlah yang banyak. Maka dari
itu, cartografi analist diharapkan dapat memberikan pelatihan-pelatihan kepada user
sekaligus melakukan monitoring terhadap kualitas peta yang dihasilkan.
D. Pengembangan Database
Kegiatan Pengembangan Databaseini membutuhkan dukungan software, hardware, dan
brainware.
Kebutuhan Software dan Hardware mencakup:
1. Software & License, dan Hardware untuk mendukung pengolahan data yang dilakukan
GIS Specialist, Remote Sensing Specialist, Cartography Specialist, GIS Assistant
(spesifikasi dan jumlah software dan hardware sesuai dengan kebutuhan).
2. Software dan Hardware yang terkait dengan kebutuhan pekerjaan survey data di
komponen lain (specifikasi dan jumlah GPS included software converter).
3. Installation Networking untuk memudahkan Print & File Sharing, Access Internet Sharing,
dan Server & Storage for BackUp Data untuk Access Data dan BackUp pada GIS
Workstations (2 base office).
4. Mereview eksisting IT System dan IT Infrastructure yang ada di BBKSDA Jawa Barat, dan
BBTNGGP untuk mendukung menerapkan Geograhic Information System (GIS),
Application andn Management Information System (MIS).
5. Bekerjasama dengan team terkait untuk Design Geodatabase .
6. Software dan Hardware untuk mendukung WebGIS.

Kebutuhan personil (brainware) mencakup :


1. Satu orang WebGIS Programmer untuk membantu pembuatan Web GIS, digunakan untuk
Publish GIS Maps (spatial and non spatial).
2. Dua orang Programmer yang akan membantu dalam development of management
information system untuk BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP.

Usulan kebutuhan personil diperlukan mengingat pengembangan Web-based Spatial and


Management Information System memerlukan waktu yang lama dan proses dari kebutuhan
pengguna, indentifikasi masalah dan review existing system, design database ,coding, dan
testing dari tahap develop of management information system yang harus dilakukan.
Hasil kegiatan (output) akan berupa :
1. System Web-Based / Web-GIS.
2. Management Information System untuk BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 70
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

3.3.2. Pilot Project untuk Restorasi/Rehabilitasi Lahan di Beberapa Kawasan


Konservasi

A. Metode Kegiatan Restorasi/Rehabilitasi


Metode pendekatan pilot proyek restorasi habitat/rehabilitasi lahan di kawasan konservasi
sebagaimana digambarkan pada flow diagram (Gambar 8) tersebut akan ditempuh melalui
tahapan kegiatan, sebagai berikut:
1) Penetapan prioritas lokasi dan disain pilot proyek restorasi/rehabilitasi lahan
2) Pengembangan kerjasama dan kolaborasi dengan para pihak
3) Peningkatan kapasitas masyarakat dan para pihak dalam program restorasi/rehabilitasi
lahan
4) Pelaksanaan restorasi habitat/rehabilitasi lahan (penunjukan sumber benih, persemaian,
pembuatan kompos, persiapan lapangan, dan pelaksanaan restorasi/rehabilitasi lahan)
5) Monitoring dan evaluasi keberhasilan (aspek teknis, sosial, dan kelembagaan)

1. Proyek Restorasi
Identifikasi lokasi plot permanen restorasi di 4 (empat) kawasan hutan konservasi di TB
Gunung Masigit Kareumbi, CA Gunung Burangrang, CA Gunung Tilu dan TN Gunung
Gede Pangrango, dilakukan melalui metode overlay dengan GIS peta-peta, kriteria dan
informasi: land use, land cover (vegetative), topografi, DAS/Sub-DAS, administrasi, soil
characteristics, hasil analisis habitat, iklim, dan kriteria/indikator kerusakan lahan.
Selanjutnya dilakukan orientasi lapangan dan konsultasi para pihak (BKKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP) dengan “Focus Group Discussion” (FGD), untuk menentukan lokasi Pilot
restorasi /rehabilitasi lahan di kawasan konservasi masing-masing seluas ± 10-25 hektar.

2. Metode Pengembangan Kolaborasi Para Pihak


Pengembangan Kolaborasi Multi Pihak yang terkait: BBKSDA Jawa Barat/BBTNGGP, Dinas
Teknis Kabupaten, Pokmas/KPSA, LSM dan Swasta, bertujuan untuk meningkatkan
sinergi peran masing-masing—“siapa berbuat apa”--dalam pengelolaan dan restorasi
kawasan konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat secara partisipatif dengan
melibatkan multipihak dan input teknologi. Forum Kolaborasi Para Pihak ini membuat
Rencana Pengelolaan dan Kegiatan Restorasi Kawasan Konservasi untuk Jangka 5 Tahun
yang menjadi pengikat kesepakatan dan komitmen bersama. Komitmen Para Pihak ini
dilegalkan dalam suatu bentuk MoU/Kesepakatan para pihak yang diketahui/disyahkan
oleh Kepala BBSDA Jawa Barat/Kepala Balai TNGGP.
3. Metode Pelaksanaan Training
Sebelum pelaksanaan kegiatan Training, terlebih dahulu dilakukan FGD dengan
masyarakat untuk mengetahui kebutuhan pelatihan (training need). Tenaga Ahli
(TA)/Spesialist Land Rehabilitation/Restoration Technique Training Instructure (LR/RTTI)
dengan masukan bahan/panduan dari TA/Spesialist Forest Ecology dan TA Sosial-
Ekonomi menyiapkan modul-modul training sesuai kebutuhan.
Metode training mencakup teori dan praktek berbasis partisipatory dan field learning
(studi lapang). Disamping itu juga akan dilakukan studi trip/kunjungan lapangan ke
tempat MDK/restorasi habitat dan mitra usaha yang telah berhasil sebagai pembelajaran
dan inovasi dalam pemberdayaan masyarakat.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 71
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Sasaran/peserta training (pelatihan) adalah para Fasilitator dari wilayah Resort BBKSDA
Jawa Barat/BBTNGGP, Pengurus KPSA, Tokoh Masyarakat, LSM setempat dan wakil
Dinas terkait dari 8 sasaran kawasan konservasi proyek CWMBC.

4. Metode Kegiatan Restorasi dan Nursery Partisipatif


Kegiatan pelaksanaan restorasi kawasan konservasi menjadi bagian integral dari
pengelolaan kawasan konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan
multipihak dan input teknologi untuk percepatan pengembangannya. Dengan pelibatan
multipihak sebagai forum kolaborasi para pihak yang dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan hingga monitoring, diharapkan hasil kegiatan restorasi/rehabilitasi,
pengamanan dan pengelolaan kawasan konservasi dapat berlangsung secara
berkelanjutan (sustainable management). Metode Kegiatan Restorasi/Rehabilitasi seperti
digambarkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Metode Pelaksanaan Restorasi/Rehabilitasi Lahan Partisipatif

Pilot proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) di Kawasan Konservasi di TB Gunung


Masigit Kareumbi, CA Gunung Burangrang, CA Gunung Tilu dan TN Gunung Gede
Pangrango, diharapkan dapat menjadi Model Restorasi Kawasan Konservasi di wilayah
BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP.

5. Metode Monitoring dan Evaluasi


Dalam rangka kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan restorasi/rehabilitasi lahan
dilakukan secara periodic dengan cara pengamatan data lapangan secara langsung
terhadap data dan informasi kegiatan pilot proyek restorasi/rehabilitasi menggunakan
daftar isian (checklist), meliputi:
a. Struktur Jenis Endemik untuk tingkat pohon (tree), tiang (pole), pancang (sapling),
dan tingkat semai (seedling): diameter (cm) dan tinggi (m).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 72
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

b. Calon Pohon Induk jenis endemik: jenis, kualitas pohon, musim berbunga, berbuah,
dan lainnya.
c. Jenis flora dan fauna endemik yang dilindungi
d. Informasi kerusakan habitat
e. Kecocokan ekologi untuk habitat jenis fauna/flora endemik, dan lainnya.

3.3.3. Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati


Melalui Pelaksanaan PES
1. Desk Study
a. Untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai inisiatif PES yang telah dan
sedang dilaksanakan oleh berbagai pihak di berbagai tempat maka Desk study. Proses
ini dilakukan melalui review terhadap berbagai dokumen dan MoU yang ada di
BBTNGGP dan BBKSDA. Analisis difokuskan pada bentuk kerja sama, hak-hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak, bentuk “payment” yang dilakukan.
b. Willingness to pay (WTP), dengan mempelajari besaran tarif yang dikenakan kepada
konsumen pengguna jasa lingkungan.
c. Economic analysis untuk berbagai tentang berbagai skema PES yang dikembangkan.
d. Identifikasi Peraturan dan Perundang-undangan
e. REDD+
2. Diskusi Group Terfokus
a. Metode FGD dilakukan di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP untuk (a) mengekplorasi
potensi PES di kedua kawasan, serta (b) penyamaan persepsi dan (c) konfirmasi
kegiatan
b. Metode FGD juga dilakukan untuk dilakukan di BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat
untuk (a)mengekplorasi potensi PES di kedua kawasan, serta (b) penyamaan persepsi
dan (c) konfirmasi kegiatan
3. Observasi Lapangan
Observasi lapangan merupakan metode yang digunakan untuk mempelajari implementasi
PES di lapangan, serta mendeskripsikan temuan yang diperoleh.
4. Survey
a. Survey dilakukan dengan menggunakan alat berupa kuisioner (instrumen questioner),
dan juga wawancara khusus (indepth interview) maupun survey terstruktur sistematis
kepada berbagai pihak terkait, antara lain, konsumen pengguna jasa lingkungan,
pihak BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat, kelompok masyarakat hingga
perangkat/pemerintah desa, Perusahaan-perusahaaan yang terkait dengan
pemanfaatan sumber daya alam dari BBTNGGP dan wilayah BBKSDA Jawa Barat,
serta target resonden lainnya.
b. Survey dilakukan ke pengguna jasa lingkungan dan potensial buyer.
c. Survey juga dilakukan untuk mengukur willingness to pay dari responden pengguna
jasa lingkungan, untuk mengetahui besaran tarif sesuai dengan rincian jasa
lingkungan yang dirasakan pengguna jasa lingkungan.
d. Survey REDD+

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 73
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

5. Analisis Deskriptif
a. Analisis deskriptif untuk menjelaskan data dan informasi yang diperoleh.
b. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan data yang berhubungan dengan data
sosial dan ekonomi di daerah kajian PES.
c. Hasil dari analisis deskriptif dilanjutkan dengan interpretasi, generalisasi dan proses
perumusan kesimpulan.
d. Analisis REDD+
6. Diskusi Tim
a. Untuk merumuskan design PES pada pemanfaatan jasa lingkungan air;
b. Mendiskusikan prasarat-prasyarat (precondition) untuk dapat terimplementasikannya
skema PES
c. Inisiasi implementasi voluntary PES
d. Workshop REDD+
7. Workshop Peningkatan Capacity Building
Merumuskan modul pelatihan untuk peningkatan Capacity Building, dan dilanjutkan
dengan Workshop dengan pihak BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat.

3.3.4. Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap


Produksi
Keberhasilan program konservasi keanekaragaman hayati di kawasan penyangga akan
sangat bergantung pada kualitas partisipasi masyarakat di sekitarnya. Sementara itu,
program konservasi keanekaragaman hayati Sehubungan itu, pelaksanaan program
konservasi keanekaragaman hayati di kawasan penyangga harus mampu menjadi “gerakan
masyarakat”. Gerakan masyarakat hanya akan tumbuh apabila apabila pelaksanaan
program harus disertai dengan tumbuhnya “dinamika emosional” masyarakat. Dinamika
emosional adalah tumbuhnya kemampuan emosional berupa tumbuhnya :
1. Tumbuhnya kesadaran dan penerimaan masyarakat terhadap kehadiran program.
2. Tumbuhnya partisipasi.
3. Mau dan mampu berintegrasi ke dalam program.
4. Tumbuhnya proses pembentukan nilai baru.
5. Tumbuhnya kecintaan, semangat, etos kerja, daya juang, dan tanggungjawab terhadap
program yang dilaksanakannya.
Pola membangun gerakan masyarakat partisipatif dalam menumbuhkan kemampuan
emosional dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini:

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 74
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

POLA MEMBANGUN GERAKAN


PARTISIPATIF

Gambar 13. Pola Membangun Gerakan Masyarakat


Strategi pelaksanaan kegiatan komponen-4 (Pengarusutamaan Program Keanekaragaman
Hayati di Lanskap Produksi) ialah menjadikan program ini menjadi “gerakan” masyarakat.
Pelaksanaan kegiatan Komponen-4 akan dilaksanakan dengan menggunakan metode 4
sebagai berikut :
a. Pengambilan Keputusan Pertisipatif,.
b. Kaji Tindak Partisipatif,
c. Participatory Rural Appraisal (PRA),
d. Analisis Rantai Nilai (Value Changes Analisis)/VCA,
e. Stratagic Extension Campign (SEC),
f. Advokasi

A. Pengambilan Keputusan Partisipatif


Kegiatan Pengarusutamaan Keanekaragaman Hayati yang akan dilaksanakan pada
hakekatnya merupakan prakarsa yang datangnya dari “atas” atau dari Pemerintah Pusat
yang kemudian “diturunkan” kepada stakeholder dan masyarakat. Sehubungan itu, maka
pelaksanaan kegiatan komponen 4 di tingkat lapangan akan diawali dengan menerapkan
metode Pengambilan Keputusan Partisipatif. Maksud diterapkannya metode ini adalah untuk
memproses perguliran program keanekaragaman hayati melalui proses pengambilan
keputusan partisipatif oleh para stakeholder / masyarakat, sehingga menumbuhkan “rasa
memiliki” atau sense of bellonging terhadap program ini, disamping dapat membentuk
masyarakat pembelajar yang dinamis melalui proses pembelajaran.
Paradigma pembelajaran masyarakat partisipatif ditunjukkan pada Gambar 14 di bawah ini:

4 Selener , Daniel (1997) “Participatory Action Research and Social Change”Cornell University, Ithaca, New York, USA,
(hal.203-206)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 75
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Gambar 14. Paradigma Pembelajaran Masyarakat Partisipatif

Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan kunci keberhasilan dalam membentuk


masyarakat pembelajar yang dinamis, melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Stimulasi adalah proses sosialisasi program Konservasi Keanekaragaman Hayati kepada
para stakeholder kunci di Desa, agar mereka mampu:
a. Memahami, menyadari, dan menerima serta siap berpartisipasi dan berintegrasi dalam
program di wilayahnya, termasuk :
• Maksud dan tujuan program,
• Konsekuensi dan resiko atas diterimanya program
• THWT (tugas, hak, kewajiban dan tanggungjawab yang dipikulnya)
b. Membangun motivasi para stakeholder/masyarakat untuk menjadi inisiator program di
desanya.
Proses Stimulasi akan dilakukan melalui penyelenggaraan kursus : Peranan
Kepemimpinan Desa dalam Program Konservasi Keanekaragaman hayati . Target grup
tahapan stimulasi ialah : Kepemimpinan Desa (formal dan non-formal) yaitu : Kepala
Desa, Staf Desa, Badan Pembangunan Desa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Guru,
Kepala Dusun, Ketua Rukun Warga, Ketua Rukun Tetangga, Karang Taruna, dll.
2. Inisiasi ialah proses para stakeholder / masyarakat untuk berinsiatif merumuskan
rencana pelaksanaan program Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap Peroduksi
di desanya. Proses inisiasi ini dilakukan oleh masyarakat dengan
menggunakan/menerapkan metode yang telah ditetapkan, yakni : Kaji Tindak
Partisipatif, Participatory Rural Appraisal (PRA), Value Changes Analysis (VCA), Para
stakeholder mampu :
a. Merumuskan Rencana Induk Masterplan Konservasi Keanekaragaman hayati di
Lanskap produksi, Bisnis plan, Rencana Rehabilitasi lahan kritis di kawasan
penyangga, Kegiatan Penguatan Kelembagaan untuk melaksanakan program dan
pencapaian tujuan program

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 76
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

b. Menyusun jadwal pelaksanaannya


3. Legitimasi ialah proses “pengesahan” para stakeholder / masyarakat terhadap Rencana
Induk yang telah dirumuskan oleh mereka sendiri. Dalam konteks situasi masa kini, maka
proses legitimasi ini sebaiknya dilakukan pula oleh Pejabat yang berwenang (Kepala
Desa, Camat, Kepala BBTNGGP/Kepala BBKSDA Jawa Barat, Dinas/Instansi Terkait di
Kabupaten)
4. Pengambilan Keputusan Partisipatif, ialah proses para stakeholder (masyarakat di desa)
berproses mengambil keputusan secara partisipatif yakni dengan menyepakati seluruh
perencanaan yang telah dibuatnya dan telah mendapat legitimasi oleh.
5. Penerapan Keputusan ialah seluruh masyarakat melaksanakan action plan yang diperoleh
dari hasil kajian partisipatifnya secara bertanggungjawab

B. Kaji Tindak Partisipatif


Ketiga kegiatan (Mengembangkan Usaha Alternatif, Mengembangkan Model Desa Knsevasi
(MDK), dan Rehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Penyangga) akan dilakukan dengan
menggunakan metode Kaji Tindak Partisipatif di mana Fasilitator Desa akan
mengintegrasikan diri dengan masyarakat target grup untuk memfasilitasi proses
pembelajaran masyarakat di lokasi.
1. Participatory Research merupakan integrasi dari riset/pengkajian, edukasi /pendidikan
dan program aksi.Tujuan utama pendekatan Partisipatif adalah :
a. Pemecahan masalah praktis di tingkat masyarakat/komunitas.
b. Pembagian kekuasaan kepada masyarakat miskin atau yang terpinggirkan agar dapat
berkreasi dalam suatu tatanan sosial secara seimbang.
Tujuan ini merupakan tujuan akhir dari pendekatan Partisipatif dalam pembangunan
masyarakat (community development) dalam mengkondisikan dan meningkatkan
kemandirian komunitas yang tertindas dan pemerataan pembangunan di dalam
masyarakat maupun di tingkat nasional.
2. Kaji Tindak Partisipatif merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan dengan
beberapa perbaikan. Kegiatan seperti ini terkait dengan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sebagai tujuan akhir. Kegiatannya sendiri bervariasi, antara
lain dalam bentuk introduksi teknologi yang lebih baik dan dianggap lebih
menguntungkan. Sebagai manifestasi dari pelaksanaan konsep partisipatif, maka bentuk
kegiatan serta berbagai tahapan yang dilakukan akan ditentukan oleh peserta kaji tindak,
dengan fasilitasi oleh peneliti.
3. Pendekatan Partisipatif merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi
yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat dimana
masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian
kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill.
Ini adalah sebuah proses pengkajian melalui identifikasi, analisa kritis dan pemahaman
terhadap problem-problem sosial dan politik serta struktur yang menjadi penyebabnya
untuk melakukan perubahan.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 77
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

4. Komponen utama dan karakteristik pendekatan partisipatif dalam kaji tindak partisipatif
masyarakat di kawasan penyangga kawasan konservasi adalah :
a. Masalah, adalah masalah yang ada di dalam komunitas itu sendiri dan ditemukan,
dianalisis dan dipecahkan oleh komunitas itu sendiri.
b. Tujuan utama adalah transformasi radikal dari realitas sosial dan dikembangkan di
dalam kehidupan masyarakat yang terlibat. Penerima keuntungan dari kegiatan ini
adalah masyarakat itu sendiri.
c. Melibatkan secara penuh dan partisipasi aktif dari masyarakat ke dalam kegiatan.
d. Melibatkan sebagian besar kelompok masyarakat yang lemah yakni kelompok
tertindas, kelompok miskin, dan kelompok yang termarginalkan.
e. Proses dari kegiatan harus mampu menciptakan/membangkitkan perhatian yang
lebih besar di kalangan masyarakat terhadap sumberdaya yang mereka miliki dan
mampu memobilisasi/ mendayagunakannya untuk membangun kemandirian mereka.
f. Sebagai metode ilmiah melalui partisipasi masyarakat dalam memfasilitasi proses
pengkajian yang lebih akurat dan lebih autentik dalam menganalisis realitas sosial.
g. Para peneliti, (termasuk: penyuluh, Group Organizer, orang luar) berkomitmen
sebagai partisipan, fasilitator dan pembelajar dan lebih mendorong pada militansi dari
pada ketidak-berpihakan.

C. Participatory Rural Appraisal (PRA)


Di dalam Proyek CWMBC, kegiatan PRA merupakan kegiatan awal (di tingkat kelompok
sasaran) dari seluruh rangkaian proses pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan
pembelajaran masyarakat melalui penerapan metode PRA akan sangat menentukan
keberhasilan Proyek secara keseluruhan. Kualitas hasilpembelajaran PRA akan berbanding
lurus dengan keberhasilan Proyek secara keseluruhan. Karenanya, pelaksanaan PRA sebagai
kegiatan awal proses pembelajaran bagi masyarakat desa menjadi sangat penting dan
menjadi faktor penentu untuk keberhasilan Proyek CWMC.
Kualitas hasil pembelajaran PRA terutama akan sangat ditentukan oleh proses pembelajaran
dan ketaat-azasan fasilitator dalam menerapkan prinsip, pendekatan dan metode PRA.
Indikator kualitatif dari keberdayaan dan kemandirian masyarakat dicirikan dengan
dimilikinya kekuasaan (kontrol dan akses) masyarakat terhadap peranannya, terhadap
keakhliannya dan terhadap sumberdaya. Kemampuan untuk dapat menggunakan ketiga
jenis kekuasaan tersebut di atas hanya akan dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang
berkelanjutan.
Untuk dapat mewujudkan proses pembelajaran masyarakat yang berkelanjutan maka perlu
dikembangkan strategi operasional dan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan
keinginan dan kesukaan masyarakat untuk belajar. Strategi operasional harus mampu
menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya suatu masyarakat pembelajar (learning
society). Metode pembelajaran PRA selain harus mampu memudahkan proses pemahaman
masyarakat terhadap falsafah, prinsip, tujuan, manfaat dan penggunaan teknik / instrumen
PRA, juga harus mampu membangkitkan minat, kesukaan dan kegembiraan masyarakat
peserta untuk belajar. Dengan demikian setiap individu diharapkan akan dapat terpacu untuk
menjadi manusia pembelajar.
Proses pemahaman terhadap ide atau konsep pemberdayaan masyarakat melalui
pembelajaran PRA pada masyarakat desa adalah proses meningkatkan kemampuan
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 78
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

kognisi/nalar dari masyarakat sasaran untuk dapat mencapai kemampuan menganalisis


situasi (potensi dan masalah) melalui serangkaian instrumen PRA agar mereka mampu
menyusun rencana tindakan aksi secara realistis dan rasional. Proses pembelajaran ini akan
melibatkan kerja otak kiri yang bagi orang dewasa khususnya masyarakat desa akan
dirasakan sangat melelahkan. Karenanya, pembelajaran PRA harus dirakit dan dikemas
dengan metode belajar yang mampu menyeimbangkan kerja otak kiri maupun otak kanan
agar proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif.

D. Analisis Rantai Nilai (Vuleu Change Analysis/VCA) 5


Khusus untuk kegiatan Pengembangan Model Desa Konservasi dan Pengembangan Alternatif
Usaha masyarakat, selain metode PRA juga akan digunakan metode VCA dalam rangka
pembelajaran masyarakat melakukan analisis pemelihan jenis usaha yang berorientasi pasar.
1. VCA adalah Analisis Rantai Nilai (suatu usaha), yaitu suatu pendekatan untuk memahami
rantai nilai yang membentuk suatu produk (produk dibentuk oleh integrasi berbagai
aktifitas dan atau bahan baku)
2. Tujuan VCA adalah untuk mengidentifikasi tahap VC (perubahan nilai) agar bisa
mnentukan tahap/aktivitas mana yang dapat meningkatkan nilai tambah produk
tersebut, atau menurunkan biaya sehingga produk tersebut menjafi kompetitif (memiliki
daya saing) dan terbukanya peluang usaha alternati.
3. Penerapan Konsep VCA, terdiri dari:
a. Activity Analysis ( identifikasi aktivitas yang membentuk produk yang nakan
dikembangkan)
b. Value Analysis (menentukan aktivitas yang akan dikerjakan untuk meningkatkan nilai
tambah produk atau mengutrangi/menurunkan biaya supaya kompetitif  berdaya
saing, serta terbukanya peluang usaha yang berorientasi pasar)
c. Evaluasi & Planning (Evaluasi apakah benar menjadi berdaya saing/ kompetitif, dan
lanjutkan dengan rencana aksi)

E. Strategic Extension Campaign (SEC)

1. Strategi Media
Metode Campaign dapat dilakukan melalui media baik cetak maupun elektronik dengan
teknik kampanye yang tentunya disesuaikan dengan tujuan kampanye. Dipilihnya
metode SEC dengan pertimbangan bahwa isu konservasi keanekaragaman hayati bukan
semata-mata untuk diinformasikan namun merupakan isu yang harus dilakukan melalui
pendidikan dan atau penyuluhan kepada masyarakat. Berikut strategi media yang dapat
dilakukan adalah :
a. Menyasar mainstream issue serta news peg dalam konteks nasional serta lokal.
b. Meningkatkan kapasitas komunikasi lokal dan memobilisasi partner / stakeholders
sebagai pemeran utama dalam advokasi, termasuk jurnalis.

5 Donelan, Joseph G. Kaplan, Edward (2000) Value Chain analysis : Strategic Approach to Cost Management: Thomson
Learning
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 79
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

c. Bersama pemerintah daerah melakukan upaya advokasi bagi seluruh sektor-sektor


terkait untuk meningkatkan pemahaman terhadap inisiatif berbasis masyakarakat
ataupun berbasis kelembagaan:
 LSM dan jaringan aktivis masyarakat yang terkait
 Departemen dan institusi terkait
 Private Sector
 Tokoh masyarakat
 Para akademisi / universitas dan sekolah
d. Meramu berbagai aktivitas komunikasi kreatif:
 Media relation: road-show, media visit (direct investigation / report), etc.
 Media campaign: radio/TV talk-shows, writing article by expert and activists, online
campaign, dan lain-lain.
 Komunikasi /advocacy events: commemoration day events, Diskusi isu oleh
experts dan jaringan Jurnalis, seminar, workshops/training.
e. Meningkatkan jumlah advokator, local champion dan narasumber yang mempunyai
kapabilitas untuk mengkampanyekan isu dan program konservasi keanekaragaman
hayati.
Strategi media yang dilakukan tentunya harus tepat sasaran, agar pesan/isu dapat
tersampaikan keseluruh komponen masyarakat yang ada. Adapun target kampanye
dapat disampaikan kepada : kalangan jurnalis dan insan media, para pembuat
kebijakan daerah dan nasional, tokoh lokal dan pemimpin komunitas serta juru
kampanye potensial lainnya (anak-anak/pelajar, aktivis lokal dan representasi kaum
perempuan).
2. Produk
Bentuk produk sebagai bagian dari strategi media yang akan dilakukan dapat berupa:
a. Communication tools :
 Cetak : Lembar info, Press release, Brosur.
 Elektronik : film
 Display : Foto-foto, baliho, poster
 Online : feeding website
b. Produk-produk komunikasi/Dokumen : Minute of Meeting, Kolom Sekolah, /artikel
singkat atau kegiatan yang khusus untuk anak sekolah, Kolom Kebijakan, perspektif
Gender, paparan singkat atau ide-ide berbasis lokal untuk artikel yang membahas
tentang perspektif gender untuk topik terkait, ide-ide khusus untuk opini lokal.
Pemberitaan/media ekspose : kliping media, database jurnalis dan stakeholder,
media tracking.
3. Ruang Lingkup Kegiatan
Implementasi kegiatan Kampanye Multi Media meliputi:
a. Observasi Lapangan untuk menggali topik/isu berdasarkan fakta dan fenomena yang
mencuat di 8 Target Areas
b. Analisis dan penetapan Topik / Materi kampanye
c. Pengembangan dan produksi Media Kit/communication tools berikut distribusi
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 80
Bab III Pendekatan dan Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

d. Media gathering
e. Journalist field visit ke tempat sumber cerita lokal
f. Radio talk show dengan panduan interview
g. Aktivitas berbasis Komunitas dan sekolah
h. Monitoring & Evaluation:
 Impact/wacana terhadap kebijakan dan pengelolaan
 Jumlah artikel yang dicetak dan perkiraan jangkauan pembaca
 Jumah program acara radio, dan perkiraan jangkauan pembaca
 Kegiatan komunitas dan perkiraan jangkauan pembaca
4. Tema Kampanye
a. Global Content
 Biodiversity dan kontribusi bagi DAS
 Indonesia - spesifik isu Konservasi Biodiversity (fakta-fakta)
 Kolom anak-anak: konservasi biodiversity dan anak-anak (lingkungan, sekolah)
b. Local Content
 Perspektif lokal mengenai biodiversity dan DAS Citarum
 Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi konservasi keanekaragaman hayati
 ‘Happy’ story – inisiatif unik berkaitan dengan manusia dan konservasi
 Cerita domestik: Suara dari kampung – perspektif hulu/rural dan hilir/urban
mengenai manusia dan konservasi.

F. Advokasi
Metode advokasi yang akan digunakan untuk mainstreaming biodieversity, adalah metode-
metode yang bersifat persuasif edukatif, antara lain konsultasi, kampanye, diskusi,
workshop, seminar, pelatihan/kursus dll.
Keseluruhan metode yang dipilih dan akan digunakan dalam melaksanakan kegiatan di
komponen-4, dimaksudkan untuk dapat memperlancar proses pencapaian tujuan.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 81
Bab IV Rencana Kerja

BAB IV RENCANA KERJA

Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh konsultan CF-CWMBC secara kontraktual akan
berjalan selama 12 bulan, yaitu sejak bulan Desember 2012 sampai dengan Desember 2013
dengan pendekatan kunci diantaranya adalah:
1) Pendekatan Pengelolaan Basis Data dan Pengembangan SIG
2) Pendekatan Lanskap dan Ekosistem kawasan konservasi dan daerah penyangga di
sekitarnya
3) Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Lokal dan Pengarusutamaan Gender
4) Pendekatan Kolaboratif dan;
5) Pendekatan Berkelanjutan
Adapun metode pelaksanaan proyek CWMBC yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Baseline Survey Keanekaragaman Hayati (Desk Study dan Observasi Lapangan)
2) Pengembangan dan Pemanfaatan Basis Data (Metode Waterfall)
3) Pengembangan dan Pemanfaatan MIS dan SIG Berbasis Web
4) Demonstrasi Plot/Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Hutan Lahan(PPR/RHL)
5) Model Desa Konservasi (MDK)
6) Advokasi, Workshop dan Focused Group Discussion (FGD)
7) Pelatihan dan Pendampingan Teknis Kepada Staf UPT dan masyarakat
8) Kampanye Publik (Public Campaign)

Pelaksanaan proyek CWMBC oleh CF melibatkan tenaga ahli yang terdiri dari 2 (dua) orang
konsultan internasional dan 31 orang konsultan nasional serta tenaga pendukung teknis
(asisten, koordinator fasilitator desa, fasilitator, drafter, surveyor dan tenaga lokal) dan
administratif (project manager, sekretaris dan tenaga administratif lainnya). Tenaga ahli
yang terlibat berdasarkan kepakarannya ditempatkan pada setiap komponen yang dipimpin
oleh seorang Team Coordinator (TC).

4.1. Rencana Kerja Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan


Habitat, dan Pengembangan SIG untuk Perbaikan Perencanaan dan
Tindakan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Kegiatan-kegiatan pada komponen ini diarahkan untuk memperkuat kapasitas pengelolaan


kawasan konservasi dalam pengelolaan keanekaragaman hayati kawasan konservasi.
Kapasitas dalam hal ini mencakup kapasitas pada tingkat individu, organisasi, dan sistem.
Pada tingkat individu, peningkatan kapasitas diarahkan pada peningkatan keterampilan,
perilaku dan pengetahuan petugas pengelola sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-
masing dalam struktur kelembagaan pengelola kawasan konservasi. Pada tingkat organisasi,
peningkatan kapasitas diarahkan pada pembentukan infrastruktur organisasi. Pada tingkat
sistem, peningkatan kapasitas diarahkan pada pembangunan standard operasional prosedur
pengelolaan keanekaragaman hayati kawasan konservasi.
Pengelolaan keanekaragaman hayati merujuk pada logika knowledge management system
(Gambar 15) yang disesuaikan dengan struktur kelembagaan pengelola kawasan konservasi
di BBKKSDA Jawa Barat dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yaitu
sebagai berikut:
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 82
Bab IV Rencana Kerja

Kepala Balai
Mengambil
Kebijakan Kebijakan Balai
Berdasrkan
Pengetahuan

Bidang Wilayah
dan Bidang Teknis
Pengetahuan Mengolah Bidang
Informasi Menjadi
Pengetahuan

Seksi Sebagai
Informasi Pengolah data Seksi
Menjadi Informasi

Resort Sebagai
Data Produsen Data Resort

Gambar 15. Logical knowledge management system

Sesuai gambar di atas maka arah penguatan kapasitas pengelolaan keanekaragaman hayati
secara sistematis meliputi: penguatan kapasitas pengumpulan data keanekaragaman hayati,
penguatan kapasitas pengolahan dan analisis data dan informasi keanekaragaman hayati,
penguatan kapasitas dalam memproduksi pengetahuan keanekaragaman hayati, dan
penguatan kapasitas dalam pengambilan kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati
yang difokuskan untuk perbaikan perencanaan dan tindakan pengelolaan keanekragaman
hayati kawasan konservasi.
Dalam proses ini, Komponen-1 akan berupaya memberikan inovasi-inovasi pengelolaan
keanekaragaman hayati dengan memberikan asupan teknologi sistem informasi dan sistem
infomasi geografis.

4.1.1. Perencanaan Survey Keanekaragaman Hayati dan Perancangan GIS


Survey keanekaragaman hayati merupakan kegiatan awal yang harus dilaksanakan oleh
Komponen-1. Dari seluruh kegiatan persiapan dalam rangka penyesuaian rencana kerja
suvey telah diperoleh beberapa kesimpulan yang disepakati bersama terkait pelaksanaan
kegiatan survey tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Survey keanekaragaman hayati diarahkan untuk memperoleh data keberadaan species
(complete list of biodiversity), sebaran spesies, dan populasi spesies-spesies penting.
Sebagai acuannya adalah data-data yang sebelumnya diperoleh dari review terhadap
dokumen pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada, seperti: laporan hasil
monitoring spesies yang dilakukan oleh BBKSDA Jabar dan BBTNGGP serta lembaga-
lembaga mitra yang kompeten (NGO dan perguruan tinggi), laporan-laporan hasil
penelitian yang pernah dilakukan, dan lainnya.
2. Pembangunan sistem monitoring berbasis PSP (permanent sampling plot) untuk masing-
masing spesies penting yang dilengkapi SOP atau petunjuk teknis monitoringnya.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 83
Bab IV Rencana Kerja

Pembangunan PSP dan petunjuk teknis monitoring ini berguna untuk pengelolaan
keanekaragaman hayati secara in-situ dalam jangka panjang.
3. Pengembangan sistem GIS untuk pengelolaan keanekaragaman hayati (perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring keanekaragaman hayati kawasan konservasi), terutama
untuk mendukung pemetaan sebaran spesies dan dinamika habitatnya. Pengembangan
GIS juga diarahkan untuk melakukan monitoring kondisi fisik kawasan konservasi.
4. Tim GIS Komponen-1 juga harus mampu mendukung pekerjaan-pekerjaan pada
komponen lain, yaitu sebagai berikut:
a) Melakukan analisis lahan kritis kawasan untuk menetapkan sasaran lokasi restorasi
ekosistem yang akan dilakukan oleh Tim Ahli Komponen-2.
b) Melakukan pemetaan hidrologi kawasan, analisis trend tutupan lahan, dan pemetaan
pengunaan kawasan untuk menara sinyal untuk mendukung upaya pengembangan
jasa lingkungan air, karbon dan ketinggian oleh Tim Ahli Komponen-3.
c) Melakukan analisis penggunaan lahan di daerah penyangga untuk mendukung upaya-
upaya pembinaan di daerah penyangga yang dilakukan melalui MDK oleh Tim Ahli
Komponen-4.
Dari empat butir hasil pembahasan tersebut, penyusunan desain survey berbasis GIS yang
akan dilakukan oleh Tim Ahli Komponen-1 adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan desain survey dan peta-peta kerja survey.
2. Menyiapkan penilaian kebutuhan pelatihan survey biodiversity, dan GIS/Pemetaan.
3. Menyiapkan modul-modul dan panduan praktis untuk pelatihan dan pelaksanaan
kegiatan survey.
4. Pelatihan survey dan monitoring keanekaragaman hayati, terutama untuk spesies-spesies
penting yang telah ditetapkan.
5. Pelatihan dan pendampingan aplikasi GIS untuk kebutuhan survey dan pengelolaan
kawasan konservasi.

4.1.2. Survey Biofisik, Pengecekan Batas dan Tutupan Lahan.


Survey lapangan sebagai bagian dari tahap pelaksanaan inventarisasi keanekargaman hayati
dilakukan sesuai dengan desain dan peta kerja survey yang telah dibuat. Aktivitas survey
lapangan secara garis besar mencakup:
1. Survey keanekaragaman hayati di CA. Gunung Tilu, TB. Gunung Masigit Kareumbi, CA
dan TWA Kawah Kamojang, CA/TWA Gunung Tangkuban Parahu, CA Gunung
Burangrang, dan TN. Gunung Gede Pangrango.
2. Survey pengecekan batas kawasan di TB Gunung Masigit Kareumbi dan CA/TWA Kawah
Kamojang.
3. Survey tutupan lahan di CA. Gunung Tilu, TB. Gunung Masigit Kareumbi, CA dan TWA
Kawah Kamojang, CA/TWA Gunung Tangkuban Parahu, CA Gunung Burangrang, dan TN.
Gunung Gede Pangrango.
4. Identifikasi kawasan dengan nilai konservasi (high conservation value area/HCVA) pada
lanskap produksi di sekitar kawasan konservasi.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 84
Bab IV Rencana Kerja

4.1.3. Analisis Statistikal dan Spasial Status Biofisik Kawasan Konservasi


Status biofisik kawasan konservasi suatu kawasan konservasi diperoleh melaui kajian
terhadap potensi keanekaragaman hayati dan kondisi fisik kawasan konservasi. Kegiatan
pada tahap ini yaitu sebagai berikut:
1. Analisis potensi keanekaragaman hayati yang akan menghasilkan:
a. Daftar lengkap keanekaragaman hayati di 8 kawasan konservasi yang menjadi lokasi
proyek.
b. Distribusi atau sebaran spesies-spesies yang telah ditetapkan sebagai sasaran utama
survey.
c. Populasi spesies-spesies flora dan fauna yang telah ditetapkan sesuai dengan
pembahasan dengan pisak BBKSDA Jabar dan BBTNGGP.
2. Membuat status perlindungan spesies dan penetapan spesies kunci/bendera untuk
setiap kawasan konservasi.
3. Menetapkan plot permanen untuk pemantauan jangka panjang populasi spesies kunci
yang dilengkapi dengan pedoman praktis pemantauan populasi spesies jangka panjang
yang berbasis PSP.
4. Analisis trend tutupan lahan yang dipergunakan untuk:
a. Menetapkan peta lahan kritis di dalam kawasan untuk mendukung kegiatan restorasi
ekosistem,
b. Mengalisis dinamika kondisi habitat indikatif untuk mendukung perencanaan
pengelolaan habitat,
c. Menetapkan peta hidrologi (mata air, sungai, dll) untuk mendukung kajian valuasi
ekonomi dan analisis stakeholder dalam pengembangan jasa lingkungan air.

4.1.4. Mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Berbasis Web-GIS


Sistem Informasi Manajemen (SIM) Pengelolaan Kawasan Konservasi merupakan alat bantu
yang sangat penting dalam pengelolaan data, informasi, pengetahuan dan kebijakan dalam
pengelolaan kawasan konservasi. Proses pengembangan SIM Pengelolaan Kawasan
Konservasi akan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Penyusunan struktur data yang akan dipergunakan untuk pengelompokan data dan
informasi dalam suatu interface Web-GIS.
2. Pembuatan data master untuk masing-masing jenis informasi.
3. Pembuatan protipe SIM berbasis Web-GIS
4. Pembuatan spesifikasi dan pengadaan hardware dan software yang sesuai dengan
kebutuhan sistem yang akan dibangun (server , PC High Performance, GPS, jaringan
internet dan lain-lain).
5. Membangun organisasi pengelolaan SIM dan meningkatkan kapasitas sesuai prototype
MIS berbasis Web-GIS yang akan dibangun.
6. Melakukan uji terap dan pendampingan penerapan SIM berbasis Web-GIS sampai bena-
benar aplikatif.

4.1.5. Perbaikan Peta-peta untuk Mendukung Pengelolaan Kawasan Konservasi


Dalam upaya untuk menghasilkan informasi peta yang valid, update dan dapat
dipertanggungjawabkan, maka akan dilakukan pemetaan sesuai dengan kesenjangan yang
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 85
Bab IV Rencana Kerja

ada pada pengelolaan kawasan konservasi dengan menggunakan citra resolusi tinggi. Selain
itu, berdasarkan hasil pembahasan dengan pihak BBKSDA Jabar juga muncul arahan agar
Tim GIS pada Komponen 1 melakukan pengecekan batas kawasan untuk kawasan TB Masigit
Kareumbi dan CA/TWA Kawah Kamojang. Kawasan-kawasan tersebut telah ditetapkan tetapi
tidak didukung oleh peta pal batas kawasan yang seharusnya dilampirkan dalam Berita Acara
Tata Batas (BATB). Pengecekan batas kawasan diharapkan berujung pada upaya
rekonstruksi batas kawasan oleh BPKH Wilayah XI Jawa-Madura di tahun 2014.
Kegiatan-kegiatan pemetaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Akuisisi Citra Resolusi Tinggi Quickbird
2. Melakukan Geo-koreksi, pengecekan lapangan dan interpretasi citra untuk 8 kawasan
konservasi.
3. Melaksanakan pemetaan keanekaragaman hayati untuk 8 kawasan konservasi,
berdasarkan data survey sebelumnya dari tim keanekaragaman hayati.
4. Pengecekan batas kawasan TB Gunung Masigit Kareumbi dan CA/TWA Kawah
Kamojang.
5. Perbaikan peta blok/zona pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan parameter
sensitivitas ekosistem.
6. Perbaikan peta wilayah kerja resort.
7. Memproduksi peta-peta tematik untuk mendukung penyusunan atau perbaikan
perencanaan dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi yang mejadi lokasi proyek.
8. Pembuatan peta proyeksi kondisi biofisik kawasan berdasarkan trend historis untuk
membuat scenario planning dalam perbaikan perencanaan dan tindakan pengelolaan
kawasan konservasi.

4.1.6. Menyusun Rencana Pengelolaan atau Rencana Aksi Berbasis Resort


Rencana pengelolaan atau rencana aksi berbasis resort akan dibuat dengan mengikuti
matriks penilaian sebagai berikut:

Tabel 19. Matrik Penilaian Penyusunan Rencana Pengelolaan/Aksi Berbasis Resort

Blok/Zona
Nama Fitur Kegiatan Pengelolaan Kebutuhan Kebutuhan
No Luas Nama Permasalahan
Resort Luas Kunci yg diperlukan SDM Sarpras
Blok/Zona
1
2
3
4
5
6

Sesuai dengan matrik penlaian tersebut, kegiatan-kegiatan dalam penyusunan rencana


pengelolaan atau rencana aksi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Melakukan review terhadap rencana pengelolaan yang telah ada sebelumnya.
2. Melakukan overlay peta wilayah kerja resort dengan peta blok/zonasi, untuk memperoleh
informasi mengenai blok/zona apa saja yang menjadi wilayah pangkuan suatu resort.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 86
Bab IV Rencana Kerja

3. Menetapkan fitur kunci dan permasalahan-permasalahan pada masing-msaing blok/zona


dan pada wilayah kerja resort sebagai bahan pertimbangan untuk menyusunan daftar
kegiatan pengelolaan yang diperlukan dan diperioritaskan.
4. Menentukan jumlah, komposisi dan kualifikasi sumberdaya manusia beserta sarana dan
prasarana pengelolaan yang dibutuhkan pada suatu resort berdasarkan fitur kunci,
permasalahan dan daftar kegiatan pengelolaan yang diperlukan.
5. Menyusunan draft dokumen rencana pengelolaan atau rencana aksi.
6. Melakukan pembahasan dengan pihak BBKSDA Jabar dan BBTNGGP terhadap draft
rencana pengelolaan atau rencana aksi.
7. Finalisasi dokumen rencana pengelolaan atau rencana aksi.
8. Pendampingan pelaksanaan rencana pengelolaan atau rencana aksi pengelolaan kawasan
berbasis resort dengan dukungan aplikasi SIM berbasis web-GIS.

4.1.7. Persiapan Profil Keanekaragaman Hayati Hulu DAS Citarum


Berdasarkan hasil survey serta pengembangan sistem pengelolaan informasi
keanekaragaman hayati yang didukung oleh aplikasi SIM berbasis Web-GIS akan diususun:
“Profil Keanekaragaman Hayati Hulu DAS Citarum”. Buku ini diharapkan bisa menampilkan
kekayaan biodiversitas hulu DAS Citarum sehingga sangat penting untuk dilestarikan melalui
peran berbagai pihak.

4.1.8. Penyusunan Laporan Komponen-1


Hasil dari semua kegiatan Komponen-1 akan dituangkan dalam laporan final yang dilampiri
dengan berbagai berbagai jenis laporan sesuai dengan report requirement berdasarkan
kontrak pekerjaan antara pihak Direktorat KKBHL dengan Perusahaan, yaitu: technical report
(modul, pedoman praktis monitoring, data dan informasi PSP, buku hasil survey, dll); dan
ectivities report (prodisiding setiap kegiatan).

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 87
Bab IV Rencana Kerja

Tabel 20. Rencana Kerja Inventarisasi Keanekaragaman Hayati, Pemetaan Habitat, dan Pengembangan SIG untuk Perbaikan Perencanaan dan
Tindakan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1.1 Perencanaan Survey Keanekaragaman Hayati dan Perangcangan GIS
1. Menyiapkan desain survey dan peta-peta kerja survey
2. Menyiapkan penilaian kebutuhan pelatihan survey biodiversity, dan GIS/Pemetaan
3. Menyiapkan modul dan panduan praktis untuk pelatihan dan pelaksanaan kegiatan
survey
4. Pelatihan survey dan monitoring kehati, terutama untuk spesies-spesies penting yang
telah ditetapkan
5. Pelatihan dan pendampingan aplikasi SIG untuk kebutuhan survey dan pengelolaan
kawasan konservasi.
1.2 Survey Biofisik dan Tutupan Lahan
1. Survey keanekaragaman hayati di seluruh kawasan konservasi lokasi proyek.
2. Survey tutupan lahan terkini di seluruh kawasan konservasi lokasi proyek.
3. Identifikasi kawasan dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value area/HCVA)
pada lanskap produksi di sekitar kawasan konservasi
1.3 Analisis dan Pembahasan Hasil Suvey Biofisik Kawasan Konservasi
1. Analisis potensi keanekaragaman hayati (daftar lengkap kehati, sebaran, dan populasi
spesies penting).
2. Membuat status perlindungan spesies dan penetapan spesies kunci/bendera untuk setiap
kawasan konservasi.
3. Penetapan Permanen Sampling Plot untuk spesies kunci yang telah ditetapkan.
4. Konsultasi pakar terhadap proses dan hasil survey biofisik
5. Analisis trend tutupan lahan.
1.4 Mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Berbasis Web-GIS
1. Penyusunan struktur data yang akan dipergunakan untuk pengelompokan data dan
informasi dalam suatu interface Web-GIS.
2. Pembuatan data master untuk masing-masing jenis informasi.
3. Pembuatan protipe SIM berbasis Web-GIS
4. Pembuatan spesifikasi dan pengadaan hardware dan software yang sesuai dengan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 88
Bab IV Rencana Kerja

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
kebutuhan sistem.
5. Membangun organisasi pengelolaan SIM dan meningkatkan kapasitas sesuai prototype
MIS berbasis Web-GIS yang akan dibangun.
6. Melakukan uji terap dan pendampingan penerapan SIM berbasis Web-GIS sampai bena-
benar aplikatif.
1.5 Perbaikan Peta-peta untuk Mendukung Pengelolaan Kawasan Konservasi
1. Akuisisi Citra Resolusi Tinggi Quickbird
2. Melakukan Geo-koreksi, pengecekan lapangan dan interpretasi citra untuk 8 kawasan
konservasi
3. Melaksanakan pemetaan keanekaragaman hayati untuk 8 kawasan konservasi,
berdasarkan data survey sebelumnya dari tim keanekaragaman hayati
4. Pengecekan batas kawasan TB Masigit Kareumbi dan CA/TWA Kawah Kamojang
5. Perbaikan peta blok/zona pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan parameter
sensitivitas ekosistem
6. Perbaikan peta wilayah kerja resort
7. Memproduksi peta-peta tematik untuk mendukung penyusunan atau perbaikan
perencanaan dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi yang mejadi lokasi proyek
8. Pembuatan peta proyeksi kondisi biofisik kawasan berdasarkan trend historis untuk
membuat scenario planning dalam perbaikan perencanaan dan tindakan pengelolaan
kawasan konservasi
1.6 Menyusun Rencana Pengelolaan atau Rencana Aksi Berbasis Resort
1. Melakukan review terhadap rencana pengelolaan yang telah ada sebelumnya
2. Melakukan overlay peta wilayah kerja resort dengan peta blok/zonasi, untuk memperoleh
informasi mengenai blok/zona apa saja yang menjadi wilayah pangkuan suatu resort
3. Menetapkan fitur kunci dan permasalahan-permasalahan pada masing-msaing blok/zona
dan pada wilayah kerja resort sebagai bahan pertimbangan untuk menyusunan daftar
kegiatan pengelolaan yang diperlukan dan diperioritaskan
4. Menentukan jumlah, komposisi dan kualifikasi sumberdaya manusia beserta sarana dan
prasarana pengelolaan yang dibutuhkan pada suatu resort berdasarkan fitur kunci,
permasalahan dan daftar kegiatan pengelolaan yang diperlukan
5. Penyusunan draft dokumen rencana pengelolaan atau rencana aksi
6. Melakukan pembahasan dengan pihak BBKSDA Jabar dan BBTNGGP terhadap draft

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 89
Bab IV Rencana Kerja

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
rencana pengelolaan atau rencana aksi
7. Finalisasi dokumen rencana pengelolaan atau rencana aksi.
1.7 Penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati Hulu DAS Citarum
1.8 Penyusunan dan Pembahasan Laporan Komponen-1
1. Workshop Hasil Komponen-1
2. Penyusunan dan penyerahan laporan komponen-1

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 90
Bab IV Rencana Kerja

4.2. Rencana Kerja Pembangunan Pilot Proyek Restorasi Hutan


4.2.1. Persiapan Kegiatan PPR/RL
Penyesuaian rencana kerja telah dilakukan oleh Tim Komponen-2 melalui beberapa kegiatan,
diantaranya adalah: konsultasi/koordinasi dengan pihak BBKSDA Jawa Barat pada tanggal 15
Januari 2013, dan dengan pihak BBTNGGP di kantor BBTNGGP Cibodas pada tanggal 18
Januari 2013. Hasil koordinasi antara lain:
1. Kesepahaman dan kesepakatan sasaran lokasi pilot restorasi dan rehabilitasi lahan
(PPR/RL), yaitu:
 Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi (1 unit)
 Cagar Alam Gunung Burangrang (1 unit)
 Cagar Alam Gunung Tilu (2 unit)
 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (3 unit)
2. Prosedur administratif pelaksanaan kegiatan, yaitu: penyampaian rencana kerja dan ToR
kegiatan, penelaahan dan persetujuan BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, kemudian mobilisasi
kegiatan.
Untuk lebih meningkatkan akurasi data dan informasi awal, Tim Komponen-2 juga telah
melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dengan Staf BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP. Kegiatan FGD dengan staf BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP telah dilaksanakan
pada tanggal 8 dan 9 Februari 2013, di kantor BBKSDA Jawa Barat dan kantor BBTNGGP.
Dari proses FGD dihasilkan informasi awal mengenai calon-calon lokasi PPR/RL pada 4
(empat) kawasan konservasi tersebut yang perlu dilakukan restorasi sebagai model PPR/RL.
Untuk lokasi restorasi di wilayah BBKSDA Jabar disepakati adalah areal kawasan konservasi
yang rusak akibat perambahan masyarakat dan masih aktif. Sementara di kawasan TNGGP
disepakati lokasi pilot proyek restorasi meliputi perwakilan untuk: model restorasi hutan
konservasi bekas perambahan, areal yang terdegradasi akibat tanaman pengganggu IAS
(invasive aliens species), dan restorasi pengembalian ekosistem hutan alam terhadap areal
perluasan yang secara fisik adalah hutan monokultur jenis Pinus merkusii.
Setelah FGD, Tim Komponen-2 melakukan orientasi lapangan untuk memperoleh gambaran
calon lokasi pilot proyek restorasi /rehabilitasi lahan (PPR/RL) di lapangan. Orientasi
lapangan dilakukan di wilayah BBKSDA Jawa Barat pada tanggal 14 dan 15 Februari 2013.
Sementara orientasi lapangan di TNGGP dilaksanakan tanggal 26-27 Februari 2013.

4.2.2. Pelaksanaan Kegiatan PPR/RL

4.2.2.1. Identifikasi Prioritas Lokasi Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan


Kawasan konservasi yang menjadi lokasi pilot proyek restorasi telah ditetapkan berdasarkan
pembahasan pada saat penyesuaian rencana kerja. Namun demikian, titik/calon dimana
PPR/RL tersebut akan dilaksanakan pada kawasan konservasi yang telah ditetapkan tersebut
belum ditentukan. Oleh karenanya, tahap awal yang perlu dilakukan adalah menentukan titik
lokasi pada 4(empat) kawasan konservasi yang telah terpilih. Proses ini dilakukan melalui
penetapan criteria lokasi restorasi yang mempertimbangkan paling tidak dua prinsip, yaitu:
1. Calon lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang terdegradasi / rusak habitatnya untuk
dipulihkan secara ekologis akibat perambahan dan kebakaran hutan;
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 91
Bab IV Rencana Kerja

2. Aksesibilitas lokasi PPR/RL relatif mudah terjangkau untuk memastikan mobilisasi


partisipasi masyarakat dan tenaga ahli lebih intensif sehingga peluang keberhasilan
PPR/RL sebagai model (show window) restorasi hutan konservasi partisipatif (RHKP)
lebih tinggi.

4.2.2.2. Membangun Kerjasama Masyarakat dan Kolaborasi Para Pihak


Membangun Kerjasama dan Kelembagaan
Tahapan ini dilakukan setelah calon areal lokasi PPR/RL ditetapkan berdasarkan FGD dan
kriteria prioritas sebagai model restorasi. Kelembagaan pilot restorasi di setiap lokasi akan
dibangun secara partisipatif, yang melibatkan unsur dari BBKSDA Jabar dan BBTNGGP,
masyarakat setempat, dan pihak lain yang potensial mendukung kegitan pilot restorasi hutan
konservasi. Keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif dalam restorasi
diharapkan akan meningkatkan peluang keberhasilan pilot restorasi. Kegiatan-kegiatan
dalam tahap ini adalah sebagai berikut:
1. Penilaian untuk memilih kelompok masyarakat yang akan disertakan dalam kegiatan pilot
restorasi.
2. FGD merancang program restorasi terkait dengan program pemberdayaan yang sudah
adaantara lain: program MDK BBKSDA Jawa Barat, Swadaya Masyarakat.
3. FGD pembentukan kelembagaan masyarakat untuk restorasi yang sejalan dengan
pembangunan Model Desa Konservasi (MDK).
Membangun Kolaborasi Para Pihak
Beberapa program restorasi di kawasan konservasi yang dilaksanakan hampir seluruhnya
tidak terlepas dari keterlibatan stakeholders, seperti: program restorasi di TN Gunung Leuser
yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan UNESCO, program restorasi di TNGGP yang
dilaksanakan melalui kerjasama dengan Conservation International, program restorasi di TN.
Gunung Merapi dilaksanakan melalui kerjasama dengan JICA, dll. Beberapa pola kerjsama
yang dikembangkan cukup unik misalnya adalah program adopsi atau wali pohon yang
dilaksanakan di TNGGP. Dalam pelaksanaan pilot restorasi pada program CWMBC ini,
diharapkan bisa muncul pola-pola kerjasama atau kolaborasi yang lebih baik dan jangka
panjang. Untuk itu, Tim Komponen-2 merencanakan beberapa kegiatan yang diarahkan
untuk mengembangkan pola kerjasama atau kolaborasi dalam pembangunan pilot restorasi
yang akan dilaksanakan, yaitu sebagai brikut:
1. Identifikasi stakeholder yang terkait langsung dengan pengelolaan kawasan konservasi
atau yang mendapatkan maanfaat dari keberadaan kawasan konservasi. Identifikasi juga
dilakukan terhadap lembaga-lembaga di level nasional dan internasional yang potensial
mendukung upaya restorasi di kawasan konservasi.
2. Sosialisasi program pilot restorasi CWMBC kepada para pihak yang potensial bekerjasama
atau berkolaborasi dalam rangka mensukseskan kegiatan pilot proyek restorasi di
kawasan konservasi.

4.2.2.3. Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Untuk Program Restorasi


Pelatihan dan pendampingan ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan ketrampilan
masyarakat dalam program RHKP yang berkelanjutan sekaligus untuk memberikan peluang
memperoleh tambahan pendapatan petani. Sementara ini pelatihan diberikan untuk
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 92
Bab IV Rencana Kerja

pembuatan kompos dan pembuatan persemaian.. Untuk beberapa kegiatan pelatihan, akan
dilaksanakan oleh BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, sementara Tim Ahli Komponen-2 berperan
untuk memberikan asistensi teknis. Kegiatan-kegiatan dalam rangka pelatihan dan
pendampingan yang akan dilakukan oleh Tim Komponen-2 adalah sebagai berikut:
1. Menyusun Panduan Teknis kegiatan pelaksanaan pilot proyek restorasi / rehabilitasi
lahan (PPR/RL)
2. Menyusun modul untuk pelatihan dan pembuatan persemaian dan kompos, pemilihan
pohon plus, dan pelaksanaan kegiatan restorasi secara keseluruhan.
3. Melakukan asistensi pelatihan sebagai instruktur pada pelatihan pembuatan persemaian
dan kompos oleh kelompok restorasi yang dilaksanakan oleh BBKSDA Jabar dan
BBTNGGP.
4. Melakukan asistensi pelaksanaan kegiatan restorasi hutan konservasi (ekosistem) yang
melibatkan para pihak dalam kelembagaan PPR/RL.
5. Melakukan pendampingan dalam pembuatan persemaian dan kompos oleh kelompok
masyarakat yang terlibat dalam pembangunan PPR/RL.

4.2.2.4. Pembuatan PPER dan Penyusunan Rancangan Teknis PPR/RL


Pembuatan PPER
Pembuatan Plot Permanen Ekosistem Referensi (PPER) dimaksudkan sebagai rujukan atau
referensi struktur dan sebaran jenis endemik hutan alam konservasi yang masih asli.
Informasi analisis vegetasi tegakan sangat diperlukan dalam menyusun Rancangan Teknis
pilot proyek restorasi/rehabilitasi lahan (PPR/RL).
PPER direncanakan akan dibuat pada setiap areal kawasan konservasi: CA Gn. Tilu, CA Gn.
Burangrang, TB Gn. Masigit Kareumbi dan di kawasan TNGGP yang menjadai sasaran lokasi
PPR/RL masing-masing seluas 1 hektar. Kegiatan pembuatan PPER adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi dan analisis spasial peta-2 (GIS) untuk penetapan calon lokasai prioritas
calon lokasi PPER
2. Pengukuran dan pemetaan PPER dengan pncatatan titik koordinat batas luar dengan
menggunakan GPS
3. Inventarisasi hutan alam PPER dengan teknik “systematic sampling with random start”
intensitas ±50 % sistem petak ukur dalam jalur
4. Pengolahan dan analisis data vegetasi yang meliputi: kerapatan, frekvensi, dominasi jenis
dan indek nilai penting (INP).
5. Laporan PPER
Penyusunan Rancangan Teknis PPR/RL
Rancangan Teknis Pilot Proyek Restorasi/Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) adalah design
engineering atau rencana detail dari kegiatan restorasi yang akan dilaksanakan. Dokumen ini
memuat risalah lengkap dan terkini dari lokasi pilot restorasi, ekosistem referensi, rancangan
kegiatan yang dilengkapi dengan metode dan teknik pelaksanaan setiap kegiatan (perlakuan
terhadap lahan, teknik silvikultur (penanaman, ANR (assisted natural regeneration), dan
pengakayaan tanaman), persemaian, composting, alat dan bahan, rancangan kelembagaan
dan pelibatan masyarakat, tata waktu, rancangan biaya, dll). Kegiatan dalam penyusunan
Rancangan Teknis PPR/RL adalah sebagai berikut:

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 93
Bab IV Rencana Kerja

1. Identifikasi/orientasi awal calon lokasi PPR/RL (hasil rekomendasi FGD dengan BBKSDA
dan BBTNGGP)
2. Analisis spasial peta-2 (GIS) untuk penetapan prioritas calon lokasi sebagai peta kerja
survey Rancangan Teknis PPR/RL
3. Tinjauan lapangan, penetapan titik koordinat dengan GPS dan pemetaan lokasi dengan
melibatkan Kelompok Restorasi secara partisipatif
4. Pengumpulan data biophisik melalui risalah/survei lapangan dengan teknik sampling
“systematic sampling with random start” sistim jalur dengan intensitas minimal 30% dan
pengambilan sampel tanah
5. Pengumpulan data sosek & kelembagaan
6. Pengolahan data dan Analisis biophisik, vegetasi, sosek,karakteristik tanah dan
kajian/rujukan ekosistem referensi
7. Penyusunan Draft Rancangan Teknis PPR/RL
8. Pembahasan, Finalisasi Laporan
9. Penggandaan Laporan Rancangan Teknis PPR/RL (dilengkapai dengan Lampiran peta
Rancangan dan peta pendukung)

4.2.2.5. Asistensi Kegiatan Lapangan Pelaksanaan PPR/RL


Pilot proyek restorasi / rehabilitasi lahan (PPR/RL) yang direncanakan Komponen 2-CWMBC
sebanyak 7 lokasi yang terletak di wilayah BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP sebagaimana
tersaji pada Tabel 21 berikut ini:
Tabel 21. Asistensi Kegiatan Pilot proyek restorasi / rehabilitasi lahan (PPR/RL) Tahun 2013

Blok Lokasi Kecamatan/


No Kawasan Konservasi Desa
PPR/RL Kabupaten
1. CA Gn. Tilu Karang Gludug 1. Sugihmukti Pasirjambu, Bandung
Cipadarung 2. Sukaluyu Pangalengan, Bandung
2. CA. Gn. Burangrang Cihanjawar 3. Cihanjawar Bojong, Purwakarta
3. TB Gn. Masigit Cinini 4. Tanjungwangi Cecalengka, Bandung
Kareumbi
4. TN Gn. Gede Romusa 5. Sukatani Pacet, Cianjur
Pangrango Telagasaat*) 6. Cimacan Cipanas, Cianjur
Pasirsumbul** 7. Ciloto Cipanas, Cianjur
)

*) PPR/RL: Model Restorasi Akibat Tanaman IAS (Invasive Aliens Species)


**) PPR/RL: Model Restorasi Pengembalian Ekosistem Monokultur ke Hutan Alam

Kegiatan lapangan pelaksanaan PPR/RL pada kawasan konservasi yang terdegradasi di


BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP meliputi:
1. Pembuatan persemaian dan produksi bibit tanaman jenis endemik
2. Pembuatan kompos dan media tanaman
3. Persiapan lapangan penanaman
4. Perkayaan tanaman (enrichment planting)/ANR (assisted natural
regeneration)/penamanan (planting)
5. Pemeliharaan tanaman

Dalam hal kegiatan lapangan pelaksanaan PPR/RL tersebut, Tim Komponen2-CWMBC


melakukan penyusunan Rancangan Teknis PPR/RL dan memberikan asistensi teknis,
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 94
Bab IV Rencana Kerja

sedangkan sumber pendanaan dan pelaksanaan kegiatan lapangan untuk 7 unit PPR/RL
dilaksanakan oleh BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP.

4.2.3. Monitoring dan Evaluasi


Kegiatan monitoring dan evaluasi PPR/RL dilakukan dengan maksud untuk mengetahui
progress secara teknis dan sosial-kelembagaan seberapa jauh tingkat keberhasilan PPR/RL
sebagai model restorasi hutan konservasi yang melibatkan pemberdayaan masyarakat dan
kolaborasi para pihak serta inovasi teknologi atau model Restorasi Hutan Konservasi
Partisipatif (RHKP). Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap:
1. Tingkat keberhasilan restorasi hutan konservasi dan ekosistem habitat (ANR, Enrichment
planting, Planting)
2. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap PPR/RL
3. Efektifitas kerjasama dan mekanisme kolaborasi para pihak

4.2.4. Penyusunan R oad M ap Restorasi Kawasan Konservasi


Road Map Restorasi Kawasan Konservasi Di wilayah BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP DAS
Citarum disusun untuk jangka waktu lima (5) tahun berdasarkan data dan informasi antara
lain sebagai berikut :
1. Biofisik Kawasan Konservasi antara lain: penutupan lahan, kerusakan kawasan
konservasi, analisis habitat, topografi, geologi, iklim, curah hujan, kondisi dan
karakteristik wilayah hulu DAS Citarum
2. Kondisi Sosial Ekonomi antara lain: sebaran penduduk, mata pencaharian, tingkat
pendidikan, pemilikan lahan dll.
3. Rencana RHL Wilayah DAS Citarum dan Pengembangan Wilayah Provinsi dan Kabupaten
4. Analisis SWOT dan metode optimasi dalam menetapkan strategi perencanaannya.
Penyusunan Roadmap Restorasi Kawasan Konservasi Wilayah Hulu DAS Citarum tersebut
dirancang dengan melibatkan para pihak pemangku kepentingan, masyarakt dan LSM yang
terkait, serta dilaksanakan dengan mengacu masukan dari data dan informasi output
komponen-1, komponen-3 dan komponen-4 proyek CWMBC.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 95
Bab IV Rencana Kerja

Tabel 22. Rencana Kerja Pembangunan Pilot Restorasi /Rehabilitasi Lahan (PPR/RL) Tahun 2013

KELUARAN BULAN…TAHUN 2013


No KEGIATAN PARA PIHAK
Kuantitas Detail keluaran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2.1 PERSIAPAN KEGIATAN
(1) Koordinasi dengan BBKSDA Jawa Barat & BBKSDA Jabar, 2 kali Laporan Hasil Kordinasi
BBTNGP dan FGD dengan Staf BBTNGGP,TC # 2
(2) Orientasi Lapangan BBKSDA Jabar, 2 kali Laporan Hasil Orientasi
BBTNGGP,TC # 2
(3) Peta lokasi kegiatan restorasi BBKSDA Jabar, 7 lokasi Peta (Kerja) PPR/RL
BBTNGGP,TC # 2
2.2 PELAKSANAAN KEGIATAN PPR/RL
2.2.1 Identifikasi Lokasi Prioritas PPR/RL
(1) Penyusunan kriteria dan indikator pemilihan TC # 2, TC # 1 1 Laporan SOP Pemilihan Lokasi
lokasi (legal formal, biofisik, sosial) PPR/RL
(2) Identifikasi habitat prioritas di 4 Kawasan BBKSDA Jabar, 2 Laporan Informasi Karakteristik
(berdasarkan analisis spasial) BBTNGGP,TC # 2 Lokasi
2.2.2 Membangun Kerjasama dan Kolaborasi Para
Pihak
(1) FGD Evaluasi untuk memilih kelompok BBKSDA Jabar, 6 x FGD Laporan Hasil Seleksi
masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam BBTNGGP,TC # 2 Kelompok
upaya restorasi
(2) FGD aspek teknis restorasi dengan BBKSDA/ BBKSDA Jabar, 6xFGD Laporan Proses FGD
BBTNGGP dan masyarakat BBTNGGP, TC # 2,
Pokmas
(3) FGD Membangun mekanisme kolaborasi para TC # 2, TC # 4, 6xFGD Laporan Proses FGD
pihak termasuk kelompok perempuan.
2.2.3 Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Untuk
Program Restorasi
(1) Menyusun panduan teknis restorasi hutan TC # 2 2 buku Panduan Restorasi
(2) Menyusun modul pelatihan Kompos dan TC # 2 9 modul Mudul-2Pelatihan
Persemaian Jenis Endemmik
(3) Asistensi Pelatihan ToT (Training of Trainers) TC#2, BBKSDA Jabar, 5x LaporanTra ining
Kompos dan Persemaian BBTNGGP Pelatihan
2.2.4 Pembuatan Plot Permanen Ekosistem
Referensi dan Rancangan Teknis PPR/RL
(1) Pembuatan Plot Permanen Ekosistem Referensi BBKSDA Jabar, 4 lokasi Laporan PPER
(PPER) BBTNGGP, TC # 2, @1ha

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 96
Bab IV Rencana Kerja

KELUARAN BULAN…TAHUN 2013


No KEGIATAN PARA PIHAK
Kuantitas Detail keluaran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pokmas
(2) Penyusunan Rancangan Teknis Partisipatif BBKSDA Jabar, 7 Lokasi Rancangan Teknis
PPR/RL BBTNGGP, TC # 2, PPR/RL PPR/RL
Pokmas
2.2.5 Asistensi Kegiatan Lapangan Pelaksanaan
PPR/RL
(1) Pembuatan Persemaian dan bibit tanaman TC # 2,Pokmas, BBKSDA 5 unit Laporan
jenis emdemik Jabar, BBTNGGP
(2) Produksi kompos dan media tanaman. TC # 2,Pokmas BBKSDA 5 unit Laporan
Jabar, BBTNGGP
(3) Persiapan lapangan TC # 2,Pokmas, BBKSDA 75 Ha Laporan
Jabar, BBTNGGP
(4) Perkayaan tanaman jenis endemik / TC # 2,Pokmas, BBKSDA 75 Ha Laporan
penanaman /ANR Jabar, BBTNGGP
(5) Pemeliharaan PPR/RL TC # 2,Pokmas, BBKSDA 75 Ha Laporan
Jabar, BBTNGGP
2.3 MONITORING, EVALUASI, DAN PELAPORAN
(1) Teknis : monitoring persentase hidup dan TC # 2,Pokmas, BBKSDA 5 lprn Laporan keberhasilan
pertumbuhan tanaman Jabar, BBTNGGP tanaman
(2) Sosial : monitoring tingkat partisipasi TC # 2,Pokmas, BBKSDA 5 lprn Laporan tingkat
masyarakat dalam restorasi hutan. Jabar, BBTNGGP partisipasiMasyarakat
(3) Kelembagan : monitoring tingkat mekanisme TC # 2,Pokmas, BBKSDA 5 lprn Laporan kolaborasi para
kolaborasi para pihak Jabar, BBTNGGP pihak
2.4 ROAD MAP RESTORASI KAWASAN Dit. KKBHL, BBKSDA 1 Buku Buku Road Map Restorasi
KONSERVASI Jabar, BBTNGGP laporan KK Wilayah Hulu DAS
DinasTerkait Citarum

Keterangan:
Kegiatan 2.2.3 (3): Pembuatan Kompos dan Persemaian dilaksanakan oleh BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
Kegiatan 2.2.5: Kegiatan Pelaksanaan PPR/RL dilaksanakan olek BBKSDA dan BBTNGGP
Lprn: Laporan, Dok.: Dokumen, Dit. KKBHL: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Pokmas: Kelompok Masyarakat,
BBKSDA Jabar: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, BBTNGGP: Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 97
Bab IV Rencana Kerja

4.3. Rencana Kerja Pengembangan Pendanaan Berkelanjutan untuk


Konservasi Keanekaragaman Hayati Melalui Pembayaran Jasa
Lingkungan

Inisiatif PES di kawasan konservasi Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga isu utama, yaitu:
keterbatasan pembiayaan untuk pengelolaan kawasan konservasi yang ideal, meningkatkan
kemampuan self financing untuk pendanaan pengelolaan kawasan konservasi dari yang
sebelumnya bersifat cost centre; dan meningkatkan kemanfaatan langsung kawasan
konservasi untuk masyarakat dan pemerintah daerah. Hingga saat pelaksanaan inisiatif PES
di Indonesia masih belum berkembang. Upaya pembangunan demplot PES dalam program
CWMBC ini diharapkan bisa menghasilkan sebuah model yang dapat dipromosikan sebagai
best practise.

Dari hasil proses penyesuaian rencana kerja melalui beberapa kali rapat pembahasan dengan
pihak BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, telah ditetapkan jenis komoditi jasa lingkungan dan
lokasi untuk pembangunan Demplot PES, yaitu sebagai berikut:

1. Pengembangan PES dengan komoditi jasa lingkungan air yang potensial dikembangkan
untuk Demplot PES di wilayah BBKSDA Jabar adalah di CA Gunung Burangrang, TB
Gunung Masigit Kareumbi dan CA Gunung Tangkuban Parahu. Penentuan Demplot di
salah satu kawasan konservasi tersebut ditentukan dari hasil valuasi ekonomi air di
ketiga kawasan tersebut. Pembangunan demplot PES untuk komoditi jasa lingkungan air
diharapkan dapat juga dilaksanakan di TNGGP.
2. Pengembangan PES dengan komoditi jasa lingkungan wisata alam yang perlu diteliti
adalah pepenyelenggaraan wisata alam di TWA Gunung Tangkuban Parahu.
3. Pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan elevasi yang perlu dikembangkan
adalah keberadaan tower repeater di CA Gunung Tangkuban Parahu.
4. Pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan karbon melalui skema REDD+ akan
diuji terapakan di CA Gunung Tilu.

Berdasarkan keempat arahan tersebut, Tim Ahli Komponen-3 telah menyusun rencana kerja
yang terdiri dari 9 kegiatan pokok yang akan dilaksanakan di Wilayah kerja BBKSDA Jawa
Barat dan BBTNGGP, yaitu sebagai berikut:

4.3.1. Konseptualisasi Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan/Payment


for Environmental Serices (PES)
Kegiatan-kegiatan dalam rangka konseptualisasi PES di kawasan konservasi adalah sebagai
berikut:
1. Telaah menyeluruh terhadap pengembangan pembayaran jasa lingkungan yang telah
dan sedang dikembangkan berbagai pihak untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan
yang telah ditetapkan dalam rangka menarik pembelajaran (lesson learn).
2. Telaah aspek peraturan perundang-undangan dalam pembayaran jasa lingkungan,
khususnya di kawasan konservasi untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan yang telah
ditetapkan.
3. Studi banding terhadap inisiasi PES di CA Rawa Danau Banten.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 98
Bab IV Rencana Kerja

4. Pembuatan modul atau pedoman praktis pengelolaan jasa lingkungan kawasan


konservasi untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan yang telah ditetapkan.
5. Pelatihan pengembangan jasa lingkungan untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan
yang telah ditetapkan.

4.3.2. Penetapan Kriteria dan Indikator PES


Saat ini telah banyak inisiatif yang mengarah pada PES, misalnya adalah Coorporate Social
Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan, hibah, dan lain-lain. Seluruh
inisiatif tersebut masih tergolong “charity”. Oleh sebab itu, perlu dibuat criteria dan indikator
PES secara umum atau untuk masing-masing komoditi jasa lingkungan yang akan
dikembangkan untuk membedakannya dengan berbagai jenis pembayaran yang berbasis
charity tersebut.

4.3.3. Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan


Nilai ekonomi jasa lingkungan merupakan pengetahuan penting untuk melihat seberapa
besar ”natural capital” yang dimiliki, siapa penggunanya, seberapa besar digunakan oleh
setiap pengguna, nilai manfaat yang diperoleh setiap pengguna, dan lain-lain. Kegiatan
valuasi yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Survey dan analsisi valuasi ekonomi jasa lingkungan air di TNGGP
2. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan air di CA Gunung Burangrang, TB
Gunung Masigit Kareumbi, dan CA Gunung Tangkuban Parahu.
3. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan elevasi untuk jenis tower repeater di
CA Gunung Tangkuban Parahu.
4. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan wisata alam di TWA Gunung
Tangkuban Parahu dan TNGGP
5. Survey dan analisis valuasi ekonomi terhadap pelepasan dan penyimpanan karbon di CA
Gunung Tilu.

4.3.4. Pemetaan dan Analisis Stakeholder PES untuk Masing-masing Komoditi


Jasa Lingkungan Pada Lokasi yang Telah Ditetapkan
Dari proses valuasi ekonomi sebenarnya telah teridentifikasi stakeholders untuk masing-
masing komoditi jasa lingkungan yang akan dikembangkan. Namun demikian diperlukan
pemetaan stakholder lebih mendalam untuk melihat peran (role), manfaat (revenue), hak
dan kewajiban (right and responsibility), dan jaringan hubungan antar stakeholder
(relationship). Pemetaan ini penting untuk proses analisis kelembagaan PES yang akan
dikembangkan. Selanjutnya, untuk stakeholder yang dikategorikan sebagai pemanfaat jasa
lingkungan (beneficiaries), terutama pemanfaat komersial, perlu diidentifikasi tingkat
Willingness to Pay (WTP).
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Tim Ahli Komponen-3 dalam pemetaan dan
analisis stakeholder ini adalah sebagai berikut:
1. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan air di salah satu kawasan konservasi
wilayah kerja BBBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau TB Gunung Masigit Kareumbi
atau CA Gunung Tangkuban Parahu).
2. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan air kawasan TNGGP.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 99
Bab IV Rencana Kerja

3. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan elevasi untuk jenis tower repeater di
CA Gunung Tangkuban Parahu.
4. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan wisata alam di TWA Gunung
Tangkuban Parahu.
5. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan karbon di CA Gunung Tilu.

4.3.5. Pembahasan dan Dialog PES Multipihak.


Kegiatan pembahasan dan dialog PES mulitpihak yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Focus Group Discussion pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan air kawasan
TNGGP.
2. Focus Group Discussion pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan air di salah
satu kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau
CA Gunung Tangkuban Parahu atau TB Gunung Masigit Kareumbi)
3. Serial meeting dengan pengembang tower repeater di kawasan CA Gunung Tangkuban
Parahu.
4. Serial meeting dengan stakeholder PES untuk komoditi jasa lingkungan air di salah satu
kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau CA
Gunung Tangkuban Parahu atau TB Gunung Masigit Kareumbi).
5. Serial meeting dengan stakeholder PES untuk komoditi jasa lingkungan air kawasan
TNGGP.

4.3.6. Penyusunan Dokumen Persiapan REDD+ di Cagar Alam Gunung Tilu


Kegiatan-kegiatan dalam penyusunan rancangan Project Design Document (PDD) REDD+
untuk CA Gunung Tilu adalah sebagai berikut:
1. Menentukan batas-batas kegiatan proyek REDD+ yang diusulkan, meliputi: batas spasial,
batas-batas temporal, sumber karbon (carbon pool) dan sumber emisi.
2. Analisis penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan secara historis.
3. Analisis masalah atau penyebab deforestasi dan degradasi hutan.
4. Analisis proyeksi deforestasi dan degradasi hutan di masa depan.
5. Pendugaan perubahan cadangan karbon dan emisi non CO2.
6. Pendugaan degradasi keanekaragaman hayati akibat perubahan tutupan lahan.
7. Analisis scenario penguatan pengelolaan kawasan konservasi untuk meningkatkan
cadangan karbon hutan dan keanekaragaman hayati melalui pelibatan masyarakat
(climate, community, and biodiversity/CCB Standard).
8. Pendugaan perubahan cadangan karbon aktual yang diharapkan berdasarkan pada
scenario penguatan pengelolaan kawasan konservasi yang direncanakan.

4.3.7. Membangun Kesepakatan PES dengan Para Pihak (M em orandum of


Agreem ent )
Hasil dari seluruh rangkaian kegiatan pada Komponen-3 setidaknya harus menghasilkan nota
perjanjian PES antara para pihak yang relevan terlibat dalam sebuah inisiasi PES. Namun
demikian, MoA ini akan bersifat Voluntary PES mengingat masih ada kendala kebijakan yang
hanya bisa diselesaikan dalam jangka panjang. Perjanjian PES ini akan diarahkan untuk

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 100
Bab IV Rencana Kerja

komoditi jasa lingkungan air dan elevasi (tower repeater). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
untuk membangun perjanjian PES ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis terhadap seluruh proses pembahasan dan dialog PES multipihak untuk mendapat
common perspective tentang PES.
2. Legal drafting terhadap kesekatan-kesepakatan yang muncul selama proses
pemabahasan dan dialog PES Multipihak.
3. Serial meeting untuk membahas draft perjanjian.
4. Penandatangan nota perjanjian PES sukarela.
5. Workshop untuk peluncuran Demplot PES berdasarkan nota perjanjian yang dibuat.
.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 101
Bab IV Rencana Kerja

Tabel 23. Rencana Kerja Pengembangan Pendanaan Berkelanjutan untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Melalui Pembayaran Jasa Lingkungan

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3.1 Konseptualisasi Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan/Paymen for
Environmental Servies (PES)
1. Telaah menyeluruh terhadap pengembangan pembayaran jasa lingkungan yang telah
dan sedang dikembangkan berbagai pihan untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan
yang telah ditetapkan dalam rangka menarik pembelajaran (lesson learn)
2. Telaah aspek peraturan perundang-undangan dalam pembayaran jasa lingkungan,
khususnya di kawasan konservasi untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan yang
telah ditetapkan
3. Telaah metologi untuk valuasi ekonomi jasa lingkungan hutan untuk setiap jenis
komoditi jasa lingkungan yang telah ditetapkan
4. Studi banding terhadap inisiasi PES di CA Rawa Danau Banten
5. Pembuatan modul atau pedoman praktis pengelolaan jasa lingkungan kawasan
konservasi untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan yang telah ditetapkan
6. Pelatihan pengembangan jasa lingkungan untuk setiap jenis komoditi jasa lingkungan
yang telah ditetapkan
3.2 Penetapan Kriteria dan Indikator PES
3.3 Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan
1. Survey dan analsisi valuasi ekonomi jasa lingkungan air di TNGGP
2. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan air di CA Gunung Burangrang, TB
Gunung Masigit Kareumbi, dan CA Gunung Tangkuban Parahu
3. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan elevasi untuk jenis tower repeater
di CA Gunung Tangkuban Parahu
4. Survey dan analisis valuasi ekonomi jasa lingkungan wisata alam di TWA Gunung
Tangkuban Parahu dan TNGGP
5. Survey dan analisis valuasi ekonomi terhadap pelepasan dan penyimpanan karbon di
CA Gunung Tilu
3.4 Pemetaan dan Analisis Stakeholder PES untuk Masing-masing Komoditi Jasa
Lingkungan Pada Lokasi yang Telah Ditetapkan
1. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan air di salah satu kawasan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 102
Bab IV Rencana Kerja

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
konservasi wilayah kerja BBBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau TB Gunung
Masigit Kareumbi atau CA Gunung Tangkuban Parahu)
2. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan air kawasan TNGGP.
3. Pemetaan dan analisis stakeholder jasa lingkungan elevasi untuk jenis tower repeater
di CA Gunung Tangkuban Parahu
4. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan wisata alam di TWA Gunung
Tangkuban Parahu
5. Pemetaan dan analisis stakeholder untuk jasa lingkungan karbon di CA Gunung Tilu
3.5 Pembahasan dan Dialog PES Multipihak
1. Focus Group Discussion pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan air
kawasan TNGGP
2. Focus Group Discussion pengembangan PES untuk komoditi jasa lingkungan air di salah
satu kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau
CA Gunung Tangkuban Parahu atau TB Gunung Masigit Kareumbi)
3. Serial meeting dengan pengembang tower repeater di kawasan CA Gunung Tangkuban
Parahu
4. Serial meeting dengan stakeholder PES untuk komoditi jasa lingkungan air di salah satu
kawasan konservasi di wilayah kerja BBKSDA Jabar (CA Gunung Burangrang atau CA
Gunung Tangkuban Parahu atau TB Gunung Masigit Kareumbi)
5. Serial meeting dengan stakeholder PES untuk komoditi jasa lingkungan air kawasan
TNGGP.
3.6 Penyusunan Dokumen Persiapan REDD+ di Cagar Alam Gunung Tilu
1. Menentukan batas-batas kegiatan proyek REDD+ yang diusulkan, meliputi: batas
spasial, batas-batas temporal, sumber karbon (carbon pool) dan sumber emisi
2. Analisis penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan secara historis
3. Analisis masalah atau penyebab deforestasi dan degradasi hutan
4. Analisis proyeksi deforestasi dan degradasi hutan di masa depan
5. Pendugaan perubahan cadangan karbon dan emisi non CO2
6. Pendugaan degradasi keanekaragaman hayati akibat perubahan tutupan lahan
7. Analisis skenario penguatan pengelolaan kawasan konservasi untuk meningkatkan
cadangan karbon hutan dan keanekaragaman hayati melalui pelibatan masyarakat
(climate, community, and biodiversity/CCB Standard)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 103
Bab IV Rencana Kerja

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
8. Pendugaan perubahan cadangan karbon aktual yang diharapkan berdasarkan pada
scenario penguatan pengelolaan kawasan konservasi yang direncanakan
3.7 Membangun Kesepakatan PES dengan Para Pihak (Memorandum of Agreement)
1. Analisis terhadap seluruh proses pembahasan dan dialog PES multipihak untuk
mendapat common perspective tentang PES
2. Legal drafting terhadap kesekatan-kesepakatan yang muncul selama proses
pemabahasan dan dialog PES Multipihak
3. Serial meeting untuk membahas draft perjanjian
4. Penandatangan nota perjanjian PES sukarela
5. Workshop untuk peluncuran Demplot PES berdasarkan nota perjanjian yang dibuat

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 104
Bab IV Rencana Kerja

4.4. Rencana Kerja Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati


di Lanskap Produksi

Bentang lahan DAS Citarum terdiri dari jaringan mosaik-mosaik lahan dengan berbagai
tipologi penggunaan lahan dan otoritas pengelolaannya. Secara normatif pemetaan bentang
lahan produksi dapat didekati melalui penelaahan terhadap kawasan budidaya pada peta
tata ruang wilayah. Dalam konsep tata ruang wilayah, penggunaan lahan dikatagorikan
menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Sementara pembagian wilayah dalam
konsep DAS meliputi wilayah hulu, tengah dan hilir. Antara mosaik lahan yang terletak di
hulu, tengah dan hilir memliki hubungan ketergantungan dalam konsep keseimbangan
ekosistem lansekap. Hubungan wilayah hulu, tengah dan hilir dalam konsep keseimbangan
ini dijelaskan lebih terinci melalui teori hidrology atau sosil and water conservation.
Pengarusutamaan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi pada program
CWMBC tahap 1 ini akan berfokus pada lanskap produksi yang berada di wilayah hulu DAS
Citarum, dengan unit perlakuan adalah desa-desa sekitar kawasan konservasi di Hulu DAS
Citarum yang menjadi lokasi proyek CWMBC. Upaya ini akan ditempuh melalui pembangunan
beberapa Model Desa Konservasi (MDK), yaitu desa yang dijadikan model dalam upaya
memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi, dengan
memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Desa dalam
kawasan konservasi adalah desa enclave dan desa/desa adat yang telah ditetapkan sesuai
dengan ketentuan. Sedangkan desa di sekitar kawasan konservasi adalah desa yang
keberadaannya terletak di dalam daerah penyangga dan mempunyai interaksi langsung
dengan kawasan konservasi.
Upaya pemabangunan MDK dalam program CWMBC akan dilaksanakan di 13 Desa sekitar
kawasan konservasi, yaitu sebagai berikut:
1. Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang merupakan desa di
sekitar Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu.
2. Desa Sukamandi, Kecamatan Sagala Herang Kabupaten Subang yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tangkuban Parahu.
3. Desa Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang yang merupakan desa
di sekitar Taman Buru Masigit Kareumbi.
4. Desa Cihanjawar, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Burangrang.
5. Desa Pasanggrahan, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta yang merupakan desa
di sekitar Cagar Alam Gunung Burangrang.
6. Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.
7. Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung yang merupakan desa
di sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.
8. Desa Mekarsari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.
9. Desa Sukaluyu, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung yang merupakan desa di
sekitar Cagar Alam Gunung Tilu.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 105
Bab IV Rencana Kerja

10. Desa Cihawuk, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung yang merupakan desa sekitar
Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang.
11. Desa Sakambang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta yang merupakan desa
di sekitar Cagar Alam Gunung Burangrang.
12. Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung yang merupakan desa
di sekitar Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi.
13. Desa Sukatani, Kabupaten Cianjur yang merupakan desa di sekitar Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango
Pembangunan MDK ini dilaksanakan melalui resource sharing antara Konsultan Perusahaan
pelaksana proyek CWMBC dengan BBKSDA Jabar dan BBTNGGP. Adapun kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam rangka pembangunan MDK ini adalah sebagai berikut:
4.4.1 Pengumpulan Data Awal dan Observasi Desa
Kegiatan pengumpulan data awal dan observasi dimaksudkan untuk mendapatkan profil awal
desa yang akan menjadi lokasi pembangunan MDK. Kegiatan-kegiatan pada tahap ini adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan data sekunder desa meliputi data administraif desa, monografi dan
demografi desa.
2. Observasi singkat untuk melihat siatusi masyarakat desa dan pola interaksinya dengan
kawasan konservasi.

4.4.2 Sosialisasi dan Koordinasi Program di Tingkat Desa


Sosialiasi secara resmi dan koordinasi yang intensif dengan aparatur dan tokoh desa
dilakukan sampai menemukan kontak personal masyarakat yang dapat membantu
pelaksanaan program. Pada tahapan ini kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut:

4.4.3 Perekrutan dan Peningkatan Kapasitas Fasilitator Desa


Perekrutan fasilitator desa akan dilakukan oleh BBKSDA Jabar dan BBTNGGP, sementara Tim
Komponen-4 atas dukungan dari manajemen perusahaan merekrut 3 orang coordinator
fasilitator yang akan membantu mengkoordinasikan proses dan hasil kerja fasilitator desa.
Secara lengkap kegiatan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1. Perekrutan fasilitator desa sebanyak 12 orang oleh BBKSDA Jabar dan 1 orang
BBTNGGP.
2. Perekrutan 3 orang koordinator fasilitator oleh Tim Ahli Komponen-4 atas dukungan
pendanaan dari manajemen perusahaan.
3. Penyusunan modul pelatihan dan panduan praktis pelaksanaan PRA dalam rangka
pembangunan MDK di 13 desa yang telah ditetapkan.
4. Pelatihan fasilitator desa dan koordinator fasilitator oleh Tim Ahli Komponen-4 untuk
pelaksanaan PRA dalam rangka pembangunan MDK.
5. Penyusunan rencana kerja fasilitator desa yang disertai dengan tata waktu dan target-
target pencapaian.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 106
Bab IV Rencana Kerja

4.4.4 Peningkatan Kapasitas dan Pembangunan Kelembagaan Masyarakat


Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat serta pembangunan
kelembagaan MDK di tingkat masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Kursus kepemimpinan desa untuk konservasi keanekaragaman hayati di 13 desa yang
telah ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK.
2. Pembentukan kelompok MDK pada 13 desa yang telah ditetapkan menjadi lokasi
pembangunan MDK.

4.4.5 Pendampingan Pelaksanaan PRA


Tim Ahli Komponen-4 yang dibantu oleh Koordinator Fasiliatator melakukan pendampingan
secara intensif terhadap pelaksanaan PRA yang dilaksanakan Fasiliator Desa. Pendampingan
pelaksanaan PRA yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pendampingan proses penilaian potensi desa secara partispatif pada 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK.
2. Pendampingan proses penyusunan peta penggunaan atau pemanfaatan ruang wilayah
desa di 13 desa yang telah ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK.
3. Pendampingan proses penguatan kelembagaan kelompok MDK di 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK.
4. Pendampingan proses penyusunan peraturan kelompok MDK di 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK.
5. Pendampingan proses pertemuan-pertemuan kelompok dalam rangka perencanaan desa
secara partisipatif.

4.4.6 Penyusunan Master Plan dan Rencana Kerja Tahunan MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Kelompok MDK
Dokumen-dokumen utama yang harus dihasilkan dari proses PRA adalah Master Plan dan
RKT MDK serta Rencana Bisnis usaha produktif masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mengawal penyusun dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penyusunan format-format standard untuk mempermudah pengumpulan data dan
informasi yang diperlukan untuk penyunan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Masyarakat.
2. Serial workshop penulisan (writing workshop) Master Plan dan RKT MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Masyarakat yang melibatkan Fasilitator Desa.
3. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di tingkat desa.
4. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di Kabupaten dan Propinsi.

4.4.7 Fasilitasi Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan Partisipatif


Pemulihan kondisi lingkungan di luar kawasan konservasi diselenggarakan melalui rehabilitasi
lahan. Pola rehabilitasi lahan yang akan didorong adalah model agroforestri. Tim Ahli
Komponen-4 akan melaksanakan beberapa kegiatan dalam rangka mendorong agroforestry
ini, yaitu sebagai berikut:
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 107
Bab IV Rencana Kerja

1. Sosialisasi kegiatan rehabilitasi lahan kepada masyarakat.


2. Fasilitasi penyusunan rancangan teknis rehabilitasi lahan pola agroforestry secara
partisipatif.
3. Fasilitasi pembentukan kelompok kerja rehabilitasi lahan di tingkat desa sebagai bagian
dari kelembagaan MDK.
4. Fasilitasi pembangunan jaringan kerjasama pelaksanaan rehabilitasi lahan oleh
masyarakat dengan para pihak terkait (Dinas Kehutanan, BPDAS Citarum, Perhutani, dll)
5. Fasilitasi pelaksanaan rehabilitasi lahan sesuai dengan rancangan teknis rehabilitasi lahan
yang telah dibuat.

4.4.8 Komunikasi dan Publikasi Kampanye Konservasi Keanekaragaman Hayati


Kegiatan-kegiatan komunikasi dan publikasi kampanye untuk konservasi keanekaragaman
hayati adalah sebagai berikut:
1. Persiapan, Pengembangan dan produksi materi
2. Road shows : dinas dan stakeholers
3. Diskusi jurnalis dan NGO
4. Kunjungan lapangan jurnalis
5. Penulisan column by experts and activists
6. Talkshow radio & TV
7. Monitoring pemberitaan
8. Laporan kegiatan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 108
Bab IV Rencana Kerja

Tabel 24. Rencana Kerja Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
4.1 Pengumpulan Data Awal dan Observasi Desa
1. Pengumpulan data sekunder desa meliputi data administraif desa, monografi dan demografi
desa
2. Observasi singkat untuk melihat siatusi masyarakat desa dan pola interaksinya dengan
kawasan konservasi
4.2 Sosialisasi dan Koordinasi Program di Tingkat Desa
4.3 Perekrutan dan Peningkatan Kapasitas Fasilitator Desa
1. Perekrutan fasilitator desa sebanyak 12 orang oleh BBKSDA Jabar dan 1 orang BBTNGGP
2. Perekrutan 3 orang koordinator fasilitator oleh Tim Ahli Komponen-4 atas dukungan
pendanaan dari manajemen perusahaan.
3. Penyusunan modul pelatihan dan panduan praktis pelaksanaan PRA dalam rangka
pembangunan MDK di 13 desa yang telah ditetapkan
4. Pelatihan fasilitator desa dan koordinator fasilitator oleh Tim Ahli Komponen-4 untuk
pelaksanaan PRA dalam rangka pembangunan MDK
5. Penyusunan rencana kerja fasilitator desa yang disertai dengan tata waktu dan target-target
pencapaian
4.4 Peningkatan Kapasitas dan Pembangunan Kelembagaan Masyarakat
1. Kursus kepemimpinan desa untuk konservasi keanekaragaman hayati di 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
2. Pembentukan kelompok MDK pada 13 desa yang telah ditetapkan menjadi lokasi
pembangunan MDK
4.5 Pendampingan Pelaksanaan PRA
1. Pendampingan proses penilaian potensi desa secara partispatif pada 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
2. Pendampingan proses penyusunan peta penggunaan atau pemanfaatan ruang wilayah desa
di 13 desa yang telah ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
3. Pendampingan proses penguatan kelembagaan kelompok MDK di 13 desa yang telah
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
4. Pendampingan proses penyusunan peraturan kelompok MDK di 13 desa yang telah

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 109
Bab IV Rencana Kerja

Waktu
No Kegiatan Januari – Desember 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
ditetapkan menjadi lokasi pembangunan MDK
5. Pendampingan proses pertemuan-pertemuan kelompok dalam rangka perencanaan desa
secara partis
4.6 Penyusunan Master Plan dan Rencana Kerja Tahunan MDK serta Rencana Bisnis
Usaha Produktif Kelompok MDK
1. Penyusunan format-format standard untuk mempermudah pengumpulan data dan informasi
yang diperlukan untuk penyunan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha
Produktif Masyarakat
2. Serial workshop penulisan (writing workshop) Master Plan dan RKT MDK serta Rencana
Bisnis Usaha Produktif Masyarakat yang melibatkan Fasilitator Desa
3. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di tingkat desa
4. Fasilitasi pembahasan Master Plan dan RKT MDK serta Rencana Bisnis Usaha Produktif
Masyarakat di Kabupaten dan Propinsi
4.7 Fasilitasi Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan Partisipatif
1. Sosialisasi kegiatan rehabilitasi lahan kepada masyarakat
2. Fasilitasi penyusunan rancangan teknis rehabilitasi lahan pola agroforestry secara partis
3. Fasilitasi pembentukan kelompok kerja rehabilitasi lahan di tingkat desa sebagai bagian dari
kelembagaan MDK
4. Fasilitasi pembangunan jaringan kerjasama pelaksanaan rehabilitasi lahan oleh masyarakat
dengan para pihak terkait (Dinas Kehutanan, BPDAS Citarum, Perhutani, dll)
5. Fasilitasi pelaksanaan rehabilitasi lahan sesuai dengan rancangan teknis rehabilitasi lahan
yang telah dibuat
4.8 Komunikasi dan Publikasi Kampanye Konservasi Keanekaragaman Hayati
1. Persiapan, Pengembangan dan produksi materi
2. Road shows : dinas dan stakeholers
3. Diskusi jurnalis dan NGO
4. Kunjungan lapangan jurnalis
5. Penulisan column by experts and activists
6. Talkshow radio & TV
7. Monitoring pemberitaan
8. Laporan kegiatan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 110
Bab IV Rencana Kerja

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 111
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

BAB V. KEGIATAN PERSIAPAN YANG DILAKUKAN


OLEH CONSULTANT FIRM (CF) - CWMBC

5.1. Penyiapan Dukungan Manajemen Proyek (PMS) CF-CWMBC


Dukungan Manajemen Proyek (PMS/Project Management Support) dimaksudkan untuk
mendukung 33 tenaga ahli dalam melaksanakan kegiatan proyek. PMS sebagai perwakilan
Direksi Patungan berfokus pada masalah administrasi, dengan tugas antara lain:
1. Pengelolaan, perencanaan, pengorganisasian, dan mengendalikan sumber daya
untuk mencapai sasaran proyek dan tujuan
2. Menyiapkan dokumen seperti (a) kontrak variasi (jika diperlukan), (internal work budget
(IWB), (b) standard operational procedure (SOP), (c) monitoring dan evaluasi, dan (d)
kontrak tenaga ahli
3. Pelaksanaan kebijakan dan strategi dari BoD untuk pelaksanaan proyek.
4. Berkoordinasi secara intensif dan baik dengan Team Leader dan Team Coordinator untuk
memastikan pelaksanaan proyek agar berjalan sesuai waktu yang ditentukan.
5. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan PHKA (PHKA-KKBHL), BBTNGGP,
BBKSDA Jawa Barat dan stakeholder
Dukungan Manajemen Proyek (Project Management Support/ PMS) ditetapkan pada tanggal
14 Desember 2012., terdiri dari :
1. S. Agus Nusantoro : Direktur Proyek
2. Fauzan Syaifullah : Manajer Proyek
3. Faisal Khusnul Fuad : Dukungan Penasihat Teknis dan M & E
4. Novianto H Dwiatmoko : Dukungan Teknis dan Administrasi Pelaksanaan Proyek
5. Agus Purmana Romadoni : Dukungan Administrasi dan Keuangan
PMS berkantor di Bandung dengan cakupan wilayah kegiatan/ penugasan termasuk di kantor
Jakarta, Bandung dan Cianjur.

Berikut ini gambar 16 menunjukkan struktur organisasi dari PMS.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 111
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

Board of Director (BOD)


Inacon, Akurat, MTP, ICBB

Project Director (PD)


Agus Nusantoro

Project Officer Project Manager


M.Amin Fauzan S. Team Leader Technical Advisor
Ambar Dwiyono

Adm & Financial Technical


Agus Purnama R Support

Sekretaris 1. Hadi-ICBB
1. Helda- Bandung 2. Wida-Akurat
Office Manager 3. Yadi-Inacon
2. Indra- Cianjur
3. Dyah- Jakarta
Operator TC Component 1 TC Component 2 TC Component 3 TC Component 4
Computer (Dbase Biodiv & MIS) (Restoration) (PES) (Biodiv. Mainstreaming)
4. Eko W - Inacon Agoes Sriyanto Soeparno W. Endang Setiawan Zahir Zachri
5. Amet
6. Deni Experts Experts Experts Experts
7. Dwi International. International
8. Ida 1. Land Rehab.
1. Biodiversity 1. Forest Ecologist 1. PES Specialist Instructor
Driver
9. Ucup National 2. Land Rehab. National
2. Com- Dev. Specialist
10. Aan 2. Insect Specialist 2. Business Planner
Instructor 3. Fin. Man. Spec.
11. entis 3. Taxonomist 3. Socio-economist
4. Biota Aquatic 3. Field Assistant 4. Architecture 4. Graphic. Designer
Office Boy
12. Edi Specialist Landscape Specialist 5. Media Campaign Spec.
13. Reza 5. Herpetofauna 5. Anthropologist 6. Institutional Spec.
14. Dayat Specialist 6. Institutional Specialist 7. Agroforestry Spec.
15. Ida Anshori 6. Mammal Specialist
7. GIS Specialist
8. Rem. Sensing
Specialist
9. IT/MIS Specialist _ _ _ _ : Fungsi Supervisi
10. Cartography Specialist
11. GIS assistant Gambar 16. Struktur Organisasi dari PMS ........... : Fungsi Advicer

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 112
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

5.2. Kantor Proyek


Segera setelah menerima pemberitahuan untuk melanjutkan pada 17 Desember 2013,
konsorsium telah menyiapkan fasilitas kantor di Jakarta, Bandung, dan Cianjur sebagai
berikut:
1. Kantor Utama - Bandung:
Jalan Kawaluyaan Indah VI No. 17, Kel. Jatisari, Kec. Buah Batu - Bandung 40285
Telepon dan Fax. (022) 733 2036
Email. cwmbc2013@gmail.com
Website: www.cwmbc.org
2. Kantor Jakarta:
Gedung Manggala Wanabhakti IV Sayap Blok B, Fl. 2nd, Room 219 B
Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta
Telepon dan Fax. (021) 570 1109
3. Cianjur Office:
Villa Permata Gadog Blok A7 No. 6
Pacet, Cipanas - Cianjur
Telepon dan Fax. (0263) 521 115

Untuk memudahkan manajemen proyek, PMS telah menyiapkan pengdukung kegiatan


sebagai berikut yang berikut:
1. Prosedur dan mekanisme kerja kantor, peran, dan prosedur administrasi
2. Menyelesaikan administrasi pembayaran uang muka
3. Berkoordinasi dengan PIU
4. Menyiapkan kontrak kerja dengan para ahli;
5. Konfirmasi ulang dan negosiasi dengan tenaga ahli;
6. Menyiapkan rencana manajemen proyek; dan
7. Mengembangkan web untuk CF-CWMBC dan kegiatan kampanye.

5.3 Komposisi Tim dan Mobilisasi


Komposisi Tim CWMBC hingga fase Inception Report, mengalami sedikit perubahan posisi
dan pergantian. Reposisi personil (tenaga ahli) dilakukan untuk mengoptimalkan hasil-hasil
kegiatan hingga akhir proyek. Komposisi tim CWMBC ditampilkan pada Tabel 25 di bawah
ini.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 113
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

Tabel 25. Komposisi Tim CWMBC, Reposisi dan Penggantian Tenaga Ahli
Berdasarkan Kontrak Komposisi Saat Ini Keterang
No
Posisi Nama Posisi Nama an
Internasional
1 Biodiversity onservation Darrel Kitchener Biodiversity Resit Sὂzer Penggantia
Specialist/Forest Ecologist onservation
Specialist/Forest
Ecologist
2 Natural Resources Economic Malik, Urooj S Natural Malik, Urooj S
Valuation Expert Resources omic
Valuation Expert
Nasional
3 Team Leader Suer Suryadi Team Leader Dwiyono, Ambar Penggantia

4 Forest Ecologist/ Biodiversity Sriyanto, Agoes Forest Ecologist/ Sriyanto, Agoes


Conservation Spec./Team Biodiversity
Coordinator Conservation
Spec./Team
Coordinator
5 Senior Taxonomist Rahmat, Ade Insect Specialist Rahmat, Ade Reposisi
6 Mammal Specialist Arinal, Indra Mammal Arinal, Indra
Specialist
7 Herpetofauna Specialist Setiawan, Iwan Herpetofauna Setiawan, Iwan
Specialist
8 Insect Specialist Jatmiko, Wibowo Senior Jatmiko, Reposisi
Taxonomist Wibowo
9 Aquatic Biota Specialist Suwandi, Edy Aquatic Biota Suwandi, Edy
Specialist
10 Bird Specialist Nurwatha, Pupung Bird Specialist Nurwatha,
Firman Pupung Firman
11 GIS Specialist/ Programmer Yudantoro, Sigit GIS Specialist/ Yudantoro, Sigit
Programmer
12 Remote sensing Sudewo, Ferdinandus Remote Sensing Sudewo,
Specialist/Database Erry Specialist/Datab Ferdinandus
Specialist ase Specialist Erry
13 Cartography Specialist Chehafudin, M Cartography Chehafudin, M
Specialist
14 System Analyst and IT Nursamsi, Rachmat System Analyst Nursamsi,
Specialist Agus and IT Specialist Rachmat Agus
15 GIS Assistant Samodra, Wahyu GIS Assistant Samodra,
Wahyu
16 Forest Restoration Wirodidjojo, Soeparno Forest Wirodidjojo,
Specialist/ Team Coordinator Restoration Soeparno
Specialist/ Team
Coordinator
17 Forest ecologist Kurniawan, Sigit Forest ecologist Kurniawan, Sigit Peggantian
18 Land Rehabilitation Hidayat, Yayat Land Hidayat, Yayat
Techniques Training Rehabilitation
Instructor Techniques
Training
Instructor
19 Field Assistant Maulana, Hilman Field Assistant Maulana, Hilman
20 Water Resources Spec./ Setiawan, Endang Water Resources Setiawan,
Environmental Spec./ Endang
Economist/Coordinator Environmental
Economist/Coor
dinator
21 Business Planner Srihadi, Cecilia Business planner Srihadi, Cecilia
Valentina Valentina
22 Socio-economic Specialist Auila, Andi Yudha Socio-economic Auila, Andi
Specialist Yudha
23 Architecture Landscape Wijaya, Roni Architecture Wijaya, Roni

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 114
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

Berdasarkan Kontrak Komposisi Saat Ini Keterang


No
Posisi Nama Posisi Nama an
Landscape
24 Anthropologist Kusdijono Anthropologist Purba, Jan Penggantia
Horas
25 Institutional and Policy Yuli Nugroho Institutional and Yuli Nugroho
Specialist Policy Specialist
26 Multi-stakeholder Zachri, Zahir Multi- Zachri, Zahir
Facilitator/Team Coordinator stakeholder
Facilitator/Team
Coordinator
27 Financial Management Dwi Asmoro Jati Financial Haryadi Penggantia
Specialist Management
Specialist
28 Institution/Policy Specialist Setiahadi, Rahmanta Institution/policy Setiahadi,
Specialist Rahmanta
29 Land Rehabilitation Satjapradja, Ombo Land Satjapradja,
Techniques Training Rehabilitation Ombo
Instructor Techniques
Training
Instructor
30 Communication and Media Rustam, Alwis Communication Rustam, Alwis
Campaign Expert and Media
Campaign
Expert
31 Graphic Designer Ganni Ramadian Graphic Ganni Ramadian
Mulya Designer Mulya
32 Community Development Kristianto, Dwi Community Kristianto, Dwi
Specialist Development
Specialist
33 Agro-forestry Specialist Harum, Fransiskus Agro-forestry Hadiyane, Anne Penggantia
Specialist

Ketua Tim dan Koordinator Tim seluruh komponen telah dimobilisasi sejak pertengahan
bulan Desember 2012 dan mulai aktif menyusun rencana aksi kegiatan sampai dengan Kick-
off Meeting, serta menyusun pengorganisasian tim.

Sehubungan dengan sebaran lokasi/ kedudukan PIU (yaitu Jakarta, Bandung dan Cianjur)
dan untuk memudahkan komunikasi, telah diatur bahwa home base Ketua Tim (Team
Leader) dan Koordinator Tim (Team Coordinator) adalah berikut:
1. Kantor Bandung: home base dari Ketua Tim; Koordinator Komponen-2, and Koordinator
Komponen-4;
2. Kantor Jakarta: home base dari Koordinator Komponen-1; dan
3. Kantor Cianjur: home base dari Koordinator Komponen-3.

Tim tersebut telah sepakat untuk mengadakan pertemuan mingguan (rapat regular) di
kantor Bandung atau salah satu kantor proyek, sesuai dengan kebutuhan/ agenda
pertemuan.

5.4 Pertemuan
Tenaga ahli telah menghadiri beberapa pertemuan dengan PIU sebagaimana dirangkum
pada Tabel 26 berikut ini :

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 115
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

Tabel 26 Kegiatan Tenaga Ahli

No PERTEMUAN Ulasan
1 Kickoff Meeting PHKA-Jakarta, 9 Kick-off Meeting yang CWMBC-ICWRMIP diselenggarakan di
Januari 2013 Jakarta (Gedung Manggala Wanabhakti Blok A, lt.. 3) Pada
tanggal 9 Januari 2013. Pertemuan ini dimaksudkan untuk
memperkenalkan para ahli dan Direksi konsultan konsorsium
dengan PIU (PHKA-KKBHL) dan pengguna (BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP). Lokakarya ini dibuka oleh Bapak Bambang,
Direktur Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung (KKBHL)
- Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Acara Kick-off meeting tersebut dihadiri oleh ADB IRM Jakarta,
Bappenas, PCMU; PIU PHKA; PIU BBKSDA Jawa Barat ; PIU
BBTNGGP; PPTK dan staf PHKA, IC; Direktur Konsultan
Konsorsium dan tim CF-CWMBC.
2 Rapat Koordinasi Proyek di Pertemuan ini diselenggarakan di Kantor BBKSDA di Bandung.
BBKSDA Jawa Barat , 15 Januari Para Ahli mempresentasikan rencana kerja proyek mereka.
2013 Kepala BBKSDA Jawa Barat memimpin pertemuan dan
memberikan sejumlah masukan berharga untuk konsultan
khususnya dalam menyinkronkan rencana kerja dengan
rencana kerja BBKSDA Jawa Barat.
Pertemuan tersebut dihadiri olehTeam Leader, Team
Coodinator dari setiap komponen 1, 2, 3, dan 4, dan para ahli.
3 Rapat Koordinasi Proyek di Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk memperkenalkan para
BBTNGGP, 17 Januari 2013 ahli dan staf BBTNGGP, untuk mempresentasikan rencana
kerja proyek dan menyinkronkan rencana kerja . Pertemuan ini
dibuka dan dipimpin oleh Kepala BBTNGGP.
4 Workshop Orientasi Proyek , 28- Workshop Orientasi Proyek idealnya akan dilaksanakan pada
29 Januari tahun 2013 awal proyek tersebut. Mempertimbangkan ke time constraint
dan kegiatan yang ketat, yang dihasilkan dari implementasi
POW) lewat, ia telah diselenggarakan pada bulan Januari 28-29
tahun 2013 di Bandung office (Kawaluyaan).
Workshop ini dihadiri oleh seluruh Tenaga Ahli CWMBC, Direksi
Konsorsium, PMS, staf administrasi dan IC. Workshop dibuka
oleh Bapak S. Agus Nusantoro (Direktur Proyek) dan dipimpin
oleh Ketua Tim (Team Leader).

Tujuan dari lokakarya ini adalah untuk menjelaskan proyek


CWMBC secara keseluruhan, hubungan antara komponen, dan
output dan rencana kerja dari setiap komponen dalam
menanggapi permintaan klien dan sumber daya yang terbatas.
5 Workshop Pre-Inception , 20 Workshop pre-inception report, ditujukan untuk menjalin
Februari 2013 kesepakatan antara PIU/ UPT BBKSDA dan BBTNGGP dengan
CF-CWMBC, terutama yang berkaitan dengan rencana kerja,
lingkup kegiatan dan output dari rencana tersebut. Hasil ini
dijadikan kesepakatan bersama untuk pencapaian tujuan
program CWMBC diseluruh UPT.

Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Bali World, Bandung.


Dihadiri oleh Kepala BBKSDA Jawa Barat beserta jajaran staf
(counterpart) yang telah ditunjuk oleh Kepala BBKSDA Jawa
Barat, serta PPK BBTNGGP beserta (counterpart) yang telah
ditunjuk oleh Kepala BBTNGGP. Selain itu, kegiatan ini juga
dihadiri oleh TL dan seluruh TC, TA dari CF-CWMBC, serta IC
dari ketiga PIU.

Hasil workshop menghasilkan kesepemahaman penting


berkaitan dengan kerangka waktu pelaksanaan, output yang
disepakati, serta pengalokasian sumber-sumber dana untuk
pelaksanaan kegiatan, agar tidak tumpang-tindih anggaran.
6 Workshop Inception Report, 21- Workshop Inception Report, yang diselenggarakan oleh PIU

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 116
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

No PERTEMUAN Ulasan
23 21 Februari 2013 PHKA ditujukan untuk mencermati hasil-hasil yang telah
dilaksanakan oleh CF-CWMBC, serta mencermati rencana kerja
yang telah disusun.

Workshop dibuka oleh Direktur KKBHL dan dihadiri oleh


stakeholder penting dari luar Kementerian Kehutanan,
diantaranya adalah ADB IRM Jakarta, serta seluruh unsur dari
CF-CWMBC (tenaga ahli dan direksi konsultan konsorsium).

Selain diskusi berkaitan dengan masalah teknis, hal-hal yang


berkaitan dengan permintaan perpanjangan waktu dan
administrasi proyek juga dibahas secara mendalam, agar bisa
segera ditindaklanjuti dengan benar dan tepat.

5.5 Kajian Pustaka, Focus Group Discussion (FGD), Observasi Lapangan


dan Penyusunan Laporan
Aktifitas pertama Tim CWMBC pada awal kegiatan adalah penyusunan Laporan Pendahuluan.
Untuk menyusun laporan ini, Tim CWMBC, melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Kajian Pustaka dan Pengumpulan Data
Kajian pustaka dan pengumpulan data sekunder hasil-hasil penelitian dan laporan
kegiatan yang berkaitan dengan proyek dilakukan oleh tim CWMBC. Kajian potensi, sosial
ekonomi, biodiversitas, pemanfaatan jasa lingkungan dan subyek lain, baik yang berasal
dari perpustakaan perguruan tinggi, NGO, maupun dari website menjadi langkah awal tim
CWMBC untuk memperdalam wawasan/ pengetahuan.

Tim dengan PMS juga mengembangkan situs web (website) www.cwmbc.org sebagai
wadah dalam menginformasikan semua kegiatan yang dilaksanakan. Berikut tampilan
layar utama www.cwmbc.org :

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 117
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

Gambar 17.Tampilan Situs Web www.cwmbc.org

2. Focus Group Discussion (FGD) Tiap Komponen, 5-9 Februari 2013


Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion/FGD) tiap komponen dilakukan untuk
mempertajam pemahaman/ kondisi di tiap wilayah kegiatan. Metoda yang digunakan
adalah diskusi, tanya jawab, dan membuat sketch map. Peserta diskusi (sekaligus
sebagai nara sumber) adalah struktural, fungsional dan staf lapangan dari BBKSDA Jawa
Barat dan BBTNGGP. Fasilitator dari kegiatan FGD berasal dari Tim CWMBC dan IC.

Peserta dari BBKSDA dan BBTNGGP dijadikan nara sumber dengan asumsi, bahwa mereka
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik di lapangan/wilayah kerja.
Agenda FGD pada tiap PIU ditunjukkan pada Tabel 27 di bawah ini.

Tabel 27. Focus Group Discussion (FGD) Tiap Komponen di BBTNGGP


dan BBKSDA Jawa Barat

Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu,


Lokasi
5 Feb 2013 6 Feb 2013 8 Feb 2013 9 Feb 2019
BBTNGGP Komponen 3 Komponen 1; Komponen 2
Komponen 4
BBKSDA Komponen 1; Komponen 2;
Komponen 3 Komponen 4

3. Observasi Lapangan
Observasi lapangan dilakukan oleh Tim CWMBC bersama staf lapangan. Tidak seluruh
lokasi kegiatan dikunjungi. Observasi lapang dilakukan pada lokasi yang disepakati pada
saat FGD tematik komponen. Agenda observasi lapang Tim CWMBC tersaji pada Tabel 28
berikut ini:
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 118
Bab V Kegiatan Persiapan Yang Dilakukan Oleh Consultant Firm (CF) - CWMBC

Tabel 28. Observasi Lapangan tiap Komponen di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP

Lokasi Komponen-1 Komponen-2 Komponen-3 Komponen-4


BBTNGGP 6 – 7 Feb 2013 26 – 27 Feb 2013 6 & 11 Feb 2013 7 Feb 2013
(Resort Tegal Lega)
26 – 27 Feb 2013
BBKSDA 13-15 Feb 2013 14-15 Feb 2013 14-15 Feb 2013 14-15 Feb 2013
JAWA BARAT (Resort (Resort (Resort (Resort
Burangrang; Gn Burangrang; Gn Burangrang; Gn Burangrang; Gn
Tilu; Gn Masigit Tilu; Gn Masigit Tilu; Gn Tilu; Gn Masigit
Kareumbi) Kareumbi) Tangkuban Kareumbi)
Perahu)

4. Data dan Produksi Peta


Berkaitan dengan pemetaan sampai tahap Pendahuluan (Inception), data dasar yang
telah didapatkan dari berbagai sumber, antara lain: Peta RBI tahun 2012/2013; Batas
Kawasan Konservasi (8 lokasi); Landsat 1994 dan 2011; Tegakan Pohon. Dari data
tersebut, selanjutnya dijadikan peta kerja bagi tenaga ahli Biodiversitas untuk
menentukan jalur/track pengamatan/ survai lapangan.

Saat ini, Tim CWMBC sedang memesan Quickbird 2013. Selanjutnya diolah/ diinterpretasi
untuk dijadikan basis data spatial tutupan lahan (land cover), penentuan awal jenis
habitat, potensi hidrologi, dan lainnya.

5. Penyusunan Laporan Pendahuluan


Tim CWMBC difasilitasi oleh PMS melakukan beberapa kali pertemuan dengan PIU
(BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP) untuk menselaraskan rencana kerja dan jadwal
pelaksanaan. Laporan Pendahuluan dipaparkan pada workshop tanggal 21-23 Februari
2013 di Bandung.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 119
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi


Komunitas, Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. LPFE-UI. Jakarta

Adimiharja, Kusnaka.dkk. 2003. Participatory Reseach Appraisal, Pengabdian dan


Pemberdayaan Masyarakat.. Humaniora Utama Press. Bandung

Agudelo, J.I. The Economic Valuation of Water : Principles and Method, 2001.

Agus Supriadi. 2012. Keanekaragaman Udang Air Tawar di Sungai-sungai yang Berasal
dari Gunung Salak. Skripsi. Dept. Biologi FMIFA-IPB. Bogor

Ahmad Nasokha. 2012. Keanekaragaman Ketam di Sungai-sungai yang Behulu dari


Gunung Salak Jawa Barat. Skripsi. Dept. Biologi FMIFA-IPB. Bogor

Aji Putra Perdana. 2008. Pengolahan Citra Digital Menggunakan Software ArcGIS (Lanjut)).
PT. Geovisi Mitratama. Yogyakarta.

Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia : a Checklist (Peeters' Sequence)/by Paul Andrew
(Kukila Checklist No.1). Jakarta: Indonesia Ornithological Society. 1–55.

AS Muhammad Hikam . 1999. Demokrasi Dan Civil Society, LP3ES. Jakarta.

Asori S, Karni. 1999. Civil Society Dan Umat, Sintesa Diskusi Rumah Demokrasi. Logos.
Jakarta

Awaludin, Nur. 2010. Geographical Information System with ArcGIS 9.X Principles,
Techniques, Applications, and Management. CV. ANDI OFFSET. Yogyakarta.

Beckwith, Dave. dkk. 1997. People Power from the Grassroots. Center for community
change.

Bibby, C.J., N.D. Burgess, dan D.A. Hill, 1992. Bird Census Techniques. Academy Press.
London. 85–184.

Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang, TNGGP Tahun 1995.

Campbell, Jeff.1999. Prisip-prinsip dan proses pengembangan kemitraan ; Proseding


seminar Pemberdayaan aset perekonomian rakyat melalui strategi kemitraan
pengelolaan SDA di kabupaten Jember.. Pustaka Latin.Bogor

Colfer CJP, Prabhu R. dkk. 1999. Who Counts Most? Assesing Human Well-Being in
Sustainable Forest Management. Volume ke-8, The Criteria & Indicators Toolbox Series.
Center for International Forestry Research. Bogor

Daily, G. Introduction: What are Ecocsystem services. Washington D.C. Island Press.
1997.

Eddy Prahasta. 2004. Sistem Informasi Geografis, Tools dan Plug-ins. Informatika. Bandung

Eddy Prahasta. 2008. Model Permukaan Dijital. Informatika. Bandung.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 120
Eddy Prahasta. 2008. Remote Sensing: Praktis Penginderaan Jauh & Pengolahan Citra
Dijital Dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Informatika . Bandung.

Equator. Laporan Proses Pengembangan Mekenisme PES. Tahun 2011.

Ernes Gellner. 1995. Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan. Mizan.
Bandung

Erwin Hardika Putra. 2011. Penginderaan Jauh dengan ERMapper. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metoda Sampling Bioekologi. PT. Bumi Angkasa. Jakarta

Gradwohl, Yudith & Greenberg, Russel 1991. Menyelamatkan Hutan Tropika. Terjemahan
oleh Hira Jhamtani dari judul asli Saving The Tropical Forest Ed. Cet. 1. 1988.Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta

Haryono, Fahmi dan Sopian Sauri. 1999. Ichtiofauna di Perairan Kawasan Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi Lipi.

Hikmat, Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press.


Bandung

Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives Visions, Analysis
and Practice. Longman: Australia Pty Ltd.

Ife, Jim. dkk. 2008. Community development: alternatif Pengembangan Masyarakat di Era
Globalisasi. (terjemahan: Sastrawan Manullang). Pustaka Pelajar (terjemahan).
Yogyakarta

Iswantoro, Heru. 1999. Konsep dan strategi kemitraan dalam pengelolaan SDA ; Proseding
seminar Pemberdayaan aset perekonomian rakyat melalui strategi kemitraan
pengelolaan SDA di kabupaten Jember. Pustaka Latin. Bogor

John Loomis, Paula Kent, Liz Strange, Kurt Fausch, Alan Covich. 2000. Measuring the total
economic value of restoring ecosystem services in an impaired river basin: results from a
contingent valuation survey. Ecological Economics 33-2000.

Kartamihardja, Endi Setiadi. 2008. Jenis Ikan di Waduk Juanda. Jurnal Iktiologi Indonesia,
Vol. 8 Tahun 2008.

Kartasubrata, Junus. 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia, Buku I Lab. Politik
Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian.Bogor

Kottelat, Maurice, Anthony J. Whitten, Sri Nurai Kartikasari, Sutikno Wirjoatmodjo. 1993.
Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Editions (HK) Ltd bekerja
sama dengan EMDI dan MN KLH

Laporan Akhir . 2009. Program Investasi Pengelolaan Sumberdaya Das Citarum Terpadu.
Asian Development Bank

Laporan Monitoring Jasa Lingkungan Air di TWA Kamojang, Tahun 2012.

Laporan Tahunan Balai Besar KSDA Jawab Barat, Tahun 2008-2011.


Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 121
Laporan Tahunan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Taman Nasional Pangrango,
Tahun 2008-2012.

Liu, Jian-Guo. 2009. Essential image processing and GIS for remote sensing. Wiley-
Blackwell. Oxford, UK.

MacKinnon, J., K. Phillipps, B. dan B. Van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa,
Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi–LIPI.

MacKinnon, J.1995. Burung-burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 1, 3.

Madjid, Noercholish. 1996. Menuju Masyarakat Madani Dalam Ulumul Qur’an. Dalam Jurnal
Ilmu Dan Kebudayaan, No.2/vii/1996

Mayers J. 2005. Power Tools: The Four Rs. International Institute for Environment and
Development.

Milen, Anenli. 2004. Pegangan Dasar, Pengembangan Kapasitas judul asli : What Do We
Know About Capacity Building Pembaruan, Yogyakarta.

Millennium Ecosystem Assessment. Ecosystem and Human Well Being: Current State And
Trends. Washington D.C. Island Press. 2005.

Munggoro, Dani W.1999. Manajemen Kemitraan, meretas kemelut pengelolaan kawasan


konservasi. Proseding seminar Pemberdayaan aset perekonomian rakyat melalui strategi
kemitraan pengelolaan SDA di kabupaten Jember. Pustaka Latin. Bogor

Nancy, et al. On Measuring Economic Value for Nature. Environmental Science Technology
Vol 34:1384-1389, 2000.

Neera Chandoke. 2001. Benturan Masyarakat Sipil. Istawa. Yogyakarta

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008, tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan
Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan

Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3694)

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3760

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 122
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian
Alam

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan
Satwa Liar.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Air Minum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada
Departemen Kehutanan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan


Kawasan Hutan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan


Sumberdaya Air

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya
Air.

Poppy Oktadiyani, 2006. Alternatif Strategi Pengelolaan Taman Wisata Alam Kawah
Kamojang Kab. Bandung Prov. Jawa Barat

Pramana,Yasser. 2012. Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders Dalam Pengelolaan


Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu(Cb-Gsk-Bb), Provinsi Riau. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bab II hal: 6-7

Reed MS, Graves A. dkk. 2009. Who’s in and why? A typology of stakeholder analysis
methods for natural resource management. Dalam Journal of Environmental
Management XXX: Halaman 1-17.

Reynold S.R.J.T., scott J.M and Nussbaum R.A. 1980. A Variable Circular-Plot Method for
Estimating Bird Number. Condor No.82:309-313.

Riyanto, Prilnali Eka Putra dan Hendi Indelarko. 2009. Pengembangan Aplikasi Sistem
Informasi Geografis Berbasis Desktop dan Web. Gava Media. Yogyakarta.

Rombang, W.M. dan Rudyanto. 1999. Daerah penting bagi burung di Jawa dan Bali.
PKA/Birdlife International-Indonesia Programme, Bogor.

Setiadi, A.P, Rakhman, Z., Nurwatha, P. N., Muchtar, M., Raharjaningtrah, W. 2000. Status,
Distribusi, Populasi, Ekologi dan Konservasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi Stersemann,

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 123
1924 di Jawa barat bagian Selatan. YPAL/BidLife International/FFI/Himbio-Unpad.
Bandung.

Sozer, R & Nijman, V. 1995. Behavioral ecology, distribution and conservation of the Javan
Hawk-eagle Spizaetus bartelsi Sterssemann, 1924. Verslagen en technische Gegevens
62: 1-22.

Stock Opname Penerimaan Negara Bukan Pajak di Lingkup BKSDA Jabar-BantenJawa


Barat, Tahun 2012.

Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik-Peran Pembangunan


Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam mewujudkan Negara Kesejahteraan
(welfare state) di Indonesia. Alfabeta. Bandung

Sukmantoro, W. Dkk. 2007. Daftar Burung Indonesia No.2. Bogor. Indonesian Ornithologist
Union.

Sumarto (ed.) 2009. Mt. Gunung Gede Pangrango National Park. Information book series.
Indonesian Ministry of Forestry, Directorate General Forest Protection And Natural
Conservation, Gunung Gede Pangrango National Park.

The National Academies. Valuing Ecosystem Services: Toward Better Environmental


Decison Making. 2004.

Total Economic Value. Journal of Environmental Economic. 2009.

Undang-undang No 32 tentang Lingkungan Hidup

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3687);

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

van Balen, S. 1996. Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi. Bogor: PHPA/BirdLife


International Indonesia Programme (Threatened Species Assessment Series, No.1).

van Balen, S., Meyburgh, B. U. 1994. The Javan Hawk-eagle Spizaetus bartelsi: resul of
recent research on distribution, status and ecology. Pp. 89-92 in: Meyburgh and
Chancellor, R. D. Raptor Conservation Today. Berlin and Robertsbridge, UK.

van Ballen, S., 1999. Birds on fragmented islands, persistence in the forests of Java and
Bali. PhD Thesis in Wageningen University.

Wawa, Jannes Eudes (ed.). 2011. Ekspedisi Citarum Sejuta Pesona dan Persoalan. Laporan
Jurnalistik Kompas. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta

Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., Afiff, S. A. 1996. The Ecology of Java. The Ecology of
Indonesian Serries Vol. II. Periplus Editions.

Wicaksono, Wazir dan Darusman, Taryono (2001). Simpul Belajar Pengorganisasian


Masyarakat. Yayasan PUTER. Bogor
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO 124
Wowor, Daisy. 2010. Studi Biota Perairan dan Herpetofauna di DAS Ciliwung dan Cisadane:
Kajian Hilangnya Keaanekaragaman Hayati. Pusat Penelitian Biologi, LIPI

Wrihatnolo, Randy, et al. 2007. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah Pengantar dan


Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta

Yoyo Budiman 2011. Laporan Foto. Berkenalan Dengan Ikan Sungai Citarum. Cita Citarum.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO 125
Lampiran 1

Lampiran 1 : DRAFT SOP PELAKSANAAN SURVEY BIODIVERSITAS DAN


PEMETAAN SERTA PEMBANGUNAN GIS/MIS/RS

DRAFT SOP PELAKSANAAN SURVEY BIODIVERSITY

PENDAHULUAN

Kegiatan inventarisasi keanekargaman hayati (biodiversity inventory) tidak terlepas dari istilah
species diversity (keragaman), abundance (kelimpahan), dan richness (kekayaan jenis). Inventarisasi
keanekaragaman hayati diperlukan untuk menunjukan keberadaan nilai-nilai kualitas ekosistem dan
konservasi terhadap jenis-jenis yang secara regional dan global terancam populasinya. Selain itu, data
dan informasi tentang keanekaragaman hayati diperlukan sebagai data dasar (baseline) dan dasar
kegiatan monitoring dinamika populasi dan keragaman species.
Tujuan survey keanekaragaman hayati pada program CWMBC dilaksanakan untuk mendapatkan
data dasar keanekaragaman hayati yang diperlukan, untuk:
1) identifikasi jenis prioritas dan indikator kualitas ekosistem serta upaya konservasi di masa yang
akan datang;
2) persyaratan validasi; dan
3) membuat rencana pemantauan keragaman hayati pada lokasi kawasan konservasi untuk dapat
dikelola bagi pelestarian hidupan liar.
Inventarisasi keanekaragaman hayati dimaksudkan sebagai petunjuk umum dalam pelaksanaan
inventarisasi keanekaragaman hayati, yang mencakup penyiapan modul pelatihan ditempat kerja (in-
services training), pelaksanaan inventarisasi keanekaragaman hayati di lapangan, serta penyiapan dan
pembuatan permanen sample plot (PSP) untuk program pemantauan keanekaragaman hayati guna
guna mendukung kegiatan-kegiatan CWMBC dengan cara yang dapat diukur, dilaporkan dan
diverifikasi (Monitoring-Reporting-Verification MRV), pada 8 (delapan) lokasi kawasan konservasi,
yang mencakup:
1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
2) Cagar Alam Burangrang
3) Cagar Alam Gunung Tangkubanperahu
4) Cagar Alam Kawah Kamojang
5) Cagar Alam Gunung Tilu
6) TWA Gunung Tangkubanperahu
7) TWA Kawah Kamojang
8) TB Gunung Masigit Kareumbi.
Pada kegiatan CWMBC ini, keanekaragaman hayati hanya meliputi elemen satwa dan tumbuhan
tidak termasuk mikro-organisme. Kriteria flora dan fauna yang dikaji pada kegiatan CWMBC terdiri
dari jenis satwa, yaitu :
1. Vegetasi (Vegetation)
2. Mamalia (Mammal)
3. Burung (Bird)
4. Serangga (Insect)
5. Amphibi dan Ular (Herpertofauna)
6. Biota (Aquatic)
Dalam kegiatan inventarisasi biodiversitas tidak terlepas dari kegiatan penggalian informasi awal
yaitu wawancara masyarakat sekitar kawasan yang akan disurvey serta study literatur baik dari data

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-1


Lampiran-1

sekunder UPT dan literatur lainnya. Keterlibatan masyarakat sangat penting untuk dapat mengakses
keragaman jenis yang sangat diharapkan dan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati di kawasan konservasi.

 Spesies Kunci

Dalam rangka pengelolaan sumber daya alam hayati, perlu adanya pemantauan terhadap
kesehatan ekosistem serta perkembangan populasi spesies. Pemantauan langsung terhadap semua
elemen di sebuah ekosistem tidak mungkin dilakukan langsung, sehingga perlu memilih opsi lain
untuk mengetahui kondisi ekosistem tersebut. Opsi yang paling umum dilakukan, dan cukup efektif,
adalah memantau ekosistem melalui perwakilan dari ekosistem tersebut. Dengan perwakilan
dimaksud spesies flora dan fauna tertentu yang diseleksi karena memiliki sifat khusus, seperti
merepresentasikan banyak spesies lain (mencerminkan keadaan populasi spesies lain), atau
mengindikasikan adanya gangguan terhadap ekosistem seperti perburuan atau polusi. Spesies-spesies
ini sekaligus akan membantu untuk melestarikan banyak spesies lain jika dikelola dengan baik.
Spesies-spesies ini disebut “Spesies Kunci”, dan diantaranya ada spesies yang disebut “Spesies
Indikator” dan “Spesies Payung”. Tentunya dalam proses pemilihan species kunci yang akan
dimonitor, perlu diingat bahwa spesies yang akan dipilih perlu memenuhi beberapa syarat, atau
Kriteria.

 Kriteria Penentuan Spesies Kunci

Spesies kunci yang akan dimonitor sebagai perwakilan dari sebuah ekosistem, perlu secara
langsung maupun secara tidak langsung memberi informasi mengenai kondisi habitat dan populasi
spesies flora dan fauna lain yang berada di dalamnya. Oleh karena itu, spesies kunci perlu memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1) Spesies flora atau fauna yang mewakili banyak spesies lain (Um brella Species )
2) Spesies flora atau fauna yang mengindikasikan adanya gangguan terhadap ekosistem
(I ndicator Species )
3) Spesies flora atau fauna yang dapat dipantau/ dimonitor oleh petugas yang tidak punya
pendidikan ekologi atau biologi.
Spesies yang kurang cocok sebagai species kunci yang akan dimonitor adalah spesies yang sulit
dipantau, sehingga data tahunan yang terkumpul tidak mencukupi untuk analisis dan tidak
memperlihatkan sebuah trend kenaikan, kestabilan atau penurunan populasi dari spesies tersebut
serta spesies-spesies lainnya yang diwakili. Contoh untuk spesies yang kurang cocok adalah Kucing
Hutan (Prionailurus [Felis] bengalensis), karena spesies ini jarang ditemukan, dan memerlukan survey
khusus pada malam hari. Selain itu, spesies ini merupakan spesies yang sangat adaptif terhadap
perubahan habitat, sehingga perubahan populasi Kucing Hutan tidak memberi indikasi terhadap
keadaan ekosistem hutan alaminya. Oleh karena itu, spesies ini tidak memenuhi ketiga kriteria diatas.
Spesies kunci terpilih yang akan dimonitoring tersaji pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Spesies Kunci yang Terpilih untuk Monitoring

Kelompok Spesies Kunci Status Catatan


Mammalia Owa Jawa (Hylobates moloch) CR, I, D mudah dimonitor, perhatian internasional
Surili (Presbytis comata) EN, II, mudah dimonitor, spesies prioritas nasional
D
Sero Ambrang (Aeonyx cinerea) VU, II mudah dimonitor, indikator lingkungan akuatik
Jelarang (Ratufa bicolor) NT, D mudah dimonitor, indikator perburuan
Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) EN, II, mudah dimonitor, spesies prioritas nasional
D

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-2


Lampiran-1

Kelompok Spesies Kunci Status Catatan


Julang Emas (Rhyticeros II, D mudah dimonitor, indikator lingkungan hutan
undulatus)
Ayam Hutan Merah (Gallus gallus) mudah dimonitor, usulan dari UPT
Reptil & Sanca Bodo (Python molurus II, D mudah dimonitor, spesies dilindungi
Amfibia bivittatus)
Labi-labi Hutan (Dogania VU mudah dimonitor, indikator lingkungan akuatik
subplana)
Ikan Ikan Kekel (Glyptothorax mudah dimonitor, indikator lingkungan aquatik
platypogon)
Ikan Jeler (Cobitis mudah dimonitor, indikator lingkungan aquatik
choirorhynchos)
Ikan Paray (Rasbora lateristriata) mudah dimonitor, indikator lingkungan aquatik
Udang Batu (Macrobrachium mudah dimonitor, indikator lingkungan aquatik
empulipke)
Serangga Tonggeret (Cicadidae ) mudah dimonitor, indikator lingkungan hutan
Kupu-kupu (Troides helena) II, D mudah dimonitor, indikator lingkungan hutan
Capung (Libellulidae) mudah dimonitor, indikator lingkungan hutan
Tumbuhan Rasamala (Altingia excelsa) mudah dimonitor, indikator lingkungan hutan
Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) mudah dimonitor, indikator lingkungan hutan
Kiputri (Podocarpus neriifolius) mudah dimonitor, indikator lingkungan hutan
Keterangan: IUCN; CR:Critically Endangered, EN:Endangered, VU:Vulnareble, NT: Near Threatened; CITES;
I= Appendix I, II=Appendix II; D=PP No 7 Tahun 1999

 Spesies Penting

Selain spesies kunci yang akan dimonitor populasinya karena mewakili keseluruhan ekosistem
yang dikelola dan memperlihatkan efektivitas dari sistem pengelolaan sumber daya alam hayati, ada
juga spesies yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value) karena merupakan spesies
yang memiliki peran penting dalam sebuah ekosistem (seperti Top Predators, Pollenators), atau yang
terancam kepunahan (IUCN Endangered atau Critically Endangered), yang sudah sangat langka, yang
endemik /sebaran terbatas, yang dilindungi undang-undang, yang mendapatkan perhatian secara
internasional, atau spesies yang belum ada banyak informasinya (Data Deficient Species). Spesies-
spesies ini disebut “spesies Penting”, dan diantaranya ada spesies yang disebut “Keystone Elements”
dan “High Profile Species”. Spesies penting ini pada umumnya sulit untuk ditemukan dan dimonitor,
namun perlu diberi perhatian khusus dalam survey, dan sebanyak mungkin data primer ataupun
sekunder perlu dikumpulkan mengenai spesies-spesies ini. Spesies kunci terpilih untuk dilakukan
survey dan monitoring disajikan pada Tabel 2 dibawah ini:

Tabel 2. Spesies Penting yang akan Disurvey

Kelompok Spesies Penting Catatan


Mammalia Macan Tutul (Panthera pardus melas) Top predator, langka, terancam
Ajag (Cuon alpinus) Top predator, kurang data
Binturong (Arctictis binturong) Kurang data
Babi Kutil (Sus verrucosus) Langka, terancam
Berang-berang Pantai (Lutra lutra) Kurang data
Kijang (Muntiacus muntjac) Terancam perburuan, species mangsa
Sigung (Mydaus javanensis) Kurang data

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-3


Lampiran-1

Kelompok Spesies Penting Catatan


Tenggalung (Viverra tangalunga) Kurang data
Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) Terancam perdagangan
Biul Slentek (Melogale everetti) Kurang data
Burung Merak Hijau (Pavo muticus) Subspesies endemik Jawa, langka
Kangkareng Perut-putih (Anthracoceros albirostris) Kurang data, langka
Rangkong Badak (Buceros rhinoceros) Kurang data, langka
Jalak Putih (Sturnus melanopterus) Critically Endangered, Endemik Jawa dan
Bali
Celepuk Jawa (Otus angelinae) Langka
Ekek Geling (Cissa thalassina) Critically Endangered, Endemik Jawa
Gelatik Jawa (Padda oryzivora) Endemik Jawa dan Bali, langka
Beo (Gracula religiosa) Langka
Ciung Mungkal Jawa (Cochoa azurea) Langka
Pelatuk Ayam (Dryocopus javensis) Kurang data
Itik Gunung (Anas superciliosa) Kurang data
Luntur Gunung (Harpactes reinwardtii) Endemik Sumatera dan Jawa Barat,
Langka
Luntur Harimau (Harpactes oreskios) Kurang data, langka
Reptil & Kodok Merah (Leptophryne cruentata) Critically Endangered, Endemik, terancam
Amfibia koleksi
Kodok Pohon Mutiara (Nyctixalus margaritifer) Endemik, terancam koleksi
Kura-kura Batuk (Cuora amboinensis) Terancam perdagangan
Kura-kura Bergerigi (Cyclemys dentata) Terancam perdagangan
Kura-kura “Oldham” (Cyclemys oldhamii) Terancam perdagangan
Ikan Ikan-ikan Endemik Jawa Kurang data
Ikan Kancra (Tor douronensis) Langka, kurang data
Ikan Mata Merah (Puntius orphoides) Langka, kurang data
Ikan Tambra (Tor tambroides) Langka, kurang data
Ikan Hampala (Hampala macrolepidota) Langka, kurang data
Serangga Kupu-kupu endemik Jawa Kurang data
Kumbang Biola (Mormolyce phyllodes) Langka, kurang data
Tumbuhan Anggrek-anggrek endemik Jawa Kurang data
Edelweiss (Anaphalis Javanica) Sebaran terbatas, terancam koleksi
Bunga bangkai (Amorphophallus spp.) Kurang data

METODOLOGI

A. Persiapan
1. Penentuan Kriteria Wilayah Survey
 Kawasan High Conservation Value Forest (HCVF)
 Wilayah yang mewakili zona/blok Inti, Rimba, Pemanfaatan dan Rehabilitasi yang dapat
dijadikan Petak Contoh Permanen (Permanen Sample Plot atau PSP)
2. Persiapan Alat dan Bahan Survey
 Field guide
 Tally Sheet dan Dokumentasi

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-4


Lampiran-1

 Peta Kerja/Lapangan dan GPS


 Peralatan dasar survey yaitu peta-peta, altimeter, kompas, pita ukur, tali, pisau, gunting,
penanda (tags), palu, clinometer, hagameter, kantong plastik, kaliper, kamera trap,
binokular, GPS, tape recorder, timbangan digital/ pegas, Senter/Head-lamp, Penjepit stik
besi, Termometer, hygrometer, soil pH, Kalliper, peralatan keselamatan (senter, jas
hujan, obat-obatan dan sebagainya) dan peralatan komunikasi (HT, HP, Komputer dsb).
3. Menentukan Lama dan Waktu Survey
 Strategi pengamatan terkait pertimbangan terhadap posisi geografis, tipe hutan atau
penutupan lahan.
 Ketersediaan anggaran
 Musim, terutama musim kemarau beberapa jenis mamalia dan burung akan berkumpul di
sumber air sehingga memudahkan penjumpaan dan pendokumentasian.
4. Pertimbangan Keselamatan
 Team work (bekerja berdampingan).
 Penyusunan jadwal kerja tim.
 Menghindari organisme yang beracun atau berbahaya.
 Waspada terhadap binatang buas.
 Menyediakan peralatan medis atau P3K.
 Kontrol emosi/intropeksi terhadap kemampuan diri
5. Mengetahui Sumber Bias
Survey biodiversitas pada dasarnya adalah melakukan pengamatan terhadap kondisi alam.
Beberapa sumber bias yang harus diketahui dalam pengamatan adalah : kondisi habitat,
aktivitas satwa, kesalahan atau keterbatasan pengamat, metode dan peralatan yang
digunakan, kecepatan survey, tipe atau jenis yang diamati, kepadatan populasi, musim atau
cuaca serta waktu dalam sehari, pagi, siang, sore, atau malam.

B. Pelaksanaan Survey
Tahapan pelaksanaan survey biodiversitas digunakan terdiri dari 2 tahapan kegiatan, yaitu
penggalian informasi/sekunder masyarakat sekitar kawasan terkait 6 taksa flora/fauna yang akan
diamati dan survey lapangan.
Metode survey yang digunakan untuk ke 6 taksa yang di survey/diamati tersaji paa Tabel 3
berikut :

Tabel 3. Metode Survey

Metode
Taksa Pengamatan Camera Rapid
Transek Trapping
Terkonsentrasi Trapping Asessment
1. Vegetasi Quadrat √ - - √

2. Mamalia Life, √
- √ -
camera
3. Burung - √
Belt - -

4. Serangga √ Fitfall, √
Line -
Insect Nett
5. Amphibi dan VES
- √ - -
Ular
6. Biota Surber & √
- Electric Fishing -
Plankton

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-5


Lampiran-1

1) Survey vegetasi

Survey vegetasi hutan bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi hutan.
Pelaksanaan survey vegetasi diawali dari tahap persiapan konsep survey secara umum sebagai dasar
pemahaman bagi pelaksana survey, yaitu :
1. Menentukan lokasi analisa vegetasi pada peta berdasarkan zona/blok yang ada pada kawasan
konservasi atau pada areal HCVF
2. Menentukan lokasi analisa vegetasi di lapangan menggunakan alat bantu GPS
3. Membuat jalur pengamatan dengan memotong garis kontur
4. Menentukan titik awal jalur, panjang jalur dan jarak antar jalur yang tergantung pada intensitas
sampling yang ditetapkan untuk luas areal yang akan disurvey dan ketersediaan sumber daya.
5. Membuat petak-petak pada jalur pengamatan

Hal yang paling mendasar dari pelaksanaan survey vegetasi adalah penyediaan peta kerja/survey
vegetasi. Peta tersebut dibuat dengan skala 1:20.000. Peta kerja/survey vegetasi dapat dibuat dengan
menentukan titik koordinat survey (jalur survey) baik penentuan titik lokasi maupun petak secara
umum. Penentuan jalur tersebut dibuat berdasarkan informasi dari UPT setempat dengan mengacu
pada beberapa informasi penting, seperti ketinggian tempat, jenis endemik dan non endemik, tingkat
kesuburan tanah dan lain-lain. Langkah tersebut dapat diperkuat dengan hasil yang didapat pada
saat survey selesai.

 Metode Jalur dan Petak


Metode survey vegetasi yang akan dilaksanakan adalah membuat petak dengan memotong
garis kontur (jalur berpetak). Penentuan panjang jalur dan jarak antar jalur tergantung pada
intensitas sampling yang ditetapkan untuk luas areal yang akan disurvey dan ketersediaan sumber
daya. Pada vegetasi hutan alam, akan dilakukan dengan metode petak dalam jalur, yaitu mencatat
semua vegetasi yang ada berupa vegetasi bawah, semai, pancang, tiang dan pohon. Pada setiap
jalur dibuat petak-petak pengamatan, seperti pada Gambar 1 dan 2 berikut ini :

Pohon :
Tumb. berkayu
Tiang :
diameter > 20cm
Tumb. berkayu
diameter 10-20 cm
Pancang :
Semai -> Tinggi =
> 1,5 m dan
diameter <10 cm
Semai :
Anakan Pohon
Tinggi < 1,5 m

Gambar 1. Struktur vegetasi berdasarkan strata pertumbuhan yang akan disurvey

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-6


Lampiran-1

Semai Semai
(2mx2m) (2mx2m)

Pancang (5mx5m) Pancang (5mx5m)

Tiang (10mx10m) Tiang


Tiang(10mx10m)
(10mx10m)

Pohon (20mx20m) Pohon (20mx20m)

Pohon (20mx20m)

Tiang (10mx10m)

Pancang (5mx5m)

Semai
(2mx2m)

Gambar 2. Desain Petak dan Jalur Survey Vegetasi

Pada masing-masing petak tersebut dilakukan pengukuran tinggi, diameter setinggi dada (1,3 m)
dan identifikasi jenis pohon, tiang, pancang, semai dan vegetasi bawah.

 Analisis Data Vegetasi


Pelaksanaan survey dilapangan di dokumentasikan dalam bentuk Talley Sheet dan Foto untuk
mempermudah melakukan analisis data. Parameter yang digunakan dalam melakukan analisis
vegetasi dengan mengacu kepada referensi dan tersaji pada Tabel 4 berikut ini :

Tabel 4. Parameter analisis vegetasi yang digunakan

No Parameter Rumus Satuan Keterangan


∑ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
1 Kerapatan suatu jenis 𝐾= Individu/Ha
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 M2/Ha D hanya dihitung untuk


2 Dominansi suatu jenis 𝐷=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ tingkat pohon.

𝐹
3 Frekuensi suatu jenis ∑ 𝑆𝑢𝑏 − 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 Jenis/spesies
=
∑ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏 − 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
Kerapatan relatif 𝐾 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
4 𝐾𝑅 = × 100% %
suatu jenis 𝐾 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Frekuensi relatif suatu 𝐹 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
5 𝐹𝑅 = × 100% %
jenis 𝐹 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Dominansi relative 𝐷 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
6 𝐷𝑅 = × 100% %
suatu jenis 𝐷𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
INP = KR + FR + DR % tingkat pohon
7 Indeks Nilai Penting tingkat semai, pancang
INP = KR + FR %
dan tumbuhan bawah

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-7


Lampiran-1

No Parameter Rumus Satuan Keterangan

𝜋𝑟 2 menghitung dominansi
Luas bidang dasar 𝐿𝐵𝐷 =
∑ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏 − 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ jenis
8 (LBD) M2 R = jari-jari lingkaran dari
1
𝐿𝐵𝐷 = 𝜋𝑟 ∗ 𝐷2 diameter batang
4 D = DBH
Tbc = tinggi bebas
𝑉 = 𝐿𝐵𝐷 ∗ 𝑇𝑏𝑐 ∗ 𝑓 cabang pohon
9 potensi suatu pohon M3
F = angka bentuk pohon
(sekitar 0,7-0,8)
H = indeks
keanekaragaman
ni = jumlah individu
suatu jenis ke–i dalam
petak ukur (PU)
n = total jumlah individu
𝐻′ = − �(𝑝𝑖 ln 𝑝𝑖; 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑖
Indeks dalam PU.
10 = (𝑛𝑖/𝑛) -
keanekaragaman Catatan: nilai H’ berkisar
antara 0 – 7 dengan
kriteria (a) 0 – 2
tergolong rendah, (b) 2 –
3 tergolong sedang, dan
(c) 3 atau lebih yang
tergolong tinggi.
R = indeks kekayaan
S = jumlah jenis dalam
𝑅 = 𝑆/√𝑛
11 indeks kekayaan jenis - PU
n = total individu
seluruh jenis dalam PU
E = indeks kemerataan
untuk jenis, marga atau
𝐸 = ′ln(S) suku
12 indeks kemerataan -
S = jumlah jenis, marga
atau suku yang dijumpai
dalam PU

Dalam rangka untuk mengetahui gambaran struktur hutan di lokasi pengamatan/survey,


dibuat distribusi pohon secara horizontal (sebaran horizontal) dan secara vertical (stratifikasi)
yang secara berturut–turut didasarkan kelas diamater (selang 5 cm) dan kelas tinggi pohon
(selang 1 m).

Prosedur selanjutnya setelah kegiatan survey dilakukan adalah :


a. Mengidentifikasi jenis yang tidak dikenal pada hutan alam dengan membuat herbarium. Data yang
penting untuk dicatat pada herbarium adalah: lokasi pengambilan (adminsitrasi dan geografi),
keterangan habitat, ketinggian dpl, tanggal koleksi, sifat sifat pohon seperti kulit, getah, dan nama
pencatat. Pohon yang sudah tercatat diberi nomor/tag dari alumunium untuk keperluan monitoring
diwaktu yang akan datang.
b. Contoh herbarium diidentifikasi di laboratorium seperti Herbarium Bogoriense-LIPI atau Bagian
Botani Puslitbang Hutan dan Konservasi, Bogor
c. Melakukan analisis data

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-8


Lampiran-1

Untuk jenis yang tidak dikenal pada hutan alam, dilakukan identifikasi melalui koleksi contoh
herbarium. Identifikasi dapat dilaksanakan di laboratorium seperti Herbarium Bogoriense Puslit Biologi
LIPI atau Bagian Botani Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Badan Litbang Kehutanan serta
lembaga penelitian lainnya yang relevan.

2) Survey Mamalia
Keanekaragaman jenis flora dan tingkat populasi merupakan suatu indikator dari kualitas vegetasi
atau habitat hutan. Jenis satwa yang menjadi indikator umumnya adalah mamalia, primata, burung
dan herpetofauna (Amphibi, Reptil). Rencana kerja survey mamalia merupakan kegiatan dalam
mengidentifikasi tingkat perkembangan populasi dan keragaman jenis yang disertai dengan
identifikasi jenis endemik, langka dan yang mempunyai nilai penting bagi konservasi
keanekaragaman hayati. Secara umum data yang dikumpulkan dalam survey mamalia meliputi jenis
satwa yang teramati atau berdasarkan jejak dan suara, jumlah individu, jenis kelamin (jantan atau
betina), kelompok usia (bayi, muda, atau tua), aktivitas satwa, pemanfaatan ruang (lokasi satwa liar
strata hutan), waktu teramatinya satwa, serta kondisi habitat tempat ditemukannya satwa.
Metode yang digunakan untuk survey mamalia adalah metode kamera trap (Camera Trapping),
Perangkap (Trapping), Pengamatan Cepat (Rapid Asessment) dan koleksi manual (Hand Collecting).
Selain itu, dalam rangka memudahkan identifikasi dilapangan, juga dilakukan metode wawancara dan
desk study (kajian literatur).

 Metode Kamera Trap (Cam era Trapping )


Penggunaan kamera dalam inventarisasi satwa diletakkan pada lokasi-lokasi yang diduga
menjadi daerah jelajah, alur jalan pergerakan dari satwa yang akan di inventarisasi. Kamera Trap
digunakan umumnya untuk jenis satwa yang sulit diamati (tanpa kehadiran pengamat) misalnya
harimau.

 Metode Perangkap (Trapping )


Metode ini digunakan dengan menggunakan perangkap berupa life trap yang bertujuan untuk
menginventarisasi mamalia kecil di lantai hutan, seperti tikus. Sehingga satwa yang tertangkap
tidak akan mati.
Perangkap dipasang secara sengaja (purposive) pada habitat tertentu yang diduga merupakan
habitat utama bagi berbagai mamalia kecil, misalnya cerukan gua, lubang di pohon, bekas lubang
di tanah, bekas sampah dan sejenisnya. Hal ini dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin
besar.
Penggunaan perangkap hidup juga dilakukan pada penelitian dengan metode tangkap lepas. Satwa
ditangkap, ditandai, dilepaskan dan ditangkap kembali. . Apabila satwa yang terperangkap sulit
untuk diidentifikasi, satwa tersebut dapat diawetkan dan diidentifikasi oleh lembaga penelitian
seperti LIPI.

 Metode Pengamatan Cepat/Jelajah (Rapid Asessm ent )


Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis‐jenis mamalia yang berada di lokasi
pengamatan, tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung pendugaan populasi. Pengamatan
tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi khusus. Pengamat cukup mencatat
jenis‐jenis mamalia yang ditemukan, misalnya pada saat melakukan survey lokasi, berjalan diluar
waktu pengamatan, dan sebagainya.

 Wawancara
Target wawancara dilakukan pada masyarakat sekitar kawasan dan petugas lapangan.
Keterangan dari masyarakat atau petugas dapat diverifikasi dengan seperti mencocokan dengan
buku panduan pengenalan jenis mamalia.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-9


Lampiran-1

Hal-hal yang harus digali pada saat wawancara adalah :


o Pengetahuan mengenai keberadaan dan jenis‐jenis mamalia yang pernah ditemui oleh
responden baik dari segi cirri-ciri fisik, perilaku dan pola aktivitas.
o Lokasi dan waktu perjumpaan keberadaan sarang, keberadaan bekas jejak (cakaran,
kotoran), dan pola pergerakan mamalia (relatif menetap atau berpindah tempat, relatif dapat
ditemui di berbagai lokasi atau hanya pada satu lokasi saja).
o Intensitas perjumpaan (sering/tidak/banyak/sedikit
o Kearifan local : perlakuan terhadap mamalia (diburu/dimanfaatkan adat setempat/sering
tidaknya perburuan)
o Adakah mitos yang berhubungan dengan salah satu atau mungkin beberapa jenis mamalia
o Pemanfaatan/perlakuan terhadap mamalia sebagai sumber pakan, obat-obatan, atau hewan
peliharaan.

 Desk Study

Desk study dapat berupa pengkajian/menggali informasi awal mengenai keberadaan berbagai
spesies mamalia pada lokasi pengamatan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Sebagai data
sekunder bahan pembanding dengan hasil penelitian yang akan dilakukan (penurunan dan
penambahan jumlah jenis, maupun peningkatan dan penurunan populasi).

Hal lain yang tidak kalah penting adalah rekam jejak. Rekam jejak sangat membantu dalam
memperkuat identifikasi. Jejak dapat berupa jejak kaki (foot‐ print), bekas‐bekas makan (feeding
signs), bekas cakaran, tempat berkubang, rambut dan bulu, sarang, bau yang ditinggalkan, dan
sebagainya. Jejak‐jejak yang ditinggalkan oleh satwa mamalia dapat membantu untuk mengetahui
keberadaan dan kehadiran jenis mamalia disuatu tempat walaupun mamalia tersebut tidak ditemukan
secara langsung. Maka dari itu pemahaman terhadap perlakuan jejak sangatlah penting. Berikut
perlakuan yang harus dilakukan ketika jejak ditemukan :
1. Perendaman dengan alokohol (70%) untuk bekas gigitan dan bekas-bekas makanan.
2. Pendokumentasian objek/ bekas makanan atau cakaran dsb.
3. Pembandingan dengan melakukan pengukuran jejak dengan meteran/mistar.
4. Pencatatan kondisi sekitar jejak (kondisi tanah, corak warna dsb)
5. Bekas rambut, bulu atau sarang dimasukkan kedalam plastik atau wadah kedap udara.
6. Pencetakan jejak dengan bahan gips adalah dengan mangaduk gips dengan air sampai
membentuk adonan yang merata dan tidak terlalu encer (bertekstur seperti pasta gigi). Adonan
dituangkan pada permukaan jejak sampai rata dengan tinggi permukaan tanah di samping jejak.
Jejak sebelumnya dibersihkan dari kotoran seperti dedaunan, kerikil, tanah dan sebagainya.
Cetakan gips diangkat setelah cukup keras (15‐30 menit). Label identitas dibuat dengan
mencantumkan waktu (tanggal, bulan, tahun), lokasi/blok hutan; spesies satwa (jika diketahui);
bagian kaki mana yang jejaknya dicetak (jika diketahui), dan pencetak jejak.

 Analisis Data Mamalia


Analisis data dilakukan dalam menentukan/menaksir kepadatan populasi dan jumlah populasi,
Pendugaan/penaksiran jumlah populasi, Penghitungan Konsentrasi (Concentration Count),
Keanekaragaman Jenis Satwa dan Frekuensi Satwa. Berikut parameter yang digunakan dalam
melakukan analisis data mamalia dan tersaji pada Tabel 5 dibawah ini:

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-10


Lampiran-1

Tabel 5. Parameter analisis mamalia yang digunakan

No Parameter Rumus Satuan Keterangan


D = Kepadatan
populasi
Kepadatan atau 𝑛 n = jumlah satwa
𝐷= Jumlah
1 kelimpahan populasi: 2𝐿𝑤 yang teramati
individu/ha
L = panjang total
transek
w = lebar transek
Pendugaan/penaksiran
2 jumlah populasi
PD = Jumlah
populasi
n = jumlah satwa
1) rata-rata jarak dengan
�� Jumlah yang teramati
pencatat (D) �� =
2�� Populasi L = panjang total
transek
w = lebar transek
A = luas kawasan
PY = Jumlah
populasi
n = jumlah satwa
2) rata-rata jarak dengan A. n Jumlah yang teramati
�� =
terdekat (Y) 2LWY Populasi L = panjang total
transek
w = lebar transek
A = luas kawasan
Penghitungan
3 Konsentrasi
(Concentration Count)
D = kepadatan
∑ y dilokasi penelitian (ekor/ha)
1) kerapatan atau D=
L wilayah pengamatan Ekor/Ha y = satwa yang
kelimpahan populasi
teramati
L = luas
P = Populasi
Xi = jumlah individu
yang dijumpai pada
P = n�Xi
2) jumlah populasi: Populasi pengam atan ke‐i
(individu)
n = jumlah ulangan
pengamatan
H’ = indeks
keanekaragaman
Keanekaragaman ni ni
H′ � ln jenis (Shannon dan
4 Jenis Satwa N0 N0
Weaver)
ni = jumlah individu
dalam satu jenis

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-11


Lampiran-1

No Parameter Rumus Satuan Keterangan


N0 = jumlah individu
dalam satu
komunitas
𝐹𝑅
5 Frekuensi satwa 𝐿𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 %
= 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑙𝑖𝑡𝑖𝑎𝑛

3) Survey Burung

Pengamatan terhadap burung yang dilakukan di alam terbuka dikenal sebagai bird watching.
Aspek yang diamati mulai dari identifikasi jenis berdasarkan morfologi, identifikasi lewat suara,
behaviour, populasi, distribusi, dan lain-lain. Metode survey burung pada prinsipnya sama dengan
metode survey mamalia termasuk transek jalur, transek garis dan metode perhitungan terkonsentrasi
(concentration count).
 Metode Pemetaan (M apping )
Salah satu cara yang efektif untuk menghitung populasi burung dan ukuran daerah jelajah
adalah metode pemetaan. Terutama untuk jenis burung yang memiliki teritori dan musim berkembang
biak yang jelas. Pengamatan dilaksanakan secara berulang setiap pagi pada lokasi teritori burung.
Biasanya dilakukan pada musim berkembang biak ketika individu burung berada pada lokasi yang
terbatas, aktif mempertahankan teritorinya dan menghabiskan waktu di sekitar sarang. Teritori yang
jelas dan tepat dapat diplotkan pada peta, sehingga dimungkinkan menghitung jumlah pasangan
burung dari setiap jenis yang ada.
Hasil pengamatan tersebut dapat menghasilkan peta detail sebaran dan ukuran teritori serta
menghasilkan penghitungan yang lebih konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh waktu pengamatan.
Selain itu pula dapat digunakan untuk memahami kondisi habitat.

Untuk menghasilkan data yang akurat dan valid, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Peta kerja/survey berkualitas/resolusi tinggi pada area pengamatan
2. Lama pengamatan sampai dengan 10 kali pengamatan
3. Areal pengamatan sekitar 1-4 km2
4. Memerlukan keterampilan tinggi

 Metode Transek Titik (Point transect):


Metode Titik hitung: dilakukan dengan berjalan suatu transek, memberi tanda dan mencatat
semua jenis burung yang ditemukan selama jangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya (10
menit), sebelum bergerak ke titik selanjutnya.
Transek titik berbeda dengan transek garis, dimana pengamat berjalan disepanjang garis transek dan
berhenti pada titik-titik yang sudah ditentukan, memberikan waktu bagi burung untuk diamati dan
mencatat semua burung yang terlihat dan terdengar pada waktu yang telah ditentukan yang berkisar
antara 2-20 menit.
Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam metode titik adalah :
1. Kecepatan berjalan sesuai rekomendasi
2. Penggunaaan estimasi jarak penuh (dari pencatat dan burung yang terlihat atau terdengar) atau
jarak interval jalur (lebar jalur band misal 0-25 m dan > 25 m)
3. Memerlukan keterampilan dan keahlian pengamat karena sebagian besar kontak dan identifikasi
didasarkan kepada kicau atau suara burung.
4. Data yang dicantumkan : (nama pengamat, waktu dan tanggal pengamatan, lokasi pengamatan,
jenis habitat dan tipe vegetasi yang

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-12


Lampiran-1

5. digunakan, cuaca, jumlah burung yang ditemukan, aktivitas, jarak burung dengan pengamat, dan
sebagainya, tergantung dari penelitian yang dilakukan)

 Analisis Data Burung: sama dengan survey mamalia

4) Survey Herpertofauna
Pengamatan herpertofauna dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Sampling langsung
herpetofauna meliputi pengamatan hewan yang ada di lokasi sampel. Sedangkan sampling tidak
langsung dilakukan dengan cara memperoleh informasi spesies tanpa melihat hewan itu secara
langsung, misalnya melalui jejak atau suara. Jenis satwa yang diamati/disurvey merupakan golongan
amfibian (termasuk kodok, salamander, dsb), dan reptilia (termasuk ular, kadal, kura-kura, dan
buaya).

 Metode Perangkap (Trapping)


Salah satu perlakuan pada metode perangkap adalah dengan melakukan pengambilan sampel
secara manual (hand collecting). Satwa ditangkap, ditandai, dilepaskan dan ditangkap kembali. .
Apabila satwa yang terperangkap sulit untuk diidentifikasi, satwa tersebut dapat diawetkan dan
diidentifikasi oleh lembaga penelitian seperti LIPI.
 Survey Perjumpaan Visual (Visual Encounter Survey/VES)
Survey dilakukan pada suatu area atau habitat tertentu untuk periode waktu yang ditentukan
sebelumnya untuk mencari satwa. VES digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis suatu daerah,
mengumpulkan daftar jenis dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies. Teknik ini bukan
metode yang tepat untuk menentukan kepadatan (density) karena tidak semua individu dalam
area tersebut dapat terlihat dalam survey. VES dapat dilakukan di sepanjang transek, sepanjang
sungai, sekitar kolam dan lainnya.

 Analisis Data Herpetofauna


Analisis data herpetofauna menggunakan analisis statistika dalam membantu memahami
data-data yang diperoleh. Analisis statistika yang paling sederhana adalah analisis deskripsi Indeks
yang umum digunakan adalah indeks keanekaragaman jenis (species diversity), yaitu indeks
shannon-Weaver. Indeks ini digunakan untuk mengukur karakteristik dari komunitas pada suatu
lokasi pada waktu tertentu. Parameter yang digunakan dalam melakukan analisis vegetasi dengan
mengacu kepada referensi dan tersaji pada Tabel 6 berikut ini :

Tabel 6. Parameter analisis herpetofauna yang digunakan

No Parameter Rumus Satuan Keterangan


H’ = indeks
keanekaragaman jenis
ni ni (Shannon dan Weaver)
Indeks Keragaman Jenis H′ � ln
1 N0 N0 - ni = jumlah individu dalam
satu jenis
N0 = jumlah individu
dalam satu komunitas
E = indeks kemerataan
jenis
Keanekaragaman Jenis �′ H’ = indeks Shanon-
2 Satwa �=
ln � Wienner
S = jumlah jenis

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-13


Lampiran-1

5) Survey Serangga

Identifikasi serangga adalah identifikasi jenis yang sulit untuk dilakukan, mengingat keragaman
jenis yang banyak. Namun untuk mempermudah pengidentifikasian, para Entomologits biasanya
pertama kali mengkalisifikasikan serangga kedalam ordo. Ordo utama serangga adalah diptera (lalat),
coleopteran (kumbang), hemiptera (kepik), Odonata (capung), orthoptera (belalang), hymenoptera
(semut), lepidoptera (kupu-kupu), dan isoptera (rayap).
Keberadaan serangga dapat digunakan sebagai indikator hutan primer, hutan sekunder, bekas
terbakar, rawa, savana dan sebagainya. Hal ini dikarenakan serangga dapat hidup diberbagai habitat
atau lingkungan yang berbeda.

 Metode Perangkap (Trapping)

1. Cahaya (Light Traps)


Penggunaan Light Traps diperuntukkan untuk menginventarisasi serangga yang tertarik
dengan cahaya misalnya ngengat. Hasil inventarisasi ngengat dapat dijadikan indikator umum
keragaman jenis. Lokasi dengan jumlah ngengat yang lebih banyak akan memiliki keragaman
jenis yang lebih baik.
Tempat berkumpulnya ngengat biasanya berada di bukit dan sisi sungai, pada tempat
tersebut dipasang beberapa layar putih yang digantung vertikal agar terdeteksi oleh ngengat.
Pada malam hari, lampu dan lampu ultraviolet dipasang agar ngengat tertarik oleh lembaran
putih, menghampiri dan terjebak oleh lampu ultraviolet.

2. Perangkap Lengket (Sticky Traps)


Sticky trapes adalah lebaran kertas dengan ukuran tertentu yang dilumuri oleh bahan yang
lengket. Ketika serangga menyentuh kertas ini, mereka akan terjebak sehingga pengamatan
secara reguler bisa mengamati serangga yang terperangkap.

3. Jebakan Penjatuh (Pitfal Traps)


Pitfall trapping atau jebakan penjatuh adalah salah satu metode yang banyak digunakan
untuk mengambil data serangga yang ada dipermukaan tanah atau serasah. Metode ini juga
digunakan untuk hepertofauna. Berikut tahapan metoda jebakan penjatuh :
a. Menentukan lokasi penempatan pitfall traps
b. Menempatkan Pitfall trap berderet dengan desain yang disesuaikan pada kondisi habitat.
c. Membuka jebakan pada malam hari dan mengecek pada pagi hari
4. Perangkap serangga terbang (Flight Interceptors)
Ada beberapa jenis perangkap serangga terbang. Yang biasa digunakan adalah kasa nyamuk
sepanjang 1,5 meter tinggi 35 cm yang di letakkan di atas tanah.
Di bawah kasa ini, diletakkan wadah berisi air deterjen untuk menangkap serangga. Beberapa
serangga terbang akan menabrak kasa dan terjatuh ke dalam wadah berisi air deterjen dan
tenggelam. Metode ini tentunya tidak dapat mewakili seluruh serangga di areal tersebut, akan
tetapi dapat memberikan standar yang dapat diulang

6) Survey Biota Air

Komponen biota akuatik yang diteliti terdiri dari plankton, benthos dan nekton. Pad umumnya
habitat biota akuatik berada di sungai dan situ. Dari telaahan dokumen, hasil FGD dan tinjauan
lapangan tidak terdapat data atau informasi tentang nekton yang hidup di habitat perairan di wilayah
studi kawasan KSDA Jawa Barat. Namun di TNGGP, pernah dilakukan penelitian Ichtyofauna dan
ditemukan hanya 7 jenis ikan yang termasuk kedalam 6 famili.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-14


Lampiran-1

 Penentuan lokasi sampling


Sampling dilakukan di anak sungai Citarum yang melewati kawasan konservasi (Pas) dan
termasuk ke dalam kategori Orde-3. Disetiap sungai dipilih dua sampai tiga point area yang berada di
dalam dan diluar kawasan serta ekosistem situ atau rawa.
Area sampling biota akuatik dan kondisi habitatnya di masing-masing PA disajikan dalam Tabel 7
berikut.

Tabel 7. Lokasi Area Sampling

No Kode
N0 Nama CA/TW/TB Lokasi (Nama Sungai/Desa)
Area
1 CA Burangrang CAB-1 Sungai Cihanjawar/Ds.Cihanjawar
CAB-2 Sungai Cibakong
CAB-3 Sungai Cikao
CAB-4 Sungai Cisomang/Dalam CAB
CAB-5 Sungai Cisomang/Ds. Pasirangin
2/3 CA dan TW Tangkuban CATP-1 Sungai Cikapundung Hulu/ desa
Perahu Suntenjaya
CATP-2 Sungai Cimahi/hilir Curug Cimahi
CATP-3 Sungai Cikapundung/ Hilir pertemuan
Cikapundung-Cimahi
4 CA Gunung Tilu CAGT-1 Sungai Cipadarum
CAGT-2 Sungai Cibodas
CAGT-3 Sungai Cisondari
CAGT-4 Sungai Ciwidey
CAGT-5 Sungai Cimalawindu
CAGT-6 Sungai Cikakapa Gede
CAGT-7 Sungai Cilaki
CAGT-8 Sungai Cisangkuy
5 TB Masigit-Kareumbi TBMK-1 Sungai Cimulu /Camp Wanadri
TBMK-2 Sungai Ciseumat/Camp Wanadri
TBMK-3 Sungai Citarik/Hilir pertemuan Cimulu
dan Ciseumat
6/7 CA dan TWA Kamojang TAK-1 Sungai Ciharo
TAK-2 Sungai Ciharus
TAK-3 Sungai Ciwelirang
TAK-4 Situ Cisanti
TAK-5 Sungai Cisanti
8 TN. Gunung Gede TNGGP-1 Setu Telagabiru
Pangrango TNGGP-2 Sungai Cikundul di Lokasi perkemahan
TWA Komodo-Mandalawangi
TNGGP-3 Setu Mandalawangi
TNGGP-4 Sungai Cikundul di desa Cimacan (dekat
batas kawasan)
TNGGP-5 Sungai Cibeureum dekat desa Cisaongge
(dalam kawasan
TNGGP-6 Sungai Cibeureum di kampong Galudra
(lahan perkebunan sayur, di luar
kawasan
TNGGP-7 Sungai Cibeleng dekat desa Tabrik
(dalam kawasan)
TNGGP-8 Sungai Cibeleng dekat desa Gebrong
(diluar kawasan

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-15


Lampiran-1

 Parameter Yang akan diukur


 Plankton dan benthos: Kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks kesragaman dan
indeks dominasi
 Nekton: Komposisi jenis, panjang – berat, tingkat trophic, nilai ekonomis
 Habitat : Kualitas air (Q parameters), Karakter fisik habitat (arus, lebar, dalam, subtrat,
kondisi sepadan sungai, Tutupan vegetasi di sepadan sungai

 Teknik dan Peralatan sampling dan analisa sampel

.1. K ualitas Air : Sampel air diambil di dengan water sampel. Sampel air diwadahi dengan
botol khusus, dan diberi pengawet. Sampel air dianalisa parameter kunci yang ditentukan
di laboratorium yang terakreditasi KAN

.2. P lankton dan Benthos: Sampel plankton (fitoplankton dan zooplankton) diambil
dengan cara menyaring sebanyak 30 liter air dengan plankton net no. 25 (ukuran pori).
Sampel banthos diambil dengan Eckman grab atau surbur. Sampel plankton dan benthos
diwadahi, diawet dan dianalisa di laboratorium yang terakreditasi KAN. Perhitungan
parameter dilakukan dengan metoda APHA(1989), Welch dan Lindell (1992), Odum,
1977. Indeks keanekaragaman benthos dapat digunakan sebagai indicator tingkat
pencemaran perairan/habitatnya.

.3. N ekton: Data nekton dihimpun dari hasil penelitian, wawancara dan melakukan
penamgkapan di lokasi yang telah dipilih/ditentukan. Sampel ikan yang didapat difoto dan
diidentifikasi ditempat atau diidentifikasi di laboratorium ichthyology. Parameter yang
diukur Komposisi jenis, panjang – berat, tingkat trophic, nilai ekonomi. Tahapan studi
biodiversitas biota akuatik seperti digambarkan pada Gambar 19 dibawah ini:

RAFT SOP PELAKSANAAN PEMETAAN DAN PEMBANGUNAN GIS/MIS/RS

Remote Sensing/Penginderaan Jauh

Empat komponen dasar dari sistem Penginderaan Jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi,
dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi
mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan
energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan
sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor
adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data
akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya
berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses
interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan automatic dengan bantuan computer dan
perangkat lunak pengolah citra. Komponen penginderaan jauh dapat dilIhat pada Gambar 1 dibawah
ini:

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-16


Lampiran-1

Gambar 3. Komponen Penginderaan jauh

 Bahan dan Peralatan

a. Bahan
1. Citra Quick Bird resolusi 0.64 m dengan waktu temporal thn 2012 dan 2009 yang ada di
wilayah 8 lokasi TA dan daerah penyangga
2. Peta batas Administrasi dan peta RBI
3. Kertas A3

b. Peralatan
1. Arcgis 10, Global Mapper, Komputer Desktop 4 buah (yang di gunakan operator GIS), GPS
untuk survey yang di gunakan oleh TA dan surveyor dalam pelaksanan survey.
2. Printer untuk ukuran kertas A3

c. Personal Use
Peralatan Safety untuk survey seperti sepatu boot, jas hujan. P3K

 Data Penginderaan Jauh

Data penginderaan jauh pada umumnya berbentuk data digital yang merekam unit terkecil di
dalam sistim perekam data. Unit terkecil ini dikenal dangan nama pixel (picture element) yang berupa
koordinat 3 dimensi (x,y,z). Koordinat x,y menunjukkan lokasi unit tersebut dalam koordinat geografi
dan y menunjukkan nilai intensitas pantul dari unit dalam tiap selang panjang gelombang yang
dipakai. Nilai intensitas pantul berkisar antara 0 – 255 dimana 0 merupakan intensitas terrendah
(hitam) dan 255 intensitas tertinggi (putih). Ukuran pixel berbeda tergantung pada sistim yang
dipakai, menunjukkan ketajaman/ketelitian dari data penginderaan jauh, atau yang dikenal dengan
resolusi spasial. Makin besar nilai resolusi spasial suatu data makin kurang detail data tersebut
dihasilkan, sebaliknya makin kecil nilai resolusi spasial makin detail data tersebut dihasilkan seperti
dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 berikut ini:

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-17


Lampiran-1

Gambar 3. Citra dengan Resolusi Spasial yang Lebih Besar

Gambar 4. Citra dengan Resolusi Spasial Lebih Detail

Selain resolusi spasial data penginderaan jauh mengenal suatu istilah lain yaitu resolusi spektral.
Data penginderaan jauh yang menggunakan satu “band” pada sensornya hanya akan memberikan
satu data intensitas pantul pada tiap pixel. Apabila sensor menggunakan 5 band maka data pada tiap
pixel akan menghasilkan 5 nilai intensitas yang berbeda. Dengan menggunakan banyak band
(multiband) maka pemisahan suatu obyek dapat dilakukan lebih akurat berdasarkan nilai intensitas
yang khas dari masing-masing band yang dipakai. Ilustrasi resolusi spectral dapat dilihat pada Gambar
5 dibawah ini :

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-18


Lampiran-1

7 Gambar 5. Resolusi Spektral

Untuk keperluan analisis dan interpretasi dapat dilakukan dengan dua cara: (1). Pemrosesan dan
analisis digital dan (2). Analisis dan interpretasi visual. Kedua metoda ini mempunyai keunggulan dan
kekurangan, seyogyanya kedua metoda dipergunakan bersama-sama untuk saling melengkapi.
Pemrosesan digital berfungsi untuk membaca data, menampilkan data, memodifikasi dan memproses,
ekstraksi data secara otomatik, menyimpan, mendesain format peta dan mencetak. Sedangkan
analisis dan interpretasi visual dipergunakan apabila pemrosesan data secara digital tidak dapat
dilakukan dan kurang berfungsi baik. Pemrosesan secara digital lain sangat bervariasi seperti misalnya
deteksi tepi (edge enhancements), filtering, histogram transformations, band ratioing, Principle
Component Analysis (PCA), Classifications, penggunaan formula dan sebagainya. Disamping
pemrosesan digital suatu metoda lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah pemrosesan,
interpretasi dan analisis secara visual. Cara seperti ini dilakukan seperti halnya diterapkan dalam
interpretasi potret udara konvensional yang telah lama dilakukan sebelum era citra satelit
diperkenalkan.
Parameter interpretasi seperti pengenalan obyek berdasarkan bentuk, ukuran, pola dan tekstur
topografi, struktur, rona warna dan sebagainya dipergunakan dalam mengenal dan membedakan
obyek / benda antara satu dengan yang lain. Dalam bidang geologi interpretasi visual memegang
peran sangat penting karena obyek-oyek geologi sukar sekali dipisahkan melalui pemrosesan secara
digital.
Penggunaan data penginderaan jauh dalam bidang kebumian pada dasarnya adalah mengenal
dan memetakan obyek dan parameter kebumian yang spesifik, menafsirkan proses pembentukannya
dan menafsirkan kaitannya dengan aspek lain.
Untuk melakukan hal di atas dua metoda yang umum dilakukan melalui metoda visual/manual
yaitu mengenal obyek obyek geomorfologi seperti perbukitan, dataran, gunungapi, delta dan gejala
geologi spesifik seperti perbedaan jenis batuan, bidang perlapisan, struktur sesar. Pada tabel dibawah

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-19


Lampiran-1

diberikan unsur unsur dasar penafsiran citra. Analisa geomorfologi biasanya dilakukan berdasarkan
metoda analisa visual. Analisa visual untuk geomorfologi didasarkan atas unsur unsur dasar dari citra.
Pengetahuan tentang daerah yang di analisa menjadi faktor yang sangat penting untuk mencapai
hasil yang maksimal. Sebagai contoh tekstur suatu obyek juga akan berguna untuk membedakan
obyek obyek yang mungkin terlihat sama jika penentuan hanya didasarkan pada satu kriteria saja,
yaitu tonanya saja. (karena air dan tutupan lahan kemungkinan bisa mempunyai nilai kecerahan
(brightness) yang sama, akan tetapi teksturnya sangat berbeda.
Asosiasi diantara beberapa kriteria yang terdapat dalam citra dapat menjadi alat yang sangat
berguna dalam analisa citra. Dengan demikian, analisa citra secara visual dengan menerapkan kriteria
dari berbagai sifat dasar yang terdapat pada citra akan menjadi kunci dalam keberhasilan penafsiran.
Cara kedua dilakukan melalui ekstraksi otomatis dari obyek dengan memakai cara dan formula
tertentu dengan menggunakan software yang ada (digital processings). Kedua cara di atas
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga pemilihan penggunaan kedua metoda tersebut perlu
dipertimbangkan secara seksama sesuai dengan keperluaannya. Dalam bidang kebumian, geologi
pada khususnya, interpretasi dan analisis secara visual menempati bagian paling utama dalam
mendapatkan informasi geologi dibandingkan metoda pemrosesan digital misalnya automatic
extraction. Unsur-unsur penafsiran citra quick bird disajikan pada Tabel 5 dibawah ini:

Tabel 5. Unsur-unsur Penafsiran Citra Quick Bird

Unsur –Unsur Penafiran Citra Quick Bird


Unsur Dasar Tona Hitam dan Putih
Warna
Stereoscopic Parallax
Sebaran spasial tona dan warna Ukuran (Size)
Bentuk (Shape)
Tekstur (Texture)
Pola (Pattern)
Berdasarkan Analisa Unsur Unsur Utama Tinggi (Height)
Bayangan (Shadow)
Unsur Unsur Kontektuals Lokasi (Site)
Asosiasi (Association)

Meskipun demikian penerapan pemrosesan digital, dalam batas tertentu, sangat membantu
kelancaran analisis visual. Data kehutanan dan lingkungan yang diberikan citra inderaja dapat bersifat
tidak jelas, dapat pula berupa data baru yang tidak dapat diperoleh dari survey konvensional. Oleh
sebab itu penggunaan data inderaja seyogyanya dipakai sebagai pelengkap, penunjang bentuk survey
yang lazim dipakai. Data inderaja sebagai data sementara (tentatif) yang perlu divalidasi dan
dikonfirmasi lebih lanjut di lapangan.

1. Tahapan Kegiatan
a. Menentukan batas dari 8 wilayah Kerja (studio dan lapangan) ;
b. Mengumpulkan data sekunder citra satelit di BBKSDA Jawa Barat, BBTNGGP dan instansi
terkait
c. Melakukan review data citra di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP dan instansi di
kementerian kehutanan (Studio);
d. Melakukan Pemesanan Citra di wilayah kerja dari penyedia citra Resolusi Tinggi;
e. Membuat Pembagian wilayah untuk pekerjaa survey lapangan di 8 wilayah kerja (studio);
f. Melakukan Ground Control Point (GCP) dan ground Check untuk koreksi citra (lapangan);
g. Melakukan Survey tutupan lahan berdasarkan (lapangan);
h. Melakukan pembuatan interpretasi tutupan lahan dengan format vector (studio);
i. Melakukan koordinasi dengan TA IT untuk penyimpanan data spasial;

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-20


Lampiran-1

j. Pembuatan basis data spasial untuk tutupan lahan dengan masukan dari semua komponen
(studio);
k. Pelatihan Image Processing Image (2 hari) .

GIS (Geographic Information System)

 Metode
1. Standarisasi Software dan Hardware
Langkah awal dari penyusunan peta berbasis GIS ini adalah melakukan identifikasi sistim
software/hardware yang digunakan serta batas area kerja (area of interest= AOI). Hal ini sangat
penting untuk menjamin kompatibilitas data yang disusun dengan spesifikasi sistim yang
digunakan di Kementerian Kehutanan dalam hal ini Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina
Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. BBKSDA Jawa
Barat dan TNGGP . Dalam hal ini software peta yang akan digunakan adalah ArcGIS Dekstop ver
10.1. dan untuk packaging market menggunakan ArcGIS Server 10.1 sedangkan untuk hardware
minimum requirment processor intel i5, HD 500 GB, memory 4 GB, nvidia geforce 2 gb.
2. Penyiapan Peta Dasar (baseline map) untuk Peta Tematik habitat (habitat tematic map)

Pada dasarnya data peta yang akan digunakan menggunakan (dua) sekala untuk skala
regional menggunakan peta dasar RBI dari Badan Informasi Geospasial skala 1:25.000
sedangkan untuk peta detail menggunakan hasil objektifitas dari Citra Quickbird skala 1:25.000.
Pada pembuatan baseline akan disiapkan adalah peta dasar pada wilayah kajian dengan tahap
sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi Feature Geografi dan Atribut


Identifikasi feature geografi dan atribut sangat penting untuk dilakukan terlebih dahulu
berdasarkan pada kriteria analisis dan peta yang akan dihasilkan seperti pada Tabel 6 dibawah
ini:
Tabel 6. Feature Geografi dan Atribut

Feature geografi Kelas Feature Atribut

Batas Adminitrasi Poligon Kode Adm

Jalan Garis Kode Jalan

b. Pengorganisasian Layer
Setelah identifikasi feature geografi dan atribut maka langkah selanjutnya adalah
mengorganisasikan feature geografi kedalam layer data, Sejumlah faktor mempengaruhi
organisasi layer pada peta dan faktor ini berbeda untuk setiap peta tematik.

Dua pertimbangan yang sangat umum adalah pengorganisasian layer menurut jenis feature
(titik, garis atau poligon ) dan pengelompokan tematik feature. Feature dapat diorganisasi secara
tematik menurut tema yang akan disajikan. Sebagai contoh jalan raya dan jalan kereta api
dipisahkan pada layer yang berbeda, walaupun keduanya adalah feature garis namun
mempunyai atribut yang berbeda.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-21


Lampiran-1

c. Mengidentifikasikan Coverage Yang Diautomasikan


Akan lebih mudah apabila data dasar sudah tersedia dalam masing-masing layer yang
bersangsankutan, dan digitasi dilakukan perlayer sehingga lebih muda dalam perorganisasian per
layer.

d. Identifikasi Atribut Atau Pengkode-An Atribut


Atribut merupakan kode yang menunjukan spesifikasi feature yang akan ditampilkan.
Informasi atribut disimpan dalam file dan base tabuler yang disebut tabel atribut feature. Untuk
setiap feature geografi ( titik, garis atau poligon ) mempunyai satu masukan, atau record pada
file dan untuk satu record mempunyai sejumlah informasi

3. Kompilasi Data
Kompilasi dimaksud untuk melakukan pengumpulan dan penyesuaian data/peta untuk
memperoleh keragaman sistim dan georefrensinya

 Bahan dan Peralatan

1. Bahan
Bahan yang digunakan yakni peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) sekala 1:25.000 dan hasil digitasi
Citraquickbird serta data-data hasil tim biodiversity
2. Peralatan
Peralatan yang digunakan yakni GPS, Komputer, Laptop, Printer serta sofware ArcGIS Dekstop
10.1
3. Personal Use
Personal yakni Tenaga surveyor terdiri dari tenaga pendamping dari UPT maupun tenaga lokal
(masyarakat) dan surveyor. Konsultasi tentang standar simbolisasi dengan PHKA Departemen
Kehutanan RI.

 Pengolahan Data
1. Digitasi
Proses digitasi melalui tahapan sebagai berikut :

a. Menentukan prosedur kerja


Penentuan prosedur kerja dimaksud untuk efisiensi waktu digitasi agar tidak terlalu
membuang waktu pelaksanaan. Prosedur disini dimaksud menentukan urutan pelaksanaan
digitasi, misalnya semua arc di digitasi terlebih dahulu sebelum feature titik.
Untuk pelaksanaan pengawasan akan dibuat suatu urutan feature dan lembar peta yang
didigit sehingga dapat dengan mudah ditelusuri bagian yang telah di digitasi. Bentuk check form
ini berupa formulir untuk memonitor status peta yang telah terdigit.
b. Menentukan titik registrasi (rubber sitting)
Titik registrasi ini harus berupa titik yang diketahui koordinatnya ( koordinat bumi) biasanya
diambil pada sisi tepi muka peta. Agar memudahkan, setiap titik diberi nomor yang unigue (unik)
dan biasanya menurut lembar peta.
2. Pelaksanaan Digitasi
Sebelum pelaksanaan digitasi dimulai, terlebih dahulu ditentukan besaran node snapping,
yaitu dengan memasukan angka pilihan melalui keyboard. Kemampuan ini sangat membantu
untuk menjamin bahwa arc dihubungkan dengan benar ke arc yang berdekatan.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-22


Lampiran-1

Parameter yang akan dikaliberasi terlebih dahulu adalah fuzzy tolerance dan dangle length
sedangkan weed tolerance harus ditentukan terlebih dahulu. Pelaksanaan digitasi akan dilakukan
dengan metode digit on screen yaitu dengan digitasi pada peta yang telah di scan dan
dimasukkan kedalam software ARCgis.

3. Editing
Langkah yang ditempuh dalam editing adalah :
a. Menentukan coverage yang berisi feature yang akan di edit

Feature yang akan di edit dipilih terlebih dahulu yaitu arc, node atau label. Setelah ditentukan,
jenis feature lainnya tidak dapat di edit sampai diberikan perintah editfeature dengan jenis
feature yang baru.
Edit pada dasarnya adalah proses menghapus, menambah, mengkopi atau memindahkan
feature tertentu. Agar dapat memberikan gambaran yang lebih baik, sebelum pelaksanaan edit,
lebih baik coverage di zoom-in.
b. Melakukan editing
 menambah kekurangan digitasi arc
 mengkoreksi over shoot
 mengkoreksi undershoot
 memperbaiki poligon terbuka
 mengubah user ID yang salah

4. Labeling Dan Anotasi


Kegiatan ini adalah memberikan label dan identifikasi poligon sesuai dengan tema peta, serta
melengkapi nama-nama sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan sehingga penyajiannya
sesuai dengan RPP Pengganti PP 10 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Peta.

5. Pencetakan
Tahap ini merupakan tahap pembuatan peta dari data yang telah diolah dan dilukiskan atau
dicetak pada media hardcopy.
Dalam tahap ini dapat digunakan cara manual dengan menggunakan alat-alat yang
fungsional, namun cara ini sangat membutuhkan perhitungan dan ketelitian yang tinggi agar
didapat hasil yang baik.
Tahap ini akan lebih baik jika menggunakan teknik digital melalui komputer. Pencetakan peta
bisa menggunakan berbagai macam aplikasiapplikasi pembuatan peta yang mendukung,
misalnya ARC View, ARC Info, AutoCAD Map, Map Info, dan software lain.
Setelah peta tergambar pada komputer, kemudian data yang telah disimbolisasi dalam bentuk
digital dimasukkan dalam peta yang telah digambar pada komputer, pemberian informasi tepi,
dan kemudian dilakukan proses pencetakan peta dengan menggunakan printer wide format
(format lebar/plotter) atau printer ukuran biasa (A4, A3).
Bagian paling penting pada tahap ini adalah standarisasi simbol obyek berdasarkan peraturan
perundang-undang yang berlaku. Konsultasi dengan pihak PHKA (Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam) Departemen Kehutanan Republik Indonesaia menyangkut aturan pewarnaan
dan simbolisasi obyek adalah tahapan terpenting yang harus dilakukan.

 Tahapan Kegiatan

1) Membangun Sistem Informasi Geografis (SIG)


Kegiatan membangun SIG adalah menambah atribut atau table pada file peta digital, untuk
setiap lembar peta dengan menambah “field Database” sesuai dengan keperluan sehingga SIG

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-23


Lampiran-1

tersebut dapat dijadikan sebagai peta tematik yang sesuai dengan keperluan Direktorat Kawasan
Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam .
Dalam membangun ada beberapa tahapan model database Geografi Informatiaon Sistem yakni :

 Penentuan Entitas
Entitas didefinisikan sebagai bentuk geografis atau sebuah konsep yang ada dan dapat
dibedakan dari yang lainnya (unik) di dunia nyata. Suatu entitas terdiri dari beberapa atribut.

 Model Logikal
Model logikal ini menjelaskan hubungan antar entitas dan unit kerja yang dipakai.
Hubungan entitas (entity relationship) untuk menghasilkan keterkaitan antar semua entitas
seperti halnya keadaan di dunia nyata. Hubungan entitas diatur dengan aturan bisnis
(enterprise rule) sehingga hubungan antara satu entitas dengan yang lainnva dan untuk
seluruh entitas mempunyai ketegasan keterkaitan. Penegasan tersebut berguna untuk
menyatakan obligator (harus ada) atau non obligator (tidak harus ada).

 Model Fisikal
Model fiskal memperlihatkan tabel kerangka dengan atribut yang sesuai. Tabel kerangka
(skeleton tables) adalah alat bantu untuk menentukan kunci primer (primery key) dan kunci
tamu (foreign key) dari setiap entitas. Semua entitas dihubungkan dengan kunci primer dan
kunci tamu yang bersifat unik. Tahapan kompilasi data GIS disajikan pada Gambar 6 dibawah
ini:

Overlay Peta -> Format


Data dan Koordinator
yang sama

Administrative, Jalan,
OVERLAY Sungai, Garis Pantai,
Danau, Titik Tinggi,
Perkampungan dan
Permukiman

Data Kawasan Hutan dan


SPATIAL DATABASE Land Cover

Data Batas Wilayah Kajian


Peta Tata Batas

Peta Tematik Lainnya

FORMAT PENYAJIAN PETA BLAD


SKALA 1:100.000 DAN FORMAT
PLANO SKALA MENYESUAIKAN

Gambar 6. Tahap Kompilasi Data GIS

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-24


Lampiran-1

2) Tahap Internal untuk habitat (habitat mapping) dan inventarisasi keanekaragaman hayati
(biodiversity inventory).
Tahap internal merupakan tahap dimana dari rancangan basis data dalam model data ER
diimplementasikan ke dalam tabel-tabel terstruktur pada perangkat lunak basis data
manajemen sistem (DBMS) yang diinginkan dan merupakan hasil dari pengumpulan data
masing-masing item di komponen satu nantinya akan berupa peta tematik (tematic map) .
Perangkat lunak yang dipilih harus dapat mengelola data spasial dan data atribut yang
mencangkup pemasukan data, editing data, updating data, pemeliharaan data serta
pemanggilan data dengan query. Query dapat didefinisikan sebagai suatu pertanyaan dimana
informasi yang terkandung di dalam basis data dapat menjawabnya.

3) Sistem Informasi Geografi sebagai pendukung data MIS


Data yang yang akan dimasukkan dalam basis data MIS adalah data spasial yang telah di
konvert ke dalam jpeg atau bmp yang nantinya akan mendukung sistem informasi
manajemen yang dibangun.

4) Tahapan penyusunan sistem informasi geografis icwrmp


Aplikasi basis data dikembangkan untuk menjadi antarmuka (interface) yang
memudahkan pengguna pada berbagai tingkat dalam proses pemasukan data (data entry),
pencarian (search) dan penanyaan (query) dan pembuatan laporan (report) dalam berbagai
bentuk keluaran (tabel; gratik, peta). Alur penyusunan GIS disajikan pada Gambar 7 dibawah
ini:

Data PAT.dbf
(Hasil Overlay)

Ekspor / Import

Tidak Ditransfer

Mau
Transfer
Ditransfer

Proses
Import
Data PENCARIAN
Dbf
Eksport

1. Pencarian
Database
2. Query QUERY
History
3. Pelaporan

Import

PELAPORAN

Gambar 7. Alur Penyusunan GIS ICWRMIP

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-25


Lampiran-1

Aplikasi dikemas kedalam bentuk yang mudah bagi pengguna (user friendly), informatif dan
menarik. Penyusunan desain aplikasi terlebih dahulu melalui konsultasi dengan tim teknis dan
dilaporkan perkembangannya paling tidak satu kali untuk mendapatkan masukan dan koreksi.
Aplikasi diujicoba dengan memasukkan data sehingga terbentuk basis data yang utuh selanjutnya
mencoba semua fasilitas yang disediakan oleh aplikasi yang telah dikembangkan. .

Seiring dengan pembuatan aplikasi disusun pula manual aplikasi, yang berisi petunjuk
pengoperasian aplikasi dan form/tabel database yang digunakan, sehingga diharapkan user tidak
mengalami kesulitan dalam mempelajari, memahami dan mengoperasikan aplikasi tersebut.

Keseluruhan rangkaian tahap pelaksanaan gis-cwmbc tertuang pada bagan alir tahap pengolahan
dan analisa data seperti gambar 8. berikut. Ini:

Laporan
Pendahuluan Hasil
Data yang tersedia
Pembahasan
di pusat dan
konsultan

Pengambilan data Digitasi dan Kompilasi dan


sekunder di daerah Editasi peta Desain layout

Diskusi Intensif
Desain DataBase
Histtorical

Analisis Data Pencetakan draft


peta hasil

Pembuatan
Aplikasi DataBase
Histtorical

Penyusunan
Manual Aplikasi

Gambar 8. Bagan Alir Tahap Pengolahan dan Analisa Data

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN (SIM )

Salah satu hasil utama dalam pekerjaan manajemen konservasi dan program konservasi
keanekaragaman hayati adalah terbentuknya Sistem Informasi Manajemen (SIM), dari pemahaman

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-26


Lampiran-1

terhadap keinginan user tersirat bahwa, sistem informasi manajemen harus dapat memberikan value
added bagi mereka di masa sekarang dan mendatang.

Dalam proses pembuatan SIM tersebut membutuhkan kejelasan mengenai, format data, proses data,
serta informasi yang dihasilkan, dan seluruh deliverables yang dihasilkan harus di jelaskan
keterkaitannya dengan deliverables yang dihasilkan oleh Tenaga ahli lainnya, dengan demikian akan
terbentuk SIM yang tepat guna. (Lihat Gambar 9 dan Tabel 10, 11)

Gambar 9. Alur Pembuatan SIM di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-27


Lampiran-1

Tabel 7. Tenaga Ahli dan Deliverables

Nama Lampiran
Grup Deliverables Korelasi dengan
Tenaga berkas
komponen (data/analisis/informasi) deliverables TA lain
Ahli (berikan
(berikan kode)
kode)

Tabel 8. Identifikasi Informasi (Deskripsi dari Setiap Deliverables di Tabel Sebelumnya)

Kode Deksripsi data Deksripsi analisis Deskripsi informasi


deliverables (input) (proses) (output)

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-28


Attachment-2

Attachement 2 : Resume FGD dan Review Existing Program di BBKSDA Jawa


Barat dan BBTNGGP

Resum e Focus Group Discussion (FGD) dI Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango - Jum’at, 8 Februari 2013

1. Eksplorasi Permasalahan

Kawasan konservasi yang ada di BBTNGGP menurut asalnya dapat dibagi dua kawasan, yaitu:
Kawasan yang asli (± 15.000 Ha) dan Kawasan hasil penanaman pohon komersial (dulunya kawasan
perhutani seluas ± 7.000 Ha). Sistem Restorasi yang akan di laksanakan sebaiknya hasil
pengembangan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak TNGGP, diantaranya:
program adopsi pohon dan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Makna restorasi yang lebih luas perlu di sampaikan pada stekholder maupun masyarakat sekitar
kawasan, sehingga kedepannya dapat dimengerti oleh semua pihak terutama para petugas dari
BBTNGGP yang di lapangan. Restorasi juga harus melihat dari sudut pengembangan Fauna, sehingga
dapat menunjang penyebaran fauna yang ada di daerah asal. Model Restorasi dapat dilaksanakan
pada berbagai kerusakan kawasan, dan dengan konsep yang sederhana dikembangkan oleh pihak
manajemen BBTNGGP.

Tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap kawasan, sehingga sampai sekarang masih
adanya gangguan terhadap kawasan, dimungkinkan untuk Restorasi di laksanakan pada kawasan
peralihan (dulunya kawasan Perhutani) dimana tanamannya merupakan tanaman komersial yang
nantinya akan diubah menjadi tanaman tanaman asli/lokal (endemik)

2. Pokok-Pokok Hasil FGD Di TNGGP


1) Kegiatan restorasi berbasis masyarakat harus ada kordinasi dengan pihak stekholder/aparat
setempat (Desa, Camat dan intansi terkait) sehingga dapat berkelanjutan dan saling menjaga.
2) Pelaksanaan Restorasi akan dikembangkan dari hasil pengembangan program-program yang
terdahulu, dilihat dari: a).Ketepatan teknis, b). Ketepatan sosek

3) Pemilihan area yang akan di Restorasi di kawasan BBTNGGP di forum FGD belum ada kesepakan
yang tetap, karena: a). Kawasan yang rusak di BBTNGGP hampir 99% sudah dilaksanakan
program rehabilitasi antara lain: RHL, Adopsi pohon, Gerhan, b) Restorasi jangan samapai terjadi
tumpang tindih kegiatan dan pendanaan.
4) Kawasan konservasi di Desa Sukatani dalam forum FGD banyak di bicarakan karena terjadi
perambahan hutan untuk pertanian masyarakat setempat (lahan yang terbuka), faktor
penyebabnya antara lain:
a) Masyarakat Desa Sukatani, tidak punya lahan untuk pertanian --lahan mereka dijual di
bangun villa-villa dan lain-lain, sementara nilai komoditas pertanian al. cabe, cukup
mengiurkan.
b) Kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi sangat kurang, walaupun sudah ada
Per-Des (Peraturan Desa) mengenai lahan.
c) Kawasan yang termasuk pada Desa Sukatani sudah sebagian besar pernah masuk pada
program TNGGP seperti Gerhan dan RHL.

5) Jenis Fauna yang tersebar/yang ada di sekitar kawasan Sukatani yaitu: Owak Jawa, Surili, Macan
Kumbang, Macan Tutul.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-29


Attachment-2

6) Dari hasil diskusi ada beberapa masukan dari pihak BBTNGP, untuk pelaksanaan Restorasi
dilakukan di kawasan:
a) Kawasan asli yang Homogen (Mahoni)
b) Di bawah Kawasan perluasan yang sekarang berbenttuk hutan klimak tapi jenis komersial
(Pinus, damar)
c) Diarea kawasan kanan kiri sungai (KAKISU) yang termasuk DAS Citarum
d) Di kawasan yang sekarang di kuasai penggarap (petani)
e) Lahan perluasan yang sekarng terbuka tetapi 99% sudah terkena program rehabilitasi
7) Pola Restorasi yang di laksanakan bersama masyarakat (kolaborasi), menggunakan kriteria:
a) Harus berkelajutan
b) Singkron/sesuai dengan piak UPT
c) Dirancang untuk 5 tahun kedepan sebagai acuanpihak manajemen BBTNGP
d) Sistem monitoring dan pelaporan dibuat panduan jelas jika berhasil atau tidak berhasil diukur
dari apa.

8) Data yang dihasilkan dari Forum FGD selain dari lapangan berbentuk juga secara administrasi
mengenai Juknis-juknis Restorasi, adopsi pohon, RHL

Setelah melalui tahapan-tahapan: i) Koordinasi/Konsultasi, ii) FGD dengan staf BB TNGGP, iii)
Analisis spasial, dan iv) Orientasi Lapangan, prioritas Lokasi PPR/RL di kawasan konservasi
BBTNGGP adalah sebagai berikut:

 Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi Bekas Perambahan (10 Ha)


Nama Desa : Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
Justifikasi :

a. Letak Lokasi : Blok Romusa, Resort Gunung. Putri, ketinggian


±1.600 m dpl.
b. Fungsi Restorasi : Rehabilitasi Kawasan hutan bekas penggarapan
masyarakat
c. Kerusakan : Terdapat perambahan/penggarapan aktif oleh
penggarap dengan tanaman jenis sayur-sayuran
(wortel, brokoli,bawang daun)
d. Habitat kawasan : Jenis aves, mammalia, reptil
e. Flora endemik : Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopis
argentea), Rasamala (Altingia excelsa)
f. Manfaat restorasi : Pemulihan kawasan hutan sebagai peserta eks
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Perum Perhutani
g. Kelembagaan : Sudah ada Kelompok Tani Hutan (KTH) Masyarakat
h. Sejarah penggarapan : Sudah berlangsung lama sejak dikelola oleh
Perum Perhutani
i. Program yang telah ada : Persiapan untuk program MDK TNGGP tahun 2013
j. Pemberdayaan yg telah : Dilibatkan dalam program RHL/RHLP, pelatihan
masyarakat, bantuan ternak dan jamur ada
k. Prioritas program : Termasuk sarasan TNGGP untuk restorasi kawasan
dan program MDK (2013)
l. MDK yang diusulkan : MDK Berbasis non lahan
m Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat oleh alat Global Positioning System
(GPS)

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-30


Attachment-2

 Prioritas Lokasi Pilot Restorasi Gangguan Tanaman IAS(10ha)


Nama Desa : Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
Justifikasi :
a. Letak Lokasi : Blok Telaga Saat, Resort Mandalawangi, ketinggian
lokasi ±1.400 m dpl.
b. Fungsi Restorasi : Meng”eradikasi” jenis tanaman pengganggu “IAS”
(invasive alien species)
c. Kerusakan : IAS al. jenis: Konyal, Pisang hutan, Babakoan,
Kirinyuh dapat menggangu hingga mematikan
tanaman jenis endemik
d. Habitat kawasan : Kera, OwaJawa, Babi hutan, jenis aves
e. Flora endemik : Jamuju, Rasamala, Puspa, Saninten
f. Manfaat restorasi : Pemulihan ekosistem hutan alam
g. Kelembagaan : LSM Lokal Masyarakat
h. Informasi : IAS menurut cerita telah mulai berkembang sejak
lama, persebaran biji oleh satwa, pertumbuhannya
sangat cepat menekan tanaman endemik (melilit,
menutupi tajuk).
i. Program yang telah ada : Kegiatan eradikasi IAS oleh TNGGP bekerjasama
dengan masyarakat/LSM Lokal dan Penyusunan
Renstra Pengelolaan IAS di TNGGP Tahun 2012-2016
j. Prioritas program : Membuat kajian dan model eradikasi IAS
k. Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat oleh alatGlobal Positioning System
(GPS)

 Prioritas Lokasi Pilot Restorasi Re-ekosistem Hutan Alam (10ha)


Nama Desa : Ciloto, Kecamatan Ciloto Kabupaten Cianjur
Justifikasi :
a. Letak Lokasi : Blok Pasir Sumbul, Resort Mandalawangi, ketinggian
lokasi ±1.300 m dpl
b Fungsi Restorasi : Mengembalikan ekosistem hutan monokultur jenis
Pinus merkusii dan Agathis alba, menjadi ekosistem
rimba dengan jenis Jamuju, Puspa, Saninten,
Rasamala.
c. Kerusakan : Tumbuhan endemik tidak dapat berkembang dilokasi
monokultur
d. Habitat kawasan : Kera, OwaJawa, Babi Hutan, Macan tutul
e. Flora endemik : Jamuju, Rasamala, Puspa, Saninten
f. Manfaat restorasi : Pemulihan ekosistem hutan alam
g. Informasi : Hutan pinus eks Perum Perhutani telah disadap
berapa kali dengan sistem kowakan, sehingga
rentan roboh,tanaman pinus telah berumur
tua/masak tebang.
h. Program yang telah ada : RHL 2010
i. Prioritas program : Membuat kajian dan demplot perubahan
ekosistem monokultur menjadi ekosistem hutan
alam heterogen dengan jenis endemik Jamuju,
Rasamala, Puspa, Saninten.
j. Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat oleh alatGlobal Positioning System
(GPS)

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-31


Attachment-2

Resum e FGD Di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Barat -Sabtu, 9
Februari 2013

1. Eksplorasi Permasalahan

(1) CA Burangrang
Kawasan CA Burangrang terjadi perambahan kawasan (Blok Ngagrak/Cikalong Wetan) sekitar 44
KK. Disekitar Blok Cikawari/Desa Pasirwangi, kerusakan hutan sekitar 200 ha dan di Blok Ciwedi
sekitar 34 ha. Masyarakat perambah kawasan umumnya petani penggarap, dan umumnya para
perambah adalah masyarakat yang tidak masuk dalam KTH program PHBM Perum Perhutani.
Kebutuhan kayu bakar tinggi, karena penggunaan gas LPJ belum sampai ke desa, sehingga
masyarakat mengambil kayu bakar dari kawasan CA Burangrang Kegiatan RHL telah dilakukan
sejak tahun 2007. Menjadi sasaran program “penurunan perambah” BBKSDA tahun 2013

(2) TB Masigit Kareumbi


Lahan terbuka akibat kebakaran, bekas penebangan PT PMS, pohon tumbang akibat penyadapan
berlebihan (utk jenis Pinus) lebih dari 9 “koakan” sadap, kerusakan akibat pengambilan kayu
bakar masyarakat sekitar. Telah dilakukan RHL sejak lama al. dengan penanaman jenis Pinus
(80% dari luas TB MK), dan Puspa. Di TB MK tidak ada perambahan hutan.

(3) CA Gunung Tilu


Perambahan kawasan hutan terutama yang berada diperbatasan dengan desa, yang semula
luasnnya kecil dan kemudian meluas sekitar 10 ha. Kondisi masyarakat petani, pendidikan rendah,
kesempatan kerja rendah, penghasilan rendah. Masyarakat umumnya menanam teh + palawija.
Luas perambahan diperkirakan 15 ha, dengan tanaman kopi. Beberapa Desa al. Sukamaju, Warna
sari, dan sekitarnya. Perambahan hutan CA Gn.Tilu setelah adanya rekonstruksi tata batas CA Gn
Tilu. Para perambah umumnya menaman Cabe “bendot” dengan luasan < 1 ha per perambah.
Sudah ada upaya bekerja sama dg. KaDes, TNI dan Masyarakat. Pada tahun 2013 perambahan
sekitar 11 hektar.

(4) Informasi Luas Lahan Kritis


Upaya rehabilitasi lahan (RHL) telah dilakukan sejak tahun 2003-2007 melalui APBN dari BPDAS
Citarum-Ciliwung. Kondisi lahan kritis di 3 lokasi yaitu: CA Burangrang: 59 ha (kritis), CA Gn Tilu:
42,3 ha (sangat kritis), TB M.Kareumbi: 602 ha (sangat kritis) dan 619 ha (kritis)

2. Pemilihan Calon Desa & Lokasi Pilot Proyek Restorasi

1) Taman Buru Masigit Kareumbi:


Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)
Nama Desa : Tanjung Wangi, Kec.: Cicalengka, Kab.Bandung
Justifikasi :
a) Letak : Blok Kawasan Cinini (areal bekas kebakaran)
Resort BBKSDA Masigit Kareumbi, ketinggian lokasi ±1.200
m dpl.
b) Kawasan pilot proyek : Masuk dalam wilayah DAS Citarum
c) Sasaran Restorasi : Bekas kebakaran, pencurian kayu bakar dan kayu
pertukangan, diperkirakan sekitar 50% rusak.
d) Jenis flora endemik : Hutan alam rasamala, podocarpus, kareumbi, saninten,dll
e) Kelembagaan Masyarakat : Sudah ada KTH persemaian Jabon

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-32


Attachment-2

f) Kolaborasi Managemen yang telah ada : Koperasi Wanadri (untuk Wisata Alam) dan
pengembangan model “Wali pohon” untuk rehabilitasi
hutan
g) Jenis satwa buru : Babi hutan
h) Aksesibilitas : Infrastruktur cukup memadai
i) Pendekatan restorasi : Rehabilitasi lahan dan Enrichment planting
j) Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat dengan GPS
k) MDK yg diusulkan : Berbasis Usaha Kehutanan Tanaman Produktif Cepat
Tumbuh/MPTS
l) Model RBM : Diusulkan menjadi prioritas model RBM dengan Kantor
Kepala Resort KSDA Masigit Kareumbi dipindahkan
berada di lokasi kawasan TB Masigit Kareumbi.

2) Cagar Alam Burangrang:

Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)


Nama Desa : Cihanjawar, Kec. : Bojong, Kab.: Purwakarta
Justifikasi :
a) Letak Blok : Cihanjawar, Resort BBKSDA Burangrang, berbatasan
dengan desa Cihanjawar.
b) Fungsi restorasi : Perlindungan bagian hulu S. Cihanjawar
c) Pemanfaatan jasa hutan : Terdapat banyak sumber mata air untuk memenuhi
kebutuhan air bersih desa sekitar
d) Habitat kawasan : Satwa dilindungi al. kancil, mencek, lutung, dll
e) Jenis Flora khas : Podocarpus sp, rasamala, anggrek, dll
f) Kawasan rusak : Kondisi kawasan hutan relatif masih baik, terdapat
perambahan hutan sekitar 5 hektar (10-14 perambah)
g) Kelembagaan Masyarakat : Telah terbentuk KTH bidang penanaman
h) Masyarakat perambah : Petani umumnya sebagai penggarap
i) Program yg telah ada : Pengembangan kompos, padi/beras merah
j) Aksesibilitas : Infrastruktur cukup baik & terjangkau
k) Pendekatan restorasi : ANR+Enrichment planting
l) Peluang Ekonomi : Kerajinan sapu “songket”, gula aren, madu, lokasi target
desa “outbond”, camping dan pelatihan pecinta
lingkungan/pendaki gunung/pertanian.
m) MDK yang diusulkan : Prioritas MDK Berbasis Pendidikan dan Agribisnis
n) Model RBM : Prioritas untuk menjadi RBM dengan membangun kantor
baru Resort Burangrang berdekatan di lokasi kawasan
(Desa Cihanjawar).
o) Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat dengan GPS

3) Cagar Alam Gunung Tilu:


Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)
Nama Desa : Sukaluyu, Kec. : Pasir Jambu, Kab.: Bandung
Justifikasi :
a) Letak : Blok Cipadarung, Resort Gunung Tilu
b) Fungsi Restorasi : Perlindungan hulu sungai Cibaliung
c) Kerusakan : Terdapat perambahan aktif sekitar 10 ha dengan jumlah
perambah sekitar 40-50 orang

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-33


Attachment-2

d) Habitat kawasan : Oak Jawa, surili, dll


e) Flora endemik : puspa, rasamala, jamuju, hiur
f) Manfaat restorasi : Pemulihan habitat dan menjadi penyangga daerah/desa
sekitar agar tidak melalukan perambahan
g) Kelembagaan Masyarakat : Sudah ada KTH sebagai peserta PHBM Kopi+Cabe paprika
(bendot)
h) Sejarah perambahan : akibat dari perambahan yang terjadi tahun 1998
i) Program yang telah ada : penyuluhan, Kesepakatan tidak menjarah hutan (level
Kepala Desa, Kepala Resort BBKSDA)
j) Lingkungan sekitar : Pencurian kayu, Penambangan Tanpa Ijin (Peti) bekas
hasil survei dari tambang emas Pongkor, Perburuan liar
k) Pemberdayaan yg telah ada : peternakan domba
l) Info lainnya : Pada pal batas 1100 terdapat perambahan hutan di Desa
Pasir Jambu, Ds. Sugimukti. Blok. Geneng: terdapat
perambahan sekitar 5 ha jumlah sekitar 20 perambah,
bercocok tanam al.: tanaman pertanian/sayur-sayuran.
m) Prioritas program : Termasuk sarasan BBKSDA untuk
penurunan/pengeluaran perambah (2013)
n) MDK yang diusulkan : MDK Berbasis Agribisnis-Agroforestry tanaman sayur-
sayuran.
o) Model RBM : Diusulkan prioritas menjadi model RBM dengan penguatan
kelembagaan dan fasilitas sarana prasarana.
p) Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat dengan GPS

Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)


Nama Desa : Sugih Mukti, Kec. : Pasir Jambu, Kab.: Bandung
Justifikasi :
a) Letak : Blok Karang Gludug, Resort Gunung Tilu
b) Fungsi Restorasi : Perlindungan hulu sungai Cibaliung
c) Kerusakan : Terdapat perambahan aktif sekitar 5-10 ha dengan
jumlah perambah sekitar 20-30 orang dengan tanaman:
sayur2an, terong, cabe “bendot”
d) Habitat kawasan : Oak Jawa, surili, dll
e) Flora endemik : puspa, rasamala, jamuju, saninten, dll
f) Manfaat restorasi : Pemulihan habitat dan menjadi penyangga daerah/desa
sekitar agar tidak melalukan perambahan
g) Kelembagaan Masyarakat : Sudah ada tetapi tidak aktif dalam KTH restorasi kawasan
konservasi
h) Sejarah perambahan : akibat dari perambahan yang terjadi tahun 1998- an.
i) Program yang telah ada : penyuluhan, dan MOU kesepakatan Masyarakat Desa (level
Kepala Desa, Kepala Resort BBKSDA)
j) Lingkungan sekitar : pencurian kayu untuk kayu bakar, kayu bahan bakar
arang, dan perburuan liar
k) Prioritas program :Termasuk sarasan BBKSDA Jabar untuk
penurunan/pengeluaran perambah Tahun 2013
l) MDK yang diusulkan : MDK berbasis Ekowisata dan Budidaya anggrek, tanaman
obat, madu lebah.
m) Model RBM : Diusulkan prioritas menjadi model RBM dengan
penguatan kelembagaan dan fasilitas sarana prasarana.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-34


Attachment-2

3. Pendekatan Model Restorasi


1) Pendekatan Model Restorasi Kawasan Hutan Konservasi ditetapkan dengan menggunakan kriteria
tipology fisik dan sosial: i) tingkat kerusakan habitat kawasan, ii) kondisi sosek, iii) kelembagaan
masyarakat, iv) aksesibilitas, dan v) sasaran program penurunan perambah BBKSDA.
2) Consultant Firm (CF) menyiapkan instrument (Panduan, Rancangan, Teknologi, Modul Pelatihan,
dll), pelaksana kegiatan dan sumber pendanaan oleh BBKSDA/TNGGP.
3) Model Restorasi berbasis Pemberdayaan Masyarakat dengan melibatkan multipihak dan input
teknologi TTG perlu dirancang dan memiliki nilai + (plus) yang berbeda dengan program eksisting
yang telah ada.

Bandung, 12 Februari 2013


Tim Pilot Proyek Restorasi-CWMBC

1. Soeparno W, Ir., MSc. (TC)


2. Sigit Kurniawan, Ir., MSi.(FE)
3. Yayat Hidayat, Dr. MSi. (LR/RTTI)
4. Maulana Hilman, S.Hut. (FA)

Minute of Meeting (MOM) : FGD DI BBTNGGP DAN BBKSDA JABAR


(8-9 Februari 2013)

A. Proses FGD Di TNGGP

Waktu : Hari Jumat, 8 Februari 2013, ukul 13.00 – 16.00


Tempat : Ruang Sidang Kantor TNGGP Cibodas

Acara : Dibuka oleh pak Deni (IC), Dilanjutkan dengan sambutan Kepala Balai TNGGP (Pak Hery)
kemudian diskusi (FGD).

Hal-hal penting dalam FGD

1. Sambutan Kepala TNGGP


1) Di TNGGP terdapat dua kelompok hutan, yaitu kelompok hutan jenis semula dan kelompok
hutan tanaman (areal perluasan: jenis tanaman komersial, eks perhutani)
2) Terdapat kriteria dalam konteks restorasi:
a. Tutupan vegetasi <30% perlu restorasi
b. Jenis tanaman komersial
Kelompok hutan jenis komersial merupakan areal eks perhutanan, berada pada Zona
Tradisional, didominasi oleh jenis Damar dan Pinus. Strategi restorasinya adalah
bagaimana mengganti jenis-jenis tersebut (jenis komersial) menjadi jenis-jenis yang ada di
kelompok hutan jenis semula (jenis setempat), bagaimana polanya/skimnya.
c. Permasalahan IAS
Adanya jenis IAS (Invasive Alien Species). Bagaimana mengatasi penyebaran jenis IAS ini.
d. Permasalahan sosial
Permasalahan sosial antara lain penggarapan lahan, pencurian, perambahan dll, terutama
di zona Tradisional. Bagaimana pola /skim program restorasi terkait dengan kondisi
permasalahan tersebut.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-35


Attachment-2

3) Program-program penanaman yang telah dijalankan di TNGGP berkaitan dengan Rehabilitasi


dan Restorasi habitat adalah:
a. Model Adopsi pohon,
b. Model Green Radio
c. Model Oiska
d. RHLP (Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif)
e. Rehabilitasi biasa
4) Tujuan kita tidak hanya best practice-nya saja tetapi konsep restorasi yang tidak
mengawang-ngawang.

2. Pemaparan Rencana Kerja TC#2, disampaikan oleh pak Sigit dari CF


Bahan pemaparan lihat slide presentasi.

3. Proses Diskusi
Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 9 Berikut ini:

Tabel 9. Saran dan Masukan Pada Saat FGD di TNGGP

No Nama/jabatan Pertanyaan, Saran dan Masukkan


1 Nurcholis (Ka Resort • Pertama perlu kegiatan Prakondisi, antara lain koordinasi dengan
Mandalawangi) masyarakat dan pemerintah setempat.
• Kedua membangun kolaborasi yang epektif melibatkan SKPD
• Ketiga action di lapangan, model PRA
• Ada 4 resot 16 Desa
2 Deni Darmawan • Mata pencaharian masyarakat Desa Sukatani sebagian besar
(Ka Resort Sukatani) bertani sayur mayur
• Lahan milik banyak dikuasi orang luar Desa, sementara
masyarakat yang memiliki lahan hanya sedikit sekali.
• Kegiatan rehabilitasi umumnya hanya menanam saja tidak ada
ada pemeliharaan dan pemberdayaan masyarakat (antara lain
program penyadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi)
• Beberapa kegiatan banyak dilakukan tetapi secara umum belum
ada yang sukses
• Lahan bengkok kuwu juga disewakan untuk peternakan
3 Nurcholis (Ka Resort • Tidak perlu banyak program karena membingungkan, lebih baik
Mandalawangi) focus.
• Tanah-tanah disepanjang jalan Sukatani sudah dibeli orang kaya
dari luar daerah dibangun vila.
• Pola tanam satu site lahan bisa banyak komoditas
4 Heri • Pada umumnya kegiatan restorasi bersifat ceremonial saja,
(perencanaan) masyarakat belum berdaya
• Tidak ada tindak lanjut berupa evaluasi kegiatan secara kontinyu
• Program Adopsi pohon pun belum ada jaminan kegiatan
restorasi, oleh karena itu perlu pola/skim yang tepat
5 Deni Darmawan • Adopsi di Sarongge (10 ha) tujuan utama mengeluarkan
(ka Resort Sukatani) penggarap dari dalam kawasan

6 Pak Adi (Kasi P3) • Sudah terdapat beberapa juknis di TNGGP (Juknis restorasi,
kajian satwa kunci, juknis adopsi pohon, renstra IAS, juknis
eradikasi IAS, masterplan MDK)

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-36


Attachment-2

No Nama/jabatan Pertanyaan, Saran dan Masukkan


• Masalah nomenalatur harus diluruskan (apakah restorasi atau
rehabilitasi)
• Dalam restorasi perlu ada ekosistem referensi,
• Perlu identifikasi jenis vegetasi kunci dan satwa kunci, kelemahan
selama ini pemilihan jenis bibit tidak dikorelasikan dengan satwa
yang menjadi agen penyebarannya.
• Sistem zonasi TNGGP sudah disahkan th 2011, kegiatan restorasi
harus ditempatkan di zona rehabilitasi sekuas 4.500 ha
• Renstra IAS sudah dievaluasi selama 5 tahun serta sudah
menghasilkan juknis eradikasi IAS
• IAS sangat responsif terhadap bukaan tajuk (gap)
• IAS yang paling berbahaya konyal dan pisang kole (pisang kole
sering muncul dengan pohon kibima)
• Adopsi pohon ada dua tipe (1. Sistem 400 bt/ha dan 2. 20.000
bt/ha (sistem Miyawaki)).
• Masalah blunder pemberdayaan masyarakat : pihak TNGGP selalu
jadi tumpuan/dewa, contiunitas program tidak optimal,
• Tidak boleh ada double kegiatan pada lokasi yang sama
• Sistem pilot project Restorasi seperti apa? (penelitian atau
restorasi sebenarnya) kalo bentuk penelitian lebih memungkinkan
dilaksanakan.
7 Pak Hidayat • Alternatif lokasi restorasi di lahan perluasan yang belum ada
kegiatan rehablitasi sebelumnya
• Cari masyarakat yang baik-baik (bisa diatur)
• Kenapa lokasi plot project harus 25 ha tidak 10 ha atau 5 ha?
• Harus ada penjelasan yang jelas : kriteria ringan, sedang dan
berat, dari apa? Jika dari tutupan berapa persentasinya?
8 Pak Adi • Apakah demplot 25 ha itu harus dalam satu hamparan?
• Apakah cukup mereview saja model restorasi yang telah ada di
TNGGP? Tidak perlu membuat demplot yang baru?
9 Pak Joko • Ketegasan model demplot apa satu hamparan atau bisa spot-spot
(ANR, enrichment, planting) dalam satu blok
• Apakah pembibitan terdapat dalam rencana?
• Bagaimana keterkaitan antara judul kegiatan dengan outcome
demplot?
• Bibit disuplai dari TNGGP , CF mendesain.
• Juknis yang dikembangkan TNGGP adalah enrichment
• Pola RHL BPDAS ada pola pengkayaan (400 btg/ha) dan reboisasi
murni (1200 btg/ha) pada tuplah < 35%.
• Ada juga pola Miyawaki (20.000-30.000 btg/ha)
• Perlu dikaji lebih lanjut model/pola yang akan dikembangkan
• Tujuan mengeluarkan penggarap dari dalam kawasan sangat
sulit, apakah program ICWMB juga sampai ke sana
• Pada dasarnya kegiatan tanam menanam adalah zona
rehabilitasi, pemanfaatan,
• Zoa inti dan rimba tidak dapat dilakukan tanam menanam
• Kegiatan demplot bisa juga dilakukan di kelompok hutan asli
(15.000 ha), atau di kelompok hutan perluasan
• Walaupun tutuplah >35% tetapi jenisnya kurang sesuai mungkin

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-37


Attachment-2

No Nama/jabatan Pertanyaan, Saran dan Masukkan


bisa dilakukan model restorasi
• Mengusulkan pola restorasi berbasis alur sungai, dengan
demikian areal demplot bisa kompak.
• Demplot jangan di tempat pada lokasi spot-spot yang berbeda
beda (beda resot) karena merepotkan penanganan.

4. Resume
a. Lokasi demplot restorasi belum dapat dipastikan, harus dilakukan survey dulu ke lapangan
pada beberapa calon lokasi yang muncul dala FGD
b. Dari hasil FGD dapat diidentifikasi alternatif model restorasi yang dapat dikembangkan yaitu:
1. Restorasi hutan monokultur menjadi heterokultur
2. Restorasi berbasis alur sungai
3. Restorasi kelompok hutan tanaman komersial menjadi hutan konervasi
4. Restorasi hutan yang diocupasi pengaarap
5. Restorasi kawasan hutan yang memiliki masalah IAS

B. Proses FGD di BBKSDA JABAR


Waktu : Hari Sabtu, tanggal 9 Februari 2013, pukul 9.00 -14.00

Tempat : Ruang rapat antor BBKSDA Jabar, Bandung

Acara : Dibuka oleh Pak Ambar (TL), dilanjutkan dengan sambutan Kepala BBKSDA (pak Joko).
Acara diskusi difasilitatori oleh pak Roby.

1. Sambutan Kepala Balai BBKASDA


• Tujuan FGD mensinergikan apa yang telah tertulis dalam proposal dulu dengan kegiatan riil
di lapangan
• Community Development (CD) dengan Restorasi sebaiknya menjadi satu tetapi untuk yang
mestreaming boleh dipisah
• Konsep yang ingin dikembangkan adalah penurunan perambah dengan metode persuasif.
Metode persuasif perlu proses para pihak yang harus dilalui terkait dengan CD dan restorasi.
2. Proses FGD

Dipandu/fasilitatori oleh pa Roby, di arahan pada tiga pertanyaan kunci yaitu:

1. Pertimbangan-pertimbangan apa yang perlu diperhatikan untuk pelaksanaan restorasi


Dalam arahan Kepala Balai diungkapkan bahwa Restorasi harus menjawab isu kerusakan
kawasan, isu bagaiaman CD dilakukan, bagaiaman restorasi dapat menurunan penggarap.
2. Dimana lokasi model (pilot project) akan dilaksanakan
3. Secara umum bagaimana tahapannya

Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 10 berikut ini:

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-38


Attachment-2

Tabel 10. Saran dan Masukan Pada Saat FGD di BBKSDA Jawa Barat

No Nama/jabatan Pertanyaan, saran dan masukkan

Pak Dedi • Masalah berat di CA Burangrang adalah penyerobotan lahan antara


1 lain di Desa Nagrak dan Cihanjawar
(Ka Resort • Di Desa Nagrak: Masyarakat belum sepenuhnya menggunakan GAS
Burangrang) LPG , masih membutuhkan kayu bakar yang dipanen dari dalam
kawasan
• Blok Cihanjawar: terdapat l.k. 200 ha lahan. Kepemilikan lahan dikuasi
oleh orang luar Desa.
• Pada umumnya penduduk Desa Cihanjawar adalah buru tani
• Terdapat penrajin sapu ijuk, dimana memerlukan bahan rotan . Rotan
tsb dipanen dari dalam kawasan hutan.
2 Pak Atang • Lohan kosong di Kareumbi diakibatkan dari peristiwa penebangan liar
(eks PT Primasakti), dan lahan bekas kebakaran (14 itik kejadian
(ka Resort Kareumbi) kebakaran)
• Beberapa lahan kosong sudah direhabilitasi melalui kegiatan Gerhan
dan Wali pohon bekerjasama dengan Wanadri
3 Kepala resort • Perladangan liar awalnya terjadi hanya di tepi kawasan dan areal
Gunung Tilu terbuka dengan luasan yang sempit dan dilakukan oleh beberapa
orang saja
• Seiring dengan adanya kegiatan PHBM dengan alasan tidak kebagian
lahan, sedikit demi sedikit masyarakat membuka lahan hutan
• Di Blok Sarongge Desa Sukaluyu kondisi mayarakatnya sbb: 75%
penduduknya adalah petani sayur, tingkat kesejahteraan rendah,
pendidikan rendah, kesadaran masyarakat rendah, pengangguran
tinggi.
• Tanaman yang paling dominan adalah tanaman cabe gendot dan teh
dengan harga yang sangat menggiurkan
4 Pak Siswoyo • Perambahan di BBKSDA Jabar mulai marak setelah pasca reformasi
• Khusus di CA Gunung Tilu, luasannya permabahan hampir 450 ha,
(Kepala Seksi III) sekarang tersisa sekitar 13-15 ha yang berlokasi di Warnasari,
Sukalayu dan Sugihmukti.
• Setelah rekontruksi batas kawasan , banyak kawasan eks perhutani
menjadi kawasan CA Gunung Tilu, pada umumnya bekas PHBM,
komoditasnya kopi.
• Para perambah pada umumnya masyarakat yang lapar lahan untuk
bertani cabe gendot.
• Tahun 2000-/2011 sudah dilakukan penanaman sebanyak sekira 6.000
btg.
• Areal kosong di CA Gunung Tilu kurang lebih 100 ha.
• Di Kareumbi perambahan relatif tidak ada
• Areal kosong di Kereumbi lebih luas karena adanya kebakaran hutan,
dan akibat pohon tumbang
• 30% tegakan di Kareumbi adalah pohon pinus yang disadap dengan
metode koakan. Sehingga banyak pohon tumbang yang menyebabkan
areal Kareumbi terbuka
• Akses untuk mendapatkan BBM GAS LPG relatif susah, sehingga
masyarakat masih membutuhkan kayu bakar

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-39


Attachment-2

No Nama/jabatan Pertanyaan, saran dan masukkan

• Arah pengelolaan Restorasi adalah restorasi dengan partisipasi


masyarakat
5 Pak Roby • Salah satu output akhir dari TC 2 adalah CBRP (Community Based
Restoration Program). Oleh karena itu restorasi idak hanya dari sisi
(Fasilitator) teknis
• Bagaimana mengintergrasikan skema masyarakat ke dalam restorasi,
bagaimana mentreatment masyarakat
6 Pak Siwoyo • Mengusulkan CA Gunung Tilu dibangunkan demplot
• TWA Kamojang justru masalah kerusakannya sangat tinggi sehingga
perlu dibuat model, mengapa dalam project ini tidak menjadi prioritas
• Secara tekanis merestrasi kawasan sudah lengkap, justru yang lebih
penting adalah bagaimana merekayasa masyarakatnya
7 Pak Dwi • Th 2011 telah menyusun Rencana RHL, yang mengacu ke RTk RHL
Citarum dan Cimanuk
• BBKSDA telah menyusun RTn (rencana Tahunan) RHL 2011-2015,
yang ditargetkan kepada areal sangat kritis dan kritis
• CA Burangrang: 59,61 ha kritis
• CA Gunung Tilu : 42,32 ha sangat kritis
• CA Kareumbi : wil Cimanuk 44 ha sangat kritis, 396,7 ha kritis; Wil
Citarum: 602 ha sangat kritis, 6,29 ha kritis
• Rehabilitasi di Kareumbi telah dilakukan melalui Gerhan sejak tahun
2003 sekitar 2.000 ha.

Acara FGD dibreak dengan ISOMA, kemudian dilanjutkan dengan diskusi khusus penentuan calon
lokasi demplot pada masing-masing wilayah (CA Burangrang, CA Gunung Tilu, dan TB M Kareumbi).
Narasumber dari BBKSDA adalah para Kepala Resort dan Kepala Seksi 3.

1. Penutupan dari Kepala Balai Besar


1. Hasil FGD hari ini dan observasi lapangan nanti akan dijadikan sebagai referensi di dalam
menyusun KAK dan Inception Repport
2. Pihak Manajer Project dan TL harus menjelaskan kembali (koofdinasi internal: MPS:TL:TA)
terkait dengan ruang lingkup pekerjaan, aktivitas apa saja, sumber biaya darimana,
pengorganisasiannya bagaimana, bagaimana tim bisa bekerja dengan baik?. Jangan sampai
tidak ada kesepahaman di tim.
3. Acuan pertama adalah Workplan; output dan outcome_nya jangan keluar dari workplan tsb.
Kalaupun ada penambahan-penambahan perlu dijelaskan.
4. Langkah selanjutnya: TL mengajukan surat untuk pendamping lapangan dalam rangka
observasi lapangan, TL melengkapi KAK dan Inception repport (IR), dan sebaikanya KAK dan
IR tsb dibahas dulu di BBKSDA sebelum di bahas di Jakarta

2. Resume

1. Dalam FGD tsb telah teridentifikasi beberapa calon lokasi demplot restorasi
2. FGD akan ditindaklanjuti dengan kegiatan observasi lapangan untuk memastikan lokasi
demplot
Bandung, 12 Februari 2013
TIM RESTORASI-CWMBC

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-40


Attachment-2

Laporan Hasil Review Existing Program dan Kegiatan BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP

1. Restorasi/Rehabilitasi Lahan Kritis Kawasan Konservasi


Dalam upaya merestorasi/rehabilitasi kawasan TNGGP, pengelola telah menjalankan program
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif (RHLP) di kawasan TNGGP. RHLP dilakukan sejak tahun 2005
hingga 2010 seluas 50 Ha. Pelaksanaan RHLP bertujuan untuk :
(a) Menyusun model rehabilitasi hutan di kawasan konservasi yang dikembangkan secara efektif,
efsien dan partispatif,
(b) mengimplementasikan model rehabilitasi hutan di kawasan konservasi secara berkelanjutan,
(c) sebagai model percontohan pelaksanaan rehabilitasi hutan di kawasan konservasi lainnya.
Program ini melibatkan Kelompok Tani Hutan (KTH) Puspa Lestari, Balai Besar TNGGP, Perhutani,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)- Environmental Service Program (ESP).

Pada umumnya upaya rehabilitasi/restorasi kawasan TNGGP diakukan melalui pengembangan Model
Desa Konservasi (MDK). Upaya rehablitasi/restorasi di TNGGP lainnya adalah melalui program adopsi
pohon yang diprakarsai oleh yayasan Gedepahala.

2. Program Pemberdayaan Masyarakat


Skema bantuan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui input program yang terencana
secara terpadu. Bantuan tidak hanya dalam bentuk barang tetapi juga bimbingan teknis,
keterampilan dan ilmu pengetahuan.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di kawasan konservasi BKSDA Prov.
Jabar, antara lain :

(a) Pemberian bantuan teknis dan permodalan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan konservasi TB. Masigit Kareumbi (Desa Pangeurauan)
Kegiatan bantuan pemberdayaan masyarakat berupa :

- Pembinaan teknis
- Penandatangan dan pernyatan KPSA sebagai penerima bantuan
- serah terima bantuan (ternak domba 21 ekor, bibit jabon 5000 bibit untuk ditanam di lahan
masyarakat.
(b) Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi TB. Masigit Kareumbi (Desa
Panjiwangi, Kec. Tarogong, Kab. Garut)
Kegiatannya meliputi sebagai berikut:

Persiapan : pengumpulan data, penyusunan rancangan


Pelaksanaan :
- Arahan / bintek penyaluran bantuan
- Pemberian bantuan untuk kelompok tani
- BAP dan Monitoring

(c) Bantuan teknis dan permodalan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan
konservasi CA/TWA Tangkuban Perahu.

Kegiatannya meliputi sebagai berikut:


Perencanaan :
- Pengumpulan Data
- Penyusunan rancangan
- Pembagahan rancangan

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-41


Attachment-2

Pelaksanaan / penyerahan bantuan


Pada ketiga kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh BKSDA diatas adalah lebih bersifat
pemberian bantuan atau disebut charity.
Sesungguhnya pada proses pemberdayaan tidak hanya terbatas pada proses pemberian yang
mengakibatkan keberdayaan tidak berkelanjutan, namun proses membangkitkan motivasi dan
mendorong masyarakat agar memiliki kemampuan sendiri lebih menghasilkan keberdayaan yang
berkesinambungan. Hal ini sesuai yang dinyatakan Pranarka & Vidyantika (1996: 56-57) :

Proses Pemberdayaan mengandung dua kecenderungan:

Pertama: pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian


kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi
lebih berdaya. Ini disebut kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

Kedua: atau disebut kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong,
atau memotivasi agar individu memiliki kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Dalam prakteknya, pemberdayaan masyarakat menggunakan kedua proses tersebut secara simultan.
Kecenderungan primer dilakukan bersifat sementara sampai masyarakat memiliki kemampuannya
sendiri, selanjutnya lebih menekankan pada kecenderungan sekunder untuk memotivasi dan
mendorong individu untuk mengembangkan kapasitas.
Proses memberikan kemampuan dan kekuatan kepada masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat yang lebih tahu untuk memutuskan kebutuhannya dan masalah yang dihadapi. Strategi
bottom up dilakukan dengan perencanaan dimulai dari masyarakat, sehingga pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan akan berkelanjutan karena manfaat yang diterima masyarakat sesuai dengan
kebutuhanya. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan penguasaan pengetahuan dan teknologi
oleh masyarakat masih terbatas, sehingga hasil yang dicapai tidak maksimal.

Penerapan model pembangunan yang bersifat top down telah dinilai gagal karena hanya memberikan
keuntungan pada elit masyarakat yang jumlahnya terbatas dan kurang memberikan kesejahteraan
terhadap masyarakat luas. Sehingga kombinasi penerapan sretegi bottom up dan top down pada
suatu pembangunan akan dirasakan lebih bijaksana. Pemecahahan masalah dengan strategi bottom
up dilakukan melalui proses memahami kebutuhan masyarakat dan kemudian dituangkan pada
perencanaan bersama-sama masyarakat.
Kegiatan perencanaan bersama masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan
konservasi di wilayah BKSDA Jawa Barat ini yang perlu lebih mendapatkan perhatian, agar program
pengelolaan kawasan konservasi berjalan berkelanjutan dan mandiri.

3) Cagar Alam Burangrang

(a) PRA (P artisipatory Rural Apraisal ):


PRA yang telah dilakukan Beberapa program yang dapat didorong untuk meningkatkan
kesejahteraan warga di sekitar kawasan Cagar Alam Burangrang yang berdasarkan Partisipatory
Rural Apraisal (PRA). Adapun program yang dimaksud, antara lain:
• Program Peningkatan Ekonomi Warga Desa.

Program ini bertujuan untuk menekan laju akses warga ke dalam kawasan konservasi. Adapun
program yang diusung dapat berupa aktivitas yang berkaitan dengan pengoptimalan potensi
SDA yang dimiliki oleh warga tanaman perkebunan, seperti tanaman kopi. Selain itu,
ditumbuhkembang-kannya usaha pengoptimalan SDA hayati untuk peningkatan pendapatan

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-42


Attachment-2

warga desa. Juga pengoptimalan potensi kerajinan pembuatan sapu dan anyam-anyaman dari
bambu.

• Program Peningkatan Kapasitas Warga


Program ini ditujukan bagi peningkatan kapasitas warga melalui kegiatan pelatihan, workshop,
dan studi banding di desa-desa konservasi yang sudah berhasil. Peningkatan kapasitas warga
ini dimaksudkan untuk memberikan kesadaran kepada warga untuk mengenali potensi SDM dan
SDA yang ada disekitarnya.

• Program Pengamanan Kawasan Konservasi berbasis Komunitas Desa


Program ini lebih bertujuan membentuk sistem pengamanan kawasan Cagar Alam Burangrang,
dimana warga komunitas desa sebagai sasarannya. Hal ini untuk menghindari terjaidnya
konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Selain itu, tujuan program ini adalah agar
warga komunitas desa merasa memiliki tanggungjawab bersama untuk memelihara hutan yang
dimiliknya.

(b) Klasifikasi tanah area kawasan

Jenis Vulkanik dan Plutonik (2 Ha), Andesit dan Basatl (2.889 Ha).

(c) Status Kepemilkikan Lahan

Status dan Luas Kepemilikan Lahan/Kepala keluarga (KK) Berdasarkan Komoditi Pertanian di Desa
Cihanjawar adalah sebagaimana Tabel 11 berikut ini:

Tabel 11. Status dan Kepemilikan Lahan Desa Cihanjawar.

Kepemilikan lahan (KK)


No Status lahan
Tanaman pangan Buah-buahan Perkebunan
1 Pemilik lahan pertanian 300 220 115
2 Tidak memiliki lahan 118 447 270
3 Kurang ≤ 1 ha 117 0 0
4 1 – 5 Ha 1 0 0
5 Kurang ≤ 10 Ha 0 0 0
Sumber: Profil Desa Cihanjawar dan Podes 2007 (Diolah).

3. Pengembangan MDK 1

Sebagian besar desa-desa di perbatasan TNGGP memiliki areal berhutan dengan mayoritas
penduduknya adalah petani dan buruh tani. Telah banyak program pengembangan Model Desa
Konservasi (MDK) di sekitar TNGGP antara lain:
a. MDK Berbasis RHLP

MDK berbasis RHLP dilaksanakan di Desa Sukatani Kabupaten Cianjur. Desa ini terletak di kawasan
penyangga TNGGP. Sekitar 11.057 jiwa memadati desa seluas 35.770 hektar. Sebagian besar
penduduk bekerja sebagai buruh tani dan pekerja, sebagian kecil adalah petani pemilik lahan dan
pedagang. Dari 25,5 hektar lahan desa, hampir separohnya adalah hutan.

Komoditas utama desa ini adalah sayuran seperti wortel, bawang daun, brokoli, kubis dan cabe.
Selain itu, masyarakat juga berternak ayam, kambing dan sapi. Dari sisi pendidikan, lebih dari

1 Soemarno. 2011. Model Desa Konservasi (MDK):Disarikan oleh Sumarno dari Beberapa Sumber. pslp-ppsub.
Wawancara Lapangan, Komponen_ 2, 2013.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-43


Attachment-2

50% penduduk Desa Sukatani pernah atau menamatkan pendidikan dasar, 10,43% yang pernah
sekolah hingga tingkat menengah dan hanya 2% yang melanjutkan ke pendidikan tinggi. Model
Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan lahan partisipatif di Desa Sukatani
adalah upaya untuk mengurangi tekanan laju pertumbuhan penduduk terhadap sumber daya alam
di kawasan TnGP seperti luasan hutan berkurang, mata air berkurang, tanah longsor serta
lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat.

Kelompok Tani Puspa lestari adalah sebuah kelembagaan lokal yang dibentuk oleh para
penggarap lahan milik bekas Program PhBm Perum Perhutani 2006 untuk memperbaiki kondisi
lahan dan hutan kritis di daerah penyangga kawasan TnGP dan DaS Cikundul.

Selama 2006-2008, Desa model Konservasi Sukatani bersama para pemangku kepentingan di
Kabupaten Cianjur dan Propinsi Jawa Barat berhasil melakukan: (1) Rehabilitasi hutan dan lahan
kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan Kawasan TNGGP; (2) Rehabilitasi hutan dan lahan
kritis seluas 50 hektar; (3) Membuat persemaian untuk 5.000 bibit pohon endemik; (4) Menanam
16,000 pohon di seluruh desa; (5) Pengembangan budidaya jamur, tanaman hias dan ternak
kelinci; (6) Kampanye lingkungan dan pengembangan pembiayaan alternatif bagi program RHLP
kepada pendaki Gunung Gede-Pangrango; dan (7) Penguatan kapasitas kelompok.

b. MDK Berbasis Pengembangan Ekonomi

Forum masyarakat Peduli lingkungan (maRPElIn) adalah organisasi lokal yang mengembangkan
model desa konservasi ini di Kebon Peuteuy Desa Kebon Peuteuy, Kabupaten Cianjur. Desa Kebon
Peuteuy terletak di kawasan penyangga TNGGP. Sekitar 7.472 jiwa mendiami desa seluas
1.018,250 hektar. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani dan buruh tani. luasan hutan
di Kebon Peuteuy adalah 199 hektar, sedangkan lahan desa hanya 141 hektar.

Para petani Kebon Peuteuy sebagian besar bertanam tomat, buncis, cabe dan singkong. Ternak
unggas dan domba mendominasi usaha ternak Kebon Peuteuy. namun, pendapatan bulanan
petani dan buruh tani hanya berkisar Rp. 300.000 per bulan. Separoh jumlah penduduk desa ini
hanya tamat SD, sebagian kecil sekolah hingga tingkat menengah dan yang melanjutkan ke
pendidikan tinggi kurang dari 0,5%.

Model Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan lahan partisipatif di Desa Kebon
Peuteuy berupaya mengurangi tekanan laju pertumbuhan penduduk terhadap sumber daya alam
di kawasan TNGGP seperti hutan gundul, kekeringan, tanah longsor dan tidak subur, sulit mencari
mata pencaharian serta meningkatnya angka kemiskinan.

Selama perode tahun 2006-2008, berkat dukungan para pemangku kepentingan di Kabupaten
Cianjur dan Propinsi Jawa Barat, maRPElin (Masyarakat Peduli Lingkungan) berhasil melakukan:
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan Kawasan TNGGP; (2)
Pengembangan persemaian pohon endemik dan tanaman MPTS; (3) Budidaya jamur sebanyak
1.000 log; (4) Budidaya stek teh; (5) Peternakan domba sebanyak 15 ekor; (6) Pembuatan irigasi
desa sepanjang 200 meter; (6) Perbaikan jalan lintas desa dan jalan dusun sepanjang 800 meter;
dan (7) Penyediaan sarana air bersih sepanjang 500 meter.

c. MDK Pelestarian Mata Air

Model Desa Konservasi ini fokus pada rehabilitasi lahan daerah tangkapan air beberapa sub DAS
Cimuncang-Cimandiri hulu dan perlindungan mata air Batu Karut di Cisarua. MDK ini secara umum
bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya air di kawasan TnGGP
seperti alih guna lahan tangkapan air menjadi lahan pertanian satu musim dan penggunaan lahan
yang bermasalah karena 90% lahan sudah dibeli orang dari luar desa.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-44


Attachment-2

Desa Cisarua terletak di kawasan penyangga TNGGP, di Kabupaten Sukabumi. Sekitar 6.940 jiwa
tinggal di desa seluas 767.448 hektar, yang separuhnya adalah tanah ladang. Sebagian besar
penduduk Cisarua adalah buruh tani. Komoditas utama desa ini adalah jagung, cabe dan singkong
serta rumput untuk pakan ternak sapi

Saat ini, warga Cisarua yang tergabung dalam Kelompok Tani “Kencana Wangi” melakukan
sekolah lapangan dalam upaya menindaklanjuti hal-hal berikut demi mengembalikan fungsi
daerah tangkapan air di Cisarua: (1) Kelompok Tani “Kencana Wangi” menjadi motor penggerak
rehabilitasi lahan; (2) Penyediaan lahan seluas total 98 hektar dari berbagai pihak di Cisarua untuk
rehabilitasi lahan; (3) Penyediaan 20.000 bibit pohon untuk rehabilitasi lahan; dan (4) Pembuatan
kesepakatan dan peraturan desa.

d. MDK Desa Wisata


Model Desa Konservasi ini fokus pada pengembangan budidaya ikan air deras dan pengembangan
air Terjun Cikaracak di Kampung Cibeling.MDK ini bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk
terhadap sumber daya alam di kawasan TNGGP seperti berkurangnya hutan dan volume air serta
berkurangnya pendapatan rata-rata warga setempat. MDK ini dilaksankan di Desa Cinagara,
Kabupaten Sukabumi yang terletak di kawasan penyangga budidaya TNGGP. Luas Desa sekitar 497
hektar, dihuni olehsekitar 9.438 jiwa.

Sebagian besar masyarakat desa ini adalah buruh tani dan wiraswasta. Selain itu, mereka juga
memelihara ikan air tawar. Para petani banyak menanam buncis dan berternak domba untuk
tambahannya

Saat ini, warga Cinagara yang tergabung dalam Kelompok Tani Sari mekar berusaha
menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan ekonomi mereka
: (1) Rehabilitasi dan konservasi lahan melalui persemaian, penanaman, perawatan dan pola
tanam ramah lingkungan.; (2) Pelatihan pembuatan pupuk organik; (3) Budidaya ikan dan
tanaman buah produktif dan organik; (4) Peternakan kelinci dan domba; (5) Perbaikan sarana air
bersih dan sanitasi serta saluran pembuangan air; dan (6) Pengembangan wisata alam air Terjun
Cikaracak.

e. MDK Penanaman Pohon Endemik


Model Desa Konservasi fokus pada rehabilitasi lahan menggunakan pohon endemik seperti
rasamala dan puspa serta budidaya tanaman obat. MDK ini merupakan upaya mengurangi
tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan dan hutan di kawasan TNGGP, seperti hutan
gundul, volume air berkurang, tanah tidak subur, erosi, serta tingginya angka kemiskinan dan
pengangguran. MDK ini dilaksanakan di Desa Cihanyawar Kabupaten Sukabumi. Lokasinya terletak
di kawasan penyangga budi daya TNGGP. Desa Cihanyawar dihuni olehsekitar 4.779 jiwa dengan
luas desa sekitar 934 hektar.

Sekitar 40% dari luas desa adalah lahan perkebunan, yang menjadi sumber kehidupan bagi 50%
petani dan buruh tani setempat. Komoditas utama desa ini adalah ubi jalar, talas, singkong, serta
sayuran. Banyak warga Cihanyawar juga hidup dari ternak unggas, kambing dan domba. namun,
hanya 14% dari penduduk setempat yang menikmati pendidikan dasar dan kurang dari 2%
meneruskan pendidikan ke tingkat menengah dan tinggi.

Saat ini, warga Cihanyawar yang tergabung dalam kelompok tani Cilondondong Jaya berupaya
menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan ekonomi mereka:
(1) Rehabilitasi lahan seluas 30 hektar di lahan perluasan TNGGP dengan 15.000 pohon rasamala,
puspa dan manglit; (2) Kesepakatan antara TnGGP dan Cilondondong Jaya untuk menggarap lahan

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-45


Attachment-2

di kawasan TnGGP selama 3 tahun; dan (3) Komitmen untuk mengembangkan usaha ternak
kambing; dan (4) Budidaya tanaman obat kumis kucing.

4. Kolaborasi Stakeholders
Stakeholder yang pernah berpartisipasi dalam pengelolaan TNGGP adalah: Pengusaha, BUMN seperti
Perhutani Unit III Jabar Banten. Tokoh masyarakat Desa di sekitar TNGGP, NGO (missal Environment
Service Program/ESP (USAID), KTH (Puspa Lestari, Kencana Wangi, Cilondongdong, Sari Mekar), LSM
lokal (maRPELin), perguruan tinggi (ITB, IPB), Dirjen PHKA, Balai Besar TNGGP, Litbang Kehutanan
dan lembaga riset lainnya.

5. Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan yang Relevan

Beberapa hasil litbang yang terkait dengan program dan pengelolaan di TNGGP, disajikan pada Tabel
12 berikut ini:

Tabel 12. Referensi Terkait Program dan Pengelolaan di TNGGP

No Judul penelitian Peneliti Tahun Informasi penting

1 Pola Umum Gangguan Hutan di Bona Insani’s 2000 Jenis-jenis gangguan di TNGP
TNGGP Maylan seperti pencuria, perburuan
DwiEkawati liar, penebangan liar,
penyerobotan lahan dan
kebakaran hutan
2 Intensitas dan motivasi Aris Sudomo dan 2008 Kondisi sosek masyarakat di
masyarakat dalam M. Siarudin sekitar TNGGP
pengambilanTumbuhan hutan Gangguan TNGGP akibat
secara ilegal di seksi konservasi pengambilan tumbuhan secara
wilayah II Taman nasional illegal
gunung gede pangrango
3 Analisis Konflik Areal Eks Eka Ratna Juwita 2007 Para pihak (stake holder) yang
Tumpangsari Perhutanidi Karsodi sering terlibat dengan masalah
wilayah Perluasan TNGGP konflik sosial di TNGGP
4 Panduan Mengenal Satwa Anton Ario 2010 Identifikasi jenis-jenis satwa di
TNGGP TNGGP
5 Inventarisasi Jenis Barkah Ilham 2006 Identifikasi jenis-jenis
Keanekaragaman Jenis Purnawan tumbuhan di TNGGP
Tumbuhan di TNGGP
6 Bentuk-Bentuk danIntensitas Kusnanto, K. 2000 Jenis –jenis gangguan manusia
Gangguan Manusia PadaDaerah di daerah perbatasan TNGGP
Tepi Kawasan TNGGP
7 Tingkat PartisipasiMasyarakat Sylfiani , D. 2004 Tingkat partisipasi masyarakat
dalam Menjaga Kelestarian di sekitar TNGGP
kawasan TNGGP

8 Penentuan Jenis Pohon Samsudin, N 2005 Metode penentuan jenis pohon


Serbaguna Secara Partisipatif serbaguna secara partisipatif di
dalam Rangka Pembinaan wilayah daerah penyangga
Daerah Penyangga Kawasan TNGGP
Konservasi (studi kasus di
TNGGP)

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-46


Attachment-2

No Judul penelitian Peneliti Tahun Informasi penting

9 Perilaku Masyarakat dalam Wiguna, R. 2003 Perilaku masyarakat Desa


Pemanfaatan Sumber Daya Tebing dalam pemanfaatan
Hutan (Studi kasus di Desa SDH di TNGGP
Tebing di TNGGP)

6. Aspek Legalitas Peraturan-Perundangan


Beberapa produk peraturan perundangan terkait dengan pengelolan TNGGP adalah sebagai berikut:

Tabel 13. Aspek Legalitas Terkait dengan Pengelolaan TNGGP

No Nama Peraturan Tentang Informasi penting

1 SK Menteri Pertanian Pengukuhan TNGGP Pengukuhan status TNGGP seluas


No. 376/Men-tan/X/82 15.196 ha
2 SK Dirjen PHPA no Pembagian TNGGP menjadi Kawasan TNGGP dibagi ke dalam
12/Kpts/Dj-VI/1992, tiga zonasi tiga zonasi yaitu zona inti, zona
tanggal 14 Februari rimba dan zona pemanfaatan.
1992
3 SK Menhut no Perubahan Fungsi Kawasan Perubahan status luas TNGGP
174/Kpts-II/2003, CA, TWA, Huan Produksi menjadi 21.975 ha
tanggal 10 Juni 2003 Tetap, Hutan Produksi
Terbatas, pada kelompok
Hutan Gunung Gede
Pangrango menjadi TNGGP
4 SK Menhut No Pengelola TNGGP oleh Balai Pengelola TNGGP di serahkan
6186/kpts-II/202 , TNGGP kepada Balai TNGGP
tanggal 10 Juni 202
5 Peraturan Menhut No. Orgainsasi dan tata kerja UPT Perubahan struktur Balai TNGGP
P.03/Menhut-II/2007 Taman Nasional menjadi Balai Besar TNGGP.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-47


Attachment-3

Attachement -3 : Review Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan di


Indonesia

Kontribusi: Endang Setiawan (TC #3)

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)

1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687);
2 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3760);

PNBP BIDANG KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan;
2 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999
Tarif jasa lingkungan (environmental service) rekreasi ke Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut ditetapkan besarnya 2:
Rp 1.000-2.000 untuk Taman Wisata Alam,
Rp 1.500-3.000 untuk Taman Buru, Rp 1.000-2.500 untuk Taman Nasional per orang.
Rp 3.000-20.000 untuk wisatawan asing (mancanegara)

3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk
Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen
Kehutanan
4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan
Hutan

Pasal 2:
Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.

Pasal 3:
1. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat dilakukan di
dalam:
a. kawasan hutan produksi; dan/atau
b. kawasan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan
jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

2 Analisis : Laporan Monev PNBP Semester II Ingkup Balai Besar KSDA Jawa Barat Tahun 2011, BBKSDA Jawa Barat 2012

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-48


Attachment-3

PNBP BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di
Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan. PP ini mengatur jasa lingkungan al. sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan berasal dari penerimaan Uji Udara Emisi,
Uji Udara Ambien, Uji Kebisingan, Uji Air dan Limbah Cair, Uji Limbah Padat dan Biologi,
serta Uji Karakteristik Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
(3) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) yang belum tercakup dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini akan disusulkan
sebagaibagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini dan pencantumannya
dilakukandengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

2 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


3 Peraturan Pemerintah 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air
4 Peraturan Pemerintah 16 Tahun 2005 tentang Air Minum
5 Permen Lingkungan Hidup 01 Tahun 2010 tentang baku mutu air limbah
6 Perpres 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air

UNDANG-UNDANG SUMBERDAYA AIR

1. Pasal 7 UU Sumberdaya Air meng-katagorikan hak dalam air: Hak guna air dapat berupa hak
guna pakai air dan hak guna usaha air.
2. Pasal 1 angka 15: Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
3. Pasal 9 ayat (1): Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan
usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 80:
1. Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
2. Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung biaya
jasa pengelolaan sumber daya air.
3. Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-
jawabkan.
4. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis
penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi
kelompok pengguna dan volume penggunaan sumberdaya air.
5. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis penggunaan
nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
6. Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari para
pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-49


Attachment-3

7. Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Pasal 13:
2. Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional.
Dewan Sumber Daya Air Nasional merupakan wadah koordinasi antar para pemilik kepentingan
sumber daya air tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.

Kesimpulan: Jasa lingkungan air tidak termasuk yang diatur dalam aturan PNBP diatas dan sektor-
sektor lain (luar Kehutanan).

DISKUSI

ISSUE:

1. Apakah pembayaran jasa lingkungan air perlu diatur oleh pemerintah (mandatory)? Ataukah
cukup dengan sukarela antara “pemakai” dan “penghasil” jasa lingkungan tersebut
(voluntary). Jawaban secara common sense adalah:
apakah masyarakat dapat mengatur diri mereka sendiri dengan adil dalam pemakaian dan
penggunaan air (dengan rujukan: pasal 33 UUD 1945), dan
apakah kepentingan pemerintah tidak dirugikan bila tidak mengaturnya? (untuk berbagai
keperluan, membangkitkan tenaga listrik, contohnya).
2. Prinsip dari “public good”: pemanfaatan oleh satu pihak dari masyarakat (terhadap air) tidak
boleh menyebabkan masyarakat lain tidak dapat memanfaatkannya.
3. Terhadap air sebagai “common pool resources” atau sebagai public good, privatisasi dan
pengaturan oleh Pemerintah pusat bukanlah satu-satunya cara dalam mengatur
pemanfaatannya (OECD).

Tabel 14. Tinjauan Mandatory dan Voluntary

Voluntary Mandatory

1. didasari oleh kesadaran saling memerlukan didasari oleh kepentingan pemerintah untuk
dalam urusan pemanfaatan jasa lingkungan, menjaga keberlanjutan fungsi
dari pihak-pihak yang menyepakati (melestarikan) sumberdaya air untuk
kepentingan masyarakat dan
2. Pihak-pihak: penghasil jasa air-pemanfaat Pihak-pihak: Pemerintah-pemanfaat jasa
lingkungan (beneficiary)
3. Bisa berbentuk pembayaran secara moneter Dengan prinsip untuk kemakmuran rakyat,
ataupun imbal balik, atau lainnya sesuai pemanfaat SDA dapat diwajibkan
yang disepakati. membayar sebagaimana sumberdaya alam
lainnya (hutan, contohnya)
4. Bersifat mengikat secara hukum kedua Kewajiban membayar bersifat wajib karena
pihak bila telah berada dalam kesepakatan. ditetapkan dengan peraturan yang
mengikat (binding) (sebagaimana
kewajiban pajak)

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-50


Attachment-4

Attachement 4: Hasil Review Desa Calon MDK di Wilayah Kerja BBKSDA Jawa
Barat dan BBTNGGP

Kondisi Awal Desa-Desa Calon Lokasi MDK

A. Wilayah Kerja BBTNGGP

Dari hasil FGD dengan petugas BBTNGGP, usulan Desa Sindangjaya untuk calon MDK dari Consultan
Firm (CF) yang sesuai dengan hasil Laporan Akhir Program Investasi Pengelolaan Sumberdaya DAS
Citarum Terpadu (ADB TA 4381) Konservasi Keanekaragaman hayati), diminta untuk diganti oleh Desa
Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

Justifikasi Calon MDK :

1. 100 % kawasan penyangga dan + 400 Ha digarap oleh petani, dengan komoditi sayuran
(hortikultura)  tidak ada pohon tegakan (tanaman keras) sama sekali.
2. Lokasi meliputi 4 kampung dan jumlah penggarap sekitar 396 kk
3. Kepemilikan lahan petani umumnya sempit
4. Upaya rehabilitasi melalui program “Gerhan” gagal  kegagalannya disebabkan pengrusakan
oleh para petani dengan perlakuan tidak sesuai kaidah konservasi terhadap pohon hingga “
merana” dan mati.
5. Berpotensi tumbuhnya konflik sosial dengan masyarakat desa sebelahnya yang berada
di”bawah”nya, karena pernah mengalami longsor yang merenggut nyawa.  mereka
menuntut agar lahan garapan segera ditutup karena diduga menjadi penyebab terjadinya
longsor di bagian hilir.  untuk sementara berhasil didamaikan oleh Petugas BBTNGGP.
6. Berbagai kegiatan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat sudah sering dilakukan, tapi
belum mampu mengubah perilaku dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi
keanekaragaman hayati dan fungsi hutan lainnya.
7. Kelembagaan Petani sudah terbentuk, namun pada umumnya belum memiliki program
kegiatan / action-plan untuk upaya rehabilitasi & konservasi di lahan di kawasan Penyangga
secara sungguh-sungguh.

Profil Desa sukatani Kacamatan Pacet Hasil FGD dan Observasi Lapangan

1. Geografis: Lokasi Desa Sukatani berada di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan termasuk
kawasan penyangga Taman N)asional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Lokasi desa dapat
dicapai melalui Cibodas dan Cipanas.
2. Struktur dan Kultur:
• Struktur dan stratifikasi sosial berbasis agraris, lahan sempit dan buruh.
• Masyarakat terdiri dari kultur Sunda dan beragama Islam.
• Terdapat 4 unit Sekolah dasar (SD), dan 2 unit Sekolah Menengah Pertama (SMP).
• Seluruh petani penggarap telah membentuk 2 (dua) elompok tani, yaitu Kelompoktani
MMH (Masyarakat Membangun Hutan) trerdiri + 270 KK tani dan kelompok tani Puspa
Lestari terdiri dari + 22 KK. Tani. Kedua kelompok tani ini terbagi menjadi 46 sub
kelompok tani.
• Selain kelompok tani di desa juga sudah terbentuk kelembagaan lainnya, yaitu :MMP
(Masyarakat Mitra Polhut), MPA (Masyarakat Peduli Api), dan ada kelompok volunteer
sebanyak 20 orang yang terdiri dari para pemuda.
3. Pola-pola Adaptasi Ekologi: Sekitar 396 KK masyarakat desa Sukatani menggarap 400 Ha
Kawasan Penyangga TNNGP yang semula dikelola Perum Perhutani. Saat ini digunakan
sebagai lahan pertanian sayuran hortikultura.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-51


Attachment-4

4. Aksi-Aksi Kolektif: Berdasarkan hasil FGD diperoleh informasi bahwa seluruh petani penggarap
telah membentuk 2 kelompok tani, yaitu kelompok tani MMH (Masyarakat Membangun Hutan)
beranggotakan + 270 KK tani dan kelompok tani Puspa Lestari beranggotakan + 22 KK. Tani.
Kedua kelompok tani ini terbagi menjadi 46 sub kelompoktani. Data yang lebih detail ada
dalam lampiran. Selain kelompoktani di desa juga sudah terbentuk kelembagaan lainnya,
yaitu :MMP (Masyarakat mitra Polhut), MPA (Masyarakat Peduli Api), dan ada kelompok
volunteer sebanyak 20 orang yang terdiri dari para pemuda
5. Isu-isu terkait dengan keanekaragaman hayatii: Hampir seluruh lahan di kawasan penyangga
ditanami tanaman sayuran (kubis, wortel, bawang daun dll.), sedangkan sisanya kurang dari
10% terdiri dari semak belukar, dan tidak ada tegakan sedikitpun. Bila hal ini dibiarkan terus
maka dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya longsor dan sedimentasi pada sungai
Citarum. Berpotensi tumbuhnya konflik sosial dengan masyarakat desa sebelahnya yang
berada di”bawah”nya, karena pernah mengalami longsor yang merenggut nyawa.  mereka
menuntut agar lahan garapan segera ditutup karena diduga menjadi penyebab terjadinya
longsor di bagian hilir.  untuk sementara berhasil didamaikan oleh Petugas BBTNGGP. Data
lahan calon penanaman Resort Gunung Putri, data monografi Desa Sukatani dan data
perambahan per Blok di TNGGP tersaji pada Tabel 15, 16, 17 berikut ini:

Tabel 15. Data Lahan Terbuka/Calon Penanaman Resort Gunung Putri Tahun 2013

No Lokasi/Blok Resort Perkiraan Luasan Kondisi Vegetasi Saat Ini


Perdu-perduan, kaliandra,
1 Bobojong Gunung Putri 5 Ha
semak, Konyal/Pasiflora
2 Tanggeuk Gunung Putri 15 Ha Alang-alang, perdu, sayuran
3 Cipendawa/Sinapeul Gunung Putri 5 Ha Perdu, konyal, sayuran
Tanah Merah/Pasir
4 Gunung Putri 27 Ha Semak belukar, sayuran
Pogor
5 Ciguntur Gunung Putri 10 Ha Semak belukar, sayuran
6 Legok Majalaya Gunung Putri 20 Ha Semak belukar, sayuran
7 Ciputri Gunung Putri 5 Ha Perdu, semak belukar, konyal
Jumlah Total 87 Ha

Tabel 16. Kependudukan, Pendidikan dan Program yg telah Masuk ke Desa Sukatani

Kependudukan Pendidikan Program yg Masuk Desa


 L = 5.692 jiwa  Tidak tamat SD/ sekolah =  RHLP = 306 KK
 P = 5.391 jiwa 3.052 jiwa  Tidak Berhasil
 Jumlah = 11.083 jiwa  Tamat SD = 2.470 jiwa  Penyebab : Kurang
 Luas Wilayah = 762 Ha  Tamat SLTP = 868 jiwa tanggungjawab dari penerima
 Kerapatan Penduduk =  Tamat SLTA = 458 jiwa bantuan
14,545/Ha  Tamat Diploma = 5 jiwa
 Sarjana = 162 jiwa
 Lain-lain = 34 jiwa

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-52


Attachment-4

Tabel 17. Data Perambahan Per Blok di TNGGP

Tahun Koordinat
No Blok/Desa Ketinggian(Mpdl)
Masuk Keluar X Y
1 Blok Bobojong / Sindangjaya 2001 - 721325 9252716 1636
721153 9252498
721359 9252677
2 Blok Tanggeuk / Sukatani 2001 - 720603 9251719 1852
720917 9251648 1854
721360 9251816 1728
721713 9252254 1658
3 Blok Cipendawa / Cipendawa 2001 - 722048 9252373 1592
722044 9252303 1560
- 721569 9251948 1698
4 Blok Tanah Merah / Sukatani 2001 - 721438 9251633 1783
721492 9251329 1797
721603 9251364 1809
721728 9251614 1720
5 Blok Pasir Pogor / Cipendawa 2001 - 721748 9251103 1824
721756 9251242
- - 721795 9251284 1781
721835 9251236 1761
- - 722232 9251406 1694
722488 9251620 1621
721728 9251614 1720
6 Blok M. upah / Ciherang 2001 - 722154 9251513 1689
722488 9251620 1621
722631 9251778 1577
722612 9251858 1544
722896 9251930 1498
722870 9251978 1512
722414 9251887 1594
7 Blok Ciguntur / Ciherang 2001 - 724106 9252446 1343
724158 9252521 1317
724166 9252555 1337
721728 9251614 1720

B. Wilayah Kerja BBKSDA Jawa Barat

1. M odel Desa K onservasi untuk Rehabilitasi K aw asan dan P enyangga dengan Jenis
P ohon Endem ik dan Budidaya di Tam an Buru M asigit K areumbi
 Target Desa: Desa Sindulang
 Geografis: Desa berbukit, tidak berbatu, dan lahan subur. Berbatasan langsung
dengan Kawasan TBMK. Bahkan terdapat kampung di dalam kawasan (enclave) yaitu
Kampung Cigumentong.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-53


Attachment-4

 Struktur dan Kultur: Struktur dan stratifikasi sosial masyarakat berbasis sumberdaya
agraria, yakni lahan pertanian dan kehutanan. Tingkat pendidikan masyarakat relatif
rendah. Pola-pola kebudayaan masyarakat dikonstruksikan berdasarkan sistem norma
dan nilai tradisi Sunda dan Agama Islam.

 Pola-pola Adaptasi Ekologi: Mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah usahatani


tanaman semusim (sayuran) dengan kepemilikan lahan yang minim, rata-rata 200
tumbak (1 tumbak = 16 m²). Hasil hutan, seperti bambu, kayu bakar, dan jlember
(jamur) dimanfaatkan untuk memenuhi kayu bakar rumah tangga dan industri tahu,
tempe, dan kerupuk.

 Aksi-Aksi Kolektif: Rancangan warga desa untuk membangun Kampung Wisata, micro-
hydro berkolaborasi dengan Yayasan Mandiri dan LSM Wanadri.
 Isu-isu terkait dengan kehati: Penggunaan sumberdaya hutan terutama kayu bakar
sangat tinggi (bahkan cenderung terus meningkat untuk tujuan komersial). Kebakaran
hutan sering terjadi karena ulah masyarakat. Kegiatan konservasi tanah dan air tidak
dilakukan konsisten Perubahan dari status kawasan dari Hutan Produksi (Perum
Perhutani) menjadi kawasan konservasi (BBKSDA Jawa Barat).
 Kegiatan: (1) Pengembangan usaha ekonomi produktif (penanaman pohon aren dan
jasa lingkungan wisata); (2) Pelestarian sumberdaya tanah dan air; (3) Pengembangan
masyarakat dan kelembagaan; (4) Peningkatan peran petugas BBKSDA JAwa Barat
sebagai pendamping masyarakat bukan hanya sebagai polisi kehutanan.
2. M odel Desa K onservasi untuk P engembangan K ebun Rakyat untuk M enunjang
K ehati di CA Burangrang
 Target Desa: Desa Cihanjawar Kp. Gunung Bakti + 130 KK dan Kp. Pasir Banteng + 70
KK

 Geografis: Topografi berbukitan, tataguna lahan didominasi oleh pertanian, di sekitar


kawasan cagar alam Burangrang.

 Struktur dan Kultur: Sumberdaya agraris merupakan basis struktur sosial dan
strtatifikasi komunitas desa. Kepemilikan lahan warga Desa Cihanjawar tergolong kecil.
Rata-rata kepemilikan lahan warga kurang dari 0,5 ha bahkan ada warga yang tidak
memilikinya. Sistem norma dan nilai berbasis pada tradisi Sunda dan Agama Islam.
 Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi dan ketergantungan masyarakat dengan kawasan
cagar alam sangat tinggi mulai dari pemanfaatan lahan di sekitar perbatasan kawasan,
penggunaan kayu dan kayu bakar maupun sumberdaya lainnya.
 Aksi-Aksi Kolektif: Secara umum kelembagaan di desa (KTH, P3A, Kelompok Tani,
Bumdes) sekitar kawasan cagar alam Burangrang masih belum kuat dan optimal;
Tidak adanya kegiatan kelompok tani. Kelompok tani walaupun besar irisannya dengan
masyarakat tetapi manfaatnya cenderung rendah; dan BBKSDA Jawa Barat juga
menggulirkan program pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH).
 Isu-isu terkait dengan kehati: a). Konflik perebutan air kerap kali muncul baik sesama
warga maupun dengan warga luar desa. Hal ini diperparah dengan belum adanya tata
aturan pembagian air baik di aras dusun maupun desa. b). Perambahan hutan + 5 ha
oleh +. 10 orang penduduk
 kegiatan: (1) Pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH); (2)
Memberikan bantuan berupa paket ternak kambing bergulir; (3) Bantuan bibit pohon
yang bisa dimanfaatkan KTH sebagai stimulus bagi kegiatan kelompok.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-54


Attachment-4

3. M odel Desa K onservasi untuk P engembangan M atapencaharian Alternatif yang


tidak M engancam K eutuhan K aw asan di CA K am ojang
• Target Desa: Desa Cihawuk Kp. Puncak Mulaya (RW 7)
• Geografis: Desa Cihawuk merupakan desa dengan ketinggian lebih dari 1500 m dari
permukaan laut.

• Struktur dan Kultur: Struktur dan pelapisan sosial masyarakat berbasis agraris, yakni
budidaya hortikultura dan kehutanan. Kepemilikan lahan masyarakat secara umum
sangat sempit Pendidikan formal penduduk desa rata-rata tamat SD. Pola-pola
kebudayaan masyarakat berdasarkan tradisi Sunda dan pengaruh Agama Islam.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi antara masyarakat dengan hutan cukup kuat, hal
ini terlihat telah terjadi perambahan untuk tumpang sari pada area cagar alam seluas
10 ha oleh + 40 orang

• Aksi-Aksi Kolektif: Kapasitas masyarakat dalam berkelompok masih rendah sehingga


belum dapat mengatasi persoalan-persoalan riil masyarakat. Kelompok yang ada saat
ini merupakan kelompok yang di’drive’ oleh program, baik KTH ataupun program PNPM.
Ada organisasi pengguna air untuk pengelolaan air desa.

• Isu-isu terkait dengan kehati: Erosi yang disebabkan pola pertanian hortikultura
mempengaruhi penurunan kesuburan lahan dan kekeruhan air. Budidaya hortikultur
yang di masyarakat berdampak pada merebaknya praktek tumpangsari pada program
Perhutani (PHBM). Hal ini berdampak pada praktek perambahan kawasan cagar alam
dengan memperlebar area tumpang sari masuk ke kawasan (majusi, maju ka sisi).
Mulai terjadi perebutan air karena sumber mata air mulai berkurang.
 Usulan kegiatan: (1) Membangun Bank Benih; (2) Penyediaan modal usaha produktif;
(3) Rehabilitasi hutan bersama masyarakat (partisipatif); (4) Koordinasi antara KTH-
PSDH, pihak desa dan BBKSDA Jawa Barat.

4. M odel Desa K onservasi untuk P engembangan P ohon Sumber K ayu Bakar dan
Bahan Arang di CA Gunung Tilu
• Target Desa: Desa Mekarsari

• Geografis: Desa Mekarsari merupakan lokasi terdekat dengan kawasan hutan Cagar
Alam Gunung Tilu. Berlokasi di kawasan enclave yang dikelilingi oleh kawasan hutan
lindung Perum Perhutani, kawasan perkebunan teh dan kawasan cagar alam.
• Wilayah di desa Mekarsari terdiri dari kawasan pertanian adalah 1049 Ha, kawasan
hutan lindung 5000 ha, kawasan hutan produksi 1200 ha dan kawasan perkebunan teh
600 ha. Jumlah penduduk adalah 5.223 jiwa dengan perincian 2.553 laki laki dan 2.670
perempuan.
• Struktur dan Kultur: Struktur dan kultur masyarakat di Desa Mekarsari sangat
dipengaruh oleh dinamika perkebunan teh dan aktivitas hutan produksi. Status sosial
masyarakat sebagai pekerja atau buruh perkebunan mendominasi proses-proses sosial
masyarakat. Tingkat pendidikan formal masyarakat relatif rendah (mayoritas)
pendidikan SD. Tradisi Sunda dan pengaruh Agama Islam mempengaruhi pola-pola
kebudayaan masyarakat setempat.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Masyarakat memiliki nilai tradisi dalam melestarikan hutan,
dimana setiap tahun ada ritual memberi-kan sedekah bumi bagi hutan serta melakukan
penanaman terhadap kawasan hutan yang rusak.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-55


Attachment-4

• Kasus-kasus penebangan liar terjadi terutama pada masa krisis ekonomi tahun 1998,
dimana tekanan terhadap hutan dikarenakan tekanan kemiskinan. Namun tekanan itu
menurun ketika masyarakat mulai mendapatkan akses terhadap pengelolaan hutan
melalui Perum Perhutani dengan penanaman kopi.

• Aksi-Aksi Kolektif: Keberadaan kelompok organisasi masyarakat, yaitu kelompok tani


hutan, yang telah mulai berinisiatif dalam upaya pelestarian hutan. Kelompok
masyarakat di Gambung memiliki potensi besar karena telah melakukan upaya
pengamanan hutan secara swadaya.

• Ketika akses masyarakat terhadap kawasan hutan dibuka dengan skema perjanjian
kerja bagi hasil dalam penanaman kopi dan rumput gajah maka hutan cenderung mulai
membaik.
• Isu-isu terkait dengan kehati: merupakan salah satu wilayah sumber tekanan yang
cukup tinggi terhadap kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Pada tingkat lapangan yang
terjadi respon masyarakat terhadap pola bagi hasil dan kerjasama perhutani dimana
bagi hasil dianggap masih kurang menguntungkan masyarakat, sementara Perhutani
hanya memberikan ijin lahan tanpa memberikan pendampingan teknis produksi sampai
pemasaran termasuk aspek permodalan. Masalah yang paling sering muncul adalah
ketidakjelasan tata batas antara hutan lindung perhutani dan kawasan cagar alam.
Ketidakjelasan tersebut bisa mengakibatkan masyarakat masuk ke kawasan cagar alam
karena ketidaktauan mereka.
• Kegiatan: (1) Pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam sebagai alternatif peningkatan
pendapatan seperti tanaman obat dan buah buahan; (2) Pengembangan pola
kerjasama masyarakat dengan Perhutani; (3) Pengembangan potensi biogas; (4)
Implementasi mekanisme pembayaran untuk kelestarian kawasan daerah tangkapan
air; (5) Pengalokasian areal kawasan untuk cadangan kayu bakar menjadi penting.
Pengembangan areal kawasan tidak hanya pada hutan namun bisa pada areal
perkebunan dan kampung.

Inception Report ADB Grant 0216-INO | L-56


Lampiran-2

Lampiran 2 :

R esum e Focus Group Discussion (FGD) dan Review Existing


Program di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP

R esum e Focus Group Discussion (FGD) dI Balai Besar Taman Nasional


Gunung Gede Pangrango - Jum’at, 8 Februari 2013

1. Eksplorasi Permasalahan
Kawasan konservasi yang ada di BBTNGGP menurut asalnya dapat dibagi dua kawasan,
yaitu: Kawasan yang asli (± 15.000 Ha) dan Kawasan hasil penanaman pohon komersial
(dulunya kawasan perhutani seluas ± 7.000 Ha). Sistem Restorasi yang akan di laksanakan
sebaiknya hasil pengembangan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak
TNGGP, diantaranya: program adopsi pohon dan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL)

Makna restorasi yang lebih luas perlu di sampaikan pada stekholder maupun masyarakat
sekitar kawasan, sehingga kedepannya dapat dimengerti oleh semua pihak terutama para
petugas dari BBTNGGP yang di lapangan. Restorasi juga harus melihat dari sudut
pengembangan Fauna, sehingga dapat menunjang penyebaran fauna yang ada di daerah
asal. Model Restorasi dapat dilaksanakan pada berbagai kerusakan kawasan, dan dengan
konsep yang sederhana dikembangkan oleh pihak manajemen BBTNGGP.

Tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap kawasan, sehingga sampai


sekarang masih adanya gangguan terhadap kawasan, dimungkinkan untuk Restorasi di
laksanakan pada kawasan peralihan (dulunya kawasan Perhutani) dimana tanamannya
merupakan tanaman komersial yang nantinya akan diubah menjadi tanaman tanaman
asli/lokal (endemik)

2. Pokok-Pokok Hasil FGD Di TNGGP


1) Kegiatan restorasi berbasis masyarakat harus ada kordinasi dengan pihak
stekholder/aparat setempat (Desa, Camat dan intansi terkait) sehingga dapat
berkelanjutan dan saling menjaga.
2) Pelaksanaan Restorasi akan dikembangkan dari hasil pengembangan program-program
yang terdahulu, dilihat dari: a).Ketepatan teknis, b). Ketepatan sosek
3) Pemilihan area yang akan di Restorasi di kawasan BBTNGGP di forum FGD belum ada
kesepakan yang tetap, karena: a). Kawasan yang rusak di BBTNGGP hampir 99% sudah
dilaksanakan program rehabilitasi antara lain: RHL, Adopsi pohon, Gerhan, b) Restorasi
jangan samapai terjadi tumpang tindih kegiatan dan pendanaan.
4) Kawasan konservasi di Desa Sukatani dalam forum FGD banyak di bicarakan karena
terjadi perambahan hutan untuk pertanian masyarakat setempat (lahan yang terbuka),
faktor penyebabnya antara lain:

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-32
Lampiran-2

a) Masyarakat Desa Sukatani, tidak punya lahan untuk pertanian --lahan mereka dijual
di bangun villa-villa dan lain-lain, sementara nilai komoditas pertanian al. cabe, cukup
mengiurkan.
b) Kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi sangat kurang, walaupun
sudah ada Per-Des (Peraturan Desa) mengenai lahan.
c) Kawasan yang termasuk pada Desa Sukatani sudah sebagian besar pernah masuk
pada program TNGGP seperti Gerhan dan RHL.
5) Jenis Fauna yang tersebar/yang ada di sekitar kawasan Sukatani yaitu: Owak Jawa,
Surili, Macan Kumbang, Macan Tutul.
6) Dari hasil diskusi ada beberapa masukan dari pihak BBTNGP, untuk pelaksanaan
Restorasi dilakukan di kawasan:
a) Kawasan asli yang Homogen (Mahoni)
b) Di bawah Kawasan perluasan yang sekarang berbenttuk hutan klimak tapi jenis
komersial (Pinus, damar)
c) Diarea kawasan kanan kiri sungai (KAKISU) yang termasuk DAS Citarum
d) Di kawasan yang sekarang di kuasai penggarap (petani)
e) Lahan perluasan yang sekarng terbuka tetapi 99% sudah terkena program
rehabilitasi
7) Pola Restorasi yang di laksanakan bersama masyarakat (kolaborasi), menggunakan
kriteria:
a) Harus berkelajutan
b) Singkron/sesuai dengan piak UPT
c) Dirancang untuk 5 tahun kedepan sebagai acuanpihak manajemen BBTNGP
d) Sistem monitoring dan pelaporan dibuat panduan jelas jika berhasil atau tidak
berhasil diukur dari apa.
8) Data yang dihasilkan dari Forum FGD selain dari lapangan berbentuk juga secara
administrasi mengenai Juknis-juknis Restorasi, adopsi pohon, RHL

Setelah melalui tahapan-tahapan: i) Koordinasi/Konsultasi, ii) FGD dengan staf BB TNGGP,


iii) Analisis spasial, dan iv) Orientasi Lapangan, prioritas Lokasi PPR/RL di kawasan
konservasi BBTNGGP adalah sebagai berikut:

 Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi Bekas Perambahan (10 Ha)


Nama Desa : Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
Justifikasi :

a. Letak Lokasi : Blok Romusa, Resort Gunung. Putri, ketinggian


±1.600 m dpl.
b. Fungsi Restorasi : Rehabilitasi Kawasan hutan bekas penggarapan
masyarakat
c. Kerusakan : Terdapat perambahan/penggarapan aktif oleh
penggarap dengan tanaman jenis sayur-
sayuran (wortel, brokoli,bawang daun)
d. Habitat kawasan : Jenis aves, mammalia, reptil

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-33
Lampiran-2

e. Flora endemik : Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopis


argentea), Rasamala (Altingia excelsa)
f. Manfaat restorasi : Pemulihan kawasan hutan sebagai peserta eks
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Perum Perhutani
g. Kelembagaan : Sudah ada Kelompok Tani Hutan (KTH)
Masyarakat
h. Sejarah penggarapan : Sudah berlangsung lama sejak dikelola oleh
Perum Perhutani
i. Program yang telah ada : Persiapan untuk program MDK TNGGP tahun
2013
j. Pemberdayaan yg telah : Dilibatkan dalam program RHL/RHLP, pelatihan
masyarakat, bantuan ternak dan jamur ada
k. Prioritas program : Termasuk sarasan TNGGP untuk restorasi
kawasan dan program MDK (2013)
l. MDK yang diusulkan : MDK Berbasis non lahan
m Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat oleh alat Global Positioning
System (GPS)

 Prioritas Lokasi Pilot Restorasi Gangguan Tanaman IAS(10ha)


Nama Desa : Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
Justifikasi :
a. Letak Lokasi : Blok Telaga Saat, Resort Mandalawangi,
ketinggian lokasi ±1.400 m dpl.
b. Fungsi Restorasi : Meng”eradikasi” jenis tanaman pengganggu
“IAS” (invasive alien species)
c. Kerusakan : IAS al. jenis: Konyal, Pisang hutan, Babakoan,
Kirinyuh dapat menggangu hingga mematikan
tanaman jenis endemik
d. Habitat kawasan : Kera, OwaJawa, Babi hutan, jenis aves
e. Flora endemik : Jamuju, Rasamala, Puspa, Saninten
f. Manfaat restorasi : Pemulihan ekosistem hutan alam
g. Kelembagaan : LSM Lokal Masyarakat
h. Informasi : IAS menurut cerita telah mulai berkembang
sejak lama, persebaran biji oleh satwa,
pertumbuhannya sangat cepat menekan
tanaman endemik (melilit, menutupi tajuk).
i. Program yang telah ada : Kegiatan eradikasi IAS oleh TNGGP bekerjasama
dengan masyarakat/LSM Lokal dan Penyusunan
Renstra Pengelolaan IAS di TNGGP Tahun 2012-
2016
j. Prioritas program : Membuat kajian dan model eradikasi IAS
k. Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat oleh alatGlobal Positioning System
(GPS)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-34
Lampiran-2

 Prioritas Lokasi Pilot Restorasi Re-ekosistem Hutan Alam (10ha)


Nama Desa : Ciloto, Kecamatan Ciloto Kabupaten Cianjur
Justifikasi :
a. Letak Lokasi : Blok Pasir Sumbul, Resort Mandalawangi,
ketinggian lokasi ±1.300 m dpl
b Fungsi Restorasi : Mengembalikan ekosistem hutan monokultur
jenis Pinus merkusii dan Agathis alba, menjadi
ekosistem rimba dengan jenis Jamuju, Puspa,
Saninten, Rasamala.
c. Kerusakan : Tumbuhan endemik tidak dapat berkembang
dilokasi monokultur
d. Habitat kawasan : Kera, OwaJawa, Babi Hutan, Macan tutul
e. Flora endemik : Jamuju, Rasamala, Puspa, Saninten
f. Manfaat restorasi : Pemulihan ekosistem hutan alam
g. Informasi : Hutan pinus eks Perum Perhutani telah disadap
berapa kali dengan sistem kowakan, sehingga
rentan roboh,tanaman pinus telah berumur
tua/masak tebang.
h. Program yang telah ada : RHL 2010
i. Prioritas program : Membuat kajian dan demplot perubahan
ekosistem monokultur menjadi ekosistem hutan
alam heterogen dengan jenis endemik Jamuju,
Rasamala, Puspa, Saninten.
j. Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat oleh alatGlobal Positioning System
(GPS)

R esum e FGD Di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa
Barat -Sabtu, 9 Februari 2013

1. Eksplorasi Permasalahan
(1) CA Burangrang
Kawasan CA Burangrang terjadi perambahan kawasan (Blok Ngagrak/Cikalong Wetan)
sekitar 44 KK. Disekitar Blok Cikawari/Desa Pasirwangi, kerusakan hutan sekitar 200 ha
dan di Blok Ciwedi sekitar 34 ha. Masyarakat perambah kawasan umumnya petani
penggarap, dan umumnya para perambah adalah masyarakat yang tidak masuk dalam
KTH program PHBM Perum Perhutani. Kebutuhan kayu bakar tinggi, karena penggunaan
gas LPJ belum sampai ke desa, sehingga masyarakat mengambil kayu bakar dari
kawasan CA Burangrang Kegiatan RHL telah dilakukan sejak tahun 2007. Menjadi
sasaran program “penurunan perambah” BBKSDA tahun 2013

(2) TB Masigit Kareumbi


Lahan terbuka akibat kebakaran, bekas penebangan PT PMS, pohon tumbang akibat
penyadapan berlebihan (utk jenis Pinus) lebih dari 9 “koakan” sadap, kerusakan akibat
pengambilan kayu bakar masyarakat sekitar. Telah dilakukan RHL sejak lama al. dengan
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-35
Lampiran-2

penanaman jenis Pinus (80% dari luas TB MK), dan Puspa. Di TB MK tidak ada
perambahan hutan.

(3) CA Gunung Tilu


Perambahan kawasan hutan terutama yang berada diperbatasan dengan desa, yang
semula luasnnya kecil dan kemudian meluas sekitar 10 ha. Kondisi masyarakat petani,
pendidikan rendah, kesempatan kerja rendah, penghasilan rendah. Masyarakat umumnya
menanam teh + palawija. Luas perambahan diperkirakan 15 ha, dengan tanaman kopi.
Beberapa Desa al. Sukamaju, Warna sari, dan sekitarnya. Perambahan hutan CA Gn.Tilu
setelah adanya rekonstruksi tata batas CA Gn Tilu. Para perambah umumnya menaman
Cabe “bendot” dengan luasan < 1 ha per perambah. Sudah ada upaya bekerja sama dg.
KaDes, TNI dan Masyarakat. Pada tahun 2013 perambahan sekitar 11 hektar.

(4) Informasi Luas Lahan Kritis


Upaya rehabilitasi lahan (RHL) telah dilakukan sejak tahun 2003-2007 melalui APBN dari
BPDAS Citarum-Ciliwung. Kondisi lahan kritis di 3 lokasi yaitu: CA Burangrang: 59 ha
(kritis), CA Gn Tilu: 42,3 ha (sangat kritis), TB M.Kareumbi: 602 ha (sangat kritis) dan
619 ha (kritis)

2. Pemilihan Calon Desa & Lokasi Pilot Proyek Restorasi

1) Taman Buru Masigit Kareumbi:


Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)
Nama Desa : Tanjung Wangi, Kec.: Cicalengka, Kab.Bandung
Justifikasi :
a) Letak : Blok Kawasan Cinini (areal bekas kebakaran)
Resort BBKSDA Masigit Kareumbi, ketinggian lokasi
±1.200 m dpl.
b) Kawasan pilot proyek : Masuk dalam wilayah DAS Citarum
c) Sasaran Restorasi : Bekas kebakaran, pencurian kayu bakar dan kayu
pertukangan, diperkirakan sekitar 50% rusak.
d) Jenis flora endemik : Hutan alam rasamala, podocarpus, kareumbi,
saninten,dll
e) Kelembagaan Masyarakat : Sudah ada KTH persemaian Jabon
f) Kolaborasi Managemen yang telah ada : Koperasi Wanadri (untuk Wisata Alam)
dan pengembangan model “Wali pohon” untuk
rehabilitasi hutan
g) Jenis satwa buru : Babi hutan
h) Aksesibilitas : Infrastruktur cukup memadai
i) Pendekatan restorasi : Rehabilitasi lahan dan Enrichment planting
j) Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat dengan GPS
k) MDK yg diusulkan : Berbasis Usaha Kehutanan Tanaman Produktif
Cepat Tumbuh/MPTS
l) Model RBM : Diusulkan menjadi prioritas model RBM dengan
Kantor Kepala Resort KSDA Masigit Kareumbi

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-36
Lampiran-2

dipindahkan berada di lokasi kawasan TB Masigit


Kareumbi.

2) Cagar Alam Burangrang:


Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)
Nama Desa : Cihanjawar, Kec. : Bojong, Kab.: Purwakarta
Justifikasi :
a) Letak Blok : Cihanjawar, Resort BBKSDA Burangrang,
berbatasan dengan desa Cihanjawar.
b) Fungsi restorasi : Perlindungan bagian hulu S. Cihanjawar
c) Pemanfaatan jasa hutan : Terdapat banyak sumber mata air untuk memenuhi
kebutuhan air bersih desa sekitar
d) Habitat kawasan : Satwa dilindungi al. kancil, mencek, lutung, dll
e) Jenis Flora khas : Podocarpus sp, rasamala, anggrek, dll
f) Kawasan rusak : Kondisi kawasan hutan relatif masih baik, terdapat
perambahan hutan sekitar 5 hektar (10-14
perambah)
g) Kelembagaan Masyarakat : Telah terbentuk KTH bidang penanaman
h) Masyarakat perambah : Petani umumnya sebagai penggarap
i) Program yg telah ada : Pengembangan kompos, padi/beras merah
j) Aksesibilitas : Infrastruktur cukup baik & terjangkau
k) Pendekatan restorasi : ANR+Enrichment planting
l) Peluang Ekonomi : Kerajinan sapu “songket”, gula aren, madu, lokasi
target desa “outbond”, camping dan pelatihan
pecinta lingkungan/pendaki gunung/pertanian.
m) MDK yang diusulkan : Prioritas MDK Berbasis Pendidikan dan Agribisnis
n) Model RBM : Prioritas untuk menjadi RBM dengan membangun
kantor baru Resort Burangrang berdekatan di lokasi
kawasan (Desa Cihanjawar).
o) Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat dengan GPS

3) Cagar Alam Gunung Tilu:


Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)
Nama Desa : Sukaluyu, Kec. : Pasir Jambu, Kab.: Bandung
Justifikasi :
a) Letak : Blok Cipadarung, Resort Gunung Tilu
b) Fungsi Restorasi : Perlindungan hulu sungai Cibaliung
c) Kerusakan : Terdapat perambahan aktif sekitar 10 ha dengan
jumlah perambah sekitar 40-50 orang
d) Habitat kawasan : Oak Jawa, surili, dll
e) Flora endemik : puspa, rasamala, jamuju, hiur
f) Manfaat restorasi : Pemulihan habitat dan menjadi penyangga
daerah/desa sekitar agar tidak melalukan
perambahan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-37
Lampiran-2

g) Kelembagaan Masyarakat : Sudah ada KTH sebagai peserta PHBM Kopi+Cabe


paprika (bendot)
h) Sejarah perambahan : akibat dari perambahan yang terjadi tahun 1998
i) Program yang telah ada : penyuluhan, Kesepakatan tidak menjarah hutan
(level Kepala Desa, Kepala Resort BBKSDA)
j) Lingkungan sekitar : Pencurian kayu, Penambangan Tanpa Ijin (Peti)
bekas hasil survei dari tambang emas Pongkor,
Perburuan liar
k) Pemberdayaan yg telah ada : peternakan domba
l) Info lainnya : Pada pal batas 1100 terdapat perambahan hutan di
Desa Pasir Jambu, Ds. Sugimukti. Blok. Geneng:
terdapat perambahan sekitar 5 ha jumlah sekitar 20
perambah, bercocok tanam al.: tanaman
pertanian/sayur-sayuran.
m) Prioritas program : Termasuk sarasan BBKSDA untuk
penurunan/pengeluaran perambah (2013)
n) MDK yang diusulkan : MDK Berbasis Agribisnis-Agroforestry tanaman
sayur-sayuran.
o) Model RBM : Diusulkan prioritas menjadi model RBM dengan
penguatan kelembagaan dan fasilitas sarana
prasarana.
p) Titik Koordinat Lokasi : Telah dicatat dengan GPS

Prioritas Lokasi Pilot Restorasi/Rehabilitasi (10-15 ha)


Nama Desa : Sugih Mukti, Kec. : Pasir Jambu, Kab.: Bandung
Justifikasi :
a) Letak : Blok Karang Gludug, Resort Gunung Tilu
b) Fungsi Restorasi : Perlindungan hulu sungai Cibaliung
c) Kerusakan : Terdapat perambahan aktif sekitar 5-10 ha dengan
jumlah perambah sekitar 20-30 orang dengan
tanaman: sayur2an, terong, cabe “bendot”
d) Habitat kawasan : Oak Jawa, surili, dll
e) Flora endemik : puspa, rasamala, jamuju, saninten, dll
f) Manfaat restorasi : Pemulihan habitat dan menjadi penyangga
daerah/desa sekitar agar tidak melalukan
perambahan
g) Kelembagaan Masyarakat : Sudah ada tetapi tidak aktif dalam KTH restorasi
kawasan konservasi
h) Sejarah perambahan : akibat dari perambahan yang terjadi tahun 1998- an.
i) Program yang telah ada : penyuluhan, dan MOU kesepakatan Masyarakat Desa
(level Kepala Desa, Kepala Resort BBKSDA)
j) Lingkungan sekitar : pencurian kayu untuk kayu bakar, kayu bahan bakar
arang, dan perburuan liar
k) Prioritas program :Termasuk sarasan BBKSDA Jabar untuk
penurunan/pengeluaran perambah Tahun 2013

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-38
Lampiran-2

l) MDK yang diusulkan : MDK berbasis Ekowisata dan Budidaya anggrek,


tanaman obat, madu lebah.
m) Model RBM : Diusulkan prioritas menjadi model RBM dengan
penguatan kelembagaan dan fasilitas sarana
prasarana.

3. Pendekatan Model Restorasi


1) Pendekatan Model Restorasi Kawasan Hutan Konservasi ditetapkan dengan
menggunakan kriteria tipology fisik dan sosial: i) tingkat kerusakan habitat kawasan, ii)
kondisi sosek, iii) kelembagaan masyarakat, iv) aksesibilitas, dan v) sasaran program
penurunan perambah BBKSDA.
2) Consultant Firm (CF) menyiapkan instrument (Panduan, Rancangan, Teknologi, Modul
Pelatihan, dll), pelaksana kegiatan dan sumber pendanaan oleh BBKSDA/TNGGP.
3) Model Restorasi berbasis Pemberdayaan Masyarakat dengan melibatkan multipihak dan
input teknologi TTG perlu dirancang dan memiliki nilai + (plus) yang berbeda dengan
program eksisting yang telah ada.
Bandung, 12 Februari 2013
Tim Pilot Proyek Restorasi-CWMBC

1. Soeparno W, Ir., MSc. (TC)


2. Sigit Kurniawan, Ir., MSi.(FE)
3. Yayat Hidayat, Dr. MSi. (LR/RTTI)
4. Maulana Hilman, S.Hut. (FA)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-39
Lampiran-2

Minute of Meeting (MOM) : FGD DI BBTNGGP DAN BBKSDA JABAR


(8-9 Februari 2013)

A. Proses FGD Di TNGGP

Waktu : Hari Jumat, 8 Februari 2013, ukul 13.00 – 16.00


Tempat : Ruang Sidang Kantor TNGGP Cibodas

Acara : Dibuka oleh pak Deni (IC), Dilanjutkan dengan sambutan Kepala Balai TNGGP (Pak
Hery) kemudian diskusi (FGD).

Hal-hal penting dalam FGD

1. Sambutan Kepala TNGGP


1) Di TNGGP terdapat dua kelompok hutan, yaitu kelompok hutan jenis semula dan
kelompok hutan tanaman (areal perluasan: jenis tanaman komersial, eks perhutani)
2) Terdapat kriteria dalam konteks restorasi:
a. Tutupan vegetasi <30% perlu restorasi
b. Jenis tanaman komersial
Kelompok hutan jenis komersial merupakan areal eks perhutanan, berada pada
Zona Tradisional, didominasi oleh jenis Damar dan Pinus. Strategi restorasinya
adalah bagaimana mengganti jenis-jenis tersebut (jenis komersial) menjadi jenis-
jenis yang ada di kelompok hutan jenis semula (jenis setempat), bagaimana
polanya/skimnya.
c. Permasalahan IAS
Adanya jenis IAS (Invasive Alien Species). Bagaimana mengatasi penyebaran jenis
IAS ini.
d. Permasalahan sosial
Permasalahan sosial antara lain penggarapan lahan, pencurian, perambahan dll,
terutama di zona Tradisional. Bagaimana pola /skim program restorasi terkait
dengan kondisi permasalahan tersebut.
3) Program-program penanaman yang telah dijalankan di TNGGP berkaitan dengan
Rehabilitasi dan Restorasi habitat adalah:
a. Model Adopsi pohon,
b. Model Green Radio
c. Model Oiska
d. RHLP (Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif)
e. Rehabilitasi biasa
4) Tujuan kita tidak hanya best practice-nya saja tetapi konsep restorasi yang tidak
mengawang-ngawang.

2. Pemaparan Rencana Kerja TC#2, disampaikan oleh pak Sigit dari CF


Bahan pemaparan lihat slide presentasi.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-40
Lampiran-2

3. Proses Diskusi
Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 9 Berikut ini:

Tabel 9. Saran dan Masukan Pada Saat FGD di TNGGP

No Nama/jabatan Pertanyaan, Saran dan Masukkan


1 Nurcholis (Ka Resort • Pertama perlu kegiatan Prakondisi, antara lain koordinasi dengan
Mandalawangi) masyarakat dan pemerintah setempat.
• Kedua membangun kolaborasi yang epektif melibatkan SKPD
• Ketiga action di lapangan, model PRA
• Ada 4 resot 16 Desa
2 Deni Darmawan • Mata pencaharian masyarakat Desa Sukatani sebagian besar
(Ka Resort Sukatani) bertani sayur mayur
• Lahan milik banyak dikuasi orang luar Desa, sementara
masyarakat yang memiliki lahan hanya sedikit sekali.
• Kegiatan rehabilitasi umumnya hanya menanam saja tidak ada
ada pemeliharaan dan pemberdayaan masyarakat (antara lain
program penyadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi)
• Beberapa kegiatan banyak dilakukan tetapi secara umum belum
ada yang sukses
• Lahan bengkok kuwu juga disewakan untuk peternakan
3 Nurcholis (Ka Resort • Tidak perlu banyak program karena membingungkan, lebih baik
Mandalawangi) focus.
• Tanah-tanah disepanjang jalan Sukatani sudah dibeli orang kaya
dari luar daerah dibangun vila.
• Pola tanam satu site lahan bisa banyak komoditas
4 Heri • Pada umumnya kegiatan restorasi bersifat ceremonial saja,
(perencanaan) masyarakat belum berdaya
• Tidak ada tindak lanjut berupa evaluasi kegiatan secara kontinyu
• Program Adopsi pohon pun belum ada jaminan kegiatan
restorasi, oleh karena itu perlu pola/skim yang tepat
5 Deni Darmawan • Adopsi di Sarongge (10 ha) tujuan utama mengeluarkan
(ka Resort Sukatani) penggarap dari dalam kawasan

6 Pak Adi (Kasi P3) • Sudah terdapat beberapa juknis di TNGGP (Juknis restorasi,
kajian satwa kunci, juknis adopsi pohon, renstra IAS, juknis
eradikasi IAS, masterplan MDK)
• Masalah nomenalatur harus diluruskan (apakah restorasi atau
rehabilitasi)
• Dalam restorasi perlu ada ekosistem referensi,
• Perlu identifikasi jenis vegetasi kunci dan satwa kunci, kelemahan
selama ini pemilihan jenis bibit tidak dikorelasikan dengan satwa
yang menjadi agen penyebarannya.
• Sistem zonasi TNGGP sudah disahkan th 2011, kegiatan restorasi
harus ditempatkan di zona rehabilitasi sekuas 4.500 ha
• Renstra IAS sudah dievaluasi selama 5 tahun serta sudah
menghasilkan juknis eradikasi IAS
• IAS sangat responsif terhadap bukaan tajuk (gap)
• IAS yang paling berbahaya konyal dan pisang kole (pisang kole
sering muncul dengan pohon kibima)
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-41
Lampiran-2

No Nama/jabatan Pertanyaan, Saran dan Masukkan


• Adopsi pohon ada dua tipe (1. Sistem 400 bt/ha dan 2. 20.000
bt/ha (sistem Miyawaki)).
• Masalah blunder pemberdayaan masyarakat : pihak TNGGP selalu
jadi tumpuan/dewa, contiunitas program tidak optimal,
• Tidak boleh ada double kegiatan pada lokasi yang sama
• Sistem pilot project Restorasi seperti apa? (penelitian atau
restorasi sebenarnya) kalo bentuk penelitian lebih memungkinkan
dilaksanakan.
7 Pak Hidayat • Alternatif lokasi restorasi di lahan perluasan yang belum ada
kegiatan rehablitasi sebelumnya
• Cari masyarakat yang baik-baik (bisa diatur)
• Kenapa lokasi plot project harus 25 ha tidak 10 ha atau 5 ha?
• Harus ada penjelasan yang jelas : kriteria ringan, sedang dan
berat, dari apa? Jika dari tutupan berapa persentasinya?
8 Pak Adi • Apakah demplot 25 ha itu harus dalam satu hamparan?
• Apakah cukup mereview saja model restorasi yang telah ada di
TNGGP? Tidak perlu membuat demplot yang baru?
9 Pak Joko • Ketegasan model demplot apa satu hamparan atau bisa spot-spot
(ANR, enrichment, planting) dalam satu blok
• Apakah pembibitan terdapat dalam rencana?
• Bagaimana keterkaitan antara judul kegiatan dengan outcome
demplot?
• Bibit disuplai dari TNGGP , CF mendesain.
• Juknis yang dikembangkan TNGGP adalah enrichment
• Pola RHL BPDAS ada pola pengkayaan (400 btg/ha) dan reboisasi
murni (1200 btg/ha) pada tuplah < 35%.
• Ada juga pola Miyawaki (20.000-30.000 btg/ha)
• Perlu dikaji lebih lanjut model/pola yang akan dikembangkan
• Tujuan mengeluarkan penggarap dari dalam kawasan sangat
sulit, apakah program ICWMB juga sampai ke sana
• Pada dasarnya kegiatan tanam menanam adalah zona
rehabilitasi, pemanfaatan,
• Zoa inti dan rimba tidak dapat dilakukan tanam menanam
• Kegiatan demplot bisa juga dilakukan di kelompok hutan asli
(15.000 ha), atau di kelompok hutan perluasan
• Walaupun tutuplah >35% tetapi jenisnya kurang sesuai mungkin
bisa dilakukan model restorasi
• Mengusulkan pola restorasi berbasis alur sungai, dengan
demikian areal demplot bisa kompak.
• Demplot jangan di tempat pada lokasi spot-spot yang berbeda
beda (beda resot) karena merepotkan penanganan.

4. Resume
a. Lokasi demplot restorasi belum dapat dipastikan, harus dilakukan survey dulu ke
lapangan pada beberapa calon lokasi yang muncul dala FGD
b. Dari hasil FGD dapat diidentifikasi alternatif model restorasi yang dapat
dikembangkan yaitu:
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-42
Lampiran-2

1. Restorasi hutan monokultur menjadi heterokultur


2. Restorasi berbasis alur sungai
3. Restorasi kelompok hutan tanaman komersial menjadi hutan konervasi
4. Restorasi hutan yang diocupasi pengaarap
5. Restorasi kawasan hutan yang memiliki masalah IAS

B. Proses FGD di BBKSDA JABAR


Waktu : Hari Sabtu, tanggal 9 Februari 2013, pukul 9.00 -14.00

Tempat : Ruang rapat antor BBKSDA Jabar, Bandung

Acara : Dibuka oleh Pak Ambar (TL), dilanjutkan dengan sambutan Kepala BBKSDA (pak
Joko). Acara diskusi difasilitatori oleh pak Roby.

1. Sambutan Kepala Balai BBKASDA


• Tujuan FGD mensinergikan apa yang telah tertulis dalam proposal dulu dengan
kegiatan riil di lapangan
• Community Development (CD) dengan Restorasi sebaiknya menjadi satu tetapi
untuk yang mestreaming boleh dipisah
• Konsep yang ingin dikembangkan adalah penurunan perambah dengan metode
persuasif. Metode persuasif perlu proses para pihak yang harus dilalui terkait
dengan CD dan restorasi.
2. Proses FGD
Dipandu/fasilitatori oleh pa Roby, di arahan pada tiga pertanyaan kunci yaitu:

1. Pertimbangan-pertimbangan apa yang perlu diperhatikan untuk pelaksanaan


restorasi
Dalam arahan Kepala Balai diungkapkan bahwa R estorasi harus menjawab isu
kerusakan kawasan, isu bagaiaman CD dilakukan, bagaiaman restorasi dapat
menurunan penggarap.
2. Dimana lokasi model (pilot project) akan dilaksanakan
3. Secara umum bagaimana tahapannya

Beberapa pertanyaan saran dan masukan disajikan pada Tabel 10 berikut ini:

Tabel 10. Saran dan Masukan Pada Saat FGD di BBKSDA Jawa Barat

No Nama/jabatan Pertanyaan, saran dan masukkan

Pak Dedi • Masalah berat di CA Burangrang adalah penyerobotan lahan antara


1 lain di Desa Nagrak dan Cihanjawar
(Ka Resort • Di Desa Nagrak: Masyarakat belum sepenuhnya menggunakan GAS
Burangrang) LPG , masih membutuhkan kayu bakar yang dipanen dari dalam
kawasan
• Blok Cihanjawar: terdapat l.k. 200 ha lahan. Kepemilikan lahan dikuasi
oleh orang luar Desa.
• Pada umumnya penduduk Desa Cihanjawar adalah buru tani

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-43
Lampiran-2

No Nama/jabatan Pertanyaan, saran dan masukkan

• Terdapat penrajin sapu ijuk, dimana memerlukan bahan rotan . Rotan


tsb dipanen dari dalam kawasan hutan.
2 Pak Atang • Lohan kosong di Kareumbi diakibatkan dari peristiwa penebangan liar
(eks PT Primasakti), dan lahan bekas kebakaran (14 itik kejadian
(ka Resort Kareumbi) kebakaran)
• Beberapa lahan kosong sudah direhabilitasi melalui kegiatan Gerhan
dan Wali pohon bekerjasama dengan Wanadri
3 Kepala resort • Perladangan liar awalnya terjadi hanya di tepi kawasan dan areal
Gunung Tilu terbuka dengan luasan yang sempit dan dilakukan oleh beberapa
orang saja
• Seiring dengan adanya kegiatan PHBM dengan alasan tidak kebagian
lahan, sedikit demi sedikit masyarakat membuka lahan hutan
• Di Blok Sarongge Desa Sukaluyu kondisi mayarakatnya sbb: 75%
penduduknya adalah petani sayur, tingkat kesejahteraan rendah,
pendidikan rendah, kesadaran masyarakat rendah, pengangguran
tinggi.
• Tanaman yang paling dominan adalah tanaman cabe gendot dan teh
dengan harga yang sangat menggiurkan
4 Pak Siswoyo • Perambahan di BBKSDA Jabar mulai marak setelah pasca reformasi
• Khusus di CA Gunung Tilu, luasannya permabahan hampir 450 ha,
(Kepala Seksi III) sekarang tersisa sekitar 13-15 ha yang berlokasi di Warnasari,
Sukalayu dan Sugihmukti.
• Setelah rekontruksi batas kawasan , banyak kawasan eks perhutani
menjadi kawasan CA Gunung Tilu, pada umumnya bekas PHBM,
komoditasnya kopi.
• Para perambah pada umumnya masyarakat yang lapar lahan untuk
bertani cabe gendot.
• Tahun 2000-/2011 sudah dilakukan penanaman sebanyak sekira 6.000
btg.
• Areal kosong di CA Gunung Tilu kurang lebih 100 ha.
• Di Kareumbi perambahan relatif tidak ada
• Areal kosong di Kereumbi lebih luas karena adanya kebakaran hutan,
dan akibat pohon tumbang
• 30% tegakan di Kareumbi adalah pohon pinus yang disadap dengan
metode koakan. Sehingga banyak pohon tumbang yang menyebabkan
areal Kareumbi terbuka
• Akses untuk mendapatkan BBM GAS LPG relatif susah, sehingga
masyarakat masih membutuhkan kayu bakar
• Arah pengelolaan Restorasi adalah restorasi dengan partisipasi
masyarakat
5 Pak Roby • Salah satu output akhir dari TC 2 adalah CBRP (Community Based
Restoration Program). Oleh karena itu restorasi idak hanya dari sisi
(Fasilitator) teknis
• Bagaimana mengintergrasikan skema masyarakat ke dalam restorasi,
bagaimana mentreatment masyarakat
6 Pak Siwoyo • Mengusulkan CA Gunung Tilu dibangunkan demplot
• TWA Kamojang justru masalah kerusakannya sangat tinggi sehingga

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-44
Lampiran-2

No Nama/jabatan Pertanyaan, saran dan masukkan

perlu dibuat model, mengapa dalam project ini tidak menjadi prioritas
• Secara tekanis merestrasi kawasan sudah lengkap, justru yang lebih
penting adalah bagaimana merekayasa masyarakatnya
7 Pak Dwi • Th 2011 telah menyusun Rencana RHL, yang mengacu ke RTk RHL
Citarum dan Cimanuk
• BBKSDA telah menyusun RTn (rencana Tahunan) RHL 2011-2015,
yang ditargetkan kepada areal sangat kritis dan kritis
• CA Burangrang: 59,61 ha kritis
• CA Gunung Tilu : 42,32 ha sangat kritis
• CA Kareumbi : wil Cimanuk 44 ha sangat kritis, 396,7 ha kritis; Wil
Citarum: 602 ha sangat kritis, 6,29 ha kritis
• Rehabilitasi di Kareumbi telah dilakukan melalui Gerhan sejak tahun
2003 sekitar 2.000 ha.

Acara FGD dibreak dengan ISOMA, kemudian dilanjutkan dengan diskusi khusus penentuan
calon lokasi demplot pada masing-masing wilayah (CA Burangrang, CA Gunung Tilu, dan TB
M Kareumbi). Narasumber dari BBKSDA adalah para Kepala Resort dan Kepala Seksi 3.

1. Penutupan dari Kepala Balai Besar


1. Hasil FGD hari ini dan observasi lapangan nanti akan dijadikan sebagai referensi di
dalam menyusun KAK dan Inception Repport
2. Pihak Manajer Project dan TL harus menjelaskan kembali (koofdinasi internal:
MPS:TL:TA) terkait dengan ruang lingkup pekerjaan, aktivitas apa saja, sumber biaya
darimana, pengorganisasiannya bagaimana, bagaimana tim bisa bekerja dengan
baik?. Jangan sampai tidak ada kesepahaman di tim.
3. Acuan pertama adalah Workplan; output dan outcome_nya jangan keluar dari
workplan tsb. Kalaupun ada penambahan-penambahan perlu dijelaskan.
4. Langkah selanjutnya: TL mengajukan surat untuk pendamping lapangan dalam
rangka observasi lapangan, TL melengkapi KAK dan Inception repport (IR), dan
sebaikanya KAK dan IR tsb dibahas dulu di BBKSDA sebelum di bahas di Jakarta

2. Resume
1. Dalam FGD tsb telah teridentifikasi beberapa calon lokasi demplot restorasi
2. FGD akan ditindaklanjuti dengan kegiatan observasi lapangan untuk memastikan
lokasi demplot

Bandung, 12 Februari 2013


TIM RESTORASI-CWMBC

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-45
Lampiran-2

Laporan Hasil Review Existing Program dan Kegiatan BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP

1. Restorasi/Rehabilitasi Lahan Kritis Kawasan Konservasi


Dalam upaya merestorasi/rehabilitasi kawasan TNGGP, pengelola telah menjalankan
program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif (RHLP) di kawasan TNGGP. RHLP
dilakukan sejak tahun 2005 hingga 2010 seluas 50 Ha. Pelaksanaan RHLP bertujuan untuk :
(a) Menyusun model rehabilitasi hutan di kawasan konservasi yang dikembangkan secara
efektif, efsien dan partispatif,
(b) mengimplementasikan model rehabilitasi hutan di kawasan konservasi secara
berkelanjutan,
(c) sebagai model percontohan pelaksanaan rehabilitasi hutan di kawasan konservasi
lainnya. Program ini melibatkan Kelompok Tani Hutan (KTH) Puspa Lestari, Balai Besar
TNGGP, Perhutani, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)- Environmental Service
Program (ESP).
Pada umumnya upaya rehabilitasi/restorasi kawasan TNGGP diakukan melalui
pengembangan Model Desa Konservasi (MDK). Upaya rehablitasi/restorasi di TNGGP lainnya
adalah melalui program adopsi pohon yang diprakarsai oleh yayasan Gedepahala.

2. Program Pemberdayaan Masyarakat


Skema bantuan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui input program yang
terencana secara terpadu. Bantuan tidak hanya dalam bentuk barang tetapi juga bimbingan
teknis, keterampilan dan ilmu pengetahuan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di kawasan konservasi BKSDA
Prov. Jabar, antara lain :

(a) Pemberian bantuan teknis dan permodalan dalam rangka pemberdayaan


masyarakat sekitar kawasan konservasi TB. Masigit Kareumbi (Desa Pangeurauan)
Kegiatan bantuan pemberdayaan masyarakat berupa :
- Pembinaan teknis
- Penandatangan dan pernyatan KPSA sebagai penerima bantuan
- serah terima bantuan (ternak domba 21 ekor, bibit jabon 5000 bibit untuk ditanam di
lahan masyarakat.
(b) Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi TB. Masigit
Kareumbi (Desa Panjiwangi, Kec. Tarogong, Kab. Garut)
Kegiatannya meliputi sebagai berikut:
Persiapan : pengumpulan data, penyusunan rancangan
Pelaksanaan :
- Arahan / bintek penyaluran bantuan
- Pemberian bantuan untuk kelompok tani
- BAP dan Monitoring

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-46
Lampiran-2

(c) Bantuan teknis dan permodalan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan konservasi CA/TWA Tangkuban Perahu.
Kegiatannya meliputi sebagai berikut:
Perencanaan :
- Pengumpulan Data
- Penyusunan rancangan
- Pembagahan rancangan

Pelaksanaan / penyerahan bantuan


Pada ketiga kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh BKSDA diatas adalah lebih bersifat
pemberian bantuan atau disebut charity.
Sesungguhnya pada proses pemberdayaan tidak hanya terbatas pada proses pemberian
yang mengakibatkan keberdayaan tidak berkelanjutan, namun proses membangkitkan
motivasi dan mendorong masyarakat agar memiliki kemampuan sendiri lebih menghasilkan
keberdayaan yang berkesinambungan. Hal ini sesuai yang dinyatakan Pranarka & Vidyantika
(1996: 56-57) :
Proses Pemberdayaan mengandung dua kecenderungan:

Pertama: pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian


kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan
menjadi lebih berdaya. Ini disebut kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

Kedua: atau disebut kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi,


mendorong, atau memotivasi agar individu memiliki kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Dalam prakteknya, pemberdayaan masyarakat menggunakan kedua proses tersebut secara


simultan. Kecenderungan primer dilakukan bersifat sementara sampai masyarakat memiliki
kemampuannya sendiri, selanjutnya lebih menekankan pada kecenderungan sekunder untuk
memotivasi dan mendorong individu untuk mengembangkan kapasitas.
Proses memberikan kemampuan dan kekuatan kepada masyarakat disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat yang lebih tahu untuk memutuskan kebutuhannya dan masalah yang
dihadapi. Strategi bottom up dilakukan dengan perencanaan dimulai dari masyarakat,
sehingga pelaksanaan kegiatan pemberdayaan akan berkelanjutan karena manfaat yang
diterima masyarakat sesuai dengan kebutuhanya. Namun demikian tidak tertutup
kemungkinan penguasaan pengetahuan dan teknologi oleh masyarakat masih terbatas,
sehingga hasil yang dicapai tidak maksimal.
Penerapan model pembangunan yang bersifat top down telah dinilai gagal karena hanya
memberikan keuntungan pada elit masyarakat yang jumlahnya terbatas dan kurang
memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat luas. Sehingga kombinasi penerapan
sretegi bottom up dan top down pada suatu pembangunan akan dirasakan lebih bijaksana.
Pemecahahan masalah dengan strategi bottom up dilakukan melalui proses memahami
kebutuhan masyarakat dan kemudian dituangkan pada perencanaan bersama-sama
masyarakat.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-47
Lampiran-2

Kegiatan perencanaan bersama masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat sekitar


kawasan konservasi di wilayah BKSDA Jawa Barat ini yang perlu lebih mendapatkan
perhatian, agar program pengelolaan kawasan konservasi berjalan berkelanjutan dan
mandiri.

3) Cagar Alam Burangrang

(a) PRA (Partisipatory R ural Apraisal ):


PRA yang telah dilakukan Beberapa program yang dapat didorong untuk meningkatkan
kesejahteraan warga di sekitar kawasan Cagar Alam Burangrang yang berdasarkan
Partisipatory Rural Apraisal (PRA). Adapun program yang dimaksud, antara lain:
• Program Peningkatan Ekonomi Warga Desa.
Program ini bertujuan untuk menekan laju akses warga ke dalam kawasan konservasi.
Adapun program yang diusung dapat berupa aktivitas yang berkaitan dengan
pengoptimalan potensi SDA yang dimiliki oleh warga tanaman perkebunan, seperti
tanaman kopi. Selain itu, ditumbuhkembang-kannya usaha pengoptimalan SDA hayati
untuk peningkatan pendapatan warga desa. Juga pengoptimalan potensi kerajinan
pembuatan sapu dan anyam-anyaman dari bambu.

• Program Peningkatan Kapasitas Warga


Program ini ditujukan bagi peningkatan kapasitas warga melalui kegiatan pelatihan,
workshop, dan studi banding di desa-desa konservasi yang sudah berhasil.
Peningkatan kapasitas warga ini dimaksudkan untuk memberikan kesadaran kepada
warga untuk mengenali potensi SDM dan SDA yang ada disekitarnya.

• Program Pengamanan Kawasan Konservasi berbasis Komunitas Desa


Program ini lebih bertujuan membentuk sistem pengamanan kawasan Cagar Alam
Burangrang, dimana warga komunitas desa sebagai sasarannya. Hal ini untuk
menghindari terjaidnya konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Selain itu,
tujuan program ini adalah agar warga komunitas desa merasa memiliki tanggungjawab
bersama untuk memelihara hutan yang dimiliknya.

(b) Klasifikasi tanah area kawasan

Jenis Vulkanik dan Plutonik (2 Ha), Andesit dan Basatl (2.889 Ha).

(c) Status Kepemilkikan Lahan

Status dan Luas Kepemilikan Lahan/Kepala keluarga (KK) Berdasarkan Komoditi


Pertanian di Desa Cihanjawar adalah sebagaimana Tabel 11 berikut ini:

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-48
Lampiran-2

Tabel 11. Status dan Kepemilikan Lahan Desa Cihanjawar.

Kepemilikan lahan (KK)


No Status lahan
Tanaman pangan Buah-buahan Perkebunan
1 Pemilik lahan pertanian 300 220 115
2 Tidak memiliki lahan 118 447 270
3 Kurang ≤ 1 ha 117 0 0
4 1 – 5 Ha 1 0 0
5 Kurang ≤ 10 Ha 0 0 0
Sumber: Profil Desa Cihanjawar dan Podes 2007 (Diolah).

3. Pengembangan MDK 1
Sebagian besar desa-desa di perbatasan TNGGP memiliki areal berhutan dengan mayoritas
penduduknya adalah petani dan buruh tani. Telah banyak program pengembangan Model
Desa Konservasi (MDK) di sekitar TNGGP antara lain:
a. MDK Berbasis RHLP
MDK berbasis RHLP dilaksanakan di Desa Sukatani Kabupaten Cianjur. Desa ini terletak di
kawasan penyangga TNGGP. Sekitar 11.057 jiwa memadati desa seluas 35.770 hektar.
Sebagian besar penduduk bekerja sebagai buruh tani dan pekerja, sebagian kecil adalah
petani pemilik lahan dan pedagang. Dari 25,5 hektar lahan desa, hampir separohnya
adalah hutan.

Komoditas utama desa ini adalah sayuran seperti wortel, bawang daun, brokoli, kubis dan
cabe. Selain itu, masyarakat juga berternak ayam, kambing dan sapi. Dari sisi pendidikan,
lebih dari 50% penduduk Desa Sukatani pernah atau menamatkan pendidikan dasar,
10,43% yang pernah sekolah hingga tingkat menengah dan hanya 2% yang melanjutkan
ke pendidikan tinggi. Model Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan
lahan partisipatif di Desa Sukatani adalah upaya untuk mengurangi tekanan laju
pertumbuhan penduduk terhadap sumber daya alam di kawasan TnGP seperti luasan
hutan berkurang, mata air berkurang, tanah longsor serta lemahnya kemampuan
ekonomi masyarakat.

Kelompok Tani Puspa lestari adalah sebuah kelembagaan lokal yang dibentuk oleh para
penggarap lahan milik bekas Program PhBm Perum Perhutani 2006 untuk memperbaiki
kondisi lahan dan hutan kritis di daerah penyangga kawasan TnGP dan DaS Cikundul.

Selama 2006-2008, Desa model Konservasi Sukatani bersama para pemangku


kepentingan di Kabupaten Cianjur dan Propinsi Jawa Barat berhasil melakukan: (1)
Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 10 hektar di wilayah perluasan Kawasan
TNGGP; (2) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 50 hektar; (3) Membuat persemaian
untuk 5.000 bibit pohon endemik; (4) Menanam 16,000 pohon di seluruh desa; (5)
Pengembangan budidaya jamur, tanaman hias dan ternak kelinci; (6) Kampanye

1
Soemarno. 2011. Model Desa Konservasi (MDK):Disarikan oleh Sumarno dari Beberapa Sumber. pslp-ppsub.
Wawancara Lapangan, Komponen_ 2, 2013.
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-49
Lampiran-2

lingkungan dan pengembangan pembiayaan alternatif bagi program RHLP kepada


pendaki Gunung Gede-Pangrango; dan (7) Penguatan kapasitas kelompok.

b. MDK Berbasis Pengembangan Ekonomi


Forum masyarakat Peduli lingkungan (maRPElIn) adalah organisasi lokal yang
mengembangkan model desa konservasi ini di Kebon Peuteuy Desa Kebon Peuteuy,
Kabupaten Cianjur. Desa Kebon Peuteuy terletak di kawasan penyangga TNGGP. Sekitar
7.472 jiwa mendiami desa seluas 1.018,250 hektar. Sebagian besar penduduk bekerja
sebagai petani dan buruh tani. luasan hutan di Kebon Peuteuy adalah 199 hektar,
sedangkan lahan desa hanya 141 hektar.

Para petani Kebon Peuteuy sebagian besar bertanam tomat, buncis, cabe dan singkong.
Ternak unggas dan domba mendominasi usaha ternak Kebon Peuteuy. namun,
pendapatan bulanan petani dan buruh tani hanya berkisar Rp. 300.000 per bulan.
Separoh jumlah penduduk desa ini hanya tamat SD, sebagian kecil sekolah hingga
tingkat menengah dan yang melanjutkan ke pendidikan tinggi kurang dari 0,5%.

Model Desa Konservasi dengan fokus pada rehabilitasi hutan dan lahan partisipatif di
Desa Kebon Peuteuy berupaya mengurangi tekanan laju pertumbuhan penduduk
terhadap sumber daya alam di kawasan TNGGP seperti hutan gundul, kekeringan, tanah
longsor dan tidak subur, sulit mencari mata pencaharian serta meningkatnya angka
kemiskinan.

Selama perode tahun 2006-2008, berkat dukungan para pemangku kepentingan di


Kabupaten Cianjur dan Propinsi Jawa Barat, maRPElin (Masyarakat Peduli Lingkungan)
berhasil melakukan: (1) Rehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 10 hektar di wilayah
perluasan Kawasan TNGGP; (2) Pengembangan persemaian pohon endemik dan
tanaman MPTS; (3) Budidaya jamur sebanyak 1.000 log; (4) Budidaya stek teh; (5)
Peternakan domba sebanyak 15 ekor; (6) Pembuatan irigasi desa sepanjang 200 meter;
(6) Perbaikan jalan lintas desa dan jalan dusun sepanjang 800 meter; dan (7) Penyediaan
sarana air bersih sepanjang 500 meter.

c. MDK Pelestarian Mata Air


Model Desa Konservasi ini fokus pada rehabilitasi lahan daerah tangkapan air beberapa
sub DAS Cimuncang-Cimandiri hulu dan perlindungan mata air Batu Karut di Cisarua. MDK
ini secara umum bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya
air di kawasan TnGGP seperti alih guna lahan tangkapan air menjadi lahan pertanian satu
musim dan penggunaan lahan yang bermasalah karena 90% lahan sudah dibeli orang
dari luar desa.

Desa Cisarua terletak di kawasan penyangga TNGGP, di Kabupaten Sukabumi. Sekitar


6.940 jiwa tinggal di desa seluas 767.448 hektar, yang separuhnya adalah tanah ladang.
Sebagian besar penduduk Cisarua adalah buruh tani. Komoditas utama desa ini adalah
jagung, cabe dan singkong serta rumput untuk pakan ternak sapi

Saat ini, warga Cisarua yang tergabung dalam Kelompok Tani “Kencana Wangi”
melakukan sekolah lapangan dalam upaya menindaklanjuti hal-hal berikut demi

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-50
Lampiran-2

mengembalikan fungsi daerah tangkapan air di Cisarua: (1) Kelompok Tani “Kencana
Wangi” menjadi motor penggerak rehabilitasi lahan; (2) Penyediaan lahan seluas total 98
hektar dari berbagai pihak di Cisarua untuk rehabilitasi lahan; (3) Penyediaan 20.000 bibit
pohon untuk rehabilitasi lahan; dan (4) Pembuatan kesepakatan dan peraturan desa.

d. MDK Desa Wisata


Model Desa Konservasi ini fokus pada pengembangan budidaya ikan air deras dan
pengembangan air Terjun Cikaracak di Kampung Cibeling.MDK ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya alam di kawasan TNGGP seperti
berkurangnya hutan dan volume air serta berkurangnya pendapatan rata-rata warga
setempat. MDK ini dilaksankan di Desa Cinagara, Kabupaten Sukabumi yang terletak di
kawasan penyangga budidaya TNGGP. Luas Desa sekitar 497 hektar, dihuni olehsekitar
9.438 jiwa.

Sebagian besar masyarakat desa ini adalah buruh tani dan wiraswasta. Selain itu, mereka
juga memelihara ikan air tawar. Para petani banyak menanam buncis dan berternak
domba untuk tambahannya

Saat ini, warga Cinagara yang tergabung dalam Kelompok Tani Sari mekar berusaha
menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan perbaikan ekonomi
mereka : (1) Rehabilitasi dan konservasi lahan melalui persemaian, penanaman,
perawatan dan pola tanam ramah lingkungan.; (2) Pelatihan pembuatan pupuk organik;
(3) Budidaya ikan dan tanaman buah produktif dan organik; (4) Peternakan kelinci dan
domba; (5) Perbaikan sarana air bersih dan sanitasi serta saluran pembuangan air; dan
(6) Pengembangan wisata alam air Terjun Cikaracak.

e. MDK Penanaman Pohon Endemik


Model Desa Konservasi fokus pada rehabilitasi lahan menggunakan pohon endemik
seperti rasamala dan puspa serta budidaya tanaman obat. MDK ini merupakan upaya
mengurangi tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan dan hutan di kawasan
TNGGP, seperti hutan gundul, volume air berkurang, tanah tidak subur, erosi, serta
tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. MDK ini dilaksanakan di Desa Cihanyawar
Kabupaten Sukabumi. Lokasinya terletak di kawasan penyangga budi daya TNGGP. Desa
Cihanyawar dihuni olehsekitar 4.779 jiwa dengan luas desa sekitar 934 hektar.

Sekitar 40% dari luas desa adalah lahan perkebunan, yang menjadi sumber kehidupan
bagi 50% petani dan buruh tani setempat. Komoditas utama desa ini adalah ubi jalar,
talas, singkong, serta sayuran. Banyak warga Cihanyawar juga hidup dari ternak unggas,
kambing dan domba. namun, hanya 14% dari penduduk setempat yang menikmati
pendidikan dasar dan kurang dari 2% meneruskan pendidikan ke tingkat menengah dan
tinggi.

Saat ini, warga Cihanyawar yang tergabung dalam kelompok tani Cilondondong Jaya
berupaya menindaklanjuti hal-hal berikut agar kelestarian hutan sejalan dengan
perbaikan ekonomi mereka: (1) Rehabilitasi lahan seluas 30 hektar di lahan perluasan
TNGGP dengan 15.000 pohon rasamala, puspa dan manglit; (2) Kesepakatan antara
TnGGP dan Cilondondong Jaya untuk menggarap lahan di kawasan TnGGP selama 3
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-51
Lampiran-2

tahun; dan (3) Komitmen untuk mengembangkan usaha ternak kambing; dan (4)
Budidaya tanaman obat kumis kucing.

4. Kolaborasi Stakeholders
Stakeholder yang pernah berpartisipasi dalam pengelolaan TNGGP adalah: Pengusaha,
BUMN seperti Perhutani Unit III Jabar Banten. Tokoh masyarakat Desa di sekitar TNGGP,
NGO (missal Environment Service Program/ESP (USAID), KTH (Puspa Lestari, Kencana
Wangi, Cilondongdong, Sari Mekar), LSM lokal (maRPELin), perguruan tinggi (ITB, IPB),
Dirjen PHKA, Balai Besar TNGGP, Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya.

5. Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan yang Relevan


Beberapa hasil litbang yang terkait dengan program dan pengelolaan di TNGGP, disajikan
pada Tabel 12 berikut ini:

Tabel 12. Referensi Terkait Program dan Pengelolaan di TNGGP

No Judul penelitian Peneliti Tahun Informasi penting

1 Pola Umum Gangguan Hutan di Bona Insani’s Maylan 2000 Jenis-jenis gangguan di TNGP
TNGGP DwiEkawati seperti pencuria, perburuan liar,
penebangan liar, penyerobotan
lahan dan kebakaran hutan
2 Intensitas dan motivasi masyarakat Aris Sudomo dan M. 2008 Kondisi sosek masyarakat di
dalam pengambilanTumbuhan Siarudin sekitar TNGGP
hutan secara ilegal di seksi Gangguan TNGGP akibat
konservasi wilayah II Taman pengambilan tumbuhan secara
nasional gunung gede pangrango illegal
3 Analisis Konflik Areal Eks Eka Ratna Juwita 2007 Para pihak (stake holder) yang
Tumpangsari Perhutanidi wilayah Karsodi sering terlibat dengan masalah
Perluasan TNGGP konflik sosial di TNGGP
4 Panduan Mengenal Satwa TNGGP Anton Ario 2010 Identifikasi jenis-jenis satwa di
TNGGP
5 Inventarisasi Jenis Barkah Ilham 2006 Identifikasi jenis-jenis tumbuhan
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Purnawan di TNGGP
di TNGGP
6 Bentuk-Bentuk danIntensitas Kusnanto, K. 2000 Jenis –jenis gangguan manusia di
Gangguan Manusia PadaDaerah daerah perbatasan TNGGP
Tepi Kawasan TNGGP
7 Tingkat PartisipasiMasyarakat Sylfiani , D. 2004 Tingkat partisipasi masyarakat di
dalam Menjaga Kelestarian sekitar TNGGP
kawasan TNGGP

8 Penentuan Jenis Pohon Serbaguna Samsudin, N 2005 Metode penentuan jenis pohon
Secara Partisipatif dalam Rangka serbaguna secara partisipatif di
Pembinaan Daerah Penyangga wilayah daerah penyangga TNGGP
Kawasan Konservasi (studi kasus di
TNGGP)
9 Perilaku Masyarakat dalam Wiguna, R. 2003 Perilaku masyarakat Desa Tebing
Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dalam pemanfaatan SDH di
(Studi kasus di Desa Tebing di TNGGP
TNGGP)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-52
Lampiran-2

6. Aspek Legalitas Peraturan-Perundangan


Beberapa produk peraturan perundangan terkait dengan pengelolan TNGGP adalah sebagai
berikut:
Tabel 13. Aspek Legalitas Terkait dengan Pengelolaan TNGGP

No Nama Peraturan Tentang Informasi penting

1 SK Menteri Pertanian Pengukuhan TNGGP Pengukuhan status TNGGP seluas


No. 376/Men-tan/X/82 15.196 ha
2 SK Dirjen PHPA no Pembagian TNGGP menjadi Kawasan TNGGP dibagi ke dalam
12/Kpts/Dj-VI/1992, tiga zonasi tiga zonasi yaitu zona inti, zona
tanggal 14 Februari rimba dan zona pemanfaatan.
1992
3 SK Menhut no Perubahan Fungsi Kawasan Perubahan status luas TNGGP
174/Kpts-II/2003, CA, TWA, Huan Produksi menjadi 21.975 ha
tanggal 10 Juni 2003 Tetap, Hutan Produksi
Terbatas, pada kelompok
Hutan Gunung Gede
Pangrango menjadi TNGGP
4 SK Menhut No Pengelola TNGGP oleh Balai Pengelola TNGGP di serahkan
6186/kpts-II/202 , TNGGP kepada Balai TNGGP
tanggal 10 Juni 202
5 Peraturan Menhut No. Orgainsasi dan tata kerja UPT Perubahan struktur Balai TNGGP
P.03/Menhut-II/2007 Taman Nasional menjadi Balai Besar TNGGP.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-53
Lampiran-3

Lampiran 3 :

Review Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan di Indonesia

Kontribusi: Endang Setiawan (TC #3)

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)


1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3687);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3760);

PNBP Bidang Kehutanan dan Perkebunan


1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999
Tarif jasa lingkungan (environmental service) rekreasi ke Hutan Wisata, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut ditetapkan besarnya 1 :
Rp 1.000-2.000 untuk Taman Wisata Alam,
Rp 1.500-3.000 untuk Taman Buru, Rp 1.000-2.500 untuk Taman Nasional per
orang.
Rp 3.000-20.000 untuk wisatawan asing (mancanegara)

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan
Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada
Departemen Kehutanan
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan
Kawasan Hutan

Pasal 2:
Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.

Pasal 3:

1
Analisis : Laporan Monev PNBP Semester II Ingkup Balai Besar KSDA Jawa Barat Tahun 2011, BBKSDA Jawa Barat 2012
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-54
Lampiran-3

1. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat


dilakukan di dalam:
a. kawasan hutan produksi; dan/atau
b. kawasan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas
dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
peraturan Menteri.

PNBP Bidang Lingkungan Hidup


1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan. PP ini mengatur jasa lingkungan al.
sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan berasal dari
penerimaan Uji Udara Emisi, Uji Udara Ambien, Uji Kebisingan, Uji Air dan
Limbah Cair, Uji Limbah Padat dan Biologi, serta Uji Karakteristik Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini.
(3) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup di bidang pengendalian dampak lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) yang belum tercakup dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini akan disusulkan sebagaibagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini dan pencantumannya dilakukandengan Peraturan Pemerintah
tersendiri.

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air


3. Peraturan Pemerintah 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air
4. Peraturan Pemerintah 16 Tahun 2005 tentang Air Minum
5. Permen Lingkungan Hidup 01 Tahun 2010 tentang baku mutu air limbah
6. Perpres 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air

Undang-Undang Sumberdaya Air


1. Pasal 7 UU Sumberdaya Air meng-katagorikan hak dalam air: Hak guna air dapat berupa
hak guna pakai air dan hak guna usaha air.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-55
Lampiran-3

2. Pasal 1 angka 15: Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan
air.
3. Pasal 9 ayat (1): Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau
badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 80:
1. Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
2. Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
3. Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat
dipertanggung-jawabkan.
4. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis
penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan
ekonomi kelompok pengguna dan volume penggunaan sumberdaya air.
5. Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis
penggunaan nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6. Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari
para pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
7. Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Pasal 13:
2. Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber
Daya Air Nasional.
Dewan Sumber Daya Air Nasional merupakan wadah koordinasi antar para pemilik
kepentingan sumber daya air tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.

Kesimpulan: Jasa lingkungan air tidak termasuk yang diatur dalam aturan PNBP diatas
dan sektor-sektor lain (luar Kehutanan).

Diskusi

I ssue:
1. Apakah pembayaran jasa lingkungan air perlu diatur oleh pemerintah (mandatory)?
Ataukah cukup dengan sukarela antara “pemakai” dan “penghasil” jasa lingkungan
tersebut (voluntary). Jawaban secara common sense adalah:

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-56
Lampiran-3

apakah m asyarakat dapat mengatur diri mereka sendiri dengan adil dalam
pemakaian dan penggunaan air (dengan rujukan: pasal 33 UUD 1945), dan
apakah kepentingan pemerintah tidak dirugikan bila tidak mengaturnya?
(untuk berbagai keperluan, mem bangkitkan tenaga listrik, contohnya).
2. Prinsip dari “public good”: pemanfaatan oleh satu pihak dari masyarakat (terhadap
air) tidak boleh menyebabkan masyarakat lain tidak dapat memanfaatkannya.
3. Terhadap air sebagai “common pool resources” atau sebagai public good, privatisasi
dan pengaturan oleh Pemerintah pusat bukanlah satu-satunya cara dalam mengatur
pemanfaatannya (OECD).

Tabel 14. Tinjauan Mandatory dan Voluntary

Voluntary Mandatory

1. didasari oleh kesadaran saling didasari oleh kepentingan pemerintah


memerlukan dalam urusan pemanfaatan untuk menjaga keberlanjutan fungsi
jasa lingkungan, dari pihak-pihak yang (melestarikan) sumberdaya air untuk
menyepakati kepentingan masyarakat dan
2. Pihak-pihak: penghasil jasa air- Pihak-pihak: Pemerintah-pemanfaat
pemanfaat jasa lingkungan (beneficiary)
3. Bisa berbentuk pembayaran secara Dengan prinsip untuk kemakmuran
moneter ataupun imbal balik, atau rakyat, pemanfaat SDA dapat
lainnya sesuai yang disepakati. diwajibkan membayar sebagaimana
sumberdaya alam lainnya (hutan,
contohnya)
4. Bersifat mengikat secara hukum kedua Kewajiban membayar bersifat wajib
pihak bila telah berada dalam karena ditetapkan dengan peraturan
kesepakatan. yang mengikat (binding) (sebagaimana
kewajiban pajak)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-57
Lampiran-4

Lampiran 4.

Hasil Review Desa Calon MDK di Wilayah Kerja BBKSDA Jawa Barat
dan BBTNGGP

Kondisi Awal Desa-Desa Calon Lokasi MDK

A. Wilayah Kerja BBTNGGP

Dari hasil FGD dengan petugas BBTNGGP, usulan Desa Sindangjaya untuk calon MDK dari
Consultan Firm (CF) yang sesuai dengan hasil Laporan Akhir Program Investasi Pengelolaan
Sumberdaya DAS Citarum Terpadu (ADB TA 4381) Konservasi Keanekaragaman hayati),
diminta untuk diganti oleh Desa Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

Justifikasi Calon MDK :

1. 100 % kawasan penyangga dan + 400 Ha digarap oleh petani, dengan komoditi
sayuran (hortikultura)  tidak ada pohon tegakan (tanaman keras) sama sekali.
2. Lokasi meliputi 4 kampung dan jumlah penggarap sekitar 396 kk
3. Kepemilikan lahan petani umumnya sempit
4. Upaya rehabilitasi melalui program “Gerhan” gagal  kegagalannya disebabkan
pengrusakan oleh para petani dengan perlakuan tidak sesuai kaidah konservasi
terhadap pohon hingga “ merana” dan mati.
5. Berpotensi tumbuhnya konflik sosial dengan masyarakat desa sebelahnya yang
berada di”bawah”nya, karena pernah mengalami longsor yang merenggut nyawa. 
mereka menuntut agar lahan garapan segera ditutup karena diduga menjadi
penyebab terjadinya longsor di bagian hilir.  untuk sementara berhasil didamaikan
oleh Petugas BBTNGGP.
6. Berbagai kegiatan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat sudah sering
dilakukan, tapi belum mampu mengubah perilaku dan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan fungsi hutan lainnya.
7. Kelembagaan Petani sudah terbentuk, namun pada umumnya belum memiliki
program kegiatan / action-plan untuk upaya rehabilitasi & konservasi di lahan di
kawasan Penyangga secara sungguh-sungguh.

Profil Desa sukatani Kacamatan Pacet Hasil FGD dan Observasi Lapangan

1. Geografis: Lokasi Desa Sukatani berada di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan
termasuk kawasan penyangga Taman N)asional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Lokasi desa dapat dicapai melalui Cibodas dan Cipanas.
2. Struktur dan Kultur:
• Struktur dan stratifikasi sosial berbasis agraris, lahan sempit dan buruh.
• Masyarakat terdiri dari kultur Sunda dan beragama Islam.
• Terdapat 4 unit Sekolah dasar (SD), dan 2 unit Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
• Seluruh petani penggarap telah membentuk 2 (dua) elompok tani, yaitu
Kelompoktani MMH (Masyarakat Membangun Hutan) trerdiri + 270 KK tani dan
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-58
Lampiran-4

kelompok tani Puspa Lestari terdiri dari + 22 KK. Tani. Kedua kelompok tani ini
terbagi menjadi 46 sub kelompok tani.
• Selain kelompok tani di desa juga sudah terbentuk kelembagaan lainnya, yaitu
:MMP (Masyarakat Mitra Polhut), MPA (Masyarakat Peduli Api), dan ada
kelompok volunteer sebanyak 20 orang yang terdiri dari para pemuda.

3. Pola-pola Adaptasi Ekologi: Sekitar 396 KK masyarakat desa Sukatani menggarap


400 Ha Kawasan Penyangga TNNGP yang semula dikelola Perum Perhutani. Saat ini
digunakan sebagai lahan pertanian sayuran hortikultura.
4. Aksi-Aksi Kolektif: Berdasarkan hasil FGD diperoleh informasi bahwa seluruh petani
penggarap telah membentuk 2 kelompok tani, yaitu kelompok tani MMH (Masyarakat
Membangun Hutan) beranggotakan + 270 KK tani dan kelompok tani Puspa Lestari
beranggotakan + 22 KK. Tani. Kedua kelompok tani ini terbagi menjadi 46 sub
kelompoktani. Data yang lebih detail ada dalam lampiran. Selain kelompoktani di
desa juga sudah terbentuk kelembagaan lainnya, yaitu :MMP (Masyarakat mitra
Polhut), MPA (Masyarakat Peduli Api), dan ada kelompok volunteer sebanyak 20
orang yang terdiri dari para pemuda
5. Isu-isu terkait dengan keanekaragaman hayatii: Hampir seluruh lahan di kawasan
penyangga ditanami tanaman sayuran (kubis, wortel, bawang daun dll.), sedangkan
sisanya kurang dari 10% terdiri dari semak belukar, dan tidak ada tegakan
sedikitpun. Bila hal ini dibiarkan terus maka dikhawatirkan dapat menyebabkan
terjadinya longsor dan sedimentasi pada sungai Citarum. Berpotensi tumbuhnya
konflik sosial dengan masyarakat desa sebelahnya yang berada di”bawah”nya,
karena pernah mengalami longsor yang merenggut nyawa.  mereka menuntut agar
lahan garapan segera ditutup karena diduga menjadi penyebab terjadinya longsor di
bagian hilir.  untuk sementara berhasil didamaikan oleh Petugas BBTNGGP. Data
lahan calon penanaman Resort Gunung Putri, data monografi Desa Sukatani dan
data perambahan per Blok di TNGGP tersaji pada Tabel 15, 16, 17 berikut ini:

Tabel 15. Data Lahan Terbuka/Calon Penanaman Resort Gunung Putri Tahun 2013

No Lokasi/Blok Resort Perkiraan Luasan Kondisi Vegetasi Saat Ini


Perdu-perduan, kaliandra, semak,
1 Bobojong Gunung Putri 5 Ha
Konyal/Pasiflora
2 Tanggeuk Gunung Putri 15 Ha Alang-alang, perdu, sayuran
3 Cipendawa/Sinapeul Gunung Putri 5 Ha Perdu, konyal, sayuran
4 Tanah Merah/Pasir Pogor Gunung Putri 27 Ha Semak belukar, sayuran
5 Ciguntur Gunung Putri 10 Ha Semak belukar, sayuran
6 Legok Majalaya Gunung Putri 20 Ha Semak belukar, sayuran
7 Ciputri Gunung Putri 5 Ha Perdu, semak belukar, konyal
Jumlah Total 87 Ha

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-59
Lampiran-4

Tabel 16. Kependudukan, Pendidikan dan Program yg telah Masuk ke Desa Sukatani

Kependudukan Pendidikan Program yg Masuk Desa


 L = 5.692 jiwa  Tidak tamat SD/ sekolah =  RHLP = 306 KK
 P = 5.391 jiwa 3.052 jiwa  Tidak Berhasil
 Jumlah = 11.083 jiwa  Tamat SD = 2.470 jiwa  Penyebab : Kurang
 Luas Wilayah = 762 Ha  Tamat SLTP = 868 jiwa tanggungjawab dari penerima
 Kerapatan Penduduk =  Tamat SLTA = 458 jiwa bantuan
14,545/Ha  Tamat Diploma = 5 jiwa
 Sarjana = 162 jiwa
 Lain-lain = 34 jiwa

Tabel 17. Data Perambahan Per Blok di TNGGP

Tahun Koordinat
No Blok/Desa Ketinggian(Mpdl)
Masuk Keluar X Y
1 Blok Bobojong / Sindangjaya 2001 - 721325 9252716 1636
721153 9252498
721359 9252677
2 Blok Tanggeuk / Sukatani 2001 - 720603 9251719 1852
720917 9251648 1854
721360 9251816 1728
721713 9252254 1658
3 Blok Cipendawa / Cipendawa 2001 - 722048 9252373 1592
722044 9252303 1560
- 721569 9251948 1698
4 Blok Tanah Merah / Sukatani 2001 - 721438 9251633 1783
721492 9251329 1797
721603 9251364 1809
721728 9251614 1720
2001 - 721748 9251103 1824
5 Blok Pasir Pogor / Cipendawa
721756 9251242
- - 721795 9251284 1781
721835 9251236 1761
- - 722232 9251406 1694
722488 9251620 1621
721728 9251614 1720
6 Blok M. upah / Ciherang 2001 - 722154 9251513 1689
722488 9251620 1621
722631 9251778 1577
722612 9251858 1544
722896 9251930 1498
722870 9251978 1512
722414 9251887 1594
7 Blok Ciguntur / Ciherang 2001 - 724106 9252446 1343
724158 9252521 1317
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-60
Lampiran-4

Tahun Koordinat
No Blok/Desa Ketinggian(Mpdl)
Masuk Keluar X Y
724166 9252555 1337
721728 9251614 1720

B. Wilayah Kerja BBKSDA Jawa Barat

1. Model Desa Konservasi untuk Rehabilitasi Kawasan dan Penyangga dengan Jenis
Pohon Endemik dan Budidaya di Taman Buru Masigit Kareumbi
 Target Desa: Desa Sindulang
 Geografis: Desa berbukit, tidak berbatu, dan lahan subur. Berbatasan
langsung dengan Kawasan TBMK. Bahkan terdapat kampung di dalam kawasan
(enclave) yaitu Kampung Cigumentong.
 Struktur dan Kultur: Struktur dan stratifikasi sosial masyarakat berbasis
sumberdaya agraria, yakni lahan pertanian dan kehutanan. Tingkat pendidikan
masyarakat relatif rendah. Pola-pola kebudayaan masyarakat dikonstruksikan
berdasarkan sistem norma dan nilai tradisi Sunda dan Agama Islam.
 Pola-pola Adaptasi Ekologi: Mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah
usahatani tanaman semusim (sayuran) dengan kepemilikan lahan yang minim,
rata-rata 200 tumbak (1 tumbak = 16 m²). Hasil hutan, seperti bambu, kayu
bakar, dan jlember (jamur) dimanfaatkan untuk memenuhi kayu bakar rumah
tangga dan industri tahu, tempe, dan kerupuk.
 Aksi-Aksi Kolektif: Rancangan warga desa untuk membangun Kampung Wisata,
micro-hydro berkolaborasi dengan Yayasan Mandiri dan LSM Wanadri.
 Isu-isu terkait dengan kehati: Penggunaan sumberdaya hutan terutama kayu
bakar sangat tinggi (bahkan cenderung terus meningkat untuk tujuan
komersial). Kebakaran hutan sering terjadi karena ulah masyarakat. Kegiatan
konservasi tanah dan air tidak dilakukan konsisten Perubahan dari status
kawasan dari Hutan Produksi (Perum Perhutani) menjadi kawasan konservasi
(BBKSDA Jawa Barat).
 Kegiatan: (1) Pengembangan usaha ekonomi produktif (penanaman pohon
aren dan jasa lingkungan wisata); (2) Pelestarian sumberdaya tanah dan air;
(3) Pengembangan masyarakat dan kelembagaan; (4) Peningkatan peran
petugas BBKSDA JAwa Barat sebagai pendamping masyarakat bukan hanya
sebagai polisi kehutanan.
2. Model Desa Konservasi untuk Pengembangan Kebun Rakyat untuk Menunjang
Kehati di CA Burangrang
 Target Desa: Desa Cihanjawar Kp. Gunung Bakti + 130 KK dan Kp. Pasir
Banteng + 70 KK
 Geografis: Topografi berbukitan, tataguna lahan didominasi oleh pertanian, di
sekitar kawasan cagar alam Burangrang.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-61
Lampiran-4

 Struktur dan Kultur: Sumberdaya agraris merupakan basis struktur sosial dan
strtatifikasi komunitas desa. Kepemilikan lahan warga Desa Cihanjawar
tergolong kecil. Rata-rata kepemilikan lahan warga kurang dari 0,5 ha bahkan
ada warga yang tidak memilikinya. Sistem norma dan nilai berbasis pada
tradisi Sunda dan Agama Islam.
 Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi dan ketergantungan masyarakat dengan
kawasan cagar alam sangat tinggi mulai dari pemanfaatan lahan di sekitar
perbatasan kawasan, penggunaan kayu dan kayu bakar maupun sumberdaya
lainnya.
 Aksi-Aksi Kolektif: Secara umum kelembagaan di desa (KTH, P3A, Kelompok
Tani, Bumdes) sekitar kawasan cagar alam Burangrang masih belum kuat dan
optimal; Tidak adanya kegiatan kelompok tani. Kelompok tani walaupun besar
irisannya dengan masyarakat tetapi manfaatnya cenderung rendah; dan
BBKSDA Jawa Barat juga menggulirkan program pemberdayaan masyarakat
melalui Kelompok Tani Hutan (KTH).
 Isu-isu terkait dengan kehati: a). Konflik perebutan air kerap kali muncul baik
sesama warga maupun dengan warga luar desa. Hal ini diperparah dengan
belum adanya tata aturan pembagian air baik di aras dusun maupun desa. b).
Perambahan hutan + 5 ha oleh +. 10 orang penduduk
 kegiatan: (1) Pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Tani Hutan (KTH);
(2) Memberikan bantuan berupa paket ternak kambing bergulir; (3) Bantuan
bibit pohon yang bisa dimanfaatkan KTH sebagai stimulus bagi kegiatan
kelompok.
3. Model Desa Konservasi untuk Pengembangan Matapencaharian Alternatif yang tidak
Mengancam Keutuhan Kawasan di CA Kamojang
• Target Desa: Desa Cihawuk Kp. Puncak Mulaya (RW 7)
• Geografis: Desa Cihawuk merupakan desa dengan ketinggian lebih dari 1500 m
dari permukaan laut.
• Struktur dan Kultur: Struktur dan pelapisan sosial masyarakat berbasis agraris,
yakni budidaya hortikultura dan kehutanan. Kepemilikan lahan masyarakat
secara umum sangat sempit Pendidikan formal penduduk desa rata-rata tamat
SD. Pola-pola kebudayaan masyarakat berdasarkan tradisi Sunda dan pengaruh
Agama Islam.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Interaksi antara masyarakat dengan hutan cukup
kuat, hal ini terlihat telah terjadi perambahan untuk tumpang sari pada area
cagar alam seluas 10 ha oleh + 40 orang
• Aksi-Aksi Kolektif: Kapasitas masyarakat dalam berkelompok masih rendah
sehingga belum dapat mengatasi persoalan-persoalan riil masyarakat.
Kelompok yang ada saat ini merupakan kelompok yang di’drive’ oleh program,
baik KTH ataupun program PNPM. Ada organisasi pengguna air untuk
pengelolaan air desa.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-62
Lampiran-4

• Isu-isu terkait dengan kehati: Erosi yang disebabkan pola pertanian hortikultura
mempengaruhi penurunan kesuburan lahan dan kekeruhan air. Budidaya
hortikultur yang di masyarakat berdampak pada merebaknya praktek
tumpangsari pada program Perhutani (PHBM). Hal ini berdampak pada praktek
perambahan kawasan cagar alam dengan memperlebar area tumpang sari
masuk ke kawasan (majusi, maju ka sisi). Mulai terjadi perebutan air karena
sumber mata air mulai berkurang.
 Usulan kegiatan: (1) Membangun Bank Benih; (2) Penyediaan modal usaha
produktif; (3) Rehabilitasi hutan bersama masyarakat (partisipatif); (4)
Koordinasi antara KTH-PSDH, pihak desa dan BBKSDA Jawa Barat.
4. Model Desa Konservasi untuk Pengembangan Pohon Sumber Kayu Bakar dan Bahan
Arang di CA Gunung Tilu
• Target Desa: Desa Mekarsari
• Geografis: Desa Mekarsari merupakan lokasi terdekat dengan kawasan hutan
Cagar Alam Gunung Tilu. Berlokasi di kawasan enclave yang dikelilingi oleh
kawasan hutan lindung Perum Perhutani, kawasan perkebunan teh dan
kawasan cagar alam.
• Wilayah di desa Mekarsari terdiri dari kawasan pertanian adalah 1049 Ha,
kawasan hutan lindung 5000 ha, kawasan hutan produksi 1200 ha dan kawasan
perkebunan teh 600 ha. Jumlah penduduk adalah 5.223 jiwa dengan perincian
2.553 laki laki dan 2.670 perempuan.
• Struktur dan Kultur: Struktur dan kultur masyarakat di Desa Mekarsari sangat
dipengaruh oleh dinamika perkebunan teh dan aktivitas hutan produksi. Status
sosial masyarakat sebagai pekerja atau buruh perkebunan mendominasi proses-
proses sosial masyarakat. Tingkat pendidikan formal masyarakat relatif rendah
(mayoritas) pendidikan SD. Tradisi Sunda dan pengaruh Agama Islam
mempengaruhi pola-pola kebudayaan masyarakat setempat.
• Pola-pola Adaptasi Ekologi: Masyarakat memiliki nilai tradisi dalam melestarikan
hutan, dimana setiap tahun ada ritual memberi-kan sedekah bumi bagi hutan
serta melakukan penanaman terhadap kawasan hutan yang rusak.
• Kasus-kasus penebangan liar terjadi terutama pada masa krisis ekonomi tahun
1998, dimana tekanan terhadap hutan dikarenakan tekanan kemiskinan. Namun
tekanan itu menurun ketika masyarakat mulai mendapatkan akses terhadap
pengelolaan hutan melalui Perum Perhutani dengan penanaman kopi.
• Aksi-Aksi Kolektif: Keberadaan kelompok organisasi masyarakat, yaitu
kelompok tani hutan, yang telah mulai berinisiatif dalam upaya pelestarian
hutan. Kelompok masyarakat di Gambung memiliki potensi besar karena telah
melakukan upaya pengamanan hutan secara swadaya.
• Ketika akses masyarakat terhadap kawasan hutan dibuka dengan skema
perjanjian kerja bagi hasil dalam penanaman kopi dan rumput gajah maka
hutan cenderung mulai membaik.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-63
Lampiran-4

• Isu-isu terkait dengan kehati: merupakan salah satu wilayah sumber tekanan
yang cukup tinggi terhadap kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Pada tingkat
lapangan yang terjadi respon masyarakat terhadap pola bagi hasil dan
kerjasama perhutani dimana bagi hasil dianggap masih kurang menguntungkan
masyarakat, sementara Perhutani hanya memberikan ijin lahan tanpa
memberikan pendampingan teknis produksi sampai pemasaran termasuk aspek
permodalan. Masalah yang paling sering muncul adalah ketidakjelasan tata
batas antara hutan lindung perhutani dan kawasan cagar alam. Ketidakjelasan
tersebut bisa mengakibatkan masyarakat masuk ke kawasan cagar alam karena
ketidaktauan mereka.
• Kegiatan: (1) Pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam sebagai alternatif
peningkatan pendapatan seperti tanaman obat dan buah buahan; (2)
Pengembangan pola kerjasama masyarakat dengan Perhutani; (3)
Pengembangan potensi biogas; (4) Implementasi mekanisme pembayaran
untuk kelestarian kawasan daerah tangkapan air; (5) Pengalokasian areal
kawasan untuk cadangan kayu bakar menjadi penting. Pengembangan areal
kawasan tidak hanya pada hutan namun bisa pada areal perkebunan dan
kampung.

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-64
Lampiran-5

Lampiran 5 :

PRE INCEPTION REPORT MEETING

RESUME PRE INCEPTION REPORT MEETING (1)

Hari/Tanggal : Rabu, 20 Februari 2013


Jam : 10.00 s/d 22.00
Lokasi : Hotel Baliworld, Jl. Soekarno Hatta, Buah Batu, Bandung
Peserta : BBTNGGP
BBKSDA Jawa Barat
Individual Consultants
Consultant Firm-CWMBC
Agenda : Pembahasan dan Kesepakatan Work Plan

Hasil Kegiatan:

1. Workplan yang disusun sudah disesuaikan dengan agenda kegiatan di BBTNGGP dan
BBKSDA Jawa Barat.
2. BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat bersama Consultant Firm (CF) telah menyepakati
work plan yang disusun dengan catatan-catatan sebagaimana Tabel 18 berikut:

Tabel 18. Pembahasan dan Kesepakatan Work Plan Komponen 1:

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


1. Desain Survey dan Persiapan Pada point b. BBKSDA Jawa Barat meminta ada 3 lokasi
GIS, terdiri dari sub kegiatan: yang terdapat permasalahan batas dan meminta CF
a. Mereview capaian terkini untuk dapat mengundang BPKH agar dapat difasilitasi
survey biodiversity (data & pembuatan berita acaranya
laporan , SOPs, rencana
sample plots dll,)
b. Finalisasi rasional batas
kawasan 8 TA di peta
sebagai "peta dasar""
untuk survey Biodiversity
c. Persiapan Desain Spasial
(berbasis GIS) utk Survey
bio-fisik-sosial
d. Persiapan desain dan
metode survey (Peta,
Pedoman Lapang, Check-
list, termasuk survey
desa)"
2. Training/Peningkatan Pelatihan survey spesies kepada staf BBKSDA Jawa
Ketrampilan utk Staf BBKSDA Barat dan BBTNGGP. BBKSDA Jawa Barat menyarankan
Jawa Barat dan BBTNGP. Sub pelatihan ditujukan kepada surveyor yang dipakai dari
kegiatan: luar BBKSDA Jawa Barat/BBTNGGP seperti NGO,
a. Pelatihan Survey Perguruan Tinggi, dll
biodiversity dan Monitoring

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-65
Lampiran-5

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


b. Pelatihan GIS/Remote
Sensing (Mid-level skill)
c. Mentoring pemanfaatan
program GIS database
program dalam rangkan
menanggapi kasus actual di
lapang
d. Pelatihan geospatial web-
based dan MIS
e. Mentoring aplikasi MIS
4. Pelaksanaan survey a. Kesepakatan spesies sebagai berikut:
biodiversity, habitat dan BBTNGGP:
tekanan pendudukdi 8 Lokasi
Proyek dengan sub kegiatan: Spesies yang membantu restorasi seperti burung dan
a. Collaboratif survey kalelawar
b. Conduct Rapid assessment/
Rapid social mapping in
adjacent landscape 8 Tas
BBKSDA J Jawa Barat
c. Identifikas Survey di
Lokasi-lokasi Perambahan
di 8 Tas
d. Quality control of field- Mammal Kijang, Surili, Owa Jawa, Macan
survey execution Tutul, kukang, Trenggiling dan
e. Determining such key Landak
indicators of biophysical
condition of 8 TA Burung Elang Jawa, Ayam Hutan,
Rangkong

Hepertofauna Ular, Biawak, dan Katak bulus


(labi-labi)

Insect Kupu-kupu dan kumbang. Tim


menyarankan capung

Aquatic Kekel, Jeler - tdak sampai populasi


dan Ikan lubang (diinventarisasi
bila ada)

Flora kantong semar, Jamur, Jamuju,


Tanaman Obat, Anggrek

b. Dihasilkan peta social


c. Peta perambahan
d. Adanya QC untuk pelaksanaan survey
e. Tersusunnya kondisi biofisik
5. Melakukan analisis statistic Menghasilkan Laporan Analisis Kehati, Habitat dan
dan spatial terhadap status Production Lanscape
biodiversity dan habitatnya
dan production landscape
sekitar, dengan sub kegiatan:
i. Status and distribution of
key species and habitat
ii. Status and distribution of
high economic value
species of flora (i.e.
medicinal plants, etc.
iii. Status and distribution of

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-66
Lampiran-5

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


high economic value
species of fauna (to
support ex-situ scheme)
iv. Status and distribution of
HCVA /High Conservation
Value Area in production
landscape (i.e. agroforestry
in adjacent villages, etc.)"
6. Pembangunan Permanent Permanen plots akan dibuat dengan bantuan GIS dan
Sample Plots untuk: hasil analisis citra quickbird.
a. Monitoring key habitat
jangka panjang (Maps,
field marking, etc.)
b. Monitoring key spesies utk
jangka panjang (Maps,
field marking, etc.)"
7. Melaksanakan Survey Populasi BBKSDA Jawa Barat pada spesies prioritas dan
Spesies Prioritas di 8 Lokasi BBTNGGP
Proyek
8. Penyampaian “Panduan Teknis Buku Panduan Teknis Monitoring Kehati
Final" untuk monitoring
biodiversity
9 Report on field survey (Inside Laporan Hasil Survey dan Production Lanscape
8 TAs & adjacent production
landscape
10 Membangun Spatial MIS BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP membutuhkan
berbasis web untuk 8 Lokasi hardware untuk mendukung pelaksanaan kegiatan
Proyek. Dengan sub Kegiatan: dengan rincian, sebagai berikut (Spesifikasi didiskusikan
a. Design the relevant GIS kemudian):
database for the general
management and for local- Jenis BBKSDA BBTNGGP
specific needs of 8 TA Hardware Jawa Barat
b. Satellite image acquisition Server 1 unit 1 unit
(RBI maps & Quickbird)
c. Develop web-base PC High-end 1 unit 1 unit
interface to update the
features of 8 Tas (Web Jaringan LAN 1 uni -
prototype & dummy data)
d. GIS analysis on CRB survey Notebook 7 unit untuk 7 -
(based on actual data resort
collected from the field ArcGIS 1 unit 1 uni
surveys)
e. Web-based maps
production (quarterly a. BBKSDA Jawa Barat mengharapkan pelaksanaan
updated & thematic) pembuatan GIS dan MIS dilakukan di kantor
f. Uploading the result of BBKSDA Jawa Barat dan bersedia menyediakan
biodiversity survey ruangan untuk kebutuhan tersebut.
(Refinement of the web- b. BBTNGGP meminta quicbird tahun terbaru karena
based prototype mereka sudah ada beberapa seri tahun sebelumnya.
g. Uploading the updated Seri terakhir tahun 2008. BBTNGGP meminta semua
results of any biodiversity area BBTNGGP dicakup citra quicbird. Sementara
monitoring events (incl. Bbksda Jawa Barat meminta cakupan di semua
public efforts) lokasi proyek.
h. Quality control of spatial c. Permintaan seperti point a
MIS d. Laporan Analisis GIS. Diperlukan analisis hidrologi
i. Formal recognition from e. Peta tematik sejumlah 16 tema
f. Upload di web sesuai dengan kesepakatan
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-67
Lampiran-5

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


BBKSDA Jawa Barat & g. Upload di web sesuai dengan kesepakatan
TN-GGP h. QC report
j. Refinement of 8 TAs i. Berita Acara Capaian Kerja
working maps (resort/site- j. Memperbaiki peta kerja yang sudah ada dengan
based maps) upgrading memperbesar skala peta dari 1:25.000 menjadi
scale 1:25.000 to skala 1 : 10.000 atau 1:5.000
1:5.000/10.000 k. Koreksi geometric berdasarkan citra dan cek lapang
k. "Conduct geo-correction, l. Koreksi geometric berdasarkan citra dan cek lapang
ground checking, and m. Pembuatan peta tematik berdasarkan hasil survey
image interpretation for 8 n. Validasi batas kawasan sesuai hasil diskusi dengan
Tas and the whole CRB BPKH
area" o. Peta kerja tematik untuk mendukung manahemen
l. "Conduct geo-correction, plan
ground checking, and p. Validasi peta scenario ke depan jika ada perubahan
image interpretation for the tutupan lahan, perubahan tata guna lahan
human activities within 8 q. Peta scenario perencanaan
TA" r. Berita Acara Kinerja
m. "Conduct biodiversity s. Upload hasil perbaikan manajemen plan (5 tahunan)
mapping for 8 PAs, based kawasan sesuai dengan kesepakatan
on primary data survey t. Action Plan Lokasi Tahunan dan 5 tahunan resort
from the biodiversity tea"
n. "Validation of TAs
boundary maps, resort
boundary maps and sites
boundary map"
o. "Production of thematic
working maps to support
management plan of 8 TAs
(i.e. habitat, key species,
etc."
p. Validation of TAs future
scenario maps of 8 TAs
(i.e. based on future
forecasting of land use
change
q. Production of ""Scenario
planning maps' of 8 TAs
(Resort-based)"
r. Persetujuan formal dari
BKSDA & TN-GGP
s. Mengupload hasil terbaru
perbaikan manajemen
t. Menyusun Action Plan
Lokasi 8 TAs dan Action
Plan Berbasis Resort
BBKSDA Jawa Barat
/BBTNGP (5 tahun)
11. Workshop Penyusunan Penyusunan Skenario Manajemen Plan pada setiap
"Scenario planning' of 8 TAs, level.
untuk: BBTNGGP mengharapkan adanya scenario tata guna
a. Membuat/memperbaiki lahan
Manajemen Plan tingkat
UPT (i.e. Resorts of TNGP)
b. Membuat/memperbaiki
manajemen plan tingkat
resort
c. Menyusun/memperbaiki
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-68
Lampiran-5

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


pengaturan kelembagaan
yang sesuai untuk
dicocokkan dengan
manajemen plan
12. FGDs dgn representatives Terpilihnya lokasi pilot model RBM
BBKSDA Jawa Barat & BBTNGP Tersusunnya rencana detail kegiatan tahunan
untuk menentukan :
(1) Lokasi RBM Pilot Model (7
sites)
(2) Detail work plan dan
milestone (tahunan) "RBM
Model Development" in
target location
13 Surat mengetahui secara Berita Acara
formal dari BBKSDA Jawa
Barat & BBTNGGP

14 Mengupload informasi penting Upload disesuaikan dengan kesepakatan dengan


yang relevan terkait dengan BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat
manajemen plan ke public
15 Pelaksanaan RBM-model di Kolabirasi dengan BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat
lokasi terpilih: dalam pelaksanaanya
a. Membangun GIS database
yang sesuai dengan
pelaksanaan RBM-model
b. Mentoring pelaksanaan
RBM-model
c. Uploading perkembangan
terbaru RBM-model
16 Benchmarking report of Laporan Komponen 1 untuk benchmarking
Component#1 (i.e. SIM-RBM;
SIT-ROOM)
17 Mempersiapkan ""CRB CRB Biodiversity Profile dan State of CRB Biodiversity
Biodiversity Profile" (CBP) dan Conservation
"State of CRB Biodiversity
Conservation":
a. Kerangka draft CBP dan
SCBC
b. Writing workshops
penyusunan of "CBI dan
SCB"
c. Pertemuan koordinasi
dengan BbKSDA Jawa
Barat dan BPLHD Jawa
Barat
d. Upload the draft of ""CBI
and SCB"" in the web-
portal to be refined by
public"
18 Laporan Final Komponen 1 Laporan Kegiatan Menyeluruh Komponen 1
(Penyusunan dan Pengiriman)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-69
Lampiran-5

Tabel 19. Pembahasan dan Kesepakatan Work Plan Komponen 2:

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


1 Seleksi lokasi prioritas dan desain BBKSDA Jawa Barat memprioritas lokasi restorasi
a. "Penyusunan kriteria dan adalah daerah yang (i) masih ada perambah aktif
indikator pemilihan lokasi (legal dengan cara persuasif dan (ii) belum ada
basis, " kelembagaannya
b. Identifikasi habitat prioritas di
3 Kawasan (berdasarkan
analisis spasial)
c. Pemilihan teknologi lokal yang
cocok pada setiap desain
2 Membangun Kerjasama dengan
Masyarakat Sekitar
a. Pemilihan/Pembentukan
kelompok masyarakat yang
ikut dalam upaya restorasi
b. Mendisain program restorasi
berdasarkan hasil pemilihan
teknologi lokal
c. Menyusun restorasi panduan
lapang
3 Peningkatan kapasitas untuk
program restorasi
a. Melaksanakan FGD dgn
BBKSDA Jawa Barat/BBTNGGP
dan masyarakat terhadap
aspek praktis restorasi
hutan/habitat
b. Membangung mekanisme
pendekatan kolaborasi dengan
kelembagaan-kelembagaan
yang ada khususnya kelompok
perempuan
c. Menyusun Modul dan
melaksanakan ToT (Training of
Trainers)
d. Sharing pembelajaran
4 Pelaksanaan Lapang Rehabilitasi belum ada biaya penanaman baik di
a. Pembibitan APBN maupun CF. Perlu disepakati kemungkinan
b. Produksi kompos untuk media usulan pembiayaan dari sumber lain
tanam Perlu adanya pendampingan pelaksanaan restorasi
c. Produksi benih dan
oleh fasilitator.
pembenihan
d. Persiapan Lahan Analisis untuk native species akan dilakukan oleh
e. Pengkayaan Tanaman (Native taxonomist (ahli vegetasi)
Species) Masyarakat hanya dilibatkan dalam penanaman
f. Percepatan Regenerasi secara untuk dalam kawasan.
alami Keberlanjutan program: keterlibatan staf, NGO
g. Pemeliharaan Kualitas dengan pola (Y+1) yg dipihak ketigaan
Restorasi
5 "Monitoring, Evaluasi dan
Reporting (Teknis, Sosial,
Kelembagaan)"
6 Pelaporan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-70
Lampiran-5

Tabel 20. Pembahasan dan Kesepakatan Work Plan Komponen 3:

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN

1 Konseptualisasi
Pengembangan PES
a. Review menyeluruh
Pengembangan PES yang
ada
b. Review Regulasi
Pengembangan PES
c. Penyusunan Pedoman
Lapang Pembangunan PES
d. Analisis Ekonomi dan Studi
Kelayakan Berbagai
Skenario Pengembangan
PES
e. Training terhadap PES
development utk staf
2 "Pemilihan lokasi PES
(berdasarkan desk-study
awal, review, survey dan
dialog)
3 Pengembangan Pilot PES
untuk meningkatkan
Manajemen PA
a. Fasilitasi negosiasi dengan
stakeholders untuk
mengkaji kemungkinan
skema PES yang bisa jalan
b. Bekerjasama dengan Pihak
Swasta
c. Mempersiapkan Aspek
Hukun Perjanjian PES
d. Eksekusi kontrak atau MOU
setidaknya 1 atau lebih PES
yang berjalan
e. Penyusunan Project Design
Document (PDD) untuk
REDD+ di salah satu
Kawasan Konservasi
4 Aksi Pembelajaran Pembangunan
PES
a. Review inovasi kebijakan
untuk mengidentifikasi
mekanisme yang untuk
transfer payments
b. Review willingness-to-pay
[Review and survey]
5 Documenting best practices
a. Kompilasi pembelajaran
b. "Diseminasi informasi
replikasi untuk promosi PES
melalui media, training
dan seminars"

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-71
Lampiran-5

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN

6 Pengembangan Pilot PES untuk


meningkatkan \ PA management
a. Menyusun Paket Informasi
untuk meningkatkan skala
PES Pilot
b. Mengupload informasi
perkembangan Pilot PES
7 "Benchmarking Komponen #3
(sistem seleksi, Pedoman Teknis,
Usaha Kolaborasi, dll.)
Laporan Komponen 3

Tabel 21. Pembahasan dan Kesepakatan Work Plan Komponen-4:

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


1 "PENGEMBANGAN MDK,
PENDAPATN ALTERNATIF DAN
REHABILITASI LAHAN
KAWASAN PENYANGGA"

Persiapan
a. Riview Model Desa
Konservasi (MDK)di 8 TAs
b. PRA Penetapan Lokasi MDK
c. Observasi lapangan: PRA
dan peninjauan lapangan
d. "Analisis Metodologi ,
Teknis konservasi,. Sosial,
Ekonomi, Budaya Calon
lokasi MDK "
e. Mengembangkan
m e todologi  Me nyia pka n
Modul Participatory
Planning & Monev
Pa rtisipa tif  focus untuk
pengembangan MDK
f. Training Fasilitator Desa
g. Mobilisasi Fasilitator Desa
Stimulasi Program Konservasi
Kehati di Desa
a. Kursus Kepemimpinan
Desa untuk Program
Konservasi Kehati
b. "Gerakan kampanye
program konservasi kehati
oleh para siswa sekolah
(SD,SMP, SMA,Pemuda"
Inisiasi Program
a. Fasilitasi participatory
planning di lapangan
b. Pengorganisasian Kegiatan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-72
Lampiran-5

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


Legitimasi program
• Musyawarah Menyusun
Action Plan Tiap Kelompok
di 5 Desa CWMBC dan 8
Desa BBKSDA Jawa Barat
Pengambilan Keputusan Partisipatif
• Workshop / Lokalkarya
Lapangan Pengambilan
Keputusan Partisipatif
Program Konservasi Kehati
di 12 Desa BBKSDA Jawa
Barat dan 1 Desa
BBBTNGGP
Pelaksanaan Keputusan Partisipatif
a. "Pelatihan bagi petani (i.
Pelatihan Rehabilitasi
Lahan kritis di kawasan
penyangga, ii. Pelatihan
Produksi Usahatani terpilih
untuk kelompok
pengembangan usaha
alternatif, iii. Pelatihan
Pengembangan MDK
Pe ngua ta n ke le m ba ga a n
masyarakat)"
b. Dukungan teknis
penanganan perambahan
c. Implementasi Action Plan
di 12 Desa BBKSDA JAWA
BARATA JAWA BARAT Jawa
Barat dan 1 BBTNGGP
d. Pelaksanaan Monev
Partisipatif secara berkala
(3 kali di 12 Desa BBKSDA
JAWA BARATA JAWA
BARAT Jawa Barat dan 1
BBBTNGGP)
e. Diskusi Kelompok le sson
learned di masing-masing
lokasi(12 Desa BBKSDA
Jawa Barat dan 1
BBTNGGP)
f. Workshop Na siona l 
Shared learning
g. Pembuatan Laporan
Berkala dan Laporan Akhir
2 MAINSTREAMING
BIODIVERSITY
"Identifikasi topik (merujuk Hasil
Identifikasi Topik / Isu untuk
mainstreaming dari Proses Inisiasi
Program Konservasi Kehati di 13
desa calon MDK) dan Topik / Isu
dari Komponen 1,2,3"
Identifikasi & analisis peran multi
steakholder sesuai dengan
Topik/Isu terpilih
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-73
Lampiran-5

No. Kegiatan URAIAN/CATATAN


Analisis strategi dan motode
advocasi untuk Mainstreaming
"Pelaksanaan / penerapan Metode
Advokasi : Workshop/Seminar/
Scenario Planning/ Rapat,
konsulta si, ka m pa nye dll) se sua i
hasil kegiatan (3) di atas"
"Workshop / Lokalkarya Lapangan
Pengambilan Keputusan Partisipatif
Program Konservasi Kehati di 12
desa BBKSDA Jawa Barat dan 1
de sa BBTNGGP Ke gia ta n 1,2,3 
Sub Kegiatan 12 MDK"
Monev Partisipatif secara berkala (2
kali di 12 Desa BBKSDA Jawa
Barat dan 1 BBTNGGP)
Pelaporan
3 PUBLIKASI DAN KAMPANYE
BIODIVERSITY
"Identifikasi topik (merujuk Hasil
Identifikasi Topik / Isu untuk
mainstreaming dari Proses Inisiasi
Program Konservasi Kehati di 13
desa calon MDK) dan Topik / Isu
dari Komponen 1,2,3"
Pelaksanaan SEC (Strategic
Exte nsion Ca m pign) KAP surve y 
FGD
Workshop Mengembangkan
Strategi Media Kampanye
Pengumpulan bahan ke lapangan
Penulisan naskah / skenario
Produksi Dra ft(Dumm y)
Pembahasan / Pretesting
Koreksi
Produksi Media
Distribusi media
Pelaporan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-74
Lampiran-5

RESUME PRE INCEPTION REPORT MEETING (2)

Hari/Tanggal : Selasa - Rabu/02 - 03 April 2013


Tempat : Palace I-Royal Hotel, Bogor-Jawa Barat
Peserta : Terlampir beserta undangan
Agenda Kontrak : Diskusi Lapangan Inception Report, Provisional Sum
dan Variasi Kontrak

Tabel 22. Topik dan Uraian Hasil Diskusi Lapangan

No Topik Uraian
Selasa, 02 April 2013
1. Administrasi 1. SPJ CF sejumlah Rp. 2,2 Milyar, berkas asli difolderkan (Minggu ke-3 April dapat
terselesaikan)
2. PMS harus memegang aturan-aturan yang ada di Kementerian Kehutanan dan ADB
terkait administrasi
3. Bulan Mei 2013 sudah harus terlihat sisa anggaran untuk perpanjangan 2014 (16 April
2013 sudah ada perhitungan karena Bappenas sudah setuju diperpanjang, harus
dilengkapi perhitungan)
4. Masing-masing komponen, harus sudah bergerak dan membuat progress report
disampaikan ke Dit. KKBHL
5. BPKP dan BPK saat ini masih berada di KKBHL, Gedung Manggala Wanabakti-Jakarta
6. KAK harus segera ditandatangani oleh Kepala Balai di setiap UPT, tolong difasilitasi
oleh IC UPT
7. Inception Report diselesaikan dan tidak ada tambahan perbaikan dari Kepala Balai
BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
8. Semua kegiatan didokumentasikan, selain dalam bentuk foto, dibuat dalam bentuk
film DVD dengan kameramen yang berkualitas
9. Untuk semua komponen, bila akan melakukan training/workshop harus ada TOR yang
jelas. Modul/panduan jangan sampai copy paste (divalidasi)
2. Penyusunan 1. 9 Januari 2013: Kick off Meeting di Jakarta
Inception 2. 15 Januari 2013: Pertemuan dengan BBKSDA Jawa Barat
Report 3. 17 Januari 2013: Pertemuan dengan BBTNGGP
4. 28-29 Januari 2013: Evaluasi Pembahasan dari Pertemuan dengan BBKSDA Jawa
Barat dan BBTNGGP
5. 5-9 Februari 2013: FGD dan observasi lapangan di BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP
6. 13-14 Februari 2013: Observasi lapangan di BBKSDA Jawa Barat
7. 20 Februari 2013: Pembahasan Inception Report dengan BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP di Hotel Bali World-Bandung
8. 21-23 Februari 2013: Pertemuan Inception Report dengan PIU, ADB, dan stakeholder
di Galeri Ciumbuleuit-Bandung
9. 27-28 Februari 2013: Observasi Lapangan
10. 28 Februari 2013: Rencana diskusi final Inception Report di BBTNGGP
11. 1 Maret 2013: Rencana diskusi final di BBKSDA Jawa Barat
12. 4 Maret 2013: Draft Inception Report disampaikan kepada ADB
13. 18-19 Maret 2013: Pembahasan Inception Report dengan IC Pusat, BBKSDA Jawa
Barat, dan BBTNGGP khusus membahas GAP Analysis dan Perubahan Kegiatan
14. 8 April 2013: Final Inception Report harus sudah di-approve dan disubmit ke ADB
3. Kegiatan 1. Rasionalisasi penyelesaian peta baPAs di 8 PAs disebut sebagai “Peta Dasar” untuk
Komponen 1 survey keanekaragaman hayati
2. Penilaian keberhasilan pelatihan dengan membuat questioner pra dan post test
pelatihan
3. Menyiapkan paket-paket pembelajaran bersama dengan modul pelatihan
4. Membuat buku panduan dan petunjuk lapangan
5. Melaksanakan forum diskusi kelompok dan pelatihan

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-75
Lampiran-5

No Topik Uraian
6. Menyiapkan desain spasial (berbasis GIS) pada survey Bio-Fisik-Sosial, metode,
panduan, dan seterusnya
7. Melakukan pelatihan GIS/Remote Sensing.
8. Pendampingan pemanfaatan program database GIS dan untuk menanggapi kasus
aktual di lapangan
9. Pembangunan dan pelatihan geospasial dan Sistem Informasi Manajemen (SIM)
berbasis web
10. Identifikasi lokasi-lokasi perambahan di 8 PAs
11. Melakukan survey lapangan di dalam 8 lansekap PAs yang berdekatan (di dalam dan
luar kawasan konservasi)
12. Akusisi citra satelit (peta RBI dan Quickbird (tahun 2009 dan 2012 pada area seluas
3.340 km2 dengan prioritas pada kawasan BBTNGGP pada 4 resort Bidang PTN
Wilayah I Cianjur, CA Gn. Tilu dan CA & TWA Kawah Kamojang seluas 1.504 km2)).
Pembelian Quickbird pada awal Mei 2013
13. Memperbaiki fitur dari interface web GIS dan MIS untuk 8 PAs
14. Memproduksi peta-peta tematik berbasis web yang diperbaharui setiap triwulan
15. Menyiapkan dan meng-upgrade peta kerja per kawasan dan per RBM dari 1:25.000
menjadi 1:10.000 pada 8 lokasi PAs
16. Conduct Geo-Correction, Ground Checking, and Image Interpretation for 8 PAs and
the whole CRB area/melakukan geo-koreksi, pengecekan lapangan dan interpretasi
citra untuk 8 PAs dan seluruh daerah CRB
17. Melaksanakan pemetaan keanekaragaman hayati terhadap 8 PAs berdasarkan kepada
data survey dari keanekaragaman hayati
18. Produksi peta kerja tematik untuk mendukung rencana pengelolaan habitat 8 PAs
(yaitu spesies kunci, dan sebagainya)
19. Validasi peta skenario masa depan 8 PAs
20. Develop manuals and SOPs for CWMBC GIS and MIS
21. Develop mechanism for user feedback and system improvement
22. Testing and integration of MIS with central database portal
23. Spatial design and planning ground surveys
24. Establishing Permanent Survey Plots
25. Mapping of Key Biodiversity
26. Mapping of Key Habitat
27. Spatial Recommendation of Action Plans for 8 PAs
28. Formal Recognition of Refined Resort-Based Action Plan
29. Facilitation of The Implementation of Refined Action Plans
30. Facilitation of Boundary Marking
31. Facilitation of Awareness-Raising
32. Conduct Appropriate Training and Monitoring for 8 PAs Team untuk pengelolaan
keanekaragaman hayati

Masukan:
• List kegiatan tahun 2014 di setiap UPT (Pak Ambar)
• Buat surat untuk UPT terkait kegiatan CF-ICWRMIP di tahun 2014 yang harus
ditindaklanjuti (Asisten PIU Dit. KKBHL)
• Jangan terlalu rumit untuk pelatihan-pelatihannya
5. Gap Analisis 1. Perubahan sasaran dan jumlah PAs Komponen 2: PPR/RL  Technical Proposal: 3
Komponen 2 PAs: i) TB Masigit Kareumbi, ii) CA Kamojang, dan iii) TWA Gn. Tangkuban Parahu,
Inception Report: menjadi 4 PAs: i) TB Masigit Kareumbi, ii) CA Burangrang, iii) CA
Gunung Tilu, dan iv) TN. Gn. Gede Pangrango
2. Kegiatan komponen 2: PPR/RL focus di dalam kawasan konservasi dengan model
restorasi: kerusakan habitat ringan, sedang, dan berat. Sedangkan model rehabiliPAsi
di luar kawasan menjadi kegiatan komponen 4.
3. Model restorasi kerusakan habitat akibat IAS dan model restorasi pengembalian
ekosistem hutan monokultur (pinus) menjadi ekosistem hutan alam jenis endemic di
BBTNGGP memerlukan kajian mendalam melalui workshop/seminar
4. Diperlukan tenaga: 4 fasilitator yang menetap di 4 lokasi PPR/RL dan 1 orang Field
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-76
Lampiran-5

No Topik Uraian
Assistance untuk BBTNGGP yang berimplikasi penyediaan biaya dan rekruitmen
tenaga fasilitator/FA
5. Plot permanen ekosistem referensi (PPER) ±2-4 ha sekaligus menjadi sumber benih
(biji) pada setiap lokasi PPR/RL, yang berimplikasi terhadap penyediaan biaya
pembuatan 4 unit PPER
6. Kegiatan pendampingan/asistensi pemeliharaan, monitoring, dan evaluasi PPR/RL
tidak dapat dilakukan karena kegiatannya bulan November-Desember 2013,
sementara proyek CWMBC berakhir bulan Desember 2013
7. Diusulkan perpanjangan Proyek CWMBC ± 6 bulan untuk kegiatan
asistensi/pendampingan PPR/RL 2014:
1) Pemeliharaan restorasi
2) Pendampingan penguatan kelembagaan
3) Monev aspek teknis, sosial, kelembagaan
4) Pengembangan/pemantapan model PPR/RL

Masukan:
• Cari literature (Litbang) tentang perbanyakan tanaman dengan stek, cabutan, dan
sebagainya, mana yang lebih baik
• Cari literature review tentang restorasi
• PIU memiliki perangkat/tools (berlaku untuk semua komponen) berdasarkan self
assessment untuk menentukan keberhasilan program
6. GAP Analisis 1. Development of field guide on PES development: dibutuhkan tambahan waktu 1
Komponen 3 tahun dan resource dan tenaga ahli
2. Training on PES development: 5 peserta training dari BBKSDA Jawa Barat dan
BBTNGGP dan diperlukan 3 orang pengajar
3. Selection of PES sites: fasilitation dan negotiation untuk kebutuhan tenaga
4. Pilot development of PES improve the PA management: upaya-upaya peningkatan
awareness yang lebih luar coverage wilayahnya denga stakeholder yang lebih
inclusive, diperlukan
5. FGD best practices dalam pemanfaatan jasa lingkungan air: menyewa tempat (hotel)
2 kali paket meeting dengan jumlah kamar 23, akomodasi, konsumsi, uang sidang,
dan bantuan transport untuk 23 orang
6. Facilitation of stakeholder negotiation to explore workable PES schemes: 2 orang
fasilitator untuk negosiasi yang dapat berperan independen dengan pihak pengusaha,
masing-masing bekerja selama 6 bulan
7. Execution of contract/MOU: waktu tambahan selama 4 bulan pasca Desember 2013
8. Preparation of project design document for REDD+ for one site of conservation areas:
1 orang tenaga ahli diperlukan untuk selama 7 bulan
9. Review of policies innovation identity appropriate mechanisms for transfer of
payments: review terhadap policy innovation dan membangun kesepahaman dengan
intersektor dan multistakeholder tidak akan memadai dalam jangka waktu proyek
10. Review of willingness to pay: survey willingness to pay ke 4 pengguna jasa
lingkungan tidak akan memadai dalam jangka waktu proyek
11. Documenting best practices: sampai derajat tertentu proyek akan dapat
meningkatkan awareness stakeholder. Akan tetapi awareness stakeholder tidak akan
siginifikan peningkatannya di akhir proyek sehingga upaya-upaya peningkatan
awareness yang lebih luas coverage wilayahnya dengan stakeholder yang lebih
inclusive diperlukan
12. Capturing lessons learnt: 2 judul makalah
13. Dissemination of information for replication to promote PES: 4 judul bahan training, 1
kali seminar dengan 20 orang peserta
14. Uploading the progress of PES development pilot site: 1 orang tenaga IT diperlukan

Masukan:
• Review perubahan aturan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.19 tentang
Kolaborasi di KSA/KPA
• Matriks skenario extention dikumpulkan dan dikalkulasikan agar dapat diketahui dana
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-77
Lampiran-5

No Topik Uraian
yang dapat di-carry over ke tahun 2014 (minggu ini selesai) – berlaku untuk semua
komponen
• Perhitungan PNPB di setiap kawasan konservasi
• Basket PNPB di Kementerian Kehutanan dipisah
• Proyek ICWRMIP ini termasuk additional quality atau volume atau terobosan
(breakthrough)?
• Dimana posisi IKU yang dipengaruhi oleh Proyek ICWRMIP ini?
7. GAP Analisis 1. Pengembangan MDK: penambahan coordinator fasilitator
Komponen 4 2. RehabiliPAsi lahan kritis di kawasan produksi: seyogyanya disediakan anggaran untuk
pembibitan, composting, penanaman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana
provsum atau kontingensi. Secara umum, rehabiliPAsi lahan memerlukan waktu yang
panjang, kebih dari 1 tahun.
3. Kursus kepemimpinan desa untuk program konservasi kehati: diusulkan agar dapat
menggunakan dana provsum atau kontingensi
4. Gerakan kampanye penanaman pohon oleh para siswa sekolah (SD, SMP, SMA) di
desa ybs: diusulkan agar gerakan kampanye ini di tahun pertama dibiayai
menggunakan dana provsum atau kontingensi, untuk selanjutnya akan
diprogramkan/disosialisaikan “1 anak 10 pohon”
5. Musyawarah menyusun action plan tiap kelompok di 13 desa: perubahan jumlah desa
dari 5 desa di proposal menjadi 13 desa. Diusulkan didanai dari provsum atau
kontingensi
6. Workshop/lokakarya lapangan pengambilan keputusan partisipatif bersama seluruh
stakeholder di 13 desa: 12 desa di BBKSDA Jawa Barat sudah ada dananya,
sedangkan 1 desa di BBTNGGP belum tersedia dananya
7. Pelatihan pengembangan MDK: diusulkan menggunakan dana provsum atau
kontingensi
8. Diskusi kelompok Lesson Learned di 13 desa: diusulkan menggunakan dana provsum
atau kontingensi
9. Workshop nasional shared learning: diusulkan menggunakan dana provsum atau
kontingensi

Masukan:
• Kegiatan diskusi yang banyak dapat disatukan dan menjadi 2 hari untuk menghemat
biaya karena anggaran dari provsum juga tidak terlalu banyak
• Output dari kegiatan komponen 4 harus betul-betul dilihat time schedule-nya, mana
yang dapat dilaksanakan di 2013 dan 2014
• Perlu ada pembicaraan intens antara TA dan PMS
8. Budgeting 1. Setiap komponen mengusulkan biaya tambahan dan PMS yang akan memberikan
justification
2. Klasifikasikan kegiatan yang termasuk realokasi (tidak menambah biaya) dan mana
yang tidak termasuk kegiatan realokasi. Tetapi sebaiknya tidak ada kegiatan yang
bukan realokasi karena akan memakan waktu
9. Dalam Laporan Implikasi Manajerial terkait
Akhir (Bulan 1. Pentingnya pusat data/informasi KEHATI (BIODIVERSITY) di Direktorat (semacam
Desember PIKA) yang terkait updating dari UPT
2013) agar 2. Menghasilkan sesuatu (konsep) yang baru terkait Model PES, restorasi dan
memuat perhitungan PNBP (saran) terbaik bagi kawasan
tentang: 3. Lesson Learn dari pembinaan habitat yang ditinggalkan oleh Perhutani
Rabu, 03 April 2013
1. Organigram 1. Di dalam kontrak, Consultant Firm dibawah garis komando Direktur KKBHL,
sedangkan hubungan dengan Kepala BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP hanya secara
koordinatif
2. Kotak Tim PIU dan IC menempel dan diberi garis koordinasi bolak-balik ke CF
3. Garis komando dari Kepala BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP dihilangkan, CF hanya
mendapat garis komando dari Direktur KKBHL. CF merupakan perwakilan dari
Direktorat KKBHL
2. Pengajuan WA 1. Dibutuhkan 1 minggu untuk mengajukan WA, dan diajukan dari Dit. KKBHL (masih di
Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC
ADB Grant.0216-INO L-78
Lampiran-5

No Topik Uraian
lingkup Kementerian Kehutanan)
2. Pengajuan surat WA ke Kementerian Keuangan membutuhkan waktu ± 1 minggu
3. Pelaporan 1. Surat pelaporan konsultan ditujukan kepada Direktur KKBHL dan di-cc kepada pihak
Konsultan terkait
2. Mekanisme pelaporan bulanan CF dibuat lebih sederhana dibandingkan mekanisme
pelaporan triwulan dan tahunan CF
3. Mekanisme laporan bulanan CF prinsipnya searah dan tidak perlu ada telaah laporan
dari IC PIU, hanya perlu dievaluasi kesesuaian laporan dengan outline (target bulan
ini dan rencana bulan depan) oleh IC PIU
4. CF memberikan laporan kepada Kepala Balai yang berada di wilayah kerja masing-
masing dan yang memberikan ijin adalah pusat
5. SPT CF ditandatangani oleh Dit. KKBHL dan visum ditandatangani oleh pejabat di
tempat yang dituju
6. Laporan disusun oleh konsultan, dinilai oleh Kepala UPT setempat, disahkan oleh Dit.
KKBHL
7. Timesheet ditandatangani oleh PPK ICWRMIP Dit. KKBHL
4. Tata Cara 1. Pengadaan perubahan personil membutuhkan waktu selama 3 (tiga) hari
Perubahan 2. Pengiriman surat pengajuan perubahan personil ke ADB tidak dapat dipastikan lama
Personil CF waktunya
5. Pengajuan 1. Masalah pengajuan pembayaran konsultan perusahaan tidak perlu melibatkan UPT
Pembayaran (BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP), karena pembayaran dilakukan oleh pusat (Dit.
Konsultan KKBHL)
Perusahaan 2. Pengecekan kelengkapan pembayaran konsultan perusahaan akan dilakukan oleh tim
verifikator, kemudian tim verifikator melaporkan kepada PPK (terkait kelengkapan
SPJ)

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-79
Lampiran-5

Lembar Pengesahan
Hasil Diskusi Lapangan Inception Report, Provisional Sum Dan Variasi Kontrak

RAPAT : DISKUSI LAPANGAN INCEPTION REPORT, PROVISIONAL SUM DAN


VARIASI KONTRAK

Tanggal : 2-3 April 2013

No Nama Jabatan Tandatangan


1 Cherryta Yunia Kasubdit KLBPEE Kementerian Kehutanan
2 Hans Nico A Sinaga Kepala Seksi KLBPEE Wilayah II Kementerian
Kehutanan
3 Agus Nusantoro Project Management Consultant Firm ICWRMIP-
CWMBC
4 Ambar Dwiyono Tim Leader Consultant Firm PT. Inacon Luhur
Pertiwi
5 Agus Riyanto Koordinator Tim Komponen -1 ICWRMIP-
CWMBC
6 Suparno Koordinator Tim Komponen-2 ICWRMIP-CWMBC
7 Endang Setiawan Koordinator Tim Komponen-3 ICWRMIP-CWMBC
8 Zahir Zachir Koordinator Tim Komponen-4 ICWRMIP-CWMBC
9 Fauzan Syaifullah Project Officer Consultant Firm ICWRMIP-
CWMBC
10 Bambang Tim Leader Individual Consultant Dit. KKBHL
Kusnaryono S
11 Robi Royana Tim Leader Individual Consultant PIU BBKSDA
Jawa Barat
12 Deni Tim Leader Individual Consultant PIU BBTNGGP

Bogor, 3 April 2013

Mengetahui
Direktur
Mewakili,

Ir. Cherryta Yunia, M.MA


NIP.19590604 198602 2 002

Laporan Pendahuluan (Inception Report )-CWMBC


ADB Grant.0216-INO L-80

Anda mungkin juga menyukai