Anda di halaman 1dari 4

Nama : Mutiara Maliha Zahra

NIM : I1D019022

Nama Kelompok : Valin (3)

Pencegahan Stunting oleh Ahli Gizi untuk Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Bicara soal revolusi industri 4.0 yang belakangan ini sedang ramai
dibicarakan baik di forum nasional maupun internasional, tentunya kita sudah
sering mendengar tentang “Kita tidak boleh tergilas oleh industri 4.0” ataupun
“Inovasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0.” Revolusi industri sudah terjadi
sebanyak 4 kali sejak tahun 1784 dan yang terakhir adalah revolusi industri 4.0 yang
diperkenalkan di pameran industri Hannover Messe di Jerman tahun 2011 oleh Prof
Klaus Martin Schwab, teknisi dan ekonom Jerman, yang juga pendiri dari
Executive Chairman World Economic Forum. Dalam bukunya The Fourth
Industrial Revolution (2017) ia menyebutkan bahwa kita saat ini berada pada
awal revolusi yang secara mendasar mengubah cara hidup, bekerja, dan
berhubungan satu sama lain. Perubahan itu sangat dramatis dan terjadi pada
kecepatan eksponensial. Salah satu komponen perubahan revolusi industri 4.0
adalah Artificial Intelligent. Komponen ini diprediksi akan paling besar
dampaknya bagi kehidupan masyarakat ke depan karena sebuah “mesin” atau
robot yang dapat diinstruksikan oleh manusia sedemikian rupa dengan tujuan
akhirnya adalah efisiensi dan zero mistake.

Tak hanya dampak positif yang dapat timbul dari revolusi industri 4.0 ini,
dampak negatif dari revolusi industri 4.0 yang mengganti konsep kerja manual
menjadi otomatis dan digital menyebabkan kompetitifnya dunia kerja yang
berujung banyaknya tenaga kerja tidak terpakai akan menjadi masalah sosial
serius bagi pilar stabilitas politik atau ekonomi sebuah negara. Sebagai sebuah
negara yang masih berkembang, Indonesia terus melakukan upaya-upaya adaptasi
dengan industri 4.0 salah satunya dengan program link and match yakni
keterkaitan pendidikan dan industri. Pendidikan dan industri juga tak dapat lepas
dari SDM Indonesia yang saat ini bisa dibilang masih rendah. Salah satu faktor
penyebab rendahnya SDM Indonesia ditinjau dari segi kesehatan adalah
kurangnya pengetahuan akan gizi yang dapat mengakibatkan stunting.

Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Dr.
drh. Didik Budijanto, M.Kes, stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang
ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak
seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan
ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting
tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan
anak. Jika kesehatan dan kecerdasan anak sebagai masa depan bangsa sudah
terganggu, dapat dibayangkan bagaimana nantinya Indonesia akan kesulitan
menghadapi persaingan global.
Peran yang bisa dilakukan sebagai ahli gizi di masa mendatang dalam
membantu tindakan pencegahan stunting harus dimulai dari diri sendiri. Ahli gizi
haruslah berkompetensi tinggi, bukan hanya tentang bagaimana melayani
masyarakat di fasilitas-fasilitas kesehatan, tetapi juga mampu secara aktif turun
langsung ke masyarakat. Mengembangkan diri dengan berinovasi menciptakan
aplikasi-aplikasi berbasis digital yang mampu diakses oleh masyarakat.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa
sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan
Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperbesar kemungkinan terjadinya
stunting adalah keadaan ibu hamil yang terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering
melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Dengan begitu, sebagai ahli gizi kita
harus gencar memberikan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat
tentang bahayanya stunting. Pada remaja putri, kita bisa melakukan sosialisasi
tentang kesehatan reproduksi, PHBS, dan pola gizi seimbang. Pada ibu hamil, kita
bisa melakukan semacam intervensi pada 1000 hari pertama kehidupan,
menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif,
serta pendeteksian dini pada penyakit. Sedangkan pada balitanya sendiri, kita bisa
melakukan pemantauan pertumbuhan balita, menyelenggarakan kegiatan
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) juga menyelenggarakan stimulasi dini
perkembangan anak.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa memang masalah stunting ini tidak bisa
diserahkan kepada satu pihak saja, masalah ini harus dilakukan secara terintegrasi
dan dengan pendekatan multisektor. Namun, bila dilihat dari sisi seorang ahli gizi,
tentunya yang dapat kita lakukan adalah dengan tindakan preventif yakni gerakan
nasional percepatan perbaikan gizi dari semua kalangan. Ibu hamil, remaja putri
dan juga balita supaya menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas,
sehat, cerdas dan produktif. Dapat menjadi aset sangat berharga bagi bangsa dan
negara Indonesia untuk menghadapi era revolusi industri 4.0.
Daftar Pustaka

Suwardana, Hendra. 2018. “Revolusi Industri 4.0 Berbasis Revolusi Mental”


dalam Jurnal Ilmiah Teknik dan Manajemen Industri 1 (2) ,102-110.

Satya, Vani. 2018. “Strategi Indonesia Menghadapi Industri 4.0” dalam Kajian
Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis, 19-20.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia,


12-17.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun


2014.

Anda mungkin juga menyukai