MAKALAH
Disusun Oleh :
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, dengan segala
rahmat dan hidayah yang telah diberikan sehingga tim penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul : “Idealism dan Realism dalam
Pendidikan Kejuruan dan Vokasi”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Filsafat Ilmu..
Tim Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas
dari dukungan semua pihak. Untuk itu dengan segenap ketulusan hati, tim penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
Dr. C. Rudy Prihantoro, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu.
Tim Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, baik
dari segi materi maupun penyajiannya, untuk itu tim penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat untuk
kita semua.
Tim Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa
pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah
manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering
disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas
feed back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi.
Secara logika, antara idealisme dan realisme tidak bisa dipertentangkan.
Sebab, pencetus idealisme (Plato) adalah murid dari pencetus realisme (Socrates).
Jika demikian, apakah mungkin Plato seorang idealis yang juga realis? Dengan
pertanyaan lain, apakah Sokrates yang realis juga seorang idealis? Apa
sesungguhnya hakekat ide dan riil atau materi itu?
Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang,
yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya
dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak menyetujui pandangan tersebut.
Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah yang nyata, riil, empiris,
bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang nyata
adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).
Dalam konteks pendidikan, paham ini mencita-citakan pemikiran atau ide
tertinggi. Secara kelembagaan institusional, maka pendidikan akan didominasi
oleh fakultas atau jurusan filsafat dan pemikiran pendidikan. Di ranah pendidikan
dasar, akan didominasi oleh konsep-konsep dan pengertian-pengertian secara
devinitif tentang segala sesuatu. Tetapi, menurut psikologi perkembangan peserta
didik terdapat tahap-tahap perkembangan pemikiran siswa.
Metode yang digunakan oleh aliran idealisme adalah metode dialektik,
syarat dengan pemikiran, perenungan, dialog, dan lain-lain. Kurikulum yang
digunakan dalam aliran idealisme adalah pengembangan kemampuan berpikir,
dan penyiapan keterampilan bekerja melalui pendidikan praktis.
Evaluasi yang digunakan dalam aliran idealisme adalah dengan evaluasi
esay. Dimana evaluasi esay ini sangat efektif dalam proses belajar mengajar dan
dalam meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengerjakan soal.
Idealisme merupakan suatu aliran yang mengedepankan akal pikiran
manusia. Sehingga sesuatu itu bisa terwujud atas dasar pemikiran manusia. Dalam
pendidikan, idealisme merupakan suatu aliran yang berkontribusi besar demi
kemajuan pendidikan. Hal tersebut bisa dilihat pada metode dan kurikulum yang
digunakan. Idealisme mengembangkan pemikiran peserta didik sehingga
menjadikan peserta didik mampu menggunakan akal pikiran atau idenya dengan
baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sedangkan Realisme adalah aliran filsafat yang bertolak belakang dengan
aliran filsafat idealisme, realisme sabagai pelengkap adanya aliran filsafat
idealism. Dapat dikatakan bahwa idealisme merupakan gagasan atau ide yang
diutamakan untuk mencari sebuah kebenaran yang cenderung abstrak dan
metafisik. Sedangkan realisme merupakan intrumen alat indra merupakan pokok
utama dalam mencari sebuah kebenaran dengan melakukan observasi pada
lingkungan sekitar dan menemukan fakta-fakta tertentu dapat menekukan sebuah
kebenaran. Hal ini merupakan sebagai pembeda bahwa idealisme lebih berpegang
pada kondisi mental sedangkan realisme adanya bukti fisik.
Dunia pendiikan meiliki pandangan realisme yang erat dengan pemikiran
dari John Locke bahwa asal mula adanya pemikiran dan akal mula manusia dalah
sebuah tabula rasa, manusia diibaratkan sebagai kertas putih yang kosong dan
dapat diisi dengan beberapa elemen kehidupan dari lingkungan sekitar. Dengan
hal ini dapat dikatakan manusia mencari ilmu pengetahuan untuk dapat
melakukan proses berpikir yang sesuai dengan melihat mengamati lingkungan
sekitar. Hal ini membuat pandangan realisme dapat dikaitkan dengan pendekatan
psikologi behaviorisme dalam bidang pendidikan. Sedangkan pokok pemikiran
Aristoteles dalam bidang pendidikan adalah dengan menyertakan fakta-fakta di
lingkungan sekitar yang dapat di tangkap oleh alat indera merupakan cara untuk
mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Akan tetapi apabila di kaitkan dengan
pendidikan tinggi dimana manusia dituntut untuk berpikir secara abstrak. Hal ini
aristoteles mendukung pemikiran dari Plato bahwa putra putri bangsa sebaiknya
menempuh pendidikan sesuai dengan kemampuan kognitif mereka, dan doktrin
Plato megaskan tentang keberadaan indivisual seseorang. Seseorang yang
memiliki pemikiran abtrak dapat mempelajari adanya kedisiplinan yang
merupakan sesuatu yang penting dan bermanfaat dalam mengajarkan kepada putra
putri bangsa agar patuh dengan peraturan yang ada dan dapat mendorong
keinginan hati mereka sendiri yang sesuai dengan niali dan norma di negara
tersebut. Bahwa seorang mendidik diwajibkan untuk memberikan pengetahuan
mengenai nilai-nilai yang positif. Kebutuhan dasar seperti moral dan etika
sangatlah penting untuk mendidik bangsa agar tidak mudah terpengaruh adanya
isu-isu temporal.
Filsafat Idealisme dan Realisme memiliki dampak yang berbeda dalam
penerapan Pendidikan Kejuruan dan Vokasi. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai analisis filsafat idelisme dan realism dalam pendidikan kejuruan dan
vokasi.
Rumusan Masalah
ISI
Dalam tradisi pendidikan Barat, asal usul Idealism biasanya ditelusuri ke filsuf
Yunani kuno Plato. Meskipun hanya beberapa filsuf pendidikan kontemporer
adalah kaum Idealis, sebuah ujian Idealisme memberikan perspektif budaya dan
pendidikan yang berharga. Meskipun kontemporer, Idealisme telah sering
mendominasi filsafat wacana canggih di masa lalu. di abad kedelapan belas dan
kesembilan belas Jerman, Idealis seperti Johann Gottlieb Fichte (1762-1814),
Fried-rich Schelling (1775-1854), dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel X1770-
1831) mendominasi filsafat. Karya monumental Hegel, The Philosophy Of
History, memengaruhi perkembangan pemikiran filosofis baik di Jerman maupun
di luar negeri. Harus diingat bahwa baik Karl Marx (1818-1883) dan John Dewey
(1859-1952) mempelajari Idealisme dalam pendidikan mereka sebagai filsuf.
Friedrich Froebel (1782-1852) Pendiri kindergarten, berusaha menciptakan
metode pendidikan anak usia dini berdasarkan filosofi Idealis
b. Sekolah
Peran sekolah, sebagai agen pendidikan, berasal dari pandangan
kaum Idealis tentang peradaban dan tentang bagaimana lembaga-lembaga
mempromosikan kemajuan. Idealis melihat kemajuan sebagai evolusi
historis budaya manusia asal-usulnya yang primitif ke tahap-tahap suksesi
dan kumulatif dari tingkat peradaban yang lebih tinggi dan maju.
Sepanjang berabad-abad sejarah manusia, kumpulan pengetahuan telah
tumbuh ketika setiap generasi mentransmisikan dan menambahnya. Kata-
kata "berturut-turut" dan "kumulatif" memiliki arti khusus untuk sekolah.
Para pengurus dan pengajarnya harus mengatur pengetahuan sebagai
kurikulum terstruktur di mana mata pelajaran, yaitu, badan pengetahuan
yang terorganisasi, saling berhasil dalam konten yang semakin kompleks
dan canggih. Ketika siswa mengalami kemajuan selama bertahun-tahun
bersekolah, pembelajaran ini bersifat kumulatif karena pengetahuan yang
diperoleh pada satu tingkat atau kelas ditambahkan ke tingkat yang lebih
tinggi berikutnya.
Peradaban menjaga kebenaran dan pengetahuan dengan
melembagakannya. Dengan cara ini prestasi setiap generasi ditransmisikan
ke generasi berikutnya. Khususnya, tugas sekolah untuk melestarikan
pengetahuan, keterampilan, dan disiplin masa lalu; itu mempersiapkan
anak-anak untuk masa depan dengan mentransmisikan warisan budaya
dengan cara yang disengaja melalui kurikulum yang tertata secara
sistematis, berurutan, dan kumulatif.
c. Kurikulum Idealis
Idealis berpendapat bahwa kurikulum adalah badan materi
pelajaran intelektual, atau disiplin ilmu yang dipelajari, yang pada
dasarnya ideasional dan konseptual. Berbagai sistem konseptual ini
menjelaskan dan didasarkan pada manifestasi khusus dari Yang Mutlak.
Namun, semua sistem konseptual ini merupakan turunan dari dan pada
akhirnya mengarah ke Konsep Satu Menyatukan dan Mengintegrasikan
Ide atau Penyebab.
Sistem konseptual yang diturunkan dari Universal Absolute telah
diungkapkan kepada umat manusia dari waktu ke waktu melalui
terbukanya sejarah, dan mereka merupakan warisan budaya, yang
merupakan warisan yang harus ditambahkan oleh setiap generasi.
Kurikulum Idealist dapat dipandang sebagai hierarki yang puncaknya
ditempati oleh yang paling umum dari disiplin ilmu, yaitu filsafat dan
teologi, yang menjelaskan hubungan manusia yang paling esensial untuk
Tuhan dan kosmos. Menurut prinsip hierarkis ini, subjek yang lebih
khusus dibenarkan karena hubungannya dengan subjek yang lebih umum.
Materi pelajaran umum yang lebih abstrak dan melampaui keterbatasan
waktu, tempat tertentu. dan keadaan. Karena bersifat umum dan abstrak,
mereka memiliki kekuatan transfer ke berbagai situasi. Matematika,
dalam bentuknya yang murni, adalah disiplin yang sangat berguna yang
memberikan peluang untuk berurusan dengan abstraksi. Sejarah dan sastra
juga berperingkat tinggi dalam hierarki kurikulum. Selain menjadi
rangsangan kognitif. disiplin sejarah dan sastra sarat nilai. Sejarah,
biografi, dan otobiografi dapat diperiksa sebagai sumber untuk model
moral dan budaya, contoh, dan pahlawan wanita dan pahlawan. Sejarah
dapat dilihat sebagai catatan tentang Yang Absolut yang berlangsung dari
waktu ke waktu dan dalam kehidupan orang-orang, khususnya mereka
yang memiliki dimensi kepahlawanan.
Agak lebih rendah dalam hierarki kurikulum dapat ditemukan
berbagai ilmu yang berkaitan dengan hubungan sebab-akibat tertentu.
Sebagai kunci komunikasi, bahasa, keterampilan yang diperlukan,
dikembangkan di tingkat dasar.
d. Dimensi Sikap Pendidikan
Karena inti dari etika terkandung di dalam dan ditrans‐ misikan oleh
warisan budaya, mata pelajaran seperti filsafat, teologi, sejarah, sastra, dan
kritik artistik juga merupakan sumber nilai yang kaya. Subjek-subjek ini,
yang memadukan kognitif dan aksiologis, adalah pem‐ bawa tradisi moral
manusia dan mewakili kesadaran etis dan budaya umum peradaban.
Humaniora dapat dipelajari dan digunakan sebagai sumber stimulasi
kognitif. Pada saat yang sama, sumber-sumber sejarah dan sastra ini dapat
diserap secara emosional dan digunakan sebagai dasar untuk membangun
model nilai. Pendidikan nilai, sesuai dengan konsepsi Idealis,
membutuhkan siswa terekspos jadi model dan contoh yang layak sehingga
gaya mereka dapat ditiru dan diperluas. Oleh karena itu, siswa harus
diekspos dan harus memeriksa secara kritis karya-karya seni dan sastra yang
hebat yang telah bertahan lama.
e. Metodologi Idealis
Konsep metode pengajaran berasal dari konsep idealisme tentang
epistemologi. Proses pemikiran pada dasarnya adalah pengakuan, suatu
pemeriksaan diri introspektif di mana pelajar memeriksa isi pikirannya
sendiri dan di dalamnya menemukan kebenaran yang dibagikan oleh
semua orang lain karena itu mencerminkan kehadiran Kebenaran Universal
di Pikiran Dunia. Pendidik idealis seperti Friedrich Froebel, pendiri taman
kanak-kanak, telah menekankan prinsip kegiatan diri pelajar itu sendiri.
Proses pembelajaran menjadi lebih efisien dengan stimulasi yang
ditawarkan oleh seorang guru dan anak sekolah. lingkungan berkomitmen
untuk kegiatan intelektual. Sekolah dianggap sebagai cara yang efisien
untuk merangsang minat laten pelajar. Perendaman dalam warisan budaya,
melaluikurikulum, adalah bagian dari sekolah formal untuk kaum Idealis.
Aktivitas diri pembelajar sendiri terkait dengan minat dan
keinginan pembelajar untuk mengeluarkan usaha. Siswa memiliki minat
diri intuitif mereka sendiri, yang menarik mereka ke tindakan, peristiwa,
dan objek tertentu. Dengan minat intrinsik seperti itu, tidak ada dorongan
eksternal yang diperlukan. ketika minat bersifat intrinsik, atau internal
untuk pelajar, maka daya tarik positif dari tugas adalah sedemikian rupa
sehingga tidak ada usaha yang dilakukan secara sadar diperlukan.
Meskipun peserta didik memiliki minat sendiri, tidak semua belajar
itu mudah. Siswa mungkin tertipu oleh dunia penampilan dan dapat
mencari tujuan yang tidak benar-benar terkait dengan pengembangan diri
mereka sendiri. Pada saat-saat ini, upaya mungkin diperlukan ketika tugas
tersebut tidak menimbulkan minat yang cukup pada bagian siswa. Pada
saat itulah guru, model nilai budaya yang matang, harus mendorong
pengalihan setiap siswa ke kebenaran. Setelah pengeluaran minat dan
penerapan disiplin diri, siswa dapat menjadi tertarik pada tugas belajar.
Sekali lagi, warisan budaya ikut berperan untuk membangkitkan minat para
siswa. Semakin luas eks‐ posur ke warisan budaya, semakin besar
kemungkinan bahwa siswa akan memiliki banyak minat. Semakin banyak
minat saat ini, semakin besar kemungkinan untuk pengembangan diri lebih
lanjut.
Metode pendidikan Idealist dirancang untuk merangsang eks‐
plorasi diri sendiri yang intuitif dan i ntrospektif. Proses pertumbuhan atau
pengembangan adalah dari interior ke eksternal. Tidak ada satu metode
yang digunakan secara eksklusif dalam merangsang pelajar. Memang, guru
Idealis harus fasih dengan berbagai metode dan harus menggunakan
metode yang paling efektif dalam mengamankan hasil yang diinginkan.
Meskipun tidak ada satu metode khusus yang dapat ditentukan,
dialog Socrates tentu saja sesuai untuk kelas Idealist. Dialog Socrates
adalah suatu proses di mana orang yang dewasa, guru, bertindak untuk
merangsang kesadaran pelajar akan ide-ide. Guru harus siap untuk
mengajukan pertanyaan memimpin dan memuaskan tentang masalah
manusia yang penting. Ketika menggunakan dialog sokratis dalam situasi
kelas, guru harus dapat menggunakan proses kelompok sehingga
komunitas yang menarik berkembang di mana semua siswa ingin
berpartisipasi. Metode Sokrates membutuhkan pertanyaan ahli di pihak
guru dan dengan demikian bukan mengingat fakta yang telah dihafal
sebelumnya. Namun, ini mungkin merupakan langkah pertama yang
diperlukan agar dialog tidak berubah menjadi penyatuan pendapat yang
bodoh dan kurang informasi.
Penggunaan dialog Soratic dapat diilustrasikan dengan contoh
berikut di mana guru bahasa Inggris sekolah menengah membahas Mark
Twain's Huckleberry Finn dengan siswa. Kelas sedang memeriksa dilema
moral yang dihadapi Huck ketika dia harus mengikuti hukum negara atau
hukum yang lebih tinggi adalah hati nurani. Secara khusus, Huck harus
memutuskan apakah ia harus menyerahkan budak yang melarikan diri Jim
kepada pihak berwenang untuk kembali ke tuan budaknya. atau dia harus
membantu Jim melarikan diri ke keadaan bebas. Dilema Huck
mengungkapkan konflik nyata antara nilai-nilai yang lebih umum dan
abstrak dan nilai-nilai yang lebih langsung dan khusus.
Guru menggunakan Huckleberry Finn untuk mewakili karya klasik
dari pengalaman Amerika.Buku ini, yang bertahan dalam ujian waktu,
merupakan nilai-nilai abadi. Ini penting bahwa guru menempatkan cerita
dalam konteks historis dan literernya sehingga para siswa sadar akan
hubungannya dengan pengalaman Amerika. Hubungan buku ini dengan
sejarah keputusan Dred Scott dan hukum budak buron juga harus
diperjelas bagi para siswa.
Ini penting bahwa siswa telah membaca buku sebelum
membahasnya. Sementara menyambut diskusi yang mengalir bebas, guru
Idealis tidak memberi informasi yang keliru tentang usia atau mengizinkan
pendapat yang tidak berdasar untuk mengaburkan makna sebenarnya dari
episode pembelajaran. Setelah para siswa menyadari kehidupan Mark
Twain sendiri, konteks novel, karakter, dan alur ceritanya, maka
pembelajaran eksplorasi yang serius dapat terjadi melalui permintaan
pertanyaan yang merangsang. Menghindari pertanyaan- pertanyaan yang
dapat dijawab dengan ya atau tidak yang sederhana, pertanyaan guru harus
mengarah ke pertanyaan lain.
Konflik antara hukum sipil dan hukum yang lebih tinggi adalah
masalah penting yang telah bertahan sepanjang sejarah manusia. Apa yang
harus dilakukan seseorang ketika hukum negara dan dikte konflik hati
nuraninya? Apakah ada perbedaan antara orang baik dan warga negara
yang baik? Haruskah orang itu mengikuti nuraninya dan mengambil risiko
dengan mengambil keputusan seperti itu? Haruskah dia berusaha
mengubah hukum? Apakah hukum batin nurani pait dari hukum universal
dan lebih tinggi yang mengikat semua manusia?
Begitu para siswa telah mengeksplorasi tema konflik manusia yang
dihadirkan oleh dilema Huck, maka contoh-contoh lain dari konflik yang
sama dapat diilustrasikan dengan menunjuk pada contoh-contoh
pembangkangan sipil sebagaimana dipraktikkan oleh Henry David
Thoreau, Mohandas Gandhi, dan Martin Luther King,Jr. Pertanyaan moral
yang diajukan oleh Holocaust selama Perang Dunia II dan pengadilan
Nuremburg terhadap para pemimpin Nazi dapat diperiksa untuk meng‐
gambarkan kegigihan masalah moral yang luas itu.
Meniru model atau contoh juga merupakan bagian dari metodologi
Idealist. Siswa dihadapkan pada pelajaran berharga berdasarkan layak. model
atau contoh dari sejarah, sastra, agama, biografi, dan filsafat. Mereka
didorong untuk belajar dan menganalisis modus yang dipelajari orang
tertentu sebagai sumber nilai. Guru juga merupakan model konstan dalam
hal ini adalah perwujudan dewasa dari nilai-nilai tertinggi cuiture.
Meskipun guru harus dipilih untuk kompetensi dalam materi pelajaran dan
pedagogi, ia harus menjadi orang estetika yang layak ditiru oleh siswa.
Siswa meniru model dengan memasukkan skema nilai teladan ke dalam
kehidupan mereka sendiri. Emulasi bukanlah mimikri; melainkan, itu
merupakan perpanjangan dari kebaikan ke dalam kehidupan seseorang.
f. Hubungan Guru dan Pelajar
Dalam hubungan guru-pembelajar, penekanan besar ditempatkan
pada peran sentral dan penting guru. Sebagai orang yang matang, guru
Idealis haruslah orang yang telah menetapkan perspektif budaya. Ia
haruslah orang yang telah mengintegrasikan berbagai peran ke dalam
orkestrasi nilai yang berbahaya. Sementara pembelajar belum matang dan
mencari perspektif yang dapat diberikan budaya, ini tidak berarti bahwa
kepribadian siswa harus dimanipulasi oleh guru. Siswa berusaha untuk
mendapatkan perspektif yang matang ke dalam ality pribadinya sendiri.
Seperti dalam kasus semua orang, sifat spiritual dan kepribadian pelajar
sangat berharga. Dengan demikian, guru harus menghormati pelajar dan
harus membantu pelajar untuk menyadari kepenuhan kepribadiannya
sendiri. Karena guru adalah model dan representasi budaya yang matang,
pemilihan guru sangat penting. Guru harus mewujudkan nilai-nilai,
mencintai siswa, dan menjadi orang yang menyenangkan dan antusias.
J. Donald Butler, dalam Idealisme dalam Pendidikan, telah
mengidentifikasi beberapa kualitas yang diinginkan dari guru yang baik.
Menurut Butler, guru harus: (1) mempersonifikasikan budaya dan realitas
untuk siswa, (2) menjadi spesialis dalam kepribadian manusia, (3) sebagai
ahli dalam proses belajar, mampu menyatukan keahlian dengan antusiasme,
( 4) persahabatan siswa yang baik, (5) membangkitkan hasrat siswa untuk
belajar, (6) menyadari bahwa makna moral pengajaran terletak pada
tujuannya untuk menyempurnakan manusia, dan (7) membantu kelahiran
kembali budaya setiap generasi.
Jelaslah bahwa banyak yang diharapkan dari guru Idealis. Dia harus
menjadi pendidik profesional yang terampil dan orang yang hangat dan
antusias. Menurut konsepsi tentang peran guru, mengajar adalah perpaduan
yang menuntut keahlian, kompetensi, budaya, dan kepriba‐ dian. Ini adalah
seni sekaligus sains.
4. Kesimpulan
Idealisme, filsafat yang menyatakan sifat spiritual manusia dan alam
semesta, menyatakan bahwa yang baik, benar, dan indah adalah bagian
permanen dari struktur alam semesta yang terkait, koheren, tertib, dan tidak
berubah. Pendidik idealis lebih suka kurikulum materi pelajaran yang
menekankan kebenaran yang didapat dari karya teologis, filosofis, sejarah,
sastra, dan artistik yang bertahan lama.konsep-konsep berikut, yang berakar
pada filsafat idealis, memiliki relevansi khusus untuk praktikpendidikan:
Seperti halnya Idealisme, Realisme adalah salah satu filosofi kuno dan
paling abadi di dunia Barat. Berbeda dengan Idealisme, Realisme menyatakan
bahwa objek ada terlepas dari persepsi kita tentang mereka. Misalnya, buku yang
sedang Anda baca ini sebagai "objek dalam dirinya sendiri," dan keberadaannya
tidak bergantung pada persepsi Anda atau penggunaannya. Bahkan jika Anda
tidak membacanya, teks ini akan tetap ada. Doktrin penting Realisme adalah
sebagai berikut:
1. Kita hidup di dunia keberadaan nyata di mana banyak hal, seperti orang dan
objek, ada.
2. Objek realitas ada terlepas dari keinginan atau preferensi kita tentang
keberadaan mereka dan penggunaannya yang kita buat dari mereka.
3. Dengan menggunakan alasan kita, adalah mungkin bagi kita untuk mengetahui
sesuatu tentang - untuk memiliki pengetahuan tentang objek-objek ini.
4. Pengetahuan tentang objek-objek ini, hukum yang mengaturnya, dan
hubungan mereka satu sama lain adalah panduan yang paling dapat diandalkan
untuk perilaku manusia.
Singkatnya, Realisme dapat didefinisikan sebagai posisi filosofis yang
menegaskan keberadaan tatanan realitas objektif dan kemungkinan manusia
memperoleh pengetahuan tentang realitas itu. Lebih lanjut menentukan bahwa
kita harus memesan perilaku kita sesuai dengan pengetahuan ini
Walaupun sulit untuk menemukan banyak manifestasi dari Idealisme di
sekolah satu-satunya, orang dapat menemukan banyak contoh Realisme. Misalnya,
kurikulum materi pelajaran. ditemukan di banyak sekolah menengah dan
perguruan tinggi, terdiri dari badan-badan pengetahuan yang terorganisir secara
terpisah seperti sejarah, bahasa, matematika, sains, dan sebagainya. Berbagai
masalah ini ditafsirkan untuk mewakili eksplorasi realitas yang diatur dengan
cermat dan sistematis oleh umat manusia. Siswa sekolah menengah dan
perguruan tinggi akan ditemukan membaca buku teks yang ditulis oleh para ahli
dalam disiplin ilmu yang dipelajari atau menghadiri kelas yang diajarkan oleh
spesialis dalam berbagai materi pelajaran. Bab ini membahas prinsip-prinsip dasar
filsafat Realis dan menganalisis implikasi pendidikannya. Namun, sebelum
melakukannya, kita akan memeriksa asal-usul historis Realisme seperti yang
diungkapkan oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles (384-322 SM).
1. Aristoteles : Pendiri Realisme Barat
Seperti halnya para pengurus, ada juga berbagai Realis. Sebagai contoh,
Realis Klasik melacak asal usul filosofis mereka ke filsafat Yunani kuno; Realis
Ilmiah melihat ilmu alam dan metode ilmiah sebagai hasis untuk memahami
realitas: Realis Teistik, di antara mereka adalah Thonis, membayangkan
Mahatinggi yang supernatural sebagai pencipta dunia alam. Jenis-jenis
Realisme ini memiliki asal mula yang sama dalam karya Aristole. Pada bagian
bab ini, kita akan melakukan hal-hal berikut: (1) menyajikan gam‐ baran umum
mengenai kontribusi Aristoteles pada sejarah gagasan dan kemudian (2)
memeriksa konsep filosofisnya yang membentuk dasar filsafat Realis.
a. Aristoteles dalam Sejarah Ide-Ide Pendidikan
Aristoteles adalah seorang murid Plato, pada waktu itu adalah tutor
Alexander the Grcat, Raja Yunani yang membentuk sebagian besar
dunia yang dikenal. Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah
Aristoteles mendirikan Lycum, sebuah sekolah filsafat di Athena pada
tahun 334 SM, dan menulis tentang hal-hal filosofis seperti metafisika.
logika, dan etika dan pada ilmu alam astronoy, zoologi, dan botani. Karya
Aristoteles dalam ilmu - ilmu alam mendeskripsikan suatu urutan
perkembangan alamiah yang jelas.
Pada tingkat terendah dalam urutan muncul benda-benda tak
bernyawa, benda mati seperti batu dan mineral. Ke atas, dalam tatanan
yang lebih tinggi berikutnya, muncul tanaman dan tumbuh-tumbuhan,
yang, walaupun hidup dibandingkan dengan benda mati, tidak memiliki
banyak kekuatan hewan. Di dunia hewan, ada skala kenaikan terus-
menerus ke atas bagi manusia, yang merupakan yang tertinggi dalam
hierarki karena rasionalitas mereka. Dalam deskripsi singkat tentang
fenomena alam ini, kecenderungan Aristoteles terhadap klasifikasi dan
kategorisasi harus diperhatikan. Kecenderungan ini diikuti oleh Realis
kemudian yang melihat klasifikasi sebagai cara paling akurat dan berguna
untuk mengatur pengetahuan kita tentang objek yang ditemukan dalam
realitas alam.
Dalam Etika Nicomachean. Aristoteles menekankan cita-cita
Helleic tentang moderasi, harmoni, dan keseimbangan, yang menjadi inti
aksiologi atau teori nilai Real. Politik-nya, seperti Republik Plato,
mengakui bahwa ada hubungan timbal balik antara manusia yang baik dan
warga negara yang baik.
Aristoteles melihat dualitas dasar dalam sifat manusia dalam bahwa
manusia memiliki scul atau pikiran immaterial serta tubuh material. Seperti
halnya hewan-hewan dalam tatanan rendah, manusia memiliki nafsu makan
dan kebutuhan fisik yang harus dipenuhi jika mereka ingin bertahan hidup.
Tidak seperti hewan, pikiran atau kecerdasan manusia memberi seseorang
kekuatan untuk berpikir. Orang yang benar-benar terdidik menggunakan
akal dalam membimbing perilaku etis dan perilaku politiknya.
Teori etika Aristoteles didasarkan pada konsepsinya tentang
rasionalitas manusia. Seperti alam semesta. manusia bergerak ke tujuan
yang ditentukan. Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai
kebahagiaan, yang berarti bahwa orang tersebut telah sepenuhnya
menyadari potensi dirinya. Secara pendidikan, seni liberal dan ilmu-ilmu
yang ia maksudkan untuk orang- orang bebas - berkontribusi untuk
mencapai tujuannya karena mereka mempertajam akal manusia.
Di era abad pertengahan. Aristoteles ditemukan kembali oleh para
pendidik skolastik, seperti Thomas Aquinas. yang mengembangkan sintesis
filsafat Aristotelian dan teologi Kristen. Pendidik humanis kontemporer
seperti Robert Hutchins. Mortimer Adler, dan Harry Broudy menjadikan
Aristoteles Realis sebagai fondasi penting bagi filosofi pendidikan mereka
sendiri. Dari perlakuan umum terhadap kontribusi Aristoteles ini dalam
pemikiran Barat, kita sekarang melanjutkan ke pemeriksaan yang lebih
terperinci tentang filosofinya dan implikasinya bagi pendidikan.
b. Dasar Realisme Aristotelian
Sementara Plato memusatkan perhatian pada dunia abstrak dari
bentuk atau ide yang sempurna, aristotle menggunakan metode
pengamatan akal sehat untuk menyelidiki dunia publik dari fenomena alam
dan sosial. pengamatan dan penelitian empiris, Aristoteles
mengembangkan sistem metafisik yang ditafsirkan menjadi penyatuan
aktualitas dan potensi. sedangkan aktualitas lengkap dan sempurna,
potensi memiliki kemampuan untuk disempurnakan. dalam penjelasannya
tentang kenyataan, Aristoteles merujuk pada empat sebab formal. Dia
mendefinisikan penyebab sebagai sesuatu yang dengan cara apa pun
memengaruhi produksi sesuatu, suatu objek. Penyebab Materi, atau materi,
adalah yang darinya makhluk dibuat. Sebagai substratum keberadaan,
materi tidak pasti tetapi memiliki potensi untuk menjadi objek. Bentuk,
atau penyebab formal, adalah ke mana sesuatu dibuat. Bentuk, prinsip
aktualitas, menyediakan desain yang membentuk dan memberi struktur
pada suatu objek. dalam hal mengetahui, bentuk esensi dari makhluk
adalah objek pengetahuan intelektual.
Esensi mengacu pada kualitas yang diperlukan untuk objek untuk
menjadi apa adanya; kualitas-kualitas yang menentukan ini, atau kondisi-
kondisi yang diperlukan, tetap tidak berubah terlepas dari pergantian atau
perubahan kualitas-kualitas kebetulan suatu objek.
Bagi Aristoteles, penyatuan dari dan materi merupakan substansi
konkret individu. Dari bentuk datanglah benda-benda yang sifatnya
esensial atau tidak dapat diubah; dari materi muncul ketidaksempurnaan
objek, keterbatasan, dan kualitas individu. Penyebab Efisien adalah agensi
produksi yang menghasilkan tindakan, atau gerakan, dari potensi ke
aktualitas. Bagi Aristoteles, semua proses alami adalah tindakan
perkembangan yang memunculkan kemungkinan laten dengan menjadikan
aktualitas kesempurnaan yang sudah terkandung sebagai potensi dalam
materi. sebab terakhir merujuk pada yang menghasilkan efek, atau arah ke
mana objek cenderung.
Sepanjang sistem metafisik aristotelian adalah kecenderungan yang
jelas untuk dualisme kecenderungan untuk melihat realty sebagai terdiri
dari dua elemen penyusun. Dualisme berarti bahwa ada dua entitas terkait,
yang keduanya tidak dapat direduksi menjadi yang lain. misalnya, pikiran
dan tubuh adalah dua entitas yang terpisah. Dualisme metafisik
menegaskan bahwa ada dua komponen penting dari realitas, yang,
meskipun terkait, tetap berbeda. Dengan demikian, Aristoteles
memandang keberadaan sebagai penyatuan dua unsur aktualitas dan
potensi, bentuk dan materi. Seperti yang akan ditunjukkan nanti, konsepsi
dualistik tentang realitas ini sangat memengaruhi pemikiran Barat.
manusia dipandang sebagai makhluk komposit yang terdiri dari roh dan
materi, atau pikiran dan materi. Pandangan dikotomis seperti itu tentang
sifat manusia mengarah pada perbedaan yang memiliki konsekuensi
pendidikan yang signifikan. pengetahuan dapat dipisahkan menjadi seni
teoretis dan praktis; pengalaman estetika dapat dipandang sebagai
berurusan dengan seni baik atau terapan; pendidikan dapat dikategorikan
sebagai liberal atau kejuruan. Dalam konteks dualisme Aristotelian ini,
yang abstrak, teoretis, halus, dan liberal diberi prioritas di atas apa yang
praktis, diterapkan, dan Ketika bertindak berdasarkan pragmatisme, kita
akan memeriksa aktual John pengering tentang kecenderungan untuk
melihat kenyataan, manusia dan pengalaman manusia dalam mempelajari
dua bidang keberadaan. Kesetiaan para pendidik seperti. realis dan
perenmalis terhadap dualisme dan penolakan konsep ini dalam pragmatis
dan pendidik progresif telah menghasilkan banyak kontroversi pendidikan,
terutama pada masalah prioritas pendidikan dan kurikulum.
Konsepsi Aristotelian tentang alam semesta dualistik juga dapat
dilihat dari segi kategori subtans dan kecelakaan. Substansi adalah
"elemen" pamungkas. apa yang ada dari dan dengan sendirinya, di mana
setiap hinaan adalah madelis itu adalah realitas yang mendasari yang
melekat kualitas-kualitas utama suatu benda, Subtance adalah esensi yang
berkelanjutan dari suatu objek yang memindai konstans melalui semua
perubahan pada objek yang disengaja atau dapat disembuhkan.
karakteristik.
Sebaliknya acculent mengacu pada perubahan variabel yang tidak
mengubah esensi dari makhluk tetapi yang membedakannya. Dalam
berbagai perawatan pragmatisme, salah satu dari mereka menemukan
pernyataan bahwa kenyataan terus berubah. Realis akan mengamati bahwa
begitu mengukur perubahan, pasti ada beberapa objek stabil yang berubah.
Bagi kaum Realis, apa yang mengalami perubahan adalah substansial.
sedangkan perubahan itu sendiri tidak disengaja
Sebagai contoh, semua manusia berbagi sifat manusia yang sama,
yang merupakan esensi atau substansi mereka. orang-orang tertentu,
bagaimanapun, dari ras, etink gromps, bobot, dan ketinggian yang
berbeda. Karakteristik individualistis ini termasuk dalam kategori
kecelakaan.
Ketika para aristotelian menawari esensi manusia, mereka merujuk
pada unsur-unsur substansial yang tidak berubah, terlepas dari waktu,
tempat, dan keadaan sekitar. Dari universal inilah para pendidik harus
membangun pendidikan elemen hash. Sebagai contoh, para pakar
astronomi mendefinisikan manusia sebagai makhluk nasional yang
mengolah kecerdasan yang memungkinkan mereka untuk abstrak dari
pengalaman dan untuk membingkai, memilih, dan bertindak berdasarkan
berbagai pilihan. mengatur ras, kebangsaan, pekerjaan, atau jenis kelamin
mereka, semua manusia memiliki kekuatan untuk bernalar. Namun
demikian, orang-orang tertentu hidup di berbagai waktu dan di tempat
yang berbeda. berbagai kondisi lingkungan dan sosial berkontribusi
terhadap variasi budaya dalam pengalaman manusia yang umum.
Meskipun kecelakaan tertentu terlahir di tempat tertentu. semua orang
memiliki sifat manusia yang sama. Sebagai hasil dari kecelakaan yang
sangat penting karena dilahirkan di lokasi tertentu, beberapa orang akan
berbicara bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, Rusia, Swahila, atau
Prancis. Tetapi terlepas dari bahasa khusus mereka, semua orang
menggunakan bahasa sebagai alat ekspresi dan komunikasi.
Kutipan berikut dari Robert Hutchins, pengikut modern filsafat
Aristoteles, dengan jelas membedakan antara sub Kutipan berikut dari
Robert Hutchins, pengikut filsafat Aristoteles, dengan jelas membedakan
antara substansi dan kecelakaan. Dalam The Higher Learning in America,
Hutchins menganalisis implikasi pendidikan dari perbedaan Aristotelian
ini:
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menggali
elemen-elemen dari sifat dasar kemanusiaan kita. Elemen-elemen
ini sama di setiap waktu atau tempat. Gagasan mendidik seorang
pria untuk hidup di waktu atau tempat tertentu, untuk
menyesuaikannya dengan lingkungan tertentu, oleh karena itu
asing bagi konsepsi pendidikan yang benar.
Pendidikan berarti mengajar. Mengajar menyiratkan
pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran di mana-
mana sama. Karenanya pendidikan harus di mana-mana sama.
Saya tidak mengabaikan kemungkinan perbedaan oerganisasi.
dalam administrasi, dalam kebiasaan dan kebiasaan setempat. ini
adalah detail. Saya menyarankan bahwa inti dari setiap program
studi yang dirancang untuk seluruh orang akan, jika pendidikan
dipahami dengan benar, sama setiap saat, di mana saja, di bawah
kondisi politik, sosial, atau ekonomi apa pun. Bahkan perincian
administrasi cenderung serupa karena semua masyarakat memiliki
kesamaan generik.
Jika pendidikan dipahami dengan benar, itu akan dipahami
sebagai pengembangan kecerdasan. Penumbuhan kecerdasan
adalah kebaikan yang sama untuk semua orang di semua
masyarakat. Namun, kebaikan untuk semua barang lainnya hanya
berarti. Kemakmuran materi, persik, dan ketertiban sipil, keadilan
dan kebajikan moral adalah sarana untuk menumbuhkan
kecerdasan. Jadi, Aristoteles berkata dalam Politik: "Sekarang,
dalam diri manusia, akal dan pikiran adalah tujuan yang
diperjuangkan oleh alam. Sehingga generasi dan disiplin moral
para pengkritik harus diperintahkan dengan pandangan kepada
mereka." Pendidikan yang melayani sarana daripada tujuan mereka
akan salah kaprah.
Referensi Hutchin kepada Aristoteles mengungkapkan konsepsi
Realis yang menyeluruh bahwa manusia itu rasional dan harus hidup
sesuai dengan dikte akal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tujuan dasar
pendidikan adalah untuk menumbuhkan dan melatih potensi rasional
manusia agar dapat diaktualisasikan. Dalam De Anima dan Etika
Nichomachean, Aristoteles menegaskan bahwa prinsip-prinsip umum
tertentu dari sifat dan perilaku manusia dapat dibedakan. Bersama dengan
hewan lain, manusia berbagi fungsi nutrisi, penggerak, reproduksi, dan
pernapasan. Tetapi sebagai makhluk yang lebih kompleks dan canggih,
manusia juga memiliki fungsi indera, imajinasi, kebiasaan, rasa sakit, dan
kesenangan. Mengikuti pandangan dunianya yang dualistis, Aristoteles
menggambarkan dua bidang keberadaan manusia. Sebagai makhluk yang
rasional, manusia adalah makhluk yang abstraktif, simbolis, dan membuat
pilihan. Namun, ada juga komponen nonrasional dalam sifat manusia
dalam bahwa orang yang sama juga rasional adalah emosional dan
kemauan. Alasan manusia untuk menjadi adalah untuk mengenali,
memupuk, mengembangkan, dan menggunakan rasionalitasnya. Sumber
kebahagiaan manusia terbesar terletak pada penanaman aktif rasionalitas,
yang berkontribusi pada aktualisasi diri atau diri kultivasi dan
kesempurnaan diri. Orang yang benar-benar bertindak sebagai manusia
diatur oleh alasan kekuatannya yang tertinggi dan paling menentukan.
Meskipun emosi adalah sarana untuk mengalami kesenangan, dan
kehendak adalah instrumen untuk mencapai tujuan, baik emosi maupun
kehendak diatur dengan baik dengan alasan. Ketika diatur oleh selera,
emosi, dan kemauan, manusia bertindak tidak cerdas, tidak masuk akal,
dan merendahkan kemanusiaan dasarnya sendiri. Ketika diatur oleh akal,
manusia dapat mengembangkan keunggulan karakter moral yang
merupakan sarana antara ekstrem penindasan dan ekspresi tanpa hambatan
atau mengumbar nafsu dan selera.
KESIMPULAN
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham
bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita
adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah
idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini
justru muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai
kebenaran tertinggi.
Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang,
yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering
menyebutnya dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak menyetujui
pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah
yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan
kata lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa
diterima oleh panca indra).
Dalam konteks pendidikan, paham ini mencita-citakan pemikiran atau ide
tertinggi. Secara kelembagaan institusional, maka pendidikan akan didominasi
oleh fakultas atau jurusan filsafat dan pemikiran pendidikan. Di ranah
pendidikan dasar, akan didominasi oleh konsep-konsep dan pengertian-
pengertian secara definitif tentang segala sesuatu. Tetapi, menurut psikologi
perkembangan peserta didik terdapat tahap-tahap perkembangan pemikiran
pada siswa. Pada usia didik sekolah menengah kejuruan dan vokasi, secara
idealism siswa mampu menemukan ide ide pengembangan dalam disiplin ilmu
yang dipelajarinya.
Sedangkan Realisme adalah aliran filsafat yang bertolak belakang dengan
aliran filsafat idealisme, realisme sabagai pelengkap adanya aliran filsafat
idealism. Dapat dikatakan bahwa idealisme merupakan gagasan atau ide yang
diutamakan untuk mencari sebuah kebenaran yang cenderung abstrak dan
metafisik. Sedangkan realisme merupakan intrumen alat indra merupakan
pokok utama dalam mencari sebuah kebenaran dengan melakukan observasi
pada lingkungan sekitar dan menemukan fakta-fakta tertentu dapat menekukan
sebuah kebenaran. Hal ini merupakan sebagai pembeda bahwa idealisme lebih
berpegang pada kondisi mental sedangkan realisme adanya bukti fisik.
Dunia pendidikan memiliki pandangan realisme yang erat dengan
pemikiran dari John Locke bahwa asal mula adanya pemikiran dan akal
manusia adalah sebuah tabula rasa, manusia diibaratkan sebagai kertas putih
yang kosong dan dapat diisi dengan beberapa elemen kehidupan dari
lingkungan sekitar. Dengan hal ini dapat dikatakan manusia mencari ilmu
pengetahuan untuk dapat melakukan proses berpikir yang sesuai dengan
melihat mengamati lingkungan sekitar. Hal ini membuat pandangan realisme
dapat dikaitkan dengan pendekatan psikologi behaviorisme dalam bidang
pendidikan. Sedangkan pokok pemikiran Aristoteles dalam bidang pendidikan
adalah dengan menyertakan fakta-fakta di lingkungan sekitar yang dapat di
tangkap oleh alat indera merupakan cara untuk mendapatkan pengetahuan dan
kebenaran.
Dalam Pendidikan Kejuruan dan Vokasi, lingkungan industri adalah
tempat belajar peserta didik, belajar dari lingkungan dengan metode
behaviouristik “Bisa karena Terbiasa” adalah implemetasi riil dari filsafat
pendidikan realism. Peserta didik mengamati, memahami, mencoba , dan
belajar dari kesalahan kerja pada praktek industri. Semakin banyak salah,
semakin banyak belajar dari pengalaman mengenai disiplin ilmu kerjanya.