Anda di halaman 1dari 3

PLUTOKRASI

Ada sebuah buku di Amerika sana judulnya Capitalism and Democracy


ditulis oleh Timothy Kuhner, dia menuliskan bahwa biaya untuk sebuah
demokrasi di Amerika Serikat yang diwujudkan dalam bentuk
penyelenggaraan Pemilu telah menghabiskan biaya yang sangat besar untuk
menjadi seorang Presiden membutuhkan dana sebesar US$ 1 Milyar, untuk
menjadi anggota senat membutuhkan dana US$ 10 juta dan seterusnya. Biaya
kampanye yang tinggi belum lagi biaya konsultan yang dipakai,
menyebabkan diperlukannya dana yang tidak sedikit, dari mana dana itu
berasal tentu saja tidak mungkin berasal dari sang calon sendiri, ada yang
namanya investor di sana, ada para pemodal yang tentu saja mempunyai
kepentingan tersendiri, logikanya siapa yang mau invest tanpa keuntungan
kan?. Timothy Kuhner dalam bukunya juga menuliskan bagaimana biaya-
biaya dalam politik ini akhirnya menghancurkan sendi-sendi demokrasi di
Amerika dan malah menghasilkan politisi korup, bahkan biaya politik ini
efeknya sampai juga ke bidang ekonomi dan sosial.

Bagaimana dengan di Indonesia, belajar dari pengalaman Pilkada DKI sudah


jelas bahwa ada politik biaya tinggi terjadi di sana, ada konsultan-konsultan
politik yang dibayar sangat mahal untuk memenangkan clientnya dengan
segala cara. Di Pilkada DKI juga kita melihat bagaimana efek sosial dan
psikologis rakyat dipermainkan, tanpa memikirkan dampaknya. Apa
hasilnya? Kita semua tahu bagaimana Jakarta sekarang, hancur dan semakin
tidak jelas arahnya masyrakat saling curiga karena sentimen identitas yang
dijual belikan. Jadi apa yang diutarakan oleh Timothy Kuhnen memang
benar bahwa kekuatan uang akan menghancurkan demokrasi bahkan
menghancurkan negara itu sendiri. Dengan uang demokrasi yang terlihat
seperti tanpa masalah bila dibongkar maka akan terlihat borok-boroknya.
Borok demokrasi inilah yang merusak tubuh suatu bangsa, sumbernya
darimana? Tentu saja uang dan kepentingan, setelah menyetorkan modalnya
pada para politikus maka para investor tentu saja berusaha agar modalnya
kembali dengan untung pastinya, tidak mungkin seseorang mau melakukan
investasi tanpa perhitingan keuntungan yang jelas. Desas-desus mahar politik
yang ada dalam dalam setiap proses pemilhan baik daerah dan pusat menjadi
relevan adanya dengan banyak tertangkapnya para kepala daerah dan para
legistlator baik pusat maupun daerah menunjukan bahwa uang memang
berseliweran secara bebas dan masive seperti oli katanya. Anekdot uang
menjadi oli pembangunan yang diucapkan oleh oposisi nyinyiran menjadi
jelas dan kelihatan. Itukah yang dicita-citakan para pendiri negeri ini? .

Ketika demokrasi menjadi semacam pasar bebas yang baru dengan


banyaknya pengusaha menjual produknya seperti jasa konsultasi, jasa survey,
bahkan sampai jasa menyediakan orang untuk demo, maka yang terjadi
adalah Plutokrasi, dimana pemodal besar akan menjadi penguasa itulah yang
akan terjadi. Issu miring tentang dana 500 milyar perpartai yang dicuitkan
politisi partai Demokrat, seharusnya menjadi pintu bagi pemerintah untuk
menguak tabir siapa yang melakukan investasi dan kepentingan apa yang
dicari.

Masalahnya adalah apakah ada payung hukun untuk menindaknya?

Dalam tulisannya Timothy Kuhner menjelaskan bahwa di Amerika hukum


seolah-olah melindungi adanya pasar bebas dalam demokrasi, konstitusi
seolah-olah menjadi grand design bahwa demokrasi itu ada jika ada
pemodalnya. Hal ini juga terjadi di Indonesia, bukan rahasia umum bahwa
pada saat pemilu Sandiaga Uno salah satu kandidat Cawagub menghabiskan
dana sampai 108 Milyar. Ini link beritanya berita

Ada lagi berita

Jadi semakin jelas apa yang terjadi di Pilkada DKI adalah Plutokrasi bukam
demokrasi. Lalu kemana Bawaslu kemana KPU kenapa mereka diam saja, ya
sudah jelas karena tidak ada payung hukum yang bisa menindak itu semua.
Mungkin dari sudut pandang hukum rekan-rekan penulis Seword yang lain
bisa membuat tulisannya.

Yang harusnya membuat kita miris adalah Demokrasi yang sudah menjadi
Plutokrasi ini dibiarkan saja tidak ada yang menggugat akibatnya adalah kita
akan kehilangan intisari dari Demokrasi yang katanya kita junjung tinggi itu.
Jadi mau tidak mau pahit maupun getir harus ada keberanian dari para
penegak hukum untuk mengungkap Kardus Gate yang peluitnya sudah
ditiupkan oleh politisi partai Demokrat itu. Mau tidak mau suka ataupun
tidak suka Plutokrasi yang terjadi si Pilkada Jakarta tidak boleh terulang lagi.
Demokrasi harus kembali ke khittahnya yaitu perwujudan dari suara rakyat,
jangan jadikan demokrasi menjadi pasar bebas milik pemodal besar.

#2019tetapJokowi
editorchoice
CAK SOED

Anda mungkin juga menyukai