Anda di halaman 1dari 15

Aturan Baru Pajak Progresif Atas Tanah dan Bangunan

Dharu Setyo Ajie / 195030400111038 / Perpajakan B


Program Studi Perpajakan
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
Dharu.ajie@gmail.com | Dharuajie_@student.ub.ac.id

ABSTRAK
Penelitian yang berjudul “Aturan Baru Pajak Progresif Atas Tanah dan Bangunan”,
bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengoptimalan penggunaan tanah dan
bangunan di indonesia yang dimiliki oleh sebuah perusahaan atau seseorang,
setelah mengetahuinya penulis mengkorelasikannya dengan pembuatan aturan-
aturan pajak progresif baru bila diperlukan, lalu meninjau kembali aturan baru
tersebut untuk pengoptimalan penggunaan tanah dan bangunan yang ada di
indonesia. Dalam penelitian karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan meode
kualitatif yang mana data-data yang digunakan diambil adalah data sekunder. Data
yang diteliti dalam penelitian ini dilihat dan diambil dari data yang berderar di
internet dan media massa lainnya. Dari penelitian ini penulis memperoleh hasil
yaitu, pajak progresif atas tanah dan bangunan harusnya diberlakukan di indonesia
untuk pengoptimalan penggunaan tanah yang ada dan untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih antara pemerintah maupun perusahaan itu sendiri. Lalu
pajak progresif sangat berpengaruh terhadap perusahaan karena dapat mengurangi
keuntungan atau laba yang akan diterima oleh perusahaan. Jika dilihat dari efektif
dan efisiensinya maka aturan baru pajak progresif atas tanah dan bangunan dapat
bekerja sangat optimal karena dapat meningkatkan pendapatan negara sekaligus
dapat meningkatkan pendapatan perusahaan karena tanah-tanah dan bangunan yang
semula hanya sebidang tanah kosong atau bangunan terbengkalai dapat digunakan
untuk hal-hal yang lebih bermanfaat dan menguntungkan. Penelitian ini memiliki
manfaat yaitu dapat menjadi acuan penelitian lainnya dan hasil penelitian ini
diharapkan dapat dipertimbangkan lagi untuk pembuatan aturan baru pajak
progresif atas tanah dan bangunan dan dapat dijadikan perbandingan untuk
penelitian selanjutnya.

KATA KUNCI : Pajak, Pajak progresif, Pajak Tanah dan Bangunan


PENDAHULUAN

Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan
untuk kepentingan pemerintah dan kepentingan umum. Masyarakat yang membayar pajak
tidak akan menerima atau merasakan manfaat dari pajak secara langsung, karena pajak
digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.

Pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk melakukan pembangunan,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena
dilaksanakan berdasarkan Undang-undang.

Pajak telah menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan terbesar bagi negara,
bagaimana tidak sebanyak lebih dari 70% (persen) pendapatan indonesia berasal dari pajak.
Pajak di indonesia banyak jenisnya, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai (BM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) Sektor P3.

Pajak memiliki fungsi sebagai fungsi anggaran (budgeter) yaitu untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya, dan biaya inilah yang didapatkan
dari pajak. Lalu fungsi pajak yang kedua adalah fungsi mengatur (regulasi), dengan fungsi ini
pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetakan
bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. Lalu fungsi ketiga yaitu sebagai fungsi
stabilitas berfungsi untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga
sehingga inflasi dapat dikendalikan. Lalu fungsi redistribusi merupakan salah satu fungsi
pemerintah dengan cara dana yang dari publik digunakan untuk memperluas pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan.

Dari jenis- jenis pajak yang ada, saya akan membahas dan memperdalam tentang Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), saya ingin mengetahui bagaimana bila di Indonesia dibuat
Undang-Undang perpajakan baru yang mengurus tentang pajak progresif atas tanah dan
bangunan yang melebihi batas kepemilikan perseorangan maupun badan yang sudah
ditetapkan sebelumnya.
Semakin bertambahnya penduduk di Indonesia membuat saya ingin mengulas lebih
dalam tentang kepemilikan tanah, bila ditelusuri lebih dalam lagi di Indonesia tiap tahunnya
selalu meningkat, apabila tidak ditindak lebih lanjut lagi hal ini akan bermasalah dikemudian
hari, karena bila penduduk tiap tahunnya selalu bertambah sedangkan tanah atau wilayah yang
tersedia terbatas maka disuatu daerah tersebut akan memiliki masalah tentang kelebihan
penduduk, dan seperti yang dikatakan oleh Presiden Republik Indonesia ke-6 bapak Joko
Widodo, bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi
pada tahun 2045.

Semakin banyaknya masyarakat di indonesia yang memiliki tanah atau bangunan yang
seharusnya bisa dimiliki oleh beberapa orang tetapi hanya dimiliki oleh seseorang, hal ini dapat
menimbulkan kelangkaan tanah karena semakin menipisnya jumlah wilayah yang tesedia,
apalagi di indonesia sendiri angka kelahirannya selalu meningkat tiap tahunnya.

Dengan adanya undang-undang baru ini diharapkan kedepannya masyarakat dapat


lebih memiliki rasa toleransi terhadap masyarakat lainnya, agar masyarakat lain dapat ikut
memiliki hak atas tanah miliknya sendiri, walaupun seseorang memiliki kelebihan untuk
memiliki tanahnya lebih dari rata-rata kepemilikan seseorang. Apabila masyarakat tetap
memaksa ingin memiliki tanah kepemilikannya lebih dari batas yang sudah ditentukan maka
masyarakat tersebut akan dikenakan pajak progresif tanah dan bangunan.

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, ada dua pertanyaan penelitian yang
bisa dirumuskan, yang pertama “pengaruh pajak progresif atas tanah dan bangunan terhadap
pengusaha?”, lalu yang kedua “apakah pajak progresif ini akan berjalan efektif dan efisien?”.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Charles E. McLure pajak adalah kewajiban retribusi dan finansial yang
dikenakan terhadap wajib pajak, bisa berupa orang pribadi atau badan usaha oleh negara atau
institusi yang fungsinya setara dengan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai
macam pengeluaran publik.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi
dan / atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994. Pajak
Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi / tanah dan / atau bangunan, keadaan subyek (siapa
yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Pajak Bumi dan Bagunan merupakan
pajak pusat dimana presentase pembagian hasil penerimaannya sebagian besar dialokasikan ke
daerah. Ada pun pengertian Pajak Bumi dan Bangunan menurut para ahli diantaranya :

Menurut Erly Suandy, pengertian Pajak Bumi dan Bangunan dalam adalah : “Pajak
Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi / tanah / dan bangunan keadaan subjek (siapa yang
membayar) tidak ikut menentukan besar pajak”. (2005:61)

Menurut Siti Resmi menyatakan bahwa sebelum mengemukakan pengertian tentang


Pajak Bumi dan Bangunan Undang – Undang No 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan-bangunan sebagai berikut :
1. Bumi adalah permukaan / tubuh bumi yang dibawahnya, permukaan meliputi tanah dan
perairan pedalaman (termasuk rawa – rawa tambak perairan) serta laut wilayah Republik
Indonesia.
2. Bangunan adalah kontruksi teknis yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan
/ atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang diusahakan. (2004:611)

Menurut Waluyo menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan terhadap bumi dan bangunan seperti berikut :
1. Bumi adalah permukaan / tubuh bumi yang dibawahnya, permukaan meliputi tanah dan
perairan pedalaman (termasuk rawa – rawa tambak perairan) serta laut wilayah Republik
Indonesia.
2. Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan. (2003:12)

Bumi dan Bangunan adalah merupakan barang komoditi atau merupakan barang
ekonomi yang memberikan kelebihan dan / atau kedudukan ekonomi yang lebih baik bagi
orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya,
dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
Dari pengertian Pajak bumi dan Bangunan diatas maka penulis dapat menyimpulkan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang
ditempati atau dimanfaatkan kenikmatannya oleh orang atau badan.

Pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan
semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan
persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.

Menurut Mohammad Reza Hafiz Akbar : Menilai penerapan pajak progresif terhadap
kepemilikan tanah seharusnya dapat direalisasikan. Menurutnya, kebiasaan investasi tanah di
Indonesia selama ini telah menimbulkan banyak persoalan. Selain tak produktif, harga tanah
juga kian melambung, dan menimbulkan praktik spekulasi. “Saya setuju kalau ada pajak
progresif untuk tanah untuk menghindari hal-hal itu,”

Walaupun begitu, ada juga beberapa pihak yang kontra dengan adanya wacana
pembuatan UU tentang pajak progresif atas tanah dan bangunanan ini. Menurut Wakil Ketua
Umum Kadin Bidang Properti Hendro Gondo Kusumo : Menyadari pajak progresif
diperuntukkan untuk meredam para spekulan. Hanya saja, wacana tersebut hingga saat ini tidak
jelas, dan karenanya berpotensi menimbulkan persoalan. “Salah satu tantangan berat adalah
penerapan pajak progresif untuk kepemilikan lahan lebih dari satu. Ini menimbulkan aneka
penafsiran dan menciptakan ketidakpastian yang tak perlu,”

Menurut Dewi : pajak progresif ini hanya upaya pemutihan terhadap banyaknya
pelanggaran HGU yang diberikan kepada pelaku usaha. Seolah-olah pengusaha boleh
menelantarkan, dan menyimpan tanah selama mereka membayar pajak setiap tahunnya. Selain
itu, lanjutnya, pajak progresif ini juga dikhawatirkan menjadi ladang korupsi lantaran
pemerintah daerah bisa saja menawarkan pemutihan pelanggaran asalkan pelaku usaha bisa
membayar pajak daerah.

Sesuai dengan amanat GBHN perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang
berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan
kewajibannya serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan
perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan
masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian post positivis atau yang lebih dikenal
sebagai pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ialah pendekatan yang didalam usulan
penelitian, proses ,hipotesis, turun kelapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai
dengan penulisannya mempergunakan aspek-aspek kecenderungan, non perhitungan numerik,
situasional deskriptif, interview mendalam, analisis isi, bolasalju, dan story. Arah dan focus
suatu penelitian pada pendekatan kualitatif ialah membangun teori-teori yang dibangun dari
fakta-fakta mendasar mengembangkan pengertian, dan sebagainya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tiap langkah mengutamakan proses, apa adanya dan tanpa dibatasi norma-norma,
rumus,dan seterusnya.

Pada penelitian kali ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif karena peneliti
memiliki tujuan untuk menjelaskan bagaimana bila indonesia diterapkan pajak progresif atas
tanah dan bangunan pasif yang berdiri. Menurut Sugiyono (2005:21) menyatakan bahwa
metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau
menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang
lebih luas.

Waktu penelitian ini berlangsung selama satu bulan, dimulai sejak 20 Oktober 2019.
Dalam karya tulis ilmiah ini juga menggunakan jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh
atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Karyah tulis ilmiah ini
mengambil sumber-sumber informasi dari berbagai artikel yang memuat tentang pelaksanaan
pajak progresif atas tanah dan bangunan di Indonesia.

PEMBAHASAN

Pengaruh Pajak Progresif Atas Tanah dan Bangunan Terhadap Pengusaha


Berdasarkan data sekunder yang saya baca di internet yang bersumber dari berita
jawapos.com, yang menyatakan tahun ini diakui sebagai periode yang menantang bagi dunia
usaha, tak terkecuali bagi industri properti. Kadin memprediksi sektor properti tahun ini hanya
tumbuh di kisaran 3,8 persen. Karena itu, Kadin berharap sektor properti mendapatkan
dukungan, baik dari sisi fiskal maupun regulasi.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Properti Hendro S. Gondokusumo


mengatakan, banyak pelaku usaha yang melihat 2019 merupakan tahun yang tidak mudah bagi
pemain properti. Hal itu berdampak kepada lebih dari 170 industri turunan lainnya yang berada
di bawah sektor properti.

“Pertumbuhan sektor properti di tahun ini diperkirakan masih sekitar 3,8 persen meski
sudah banyak insentif,” ujar Hendro dalam Rakornas Kadin Bidang Properti di Jakarta, Rabu
(18/9).

Perkiraan itu masih jauh dari target pemerintah. Sebab, pemerintah menargetkan
pertumbuhan sektor properti 10–15 persen hingga tahun depan. Dalam rakornas tersebut,
Kadin menyoroti adanya pasal terkait rencana penerapan pajak progresif dalam RUU
Pertanahan yang merisaukan pelaku usaha properti. Menurut Hendro, salah satu tantangan
berat yang akan dihadapi pengembang dalam RUU Pertanahan tersebut adalah rencana
penerapan pajak progresif bagi pemilik lahan lebih dari satu bidang.

Kadin dan asosiasi terkait bidang properti menilai pasal itu berpotensi menimbulkan
masalah. “Kami yakin maksud dan tujuan dari penerapan pajak progresif ini adalah untuk hal
yang positif agar penggunaan lahan dapat menjadi maksimal. Namun, karena aturannya belum
disosialisasikan dan masih dalam pembahasan justru menjadi kontraproduktif,” urainya.

Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani turut menyoroti keputusan pemerintah yang akan
memindahkan ibu kota dari Jakarta. “Peran dari swasta akan sangat besar karena dari total biaya
Rp 466 triliun hanya 19 persen dari APBN. Kami harapkan dari Kadin dan seluruh organisasi
yang bermain di dalamnya bisa memanfaatkan momentum ini,” ujarnya.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menuturkan, pembangunan ibu kota
memang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur seperti
apartemen, perumahan umum, rumah sakit, fasilitas pendidikan, dan perkantoran, semuanya
akan membawa investasi yang baik. Hal itu akan berdampak baik bagi perekonomian di tengah
gejolak ekonomi global yang melambat seperti sekarang ini.

“Kalau pengembang sudah siap itu ya tentu bagus. Properti adalah sektor yang juga
bisa mendorong pertumbuhan. Ada multiplier effect dari sana,” katanya.

Pembangunan ibu kota di Kalimantan harus dimaknai dengan hati-hati. Sebab, harus
ada koordinasi yang baik antara masyarakat setempat dan para PNS yang akan tinggal di sana.
Selain itu, harus ada koordinasi yang baik antara pelaku bisnis yang menggarap pembangunan
ibu kota tersebut dan pemerintah.
Efektif dan Efisiensi Pajak Progresif Atas Tanah dan Bangunan

Dalam beberapa waktu terakhir, wacana pajak progresif atas tanah kembali menguat
seiring dengan pembicaraan tentang Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU
Pertahanan). Dalam perkembangan terakhir, wacana tersebut batal dimasukkan dalam RUU
Pertanahan karena dinilai memberatkan bagi pengusaha (properti) dan tidak dapat diatur
melalui RUU Pertanahan, melainkan harus melalui regulasi perpajakan. Meski demikian,
gagasan pajak progresif atas tanah tersebut kiranya bakal terus bergulir.

Dilansir dari tirto.id, sejak 2015 pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang
telah mewacanakan penerapan pajak progresif atas tanah yang tidak produktif atau menganggur
(idle) atau menjadi objek investasi melalui spekulasi tanah. Suhut Tumpal Sinaga (2017) dalam
artikel bertajuk “Pajak Progresif Tanah yang Tidak Produktif” menyatakan bahwa tanah yang
menganggur dan hanya dimiliki sebagai alat investasi akan cenderung menghambat aktivitas
ekonomi, sehingga berdampak salah satunya pada kesenjangan ekonomi. Melalui pajak
progresif atas tanah, diharapkan tanah dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan
aktivitas perekonomian.

Terdapat beberapa ragam pajak (progresif) atas tanah yang diwacanakan oleh
pemerintah, yakni, pajak final progresif (atas pengalihan kepemilikan tanah atau bangunan),
pajak atas keuntungan nilai tanah (capital gain tax), serta pajak atas tanah yang tidak
dimanfaatkan (unutilized asset tax). Persoalannya, apakah pajak-pajak tersebut akan efektif
mendorong pemanfaatan tanah menjadi lebih produktif dan efisien serta mendorong
terciptanya pemerataan akses tanah oleh masyarakat?

Permasalahan tanah atau keagrariaan di Indonesia dapat dipandang sebagai persoalan


klasik, kompleks, dan semakin kronis karena tak kunjung diselesaikan. Dalam konteks pajak
progresif atas tanah, ada dua persoalan agraria yang mengemuka: (1) penguasaan dan
pemilikan tanah yang terakumulasi atau terkonsentrasi dalam luasan yang tinggi serta (2)
spekulasi tanah. Keduanya boleh dikata berkaitan langsung dengan masalah ketimpangan
agraria, konflik dan persaingan akses masyarakat atas tanah, serta kemiskinan masyarakat.
Dikutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, rasio gini ketimpangan kepemilikan
lahan di Indonesia mencapai 0,68. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah tidak dapat
dilepaskan dari kebijakan alokasi lahan yang ‘sejak semula’ telah timpang dengan memberikan
hak maupun izin pengusahaan yang besar pada kelompok tertentu, termasuk tiadanya
pembatasan atas berapa luas tanah paling banyak yang dapat dimiliki seseorang (lihat misalnya
Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan: Pendekatan Ekonomi-Politik dan Noer
Fauzi Rachman, Land Reform dari Masa ke Masa).

Lufti I. Nasoetion (2002) dalam “Konflik Pertanahan (Agraria)” menyatakan bahwa


terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah ini kerap dimanfaatkan sebagai objek
spekulasi demi memperoleh keuntungan yang besar. Hal ini tak lepas dari anggapan umum
tentang tanah sebagai komoditas (investasi): membeli suatu tanah dan ‘menyimpannya’ dalam
kurun waktu tertentu sampai nilainya meningkat, menjualnya kembali, sehingga diperoleh
keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual.

Padahal, meski tanah mempunyai nilai ekonomis dan berperan penting bagi
pembangunan dan penghidupan masyarakat, pemanfaatan dan penggunaannya seharusnya
dilakukan dengan memperhatikan norma yang ada dalam masyarakat. Dalam buku Tanah
dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Maria Sri Wulani Soemardjono (2008)
mengungkapkan penafsiran otentik atas Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Disebutkan bahwa semua hak atas tanah
berfungsi sosial, yang mengandung arti: pertama, orang tidak diperkenankan
menyalahgunakan hak atas tanah dan harus mengusahakan supaya tanah tersebut bermanfaat,
baik bagi pemegang hak maupun masyarakat; kedua, harus terdapat keseimbangan kepentingan
umum dan perseorangan (atas tanah)—kepentingan perseorangan diakui dan dihormati dalam
kerangka pelaksanaan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.

Hal senada diungkapkan oleh salah satu Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, Mohammad
Hatta. Seperti dikutip Gunawan Wiradi (2009) dalam Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma
Agraria, dan Penelitian Agraria, Hatta mengatakan bahwa (1) tanah tidak boleh menjadi alat
kekuasaan untuk menindas dan memeras hidup orang banyak, (2) pemilikan tanah yang sangat
luas oleh seseorang (di mana terdapat jumlah penggarap yang besar) adalah bertentangan
dengan dasar perekonomian yang adil, dan (3) tanah tidak boleh menjadi “objek perniagaan”
yang diperjualbelikan semata-mata untuk mencari keuntungan—sesuatu yang akan
menghambat aktivitas ekonomi dan pembangunan, serta akses masyarakat luas atas tanah.

Rosdiana dan Irianto (2014) menyebut sejumlah fungsi pajak, antara lain: sebagai
sumber penerimaan negara, instrumen untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan (ekonomi),
serta sebagai instrumen kebijakan atau pengatur (perilaku masyarakat). Tiga variasi pajak
progresif atas tanah yang diwacanakan oleh pemerintah, selain berperan dalam penerimaan
negara, dapat dikatakan merupakan wujud fungsi regulasi (pengatur) dari pajak. Pajak progresif
atas tanah ditujukan untuk mendorong perilaku masyarakat dalam pemanfaatan dan
penggunaan tanah secara lebih efektif dan efisien, mencegah pemilikan dan penguasaan tanah
secara terkonsentrasi, serta mencegah tindakan spekulasi tanah.

Pajak (progresif) atas pengalihan kepemilikan tanah dikenakan atas perolehan


(pemilikan atau penguasaan) tanah secara kumulatif. Ini dilakukan guna mencegah seseorang
memiliki atau menguasai tanah secara terkonsentrasi dalam luasan yang cukup tinggi. Hal ini
dapat dilakukan melalui penyesuaian tarif pada pajak bumi dan bangunan (PBB) atau bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) atas perolehan tanah. Sementara itu, pajak
atas tanah yang tidak dimanfaatkan alias nganggur (unutilized land tax) diterapkan guna
mendorong penggunaan tanah yang lebih produktif. Seperti diusulkan Yustinus Prastowo, ini
dapat dilakukan melalui penyesuaian tarif pada PBB yang diterapkan secara periodik.
Sedangkan pajak atas kenaikan nilai tanah (capital gain tax)—pajak yang dikenakan atas
keuntungan yang diperoleh dari penjualan tanah atau bangunan—dapat dilakukan misalnya
melalui pajak penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanah atau bangunan (PPh).

Sinaga (2017) mengungkapkan sejumlah ukuran untuk menentukan spekulatif/tidaknya


penguasaan atau pemilikan tanah, yakni dengan melihat jumlah kepemilikan atau pembelian,
nominal kepemilikan atau pembelian, dan lama penguasaan. Meski begitu ketiganya tidak
mudah diterapkan karena harus disesuaikan dengan beragam karakter masyarakat. Selain itu,
penerapan ukuran tersebut juga akan berdampak pada terhambatnya mekanisme pasar.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait efektivitas penerapan tarif progresif
pada beberapa ragam pajak yang ada saat ini (PPh dan BPHTB). Sebagai contoh, PPh yang
dikenakan saat transaksi, bebannya dapat digeser oleh penjual kepada pembeli. Karenanya
elastisitas permintaan dan penawaran akan menentukan pembagian beban pajak antara penjual
dan pembeli, termasuk menentukan efektivitas pajak untuk mengubah perilaku. Demikian pula
BPHTB, yang sejatinya dikenakan pada pembeli, beban pajaknya dapat digeser sebagian
kepada penjual bergantung pada tingkat elastisitas (Sinaga 2017).

Pantas diperhatikan juga penelitian Younghoon Ro (2001), Land Value Taxation in


South Korea, yang menyebut bahwa penerapan Aggregate Land Tax (ALT) di Korea
Selatan—yang ditujukan agar penggunaan tanah perorangan dapat diarahkan pada tujuan yang
lebih bermanfaat bagi masyarakat, mengintensifkan penggunaan tanah supaya lebih produktif,
mengurangi ketimpangan dan spekulasi tanah—ternyata tidak serta-merta mengubah
konsentrasi maupun struktur kepemilikan tanah (meski perludiakui bahwa tarif awal ALT
tersebut terlalu rendah untuk dapat berdampak pada perilaku masyarakat). Hal senada
diungkapkan oleh Owen dan Thirsk (1974) dalam “Land Taxes and Idle Land: A Case Study
of Houston”: pengenaan pajak tanah tidak serta-merta berpengaruh pada keputusan
pemegangnya dalam mengalokasikan tanah. Terlebih, pilihan untuk mengusahakan tanah atau
tidak, serta mengusahakannya dalam bentuk apa, kerap kali tergantung pada kemampuan
ekonomi pemegangnya, juga kondisi serta lokasi tanah dan lingkungan sekitarnya.

Wacana pajak progresif atas tanah oleh pemerintah didasari sekurang-kurangnya oleh
tiga hal: (1) banyaknya tanah yang tidak produktif alias ‘menganggur,’ (2) maraknya tanah-
tanah yang menjadi objek spekulasi, serta (3) konsentrasi pemilikan dan penguasaan dalam
luasan yang tinggi. Tak jarang, ketiganya terjadi serentak pada satu bidang tanah yang sama.
Apalagi, seperti telah dijelaskan di depan, kebijakan pemerintah sendiri dapat dinilai sudah
timpang sejak awal.

MeskipunMeskipun begitu terdapat sejumlah instrumen hukum yang dapat digunakan


untuk mengoreksi realitas ketimpangan agraria. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP Tanah Terlantar) diatur
mekanisme penertiban tanah telantar: mulai dari identifikasi dan penelitian tanah-tanah mana
yang diduga ditelantarkan, peringatan selama jangka waktu tertentu agar pemegang haknya
tidak menelantarkan tanah, hingga penetapan tanah yang bersangkutan sebagai tanah telantar,
apabila si pemegang hak tidak mengindahkan peringatan yang telah diberikan. Penetapan suatu
tanah sebagai tanah telantar akan berarti terhapusnya hak atas tanah tersebut, dan tanah yang
bersangkutan menjadi tanah negara. Selanjutnya, peruntukan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah (negara) bekas tanah telantar tersebut didayagunakan
untuk kepentingan masyarakat dan negara, antara lain melalui reforma agraria dan program
strategis negara.

Mekanisme penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ini, jika diterapkan sungguh-
sungguh, dapat digunakan pemerintah untuk menertibkan tanah-tanah yang tidak produktif.
Paling tidak ini dapat diterapkan terhadap tanah-tanah hak guna usaha, hak guna bangunan,
dan hak pakai yang telah diberikan tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya, baik yang
tidak digunakan sehingga ‘menganggur’ maupun yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan
tujuan peruntukannya. Terlebih, dalam PP Tanah Terlantar sudah ada pengecualian penertiban
tanah telantar, yakni tanah-tanah hak milik dan hak guna bangunan yang tidak didayagunakan
karena pemegangnya tidak mempunyai kemampuan ekonomi untuk mengusahakan atau
mempergunakan tanah-tanah tersebut.

Masalah konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah dalam jumlah yang tinggi dapat
diatasi salah satunya melalui kebijakan pembatasan luasan hak atas tanah yang dapat dimiliki
oleh perorangan maupun keluarga. Pembatasan luas kepemilikan dan penguasaan tanah,
sebagai bagian dari restrukturisasi pola pemilikan dan penguasaan tanah ini, dinilai dapat
membatasi tindakan spekulasi tanah (Soemardjono 2002). Kebijakan pembatasan luas
kepemilikan dan penguasaan tanah sebetulnya telah ditentukan dalam Pasal 7 UUPA yang
menyebut, “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan”.

KetentuanKetentuan tersebut lantas ditegaskan pada Pasal 17 UUPA, dan


ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian (UU Luas Tanah Pertanian) dan pada beberapa ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai atas Tanah (PP Hak atas Tanah). Dalam UU Luas Tanah Pertanian misalnya, diatur luas
minimum dan maksimum tanah pertanian (sawah maupun pekarangan) yang dapat dimiliki
oleh perorangan maupun keluarga sesuai dengan tingkat kepadatan penduduk. Sedangkan
dalam PP Hak atas Tanah, khususnya dalam Pasal 5, diatur luas minimum dan maksimum hak
guna usaha atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan.

Meski demikian undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut belum memadai


untuk dapat diterapkan pada tanah-tanah non-pertanian atau tanah-tanah hak milik, hak pakai,
maupun hak guna usaha. Hal ini karena keduanya belum mengatur pembatasan luasan tanah
non-pertanian, maupun luasan tanah hak milik, hak guna bangunan, serta hak pakai baik bagi
perorangan maupun badan hukum. Meski begitu, alternatif kebijakan ini diyakini dapat secara
efektif menekan pola konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah serta perilaku spekulatif
terhadap tanah.

Wacana pengenaan pajak progresif atas tanah yang mencakup tanah-tanah tidak
produktif, tanah-tanah yang menjadi objek spekulasi, serta konsentrasi penguasaan dan
pemilikan dalam luasan yang tinggi patut diapresiasi sebagai salah satu upaya menciptakan
pemerataan akses masyarakat atas tanah dan peningkatan produktivitas tanah yang diharapkan
memacu pertumbuhan ekonomi. Tetapi pajak progresif tersebut tidak mudah untuk diterapkan,
mengingat perlunya kriteria yang memadai untuk menentukan suatu tanah sebagai tidak
produktif atau menentukan suatu perilaku atas tanah sebagai spekulatif. Jika tidak dilakukan
dengan cermat, kebijakan tersebut tidak akan efektif untuk mengurai persoalan tanah tidak
produktif dan perilaku spekulatif. Bahkan, pada titik tertentu kebijakan tersebut juga berpotensi
kontraproduktif dengan sejumlah kebijakan pertanahan, yang mengatur hapusnya hak-hak atas
tanah yang ditelantarkan.

Karenanya, meski beberapa kebijakan pertanahan belum memadai untuk diterapkan


secara luas atas persoalan tanah-tanah tersebut, penggunaan instrumen hukum pertanahan yang
mengatur batas kepemilikan diyakini dapat secara efektif menekan konsentrasi penguasaan
tanah, termasuk menghambat spekulasi tanah. Pembaruan kebijakan pertanahan dibarengi
penegakan hukum diperlukan agar secara efektif mampu menekan jumlah tanah-tanah yang
dihaki tetapi tidak produktif, maupun konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah dalam
luasan yang tinggi. Sedangkan kebijakan perpajakan atas tanah dalam hal ini dapat menjadi
instrumen pelengkap kebijakan pertanahan, baik sebagai insentif maupun disinsentif
menyangkut pengelolaan tanah. Tentu, seiring dengan itu diperlukan sejumlah pemutakhiran
administrasi, baik bidang pertanahan maupun perpajakan, serta harmonisasi peraturan
perundang-undangan pada bidang yang dituju.

PENUTUP

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa pajak progresif atas tanah dan
bangunan bila diterapkan di Indonesia, itu akan sangat menguntungkan untuk pemerintah,
disamping untuk mengoptimalkan penggunaan tanah yang ada, pemerintah dapat
menghasilkan pemasukan yang lebih dari pajak progresif ini karena banyak perusahaan yang
memiliki tanah yang tidak dipergunakan secara optimal atau bisa dibilang tanah yang dimiliki
oleh suatu perusahaan yang hanya dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengelolaan atau pasif,
sehingga dari tanah yang dimiliki suatu perusahaan itu tidak adanya keuntungan yang didapat
oleh pemerintah maupun dari pihak perusahaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan
pajak progresif untuk tanah yanv bersifat pasif tersebut, untuk mengoptimalkan penggunaan
tanah-tanah yang ada.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah untuk penelitian selanjutnya terhadap
karya ilmiah sejenis maupun karya ilmiah yang berbeda. Penulis menyadari masih terdapat
kekurangan dan kepemahan dalam “Analisis Aturan Baru Pajak Progresif Atas Tanah dan
Bangunan”. Penulis berharap pembaca dapat karya tulis ilmiah ini mengajari para pembaca
untuk lebih menyikapi permasalahan terhadap pengoptimalan penggunaan tanah yang sedang
terjadi. Sebab, penulis meyakini bahwa masih banyak hal menarik untuk dianilisis dari karya
tulis ilmiah ini bila diperdalam lagi. Semoga setelah membaca hasil penelitian ini, diharapkan
dapat memperluas dan memperdalam wawasan dan pengetahuan terhadap perkembangan pajak
di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Suryowati, Estu (2019, 19 September). Wacana Pajak Lahan Progresif Bikin Resah
Pengusaha. Dikutip 12 November 2019 dari Jawapos.com :
https://www.jawapos.com/ekonomi/properti/19/09/2019/wacana-pajak-lahan-progresif-
bikin-resah-pengusaha/

Thomas, Vincent Fabian (2019, 20 September). Pajak Progresif Tanah Batal: Pemerintah
Menyerah Kepada Pengembang?. Dikutip 12 November 2019 dari Tirto.com :
https://tirto.id/pajak-progresif-tanah-batal-pemerintah-menyerah-kepada-pengembang-
eiqy.
BIODATA

NAMA : Dharu Setyo Ajie

TTL : Semarang, 2 November 2000

E-Mail : dharu.ajie@gmail.com / dharuajie_@student.ub.ac.id

Socmed : dharuajie_ (Instagram)

Motto Hidup : Kalo orang lain bisa, saya harus pro.

Anda mungkin juga menyukai