ABSTRAK
Penelitian yang berjudul “Aturan Baru Pajak Progresif Atas Tanah dan Bangunan”,
bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengoptimalan penggunaan tanah dan
bangunan di indonesia yang dimiliki oleh sebuah perusahaan atau seseorang,
setelah mengetahuinya penulis mengkorelasikannya dengan pembuatan aturan-
aturan pajak progresif baru bila diperlukan, lalu meninjau kembali aturan baru
tersebut untuk pengoptimalan penggunaan tanah dan bangunan yang ada di
indonesia. Dalam penelitian karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan meode
kualitatif yang mana data-data yang digunakan diambil adalah data sekunder. Data
yang diteliti dalam penelitian ini dilihat dan diambil dari data yang berderar di
internet dan media massa lainnya. Dari penelitian ini penulis memperoleh hasil
yaitu, pajak progresif atas tanah dan bangunan harusnya diberlakukan di indonesia
untuk pengoptimalan penggunaan tanah yang ada dan untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih antara pemerintah maupun perusahaan itu sendiri. Lalu
pajak progresif sangat berpengaruh terhadap perusahaan karena dapat mengurangi
keuntungan atau laba yang akan diterima oleh perusahaan. Jika dilihat dari efektif
dan efisiensinya maka aturan baru pajak progresif atas tanah dan bangunan dapat
bekerja sangat optimal karena dapat meningkatkan pendapatan negara sekaligus
dapat meningkatkan pendapatan perusahaan karena tanah-tanah dan bangunan yang
semula hanya sebidang tanah kosong atau bangunan terbengkalai dapat digunakan
untuk hal-hal yang lebih bermanfaat dan menguntungkan. Penelitian ini memiliki
manfaat yaitu dapat menjadi acuan penelitian lainnya dan hasil penelitian ini
diharapkan dapat dipertimbangkan lagi untuk pembuatan aturan baru pajak
progresif atas tanah dan bangunan dan dapat dijadikan perbandingan untuk
penelitian selanjutnya.
Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan
untuk kepentingan pemerintah dan kepentingan umum. Masyarakat yang membayar pajak
tidak akan menerima atau merasakan manfaat dari pajak secara langsung, karena pajak
digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
Pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk melakukan pembangunan,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena
dilaksanakan berdasarkan Undang-undang.
Pajak telah menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan terbesar bagi negara,
bagaimana tidak sebanyak lebih dari 70% (persen) pendapatan indonesia berasal dari pajak.
Pajak di indonesia banyak jenisnya, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai (BM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) Sektor P3.
Pajak memiliki fungsi sebagai fungsi anggaran (budgeter) yaitu untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya, dan biaya inilah yang didapatkan
dari pajak. Lalu fungsi pajak yang kedua adalah fungsi mengatur (regulasi), dengan fungsi ini
pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetakan
bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. Lalu fungsi ketiga yaitu sebagai fungsi
stabilitas berfungsi untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga
sehingga inflasi dapat dikendalikan. Lalu fungsi redistribusi merupakan salah satu fungsi
pemerintah dengan cara dana yang dari publik digunakan untuk memperluas pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan.
Dari jenis- jenis pajak yang ada, saya akan membahas dan memperdalam tentang Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), saya ingin mengetahui bagaimana bila di Indonesia dibuat
Undang-Undang perpajakan baru yang mengurus tentang pajak progresif atas tanah dan
bangunan yang melebihi batas kepemilikan perseorangan maupun badan yang sudah
ditetapkan sebelumnya.
Semakin bertambahnya penduduk di Indonesia membuat saya ingin mengulas lebih
dalam tentang kepemilikan tanah, bila ditelusuri lebih dalam lagi di Indonesia tiap tahunnya
selalu meningkat, apabila tidak ditindak lebih lanjut lagi hal ini akan bermasalah dikemudian
hari, karena bila penduduk tiap tahunnya selalu bertambah sedangkan tanah atau wilayah yang
tersedia terbatas maka disuatu daerah tersebut akan memiliki masalah tentang kelebihan
penduduk, dan seperti yang dikatakan oleh Presiden Republik Indonesia ke-6 bapak Joko
Widodo, bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi
pada tahun 2045.
Semakin banyaknya masyarakat di indonesia yang memiliki tanah atau bangunan yang
seharusnya bisa dimiliki oleh beberapa orang tetapi hanya dimiliki oleh seseorang, hal ini dapat
menimbulkan kelangkaan tanah karena semakin menipisnya jumlah wilayah yang tesedia,
apalagi di indonesia sendiri angka kelahirannya selalu meningkat tiap tahunnya.
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, ada dua pertanyaan penelitian yang
bisa dirumuskan, yang pertama “pengaruh pajak progresif atas tanah dan bangunan terhadap
pengusaha?”, lalu yang kedua “apakah pajak progresif ini akan berjalan efektif dan efisien?”.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Charles E. McLure pajak adalah kewajiban retribusi dan finansial yang
dikenakan terhadap wajib pajak, bisa berupa orang pribadi atau badan usaha oleh negara atau
institusi yang fungsinya setara dengan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai
macam pengeluaran publik.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi
dan / atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994. Pajak
Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi / tanah dan / atau bangunan, keadaan subyek (siapa
yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Pajak Bumi dan Bagunan merupakan
pajak pusat dimana presentase pembagian hasil penerimaannya sebagian besar dialokasikan ke
daerah. Ada pun pengertian Pajak Bumi dan Bangunan menurut para ahli diantaranya :
Menurut Erly Suandy, pengertian Pajak Bumi dan Bangunan dalam adalah : “Pajak
Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi / tanah / dan bangunan keadaan subjek (siapa yang
membayar) tidak ikut menentukan besar pajak”. (2005:61)
Menurut Waluyo menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan terhadap bumi dan bangunan seperti berikut :
1. Bumi adalah permukaan / tubuh bumi yang dibawahnya, permukaan meliputi tanah dan
perairan pedalaman (termasuk rawa – rawa tambak perairan) serta laut wilayah Republik
Indonesia.
2. Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan. (2003:12)
Bumi dan Bangunan adalah merupakan barang komoditi atau merupakan barang
ekonomi yang memberikan kelebihan dan / atau kedudukan ekonomi yang lebih baik bagi
orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya,
dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
Dari pengertian Pajak bumi dan Bangunan diatas maka penulis dapat menyimpulkan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang
ditempati atau dimanfaatkan kenikmatannya oleh orang atau badan.
Pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan
semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan
persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.
Menurut Mohammad Reza Hafiz Akbar : Menilai penerapan pajak progresif terhadap
kepemilikan tanah seharusnya dapat direalisasikan. Menurutnya, kebiasaan investasi tanah di
Indonesia selama ini telah menimbulkan banyak persoalan. Selain tak produktif, harga tanah
juga kian melambung, dan menimbulkan praktik spekulasi. “Saya setuju kalau ada pajak
progresif untuk tanah untuk menghindari hal-hal itu,”
Walaupun begitu, ada juga beberapa pihak yang kontra dengan adanya wacana
pembuatan UU tentang pajak progresif atas tanah dan bangunanan ini. Menurut Wakil Ketua
Umum Kadin Bidang Properti Hendro Gondo Kusumo : Menyadari pajak progresif
diperuntukkan untuk meredam para spekulan. Hanya saja, wacana tersebut hingga saat ini tidak
jelas, dan karenanya berpotensi menimbulkan persoalan. “Salah satu tantangan berat adalah
penerapan pajak progresif untuk kepemilikan lahan lebih dari satu. Ini menimbulkan aneka
penafsiran dan menciptakan ketidakpastian yang tak perlu,”
Menurut Dewi : pajak progresif ini hanya upaya pemutihan terhadap banyaknya
pelanggaran HGU yang diberikan kepada pelaku usaha. Seolah-olah pengusaha boleh
menelantarkan, dan menyimpan tanah selama mereka membayar pajak setiap tahunnya. Selain
itu, lanjutnya, pajak progresif ini juga dikhawatirkan menjadi ladang korupsi lantaran
pemerintah daerah bisa saja menawarkan pemutihan pelanggaran asalkan pelaku usaha bisa
membayar pajak daerah.
Sesuai dengan amanat GBHN perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang
berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan
kewajibannya serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan
perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan
masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian post positivis atau yang lebih dikenal
sebagai pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ialah pendekatan yang didalam usulan
penelitian, proses ,hipotesis, turun kelapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai
dengan penulisannya mempergunakan aspek-aspek kecenderungan, non perhitungan numerik,
situasional deskriptif, interview mendalam, analisis isi, bolasalju, dan story. Arah dan focus
suatu penelitian pada pendekatan kualitatif ialah membangun teori-teori yang dibangun dari
fakta-fakta mendasar mengembangkan pengertian, dan sebagainya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tiap langkah mengutamakan proses, apa adanya dan tanpa dibatasi norma-norma,
rumus,dan seterusnya.
Pada penelitian kali ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif karena peneliti
memiliki tujuan untuk menjelaskan bagaimana bila indonesia diterapkan pajak progresif atas
tanah dan bangunan pasif yang berdiri. Menurut Sugiyono (2005:21) menyatakan bahwa
metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau
menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang
lebih luas.
Waktu penelitian ini berlangsung selama satu bulan, dimulai sejak 20 Oktober 2019.
Dalam karya tulis ilmiah ini juga menggunakan jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh
atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Karyah tulis ilmiah ini
mengambil sumber-sumber informasi dari berbagai artikel yang memuat tentang pelaksanaan
pajak progresif atas tanah dan bangunan di Indonesia.
PEMBAHASAN
“Pertumbuhan sektor properti di tahun ini diperkirakan masih sekitar 3,8 persen meski
sudah banyak insentif,” ujar Hendro dalam Rakornas Kadin Bidang Properti di Jakarta, Rabu
(18/9).
Perkiraan itu masih jauh dari target pemerintah. Sebab, pemerintah menargetkan
pertumbuhan sektor properti 10–15 persen hingga tahun depan. Dalam rakornas tersebut,
Kadin menyoroti adanya pasal terkait rencana penerapan pajak progresif dalam RUU
Pertanahan yang merisaukan pelaku usaha properti. Menurut Hendro, salah satu tantangan
berat yang akan dihadapi pengembang dalam RUU Pertanahan tersebut adalah rencana
penerapan pajak progresif bagi pemilik lahan lebih dari satu bidang.
Kadin dan asosiasi terkait bidang properti menilai pasal itu berpotensi menimbulkan
masalah. “Kami yakin maksud dan tujuan dari penerapan pajak progresif ini adalah untuk hal
yang positif agar penggunaan lahan dapat menjadi maksimal. Namun, karena aturannya belum
disosialisasikan dan masih dalam pembahasan justru menjadi kontraproduktif,” urainya.
Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani turut menyoroti keputusan pemerintah yang akan
memindahkan ibu kota dari Jakarta. “Peran dari swasta akan sangat besar karena dari total biaya
Rp 466 triliun hanya 19 persen dari APBN. Kami harapkan dari Kadin dan seluruh organisasi
yang bermain di dalamnya bisa memanfaatkan momentum ini,” ujarnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menuturkan, pembangunan ibu kota
memang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur seperti
apartemen, perumahan umum, rumah sakit, fasilitas pendidikan, dan perkantoran, semuanya
akan membawa investasi yang baik. Hal itu akan berdampak baik bagi perekonomian di tengah
gejolak ekonomi global yang melambat seperti sekarang ini.
“Kalau pengembang sudah siap itu ya tentu bagus. Properti adalah sektor yang juga
bisa mendorong pertumbuhan. Ada multiplier effect dari sana,” katanya.
Pembangunan ibu kota di Kalimantan harus dimaknai dengan hati-hati. Sebab, harus
ada koordinasi yang baik antara masyarakat setempat dan para PNS yang akan tinggal di sana.
Selain itu, harus ada koordinasi yang baik antara pelaku bisnis yang menggarap pembangunan
ibu kota tersebut dan pemerintah.
Efektif dan Efisiensi Pajak Progresif Atas Tanah dan Bangunan
Dalam beberapa waktu terakhir, wacana pajak progresif atas tanah kembali menguat
seiring dengan pembicaraan tentang Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU
Pertahanan). Dalam perkembangan terakhir, wacana tersebut batal dimasukkan dalam RUU
Pertanahan karena dinilai memberatkan bagi pengusaha (properti) dan tidak dapat diatur
melalui RUU Pertanahan, melainkan harus melalui regulasi perpajakan. Meski demikian,
gagasan pajak progresif atas tanah tersebut kiranya bakal terus bergulir.
Dilansir dari tirto.id, sejak 2015 pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang
telah mewacanakan penerapan pajak progresif atas tanah yang tidak produktif atau menganggur
(idle) atau menjadi objek investasi melalui spekulasi tanah. Suhut Tumpal Sinaga (2017) dalam
artikel bertajuk “Pajak Progresif Tanah yang Tidak Produktif” menyatakan bahwa tanah yang
menganggur dan hanya dimiliki sebagai alat investasi akan cenderung menghambat aktivitas
ekonomi, sehingga berdampak salah satunya pada kesenjangan ekonomi. Melalui pajak
progresif atas tanah, diharapkan tanah dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan
aktivitas perekonomian.
Terdapat beberapa ragam pajak (progresif) atas tanah yang diwacanakan oleh
pemerintah, yakni, pajak final progresif (atas pengalihan kepemilikan tanah atau bangunan),
pajak atas keuntungan nilai tanah (capital gain tax), serta pajak atas tanah yang tidak
dimanfaatkan (unutilized asset tax). Persoalannya, apakah pajak-pajak tersebut akan efektif
mendorong pemanfaatan tanah menjadi lebih produktif dan efisien serta mendorong
terciptanya pemerataan akses tanah oleh masyarakat?
Padahal, meski tanah mempunyai nilai ekonomis dan berperan penting bagi
pembangunan dan penghidupan masyarakat, pemanfaatan dan penggunaannya seharusnya
dilakukan dengan memperhatikan norma yang ada dalam masyarakat. Dalam buku Tanah
dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Maria Sri Wulani Soemardjono (2008)
mengungkapkan penafsiran otentik atas Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Disebutkan bahwa semua hak atas tanah
berfungsi sosial, yang mengandung arti: pertama, orang tidak diperkenankan
menyalahgunakan hak atas tanah dan harus mengusahakan supaya tanah tersebut bermanfaat,
baik bagi pemegang hak maupun masyarakat; kedua, harus terdapat keseimbangan kepentingan
umum dan perseorangan (atas tanah)—kepentingan perseorangan diakui dan dihormati dalam
kerangka pelaksanaan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.
Hal senada diungkapkan oleh salah satu Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, Mohammad
Hatta. Seperti dikutip Gunawan Wiradi (2009) dalam Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma
Agraria, dan Penelitian Agraria, Hatta mengatakan bahwa (1) tanah tidak boleh menjadi alat
kekuasaan untuk menindas dan memeras hidup orang banyak, (2) pemilikan tanah yang sangat
luas oleh seseorang (di mana terdapat jumlah penggarap yang besar) adalah bertentangan
dengan dasar perekonomian yang adil, dan (3) tanah tidak boleh menjadi “objek perniagaan”
yang diperjualbelikan semata-mata untuk mencari keuntungan—sesuatu yang akan
menghambat aktivitas ekonomi dan pembangunan, serta akses masyarakat luas atas tanah.
Rosdiana dan Irianto (2014) menyebut sejumlah fungsi pajak, antara lain: sebagai
sumber penerimaan negara, instrumen untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan (ekonomi),
serta sebagai instrumen kebijakan atau pengatur (perilaku masyarakat). Tiga variasi pajak
progresif atas tanah yang diwacanakan oleh pemerintah, selain berperan dalam penerimaan
negara, dapat dikatakan merupakan wujud fungsi regulasi (pengatur) dari pajak. Pajak progresif
atas tanah ditujukan untuk mendorong perilaku masyarakat dalam pemanfaatan dan
penggunaan tanah secara lebih efektif dan efisien, mencegah pemilikan dan penguasaan tanah
secara terkonsentrasi, serta mencegah tindakan spekulasi tanah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait efektivitas penerapan tarif progresif
pada beberapa ragam pajak yang ada saat ini (PPh dan BPHTB). Sebagai contoh, PPh yang
dikenakan saat transaksi, bebannya dapat digeser oleh penjual kepada pembeli. Karenanya
elastisitas permintaan dan penawaran akan menentukan pembagian beban pajak antara penjual
dan pembeli, termasuk menentukan efektivitas pajak untuk mengubah perilaku. Demikian pula
BPHTB, yang sejatinya dikenakan pada pembeli, beban pajaknya dapat digeser sebagian
kepada penjual bergantung pada tingkat elastisitas (Sinaga 2017).
Wacana pajak progresif atas tanah oleh pemerintah didasari sekurang-kurangnya oleh
tiga hal: (1) banyaknya tanah yang tidak produktif alias ‘menganggur,’ (2) maraknya tanah-
tanah yang menjadi objek spekulasi, serta (3) konsentrasi pemilikan dan penguasaan dalam
luasan yang tinggi. Tak jarang, ketiganya terjadi serentak pada satu bidang tanah yang sama.
Apalagi, seperti telah dijelaskan di depan, kebijakan pemerintah sendiri dapat dinilai sudah
timpang sejak awal.
Mekanisme penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ini, jika diterapkan sungguh-
sungguh, dapat digunakan pemerintah untuk menertibkan tanah-tanah yang tidak produktif.
Paling tidak ini dapat diterapkan terhadap tanah-tanah hak guna usaha, hak guna bangunan,
dan hak pakai yang telah diberikan tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya, baik yang
tidak digunakan sehingga ‘menganggur’ maupun yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan
tujuan peruntukannya. Terlebih, dalam PP Tanah Terlantar sudah ada pengecualian penertiban
tanah telantar, yakni tanah-tanah hak milik dan hak guna bangunan yang tidak didayagunakan
karena pemegangnya tidak mempunyai kemampuan ekonomi untuk mengusahakan atau
mempergunakan tanah-tanah tersebut.
Masalah konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah dalam jumlah yang tinggi dapat
diatasi salah satunya melalui kebijakan pembatasan luasan hak atas tanah yang dapat dimiliki
oleh perorangan maupun keluarga. Pembatasan luas kepemilikan dan penguasaan tanah,
sebagai bagian dari restrukturisasi pola pemilikan dan penguasaan tanah ini, dinilai dapat
membatasi tindakan spekulasi tanah (Soemardjono 2002). Kebijakan pembatasan luas
kepemilikan dan penguasaan tanah sebetulnya telah ditentukan dalam Pasal 7 UUPA yang
menyebut, “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Wacana pengenaan pajak progresif atas tanah yang mencakup tanah-tanah tidak
produktif, tanah-tanah yang menjadi objek spekulasi, serta konsentrasi penguasaan dan
pemilikan dalam luasan yang tinggi patut diapresiasi sebagai salah satu upaya menciptakan
pemerataan akses masyarakat atas tanah dan peningkatan produktivitas tanah yang diharapkan
memacu pertumbuhan ekonomi. Tetapi pajak progresif tersebut tidak mudah untuk diterapkan,
mengingat perlunya kriteria yang memadai untuk menentukan suatu tanah sebagai tidak
produktif atau menentukan suatu perilaku atas tanah sebagai spekulatif. Jika tidak dilakukan
dengan cermat, kebijakan tersebut tidak akan efektif untuk mengurai persoalan tanah tidak
produktif dan perilaku spekulatif. Bahkan, pada titik tertentu kebijakan tersebut juga berpotensi
kontraproduktif dengan sejumlah kebijakan pertanahan, yang mengatur hapusnya hak-hak atas
tanah yang ditelantarkan.
PENUTUP
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa pajak progresif atas tanah dan
bangunan bila diterapkan di Indonesia, itu akan sangat menguntungkan untuk pemerintah,
disamping untuk mengoptimalkan penggunaan tanah yang ada, pemerintah dapat
menghasilkan pemasukan yang lebih dari pajak progresif ini karena banyak perusahaan yang
memiliki tanah yang tidak dipergunakan secara optimal atau bisa dibilang tanah yang dimiliki
oleh suatu perusahaan yang hanya dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengelolaan atau pasif,
sehingga dari tanah yang dimiliki suatu perusahaan itu tidak adanya keuntungan yang didapat
oleh pemerintah maupun dari pihak perusahaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan
pajak progresif untuk tanah yanv bersifat pasif tersebut, untuk mengoptimalkan penggunaan
tanah-tanah yang ada.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah untuk penelitian selanjutnya terhadap
karya ilmiah sejenis maupun karya ilmiah yang berbeda. Penulis menyadari masih terdapat
kekurangan dan kepemahan dalam “Analisis Aturan Baru Pajak Progresif Atas Tanah dan
Bangunan”. Penulis berharap pembaca dapat karya tulis ilmiah ini mengajari para pembaca
untuk lebih menyikapi permasalahan terhadap pengoptimalan penggunaan tanah yang sedang
terjadi. Sebab, penulis meyakini bahwa masih banyak hal menarik untuk dianilisis dari karya
tulis ilmiah ini bila diperdalam lagi. Semoga setelah membaca hasil penelitian ini, diharapkan
dapat memperluas dan memperdalam wawasan dan pengetahuan terhadap perkembangan pajak
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Suryowati, Estu (2019, 19 September). Wacana Pajak Lahan Progresif Bikin Resah
Pengusaha. Dikutip 12 November 2019 dari Jawapos.com :
https://www.jawapos.com/ekonomi/properti/19/09/2019/wacana-pajak-lahan-progresif-
bikin-resah-pengusaha/
Thomas, Vincent Fabian (2019, 20 September). Pajak Progresif Tanah Batal: Pemerintah
Menyerah Kepada Pengembang?. Dikutip 12 November 2019 dari Tirto.com :
https://tirto.id/pajak-progresif-tanah-batal-pemerintah-menyerah-kepada-pengembang-
eiqy.
BIODATA