Anda di halaman 1dari 3

Begawi atau yang kerap disebut dengan istilah lengkap Begawi Cakak Pepadun merupakan

upacara adat masyarakat Lampung untuk memberikan gelar adat kepada seseorang. Adapun
masyarakat etnis atau suku bangsa Lampung yang melaksanakan begawi adalah yang berasal
dari kelompok adat Lampung Pepadun. Istilah Pepadun sendiri berasal dari nama salah satu
perangkat yang digunakan dalam begawi, yaitu singgasana dari kayu yang menyimbolkan
suatu status sosial dalam keluarga. Di singgasana inilah gelar adat diberikan setelah orang
yang ingin mendapat kenaikan status dari gelar tersebut diharuskan memberikan uang dan
menyembelih kerbau dengan jumlah tertentu (biasanya 2 kerbau atau lebih dan maharnya
sekitaran 400 jutaan atau lebih, tergantung permintaan dari pihak perempuan. Namun rata-
rata adat lampung pepadun khususnya di wilayah Kota Bumi atau Blambangan Lampung
Utara, maharnya segitu).[1] Sementara itu, begawi dapat diartikan sebagai "suatu pekerjaan"
atau "membuat gawi".[2] Bagi masyarakat Lampung Pepadun, begawi cakak pepadun sifatnya
wajib dilakukan oleh seseorang sebelum menyandang hak untuk menduduki posisi
penyimbang yang dilakukan oleh lembaga perwatin adat.[3]

Upacara begawi cakak pepadun sekaligus menjadi penanda perbedaan kebudayaan antara
masyarakat Lampung Pepadun yang mendiami wilayah tengah dan Lampung Saibatin yang
mendiami daerah pesisir Lampung. Upacara adat besar yang disertai pemberian gelar atau
juluk adok memang menjadi ciri khas dari adat Lampung Pepadun. Setiap orang memiliki
kesempatan untuk melakukan peningkatan status adatnya dengan melakukan upacara ini yang
mengharuskannya membayar sejumlah uang (dau) dan hewan ternak kerbau. Jumlah uang
dan kerbau yang harus dibayarkan tergantung dari seberapa tinggi peningkatan status adat
yang diinginkan, jika status adat yang diinginkan semakin tinggi, maka uang dan kerbau yang
harus diserahkan jumlahnya juga semakin banyak.[3]

Dalam begawi, terkandung nilai-nilai egaliter dan keterbukaan karena setiap orang yang
menyelenggarakannya bisa mendapatkan gelar adat sementara masyarakat Lampung Saibatin
hanya mengenal pemberian gelar adat berdasarkan garis keturunan.[1] Selain itu, dalam
masyarakat Lampung Saibatin orang yang berhak menerima gelar adat hanya laki-laki yang
sudah menikah. Ini tentu berkebalikan dengan apa yang ada dalam begawi yang dilakukan
masyarakat Lampung Pepadun di mana perempuan dan orang yang belum menikah juga bisa
mendapatkan gelar.[4] Adat Lampung mengenal sifat keterbukaan ini dengan prinsip nengah
nyappur, yaitu membuka diri kepada masyarakat agar memiliki pengetahuan luas, lalu neumi
nyimah yang artinya bersikap murah hati dan ramah kepada setiap orang.[5]
Seperti telah diketahui sebelumnya, begawi bertujuan untuk memberikan gelar adat
kepada seseorang. Melalui begawi, orang akan mendapatkan kenaikan status dalam adat
melalui gelar suttan yang menandakan status paling tinggi.[2] Selain Suttan gelar lain adalah
dari yang tertinggi yaitu Suttan, Pengiran, Rajo, Ratu, Batin. Pada intinya, begawi merupakan
acara penetapan seseorang menjadi penyimbang. Dalam adat Lampung Pepadun, penyimbang
merupakan kedudukan adat paling tinggi yang dipegang oleh anak laki-laki tertua dari
keturunan tertua. Orang yang memegang gelar penyimbang memiliki wewenang untuk
menjadi penentu dalam pengambilan keputusan.[1] Pembagian kewenangan ini adalah
cerminan dari sistem kekerabatan masyarakat Lampung Pepadun yang bersifat patrilineal,
yaitu mengikuti garis keturunan dari bapak. Karena itulah yang menjadi penyimbang adalah
anak laki-laki tertua yang mewarisi kepemimpinan dari bapak dalam keluarga.[2]

Begawi juga berkaitan dengan ritus daur hidup di mana upacara ini juga menjadi bagian dari
acara pernikahan. Dalam hal ini, Begawi bertujuan untuk memberikan gelar kepada pasangan
pengantin yang melangsungkan pernikahannya. Dalam pelaksanaannya, Begawi diwarnai
dengan berbagai prosesi mulai dari peragaan pencak silat, penyembelihan hewan, pemberian
gelar atau cakak pepadun dan tarian Cangget, tarian cangget yaitu tarian yang diikuti oleh
bujang gadis, 1 rumah mewakili sepasang bujang gadis untuk ikut acara cangget agung,
setelah itu bujang gadis di jemput oleh penglaku (panitia) untuk ke sesat agung (rumah adat)
setelah bujang gadis semua berkumpul dan menari satu persatu, talo dibunyikan dan petasan
pun di bunyikan cangget agung berlangsung hingga pagi hari tidak hanya itu selesai acara
bujang gadis di beri uang biasanya 1 orang 100 ribu rupiah. Bujang gadis yang turut serta
acara cangget agung rata-rata berjumlah 200an.[6] Jika begawi diadakan saat seseorang
menikah, maka gelar adat akan diberikan kepada mempelai pria dan wanita. Selain itu, gelar
juga bisa diberikan saat penerimanya masih berusia belia dan belum akan menikah, gelar di
juga bisa diberi waktu khitanan. Biasanya anak sultan juga begawi sewaktu khitanan dan
memotong kerbau, acaranya pun sangat mewah. Seperti khitanan “Tihang Pengiran” anaknya
“Suttan Rajo Saya” dari Buay Unyi, Teluk Dalem, Lampung Timur. [4]

Bagaimana pentingnya gelar adat bagi masyarakat Lampung bisa dilihat dari pra-
penyelenggaraan begawi. Untuk menyelenggarakan Begawi. tidak bisa sembarangan karena
diperlukan keputusan dari majelis penyimbang untuk mengatur perihal pemberian gelar.
Penyimbang sendiri adalah orang yang memiliki gelar suttan selaku gelar tertinggi. Dalam
budaya Lampung sendiri memang dikenal sistem kasta.[5]

Anda mungkin juga menyukai