Anda di halaman 1dari 11

PERAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK

PIDANA PEMERKOSAAN SEBAGAI KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL

Amelia Kalangit
J. Mallo
D. Tomuka

1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
2
Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi Manado

Abstract - Rape is a serious crime and a violation of human rights. The act of rape causes serious
psychological trauma to the victims and families. According to the National Commission on
Violence Against Women (Komnas Perempuan) from 1998 to 2010 almost one third of cases of
violence against women is a case of sexual assault, or sexual assault cases recorded 91,311 of
295,836 total cases of violence against women. During 2010 there were 1751 victims of sexual
violence. Rape is an event that is difficult to prove even though the case has been examined and
evidence gathering is complete. In an effort to prove that there has been crime of rape, then in this
case Forensic Science was an instrument in conducting the examination and to obtain an explanation
for what happened medically. This study aims to determine the management of Forensic Science in
the proof of criminal rape. To know the legal and medical aspects of Forensic Science in the proof of
crimes of sexual violence.
Keywords - forensic science, sexual assault, rape.

Abstrak – Perkosaan merupakan kejahatan yang serius dan bukti pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Tindakan perkosaan menyebabkan trauma psikologis yang serius pada
korban serta keluarga. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir sepertiga kasus kekerasan
terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual, atau tercatat 91.311 kasus kekerasan
seksual dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan. Selama 2010 tercatat 1.751
korban kekerasan seksual. Perkosaan merupakan suatu peristiwa yang sulit dibuktikan
walaupun pada kasus tersebut telah dilakukan pemeriksaan dan pengumpulan barang bukti
yang lengkap. Dalam upaya pembuktian hukum bahwa telah terjadi tindak pidana
perkosaan, maka dalam hal ini Ilmu Kedokteran Forensik sangat berperan dalam melakukan
pemeriksaan dan untuk memperoleh penjelasan atas peristiwa yang terjadi secara medis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penatalaksanaan Ilmu Kedokteran Forensik dalam
pembuktian tindak pidana pemerkosaan. Untuk mengetahui segi hukum dan medis Ilmu
Kedokteran Forensik dalam pembuktian kasus kejahatan kekerasan seksual.

Kata kunci – forensic science, sexual assault, rape.


Perkosaan merupakan kejahatan yang menyebabkan trauma psikologis yang
serius dan bukti pelanggaran Hak Asasi serius pada korban serta keluarga.
Manusia (HAM). Tindakan perkosaan Mengingat apa yang dilakukan pelaku

1
telah mengakibatkan munculnya berbagai lamanya dua belas tahun. Jadi harus
persoalan buruk yang dihadapi oleh dibuktikan terlebih dahulu adanya suatu
korban dan juga mengakibatkan ketakutan persetubuhan. Bila persetubuhan tidak
pada masyarakat (fear of society).1 bisa dibuktikan, maka janggal bila
Pemerkosaan adalah suatu tindakan dikatakan suatu perkosaan. Suatu
kekerasan, bukan seksual karena suka pembuktian yang jelas bahwa telah terjadi
sama suka. Sangat banyak klasifikasi suatu persetubuhan secara medis adalah
psikologi yang telah diusulkan untuk mendapatkan sperma laki-laki di liang
mengkarakteristik perkosaan, tapi senggama wanita yang dimaksud.
perubahan psikodinamik pada korban Beberapa hal yang perlu diketahui adalah
yang terlibat dalam seluruh skema bahwa: (a) sperma hidup dapat bertahan
meliputi feelings of inadequacy, selama 3x24 jam dalam rongga rahim; (b)
kemarahan yang tidak tersalurkan sperma mati dapat bertahan selama 7x24
(misalnya, impulse control disorders), jam dalam rongga rahim. Dapat
atau penyimpangan gangguan karakter dibayangkan adanya kesulitan bila terjadi
lain.2 suatu overspel, maksudnya antara
Menurut Komisi Nasional Anti persetubuhan yang diduga dan waktu
Kekerasan Terhadap Perempuan pemeriksaan terdapat lagi persetubuhan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 dengan suaminya sendiri, sehingga
hingga 2010 hampir sepertiga kasus sperma yang ditemukan tidak diketahui
kekerasan terhadap perempuan adalah milik siapa. Dalam kasus-kasus seperti
kasus kekerasan seksual, atau tercatat ini, ilmu forensik dapat digunakan untuk
91.311 kasus kekerasan seksual dari mengungkap pelaku kejahatan seksual.6,7
295.836 total kasus kekerasan terhadap Teknik ilmu forensik biasa digunakan
perempuan. Selama 2010 tercatat 1.751 pada kejahatan yang lebih serius seperti
korban kekerasan seksual.3 perkosaan dan pembunuhan.
Pasien-pasien yang datang ke bagian Perkembangan teknologi seperti
gawat darurat sesudah kekerasan seksual pembuatan database DNA dan sistem
memberikan tantangan khusus bagi dokter pencarian sidik jari secara automatis telah
yang menanganinya. Pasien mungkin memberikan perubahan yang sangat besar
malu atau tidak ingin mengingat kembali dalam bidang teknik forensik untuk
riwayat peristiwa yang dialami, ketepatan membantu penyelidikan kejahatan.
waktu dalam mengumpulkan data riwayat Perkembangan ini telah membahwa
peristiwa sangat penting untuk perubahan secara keseluruhan dalam
penanganan tepat waktu dan dokumentasi proses penyelidikan suatu kasus.6
forensik.4,5 Dalam upaya pembuktian hukum
Perkosaan merupakan suatu peristiwa bahwa telah terjadi tindak pidana
yang sulit dibuktikan walaupun pada perkosaan, maka dalam hal ini Ilmu
kasus tersebut telah dilakukan Kedokteran Forensik sangat berperan
pemeriksaan dan pengumpulan barang dalam melakukan pemeriksaan dan untuk
bukti yang lengkap. Pasal 285 tentang memperoleh penjelasan atas peristiwa
pemerkosaan berbunyi : Barang siapa yang terjadi secara medis. Dalam
dengan kekerasan atau dengan ancaman pemeriksaan kasus perkosaan dilakukan
kekerasan memaksa orang perempuan di oleh Polri selaku penyidik untuk
luar perkawinan bersetubuh dengan dia mendapatkan barang bukti dan
karena salahnya perkosaan, dihukum selanjutnya pemeriksaan korban
dengan hukuman penjara selama- diserahkan oleh dokter forensik untuk

2
memeriksa korban perkosaan yang sudah 4. Kumpulkan barang bukti sebaik-
meninggal sedangkan untuk korban baiknya seperti noda darah, bercak
perkosaan yang masih hidup diperiksa pada kain, celana, sprei, dan lain-lain
oleh Dokter Spesialis Kebidanan dan 5. Perhatikan sikap korban, apakah takut,
Penyakit Kandungan (Obgyn) dimana gelisah, malu atau tenang-tenang saja.
hasil pemeriksaannya dituangkan dalam 6. Perhatikan caranya berpakaian dan
Visum et Repertum yang berguna untuk berhias, adalah berlebihan atau
pembuktian perkosaan di persidangan mengandung gairah
sebagai alat bukti surat ataupun sebagai 7. Kirimkan korban/tersangka korban ke
keterangan ahli apabila dokter tersebut rumah sakit pemerintah dengan
diminta hadir di persidangan.2,7,9 formulir visum et repertum model IV
Keadilan dan kemerdekaan seringkali tanpa diperkenankan membersihkan
tergantung pada laboratorium forensik badan dahulu. Korban diantar oleh
yang dapat dipercaya. Kesalahan analitik petugas polisi
dapat berarti kebebasan bagi yang 8. Jelaskan kepada ahli kebidanan/dokter
bersalah dan penahanan bagi yang tidak yang bertugas tentang maksud
bersalah. Laboratorium forensik dapat pemeriksaan ini.
memperbaiki dan memerintahkan sistem 9. Bila dipandang perlu maka korban
regulator yang akan membawa dapat diisolasi dengan pengawasan
1,10,11
perbaikan. ketat dan tidak boleh ditemui seorang
Berdasarkan hal tersebut maka pun atau berhubungan dengan
penulis terdorong untuk mengadakan tamu/keluarga.
penelitian tentang Peran Ilmu Kedokteran
Forensik Dalam Pembuktian Tindak
Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan
Kekerasan Seksual. B. Pengumpulan Alat Bukti di Tempat
Kejadian Perkara

III. TATA LAKSANA ILMU Untuk kepentingan penyidikan, alat


KEDOKTERAN FORENSIK PADA bukti sangat penting. Pengumpulan alat
KASUS KEKERASAN SEKSUAL bukti dilakukan di tempat kejadian
perkara, selanjutnya alat bukti tersebut
A. Persiapan di Tempat Kejadian dikirim ke laboratorium forensik untuk
Perkara dianalisis. Barang bukti/material
kimia, biologik dan fisik yang ditemukan
Tindakan pada kasus/disangka kasus ditempat kejadian perkara dapat berupa:
perkosaan atau perzinahan:12 1. Material kimia: alkohol, obat-obatan,
1. Perhatikan apakah korban atau bahan kimia lain yang ditemukan
memerlukan pertolongan pertama di tempat kejadian perkara
akibat kekerasan yang dideritanya. 2. Material fisik: serat pakaian, selimut,
Perhatikan juga apakah korban telah kain penyekap korban dll.
cukup umur atau belum selanjutnya 3. Material biologik: cairan tubuh, air
lihat skema persetubuhan; liur, semen/sperma, darah, rambut
2. Perhatikan apakah pada tubuh korban dll.2,4,11-14
terdapat tanda-tanda kekerasan
3. Amankan tempat kejadian dan barang
bukti

3
C. Persiapan Sebelum Pemeriksaan 4. Alat bukti yang menempel ditubuh
Korban korban yang diduga milik pelaku.
5. Memeriksa perkembangan seks
Sebelum korban dikirim ke rumah sekunder untuk menentukan umur
sakit/fasilitas kesehatan untuk dilakukan korban.
pemeriksaan dokter, perlu dijelaskan 6. Pemeriksaan antropometri; tinggi
dengan hati-hati proses pemeriksaan badan dan berat badan
forensik dengan memaparkan langkah- 7. Pemeriksaan rutin lain
langkah penyelidikan.

Sebelum pemeriksaan forensik syarat


yang harus dipenuhi adalah:1,13-15
1. Harus ada permintaan tertulis untuk
pemeriksaan kasus kekerasan seksual Khusus:16
dari penyidik atau yang berwenang. 1. Genitalia: pemeriksaan akibat-akibat
2. Korban datang dengan didampingi langsung dari kekerasan seksual yang
polisi/penyidik. dialami korban, meliputi:
3. Memperoleh persetujuan (inform a. Kulit genital apakah terdapat
consent) dari korban. eritema, iritasi, robekan atau
4. Pemeriksaan dilakukan sedini tanda-tanda kekerasan lainnya.
mungkin untuk mencegah hilangnya b. Eritema vestibulum atau jaringan
alat bukti yang penting bagi sekitar
pengadilan. c. Perdarahan dari vagina.
d. Kelainan lain dari vagina yang
mungkin disebabkan oleh infeksi
atau penyebab lain.
D. Pemeriksaan Korban Kekerasan e. Pemeriksaan hymen meliputi
Seksual bentuk hymen, elastisitas hymen,
diameter penis. Robekan penis
Yang perlu diperiksa oleh dokter bisa jadi tidak terjadi pada
terhadap korban/tersangka korban kekerasan seksual penetrasi
kekerasan seksual sedapat mungkin karena bentuk, elastisitas dan
memenuhi tuntutan yang digunakan dalam diameter penis.
undang-undang hukum pidana. f. Untuk yang pernah bersetubuh,
dicari robekan baru pada wanita
Pemeriksaan fisik juga didasarkan yang belum melahirkan
pada kebijakan juridiksional, dan g. Pemeriksaan ada tidaknya
dilakukan oleh dokter dengan ejakulasio dalam vagina dengan
pemeriksaan meliputi: mencari spermatozoa dalam
sediaan hapus cairan dalam
Umum: 16
vagina
1. Rambut, wajah, emosi secara
2. Pemeriksaan anal
keseluruhan
Kemungkinan bila terjadi
2. Apakah korban pernah pingsan
hubungan seksual secara anal akan
sebelumnya, mabuk atau tanda-tanda
menyebabkan luka pada anal
pemakaian narkotik.
berupa robekan, ireugaritas,
3. Tanda-tanda kekerasan diperiksa di
keadaan fissura.13
seluruh tubuh korban.
3. Pemeriksaan laboratorium

4
a. Pemeriksaan darah secara keseluruhan, genitalia externa,
b. Pemeriksaan cairan mani vagina dan servix, dan anus serta rektum.
(semen)
c. Tes kehamilan G. Penilaian Dugaan Kekerasan
d. Pemeriksaan lain seperti Seksual
hepatitis, gonorrhea, HIV.
e. Pemeriksaan cairan tubuh, Berikut ini detail penilaian kekerasan
mani, liur, atau rambut yang seksual yang dapat menguatkan terjadinya
dianggap pelaku. 13,16 kekerasan seksual pada korban.

E. Wawancara/Anamnesis Korban 1. Trauma non genital (kekerasan,


Kekerasan Seksual bukti menguatkan)

Wawancara dengan korban Trauma fisik adalah pembuktian


meliputi empat elemen: Wawancara terbaik adanya kekerasan dan harus selalu
teraupetik, wawancara investigasi, didokumentasikan melalui foto,
wawancara medis dan wawancara dideskripsikan melalui gambar dan dalam
medico-legal. Walaupun isi dari masing- bentuk laporan tertulis. Bukti trauma
masing wawancara bisa saling tumpang dapat juga menguatkan pernyataan korban
tindih dan perbedaan wawancara dalam akan kejadian tersebut.17,28,29,30
beberapa hal dapat dilakukan oleh orang
yang sama, dengan tujuan dan fungsi c. Pola trauma non genitalia
masing-masing berbeda. Wawancara Peneliti forensik harus banyak
dapat dilakukan tersendiri, bersahabat dan mengetahui tentang pola trauma yang
lingkungan yang mendukung. terjadi karena kekerasan seksual, untuk
Penginterview akan membangun suatu dapat menanyakan pertanyaan yang tepat
hubungan dengan korban dan mulai dan lokasi trauma berdasarkan cerita
dengan pertanyaan umum yang tidak korban.
berhubungan dengan kekerasan seksual Tempat yang paling sering mengalami
yang dialami, seperti riwayat medis. Jika trauma pada korban kekerasan seksual,
diperlukan dapat digunakan penerjemah. termasuk:
Bahasa dan nama penerjemah yang • Memar pada tungkai atas dan paha
digunakan dapat dicatat dalam laporan. • Memar pada leher karena cekikan
Pada kasus remaja, mereka diijinkan • Memar pukulan pada lengan atas
untuk didampingi oleh orang tua bila • Memar karena postur bertahan pada
mereka mau. Mereka juga diperlakukan sisi lengan luar
dengan cara yang sama seperti orang Juga yang sering adalah: 28,29,30
dewasa. • Trauma menyerupai cambuk atau tali
pada punggung korban
F. Pemeriksaan Fisik Korban • Trauma pukulan atau gigitan pada
Kekerasan Seksual payudara dan puting susu
• Trauma pukulan pada abdomen
Pemeriksaan pasien dibagi dalam • Trauma Pukulan dan tendangan pada
beberapa kategori yaitu; keadaan umum paha
dan tingkah laku pasien; keadaan tubuh • Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.

5
d. Trauma non genital yang terpola memperlihatkan bukti adanya
Istilah "trauma terpola" berbeda dari trauma genital.
istilah yang sama, "pola trauma" yang d. Bukti dari kolposkopi
disebutkan diatas. Keduanya penting Diduga bahwa pemeriksaan kolposkopi
dalam istilah forensik, akan tetapi, untuk memperjelas jaringan genital
"trauma terpola" adalah trauma dari objek adalah aset penting untuk identifikasi
yang digunakan untuk menimbulkan trauma genital. 28,29,30
trauma, yang mudah diindentifikasi e. Toluidin blue
melalui pola yang ada pada korban. Toluidine blue adalah nuclear stain
yang biasa digunakan dalam
2. Bukti trauma genital (kontak pemeriksaan kekerasan seksual untuk
seksual, kekerasan) mendekteksi adanya mikrotrauma.
28,29,30

Trauma genital menunjukkan adanya f. Deskripsi trauma genital


kontak seksual dan kekerasan. Trauma Trauma biasanya ditemukan dalam
genital paling banyak terlihat setelah pemerkosaan yang disebabkan oleh tidak
kekerasan seksual. adanya respon human, yaitu: 28,29,30
Akan tetapi, pada kasus kekerasan seksual • Tidak adanya kemiringan pelvik
seringkali tidak ditemukan bukti trauma untuk mempersiapkan penetrasi
genital. Dengan demikian, tidak adanya • Tidak adanya bantuan pasangan
trauma genital tidak dapat dengan memasukkan penis atau objek
diinterpretasikan bahwa hubungan seks lain.
yang terjadi atas persetujuan. Dengan kata • Tidak adanya lubrikasi
lain, peneliti forensik seringkali tidak • Tidak adanya relaksasi
menemukan bukti trauma genital, dan • Peningkatan kekuatan dari penetrasi
alasan mengapa ini terjadi harus • Disfungsi seksual pria
dijelaskan di pengadilan. 28,29,30 • Tidak adanya komunikasi

a. Pola trauma genital H. Evaluasi, Penanganan dan


• posterior fourchette (70%) Konseling Korban Perkosaan
• vagina (11%)
• labia minora (53%) 1. Evaluasi dan penanganan infeksi
• perineum (11%) akibat transmisi seksual
• hymen (29%) 2. Evaluasi dan Pencegahan Resiko
• area periuretral (9%) Kehamilan
• fossa navicularis (25%) 3. Konseling intervensi krisis dan follow
• labia majora (7%) up
• anus (15%) 4. Penanganan korban pada pusat
• rektum (4%) layanan primer
• servix (13% 5. Penanganan korban di rumah sakit
b. Hubungan antara trauma non-genital provinsi/daerah
dan trauma genital
• Korban trauma non-genital juga
mengalami trauma genital. IV. ASPEK-ASPEK
• Pada studi lain dari 304 korban
PENATALAKSANAAN FORENSIK
kekerasan seksual, 79% mereka PADA KASUS PERKOSAAN DAN
dengan trauma non-genital juga KEKERASAN SEKSUAL

6
A. Dasar Perlindungan Terhadap 4. Deklarasi Wina Tahun 1993. 24
Korban Tindak Pidana Perkosaan
Dasar perlindungan hukum terhadap
perempuan korban kekerasan terdapat
dalam UU No. 7 Tahun 1984 Tentang C. Masalah penegakan hukum
Pengesahan Konvensi Mengenai terhadap kekerasan berbasis gender
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
1. Imunitas terhadap bentuk-bentuk
Terhadap Wanita (Convention On The
penyiksaan berbasis jendergender:
Elimination Of All Forms Of
perkosaan dan pelecehan seksual.22
Discrimination Against Women-CEDAW)
2. Hukum pidana Indonesia menerapkan
yang menyatakan:21,22
sebuah definisi perkosaan yang
Perlindungan hukum terhadap korban sudah usang dan tidak lagi memenuhi
kekerasan terhadap perempuan standar internasional. Perkosaan
(perkosaan) dituangkan juga dalam didefinisikan secara sempit dan
Kepres No. 181 Tahun 1998 Tentang eksklusif dalam bentuk penetrasi
Komisi Nasional Anti Kekerasan paksa organ-0rgan seksual. Menurut
Terhadap Perempuan. 21,23 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Indonesia (KUHAP),
B. Landasan Hukum untuk Jaminan penanganan kasus perkosaan
Perlindungan dari Tindak Kekerasan menuntut adanya bukti air mani yang
Seksual dikuatkan oleh catatan medis (visum
et repertum) dan pernyataan dari dua
Nasional sumber, termasuk seorang saksi.
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana 3. UU Indonesia No. 26 tahun 2000
(KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, tentang pengadilan HAM
291 menerapkan definsi peka
2. UU No.23 tahun 2004 tentang jendergender dari Statuta Roma atas
Penghapusan Kekerasan Dalam kejahatan HAM yang mengakui
Rumah Tangga (PKDRT) Pasal kekerasan berbasis genjer dan
8(b), 47, 48 perbudakan seksual. Namun, karena
3. UU No 21 tahun 2007 Tentang Indonesia belum meratifikasi dan
Pemberantasan Tindak Pidana mengintegrasikan Statuta Roma
Perdagangan Orang pasal 1 (3,7) secara keseluruhan, termasuk
4. UU No.23 Tahun 2002 tentang prosedur dan aturan pembuktiannya,
Perlindungan Anak pasal 1(15), maka pihak perempuan yang telah
17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan mengalami kekerasan seksual dalam
88 konteks serangan luas dan sistematik
atas populasi sipil masih belum juga
Internasional mendapat akses pada keadilan. Pada
1. Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), saat ini, UU Pengadilan HAM hanya
Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68 dapat diterapkan dengan
2. Resolusi PBB 1820 tentang menggunakan KUHP dan KUHAP
Kekerasan Seksual dalam Konflik yang tidak kondusif untuk keadilan
Bersenjata bagi perempuan.
3. Deklarasi penghapusan tindak 4. Indonesia tidak memiliki peraturan
kekerasan terhadap perempuan hukum yang memidanakan pelecehan
(ICPD) pada bulan Desember 1993 seksual.

7
5. Adanya pembatasan yang ketat dan 2. Selama Sidang Pengadilan.
pembisuan dalam peraturan pidana 3. Setelah sidang pengadilan.
mengenai pelecehan seksual dan
perkosaan dalam kerangka kerja
hukum Indonesia dapat dikatakan
memberi impunitas terhadap bentuk-
bentuk utama penyiksaan yang
berbasis jendergender V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkosaan adalah tindakan kekerasan
seksual yang merupakan kejahatan
terhadap hak asasi manusia yang
memberikan dampak fisik dan psikologis
D. Visum et Repertum yang berat bagi korban dan keluarga.
Pembuktian kasus perkosaan sangat
Untuk kasus terkait percabulan atau sulit dilakukan meskipun bukti-bukti telah
perkosaan, biasanya menggunakan salah dikumpulkan. Pasal 285 menuntut adanya
satu alat buktinya berupa Visum et tanda-tanda persetubuhan untuk
repertum. Visum et repertum adalah surat menentukan apakah terjadi pemerkosaan.
keterangan/laporan dari seorang ahli Dalam keadaan ini, Ilmu Forensik dapat
mengenai hasil pemeriksaannya terhadap digunakan untuk mengungkap pelaku
sesuatu, misalnya terhadap mayat dan kejahatan seksual.
lain-lain dan ini dipergunakan untuk Forensik merupakan alat bukti sah
pembuktian di pengadilan.23,24 dalam memberikan keyakinan hakim
untuk memutuskan tersangka/terdakwa
E. Upaya Perlindungan Hukum pada bersalah dan/atau tidak bersalah.
Korban Tindak Pidana Perkosaan Ilmu forensik menjelaskan identitas
(siapa) tersangka yang melakukan
Deklarasi Perserikatan Bangsa-
kejahatan; tipe (apa) kejahatan yang
Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah
dilakukan; waktu (kapan) insiden terjadi;
menetapkan beberapa hak korban (saksi)
lokasi (dimana/tempat kejadian perkara);
agar lebih mudah memperoleh akses
modus operandi (bagaimana) pelanggaran
keadilan, khususnya dalam proses
terjadi; serta motif dibalik kejahatan.
peradilan pidana. Meskipun pada tahun
Landasan hukum di Indonesia
1984 telah diratifikasi Konvensi tentang
terhadap kekerasan seksual: Persetubuhan
Penghapusan Diskriminasi Terhadap
(pasal 284, 285, 286, 287, 288, 293, 294);
Perempuan dengan Undang-Undang No. 7
Luka/kekerasan (pasal 285, 288); Luka
Tahun 1984 (karena kebijakan umum
berat (pasal 286, 287, 288); Pingsan/tidak
serta berbagai peraturan yang ada saat ini
berdaya (pasal 285, 286).
masih mencerminkan kuatnya nilai
Bukti fisik kekerasan seksual terdiri
patriarki), tetapi dalam pelaksanaannya
dari dua tipe: bukti fisik dan laboratorium.
masih terjadi diskriminasi dan
Bukti-bukti ini harus dikumpulkan dan
eksploitasi.23,24
diperiksa dengan hati-hati agar tidak
Perlindungan hukum terhadap korban mengaburkan pelaku tindak pidana
tindak pidana perkosaan dilakukan pemerkosaan.
sebagai berikut:24,25 Pemeriksaan rutin laboratorium
1. Sebelum Sidang Pengadilan. forensik meliputi: urine untuk tes

8
kehamilan, screening penyakit menular, sumber, termasuk seorang saksi.
dll. Persyaratan hukum membuat perempuan
Pembuktiaan kasus perkosaan saat ini korban perkosaan mustahil mendapat
menggunakan DNA, dengan sampel keadilan melalui jalur hukum.
pemeriksaan dapat diambil dari berbagai
sumber seperti, air liur, spermatozoa,
darah, kulit ataupun keringat.
Penatalaksanaan kedokteran forensik B. Saran
pada kasus kekerasan seksual meliputi: 1. Perlu sosialisasi pada masyarakat
persiapan ditempat kejadian perkara; perlunya menjaga dan tidak merusak
Pengumpulan alat bukti di tempat barang bukti di tempat kejadian
kejadian perkara; pemeriksaan korban perkara, atau pada bagian tubuh
dan tersangka/dugaan tersangka; dan korban agar memudahkan
penilaian dugaan kasus kekerasan seksual. pemeriksaan forensik untuk
Dasar hukum perlindungan korban menemukan pelaku kekerasan.
tindak pidana perkosaan adalah UU No 7 2. Revisi undang-undang mengenai
tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi kekerasan seksual sehingga dapat
Mengenai Penghapusan segala Bentuk memberikan jaminan hukum dan
Diskriminasi Terhadap Wanita melindungi sepenuhnya korban
(Convention On The Elimination Of All kekerasan seksual.
Forms Of Discrimination Against Women- 3. Perlu dilakukan pelatihan bagi
CEDAW). Kemudian ditungkan dalam penyedia layanan kesehatan
Kepres No. 181 tahun 1998 Tentang bagaimana penanganan korban kasus
Komisi Nasional Anti Kekerasan perkosaan, bagaimana mengamankan
Terhadap Perempuan. alat bukti pemerkosaan.
Di Indonesia diatur oleh Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 285, 286, 287, 290, 291; UU No.23
tahun 2004 tentang Penghapusan DAFTAR PUSTAKA
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48; UU No 21
tahun 2007 Tentang Pemberantasan 1. Prodjodikoro W. Tindak-tindak
Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 pidana tertentu di Indonesia. Refika
(3,7). UU No.23 Tahun 2002 tentang aditama. Edisi 3. 2003. p 118-9
Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 2. Bradbury SA., Feist A. The use of
dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88. forensic science in volume crime
Masalah penegakan hukum untuk investigations: a review of the
tindak pidana pemerkosaan yaitu; hukum research literature. Home office
pidana Indonesia menerapkan sebuah online report. Crime Reduction and
definisi perkosaan yang sudah usang dan Community Safety Group. 2005
tidak lagi memenuhi standar 3. Abdussalam HR. Forensik. Restu
internasional. Perkosaan didefinisikan Agung. Jakarta. Edisi 3. 2006. p
secara sempit dan eksklusif dalam bentuk 139-149.
penetrasi paksa organ-0rgan seksual 4. Narejo NB., Avais MA. Examining
dengan menuntut adanya bukti air mani the Role of Forensic Science for the
yang dikuatkan oleh catatan medis (visum Investigative –Solution of Crimes.
et repertum) dan pernyataan dari dua Sindh university research journal.

9
Science series. Vol.44. 2012. p in Criminal Proceedings.
251-254 Fundamentals of Probability and
5. Gaensslen RE., Lee HC. Sexual Statistical Evidence in Criminal
Assault Evidence: National Proceedings. Guidance for Judges,
Assessment and Guidebook. US Lawyers, Forensic Scientists and
Department of Justice. Januari 2002. Expert Witnesses. Practitioner guide
6. West Virginia SAFE. Sexual assault No 1.
forensic medical examination. 17. Fienberg, S. E. The Evolving Role of
Training and Collaboration Statistical Assessments as Evidence
Toolkit—Serving Sexual Violence in the Courts. New York: Springer.
Victims with Disabilities. Sexual 1989
Violence 101 18. Finkelstein, M. Basic Concepts of
7. Murtika IK., Prakoso D. Dasar-dasar Probability and Statistics in the
ilmu kedokteran kehakiman. Law. New York: Springer. 2009.
Cetakan ke-2. 1992. p 110-112 19. National policing improvement
8. Ernoehazy W., et.al. sexual assault. agency. Guidance on investigating
Medscape refference. August, 2012. and proscecuting rape. Abridged
9. Ledray LE. Evidence collection and edition. 2010.
care of the sexual assault survivor. 20. Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM:
The SANE-SART response. Violence and criminality. Dalam:
Violence against women online Child Abuse and Neglect A
resource. August, 2001. Clinician’s Handbook. 2nd Edition.
10. Friedman, R.D. ‘Assessing Evidence’ Churchill Livingstone, London.
94 Michigan Law Review 1810.9 1999.
11. Gastwirth, J.L. (1988a) Statistical 21. Wahid A., Muhammad I.
Reasoning in Law and Public Perlindungan Terhadap Korban
Policy, vol 1: Statistical Concepts Kekerasan Seksual : Advokasi Atas
and Issues of Fairness. Boston, Hak Asasi Perempuan, Bandung,
Mass.: Academic Press. Refika Aditama, 2001, hal 82-83
12. Jonakait, RN. Forensic science: the 22. Laporan Perwakilan Khusus
need for regulation. Volume 4, Sekertaris General PBB untuk
spring issue. 1991. p 109-191. Pembela HAM, misi ke Indonesia,
13. Muller K. Forensic science in Januari 2008. A/HRC/7/28/add.2
medicine: what every doctor should
know. CPD. 2003. p 41-5 23. Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris
14. Stark MM. Medical Forensic Gultom, Urgensi Perlindungan
Medicine A Physician’s Guide. 2nd Korban Kejahatan-Antara Norma
Edition. New Jersey : Humana Press dan Realita, Jakarta, PT.
Inc. 2005. RadjaGrafindo Persada, 2007.
15. Philip SL. Clinical Forensic 24. Ihromi O, Sulistyawati Irianto, Achie
Medicine : Much Scope for S, Luhulima., Pengahpusan
Development in Hong Kong. Diskriminasi Terhadap Perempuan,
Hongkong : Department of Penerbit Alumni Bandung, 2000.
Pathology Faculty of Medicine 25. Moerti Hadiati Soeroso., Kekerasan
University of Hong Kong. 2007. Dalam Rumah Tangga Dalam
16. Aitken C. Robert P. Jackson G. Perspektif Yuridis-Viktimologis,
Probability and Statistical Evidence Sinar Garfika, Jakarta, 2010

10
26. R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dengan
Penjelasannya, Surabaya, Usaha
Nasional, 1980.
27. Romli Atmasasmita, Kapita Selekta
Hukum Pidana dan Kriminologi,
Bandung, Mandar Maju, 1992.
28. Lonsway KA. Successfully
investigating acquaintace sexual
assault: A National Training
Manual for law enforcement. The
national centre for women and
policing. May 2001
29. Lowa department of public health.
Medico-legal aspect of sexual
offences. Chapter 11. 2011
30. Gilmore T., et al. Sexual assault: a
protocol for adult forensic and
medical examination. Lowa
department of public health. June,
2011.

11

Anda mungkin juga menyukai