Anda di halaman 1dari 28

Metode Evaluasi Rancang Kota

Evaluasi Proses Penataan Permukiman Bantaran Sungai Dengan


Konsep On Site Upgrading dengan Studi Kasus Rumah Deret
Keprabon di Sungai Kali Pepe dan Penataan Mrican di Sungai
Gajahwong

Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai ujian akhir semester gasal Mata Kuliah Metoda
Rancang Kota 2018

OLEH :
ANNISA HADNY ZAKIYATURRAHMAH
NIM. 25618011

Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan


Institut Teknologi Bandung
2018
KONTEN
Konten………………………………………………………………………………...……………………………............... 1
Abstrak……………………………...……………………………...……………………………...………………………….. 2

A. PENDAHULUAN……………………………...……………………………...……………………………...………… 2
B. TUJUAN……………………………...……………………………...……………………………...…………………….. 5
C. METODE EVALUASI……………………………...……………………………...……………………………......... 5
1. Metode Pengumpulan Data dan Kajian Teori……………………………...…………………….. 5
2. Metode Evaluasi……………………………...……………………………...……………………………...... 5
D. LINGKUP PEMBAHASAN STUDI KASUS……………………………...……………………………........... 6
1. Studi Kasus Rumah Deret Keprabon, Kalipepe Solo……………………………...…………… 6
a. Makro Kawasan……………………………...……………………………...…………………………….. 6
b. Desain dan Proses Pelaksanaan (Urban Design Problem) ……………………………... 8
c. Sosial Ekonomi (non-Urban Design Problem) ……………………………...……………….. 12
2. Studi Kasus 2 Penataan Kampung Mrican, Sungai Gajahwong…………………………… 13
a. Makro Kawasan……………………………...……………………………...…………………………….. 13
a. Desain dan Proses Pelaksanaan (Urban Design Problem) ………………………. 14
b. Sosial Ekonomi (non-Urban Design Problem) ……………………………...…………. 17
E. STUDI LITERATUR …………………………...............…………………………...............…………………… 17
1. A Theory of Good City Form (Penulis : Kevin Lynch, 1981) ………………………….......... 17
2. Housing by People (John FC Turner, 1976) ………………………….................................. 18
3. Lingkungan Binaan untuk Rakyat (gelar nalar Prof. Hasan Poerbo, 1999)………….. 20
F. PEMILIHAN KRITERIA …………………………...............…………………………...............……………… 21
G. PROSES EVALUASI …………………………...............…………………………...............………………….. 22
H. KESIMPULAN …………………………...............…………………………...............………………………….. 23

Daftar Pustaka …………………………...............…………………………....................……………………….. 27

_____________________________________________________________________________
1
Evaluasi Proses Penataan Permukiman Bantaran Sungai Dengan Konsep On Site Upgrading

Annisa Hadny Zakiyaturrahmah1


Mata Kuliah Metoda Rancang Kota
Program Studi Magister Rancang Kota Sekolah Perencanaan dan Pengembang Kebijakan
Institut Teknologi Bandung
annisa.hadny@gmail.com

Abstract:

Permasalahan permukiman memang menjadi permasalahan pelik yang terjadi pada kasus perancangan
ruang kota . Contoh yang paling sering menjadi bahasan adalah tentang permukiman informal bantaran
sungai. Proses penggusuran dan penegakan kebijakan sering dilakukan untuk menciptakan ruang kota yang
ideal namun meninggalkan permasalahan kemanusiaan di dalamnya. Oleh karena itu, muncul bentuk-bentuk
lain dari proses penataan permukiman seperti dengan konsep on site upgrading yang melibatkan masyarakat
di dalamnya. Keterlibatan masyarakat dalam prose perencanaan dan perancanga pembentukan ruang
perkotaan akan sangat berpengaruh pada tingkat sustainabilitas dari lingkungan perkotaan tersebut.
Pemikiran ini sudah lama dicetuskan oleh beberapa ahli tidak hanya asli dalam ilmu bermasyarakat tetapi
juga ahli rancang kota, namun masih sangat minim diterapkan di negara ini. Kajian stuudi evaluasi terkait hal
tersebut yang akan di bahas pada tulisan ini adalah proses on site upgrading yang dilakukan di dua contoh
proyek penataan bantaran sungai di dua kota yang berbeda namun dengan konsep pendekatan yang sama
yaitu dengan pendekatan partisipatif. Kedua objek studi ini sama-sama melibatkan masyarakat dan
pemerintah di dalam prosesnya

Keywords: perkotaan, permukiman, partisipatif, masyarakat

STUDI KASUS :
 Rumah Deret Keprabon, Sungai Kali Pepe
 Penataan Mrican, Sungai Gajahwong

A. PENDAHULUAN
Bantaran sungai dulunya merupakan suatu kawasan yang ideal menjadi sebuah area
permukiman ketika sungai masih menjadi sarana transportasi. Namun seiring berjalannya
waktu pertumbuhan kota menjadikan sungai ‘menjadi halaman belakang’ dari distrik
permukiman. Fenomena tersebut menjadikan sungai dan bantarannya menjadi terlupakan.
Hal itu memicu pertumbuhan permukiman secara pesat di area bantaran sungai oleh
masyrakat yang sulit mendapatkan tanah di area urban perkotaan karena tingginya harga
lahan yang tidak berpihak pada sebagian besar masyarakat yang membutuhkan

_____________________________________________________________________________
1
NIM. 25618011 2
rumah/permukiman. Semakin lama bantaran sungai berubah menjadi sebuah permukiman
yang semakin padat dan mempunyai kondisi dengan kesan memprihatinkan.
Penataan permukiman bantaran sungai menjadi suatu yang marak terjadi di Indonesia karena
kondisi wilayahnya baik itu rumah secara fisik maupun infrastrukturnya. Jenis permukiman
yang tumbupermukiman kumuh dan permukiman informal tumbuh di wilayah bantaran
sungai. Permukiman kumuh biasanya mengacu pada kondisi fisik permukiman sedangkan
permukiman informal yang merupakan sebutan dari suatu area permukiman di suatu kota
yang dihuni oleh masyarakat miskin yang tidak mempunyai kepemilikan lahan secara legal.
Kondisi tersebut menjadikan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut menjadi rentan dan
terugikan. Kondisi terugikan yang dimaksud disini menurut Marco Kusumawidjaya di dalam
sebuah diskusi pada tahun 2017 yang lalu adalah ketika masyarakat yang tidak memiliki hak
tersebut menjadi pihak yang terugikan atas kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Hal-hal yang berkaitan dengan perumahan dan permukiman sendiri menurut Turner (1972)
dalam bukunya Freedom to Build pada bagian Housing as A Verb mengemukakan bahwa “…In
English, the woed ‘housing’ can be used as a noun or as a verb. When used as a noun, housing
describes a commodity or product. The verb ‘to house’ describes the process activity or
housing…” (hal 151). Sedangkan selama ini kenyataannya adalah ketika berbicara tentang
penataan permukiman bantaran sungai adalah hanya seputar penataan yang berfokus pada
bentuk saja tidak mempertimbangkan proses bagi orang-orang yang akan tinggal di dalamnya.
Contoh kasusnya adalah yang proses penataan permukiman bantaran sungai yang terjadi di
Jakarta dan beberapa wilayah lain adalah dengan melakukan relokasi tanpa
memertimbangkan masalah sosial ekonomi yang ada di dalam wilayah itu.
Fenomena itu juga terjadi di beberapa negara berkembang di sekitar Indonesia, seperti
Filipina, Thailand, Bangladesh, Myanmar, dll. Dari negara-negara berkembang tersebut,
beberapa arsitek dan urban desainer bergabung dan membentuk sebuah jaringan yaitu
Community Architect Network (CAN). Jaringan tersebut mengedepankan kepentingan
komunitas/masyarakat bisa di dengar dalam melakukan penataan yan berkaitan dengan

_____________________________________________________________________________
3
permukiman. Hal tersebut juga mengacu pada buku lain yang ditulis oleh Turner yaitu Housing
By People.
Kebijakan tentang penataan permukiman bantaran sungai bukan hanya menjadi proses bagi
para arsitek, urban desainer, dan komunitas terkait saja melainkan juga harus melibatkan
pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Solo
dalam melaksanakan penataan bantaran Sungai Kalipepe melakukan prosesnya di segmen II
bagian Kalipepe dengan berkolaborasi dengan Arkomjogja (kelompok arsitek yang bekerja
untuk komunitas/masyarakat yang juga berjejaring dengan CAN di tingkat internasional) untuk
melakukan proses penataan permukiman tersebut berbasis masyarakat, hingga terbangunnya
Rumah Deret Keprabon pada tahun 2016. Lain halnya dengan yang terjadi pada penataan
bantaran Sungai Gajahwong Yogyakarta tepatnya di segmen penataan Padukuhan Mrican, di
lokasi ini komunitas/masyarakat sebelumnya sudah mempunyai perencanaan atas wilayahnya
sendiri karena sudah berkembangnya isu penggusuran. Proses peningkatan kapasitas
komunitas tersebut juga dilakukan oleh Arkomjogja dan Paguyuban Kalijawi. Hasil dari
perencanaan tersebut kemudian diadvokasikan ke pemeritah sehingga menjadi pertimbangan
konsep penataan bantaran Sungai Gajahwong tersebut dan sudah terbangun (segmen 1) pada
di pertengahan tahun 2018 ini
Kedua studi kasus tersebut memiliki konsep on site upgrading yang terpilih melalui proses
partisipatif dengan komunitaas/masyarakat yang tinggal di dalamnya. Konsep-konsep yang
menjadi pilihan selain on site upgrading itu sendiri adalah relokasi yaitu pemindahan
permukiman ke lokasi lain bisa dengan konsep rumah tinggal pada umumnya, rumah kolektif,
rumah deret maupun rumah susun. Selain konsep on site upgrading, penataan permukiman
bantaran Sungai Gajahwong, hasil dari proses partisipatif yang dilakukan mengharuskan 8 KK
untuk direlokasi ke lahan lain yang masih satu padukuhan dengan lokasi rumahnya terdahulu.
Hal itu dikarenakan rumah untuk 8 KK tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan proses
penataan di tempat.
Konsep on site upgrading sendiri didapatkan dari proses partisipatif dengan masyarakat yaitu
berupa konsep penataan bantaran sungai dengan tidak memindahkan permukiman yang ada

_____________________________________________________________________________
4
melainkan melakukan penataan permukiman di tempat dengan menyesuaikan peraturan-
peraturan perkotaan yang ada terkait dengan garis sepadan sungai. Di pemerintahan Jogja
dan Solo sendiri berkembang konsep penataan rumah bantaran sungai yaitu konsep M3K,
Mundur (permukiman harus menyesuaikan garis sepadan sungai sehingga harus mundur),
Munggah (rumah-rumah di kawasan permukiman bisa dibuat naik ke atas untuk memberikan
ruang pengganti dari bagian rumah yang dimundurkan karena garis sepadan sungai tersebut),
dan Madhep Kali (permukiman di sepanjang sungai harus menghadap/memiliki orientasi ke
sungai supaya tidak menjadikan sungai hanya sebagai halaman belakang yang memiliki
indikasi menyebabkan banyak masyarakat tidak menjaga kebersihan sungai yang ada).
Oleh karena itu pembahasan menganai evaluasi penataan bantaran sungai dengan konsep on
site upgrading ini menjadi menarik karena akan membahas tentang evaluasi penataan ruang
kota yang berpihak kepada masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah dengan
menggunakan konsep yang sama namun memiliki bentuk penyelesaian yang berbeda.
B. TUJUAN
Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana berjalannya proses desain, pelaksanaan,
hingga pasca pembangunan dari kedua contoh kasus yang dilakukan dengan model partisipatif
ini yang menghasilkan konsep on site upgrading sebagai model penataannya. Penilaian ini
dilakukan berdasarkan pokok-pokok elemen dalam perancangan kota yang disandingkan
konsep perumahan permukiman yang dikemukakan oleh Turner dalam buku-bukunya seperti
Freedom to Built dan Housing by People dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan penataan
permukiman di bantaran sungai.
Sehingga dari evaluasi ini

C. METODE EVALUASI
Dalam penyusunan kajian evaluasi ini, penulis melakukan dua tahapan metode dengan
menerapkan beberapa metode di dalam penyusunannya, yaitu :
3. Metode Pengumpulan Data dan Kajian Teori
Pada tahapan ini penulis menggunakan dua metode yaitu :

_____________________________________________________________________________
5
a. Studi Observasi
Penulis melakukan observasi terhada dua objek permasalahan yang akan di evaluasi
terkait dengan mengamati hasil proses perencanaan sebelum rekonstruksi hingga
pasca rekonstruksi guna melihat dampak positif maupun negatif dari proses yang
telah dilakukan.
b. Studi Literatur
Kajian dilakukan terkait dengan buku-buku yang mengacu pada proses dalam
pemecahan masalah terkait dengan perumahan dan permukiman yang berhubungan
langsung dengan masyarakat serta kajian literatur terkait lain yang mendukung.
Kajian literatur dilakukan pada dokumen-dokumen peraturan dan proses advokasi
serta dokumen perencanaan dan perancangan yang sudah dilakukan.
4. Metode Evaluasi
a. Studi Analisis
Studi analisis dilakukan pada lingkup bahasan yang akan dievaluasi dan beberapa
kajian pustaka untuk mengambil intisari indikator dan kriteria yang digunakan untuk
menilai/mengevaluasi dua objek bahasan yang dimaksud.
b. Studi Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan menggunakan evaluasi semu dengan metode selecting
criteria berdasarkan pada kajian literatur yang berhubungan dengan objek evaluasi.
Dari perumusan kriteria dan indikator yang didapatkan tersebut kemudian dilakukan
metode evaluasi checklist pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan pasca
penataan bantaran sungai dengan konsep on site upgradding yang menjadi studi
kasus.
D. LINGKUP PEMBAHASAN STUDI KASUS
1. Studi Kasus Rumah Deret Keprabon, Kalipepe Solo
a. Makro Kawasan
Kalipepe merupakan sebuah sungai yang melintasi Kota Surakarta yang memiliki nilai
sejarah yang cukup berarti bagi perekonomian kota pada masa lampau. Fenomena

_____________________________________________________________________________
6
sungai dengan kondisi yang buruk akibat banyak orang tidak memperhatikannya juga
dialami oleh Sungai Kalipepe ini. Pemerintah Kota Surakarta kemudian menyusun
perencanaan penataan kawasan sepanjang Kalipepe dengan membaginya kedalam 3
segmen perencanaan.

Gambar 1. Lokasi Rumah Keprabon


Sumber : Citra Satelit
Rumah deret Keprabon sendiri berada di segmen kedua yang ditujukan untuk area
permukiman dan pariwisata. Di daerah Keprabon yang berdekatan dengan Keraton
Mangkunegaran ini, dulunya masih dijumpai beberapa area bantaran sungai yang
terkesan kumuh dan menjadi sasaran proyek penataan dari pemerintah kota.

Gambar 2. Kondisi Eksisting


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)

_____________________________________________________________________________
7
Proyek yang didampingi oleh Arkom Jogja ini diawali dengan penataan dua area
kawasan seperti yang ditunjukan oleh Gambar 1. Kemudian setelah proyek penataan
kampung on site upgrading ini menunjukkan keberhasilannya, pemerintah dan warga
menjalankan pemetaan bersama untuk memetakan potensi-potensi serta masalah-
masallah yang ada sehingga nantinya jika ada segmen kawasan yang memerlukan
penataan, data-datanya sudah terkumpul dengan baik.

Gambar 3. Kondisi Permukiman Keprabon Sebelum Penataan


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)
b. Desain dan Proses Pelaksanaan (Urban Design Problem)
Proses perencanaan rumah deret ini diawali dari rencana pemerintah yang ingin
melakukan penataan permukiman bantaran Sungai Kalipepe dengan metode
partisipatif pada tahun 2014. Solusi rumah renteng/rumah deret yang telah berdiri
sekarang ini merupakan bentuk solusi yang di dapatkan masyarakat secara bersama
dari beberapa alternatif yang ada.

Gambar 4. Proses Pemetaan Bersama Warga


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)
_____________________________________________________________________________
8
Masyarakat yang tinggal di bantaran Kalipepe ini mengawali proses dengan
memetakan deretan rumah-rumahnya dengan kondisinya masing-masing. Dari proses
ini masyarakat diajak untuk bisa menemukenali kondisi wilayah tempat tinggalnya
sekaligus memberi pengertian tentang proses penataan yang terkait dengan peraturan
bangunan di bantaran sungai. Dari proses pemahaman tersebut, warga masyarakat
mulai memikirkan solusi bersama tentang bagaimana perencanaan penataan
permukiman mereka. Hampir seluruh warga enggan jika harus direlokasi ke daerah
yang cukup jauh dari rumah mereka sebelumnya. Hal itu disebabkan lapangan
pekerjaan mereka semua berada di sekitar tempat tingalnya di daerah Keprabon itu.
Karena tidak memungkinkan untuk benar-benar melakukan konsep mundur,
munggah, madhep kali pada masing-masing rumah, warga yang didampingi oleh
Arkom Jogja melakukan konsolidasi lahan milik pemerintah yang masih ada di wilayah
sekitar bantaran Kalipepe bagian Keprabon tersebut.

Gambar 5. Luas Lahan Penataan Permukiman Bantaran Kalipepe


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)

Proses selanjutnya adalah warga merencanakan bersama penataan rumah mereka


yang harus cukup dibangun di atas lahan milik pemerintah dengan luas lahan terbatas
tersebut. Dari data hasil pemetaan warga kemudian menyusunnya dalam bentuk tiga

_____________________________________________________________________________
9
dimensi untuk bisa disusun dan dilihat prosepek bentuk penataannya akan seperti apa
terkait dengan jumlah lantai yang akan terbangun.

Gambar 5. Luas Lahan Penataan Permukiman Bantaran Kalipepe


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)

Dari proses perencanaan tersebut barulah muncul konsep on site upgrading yang akan
diterapkan adalah sebuah solusi desain dalam bentuk rumah renteng/rumah deret.
Proses selanutnya adalah proses digitasi dari hasil perencanaan warga tersebut oleh
tim Arkom Jogja untuk kemudian menjadi pedoman pelaksanaan pembangunan oleh
tim pelaksana.

Gambar 6. Gambar Perencanaan


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)
_____________________________________________________________________________
10
Rumah deret tersebut dibagi menjadi dua blok yaitu blok barat dan blok timur. Blok
timur memiliki kapasitas yaitu hunian 26 unit, ruang usaha 14 kavling, area parkir
motor, sepeda, ruang pertemuan/ibadah, mck umum, gudang inventaris warga, dan
ruang terbuka hijau (RTH). Sedangkan blok timur terdiri dari hunian 18 unit, ruang
usaha 18 kavling, area parkir motor, ruang pertemuan, mck umumm, gudang inventaris
warga, dan ruang terbuka hijau (RTH).

Gambar 7. Gambar Perancangan


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)

Untuk proses pelaksanaan sendiri, proyek ini kembali ke pemerintah dan kontraktor
dengan kendali pengawasan tetap berada pada masyarakat
c. Sosial Ekonomi (non-Urban Design Problem)
Mengacu pada teori tentang housing as a verb dan housing by people, maka masalah
permukiman tidak hanya berbicara soal fisik bentuk permukimannya saja tetapi
mengenai keadaan sosial dan kesesuaian latar belakang ekonomi dan sosial
masyarakatnya. Hal tersebut juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kevin
Lynch tentang kesesuaian di dalam bukunya Image of The City.

Gambar 8. Proses Partisipatif


Sumber : Dokumentasi Arkom Jogja (2015)
_____________________________________________________________________________
11
Kondisi sosial di kawasan ini mulai meningkat tingkat kebersamaannya setelah
diadakannya berbagai proses bersama pada tahapann pemetaan, perencanaan, dan
perancangan bersama. Hal itu ditambah dengan adanya poin swadaya dalam
membangun rumah deret ini, di mana pemerintah hanya support dana untuk struktur
konstruksi saja, sedangkan untuk material pengisi ditanggungkan kepada masyarakat.
Proses keswadayaan ini juga menjadi cara suaya masyarakat juga mempunyai rasa
memiliki atas rumah deret yang akan mereka tempati tersebut. Selain itu, pada dua
blok rumah deret tersebut, penyediaan ruang terbuka bersama serta ruang usaha di
lantai dasar sebagai modal utama warga dalam upaya peningkatan perekonomian
mereka,

Gambar 9. Ruang Usaha Pejual Tanaman Hias


Sumber : tribunews.com, diakses 5 Desember 2018

2. Studi Kasus 2 Penataan Kampung Mrican, Sungai Gajahwong


a. Kawasan
Sungai Gajahwong merupakan sala satu sungai yang melintasi Daerah Istimewa
Yogyakarta selain Sungai Code dan Sungai Winongo. Segmen yang akan dibahas kali ini
adalah segmen yang berada di Kabupaten Sleman lebih tepatnya di Padukuhan Mrican,
Desa Caturtunggal. Berbeda dengan penyelesaian permasalahan yang ada di Solo pada

_____________________________________________________________________________
12
penjelasan sebelumnya, penataan permukiman di kawasan Mrican ini memiliki latar
belakang yang berbeda dari kawasan Kalipepe yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Gambar 10. Gambaran Makro Wilayah


Sumber : Arkom Jogja, 2015

Rencana pemerintah kabupaten untuk menata kawasan ini mengalami proses advokasi
perubahan kebijakan. Penataan yang direncanakan pada tahun 2016 pada awalnya
harus mengkosogkan area sepadan sungai sejauh 15 meter. Namun karena sebelum
program itu masuk masyarakat telah mempunyai perencanaan untuk kawasan
mereka, terjadilah proses advokasi dan konsolidasi antara masyarakat dan
pemerintah. Masyarakat enggan jika harus direlokasi ke tempat yang jauh, karena
lapangan pekerjaan mereka berada di sekitar kawasan Mrican ini.

Gambar 11. Kawasan Terdampak


Sumber : Arkom Jogja, 2015
_____________________________________________________________________________
13
Proses itu menghasilkan perubahan kebijakan dimana GSS yang dulunya sejauh 15
meter berubah hanya tiga meter dan tidak mengharuskan warganya untuk relokasi ke
area lain.
b. Desain dan Proses Pelaksanaan (Urban Design Problem)
Proses yang dilakukan di Mrican ini memiliki konsep yang sama dengan yang dilakukan
di Kalipepe yaitu konsep perencanaan dan perancangan secara partisipatif. Proses
tersebut diawali dengan pemetaan kondisi wilayah sekitar kawasan yang sudah
dilakukan jauh sebelum perencanaan penataan bantaran Sungai Gajahwong oleh
pemerintah. Proses itu kemudian juga dilanjutkan dengan proses perencanaan dan
perancangan kawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang didampingi oleh Arkom
Jogja dan Paguyuban Kalijawi.

Gambar 12. Proses Pemetaan dan Hasil Digitasi Pemetaan


Sumber : Arkom Jogja, 2015
_____________________________________________________________________________
14
Dari proses pemetaan tersebut ditemukan beberapa rumah harus dipotong bagiannya
untuk dijadikan area bebas dari garis sepadan sungai. Karena beberapa kondisi rumah
yang memang menggantung di sungai, membuat beberapa rumah terpaksa harus di
relokasi (karena sisa lahannya tidak memungkinkan untuk tetap dijadikan rumah) ke
tanah kas desa yang berada tidak jauh dari wilayah Mrican tersebut.

Gambar 13. Kondisi Mrican sebelum Penataan


Sumber : Arkom Jogja, 2015

Setelah proses pemetaan, proses selanjutnya adalah melakukan proses perencanaan


yang juga dilakukan bersama dengan masyarakat.

Gambar 14. Rencana M3K di Mrican


Sumber : Arkom Jogja, 2015

_____________________________________________________________________________
15
Konsep M3K (Mundur, Munggah, Madhep Kali) diterapkan sebagai solusi pemecahan
masalah di Mrican ini. Konsep rumah yang akan dibangun disini juga memiiki konsep
incremental house atau rumah tumbuh.
Berbeda dengan rumah deret di Solo, penataan permukiman disini benar –benar
dilakukan dengan prinsip partisipatif oleh masyarakat mulai dari pengawasan hingga
pelaksanaan semua diserahkan kepada masyarakat terdampak.

c. Sosial Ekonomi (non-Urban Design Problem)


Dari segi sosial, warga Mrican sudah lebih terorganisir karena masyarakatnya sudah
melakukan pemetaan dan perencanaan jauh sebelum penataan permukiman
direncanakan. Secara sosial ekonomi, proses perbaikan kawasan yang dilakukan di
Mrican ini masyarakatnya sudah memiliki skema konsep sosial-ekonomi yang cukup
jelas.

Gambar 15. Skema Pendanaan


Sumber : Arkom Jogja, 2015

_____________________________________________________________________________
16
Masyarakat sudah mulai mampu memahami tabungan komunitas dan konsep swadaya
pembangunan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di permukiman mereka.

E. STUDI LITERATUR
1. A Theory of Good City Form (Penulis : Kevin Lynch, 1981)
Sebuah kota yang memiliki performa yang baik, menurut Kevin Lynch dapat dinilai dari
beberapa dimensi performa. Penilaian tersebut dapat dilakukan pada elemen-elemen
yang ada di perkotaan berdasarkan kinerjanya terhadap beberapa dimensi yang
dikemukakan oleh Lynch. Dimensi performa tersebut terdiri atas tujuh poin yang
berhubungan langsung dengan kondisi kinerja suatu kawasan terhadap orang-orang yang
tinggal di dalamnya.
Dimensi yang pertama adalah Vitality yaitu tentang wujud dari kawasan permukiman yang dapat
menunjang kebutuhan pokok orang yang tingal di dalamnya sehingga dapat bertahan hidup. Lebih
jauh lagi, dimensi performa ini meniai tentang kapabilitas suatu lingkungan untuk menjaga setiap
spesies di dalamnya di luar manusia.
Dimensi kedua adalah sense yaitu dimensi yang dapat menilai kemampuan suatu kawasan untuk
bisa merepresantasikan kawasan permukimannya dengan nilai-nilai dan konsep yang sesuai
dengan konsepsi jati diri kawasannya tersebut
Fit merupakan dimensi ketiga yang dikemukakan pada buku ini yang membahas tentang
kapabilitas kawasan permukiman dengan segala elemen yang ada di dalamnya untuk dapat
memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan perilaku dari manusia yang tinggal di dalamnya.
Penilaian ini juga terkait dengan tingkat adaptabilitas dari suatu kawasan dan yang meninggalinya
untuk menghadapi masa yang akan datang.
Dimensi selanjutnya adalah Access adalah dimensi penilaian tentang kemampuan untuk bisa
menjangkau akivitas, manusa lain, sumber daya, servis, informasi, dan tempat lain yang
disediakan sebuah kawasan.
Dimensi kelima adalah Control adalah tentang manajemen pengelolaan dan kinerja fungsi
berbagai aspek dalam perkotaan dapat terstrukturisasi dengan baik dari segi sistem yang biasanya
dikendalikan oleh pmerintah

_____________________________________________________________________________
17
Jika suatu kawasan sudah dapat mewujudkan lima dimensi kriteria tersebut maka perlu adanya
penambahan meta kriteria sebagai bahan penilaian yaitu Justice dan Efficiency untuk menilai
tentang bagaimana poin keadilan dalam pemenuhan lima dimensi dasar tadii terhadap kehidupan
yang terjadi di kawasan serta bagaimana efisiensi dari maintenance system dalam berjalanannya
lima dimensi kinerja yang sudah diutarakan sebelumnya.
2. Housing by People (John FC Turner, 1976)
Teori yang diambil dari buku ini adalah tentang mewujudkan sebuah hunian/permukiman
yang partisipatif dari masyarakat. Permasalahan tentang perumahan dan permukiman
yang sekarang sudah mulai terarah ke sebuah betuk industri perumahan permukiman.
Sistem industri dengan penguasaan dari investor dan developer ini jelas tidak menunjang
kebutuhan-kebutuhan mayarakat miskin atau masyarakat berpenghasilan rendah.
Fenomena tersebut tidak sebanding dengan begitu cepatnya pergerakan urbanisasi yang
menimbulkan sebuah permasalahan yaitu Uncontolled Urban Settlement karena setiap
yang melakukan urbanisasi akan memerlukan tempat tinggal nantinya. Hal itu sangat
kontradiksi dengan industrialisasi sektor perumahan yang terjadi tidak hanya di satu
negara melainkan di berbagai negara di belahan dunia. Kenyataan tersebut menjadi akar
dari permasalahan pelik permukiman hingga dewasa ini.
Sektor perumahan yang hanya di-heterosasi-kan dari hierarki peraturan pusat dengan
standarisasi tertentu tidak bisa menyentuh masyarakat yang memiliki penghasilan
menengah kebawah. Karena standarisasi tersebut biasanya berimbas pada harga beli
yang cukup tinggi.
Masyarakat seharusnya menjadi aktor yang memegang otorisasi dalam kontrol untuk
rumah / kawasan permukimannya. Namun kenyataannya hanya ‘sebagian’ dari
masyarakat yang bisa memasuki ranah kontrol tersebut yakni yang bergabung dengan
sektor koorporat sedangkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang
jumlahnya bisa dua kali lipat dari mereka yang terlibat di sektor korporat tersebut menjadi
squatter builder dan menjadi sasaran/objek demolition dengan berbagai alasan penataan
kawasan tanpa melihat kebutuhan ruang bermukim mereka apalagi melibatkannya.

_____________________________________________________________________________
18
Buku ini juga menjelaskan bahwa modern public housing sangat minim kontrol dari
penggunanya mulai dari rumahnya seperti apa, bahan apa yang akan digunakan, hingga
desain dan konstruksinya. Masyarakat seperti hanya menjadi konsumen dan menerima
jadi sehingga tidak jarang masyarakat yang tidak paham mengenai mengatur dan
merawatnya karena tidak ada sense of belonging antara masyarakat dengan kawasan
permukimannya.
Sistem yang modern tersebut perlu untuk dipilah kembali untuk bisa disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan permukiman secara konekstual. Di dalam konsepnya,
permasalahan permukiman ini perlu untuk menerapkan otorisasi dari berbagai lapisan
masyarakat sampai ke yang paling bawah untuk menjamin partisipasi kongkrit masyarakat
dalam membuat ruang tinggal dan ruang hidup yang nyaman di lingkungannya.
Peninjauan elemen fisik juga diterangkan dalam buku ini, dimana pembangunan suatu
kawasan terutama kawasan permukiman harus bisa meminimalisir penggunaan material
yang tidak terbarukan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Oleh karena itu penekanan
mengenai penggunaan material lokal oleh masyarakat lokal lebih diutamakan daripada
penggunaan material-material pabrikasi.
3. Lingkungan Binaan untuk Rakyat (gelar nalar Prof. Hasan Poerbo, 1999)
Prof. Hasan Poerbo merupakan seorang Guru Besar di Jurusan Arsitektur SAPPK ITB yang
telah menempuh pendidikan arsitek dan perancangan kota (civic design). Buku yang
menjadi kajian literatur penulis ini merupakan buku yang berisi berbagai penalaran ilmu
perancangan arsitektur dan perkotaan oleh Prof. Hasan Poerbo dari perspektif yang
berbeda dengan kebanyakan pandangan arsitek dan perancang kota lain yang disunting
oleh Tjuk Kuswartojo. Di dalam buku ini diterangkan bahwa dalam menciptakan sebuah
lingkungan sangat penting ntuk melibatkan unsur hidup masyarakat di dalamnya.
Menurut Prof. Hasan Poerbo ketika seorang ahli melakukan pengelolaan lingkungan yang
di dalamnya juga bisa termasuk seperti kawasan permukiman, bukan lingkungannya yang
dikelola melainkan kegiatan manusia dan masyarakatnya-lah yang harus terkendali agar
tidak melampau kapasitas lingkungan untuk mendukungnya.

_____________________________________________________________________________
19
Di dalam bukunya ini, Prof. Hasan Poerbo mengemukakan bahwa masyarakat dari lapisan
terbawah yang sering terambil haknya dan terbatasi kesempatannya harus bisa diberi
ruang agar dapat meningkatkan kesejahteraannya sendiri sehingga nantinya akan dapat
menghargai lingkungan dengan baik pula. Masyarakat yang tergolong disadvantaged
neighborhood atau masyarakat yang terugikan tersebut dapat
meupayakan/kesejahteraannya dengan pola jejaring/ networking dan melakukan kerja
sama sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan bersama pula.
Banyaknya pihak yang mempunyai peran dalam pembanguan perkotaan menjadikan
banyaknya benturan-benturan kepentingan dalam prakteknya. Maka dari itu perlu
adanya pranata kelembagaan yang mengatur hal tersebut yang perlu disusun secara
konseptual. Peran seorang perancang kota menjadi penting dalam poin ini yaitu sebagai
katalisator dan perantara dalam mencari kesepakatan dalam menyusun perencanaan dan
perancangan bahkan hingga proses implementasi secara konstruksi sehingga semua pihak
dapat terlibat dalam proses perancangan kota tersebut. Seluruh pihak tersebut mencakup
pemerintah, swasta, dan tentunya masyarakat sebagai elemen yang akan bersinggungan
langsung terhadap pembangunan yang dilakukan. Dalam hal ini perancang kota harus bisa
bersikap netral menanggapi pihak-pihak tersebut supaya tidak ada benturan kepentingan
yang akan merugikan pihak-pihak tertentu.
Poin penting yang dapat diambil dari kajian literatur ini adalah poin keterlibatan
masyarakat dalam proses pembentukan lingkungan binaan. Selain itu perlunya jaringan
dan organisasi serta kelembagaan otoritas di dalam proses pembangunan kawasan
perkotaan menjadi modal awal untuk menciptakan lingkungan perkotaan dengan
perencanaan yang bukan hanya ideal tetapi optimal tanpa mengesampingkan poin-poin
dampak terkait lainnya. Prof Hasan Purbo juga mengemukakan tetang elemen-elemen
sumberdaya seperti tanah dan air terkait penggunaannya di masyarakat
F. PEMILIHAN KRITERIA
Pemilihan kriteria akan berpedoman ada 3 pilar sustainability yaitu tentang People (Keadaan
sosial masyarakat), Planet (Lingkungan), dan Prosperity (Ekonomi/ Finansial). Sustainabilitas

_____________________________________________________________________________
20
menjadi hierarki kriteria utama dari proses evaluasi ini karena berkaitan tentang
keberlanjutan dari proses dalam menerapkan kedua model penataan permukiman bantaran
sungai ini. Dari ketiga pilar tersebut kategori Planet akan banyak membahas tentang kondisi
lingkungan sehingga akan erat berkaitan dengan design problem, sedangkan untuk kategori
Pople dan Prosperity meliputi non- design problem yang keseluruhannya merupakan Urban
Design Problem. Ketiga kriteria tersebut menjadi pedoman dalam mengelompokan indikator
untuk mengevalasi kedua bentuk penataan permukiman bantaran sungai yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Indikator yang akan dikelompokkan tersebut berasal dari beberapa
teori yang disebutkan dalam buku Image of The City, Housing by People, dan Lingkungan
Binaan untuk Rakyat . Teori yang disebutkan dalam buku tersebut kemudian dipilih dan
disesuaikan dengan kontekstual permasalahan kedua objek amatan tersebut.
Berikut adalah matriks kriteria dan indikator evaluasi yang diambil dari studi literatur yang
telah dilakukan sebelumnya

Tabel 1. Pemilihan Kriteria dan Indikator


Lingkungan Binaan
Pilar Image of The City Housing by People
Untuk Rakyat
Sustainabilitas (Kevin Lynch) (John F C Turner)
(Prof. Hasan Poerbo)
(Kriteria) (Indikator) (Indikator)
(Indikator)
People - Memenuhi kebutuhan - Keterlibatan - Adanya partisipasi
dan sesuai dengan masyarakat dalam aktif masyarakat
perilaku masyarakat proses pengadaan dalam menciptakan
(Fit) permukiman lingkungan binaan
- Adanya kontrol dari - Otorisasi - Terbentuknya
masyarakat dan pengadaan jaringan masyarakat
pemerintah (Control) permukiman dari yang dapat
- Tercukupinya hierarki melakukan otorisasi
kebutuhan pemerintahan ke pemerintah
masyarakat yang pusat sampai ke - Peran perancang kota
tinggal (Vitality) lapisan masyarakat sebagai katalisator
paling bawah dari berbagai pihak
terkait

_____________________________________________________________________________
21
Planet - Adanya aksesibilitas - Penggunaan - Efektifitas
yang baik dari luar material lokal pemanfaatan sumber
lingkungan - Membuat standar daya
permukiman ke kinerja desan - Adanya sistem
dalam lingkungan lingkungan yang manajemen lahan
permukiman (Access) sesuai dengan yang mengatur
- Tidak meninggalkan praktek di penggunaan lahan
dan bisa menciptakan lapangan sektor informal
karakter kawasannya - Adanya sistem
sendiri (sense) pengelolaan sumber
- Tidak banyak merusak daya yang optimal
lingkungan (Vitallity)
Prosperity - Tercukupnya ruang - Pemilahan nilai - Adanya sistem
usaha masyarakat pembangunan otorisasi finansial di
untuk memenuhi dari nilai masyarakat yang
kebutuhan hidupnya kebutuhan mengatur tentang
(Vitality) masyarakat dan pengadaan
- Adanya efisiensi bukan hanya dari permukiman
dalam maintenance nilai pasar
bangunan sehingga - Self-help
tidak memberatkan reconstruction
perekonomian
masyarakat
(Efficiency)

Sumber : Analisis Pribadi, 2018

G. PROSES EVALUASI
Dari tabel pengelompokan indikator berdasarkan kriteria pilar sustainabilitas dari kajian
literatur yang sudah dituliskan sebelumnya, maka selanjutnya adalah merumuskan kriteria
dan indikator indikator tersebut untuk proses evaluasi.

_____________________________________________________________________________
22
Tabel 2. Hasil perumusan kriteria
KRITERIA INDIKATOR
People (A) Memenuhi kebutuhan masyarakat
(B) Keterlibatan dan partisipasi aktif dari masyarakat
(C) Terbentuknya jaringan kelompok masyarakat
(D) Sinergi kontrol dan otorisasi dari pemerintah dan masyarakat
(E) Peran urban designer sebagai fasilitator dan katalisator
Planet (A) Manajemen lahan (konsolidasi lahan)
(B) Kesesuaian standar peraturan dengan hasil advokasi yang sesuai
dengan kondisi lapangan
(C) Aksesibilitas dari dan ke kawasan permukiman
(D) Menciptakan karakter kawasan
(E) Efektifitas pemanfaatan sumber daya dan material lokal yang tidak
merusak lingkungan
Prosperity (A) Kemandirian dalam pembangunan (Self-help reconstruction)
(B) Adanya sistem finansial di masyarakat (contoh : tabungan)
(C) Efisiensi penggunaan material bangunan dari segi perawatan
(D) Terbentuknya ruang usaha mandiri di masyarakat

Sumber : Analisis Pribadi, 2018

Setelah kriteria dan indikator sudah dirumuskan, langkah seanjutnya adalah melakukan
evaluasi checklist pada setiap tahapan/proses penataan yang dilakukan di kedua objek studi
yang sudah ditetapkan sebelumnya.

_____________________________________________________________________________
23
PROSES PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

Tabel 3. Checklist Evaluation dari Proses Perencanaan dan Perancangan


STUDI People Planet Prosperity
Skor
KASUS (A) (B) (C) (D) (E) (A) (B) (C) (D) (E) (A) (B) (C) (D)

Rumah
Deret
Keprabon, 12
Sungai Kali
Pepe
Penataan
Mrican, 12
Sungai
Gajahwong
Sumber : Analisis Pribadi, 2018
Pada proses ini kedua objek studi memiliki skor yang sama dengan kekurangan pada indikator
yang berbeda. Namun pada proses ini kedua objek studi menerapkan poin partisipasi aktif
masyarakat dalam merencanakan pembangunan dengan baik
PROSES PELAKSANAAN PEMBANGUNAN

Tabel 4. Checklist Evaluation dari Proses Pelaksanaan Pembangunan


STUDI People Planet Prosperity
Skor
KASUS (A) (B) (C) (D) (E) (A) (B) (C) (D) (E) (A) (B) (C) (D)

Rumah
Deret
Keprabon, 7
Sungai Kali
Pepe
Penataan
Mrican, 11
Sungai
Gajahwong
Sumber : Analisis Pribadi, 2018
Pada saat proses pembangunan yang menjadi perbedaan besar dari kedua objek studi ini
adalah peran pengawasan pelaksanaan pembangunan dari masyarakat terhadap proyek

_____________________________________________________________________________
24
penataan tersebut dimana kasus Rumah Deret Keprabon proses pelaksanaan dan
pengawasannya dilakukan oleh kontraktor sedangkan Penataan Mrican dilakukan mandiri
oleh kelompok masyarakat terkait.
PASCA PEMBANGUNAN

Tabel 5. Checklist Evaluation Pasca Pembangunan


STUDI People Planet Prosperity
Skor
KASUS (A) (B) (C) (D) (E) (A) (B) (C) (D) (E) (A) (B) (C) (D)

Rumah
Deret
Keprabon, 7
Sungai Kali
Pepe
Penataan
Mrican, 8
Sungai
Gajahwong
Sumber : Analisis Pribadi, 2018
Pasca pembangunan kedua objek studi masih memenuhi 50% dari indikator pada kriteria
sustainabilitas yang telah ditetapkan sebelumnya.

H. KESIMPULAN

Tabel 6. Kesimpulan Penilaian Evaluasi


Studi Kasus Skor 1 Skor 2 Skor 3 TOTAL
Rumah Deret Keprabon,
12 7 7 26
Sungai Kali Pepe
Penataan Mrican, Sungai
12 11 8 31
Gajahwong
Sumber : Analisis Pribadi, 2018

Dari ketiga proses yang diterapkan pada dua objek studi tersebut, perbedaan signifikan
ditunjukkan pada hasil skor proses kedua yaitu tahapan pelaksanaan pembangunan. Pada
tahapan ini penilaian untuk Rumah Deret Keprabon mempunyai skor yang lebih rendah karena
_____________________________________________________________________________
25
ditunjukkan pada kriteria People karena kurangnya partisipasi aktif yang tergolong dalam non-
design problem dari masyarakat. Poin partisipasi adalah poin yang penting untuk diterapkan
dalam penyelesaian masalah permukiman perkotaan menurut studi literatur yang sudah
dilakukan sebelumnya.
Oleh karena itu dari kedua evaluasi proses penataan bantaran sungai yang menjadi objek
studi, proses Penataan Mrican, Sungai Gajahwong memiliki hasil evaluasi yang lebih baik
daripada Rumah Deret Keprabon pada tahapan pelaksanaan pembangunan karena terlibatnya
masyarakat dalam proses tersebut.

_____________________________________________________________________________
26
Daftar Pustaka_________________________________________________________________

Arkomjogja. (2015). Usulan Model Penataan Kawasan Kumuh Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: AKJ.

D, J. S. (2011). A Short Guide to Community Participatory Action Research. Los Angeles: Health City.

European Communities. (2002). The World Summit on Sustainable Development; People, Planet,
Prosperity. Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities.

Indahsari, A. N. (2014). Perumahan Komunitas sebagai Alternatif Solusi Kebutuhan Perumahan bagi
Masyarakat Informal di Perkotaan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.

John F. C. Turner, R. F. (1972). Freedom to Build ; Dwelling Control of the Housing Proccess. New York:
Macmillan Company.

Lynch, K. (1981). A Theory of Good City Form. Cambridge: Mass: MITT Press.

(2016). On-Site Upgradiig for Slum Dwellers: PROBLEMS AND PROSPECTS. Bangladesh: Khulna University.

Poerbo, H. (1999). Gelar Nalar Prof. Hasan Poerbo : Lingkungan Binaan untuk Rakyat. Bandung: Yayasan
AKATIGA.

The Bartlett Development Planning Unit. (2018). Grounded Development ; Reflections on Community
Based Practices in Sri Langkan and Myanmar. London: DPU.

Turner, J. F. (1976). Housing by People ; Toward Autonomy in Building Environment. London: Marion
Boyars.

United Nations Division for Sustainable Development Goals | DESA. (2015). Transforming our world: the
2030 Agenda for Sustainable Development. Retrieved from Sustainable Development:
https://sustainabledevelopment.un.org/post2015/transformingourworld

_____________________________________________________________________________
27

Anda mungkin juga menyukai