Anda di halaman 1dari 9

Dimensi Fit atau Kesesuaian sebagai Dimensi Pengukuran Kinerja Teori Normatif

dalam Pembentukan Kota

1. Pendahuluan
Di dalam bukunya “A Theory of A Good City Form”, Kevin Lynch (1981) mengemukakan bahwa salah satu
teori pembentukan kota adalah Teori Normatif. Teori normati menurut Kevin Lynch (1981;37) adalah teori
yang menguraikan hubungan-hubungan yang dapat digenerlisasi antara nilai-nilai manusia dan bentuk tempat
tinggal atau bagaimana mengetahui sebuah kota yang baik dengan melihat kota lainnya. Teori ini didapatkan
dari membandingkan sesuatu sehingga memunculkan suatu guidelines dan prinsip-prinip sampel dari suatu
proses keputusan dalam desain. Prinsip-prinsip yang di dapat dari teori normatif yang berkembang terbilang
masih bersifat sangat umum dan sulit untuk diukur menjadi acuan dalam penilaian sebuah kota itu baik atau
tidak. Jon Lang (1987) juga melihat teori normatif sebagai penentu untuk kegiatan yang dilakukan dalam
sebuah lingkungan terbangun tetapi dalam bentuk yang prinsipil, standar-standar dan manifesto yang
menuntun kegiatan.
Namun penilaian tetang sebuah kota melalui kajian teori normatif sering menemui kekeliruan yang
bersifat naturalistik karena dalam perkembangannya teori ini dikenal dengan menilai sebuah kota dengan
menggeneralisasikan nilai-nilai kehidupan manusia terhadap tempat tinggalnya. Generalisasi yang dilakukan
seharusnya bukanlah pada nilai-nilai kehidupan manusia-nya, tetapi ‘hubungan’ antara nilai-nilai tersebut
terhadap lingkungan terbangun/tempat tinggalnya
Masih dari buku yang sama, Kevin Lynch (1981) mengemukakan bahwa dalam mengukur kinerja teori
normatif dalam pembentukan kota secara general, maka perlu adanya standar-standar khusus terhadap
hubungan antara manusia dengan tempat tinggalnya. Dalam menentukan dimensi standar kinerja dari ruang
spasial dari lingkungan terbangun maka Lynch(1981) menetapkan beberapa karakteristik good city supaya
dimensi kinerja tersebut dapat menjadi guideline pengukuran yang baik.
Fit atau kesesuaian merupakan salah satu dari 5 dimensi utama dalam melakukan pengukuran
keberhasilan sebuah kota yang terbentuk dari teori normatif menjadi sebuah contoh a good city. Kesesuaian
yang dimaksud disini adalah kesesuaian yang tercipta secara holistik antara lingkungan terbangun
permukiman/tempat tinggal dan fungsi lainnya terhadap kebutuhan perilaku manusia yang tinggal di
dalamnya. Kesesuaian disini juga mencakup nilai adaptabilitas untuk kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi di masa yang akan datang.
2. Metode
Metode yang dipakai didalam memahami Fit atau Kesesuaian sebagai dimensi pengukuran Kinerja Teori
Normatif dalam Pembentukan Kota adalah dengan melakukan studi literasi terhadap buku “A Theory of A Good
City Form” karya Kevin Lynch (1981). Hasil dari proses studi literasi tersebut menghasilkan beberapa poin
pemahaman tentang dimensi Kesesuaian yang kemudian dibahas dengan melakukan studi empiris pada kasus
perkotaan, permukiman, maupun elemen di dalamnya.
3. Pembahasan
3.1 Pengertian Fit atau Kesesuaian
Fit atau kesesuaian adalah kelayakan atau kecocokan antara tempat dan pola perilaku secara keseluruhan.
Kesesuaian pada seorang individu merupakan sebuah rasa ‘competence-the ability’ (kompetensi-
kemampuan) untuk melakukan sesuatu dengan baik, sehingga menjadi layak atau cukup. Hal tersebut
akan menjadikan manusia berbuat sebaik-baiknya dalam tempat hidupnya agar mereka merasa nyaman,
termasuk merubah karakter fisik, seperti ukuran hingga pengaturan cahaya.
3.2 Dimensi Kesesuaian dalam Urban Desain
Kesesuaian yang sering dijumpai dalam urban desain dapat
terpancar dari perilaku masyarakat yang memodifikasi sebuah
tempat agar sesuai dengan cara mereka berperilaku, dan perilaku
berubah sesuai dengan tempat tertentu. Perilaku memodifikasi
sebuah tempat semacam itu sering dijumpai di negara-negara
berkembang terutama di fenomena-fenomena kampung kota
dimana masyarakat tinggal di kawasan yang relatif sempit.
Gambar 1. Menjemur Kasur di
Jalan Kesesuaian dalam urban desain dikaitkan dengan kenyamanan,
Sumber Dokumentasi Pribadi, 2016 kepuasan, dan efisiensi dalam pemenuhan kebutuha. Sedangkan
untuk menentukan ketidaksesuaian (misfit) dari suatu lingkungan terbangun, dapat dilihat dari ‘ada
tidaknya’ fasilitas pendukung didalamnya karena manajemen kota biasanya lahir dari fungsi.
Aspek pembentukan kawasan dengan programmatik tertentu nantinya tetap akan terpengaruh oleh
adaptasi perilaku terkait perubahan yang dialami masyarakat sebagai pelaku utama kawasan tersebut.
Sebuah desain kawasan yang terkait dengan perilaku masyarakat yang biasanya sudah disiapkan dengan
programmatik tertentu nantinya tetap akan terpengaruh oleh adaptasi perilaku terkait perubahan yang
dialami masyarakat sebagai pelaku utama kawasan tersebut. Oleh karena itu kesesuaian suatu desain
terkait dengan perilaku masyarakat perlu untuk dianaliisis. Dengan demikian nantinya bisa diketahui
klasifikasi tingkat kesesuaian pada suatu lingkungan. Proses yang harus dilalui adalah melakukan
observasi (pengamatan, wawancara hingga studi literatur khususnya mengenai adat budaya) pada lokasi
dan pola tingkah laku penggunanya → karakteristik kota → klasifikasi → uji kecocokan/ kelayakan.
Di samping itu, pada hakikatnya perencanaan kawasan tanpa detail programatik tertentu akan
menemukan Kesesuaian yang optimal ketika lingkungan yang tercukupi dan memiliki nilai adaptabilitas
yang tinggi akan memenuhi kebutuhan masyarakat secara utuh.
Dalam pemenuhan kesesuaian didalam perancangan kota dan permukiman ditemukan beberapa kendala
yaitu :
a. Tidak ada metode yang dapat sepenuhnya menangani masalah yang muncul pada sebuah
lingkungan.
b. Analisis rumit, karena banyaknya kepentingan yang harus dipikul khususnya pada tempat tempat
umum, sehingga masalah terhadap desain sering muncul, seperti, penyediaan wilayah yang
tumpang tindih, pergeseran penggunaan, dan aturan toleransi.
c. Banyak pengaturan yang dengan sengaja mendukung beberapa kelompok dominan
(stakeholder).

Gambar 2. Contoh Kasus Pruitt Igoe


Sumber : http://www.theguardian.com/artanddesign/2012/feb/26/pruitt-igoe-myth-film-review Diakses 27 Oktober
2018 daily.mail.uk , Diakses 28 Oktober 2018

Contoh kasus yang merupakan contoh kegagalan pemenuhan dimensi kesesuaian di dalam
perkotaan adalah kasus Pruitt Igoe di St Louis Amerika Serikat dimana Pruitt Igoe yang awalnya
merupakan sebuah solusi permukiman dengan harga sewa yang rendah untuk mengawali
program Urban Renewal yang berkembang sekitar tahun 1950an. Pruitt Igoe yang awalnya
dijuluki penthouse untuk si miskin justru malah menjadi boomerang permasalahan kota dalam
kurun waktu dua dekade karena tidak terselesaikannya masalah terkait kesesuaian pada perilaku
dan tempat dimana masyarakat tinggal.
Solusi yang biasa dilakukan adalah dengan
membentuk memecahkan permasalahan
ketidaksesuaian tersebut lewat pembagian suatu
wilayah ke dalam banyak pengaturan yang lebih
kecil (kompartemen) sehingga perilaku yang
berbeda dapat berkembang tanpa konflik dalam
pengaturan yang tepat untuk diri mereka sendiri.
Penyelesaian permasalahan tersebut dapat
dilakukan dengan cara menyadarkan masyarakat

Gambar 3. Rumah Deret Barangay CUpang, Filipina


Seperti yang telah dilakukan oleh Homeless
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018 People Federation Phillippiness (masyarakat) dan
TAMPEI sebagai teknisi arsitek, dimana mereka
melakukan pemetaan partisipatif pada setiap barangay (kelurahan di Filipina) untuk dapat mengenali
permukimannya serta membangun kekuatan mereka dengan menabung dan capacity building sehingga
mereka dapat melakukan penyelesaian permasalahan lingkungan dengan menyelenggarakan
permukiman baru yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai bentuk adaptasi hidupnya. Salah satu
contohnya adalah pembangunan rumah deret di sekitar danau di Barangay Cupang sebagai bentuk
relokasi warga dari lingkungan yang berbahaya

3.3 Adaptabilitas
Adaptabilitas adalah tingkat kemampuan sebuah lingkungan terbangun untuk dapat mengakomodasi
pelaku didalamnya dalam beradaptasi. Lingkungan yang mendukung akan membuat pelaku yang dalam
konteks ini adalan masyarakat dapat beradaptasi dengan baik. Paradigma kehidupan di masyarakat yang
akan selalu berubah membutuhkan wadah yang dapat mengakomodasinya dengan baik. Tingkat
adaptabilitas dari sebuah kawasan yang dirancang harus bisa memperhatikan dua aspek penting yaitu
tentang tingkat fleksibilitas kawasan dan prediksi mengenai kawasan tersebut kedepannya.
Fleksibilitas sebuah kawasan bisa dinilai dari berapa banyak fungsi yang dapat diaplikasikan pada kawasan
tersebut. RRuang fleksibel seperti ini akan sangat menunjang kebutuhan ruang-ruang publik di kawasan
urban.
Contoh dari fleksibilitas dapat dilihat pada fungsi alun-alun Keraton Solo yang memiliki fleksibilitas fungsi
yang terlihat nyata dari awal mula berdirinya keraton, fungsi alun-alun hanyalah berupa sarana
bertemunya raja dengan rakyatnya. Namun seiring berjalannya waktu, alun-alun Solo kemudian menjadi
ruang bagi masyarakat untuk beraktivitas baik itu yang terkait dengan keraton seerti grebeg dan sekaten
ataupun aktivitas-aktivitas lain pada masyarakat. Pada tahun 2014 pasca terbakarnya Pasar Klewer, alun-
alun Utara Solo mampu mewadahi relokasi sementara para pedagang selama Pasar Klewer direnovasi.

Gambar 4. Fleksibelitas Ruang Kota dari 1970an – 2014


Sumber : https://history1978.wordpress.com/2009/10/16/foto-solo-tempo-doeloe/;
http://solo.tribunnews.com/2016/11/22/perayaan-sekaten-2016-di-solo-hanya-digelar-17-hari;
https://solo.uri.co.id/read/12069/2017/07/pedagang-pasar-klewer-timur-akan-tempati-separuh-alun-alun-utara-solo. Diakses
30 Oktober 2018

Aspek yang kedua adalah prediksi masa depan terhadap sebuah kawasan dalam menganalisis
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Proses analisis tersebut akan menghasilkan beberapa
solusi alternatif dalam menentukan desain pengembangan kawasan. Tingkat adaptability yang didapat
berdasarkan faktor prediksi ini dapat terhitung dari berkurangnya biaya yang akan dikeluarkan di masa
depan dan yang ada pada saat ini terhadapi sistem spasial ruang dan aktifitas dari kemungkinan prediksi
masa depan.
Memprediksi kebutuhan dari fakta-fakta yang berkembang di
Jakarta sekarang menjadi contoh tentang penerapan aspek
prediksi dalam merencanakan pengembangan lingkungan
terbangun. Jakarta menerima pendatang 60-70 ribu orang per
tahun dan akan terus bertambah. Pendatang tersebut kebanyakan
adalah pekerja yang membutuhkan kecepatan akses. Fenomena
Jakarta yang terus mengalami kemacetan walaupun sudah
tersedia KRL terus terjadi, bahkan fenomena penuh sesak KRL
Gambar 5. Rencana Jalur MRT Jakarta
sudah tidak bisa dielakkan lagi. Fenomena tersebut akan semakin Sumber :https://Wikipedia.com;. Diakses
30 Oktober 2018
parah setiap tahunnya, mengingat jumlah pendatang ke Jakarta
akan terus bertambah. Oleh karena itu pemerintah menyiapkan fasilitas MRT sebagai respon dari prediksi-
prediksi tersebut.
Perencanaan dan perancangan kota pada lingkungan terbangunharus memperhatikan keberlangsungan
lingkungan tersebut menuju perkembangan yang berkelanjutan dan tidak menggiring ke arah
pembangunan yang akan membawa kehancuran. Dari hal tersebut tingkat adaptabilita dapat
diformulasikan menjadi dua bentuk sederhana untuk dapat menilai/mengukurnya yaitu dengan cara
sebagai berikut :
a. Manipulabilitas (kemampuan merekayasa)
Kemampuan dalam merekayasa disini adalah tentang kemampuan suatu kawasan dalam
membuat/merekayasa fungsi dari ruang yang dikembangkannya sehingga. Perhitungan
manipulabilitas terhadap tingkat adaptabilitas pada pengembangan suatu kawasan dapat dilihat dari
kesesuaian perilaku manusia terhadap kawasan
tersebut dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Manipulabilitas dapat dilihat pada contoh
pengembangan kawasan TOD dimana sebuah
kawasan didesain untuk bisa mengarahkan gaya
hidup masyarakat dengan memusatkan area-
area pemenuhan kebutuhannya di satu simpul.
Gambar 6. Manipulabilitas Kawasan TOD Seoul Express Perencanaan desain tersebut dilakukan dengan
Sumber : https://maps.googlr.com Diakses 30 Oktober 2018
membuat lingkungan terbangun di lokasi
simpul TOD tidak menyulitkan bagi masyarakat untuk beradaptasi dan megubah perilakunya sesuai
dengan konsep yang diharapkan. Upaya untuk mencapai hal tersebut meliputi mendesain elemen-
elemen rancang kota seperti pengaturan land use, blok, jalan, dan ruang terbuka yang memiliki tingkat
adaptabilitas yang tinggi
b. Reversibilitas (kemampuan mengembalikan fungsi)
Reversibility memiliki makna mengembalikan fungsi suatu kawasan seperti sedia kala atau dengan kata
lain melakukan pemulihan fungsi dari suatu kawasan untuk menghindari permasalahan-permasalahan
yang lebih rumit kedepannya. Reversibility memiliki pengaruh yang lebih dalam pada kasus-kasus
pemulihan fungsi-fungsi lahan daripada fungsi fisik bangunan. Contohnya adalah pengembalian fungsi
lahan pertanian di wilayah sub-urban dengan mengupayakan beberapa hal. Menurut Widiatini , et al
(2014) memberikan contoh kasus penelitian Tabanan, Bali merupakan salah satu contoh kawasan
suburban yang lahan pertaniannya semakin habis karena banyaknya lahan pertanian yang diubah
menjadi hotel dan kawasan wisata. Beberapa kalangan masyarakat mengajukan usulan perlindungan
terhadap lahan mereka kepada pemerintah, supaya terwujud peraturan yang kongkret terkait
pemanfaatan lahan di wilayah Tabanan ini. Contoh lain adalah pengembalian tanah lapang bekas
Perang Dunia ke II di daerah Inggris yang sebelumnya sudah dibangun pusat perbelanjaan
dikembalikan fungsinya sebagai lahan konservasi bekas jajahanqk dengan menggunakan sistem
Transfer Development System. Upaya tersebut dikenal pula dengan sebutan Landscape Reservation.
Contoh proses reversibilitas yang paling nyata adalah ketika dilakukannya Pemulihan Kawasan Pasca
Bencana. Menurut Linch (1981),
pemulihan pasca bencana untuk
mengembalikan permukiman-
permukiman kembali tergantung pada
tiga aksi utama yaitu :
 Menyelamatkan SDM
 Mendistribusikan material
bangunan
 Melakukan pembagunan yang Gambar 7. Proses Pemulihan Pasca Tsunami di Jepang
Sumber : Toshifumi Kitamura/AFP/Getty Images
cepat tanggap

Lynch (1981) juga menambahkan bahwa pemulihan pasca bencana tidak hanya dilakukan pada proses
pembangunan secara fisik tapi tentang
aspek-aspek non fisik guna menghindari
dampak-dampak negative yang berlebihan
terjadi pasca bencana.

Di Jepang proses reversibilitas pasca


bencana dapat dilakukan dalam tempo yang
sangat cepat. Hal tersebut dapat terjadi
karena kesiapsiagaan pemerintah maupun
warga Jepang dalam menghadapi bencana
Gambar 8. Drill Mitigasi sebagai Bagian dari Kurikulum
Pelajaran Pendidikan Dasar sudah sangat tinggi karena pendidikan terkait
Sumber : Toshifumi Kitamura/AFP/Getty Images
kesiapsiagaan mitigasi bencana pada setiap
tahap, dalam hal ini adalah tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca bencana sudah diajarkan dari
bangku pendidikan dasar sebagai wujud menyiapkan pembangunan dari aspek non fisik (social-
masyarakat) sedini mungkin.

Manipulabilitas dan Reversibilitas disini adalah dimensi untuk mengukur tingkat adaptabilitas suatu
kawasan dan bukan merupakan sesuatu yang absolut. Tingkat adaptabilitas total dari suatu kawasan justru
akan membuat kawasan tersebut menjadi kehilangan karakternya. Didalam penerapan adaptabilitas perlu
dipertimbangkan dengan bijak tentang tingkat manipulabilitas yang akan diciptakan dan keputusan-
keputusan terkait kemungkinan yang terjadi di masa depan.

3.4 Upaya dalam Mewujudkan dan Memelihara Adaptabilitas


Kevin Linch (1981) mengemukakan bahwa terdapat beberapa upaya untuk mewujudkan Adaptabilitas
dari suatu kawasan dapat dicapai dengan melakukan beberapa strategi yaitu :
Tabel 1. Strategi Mewujudkan dan Memelihara Adaptabilitas
Memperbanyak kapasitas Menyediakan ruang bagi suatu kawasan untuk tumbuh
dikembangkan sebelumnya dengan memperbanyak kapasitas akan
efektif.
Menyediakan akses Melebarkan jaringan komunikasi dan transportasi dengan akses
yang baik. Akses yang baik dapat menjadi alat yang kuat untuk
menunjang adaptasi
Pembangunan secara Membuat standar ukuran yang dibuat secara modular, sehingga
modular akan mempermudah koneksi antar bagian dan mudah dijadikan
sebuah pola karena dinilai fleksibel
Melakukan pengelompokan Mengurangi tingkat interface antar bagian yang bertujuan jika ada
perubahan dalam suatu bagian tidak akan merusak bagian lainnya.
Variasi lain dalam upaya pengelompokan adalah dengan cara
mengelompokan berdasarkan jenis aktivitas dan tidak memberikan
batasan khusus diantara jenis-jenis aktivitas tersebut. Dengan
asumsi keberagaman aktivitas dapat mengurangi ambiguitas batas
teritori antar aktivitas.

Gambar 9. Kawasan Petronas dan KLCC


Sumber : http://www.kuala-lumpur.ws/attractions/petronas-twin-
tower.htm
Salah satunya adalah upaya yang dilakukan oleh Kota Kuala Lumpur
dalam mengelompokkan ruang-ruang perkantoran dan sarana
hiburan dalam satu kawasan yang tidak berbatas namun jelas
pengelompokannya.
Management Proccess Sebuah perencaanaan akan ada kaitannya dengan suatu
ketidakpastian. Kunci beradaptasi dengan cepat berada pada
manajemen yang cepat tanggap dan memiliki banyak informasi

Sumber : Kevin Linch (1981)

4. Kesimpulan
Dimensi Kesesuaian dapat menjadi tolak ukur terhadap teori normatif dalam membentuk kota yang baik.
Kesesuaian disini berbicara tentag sebuah lingkungan terbangun dapat mengakomodasi kebutuhan perilaku
manusia yang tinggal di dalamnya. Manusia, dalam topik kali ini adalah masyarakat yang berkaitan lingkungan
terbangun perkotaan. Tingkat kesesuaian antara perilaku masyarakat dan tempat tinggalnya dapat dillihat dari
tingkat adaptabilitas dari kawasan tersebut yang melihat dari sisi fleksibelitas dan prediksi masa depan dari
kawasan tersebut. Tingkat adaptabilitas kemudian dapat diukur juga dari kemampuan rekayasa
(manipulabilitas) dan kemampuan pemulihan fungsi (reversibilitas) dari sebuah kawasan. Untuk meningkatkan
nilai adaptabilitas dari suatu kawasan sehingga dapat meningkatkan dimensi kesesuaiannya, terdapat
beberapa strategi yaitu memperbanyak kapasitas, menyediakan akses, pembangunan secara modular,
melakukan pengelompokan, dan manajemen proses
5. Referensi
Lynch, Kevin. 1981. A theory of good city form. Cambridge, Mass: MIT Press.
Moore, Rowan. Pruitt-Igoe: death of American urban dream. 26 Feb, 2012.
http://www.theguardian.com/artanddesign/2012/feb/26/pruitt-igoe-myth-film-review diakses 27 Oktober
2018
Widhiantini, et al. Involvement of The Actors in Conversion Control of Agricultural Land (Case Study in
Tabanan District, Bali Province). Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan | April 2016, hal 11-22

Anda mungkin juga menyukai