Anda di halaman 1dari 22

“BATASAN KESEHATAN REPSODUKSI DALAM BENCANA”

TUGAS KEPERAWATAN DISASTER

OLEH KELOMPOK 2

Irwan

Liza Emilda

Meri Yusnita

Betris Melda

Hanifah Halim

Delvia Nora

Wellycia

Nidya Sari

Weni Zuryati

Siti Nurhikmah

Fitri Annisa

Yolanda Putri Abdari

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya. Shalawat beserta salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada Nabi besar
kita yakninya Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membawa umatnya dari
zaman jahiliyah kepada zaman yang penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan
pada saat sekarang ini.

Asuhan keperawatan ini penulis buat untuk melengkapi tugas kelompok.


Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga menjadi
ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Amin.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan supaya kita selalu berada di bawah lindungan
Allah SWT.

Padang, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. ............... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ……ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG .......................................………………………………………………. 1


B. TUJUAN ..................................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. DEFINISI REPRODUKSI DALAM BENCANA……………………………………….3


B. RUANG LINGKUP REPRODUKSI DALAM BENCANA..................................................3.
C. PERMASALAHAN ATAU ISSUE KESPRO YANG ADA PADA PASCA
BENCANA……………………………………………………………………………………4

D. CARA MENGATASI PERMASALAH KESPRO DALAM BENCANA……….. ………4


E. MIPS atau PPAM…………………………………………………………………
F. PENGGUNAAN MIPS DALAM MASALAH KESEHATAN REPSODUKSI
DALAM BENCANA……………………………………………………………………….6

G. SISTEM PERUJUKAN DALAM KEADAAN BENCANA, KHUSUS UNTUK


MASALAH KESEHATAN REPRODUKS……………………………………………..14

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………16

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sejak tahun 2008 telah mengembangkan program
pelayanan kesehatan reproduksi pada situasi bencana yang diimplementasikan di seluruh
Indonesia. Pada saat itu, upaya ini menggunakan pedoman pelayanan kesehatan reproduksi
pada situasi bencana yang diterjemahkan langsung dari pedoman internasional Inter-agency
Working Group (IAWG) on Reproductive Health in Crises. Sejak tahun 2014, pedoman tersebut
telah diadaptasi ke dalam konteks lokal Indonesia dengan diterbitkannya Pedoman Paket Pelayanan
Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan. Pedoman PPAM Kesehatan
Reproduksi disusun berdasarkan pengalaman lapangan dan praktik pelayanan kesehatan
reproduksi pada situasi bencana sejak tahun 2004, ketika bencana Tsunami Aceh sampai
bencana yang terjadi di tahun 2017.
Selama hampir satu dekade pelayanan kesehatan reproduksi pada krisis kesehatan telah
dikembangkan, namun pelaksanaannya di lapangan masih belum sesuai harapan.Tantangan
dalam implementasi PPAM antara lain:belum adanya pemahaman tentang pentingnya pelayanan
kesehatan reproduksi pada situasi bencana/krisis kesehatan oleh stakeholder, petugas belum terlatih,
mutasi petugas, dsb. Di samping itu juga lemahnya koordinasi antar sektor, organisasi, lembaga mitra
penyedia pelayanan kesehatan reproduksi saat krisis kesehatan.
Tahun 2014, Indonesia mulai menerapkan sistem klaster dalam upaya penanggulangan
bencana. Pendekatan klaster dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam
penanggulangan bencana melalui kemitraan dengan berbagai pihak dibawah koordinasi BNPB dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Klaster kesehatan terdiri dari beberapa sub
klaster, yang masing masing bertanggung jawab terhadap bidang kesehatan tertentu. Salah
satunya adalah sub klaster kesehatan reproduksi yang bertanggung jawab terhadap penyediaan
dan pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi.
Dengan diterapkannya sistem klaster ini maka penyediaan pelayanan kesehatan reproduksi
melalui PPAM pada situasi bencana/ krisis kesehatan, diharapkan dapat meningkat melalui
koordinasi yang erat antara klaster maupun antara anggota subklaster dan memaksimalkan
seluruh potensi dan sumber daya untuk upaya pemenuhan hak reproduksi, utamanya bagi
kelompok rentan seperti ibu hamil, bersalin, pascapersalian, anak bayi baru lahir, remaja dan
wanita usia subur.

4
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang batasan kesehatan repsoduksi dalam
bencana
b. Tujuan khusus
1. Mengetahui Definisi kesehatan reproduksi saat bencana
2. Mengetahui ruang lingkup kesrp saat bencana
3. Mengetahui permsalahan dan issue kespro dalam bencanan
4. Mengetahui cara mengatasi kesehatan kespro dalam bencana
5. Mengetahui PPAM
6. Mengetahui Penggunaan PPAM dalam bencana
7. Mengetahui sistim perujukan kesehatan reproduksi dalam bencana

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI REPRODUKSI DALAM BENCANA


Sub klaster kesehatan reproduksi merupakan bagian dari klaster kesehatan yang
bertanggung jawab terhadap tersedia dan terlaksananya pelayanan kesehatan reproduksi pada
krisis kesehatan untuk mengurangi risiko kesakitan dan kematian kelompok rentan kesehatan
reproduksi. Sub klaster kesehatan reproduksi dibentuk di tingkat pusat hingga di tingkat daerah
secara berjenjang, berfungsi dan berkoordinasi sejak pra krisis, saat krisis dan paska krisis
kesehatan.
Sub klaster kesehatan reproduksi mempunyai anggota lembaga pemerintah, swasta,
organisasi profesi dan masyarakat penggiat kesehatan reproduksi. Sub klaster kesehatan
reproduksi diketuai seorang koordinator yang mengkoordinir komponen komponen dalam
PPAM kesehatan reproduksi yaitu kekerasan berbasis gender, pencegahan penularan HIV,
kesehatan maternal dan neonatal, logistik serta kesehatan reproduksi remaja. Untuk setiap
komponen PPAM kesehatan reproduksi ditunjuk seorang penanggung jawab komponen.

B. RUANG LINGKUP REPRODUKSI DALAM BENCANA


Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis kesehatan dilakukan
melalui Paket Awal Pelayanan Minimum (PPAM) kesehatan reproduksi yang
diselenggarakan sesegara mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap darurat
krisis kesehatan unutk mencegah dampak lanjut krisis kesehatan. Sedangkan pada
tahap prakrisis kesehatan dan pasca krisis kesehatan, pelayanan dilakasanakan melalui
penerapan pelayanan kesehatan reproduksi berdasarkan tahapan krisis kesehatan pada
tabel:

Tahap Bencana Kegiatan


Prakrisis kesehatan Pembentukan kesehatan reproduksi,
pelatihan PPAM, Advokasi, Sosialisasi,
Penyusunan Kebijakan, Penyusunan
Pedoman
Tanggap darurat kesehatan Penerapan Paket Pelayanan Awal
Minimum Kesehatan Reproduksi
Pascakrisis kesehatan PerencanaanKesehatan Reproduksi

6
Komprehensif, Perbaikan Fasilitas
PONED dan PONEK

Ruang Lingkup:
- Ibu dan Anak
- Pelayanan KB
- IMS/HIV Aids
- Kesehatan Reproduksi Pada Remaja
- Kekerasan Seksual
C. PERMASALAHAN ATAU ISSUE KESPRO YANG ADA PADA PASCA
BENCANA
a. Permasalahan kekerasan seksual pada anak
Korban perempuan lebih banyak dibanding korban laki-laki saat terjadi
bencana alam seperti gempa dan tsunami. Dari sekitar 400 ribu orang. Anak
atau perempuan termasuk kelompok rentan. Perempuan dengan segaa kondisi
seperti menyusui, menstruasi dan melahirkan.
b. Permasalahan penularan HIV
HIV meningkat saat bencana karena pada saat terjadi bencana sering terjadi
proses treanfusi dara yang tidak aman atau tidak melalui skrining, ini
disebabkan karena daerah bencana merupakan daerah terisolir.
c. Permasalahan meningkatkanya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal

D. CARA MENGATASI PERMASALAH KESPRO DALAM BENCANA

Pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat – khususnya bagi


perempuan dan anak – menjadi penting, karena lebih dari 50% pengungsi korban
bencana adalah perempuan dan anak. Data dari The United Nations Population
Fund (UNFPA) menunjukkan bahwa dari total populasi perempuan di tempat
pengungsian, 25% di antaranya berada di usia produktif. Lebih lanjut, data dari
UNFPA juga menunjukkan bahwa dari total populasi perempuan yang berada di usia
produktif tersebut, 2% di antaranya mengalami kekerasan seksual. Selain kasus
kekerasan seksual, masalah-masalah terkait kehamilan juga turut menghantui korban
bencana di lokasi pengungsian. Data dari sumber yang sama menunjukkan bahwa
20% kehamilan yang terjadi di saat krisis akan berakhir dengan keguguran, atau

7
aborsi yang tidak aman. Hal inilah yang berusaha dicegah oleh PKBI dan BNPB,
melalui Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi.
Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi PKBI dibagi ke dalam tiga
tahap: tahap pra-bencana, tahap saat bencana, dan tahap pasca-bencana. Tahap pra-
bencana mencakup berbagai upaya seperti pelatihan penyedia layanan dan relawan,
pertemuan koordinasi dengan berbagai stakeholders, serta pengadaan kit kebersihan
(hygiene kit) dan kit kesehatan reproduksi (reproductive health kit). Isi kit kebersihan
mencakup persediaan sanitasi seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, pakaian dalam,
ember, serta alat-alat kebersihan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Kit
kesehatan reproduksi, di sisi lain, dibagi ke dalam tiga paket (block) berdasarkan level
fasilitas kesehatan di tempat kit tersebut disediakan.
Block pertama berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga
kesehatan di level komunitas; seperti alat-alat kebersihan, kondom, pil KB, dan obat-
obatan IMS. Block kedua berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga
kesehatan di level rumah sakit; seperti alat bantu persalinan. Sedangkan block ketiga
berisi alat-alat kesehatan reusable, yang ditujukan untuk kebutuhan operasi; seperti
alat bedah dan transfusi darah
Tahap selanjutnya – saat bencana – mencakup upaya-upaya langsung yang
dilakukan di situs bencana; mulai dari mengirim tim respon, penyediaan layanan
konsultasi dan kesehatan reproduksi, serta pembagian kit kebersihan dan kit kesehatan
reproduksi. Tahap terakhir – pasca-bencana – mencakup upaya-upaya terkait evaluasi
program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi dan identifikasi rekomendasi untuk
program selanjutnya. Tahap pasca-bencana juga beririsan dengan tahap pra-bencana,
karena dalam tahap ini, tim PPAM akan mulai melakukan upaya-upaya mitigasi
seperti yang tercantum dalam tahap pra-bencana.
Cara mengatasi permasalahn kespro dalam bencana:
1. Pendataan anggota di masing-masing camp pengungsian
2. Pemberdayaan masyarakat seperti mengumpulkan tokoh agama, guru atau
masyarakat yang memiliki potensi atau sumber daya manusia yang bisa
dimanfaatkan
3. Memisahkan tenda
4. Memisahkan toilet laki dan perempuan

8
E. MIPS atau PPAM
Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi sejak awal bencana/krisis kesehatan
dilakukan melalui pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Sasaran PPAM adalah
penduduk yang merupakan kelompok rentan kesehatan reproduksi yaitu bayi baru lahir, ibu
hamil, ibu bersalin, ibu pascapersalinan, ibu menyusui, anak perempuan, remaja dan wanita usia
subur.
PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus
segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dalam rangka menyelamatkan jiwa
pada kelompok rentan. PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada saat fasilitas pelayanan
kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi sulit
terjangkau oleh masyarakat terdampak.
PPAM kesehatan reproduksi diterapkan pada semua jenis bencana, baik bencana
alam maupun non alam. Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan reproduksi disesuaikan
dengan hasil penilaian kebutuhan awal, yang dilakukan oleh petugas kesehatan di
lapangan/anggota sub klaster kesehatan reproduksi. Jika PPAM kesehatan reproduksi tidak
dilaksanakan, akan memiliki konsekuensi: 1) meningkatnya kematian maternal dan neonatal, 2)
meningkatnya risiko kasus kekerasan seksual dan komplikasi lanjutan, 3) meningkatnya
penularan Infeksi Menular Seksual (IMS), 4) terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan
aborsi yang tidak aman, 5) terjadinya penyebaran HIV.

Tabel 1. Tabel penjelasan PPAM Reproduksi.

Paket Kegiatan, koordinasi, perencanaan dan logistik.


Paket tidak berarti sebuah kotak tetapi
mengacu pada strategi yang mencakupkan
koordinasi, perencanaan, supplies dan
kegiatan-kegiatan kesehatan seksual dan
reproduksi

Pelayanan Pelayanan kesehatan reproduksi yang


diberikan kepada penduduk terdampak

Awal Dilaksanakan sesegera mungkin dengan


melihat hasil penilaiaan kebutuhan awal.

Minimum Dasar, terbatas

9
Tabel 2. Tabel pelaksanaan PPAM dalam keadaan krisis

Tahap
Krisis Kegiata
Kesehatan n
Prakrisis kesehatan R Pembentukan sub klaster kesehatan
reproduksi Advokasi dan sosialisasi
R
PPAM
R Pelatihan dan orientasi
PPAM Penyusunan
R kebijakan Penyusunan
NSPK Penyediaan
R
logistik PPAM
R
Tanggap darurat R Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum
krisis kesehatan (PPAM)
Pascakrisis R Perencanaan kesehatan reproduksi
kesehatan komprehensif
RH kit (kit kesehatan reproduksi) dirancang untuk dipakai selama periode 3 bulan untuk dalam jumlah penduduk yang bervariasi dan dibagi menjadi 3 blok sbb:

Blok 1
6 kit untuk dipakai di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan dasar untuk 10,000 penduduk/ 3 bulan

No Kit Nama Kode Warna


Kit
Kit 0 Kit Administrasi Oranye
Kit 1 Kit kondom Merah
Kit 2 Di Indonesia Kit nomor 2 tidak diadaptasi Biru tua
Kit 3 Kit Perawatan Korban Perkosaan Merah muda
Kit 4 Kit Kontrasepsi Oral dan Suntik Putih
Kit 5 Kit Pengobatan Penyakit Menular Seksual Biru Kehijauan
Blok I terdiri dari 6 kit. Setiap kit ditujukan untuk dipakai oleh petugas kesehatan yang memberikan layanan kesehatan reproduksi di tingkat masyarakat dan tingkat
layanan dasar. Kit-kit ini terutama terdiri dari obat-obatan dan bahan habis pakai. Kit 1, 2 dan 3 dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian A dan B, yang dapat dipesan
secara terpisah.

Blok 2
5 kit untuk dipakai di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan untuk 30,000/3 bulan
No Kit Nama Kode warna
Kit
Kit 6 Kit Pertolongan Persalinan di Klinik Coklat
Kit 7 Kit Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD) dan Hitam
Pencabutan Implant
Kit 8 Kit Penanganan Keguguran dan Komplikasi Kuning
Kit 9 Kit Jahitan Robekan Leher Rahim dan Vagina dan Ungu
Pemeriksaan Vagina
Kit 10 Kit Persalinan dengan Ekstraksi Vacuum Abu-abu
Blok 2 terdiri dari 5 kit yang berisi bahan habis pakai dan bahan pakai ulang. Item di dalam kit ini ditujukan untuk dipakai oleh tenaga kesehatan terlatih dengan
tambahan ketrampilan kebidanan, ketrampilan obstetric dan neonatal tertentu di tingkat layanan kesehatan dan rumah sakit.

Blok 3
2 kit untuk dipergunakan di tingkat rumah sakit rujukan untuk 150,000/ 3 bulan
No Kit Nama Kode warna
Kit
Kit 11 Kit Tingkat Rujukan untuk Kesehatan Reproduksi Hijau fluoresen
Kit 12 Kit transfusi darah Hijau tua
Blok 3 terdiri dari 2 kit yang berisi dari bahan habis pakai ulang untuk memberikan pelayanan obstetrik neonatal emergency komprehensif (PONEK) di tingkat
rujukan (bedah kebidanan). Diestimasikan bahwa rumah sakit di tingkat ini menangani penduduk sekitar 150,000 orang. Kit 11 terdiri dari 2 bagian, A dan B yang
biasanya dipakai bersama tapi dapat dipesan secara terpisah.

F. PENGGUNAAN MIPS DALAM MASALAH KESEHATAN REPSODUKSI


DALAM BENCANA

10
PPAM dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan kelompok rentan kesehatan reproduksi
yang terdampak bencana seperti ibu hamil, bersalin, pascapersalinan, bayi baru lahir, remaja dan
WUS. Komponen PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan segera setelah mendapatkan
hasil penilaian dari tim kaji cepat di lapangan (tim RHA).
PPAM terdiri dari 5 komponen sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi koordinator PPAM Kesehatan Reproduksi
2. Mencegah dan menangani kekerasan seksual
3. Mencegah penularan HIV
4. Mencegah meningkatkanya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal
5. Merencanakan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan
terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi
stabil pascakrisis kesehatan

Selain komponen di atas, terdapat prioritas tambahan dari komponen


PPAM, yang harus disediakan adalah:

1. Memastikan suplai yang memadai untuk kelanjutan penggunaan


kontrasepsi dalam keluarga berencana (KB)
2. Melaksanakan kesehatan reproduksi remaja di semua komponen PPAM
3. Mendistribusikan kit individu

KOMPONEN KEG WAKTU


PPAM IAT RESPON
AN
Komponen 1: a. Menunjuk (mengaktifkan) a. 1 x 24 jam
Mengidentifikasi seorang koordinator untuk b. 1 x 24 jam

koordinator sub klaster mengkoordinir Lintas P/S c. 2 x 24 jam

Kesehatan lembaga lokal dan d. 1 x 24 jam

Reproduksi/PPAM internasional dalam


pelaksanaan PPAM Kespro
b. Melakukan pertemuan
koordinasi untuk
mendukung dan
menetapkan penanggung
jawab pelaksana di setiap
komponen
c. Melaporkan isu-isu dan
data terkait kesehatan

11
reproduksi, ketersediaan
sumber daya serta
logistik pada pertemuan
koordinasi
d. Memastikan
ketersediaan dan
pendistribusian RH
Kit

Komponen 2: a. Melakukan perlindungan a. 1x 24 jam setelah


Mencegah dan bagi penduduk yang bencana
menangani kekerasan terkena dampak terutama (khususnya pada
seksual pada perempuan dan anak- bencana akibat
anak. konflik sosial)
b. Menyediakan pelayanan b. Pelayanan
medis bagi korban tersedia 24 jam
termasuk pemberian pertama setelah
profilaksis pasca pajanan bencana, dan
dan kontrasepsi darurat pemberian
(dalam 72 jam) dan profilaksis
dukungan psikologis awal diberikan dalam
(PFA) bagi penyintas 72 jam pasca
perkosaan perkosaan
c. Memastikan masyarakat c. 48 jam
mengetahui informasi d. 72 jam
tersedianya pelayanan
medis, dukungan
psikologis awal, rujukan
perlindungan dan bantuan
hukum
d. Memastikan adanya
jejaring untuk
pencegahan dan
penanganan kekerasan
seksual

12
KOMPONEN PPAM KEGIATAN WAKTU RESPON

Komponen 3: a. Memastikan a. 1x 24 jam pasca


Mencegah penularan tersedianya transfusi bencana
HIV darah yang aman b. 1x 24 jam pasca
b. Memfasilitasi dan bencana
menekankan penerapan c. Poin c dan d
kewaspadaan standar dilaksanakan
c. Pemberian profilaksis pasca dalam 1 x 24 jam
pajanan pasca bencana
d. Ketersediaan obat ARV e. 72 jam,
e. Memastikan ketersediaan berkoordinasi
kondom
dengan tim
logistik mengenai
ketersediaan alat
kontrasepsi

13
Komponen 4: Mencegah a. Memastikan adanya Semua langkah-
meningkatnya kesakitan tempat khusus untuk langkah pada
dan kematian maternal bersalin di beberapa komponen 4
dan neonatal tempat seperti pos
dilakukan pada 24
kesehatan, di lokasi
jam setelah
pengungsian atau di
tempat lain yang sesuai bencana
b. Memastikan tersedianya
pelayanan (tenaga yang
kompeten dan alat serta
bahan yang sesuai standar)
persalinan normal dan
kegawatdaruratan maternal
dan neonatal (PONED dan
PONEK)
di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan
rujukan
c. Membangun sistem
rujukan untuk
memfasilitasi transportasi
dan komunikasi dari
masyarakat ke puskesmas
dan puskesmas ke rumah
sakit
d. Memastikan tersedianya
perlengkapan persalinan
(kit ibu hamil, kit
pascapersalinan, kit
dukungan persalinan) yang
diberikan pada ibu hamil
yang akan melahirkan
dalam waktu dekat
e. Memastikan masyarakat
mengetahui adanya
layanan pertolongan
persalinan dan
kegawatdaruratan
maternal dan neonatal
f. Ketersediaan alat
kontrasepsi yang
mencukupi
a. Alat dan Sarana Penunjang lainnya

(1) Tenda Kesehatan Reproduksi

14
Apabila tidak tersedia ruangan/tenda untuk pelayanan kesehatan reproduksi
di posko kesehatan, maka tenda kesehatan reproduksi harus disediakan.
Ukuran minimal tenda kesehatan reproduksi di lapangan 4 x 6 meter. Tenda ini
dimanfaatkan untuk melaksanakan pemeriksaan KIA/ANC, persalinan dan
juga konseling tentang kesehatan reproduksi serta menyusui. Tenda
kesehatan reproduksi harus bersifat privasi.

(2) Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Kesehatan


Reproduksi

Dalam situasi krisis kesehatan, pengungsi perlu diberi informasi tentang


pelayanan kesehatan reproduksi yang tersedia di lokasi pengungsian, seperti
informasi tempat, jenis, dan jadwal pelayanan kesehatan reproduksi,
pendistribusian bantuan dan topik penyuluhan kesehatan reproduksi.
Media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kesehatan reproduksi dapat
berupa poster, spanduk, mobil penerangan, radio, dan media lainnya yang
bermanfaat bagi pengungsi, seperti kipas kertas dan baju kaos. Tidak
dianjurkan memberikan media KIE dalam bentuk leaflet/brosur/flyer
karena akan menimbulkan limbah di tempat pengungsian
(3) Peralatan penunjang lain

Peralatan penunjang ini digunakan untuk mendukung pelaksanaan


pelayanan kesehatan reproduksi di situasi krisis kesehatan seperti generator,
obsgyn bed, tempat pembuangan limbah, dll.

15
(4) Alat bantu perlindungan diri

Pada situasi krisis kesehatan dan bencana dimana keadaan menjadi tidak
stabil, tindak kejahatan seksual dapat terjadi bahkan meningkat terutama
pada populasi rentan, yaitu perempuan dan anak. Upaya pencegahan dan
kewaspadaan diri perlu ditingkatkan, misalnya dengan memberikan peralatan
sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan dan anak untuk
pencegahan kekerasan seksual seperti senter (untuk membantu
penerangan), peluit (sebagai alarm tanda bahaya), dll.

G. SISTEM PERUJUKAN DALAM KEADAAN BENCANA, KHUSUS UNTUK


MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI
Tindakan operasional dari rencana kesiapsiagaan dibedakan menjadi respon awal dan
respon lanjutan.
1. Respon awal
a. Penentuan tingkat wewenang penanganan bencana: tingkat kabupaten/
provinsi/ nasional
Tim siaga Tim siaga
kesehatan kesehatan
Bencana reproduksi reproduksi
Tidak tertangani

kabupaten provinsi

Tidak tertangani

Tim siaga
Tim siaga kesehatan reproduksi PPK
kesehatan
Pusat
reproduksi
Tidak tertangani
kabupaten

Keterangan
Dalam hal terjadi bencana, maka tanggung jawab pertama upaya penanganan
kesehatan reproduksi ada pada tingkatan kabupaten/kota. Manakala masalah
kesehatan reproduksi yang timbul tidak tertangani oleh tim tingkat kabupaten,
maka upaya penanganan akan mendapatkan dukungan dari tingkat diatasnya.
b. Meningkatkan tim siagan kespro ke dalam koordinasi Badan Penanggulangan
Bencana

16
2. Mobilisasi tim siaga kesehatan reproduksi untuk melakukan penilaian awaldan
kegiatan lain secara simultan sesuai fungsi dari masing-masing sub tim.
1) Tujuan
- Untuk mengukur besarnya masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
akibat bencana, dampak yang terjadi maupun yang mungkin terjadi terhadap
kesehatan reproduksi
- Menjadi acuan bagi upaya kesehatan reproduksi yang tepat dalam
penanggulangan dampak bencana terhadap reproduksi
2) Penanggung jawab : coordinator bidang penilaian siaga kesehatan
reproduksi
3) Waktu pelaksanaan : terintegrasi dalam penilaian kesehatan secara
umum, dan waktu pelaksanaannya tidak lebih dari 72 jam setelah
bencana.

Sistem rujukan menurut Sistem Kesehatan Nasional Depkes RI 2015,


merupakan suatu system penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan
pelimpahan tanggung jawab timbal balikterhadap satu/lebih kasus penyakit atau
masalah kesehatan yang secara vertical berasal dari unit berkemampuan kurang
kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya. Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan
pelayanb[an kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab
pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib
dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan
seluruh fasilitas kesehatan.

Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:

a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama;

b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan

c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar


yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat

17
kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan spesialistik. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan
kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi
sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub
spesialistik.

Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama


dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundang- undangan yang berlaku. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang
tidak sesuai dengan sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang
tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.
Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS Kesehatan
akan melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas kesehatan tersebut dan dapat
berdampak pada kelanjutan kerjasama.

Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.


Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan
yang sifatnya sementara atau menetap. Rujukan vertikal adalah rujukan yang
dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari
tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau
sebaliknya.

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan


pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:

a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;

b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan


pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.

c. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan
yang lebih rendah dilakukan apabila:

18
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;

b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik
dalam menangani pasien tersebut;

c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan


pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan
pelayanan jangka panjang; dan/atau

d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan


pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan. Sistem
rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis,
yaitu:

a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama.

b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua.

c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes primer.

d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.

Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes


tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya,
merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier. Ketentuan
pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:

a. Terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan


yang berlaku.

b. Bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah.

19
c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan.

d. pertimbangan geografis; dan

e. pertimbangan ketersediaan fasilitas.

Pelayanan oleh bidan dan perawat

a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan


kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/ atau
dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecualidalam kondisi gawat
darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar
kompetensi dokter dan/ atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama.

Rujukan Parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi


pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi,
yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.

Rujukan parsial dapat berupa:

a. Pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan.

b. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang

c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan


pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

20
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sub klaster kesehatan reproduksi mempunyai anggota lembaga pemerintah, swasta,
organisasi profesi dan masyarakat penggiat kesehatan reproduksi. Sub klaster kesehatan
reproduksi diketuai seorang koordinator yang mengkoordinir komponen komponen
dalam PPAM kesehatan reproduksi yaitu kekerasan berbasis gender, pencegahan
penularan HIV, kesehatan maternal dan neonatal, logistik serta kesehatan reproduksi
remaja. Untuk setiap komponen PPAM kesehatan reproduksi ditunjuk seorang penanggung
jawab komponen.
Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis kesehatan
dilakukan melalui Paket Awal Pelayanan Minimum (PPAM) kesehatan reproduksi
yang diselenggarakan sesegara mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap
darurat krisis kesehatan unutk mencegah dampak lanjut krisis kesehatan.
Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi sejak awal bencana/krisis kesehatan
dilakukan melalui pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Sasaran PPAM adalah
penduduk yang merupakan kelompok rentan kesehatan reproduksi yaitu bayi baru lahir,
ibu hamil, ibu bersalin, ibu pascapersalinan, ibu menyusui, anak perempuan, remaja dan
wanita usia subur.
PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus
segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dalam rangka menyelamatkan
jiwa pada kelompok rentan. PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada saat fasilitas
pelayanan kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi
sulit terjangkau oleh masyarakat terdampak

21
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI (2017). Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)


Kesehatan Reproduksi Pada Krisis Kesehatan. Jakarta :Kementrian Kesehatan RI

Kemenkes RI (2015). Buku pedoman paket pelayana awal minimum (PPAM) kesehatan
reproduksi pada krisis kesehatan. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI

22

Anda mungkin juga menyukai