OLEH KELOMPOK 2
Irwan
Liza Emilda
Meri Yusnita
Betris Melda
Hanifah Halim
Delvia Nora
Wellycia
Nidya Sari
Weni Zuryati
Siti Nurhikmah
Fitri Annisa
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya. Shalawat beserta salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada Nabi besar
kita yakninya Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membawa umatnya dari
zaman jahiliyah kepada zaman yang penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan
pada saat sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan supaya kita selalu berada di bawah lindungan
Allah SWT.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………17
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sejak tahun 2008 telah mengembangkan program
pelayanan kesehatan reproduksi pada situasi bencana yang diimplementasikan di seluruh
Indonesia. Pada saat itu, upaya ini menggunakan pedoman pelayanan kesehatan reproduksi
pada situasi bencana yang diterjemahkan langsung dari pedoman internasional Inter-agency
Working Group (IAWG) on Reproductive Health in Crises. Sejak tahun 2014, pedoman tersebut
telah diadaptasi ke dalam konteks lokal Indonesia dengan diterbitkannya Pedoman Paket Pelayanan
Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan. Pedoman PPAM Kesehatan
Reproduksi disusun berdasarkan pengalaman lapangan dan praktik pelayanan kesehatan
reproduksi pada situasi bencana sejak tahun 2004, ketika bencana Tsunami Aceh sampai
bencana yang terjadi di tahun 2017.
Selama hampir satu dekade pelayanan kesehatan reproduksi pada krisis kesehatan telah
dikembangkan, namun pelaksanaannya di lapangan masih belum sesuai harapan.Tantangan
dalam implementasi PPAM antara lain:belum adanya pemahaman tentang pentingnya pelayanan
kesehatan reproduksi pada situasi bencana/krisis kesehatan oleh stakeholder, petugas belum terlatih,
mutasi petugas, dsb. Di samping itu juga lemahnya koordinasi antar sektor, organisasi, lembaga mitra
penyedia pelayanan kesehatan reproduksi saat krisis kesehatan.
Tahun 2014, Indonesia mulai menerapkan sistem klaster dalam upaya penanggulangan
bencana. Pendekatan klaster dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam
penanggulangan bencana melalui kemitraan dengan berbagai pihak dibawah koordinasi BNPB dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Klaster kesehatan terdiri dari beberapa sub
klaster, yang masing masing bertanggung jawab terhadap bidang kesehatan tertentu. Salah
satunya adalah sub klaster kesehatan reproduksi yang bertanggung jawab terhadap penyediaan
dan pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi.
Dengan diterapkannya sistem klaster ini maka penyediaan pelayanan kesehatan reproduksi
melalui PPAM pada situasi bencana/ krisis kesehatan, diharapkan dapat meningkat melalui
koordinasi yang erat antara klaster maupun antara anggota subklaster dan memaksimalkan
seluruh potensi dan sumber daya untuk upaya pemenuhan hak reproduksi, utamanya bagi
kelompok rentan seperti ibu hamil, bersalin, pascapersalian, anak bayi baru lahir, remaja dan
wanita usia subur.
4
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang batasan kesehatan repsoduksi dalam
bencana
b. Tujuan khusus
1. Mengetahui Definisi kesehatan reproduksi saat bencana
2. Mengetahui ruang lingkup kesrp saat bencana
3. Mengetahui permsalahan dan issue kespro dalam bencanan
4. Mengetahui cara mengatasi kesehatan kespro dalam bencana
5. Mengetahui PPAM
6. Mengetahui Penggunaan PPAM dalam bencana
7. Mengetahui sistim perujukan kesehatan reproduksi dalam bencana
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Komprehensif, Perbaikan Fasilitas
PONED dan PONEK
Ruang Lingkup:
- Ibu dan Anak
- Pelayanan KB
- IMS/HIV Aids
- Kesehatan Reproduksi Pada Remaja
- Kekerasan Seksual
C. PERMASALAHAN ATAU ISSUE KESPRO YANG ADA PADA PASCA
BENCANA
a. Permasalahan kekerasan seksual pada anak
Korban perempuan lebih banyak dibanding korban laki-laki saat terjadi
bencana alam seperti gempa dan tsunami. Dari sekitar 400 ribu orang. Anak
atau perempuan termasuk kelompok rentan. Perempuan dengan segaa kondisi
seperti menyusui, menstruasi dan melahirkan.
b. Permasalahan penularan HIV
HIV meningkat saat bencana karena pada saat terjadi bencana sering terjadi
proses treanfusi dara yang tidak aman atau tidak melalui skrining, ini
disebabkan karena daerah bencana merupakan daerah terisolir.
c. Permasalahan meningkatkanya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal
7
aborsi yang tidak aman. Hal inilah yang berusaha dicegah oleh PKBI dan BNPB,
melalui Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi.
Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi PKBI dibagi ke dalam tiga
tahap: tahap pra-bencana, tahap saat bencana, dan tahap pasca-bencana. Tahap pra-
bencana mencakup berbagai upaya seperti pelatihan penyedia layanan dan relawan,
pertemuan koordinasi dengan berbagai stakeholders, serta pengadaan kit kebersihan
(hygiene kit) dan kit kesehatan reproduksi (reproductive health kit). Isi kit kebersihan
mencakup persediaan sanitasi seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, pakaian dalam,
ember, serta alat-alat kebersihan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Kit
kesehatan reproduksi, di sisi lain, dibagi ke dalam tiga paket (block) berdasarkan level
fasilitas kesehatan di tempat kit tersebut disediakan.
Block pertama berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga
kesehatan di level komunitas; seperti alat-alat kebersihan, kondom, pil KB, dan obat-
obatan IMS. Block kedua berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga
kesehatan di level rumah sakit; seperti alat bantu persalinan. Sedangkan block ketiga
berisi alat-alat kesehatan reusable, yang ditujukan untuk kebutuhan operasi; seperti
alat bedah dan transfusi darah
Tahap selanjutnya – saat bencana – mencakup upaya-upaya langsung yang
dilakukan di situs bencana; mulai dari mengirim tim respon, penyediaan layanan
konsultasi dan kesehatan reproduksi, serta pembagian kit kebersihan dan kit kesehatan
reproduksi. Tahap terakhir – pasca-bencana – mencakup upaya-upaya terkait evaluasi
program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi dan identifikasi rekomendasi untuk
program selanjutnya. Tahap pasca-bencana juga beririsan dengan tahap pra-bencana,
karena dalam tahap ini, tim PPAM akan mulai melakukan upaya-upaya mitigasi
seperti yang tercantum dalam tahap pra-bencana.
Cara mengatasi permasalahn kespro dalam bencana:
1. Pendataan anggota di masing-masing camp pengungsian
2. Pemberdayaan masyarakat seperti mengumpulkan tokoh agama, guru atau
masyarakat yang memiliki potensi atau sumber daya manusia yang bisa
dimanfaatkan
3. Memisahkan tenda
4. Memisahkan toilet laki dan perempuan
8
E. MIPS atau PPAM
Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi sejak awal bencana/krisis kesehatan
dilakukan melalui pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Sasaran PPAM adalah
penduduk yang merupakan kelompok rentan kesehatan reproduksi yaitu bayi baru lahir, ibu
hamil, ibu bersalin, ibu pascapersalinan, ibu menyusui, anak perempuan, remaja dan wanita usia
subur.
PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus
segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dalam rangka menyelamatkan jiwa
pada kelompok rentan. PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada saat fasilitas pelayanan
kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi sulit
terjangkau oleh masyarakat terdampak.
PPAM kesehatan reproduksi diterapkan pada semua jenis bencana, baik bencana
alam maupun non alam. Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan reproduksi disesuaikan
dengan hasil penilaian kebutuhan awal, yang dilakukan oleh petugas kesehatan di
lapangan/anggota sub klaster kesehatan reproduksi. Jika PPAM kesehatan reproduksi tidak
dilaksanakan, akan memiliki konsekuensi: 1) meningkatnya kematian maternal dan neonatal, 2)
meningkatnya risiko kasus kekerasan seksual dan komplikasi lanjutan, 3) meningkatnya
penularan Infeksi Menular Seksual (IMS), 4) terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan
aborsi yang tidak aman, 5) terjadinya penyebaran HIV.
9
Tabel 2. Tabel pelaksanaan PPAM dalam keadaan krisis
Tahap
Krisis Kegiata
Kesehatan n
Prakrisis kesehatan R Pembentukan sub klaster kesehatan
reproduksi Advokasi dan sosialisasi
R
PPAM
R Pelatihan dan orientasi
PPAM Penyusunan
R kebijakan Penyusunan
NSPK Penyediaan
R
logistik PPAM
R
Tanggap darurat R Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum
krisis kesehatan (PPAM)
Pascakrisis R Perencanaan kesehatan reproduksi
kesehatan komprehensif
RH kit (kit kesehatan reproduksi) dirancang untuk dipakai selama periode 3 bulan untuk dalam jumlah penduduk yang bervariasi dan dibagi menjadi 3 blok sbb:
Blok 1
6 kit untuk dipakai di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan dasar untuk 10,000 penduduk/ 3 bulan
Blok 2
5 kit untuk dipakai di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan untuk 30,000/3 bulan
No Kit Nama Kode warna
Kit
Kit 6 Kit Pertolongan Persalinan di Klinik Coklat
Kit 7 Kit Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD) dan Hitam
Pencabutan Implant
Kit 8 Kit Penanganan Keguguran dan Komplikasi Kuning
Kit 9 Kit Jahitan Robekan Leher Rahim dan Vagina dan Ungu
Pemeriksaan Vagina
Kit 10 Kit Persalinan dengan Ekstraksi Vacuum Abu-abu
Blok 2 terdiri dari 5 kit yang berisi bahan habis pakai dan bahan pakai ulang. Item di dalam kit ini ditujukan untuk dipakai oleh tenaga kesehatan terlatih dengan
tambahan ketrampilan kebidanan, ketrampilan obstetric dan neonatal tertentu di tingkat layanan kesehatan dan rumah sakit.
Blok 3
2 kit untuk dipergunakan di tingkat rumah sakit rujukan untuk 150,000/ 3 bulan
No Kit Nama Kode warna
Kit
Kit 11 Kit Tingkat Rujukan untuk Kesehatan Reproduksi Hijau fluoresen
Kit 12 Kit transfusi darah Hijau tua
Blok 3 terdiri dari 2 kit yang berisi dari bahan habis pakai ulang untuk memberikan pelayanan obstetrik neonatal emergency komprehensif (PONEK) di tingkat
rujukan (bedah kebidanan). Diestimasikan bahwa rumah sakit di tingkat ini menangani penduduk sekitar 150,000 orang. Kit 11 terdiri dari 2 bagian, A dan B yang
biasanya dipakai bersama tapi dapat dipesan secara terpisah.
10
PPAM dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan kelompok rentan kesehatan reproduksi
yang terdampak bencana seperti ibu hamil, bersalin, pascapersalinan, bayi baru lahir, remaja dan
WUS. Komponen PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan segera setelah mendapatkan
hasil penilaian dari tim kaji cepat di lapangan (tim RHA).
PPAM terdiri dari 5 komponen sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi koordinator PPAM Kesehatan Reproduksi
2. Mencegah dan menangani kekerasan seksual
3. Mencegah penularan HIV
4. Mencegah meningkatkanya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal
5. Merencanakan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan
terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi
stabil pascakrisis kesehatan
11
reproduksi, ketersediaan
sumber daya serta
logistik pada pertemuan
koordinasi
d. Memastikan
ketersediaan dan
pendistribusian RH
Kit
12
KOMPONEN PPAM KEGIATAN WAKTU RESPON
13
Komponen 4: Mencegah a. Memastikan adanya Semua langkah-
meningkatnya kesakitan tempat khusus untuk langkah pada
dan kematian maternal bersalin di beberapa komponen 4
dan neonatal tempat seperti pos
dilakukan pada 24
kesehatan, di lokasi
jam setelah
pengungsian atau di
tempat lain yang sesuai bencana
b. Memastikan tersedianya
pelayanan (tenaga yang
kompeten dan alat serta
bahan yang sesuai standar)
persalinan normal dan
kegawatdaruratan maternal
dan neonatal (PONED dan
PONEK)
di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan
rujukan
c. Membangun sistem
rujukan untuk
memfasilitasi transportasi
dan komunikasi dari
masyarakat ke puskesmas
dan puskesmas ke rumah
sakit
d. Memastikan tersedianya
perlengkapan persalinan
(kit ibu hamil, kit
pascapersalinan, kit
dukungan persalinan) yang
diberikan pada ibu hamil
yang akan melahirkan
dalam waktu dekat
e. Memastikan masyarakat
mengetahui adanya
layanan pertolongan
persalinan dan
kegawatdaruratan
maternal dan neonatal
f. Ketersediaan alat
kontrasepsi yang
mencukupi
a. Alat dan Sarana Penunjang lainnya
14
Apabila tidak tersedia ruangan/tenda untuk pelayanan kesehatan reproduksi
di posko kesehatan, maka tenda kesehatan reproduksi harus disediakan.
Ukuran minimal tenda kesehatan reproduksi di lapangan 4 x 6 meter. Tenda ini
dimanfaatkan untuk melaksanakan pemeriksaan KIA/ANC, persalinan dan
juga konseling tentang kesehatan reproduksi serta menyusui. Tenda
kesehatan reproduksi harus bersifat privasi.
15
(4) Alat bantu perlindungan diri
Pada situasi krisis kesehatan dan bencana dimana keadaan menjadi tidak
stabil, tindak kejahatan seksual dapat terjadi bahkan meningkat terutama
pada populasi rentan, yaitu perempuan dan anak. Upaya pencegahan dan
kewaspadaan diri perlu ditingkatkan, misalnya dengan memberikan peralatan
sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan dan anak untuk
pencegahan kekerasan seksual seperti senter (untuk membantu
penerangan), peluit (sebagai alarm tanda bahaya), dll.
kabupaten provinsi
Tidak tertangani
Tim siaga
Tim siaga kesehatan reproduksi PPK
kesehatan
Pusat
reproduksi
Tidak tertangani
kabupaten
Keterangan
Dalam hal terjadi bencana, maka tanggung jawab pertama upaya penanganan
kesehatan reproduksi ada pada tingkatan kabupaten/kota. Manakala masalah
kesehatan reproduksi yang timbul tidak tertangani oleh tim tingkat kabupaten,
maka upaya penanganan akan mendapatkan dukungan dari tingkat diatasnya.
b. Meningkatkan tim siagan kespro ke dalam koordinasi Badan Penanggulangan
Bencana
16
2. Mobilisasi tim siaga kesehatan reproduksi untuk melakukan penilaian awaldan
kegiatan lain secara simultan sesuai fungsi dari masing-masing sub tim.
1) Tujuan
- Untuk mengukur besarnya masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
akibat bencana, dampak yang terjadi maupun yang mungkin terjadi terhadap
kesehatan reproduksi
- Menjadi acuan bagi upaya kesehatan reproduksi yang tepat dalam
penanggulangan dampak bencana terhadap reproduksi
2) Penanggung jawab : coordinator bidang penilaian siaga kesehatan
reproduksi
3) Waktu pelaksanaan : terintegrasi dalam penilaian kesehatan secara
umum, dan waktu pelaksanaannya tidak lebih dari 72 jam setelah
bencana.
17
kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan spesialistik. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan
kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi
sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub
spesialistik.
c. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan
yang lebih rendah dilakukan apabila:
18
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik
dalam menangani pasien tersebut;
a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama.
b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua.
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes primer.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
b. Bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah.
19
c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan.
b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/ atau
dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecualidalam kondisi gawat
darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar
kompetensi dokter dan/ atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama.
20
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sub klaster kesehatan reproduksi mempunyai anggota lembaga pemerintah, swasta,
organisasi profesi dan masyarakat penggiat kesehatan reproduksi. Sub klaster kesehatan
reproduksi diketuai seorang koordinator yang mengkoordinir komponen komponen
dalam PPAM kesehatan reproduksi yaitu kekerasan berbasis gender, pencegahan
penularan HIV, kesehatan maternal dan neonatal, logistik serta kesehatan reproduksi
remaja. Untuk setiap komponen PPAM kesehatan reproduksi ditunjuk seorang penanggung
jawab komponen.
Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis kesehatan
dilakukan melalui Paket Awal Pelayanan Minimum (PPAM) kesehatan reproduksi
yang diselenggarakan sesegara mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap
darurat krisis kesehatan unutk mencegah dampak lanjut krisis kesehatan.
Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi sejak awal bencana/krisis kesehatan
dilakukan melalui pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Sasaran PPAM adalah
penduduk yang merupakan kelompok rentan kesehatan reproduksi yaitu bayi baru lahir,
ibu hamil, ibu bersalin, ibu pascapersalinan, ibu menyusui, anak perempuan, remaja dan
wanita usia subur.
PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus
segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dalam rangka menyelamatkan
jiwa pada kelompok rentan. PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada saat fasilitas
pelayanan kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi
sulit terjangkau oleh masyarakat terdampak
21
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI (2015). Buku pedoman paket pelayana awal minimum (PPAM) kesehatan
reproduksi pada krisis kesehatan. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
22