Anda di halaman 1dari 124

BAHAN AJAR

Dinamika Kimia
D3114041
3 SKS

Program Studi Kimia


Fakultas MIPA
Universitas Negeri Semarang
2017
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini Selasa tanggal 7 (tujuh) bulan Februari tahun 2017 Bahan Ajar Mata Kuliah
Dinamika Kimia Program Studi Kimia S1 Fakultas MIPA telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/
Ketua Program Studi Kimia

Semarang, 7 Februari 2017

Ketua Jurusan/ Ketua Prodi Kimia Penulis

Dr. Nanik Wijayati, M.SI Drs. Kasmui, M.Si

NIP. NIP. 196602271991021001

1
Prakata

Alhamdulillah, bahan ajar Dinamika Kimia ini dapat disusun untuk menjadi buku pegangan
mahasiswa yang mengambil mata kuliah Dinamika Kimia.
Empat bab awal berisi hukum kinetika dasar, faktor-faktor yang mengontrol laju reaksi dan
metode klasik yang biasa digunakan untuk mengukur laju reaksi. Bab selanjutnya berisi tentang
teori dasar laju reaksi dan reaksi atomik yang melibatkan radikal bebas, reaksi dalam fasa
larutan, dan reaksi yang menggunakan katalis homogen dan heterogen.
Pada akhirnya tidaklah cukup mahasiswa hanya menggunakan bahan ajar ini, mahasiswa sangat
perlu memperkaya materi dengan menambah pustaka lain yang bersesuaian, khususnya yang
berkaitan dengan latihan penyelesaian soal-soal hitungan.
Semoga bahan ajar ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dalam mempelajari materi yang
berkaitan dengan dinamika kimia.

Semarang, Februari 2017

Kasmui

2
DESKRIPSI MATAKULIAH

Mata kuliah ini dilaksanakan untuk memberi bekal kepada mahasiswa tentang kinetika dan
mekanisme reaksi, hubungan kinetika reaksi dengan termodinamika, menentukan persamaan laju reaksi, order
reaksi, konstanta laju reaksi dalam hitungan, konsep dasar persamaan Arrhenius, energi aktivasi dan kompleks
teraktivasi, teori laju reaksi, reaksi unimolekuler, konsep dasar proses atomik dan radikal bebas, reaksi dalam fasa
larutan dan reaksi dengan katalis.

3
DAFTAR ISI

Verifikasi Bahan Ajar 2

Prakata 3

Deskripsi Matakuliah 4

Daftar Isi 5

Bab 1 Pendahuluan 4

1.1 Kinetika dan Termodinamika 4

1.2 Pendahuluan Untuk Kinetika 5

1.3 Elusidasi pada mekanisme reaksi 7

Bab 2 Hukum Dasar Laju 11

2.1 Persamaan Laju 11

2.2 Penentuan Orde Reaksi dan Tetapan Laju 14

2.3 Persamaan Laju Integrasi Oder Pertama 14

2.4 Persamaan Laju integrasi orde ke dua 17


Bab 3 Hubungan Sifat Fisika dengan Konsentrasi 24
3.1 Pengantar 24
3.2 Reaksi Dalam Fasa Gas 26

Bab 4 Metode Penentuan Orde Reaksi 31

4.1 Laju Reaksi 31


4.2 Persamaan Laju 31
4.3 Tetapan Laju 32

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Kinetika dan Termodinamika

Para ilmuwan kimia prihatin dengan hukum-hukum pada interaksi kimia. Teori-teori itu
diuraikan untuk menjelaskan seperti interaksi dasar secara luas pada hasil percobaan.
Pendekatannya sebagian dengan metoda termodinamika atau kinetik. Pada termodinamika,
kesimpulannya sampai pada dasar perubahan energi dan entropi yang menyertai perubahan
sistem. Dari perubahan nilai energi bebas reaksi dan oleh karena tetapan kesetimbangan, itu hal
yang mungkin untuk memperkirakan secara langsung perubahan kimia yang akan terjadi.
Termodinamika tidak dapat memberikan beberapa informasi mengenai laju perubahan yang
terjadi atau mekanisme pereaksi yang diubah menjadi produk.
Umumnya pada keadaan sebenarnya, banyak juga informasi yang diperoleh dari kedua
pengukuran termodinamika dan kinetika. Sebagai contoh proses Haber untuk pembuatan amonia
dari nitrogen dan hidrogen yang digambarkan dengan persamaan

N2 + 3H2 → 2NH3 H298 = 92.4 kJ mol1


Karena reaksinya eksotermik, prinsip le Chatelier’s memperkirakan produksi amonia yang
diuapkan dengan tekanan tinggi dan temperatur rendah. Pada penanganan lain, laju produksi
amonia pada 200C lambat sekali sehingga proses tersebut pada skala industri tidak ekonomis.
Pada proses Haber, kesetimbangan ditekan pada penguapan amonia dengan menggunakan
tekanan tinggi pada temperatur 450C dan ada katalis percepatan laju hasil yang didapat pada
kesetimbangan. Pada cara termodinamika dan kinetika diperlukan faktor-faktor khusus kondisi
optimum.
Dengan cara yang sama, agar membuat mekanisme reaksi, itu berguna untuk
menganggap semua data laju termodinamika dan kinetika ada.

1.2 Pendahuluan untuk Kinetika

1.2.1 Stokiometri
Itu adalah konvensional untuk menuliskan reaksi kimia dalam bentuk persamaan stoikiometri.
Ini menghasilkan perbandingan sederhana jumlah molekul pereaksi dengan jumlah molekul
produk. Karena itu hubungan kuantitatif antara pereaksi dan produk. Tetapi tidak dapat
diperkirakan bahwa persamaan stoikiometri perlu menggambarkan mekanisme proses molekular
antara pereaksi. Sebagai contoh persamaan stoikiometri produksi ammonia dengan proses Haber
N2 + 3H2 → 2NH3
tetapi ini tidak menyatakan bahwa tiga molekul hidrogen dan satu molekul nitrogen tumbukan
secara serentak menghasilkan dua molekul amonia. Pada reaksi
2 KMnO4 + 16HCl → 2KCL + 2 MnCl2 + 8 H2O + 5Cl2
kita ketahui sangat sediki mengenai mekanisme reaksi, tetapi perubahan digambarkan dengan
persamaan stoikiometri karena itu menghasilkan hubungan kuantitatif antara pereaksi dan produk

5
Pada beberapa reaksi persamaan stoikiometri memberi kesan bahwa reaksi lebih
sederhana daripada sebenarnya. Sebagai contoh dekomposisi termal pada nitrogen oksida
2N2O → 2N2 + O2
terjadi dua tahap, pertama meliputi dekomposisi nitrogen oksida menjadi atom oksigen dan
nitrogen
N2O →O: + N2
Diikuti dengan reaksi atom oksigen dengan nitrogen oksida menghasilkan satu molekul nitrogen
dan satu molekul oksigen
O: + N2O → N2 + O2
Ini adalah hal sederhana pada jumlah dua individu atau proses dasar menghasilkan persamaan
stoikiometri. Beberapa proses lainnya lebih komplek dan penjumlahan secara aljabar pada proses
dasar yang rumit sehingga tidak memberikan persamaan stoikiometri.
Dekomposisi termal padaasetaldehida dapat digambarkan sebagai
CH3CHO → CH4 + CO
Tetapi masing-masing molekul asetaldehida tidak terurai dalam satu tahap menghasilkan satu
molekul metana dan satu molekul karbon monooksida. Hasil kinetik sesuai dengan proses
mekanisme yang mana molekul asetaldehida terdekomposisi pertama menjadi radikal metil dan
formil radikal. Produk yang dibentuk berikutnya reaksi antara radikal radikal ini dengan radikal
asetil dan aseldihida itu sendiri. Mekanisme keseluruhannya secara sederhana adalah
CH3CHO → CH3 + CHO
CH3 + CH3CHO → CH4 + CH3CO
CH3CO → CH3 + CO
CH3 + CH3 → C2H6
Persamaan stoikiometri untuk dekomposisi dinitrogen pentaoksida adalah
2N2O5 → 4NO2 + O2
Ini juga proses yang lebih komplek dari yang ditunjukkan persamaan ini dan ditunjukan oleh
Ogg melaui hasil mekanisme berikut
2N2O5 → NO2 + NO3
NO2 + NO3 → NO2 + O2 + NO
NO + NO3 → 2NO2
Studi kinetik menujukkan bahwa tahap (2) adalah tingkat sangat lambat pada reaksi, sehingga
keseluruhan reaksi tergantung pada tahap ini dan karena itu disebut tahap penentu kecepatan atau
laju
1.2.2 Molekularitas
Molekularitas pada reaksi kimia didefinisikan sebagai jumlah molekul pereaksi yang ikut serta
pada reaksi sederhana yang sesuai pada tahap dasar. Umumnya reaksi dasar memiliki satu atau

6
dua molekularitas, meskipun beberapa reaksi meliputi tiga molekul yang bertumbukan secara
serentak mempuyai tiga molekularitas, dan pada hal yang sangat jarang penyelesaiannya, empat
molekularitas.

1.2.3 Reaksi-reaksi Unimolekular


Reaksi unimolekular meliputi satu molekul pereaksi dan salah satunya isomerisasi
A→ B
Atau dekomposisi
A→B + C
Beberapa contoh reaksi-reaksi Unimolekular
CH3NC → CH3CN
C2H6 → 2 CH3
C2H5 → C2H4 + H

1.2.4 Reaksi-reaksi Bimolekular


Reaksi bimolekular adalah satu reaksi dimana dua molekul pereaksi yang sama atau tidak
bergabung menghasilkan satu atau sejumlah molekul produk. Mereka adalah reaksi-reaksi
asosiasi (kebalikan reaksi dekomposisi)
A + B → AB
2A → A2
Atau reaksi pertukaran
A + B→C + D
2A → C + D
Beberapa contoh reaksi-reaksi bimolekular
CH3 + C2H5 → C3H8
CH3 + CH3 → C2H6
C2H4 + HI → C2H5I
H + H2 → H2 + H
O3 + NO → O2 + NO2
Sulivan menunjukkan bahwa seringkali diberikan reaksi bimolekular klasik
2HI → H2 + I2
adalah reaksi rantai pada temperatur tinggi (800 K) dengan penentuan laju tahap termolekular

7
1.2.5 Reaksi-reaksi Termolekular
Reaksi termolekular relatif jarang terjadi, mereka termasuk tumbukan pada tiga molekul secara
serentak menghasilkan satu atau lebih produk
A + B + C→ produk
Beberapa contoh reaksi-reaksi termolekular
NO + O2 → 2NO2
NO + Cl2 → 2NOCl
2I + H2 → 2HI
H + H + Ar → H2 + Ar
Seperti yang dapat dilihat dari contoh yang diberikan di atas, molekularitas tidak dibentuk untuk
proses yang melibatkan molekul stabil tetapi digunakan ketika bereaksinya spesies atom, radikal
bebas atau ion. Selanjutnya pada dekomposisi asetaldehida, asetil radikal terurai
CH3CO → CH3 + CO
Adalah proses unimolekular, ketika penggabungan pada radikal metil adalah proses bimolekular
CH3 + CH3 + M → C2H6 + M
Ini hanya tepat untuk digunakan molekularitas untuk proses yang terjadi pada tahap tunggal atau
tahap dasar. Oleh karena menyatakan pengertian teoritis pada reaksi molekular dinamik. Reaksi
dimana molekul pereaksi atau molekul-molekul menghasilkan produk atau produk-produk pada
tahap sendiri atau dasar jarang terjadi. Jika reaksi adalah reaksi komplek diperlukan molekular
spesifik pada tiap tahap individual reaksi.

1.3 Elusidasi pada mekanisme reaksi


Tujuan akhir kinetika adalah memperkirakan laju pada beberapa reaksi di bawah percobaan yang
diberikan. Ini sulit untuk mencapai semuanya tetapi ada beberapa hal. Yang utama mengajukan
mekanisme, dimana disetujui kualitatif dan kuantitatifnya berdasarkan ukuran percobaan kinetik.
Ketika mekanisme reaksi diusulkan untuk reaksi khusus, itu akan diuji dengan kriteria
berikut.
(i) Konsistensi dengan hasil reaksi

Mudah untuk mengusulkan mekanisme reaksi dengan sangat sedikit informasi percobaan yang
ada. Dalam hal itu sulit untuk membuktikan atau membantah usulan. Sebagaimana, lebih dan
lebih data percobaan yang diperoleh, itu sering kali menjadi lebih dan lebih sulit mendapatkan
mekanisme yang semuanya memuaskan hasilnya.hanya mungkin bahwa mekanisme tepat ketika
sesuai dengan semua data laju reaksi yang ada

(ii) Energetic Feasibility

Ketika reaksi dekomposisi erjadi, ikatan molekul lemah dan putus. Karena itu dekomposisi pada
ditersial butil peroksida diawali dengan putusnya ikatan OO menghasilkan dua ditersiarbutoksi

8
radikal. Pada mekanismedilibatkan atom-atom atau radikal bebas, prosesnya adalah isotermik
dan sedikit endotermik yang sebagian besar sepertinya tahap penting pada reaksi. Pada fotolisis
hidrogen Iodida (lihat hal 140), reaksi propagasi yang tepat adalah
H + HI → H2 + I (1) H = 134 kJ mol
dan
I + HI → I2 + H (2) H = 146 kJ mol
Untuk reaksi endotermik terjadi pada (2), paling sedikit 146 kJ energi yang harus didapatkan
dengan tumbukan antara atom iodin dan molekul hidrogen iodida. Reaksi (2) mungkin lebih
lambat dibandingkan reaksi (1).
Jika mekanisme meliputi dekomposisi radikal etoksil, dekomposisi berikut semua cara yng
mugkin
C2H5O → C2H5 + O
C2H5O → CH3CHO + H
C2H5O → CH3 + CH2O
C2H5O → C2H4 + OH
Panas reaksi menunjukkan reaksi (3) sepertinya proses yang penting

(iii) Prinsip mikroskopik reversibilitas


Prinsip ini menyatakan bahwa untuk reaksi dasar, pada proses reaksi balik tahap yang dibentuk
lawannya sama.oleh karena itu tidak mungkin untuk memasukkan beberapa tahap mekanisme
reaksi, yang tidak dapat terjadi pada reaksi balik. Secara cepat pada dekomposisi termal ditersial
butil peroksida, itu tidak mungkin untuk mmpostulat si tahap awal seperti
(CH3)COOC(CH3) → CH3 + 2 CO
karena tahap balik tidak dapat ditentukan. Selanjutnya, sepertinya semua tahap mekanisme reaksi
masing-masing unimolekular, bimolekula atau termolekular,beberapa proses mekanisme tidak
harus mengandung tahap dasar yang menghasilkan lebih dari tiga jenis produk, sehingga tahap
balik tidak akan terjadi.

(iv) Konsistensi dengan reaksi yang dapat disamakan


Ini sesuai untuk memperkirakan bahwa jika mengusulkan mekanisme untuk dekomposisi
asetaldehida telah terbukti, maka mekanisme untuk dekomposisisi aldehid yang lain dapat mirip.
Bagaimanapun, saat itu orde membawa percobaan yang serupa untuk membuktikan ini, bahaya
untuk mengasumsikan bahwa mekanisme reaksi yang dulu semata-mata sama. Tentu saja ada
sejumlah contoh reaksi dari seri yang sama pada senyawa kimia melalui proses mekanisme yang
sangat berbeda, contoh reaksi hidrogen halogen.
Dapat disadari untuk mempelajari laju reaksi yang lebih tinggi, lebih baik yakin
mengukur secara tepat kebenaran mekanisme reaksi yang diusulkan. Data laju dapat diperoleh
dengan menggunakan teknologi moderen untuk menentukan laju reaksi yang sangat cepat dan
mengukur konsentrasi yang sangat lambat sementara spesies reakif dibentuk pada sistem reaksi.
Sejumlah contoh meknisme reaksi diberikan pada bagian akhir bab berdasarkan data kinetik
yang didapat dengan percobaan laju. Pertama sekali dibutuhkan membuktikan hukum kinetik

9
sederhana dan teori pada laju reaksi sebelum pemrosesan untuk mempelajari reaksi kimia yang
lebih komplek

10
BAB 2
HUKUM DASAR LAJU

2.1 Persamaan Laju


Mengingat pada reaksi kimia pereaksi A terurai menghasilkan produk B dan C
A→B+C
Selama terjadi reaksi konsentrasi A berkurang dan saat itu pada saat itu konsentrasi B dan C
meningkat.Bentuk grafik konsentrasi-waktu untu A diperlihatkan pada ganbar 2.1.

Konsentrasi

WAKTU
Gambar 2.1 Bentuk kurva konsentrasi –waktu
Beberapa laju dihasilkan oleh perubahan pada pengukuran kuantitas dengan waktu, dan
laju pada reaksi kimia digambarkan dalam hal perubahan konsentrasi pereaksi yang dihasilkan
dengan waktu tertentu. Laju reaksi pada waktu t pada kurva menghasilkan slope dengan waktu,
menghasilkan persamaan pengurangan konsentrasi A per waktu. Laju dapat juga menghasilkan
persamaan meningkatnya konsentrasi B atau C per waktu.
d[A] d[B] d[C]
laju    
dt dt dt
laju reaksi kimia digambarkan sebagai laju peruraian atau hilangnya pereaksi atau laju
pembentukan produk.
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa laju reaksi perubahan selama reaksi. Laju pada saat
maksimum ditunjukkan, sebagai berkurangnya proses reaksi. Pada saat itu didapatkan laju reaksi
tergantung pada konsentrasi pereaksi, itu dapat dianggap konsentrasi A pada reaksi di atas
berkurang.Sehingga,

laju  A 
n

dimana n adalah konstannta dikenal sebagai orde reaksi. Hubungan antara laju dan konsentrasi
persamaan laju dan bentuk yang dapat dibuat

11
dA 
 kr A 
n

dt
dimana kr adalah tetapan untuk beberapa reaksi tergantung temperatur dan disebut sebagai
tetapan laju. Persamaan laju menyatakan bagaimana laju yang berbeda pada tahap-tahap dasar
dengan konsentrasipereaksi; konsentrasi produk tidak melibatkan tanda.

2.1.1 Orde Reaksi


Jika reaksi di atas diperoleh secara percobaaan laju secara langsung banding dengan
konsentrasi A, reaksi dikatakan orde pertama

dA 
  kr A  (2.1)
dt
jika laju yang diperoleh tergantung pada kuadrat konsentrasi A, reaksi dapat dikatakna
orde kedua,

dA 
 kr A 
2
 (2.2)
dt
Untuk proses yang berbeda
A+B→C+D
jika persamaan laju yang di dapat menjadi

dA  dB
   kr A B (2.3)
dt dt
reaksi adalah orde dua : orde pertama terhadap A dan orde pertama terhadap B
Secara umum untuk reaksi
A + B + C + … → Produk
Laju = kr A  1 B Cn 3 
n n2
(2.4)

Orde reaksi reaksinya adalah penjumlahan ekponn n1 + n2 + n3 + … ; orde terhadap Aadalah n1 ,


terhadap B adalah n2 dan terhadap C adalah n3 dan seterusnya.

2.1.2 Tetapan Laju


Konstanta laju yang ada digunakan untuk mengukur laju reaksi kimia pada temperatur tertentu.
Itu penting untuk menentukan bahwa satuan tetapan laju tergantung pada oder reaksi.
Sebagai contoh, persamaan laju orde pertama adalah

12
dA 
  kr A 
dt
sehingga

konsentrasi
 kr (konsentrsi)
waktu
oleh karena itu, untuk semua proses orde pertama, satuan tetapan laju yang dimiliki kr
adalah waktu1
Untuk reaksi orde dua persamaan laju bentuknya adalah
Laju = kr (konsentrasi)2
Sehingga tetapan laju orde dua memiliki satuan konsentrasi-1 waktu-1 , sebagai contoh dm3 mol-1
s-1 .

Secara umum tetapan laju untuk reaksi orde ke-n memiliki satuan (konsentrasi)1n waktu-
1
.Dari satuan ini dapa dilihat bahwa bentuk satuan untuk reaksi orde nol adalah mol dm3 s-1 dan
untuk reaksi orde tiga adalah dm6 mol-2 s-1

2.2 Penentuan Orde Reaksi dan Tetapan Laju


Sejauh ini persamaan laju yang digunakan adalah semua permaan differensial. Jika grafik
konsentrasi waktu digambarkan seperti gambar 2.1, laju reaksi diukur secara langsung dari slope
pada grafik. Tangen A adalah gambar pada kurva pada titik-titik yang berbeda dan diperoleh
dc/dt. Slope awal pada grafik ini menghasilkan laju awal, dan untuk proses orde dua persamaan
2.4 menjadi
(laju) r = 0 = kr[A]0[B]0
dimana [A]0 dan [B]0 adalah konsentrasi awal A dan B. Satu contoh yang digunakan pada cara
ini untuk menentukan tetapan laju yang digambaran pada bab3.
Saat pengukuran laju awal tidak mudah, itu leih baik untuk mengintegrasi persamaan
laju.Integrasi persaman laju menghasilkan hubungan antara tetapan laju dan laju perubahan
kimia untuk beberapa reaksi.Bentuk persamaan tegantung pada orde reaksi.Kesimpulan bentuk
hukum laku yang berbeda diberikan pada tabel 2.1 hal 24.

2.3 Persamaan Laju Integrasi Oder Pertama


Mengingat reaksi
A → produk
Jika a adalah konsentrasi awal dan x pengurangan konsentrasi a pada waktu t. Konsentrasi A
pada waktu t adalah a  x. Laju reaksi yang dihasilkan adalah

13
dA  d(a  x ) dx
  
dt dt dt
Persamaan laju differensial, d[A]/dt, dapat ditulis sebagai
dx
 k r (a  x )
dt
atau

dx
 k r dt (2.5)
(a  x )

integrasi persamaan 2.5 menghasilkan

ln (a x) = kr t + tetapan


pada saat t = 0, x = 0, tetapan sama dengan ln a, sehingga subtitusi pada persamaan 2.5
menghasilkan

1  a 
k r  ln   (2.6)
t a x
menggunakan logaritma dasar 10

2.303  a 
kr  log10   (2.7)
t a x
persamaan 2.6 dan 2.7 digunakan semua reaksi orde pertama

2.3.1 Penentuan tetapan laju pada orde pertama

(i) Metoda Subtitusi


Nilai a-x ditentukan secara percobaan dengan satu metode yang digambarkan pada bab 3 dimana
semua percobaan kinetika pada waktu t yang berbeda. Nilai-nilai tersebut disubtitusikan pada
persamaan 2.7 dan nilai rata-ratatetapan laju dapat ditentukan

(ii) Metoda Grafik


Dari persamaan 2.7 dapat dilihat bahwa gambar pada log10 (a/a-x) dengan t akan diperoleh garis
lurus dengan persamaan slope kr/2,303 jika reaksi orde pertama.Persamaan 2.7 dapat disusun
kembali menghasilkan

kr t
log10 (a  x )  log10 a  (2.8)
2.303
gambar pada log10 (a/a-x) dengan t akan diperoleh garis lurus dengan persamaan slope kr/2,303.
Jika data laju yang didapat menghasilkan gambar yang lurus pada reaksi orde pertama, dan

14
tetapan laju ditentukan dari slope. Secara grafik penentuan Kr lebih memuaskan daripada metode
(i).

(iii) Metoda Fraksi hidup


Untuk proses orde pertama, waktu yang dibutuhkan konsentrasi pereaksi berkurang dengan
fraksi tertentu dari konsentrasi awal yang tidak bergantung konsentrasi awal
Misalkan t0,5 waktu yang ditentukan untuk konsentrasi awal a berkurangmenjadi
setengan konsentrasi awal (0,5a). ini dikenal sebagai sewaktu paro pada reaksi. Selanjutnya
untuk kondisi waktu paro persamaan 2.6 menjadi
1 a
kr  ln
t 0 ,5 0,5a

ln 2

t 0,5

0,693

t 0,5

atau

0,693
t 0,5  (2.9)
kr

adalah sebuah tetapan untuk partikel reaksi dan tidak tergantung konsentrasi awal.

Pada umumnya, waktu tf untuk konsentrasi awal berkurang dengan fraksi 1/f dihasilkan

ln f
t f 
kr
tetapan laju dapat dihitung secara langsung dari pengukuran fraksi hidup atau reaksi waktu paro

Contoh 2.1
Hasil data berikut ini diperoleh dari dekomposisi gula dalam larutan air.

Konsentrasi glukosa / mmol dm3 56,0 55,3 54,2 52,5 49,0


Waktu / menit 0 45 120 240 480

Tunjukkan bahwa reaksi adalah orde pertama dan hitung tetapan laju untuk proses dan waktu
paro untuk glukosa dibawah kondisi ini.

15
Dari data, a = 56,0 mmol dm3 dan pembacaaan konsentrasi glukosa dapat disamakan
menjadi a  x pada persamaan 2.8, memberikan reaksi orde pertama.


Log 10 (a  x)/mmoldm3  1.748 1,743 1,743 1,719 1,690

t/ menit 0 45 120 240 480

gambar log 10 (a  x )versus t menghasilkan gambar 2.2.


karena grafiknya adalah garis lurus, reaksinya adalah orde pertama dan

Gambar 2.2 orde pertama untuk dekomposisi glukosa dalam larutan

kr kr
slope =  - 1,18  10 -4 min -1
2,303 2,303

itu adalah
kr =2,72 x10-4 min-1
dari persamaan 2.9

0,693 0,693
t0,5 =  min
kr 1,18 x 10-4

= 5 ,87 x 103 min


2.4 Persamaan Laju integrasi orde ke dua
2.4.1 Reaksi meliputi dua preaksi
Mengingat reaksi
A + B → Produk
Misalkan pada tahap awal konsentrasi A dan B menjadi a dan b. Misalkan x pengurangan
konsentrasi A dan B pada waktu t. Pada waktu t konsentrasi A dan B berturut-turut menjadi a  x
dan b  x. Persamaan laju
dA  dB
   k r A B
dt dt
menjadi

16
dx
 k r a  x b  x  atau
dt
atau

dx
 k dt
a  x b - x  r
secara fraksi parsial menghasilkan

1  1 1 
ab  b - x - a - x  dx  k r dt
 
pada pengintegrasian

ln a - x  - ln b - x 
krt =  tetapan
ab
ketika t = 0, x = 0, dan

ln a
tetapan = b
ab
menghasilkan

1  ba - x  
krt = ln  atau
a  b  a b  x  

2,303  ba  x  
kr = log10   (2.10)
t a  b   a b  x  
2.4.2 Reaksi melibatkan satu pereaksi atau reaksi antara dua pereaksi dengan konsentrasi awal
sama
Untuk reaksi
2A → produk
atau reaksi
A + B → produk
Dimana konsentrasi awal A dan B sama, dianggap konsentrasi awal menjadi a. persamaan 2.2
menjadi

dx 2
 k r a  x 
dt
atau

17
dx
 k r dt
a  x 2
pada pengintegrasian
1
krt =  tetapan
a  x 
jika x = 0 t = 0, tetapan =  1 dan
a
1 1
krt = -
ax a
atau

1 x 
kr =  
at  a - x 
2.4.3 Penentuan tetapan laju orde dua
(i) Metoda subtitusi

Tetapan laju dapat dihitung dengan subtitusi nilai percobaan yang diperoleh pada a  x dan b 
x pada waktu t yang berbeda ke dalam persamaan 2.10. Jika dihitung nilai kr adalah tetapan pada
kesalahan percobaan, reaksi diasumsikan sebagai orde dua dan nilai rata-rata pada kr
menghasilkan tetapan laju orde dua
(ii) metoda grafik
Untuk reaksi orde tipe 2.4.1, persamaan 2.10 dpat disusun menghasilkan

ax b kr a - b 
log 10 =     log10  t 2.12)
bx a 2,303
gambar pada log10 (a  x) /(bx) dengan t akan diperoleh garis lurus dengan persamaan slope kr
(a  x) /2,303 sehingga kr ddapat ditentukan.
contoh 2.2
data kinetik berikut diperoleh oleh slater (j.chem.Soc.,85 (1904),286) untuk reaksi antara
natrium tiosulfat dan metil iodida pada 25C, konsentrasi diperlihatkan pada unit yang berubah-
ubah.
Waktu/menit 0 4,75 10 20 35 55 

Na 2S2 O3  35,35 30,50 27,0 23,2 20,3 18,6 17,1

CH3  18,25 13,4 9,9 6,1 3,2 1,5 0

Tunjukkan bahwa reaksi orde dua

18
Jika reaksi orde dua, mengikuti persamaan 2.12, a  x dan b  x merupakan konsentrasi
berturut-turut dari Na2S2O3 dan CH3I, pada waktu t

log 10 (a  x)/(b  x) 0,287 0,357 0,436 0,580 0,802 1,093


t/min 0 4,75 10 20 35 55

gambar log 10 (a  x)/(b  x) dengan t menghasilkan gambar 2.3. karena gambar yang dihasilkan
lurus, reaksi adalah orde dua

Gambar 2.3 gambar orde dua untuk reaksi antara naytium tiosulfat dan metil iodida

Untuk reaksi orde jenis 2.4.2 dimana a disamakan dengan b atau reaksi hanya melibatkan
satu pereaksi a pada konsentrasi awal, itu dapat dilihat bahwa gambar 1/(a  x) dengan t didapat
lurus seperti gambar 2.4 dan itu laju tetapan orde dua sama dengan slope.
contoh 2.3
penyabunan pada etil asetat dalam larutan natrium hidroksida pada 30C
CH3CO2C2H5 + NaOH → CH3CO2 Na + C2H5OH
Telah dipelajari oleh Smit dan Lorenson (J.Am.Chem.Soc., 61(1939),117).Pada konsentrasi awal
ester dan alkali keduanya 0,05 mol dm3 dan pengurangan x konsentrasi ester diukur menurut
waktu berikut ini
103 x/mol dm-3 5,91 11,42 16,30 22,07 27,17 31,47 36,44
Time/min 4 9 15 24 37 53 83
Hitung tetapan laju untuk reaksi
Jika reaksi orde dua, persamaan 2.11 akan didapat.
dm3 mol-1/(a  x) 22,7 25,9 29,7 35,8 43,8 53,9 73,8
t/min 4 9 15 24 37 53 83

19
gambar 1/(a  x) dengan t menghasilkan gambar 2.4. karena itu grafik yang didapat lurus, reaksi
adalah orde dua dan

slope = kr = 0,640 dm3mol1menit1

Gambar 2.4 Gambar orde dua untuk reaksi antara etil asetat dan natrium
hidroksida pada pada 30C
(iii) Metoda fraksi hidup
Metoda fraksi hidup ssesuai untuk reaksi orde dua pada tipe 2.4.2. Karena itu separo waktu
hidup, contoh waktu yang diperoleh untuk konsentrasi awal berkurang dari a menjadi a/2,
persamaan 2.11 dengan x = a/2 menjadi ,

t 0,5 =
1
a  
2  1 (2.13)
k ra a  
2
k ra

selanjutnya, untuk tipe reaksi orde dua ini, setengah waktu hidupsebanding kebalikannya dengan
konsentrasi awal, dan tetapan laju ditentukan secara langsung dari pengukuran setengah waktu
hidup.
Jika setengah waktu hidup diukur pada dua percobaan yang konsentrasi awal keduanya
berbeda, a1 dan a2, sehingga hubungannya
(t 0,5)1/(t 0,5)2 = a2 / a1
sesuai untuk reaksi orde dua
Metoda fraksi hidup dapat digunakan untuk reaksi pada beberapa orde asalkan semua pereaksi
memiliki konsentrasi wal sama. Pada umumnya setengah waktu hidup pada orde reaksi n
dikaitkan dengan konsentrasi awal dengan

1
t 0,5 
a n 1
atau

tetapan
t 0,5 =
a n 1
Pengambilan logaritma

20
log 10 t0,5 = (1 n) log10 a + log10 tetapan
Gambar log 10 t 0,5 dengan log10 a lurus dengan slope sama dengan 1 n. ini mungkin untuk
memperoleh tetapan laju dari intersep.
Pilihan lain, jika (t0,5)1 adalah setengah waktu hidupuntuk konsentrasi awal a1 dan (t0,5)2
adalah setengah waktu hidup ketika konsentrasinya a1, sehingga

(t 0,5)1/(t 0,5)2 = (a2 / a1)n1


dan menggunakan logaritma
log 10 (t 0,5)1/(t 0,5)2 = (n-1) log10 a2/a1
dari sini n dapat ditentukan

Contoh 2.4
ketika konsentrasi A reaksi sederhana A → B berubah dari 0,51 mol dm3 menjadi 1,03 mol
dm3, setengan waktu hidup turun dari 150 detik menjadi 75 detik pada 25C. berapakah orede
reaksi dan nilai tetapan laju ?
subsitusi dari persamaan 2.14 menghasilkan
n 1
150  1,03 
 
75  0,5 

atau

log10 2  (n  1) log10 2
sehingga
n=2
Karena itu reaksi orde dua, tetapan laju menghasilkan persamaan 2.13 sehingga

1
t 0,5 =
kra

selajutnya

kr = 1
dm 3 mol 1s 1
0,51  150

= 1,31 x 10-2 dm3 mol-1s-1


Contoh 2.5
Reaksi

21
SO2Cl2 → SO2 + Cl2
Adalah reaksi gas orde pertama dengan tetapan laju 2,0 x 105 dt pada 320C. berapa persen
SO2Cl2 terdekomposisi pada pemanasan 320C selama 90 menit.
Untuk reaksi orde pertama, menurut persamaan 2.7, adalah
 a 
krt = 2,303 log10  
a x
persamaan ini menjadi

 1 
krt = 2,303 log10  
1 y 
dimana y adalah fraksi SO2Cl2 terdekomposisi pada waktu t. Subtitusi angka yang tepat

 1 
2,0 x 10-5 x 90 x 60 = 2,303 log10  
1 y 
sehingga

1
= 1,114
1 y

dimana
y =0,102
karena itu SO2Cl2 yang terdekomposisi adalah 10,2 persen
(iv) metoda isolasi
Metoda ini digunakan untuk menentukan orde berkenaan dengan pengontrolan masing-masing
pereaksi pada kondisi dimana hanya satu pereaksi berubah menurut waktu untuk satu rangkaian
percobaan. Metoda yang dapat digunakan digambarkan dengan referensi oksidasi pada iodida
dengan hidrogen peroksida dalam larutan asam
H2O2 + 2I- + 2H3O+ → I2 + 4H2O
Laju reraksi yang dihasilkan

dI 2 
v 
dt
a

 Kr H 2 O 2  I H 3 O 
b

c

dimana a,b dan c acalah orde reaksi untuk masing-masing pereaksi dan kr adalah tetapan laju.
Adanya kelebihan asam yang besar, [H3O+] keadan yang benar, dan jika tiosulfat dtambahkan
untuk merubah kembali iodin membentuk iodida,[I-]

v  k 1 H 2 O 2 
a

A + B + C → produk

22
dx
 k r a  x b  x c  x  ……………..(2.15)
dt

dx 3
 k r a  x 
dt

dx
atau  k dt
a  x  r
1 1
2
  constant
2a  x  2a 2

x=0 t = 0, constant = 1/2a2, dan


Sehinga kr.t0,5 = 3/2a2

23
BAB 3
HUBUNGAN SIFAT FISIKA DENGAN KONSENTRASI

3.1 Pengantar
Persamaan umum dijabarkan hubungan antara pengukuran kuatitatif secara fisika
dengan variabel reaksi x dan telah dibuktikan bahwa kuantitatif fisik adalah fungsi linear dari
konsentrasi. Dengan memakai persamaan dasar :
O = E VB B
Untuk senyawa A, B dan D dalam reaksi membutuhkan Z, dengan A adalah reaktan
dalam jumlah terbatas. Persamaan reaksi dapat ditulis :
- vA A – vB B – vD D = vZ Z (3.1)
-
dimana VA, VB dan VD adalah negatif jika A, B dan D reaktan. Konsentrasi A, B, D dan Z
diberikan dalam bentuk x menjadi :
C A = a + VB x C D = d VD x
C B = b + VB x C Z = VZ x (3.2)
Dimana a, b dan d konsentrasi awal dan asumsi tidak ada produk sebelumnya. Maka reaksi
utuh menjadi :
a
CA = O = a + VA x → X =
VA
Jika A adalah harga sifat kimia pada setiap saat t maka :
A = A M + A N + AB + AD + AZ (3.3)
Dimana AM adalah kontribusi dari medium. Sifat fisika ini menunjukkan hubungan dengan
konsentrasi sebagai :
AA = kA C A (3.4)
kA = konstanta proporsional
Gabungan (3.2), (3.3) dan (3.4) akan menghasilkan :
A = AM + kA (a + VA x) + kB(b + VB) + kD (d + VD) x + kZ VZ x (3.5)
Mula-mula berarti x = 0 memberikan :
Ao = AM + kA a + kB b + kD d (3.6)
dan harga akhir x = -a / VA akan menghasilkan bentuk :
a a a
V V k v
Aoo = AM + Kb ( b – B ) + kD (d - D ) – Z Z (3.7)
VA VA VA
Gabungan (3.6) dan (3.7) menjadi
k v a k v a k v a
Aoo – Ao = - kA a B B - D D - Z Z (3.8)
VA VA VA
Gabungan antara (3.6) dan (3.5) memberikan :
A – Ao = kA vA x + kB VB x + kD vD x + kZ vZ x (3.9)
Dan
a a
Aoo – A = - kA (a – vAx) - kB VB ( +x) - kD VD ( +x)
vA vA
a
- kZ vZ ( +x) (3.10)
vA
Jika disusun : 0 k = kA vA + kB VB + kD VD + kZ vZ

24
maka dapat ditulis :
a
A - Ao = x 0 k Aoo – Ao = - ( )0k (3.11)
vA
dan
a
Aoo – A = - ( + x) 0 k (3.12)
vA
Dari penjabarab ini maka akan secara kinetika dapat dihubungkan sebagai berikut :
v x A - Ao
- A =
a Aoo - Ao
a Ao - Aoo
=
a  vA x Aoo - A
Hal yang mungkin dituliskan (b + vB x) dan (d + vD x) dalam bentuk dasarnya pada
pengukuran sifat fisika. Hasil akhir akan berbentuk :
b (b / a ) (Aoo - Ao)
=
b  vB x (b/a) (Aoo - Ao) - (v B /v A ) (A - Aoo)
untuk menyederhanakan dapat dibuat konsentrasi sama dari reaksi maka b/a = vB/vA dan
selanjutnya.

3.2. Reaksi Dalam Fasa Gas


Cooks and Egger (1972) memberikan hasil pengamatan dari reaksi isomerisasi N-
propilidensycloropylamine, yang dapat terlihat pada tabel 3.1. Nuclear Magnetik Resonance
(NMR) dan Spektro massa dipakai untuk menganalisa pada temperatur dibawah 700 K dan
menghasilkan 5 ethyl piroline.
N → (3.16)
Tabel 3.1. Isomerisasi termal N-propildencyloropylamine pada 573 K
Waktu/min Tekanan / torr Fraction Isomerisasi K/10 S
20 55,2 0,7783 6,79
30 15,4 0,1113 6,56
60 18,1 0,2104 6,56
100 18,3 0,3313 6,71
210 17,5 0,5784 6,85
Rata-rata k = 6,69+0,13

Temperatur bervariasi dari 572,9 k sampai 573,3 k.


Konstanta kecepatan reaksi dihitung dengan persamaan :
1 Co 1 ax 1 x
k = ln = - ln = - ln ( 1  )
t C t a t a
2.303
= lod (1 – f)
t
dimana f adalah fraksi isomerisasi. Konstanta kecepatan reaksi orde baru tidak memberikan
penyimpangan dengan data reaksi atau dengan tekanan.
Metoda manometri juga umum dipakai untuk mempelajari reaksi fasa gas. Pengukuran
secara langsung dalam sistem dimana suatu perubahan dalam jumlah total senyawa seperi
dekomposisi phosgene :

25
COCl2 → CO + Cl2 (3.17)
atau suatu hasil reaksi diambil secara kontinyu dengan absorbsi atau kondensasi. Contoh
dalam reaksi
H2 + Cl2 → 2 HCl (3.18)
Asam yang terjadi diadsorbsi dalam air. Atau tekanan terbaca perubahannya setelah hasil
reaksi diambil maka data reaksi (3.18) Chlorin dan hidrogen klorid berkondensasi dengan
nitrogen cair dan tekanan akhir adalah tekanan hidrogen saja.
Menurut Takezahi dan Takeuchi (1954) memberikan data pada reaksi dekomposisi
termal dimetil peroksid. Data percobaannya diberikan dalam Tabel 3.2.
Reaksi ini juga dipelajari dengan memakai spektroformeter infra merah oleh Hant dan
Calvent (1959) dan juga dengan Chromatografi oleh Batt dan Cullock (1977). Reaksi ditulis
secara stoichiometri adalah sebagai berikut :
2 CH3OOCH3 → 2 CH3OH + CO (3.19)

Tabel 3.2. Dekomposisi dari dimetilperoksid pada 439,8 k


Waktu Tekanan total (Poo – P) / torr ln (Poo – P) / torr
15 427,12 7,84 2,06
90 428,27 6,69 1,90
240 429,83 5,13 1,64
390 431,23 3,73 1,32
570 432,48 2,48 0,91
780 433,18 1,78 0,58
990 433,67 1,29 0,25
2910 434,96 0 -
4590 434,96 0 -

Tekanan akan naik sampai 100% dari tekanan mula-mula dimetil peroksid seperti pada reaksi
itu. Secara percobaan didapatkan maksimum tekanan adalah 93%.
Dari persamaan reaksi tersebut meliputi mekanisme reaksi dengan rantai kompleks
yang membuat makin sukat mengartikan hasil CH3O. radikal dengan reaksi :

k
2 CH3OOCH3 → 2 CH3O
Jika kelebihan metanol yang diberikan mula-mula ini dapat bereksi dengan metoksi radikal
menjadi reaksi berantai maka terjadi etilen glikol
CH3O + CH3OH → CH3OH + CH2OH
2 CH2OH → (CH2OH)2
Dengan pemberian metanol maka stoichiometri (3.19) berubah menjadi
2CH3OCH3 → 1.4CH3OH+0,4CO+0,2CH2OH+1(CH2OH)2 (3.21)
Setelah beberapa waktu maka persamaan stochiometri relatif konstan jumlah CH3OH,
CO, CH2O dan glikol juga tetap dengan waktu pada dekomposisi perksid. Hasil ini berdasar
pada hasil percobaan dan analisa Takezehi dan Takeuchi yang dilihat dari perubahan tekanan
selama berlangsungnya reaksi. Diperkirakan mulai 50% naik tekanannya mengikuti rumus
(3.21) juga Tabel 3.2 tekanan mula-mula diberi metanol.
Jika dicari :

26
x P  Po a Poo  Po
= dan =
a Poo  Po (a  x ) Poo  P
Jika (3.21) adalah reaksi orde satu maka
a
k t = ln
(a  x )
dimana dapat ditulis :
ln(Poo – P) = - k t + ln (Poo – Po) (3.22)

Gambar 3.1. Grafik reaksi orde pertama dari dekomposisi dari dimetil peroksid
Effek dari kenaikan tekanan udara karena adanya reaksi diberikan hasil dalam grafik 2.1.
Secara teori maka Aoo dapat dihitung (Poo = 2 Po untuk 3.19 bila tidak ada methanol). Hal
ini dapat juga Aoo dihitung sebagai parameter dengan dipakai komputer pada data processing
(Moore, 1972).
CH2 CH2 CH2
CH | HC CH2
| + C → | | (2.23)
CH \ HC C CHO
\\ H CHO \ / \
CH2 CH2 H

Berlaku pada suhu 155 – 300oC. Reaksi ini merupakan orde kedua dan kecepatan reaksi
dituliskan :
dx
= k (acrolein) (butadine)
dt
Reaksi ini cukup rumit karena secara simultan juga terjadi reaksi orde kedua dari butadein :
2 C4H6 → C8H12
Data reaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Kondensi akrolein dan butadiene pada 564,4 K
Waktu P (total -AP - A P (dim) P torr P torr k / 10
torr) torr torr akrolein butadiene torr S
0 658,2 - - 418,2 240,0 -
63 652,1 6,1 0,2 412,3 233,7 9,6
181 641,4 10,7 0,3 401,9 222,7 9,5
384 624,1 17,3 0,5 385,1 204,6 9,9
542 612,2 11,9 0,3 373,5 192,7 9,7
745 598,1 14,1 0,3 359,7 178,3 10,0
925 587,1 11,0 0,3 349,0 167,0 9,7
1145 574,9 12,2 0,3 337,1 154,5 9,8
1374 564,1 10,8 0,3 326,6 153,4 9,3
1627 552,8 11,3 0,2 315,5 131,9 9,9
1988 539,4 13,4 0,3 302,4 118,2 9,4
Rata-rata 9,7

27
Dalam tabel ini diberikan tekanan total sistem dengan variasi temperatur, mula-mula
tekanan akrolein dan butadiene diketahui. Dari total penurunan tekanan setiap waktu maka
perubahan tekanan untuk akrolein dan butadiene sudah dapat dihitung. Pertama perubahan
tekanan dimerisasi dna butadiene dihitung pendekatan dari :
0 Pdim = k (Pbutadien)2 0 t
Pbutadien adalah tekanan partial butadiene pada waktu mula-mula dan k adalah spesifik
kecepatan reaksi dimeresasi. Kemudian 0 dan pdim dihubungkan dengan 0 Ptotal memberikan
tekanan menurun sesuai dengan reaksi Diels Ader. Dari stoichiometri (3.23) dan (3.25) maka
D P Pakrolein = D P total - D Pdim (3.26)
D P Pbutadien = D P total - D Pdim (3.27)
Terlihat bahwa tekanan baru masing-masing dari habisnya interval waktu dapat diketahui
dengan (3.24)
 D Pakrolein
= k (P akrolen) (P butadien)
Dt
tekanan-tekanan pada partiel rata-rata untuk setiap komponen selama interval waktu 0 t.
Konstanta k (rata-rata 9,7 x 10-7 torr-1 S-1) dan ternyata memang reaksi tingkat dua. Cara lain
hasil integrasi 3.24 dimana dari rumusan (1.29) menjadi :
1 P
kt= o
ln akrolein + k
Pakrolein  P butadiene Pbutadiene
Bila dibuat grafik antar loh P akrolien/Pbutadien lawan waktu dapat terlihat seperti pada
Gambar 3.2.

REAKSI PADA TEKANAN TETAP


Berdasar reaksi orde pertama gas L
A → vB (3.30)
Kecepatan reaksi dengan volume berubah :
 d cA  (1 / V)dn A k nA
= = = k cA (3.31)
dt dt V
diintegralkan (3.31) menjadi bentuk :
nA  kt
= e
n A ,0
Assumsi bila gas ideal dan sistem mula-mula terdiri dari A murni, volume sistem dapat
sebagai fungsi dari reaksi.
( v  1)( n A ,0  n A )
V = Vo (1 + (v – 1) b) = Vo 1 +
n A ,0
(1  v) n A ,0
= Vo (v + (3.33)
n A ,0
Hubungan antara 3.32 dan 3.33 didapat :
V  kt
= v + (1 – v) e
Vo
dan asumsi V > 1

28
V
ln (v – ) = - k t + ln (v – 1) (3.35)
Vo
maka k dapat dihitung dengan membuat grafik ln (v/ V/Vo) lawan t. Jika konsentrasi lebih
mudah ditentukan maka persamaan (3.34) dibagi (3.32) menjadi :
C A ,0 kt
= v e + (1 – v)
CA
dan
C ,0 a
ln ( A - 1 + v) = ln - 1 + v) = kt ln v (3.37)
CA (a  x )
bila dibuat grafik antara log P acrolien/Pbutadien lawan waktu dapat terlihat seperti gambar
3.2.

29
BAB 4
METODE PENENTUAN ORDE REAKSI
Laju Reaksi dan Persamaan Laju

4.1 Laju Reaksi

Bagi suatu reaksi kimia dengan persamaan stoikiometri sebagai berikut

aA+bB→cC+dD
laju reaksi r didefinisikan sebagai

1 dA 1 dB 1 dC 1 dD
r = - =- =- =-
a dt b dt c dt d dt
Dimensi dari r adalah : konsentrasi/waktu. Bagi sistem gas, dimana diandaikan persamaan gas
ideal berlaku, maka :
konsentrasi = n/V = P/RT
sehinga pada suhu tetap, konsentrasi dapat diganti dengan tekanan P. Untuk pengamatan dengan
spektrofotometer, konsentrasi dapat diganti dengan absorbansi.

4.2 Persamaan Laju

Laju reaksi r merupakan fungsi dari berbagai variabel yang menentukan jalan reaksi, seperti :
konsentrasi pereaksi, konsentrasi hasil reaksi, suhu, tekanan total (bagi sistem gas), zat-zat lain di
luar pereaksi dan hasil reaksi (seperti katalis), dan sebagainya. Jadi
r = f(T,P,[Xi],C,…)
kefungsian r pada konsentrasi disebut sebagai persamaan laju, yang merupakan ungkapan yang
diperoleh sebagai suatu pengamatan eksperiment. Dengan kata lain, bentuk persamaan laju tak
dapat diperoleh dari persamaan stokiometri ; bentuk stokiometri yang sama dapat menghasilkan
laju yang berbeda.
Beberapa contoh berikut dapat memperjelas.
a. Reaksi hidrogen dengan iod membentuk hidrogen iodid (fasa gas).
H2 + I2 = 2HI
memiliki persamaan laju
r = k[H2][I2]
b. Reaksi hidrogen dengan brom membentuk hidrogen bromid (fasa gas)
H2 + Br2 = 2HBr
memiliki persamaan laju

k H 2 Br2 
12

r
1  k2
HBr 
Br2 

30
c. Reaksi pembentukan fosgen (fasa gas).
CO + Cl2 = COCl2
memiliki persamaan laju
r = k[Cl2]3/2[CO]
d. Reaksi penguraian asetaldehida (fasa gas)
CH3CHO = CH4 + CO

memiliki persamaan laju


r =k[CH3CHO]3/2
Kesimpulan : persamaan stokiometri suatu reaksi tidak menggambarkan proses kimia yang
berlangsung secara lengkap. Yang sebenarnya berlangsung adalah lebih rumit daripada yang
digambarkan oleh persamaan stokiometri.

4.3 Tetapan laju

Persamaan laju dapat memiliki berbagai bentuk. Bila persamaan laju berbentuk perkalian dari
konsentrasi, masing-masing dengan pangkat tertentu, seperti :
r = k[A]a[B]b[C]c…
maka dapat didefinisikan pengertian orde reaksi, yaitu :
a = orde reaksi terhadap A
b = orde reaksi terhadap B
dan seterusnya, sedangkan
k = tetapan laju reaksi.
Orde reaksi dapat bilangan bulat atau pecahan, positif maupun negatif. Bila persamaan laju tak
dapat dituliskan dalam bentuk pemfaktoran seperti diatas, seperti dalam hal reaksi antara
hidrogen dan brom, maka reaksi dikatakan tak memiliki orde tertentu terhadap berbagai
komponennya.

4.4 Penentuan Orde Reaksi

Penentuan orde raksi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : cara differensial dan cara
integral. Dalam cara differensial, yang ditentukan adalah orde reaksi terhadap salah satu
komponen pereaksi, sedangkan dalam cara integral dilakukan pengandaian suatu orde reaksi dan
dicek dengan data reaksi.

a. Cara diferrensial didasarkan atas penggunaan persamaan laju secara langsung. Untuk kasus
satu komponen, dengan persamaaan laju
r = k[A]a
maka
ln r = ln k + a ln [A]

31
Pengaluran ln r terhadap ln [A] dari data pengamatan, akan menghasilkan garis lurus, dengan
koeffisien kelerengan (slope) a dan perpotongan dengan ordinat pada ln k. Dengan demikian
orde dapat langsung ditentukan melalui penarikan garis lurus terbaik (berdasarkan data
pengamatan) dan penentuan kelerengannya.
Bila reaksi terdiri atas dua pereaksi, dengan persamaan laju dituliskan sebagai
r = k[A]a[B]b
salah satu komponen dibuat berharga “tetap”, denagan cara menggunakan konsentrasi yang jauh
lebih besar dari yang lain. Jadi, jika [B]>>[A],maka perubahan harga [A] tak akan banyak
mempengaruhi [B] sehingga selama reaksi berlangsung dapat dianggap “tetap”. Dengan
demikian, dari ungkapan
ln r = {ln k + b ln [B]} + a ln [A]
Pengaluran ln r terhadap ln [A] tetap menghasilkan orde terhadap A dengan suku dalam kurung
{…} merupakan perpotongan dengan ordinat. Proses ini dapat dibalik, dengan membuat
konsentrasi A “tetap” untuk memperoleh orde terhadap b, dan kemudian harga tetapan laju k.

b. Cara integral didasarkan atas pengandaian harga orde reaksi tertentu terhadap suatu
komponen. Jadi diandaikan berorde a terhadap komponen A, persamaam laju menjadi ( untuk
satu komponen ) :
d A
r =- = -k dt
Aa
Bila orde reaksi a=1, integrasi menghasilkan ungkapan
ln [A] = ln [A]0 – kt
sehingga pengaluran ln [A] terhadap t akan menghasilkan garis lurus, dengan kelerangan sebesar
–k. Disini [A]0 adalah konsentrasi A pada awal reaksi, yaitu t=0.
Bila digunakan andaian orde a  1, integrasi akan menghasilkan
1 1  k 
 a 1   t
A a 1
A0  a  1 
1
Pengaluran dari data eksperiment terhadap waktu t akan menghasilkan kurva garis lurus,
Aa 1
 k 
dengan kelerengan sebesar  .
 a 1
Cara integral biasanya digunakan setelah ada indikasi besar orde reaksi dari cara differensial.
1. Suatu reaksi gas-gas :
2A(g) → 2B(g) + C(g)
yang berlangsung pada suhu dan volume tetap, diamati melalui pengukuran tekanan total, Ptot
dari campuran. Jika pada t =0 hanya ada gas A saja, hasil pengamatan adalah sebagai berikut :

T, menit Ptot , atm

0 2,000

20 2,182

40 2,308

32
60 2,400

80 2,471

100 2,526

Pertanyaan :
a. Turunkan hubungan antara tekanan total, Pt ; tekanan parsial, PA dan tekanan awal, Po.
b. Tunjukan bahwa reaksi adalah orde dua tertahap A.
c. Tentukan harga tetapan laju, k beserta satuan yang tepat.
Jawab :
a. Reaksi : 2A(g) → 2B(g) + C(g)
Awal (Po,t = 0): Po - -
Terurai : x x ½x
Pada t = t : Po – x x ½x
8
Menurut Dalton: Ptot = p
i 1
i (V, T tetap), dengan Pi = tekanan parsial komponen i

Pt = PA + PB + PC
P t = PO – x + x + ½ x
Pt = PO + ½ x → x = 2Pt – 2PO
Jadi : PA = PO – x
PA = PO – 2Pt + 2PO

PA = 3PO – 2Pt
Coba uji ungkapan tersebut apakah benar pada saat t = 0 hanya gas A saja.
Pengujian : t = 0 ; PO = 2,000 dan Pt = 2,000 atm
Jadi : PA = 3 x 2 - 2 x 2
= 2,000 atm …… (benar)
b. Untuk membuktikan orde reaksi lebih cepat dan tepat, digunakan metode integral.

Caranya :

dPA
-  kPA2
dt

33
PA t
dPA
-  2  k  dt
PO PA t 0

1 1
  kt
PA PO

1 1
 kt 
PA PO

Alurkan 1/PA terhadap t, jika diperoleh garis lurus, maka benar bahwa data tersebut mengikuti
reaksi orde dua

T, men Ptot , atm PA, atm 1/PA, atm

0 2,000 2,000 0,500

20 2,182 1,636 0,611

40 2,308 1,384 0,722

60 2,400 1,200 0,833

80 2,471 1,058 0,945

100 2,526 0,948 1,055

Kesimpulan benar orde dua karena aluran 1/PA terhadap t berupa garis lurus.

c. Dari grafik diperoleh ; tg  = k = 5,29 x 10-3

dPA
Satuan k : -  kPA2
dt
atm
 k .atm 2  k  atm 1 men 1
men
d. hitung kembali dari harga n dan k yang diperoleh. Hitunglah nilai Ptot pada t = 40 menit.
Jawab :
1 1
kt 
PA PO

1 1
 5,29 x10  3 x 40 
PA 2,000

34
PA = 1,405
Sedang : PA = 3PO – 2Pt

3 1
 Ptot = x 2  x1,405
2 2
 Ptot = 2,297 atm

2,308  2,297
% = kesalahan = x100 %
2,308

= 0,46%

2. Suatu reaksi gas-gas diberikan oleh persamaan reaksi :


2A(g) → B(g) + 2C(g)
Diamati melalui pengukuran tekanan total dari campuran sebagai fungsi dari waktu. Hasil
pengamatan adalah sebagai berikut :

t, menit Ptot, atm

0 1,200

10 1,400

20 1,500

30 1,560

40 1,600

50 1,629

60 1,650

70 1,680

80 1,700

100 1,715

120 1,725

35
140 1,725

Jika pada awal reaksi hanya ada A saja, maka :


a. Turunkan hubungan antara tekanan total, Ptot; tekanan parsial, PA; dan tekanan awal PO.
b. Hitung tekanan parsial, PA sebagai fungsi waktu.
dp A
c. Bila persamaan laju adalah : -  kPAn
dt
tentukan orde reaksi, n dari data tersebut.
d. Tentukan harga tetapan laju, k beserta satuannya yang tepat !
e. Dari harga n dan k yang diperoleh, hitung kembali Ptot pada t = 20 nenit dan hitung %
kesalahannya.
f. Pada menit keberapakah tekanan total menjadi 1,7625 atm ?
Jawab :
a. penyelesaian sama seperti soal 1a.
b. dengan menggunakan ungkapan yang diperoleh pada soal nomor a, tekanan parsial A
sebagai fungsi waktu dapat dihitung.
c. untuk menentukan orde dari data diatas, dapat diselesaikan dengan dua cara
1. dengan melihat waktu paruhannya
2. dengan menggunakan metoda differensial
Keterangan 1 :
Turunkan hubungan waktu paruh, t1/2 ; tekanan awal, PO dan orde reaksi, secara umum.
Mulailah dari hukum laju bentuk differensial :

dPA
-  kPAn
dt
Untuk orde nol :

dPA
- = kP0A
dt
1 / 2 p0 t1/ 2
dPA
- 
po
PA
=k  dt
t 0

1 
-  po  po = kt1/2
2 

36
1
po = kt1/2
2

P0
t1/2 = ……….. 1
2k

Untuk orde satu :

dPA
- = kPA
dt
1/ 2 p0 t1/ 2
dPA
- 
po
PA
=k  dt
t 0

1
po
- ln 2 = kt1/2
po

ln 2
t1/2 = ………..2
k

Untuk order dua :

dPA
- = kPA2
dt
1 / 2 p0 t1/ 2
dPA

po p 2A
=k  dt
t 0

1 1
- = kt1/2
1 po
po
2

1
t1/2 = ………….3
k. p o

Dari tiga data t12 untuk masing-masing orde, dapat disimpulkan bahwa kaitan t1/2 po dan orde
reaksi umum :

37
t1/2 ≈ Po1-n ………………4

Dengan menggunakan hubungan di nomor 4, maka reaksi tersebut mengikuti reaksi orde dua,
buktikan !!
Keterangan 2 :
Dengan menggunakan metoda differensial akan diperoleh orde reaksi yang tepat. Mengapa tidak
menggunakan metode integral ?

dPA
- = kPAn
dt
r = k. PAn………….1
ubahlah persamaan 1 menjadi persamaan garis lurus :
ln r = ln k + n ln PA
isilah tabel berikut :

dPA
t, men Ptot, atm PA, atm PA Ln PA r=- Ln r
dt

1,2  0,8 1,2  0,8


0 1,200 1,200 0 - 3,219
2 10  2

10 1,400 0,800 0,7 -0,3567 0,02 -3,912

20 1,500 0,6 0,54 -0,6162 0,42 -4,428

30 1,560 0,48 0,44 0,008 -4,428

40 1,600 0,4 0,371 5,8.10-3 -5,150

50 1,629 0,342 0,321 4,2. 10-3 -5,473

60 1,650 0,3 0,97 6. 10-3 -5,116

80 1,680 0,24 0,22 4. 10-3 -5,522

100 1,700 0,2 0,185 3. 10-3 -5,809

120 1,715 0,17 0,135 7. 10-3

140 1,75 0,1

- Buatlah grafik, alurkan ln r terhadap ln PA , harus menghasilkan garis lurus. Dari grafik
tersebut koefisien arahnya merupakan orde reaksi dan intersepnya adalah ln k . dari hasil
tersebut, k dapat dicari .
d. dengan menggunakan waktu paruh orde dua.

38
1
T1/2 =
k. Po

1
K =
t1 / 2 . Po

1
K =
20 x 1,2

K = 0,042 .atm-1 menit-1


Bandingkan hasil ini dengan hasil yang diperoleh dari grafik.
e. n = orde reaksi = 2
k = tetapan laju = 0,042 .atm-1 menit-1
dari hasil integrasi hukum laju dengan n = 2, diperoleh :

1 1
= + kt
PA Po

1 1
= + 0,042 x 20
PA 1,2

PA = 0,598 atm
PA = 3 Po – 2 Pt

3 1
Pt = p o - PA
2 2

3 1
= x 1,2 - x 0,598
2 2
Pt = 1,501 .atm

1,501  1,500
Jadi % kesalahan = x 100 %  0,08 %
1,500

f. PA = 3 Po – 2 Pt
PA = 3 x 1,2 – 2 x 1,7625
PA = 0,075.atm
Ternyata hasilnya adalah paruhan dari o,150. Jadi, dengan menggunakan hubungan t1/2 , orde dua
dapat ditentukan. Pada menit keberapa tekanan total menjadi 1,7625 ?

39
( Kunci jawaban = 220 menit )

3. reaksi antara A dan B berlangsung dengan konsentrasi awal Ao = 0,4 mol / L dan B Bo =
0,6 mol / L. Reaksi diikuti dengan mengukur perbandingan konsentrasi [A]/ [B] pada tiap saat,
dengan hasil sebagai berikut :

t, menit [A]/ [B]

0 1,50

5 1,61

10 1,73

15 1,86

20 2,00

25 2,15

30 2,31

Pertanyaan :
a. Tunjukkan bahwa reaksi orde dua berbentuk :
r = k [A].[B]
b. Tentukan harga tetapan laju, k beserta satuannya :
Jawab :
a. Turunkan terlebih dahulu Ao, Bo, A, B , dan t dari hukum laju bentuk differensial.
A+B→X

dA dB dX
- =- = = k [A].[B]
dt dt dt
pada saat awal, t = 0 : [A] = [A] 0
[B] = [B] 0
pada saat t = t, : [A] = [A] 0 – X
[B] = [B] 0 – X

dX
: = k [A0 – X ] [B0 – X ]
dt
x t
dX
:  = k dt
0
A0  X B0  X  0

40
dengan teknik-teknik matematika, maka persamaan diatas dapat diselesaikan dan
menghasilkan :

ln
B  ln B0 = + ( B0 – A0 ) k.t
A A0
Buatlah grafik ln [A]/ [B] terhadap t. Apabila diperoleh garis lurus, maka terbukti bahwa laju
reaksi adalah r = k [A].[B] dengan orde total = 2
b. Isi tabel berikut :
t, menit [A] / [B] Ln [A] / [B]

0 1,50 0,405

5 1,61 0,476

10 1,73 0,548

15 1,86 0,620

20 2,00 0,693

25 2,15 0,756

30 2,31 0,837

Grafik aluran ln [A] / [B] terhadap t lihat lampiran 2 :


Dari grafik diperoleh : tg α = 0,014
= ( B 0 – A0 ) k

0,014
jadi : k =  0,07.mol 1 L.menit 1
( B0  A0 )

4. Suatu penguraian gas : Q → hasil


Diikuti dengan mengukur harga t1/2 pada berbagai tekanan awal. Data pengamatannya sebagai
berikut :

P0,atm t1/2, menit

0,4 84

0,8 71

1,2 64

1,6 60

41
2,0 56

2,4 54

Pertanyaan :
a. Turunkan terlebih dahulu hubungan antara t1/2, P0, orde rekasi, n dan tetapan laju, k.
b. Tentukan orde reaksi ,n dan k
Jawab :
a. Hukum laju bentuk differensial :
dP
- A = kPAn
dt
1 / 2 P0 t1 / 2
dPA
- 
P0 PAn
=k  dt
t 0

Diandaikan bahwa n tidak sama dengan 1, maka :

1
P01-n l 1p0/ 2 p0 = kt1/2
 n 1
1 n
1  1 n
 P0   P0   ( n  1 ) k .t1 / 2
2 

 1  1 n  1 n
   P0  ( n  1 ) kt1 / 2
 2  

( n  1 )k
P0 1n  1 n
t1 / 2
1
  1
2
b. Untuk menentukan orde reaksi n, buatlah persamaan diatas menjadi persamaan garis lurus
1 n
 1  
: (1  n ) ln p 0  ln ( n  1 )k  ln    1  ln t1 / 2
 2  
1 1  1  1 n  1
ln P0  ln ( n  1)k - ln    1  ln t1 / 2
1 n 1  n  2   1  n

1
buatlah grafik aluran ln P0 terhadap ln t1/2 dengan koefisien arah : dan intersept :
1 n
1   1  1 n  
ln ( n  1 ) k  ln    1 
1 n   2   

42
dari koefisien arah dapat diperoleh orde reaksi dan dari intersept dapat diperoleh harga
tetapan laju .
5. Suatu reaksi diperkirakan memiliki persamaan laju berbentuk :
r = k [A] a [B]b
Pengamatan laju awal r0 ( dalam satuan mol.liter-1.menit-1 ) pada beberapa konsentrasi (
mol.liter-1 ) dari A dan B adalah sebagai berikut :

No [A] [B] r0

1 0,20 0,20 0,0140

2 0,40 0,20 0,0198

3 0,40 0,40 0,0560

4 0,40 0,80 0,1580

5 0,80 0,20 0,280

6 0,80 0,80 0,2240

Pertanyaan :
Atas dasar data tersebut, tentukan a,b dan k
Jawab :
Dalam menentukan orde reaksi terhadap A dan B. gunakan metoda isolasi.
1. Untuk menentukan orde terhadap A , carilah data dimana [B] konstan
2. Untuk mencari orde terhadap B, carilah data dimana [A] konstan.
Penentuan orde terhadap A :
Ambil data 1,2 dan 5 :
Persamaan laju : r = k [A] a [B]b
Ln = ln k + b ln [B] + a ln [A]
Ln r = ln k’ + a ln [A] Dengan ln k’ = ln k + b ln [B]

No [A] Ln [A] r0 Ln r0

1 0,2 -1,609 0,0140 -4,269

2 0,4 -0,916 0,0198 -3,922

3 0,8 -0,223 0,0280 -3,575

43
Buatlah grafik dengan mengalurkan ln r0 terhadap ln [A] didapat hasil orde terhadap A =
0,5 dan ln k’ = -3,47 maka : - 3,47 = ln k + b ln 0,2…..1
Penentuan orde terhadap B :
Ambil data 2,3 dan 4 dengan [A] = 0,4
Persamaan laju : ln r = ln k’’ + b ln [B] Dengan ln k’’ = ln k + a ln [A]
No [B] Ln [B] r0 Ln r0

2 0,2 -1,609 0,0198 -3,922

3 0,4 -0,916 0,0560 -2, 882

4 0,8 -0,223 0,01580 -1, 845

Buatlah grafik dengan mengalurkan ln r0 terhadap ln [A]


Didapat orde terhadap B = 1,5
Dan ln k’’ = -1,5
Maka – 1,5 = ln k + 0,46 ln 0,4………..2
Dari persamaan 1 dan 2 dapat diperoleh harga k = 0,344 mol-0,96L.menit-1

44
BAB 5
Reaksi Sederhana dan Reaksi Rumit.

5.1 Suatu reaksi disebut sebagai reaksi sederhana bila persamaan stokiometrinya
menggambarkan apa yang sebenarnya berlangsung. Jadi, dalam hal reaksi
H2 + Br  HBr + H
dimana satu molekul H2 bertumbukan denga satu atom Br, dan terjadi pertukaran “partner”
dengan pembentukan HBr dan H, maka reaksi tersebut adalah reaksi sederhana.
Bagi reaksi sederhana, teori reaksi kimia menunjukkan bahwa persamaan lajunya berupa
pemfaktoran dari konsentrasi pereaksi. Jadi, dalam hal reaksi

H2 + Br  HBr + H

persamaan lajunya diberikan oleh

r  k H 2 Br 

Demikian pula, bagi dissosiasi spontan seperti


Br2 = 2Br
persamaan lajunya diberikan oleh
r = k[Br2]
Suatu reaksi kimia disebut sebagai reaksi rumit atau kompleks bila reaksi tersebut tersusun atas
beberapa reaksi sederhana. Karena itu, pada umumnya persamaan laju reaksi rumit tidak dapat
diturunkan dari persamaan stoikiometrinya. Sebagai contoh adalah reaksi-reaksi H2 + Cl2, CO +
Cl2, dan sebagainya, dalam contoh di atas.

Tetapi, sebaliknya tak selalu berlaku. Artinya, bila persamaan laju mengikuti persamaan
stokiometrinya, reaksi tersebut belum tentu reaksi sederhana. Sebagai contoh adalah H2 + I2,
yang persamaan lajunya berupa pemfaktoran kedua konsentrasi, tetapi penelitian terakhir
menunjukkannya bukan suatu reaksi sederhana.
Untuk membedakan suatu persamaan reaksi sederhana dari suatu persamaan stokiometri reaksi
rumit, bagireaksi sederhana digunakan tanda panah. Jadi
H2 +Br → HBr + H
5.2 Terdapat berbagai cara untuk menyusun reaksi-reaksi sederhana menjadi suatu reaksi rumit.
Untuk itu secara sederhana terdapat tiga macam susunan, yaitu :
a. Suatu reaksi paralel
b. Susunan reaksi berurutan/ konsekutif
c. Susunan reaksi berlawanan

45
Suatu susunan reaksi disebut sebagai parallel bila satu pereaksi secara bersamaan dapat
mengalami dua atau lebih reaksi yang berbeda, dengan produk yang berbeda pula. Dengan begitu
maka bagi susunan
k1
A + B  P1 + …
k2
A + C  P2 + …
persamaan lajunya diberikan oleh

d  A
r  k1 AB   k2 AC 
dt

 k1 B  k2 C  A

Suatu susunan reaksi disebut sebagai berurutan bila salah satu produk dari reaksi pertama
mengalami reaksi lebih lanjut pada reaksi kedua. Sebagai contoh adalah dua reaksi pertama pada
mekanisme dissosiasi etana, dengan kehadiran oksida nitrogen :
k1
C2H6 + NO  C2H5 + HNO
k2
C2H5  H + C2H4
Disini C2H5 disebut zat antara, karena tidak terdapat dalam produk reaksi maupun dalam
pereaksi. Laju pembentukan C2H5 diberikan oleh

d C2 H 5 
 k1C2 H 6 NO   k 2 C2 H 5 
dt
Karena konsentrasinya tak dapat diamati, konsentrasi zat antara tidak akan tersdapat dalam
persamaan laju reaksi rumit bersangkutan.

Suatu susunan reaksi disebut berlawanan bila produk-produk reaksinya dapat bereaksi kembali
menghasilkan reaksi awal. Sebagai contoh adalah satu bagian dari mekanisma pembentukan HBr
dari hidrogen dan brom :
k1
Br + H2  HBr + H
k2
H + HBr  H2 + Br
Ini bukan suatu reaksi keserimbangan, karena lajunya tak harus sama pada kedua arah.
Penyusunan persamaan laju berdasar mekanisma.

Suatu mekanisma yang berupa reaksi berurutan akan memiliki suatu zat antara. Pada awal reaksi,
konsentrasi zat antara ini nol yang kemudian bertambah; pada saat yang sama zat ini mengalami
reaksi pula, yang mengurangi konsentrasinya. Bila laju pembentukan suatu saat seimbang

46
dengan laju pengurangannya, konsentrasinya akan kira-kira tetap selama selang waktu tertentu.
Setelah itu akan berkurang terus hingga pada akhir reaksi habis.

3.1 Dalam berbagai reaksi, selang waktu dimana konsentrasi zat antara ini relatif konstan dapat
cukup panjang. Selama masa ini bila X adalah zat antara, dapat digunakan pendekatan
d X 
0
dt
Situasi ini dapat dimanfaatkan untuk menyingkirkan ungkapan konsentrasi zat antara dari
ungkapan akhir persamaan laju. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan steady state atau
dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai keadaan tunak. Persamaan laju yang diturunkan
melalui pendekatan ini jelas tak akan berlaku pada awal reaksi maupun pada akhir reaksi, dimana
konsentrasi zat antara berubah cepat dengan waktu.

Sebagai contoh adalah suatu reaksi yang secara stokiometri diberikan oleh

A+BC+D
a. Salah satu kemungkinan mekanisma reaksi, yang melibatkan suatu zat antara X, adalah
sebagai berikut
k1
A + B  X+D
k2
X  C
Mendasarkan laju reaksi pada pembentukan produk C

d C 
r  k 2 X 
dt
ungkapan bagi konsentrasi X diperoleh dari pendekatan steady state bagi X, yaitu
d X 
 k1  AB   k 2 X   0
dt

X   k1AB 
k2

Atas dasar ini maka persamaan laju secara keseluruhan menjadi

r  k1AB

47
b. Suatu kemungkinan mekanisma lain, yang melibatkan reaksi berlawana adalah sebagai berikut
k1
A + B  X+D
k 1
X + D  A+B
k2
X  C
Pendekatan steady state bagi X

d X 
 k1  AB   k 2 X   0
dt

X   k1AB 
k2

Atas dasar ini maka persamaan laju secara keseluruhan menjadi

r  k1AB

3.2 Dalam mekanisme kedua, dimana terdapat reaksi berlawanan, bila kedua tetapan laju dari
reaksi berlawanan ini jauh lebih besar dari tetapan laju reaksi terakhir

k1  k1  k2

maka reaksi terakhir tak berpengaruh pada pasangan reaksi berlawanan. Pasangan reaksi ini
praktis mengalami suatu kesetimbangan. Keadaan ini dapat dimanfaatkan, yaitu

X   k1AB 
k1 D 

sehingga persamaan laju menjadi

 k k  AB 
r   1 2 
 k 1  D 

Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan kesetimbangan. Perhatikan bahwa ini dapat
diperoleh melalui pengabaian k2 dalam penyebut dari ungkapan persamaan laju yang diperoleh
melalui pendekatan steady state.

3.3 Dengan berkembangnya komputer, bentuk kurva konsentrasi tiap komponen sebagai fungsi
waktu, dalam suatu mekanisme reaksi dapat diperoleh melalui integrasi numerik secara
langsung dari persamaan laju tiap spesies. Akan nampak bahwa konsentrasi dari reaksi menurun
dengan waktu, konsentrasi zat-zat antara (dapat lebih dari satu, dalam suatu mekanisme yang

48
rumit) pertama kali naik kemudian mencapai bagian datar dan kemudian turun, sedangkan
konsentrasi produk akan naik dengan waktu. Melalui cara ini pula dapat disimulasi jalannya
reaksi, serta dapat dievaluasi pula seberapa jauh pendekatan steady state berlaku.

Keuntungan cara integrasi numerik secara langsung ini adalah dapat diamati secara langsung
pengaruh berbagai variabel pada jalan reaksi, seperti : konsentrasi awal pereaksi, kehadiran
katalis, perubahan harga tetapan laju, serta berbagai faktor lain. Hal-hal ini sulit dipelajari bila
digunakan kedua pendekatan di atas.

3.4 Untuk memperjelas berbagai prinsip di atas, akan dibahas mekanisme sederhana dari
beberapa reaksi yang telah dikenal.
a. Reaksi pembentukan fosgen, yang diberikan oleh persamaan stokiometri
CO + Cl2  COCl2
dengan persamaan laju
d COCl 2  3
r  k Cl2  2 CO 
dt
Reaksi ini diterangkan melalui suatu mekanisme yang melibatkan beberapa kesetimbangan
seperti berikut :

(i) Cl2  2Cl2

(ii) Cl + CO  COCl
k3
(iii) COCl + Cl2  COCl2 + Cl

Dari dua reaksi kesetimbangan diperoleh ungkapan-ungkapan berikut :

Cl 2  K
Cl2  1
COCl   K
CO Cl  2
yang menghasilkan ungkapan
1
COCl   K1 2 K 2 Cl 12 CO 
Persamaan laju pembentukan fosgen menjadi

49
d COCl 2   k Cl COCl 
3 2
dt
1 3
 k3 K1 2 K 2 Cl2  2 CO 

Sesuai dengan persamaan laju yang diamati.


b. Reaksi penguraian nitrogen pentokside
2N2O5  2 N2O4 + O2
yang memiliki persamaan laju orde satu

r  k N 2O5 

Semenjak kinetika reaksi ini dipelajari oleh Daniels dan Johnston di tahun 1921, telah banyak
menimbulkan kontroversi, karena disangka merupakan contoh suatu reaksi dissosiasi unimolekul
yang sebenarnya. Penelitian pengaruh berbagai variabel menunjukkan bukan reaksi unimolekul.
Untuk itu, saat ini mekanisme yang diterima adalah sebagai berikut :
k1
(i) N2O5  NO2 + NO3
k 1
(ii) NO2 + NO3  N2O5
k2
(iii) NO2 + NO3  NO2 + O2 + NO
k3
(iv) NO + N2O5  3NO2
yang diusulkan oleh Ogg. Penerapan pendekatan steady state bagi NO3 dan NO :
d NO3 
 k1NO   k1  k2 NO2 NO3   0
dt
d NO 
 k2 NO2 NO3   k3 NO N 2O5   0
dt
sedangkan laju reaksi adalah
d N 2O5 
-  k1N 2O5   k 1NO2 NO3   k3 NO N 2O5 
dt
Penyisihan (eliminasi ) konsentrasi NO dan NO3 akhirnya menghasilkan

2k1k2 N 2O5 
r
k 1  k2

sesuai pengamatan.
c. Reaksi penguraian ozon, yang terjadi pada permukaan-permukaan
2O3  3O2

50
yang dipelajari oleh Chapman dan Jones semenjak 1910 memiliki perilaku yang rumit. Reaksi
diamati berbanding terbalik dengan konsentrasi oksigen dan pada keadaan oksigen berlebihan
diamati berorde dua terhadap ozon.
Mekanisme yang saat ini diterima adalah dari Benson dan Axworthy (tahun 1957), yaitu
k1
(i) O3 + M  O2 + O + M
k 1
(ii) O2 + O + M  O3 + M
k2
(iii) O + O3  2O2
dengan laju reaksi
d O3 
-  k 1 O3 M   k 1 O2 O M   k 2 O O3 
dt
dimana M adalah molekul sebarang atau permukaan.
Penerapan kaidah steady state bagi konsentrasi O menghasilkan

k1 O3 M 
O  
k1 O2 M   k2 O3 

sehingga ungkapan laju menjadi

2k1k2 O3  M 
2
r
k1O2 M   k2 O3 

51
LATIHAN
Reaksi Sederhana dan Reaksi Rumit

1. Tunjukkan bahwa mekanisme di bawah ini,

I2  2I ( cepat )………….1

I + H2  H2I ( cepat )…………2

H2 I + I  2HI ( lambat )………..3


Menunjukkan bahwa reaksi antara hidrogen dan iodium memenuhi persamaan laju :
r = k [H2] [I2]

Jawab :
Tulis dahulu hukum laju HI melalui tahap yang paling lambat :
d HI 
 k3 H 2 I I .................1
dt
di dalam ungkapan laju 1 terlihat ada zat antara yaitu H2I dan I. Ungkapkan zat antara
tersebut ke dalam molekul-molekul yang stabil melalui pendekatan kesetimbangan.

[ I ]2
 I   K1 I 2 ...................2
2
K1 =
[ I ]2

K2 = H 2 I   H 2 I   K 2 I H 2 ..................3
I H 2 
masukkan persamaan 3 kedalam persamaan 1 :
r  k3 K 2 I H 2 I 
r  k3 K 2 I  H 2 .................4
2

masukkan persamaan 2 ke dalam persamaan 4 :

r  k3 K 2 K1I 2 H 2 

maka : r  k I 2 H 2  ............. terbukti

dengan k = k3K2K1
2. Diberikan mekanisme reaksi :

Cl2

52
Cl2 + Cl
Cl3 + CO
Buktikan hukum laju reaksi maju COCl2 adalah :

d COCl2 
 k3 Cl2  CO 
3/ 2

dt

dan reaksi balik COCl2 adalah :


d COCl 2 
 k 1Cl2  COCl2 
1/ 2
-
dt
dengan menggunakan pendekatan stedy state dan kesetimbangan.

Jawab :
a. Pendekatan steady state,
Reaksi maju :

d COCl 2 
 k3 Cl3 CO ...............1
dt
di dalam persamaan laju 1 terlihat bahwa ada [Cl3] yang merupakan zat antara, karena jumlah
zat antara ini setiap saat konstan, maka perubahan terhadap waktu dapat dianggap sama
dengan nol.

d Cl3 
 k 2 Cl Cl2  k 2 Cl3   0.............2
dt
untuk mendapatkan [Cl3] ternyata melibatkan zat antara lain yaitu [Cl] maka berlaku juga
d Cl 
0
dt
d Cl 
 2 k1Cl2   2 k 1Cl   0.................3
2

dt

1/ 2
 
Cl    k1  Cl2 1 / 2 ..................4
 k1 

masukkan persamaan 4 ke dalam persamaan 2 :

53
1/ 2
k 
k2  1  Cl2 3 / 2  k 2 Cl3 
 k1 
1/ 2
   k1 
Cl3    k2    Cl2 3 / 2
 k 2   k 1 
 K 2 K1
1/ 2
Cl2 3 / 2 ...................5
masukkan persamaan 5 kedalam persamaan 1, maka akan diperoleh hukum laju bagi reaksi
maju :

d COCl 2 
 k3 K 2 K1 Cl2  CO 
1/ 2 3/2

dt
 k Cl2  CO 
3/ 2

dengan k = k3K2K11/2 dan orde total = 2 ½


Reaksi balik :
d COCl 2 
-   k  3 COCl 2 Cl2 ......................6
dt
dengan cara yang sama dengan reaksi maju, maka dapat diperoleh :
1/ 2
d COCl2  k 
  k3  1  Cl2 1 / 2 COCL2 
dt  k1 
 k 1Cl2  COCl2 
1/ 2

b. Pendekatan kesetimbangan
Reaksi maju :

K2 
Cl3  .............7
Cl Cl2 
masukkan persamaan 7 ke dalam persamaan 1

d COCl 2 
 k3 K 2 Cl Cl2 CO ..................8
dt

K1 
Cl 2  Cl   K 1 / 2 Cl 1 / 2................9
Cl2  1

masukkan persamaan 9 ke persamaan 8, hingga diperoleh :

54
d COCl2 
 k3 K 2 K1 Cl2  Co 
1/ 2 3/ 2

dt
 k Cl2  CO 
3/ 2

Reaksi balik :
d COCl 2 
-  k3 COCl 2 Cl .................10
dt
dengan cara yang sama akan diperoleh :
d COCl2 
 k 3 K1 COCl 2 
1/ 2
-
dt
kesimpulan yang diperoleh adalah : dua pendekatan di atas menghasilkan hasil yang
sama.
3. Mekasnisme fotolisa asetalhida diberikan sebagai berikut
1
CH 3CHO  hv 
 CH 3  CHO
2
CHO 
 CO  H
3
CH 3  CH 3CHO 
 CH 4  CH 3CO
4
CH 3  CO 
 CH 3  CO
5
H  CH 3CHO 
 H 2  CH 3CO
6
2 CH 3 
 C2 H 6

Turunkan hukum laju bagi CH4!

Jawab :
Pendekatan steady state :
d CH 4 
 k3 CH 3 CH 3CHO 
dt

kemudian cari ungkapan untuk [CH3]


d CH 3 
 k1 CH 3CHO  hυ - k3 CH 3 CH 3CHO  k4 CH 3CO   k6 CH 3 
2 2
1. 0 
dt
untuk mendapatkan [CH3] harus diketahui dahulu [CH3CO]

d CH 3CO 
2. 0  dt  k3 CH 3 CH 3CHO   k 4 CH 3CO  k5 H CH 3CHO 
dt
demikian juga untuk mendapatkan [CH3CO] perlu mengetahui konsentrasi dari [H].

55
d CH 3 
 k1 CH 3CHO  hυ - k3 CH 3 CH 3CHO  k4 CH 3CO   k6 CH 3 
2 2
3. 0 
dt
d CH 3CO 
4. 0  dt  k3 CH 3 CH 3CHO   k 4 CH 3CO  k5 H CH 3CHO 
dt
jumlahkan persamaan 1,2,3 dan 4, maka akan diperoleh :

2 k1 [CH3CHO] h   2 k6 CH 3   0
2

1/ 2
 
CH 3    k1  CH 3CHO h1 / 2
 k6 
1/ 2
k 
  1  I 1 / 2 .................5
 k6 

dengan [ I ] = intensitas sinar yang diadsorpsi


= [ CH3CHO ] h ν
masukkan persamaan 5 ke dalam hukum laju bagi CH4
1/ 2
d CH 4  k 
 k3  1  I 1 / 2 CH 3CHO
dt  k6 
d CH 4 
 k I  CH 3CHO
1/ 2

dt

56
Latihan soal :
1. Turunkan hukum laju bagi reaksi antara H2 dan I2 yang memiliki mekanisme
reaksi
k1
H2  2H

I2 
k 1
2I

k2
I + H2  HI + H
k3
H + I2  HI + I

(jawab : r = k [H2] [I2]1/2)


2. Buktikan dalam klorinasi kloroform melalui fotokimia dengan reaksi total adalah :
CHCl3 + Cl2  CCl4 + HCl

Mempunyai hukum laju :

d CCl 4 
 k I  CHCl3 
1/ 2

dt
Petunjuk : susun dahulu mekanisme reaksi.
3. Mekanisme dekomposisi etana dengan adanya nitrogen monoksida, NO yang cukup
memberikan inhibisi total adalah :
C 2 H 6  NO  C 2 H 5  HNO
C2 H 5  H  C2 H 4
H  C2 H 6  C2 H 6  H 2
H  NO  HNO
C 2 H 5  HNO  C 2 H 6  NO

tunjukkan hukum laju [C2H4] tidak dipengaruhi oleh adanya NO dengan menggunakan
pendekatan steady state.
1/ 2
d C 2 H 4   k1 k 2 k 3 k  4 
   C 2 H 6 
dt  k 1 k 4 

4. Bagi reaksi 2A + B → 2D diberikan data berikut :


a. A + B
Turunkan hukum laju bagi D dengan menggunakn pendekatan steady state :
dD k A B
2
(Jawab :  )
dt 1 k 1 A

57
5. Penguraian N2O5 bila ada NO diberikan oleh mekanisme reaksi sebagai berikut :
N2O5
k1
NO + NO3  2NO2
a. gunakan anggapan steady state untuk mendapatkan ungkapan laju reaksinya, yaitu :
d N 2 O5  d NO
- 
dt dt
b. gunakan orde reaksi awal, dimana konsentrasi NO2 praktis nol ?
c. bagaimana orde reaksi pada konsentrasi [NO] yang sangat besar ?

58
BAB 6
TEORI REAKSI UNIMOLEKULER

Didalam reaksi unimolekuler, molekul reaktan tunggal terisomerisasi atau terdekomposisi untuk
menghasilkan satu atau lebih produk. Dalam istilah teori laju reaksi, keadaan transisi atau
komplek teraktivasi memiliki konfigurasi serupa terhadap reaktan sehingga prosesnya dapat
direpresentasikan dengan:

A → A* → produk
Pada tahun 1920-an, sejumlah dekomposisi fasa gas (misalnya: dinitrogen pentaoksida,
dimetil eter, aseton) ditemukan mematuhi kinetik orde satu dan mula-mula diperkirakan sebagai
proses elementer (dasar). Namun demikian ditemukan lebih lanjut bahwa reaksi ini bukan proses
unimolekuler, tetapi reaksi berantai dimana tahap pertama seringkali unimolekuler untuk
menghasilkan radikal-radikal bebas. Banyak proses isomerisasi merupakan reaksi unimolekuler,
misalnya isomerisasi siklopropana ke propilena.

CH2
 CH3CH=CH2
CH2 CH2

Pada mulanya sangat sulit untuk menjelaskan bagaimana molekul dapat teraktivasi dalam
proses unimolekuler. Jika aktivasi karena tumbukan antar molekul-molekul, maka tentunya
diasumsikan bahwa sistem akan memperlihatkan kinetika orde dua. Telah dipikirkan bahwa
molekul-molekul mengabsorbsi energi aktivasi mereka dari radiasi yang diemisikan oleh dinding
wadah, tetapi teori ini terbantah saat konstanta laju reaksi unimolekuler ditemukan tergantung
pada volume wadah reaksi.

6.1 Teori Lindemann


Pada tahun 1922 Lindemann memperlihatkan bahwa reaksi unimolekuler memang
memperoleh energi aktivasinya melalui tumbukan bimolekuler, tetapi proses ini bisa memicu
kinetika orde satu, kecuali pada tekanan rendah. Teorinya merupakan perkembangan penting dan
tetap menjadi landasan bagi semua teori-teori modern tentang reaksi unimolekuler.
Teori Lindemann mengasumsikan bahwa molekul reaktan teraktivasi oleh tumbukan satu
sama lain, yaitu dengan tumbukan bimokuler. Dia mempostulasikan bahwa ada selang waktu
(time lag), antara aktivasi dan reaksi dari molekul-molekul berenergi ini untuk
menghasilkan produk. Sebagai konsekuensinya, kebanyakan molekul berenergi bertabrakan
dengan molekul reaktan normal sebelum mereka dapat bereaksi, sehingga kelebihan energinya
hilang dan terdeaktivasi. Asalkan laju deaktivasi lebih besar dibanding dekomposisi
unimolekuler dari molekul berenergi untuk menghasilkan produk, molekul berenergi berada
dalam kesetimbangan dengan molekul normal. Ini dihasilkan dalam keadaan stasioner atau
konsentrasi steady-state dari molekul-molekul berenergi; yaitu konsentrasinya tetap dan tidak
berubah dengan berjalannya waktu. Pada tekanan tinggi, kondisi ini dapat terpenuhi dan

59
konsentrasi steady-state dari molekul berenergi proporsional terhadap konsentrasi molekul
normal. Laju reaksi diberikan oleh laju konversi molekul berenergi menjadi produk, proporsional
terhadap konsentrasi molekul berenergi dan konsekuensinya juga terhadap konsentrasi molekul
normal. Oleh karena itu pada tekanan tinggi, reaksi adalah orde satu.
Pada tekanan (konsentrasi) rendah laju deaktivasi menurun sejalan dengan menurunnya
laju tumbukan molekuler, dan laju konversi molekul berenergi menjadi produk menjadi
sebanding dengan laju deaktivasinya. Di bawah kondisi ini laju reaksi tergantung pada laju
aktivasi molekul-molekul berenergi (proses bimolekuler) dan kinetika keseluruhan menjadi orde
dua.
Mekanisme reaksi dapat direpresentasikan dengan proses berikut:
Aktivasi
*
A + A 
k1 A + A (1)
Deaktivasi

A* + A 
k-1 A + A (-1)

Dekomposisi unimolekuler

A* 
k2 Produk (2)
Dimana A dan A* mewakili masing-masing molekul normal dan molekul berenergi.
Karena molekul A* terbentuk oleh reaksi (1) dan hilang oleh reaksi (-1) dan (2), laju
pembentukannya diberikan oleh laju reaksi (1) dikurangi jumlah laju reaksi (-1) dan (2) yaitu:

d A *
dt
2
 
 k1  A  k 1  A * A  k 2 A* (6.1)

Dengan mengasumsikan bahwa ada konsentrasi steady-state molekul berenergi, sehingga


konsentrasinya tidak berubah terhadap waktu, ekspresi ini bisa disamakan dengan nol yang
menghasilkan

d  A *
0 (6.2)
dt
Kombinasi persamaan 6.1 dan 6.2 menghasilkan

A *  k1 A
2

(6.3)
k 1  A  k 2

Laju reaksi  (yaitu laju pembentukan produk) diberikan oleh laju reaksi (2)

60
k k A
2

  k 2  A *  1 2 (6.4)
k 1 A  k 2

Pada tekanan (konsentrasi) tinggi, laju deaktivasi lebih besar dibanding laju konversi menjadi
produk, yaitu k 1[A][A*] >> k2[A*], sehingga persamaan 6.4 menjadi:

k1 k 2 [ A]
  k  [ A] (6.5)
k 1

Oleh karena itu reaksi ini berorde satu dan pembatas atau konstanta laju orde satu tekanan tinggi
k sama dengan k1k2/k 1.
Pada tekanan (konsentrasi) rendah, laju deaktivasi lebih kecil dari laju konversi ke
produk, sehingga k 1[A][A*] << k2[A*], sehingga persamaan 6.4 menjadi;

 = k1[A]2 (6.6)
Oleh karena itu pada tekanan rendah reaksi termasuk orde dua.
Telah diperlihatkan bahwa teori Lindemann memprediksi perubahan orde saat tekanan
turun atau naik.
Misalkan laju reaksi pada sembarang tekanan diberikan oleh

 = k[A] (6.7)
dimana k adalah koefisien laju yang berubah terhadap tekanan. Dari persamaan 6.4 terlihat
bahwa k diberikan oleh
k 1 k 2 [ A] 1 k 1 [ A]  k 2 k [ A] k2 k 1
k    1   1 
k 1 [ A]  k 2 dibalik k k1k 2 [ A] k1k 2 [ A] k1k 2 [ A] k1 k 2 k1[ A]
atau
k
k  (6.8)
1  k 2 [ A] / k 1
Persamaan 6.8 memperkirakan bahwa plot k versus [A] akan terlihat seperti pada gambar 6.1
dan k akan memiliki batas nilai k pada tekanan tinggi, tetapi jatuh ke nol pada tekanan rendah.
k
k

pressure

61
Gambar 6.1 Plot k versus tekanan untuk reaksi unimolekuler

Data laju eksperimen untuk reaksi unimolekuler sesuai secara kualitatif dengan teori
Lindemann. Jika waktu-paruh untuk dekomposisi diplot versus tekanan, ditemukan akan konstan
pada tekanan tinggi, tetapi meningkat pada tekanan rendah sejalan dengan berubahnya kinetik
dari orde satu ke orde dua. Namun demikian telah ditunjukkan bahwa jatuhnya konstanta laju
terjadi pada tekanan yang lebih tinggi dibanding yang diprediksi oleh Lindemann seperti
diilustrasikan pada gambar 6.1.
Teori Lindemann dapat diuji dengan mengubah persamaan 6.8 hingga dihasilkan
1 k 1
 1  (6.9)
k  k1k 2 k1[ A]
Oleh karena itu plot 1/k versus 1/[A] seharusnya berupa garis lurus dengan slope 1/k1 seperti
diperlihatkan pada gambar 6.2 untuk isomerisasi 1,1-dimetil siklopropana yang dipelajari oleh
Flowers dan Frey. Kembali ditemukan bahwa deviasi dari linearitas terjadi pada tekanan tinggi.
Teori modern reaksi unimolekuler mengembangkan teori Lindemann dan mencari penjelasan
deviasi tersebut

1/k

1/p

Gambar 6.2 Plot 1/k versus 1/p untuk isomerisasi 1,1-dimetil siklopropana
Bukti lebih lanjut untuk penguatan dasar teori Lindemann dapat diperoleh saat reaksi
dilakukan pada tekanan reaksi yang konstan dan tekanan total berubah dengan penambahan gas
inert M seperti nitrogen, argon atau xenon. Mekanismenya direpresentasikan dengan

A + M  k1 A* + M
A* + M  k-1 A + M
A*  k2 produk
Perlakuan steady-state terhadap mekanisme ini menghasilkan
k k A k1 A
2 2
k k  AM 
 1 2   k2 A *  1 2   A * 
k 1 M   k 2 k1A  k2 k1 A  k2
Pada tekanan tinggi k 1[M] >> k2 memberikan
kk
  1 2 A  k  A
k 1
Yang ternyata identik dengan persamaan laju tekanan tinggi 6.5
Pada tekanan rendah k 1[M] << k2 dihasilkan
 = k1[A][M]

62
Dimana, reaksi orde satu baik terhadap A dan M. Oleh karenanya laju reaksi diekspresikan
dengan
 = k[A]
dimana k adalah koefisien laju orde satu terobservasi, yang memiliki batas nilai pada tekanan
tinggi k1k2/k 1 dan pada tekanan rendah k1[M] atau secara umum diberikan oleh
k 
k2  1 
k M 
k1
k1 k 2 M  k M  2  k1 
k   k   1 
k 1 M   k 2 k2
1  k 1 M  k 
1   2  M
 k1 
diubah
1 k 1
 1 
k  k 1 k 2 k1 M 
Suatu plot 1/k versus 1/[M] adalah linier, memperlihatkan bahwa gas inert yang ditambahkan
dapat menggantikan molekul reaktan sebagai aktivator atau deaktivator. Eksperimen ini
mengilustrasikan penguatan dasar mekanisme Lindemann untuk reaksi unimolekuler.

6.2 Teori Hinshelwood


Pada tahun 1927, Hinshelwood mempostulasikan bahwa laju energisasi molekul
tergantung pada jumlah derajat kebebasan vibrasional dalam molekul. Suatu molekul dengan
jumlah derajat kebebasan vibrasional yang besar memiliki probabilitas yang lebih besar untuk
memperoleh energi yang dibutuhkan untuk aktivasi, dan karena energi ini dapat didistribusikan
kesemua derajat kebebasan.
Untuk molekul dengan satu derajat kebebasan, konstanta laju untuk proses energisasi (1)
diberikan oleh:
k' = Z1 exp( E‡/RT) (6.10)

dimana Z1 adalah jumlah tumbukan bimolekuler dan E adalah energi yang diperoleh. Tetapi
untuk molekul dengan derajat kebebasan vibrasional s:
s 1
Z1  E ‡ 
'
k  
s  1!  RT 

 exp  E ‡ / RT  (6.11)

Dan ini menghasilkan nilai k' yang lebih besar.


Teori Lindemann memprediksi bahwa perilaku orde satu akan dipertahankan hingga
tekanan yang lebih rendah dibanding yang dapat diobservasi secara eksperimen, ini disebabkan
nilai k1 dihitung dari persamaan 6.10, bukan dari 6.11.
Contoh 6.1
Hitung faktor frekuensi untuk reaksi pada 300 K dengan energi aktivasi 200 kJ mol-1 dan s = 6
dengan mengasumsikan jumlah tumbukan Z1 = 1012 dm3 mol-1 s-1.
Suku pre-eksponensial menurut Hinshelwood diberikan oleh:
s 1 5
' Z1  E ‡  1012  200 x 103 
k       dm3mol1s1
s  1!  RT  5!  8.31 x 300 
 2.8 x 1019 dm3mol1s 1
Ini memberikan faktor frekuensi dan juga konstanta laju 10 kali lebih besar daripada yang
diprediksikan oleh teori tumbukan karena Z1 = 1012 dm3 mol-1 s-1. Ini berkaitan dengan laju

63
aktivasi yang lebih besar dan sebagai hasilnya ketergantungan orde satu jatuh pada tekanan yang
lebih rendah dari yang diprediksi oleh Lindemann.
Suatu hal yang tidak memuaskan dari teori Hinshelwood adalah nilai s ditentukan secara
trial and error, dan pada kebanyakan kasus, kecocokan eksperimental terbaik didapat dengan s
sama dengan setengah dari jumlah total derajat kebebasan vibrasional. Dimungkinkan bahwa
sejumlah tertentu derajat kebebasan total terlibat dalam pembentukan kompleks teraktivasi.
Dalam penjelasan teori terakhir mekanisme dasar untuk reaksi unimolekuler terbaik
direpresentasikan dengan modifikasi mekanisme Lindemann berikut:
A + A  A* + A (1)
k1
A + A*  k-1 A + A (-1)

k2a A ‡
A*  (2a)
A ‡ 
k2b produk (2b)

Dimana A ‡ adalah molekul teraktivasi. Molekul berenergi A* memiliki energi yang cukup untuk
secara kimia teraktivasi tanpa tambahan energi lebih lanjut. Ia melalui perubahan energi
vibrasional dan teraktivasi. Saat energi terlokalisasi dalam ikatan tertentu, ia dikonversi menjadi
produk. Teori modern memprediksi bahwa molekul lebih siap terenergisasi dari yang dapat
diprediksi oleh teori Lindemann akan tetapi selang waktu (time lag) energisasi dan aktivasi atau
reaksi sering relatif lama.

Vibrational energy

(Ground state)

Gambar 6.3 Skema energi reaksi unimolekuler

6.3 RRK dan Teori Slater


Teori RRK mencari penjelasan mengapa plot seperti pada gambar 6.2 tidak linier. Mereka
mengusulkan bahwa molekul teraktivasi saat sejumlah energi kritis terkonsentrasi pada satu
ikatan tertentu. Diasumsikan bahwa energi terdistribusi ulang dengan sendirinya secara bebas
antar mode vibrasional normal selama vibrasi masing-masing molekul. Konstanta laju k2b
karenanya berada pada besaran yang sama dengan frekuensi vibrasi rata-rata molekul.
k 
RRK memberi penjelasan tambahan pada teori Lindemann, bahwa harga k2 dan  1 
 k1 
*
merupakan fungsi E (molekul terenergisasi).

64
k 
k2  1 
k   k1 
k 
1   2  M
 k1 
k 
Jika f   1  , maka dapat disusun ulang menjadi
 k1 
k ( E* ) f ( E* )
dk   2 *
d (E* )
 k (E ) 
1   2  M
 k 1 
Bentuk f(E*) dikenal sebagai fungsi distribusi.
Dalam bentuk integrasi diperoleh

k (E*) f (E*)
k   2 *
d (E*)
*  k (E ) 
E o 1   2  M
k
 1 
Pada sisi lain, teori Slater mengusulkan bahwa energi tidak bebas mengalir didalam
molekul. Slater menyarankan bahwa reaksi terjadi saat terjadi ‘koordinat kritis’ dalam molekul,
biasanya panjang ikatan mengembang sampai batas kritis. Didalam molekul kompleks masing-
masing mode vibrasional bervibrasi pada frekuensi yang berbeda dan perpanjangan ikatan kritis
ini terjadi saat dua mode peregangan berada dalam satu fasa.
Gambar 6.4 memperlihatkan penjelasan teoritis dari hasil eksperimen untuk isomerisasi
siklo propana dalam bingkai teori di atas.

Gambar 6.4 Perbandingan kurva teoritis untuk isomerisasi siklopropana pada 500 oC

65
Soal-soal:
1. Hinshelwood dan Ashley memperoleh semua konstanta laju k untuk dekomposisi dimetil
eter pada 773 K
Konstanta awal
1.20 1.89 3.55 5.42 8.18 13.21 18.57
(mmol.dm 3)
104 . k (s 1) 2.48 3.26 4.61 5.54 6.29 6.90 7.45

Gunakan teori Lindemann untuk menghitung konstanta laju batas k∞ dan konstanta laju
tahap aktivasi kolisi k1.
2. Hitunglah konstanta laju k1 untuk tahap aktivasi tumbukan dari suatu reaksi
unimolekuler, jika energi aktivasi adalah 167 kJ/mol dan s = 12.
3. Tentukan rasio konstanta laju yang dihitung menggunakan teori kolisi dengan yang
dihitung menggunakan ungkapan Hinshelwood untuk reaksi unimolekuler dengan
aktivasi energi sebesar 80 kJ/mol dan s = 8.

66
BAB 7
PROSES - PROSES ATOMIS DAN RADIKAL BEBAS

Diawal perkembangan kinetika kimia telah diasumsikan bahwa semua reaksi terjadi
dalam satu langkah berdasarkan persamaan stoikiometris. Sekarang telah jelas bahwa mayoritas
proses kimia melalui beberapa langkah, sehingga sebagian besar reaksi adalah bersifat kompleks.
Telah ditunjukkan bahwa dalam banyak reaksi, intermediet yang reaktif seperti atom-atom dan
radikal bebas memainkan peranan yang penting.
Untuk keperluan kinetika, radikal bebas dapat didefinisikan sebagai sebuah atom atau
spesies molekul yang mengandung satu atau lebih elektron-elektron tak berpasangan.
Monoradikal mengandung satu elektron tak berpasangan sementara diradikal seperti atom
oksigen dalam keadaan dasar (ground state) mengandung dua elektron tak berpasangan.
Molekul-molekul seperti oksida nitrat, Oksigen dan 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl yang
mengandung elektron tak berpasangan dengan definisi diatas juga dapat dipandang sebagai
radikal bebas.
Tinjauan kinetik reaksi yang melibatkan radikal bebas seringkali rumit, tetapi data laju
eksperimen terbukti bermanfaat sebagai alat bantu dalam menguraikan mekanisme reaksi seperti
ini. Tujuan dari kinetik adalah untuk mempostulasikan mekanisme reaksi yang memiliki
kesesuaian secara kualitatif dan kuantitatif dengan semua data eksperimental untuk reaksi
tersebut. Semakin dapat dipercaya data laju untuk tahap dasar dalam skema reaksi yang
diusulkan, semakin besar tingkat kepercayaan dalam mekanisme reaksi yang diusulkan.

7.1 Jenis Reaksi Kompleks


Reaksi kompleks dapat diklasifikasikan dalam beberapa grup berikut: Proses tak berantai, Proses
rantai linier, dan Proses rantai bercabang.

7.1.1 Proses Tak Berantai


Dalam reaksi kompleks tak-berantai, terbentuk suatu pusat aktif seperti radikal bebas atau
molekul. Zat ini bereaksi menghasilkan intermediet dan kemudian produk. Tidak ada jalan yang
dimungkinkan intermediet untuk terbentuk lagi. Satu contoh reaksi kompleks tak-berantai adalah
iodinasi aseton dalam larutan asam, yang berlangsung seperti berikut:

67
7.1.2 Proses Rantai Linier
Proses rantai adalah proses yang berlangsung melalui serangkaian proses-proses elementer
sebagai berikut:
(i) Inisiasi rantai
Reaksi di-inisisasi saat ikatan terlemah pada reaktan atau pada salah satu dari reaktan-reaktan
putus untuk menghasilkan radikal bebas, yang kemudian bertindak sebagai pembawa rantai.
(ii) Propagasi rantai
Radikal bebas menyerang reaktan menghasilkan molekul produk dan spesies reaktif yang lain.
Radikal bebas yang baru ini bereaksi lebih lanjut dan membentuk lagi radikal bebas yang
semula, yang sekali lagi menyerang molekul reaktan. Dengan jalan ini produk dan pembawa
rantai terbentuk secara kontinyu. Proses ini diistilahkan dengan reaksi propagasi.
(iii) Terminasi rantai
Sebagai tambahan, radikal bebas terpisah dari sistem reaksi dengan cara rekombinasi atau
disproporsionasi. Dengan jalan ini pembawa rantai akan hancur dan rantai mengalami terminasi
(penghentian).
Langkah-langkah di atas adalah karakteristik untuk sembarang reaksi rantai.

7.1.3 Proses Rantai Bercabang

68
Pada beberapa reaksi, khususnya oksidasi hidrokarbon fasa gas, ada pengembangan secara
kontinyu radikal bebas dalam sistem. Hal ini biasanya muncul saat dalam satu atau lebih langkah
satu radikal bebas bereaksi menghasilkan dua atau lebih radikal bebas. Pada reaksi hidrogen-
oksigen, dua langkah seperti itu adalah:

H + O2  OH + O:

O: + H2  OH + H
Hal ini terjadi karena oksigen molekuler dan oksigen keadaan dasar adalah spesies biradikal.
Pada reaksi ini konsentrasi radikal bebas meningkat dengan sangat cepat seperti diilustrasikan
oleh Gambar 7.1 dan ini dikenal dengan pembentukan cabang rantai (chain branching). Laju
reaksi meningkat sangat cepat dan segera menjadi tak terbatas (secara teoritis) menyebabkan
terjadinya ledakan.

Gambar 7.1 Ilustrasi pertumbuhan cepat dalam jumlah radikal bebas melalui pembentukan
cabang

7.1.4 Pendekatan Keadaan Mantap atau Stasioner/tunak


Dalam proses rantai linier, kondisi keadaan mantap bisa segera berlaku. Setelah waktu induksi
yang sebentar saat konsentrasi radikal bebas meningkat, konsentrasinya menjadi mantap atau
tidak berubah dan tidak mengalami perubahan sejalan dengan waktu hingga reaktan habis
bereaksi. Ini berarti laju saat radikal bebas terbentuk sama dengan laju saat zat t ersebut
menghilang; yaitu
d radikal 
0 (7.1)
dt
Adalah hal yang biasa untuk mengasumsikan bahwa semua radikal bebas dalam sistem reaksi
mencapai keadaan mantap dengan sangat cepat. Pendekatan ini amat membantu dalam
penurunan persamaan laju untuk proses rantai. Tanpa ini akan diperlukan penyelesaian sejumlah
persamaan diferensial. Hal tersbeut akan menjadi pekerjaan yang membosankan tanpa bantuan
komputer.
7.2 Reaksi Hidrogen-Bromine
Reaksi antara gas hidrogen dan bromine pada temperatur antara 200 dan 300oC telah dipelajari
oleh Bodenstein dan Lind pada 1906. Hasil riset ini kemudian menunjukkan reaksi rantai linier.
Kontras dengan reaksi H2 + I2 yang diduga sebagai reaksi sederhana bimolekuler. Reaksi H2 +
Br2 adalah contoh yang baik reaksi rantai dan ia adalah contoh klasik yang biasa dikutip dalam
kebanyakan buku kimia fisik. Hal ini dapat ditunjukkan tidak hanya bahwa mekanisme yang

69
diusulkan konsisten dengan data eksperimental, tetapi langkah elementer lain yang mungkin
tidak penting dalam reaksi ini.
Hasil eksperimen Bodenstein dan Lind memberikan persamaan laju:
k H 2 Br2 
1/ 2
d HBr
 (7.2)
dt 1  k HBr  /Br2 
dimana k bernilai sekitar 10 dan ditemukan tak tergantung pada temperatur.
Mekanisme lima langkah berikut belakangan diusulkan untuk menjelaskan hasil eksperimen
mereka.
1 k
Br2  Br + Br inisiasi rantai (1)
2 k
Br + H2  HBr + H propagasi rantai (2)
3 k
H + Br2  HBr + Br propagasi rantai (3)
k-2
H + HBr  H2 + Br inhibisi rantai (-2)
k-1
Br + Br  Br2 terminasi rantai (-1)

Ini semua memiliki karakteristik proses rantai linier. Langkah (1) adalah reaksi inisiasi, langkah
(2) dan (3) memperbanyak rantai, dan langkah (-1) adalah reaksi terminasi. Langkah tak lazim
reaksi (-2) dimana produk diserang oleh radikal bebas. Hasilnya adalah contoh reaksi yang agak
jarang dimana laju dipengaruhi konsentrasi produk. Intermediet reaktif atau pembawa rantai
adalah atom hidrogen dan bromine. Yang secara kontinyu terbentuk oleh langkah propagasi.
Agar terlihat bahwa mekanisme yang diusulkan konsisten dengan hasil eksperimen,
diperlukan penurunan persamaan laju. Prosedur berikut adalah petunjuk yang baik sebagai
pendekatan umum untuk sembarang turunan.
(1) Nyatakan persamaan yang dibutuhkan dalam term laju langkah-langkah elementer yang
terlibat.
(2) Terapkan pendekatan keadaan mantap ke semua radikal bebas dalam reaksi.
(3) Dengan manipulasi persamaan aljabar, nyatakan konsentrasi radikal bebas hanya dalam term
konsentrasi reaktan saja.
(4) Selanjutnya hilangkan konsentrasi radikal bebas dari persamaan laju, yang kemudian
nyatakan dalam bentuk matematis yang paling sederhana yang mungkin.

(1) Laju yang dibutuhkan adalah laju pembentukan hidrogen-bromide; yaitu:


d HBr 
 k 2 Br H 2   k 3 H Br2   k 2 H HBr  (7.3)
dt
(2) Aplikasikan pendekatan keadaan mantap pada [Br] dan [H] menghasilkan
d Br 
 2k1 Br2   k 2 Br H 2   k 3 H Br2 
dt (7.4)
 k  2 H HBr   2k 1 Br   0
2

dan

70
d H 
 k 2 Br H 2   k 3 H Br2   k  2 H HBr   0 (7.5)
dt
(3) Penambahan persamaan 7.4 dan 7.5 menghasilkan:
2k1 Br2   2k 1 Br   0
2

sehingga
1/ 2
 
Br    k1  Br2 1 / 2 (7.6)
 k 1 
Dari persamaan 7.5
H   k 2 H 2 Br  (7.7)
k 3 Br2   k  2 HBr 
Substitusi persamaan 7.6 dalam persamaan 7.7 menghasilkan
k 2 k1 k 1  H 2 Br2 
1/ 2 1/ 2

H   (7.8)
k 3 Br2   k  2 HBr 
(4) Persamaan 7.8 dapat disederhanakan dengan menambahkannya ke persamaan 7.5
d HBr 
 2k 3 H Br2  (7.9)
dt
Substitusi persamaan 7.8 ke persamaan 7.9 menghasilkan:
d HBr 2k 2 k1 k 1  H 2 Br2 
1/ 2 3/ 2


dt k 3 Br2   k  2 HBr 
Dibagi dengan k3[Br2] memberikan:
d HBr  2k 2 k1 k 1  H 2 Br2 
1/ 2 1/ 2

 (7.10)
dt 1  k  2 HBr  k 3 Br2 
Terlihat bahwa persamaan 7.10 ekivalen dengan persamaan 7.2 saat:
k = 2k2(k1/k-1)1/2
dan
k = k-2/k3
Juga dapat terlihat bahwa langkah lain yang mungkin tidak begitu penting dalam reaksi ini.
Langkah inisiasi:
H2  H + H
Dan langkah inhibisi alternatifnya:
Br + HBr  H + Br2
Terlalu lambat untuk terlibat. Konsentrasi atom-atom H sekitar 10-6 kali dibanding konsentrasi
atom bromine, sehingga langkah terminasi yang melibatkan atom H dapat diabaikan. Kesesuaian
yang baik antara persamaan 7.10 dan persamaan laju eksperimen juga mengindikasikan bahwa
proses yang lain relatif lambat dibanding (1), (2), (3), (-2) dan (-1).

7.3 Mekanisme Rice-Herzfeld


7.3.1 Eksperimen Kaca-Timbal Paneth
Salah satu teknik yang pertama digunakan untuk memperlihatkan pentingnya radikal bebas
dalam dekomposisi senyawa organik dalam fasa gas dikembangkan oleh Paneth. Dia melewatkan
sejumlah hidrogen melalui suatu wadah yang mengandung tetrametil timbal. Aliran hidrogen
jenuh dengan tetrametil timbal melewati tabung reaksi seperti ditunjukkan pada gambar 7.2

71
moveable furnace
Gambar 7.2 Peralatan Paneth untuk pemisahan kaca timbal dengan metil radikal

Dekomposisi uap menghasilkan deposit timbal dan metil radikal bebas, yang kemudian dipompa
keluar.
Pb(CH3)4  Pb + 4CH3 (1)
Furnace kemudian digerakkan ke posisi B sekitar 20 cm dari A. Setelah itu ditemukan bahwa
tidak hanya kaca timbal baru yang terbentuk pada B, tetapi kaca timbal yang pertama terbentuk
pada A perlahan menghilang. Laju penghilangan ternyata menurun dengan kenaikan jarak B.
Dari hal diatas tampak bahwa metil radikal bebas terbentuk pada reaksi (1) menyerang kaca
timbal pertama dan membentuk tetrametil timbal yang volatil, yang kemudian dipompa keluar
Pb + 4CH3  Pb(CH3)4 (2)
Dengan meningkatnya jarak AB, semakin banyak metil radikal yang bergabung kembali untuk
membentuk etana:
CH3 + CH3  C2H6 (3)
Dan laju serangan metil terhadap timbal melalui reaksi (2) akan menurun.

7.3.2 Dekomposisi Termal Asetaldehid


Diawal mula kinetik banyak pirolisis organik dijumpai sebagai orde satu atau dua dan
diasumsikan sebagai proses molekuler. Kemudian ditunjukkan bahwa radikal bebas adalah
pembawa rantai yang penting dalam reaksi ini. Rice-Herzfeld adalah sejumlah peneliti yang
menyarankan mekanisme rantai untuk reaksi pirolisis seperti ini.
Salah satu contoh yang paling sederhana dari mekanisme Rice-Herzfeld diberikan oleh
dekomposisi termal asetaldehid. Mekanisme yang disederhanakan dari reaksi ini diberikan di
halaman 3, tetapi mekanisme yang lebih detail diberikan disini:
k1
CH3CHO  CH3 + CHO (1)
k2
CH3 + CH3CHO  CH4 + CH3CO (2)
k3
CH3CO  CH3 + CO (3)
k4
CHO  H + CO (4)
k5
H + CH3CHO  H2 + CH3CO (5)
k6
CH3 + CH3  C2H6 (6)

72
Pada skema reaksi ini, tahap inisiasi menghasilkan radikal metil dan formil. Radikal metil
bereaksi memberikan metana dan radikal asetil. Radikal formil dan asetil terdekomposisi dalam
reaksi unimolekuler untuk menghasilkan karbon monoksida dan radikal. Tahap terminasi utama
menghasilkan etana.
Produk utama dari reaksi ini adalah CH4 dan CO, dengan H2 dan C2H6 dihasilkan sebagai
produk minor. Persamaan laju eksperimen ditemukan sebagai:
d CH 3 CHO
 k r CH 3 CHO
3/ 2
 (7.11)
dt
dan penting untuk menunjukkan bahwa mekanisme diatas memberikan ekspresi laju dalam
bentuk ini.
Dari mekanisme diatas laju dekomposisi asetaldehid diberikan oleh:
d CH 3 CHO
  k1 CH 3 CHO  k 2 CH 3 CH 3 CHO  k 5 H CH 3 CHO (7.12)
dt

Dengan menerapkan pendekatan keadaan mantap terhadap semua radikal bebas dihasilkan:
d CH 3 
 k1 CH 3 CHO  k 2 CH 3 CH 3 CHO  k 3 CH 3 CO   2k 6 CH 3   0 (7.13)
2

dt
d CHO 
 k1 CH 3 CHO   k 4 CHO   0 (7.14)
dt
d CH 3 CO 
 k 2 CH 3 CH 3 CHO  k 3 CH 3 CO   k 5 H CH 3 CHO   0 (7.15)
dt
d H 
 k 4 CHO   k 5 H CH 3 CHO   0 (7.16)
dt
Adisi persamaan 7.14 dan 7.16 menghasilkan:
[H] = k1/k5 (7.17)
Dengan cara yang sama, adisi persamaan 7.13 dan 7.15 menghasilkan:
k1[CH3CHO] – 2k6[CH3]2 + k5[H] [CH3CHO] = 0 (7.18)
Substitusi persamaan 7.17 kedalam 7.18 menghasilkan:
k1[CH3CHO] = k6[CH3]2
Selanjutnya:
[CH3] = (k1/k6)1/2[CH3CHO]1/2 (7.19)
Substitusi persamaan 7.17 dan 7.19 ke persamaan 7.12 menghasilkan:
d CH 3 CHO
 2k1 CH 3 CHO  k 2 k1 / k 6  CH 3 CHO
1/ 2 3/ 2
 (7.20)
dt
Dengan mengasumsikan bahwa tahap inisiasi dan terminasi relatif lambat dibanding tahap
propagasi, suku pertama pada persamaan 7.20 dapat diabaikan dan persamaan laju menjadi:
1/ 2
d CH 3 CHO  k 
 k 2  1  CH 3 CHO 
3/ 2
 (7.21)
dt  k6 
Yang ternyata konsisten dengan persamaan laju eksperimen 7.11.
Penelitian terbaru oleh Laidler dan Liu telah mengusulkan bahwa proses lain memainkan
peran dalam reaksi dan meningkatkan produk minor seperti aseton dan propionaldehid. Hal ini
timbul dari proses propagasi tambahan seperti
CH3 + CH3CHO  CH4 + CH2CHO

73
dan
CH3 + CH3CHO  H + CH3COCH3
dan proses terminasi
CH3 + CH2CHO  CH3CH2CHO
yang terbentuk dalam jumlah yang sangat sedikit.

7.3.3 Energi Aktivasi


Salah satu ciri dari dekomposisi tipe Rice-Herzfeld adalah energi aktivasi keseluruhan
biasanya jauh lebih kecil dari energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan C – C dalam
proses inisiasi. Hal ini dapat diilustrasikan oleh pirolisis asetaldehid.
Konstanta laju kr untuk reaksi ini diberikan oleh:
1/ 2
k 
k r  k 2  1 
 k6 
Dalam term faktor frekuensi dan energi aktivasi tahap-tahap individual

kr  A exp E / RT 
 A1 exp  E1 / RT

 1/ 2

2 2
A exp E / RT 
 1/ 2
6 2

  E  E  E 
1/ 2   
1
A 
 A   exp
A 
2
1 2 2 1 6 
 6  RT 
 
Sehingga energi aktivasi keseluruhan diberikan oleh:
 

E   E 2  12 E1  E 6


Karena energi aktivasi untuk tahap inisiasi sebesar 332 kJ mol-1, dan energi aktivasi untuk tahap

terminasi adalah nol, E  dapat dihitung jika E 2 diketahui. Dari photodekomposisi asetaldehid

terkait nilai E 2 didapat 32 kJ mol-1. Substitusi nilai ini akan menghasilkan
E   32  12 (332  0) kJ mol 1
 198 kJ mol 1
Hal ini sangat bersesuaian dengan nilai eksperimen untuk energi aktivasi 193 kJ mol-1 dan
terlihat lebih kecil dibanding energi (>332 kJ mol-1) yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan
C – C yang sebenarnya.

7.4 Polimerisasi Adisi


Proses polimerisasi adisi memberikan contoh yang baik dari reaksi rantai radikal bebas
linier. Saat polimerisasi telah diinisiasi oleh radikal bebas, molekul monomer awal akan secara
kontinyu bertambah panjang membentuk radikal polimerik besar. Radikal ini akhirnya
mengalami rekombinasi atau disproporsionasi menghasilkan produk polimer.
Polimerisasi adisi diinisiasi oleh radikal bebas dari molekul inisiator yang sesuai yang
terdekomposisi termal atau secara photokimia. Benzoyl peroksida terdekomposisi pada 70o –
100oC dalam larutan dan seringkali digunakan sebagai inisiator
C6H5CO2–O2CC6H5  2C6H5CO2  2C6H5 + 2CO2
Aseton mudah terdekomposisi secara photokimia.

h
CH3COCH3  2CH3 + CO

74
Propagasi lanjutan dan proses terminasi dapat diilustrasikan dengan merujuk monomer
olefin CH2=CHX, dimana X adalah H untuk etilen, Cl untuk vinil klorida dan C6H5 untuk
stirene. If R merupakan radikal bebas yang diperoleh dari proses inisisasi, proses propagasi
diikuti oleh
R + CH2=CHX  RCH2CHX
RCH2CHX + CH2=CHX  RCH2CHXCH2CHX
R(CH2CHX)n-1CH2CHX+CH2=CHX R(CH2CHX)nCH2CHX
radikal ini terus tumbuh hingga mereka mengalami terminasi diantara dua proses berikut ini :
(i) Rekombinasi, dimana dua pasang elektron tak berpasangan, akan berpasangan untuk
membentuk ikatan tunggal
R(CH2CHX)NCH2CHX + CHXCH2(CHXCH2)nR 
R(CH2CHX)nCH2CHXCHXCH2(CHXCH2)nR
(ii) Disproporsionasi, dimana ada transfer atom hidrogen membentuk baik molekul polimer
jenuh dan tak jenuh
R(CH2CHX)nCH2CHX + CHXCH2(CHXCH2)nR 
R(CH2CHX)nCH2CH2X + CHX=CH(CHXCH2)nR
Kinetika dari reaksi polimerisasi adisi dapat diturunkan dari mengikuti mekanisme reaksi yang
umum

ki
I  R1 inisiasi

p k
R1 + M  R2  

k

p
R2 + M  R3  

 Propagasi
kp
R3 + M  R4 


k
p
Rn-1 + M  Rn  

kt
 Rn + R1  Pn+1 terminasi

dimana I merupakan molekul inisiator, M adalah molekul monomer, P adalah molekul polimer,
 adalah jumlah radikal bebas yang diperoleh dari masing-masing molekul inisiator dan R1, R2,
R3 dan seterusnya adalah radikal bebas. Ditemukan bahwa konstanta kecepatan (kp) untuk
seluruh proses propagasi adalah sama dan dengan cara yang sama kt dapat diasumsikan menjadi
konstanta kecepatan untuk seluruh proses terminasi. Kecepatan inisiasi vi = ki [I], dimana ki
adalah konstanta kecepatan untuk inisiasi.
Penerapan dari pendekatan keadaan mantap terhadap radikal bebas dalam sistem
memberikan
d [ R1 ]
 v i  k p [ R1 ][M ]  k t [R1] ([R1] + [R2] + …) = 0
dt

75
dimana kt[R1]2 , kt[R1][ R2] dan seterusnya merupakan laju proses terminasi masing-masing R1
+ R1, R1 + R2, dst.
Oleh karena itu,

d [ R1 ]
 vi  k p [ R1 ][ M ]  k t [ R1 ] [ R n ]  0
dt n 1
juga

d [ R 2 ]
 k p [ R1 ][ M ]  k p [ R 2 ][ M ]  k t [ R 2 ] [ Rn ]  0
dt n 1

radikal Rn diperoleh dari proses propagasi, tetapi hanya dapat hilang oleh proses terminasi, oleh
karena itu

d [ R n ]
 k p [ R  n 1 ][ M ]  k t [ R n ] [ R n ]  0
dt n 1
Dengan menjumlahkan persamaan keadaan mantap, seluruh lambang suku kp terhilangkan
2
  
v i  k t   [ R n ]   0
 n 1 
Sehingga kondisi untuk polimerisasi keadaan mantap, bahwa kecepatan inisiasi adalah sama
dengan jumlah seluruh kecepatan terminasi yaitu
2
   v
 n   i
[ R ]
 n 1  kt
atau
1/ 2

v 
 [ R n ]   i 
n 1  kt 
Laju reaksi sebagaimana yang diukur oleh laju menghilangnya monomer, diberikan oleh:
d M  
  k p M  R n 
dt n 1
atau
1/ 2
 
 k p  i  M  (7.22)
 kt 
Persamaan 7.22 adalah ekspresi umum untuk laju polimerisasi adisi.
Untuk sembarang proses polimerisasi, konsentrasi awal monomer diketahui dan
tekniknya dapat dikerjakan untuk mengukur laju inisiasi. Adalah hal biasa untuk menambahkan
konsentrasi yang diketahui dari radikal bebas yang reaktif (pemakan) atau inhibitor seperti besi
(III) klorida atau larutan diphenil pikril hidrazil (DPP). Ini akan menghilangkan radikal bebas
saat terbentuk oleh proses inisiasi sehingga laju menghilangknya pemakan (biasanya diukur
dengan spektrofotometer) sama dengan laju produksi radikal bebas. Sebagai kemungkinan
lainkonsentrasi inisiator diukur dengan metoda sampling setelah interval waktu tertentu.
Oleh karena itu, asalkan laju polimerisasi telah diukur (seringkali dengan alat
dilatometer) dan i ditentukan dengan salah satu metode yang diungkapkan diatas nilai kp/kt1/2
dapat ditentukan. Ini adalah konstanta karakteristik untuk sembarang polimerisasi adisi.

7.5 Reaksi Autoksidasi Fasa Gas

76
Reaksi dari oksigen molekuler dengan zat lain dikenal dengan autoksidasi. Saat reaksi berada
pada fasa gas, sangat dimungkinkan terjadi proses rantai bercabang. Reaktifitas oksigen
molekuler tidak mengejutkan karena ia merupakan biradikal yang memiliki dua elektron tak
berpasangan. Konsekuensinya ia akan mengalami reaksi dimana satu radikal akan memghasikan
dua radikal. Dalam reaksi hidrogen-oksigen, oksigen molekuler beraksi dengan atom-atom
hidrogen menghasilkan dua spesies reaktif, radikal hidroksil dan atom-atom oksigen.
H + O2  OH + O
Atom-atom oksigen keadaan dasar juga biradikal dan dengan hidrogen molekuler menghasilkan
radikal hidroksil dan atom hidrogen
O + H2  OH + H
Kedua proses ini adalah reaksi rantai bercabang dan dalam kenaikan yang sangat cepat
menghasilkan sejumlah radikal bebas. Dalam sistem seperti ini, keadaan mantap tidak tertahan
dan laju reaksi meningkat dengan cepat sejalan dengan meningkatnya jumlah radikal bebas. Pada
kondisi non-stasioner laju reaksi menjadi tak terbatas dan terjadi ledakan.
Ledakan disebabkan oleh pencabangan rantai oleh karena itu terjadi saat konsentrasi
radikal bebas dalam sistem meningkat dengan cepat. Disisi lain ledakan termal terjadi saat laju
reaksi meningkat akibat dari kenaikan temperatur. Jika panas yang dilepaskan oleh reaksi
eksotermik tidak dihilangkan dengan cepat, temperatur akan meningkat. Karena laju reaksi
meningkat secara eksponensial dengan temperatur, ledakan termal dapat serta merta terjadi.
7.5.1 Reaksi Hidrogen-Oksigen
Reaksi antara hidrogen dan oksigen terjadi pada temperatur antara 450o dan 600oC menurut
persamaan stoikiometrik

2H2 + O2  2H2O

Ini merupakan contoh klasik reaksi rantai bercabang dan telah dipelajari selama bertahun-tahun.
Laju ditemukan tergantung pada tekanan total dalam cara yang karakteristik untuk semua reaksi
rantai bercabang.
Misalkan reaksi diatas pada 550oC. Variasi laju terhadap tekanan total ditunjukkan pada
gambar 7.3. Pada tekanan rendah laju berubah secara linier terhadap tekanan total seperti yang
diharapkan pada reaksi rantai tak bercabang normal. Pada tekanan sekitar 150 torr dan sekitar
dibawah 250 torr, pengaruh serupa teramati. Tapi pada tekanan antara 50 torr dan 250 torr terjadi
ledakan. Oleh karena itu batas ledakan yang disebut dengan batas ledakan pertama, kedua dan
ketiga terjadi seperti yang diperlihatkan.

Gambar 7.3 Variasi laju terhadap tekanan total untuk reaksi hidrogen-oksigen
Batas ledakan sangat tergantung temperatur seperti diilustrasikan pada gambar 7.4.
Dibawah 400oC reaksi berlangsung pada laju mantap tanpa ledakan untuk interval range lebar
dari tekanan total. Pada 500oC range tekanan sistem dapat meledak mengecil, karena batas
ledakan kedua terjadi pada tekanan lebih rendah. Dengan cara yang sama pada temperatur ini
batas ledakan ketiga terjadi pada tekanan lebih tinggi dibanding pada 550oC. Pada temperatur
lebih besar dari 600oC reaksi stabil pada tekanan rendah tapi akan meledak pada tekanan
selebihnya.

Gambar 7.4 Variasi batas ledakan terhadap temperatur untuk reaksi hidrogen-oksigen

77
Tekanan pada saat batas ledakan pertama terjadi ditemukan sensitif terhadap parameter
wadah reaksi seperti, ukuran wadah, bentuk dan sifat permukaan. Pada tekanan rendah
probabilitas tumbukan rendah dan radikal memiliki akses mudah pada dinding wadah dimana
mereka mengalami rekombinasi. Kenaikan tekanan atau pelapisan permukaan dengan material
reaktif menurunkan probabilitas reaksi permukaan dan meningkatkan ledakan. Jika wadah lebih
besar digunakan, radikal akan lebih terdifusi ke permukaan dan ledakan lebih mungkin terjadi.
Tekanan saat batas ledakan kedua atau lebih tinggi terjadi ditemukan tidak sensitif
terhadap parameter permukaan ini dan oleh karenanya tidak tergantung pada rekombinasi
permukaan radikal. Diperkirakan pada tekanan tinggi radikal terpisah oleh rekombinasi dalam
fasa gas. Penambahan gas asing atau innert kedalam campuran reaksi membantu rekombinasi
fasa gas dan menurunkan batas ledakan.

7.5.2 Kinetika Reaksi Rantai Bercabang


Teori kinetika reaksi rantai bercabang didasarkan atas penelitian Hinshelwood di Inggris dan
Semenov di Russia pada tahun 1930-an. Teori mereka dapat diilustrasikan oleh perlakuan
sederhana menggunakan mekanisme umum untuk reaksi rantai bercabang.

I  R Inisiasi
R + …  P + R Propagasi
R + …  R Pencabangan
R + …  ? Terminasi permukaan
R + …  ? Terminasi fasa gas
dimana I adalah molekul inisiator yang menghasilkan radikal bebas, R adalah radikal dan P
adalah produk reaksi.
Misalkan i sebagai laju inisiasi dan rp, rb, rs dan rg sebagai koefisien laju masing-masing
untuk proses propagasi, pencabangan, terminasi permukaan dan terminasi fasa gas. Koefisien
laju adalah produk suku konstanta laju dan konsentrasi. Sebagai contoh, satu proses propagasi
yang mungkin pada reaksi hidrogen-oksigen yaitu

HO2 + H2  H2O + OH


dan lajunya adalah rp[HO2] dimana rp = kp[H2].
Mengingat persamaan keadaan mantap untuk R
d [ R]
 v i  rb (  1)[ R]  rs [ R]  rg [ R]  0 (7.23)
dt
dimana -1 adalah pertambahan radikal bebas pada reaksi bercabang, yang sering sama dengan
dua.
vi
[ R] 
rs  rg  rb (  1)
Laju reaksi overall jika keadaan mantap ditahan, akan menjadi:
d[ P]
v  r p [ R]
dt

78
r p vi
= (7.24)
rs  rg  rb (  1)
Untuk kondisi keadaan mantap dapat ditahan, percabangan tidak boleh terjadi, itu artinya  = 1.
Ketika cabang terjadi,  menjadi lebih besar dari satu dan suku rb( - 1) bertambah sehingga
penyebut dalam persamaan 7.24 menurun. Oleh karena itu dengan meningkatnya pencabangan,
laju akan meningkat hingga penyebut menjadi sma dengan nol atau laju menjadi tak terhingga.
Ini adalah kondisi untuk ledakan, yaitu:
rs + rg = rb( - 1) (7.25)
Karena kondisi keadaan mantap tidak diterapkan, ini adalah suatu pendekatan dan secara praktek
laju bisa menjadi sangat besar bukan menjadi tak terbatas.
Jika teori ini diterapkan terhadap reaksi hidrogen-oksigen, batas pertama dan kedua
ledakan dapat diterangkan. Pada tekanan rendah rs besar sehingga rs + rg > rb( - 1) Dengan
meningkatnya tekanan rs turun hingga rs + rg= rb( - 1) saat batas ledakan pertama teramati. Pada
tekanan relatif tinggi rg akan tinggi sehingga rs + rg > rb( - 1) dan sistem dalam keadaan stabil.
Saat tekanan diturunkan rg turun hingga rs + rg = rb( - 1) kembali dan batas ledakan kedua
teramati.
Terjadinya batas ledakan ketiga baik ledakan termal atau oleh reaksi pencabangan lebih
lanjut lainnya, yang menyebabkan peningkatan tiba-tiba konsentrasi radikal bebas. Sifat-sifat
batas ledakan ketiga belum dipahami seutuhnya.

79
BAB 8
Reaksi Dalam larutan

8.1. Perbandingan antara reaksi dalam fasa gas dan dalam larutan
Reaksi dalam fasa gas melibatkan kolisi terisolasi diantara molekul-molekul individu. Pada
cairan reaksi tidak sesederhana dalam padatan atau gas, reaksi dalam larutan agak rumit.
Perbedaan utama reaksi fasa gas dan cairan adalah pada fasa cairan molekul-molekul reaktan
bertumbukkan secara kontinu dengan molekul-molekul pelarut. Dalam sistem dimana pelarut
mempunyai sedikit atau tidak ada pengaruh pada laju, laju dan mekanisme tidak begitu berbeda
dari reaksi gas. Bagaimanapun banyak reaksi dalam larutan dengan kehadiran pelarut
mengakibatkan ionisasi sehingga reaksi antara ion-ion dapat dipelajari karena laju bergantung
pada lingkungan elektrik dari ion-ion, yang dipengaruhi oleh konstanta dielektrik dari pelarut.
Perbedaan lain bila reaksi terjadi dalam larutan adalah jumlah kolisi per satuan waktu lebih
besar. Transfer energi cepat, dan kesetimbangan termal dan vibrasi dicapai sangat cepat.
Robinovitch memperlihatkan dari percobaan stimulasi bahwa kolisi terjadi bila molekul lebih
dekat. Molekul-molekul tersebut saat kolisi mula-mula terjadi molekul disekeliling membentuk
sangkar, yang sejumlah besar kolisi berikut mengambil tempat, sebelum molekul berpisah. Efek
sangkar adalah penting dalam proses yang terjadi dengan energi aktivasi rendah seperti
kombinasi diantara dua radikal bebas. Energi aktivasi nol mengimplikasikan bahwa reaksi kimia
terjadi pada tiap kolisi. Phenomena yang menyebabkan reaksi saat kolosi pertama diiukuti
dengan sejumlah kolisi dalam sangkar, yang tidak memberi sumbangan terhadap laju. Jika
molekul reaktan adalah dekomposisi secara fotokimia dalam larutan (proses yang bebas
temperatur dan mempunyai energi aktivasi nol) menyebabkan radikal-radikal bebas bergabung
kembali dalam sangkar yang dikeliling molekul-molekul pelarut sebelum pisah mengambil
tempat.
Dalam reaksi dengan energi aktivasi rendah (biasanya kurang dari 20 kJ mol) tahap penentu
laju bisa laju difusi dari molekul-moleku; reaktan terhadap satu sama lain yang menyebabkan
kolisi atau laju difusi dari produk terhadap satu sama lain setelah kolisi. Reaksi demikian
dikatakan difusi terkontrol dan lajunya akan bergantung pada viskositas dari pelarut.
Rekombinasi radikal bebas dalam larutan adalah selalu difusi terkontrol.
Reaksi lain dalam larutan berbeda dari fasa gas karena pelarut terlibat secara kimia dalam
mekanisme. Dalam beberapa kasus ia dapat mungkin bereaksi sebagai katalis, sementara dalam
reaksi lain ia habis selama reaksi.

8.2. Teori Keadaan Transisi untuk Reaksi Cairan


Untuk reaksi gas bimolecular konstanta laju untuk reaksi :
A + B _____X ____ produk
adalah :

80

kr  v exp  G RT  (8.1)

kT 
kr  K (8.2)
h

kT   G  
kr  exp  (8.3)
h  RT 

dan

kT  S    H  
kr  exp  exp   (8.4)
h  R   RT 

Dimana

G* = energi bebas aktivasi

S* = entropy aktivasi

H* = entalpi aktivasi


Meskipun sifat-sifat termodinamika ion dapat diperoleh di literature, efek pelarut membuat
nilai-nilai mereka agak tak jelas. Sementara data akurat tidak ada sifat-sifat termodinamika
tersebut telah ditemukan, seperti dalam reaksi fasa gas, yang entropy aktivasi memberikan
indikasi yang berguna dari struktur keadaan transisi. Entropi aktivasi positif menunjukkan bahwa
keadaan transisi kurang teratur dari molekul-molekul reaktom bebas sedangkan entropi aktivasi
negatif sesuai dengan kenaikan oder bila molekul reaktom bergabung membentuk keadaan
transisi.

Entropi aktivasi dapat ditentukan secara eksperimental.


Ditemukan bahwa perubahan dalam volume bila keadaan transisi terbentuk dapat
dikorelasikan dengan entropy aktivasi. Oleh karena itu reaksi dengan nilai S* dan V *
negatif selalu lebih lambat dari normal, sedangkan reksi dengan nilai S* dan V* positif
adalah lebih cepat daripada normal. Perubahan volume sangat sensitive terhadap perubahan
dalam lingkungan elektrik dari reaktan, reaksi yang berjalan lewat mekanisme yang mirip akan
mempunyai nilai V* yang mirip.

8.3. Reaksi yang melibatkan ion-ion


Reaksi antara ion-ion sering terlalu cepat diukur dengan metode konvensional,
Untuk reaksi

81
H+ + OH-  H2O
dalam reaksi netralisasi asam dan basa kuat adalah satu dari reaksi yang paling cepat dengan
konstanta laju 1,4,10 dm3 mol 5.
Bagaimanapun, banyak reaksi antara ion-ion prosesnya melibatkan perusakan dan pembentukan
ikatan kovalen pada laju yang dapat diukur, contoh reaksi

CH3Br + Cl-  CH3Cl + Br-


Dalam aseton pada 298 K mempunyai laju 5,9 . 10-3 dm3 mol-1s-1.
Banyak percobaan dan parameter-parameter lain yang telah diperlihatkan untuk
mempengaruhi laju reaksi normal, dalam hal ini hanya akan dibahas 3 efek yang mempengaruhi
laju reaksi normal tersebut :
1. Sifat pelarut
2. Sifat ion-ion
3. Kekuatan ion-ion di larutan
8.3.1. Sifat Pelarut
Pada persamaan 8.3 memperlihatkan bahwa konstanta laju reaksi bergantung pada energi bebas
aktivasi G*. Dalam reaksi ion-ion interaksi elektrostatik diantara ion-ion menjadi sumbangan
penting terhadap energi bebas aktivasi ion. Karena ini adalah ukuran dari perubahan dalam
energi bebas dari keadaan reaktan ke keadaan teraktifasi, sumbangan elektristatik terhadap
energi, bebas aktivasi bergantung pada strukturterformulasi untuk keadaan teraktivasi.
Dua pendekatn yang telah dipakai dalam kedua pendekatan ii, diasumsikan bahwa ion-ion
berbentuk bila dengan muatan ZA dan ZB, alam pelarut yang mempunyai tetapan dielektrik  .
Jika komplek teraktivasi membentuk bola rangkap seperti dalam gambar 8.1, konstanta laju kr
diberikan oleh
Z AZBe2
ln kr  ln k0  …………………………… (8.5)
 d ABkT
dimana :
k0 = Konstanta laju dalam suatu medium larutan dielektika tak bekerja,
e = Muatan elektrik
dan dAB = jarak antar molekul dalam komplek teraktifasi

Gambar 8.1. Model untuk komplek teraktivasi bola rangkap

82
Jika komplek teraktifasi membentuk model bola tunggal seperti yang diperlihatkan gambar 8.2,
persamaan lajunya terlihat lebih komplek
e 2  Z A  Z B  Z A
2 2 2
ZB 
ln k r  ln k0     
2  kT  r rA rB 
Persamaan ini mereduksi prsamaan 8.5 dimana rA = rB = r*.

Gambar 8.2. Model komplek teraktivasi bola tunggal

Hal yang penting diatas bahwa kedua pendekata ini memprediksikan bahwa plot dari ln kr
terhadap 1 akan linear. Jika model bola rangkap diaplikasikan, slope adaah sama dengan

2
Z AZ Be .
d AB kT

Plot log kr terhadap 1/E adalah

Pada model bila rangkap, slope sama dengan ----------

8.3.2.SIFAT ION –ION :


Sifat dari komplek teraktivasi seperti diformulasikan oleh model bola rangkap tergantung pada
muatan ion-ion yang bereaksi :
Jika ion bermuatan sama (bermuatan positif), dankomplek teraktivasi membentuk muatn rangkap
positif. Molekul-molekul pelarut didekat ion disebabkan oleh gaya elektrotatik kuat, yang
membatasi kebebasan gerak mereka. Efek ini disebut solver binding atau electrostriction,
akibatnya pengurangan dalam entropi. Jika ion muatan sama faktor frekwensi lebih kecil dari
pada normal.
Dalam suatu reaksi antara ion-ion berlawanan muatan, muatan terasosia dengan komplek
aktifasi menurun, akibatnya menurunkan elektrichor dan entropy aktivasi positif. Karena factor

83
frekwensi dalam persamaan Arrhenius sebanding dengan exp S  R


(persamaan 5.18) , untuk
reaksi ion berlawanan, A (faktur frekwensi) lebih besar dari pada normal.
Telah diasumsikan bahwa tanpa kehadiran efek elektrostatik, entropi aktivasi adalah nol dan
faktor frekuensi (A) normal, yaitu dari orde 1012dm3mol-1s-1

8.3.3. Kekuatan ionik dalam larutan


Bronsted, Bjerrum dan other memperlihatkan bahwa laju reaksi ionik bergantung pada
kekuatan ionik dari larutan, karena kekuatan ionik dari larutan dapat dirubah dengan
penambahan garam ionic, ini dikenal sebagai efek garam primer.
Dasar teori untuk pengaruh kekuatan ionic pada konstanta laju reaksi diturunkan sebagai berikut
:
A + B X+ produk
Konstanta ketimbangan untuk reaksi ini didefinisikan dalam istilah aktivitas relatif. Aktivitas
relatif a dari suatu larutan diberikan oleh :
a  c

dimana c adalah konsentrasi dan  adalah koefisien aktivitas

Tabel 8.1. Beberapa faktor A dan entropi aktivasi


Untuk beberapa reaksi antara ion-ion

Konstanta kesetimbangan K diberikan oleh :

K
aX 

X 
X 
(8.7)
aAaB AB  A B
Oleh karena :

84
X   K AB 
 A B
(8.8)

X

Telah diasumsikan bahwa laju reaksi diatas hanya bergantung pada konsentrasi komplek
teraktivasi sehingga laju reaksi v ditentukan oleh

d A d B 
v
dt

dt
 k' X    (8.9)

Substitusi persamaan 8.8 kedalam persamaan 8.9 sehingga memberikan

 A B
v  k ' K AB (8.1
X 

tapi untuk reaksi ini laju v dan konstanta laju kr dihubungkan dengan

v  kr AB  (8.11)

Kombinasi persamaan 8.10 dan 8.11 menghasilkan

 A B
kr  k ' K (8.12)
X 

k0 adalah konstanta laju pada larutan encer tak berhingga (kekuatan ionik nol) bila koefisien
aktivitas sama dengan nol. Oleh karena itu dalam kondisi ini

k0  k ' K

sehingga

 A B
k r  k0 (8.13)
X 

Dalam bentuk logaritma

  
log10 kr  log10 k0  log10  A B  (8.14)
  
 X 

Dari hukum pembatas Debye-Hiickel, koefisien aktivitas dari ion i dengan muatan zi
dihubungkan dengan kekuatan ionik I oleh
2
log10  i   Azi I

dimana A adalah konstanta Debye-Hiickel dan kekuatan ionik I   1 ci zi .


2
2

85
Oleh karena itu

 A B
log10
X
 2 2
  A I Z A  Z B  Z A  Z B 
2

Karena muatan pada komplek adalah jumlah dari dua muatan pada ion-ion yang bereaksi yaitu

 A B
log10  2 Az A z B I (8.15)
X

Substitusi persamaan 8.15 ke persamaan 8.14 menghasilkan

log10 kr  log10 k0  2 Az A z B I (8.16)

Ini dikenal sebagai hubungan Bronsted-Bjerrum dan meramalkan bahwa plot log10 kr terhadap
I adalah linear dengan slope sama dengan 2AzAzB dan intersep sama dengan log10 k0 . Untuk
larutan encer pada 25 c, konstanta Debye-Hiickel A  0,51 dm3/2mol-1/2.

Persamaan 8.16 dapat disusun kembali menjadi

k 
log10  r   2 Az A z B I (8.17)
 ko 

Oh karena itu plot log10 kr k0  terhadap I adalah linear. Gambar 8.5 memperlihatkan plot ini
untuk reaksi ionik dalam tabel 8.1.

86
Gambar 8.5. Variasi log10 k / k0 dengan I untuk sejumlah reaksi ionik

Terlihat bahwa untuk reaksi antara ion muatan sama slope adalah positif. Reaksi demikian
memperlihatkan bahwa efek garam positif;yaitu laju reaksi meningkat dengan naiknya kekuatan
ionik. Untuk reaksi antara ion muatan berlawanan slope adalah negatif. Ini sesuai dengan efek
garam negatif dan laju reaksi menurun dengan meningkatnya kekuatan ionik. Reaksi antara ion
dan mulekul netral seperti asam atau hidroliis alkalin dari estes tidak memberikan efek garam
primer.

8.4.Efek Tekanan Terhadap Laju Reaksi


Disini pengaruh tekanan digunakan untuk mengukur aktivasi.
Dari persamaan Van Hoff :

G   RT ln K
Tetapi volume dan energi bebas dihubungkan dengan

 G 
V   
 p T

87
Atau

 G    d ln K 
V      RT  
 p T  dp T

memberikan

 d ln K  V
   
 dp T RT

Volume aktivasi V  didefinisikan sebagai perubahan dalam volume dalam keadaan reaktan ke
keadaan teraktivasi oleh karena itu :

 d ln K   V 
    (8.18)
 dp T RT

Karena kr  kT hK  , variasi konstanta laju dengan tekanan ditentukan oleh

 d ln k r  V 
    (8.19)
 dp T RT

Jika konstanta laju meningkat dengan naiknya tekanan, volume dari keadaan teraktivasi adalah
kurang daripada volume reaktan; V  negatif. Sebaliknya, konstanta laju turun dengan naiknya
tekanan sesuai dengan V  positif.

Dari hubungan diatas:

Volume aktivasi dapat ditentukan dari pengukuran konstanta laju terhadap tekanan pada T tetap.
Integrasi persamaan 8.19 menghasilkan:

V 
ln k r   p  kons tan ta
RT

k0 adalah konstanta laju untuk reaksi pada tekanan nol. Oleh karena itu, kons tan ta  ln k0 dan

V 
ln k r  ln k0  p
RT
yaitu

88
V 
log10 k r  log10 k 0  p (8.20)
2,303RT

Plot log10 kr terhadap p adalah linear dan slope diberikan oleh V  2,303RT , sehingga V 
dapat ditentukan.

Hukum pembatas Debye – Huckel


Jauhnya jarak dan kekuatan coulomb antara ion-ion berarti interaksi ini merupakan penanggung
jawab utama atas penyimpangan dari keidelan di dalam larutan ion, dan hal ini mendominasi
penyebab-penyebab ketakidelan. Dominasi ini adalah dasar teori Debye – Huckel pada tahun
1923.
Disini kita jelaskan teori ini secara kualitatif dan membuat kesimpulan utamanya.
Karena ion-ion yang muatannya berlawanan saling tarik menarik maka kation dan anion
tidak terdistribusi secara seragam di dalam larutan : anion lebih mungkin ditemukan di dekat
kation, dan sebaliknya (Gambar 10.1). Secara keseluruhan, muatan larutan adalah netral, tetapi di
dekat ion tertentu ada kelebihan ion lawan, yaitu ion-ion yang muatannya
Berlawanan. Dirata-ratakan pada saat tertentu, lebih banyak ionlawan yang melewati ion
tyertentu daripada ion sejenisnya, dan ion-ion lawan ini beregerak kesegala arah. Kabut bulat
yang dirata-ratakan pada suatu selang waktu disekeliling ion tertentu ini mempunyai muatan neto
sama dengan ion sentralnya, tetapi tandanya berlawanan, dan disebut atmosfer ionik. Energi,
kemudian juga potensial kimia ion sentra tertentu, turun karena adanya interaksi coulomb dengan
atmosfer ioniknya. Penurunan energi ini tampak sebagai selisih antara fungsi Gibbs G dan nilai
ideal G  dari larutan, sehingga dapat ditunjukkan dengan RT ln   .

Model ini menghasilkan (informasi lanjutan) ungkapan bahwa pada konsentrasi sangat rendah
koefisien aktivitas dapat dihitung dari hukum pembatas Debye-Huckel.
2
log10  i   Azi I

dengan A=0,509/(mol k-1)1/2 untuk larutan encer pada temperatur 25 c (umumnya, A bergantung
pada daya hantar relatif dan temperatur) dan I adalah kekuatan ionik larutan.

I 1
2
2
zi ci
i

zi adalah bilangan muatan ion I dan ci adalah ion. Seperti akan kita lihat, kekuatan ion sangat
berfariasi jika kita membahas larutan ion jumlahnya meliputi seluruh ion yang ada didalam
larutan, untuk kedua jenis ion dengan molalitas yang ada didalam lerutan, untuk kedua jenis ion
dengan molalitas m+ dan m-.

89
2

I  1 m z  m z 
2 2

I menekankan muatan ion-ion karena bilangan muatannya berlaku sebagai kuadratnya. Tabel
10.3 merangkum hubungan kekuatan ion dengan molalitas dalam bentuk yang mudah digunakan
Tabel 10.3. Kekuatan ionik dan molalitas, I=k x m
X- X2- X3- X4-
M+ 1 3 6 10
M2+ 3 4 15 12
M3+ 6 15 9 42
M4+ 10 12 42 16
--------------------------------------------------------
Contohnya. Kekuatan ionik larutan M2X3 dengan molalitas m,
yang memberikan ion M3+ dan X2- kepada larutan adalah 15 m

90
BAB 9
REAKSI-REAKSI CEPAT

Bidang dari reaksi cepat banyak digunakan secara luas dengan bertambahnya penggunaan
dan otomatisasi peralatan perekaman elektronik. Istilah reaksi cepat digunakan untuk
menggambarkan reaksi-reaksi yang sulit diikuti secara kinetik dengan metode-metode
konvensional. Secara umum reaksi cepat ditandai dengan nilai konstanta reaksi (tergantung
temperatur) yang besar. Lebih tepatnya reaksi cepat memiliki energi aktivasi yang rendah, tetapi
jika konsentrasi reaktan cukup rendah maka kecepatan reaksi akan cukup kecil mirip dengan
yang terjadi pada reaksi unimolekuler. Dimana pada reaksi unimolekuler, kecepatan dekomposisi
akan sangat cepat, tetapi jika aktivasi efektif, kecepatan konversi menjadi produk menjadi kecil.
Maka dari itu, reaksi cepat dapat didefinisikan sebagai reaksi dengan waktu paruh kurang
dari beberapa detik (yaitu, sama dengan respon manusia atau waktu pencampuran reaktan) pada
temperatur kamar menggunakan konsentrasi reaktan konvensional (katakanlah 0.1 mol dm-3).
Beberapa contoh reaksi cepat telah dipelajari dengan beberapa teknik yang akan
dijelaskan pada bab ini, khususnya metode alir. Mereka secara beragam melibatkan reaksi-reaksi
radikal bebas. Peralatan analitik modern, cepat dan senseitif cuku p baik untuk mendeteksi spesi
radikal bebas yang hanya hadir dalam hitungan milidetik.
Lebih banyak reaksi cepat fase cair yang telah dipelajari, khususnya reaksi melibatkan
ion dan elektron dalam larutan berair; yaitu ion-ion hidrat atau elektron. Reaksi paling cepat
adalah reaksi netralisasi,
k1
A B
k 1

yang memiliki kecepatan konstan 1,4 x 10 dm3 mol-1det-1 pada 25 C. Banyak reaksi biologis
11

penting seperti reaksi berkatalis enzim berlangsung sangat cepat. Tabel 9.1 menunjukkan rentang
waktu paruh dan teknik yang dapat digunakan.
Satu kemungkinan dari metode penelitian suatu reaksi cepat adalah dengan menjalankan
suatu reaksi pada kondisi eksperimental dimana reaksi berlangsung pada kecepatan terukur.
Suatu reaksi dengan energi aktivasi (misalnya, 100 kJ mol-1) berlangsung sekitar 108 lebih
lambat jika temperatur turun dari 300 ke 200 K. Jika konsentrasi reaksi untuk reaksi-raksi
biomolekuler berkurang dari 0.1 mol dm-3 ke 10-6 mol dm-3, kecepatan akan berlangsung 1010
lebih lambat. Namun demikian, data yang didapatkan pada temperatur rendah atau dari larutan
yang encer biasanya tidak menarik dan secara umum mekanisme reaksi bisa saja sangat berbeda.
Ini merupakan pendekatan tidak langsung yang biasanya tidak memuaskan.

TABEL 9.1. RENTANG DARI KETERUKURAN WAKTU PARUH


DENGAN TEKNIK-TEKNIK REAKSI CEPAT
Teknik yang Dipakai Waktu Paruh (s-1)
Konvesional 103 – 1
Aliran konstan dan terputus (stopped-flow) 1-10-3
Radiolisis flash dan pulsa 1-10-6
NMR 1-10-5
Resonansi spin elektron 10-4-10-9
Tekanan lompat 1-10-5
Temperatur lompat 1-10-6
Fluoresensi 10-6-10-9

91
Metode lain yang dapat digunakan untuk reaksi yang memiliki konstanta kesetimbangan
yang lebih besar, dimana reaksi
k1
A B
k 1

Maka
k1  k1K
Bila k-1 dapat diukur dan K diketahui, maka kecepatan maju dapat diukur. Terdapat dua jalan
yang dapat dipertimbangan dalam mendekati reaksi-reaksi cepat, yaitu:
(i) Metode Gangguan
Suatu sistem dalam kesetimbangan dikenakan suatu gangguan dan reaksi kesetimbangan ulang
terjadi dengan sangat cepat.

(ii) Metode Kompetisi


Suatu proses fisik mengganggu sistem dan melakukan kompetisi dengan reaksi kimia. Sebagai
contoh adalah proses fluoresensi yang didalamnya terdapat kompetisi antara proses kimia dan
proses fisika.
Suatu pendekatan sederhana adalah dengan mempertimbangkan beberapa teknik
eksperimental lain untuk digunakan dalam suatu rangkaian reaksi. Hal ini dapat dipisahkan
untuk melcak reaksi yang terjadi sangat cepat dan reaksi-reaksi lain dapat diikuti secara analitik.
Metode berikut ini yang dapat saja dipertimbangkan adalah
(1) Metode alir
(2) Nyala
(3) Fotolisis flash dan Radiolisis pulsa
(4) NMR
(5) Tabung kejut
(6) Berkas molekuler
(7) Metode relaksasi

9. 1. Metode Alir
Metode ini merupakan metode pertama yang ditemukan dan masih merupakan metode penting
saat ini. Perangkat awal merupakan hasil rancangan Hartridge dan Roughton pada tahun 1923,
seperti yang ditampilkan pada gambar 9.1. Perangkat ini terdiri dari ruang pencampur dimana
reaktan mengalir pada suatu dengan kececpatan tinggi. Secara umum campuran dianalisis dengan
menggunakan spektrofotometri absorpsi.
Pada prinsipnya metode ini merupakan ukuran dari konsentrasi reaktan sebagai fungsi
dari jarak disepanjang tabung dengan mengukur absorpsi dan beberapa sifat fisik lainnya seperti
daya hantar pada beberapa titik ditabung. Kecepatan perubahan dari reaktan A terhadap waktu
dihubungkan dengan laju reaksi, yaitu
 d  A  d  A dx

dx dt dt
dx
dimana adalah kecepata alir. Jika kecepatan alir adalah 10 m/s dan pengamatan dilakukan
dt
pada jarak 1 cm (10-2 m) ari campuran dan kemudian jarak ini setara dengan waktu reaksi (10-
2
/10) s = 10-3 s. Cara ini memungkinkan untuk mempelajari waktu paruh dengan orde milidetik.

92
Gambar 9.1. Peralatan aliran konstan Hartridge dan Roughton

9.1.1. Reaksi Gas pada Tabung Alir


Banyak reaksi gas melibatkan atom-atom atau radikal bebas telah dipelajari dengan sistem alir.
Gas dilewatkan pada tabung bermuatan listrik dengan tekanan rendah pada kecepatan alir seitar
103 cm s-1. Reaksi dari radikal bebas dipelajari pada jawak di atas 1 dari titik yang bermuatan.
Namun, cara ini memungkinkan reaksi rekombinasi radikal atau reaksi radikal bebas dengan
molekul reaktan stabil yang ditambahkan pada stream gas. Banyak teknik analitik yang
dikembangkan seperti spektroskopi emisi dan absorpsi, kemiluminesensi, spektroskopi massa
stream gas atau spektroskopi resonansi spin elektron.
Diantara eksperiment yang paling diminati adalah titrasi fase gas untuk atom-atom,
seperti yang ilustrasikan pada gambar 9. 2. Pada saat nitrogen bebas oksigen dilewatkan pada
bagian tidak bermuatan akan dihasilkan atom nitrogen. Atom-atom itu kemudian berikatan
kembali menhasilkan nitrogen tereksitasi dan ditandai dengan emisi sinar kuning.
N + N  N2*
Untuk meramalkan konsentrasi atom N pada penambahan uap oksida nitrat pada saat atom
oksigen terbentuk oleh reaksi

Gambar 9.2. Diagram tube aliran cepat untuk titrasi gas


D = pengosongan muatan dan tube pengosongan muatan kuarsa; J1, J2 = pengisi gas; P1, P2 =
fotomultiplier; F = tanur; C = udara pendingin.
N + NO  N2 + O
Bila NO ditambahkan lebih banyak, satu kemiluminesensi biru akan tampak sebagai hasil reaksi
N + O + M  NO + M
M adalah gas inert yangtidak terdissosiasi oleh nitrogen.

93
Pada akhir titrasi NO memerangkap semua atom N dan menyebabkan emisi. Jika NO
ditambahkan secara berlebih, suatu nyala hijau-kuning akan terbentuk dari NO2 eksitasi yang
terjadi pada reaksi.

O + NO  NO2 + h

9.1.2. Reaktor Alir untuk Reaksi-reaksi Fase Cair


Dua tipe dari reaktor alir digunakan dalam mempelajari reaksi pada fase cair.

(i) Reaktor Aduk


Reaktan ditambahkan ke dalam suatu reaktor aduk dan produk dipisahkan dari reaktor dengan
kecepatan yang sama. Analisis yang dilakukan terhadap produk di dalam reaktor atau produk
yang telah dipisahkan.

(ii) Reaktor Aliran Terputus


Dua reaktan dicampur dalam suatu reaktor tube alir seperti yang digambarkan pada 9.3. Aliran
dilepaskan secara mendadak dengan suatu piston dengan kecepatan yang sama dengan peralatan
analitik yang dipakai. Reaksi pada titik yang tetap diikuti dengan peralatan analitik.

9.1.3. Keterbatasan Metode Alir


Terdapat beberapa keterbatasan dalam penggunaan metoda alir.
(i) Sifat hidrodinamik dan gas-dinamik
Pada pencampuran atau aliran tinggi, aliran menjadi lebih encer dan dihasilkan aliran turbulen.
Untuk itu harus diperhatikan batasan maksimal dari penggunaan kecepatan lair dan reaksi-reaksi
dengan waktu paruh kurang dari 10-3 tidak dapat dipelajari dengan metoda alir.

94
Gambar 9.3. Peralatan aliran-putus

(ii) Tekanan gas


Pada reaksi gas dengan menggunakan tabung alir tekanan rendah tekanan harus vukup tinggi
untuk menghindari perubahan konsntrasi yang diakibatkan oleh difusi daripada reaksi kimia
(iii) Volume reaktan
Pada awal percobaan dengan menggunakan metoda alir berupa tabung alir 5 mm, 3-4 L reaktan
dikonsumsi untuk sekali pelaksanaan percobaan. Bila menggunakan tabung yang lebih kecil akan
menggurangi volume reaktan yang dikonsumsi sampai 20-30 ml. Untuk reaktan-reaktan yang
sangat mahal, penggunaan suntuikan hipodermik yang dioperasikan secara mekanik dapat
mengurangi penggunaan reaktan sampai 6 ml untuk sekali pemakaian.
11.2. Nyala
Teknik ini juga merupakan teknik lama yang digunakan untuk mempelajari reaksi kimia pada
nyala stasioner. Jika reaktan bercampur dan berdifusi dalam nyala, reaksi disebut proses difusi
nyala. Sebaliknya, jika reaktan dicampur terlebih dahulu sebelum dinyalakan, maka disebut
deengan reaksi nyala pre-mixed. Tekanan gas yang diumpankan ke dalam nyala menentukan
sifat dan temperatur nyala.
9.2.1. Nyala Encer
Pada tekanan rendah jejak bebas rata-rata antar molekul yang bertabrakan adalah cukup panjang
dan zone reaksi sangat besar. Resultan kenaikan temperatur kecil dan nyala dikatakan sebagai
nyala encer.
Banyak pekerjaan dengan metoda ini dikonsentrasikan pada reaksi logam alkali dan
halogen atau alkil halida. Suatu gas dilewati pemanas logam alkali dan dihasilkan gas jenuh
dengan uap logam berdifusi ke dalam uap halogen atau halida pada tekanan rendah. Reaksi
sebagai berikut
RCl  Na   R  Na  Cl 
dan
Cl2  Na   Cl  Na  Cl 

terjadi pada nyala encer. Jika koefisien difusi diketahui, konstanta kecepatan dapat ditentukan
dari pengukuran dimensi zona nyala reaksi dan tekanan reaktan. Namun harga dari koefisien
difusi tidak cukup akurat bila pengamatan dilakukan di bawah kondisi yang tidak begitu baik.
Pembentukkan partikel produk padat dalam nyala menyebabkan pengukuran menjadi lebih tidak
pasti.

9.2.2. Nyala Panas


Pada tekanan tinggi jejak bebas rata-rata adalah pendek dan zone reaksi kecil. Bila reaksi
eksotermik terjadi dalam nyala, terdapat suatu kenaikan temperatur yang sangat cepat. Gradien
temperatur sangat tajam dimana temperatur 3000 K dengan mudah.
Spektrum emisi dari banyak spesi radikal seperti OH, NH, dan NH2 diamati pertama kali
pada nyala panas. Nyala ini dihasilkan pada kondisi tidak setimbang dimana temperatur
elektronik, vibrasi dan translasi berbeda. Hasil dari proses kemiluminesensi dan kemi-ionisasi
secara efektif dapat dipelajari dalam nyala ini.

9.3 Fotolisis Kilat dan Radiolisis Denyut

95
Fotolisis kilat adalah suatu teknik moderen yang dikembangkan oleh Norrish dan Porter dimana
radikal dihasilkan pada konsentrasi relatif tinggi. Walaupun waktu paruh untuk banyak radikal
hanya berorde milisekon atau kurang, mereka dapat di-identifikasi pada sistem fotolisis kilat
dengan metode absorpsi cahaya.
Perangkat yang digunakan di-ilustrasikan pada gambar 9.4. Reaktan diuraikan oleh
kilatan cahaya intensitas tinggi dengan energi diatas 105 J dihasilkan oleh pengosongan muatan
tabung kondenser. Kilat dengan durasi 100s, dikaitkan dengan suatu unit tunda ke sumber
cahaya (spectroflash) diatur tegak lurus dengan detektor cahaya (photoflash). Sumber cahaya
diatur untuk aktif pada interval waktu orde 200s dan spektrum absorpsi dicatat pada suatu
lempeng fotografik.

Gambar 9.4. Diagram Perangkat Fotolisis Kilat dan Sprktroskopi Kinetika


Banyak dari energi cahaya diubah menjadi energi translasi yang tampil sebagai energi kinetika
dari radikal dan menghasilkan peningkatan mendadak temperatur. Jika reaksi berlangsung pada
fase cair atau dengan reaktan gas dalam lingkungan gas inert untuk mendekati kondisi termal.
Teknik spektra absorpsi dengan fotolisis kilat dapat digunakan untuk menentukkan jarak ikatan
dan momen inersia dari radikal-radikal seperti NH2, C3, CHO dan ClO. Spesi triplet molekul-
molekul polisiklik pada fase gas atau cair juga dapat diamati dengan metode ini. Suatu penelitian
tentang perubahan laju intermidet-intermidet yang terbentuk dari fotolisis kilat disebut dengan
spektroskopi kinetika. Teknik ini telah digunakan dalam mempelajari kinetika dari banyak
dekomposisi fotokimia dan reaksi oksidasi.
Spektroskopi kinetika dan pencatatan kinetika reaksi dilakukan pada suatu seri foto
spektra dengan interval waktu yang berbeda, setiap foto membutuhkan percobaan terpisah. Jika
sumber cahaya digantikan dengan pengganda-foto (photomultiplier) dan emisi dari spesi yang
diamati dengan pengganda-foto dengan tampilan hasil sinyal pada layar osiloskop. Penggunaan
pengganda-foto untuk mempelajari kinetika di-istilahkan sebagai spektrometri kinetika. Teknik
telah banyak dimanfaatkan dalam mempelajari reaksi-reaksi yang melibatkan radikal-radikal dan
radikal-ion.
Sebagai contoh, fotolisis dari iod digunakan dalam mengukur kecepatan rekombinasi
atom-atom iod

I   I   M 
 I2  M 
Dimana rekombinasi terjadi dengan keberadaan molekul ketiga, M, yaitu H2, Ar, Ne dan CH4.
Selain itu terjadi kompetisi antara reaksi di atas dengan reaksi.
I   I  I 2 
 I2  I2  (1)

96
Konsentrasi iod dapat diukur dengan mengamati intensitas berkas sempit cahaya sekitar 500 nm,
dan konsentrasi atom-atom iod ditentukan dari ungkapan
 I t  2  I 2 0   I 2 t  (2)
dimana notasi t menunjukkan waktu dan 0 menunjukkan kondisi pra-kilat. Dari pengukuran ini
kecepatan relatif (1) dan (2) dapat diukur dengan beberapa spesi gas.
Suatu teknik yang dapat dianalogikan dengan teknik di atas adalah radiolisis denyut
dimana perbedaan utama tentu saja pada radiasi yang menguraikan molekul-molekul kimia
tersebut. Suatu denyut elektron dari percepatan linier atau sinar-X melewati suatu larutan dan
hasil reaksi antar ion-ion, elektron-elektron, molekul-molekul merupakan bidang yang menarik
untuk kimia radiasi.
9.4 Metoda Resonansi Magnetik
Spektroskopi resonasi magnet inti (RMI) dan resonansi paramagnet elektron (RPE) dapat
digunakan dalam mengamati reaksi pertukaran cepat. Grafik absorpsi versus frekuensi
memberikan informasi tentang transfer energi dalam molekul-molekul yang diperhitungkan.
Struktur dan lebar bentuk garis berubah ketika suatu reaksi bertukaran terjadi.
Bila kita memperhatikan spektrum sederhana dari etanol murni kering. Spektrum seperti
yang ditampilkan pada gambar 9.5(a) meliputi triplet hidroksil dan quadruplet metilen
termodifkasi. Panambahan suatu cuplikan alkali dideteksi dengan keberadaan garis proton air
diantara dua puncak. Jika suatu alkali ditambahkan suatu proton diantara gugus OH dan spesi
lain seperti OH dan H2O terjadi. Hasilnyaadalah penajaman triplet OH menjadi puncak tunggal
dari puncak melebar dan perubahan sinyal CH2 berubahn ke dalam quadruplet sederhana. Laju
dari spektral ini kemudian merupakan lajur dari pertukaran proton.

Gambar 9.5. Spektrum NMR untuk etanol murni (a) Spektrum resolusi tinggi NMR (b)
Penggandaan gugus CH2 akibat keberadaan OH pada mekanisme pertukaran proton.
Perubahan lain dari spektrum dapat dilakukan dengan penambahan asam atau basa, yang
menyebabkan perpindahan proton hidroksil dari suatu alkohol atau etanol.
ROH  A   RO   AH 
Dengan demikian waktu paruh yang dapat diukur dengan percobaan proton MRI adalah pada
rentang 1 – 10-4s. Konstanta laju untuk reaksi
CH 3OH  CH 3O   CH 3O   CH 3OH
diukur sebesar 8,8 x 1010 s-1 dalam metanol murni.
Reaksi perpindahan elektron dedngan waktu apruh dibawah 10-4 menjadi 10-9 dapat
dipelajari dengan metode RPE. Suatu konstanta laju sebesar 5 x 108 dm3 mol-1 s-1 untuk reaksi
C6 H 5CN  C6 H 5CN   C6 H 5CN   C6 H 5CN
diukur dengan menggunakan metode RPE.

9.5. Tube Kejut

97
Tube kejut dikembangkan pada akhir tahun 20-an sebagai suatu metoda yang sangat baik dalam
mempelajari reaksi homogen temperatur tinggi fase gas homogen yang cepat. Suatu reaktan
konsentrasi rendah pada gas inert berlebih mengalami kompresi adiabatik pada suatu gelombang
kejut dan dipanaskan pada temperatur di atas 5000 K atau di bawah penampang kejut. Suatu tube
kejut khusus digambarkan pada 9.6. Tube ini terdiri dari suatu bagian penyelaras, gas hidrogen
atau helium, diafragma dan bagian pengamatan. Gauges diletakan sepanjang tube untuk
mengukur kecepatan gelombag kejut. Pada saat diafragma terbakar, gas kejut-nyala dialirkan ke
bagian bawah tube dengan kecepatan menekati kecepatan suara. Penampang kejut menunjukkan
temperatur dan tekanan dengan sangat tajam, profil resolusi tekanan tinggi. Konsekunsinya
temperatur diatas 5000 K akan dicapai dengan hitungan 1 s.

Gambar 9.6. Diagram tube kejut

Reaksi-reaksi dapat di-ikuti dengan mengukur perubahan densitas, emisi cahaya atau
absorpsi cahaya membutuhkan tube kejut luas. Bahkan untuk temperatur tinggi dapat dicapai
dengan pantulan pada ujung tube kejut. Bradley2 mempelajari reaksi pada gelombang kejut yang
dipantulkan pada suatu lempeng emas. Hasil analisis dari campuran reaksi menunjukkan adanya
kesenjangan antara lobang pin pada lempeng spektrometer massa, yang memberikan suatu
spektrum massa yang komplit untuk spesi-spesi yang timbul setiap 50 s.
Namun demikian banyak dari reaksi dekomposisi dan auto-oksidasi belum dapat dpelajari
dengan metoda yang tersedia dikarenakan temperatur dan tekanan sangat terpengaruh kepada
sifat hidrodinamik dari tekanan kejut dan sifat termodinamika gas. Reaksi-reaksi tersebut
homogen sepanjang waktu pengamatan lebih pendek dibandingkan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk molekul berdifusi pada dinding.
Pada keadaan lain, suatu tube kejut merupakan potongan-potongan peralatan yang
dirangkai dan kadang membutuhkan peralatan elektronik yang mahal. Terdapat suatu hambatan
dinamika-gas terhadap kondisi yang dapat digunakan. Pemaksaan atau percepatan pada
gelombang kejut dapat terjadi dalam tube. Hal ini tejadi akibat terbentuknya lapisan batas secara
bertahap antara gas panas dan dinding tube yang dingin. Koreksi untuk perilaku ini dapat dibuat
dengan menggunakan bantuan komputer dalam menghitung konstanta laju.
11.6. Berkas Cahaya

98
Pada tekanan kurang dari 10-5 torr, jejak bebas tengah dari molekul gas dapat mencapai beberapa
meter. Aliran molekul dapat dianggap sebagai suatu berkas molekul yang tidak bertabrakan
(disebut sebagai berkas molekul). Bila dua berkas tersebut bersilangan, 0molekul akan menyebar
ke berbagai arah dan jumlah molekul yang menyebar diukur dengan detektor yang cocok.
Suatu diagram peralatan berkas cahaya dapat dilihat pada gambar 9.7. Suatu material
sumber berkas, biasanya suatu pemanas (oven), ditempatkan untuk mengarahkan molekul
bergerak ke arah ruang pengamatan begitu juga sumber berkas sinar satu lagi. Kecepatan dari
berkas ditentukan oleh temperatur sumber. Celah detektor dan detektor bergerak melingkar
sepanjang berkas sinar melintas. Dengan cara ini dapat dipelajari kecepatan hamburan sinar
sebagai fungsi dari sudut dan kecepatan awal dari berkas sinar. Penelitian menunjukkan bahwa
untuk tubrukan bimolekuler terdapat:
(a) hamburan elastik - suatu tubrukan yang tidak disertai transfer energi
(b) hamburan non-elastik – tuburukan dengan transfer energi
(c) hamburan reaktif – tubrukan yang menghasilkan reaksi kimia.

Gambar 9.7. Diagram peralatan berkas molekuler


Suatu reaksi dalam jumlah besar yang dipelajri dengan reaksi nyala akan membentuk reaksi
umum
RX  M   R  MX
dimana R merupakan alkil, halogen atau atom hidrogen; X adalah atom halogen dan M logam
alkali. Logam alkali dan logam halida memiliki tekanan uap rendah sehingga setiap molekul
tidak dideteksi sebagai hasi kondensasi pada di dinding vesel. Percobaan ini menunjukkan bawha
spesi dengan penampang melintang reaktif sekitar 0.1 nm2, MX akan mendekati arah dimana RX
muncul.

9. 7. Metode-metode Relaksasi
Suatu sistem dalam keadaan setimbang yang diganggu secara tiba-tiba dengan impuls (tekanan
atau temperatur) menyebabkan sistem tersebut tidak lagi berada dalam keadaan setimbang.
Kecepatan dimana reaksi kimia mencapai kesetimbangan baru diukur dengan peralatan
elektronik kecepatan-tinggi. Dengan cara ini konstanta laju diukur.
Sebagai contoh reaksi ionisasi dari asam lemah dalam air.
k1
HA  H 2 O  H 3O   A
k2

Bila kecepatan k1 dan k-1 besar, maka metoda yang cocok adalah metoda relaksasi. Misalkan a
adalah konsentrasi total HA dan x konsentrasi ion dan xe adalah konsentrasi pada keseimbangan
baru.
Kecepatan reaksi tersebut adalah
dx
 k1 ( a  x)  k1 x 2 (9.3)
dt

99
dx
Pada kesetimbangan  0 , maka k1 ( a  xe )  k 1 xe 2 atau
dt
k1a  k1 xe  k 1 xe 2  0 (9.4)
penyimpangan dari keadaan setimbangan adalah x dimana x  x  xe . Maka
d (x) dx
  k1a  k1 x  k1 x 2
dt dt (9.5)
2
 k1a  k1  x  xe   k1  x  xe 
Kombinasi dari dua persamaan di atas dengan mengabaikan bagian pangkat yang melibatkan x
memberikan
d (x)
 ( k1  2k 1 xe )x (9.6)
dt
Integrasikan persamaan 9.3 menghasilkan
ln x  (k1  2k1xe )t  C
Dimana C adalah konstanta, dimana t  0, x  (x)0 maka C  ln(x)0 . Maka
( x ) 0
ln  ( k1  2k 1 xe )t .
x
Dimana waktu relaksasi didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan sistem untuk
memindahkan fraksi 1/e dari keadaan keseimbangan. Maka dari itu
1

(k1  2k1 xe )t
Suatu pengukuran waktu relaksasi yang dikombinasikan dengan hasil pengukuran konstanta laju
k
reaksi 1 sehingga k1 dan k2 dapat dihitung. Dengan menggunakan metoda ini reaksi
k1
HA  H 2O  H 3O   A
dimana k1  7.8 x105 s 1 dan k 2  4.5 x1010 dm3 mol 1s 1 .
Untuk kebutuhan yang lebih penting dimana pengukuran waktu relaksasi biasanya digabung
dengan analisis in situ cepat digunakan beberapa metoda seperti.
(i) Lonjatan temperatur
Suatu aliran listrik dilewatkan melalui sampel menghasilkan tubrukan ion-ion dengan molekul
pelarut. Jika pulsa gelombang mikro digunakan, perpindahan energi rotasi dari molekul pelarut
polar memanaskan pelarut. Gelombang inframerah berhubungan dengan pemindahan energi
vibrasi dari pelarut ke larutan. Dengan teknik ini temperatur dapat dinaikan 10 C dalam mikro
sekon. Teknik banyak digunakan dalam mempelajari katalisis enzim.

(ii) Lonjatan tekanan


Teknik ini sangat efektif dengan perubahan volume yang relatif tinggi. Pada teknik ini digunakan
gelombang kejut atau tekanan hidrostatik dari diafragma.
(iii) Pulsa medan listrik
Bila larutan elektrolit lemah dikenakan medan listrik yang sangat besar (105 V/cm),
Keseimbangan menjadi terganggu dan meningkatkan konstanta disosiasi. Metode ini banyak

100
digunakan untuk mengukur konstanta laju reaksi protonasi dan deprotonasi, dimana difusi dapat
dikontrol, 1010 dm3 mol-1s-1.

101
BAB 10
OSILASI KIMIA

Reaksi osilasi merupakan salah satu fenomena yang mengesankan yang terjadi pada
sistem reaksi kimia. Pada satu jenis reaksi, campuran kimia mengalami reaksi dengan serangkain
perubahan warna secara berkala. Contoh lainnya seperti pemancaran gas secara berkala pada
suatu reaksi kimia. Pada sistem biologis, tentu saja akan banyak dijumpai osilasi reaksi, seperti
reaksi bioluminesensi kunang-kunang, siklus kewanitaan, pergantian warna bunga, fenomena
dinamis warna ikan louhan.
Seringkali, berosilasinya reaksi di-analogikan seperti osilasi pendulum dari bagian satu
ke bagian lainnya. Walaupun sesungguhnya tidaklah tepat, namun hal ini cukup berguna dalam
menjelaskan fenomena osilasi pada umumnya. Perbedaan diantara keduanya terletak pada
kesetimbangan yang dialami. Pendulum berosilasi melewati keadaan kesetimbangan, tetapi tidak
demikian dengan reaksi kimia. Reaksi kimia yang berosilasi berlangsung jauh dari keadaan
setimbang, dimana suatu gangguan terhadap sistem reaksi tidak diatasi oleh sistem. Bahkan pada
keadaan lain, yang lebih jauh dari keadaan setimbang, sistem reaksi akan mengalami fenomena
meruang seperti struktur dissipasi. Struktur dissipasi akibat reaksi kimia dapat dilihat pada tutul,
lurik, bercak, spot kulit pada beberapa hewan (misalnya zebra, macan, kucing, ikan). Selain itu,
proses metabolisme tubuh manusia sebagian besar merupakan sistem reaksi kimia yang
berosilasi.
10. 1. Latar Belakang Matematika
(i) Persamaan Konservasi
Sebelum kita menuju ke gambaran lengkap mengenai contoh dari beberapa jenis osilasi kimia,
akan penting untuk menggambarkan sifat dasar dan sifat umum dari fenomena ini. Pada bab ini,
sifat matematika dari reaksi yang berhubungan akan dapat memberikan osilasi. Pada bagian D
akan menunjukkan suatu analisis osilasi dari proses termodinamika irreversibel.
Sebagian besar sistem kimia yang dipelajari di laboratorium dapat digambarkan, sejauh sifat
mekroskopiknya diketahui, dalam bentuk jumlah terbatas dari variabel lokal, yang dihubungkan
dengan hubungan yang sama dalam kesetimbangan termodinamika. Kondisi untuk validasi
penggambaran kesetimbangan lokal sudah diinvestigasi secara ekstensif oleh Prigogine. Dari
pengamatan mikroskopik, ditunjukkan bahwa kondisi in dimana kondisi distribusi momentum
dari campuran reaksi tidak menyimpang dari bentuk Maxwell. Hal in berarti, bahwa tekanan
eksternal dan gradien (dari komposisi, temperatur) dikenakan pada sistem tidak begitu besar.
Dengan kata lain, kondisi kesetimbangan lokal dapat digabungkan dengan sejumlah besar deviasi
dari kesetimbangan kimia. Kesimpulannya, karena mayoritas besar dari sistem kimia yang
diminati dapat dilakukan secara aman dengan rangka kerja penggambaran kesetimbangan lokal,
kecuali ketika efek interfasial dibutuhkan, sehingga gradien variabel lokal ,emjadi sangat tinggi.
Anggap sebagian besar reaksi campuran yang mengandung n spesies, X1,…, Xn dengan volume
v yang berada pada kondisi kesetimbangan lokal. Sistem mungkin terbuka terhadap aliran kimia
dari luar sistem yang bereaksi dengan X1,…, Xn di dalam volume reaksi. Kita anggap bahwa
kondisi batas merupakan time independent dan bahwa sistem berada pada kesetimbangan
mekanik. Debawah kondisi in keadaan sesaat akan digambarkan oleh komposisi variabel X1,…,
Xn yang menunjukkan densitas kimia rata – rata, dan oleh densitas energi internal e.
Dimana :

102
n
   Xi (10.1)
i 1
dan e adalah energi spesifik per unti massa. Kuantitas in menunjukkan persamaan konservasi :
X i
v i X j  T     J i
d
(10.2)
t

e    J th  I  E (10.3)
t
(i = 1……n)
Jid dan Jith merupakan vektor diffusi dan vektor aliran panas dan T merupakan temperatur, vi
adalah pembentukan i oleh semua reaksi kimia. Pada medium homogen hal in akan diberikan
oleh hukum fenomenologikal dari kimetika kimia, misal secara umum, fungsi non linier dari Xj.
Catatan, pada sistem terbuka i vi  0, E adalah medan listrik dan i adalah densitas arus yang
diberikan dalam persamaan :
n d
i   zi J i (10.4)
i 1
dengan Zi adalah muatan per unit massa i. Kita harus menganggap bahwa I dan E sangat lambat
untuk mengabaikan efek magnetik dan efek polarisasi bergantung waktu.
Sekarang jika gradien tidak begitu tinggi. Jid dan Jith bisa dinyatakan dalam bagian fungsi
yang tidak diketahui yang muncul pada persamaan 10.2 dan 10.3 oleh hubungan
fenomenilogikal.
T
J i   Di X i i  X 1... X n  T T  D 'i 2
d
(10.5)
T
i T
J th  T   D'i (10.6)
i T
Anggap sebuah matrik koefisien diffusi {Diijkr}. I adalah potensial elektrokimia dari
konstituen I,  adalah konduktifitas termal campuran, dan Di adalah koefisien difusi dari i.
Ketika (10.5) dan (10.6) disubstitusikan pada persamaan (10.2) dan (10.3), satu diperoleh
sistem tertutup utnuk persamaan differensial parsial nonlinier untuk {Xi} dan T, menyediakan
juga penggunaan hubungan konstitusiv.
e = e (X1 ……Xn. T) (10.7)
Bentuk mereka adalah
X i  T 
t
 
 vi  X j   T     Di X i  i T  D 'i 2 
 T  (10.8)
 i  1,...., n 
C  T t      T   difusi; difusi  termal   i  E      H   w (10.9)

dimana C adalah kapasitas panas campuran dan H dan w merupakan panas reaksi dan
kecepatan dari reaksi . Persamaan 10.8 dan 10.9 harus disediakan dengan kondisi batas yang
sesuai.

(ii) Kasus Homogen, Isotermal, Nonelektrik


Dalam batasan ini persamaan dibentuk menurut :
dX i / dt  vi  X j   i  1,...., n  (10.10)

103
Mereka menjadi persamaan diferensial biasa nonlinier dari jenis otonom (yaitu dengan sisi
tangan kanan yang tidak bergantung pada t). Teori matematika dari beberapa persamaan telah
dibentuk oleh peneliti yang diawali oleh Poincare, khususnya pada kasusu dua variabel bebas.
Sebaliknya, teori yang berhungan terhadap persamaan diferensial parsial masih dalam bentuk
yang sederhana. Beberapa contoh eksperimen dari reaksi osilasi pada sistem homogenus sudah
diketahui. Selain itu, osilasi biokimia seperti proses glikolitik intermedit juga sudah dibentuk
dalam in vitro dibawah kondisi homogen. Pada semua kasus ini, osilasi hanya bisa karena
mekanisme kimia, ketika semua penyebab lainnya seperti permukaan, makroskopik inhomogen,
efek listrik telah dihilangkan. Maka pembelajaran mengenai sistem dari persamaan 10.10 akan
menyatakan kondisi dibawah, dimana mekanisme kimia tergenerasi pada lingkungan osilasi.
Jika Xi(t) merupakan penyelesaian sistem 10.10. Kita anggap bahwa gerakan didefinisikan
pada interval waktu terbuka (0,) dan bahwa Xi(t) berada pada interval. Jelasnya, tiap fungsi
dari bentuk Xi(t + t0), dimana t0 merupakan konstanta sebarang (fase), yang masih
penyelesaian sistem. Secara luas penyelesaian ditentukan dalam ruang n-dimensi dari Xj
yang merupakan lintasan c (atau orbit) sistem. Lingkungan dari lintasan tersebut
dikarekteristik oleh dua hal berikut :
1. Stabilitas stuktur.
Suatu sistem yang secara struktur stabil jika struktur topologikal dari lintasannya dari ruang
Xn yang tidak efektif dengan penggangu yang kecil memodifikasi bentuk persamaan
evolusi (persamaan 10.10)
2. Stabilitas Lyapounov
Suatu keadaan Xi(t) adalah (Lyapounov) stabil jika, diberikan e  0, yang berada   0
seperti bahwa penyelesaian lainnyaXi0(t) dengan jarak  dari Xi pada waktu t0 bersisa
dengan jarak e dari Xi untuk semua t  t0. Jika, selain itu, jarak [Xi(t) – Xi0(t)]  0 sebagai
t  , Xi(t) akan menjadi stabil secara asimtotik.
Dua hal ini dihubungkan sebagai berikut. Sebagai aturan, lingkungan dari sitem kimia
digambarkan oleh persamaan (10.10) tergantung pada harga sejumlah parameter {A} yang
digambarkan, sebagai contoh masukan substansi dari dunia luar atau komposisi inisial campuran.
Penyelesaian dari persamaan differensial menjadi fungsi {A}. Kita anggap bahwa pada
sekurangnya satu dari penyelesaian memiliki lintasan stabil asimtotik. Jika untuk beberapa batas
{A} penyelesaian ini sangat halus tanpa memodifikasi kualitatif topologikal lintasan (sistem
kemudian stabil secara struktural), harga dari {A} disebut harga ordinary. Tetapi jika sudah
melewati harga {A} = {Ac} struktur topologikal lintasan berubah secara kualitatif (sistem
kemudian ditunjukkan untuk {A} ={Ac} yang secara struktur tidak stabil), kita akan mengatakan
bahwa {Ac} merupakan bagian kritis atau bifurkasi, harga. Penyelesaian tertentu (seperti steady
state) atau lintasan dari penyelesaian persamaan (10) menjadi titik Lyapounov yang tidak stabil.
Suatu sifat elementer harus didapatkan dari sistem fisik yang pada keadaan weel –defined
dan harus sesuai dengan model matematika yang menggambarkan kelakuan makroskopik sistem
yang secara struktur stabil. Sesungguhnya, sistem fisik selalu merupakan subjek dari semua
penggangu sebaik fluktuasinya. Tanpa stabilitas strukturan, kelakuan sistem akan menyerupai
random noise, yang berlawanan dengan pengamatan umum. Ilustrasi singkat tentang hal ini
adalah gerakan dari sebuah pendulum yang model matematikanya adalah osilator harmonik. Cara
ini tergolong sistem konservatif, yaitu sistem yang mempunyai konstanta gerak (regular), yang
semuanya tidak stabil secara struktural. Tetapi alaminya sebuah pendulum tidak pernah sebagai
osilator harmonik. Hal ini membuat sistem stabil secara struktur.

104
Pada kasus kimia, pengamatan biasa menunjukkan bahwa campuram reaksi subjek
terhadap kondisi akhir dari kelakuan tidak waktu pada keadaan stationer, dimana konsentrasi
 
X Oi dari kimia adalah tidak bergantung waktu. Disisi lain, terbukti terakumulasi sangat rapat
untuk menunjukkan bahwa sistem kimia menuju steady state di bawah kondisi tertentu dapat
juga terjadi untuk kondisi berbeda pada keadaan dimana konsentrasi{Xi(t)} menunjukkan osilasi
berkelanjutan dengan periode dan amplitudo yang reproducible. Pada terminologi yang
dikenalkan sebelumnya, pada kedua kasus harus mempunyai satu sistem yang stabil secara
struktur, tapi nyatanya struktur topologikal lintasannya pada ruang Xn sedikit berbeda. Maka baik
utnuk menarik kesimpulan bahwa bentuk transisi dari steady state kepada kelakuan osilatori
dihubungkan oleh fenomena bifurkasi yang terjadi utnuk beberapa harga kritis dari parameter
yang mempengaruhi sistem. Pada titik ini penyelasaian steady state menjadi tidak stabil
(lyapounov). Sistem kemudian berubah menjadi bentuk baru yang dibawah kondisi tertentu akan
bisa menjadi osilasi berkelanjutan.
Osilasi kimia berkelanjutan merupakan contoh dari fenomena superkritikal yang terjadi di
luar transisi yang tidak stabil. Hal ini menunjukkan beberapa fenomena fisik seperti
ketidakstabilan pada dinamika fluida atau bahkan transisi fase.

(iii) Sistem Homogen Dua Variabel


Teori bifurkasi sudah dibangun secara utama untuk sistem yang menggambarkan dua
variabel. Kasus n > 2 masih dipelajari secara intensif, tapi satu yang jauh dari mempunyai
karakterisasi komplet dari fenomena yang boleh terjadi pada titik bifurkasi. Pada bagian ini kita
menyusun sedikit hasil pada sistem diferensial dua veriabel. Alasannya tidak hanya akademik.
Beberapa sistem kimia menunjukkan osilasi berkelanjutan terkadang menggambarkan dua
variabel. Misalnya, osilasi glikolisis intermediet bisa didiskusikan dalam sistem ATP – ADP
yang muncul pada langkah reaksi yang dikatalisis oleh fosfofruktokinase.
Dalam teori bifurkasi dua dimensional, Aturan utama diatur oleh lintasan tertutup, yang
dengan jelas menunjukkan gerak periodik. Pada sistem yang secara struktur stabil, dua lintasan
tertutup akan terpisah oleh jarak tertentu, yang disebut dengan siklus batas. Sebaliknya, sistem
yang secara struktur tidak stabil seperti sistem konservatif dapat terhalang pada daerah asal
tertentu dan lintasan tertutup yang tidak tertentu. Amplitudo dan periodanya ditentukan oleh
oleh kondisi inisial, dimana pada kasus siklus batas mereka terdefinisi oleh sistemnya sendiri.
Hasil berikut sangat penting untuk membangun siklus batas :
Disekitar lintasan tertutup sedikitnya satu titik mewakili steady state. Selanjutnya titik ini
disebut titik tunggal. Kriteria negatif dari Bendixon. Jika bentuk (v1/ X1 + v2 / X2) (lihat
persamaan 10.10) tidak berubah tanda pada daerah asal ruang (X1,X2), tidak akan terdapat siklus
batas pada daerah asal ini. Pernyataan ini juga membuktikan bahwa siklus batas hanya dapat
timbul pada sistem non-linier.
Bifurkasi dapat terjadi pada keadaan berikut :
(a). Siklus batas stabil dapat dibuat dari titik tunggal yang sifat stabilitasnya berubah dari harga
kritis dari parameternya. Terutama, pada kasus dimana titik tunggal harus berlaku sebagai
multiple focus. Hal ini berarti bahwa pada titik kritis perturbasi kecil disekitar titik tunggal
menimbulkan osilasi tidak teredam. Kasus (a) sangat penting bagi osilasi.
(b). Siklus batas stabil dapat muncul dari multipel siklus batas. Akhirnya akan muncul dari
gabungan dari siklus batas stabil dan tidak stabil.
(c). Bifurkasi siklus batas yang lebih komplek dapat juga terjadi pada hadirnya separatrices
gabungan dua titik tunggal, satu diantaranya adalah saddle point. Saddle poin adalah titik

105
tunggal dimana perturbasi kecil disekitarnya dapat terdekomposisi menjadi meningkat
secara eksponensial. Suatu Separatrix adalah lintasan dari sistem diferensial yang melalui
titik tunggal.

Pada munculnya siklus batas, bifurkasi juga dapat meningkatkan titik tunggal ganda. Tampilan
terakhir dari keadaan kritis dimana dua titik tunggal bergabung. Contoh sederhananya adalah
gabungan antara saddle point dan node. Node adalah titik tunggal disekitar mana perturbasi
kecil baik meningkat atau menurun secara eksponensial terhadap waktu.

(iv) Beberapa Sistem Umum


Sistem kinetika kimia umumnya inhomogenus, dan mereka dipengaruhi oleh tekanan dari
luar, seperti listrik. Teori bifurkasi dari sistem yaitu digambarkan dengan persamaan
differensial parsial, yang sedikit kurang dibangun dibanding teori differensial biasa.
Fenomena bifurkasi biasa dimulai dari steady state yang memberikan simetri spasial yaitu (a)
Pemecahan spontan dari simetri pada keadaan dasar pada beberapa titik kritis dan evolusi
berikutnya terhadap steady state yang mempunyai perbedaan differensial simetri ruang; (b)
Bifurkasi penyelesaian periodik dalam bentuk gelombang tegak atau gelombang propagasi.;
(c) Bifurkasi dari penyelesaian quasi-periodik dari penyelesaian periodik tipe (b).

12.2. Analisis Termodinamika Osilasi Kimia


(i) Ketidakmungkinan Osilasi pada Daerah Linier dari Proses Irreversibel
Pada bagian terdahulu sudah diketahui bahwa osilasi berkelanjutan stabil dari siklus batas akan
muncul pada sistem non linier tertentu, biasanya diluar daerah asal dari stabilitas steady state.
Sekarang dicoba untuk menghubungkan ketidakstabilan dan osilasi terhadap sifat termodinamika
sistem, seperti entropi atau pembentukan entropi per satuan waktu.
Anggap suatu sistem sebarang yang mungkin terbuka yaitu perubahan energi dan senyawa
dengan lingkungan sekitarnya. Perubahan entropi dS selama selang waktu dt dirumuskan sebagai
:
dS  d e S  d i S (10.11)
dengan diS  0, dimana deS adalah aliran entropi karena pertukaran dengan lingkungan, dan diS
adalah produksi entropi didalam sistem karena proses irreversibel seperti reaksi kimia, diffusi,
konduksi panas (lihat juga (10) dan (13)). Hukum kedua menghendaki diS  0. Untuk sistem
terisolasi (deS = 0), hal ini menunjukkan bahwa dS = diS  0, yaitu untuk kondisi batas tidak
tergantung waktu, sistem akan cenderung irreversibel pada keadaan setimbang diS = deS = 0,
yang akan menjadi tidak tergantung waktu dan stabil secara asimtotik dengan respek terhadap
semua penggaunggu. Dengan kata lain, sistem terbuka bisa mencapai keadaan mantap non-
kesetimbangan seperti bahwa dS = 0, tapi deS = - diS < 0. Anggap sekarang sistem jauh dari
keadaan setimbang dan mengikuti kondisi kesetimbangan lokal pada bagian 1.C. Yang dapat
dihitung secara eksplisit diS / dt, dan hasilnya : (dimana  = volume)
di
P   d   J  X   0 (10.12)
dt 

J adalah kecepatan proses irreversibel (kecepatan reaksi kimia, diffusi dan aliran panas) dan X
adalah gaya penyesuai (afinitas kimia, gradien potensial elektrokimia, gradien temperatur).
Dekat kesetimbangan, J adalah fungsi linier dari X dan (10) menjadi kuadrat pada X.
Ditunjukkan oleh Prigogine bahwa pada batas ini, dan utnuk kondisi batas tidak bergantung
waktu.

106
dP  0 (10.13)
dt
Tanda sama dengan menunjukkan steady state. Untuk sistem terbuka, hal ini berarti
pembentukan entropi minimum pada steady state (non-kesetimbangan) dan stabilitas asimtotik
dari keadaan ini dengan respek terhadap semua pengganggu. Sebagai hasilnya, suatu pedoman
dari osilasi berkelanjutan tidak terjadi bifurkasi dari steady state pada daerah asal ini. Osilasi
tidak bisa tertutup dari fenomena kesetimbangan.
Pada sistem terisolasi, selain kesetimbangan tidak ada steady state. Arti dari
pertidaksamaan (13) pada kasus ini adalah bahwa osilasi tidak menempati daerah di sekitar
keadaan transisi.

(ii) Termodinamika non-linier. Osilasi melalui Ketidakstabilan


Persamaan 10. 13 akan berubah pada keadaan jauh dari kesetimbangan termodinamika.
Dan lagi, satu tidak berasal pada daerah asal yang mempunyai ketidaksamaan yang akan
menjamin stabilitas dari steady state atau keadaan transisi. Satu bisa berasal dari kondisi
stabilitas untuk beberapa keadaan. Hal ini membuktikan bahwa stabilitas akan terjamin ketika :
 2 P   d  J  X   0 (10.14)

Jp dan Xp merupakan kelebihan aliran dan gaya karena deviasi dari keadaan sistem pada
keadaan pembanding yang stabilitasnya dicari. Deviasi ini mungkin muncul dari gangguan acak
atau gangguan sistematik yang ada pada sistem.
Persamaan 10.14 memberikan hubungan kriteria stabilitas termodinamika universal untuk
keadaan non setimbang. Pada sisi sebelah kesetimbangan, ketidaksamaan selalu terpenuhi.
Dengan kata lain, untuk sistem yang mengikuti hukum kinetika linier dapat dilihat bahwa tanda
ketidaksamaan tidak bisa dibalik sebagai jarak dari peningkatan kesetimbangan. Sebaliknya,
pada sistem non linier yang bergerak menjauh dari kesetimbangan, pertidaksamaan pada
persamaan 14 dapat menjadi kesalahan diluar harga kritis dari parameternya. Pada sistem
terbuka, hal ini akan dihasilkan pada bentuk deviasi dari cabang steady state yang merupakan
ekstrapolasi dari lingkungan tertutup ke lingkungan kesetimabngan dan akan menjadi tidak
stabil. Keadaan percabangan ini disebut sebagai cabang termodinamika. Berdasarkan pada
bagian sebelumnya, di luar ketidakstabilan dapat terjadi osilasi berkelanjutan stabil dari siklus
batas bifurkasi dari steady state (tidak stabil). Perhatikan bahwa awal dari non linieritas untuk
kenampakan siklus batas, yang ditekankan dari bagian C, juga dibuktikan, secara bebas, pada
analisis termodinamika ini. Pada kesimpulannya, osilasi berkelanjutan pada sistem terbuka dapat
dimengerti sebagai fenomena superkritis yang muncul diluar daerah asal stabilitas steady state
pada cabang termodinamika. Maka, mereka termasuk pada kelas struktur dissipasi, yang
didefinisikan oleh Prigogine sebagai keadaan spasial atau keadaan temporali yang terbentuk dan
dipelihara oleh aliran senyawa dari luar sistem, yaitu diakhiri oleh munculnya dissipasi dari
proses irreversibel di dalam sistem. Tapi dissipasi tampaknya menjadi faktor pelengkap dibawah
kondisi tertentu, berlawanan terhadap apa yang biasanya terjadi.
Beberapa model skema reaksi dianalisis mengkonfirmasikan validasi dari kesimpulan ini.
Kami percaya bahwa osilasi yang diamati di laboratorium akan dijelaskan pada bagian ini. Pada
sistem terosilasi, atau pada sistem tertutup dari transfer massa, pengertian stabilitas cabang
termodinamika menjadi kurang nyata. Osilasi disekitar keadaan transisi yang jauh dari
kesetimbangan adalah mungkin dan nyatanya mereka sudah diamati secara eksperimen.(lihat
bagian II). Tetapi osilasi ini dipaksa hampir teredam, dengan hukum kedua, sistem akan mungkin
menuju kesetimbangan. Secara tepat, mereka tidak muncul diluar ketidakstabilan dari keadaan

107
bergantung waktu. Mereka juga mempunyai cabang termodinamika, seperti halnya keadaan
transisi. Sekalipun demikian, pada beberapa kasus mereka dapat diperlakukan sebagai osilasi
pada sistem terbuka.

12.3. Syarat Matematika dan Fisika Osilasi Kimia


Pada bagian teori dari diskusi ini, sudah selayaknya untuk memberikan klasifikasi dari
jenis sistem kimia yang akan memberikan kenaikan terhadap osilasi berkelanjutan. Pada bagian
di atas dijelaskan bahwa sistem ini harus non linier.
Dasar matematika murni mempunyai jawaban untuk pertanyaan mengenai jenis non
linieritas apa yang lebih spesifik yang ada pada kasus sistem homogen dua variabel.
Persamaan kinetika kimia dapat kita tulis dalam bentuk :
dx1/dt = v1 (X1,X2)
dX2/dt = v2 (X1,X2) (10.15)
Aplikasi dari hasil di atas memberikan kriteria berikut untuk v1,v2.
1. Bentuk div v  (v1/X1) + (v2/X2) harus berubah tanda pada daerah (X1, X2).
2. Pada banyak kasus bifurkasi siklus batas dari multipel fokus dpat dipecahkan dengan
memakai determinan Jacobian :
 v1   v2 
   
 X 1 0  X 2 0
(10.16)
 v2   v2 
   
 X 1 0  X 2 0
dievaluasi pada steady state akan bernilai positif pada daerah dan diluar harga kritis dan
parameter diman div hilang.
v1 / X 1 0 v2 / X 2 0  v1 / X 2 0 v2 / X 1 0  0 (10.17)
Pada rumus ini perturbasi kecil berada disekitar steadi state akan menyebabkan osilasi
tidak teredam pada titik kritis.
Kebutuhan pada div v berarti bahwa pada sedikitnya satu dari (v1 / X1)0 harus disekitar
titik kritis.
3. Pada sedikitnya satu dari X1, X2 mengkatalisa hasil mereka sendiri, baik secara langsung
pada langkah reaksi autokatalitik atau secara tidak langsung oleh aktivasi satu substansi
yang membentuknya.
Contoh, anggap langkah reaksi autokatalitik :
K1
A  X 1  2X1
K1
(10.18)
X 1  X 2  2X1
Kontribusi dari langkah – langkah ini terhadap dX1 / dt, dX2 / dt adalah :
v1  k1AX1  k 2 X1X 2
(10.19)
v2  k 2 X1X 2
kita lihat bahwa :
div v  k 1 A  k 2 X 2  k 2 X1
yang berubah tanda untuk jumlah X2 yang besar. Catat bahwa persamaan 18 dengan
sendirinya tidak dapat menunjukkan siklus batas tetapi butuk pasangan dengan langkah
tambahan.

108
Contoh dari aktivasi yang meningkatkan siklus batas pada sistem dua variabel dibuat oleh
model Sel’kov dari osilasi glikolitik yang didiskusikan pada bagian di atas.
Dengan menggabungkan C1 dengan (10.17), kita juga menyimpulkan bahwa (v1 /
X2)0 (v2 / X1)0 harus negatif pada sekitarnya.
4. Baik X1 (atau X2) menempati proses autokatalitik menghasilkan X2 (atau X1) berdasarkan
pada C3 atau langkah reaksi melibatkan sedikitnya satu langkah katalitik silang dimana X1
bertindak sebagai katalisis dalam bentuk X2; kemudian X2 diubah (langsung atau melalui
katalis lain) menjadi X1.
Contoh dari kemungkinan pertama didapat dari persamaan didapat dari persamaan (10.16),
kemungkinan kedua bisa diilustrasikan dengan contoh :

k1
A  X1  X1  X 2
k2
(10.20)
k 2  X1
dengan kecepatan parsial (lihat juga bagian III.A.3)
k2x2
v1  
1  x 2
(10.21)
k 2 x2
v 2  k 1 AX1  
1  x 2
kita lihat bahwa :
v 2 x 1  k 1 A  0

v1 k2  k 2 σX 2 (1  ρ) (10.22)
 ρ 2
x 2 (1  σX 2 )
v1 / X2 bisa menjadi negatif untuk   1. Hal ini ditunjukkan pada waktu yang sama
bahwa reaksi kedua (persamaan 20) harus dihalangi oleh substrat. Contoh dari jenis ini
sudah dilakukan oleh Sel’kov.
Untuk lebih dari dua variabel situasinya banyak berubah. Hal ini sudah ditunjukkan pada
model di atas bahwa inhibisi sendiri tanpa langkah katalitik tambahan, dapat memberikan
peningkatan pada osilasi berkelanjutan.
Untuk kriteria rumus disini, informasi penting bisa dijelaskan dengan analisa bentuk
bilinier (persamaan 10.14) yang muncul pada kondisi stabilitas termodinamika.
5. Bifurkasi dari siklus batas pada langkah steady state paksaan mengkontribusikan jumlah
negatif pada pembentukan entropi 2P.
Kriteria ini diperoleh langkah autokatalitik, tapi ini lebih umum. Hal ini akan sangat
menarik untuk menganalisa tanda dari bentuk bilinier (persamaan 10.14) pada banyak
kasus umum dan menemukan kondisi yang ditimbulkan pada kinetika oleh perubahan
tanda pertidaksamaan.

Kesimpulannya, feedback positif atau negatif, terkadang dugabungkan dengan katalisis silang,
merupakan suatu persyaratan penting untuk eksistensi kestabilan, osilasi berkelanjutan.

109
BAB 11
REAKSI KATALITIK

Penambahan katalis pada suatu reaksi akan berakibat bertambahnya laju reaksi. Katalis
sangat berfungsi untuk efisiensi proses kimia dan menurunkan semua biaya pembuatan. Telah
dilakukan proses pemcarian katalis yang paling baik namun sampai saat ini mekanisme sebagian
besar katalis belum dapat dimengerti,
Perlu kita pahami bahwa katalis tak mempengaruhi secara langsung reaksi secara
thermodinamika. Katalis berfungsi untuk mempercepat tercapainya kesetimbangan reaksi.
Sebagai contoh adalah reaksi Haber Bosch :
N2 + 3H2 = 2NH3
Dengan diberinya katalis tak akan mengubah konstanta kesetimbangan reaksi, dengan adanya
katalis maka pada 450oC reaksi akan berjalan dengan baiak dan spontan serta ekonomis.
Katalis dapat menurunkan energi activasi suatu reaksi dengan perbedaan energi

Tanpa katalis
E

dengan katalis
E1(kat) E1 E-1KatE-1

reaksi bolak balik yang sama yaitu


E1 (kat) = E1 - E
E-1 (kat) = E-1 - E
Penambahan racun katalis atau inhibitor akan berakibat menrunnya laju reaksi.

I. KATALIS HOMOGEN
Katalis ini mempunyai kesamaan phase dengan reaktan dan persentuhannnya tak
mempengaruhi laju reaksi, keaddaan yang demikian disebut katalis homogen. Sebagai contoh :
Reaksi phase gas
CO + ½ O2  CO2

110
Dengan adanya katalis NO2 maka prosesnya menjadi
CO + NO2  CO2 + NO
NO + ½ O2  NO2
-----------------------------------------------
CO2 + ½ O2  CO2
Iodin uap juga dikenal sebagai katalis sejumlah reaksi pirolisis zat organik, dekomposisi
asetaldehid sebagai reaksi berantai dengan proses sebagai berikut :
k1
I2 == 2 I-
k2

k3
I- + CH3CHO  CH3CO - + HI
k4
-
CH3CO  CH3 + CO

k5
I2 + CH3  CH3I + I-
k6
HI + CH3 CH4 - + I-
k7
HI + CH3I CH4 - + I2
Sehingga diperoleh laju reaksi dengan pendekatan steady state dari intermediet adalah
- d(CH3CHO)/dt = k [I2]1/2[CH3CHO]
Mekanisme ini dapat dibandingkan mekanisme reaksi tanpa katalis yang telah diterangkan pada
bab sebelum ini (dikti:79), katalis iodin diperoleh kembali diakhir reaksi.
II.KATALIS ASAM BASA
Sebagian besar reaksi katalis homogen adalah asam basa, seperti halnya reaksi hidrolisis
dari ester atau mutarotasi glukosa.
Dengan menganggap S adlah suatu subtrat denga suatu reaksi asam basa. Sedang
asam basa menurut Bronsted – Lowry adalah :
HA + H2O  H3O+ + A-
A- + H2O  HA + OH-
Maka laju reaksi katalitik adalah:
r = kkat [S]
di mana kkat = ko + kH [H3O] + kOH [OH] + kHA [HA] + kA [A] dan k0 adalah
laju tanpa katalis sedang yang lain adalah laju dengan katalis sesuai dengan zatnya
masing – masing

111
III. KATALIS HETEROGEN
Sebagian besar reaksi antara daua phase misalnya pada interface dari gas – padat atau
gas–cair, biasanya yang bertindak sebagai katalis adalah yang lebih padat, karenanya luas
permukaan dari padatan harus benar – benar diperhatikan. Beberapa contoh yang dilakukan oleh
dunia industri lain katalis akan menghasilkan lain produk :
a. Dekomposisi organik
C2H5OH (Al2O3 , 300oC )  C2H4 + H2O
C2H5OH (Cu , 300oC )  CH3CHO + H2O
b. Dehidrogenasi
C4H8 (Al2O3, Cr2O3 )  CH2=CHCH=CH2 + H2
Ethyl Benzene (Fe2O3, 650oC)  Styrene + H2
c. Hidrasi hidrokarbon takjenuh
Dengan adsorben asam posforat dan katalis celite maka
C2H4 + H2O (300oC )  C2H5O H
d. Hidroclorinasi
Vinil clorida dibuat dengan katalis merkuriclorida dan arang dari reaksi

CHCH + HCl (200oC)  CH2=CHCl

Sebagian besar proses katalitik industri terjadi pada interface gas – padat. Mekanismenya
berdasar pada teori yang dipostulatkan Langmuir pada tahun 1916, yaitu :
1. Gerakan molekul gas kepermukaan berlangsung dengan konveksi atau difusi
2. Adsorpsi reaktan, dengan ikatan kimia yang kuat (kemisorpsi). Pada banyak kasus di
awali dulu dengan ikatan fisika
3. Reaksi antar molekul yang diadsorpsi
4. Desorpsi produk
5. Meninggalkan permukaan dengan konveksi atau difusi

IV. KATALIS ENZIM


Enzim adalah katalis biologi yang aktiv dalam kehidupan, yang sifat – sifat kinetikanya
sama dengan katalis heterogen atau seringkali dikatakan mikroheterogen katalis
Suatu contoh yang sangat menarik dan khas adalah urease yang merupakan katalis terbaik
bagi urea untuk dikonversi ke amonia dan karbon dioksida

112
CO(NH2)2 + H2O  2 NH3 + CO2
Urease

Enzim hanya dikenal untuk satu proses yang sfesifik, namun kinetikanya cukup sulit karena
enzim tak mudah didapatkan, artinya mekanismenya sangatlah komplek.
Mekanisme reksi enzimatis adalah sebagai berikut :
Suatu substrat S dikatalis dengan enzim E, mula – mula terbentuk komplek subtrat – enzim,
yang akhirnya akan kembali terpisah dan terbentuk produk, dengan gambaran mekanisme
k1
E +S ==== ES 1
k2

k2
ES ==== Produk + E 2

Michaelis – Menten telah menerangkan pengaruh konsentrasi subtrat pada laju reaksi. E dan S
adalah konsentrasi mula – mula enzim dan subtrat, ES adalalah konsentrasi komplek enzim –
subtrat, sedang konsentrasi enzim bebas adalah E – ES, konsentrasi subtrat senantiasa lebih
besar dari enzim, karenanya konsentrasinya tak berubah. Maka konstanta kesetimbangannya
adalah

K = ({ E - ES } S) / ( ES )
Atau
ES = ( E S) / (K + S)
Bila asumsinya reaksi 2 sangat lambat, maka

 = k2 ( ES)
= k2 ( E )( S) / (Km + S)
reaksi maksimum jika semua enzim membentuk komplek ES, yaitu ketika konsentrasi ES sama
dengan konsentrasi mula – mula E, maka pada kondisi ini laju reaksi menjadi :

mak = k2 ( E)

113
masukkan kembali ke persamaan sebelumnya , menjadi

 = mak ( S) / (Km + S)
Km adalah konstanta Michaelis.
Lineweaver dan Burk merubah persamaan diatas menjadi persamaan linear yaitu

I/ = 1/mak + (Km ) /mak ( S)

Dengan menggambar I/ versus 1/S akan diperoleh garis yang lurus dengan slope (Km )
/mak dan intersep 1/mak

1/

(Km ) /mak

}1/mak
1/S

Soal latihan :
1. Data berikut ini diperoleh dari dekomposisi glukosa pada 140oC pada berbagai
konsentrasi katalis HCl :
104 k/min-1 6,10 9,67 13,6 17,9
102 [H2O]/mol lt- 1,08 1,97 2,95 3,94
tentukan koefisien katalitik untuk H3O+
2. Tentukan koefisien katalitik dari ion hidroksil jika berikut ini adalah data hasil
dekomposisi aseton dikatalisa dengan ion hidroksil pada 25 oC
103 [OH-]/mol l- 5 10 20 40 100
Konstanta laju /s- 3,87 7,78 15,7 32 79,9

114
115
3.3. Katalis
Katalis adalah zat yang ditambahkan pada reaksi kimia dengan tujuan untuk
mempercepat reaksi tersebut. Katalis dapat mempercepat reaksi kekanan atau kekiri sehingga
keadaan setimbang lebih cepat tercapai, katalis ini disebut dengan katalis positif. Penambahan
katalis juga dapat menghambat reaksi, katalis tersebut disebut katalis negative atau anti katalis
atau inhibitor.
Penambahan katalis akan mempengaruhi laju reaksi. Pada teori tumbukan dan distribusi
energi molecular Maxwell – Boltzman pada gas, tumbukan-tumbukan menghasilkan reaksi jika
partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang cukup untuk memulai suatu reaksi. Energi
minimum yang diperlukan disebut dengan reaksi aktifitas reaksi.
Katalis dapat dibagi berdasarkan dua tipe dasar, heterogen dan homogen. Reaksi
heterogen, katalis berada dalam fase yang berbeda dengan reaktan. Reaksi homogen, katalis
berada dalam fase yang sama dengan reaktan. Proses katalitik menggunakan katalis heterogen
dalam industri pertama kali pada tahun 1857, menggunakan Pt untuk mengoksidasi SO2 menjadi
SO3 dalam larutan asam.
Tabel 3.1. Beberapa contoh katalis heterogen dalam dunia industri

Reaksi Katalis

C4H10  Butena dan C4H6 (butadiena) Cr2O3 - Al2O3

CH4 atau hidrokarbon lain + H2O  CO + Ni support


H2
Pd dalam Al2O3 atau padatan
C2H2 + 2H2  C2H6 pendukung Ni-Sulfida.
Logam (seperti Pd) pada zeolit

Hidrocraking Promotor ZnO dengan Cr2O3 atau


promoter Cu1 – ZnO dengan Cr2O3
CO + 2H2  CH3OH atau Al2O3.

Mekanisme yang tepat dari katalis heterogen belum dimengerti secara sempurna. Walaupun
demikian tersedianya electron d dan orbital d pada atom-atom permukaan katalis memegang
peranan penting. Oleh karena itu aktifitas katalisis heterogen banyak dilakukan pada sejumlah
besar unsur peralihan (transisi) dan senyawa – senyawanya.
Aktifitas katalis banyak dilakukan oleh sejumlah besar unsure peralihan (transisi) dan
senyawa – senyawanya. Aktifitas katalisis banyak dilakukan oleh sejumlah besar unsure
peralihan (transisi) dan senyawanya. Tersedianya electron dan orbital d pada atom-atom
permukaan katalis memegang peranan penting. Persyaratan kunci dalam katalisis heterogen ialah
bahwa pereaksi fase gas atau larutan diadsorpsi kepermukaan katalis (Fessenden,1986).
Mekanisme dari katalis padat dengan reaktan fasa gas, dimana terjadi pembentukan
kompleks reaktan dengan katalis setelah pembentukan produk adalah sebagai berikut :

116
1. Reaktan terbawa oleh aliran gas pembawa sampai kepermukaan luar partikel katalis.
2. Difusi reaktan dari permukaan luar masuk melalui pori dalam partikel katalis.
3. Reaktan diadsorpsi pada sisi aktif katalis sehingga menimbulkan energi adsorpsi
4. Reaksi pembentukan produk antara permukaan sampai terjadinya produk.
5. Produk didesorpsi dari katalis keluar melalui pori bagian partikel katalis.
6. Difusi produk menuju permukaan luar partikel katalis.
7. Produk mengikuti aliran gas pembawa.
Persyaratan kunci dalam katalisis heterogen ialah bahwa pereaksi fase gas atau larutan
diadsorpsi kepermukaan katalis. Tidak semua atom – atom permukaan sama efektifnya sebagai
katalis, bagian yang efektif tersebut disebut sisi aktif katalis. Pada dasarnya, katalis heterogen
mencakup (1) adsorpsi pereaksi, (2) difusi pereaksi sepanjang permukaan, (3) reaksi pada sisi
aktif membentuk hasil reaksi yang diadsorpsi, dan (4) lepasnya (desorpsi) hasil reaksi.

3.4. Zeolit dan Katalis Logam


Zolit dapat ditingkatkan kinerjanya dengan cara menempelkan logam katalis pada zeolit.
Logam yang diembankan pada zeolit akan dapat meningkatkan aktivitas katalis secara
keseluruhan karena logam-zeolit akan memiliki fungsi ganda yaitu disamping logam sebagai
katalis zeolitnya sendiri bersifat katalis, katalis semacam ini biasanya disebut sebagai katalis
bifungsional. Logam yang biasa digunakan untuk katalis biasanya logam-logam transisi.
Logam-logam transisi mempunyai daya adsorpsi yang kuat karena mempunyai pasangan
elektron menyendiri pada orbital d. adanya elektron pada orbital d didukung dengan keadaan
elektron orbital s akan menjadi konsentrasi yang lebih besar pada keaktifan yang tinggi dalam
pemutusan dan pembentukan ikatan kimia. Hal ini yang menyebabkan logam-logam transisi
makin reaktif sebagai katalis (Hegedus, at al, 1999).
Logam transisi Ni dan Mo tersulfidasi memilki prospek untuk digunakan sebagai katalis
hidrodesulfurisasi, hidrodenitrogenasi dan perngkahan. Ni sebagai promotor dan Mo sulfida
sebagai kokatalis yang diemban pada -Alumina dapat mengaktalis proses hidrogenasi minyak
bumi dan minyak batubara di industri (Li 1999a).

3.5. Isoterm Adsorpsi


Istilah adsorpsi berbeda dengan absorpsi. Adsorpsi adalah peristiwa menempelnya
atom/molekul suatu zat pada permukaan zat lain karena tidak ada kesetimbangan gaya dalam
permukaan sedangkan absorpsi adalah masuknya zat yang diserap kedalam adsorben. Zat yang
diadsorpsi adalah adsorbat sedangkan zat yang mengadsorpsi adalah adsorben (Ismail, 1999).
Secara umum proses adsorpsi dapat diartikan sebagai proses penyerapan suatu zat oleh zat lain
yang prosesnya hanya terjadi pada permukaan zat tersebut, sehingga dalam hal ini luas
permukaan mempunyai peranan penting.
Isoterm adsorpsi menyatakan hubungan antara tekanan parsial adsorbat dengan jumlah
zat yang teradsorpsi pada temperatur tetap dalam keadaan setimbang. Dengan kata lain, adsorpsi
isoterm menunjukkan ketergantungan jumlah zat yang teradsorpsi terhadap tekanan setimbang
dari gas pada temperatur tetap. Nilai ini bervariasi dari 0 pada P/Po = 0 ke tak terhingga P/Po =
1. Sudut kontak dari uap yang terkondensasi = 0, ini berarti permukaan terbasahi secara

117
sempurna. Apabila garis isoterm mendekati garis vertikal melalui P/Po, menunjukkan sudut
kontak dari uap = 0, yang berarti bahwa permukaan terbasahi secara sempurna (Lowell, S &
Shields, J.E., 1984).
Ukuran dan bentuk pori dalam suatu padatan bervariasi. Pengkalsifikasian pori awalnya
dilakukan oleh Dubinin yaitu berdasarkan lebar rata-rata kemudian disempurnakan oleh
Internasional Union of Pure and Applied Chemistry menjadi seperti berikut ini : (Gregg, S.J. ;
1981)
Fenomena isoterm adsorpsi merupakan fenomena yang menarik. Beberapa ilmuwan
yang mempelajari dan mengajukan beberapa teori mereka tentang isotrem adsorpsi :
1. Isoterm Freundlich
Isoterm Freudlich merupakan salah satu persamaan yang menghubungkan jumlah
materi yang terserap dengan konsentrasi material dalam larutan :
m = K C1/n
dengan :
m = massa terserap/unit massa adsorbent
C = konsentrasi
K dan n = konstanta
Bila wujudnya gas, persamaannya menjadi :
V = k P1/n
dengan :
V = volume
P = tekanan
K dan n = konstanta
Isoterm Freundlich tidak dapat digunakan jika konsentrasi atau tekanan adsorbat sangat
besar.

2. Isoterm Langmuir
Proses adsorbsi dapat dijelaskan melalui proses kimia. Jika adsorbatnya gas,
kesetimbangannya :
A(g) + S AS
dengan :
A = gas adsorbat
S = sisi terbuka di permukaan
AS = molekul terserap dari A atau sisi tertutup di permukaan
Konstanta kesetimbangannya :
x
K  AS
xs P
dengan :
xAS = fraksi mol tertutup di permukaan
xs = fraksi mol sisi terbuka di permukaan
P = tekanan gas
Namun xAS lebih umum digunakan , sehingga xs = (1-) dan persaman sebelumnya menjadi :

Kp 
1
Persamaan ini terkenal disebut isoterm Langmuir dengan K = konstanta kesetimbangan untuk
adsorpsi. Untuk mencari harga  :

118
Kp

1  Kp
Jumlah substansi terserap, m akan sebanding dengan  untuk adsorbent tetentu sehingga m = b.
Bila dikonversikan ke persamaan sebelumnya menjadi :
1 1 1
 
m b bKp
Dengan memplotkan 1/m dengan 1/p harga k dan b bisa ditentukan dari nilai slope dan
interseptnya.

3. Isoterm Brunauer, Emmet dan Teller (BET)


Brunauer, Emmet dan Teller pada tahun 1938 memperluas teori kinetik Langmuir
untuk adsorpsi multilayer.
Metode BET untuk menghitung luas permukaan adalah sebagai berikut :
1 1 C 1  P 
    .................... (1)
W (( Po / P)  1 WmC WmC  Po 
W = Berat gas total yang terserap pada tekanan relatif P/Po (g gas/g adsorben)
Wm = Berat gas nitrogen yang membentuk lapisan monolayer pada permukaan zat padat
(g gas/g adsorben)
P = Tekanan adsorbat dalam keadaan setimbang
Po = Tekanan uap jenuh adsorbat pada keadaan setimbang
P/Po = Tekanan relatif
C = Tetapan BET
s
Untuk mencari C pada persamaan BET yang tetap yaitu : C   1
i
Persamaan BET (1) berupa garis lurus apabila dibuat grafik 1/W{(P/Po)-1} versus P/P
dan berat gas nitrogen yang membentuk lapisan satu lapis (monolayer), Wm dapat ditentukan
dari nilai slope (s) dan intersep (i) ini :
C 1
Slope  ...................................................... (2)
WmC
1
Intersep  ...................................................... (3)
WmC
Jadi berat nitrogen yang membentuk monolayer didapatkan dari menggabungkan
persamaan (2) dan (3) sehingga didapatkan persamaan :
1
Wm  ...................................................... (4)
(s  i)
Aplikasi metode BET ini dapat digunakan untuk menghitung luas permukaan. Untuk
itu perlu diketahui luas rata-rata molekul gas teradsorp. Luas permukaan, S, dari cuplikan
diperoleh dari persamaan :
W N
S s  m x10  20 m 2 .............................................(5)
M
dengan :
N = Bilangan Avogadro (6,02 x 1023 partikel/mol)

119
M = Berat molekul dari gas teradsorp (g/mol)
Wm = Berat gas teradsorpsi monolayer
 = Luas rata-rata molekul teradsorp
Total volume pori dihitung pengukuran adsorpsi pada P/Po cukup tinggi sehingga
diasumsikan semua pori terisi dengan adsorbat sebagai fasa terkondensasi.
Vp = Wa / l
Lowell, S & Shields, J.E (1984) juga menjelaskan mengenai penentuan rata-rata ukuran
pori dapat diperkirakan dari volume pori dengan mengasumsikan geometri pori adalah silindris
sehingga jari-jari pori rata-rata dapat dihitung dari rasio total volume pori dan luas permukaan
BET, sesuai dengan persamaan berikut :
rp = 2 Vp / Ss
dengan :
rp = Jari-jari pori rata-rata
Vp = Volume pori total
Ss = Luas permukaan spesifik
Jenis-jenis Isoterm Adsorpsi
Berdasarkan interaksi yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat maka adsorpsi
dibedakan menjadi :
1. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika terjadi jika inetraksi antara adsorbat dan permukaan adsorben hanya
disebabkan oleh gaya van der waals, karena itu adsorpsi fisika disebut juga adsorpsi van der
waals. Adsorpsi fisika berlangsung cepat, reversibel, dan molekul teradsorp tidak terikat kuat
pada permukaan adsorben sehingga panas adsorpsinya kecil (hanya beberapa kilojoule).
Isoterm adsorpsi fisika dikelompokkan menjadi lima berdasarkan klasifikasi Brunauer,
Deming, Deming dan Teller (BDDT).
Grafik adsorpsi isoterm tipe I biasa disebut tipe Langmuir. Isoterm ini jarang ditemukan
untuk material nonpori, umumnya pada karbon teraktivasi, silica gel dan zeolit yang mempunyai
pori sangat halus. Nilai asimtot ini menunjukkan mikropori yang terisi seluruhnya. Tipe isoterm
ini diperkirakan untuk kemisorpsi reversible.
Grafik isoterm tipe II kadang disebut isoterm berbentuk S atau sigmoid. Umumnya
ditemui pada material nonpori atau pada material yang diameter porinya lebih besar dari
mikropori. Perubahan titik atau lengkungan dari isoterm selalu terjadi dekat dengan titik akhir
dari lapisan tunggal adsorbat yang pertama, dengan kenaikan tekanan relatif (P/Po), kemudian
lapisan kedua sampai lapisan tertinggi dan berakhir sampai tingkat kejenuhan ketika jumlah
lapisan adsorbat menjadi tidak terbatas. Titik B menunjukkan bahwa molayer sudah sempurna
terbentuk.

120
Gambar 3. Tipe Isoterm Adsorpsi Fisika

Grafik isoterm tipe III berbentuk konveks. Sistem ini relatif jarang dan merupakan tipe
dimana gaya adsorpsinya relatif rendah. Pada dasarnya dikarakteristik oleh panas adsorpsi yang
lebih kecil dari panas pencairan adsorbat. Oleh karena itu, selama adsorpsi berlangsung, adsorpsi
tambahan lebih mudah terjadi karena interaksi adsorbat dengan lapisan yang menyerap lebih
besar daripada interaksi dengan permukaan adsorben.
Isoterm tipe IV terjadi pada adsorben yang memiliki jari-jari pori sebesar 15 – 1000 Å.
Saat nilai P/Po kecil, tipe isotermnya mirip tipe II namun peningkatan adsorpsi menyolok sekali
pada nilai P/Po yang lebih besar yakni saat kondensasi pori (kapilaritas) terjadi.
Isoterm tipe V sama dengan tipe III namun kondensasi pori terjadi pada nilai P/Po yang
lebih tinggi. Tipe ini relatif jarang ditemui. Ukuran pori untuk isoterm ini sama range pori tipe
IV.

2. Adsorpsi Kimia
Jika molekul teradsorpsi bereaksi secara kimia dengan permukaan, fenomena ini
disebut kemisorpsi. Karena ikatan kimia diputuskan dan dibentuk dalam proses kemisorpsi maka
panas adsorpsi mempunyai range nilai yang sama dengan reaksi kimia (mencapai 400 KJ).
(Castelan, 1982)
Menurut Cheremisinorff (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain
:
1. sifat fisika dan kimia adsorben yaitu luas permukaan, ukuran pori dan komposisi
kimia
2. sifat fisika dan kimia adsorbat yaitu ukuran molekul, polaritas molekul dan
komposisi kimia

121
3. sifat fase cairan yaitu pH dan suhu
4. konsentrasi dari fasa terserap untuk fasa cair
5. waktu kontak antara fasa terserap dengan adsorben
Ada beberapa aspek kemisorpsi yang menarik khususnya dalam katalis yaitu:
1. kecepatan adsorpsi kemisorpsi reaktan atau desorpsi produk terindikasi lambat dan oleh
sebab itu merupakan tahap penentu laju dalam katalitik.
2. panas kemisorpsi merupakan ukuran kekuatan ikatan yang terbentuk antara adsorben dan
adsorbat. Berbagai variasi panas adsorpsi dengan lapiasan permukaan menunjukkan
adanya keheterogenan permukaan.
Sifat alami spesies terkemisorp yang tampak, misalnya melalui absorpsi infra merah
membuktikan adanya intermediet kimia dalam suatu reaksi.

3.6.Mekanisme Langmuir-Hinshelwood
Asumsi utama pada mekanisme Langmuir-Hinshelwood (Gasser, 1985) adalah:
1. Reaksi permukaan adalah tahap penentuan laju.
2. Isoterm Langmuir dapat dipakai untuk mendeskripsikan keseimbangan antara fase gas
dan reaktan teradsorpsi.
3. Reaktan teradsorpsi bersaing pada sisi permukaan.
4. Pada reaksi bimolekular, reaksinya terjadi pada 2 spesies teradsorpsi.
Pada umumnya, reaksi permukaan tidak berbeda dengan reaksi fasa gas atau larutan.
Perbedaan utamanya adalah energi bebas pada keadaan intermediet lebih rendah pada
reaksi permukaan daripada dalam keadaan gas. Sehingga ini mengakibatkan laju reaksi
pada reaksi permukaan lebih tinggi daripada fasa gas atau larutan.
Ada tiga tipe umum reaksi permukaan; yaitu reaksi permukaan yang mengikuti
mekanisme Langmuir-Hinshelwood, reaksi permukaan yang mengikuti mekanisme Rideal-
Eley dan reaksi permukaan yang mengikuti mekanisme precursor. Gambar 4 menunjukkan
skema ketiga mekanisme untuk reaksi hipotetis A + B  A-B.

B A A B A B
B B B
B A B A A A A A
B A B A B A
B A B A B A B A B A B A

Langmuir - Hinshelwood Rideal - Eley Precursor

Gambar 4. Skema mekanisme (a) Langmuir-Hinshelwood, (b) Rideal-Eley dan (c)


Precursor untuk reaksi A + B  A-B

Pada mekanisme Langmuir-Hinshelwood, mula-mula A dan B teradsorpsi pada


permukaan katalis. Kemudian A dan B teradsorpsi bereaksi untuk membentuk kompleks
A-B teradsorpsi. Akhirnya kompleks A-B terdesorpsi. Keadaan ini disebut mekanisme
Rideal-Eley pada kimisorpsi reaktan A. Selanjutnya A bereaksi dengan masuknya molekul
B untuk menghasilkan kompleks A-B. Kemudian kompleks A-B terdesorpsi. Dalam

122
mekanisme precursor A teradsorpsi. Selanjutnya B bertabrakan dengan permukaan dan
memasuki keadaan precursor yang bergerak. Precursor memantul/mengambul pada
permukaan sampai masuknya molekul adsorben A. Sehingga precursor bereaksi dengan A
dan menghasilkan kompleks A-B, sampai mengalami desorpsi (Masel, 1996).
Gambar 5 menunjukkan masing-masing reaksi dapat mengalami reaksi sebaliknya
yaitu A-B  A + B. Untuk reaksi Langmuir-Hinshelwood molekul A-B teradsorp,
kemudian terdekomposisi menjadi A dan B teradsorp, dan membentuk A dan B
terdesorpsi. Sebaliknya jika molekul A-B terdesorp terdekomposisi menghasilkan sebuah
molekul teradsorp dan spesi B fase gas, salah satu reaksi sebaliknya mengikuti Rideal-
Eley. Jika produk sebuah precursor, maka salah satu reaksi harus mengikuti mekanisme
Precursor.

B A A B A B
B B B
B A B A A A A A
BA B A B A
B A B A B A B A B A B A

Langmuir - Hinshelwood Rideal - Eley Precursor

Gambar 5. Skema mekanisme (a) Langmuir – Hinshelwood; (b) Rideal – Eley; (c)
Precursor untuk reaksi A – B → A + B

123

Anda mungkin juga menyukai