OLEH :
2017
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PEMBAHASAN
5.1 Kesimpulan
DOKUMENTASI
BAB I
PENDAHULUAN
Maka dari itu, pemerintah tidak main-main dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Dalam pengelolaan sumber daya hutan pemerintah memberikan perhatian khusus dan
selalu berupaya dalam memberikan regulasi yang terbaik bagi semua pihak. Berikut sejarah
pengelolaan hutan di Indonesia.
Penerapan sistem konsesi HPH sejak awal sudah cacat politik dan hukum.
Sebagaian besar dari areal konsesi HPH yang diberikan kepada perusahaan penebangan
hutan berada di kawasan-kawasan hutan yang belum dikukuhkan yang artinya bahwa
kawasan-kawasan yang belum dikukuhkan ini tidak memiliki bukti-bukti hukum
menyatakan bahwa kawasan hutan tersebut adalah hutan negara yang bebas dari atau sama
sekali tidak dibebani hak milik pihak lain. Dengan demikian, penerapan sistem konsesi
HPH di masa Orde Baru adalah bentuk penjarahan hutan nasional yang terencana dan resmi
oleh kelompok kepentingan yang dominan pada waktu itu.
Akibat yang muncul dari Undang-undang ini adalah tumbuh suburnya perilaku
politik pengurusan hutan di kalangan elit politik, khususnya pada bupati atau walikota yang
mendapatkan wewenang cukup besar. Para pemimpin daerah berlomba-lomba
mengeluarkan PERDA untuk menarik Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-
banyaknya, termasuk dengan pemberian ijin HPHH skala daerah, IPK dan sebagainya
tanpa perhitungan ketersediaan sumber daya hutan yang matang. Jika kecenderungan ini
tidak segera dikendalikan maka otonomi daerah tidak dapat disebut sebagai solusi, bahkan
akan meningkatkan laju pengrusakan hutan karena bentuk-bentuk kegiatan penjarahan
hutan secara resmi semakin beragam dibanding sebelumnya.
Bagi masyarakat lokal, fenomena pengelolaan hutan dengan sistem seperti ini
berbahaya untuk keberlanjutan budaya, sosial, ekonomi serta ekologi mereka, khususnya
jika di dalam bisnis penebangan ini terlibat para tokoh-tokoh adat, atau jika kebanyakan
dari anggota komunitas terlibat. Dalam kasus ini keterlibatan mereka pada umumnya
karena desakan ekonomi yang kemudian difasilitasi oleh mafia penebangan kayu liar dan
menimbulkan konflik antara masyarakat lokal dengan Perum Perhutani. Namun, apapun
alasannya, masyarakat atau pemimpin komunitas masyarakat lokal yang menebang pohon
di hutan desa atau adatnya tanpa memenuhi prosedur dan mekanisme hukum adat yang
berlaku, sudah semestinya dikategorikan sebagai penjarahan hutan.
Oleh sebab itu, proses-proses dialog multi-pihak dalam suatu ruang sudah
semestinya menjadi pilihan terbaik untuk membangun saling percaya satu sama lain dan
saling mempengaruhi satu sama lain secara terbuka. Hanya dengan proses-proses demikian
kita bisa membangun pengelolaan hutan yang lestari. Adanya kerjasama pemerintah dan
masyarakat lokal menjadi penentu dalam keberhasilan pengelelolaan hutan, yang
selanjutnya disebut Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat (PHBM).
Agar kegiatan PHBM terlaksana dan lebih terkoordinir, maka dibentuk suatu
wadah untuk masyarakat desa hutan yang dihimpun dalam suatu lembaga yaitu LMDH
(LMDH). Menurut Awang et al (2008: 13), lembaga tersebut dibentuk oleh masyarakat
desa yang berada di dalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi
kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan
budaya yang berkepentingan dalam kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan, yang
anggotanya berasal dari unsur lembaga desa dan atau masyarakat yang berada di desa
tersebut mempunyai kepedulian terhadap sumber daya hutan.
Dengan adanya program PHBM dari Perum Perhutani, masyarakat sekitar hutan
dapat memperoleh manfaat secara ekonomi yaitu berupa pemenuhan kebutuhan dan
peningkatan pendapatan masyarakat. Dimana dalam kegiatan PHBM masyarakat
memperoleh pekerjaan dan mendapatkan upah yang sudah disesuaikan dengan sistem
pembayaran yang ada di masyarakat. Selain itu adanya kegiatan tumpangsari yaitu dimana
masyarakat sebagai pesanggem atau petani hutan diberikan lahan (wengkon) oleh Perum
Perhutani secara gratis untuk dikelola menjadi lahan pertanian dibawah tanaman tegakan
dengan sistem kontrak. Dan hasilnya, sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat.
Tabel 1.1 Data pembagian wengkon LKDPH di kecamatan Ngantang
N0. KABUPATEN KECAMATAN DESA NAMA LUAS
LKDPH WENGKON
Ha
1. Malang Kasembon Bayem Margo 584.00
Lestari
2. Malang Kasembon Pondok Agung 2176.80
Agung Lestari
3. Malang Kasembon Wono Wono 835.40
Agung Lestari
4. Malang Kasembon Pait Sumber 1666.90
Rejeki
5. Malang Ngantang Jombok Bumi Lestari 685.00
6. Malang Ngantang Tulung Rejo Wono Asri 387.20
7. Malang Ngantang Sumber Wono Mulyo 322.50
Agung
8. Malang Ngantang Mulyo Rejo Wono 170.20
Lestari
9. Malang Ngantang Kaumrejo Gading 370.50
Lestari
10. Malang Ngantang Waturejo Sumber 93.20
Lancar
11. Malang Ngantang Purworejo Wono Asri 572.30
Lestari
12. Malang Ngantang Banjarejo Wono Tirto 173.00
Lestari
13. Malang Ngantang Sidodadi Wono Dadi 1016.90
14. Malang Ngantang Pagersari Wono 1079.00
Lestari
15. Malang Ngantang Ngantru Wono Asri 273.50
16. Malang Ngantang Banturejo Wono 171.40
Makmur
Lestari
17. Malang Ngantang Pandansari Lestari 2089.40
Buono
Sumber: diolah penulis, 2017
Rata-rata pendapatan per hari petani yang ikut program PHBM di kecamatan
Ngantang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak ikut program. Di desa Ngantru,
kecamatan Ngantang rata-rata pendapatan per hari petani anggota PHBM sebesar Rp.
6.153, sedangkan petani yang bukan anggota PHBM hanya sebesar Rp. 4.418. hal ini
membuktikan bahwa program PHBM dapat meningkatkan rata-rata pendapatan
masyarakat per hari sebesar Rp. 1. 735 (39%) bagi yang mengikuti program PHBM di
kecamatan Ngantang.
Perbedaan rata-rata pendapatan per hari antara petani PHBM dengan petani non
PHBM di kecamatan Ngantang yaitu 39% belum termasuk pendapatan dari bagi hasil
(sharing) kayu dan penyadapan getah, karena pohon yang dipelihara oleh petani di lahan
yang mereka kelola belum mencapai umur panen (penebangan). Perbedaan tersebut hanya
berasal dari hasil tumpangsari tanaman produktif. Pendapatan dari sektor pertanian pada
lahan milik negara (lahan Perum Perhutani) berperan dalam mengurangi kemiskinan, hal
ini dapat dilihat dari besarnya proporsi pendapatan petani dari lahan Perum Perhutani.
Peran lebih menekankan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu
proses, (Soerjono Soekanto, 1992: 268). Menurut Soerjono Soekanto unsur peranan
atau role meliputi:
1. Aspek dinamis dari kedudukan.
2. Perangkat hak-hak dan kewajiban.
3. Perilaku sosial dari pemegang kedudukan.
4. Bagian dari aktifitas yang dimainkan seseorang.
Selain itu, ada 3 indikator yang menjadi tolak ukur dalam keberhasilan dari
pelaksanaan PHBM yakni: (1) Perbaikan biofisik lingkungan (keberhasilan
reboisasi, perbaikan fungsi lingkungan dan penurunan gangguan keamanan hutan
selama 5 tahun terakhir); (2) Aspek sosial berupa peningkatan pendidikan,
kesehatan, jejaring kelembagaan dan tingkat keharmonisan antara PHT dengan
masyarakat; (3) Aspek ekonomi berupa peningkatan usaha produktif dan daya beli
masyarakat.
Kemauan negara untuk berbagi peran dan kewenangan juga dengan aktor
lain juga menjadi salah satu kunci dari terwujudnya good forest governance.
Konsep ini menginginkan adanya wadah untuk masyarakat di sekitar hutan agar
nantiya masyarakat dan negara dapat bekerjasama dengan baik dalam
pengelolaan hutan serta saling mendapatkan kontribusi.
Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat di
wilayah provinsi Jawa Tengah, provinsi Jawa Timur, provinsi Jawa Barat serta provinsi
Banten, kecuali kawasan hutan konservasi seluas 2.426.206 hektar. Berikut ini adalah tabel
wilayah kerja Perum Perhutani:
Tabel 1.2 Wilayah kerja Perum Perhutani
Unit Provinsi Hutan Hutan Total Luas
Kerja Produksi Lindung (Ha)
(Ha) (Ha)
Unit I Jawa Tengah 546.290 84.430 630.720
Unit II Jawa Timur 809.959 326.520 1.136.479
Unit III Jawa Barat 349.649 230.708 580.357
Banten 61.406 17.244 78.650
Jumlah 1.767.304 658.902 78.650
Sumber: diolah penulis, 2017
Unit-unit kerja dibagi menjadi Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) yang mengelola
kegiatan yang dimulai dari perencanaan, persemaian, penanaman, pemeliharaan dan
penjarangan, produksi getah, produksi kayu, keamanan dan agrobisnis (wisata). KPH
dibagi lagi menjadi Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) yang mengurusi wilayah
lebih kecil, dalam lingkup KPH dan BKPH kemudian dibagi lagi menjadi Kesatuan Resot
Pemangku Hutan (KRPH). Untuk memudahkan dalam memahami unit kerja Perum
Perhutani, dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
Asper Ngantang
HARI PRAMONO
PEMBAHASAN
Hutan Produksi
Berbeda halnya dengan hutan produksi, jika di hutan lindung tidak diperbolehkan
untuk menanam sayur-sayuran di hutan produksi diperbolehkan untuk menanam sayur-
sayuran tetapi hanya pada saat awal penanaman tanaman pokok, dari tahun pertama sampai
dengan ke tiga atau habis kontrak. Setelah tiga tahun penanaman Perum Perhutani akan
melakukan evaluasi terhadap tanaman, jika hasilnya dikatakan bagus yaitu mencapai 98%
maka di tahun selanjutnya masyarakat penggarap diperbolehkan untuk menggarap
kembali. Tetapi jika hasil pohon tegakan dikatakan tidak bagus atau tidak mencapai 98%
maka penggarap tersebut diberi peringatan dan dituntut untuk menyulam. Untuk kawasan
hutan produksi biasanya masyarakat Ngantang menanam tanaman cabai, jahe, bawang dan
lain-lain
Hutan Produksi
Pada hutan produksi penggarap diberikan fasilitas berupa alat penyadap getah, bibit
tegakan serta pupuk. hal ini diterapkan agar masyarakat di sekitar hutan tertarik untuk
menggarap hutan produksi sekaligus menjaga. Para penggarap diberikan lahan (wengkon)
terlebih dahulu dan selanjutnya penggarap akan diberikan tugas untuk menyadap getah dan
menjaga tanaman tegakan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Peran Perhutani sangat penting bagi kelestarian hutan serta bagi peningkatan
ekonomi masyarakat. Adapun peran perhutani yakni sebagai: (1) Regulator pada hutan
lindung dan hutan produksi (2) Fasilitator pada hutan produksi dan hutan lindung (3)
Berperan dalam pembagian lahan kepada masyarakat (4) Memberikan pengarahan dan
pembinaan kepada LMDH/LKDPH (5) Berperan dalam pemberdayaan masyarakat yang
dimulai dari persemaian sampai dengan agrobisnis (wisata).
Memberikan aturan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung agar masyarakat
sekitar hutan tidak semena-mena atau merusak dalam mengelolanya, selain itu Perum
Perhutani juga memberikan pengarahan dan pembinaan dalam suatu forum kepada
LMDH/LKDPH. Dalam pemberdayaan masyarakat disetiap kegiatannya mempunyai nilai
intensif. Hal ini sangat menunjang untuk peningkatan pendapatan masyarakat serta
mengurangi tingkat pengangguran.
DOKUMENTASI