Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN AKHIR MAGANG RISET

Peran Perum Perhutani BKPH Ngantang dalam Pelaksanaan Program


PHBM

(Studi Kasus di Perum Perhutani BKPH Ngantang, KPH Malang)

OLEH :

Anoki Arief Wijaya (201410050311150)


Firdaus Agus Wahyudi (201410050311131)
Andi Sulfikar Alibutto (201410050311065)
Risky Wiratama (201410050311040)
Ridho Putra Hajati (201410050311066)
Harsan jani (201410050311044)

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru (1967) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.1.2 Pengelolaan Hutan Masa Reformasi dan Otonomi Daerah (1999) . . . . . . . . . . .
1.1.3 PHBM Sebagai Resulusi Dari Permasalahan Pengelolaan Hutan (2001) . . . . . .
1.1.4 Peningkatan Pendapatan Masyarakat Kecamatan Ngantang Dalam
Pelaksanaan Program PHBM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.1.5 Permasalahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.2 Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.3 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB II DEFINISI KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

2.1 Definisi Konsep . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


2.2 Definisi Operasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB III GAMBARAN UMUM PERHUTANI

3.1 Perum Perhutani BKPH Ngantang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


3.2 Struktur BKPH Ngantang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Peran Perum Perhutani Dalam Pelaksanaan Program PHBM

4.1.1 Peran Perum Perhutani Sebagai Regulator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


4.1.2 Peran Perum Perhutani Sebagai Fasilitator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.1.3 Peran Perum Perhutani Dalam Memberikan Pengarahan dan
Pembinaan LMDH/LKPDH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.1.4 Peran Perum Perhutani Dalam Pembagian Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.1.5 Peran Perum Perhutani Dalam Pemberdayaan Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . .
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

DOKUMENTASI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pentingnya pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dengan melihat
betapa pentingnya kelestarian sumber daya hutan bagi kehidupan manusia dan lingkungan,
demikian juga betapa besar bencana yang ditimbulkan akibat kerusakan pada sumber daya
hutan seperti banjir, tanah longsor, erosi, pendangkalan sungai, rusaknya ekosistem hutan
, hilangnya spesies-spesies penting baik flora maupun fauna, terganggunya iklim mikro,
rendahnya kesehatan masyarakat yang disebabkan kurangnya filter udara yang
mengakibatkan pencemaran udara atau pun air serta kemiskinan yang terjadi pada
masyarakat di sekitar hutan.

Maka dari itu, pemerintah tidak main-main dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Dalam pengelolaan sumber daya hutan pemerintah memberikan perhatian khusus dan
selalu berupaya dalam memberikan regulasi yang terbaik bagi semua pihak. Berikut sejarah
pengelolaan hutan di Indonesia.

1.1.1 Pengelolaan Hutan Pada Masa Orde Baru (1967)


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan Pasal 14 Ayat 2 yang berbunyi “Pemerintah dapat bersama-sama dengan pihak
lain menyelenggarakan usaha bersama di bidang kehutanan”. Dengan Undang-undang ini
dimulailah era sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia kepada perusahaan-
perusahaan swasta, baik perusahaan yang disinyalir dekat dengan pusat kekuasaan di
negara asalnya maupun perusahaan swasta nasional yang sebagian diantaranya memiliki
keterkaitan dengan petinggi institusi militer atau polisi, dan keluarga serta kerabat Presiden
Soeharto yang berkuasa pada masa itu. Para elit penguasa ini kemudian membangun
kerjasama dengan para pedagang untuk mengeksploitasi hutan dengan keterlibatan yang
sangat terbatas dari para rimbawan (forester). Di sebagian besar perusahaan HPH
keterlibatan para rimbawan ini bahkan tidak lebih dari sekedar pemenuhan syarat
administratif untuk mendapatkan ijin atau pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan bagian Umum poin 2 yakni “makin majunya ekspor hasil hutan serta
makin banyaknya permintaan luar negeri“, pemerintah merasa perlu mengeksploitasi
kawasan-kawasan hutan secara langsung dengan membentuk perusahaan negara kehutanan
(BUMN) untuk mendapatkan areal-areal konsesi HPH di luar Jawa. Sejak semula,
penerapan sistem konsesi HPH telah menjadi bagian dari skenario politik kekuasaan untuk
menjamin dominasi militer dalam pemerintahan, disamping tujuan resmi untuk
meningkatkan penerimaan pendapatan pemerintah juga untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi.

Penerapan sistem konsesi HPH sejak awal sudah cacat politik dan hukum.
Sebagaian besar dari areal konsesi HPH yang diberikan kepada perusahaan penebangan
hutan berada di kawasan-kawasan hutan yang belum dikukuhkan yang artinya bahwa
kawasan-kawasan yang belum dikukuhkan ini tidak memiliki bukti-bukti hukum
menyatakan bahwa kawasan hutan tersebut adalah hutan negara yang bebas dari atau sama
sekali tidak dibebani hak milik pihak lain. Dengan demikian, penerapan sistem konsesi
HPH di masa Orde Baru adalah bentuk penjarahan hutan nasional yang terencana dan resmi
oleh kelompok kepentingan yang dominan pada waktu itu.

Selanjutnya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kehutanan pada Pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa “Perlindungan hutan meliputi
usaha-usaha untuk (a) mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam,
hama dan penyakit; (b) mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil
hutan. Adanya peraturan ini secara langsung membatasi akses dan partisipasi masyarakat
untuk mengelola hutan, sementara masyarakat Indonesia sebagian besar sangat bergantung
pada hutan untuk pakan ternak, contohnya seperti di Kabupaten Malang kecamatan
Ngantang dan Pujon.
1.1.2 Pengelolaan Hutan Pada Masa Reformasi dan Otonomi Daerah (1999)
Di era otonomi daerah ini, yang secara formal ditandai dengan keluarnya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, ada kehendak
dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan
daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara
eksekutif atau Pemerintah Daerah dengan lesislatif atau DPRD melalui kemitraan sejajar
diantara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik antara penentu kebijakan yang
kewenangannya deserahkan ke daerah, sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan
akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak.

Dalam konteks memberi jalan bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia, hal-hal


yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dicermati bahwa Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 ini hanya mengatur sistem
pemerintahan (government system) bukan sistem pengurusan (governance system). Ini
berarti bahwa kedua Undang-undang ini baru mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan masyarakat
dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat atau lokal.

Akibat yang muncul dari Undang-undang ini adalah tumbuh suburnya perilaku
politik pengurusan hutan di kalangan elit politik, khususnya pada bupati atau walikota yang
mendapatkan wewenang cukup besar. Para pemimpin daerah berlomba-lomba
mengeluarkan PERDA untuk menarik Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-
banyaknya, termasuk dengan pemberian ijin HPHH skala daerah, IPK dan sebagainya
tanpa perhitungan ketersediaan sumber daya hutan yang matang. Jika kecenderungan ini
tidak segera dikendalikan maka otonomi daerah tidak dapat disebut sebagai solusi, bahkan
akan meningkatkan laju pengrusakan hutan karena bentuk-bentuk kegiatan penjarahan
hutan secara resmi semakin beragam dibanding sebelumnya.

Dengan diberlakukannya Undang-undang ini, kepala daerah justru mendapatkan


tekanan yang kuat dari DPRD untuk meningkatkan PAD yang penggunaannya salah
satunya adalah untuk gaji dan biaya operasional DPRD yang bersumber dari eksploitasi
hutan dengan cara mengeluarkan ijin sebanyak-banyaknya penebangan hutan skala kecil,
sebagaimana terjadi di banyak kabupaten saat ini. Dengan orientasi politik demikian maka
kepentingan pengusaha kehutanan, baik perusahaan penebangan hutan maupun industri
pengolahan kayu, akan lebih dekat dengan kepala daerah untuk tetap memproduksi kayu
sebanyak-banyaknya. Operasi penebangan seperti ini berpindah-pindah, terorganisir
dengan baik dan melibatkan masyarakat (preman) yang mendapatkan dukungan kuat dari
militer atau polisi.

Bagi masyarakat lokal, fenomena pengelolaan hutan dengan sistem seperti ini
berbahaya untuk keberlanjutan budaya, sosial, ekonomi serta ekologi mereka, khususnya
jika di dalam bisnis penebangan ini terlibat para tokoh-tokoh adat, atau jika kebanyakan
dari anggota komunitas terlibat. Dalam kasus ini keterlibatan mereka pada umumnya
karena desakan ekonomi yang kemudian difasilitasi oleh mafia penebangan kayu liar dan
menimbulkan konflik antara masyarakat lokal dengan Perum Perhutani. Namun, apapun
alasannya, masyarakat atau pemimpin komunitas masyarakat lokal yang menebang pohon
di hutan desa atau adatnya tanpa memenuhi prosedur dan mekanisme hukum adat yang
berlaku, sudah semestinya dikategorikan sebagai penjarahan hutan.

Oleh sebab itu, proses-proses dialog multi-pihak dalam suatu ruang sudah
semestinya menjadi pilihan terbaik untuk membangun saling percaya satu sama lain dan
saling mempengaruhi satu sama lain secara terbuka. Hanya dengan proses-proses demikian
kita bisa membangun pengelolaan hutan yang lestari. Adanya kerjasama pemerintah dan
masyarakat lokal menjadi penentu dalam keberhasilan pengelelolaan hutan, yang
selanjutnya disebut Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat (PHBM).

1.1.3 PHBM Sebagai Resolusi Dari Permasalahan Pengelolaan Hutan (2001)


Pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat adalah suatu sistem
pengelolaan sumber daya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum
Perhutani dan masyarakat desa hutan atau pihak yang berkepentingan dalam upaya
mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan yang optimal. Dengan
adanya program PHBM Perum Perhutani manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh
masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya bergantung pada keberadaan hutan. Hal
tersebut dikarenakan pertanggungjawaban Perum Perhutani salah satunya harus
memperhatikan kondisi sekitar perusahaan. (Susanto, 2012: 10)

Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pertama kali dicanangkan


oleh Perum Perhutani pada tahun 2001 yang membuka akses atau kesempatan bagi
masyarakat desa hutan untuk terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan. Saat ini
pedoman pelaksanaan program tersebut mengacu pada SK Direksi Perum Perhutani Nomor
682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Bersama Masyarakat.

Agar kegiatan PHBM terlaksana dan lebih terkoordinir, maka dibentuk suatu
wadah untuk masyarakat desa hutan yang dihimpun dalam suatu lembaga yaitu LMDH
(LMDH). Menurut Awang et al (2008: 13), lembaga tersebut dibentuk oleh masyarakat
desa yang berada di dalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi
kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan
budaya yang berkepentingan dalam kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan, yang
anggotanya berasal dari unsur lembaga desa dan atau masyarakat yang berada di desa
tersebut mempunyai kepedulian terhadap sumber daya hutan.

Dengan adanya program PHBM dari Perum Perhutani, masyarakat sekitar hutan
dapat memperoleh manfaat secara ekonomi yaitu berupa pemenuhan kebutuhan dan
peningkatan pendapatan masyarakat. Dimana dalam kegiatan PHBM masyarakat
memperoleh pekerjaan dan mendapatkan upah yang sudah disesuaikan dengan sistem
pembayaran yang ada di masyarakat. Selain itu adanya kegiatan tumpangsari yaitu dimana
masyarakat sebagai pesanggem atau petani hutan diberikan lahan (wengkon) oleh Perum
Perhutani secara gratis untuk dikelola menjadi lahan pertanian dibawah tanaman tegakan
dengan sistem kontrak. Dan hasilnya, sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat.
Tabel 1.1 Data pembagian wengkon LKDPH di kecamatan Ngantang
N0. KABUPATEN KECAMATAN DESA NAMA LUAS
LKDPH WENGKON
Ha
1. Malang Kasembon Bayem Margo 584.00
Lestari
2. Malang Kasembon Pondok Agung 2176.80
Agung Lestari
3. Malang Kasembon Wono Wono 835.40
Agung Lestari
4. Malang Kasembon Pait Sumber 1666.90
Rejeki
5. Malang Ngantang Jombok Bumi Lestari 685.00
6. Malang Ngantang Tulung Rejo Wono Asri 387.20
7. Malang Ngantang Sumber Wono Mulyo 322.50
Agung
8. Malang Ngantang Mulyo Rejo Wono 170.20
Lestari
9. Malang Ngantang Kaumrejo Gading 370.50
Lestari
10. Malang Ngantang Waturejo Sumber 93.20
Lancar
11. Malang Ngantang Purworejo Wono Asri 572.30
Lestari
12. Malang Ngantang Banjarejo Wono Tirto 173.00
Lestari
13. Malang Ngantang Sidodadi Wono Dadi 1016.90
14. Malang Ngantang Pagersari Wono 1079.00
Lestari
15. Malang Ngantang Ngantru Wono Asri 273.50
16. Malang Ngantang Banturejo Wono 171.40
Makmur
Lestari
17. Malang Ngantang Pandansari Lestari 2089.40
Buono
Sumber: diolah penulis, 2017

Pembagian wengkon ini membuktikan bahwa program PHBM telah membuka


lebar akses bagi masyarakat desa di sekitar hutan dalam pengelolaan hutan bersama Perum
Perhutani. Adanya pembagian wengkon juga bermanfaat dalam keberlanjutan hutan,
keamanan hutan, kelestarian hutan, peningkatan pendidikan sosial dan budaya serta
meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar hutan.

1.1.4 Peningkatan Pendapatan Masyarakat Kecamatan Ngantang dalam


Pelaksanaan program PHBM
Dalam pelaksanaannya, PHBM melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) atau Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) seperti yang ada di
Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang, telah menunjukkan adanya pengaruh positif
terhadap pengembangan ekonomi lokal, yaitu meningkatnya pendapatan masyarakat yang
menjadi anggota PHBM.

Masyarakat anggota PHBM di kecamatan ini dapat memanfaatkan lahan perhutani


untuk bercocok tanam secara tumpangsari dengan tanaman produktif dibawah tegakan
(tanaman obat, porang, bawang, cabai, kopi dan lain-lain). Seluruh hasil dari tanaman
produktif dipanen oleh penggarap (pesanggem). Pemasaran hasilnya pun sangat mudah,
yaitu melalui pedagang pengepul meskipun terkadang terjadi ketidak pemerataan harga.
Selain hasil panen dari tanaman pangan, mereka juga dapat menanam rumput gajah sebagai
pakan ternak, sehingga meningkatkan kegiatan ekonomi alternatif seperti ternak sapi perah.

Pendapatan masyarakat di kecamatan Ngantang bersumber dari pengelolaan lahan


pertanian di lahan Perum Perhutani yang berupa ladang atau tegalan, lahan pertanian milik
sendiri berupa sawah, lading dan kebun ternak sapi dan pekerjaan lainnya seperti usaha,
upah dan lainnya.

Rata-rata pendapatan per hari petani yang ikut program PHBM di kecamatan
Ngantang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak ikut program. Di desa Ngantru,
kecamatan Ngantang rata-rata pendapatan per hari petani anggota PHBM sebesar Rp.
6.153, sedangkan petani yang bukan anggota PHBM hanya sebesar Rp. 4.418. hal ini
membuktikan bahwa program PHBM dapat meningkatkan rata-rata pendapatan
masyarakat per hari sebesar Rp. 1. 735 (39%) bagi yang mengikuti program PHBM di
kecamatan Ngantang.

Gambar 1.1 Rata-rata pendapatan per hari di kecamatan Ngantang

Rata-rata pendapatan per hari


(Rupiah)
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
PHBM Non PHBM

PHBM Non PHBM

Sumber: diolah penulis, 2017

Perbedaan rata-rata pendapatan per hari antara petani PHBM dengan petani non
PHBM di kecamatan Ngantang yaitu 39% belum termasuk pendapatan dari bagi hasil
(sharing) kayu dan penyadapan getah, karena pohon yang dipelihara oleh petani di lahan
yang mereka kelola belum mencapai umur panen (penebangan). Perbedaan tersebut hanya
berasal dari hasil tumpangsari tanaman produktif. Pendapatan dari sektor pertanian pada
lahan milik negara (lahan Perum Perhutani) berperan dalam mengurangi kemiskinan, hal
ini dapat dilihat dari besarnya proporsi pendapatan petani dari lahan Perum Perhutani.

Namun demikian, petani anggota program PHBM telah merasakan adanya


peningkatan pendapatan dan mereka berharap pendapatan tersebut akan lebih meningkat
dengan adanya pembentukan koperasi di dalam LKDPH. Menurut Kiswanadi selaku ketua
LKDPH Wonotirto desa Banjarejo Kecamatan Ngantang “kami berharap pendapatan dari
program PHBM akan lebih meningkat dengan adanya pembentukan koperasi di dalam
LKDPH Wonotirto”. Dengan adanya koperasi di dalam LKDPH, maka pendapatan
anggota akan meningkat karena nantinya para petani dapat menyetorkan hasil tanaman
langsung ke koperasi dengan sistem pemerataan harga.
1.1.5 Permasalahan
Program PHBM menunjukkan bahwa negara telah membuka lebar akses bagi
masyarakat di sekitar hutan, program tersebut juga telah memberikan dampak pada
peningkatan perekonomian masyarakat di sekitar hutan. Keberhasilan ini tidak lepas dari
kerja keras Perum Perhutani selaku aktor utama dalam menjalankan program PHBM di
pulau Jawa, Madura dan Aceh. Perum Perhutani berhasil membangun kerjasama dengan
masyarakat di sekitar hutan dengan baik sehingga dapat meminimalisir konflik dalam
pengelolaan hutan serta menjaga kelestarian hutan sacara berkelanjutan bersama
masyarakat.

Berkaitan dengan sejarah pengelolaan hutan dan keberhasilan program PHBM


dalam meningkatkan perekonomian masyarakat yang telah dipaparkan penulis diatas,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Peran Perum Perhutani
BKPH Ngantang dalam Pelaksanaan Program PHBM (Studi Kasus di Perum Perhutani
BKPH Ngantang, KPH Malang)”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang serta permasalahan yang dipaparkan penulis sebelumnya,
maka dapat ditarik rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Peran Perum Perhutani dalam pelaksanaan program PHBM?
2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan program PHBM?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui peran Perum Perhutani dalam pelaksanaan program PHBM.
2. Mengetahui faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan program
PHBM.
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Definisi Konsep dan Definisi Operasional

2.1.1 Definisi Konsep

a. Peran Perum Perhutani


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud peran
adalah tindakan yang dilakukan seseorang dalam suatu peristiwa. Adapun makna
kata peran dapat dijelaskan melalui beberapa cara lain adalah sebagai berikut:
1. Penjelasan historis yakni peran menunjuk pada karakterisasi yang disandang
untuk dibawakan oleh seseorang dalam pentas suatu drama.
2. Penjelasan yang merujuk pada satu konotasi ilmu sosial mengartikan peran
sebagai fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakterisasi
(posisi) dalam struktur sosial.
3. Suatu penjelasan operasional. (Edi Suhardono, 1994: 13)

Peran lebih menekankan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu
proses, (Soerjono Soekanto, 1992: 268). Menurut Soerjono Soekanto unsur peranan
atau role meliputi:
1. Aspek dinamis dari kedudukan.
2. Perangkat hak-hak dan kewajiban.
3. Perilaku sosial dari pemegang kedudukan.
4. Bagian dari aktifitas yang dimainkan seseorang.

Pada dasarnya konsep peran dapat dikaitkan dengan posisi. Dengan


demikian maka kata “posisi” adalah suatu kategori secara kolektif tentang orang-
orang yang menjadi dasar bagi orang lain dalam memberikan sebutan, perilaku atau
reaksi umum terhadapnya. Dengan demikian definisi peran merupakan seperangkat
patokan yang membatasi perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang yang
menduduki suatu posisi. (Edi Suhardono, 1994: 14)
b. Implementasi Program
Program di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan
sebagai rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan.
Jones dalam Arif Rohman (2009: 101-102) menyebutkan program merupakan salah
satu komponen dalam suatu kebijakan. Program merupakan upaya yang berwenang
untuk mencapai tujuan. Menurut Charles O. Jones dalam Siti Erna Suryana (2009:
28) ada tiga pilar aktivitas dalam mengoperasikan program yaitu:
1. Pengorganisasian
Struktur organisasi yang jelas diperlukan dalam mengoperasikan program
sehingga tenaga pelaksana dapat terbentuk dari sumber daya manusia yang
kompeten dan berkualitas.
2. Interpretasi
Para pelaksana harus mampu menjalankan program sesuai dengan petunjuk
teknis dan petunjuk pelaksana agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
3. Penerapan atau Aplikasi
Perlu adanya pembuatan prosedur kerja yang jelas agar program kerja dapat
berjalan sesuai dengan jadwal kegiatan sehingga tidak berbenturan dengan
program lainnya.

Terkait landasan dan mutu implementasi, menurut Islamy dalam buku


Maryono (2010: 43) yang berjudul Menakar Kebijakan RSBI: Analisis Kritis Studi
Implementasi, untuk bisa melihat apakah proses implementasi telah berjalan
dengan baik ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, diantaranya yakni:
1. Apakah unit pelaksana teknis telah disiapkan?
2. Apakah pelaksana kebijakan telah mengerti akan rencana, tujuan, dan sasaran
kebijakan?
3. Apakah aktor-aktor utama telah ditetapkan dan siap menerima tanggungjawab
pelaksanaan kebijakan tersebut?
4. Apakah koordinasi pelaksanaan telah dilakukan dengan baik?
5. Apakah hak dan kewajiban, kekuasaan dan tanggung jawab telah diberikan dan
dipahami serta dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan?
6. Apakah kriteria penilaian keberhasilan pelaksanaan kebijakan telah ada, jelas
dan diterapkan dengan baik?

c. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)


PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan
bersama dengan jiwa berbagi antara perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak
yang berkepentingan, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan
fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara optimal. (Perum
Perhutani Unit II Jawa Timur, 2010: 10)

Hal tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan masyarakat desa hutan


dalam pengelolaan hutan, secara kelompok atau kelembagaan. Sesuai dengan visi
dan misi perusahaan maka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat
desa hutan menjadi penting dan strategis sehingga perlu dimaknai, diwadahi dan
difasilitasi dalam program PHBM.

Pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat dimaksudkan untuk


memberikan arah pengelolaan sumber daya hutan dengan memadukan aspek-aspek
ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional, adapun prinsip dasar dalam
PHBM yaitu:
1. Prinsip keadilan dan demokratis.
2. Prinsip keterbukaan dan kebersamaan.
3. Prinsip pembelajaran bersama dan saling memahami.
4. Prinsip kejelasan hak dan kewajiban.
5. Prinsip pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
6. Prinsip kerjasama kelembagaan.
7. Perencanaan partisipatif.
8. Prinsip kesederhanaan sistem dan prosedur.
9. Prinsip perusahaan (negara) sebagai fasilitator.
10. Prinsip kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah.

Selain itu, ada 3 indikator yang menjadi tolak ukur dalam keberhasilan dari
pelaksanaan PHBM yakni: (1) Perbaikan biofisik lingkungan (keberhasilan
reboisasi, perbaikan fungsi lingkungan dan penurunan gangguan keamanan hutan
selama 5 tahun terakhir); (2) Aspek sosial berupa peningkatan pendidikan,
kesehatan, jejaring kelembagaan dan tingkat keharmonisan antara PHT dengan
masyarakat; (3) Aspek ekonomi berupa peningkatan usaha produktif dan daya beli
masyarakat.

d. Good Foerst Governance


Good forest governance berhubungan dengan permasalahan bagaimana
kebijakan yang berkaitan dengan hutan dan relasi antara masyarakat, siapa yang
bertanggungjawab, bagaimana mereka menggunakan kekuasaan serta bagaimana
mereka memper-tanggungjawabkannya. Konsep ini menyangkut dengan proses-
proses pengambilan keputusan dan kelembagaan di tingkat lokal, nasional, regional
dan global.

Good forest governance berkenaan dengan berbagai keputusan dan


tindakan yang mampu menghilangkan kendala atau hambatan, dan proses
penetapan kebijakan serta sistem kelembagaan kelembagaan yang mendorong
keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat lokal. (Morrison, 2007: 56)

Dalam aplikasi di lapangan, good forest governance harus


mempertimbangkan paling tidak dua aspek, yaitu aspek sosial dan aspek ekologis.
Kondisi ekologis yang berada mengharuskan adanya model pengelolaan hutan
yang berbeda pula, dan begitu pula dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di
sekitarnya.
1. Pertimbangan Aspek Sosial dan Partisipasi Masyarakat
Dalam upaya mencapai keberhasilan dalam pengelolaan sumber daya
hutan, negara harus memperhatikan kondisi dan permasalahan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar hutan, antara lain yaitu kepadatan penduduk yang
semakin tinggi dibarengi dengan kebutuhan pangan serta tingkat pengangguran.
Pengelolaan hutan menjadi sesuatu hal yang mustahil tanpa dukungan dan
peran serta dari masyarakat. Agar partisipasi tersebut dapat berjalan berjalan
optimal, maka ada dua strategi yang harus dilakukan yaitu pengembangan
kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya masyarakat.

Kemauan negara untuk berbagi peran dan kewenangan juga dengan aktor
lain juga menjadi salah satu kunci dari terwujudnya good forest governance.
Konsep ini menginginkan adanya wadah untuk masyarakat di sekitar hutan agar
nantiya masyarakat dan negara dapat bekerjasama dengan baik dalam
pengelolaan hutan serta saling mendapatkan kontribusi.

Negara harus mampu menjadi fasilitator yang baik guna terwujudnya


partisipasi aktif masyarakat. Skema pemberdayaan dan pemberian beberapa
intensif kepada masyarakat harus lebih dulu dilaksanakan oleh negara sebelum
menuntut partisipasi mereka.

2. Pertimbangan Aspek Ekologis


Konsep ini juga menginginkan adanya partisipasi dan peran masyarakat
terkait dengan hal ekologis yaitu:
1. Ikut menjaga keutuhan dan keaslian kondisi alamiah flora dan fauna yang
ada di sekitar hutan dengan tidak mengganggu, mengambil atau
merusaknya.
2. Berperan dalam menjaga keamanan kawasan tersebut dari ancaman
pencurian atau pengrusakan oleh orang atau pihak luar.
3. Pemanfaatan kawasan hutan tersebut dalam batas-batas yang tidak
mengganggu kestabilan dan keaslian ekosistem.
2.1.2 Definisi Operasional
a. Peran Perum Perhutani Dalam Pelaksanaan Program PHBM
i. Sebagai Regulator PHBM
1. Hutan Lindung
2. Hutan Produksi
ii. Sebagai Fasilitator PHBM
1. Hutan Lindung
2. Hutan Produksi
iii. Peran Perum Perhutani Dalam Memberikan Pengarahan dan Pembinaan
LMDH/LKDPH
iv. Peran Perum Perhutani Dalam Pembagian Lahan (Wengkon)
v. Peran Perum Perhutani Dalam Pemberdayaan Masyarakat
1. Persemaian
2. Penanaman
3. Pemeliharaan dan Penjarangan
4. Produksi Getah
5. Produksi Kayu
6. Keamanan
7. Agrobisnis (Wisata)
b. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Program PHBM
i. Persaingan Ekonomi
ii. Kualitas Sumber Daya Manusia Setempat
iii. Cuaca
iv. Perbedaan Kharakter Masyarakat
v. Geografis
BAB III
LAPORAN KEGIATAN MAGANG RISET
3.1 Gambaran Umum Perum Perhutani
Perum Perhutani merupakan suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
memiliki tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan,
pengusahaan dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya. Sehingga dituntut untuk
memberikan perhatian yang besar kepada masalah sosial dan ekonomi, terutama masalah
sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan di pulau Jawa yang sebagian besar tinggal di
sekitar hutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan


Umum Kehutanan Negara mengemban tugas dan tanggung jawab pengelolaan hutan yang
dikelola seluas 2, 426 juta hektar, terdiri dari hutan produksi seluas 1, 767 juta hektar dan
sisanya hutan lindung. Secara struktural Perum Perhutani dibawah kementrerian BUMN
dengan Pembina Teknis Departemen Kehutaan.

Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat di
wilayah provinsi Jawa Tengah, provinsi Jawa Timur, provinsi Jawa Barat serta provinsi
Banten, kecuali kawasan hutan konservasi seluas 2.426.206 hektar. Berikut ini adalah tabel
wilayah kerja Perum Perhutani:
Tabel 1.2 Wilayah kerja Perum Perhutani
Unit Provinsi Hutan Hutan Total Luas
Kerja Produksi Lindung (Ha)
(Ha) (Ha)
Unit I Jawa Tengah 546.290 84.430 630.720
Unit II Jawa Timur 809.959 326.520 1.136.479
Unit III Jawa Barat 349.649 230.708 580.357
Banten 61.406 17.244 78.650
Jumlah 1.767.304 658.902 78.650
Sumber: diolah penulis, 2017
Unit-unit kerja dibagi menjadi Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) yang mengelola
kegiatan yang dimulai dari perencanaan, persemaian, penanaman, pemeliharaan dan
penjarangan, produksi getah, produksi kayu, keamanan dan agrobisnis (wisata). KPH
dibagi lagi menjadi Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) yang mengurusi wilayah
lebih kecil, dalam lingkup KPH dan BKPH kemudian dibagi lagi menjadi Kesatuan Resot
Pemangku Hutan (KRPH). Untuk memudahkan dalam memahami unit kerja Perum
Perhutani, dapat dilihat dari gambar dibawah ini:

Gambar 1.2 Unit kerja Perum Perhutani

Perum Perhutani Pusat

Unit I Unit II Unit III

KPH KPH KPH

BKPH BKPH BKPH

KRPH KRPH KRPH

3.1.1 Perum Perhutani BKPH Ngantang


Secara geografis BKPH Ngantang memiliki hutan yang rimbun. Tanah yang subur
dengan ketinggian rata-rata 700-800 Dpl. Yang pengelolaannnya berada pada Unit
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Malang Devisi Regional Jawa Timur. Posisi wilayah
berada pada ujung bagian barat kabupaten Malang dengan jarak lebih kurang 51 Km, dari
kota Malang. Adapun batas wilayahnya yaitu:
Sebelah Utara : KPH Jombang
Sebelah Timur : BKPH Pujon
Sebelah Selatan : KPH Blitar
Sebelah Barat : KPH Kediri
Berdasarkan fungsinya BKPH Ngantang mempunyai keluasan : 12.809.10 Ha, yang terdiri
dari:
Hutan Produksi : 6.314.90 Ha
Hutan Lindung : 6.494.20 Ha
Dalam pengelolaannya terbagi menjadi 3 RPH:
1. RPH Ngantang, luas wilayah : 4.672.80 Ha. Terdiri dari:
Hutan Produksi : 2.136.10 Ha.
Hutan Lindung : 2.536.70 Ha.
2. RPH Sekar, luas wilayah : 5.375.50 Ha. Terdiri dari:
Hutan Produksi : 2.162.90 Ha.
Hutan Lindung : 3.212.60 Ha.
3. RPH Kasembon, luas wilayah: 2.760.80 Ha. Terdiri dari:
Hutan Produksi : 2.195.20 Ha.
Hutan Lindung : 565.60 Ha.
Wilayah Teritorial BKPH Ngantang

Tabel 1.3 Wilayah teritorial BKPH Ngantang


RPH DESA KECAMATAN NAMA LKDPH KABUPATEN
Ngantang Kaumrejo Ngantang Gading Lestari Malang
Sumberagung Ngantang Wono Mulyo Malang
Tulungrejo Ngantang Wono Asri Malang
Mulyorejo Ngantang Wono Lestari Malang
Waturejo Ngantang Sumber Lancar Malang
Jombok Ngantang Bumi Lestari Malang
Pait Kasembon Sumber Rejeki Malang
Wonoagung Kasembon Wono Lestari Malang
Medowo Kandangan - Malang
Sekar Purworejo Ngantang Wono Asri Malang
Lestari
Banjarejo Ngantang Wono Tirto Malang
Lestari
Sidodadi Ngantang Wono Dadi Malang
Pagersari Ngantang Wono Lestari Malang
Ngantru Ngantang Wono Asri Malang
Banturejo Ngantang Wono Makmur Malang
Lestari
Pandansari Ngantang Lestari Buono Malang
Kasembon Kasembon Kasembon - Malang
Bayem Kasembon Margo Lestari Malang
Pondokagung Kasembon Agung Lestari Malang
Mlancu Kandangan - Malang
Data Penduduk Yang Berinteraksi Langsung Dengan Hutan

Tabel 1.4 Data penduduk yang berinteraksi langsung dengan hutan


RPH DESA KECAMA NAMA LUAS JML JML JML %
TAN LEMBAGA PANGKU PENDUD KK INTERA
AN HA UK KSI KK
Ngantang Wonoagung Kasembon Wono Lestari 713.50 4.325 1.440 974 67
Pait Kasembon Sbr. Rejeki 557.20 4.301 716 691 97
Jombok Ngantang Bumi Lestari 773.10 4.823 965 324 34
Kaumrejo Ngantang Gading 370.50 5.438 906 302 33
Lestari
Waturejo Ngantang Sbr. Lancar 93.20 3.617 724 674 93
Tulungrejo Ngantang Wonoasri 344.20 3.518 879 812 92
Sbr.agung Ngantang Wonomulyo 1.650.90 5.694 949 431 45
Mulyorejo Ngantang Wonolestari 306.80 4.521 904 802 89
Sekar Purworejo Ngantang Wonoasri 948 4.158 1.040 216 20
Ngantru Ngantang Wonoasri 244.20 5.449 1.089 941 86
Pandansari Ngantang Lestaribuana 2.225.4 4.383 1.461 976 67
Pagersari Ngantang Wonolestari 876.9 3.716 929 815 87
Sidodadi Ngantang Wonodadi 758.7 5.337 1.067 685 64
Banjarejo Ngantang Wonotirto 227.20 4.423 1.105 870 78
Banturejo Ngantang Wn. Makmur 64.7 4.462 1.115 987 88
Kasembo Bayem Kasembon Wonolestari 478.5 6.056 1.078 930 86
n
pondokagun Kasembon Wonoagung 2.176.80 6.309 1.779 1.554 87
g
3.1.1 Struktur BKPH Ngantang

Asper Ngantang
HARI PRAMONO

KAUR TUTK KRPH NGANTANG KRPH SEKAR KRPH KASEMBON


AGUS LARAHADI MULYONO SUHARTO

TU ASPER POLHUTER POLHUTER POLHUTER


LESTARI S ARIFIN PURDIANTO AGUS SETIONO

Mdr. Lingkungan POLHUTER POLHUTER POLHUTER


JUWARNO SUWADI GUNAWAN HENDRIYAN S

PENJAGA Mdr. Persemaian Mdr. Tanam Mdr. Pemeliharaan


SUGIONO WINARSO NANANG H SULAKSONO W

Mdr. Tanam Mdr. Tanam Mdr. Tanam


SUPRIADI SAMPURNO SUWANTO

Mdr. Sadap Mdr. Tanam Mdr. Tanam


SUNADI JUMALI MARIONO

Mdr. Sadap Mdr. Sadap


MUSTAMAR YATMAJI

Mdr. Sadap Mdr. Sadap


SANTOK W TEGUH R
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Peran Perum Perhutani Dalam Pelaksanaan Program PHBM

4.1.1 Peran Perum Perhutani Sebagai Regulator


Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Agar
kelestarian hutan lindung tetap terjaga maka harus ada kegiatan rehabilitasi jika hutan
tersebut tidak memenuhi standar. Dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan lindung Perum
Perhutani bekerjasama dengan LMDH/LKDPH untuk meningkatkan keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Adapun tahap-tahapan dalam rehabilitasi di hutan lindung yakni: (1) Perencanaan;


(2) Pelaksanaan; (3) Pengorganisasian Kelembagaan; (4) Pengawasan dan Pengendalian.
Dalam rehabilitasi dibutuhkan kerjasama antara Perum Perhutani dengan masyarakat di
sekitar hutan agar impian menjadikan hutan lindung yang rimbun tercapai. Kerjasama
antara Perum Perhutani dengan LMDH/LKDPH diwujudkan dalam bentuk Perjanjian
Kerjasama (PKS) dengan perincian hak dan kewajiban saat penanaman, pemeliharaan,
pemungutan, pemasaran dan bagi hasilnya (Sharing).

Setelah terwujudnya kerjasama antara Perum Perhutani dengan LMDH/LKDPH,


Perum Perhutani melakukan sosialisasi, penyuluhan, pendampingan, pelatihan dalam
rangka meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat desa di sekitar hutan dan
LMDH/LKDPH dilakukan di tingkat Pusat, Divisi dan KPH. Untuk pendampingan
masyarakat desa di sekitar hutan dilakukan oleh mandor dan pejabat struktural Perum
Perhutani serta Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) yang sudah ada di Perum
Perhutani.

Di kawasan hutan lindung masyarakat diperbolehkan menanam tanaman buah-buahan


seperti alpukat, durian dan lain-lain. Dalam hutan lindung masyarakat tidak diperbolehkan
untuk menanam sayur-sayuran dikarenakan sayur-sayuran dapat merusak tanah serta pada
penanaman sayur membutuhkan pengolahan tanah secara intensif, hal ini akan berdampak
pada tanaman-tanaman pokok hutan lindung. Di kawasan hutan lindung juga tidak
diperbolehkan menebang pohon.

Hutan Produksi
Berbeda halnya dengan hutan produksi, jika di hutan lindung tidak diperbolehkan
untuk menanam sayur-sayuran di hutan produksi diperbolehkan untuk menanam sayur-
sayuran tetapi hanya pada saat awal penanaman tanaman pokok, dari tahun pertama sampai
dengan ke tiga atau habis kontrak. Setelah tiga tahun penanaman Perum Perhutani akan
melakukan evaluasi terhadap tanaman, jika hasilnya dikatakan bagus yaitu mencapai 98%
maka di tahun selanjutnya masyarakat penggarap diperbolehkan untuk menggarap
kembali. Tetapi jika hasil pohon tegakan dikatakan tidak bagus atau tidak mencapai 98%
maka penggarap tersebut diberi peringatan dan dituntut untuk menyulam. Untuk kawasan
hutan produksi biasanya masyarakat Ngantang menanam tanaman cabai, jahe, bawang dan
lain-lain

4.1.2 Peran Perum Perhutani Sebagai Fasilitator


Hutan Lindung
Pemberian bibit kepada masyarakat dilakukan jika sebelumnya ada perencanaan
dari Perum Perhutani, pemberian bibit dimaksudkan untuk merehabilitasi hutan lindung
bersama masyarakat. Jika tidak ada rencana untuk merehabilitasi maka personel dari Perum
Perhutani akan memberikan bibit kepada masyarakat penggarap secara swadaya.

Hutan Produksi
Pada hutan produksi penggarap diberikan fasilitas berupa alat penyadap getah, bibit
tegakan serta pupuk. hal ini diterapkan agar masyarakat di sekitar hutan tertarik untuk
menggarap hutan produksi sekaligus menjaga. Para penggarap diberikan lahan (wengkon)
terlebih dahulu dan selanjutnya penggarap akan diberikan tugas untuk menyadap getah dan
menjaga tanaman tegakan.

4.1.3 Peran Perum Perhutani Dalam Memberikan Pengarahan dan Pembinaan


LMDH/LKDPH
Dalam memberikan pengarahan dan pembinaan LMDH/LKDPH Perum Perhutani
akan menjelaskan tentang pentingnya hutan bagi masyarakat di sekitar hutan. Selanjutnyan
mereka akan diajarkan bagaimana menanam dan cara menyadap getah yang baik, membuat
terasering pengairan sampai dengan memberikan peringatan jika masyarakat melanggar
aturan yang telah disepakati. Kegiatan ini dilakukan agar kelestarian hutan akan tetap
terjaga serta nantinya akan meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar hutan.
Adapun hak LMDH/LKDPH sebagai berikut:
1. Menyusun rencana, melaksanakan, memantau dan menilai pelaksanaan PHBM
bersama Perum Perhutani dan pihak yang berkepentingan.
2. Memperoleh hasil sumberdaya hutan sesuai dengan perjanjian kerjasama
3. Melakukan kerjasama dengan LMDH lain
LMDH/LKDPH memiliki kewajiban:
1. membina kelompok kerja.
2. melindungi dan melestarikan sumber daya untuk berkelanjutan fungsi dan manfaatnya.

4.1.4 Peran Perum Perhutani Dalam Pembagian Lahan (Wengkon)


Pembagian lahan merupakan pintu gerbang bagi masyarakat di sekitar hutan dalam
akses untuk mengelola sumber daya hutan. Pembagian lahan dilakukan melalui berbagai
pertimbangan salah satunya adalah apakah orang tersebut memiliki perhatian terhadap
hutan atau tidak, jika masyarakat tersebut memiliki rasa perhatian terhadap hutan yang
tinggi meskipun perekonomiannya tergolong tinggi masyarakat tersebut akan mendapatkan
lahan yang lebih luas dibandingkan masyarakat yang tidak memberikan perhatian terhadap
hutan meskipun ekonominya rendah. Hal ini dilakukan sebagai tindakan Perum Perhutani
dalam mencegah kerusakan hutan.

4.1.5 Peran Perum Perhutani Dalam Pemberdayaan Masyarakat


1. Persemaian
Persemaian tanaman melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya, masyarakat
dilibatkan untuk mencari bibit jika bibit tidak ada di Perum Perhutani bibit dari Perum
Perhutani, setelah itu bibit tersebut akan dibeli oleh Perum Perhutani seharga Rp.500
per bibit.
2. Penanaman
Penanaman dilakuklan setelah proses pembibitan, dalam penanaman masyarakat
diberdayakan untuk melakukan penanaman pada lokasi yang telah ditentukan Perum
Perhutani
3. Pemeliharaan dan Penjarangan
Setelah melakukan proses penanaman masyarakat diberdayakan untuk memelihjara
dan melakukan penjarangan
4. Produksi Getah
Pengambilan getah (sadap) dilakukan oleh masyarakat yang disebut pesanggem, getah
yang sudah dikumpulkan oleh pesanggem akan dibeli oleh Perum Perhutani seharga
Rp. 4.500 untuk getah kelas premium.
5. Produksi Kayu
Penebangan kayu dilakukan pada lokasi yang telah ditentukan oleh Perum Perhutani,
penebangan dilakukan oleh masyarakat yang ahli dalam penebangan, setelah itu untuk
mengangkut kayu ke dalam truk juga membutuhkan masyarakat sekitar yang memiliki
keahlian khusus.
6. Keamanan
Patroli dibagi menjadi dua yakni persuatif dan preventif, kegiatan ini juga melibatkan
masyarakat setempat dengan cara membangun kesadaran masyarakat bahwa menjaga
hutan ini sangat penting. Dalam keamanan juga melibatkan pihak lain yaitu Kepolisian
dan juga TNI.
7. Agrobisnis (Wisata)
Pengelolaan wisata melibatkan LMDH/LKDPH sebagai pekerja di dalamnya, mulai
dari pembuatan fasilitas wisata sampai dengan penjagaan lokasi wisata.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Peran Perhutani sangat penting bagi kelestarian hutan serta bagi peningkatan
ekonomi masyarakat. Adapun peran perhutani yakni sebagai: (1) Regulator pada hutan
lindung dan hutan produksi (2) Fasilitator pada hutan produksi dan hutan lindung (3)
Berperan dalam pembagian lahan kepada masyarakat (4) Memberikan pengarahan dan
pembinaan kepada LMDH/LKDPH (5) Berperan dalam pemberdayaan masyarakat yang
dimulai dari persemaian sampai dengan agrobisnis (wisata).

Memberikan aturan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung agar masyarakat
sekitar hutan tidak semena-mena atau merusak dalam mengelolanya, selain itu Perum
Perhutani juga memberikan pengarahan dan pembinaan dalam suatu forum kepada
LMDH/LKDPH. Dalam pemberdayaan masyarakat disetiap kegiatannya mempunyai nilai
intensif. Hal ini sangat menunjang untuk peningkatan pendapatan masyarakat serta
mengurangi tingkat pengangguran.
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai