Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH ILMU PERUNDANG-


UNDANGAN

Dosen Pengampu : Dr. Rommy Patra, S.H., M.H.

ANDRE GUNAWAN A1012181242

KATTYA PRICILLA KANIKIR A1012181248

NATASYA RIZKY BASADI A1012181249

FARIDZKI A1012181251

DARMA YOGI ANGGARA A1012181252

MILGENIUS ADENDY PUTRA WIANEKOW A1012181256

ADHE MEUTHIA A1012181261

PONTIANAK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2019

1
KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya kepada kami semua sehingga kami sebagai mahasiswa hukum
universitas tanjung pura dapat dengan senang hati dan berbahagia untuk
menyelesaikan makalah yang berjudul “ IMPLEMENTASI YANG BELUM
OPTIMAL PADA PASAL 31 UUD 1945 YANG BERKAITAN DENGAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SERTA PERTENTANGAN PASAL 31
AYAT 4 UUD 1945 TERHADAP PASAL 49 AYAT 3 DAN 4 UU NO 20
TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL“.

Oleh karena itulah, kami juga ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada seluruh anggota kelompok 6 yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, terutama kali kami ucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen pengampu dalam mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan
ini karena telah memberikan kami kesempatan untuk mengekspresikan pikiran
kami dalam bentuk makalah yang berkaitan dengan pendidikan nasional.

Pontianak, November 2019

2
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4


A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 5
C. Tujuan Masalah .................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 6
A. Masalah pendidikan di indonesia dari sisi sosial, budaya, tingkat ekonomi
masyarakat dan sisi regulasi ........................................................................................ 6
B. Pengaruh anggaran/dana pendidikan terhadap pengembangan SDM di
Indonesia serta korelasi antara anggaran pendidikan dan kualitas pendidikan...12
D. Pertentangan antara pasal 31 AYAT 4 UUD 1945 dan pasal 49 AYAT 3 DAN
4 UU SISDIKNAS. ...................................................................................................... 14
D. Peran Guru dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia, beserta
penyaluran anggaran pendidikan yang mungkin tepat untuk di lakukan kedepan.
...................................................................................................................................... 16
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 20
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 20
B. Saran .................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 22

3
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap negara memiliki keinginan untuk memajukan pendidikan nasional yang ada
dalam negaranya dan dalam memenuhi tujuan dan cita-citanya tersebut negara
perlu secara aktif berpartisipasi dalam mendorong kemajuan pendidikan melalui
berbagai cara salah satunya yaitu dengan memberikan anggaran yang cukup untuk
pendidikan nasional dari suatu negara.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, sekitar 250 juta orang
tinggal di pulau-pulau yang saling berdampingan satu sama lain dan bukan hanya
itu saja. Keberagaman masyarakatnya, mulai dari suku, agama, ras, dan ideologi
serta pemikiran yang berbeda-beda itu pula menjadi tantangan besar untuk kita
dalam memajukan negara ini, khususnya di bidang pendidikan.

Disisi lain, perubahan yang terjadi begitu cepat di seluruh dunia terutama negara-
negara maju telah mampu membuat perubahan signifikan bukan saja didalam
negaranya sendiri tetapi juga keluar negaranya,sehingga kita indonesia tentunya
perlu untuk menjawab tantangan global yang selalu bergerak secara dinamis agar
kita dapat bertahan sebagai suatu bangsa yang selalu berinovasi dan tidak
tertinggal kebelakang.

Kemajuan suatu negara sangatlah ditentukan oleh kualitas dari masyarakatnya,


yang istilah lain kita katakan sebagai kualitas sumber daya manusia. Jika kita
kembali sedikit kebelakang, sejarah membuktikkan bahwa negara-negara maju di
dunia membentuk fondasi awal peradabannya yang hebat dengan fondasi yang
kuat dalam bidang pendidikan.

Salah satu contoh yang paling nyata ialah negara jepang, sesaat sesudah negara
amerika serikat melakukan pengeboman terhadap wilayah hiroshima nagasaki dan
mengakibatkan kerusakan yang parah terhadap jepang sehingga jepang terpaksa
harus menyerah dalam perang dunia ke dua.

4
Setelah kejadian tersebut, sang Kaisar bernama Hirohito bertanya kepada para
jenderalnya yang masih hidup, berapa banyak jumlah guru yang tersisa?

Sontak para jenderal pun terkejut akan pernyataan yang dilontarkan oleh sang
kaisar, para jenderal kemudian menegaskan kalau mereka masih bisa
menyelamatkan dan mengamankan Kaisar Hirohito walau tidak ada guru
sekalipun.

Namun, Kaisar Hirohito merespon dengan berkata “Kita telah jatuh, karena kita
tidak belajar.” Kita memang kuat dalam strategi perang namun kita belum
memiliki kemampuan untuk menciptakan bom sedahsyat itu, jika kita tidak
belajar, bagaimana cara kita mengejar mereka? Maka kumpulkan seluruh guru
yang tersisa diseluruh pelosok negeri ini, karena sekarang kita akan bertumpu
pada mereka dan bukan pada kekuatan pasukan.

Dari kisah diatas, dapat kita ambil kesimpulkan bahwa peran pendidikan dan guru
yang baik sangatlah krusial bagi suatu negara, tidak satupun negara maju didunia
ini yang pendidikannya buruk. Oleh karena itulah perlu kiranya kami sebagai
mahasiswa hukum untuk membahas mengenai mengenai permasalahan ini
sehingga lebih jelas apa yang menjadi akar masalahnya dan solusi seperti apa
yang sebaiknya diberikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, beberapa rumusan masalahnya yaitu sebagai


berikut:

1. Bagaimana anggaran pendidikan mempengaruhi kualitas dari pendidikan


di Indonesia?
2. Apakah pertentangan antara dua pasal sebagaimana disebutkan diatas
dapat menjadi polemik yang berkepanjangan jika tidak di benahi?
3. Sudah benarkah pengimplementasian pasal 31 UUD 1945 dalam
kenyataannya di lapangan?
4. Yang mana yang harus didahulukan, menyalurkan anggaran pada
peningkatan mutu guru? Atau pada kualitas fasilitas pendidikan?

5
C. Tujuan Masalah
1. Memaparkan tentang masalah pendidikan di indonesia dari sisi sosial,
budaya, tingkat ekonomi masyarakat dan sisi regulasi.
2. Menjelaskan mengenai pengaruhanggaran/dana pada dunia pendidikan di
Indonesia serta korelasi antara anggaran pendidikan dan kualitas
pendidikan.
3. Mendeskripsikan pertentangan antara pasal 31 AYAT 4 UUD 1945 dan
pasal 49 AYAT 3 DAN 4 UU SISDIKNAS.
4. Mendeskripsikan peran Guru dalam memajukan dunia pendidikan di
Indonesia, beserta penyaluran anggaran pendidikan yang mungkin tepat
untuk di lakukan kedepan.

BAB II PEMBAHASAN

A. Masalah pendidikan di Indonesia dari sisi sosial, budaya, tingkat ekonomi


masyarakat dan sisi regulasi

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat besar dan luas, dengan
keragamannya yang sangat unik mulai dari suku, bangsa, ras, agama dan sosial
budaya yang berbeda-beda, membuatnya menjadi negara yang benar-benar unik.
Ditambah lagi dengan kekayaan dan keindahan alam kita yang selalu disanjung-
sanjung oleh banyak orang dari waktu ke waktu.

Karena perbedaan merupakan anugerah yang amat besar, bayangkan saja jika kita
hidup dengan orang-orang yang punya pemikiran yang sama, suku, bangsa, ras
dan agama serta adat istiadat yang serba sama semua, bukankah akan menjadi
membosankan? Disisi lain perbedaan-perbedaan yang kian mencolok itu, dapat
menjadikan kita menutupi diri dari komunitas atau individu-individu yang
berbeda dari kita, sehingga bukan tidak mungkin ketegangan antar komunitas dan
individu-individu yang berbeda itu dapat mengarah pada konflik kekerasan yang
sifatnya multidimensional.

6
Bahkan sebuah survery pernah dilakukan oleh Komnas HAM dimana mereka
mencatat sedikitnya 101 kasus diskriminasi ras dan etnis dalam periode 2011-
2018 yang dilaporkan kepada mereka. Pelanggaran tersebut meliputi pembatasan
terhadap pelayanan publik, maraknya politik etnisitas atau identitas, pembubaran
ritual adat, diskriminasi atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minoritas.

Yang menarik adalah survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) bekerja sama dengan tim Litbang Kompas, dalam
survei berjudul “Survei Penilaian Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi” tersebut ditemukan bahwa sebanyak
81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga
yang sama.

Kemudian, sebanyak 82,7 persen responden dalam survei tersebut mengatakan


bahwa mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sementara
sebanyak 83,1 persen mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis
yang sama.1

Melihat kejadian diatas, tentunya seluruh semboyan dan slogan kita yang selalu
kita banggakan seperti bhinneka tunggal ika dan negara yang menjunjung tinggi
perbedaan dan toleransi menjadi tidak relevan mengingat masih banyaknya kasus
dimana ada sekolompok masyarakat yang masih belum terbiasa hidup dalam
keberagaman. Perlu diingat bahwa intoleran bukan hanya berarti melakukan
kekerasan terhadap individu yang berbeda dari kita, namun juga dapat berarti
diskriminasi yang bentuknya penghinaan, mengejek, dsb yang mengarah pada
penolakan terhadap keberagaman.

Oleh karena itulah, pendidikan menjadi salah satu cara paling ampuh untuk
mengatasi hal-hal semacam itu. Namun apakah yang menjadikan intoleransi
masih marak di indonesia? Sedangkan kita sudah menjalankan pendidikan seperti
pendidikan kewarganegaraan yang selalu diajarkan didalam kelas, tetapi mengapa
masih ada saja yang bersikap diskriminatif dewasa ini?

1
Uje Jaelani, “Memutus Banalitas Rasisme dengan Pendidikan Multikultural”, diakses dari
https://www.sulselsatu.com/2019/09/06/opini/opini-memutus-banalitas-rasisme-dengan-
pendidikan-multikultural.html, pada tanggal 01 desember 2019.

7
Jika kita lihat dari sisi sosial, budaya, tingkat ekonomi masyarakat dan dari sisi
regulasi di dunia pendidikan, indonesia masih perlu membenahi diri. Dari segi
sosial dan budaya, yang pertama yaitu mengenai adanya institusi-institusi sekolah
yang seakan-akan menggunakan identitas agama seperti nama yang berkaitan
dengan agama dan ras, memang tidak ada salahnya untuk membangun lembaga
yang berasosiasi dengan nama agama misalnya apabila asalkan institusi tersebut
memang sifatnya hanya untuk mereka yang ingin menempuh pendidikan dalam
konteks bidang agama, namun beda halnya jika institusi pendidikan itu
merupakan institusi pendidikan yang sifatnya publik karena akan mengakibatkan
persepsi negatif bahwa sekolah yang seharusnya tempat dimana toleransi itu
diajarkan malah berbalik menjadi ladang dimana benih-benih intoleransi itu
muncul.

Kita bisa saja mengajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan misalnya,


pentingnya toleransi dan sikap saling menghargai satu sama lain, namun tanpa
lingkungan yang mendukung hal itu nampaknya akan sangat sulit dilakukan. Jika
kita ingin membiasakan generasi muda misalnya untuk memiliki jiwa toleransi
yang tinggi antar sesama warga negara dan masyarakat serta komunitas dan
individu yang berbeda, hendaknya tempatkanlah mereka di lingkungan yang
memang semua ras, suku, dan agama serta adat istiadat yang berbeda saling
bercakap-cakap dan bertukar pikiran. Dan hal ini bisa dimulai dari lingkungan
sekolah, karena sekolah adalah tempat terbaik untuk mengajarkan akan
pentingnya toleransi.

Dan kemudian yang kedua yang menyebabkan pendidikan di indonesia tidak


nampak berubah menjadi lebih baik ialah karena budaya feodalisme, budaya
mengajar yang monoton dan tidak bervariasi serta staf yang tidak mengikuti
perkembangan zaman. Patut di akui bahwa tidak semua staf pengajar memiliki
jiwa yang senang akan perubahan dan mau terus belajar, namun beberapa
diantaranya tentunya saja memiliki jiwa yang demikian.

Disisi lain, budaya feodalisme dan monoton masih sangat terasa terkadang di
lingkungan pendidikan kita, feodalisme dalam arti disini ialah keadaan dimana
pengajar tidak mau dikritik pendapatnya dan beberapa di antaranya selalu merasa

8
benar sendiri, sehingga pendidikan yang seharusnya tempat dimana pikiran-
pikiran pelajar dan pengajar saling disampaikan dan saling di adu, malah sebagian
besar menjadi tempat ajang angguk mengangguk. Pendidikan seharusnya menjadi
wadah dimana pemikiran-pemikiran yang berbeda itu bisa saling di pertengkarkan
satu sama lain, dalam arti positif sehingga menimbulkan diskursus yang
berkualitas dan meningkatkan daya nalar kritis para pengajar dan pelajar.

“Sesungguhnya dalam ruang sadar manusia Indonesia, feodalisme masih


persoalan yang bias. Feodalisme bagi sebagian kita, dianggap sebagai prosesi
sejarah yang layak dikenang. Bagi sebagian lagi, dianggap kekayaan budaya yang
wajib lestari secara utuh. Maka dibenarkanlah kemudian seluruh turunan nilai
kefeodalan, dikukuhkanlah ia dalam selubung etika.

Memang benar etika penting. Sayangnya standar ganda akan selalu berlaku
mengikuti status penuturnya. Tentunya bila dasar pemahaman kita, etika
merupakan warisan sistem feodal. Dalam tetralogi pulau buru karangan
Pramoedya Ananta Toer, digambarkan tokoh Minke sebagai kaum terdidik yang
geram kepada aturan penghambaan feodalisme Jawa kala itu. Dimana pada setiap
adegan membungkuk hingga menyentuh tanah kepada ayahandanya, Minke
dipastikan mengutuk dalam hati perihal aturan yang dicipta leluhurnya.

Secara ideal konsep pendidikan ditujukan untuk mencerdaskan. Pendidikan


diharapkan menjadi instrumen asah nalar, pemisah benar salah. Ditunjuklah ilmu
pengetahuan sebagai personifikasi konkrit dari pendidikan. Sementara kampus
hanya satu dari sekian wadah yang menjanjikan manisnya pendidikan. Lalu
bagaimana menemukan irisan antara feodalisme dengan dunia kampus?

Sebagai warisan dan bagian sistem monarki, feodalisme dianggap racun bagi
sistem demokrasi. Serupa dengan id dalam taksonomi pikiran Sigmund Freud,
feodalisme berusaha direpresi oleh ruang kesadaran berdemokrasi. Demokrasi
menjadi personifikasi dwitunggal ego-superego. Namun secara teoritik, dipastikan
setiap represi akan memicu resitensi. 2

2
Muhammad Shany Kasysyaf, “Wajah Feodalisme Laten di Ruang Akademik”, diakses dari
https://persma.org/2015/12/16/wajah-feodalisme-laten-di-ruang-akademik/, pada tanggal 01
desember 2019

9
Begitulah yang terjadi dalam upaya demokrasi merepresi feodalisme. Feodalisme
merespon represi demokrasi dalam bentuk resistensi terselubung. Bersembunyi di
ruang kesadaran terjauh, dan kelak muncul di ruang sadar terluar sebagai tabiat
yang luput oleh demokrasi.

Wajah lain feodalisme di era demokrasi bukan lagi kepatuhan pada raja, tapi
kepada senjata. Bukan pula monopoli tanah, tapi monopoli kebenaran. Begitulah
feodalisme dipraktekkan oleh kekuasaan hingga dunia pendidikan. Di dunia
kampus, monopoli kebenaran dipraktekkan oleh dosen-dosen di ruang-ruang kelas
dalam berbagai bentuk. Ada yang secara terang-terangan menolak segala bentuk
kritikan teoritik dengan alasan yang berbau etik, atau paling dangkal
menggunakan posisi gelar akademik sebagai jimat penangkal kritik demi
memenangkan perdebatan.”3

Tidak hanya dari segi budaya di dunia pendidikan kita saja, alasan ekonomi pun
menjadi hal tidak mengherankan di indonesia, masyarakat dengan tingkat
ekonomi rendah seringkali tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang
berkualitas, kemudian karena latar belakang orang tua yang biasanya juga tidak
terpelajar dan kurang mengikuti perkembangan zaman sehingga seringkali anak-
anak mereka mengikuti saja apa kata orang tua mereka bahwa mereka tidak punya
kemampuan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi.

Berdasarkan penelitian Article 33 Indonesia, pendidikan berkualitas tak bisa


diakses dengan mudah oleh masyarakat tidak mampu.Hal tersebut berdasarkan
kajian mereka terhadap sekolah-sekolah di Kota Bogor, Makassar dan Malang.
Dalam kajiannya, lembaga riset itu menemukan masih sedikit jumlah pelajar dari
keluarga kurang mampu di sekolah-sekolah unggulan ditiap kota.4

Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat tingkat ekonomi rendah
tidak mengenyam pendidikan yang seharusnya mereka miliki dan mereka
tentunya berhak akan hak itu karena dijamin didalam pasal 31 UUD 1945.
3
Muhammad Shany Kasysyaf, “Wajah Feodalisme Laten di Ruang Akademik”, diakses dari
https://persma.org/2015/12/16/wajah-feodalisme-laten-di-ruang-akademik/, pada tanggal 01
desember 2019.
4
Richaldo Y Hariandja, “Masyarakat Miskin Sulit Akses Pendidikan Berkualitas”, diakses dari
https://mediaindonesia.com/read/detail/104083-masyarakat-miskin-sulit-akses-pendidikan-
berkualitas, pada tanggal 01 desember 2019.

10
Kemudian masalah yang terakhir yaitu berkaitan dengan regulasi yang
membengkak di dunia pendidikan, indonesia memang terkenal dengan
regulasinya yang begitu rumit dan tidak efisien dalam waktu dan prosedur yang
terkadang hal tersebut membuat kinerja suatu lembaga yang salah satunya
pendidikan menjadi tidak efektif dan efisien.

Disisi lain pendidikan adalah lembaga yang perlu setiap waktu untuk mengikuti
perkembangan zaman yang ada, dengan adanya regulasi/peraturan yang terlalu
banyak maka hal ini dapat memperlambat proses kerja lembaga pendidikan dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan serta mensejahterakan
peradaban umat manusia seperti tertera pada pasal 31 ayat 3 dan 5.

Banyaknya persoalan pendidikan yang masih dialami di Indonesia ini juga


dibeberkan oleh konselor pendidikan Itje Chodijah dalam diskusi publik
menyambut hari Pendidikan Nasional. Menurutnya, salah satunya adalah rumitnya
peraturan administrasi untuk guru memperoleh karir sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Hal tersebut mengakibatkan rendahnya motivasi guru untuk meningkatkan
kualitas mengajar dan hanya mengejar karir sebagai PNS.5

“Motivasi administratif yang sangat sederhana cuma pengin jadi PNS. Saya malah
suka bilang, 'apa, sih, masalahnya? Kalau mau jadi guru jadi guru saja. Jangan
kejar-kejaran hanya untuk jadi PNS, hanya untuk dapat pensiun.' Memang ada,
sih, yang ingin jadi PNS dan memang berkualitas.

Ketika masuk [menjadi PNS], dia [mengajar dengan] bagus, tapi berapa
jumlahnya? Sedikit sekali yang seperti itu. Dan ini faktor utama, kegagalan
pendidikan kita ada di gurunya,” ungkap dia kepada Tirto.6

5
Yulaika Ramadhani, “ Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita”, diakses dari
https://tirto.id/yang-meresahkan-dari-sistem-sekolah-kita-cnSE, pada tanggal 02 desember 2019
6
Yulaika Ramadhani, “ Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita”, diakses dari
https://tirto.id/yang-meresahkan-dari-sistem-sekolah-kita-cnSE, pada tanggal 02 desember 2019

11
B. Pengaruh anggaran/dana pendidikan terhadap pengembangan SDM di
Indonesia serta korelasi antara anggaran pendidikan dan kualitas
pendidikan.

Anggaran pendidikan yang baik merupakan salah satu variabel untuk menentukan
apakah suatu negara benar-benar serius dalam memajukan sdmnya. Sebagaimana
tertuang di dalam pasal 31 ayat 4, dikatakan bahwa anggara pendidikan di
indonesia ialah sebesar 20% dari jumlah total APBN negara kita. Hal ini
menunjukkan bahwa langkah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mensejahterakan rakyat merupakan suatu tujuan yang secara eksplisit tercantum
didalam dasar konstitusi negara kita.

Anggaran pendidikan merupakan investasi yang harus secara berkala di lakukan


oleh pemerintah sehingga tingkat sdmnya akan terus dapat diperbaharui menjadi
lebih baik lagi kedepannya, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang belum
secara optimal mendapatkan dukungan biaya dari pemerintah, anggaran
pendidikan hendaknya juga memperhatikan prinsip keadilan, jangan sampai hanya
karena ingin membangun kualitas masyarakat di perkotaan sehingga mengabaikan
kondisi masyarakat di pedesaan.

Masalah akses yang sulit dan infrastruktur yang belum merata pula menjadi
persoalan dalam dunia pendidikan kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2018, makin tinggi jenjang pendidikan, makin besar angka putus
sekolah. Penduduk di perdesaan sebagian besar hanya tamatan Sekolah Dasar
dengan persentase sebanyak 32,48%, sedangkan sebagian besar penduduk
perkotaan telah mampu menyelesaikan pendidikannya hingga tamat Sekolah
Menengah dengan persentase sebanyak 33,67 %7

Hal ini menunjukkan faktor ekonomi dan akses ke pendidikan masyarakat


pedesaan masih menjadi alasan mengapa mereka tidak melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi.

7
Tiara Hardiyanti, “Infrastruktur Pendidikan Belum Merata” , diakses dari
https://www.qureta.com/post/infrastruktur-pendidikan-belum-merata, pada tanggal 03
desember 2019

12
Kemudian infrastruktur yang belum memadai dan sesuai dengan standar
pendidikan modern masih menjadi polemik yang berkepanjangan, Menurut Badan
Pusat Statistik (BSP) tahun 2018, masih banyak ruang kelas dengan kondisi rusak,
baik rusak ringan maupun rusak berat.

Persentase ruang kelas yang rusak ringan dan rusak berat masih mencapai di atas
50%. Ruang kelas dengan kondisi rusak tertinggi adalah jenjang SD. Maka dari
itu pemerintah seharusnya melakukan evaluasi ulang dan monitoring terhadap
anggaran pendidikan yang disalurkan, apakah sudah tepat? Apakah seluruh
sekolah sudah mendapatkan anggaran yang sesuai kebutuhan mereka? 8

Selain itu, cara lain untuk mengukur kondisi pendidikan di indonesia adalah
dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia. “Indeks Pembangunan Manusia
atau di singkat dengan IPM merupakan suatu ukuran kondisi sumber daya
manusia pada suatu negara. IPM dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu pendidikan,
ekonomi dan kesehatan.

Anggaran pendidikan yang besar jika dikelola dengan baik dan dialokasikan
secara tepat diharapkan mampu meningkatkan tingkat melek huruf dan tingkat
lama sekolah sehingga pada gilirannya akan meningkatkan IPM. Data BPS
menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) di setiap kategori sejak
tahun 1994 sampai 2011 mengalami peningkatan, demikian pula halnya dengan
angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang juga mengalami peningkatan
dalam kurun waktu yang sama.

Walaupun angka IPM Indonesia meningkat secara nominal tetapi dari sisi
peringkat Indonesia memburuk. Pada tahun 2010 Indonesia tercatat menduduki
peringkat 108 tetapi tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat 124 dan pada
tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke 121. Ini merupakan indikasi bahwa
pengeluaran negara untuk pendidikan belum mampu secara maksimal
mendongkrak IPM. Dari segi teori ekonomi pendidikan, khususnya pendekatan

8
Tiara Hardiyanti, “Infrastruktur Pendidikan Belum Merata” , diakses dari
https://www.qureta.com/post/infrastruktur-pendidikan-belum-merata, pada tanggal 03
desember 2019

13
human capital, aspek pembiayaan dipandang sebagai bagian dari investasi
pendidikan yang menentukan taraf produktivitas individu maupun kelompok.

Pada gilirannya taraf produktivitas ini mempengaruhi taraf pendapatan(earning)


seseorang atau kelompok yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kecepatan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.9”

Oleh karena itulah, anggaran pendidikan yang tepat dalam rangka membangun
manusia indonesia yang lebih berkualitas kedepannya harus lebih lagi
diperhatikan, pemerintah harus melakukan monitoring ketat mengenai efisiensi
penyaluran anggaran pendidikan, bagaimana cara kerja bawahannya, dan apakah
anggaran pendidikan sudah tepat sasaran? Semua pertimbangan yang matang
harus dilakukan dalam rangka untuk mencegah hal-hal yang tidak di inginkan,
jangan sampai dana yang sudah dikeluarkan selama bertahun-tahun menjadi tidak
ada dampaknya sama sekali.

Yang dipermasalhkan hari-hari ini ialah mengenai penyaluran dan penggunaan


anggaran itu, karena memang masih menjadi masalah tersendiri dan kita tidak
boleh diam saja dalam menyikapi persoalan tersebut. Karena itulah lebih lanjut
akan dibahas mengenai pertentangan mengenai dua pasal yang bisa menimbulkan
ketidakpastian jumlah anggaran pendidikan.

D. Pertentangan antara pasal 31 AYAT 4 UUD 1945 dan pasal 49 AYAT 3


DAN 4 UU SISDIKNAS.

Sepertinya pertentangan antara kedua aturan tersebut tidak jelas titik terangnya
dimana, padahal masalah peraturan yang bertentangan dan tidak memiliki
kepastian hukum serta penafsiran yang jelas ini tentunya bisa menjadikan
pemerintah sewenang-wenang dalam mengalokasikan anggaran pendidikan yang
tepat tiap tahunnya.

Pada pasal 31 ayat 4 menyebutkan bahwa anggaran pendidikan diprioritaskan


sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD yang ada, artinya anggaran

9
“Analisis Pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia”
diakses dari, https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/71404, pada tanggal 03 desember
2019

14
pendidikan yang mesti di salurkan harus diprioritaskan minimal 20% dalam
rangka memenuhi kebutuhan pendidikan kita dan tidak boleh kurang dari itu.
Sedangkan Pasal 49 ayat 3 dan 4 UU Sisdikas menyebutkan bahwa anggaran
pendidikan yang diberikan pemerintah yaitu anggarannya dalam bentuk hibah.

Yang menjadi permasalahannya adalah mengapa UU Sisdiknas menggunakan


kata hibah dalam penyaluran anggaran pendidikan. Kita tahu bahwa
mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana
tertulis jelas didalam pembukaan UUD 1945, penggunaan kata hibah ini seolah-
olah menunjukkan bahwa pemerintah memberi anggaran pendidikan tersebut
secara sukarela/subjektivitasnya saja dan tidak atas dasar kewajibannya sebagai
pemerintah yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Padahal mencerdaskan kehidupan bangsa melalui instansi pendidikan itu bukanlah
hal yang sukarela saja, melainkan pemerintah berkewajiban dan harus memenuhi
amanat konstitusi dasar yang ada.

Penafsiran itu dapat menjadi tumpang tindih, apalagi di satu sisi masyarakat
indonesia sering mengait-ngaitkan bahwa hibah adalah pemberian secara sukarela,
pemberian tanpa paksaan, pemberian atas kemauan sendiri, ataupun pemberian
tanpa menuntut balas jasa. Jika pemerintah memberikan anggaran pendidikan
dalam bentuk dana hibah/sukarela, berarti bisa saja suatu saat pemerintah tidak
memberikan anggaran pendidikan itu sesuai dengan yang ditentukan, bukankah
bentuknya sukarela atau tanpa paksaan?

Oleh karena itu, kata “hibah” yang dikaitkan dengan tugas penting untuk
memajukan peradaban dan manusia indonesia melalui pendidikan seharusnya
tidak perlu di gunakan, karena penafsiran itu bisa bermacam-macam, bisa jadi
penafsiran dilakukan secara historis, ataupun tekstual, dan masih banyak lagi.
Sehingga keambiguitasnya akan semakin tinggi jika ditafsirkan dengan cara
pandang yang berbeda-beda.

15
D. Peran Guru dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia, beserta
penyaluran anggaran pendidikan yang mungkin tepat untuk di lakukan
kedepan.

Guru merupakan faktor terpenting dalam mendidik generasi muda dalam


menghadapi tantangan-tantangan yang ada di masa depan dan masa sekarang,
guru yang hebat bukan sekadar guru yang menjelaskan materi pelajaran di dalam
kelas, walaupun kemampuan komunikasi yang baik dan psikologis yang mumpuni
perlu di miliki oleh seorang guru. Tentunya ada satu hal yang terpenting, yaitu
bagaimana seorang guru dapat bertindak sebagai teladan bagi generasi muda, dan
bagaimana seorang guru dapat membuat murid-muridnya terinspirasi untuk
belajar.

Karena jika murid-murid sudah merasa terinspirasi untuk belajar, maka guru tidak
perlu lagi menyuruh mereka untuk belajar, murid-murid sendiri yang akan
mencari tahu tentang-tentang seluk beluk ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mereka pelajari. Disisi lain, guru tidak bisa berdiri sendiri sebagai tenaga
pendidik, dalam arti bahwa guru perlu dukungan dari pemerintah dalam hal
investasi pada kualitas guru itu sendiri.

Kemudian dalam dunia pendidikan, antara guru, murid, dan orang tua mesti
adanya koordinasi satu sama lain terkait apakah murid memiliki masalah, seperti
apakah bakat alami murid tersebut, dan lain-lain. Sehingga terjadi keselarasan
antara ketiga pihak yang bersangkutan, karena pendidikan juga merupakan soal
kebebasan, kebebasan berpikir, mengemukakan pendapat, berkarya, mengkritik,
dan lain sebagainya.

Berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report


2016, pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara
berkembang dan kualitas guru menempati ukuran ke-14 dari 14 negara
berkembang di dunia. Jumlah guru mengalami peningkatan sebanyak 382% dari

16
1999/2000 menjadi sebanyak 3 juta orang lebih, sedangkan peningkatan jumlah
peserta didik hanya 17%. 10

Dari 3.9 juta guru yang ada, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi
syarat kualifikasi akademik dan 52% di antaranya belum memiliki sertifikat
profesi. Dengan jumlah guru yang banyak, diharapkan kegiatan belajar yang
optimal dapat tercapai. Sayangnya, meningkatnya kuantitas guru tidak sejalan
dengan kualitasnya.

Sampai saat ini, belum semua guru di sekolah mengajar mata pelajaran yang
sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Menurut Direktur Pembinaan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
R. Ella Yulaewati Rumindasari, menyatakan bahwa dari 600 ribu guru PAUD,
baru 30% di antaranya yang sudah lulus S1, itu pun tidak semuanya menyandang
sarjana Pendidikan Anak Usia Dini. Oleh karena itu, direncanakan pembentukan
program melalui diklat berjenjang dan kursus untuk 250 ribu guru lulusan SMA.
Dibuat berdasarkan Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (KKNI) peringkat tiga
atau setara D2.11

Padahal jika kita bandingkan, contohnya saja seperti negara finlandia yang
mewajibkan guru-guru disana untuk menempuh hingga jenjang S2, walaupun jika
harus mengajar sebagai guru sekolah dasar. Karena mereka sadar jika guru
memiliki kompetensi yang tinggi maka kemungkinan besarnya pendidikan yang
diselenggarakan akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

Tidak hanya itu, di finlandia guru-guru diperlakukan dengan hormat dan sangat di
hargai oleh pihak pemerintah disana, karena itu merupakan fondasi dasar untuk
kemajuan suatu negara.

10
Aisya Maura, “Fakta Kualitas Guru di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui”, diakses dari
https://blog.ruangguru.com/fakta-kualitas-guru-di-indonesia-yang-perlu-anda-ketahui, pada
tanggal 04 desember 2019
11
Aisya Maura, “Fakta Kualitas Guru di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui”, diakses dari
https://blog.ruangguru.com/fakta-kualitas-guru-di-indonesia-yang-perlu-anda-ketahui, pada
tanggal 04 desember 2019

17
Jika dibandingkan dengan indonesia, guru-guru kurang di tingkatkan kualitasnya
oleh pemerintah, diberikan regulasi-regulasi yang kurang penting sehingga waktu
yang seharusnya digunakan untuk guru mengajar ataupun berdiskusi dengan
murid-murid malah terbuang untuk urusan administrasi, tidak hanya itu,
kurikulum yang selalu berubah-ubah tanpa pertimbangan yang matang dapat
menjadi penghambat dalam kemajuan pendidikan.

Karena itu pemerintah perlu untuk meningkatkan kinerja guru dan kualitas guru
melalui anggaran pendidikan.

“Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi anggaran pendidikan dalam


lima tahun terakhir terus meningkat. Pada 2015, pemerintah mengalokasikan
anggaran pendidikan Rp390,3 triliun atau 21,56 persen dari realisasi APBN 2015
sebesar Rp1.810 triliun. Namun, anggaran ini turun di tahun 2016 meski belanja
pemerintah terus menanjak. Hasilnya, dengan angka Rp370,8 triliun, anggaran
pendidikan pas menyentuh 20 persen dari be;anja pemerintah kala itu Rp1.859,46
triliun.

Setelah itu, anggaran pendidikan kembali naik ke angka Rp406 triliun atau 20,28
persen dari total belanja pemerintah 2017 sebesar Rp2.001,6 triliun. Sementara di
tahun lalu, anggaran pendidikan sebesar Rp435 triliun mengambil porsi 19,75
persen dari total realisasi belanja Rp2.202,2 triliun.Sementara itu, dalam APBN
2019, pemerintah menganggarkan belanja pendidikan sebesar Rp492,5 triliun atau
20,01 persen dari total belanja negara sebesar Rp2.461,1 triliun.”12

Namun, anggaran yang besar saja tidak cukup untuk menjadikan pendidikan
indonesia maju. Hal ini pulalah yang menjadi hal yang patut kita beri perhatian
lebih, tanpa penyaluran anggaran yang baik maka semua anggaran ini bisa tak
berarti apa-apa. Bahkan berdasarkan skor “The Program For Internasional Student
Assessment (PISA) yang diterbitkan oleh (OECD), di tahun 2018 indonesia
menempati posisi ke 62, bahkan skor kita kalah jauh dengan negara-negara

12
Andry Novelino, “Dilema Anggaran Jumbo Pendidikan Minim Hasil”, diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190313204741-532-377038/dilema-anggaran-
jumbo-pendidikan-minim-hasil, pada tanggal 05 desember 2019

18
tetangga kita seperti Thailand, Singapura dan Vietnam. Skor PISA mengukur tiga
indikator yakni matematika, ilmu sains dan membaca.

Selain itu, seorang Ekonom Institute for Development of Economics and Finance
(Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan jumlah anggaran bukan
jaminan kualitas pendidikan akan meningkat. Dalam hal ini, ia membandingkan
Indonesia dengan Vietnam, yang sama-sama punya anggaran mandatori
pendidikan sebesar 20 persen dari APBN.”

Bhima berkisah, Vietnam memberlakukan kebijakan itu mulai 2008, atau setahun
lebih awal dibanding Indonesia. Meski begitu, hasilnya cukup berbeda. Di dalam
skor PISA, Vietnam kini menempati posisi 22, sementara Indonesia harus puas
menduduki peringkat 62.

Menurut dia, pengelolaan anggaran yang keliru terletak di peruntukkan belanja.


Saat ini, ia menganggap pemerintah hanya fokus di belanja infrastruktur
pendidikan dan gaji guru. Padahal menurutnya, anggaran pendidikan yang paling
penting harus ditujukan kepada peningkatan kemampuan guru, persebaran guru,
dan optimalisasi kurikulum pendidikan.13

Sudah jelas kiranya, pengelolaan anggaran pendidikan di indonesia memang


lebih terfokus pada belanja infrastruktur, padahal infrastruktur pendidikan
hanyalah hardware daripada pendidikan kita, seharusnya kita lebih terfokus pada
softwarenya seperti kualitas guru dan murid-murid di sekolah. Jangan sampai kita
menilai kemajuan suatu bangsa hanya dari infrastrukturnya saja, contohnya saja
negara jepang sesaat setelah diserang dengan bom atom oleh amerika serikat,
apakah kaisar hirohito mengkhawatirkan soal infrastruktur yang hancur?

Malahan pada saat itu para jenderalnya kebingungan karena mendengar


pernyataan sang kaisar bahwa sang kaisar ingin para jenderalnya untuk
mengumpulkan sisa-sisa guru yang masih ada dan bertahan hidup, karena kaisar
tahu bahwa mereka perlu untuk meningkatkan software dari pendidikan itu
terlebih dahulu.

13
Andry Novelino, “Dilema Anggaran Jumbo Pendidikan Minim Hasil”, diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190313204741-532-377038/dilema-anggaran-
jumbo-pendidikan-minim-hasil, pada tanggal 05 desember 2019

19
Walaupun peran infrastruktur juga perlu untuk diperhatikan, namun jangan
sampai mengabaikan aspek lain yang lebih penting yaitu salah satunya kualitas
dan kompetensi guru yang mengajar.

Kemudian perlu kiranya untuk mensejahterakan guru-guru yang ada, hal ini bukan
tanpa sebab, Jika kita meneliti lebih lanjut, didalam pembukaan UUD 1945
menyebutkan bahwa salah satu kewajiban dan tugas suci negara indonesia adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana guru bisa mencerdaskan para
generasi muda penerus bangsa jika guru tidak merasa sejahtera dan bahagia?

Coba saja kita bandingkan peran guru dan peran anggota dpr, dpr hanya
menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat teknis seperti membentuk atau
merubah ataupun mengesahkan peraturan perundang-undangan yang menjadi
wewenangnya.

Namun diberikan gaji yang begitu tinggi, sedangkan guru dan jajaran staf
pengajar di bidang pendidikan yang melaksanakan tugas yang begitu sulit tidak
terlalu diperhatikan soal kesejahteraannya, padahal UUD 1945 mengamanatkan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya peran guru merupakan peran yang
sangat penting bagi negara indonesia.

Pengelolaan anggaran pendidikan harus benar-benar untuk meningkatkan kualitas


guru, dan dengan begitu maka pemerintah boleh berbangga menunjukkan 20%
anggaran pendidikan adalah benar-benar demi kemajuan masyarakat indonesia.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

Pengelolaan anggaran pendidikan yang baik merupakan salah satu hal yang sangat
penting dalam memajukan pendidikan di indonesia, pemerintah tentunya perlu
melakukan evaluasi secara berkala terhadap kinerja instansi pendidikan, kualitas
guru, dan pengelolaan anggaran pendidikan, jangan sampai anggaran pendidikan
kita tidak jelas arahnya kemana dan anggaran pendidikan itu mestinya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri terutama sekali peningkatan mutu
guru di sekolah-sekolah yang ada diseluruh indonesia.

20
Pendidikan harus menjadi tempat dimana murid dan guru saling bersinergi dan
bekerja sama dalam meningkatkan mutu bersama, meningkatkan kualitas
bersama, dan bersama-sama bahu membahu untuk meningkatkan kemampuan
dalam berpikir kritis.

Karena esensi pendidikan bukan saja tentang etika, namun tentang berpikir secara
terbuka, kritis, dan berpikir secara visioner kedepan, pendidikan perlu menjadi
wadah dimana inovasi-inovasi itu berkembang.

Dan dalam rangka mendorong inovasi-inovasi di dunia pendidikan, regulasi-


regulasi yang terlalu banyak dan yang menghambat kemajuan inovasi seharusnya
tidak dibuat dan digunakan demi kemajuan peradaman umat manusia.

Dan yang terakhir sekali, perlu kita evaluasi peraturan-peraturan yang ada, jangan
sampai kepastian hukum tidak tercapai hanya karena peraturan itu sifatnya bisa
multitafsir seperti yang terjadi pada pasal 49 ayat 3 dan 4 UU SISDIKNAS,
karena dampaknya bisa meluas apabila peraturan-peraturan semacam itu di
biarkan tanpa evaluasi lebih lanjut.

B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat dengan sebaik-baiknya, kami berharap


makalah ini bisa menjadi pencerahan bagi para pembaca bahwa persoalan
pendidikan bukan lagi soal aku dan dia, kita tidak dapat lagi selalu bersikap
egosentris karena ini adalah salah satu kunci utama untuk memajukan peradaban
indonesia agar dapat bertahan menghadapi tantangan-tantangan di masa depan
yang bergerak semakin cepat dewasa ini.

Apabila ada kesalahan dalam penyampaian ataupun hal-hal lain mohon untuk
dimaklumi, karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Karena itulah,
apabila pembaca memiliki saran maupun kritik mohon untuk disampaikan agar
bisa menjadi renungan dan pertimbangan kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Uje Jaelani, “Memutus Banalitas Rasisme dengan Pendidikan Multikultural”,


diakses dari https://www.sulselsatu.com/2019/09/06/opini/opini-memutus-
banalitas-rasisme-dengan-pendidikan-multikultural.html, pada tanggal 01
desember 2019.

Muhammad Shany Kasysyaf, “Wajah Feodalisme Laten di Ruang Akademik”,


diakses dari https://persma.org/2015/12/16/wajah-feodalisme-laten-di-ruang-
akademik/, pada tanggal 01 desember 2019

Richaldo Y Hariandja, “Masyarakat Miskin Sulit Akses Pendidikan Berkualitas”,


diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/104083-masyarakat-miskin-
sulit-akses-pendidikan-berkualitas, pada tanggal 01 desember 2019.

Yulaika Ramadhani, “ Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita”, diakses dari
https://tirto.id/yang-meresahkan-dari-sistem-sekolah-kita-cnSE, pada tanggal 02
desember 2019

Tiara Hardiyanti, “Infrastruktur Pendidikan Belum Merata” , diakses dari


https://www.qureta.com/post/infrastruktur-pendidikan-belum-merata, pada
tanggal 03 desember 2019

“Analisis Pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia


di Indonesia” diakses dari, https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/71404,
pada tanggal 03 desember 2019
Aisya Maura, “Fakta Kualitas Guru di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui”,
diakses dari https://blog.ruangguru.com/fakta-kualitas-guru-di-indonesia-yang-
perlu-anda-ketahui, pada tanggal 04 desember 2019

Andry Novelino, “Dilema Anggaran Jumbo Pendidikan Minim Hasil”, diakses


dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190313204741-532-
377038/dilema-anggaran-jumbo-pendidikan-minim-hasil, pada tanggal 05
desember 2019

22
23

Anda mungkin juga menyukai