Anda di halaman 1dari 93

ACARA 1

GLOBAL MIGRASI, GRAMATUR, DENSITAS


DAN KETAHANAN JATUH

A. Tujuan
Tujuan praktikum Acara I Global Migrasi, Gramatur, Densitas dan
Ketahanan Jatuh adalah:
1. Menentukan global migrasi, gramatur dan densitas kemasan.
2. Menentukan ketahanan jatuh dari kemasan gelas plastik.
B. Tinjauan Pusaka
Pengemasan merupakan faktor yang sangat penting dalam penjualan
produk makanan. Fungsi kemasan adalah mempercantik produk, melindungi
mutu dari bahaya bakteri dan bahan berbahaya lain. Sehingga meningkatkan
mutu dari suatu produk makanan dan minuman. Jenis kemasan yang digunakan
perlu disesuaikan dengan produk makanan atau minuman yang akan dikemas.
Berikut ini beberapa jenis kemasan yang di pasaran yaitu composite chan, toples
PET, botol PET, plastik multilayer OPP, standing up pouch, dan karton
(Yuyun, 2010).
Peran utama kemasan makanan untuk melindungi produk makanan dari
pengaruh luar dan kerusakan serta untuk menginformasikan gizi pada konsumen.
Tujuan kemasan untuk makanan yaitu untuk menghemat biaya yang memenuhi
industri persyaratan dan keinginan konsumen, mempertahankan keamanan
pangan dan meminimalkan dampak lingkungan. Secara sederhana, kemasan
mempertahankan manfaat dari pengolahan makanan setelah proses hingga
selesai, memungkinkan makanan untuk berada dalam perjalanan aman untuk
jarak jauh dari titik asal dan kondisi yang masih baik pada saat konsumsi.
Namun, teknologi kemasan harus menyeimbangkan perlindungan makanan
dengan isu-isu lain, termasuk energi dan bahan biaya, kesadaran sosial dan
lingkungan tinggi, dan peraturan yang ketat pada polusi dan pembuangan
sampah kota (Marsh dan Betty, 2007).

1
Berdasarkan fungsinya pengemasan dibagi menjadi dua, yaitu
pengemasan untuk pengangkutan dan distribusi (shiping / delivery package) dan
pengemasan untuk perdagangan eceran atau supermarket (retail package).
Pemakaian material dan pemilihan rancangan kemasan untuk pengangkutan dan
distribusi akan berbeda dengan kemasan untuk perdagangan eceran. Kemasan
untuk pengangkutan atau distribusi akan mengutamakan material dan rancangan
yang dapat melindungi kerusakan selama pengangkutan dan distribusi,
sedangkan kemasan untuk eceran diutamakan material dan rancangan yang
dapat memikat konsumen untuk membeli (Peleg, 1985).
Kemasan yang baik adalah kemasan yang berbahan inert karena tidak
mengkontaminasi produk makanan dari lingkungan luar, juga menghindari
migrasi zat berbahaya dari kemasan makanan. Bahan yang telah digunakan
dalam kemasan makanan yaitu kaca, logam (aluminium foil, laminasi, timplate,
baja timah bebas), kertas serta plastik. Pemilihan yang tepat bahan kemasan
menjadi peran penting dalam menjaga kualitas produk dan kesegaran selama
distribusi serta penyimpanan (Ramos dkk., 2015).
Pengelompokan dasar dari bahan-bahan pengemas yang digunakan untuk
bahan pangan termasuk logam (seperti lempeng timah, baja bebas timah,
alumunium), gelas, plastik (termasuk beraneka ragam plastik tipis, yang berlapis
laminates dengan plastik lainnya, kertas atau logam), kertas, paperboard, fibre
board, dan lapisan (laminate) dari satu atau lebih bahan-bahan di atas. Fungsi
dari wadah untuk konsumen atau wadah penjualaan yaitu memberikan sejumlah
tertentu barang dalam satu unit, yang akan dibeli oleh konsumen terakhir dari
toko pengecer. Ada tujuh tipe utama wadah bagian luar atau wadah bagian luar
atau wadah pengangkutan yaitu peti-peti, kotak-kotak kayu, baja, drum-drum
baja dan alumunium, drum dari fibre board, peti-peti dari fibre board yang padat
dan bergelombang serta kantung dari tekstil dan karung (Buckle dkk., 1987).
Migrasi merupakan perpindahan yang terdapat dalam kemasan ke dalam
bahan makanan. Migrasi dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu, luas permukaan yang
kontak dengan makanan, kecepatan migrasi, jenis bahan plastik dan suhu serta
lamanya kontak. Ancaman lain kemasan plastik adalah pigmen warna kantong

2
plastik bisa bermigrasi ke makanan. Pada kantong plastik yang berwarna-warni
seringkali tidak diketahui bahan pewarna yang digunakan. Pewarna food grade
untuk kantong plastik yang aman untuk makanan sudah ada tetapi di Indonesia
biasanya produsen menggunakan pewarna nonfood grade. Yang perlu
diwaspadai adalah plastik yang tidak berwarna. Semakin jernih, bening dan
bersih palstik tersebut, semakin sering terdapat kandungan zat kimia yang
berbahaya dan tidak aman bagi kesehatan manusia (Sulchan dan Endang, 2007).
Migrasi bahan kimia merupakan proses difusi dengan hukum kinetik dan
kontrol thermodynamic dan dapat dijelaskan menggunakan matematika diffusi
dari turunan Hukum Fick. Migrasi ini dapat disebutkan sebagai fungsi dari
waktu, suhu, ketebalan bahan, jumlah bahan yang dapat bermigrasi, koefisien
partisi dan distribusi. Migrasi kimia ini termasuk proses diffusi molekuler yang
mengikuti hukum normal fisika. Ada beberapa faktor migrasi kimia yaitu jenis
dan konsentrasi bahan kimia yang ada dalam bahan pengemas. Faktor lainnya
yang penting adalah sifat makanan itu sendiri saat bersentuhan dengan bahan
pengemas, sifat intrinsik dan bahan pengemas juga termasuk faktor yang
penting. Bila bahan tersebut berinteraksi dengan kuat pada makanan, migrasi
dapat terjadi lewat proses leaching. Sebaliknya bahan inert dengan kecepatan
difusi yang rendah memiliki nilai migrasi yang rendah pula. Sangat penting
untuk mengerti faktor yang mengendalikan migrasi kimia, karena dengan
mengerti faktor ini, dapat dilakukan pencegahan atau pembatasan migrasi ke
dalam makanan yang tidak diinginkan (Castle, 2000).
Gramatur kertas didefinisikan sebagai massa lembaran kertas dibagi
luasnya (m2) dinyatakan dalam g/m2. Gramatur kertas mempengaruhi semua
sifat-sifat kertas. Dalam hal ini yang terpenting adalah membedakan antara
variasi yang disebabkan oleh berat atau gramatur dan variasi yang disebabkan
oleh perbedaan yang memang ada pada kertas. Pada pengukuran gramatur kertas
pengaruh yang mungkin disebabkan oleh kadar air sangat kecil karena kertas
telah dikondisikan dengan kelembaban tertentu sehingga kandungan air dalam
kertas homogen (Casey, 1981).

3
Adanya keragaman dalam gramatur mengindikasikan pada fluktuasi
pemakaian bahan baku kertas per satuan luas. Semakin kecil gramatur maka
penggunaan bahan baku semakin sedikit, konsumsi energi untuk pengolahan
kertas lebih rendah, mengurangi polusi pabrik, biaya penanganan bahan dan
produk rendah, efisiensi ruang penyimpanan, memperkecil gulungan atau
potongan yang nantinya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses
pembuatan kertas (karton) secara keseluruhan. Dalam pengukuran gramatur,
pengukuran tebal dilakukan pada beberapa titik yang berbeda dan dilakukan
lebih dari satu kali pengukuran. Hal ini disebabkan karena dalam satu lembar
kertas nilai ketebalannya tidak merata, sehingga dilakukan pengukuran pada
beberapa titik. Sedangkan pengukuran dilakukan lebih dari satu kali (pada kertas
yang berbeda) dimaksudkan untuk mendapatkan nilai atau data yang cukup
valid, karena setiap lembar kertas yang diproduksi memiliki ketebalan yang
berbeda-beda. Ketidakteraturan ketebalan lembaran kertas sangat berhubungan
dengan bahan baku dan proses produksi kertas itu sendiri (Harper, 1985).
Ketahanan jatuh menyatakan ketahanan kemasan untuk tidak rusak
(bocor, pecah, maupun retak) setelah dijatuhkan dari ketinggian minimal 75 cm.
Salah satu syarat kemasan yang digunakan untuk mengemas produk makanan
dan minuman adalah dapat melindungi produk dari kerusakan baik itu kerusakan
kimiawi, biologis, maupun fisik (mekanik). Ketahanan jatuh kemasan gelas
plastik sangat penting diketahui untuk menghindari tingkat kerusakan sehingga
tidak merugikan konsumen maupun produsen (Sugiantoro, 2013).
Plastik adalah bahan kemasan yang kini berkembang pesat, khususnya di
negara berkembang. Keuntungan dari plastik adalah sifatnya yang fleksibel
untuk dibentuk, lebih murah, transparan dan efisien dari sisi bahan baku maupun
transportasi. Dengan semakin majunya teknologi, kemasan plastik sudah
memiliki kekuatan yang lebih besar dan tidak mudah pecah. Ada dua macam
kemasan plastik, yakni kemasan plastik kantong`dan kemasan yang dibentuk
dari bahan plastik. Jenis bahan plastik yang biasanya digunakan untuk kemasan
botol atau gelas sering disebut kemasan PET (Polyethylene terephthalate)
(Syarief dkk., 1998).

4
C. Metodologi
1. Alat
a. Beker glass
b. Jangka sorong
c. Neraca analitik
d. Oven
e. Penangas air
f. Penangas listrik
2. Bahan
a. Air minum kemasan gelas plastik
b. Aquadest
c. Asam asetat 4%
d. Ethanol 70%
e. Kemasan kertas
f. Kemasan plastik

5
3. Cara Kerja
a. Penentuan Global Migrasi Kemasan 24
Kemasan Plastik

Penimbangan 1-2 gr, 3x pengulangan


Etanol 70%, aquades,
asam asetat 4%
(simulan 120 ml) Pemasukan ke 3 baker glass 250 ml

Pemanasan dalam penangas air, 60oC

Pemasukan sampel ke baker glass

Pendiaman selama 30 menit

Pengeluaran sampel

Pemanasan baker glass hingga simulan


menguap

Pengovenan baker glass 100oC

Pendinginan dalam desikator

Penentuan global migrasi

Gambar 1.1 Diagram Alir Penentuan Global


Migrasi

6
b. Penentuan Gramatur dan Densitas Kemasan Karton

Kemasan Kertas

Pemotongan 10x10 cm, sebanyak 3x

Penimbangan

Pengukuran ketebalan pada 5 tempat


berbeda dengan jangka sorong

Penentuan rata-rata ketebalan

Penentuan berat kemasan

Penentuan luas kemasan

Penentuan densitas kemasan

Gambar 1.2 Diagram Alir Penentuan Gramatur


dan Densitas Kemasan Karton

7
c. Penentuan Ketahanan Jatuh Kemasan Gelas Plastik untuk Minuman

16 air minum kemasan

Pengujian 8 buah dengan penjatuhan


dengan ketinggian 75 cm, dari lantai
secara vertikal

Pengamatan kemasan

Penentuan hasil uji, jika 3 rusak dari 8


maka tidak lulus uji, jika 1 atau 2 rusak
dari 8 maka dilakukan pengujian kembali

Pengujian kembali 8 buah lainnya

Pengamatan kemasan

Penentuan hasil uji, jika 3 rusak dari 16


maka tidak lulus uji

Gambar 1.3 Diagram Alir Penentuan Ketahanan


Jatuh Kemasan Gelas Plastik untuk
Minuman

8
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1.1 Hasil Penentuan Global Migrasi Kemasan
Berat Gelas Global
Berat Sampel Berat Akhir
Shift Kel Kemasan Simulan Baker (A) Migrasi
(W) gram (B) gram
gram (ppm)
1,2,3 Permen Aquadest 0,138 104,266 104,270 0,029 x 106
A 4,5 Station Alkohol 70% 0,148 126,562 126,564 0,014 x 106
6,7,8 Rasa Asam asetat 4% 0,133 124,665 124,906 1,812 x 106
1,2,3 Aquadest 0,156 123,027 123,239 1,359 x 106
Permen
B 4,5 Alkohol 70% 0,158 171,980 172,294 1,987 x 106
Ting-ting
6,7,8 Asam asetat 4% 0,160 149,109 149,112 0,019 x 106
1,2,3 Aquadest 0,125 126,516 126,733 1,736 x 106
Permen
Agrofarmaka 4,5 Alkohol 70% 0,136 92,558 92,719 1,183 x 106
Kiss
6,7,8 Asam asetat 4% 0,140 132,652 132,567 -0,607 x 106

9
Menurut Winarno (2008), migrasi adalah perpindahan dari bahan-bahan
yang terdapat dalam kemasan (umumnya material plastik) kedalam bahan makanan.
Bahan-bahan yang berpindah ke dalam bahan makanan tersebut merupakan hasil
dari kontak atau interaksi antara makanan dengan material kemasan. Bahan yang
berpindah itu berupa residu polimer monomer, penstabil, penghalang panas (flame
retardent), pewarna dan lain-lain. Bahan aditif ini terikat secara kimia atau fisika
pada polimer, dalam bentuk asli atau sudah berubah. Proses migrasi senyawa kimia
kebanyakan terjadi selama proses produksi, pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, pemasakan dan ketika dikonsumsi. Global migrasi menyatakan
jumlah senyawa dalam kemasan yang termigrasi (terlarut) dalam produk yang
dikemas. Migrasi biasanya dibedakan atas migrasi global dan migrasi spesifik. Pada
migrasi global terjadi perpindahan semua komponen kemasan ke dalam bahan
makanan, baik yang bersifat toksik maupun tidak.
Menurut Mareta dan Shofia (2011), proses global migrasi terbagi atas 2
jenis, yaitu migrasi secara menyeluruh (global migration) dan migrasi secara
spesifik atau khusus (spesific migration). Migrasi secara menyeluruh (global
migration) terjadi apabila keseluruhan substansi atau komponen yang ada
(komponen toksik dan komponen non toksik) pada bahan kemasan melalui fase
kontak bermigrasi ke dalam makanan atau produk pangan. Sedangkan migrasi
secara spesifik atau khusus (spesific migration) yaitu terjadinya perpindahan
komponen-komponen yang dianggap berpotensi membahayakan kesehatan
manusia ke dalam bahan pangan.
Pengujian global migrasi pada kemasan pangan adalah bertujuan untuk
mengetahui seberapa banyak atau seberapa besar senyawa dalam kemasan yang
termigrasi dalam produk yang dikemas dengan cara mencelupkan kemasan ke
dalam beberapa simulan. Jika semakin besar global migrasi, maka semakin besar
pula senyawa dalam kemasan yang termigrasi ke produk pangan. Sebaliknya,
semakin kecil global migrasi maka semakin kecil pula senyawa dalam kemasan
yang termigrasi ke produk pangan (Rojas dkk., 2001).
Plastik sebagai wadah makanan dan minuman memang sudah biasa
digunakan. Namun sebaiknya kita tidak sembarang memilih plastik sebagai wadah

10
makanan. Jika tidak berhati-hati, jenis material yang digunakan akan berdampak
buruk bagi kesehatan. Plastik terdiri atas berbagai polimer atau monomer-
monomer. Kemasan plastik tersebut terbuat dari beberapa jenis polimer yaitu
polietilen tereftalat (PET), polivinil klorida (PVC), polietilen (PE), polipropilen
(PP), polistirena (PS), polikarbonat (PC) dan melamin. Polistirena merupakan
plastik yang inert sehingga relatif tidak berbahaya bagi kesehatan, yang perlu
diwaspadai adalah kemungkinan terjadinya migrasi dari monomer stirena ke dalam
pangan yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Migrasi dipengaruhi oleh
suhu, lama kontak dan tipe pangan. Semakin tinggi suhu, lama kontak dan kadar
lemak suatu pangan, semakin besar pula migrasinya. Minuman beralkohol atau
bersifat asam juga dapat meningkatkan laju (Tim Publikasi Bersama, 2008).
Simulan yang digunakan pada praktikum global migrasi ada 3 macam yaitu
aquadest, etanol 70% dan asam asetat 4%. Menurut Sukarsono dkk (2008), aquades
merupakan air murni, air PAM merupakan jenis air yang telah mendapat perlakuan
manusia. Aquades merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul H2O. Molekul H2O
ini membentuk struktur molekul berbentuk V dengan sudut 105 derajat. Ikatan kimia yang
terjadi pada air ini merupakan ikatan kovalen antara oksigen dan hidrogen. Elektron pada
molekul air (H2O) tidak terbagi rata, sehingga air tergolong sebagai molekul polar. Pelarut
air ini mampu melarutkan beragam senyawa kimia. Walaupun banyak sekali senyawa yang
dapat larut dalam air, tetapi banyak juga senyawa yang tidak dapat larut dalam air.
Kebanyakan senyawa ini disebut senyawa nonpolar. Contohnya adalah lemak, minyak dan
beragam senyawa organik pada umumnya tidak larut dalam air.
Menurut Rama (2008), etanol adalah senyawa hidrokarbon berupa gugus
hydroksil (-OH) dengan 2 atom karbon (C). Jenis etanol yang banyak digunakan
adalah CH3CH2OH (metil alkohol), C2H5OH (etil alkohol) dan C3H7OH (isopropil
alkohol atau propanol-2). Dalam dunia perdagangan yang disebut etanol adalah
alkohol yang memiliki ciri-ciri molekul berbentuk nonpolar dan semakin tak larut
dalam air maka rantai karbonnya menjadi semakin panjang. Etanol dalam dunia
industri digunakan sebagai pelarut pada obat-obatan dan parfum karena sifatnya
yang relatif tak beracun dan dapat larut pada substansi .
Menurut Nurika dan Nur Hidayat (2001), asam asetat merupakan salah satu
asam karboksilat paling sederhana. Larutan asam asetat dalam air akan menjadi

11
asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-.
Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting.
Asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol.
Asam asetat memiliki konstanta dielektrik yang sedang yaitu 6,2 sehingga bisa
melarutkan senyawa kimia polar dengan baik seperti garam, kimia anorganik dan
gula maupun senyawa nonpolar seperti minyak dan sulfur atau iodin. Asam asetat
bercampur dengan mudah dengan pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air,
kloroform dan heksana. Sifat kelarutan dan kemudahan bercampur dari asam asetat
ini membuatnya digunakan secara luas dalam industri kimia.
Pada praktikum penentuan global migrasi kemasan kembang gula
digunakan tiga sampel kemasan kembang gula yaitu Station rasa, Ting-ting dan
Kiss. Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum ini adalah menimbang
kemasan kembang gula dan gelas beaker, kemudian dipanaskan dalam waterbath
selama 30 menit dengan suhu 60oC bersama simulan. Simulan yang digunakan ada
tiga jenis yaitu aquades, etanol 70% dan asam asetat 4%. Setelah itu kemasan
dipanaskan diatas hotplate dengan suhu 80oC sampai menguap simulannya.
Kemudian dilakukan pengovenan selama 2 jam pada suhu 100oC. Langkah yang
terakhir dilakukan adalah penimbangan dan perhitungan global migrasi.
Pada Tabel 1.1 Penentuan Global Migrasi Kemasan Kembang Gula,
menggunakan sampel kemasan yang berbeda-beda diantaranya kemasan permen
station rasa, permen ting-ting dan permen kiss. Dan dalam pengujian ini
menggunakan stimulan yang berbeda diantaranya aquades, alkohol 70% dan asam
asetat 4%. Hasil yang didapatkan pada shift A setiap kelompok menggunakan
sampel kemasan permen station rasa. Pada kelompok 1, 2 dan 3 menggunakan
stimulan aquades, didapatkan global migrasi sebesar 0,029 x106 ppm. Kelompok 4
dan 5 menggunakan stimulan alkohol 70%, didapatkan global migrasi sebesar
0,014x106 ppm. Kelompok 6, 7 dan 8 menggunakan stimulan asam asetat 4%,
didapatkan global migrasi sebesar 1,812x106 ppm. Dan pengujian selanjutnya pada
shift B setiap kelompok menggunakan sampel kemasan permen ting-ting.
Kelompok 1, 2 dan 3 menggunakan stimulan aquadest, didapatkan global migrasi
sebesar 1,359x106 ppm. Kelompok 4 dan 5 menggunakan stimulan alkohol 70%,

12
didapatkan global migrasi sebesar 1,987x106 ppm. Dan pada kelompok 6, 7 dan 8
menggunakan stimulan asam asetat 4%, didapatkan global migrasi sebesar
0,019x106 ppm. Pada shift Agrofarmaka setiap kelompok menggunakan sampel
kemasan permen kiss. Kelompok 1, 2 dan 3 menggunakan stimulan aquadest,
didapatkan global migrasi sebesar 1,736x106 ppm. Kelompok 4 dan 5
menggunakan stimulan alkohol 70%, didapatkan global migrasi sebesar 1,183x106
ppm. Dan pada kelompok 6, 7 dan 8 mengunakan stimulan asam asetat 4%,
didapatkan hasil global migrasi sebesar -0,607x106 ppm. Menurut Castle (2000),
migrasi dapat meningkat apabila meningkatnya waktu kontak, meningkatnya suhu
kontak, jumlah additif yang lebih banyak dalam bahan kemasan, tingkat kontak,
dan tingkat agresifitas makanan. Migrasi juga dapat berkurang apabila additif pada
bahan kemasan memiliki berat molekul yang besar hanya terjadi kontak tidak
langsung bahan kemasan yang memiliki laju difusi rendah (innert); adanya barrier
yang inert.
Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi adalah luas permukaan yang
berkontak, kecepatan migrasi, jenis bahan plastik temperatur dan waktu kontak.
Selama proses pengemasan dan penyimpanan makanan, kemungkinan terjadi
migrasi bahan plastik pengemas dari bungkusan ke makanan yang dikemas
sehingga formulasi plastik akan terus berkembang. Bahan yang berpindah dapat
berupa residu polimer (monomer), katalis maupun aditive lain seperti filler,
stabilizer, plasticizer dan flalameretardant serta pewarna. Aditive ini pada
umumnya bersifat racun, terikat secara kimia atau fisika pada polimer dalam bentuk
asli atau modifikasi. Perpindahan dan pergerakan molekul-molekul kecil dari
kemasan plastik berlangsung secara difusi. Pergerakan kinetik dari molekul-
molekul kecil seperti halnya monomer sangat tergantung pada keadaan dan
konsentrasi zat-zat termigrasi serta sifat plastiknya (Goulas dkk., 2000).
Menurut BPOM (2005), di Indonesia Pemerintah telah menyusun undang-
undang yang menetapkan standardisasi kemasan baik kemasan produk untuk
makanan dan bukan makanan yang sifatnya berkembang ter-update dan mengikuti
kemajuan teknologi, sehingga pada saat ketentuan hukum ini diterapkan, pengguna
kemasan baik itu produsen (makanan maupun bukan makanan), perusahaan

13
pengemasan maupun masyarakat merasa lebih terjamin dan aman dalam segala
aspek (materi yang diperbolehkan dan tidak, perlindungan, kadaluarsa, biaya, dsb.
Pemerintah telah menetapkan beberapa standar untuk kemasan pangan (Standar
Nasional Indonesia) untuk beberapa materi kemasan seperti logam, gelas dan
plastic. Peraturan yang akan dibuat mengenai Pengemasan Yang Layak Untuk
Produk Makanan mengacu pada peraturan-peraturan yang telah ada diterapkan
sebelumnya yaitu:
1. Undang–Undang No. 7/1996 tentang Pangan (Peraturan pengemasan berkaitan
dengan keamanan pangan dalam rangka melindungi konsumen).
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Menkes/Per/XII/76 tentang Produksi
dan Peredaran Pangan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Kemanan Mutu dan Gizi
Pangan.
Kemasan Produk Pangan selain mengemban fungsi melindungi produk,
juga berfungsi sebagai penyimpan, informasi dan promosi produk serta pelayanan
kepada konsumen. Mutu dan keamanan pangan dalam kemasan sangat tegantung
dari mutu kemasan yang digunakan, baik kemasan primer, sekunder, tersier dan
seterusnya. Sistem standardisasi Produk pangan yang dikembangkan Direktorat
Standardisasi Produk Pangan untuk mengkaji regulasi yang berkaitan dengan
keamanan pangan. Pertimbangan nasional menjadi pertimbangan utama dalam
penyusunan regulasi kemasan produk pangan, sehingga produk pangan Indonesia
dapat bersaing di pasar global. Produsen produk pangan berkewajiban menjaga
mutu dan keamanan produk pangan yang dihasilkan serta melengkapi dan
menyampaikan protokol pengawasan dan pemeriksaan bekaitan dengan
penjaminan tersebut. Kajian keamanan bahan kemasan diwaspadakan menyangkut
penilaian toksikologinya terutama yang bersifat kronis menjadi pertimbangan
utama dalam penyususnan regulasi tentang kemasan produk pangan.

14
Tabel 1.2 Hasil Penentuan Gramatur dan Densitas Kemasan Karton
Berat Rerata Tabel Luas Gramatur Rerata Rerata
Densitas
Kel Sampel Cek Kemasan Kemasan (m2) (g/m2) Gramatur Densitas
(g/m3)
(gram) (m) (g/m2) (g/m3)
1 0,2 5 x 10-4 4 x 10-4 500 1 x 106
1,5 Tango 2 0,2 5 x 10-4 4 x 10-4 500 500 1 x 106 1 x 106
3 0,2 5 x 10-4 4 x 10-4 500 1 x 106
-4
1 0,2 5 x 10 4 x 10-4 500 1 x 106
2,6 Richeese 2 0,2 5 x 10-4 4 x 10-4 500 500 1 x 106 1 x 106
-4
3 0,2 5 x 10 4 x 10-4 500 1 x 106
1 0,2 4,5 x 10-4 4 x 10-4 500 1,1 x 106
-4
3,7 Shapes 2 0,2 4,5 x 10 4 x 10-4 500 500 1,1 x 106 1,1 x 106
3 0,2 4,5 x 10-4 4 x 10-4 500 1,1 x 106
1 0,2 5 x 10-4 4 x 10-4 500 1 x 106
-4
4,8 Fullo 2 0,2 5 x 10 4 x 10-4 500 500 1 x 106 1 x 106
3 0,2 5 x 10-4 4 x 10-4 500 1 x 106

15
Gramatur adalah nilai yang menunjukkan bobot bahan per satuan luas
bahan (g/m2). Naik turunnya nilai gramatur sangat dipengaruhi oleh banyak
sedikitnya buburan serat yang diberikan. Semakin banyak buburan serat yang
diberikan, maka nilai gramatur akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya,
semakin sedikit buburan serat maka nilai gramatur semakin menurun. Nilai ideal
untuk tiap parameternya dengan menetapkan nilai gramatur minimal, ketahanan
tarik maksimal, ketahanan sobek maksimal, ketahanan retak maksimal,
ketebalan maksimal dan kadar air minimal. Karena gramatur selalu dinyatakan
sebagai total berat kertas termasuk kadar air maka pengukuran harus dilakukan
pada kondisi standart (Suprapto, 2010). Sedangkan densitas atau bobot jenis
adalah nilai yang menunjukkan bobot bahan per satuan volume (g/m3). Densitas
diperoleh dengan membagi gramatur contoh bahan dengan tebal bahan. Tebal
bahan diukur menggunakan mikrometer sekrup di lima tempat yang berbeda
pada satu lembar contoh bahan dan diambil nilai rata-ratanya. Penentuan
Gramatur dan Densitas kemasan sangat berguna untuk efisiensi proses
pengemasan. Dengan mengetahui Gramatur dan Densitas kita dapat memilih
kemasan yang paling tepat dan efisien untuk mengemas produk. Pada umumnya
kemasan yang memiliki kemampuan proteksi yang lebih besar terhadap suhu,
gas, cahaya, dan tekanan. (Nurminah, 2002).
Tabel 1.2 menjelaskan tentang penentuan gramatur dan densitas
kemasan karton, kelompok 1 dan 5 menggunakan sampel tanggo dengan
pengulangan 3 kali didapatkan rata-rata gramatur yaitu 500 gr/m2 dan rata-rata
densitas yaitu 1x106 gr/m3. Kelompok 2 dan 6 menggunakan sampel richesee
didapatkan rata-rata gramatur yaitu 500 gr/m2 dan rata-rata densitas yaitu 1x106
gr/m3. Kelompok 3 dan 7 menggunakan sampel shapes dengan rata-rata
gramatur yang didapat adalah 500 gr/m2 dan rata-rata densitas yaitu 1,1x106
gr/m3. Kelompok 4 dan 8 menggunakan kemasan momogi dengan rata-rata
gramatur yaitu 500 gr/m2 dan rata-rata densitas yaitu 1x106 gr/m3. Hasil gramatur
sesuai dengan teori. Menururt SNI 14-0440-2006 Persyaratan nilai numerik
ditentukan dari penyempurnaan, ekstrapolasi dan interpolasi deret dasar Renard
untuk R20. Deret gramatur kertas diatur persyaratannya mulai dari 14,00 g/m2

16
hingga 100,00 g/m2. Sedangkan karbon mulai 112,00 g/m2 hingga 1000 g/m2.
Untuk keperluan pengendalian proses dan mutu bagi produsen diberikan
toleransi batas gramatur minimal dan maksimal dengan toleransi bervariasi di
bawah 28,00 g/m2 sebesar 7 % dan di atas 60,00 g/m2 4 %. Sedangkan menurut
SNI 0123: 2008 persyaratan mutu karton jika dilihat dari segi gramatur senilai
225-500 g/m2 sedangkan untuk densitas nilai minimal 700 kg/m3 dan jika di
konversikan menjadi satuan g/m3 menjadi 7.105 g/m3. Sehingga semua kemasan
yang di uji dalam praktikum dari segi gramatur sudah sesuai dengan SNI, semua
sampel kemasan yang digunakan diantaranya kemasan karton tango, riecheese,
shapes dan fullo memiliki gramatur yang baik. Dari segi densitas dari semua
kemasan sudah sesui dengan SNI, yang paling bagus yaitu kemasan shapes.
Menurut Syarief dkk (1989), kemasan dari suatu produk memegang
peranan yang penting terhadap laris tidaknya produk tersebut di pasaran.
Kemasan merupakan pemberi kesan pertama yang akan dilihat oleh calon
pembeli. Jika salah dalam mendesain, dapat berakibat fatal apalagi jika yang
berkaitan dengan produk makanan atau minuman. Kemasan produk makanan
dan minuman perlu dibuat dengan cermat karena terkait dengan berbagai hal
seperti ketahanan dan higienitas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
mendesain kemasan bahan pangan adalah:
1. Efektivitas
Dalam proses merancang kemasan suatu produk, maka efektivitas
menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Bahan kemasan harus
disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan produk yang akan dikemas. Jangan
sampai kemasan yang digunakan tidak cocok dengan produk yang akan
dikemas karena menyimpang dari karakteristik produk tersebut.
2. Keamanan pangan (food safety).
Faktor keamanan pangan merupakan faktor vital yang harus
diutamakan saat memilih dan menentukan jenis kemasan dan cara
pengemasannya. Hal ini dikarenakan kemasan nonfood grade mengandung
bahan berbaya yang dapat meracuni bahan makanan dan minuman yang
dipasarkan tersebut.Nilai keamanan pangan juga berkaitan dengan faktor

17
kebersihan dan higienitas kemasan. Cara mengemas yang kurang baik juga
dapat menimbulkan kerusakan pada makanan atau minuman yang dikemas.
3. Desain aegonomis
Kemasan yang akan digunakan sebaiknya adalah kemasan yang
mudah dalam segala hal, misalnya mudah dibawa ke mana-mana, mudah
dibuka atau disobek, mudah disimpan, mudah dituang, mudah diambil, tidak
berhamburan dan berbagai kemudahan lain yang tidak membuat repot
konsumen.
4. Mudah dikenali
Kemasan produk pangan harus dirancang dengan begitu baik agar
mudah dikenali dan diingat konsumen. Kemasan yang dibuat harus terlihat
berbeda dari produk lain khususnya untuk jenis produk serupa dari para
kompetitor.
5. Mudah dalam pengangkutan dan pengiriman
Hal lain yang juga wajib diperhitungkan dalam mendesain kemasan
adalah faktor kemudahan dalam pengiriman maupun distribusinya. Jangan
sampai kemasan yang telah memenuhi standar keamanan pangan tetapi sulit
diangkut atau dibawa.
6. Faktor keindahan (artwork)
Bagi industri pangan, sangat penting untuk menampilkan gambar
kemasan yang menggugah selera. Artinya hanya dengan melihat gambar pada
kemasan, orang akan membayangkan kelezatan atau kesegaran produk
tersebut. Dalam hal ini, perpaduan warna, pemilihan logo, huruf, tagline dan
atribut lain sangat berpengaruh pada terciptanya suatu kemasan produk yang
menarik.
7. Faktor informasi dan promosi
Desain kemasan yang baik dapat menjadi media informasi awal
sebelum konsumen menentukan keputusan akan membeli atau tidak.
Informasi yang konsumen dapatkan dari kemasan produk dapat menjadi alat
untuk media promosi yang akan dilakukan oleh para konsumen dari mulut ke
mulut.

18
Tabel 1.3 Penentuan Ketahanan Jatuh Kemasan Gelas Plastik untuk Minuman
Kelompok Merek Percobaan Jumlah Tinggi Keterangan
Rusak (cm)
1,5 Total Pengulangan 1 3 75 Tidak lolos uji
2,6 Vit Pengulangan 1 3 75 Tidak lolos uji
3,7 Dzakya Pengulangan 1 4 75 Tidak lolos uji
4,8 AC Pengulangan 1 4 75 Tidak lolos uji

Pada praktikum selanjutnya adalah Penentuan Ketahanan Jatuh Kemasan


Gelas Plastik untuk Minuman. Menurut Sugiantoro (2013), ketahanan jatuh
menyatakan ketahanan kemasan untuk tidak rusak (bocor, pecah, maupun retak)
setelah dijatuhkan dari ketinggian minimal 75 cm. Salah satu syarat kemasan
yang digunakan untuk mengemas produk makanan dan minuman adalah dapat
melindungi produk dari kerusakan baik itu kerusakan kimiawi, biologis, maupun
fisik (mekanik). Contoh pengujian kemasan terhadap kerusakan fisik yang
mungkin terjadi adalah pengujian Ketahanan Jatuh. Manfaat yang dilakukan
dalam pengujian ketahanan jatuh adalah mengetahui tingkat ketahanan pada
kemasan, mengetahui kualitas kemasan, dan menjaga selama distribusi yag
memungkinkan kemasan mengalami benturan saat distribusi. Jika kemasan tidak
memiliki ketahanan jatuh maka tingkat kerusakan selama distribusi akan sangat
besar dan hal ini akan sangat merugikan pihak produsen maupun konsumen.
Menurut Dharup (2013), mekanisme pengujian ketahanan jatuh ialah
setiap kemasan diperlukan 8 buah gelas air minum kemudian dijatuhkan satu
persatu dari ketinggian 75 cm. Pengamatan hasil jatuh dilakukan secara visual
dengan ada tidaknya kerusakan, apabila akhir pengujian sampel masih bagus
dinyatakan memenuhi syarat lulus uji (layak) namun sebaliknya apabila
pengujian sampel rusak dinyatakan tidak memenuhi syarat lusus uji (tidak
layak). Apabila kerusakan tidak lebih dari 3 kemasan dinyatakan lulus syarat uji
(layak).
Keunggulan kemasan gelas Menurut Koswara (2009), yaitu inert (tidak
bereaksi dengan bahan yang dikemas, tahan asam dan basa, dan tahan
lingkungan); gelas dapat dibuat tembus pandang/transparan atau gelap; selama

19
pemakaian, bentuknya tetap; tidak berbau dan tidak berpengaruh terhadap bahan
yang dikemas (tidak ada migrasi);barrier yang baik terhadap uap air, air dan gas-
gas lain. Sedangkan kelemahan kemasan gelas yaitu, rapuh/ mudah pecah; bobot
besar sehingga biaya distribusi dan transportasi tinggi; perlu bahan pengemas
kedua; membutuhkan banyak energi. Cara mengatasi kelemahan tersebut adalah
dengan membat kemasan dari plastik seperti gelas, yang disebut botol gamma
(kemasan dari plastik tetapi memiliki sifat-sifat yang hampir sama dengan gelas)
(Koswara, 2007).
Faktor yang mempengaruhi kuat tidaknya kemasa air minum diantaranya,
potensi migrasi bahan kimia dari kemasan plastik pada pangan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi jumlah migran dari pengemas ke dalam pangan antara lain
adalah konsentrasi migran; kekuatan ikatan/mobilitas bahan kimia dalam
pengemas tersebut; ketebalan kemasan; sifat alami pangan dalam kaitan kontak
dengan pengemas (kering, berair, berlemak, asam, alkoholik); kelarutan bahan
kimia terhadap pangan; lama dan suhu kontak. Beberapa jenis plastik yang relatif
aman digunakan sebagai kemasan pangan adalah PP, HDPE, LDPE, dan PET.
Jenis kemasan PET (Polythylene terepthalate) merupakan jenis kemasan plastik
yang digunakan dalam pengemas air mineral. Sifat Pet sendiri yaitu jernih dan
transparan, kuat, tahan pelarut, kedap gas dan air, melunak pada suhu 80oC.
Tidak untuk air hangat apalagi panas dan jenis kemasan ini disarankan hanya
untuk satu kali penggunaan. Keamanan kemasan dapat dikenali dari logo atau
tulisan yang tertera, misalnya , tulisan ‘aman untuk makanan’ atau food safe /
for food use / food grade. Logo atau tulisan atau kode plastik tersebut biasanya
dicetak timbul pada benda plastik yang bersangkutan. Secara umum, bila ditinjau
dari sifatnya, sebaiknya kemasan plastik tidak digunakan untuk pangan yang
bersifat asam, mengandung lemak atau minyak, terlebih dalam keadaan panas.
Jika memungkinkan, gunakan alternatif lain sebagai kemasan pangan, misalnya
kaca/gelas (Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008).
Plastik adalah bahan kemasan yang kini berkembang pesat, khususnya di
negara berkembang. Keuntungan dari plastik adalah sifatnya yang fleksibel

20
untuk dibentuk, lebih murah, transparan dan efisien dari sisi bahan baku maupun
transportasi. Dengan semakin majunya teknologi, kemasan plastik sudah
memiliki kekuatan yang lebih besar dan tidak mudah pecah. Ada dua macam
kemasan plastik, yakni kemasan plastik kantong`dan kemasan yang dibentuk
dari bahan plastik. Bentuk apapun seperti botol, gelas ataupun kotak bias
dibentuk dari plastik. Jenis bahan plastik yang biasanya digunakan untuk
kemasan botol atau gelas sering disebut kemasan PET (Polyethylene
terephthalate). Untuk jenis plastik ini disarankan hanya untuk satu kali
penggunaan dan tidak untuk mewadahi pangan dengan suhu ˃60oC. Kemasan
ini dianggap ramah lingkungan karena dapat didaur ulang (Syarief dkk., 1998).
Berdasarkan Tabel 1.3 Penentuan Ketahanan Jatuh Kemasan Gelas
Plastik untuk Minuman digunakan sampel yaitu masing-masing 16 sampel air
minum dalam kemasan merek, Total, Vit, Dzakya dan AC. Pengujian pertama
pada 8 sampel dengan menjatuhkan secara vertikal kemudian sampel tersebut
dijatuhkan dari ketinggian 75 cm diatas permukaan lantai. Jika dari 8 kemasan
air minum tersebut tidak ada yang mengalami kerusakan, maka dianggap
memenuhi persyaratan lulus uji. Apabila terdapat 1 atau 2 kemasan yang rusak
maka dilakukan pengujian ulang. Jika terdapat 3 atau lebih kerusakan maka tidak
dilakukan percobaan ke 2 karena tidak memenuhi syarat lulus uji.
Dari percobaan yang telah dilakukan, pada pengujian yang dilakukan
kelompok 1 dan 5 menggunakan air minum kemasan gelas merek total jumlah
kerusakan 3 dan pengulangan 1 kali, dari hasil menunjukkan kemasan air minum
merek Total tidak lolos uji. Pengujian yang dilakukan kelompok 2 dan 6
mengunakan air minum kemasan Vit, menunjukkan hasil yang sama pada merek
Total. Selanjutnya percobaan dengan menggunakan kemasan air minum merek
Dzakya pada kelompok 3 dan 7 , merek AC kelompok 4 dan 8 menunjukkan
hasil keduanya juga sama tidak lolos uji, karena jumlah kemasan rusak pada saat
percobaan terdapat 4 buah , dari hasil menunjukkan kemasan air minum merek
Dzakya dan AC tidak lolos uji. Dengan penggunaan kemasan air minum yang
berbeda dalam pengujian ketahanan jatuh yang dilakukan ini terhadap beberapa
merek kemasan air akan mempengaruhi hasil akhir yang berbeda-beda. Hal

21
tersebut dipengaruhi oleh faktor bahan kemaan yang digunakan dan kecepatan
ketahanan jatuh. Urutan dari kualitas kemasan air minum dari mulai terbaik
hingga terburuk yaitu tidak ada, karena semua sampel tidak lolos dalam uji.

22
E. Kesimpulan
Dari praktikum Acara I “Global Migrasi, Gramatur, Densitas, dan
Ketahanan Jatuh ” dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Migrasi adalah perpindahan dari bahan-bahan yang terdapat dalam kemasan
(umumnya material plastik) ke dalam bahan makanan.
2. Migrasi dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu, luas permukaan yang kontak dengan
makanan, kecepatan migrasi, jenis bahan plastik dan suhu serta lamanya
kontak.
3. Gramatur adalah satuan ukuran massa lembaran kertas atau lembaran karton
dalam gram dibagi dengan satuan luasnya dalam meter persegi, diukur pada
kondisi standar.
4. Densitas atau bobot jenis adalah nilai yang menunjukkan bobot bahan per
satuan volume (g/m3).
5. Nilai global migrasi terbesar terdapat pada pengemas plastik bungkus permen
dengan simulan aquadest yaitu sebesar 1,736x106 ppm pada kemasan permen
kiss.
6. Nilai global migrasi terkecil terdapat pada pengemas plastik bungkus permen
dengan simulan aquadest yaitu sebesar 0,029x106 ppm pada kemasan permen
kiss.
7. Nilai gramatur pada kemasan karton sampel tanggo, richeese, shapes dan
fullo sebesar 500 (g/m3).
8. Nilai rata-rata densitas terbesar pada kemasan karton shapes yaitu 1,1x106
(g/m3).
9. Nilai rata-rata densitas terkecil pada kemasan karton tanggo, richeese dan
fullo yaitu 1x106 (g/m3).
10. Ketahanan jatuh air minum kemasan gelas merek total, vit, dzakiya dan AC
tidak lolos uji.

23
DAFTAR PUSTAKA

BPOM, 2005. Berita Pengemasan Edisi 13 April-Mei 2005. Federasi Pengemas


Indonesi: Jakarta.
Buckle, K. A., R. A. Edwards., G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan.
UI-Press: Jakarta.
Casey, J. P. 1961. Pulp and Paper Vol 2 Second Ed. International Publisher Inc:
New York.
Castle, L. 2000. An Introduction to Chemical Migration from Food Contact
Materials. DEFRA Central Science Laboratory: New York.
Dhurup, Maniali. 2013. The Impact Of Packaging On Costumers Buying
Behaviour. Vol. 12, No. 3.
Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan
Makanan RI. 2008. Kemasan Pangan.
Goulas, A. E., Anifantaki. K. I., Kolioulis D. G dan Kontominas M. G. 2000.
Migration of di-(2-ethylhexylexyl )Adipate Plasticizer from FoodGrade
Polyvinyl Chloride Film into Hard and Soft Cheeses. Laboratory of Food
Chemistry and Technology,Departement of Chemistry, University of
Ioannina. Ioannina.
Mareta, D.T. dan Sofia N. A. 2011. Pengemasan Produk Sayuran dengan Bahan
Kemas Plastik pada Penyimpanan Suhu Ruang dan Suhu Dingin. Jurnal
Ilmu-ilmu Pertanian, 7 (1) : 26-40.
Marsh, Kenneth and Betty Bugusu. 2007. Food Packaging Roles, Material, and
Environmental Issues. Jurnal of Food Science. Vol. 72, No. 3.
Nurika, Irnia dan Nur Hidayat. 2001. Pembuatan Asam Asetat dari Air Kelapa
Secara Fermentasi Kontinyu Menggunakan Kolom Bio-Oksidasi (Kajian
Dari Tinggi Partikel Dalam Kolom Dan Kecepatan Aerasi). Jurnal
Teknologi Pertanian Vol. 2, No. 1, Hal: 51-57.
Nurminah, M, 2002. Penelitian Sifat Berbagai Bahan Kemasan Plastik dan Kertas
Serta Pengaruhnya Terhadap Bahan yang dikemas. USU digital library:
Medan.
Peleg, K. 1985. Produce Handling Packaging and Distribution. The AVI
Publishing. Co. Inc. Westport. Connecticut.
Rama, P. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Penerbit Agro
Media. Jakarta.
Ramos, Marina., Arantzazu Valdes., Ana Cristina Mellinas dan María Carmen
Garrigos. 2015. New Trends in Beverage Packaging Systems. A Review
J. Beverages. Vol. 1, Hal: 248-272.

24
Rojas C de Gante, G. Lopez, A. Lopez. 2001. Studi migrasi tentang coextruded
material kemasan makanan dengan menggunakan simulat makanan
berlemak: Iso-octane dan Ethanol. Centro d Biotecnologia, Instituto
Tecnologico de Estudios Superiores de Monterrey-Campus Monterrey.
Standar Naional Indonesia. 2006. Persyaratan Nilai Numerik. No. 14-0440-2006.
Standar Nasional Indonesia. 2008. Persyaratan Mutu Karton. No. 0123-2008.
Sugiantoro, Sugik. 2013. Lembar Abstrak. Jurnal Kimia dan Kemasan Vol. 35,
No.2.
Sukarsono, Kristantyo., Indras Marhaendrajaya. K dan Sofian Firdausi. 2008. Studi
Efek Kerr Untuk Pengujian Tingkat Kemurnian Aquades, Air Pam Dan
Air Sumur. Berkala Fisika Vol. 11, No. 1, Hal: 9-18.
Sulchan, Mohammad dan Endang Nur W. 2007. Keamanan Pangan Kemasan
Plastik dan Styrofoam. Maj Kedokt Indon, Vol. 57, No. 2.
Suprapto. 2010. Statistika. Erlangga: Jakarta.
Syarief, R., S.Santausa, St.Ismayana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Tim Publikasi Bersama.Himpunan Polimer Indonesia, Inaplas, Federasi Pengemas
Indonesia. Produk Plastik yang Aman Digunakan. 2006.
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi: Edisi Terbaru. Jakarta. Gramedia:
Pustaka Utama.
Yuyun, A. 2010. 38 Inspirasi Usaha Makanan dan Minuman untuk Home Industri.
AgroMedia Pustaka: Jakarta.

25
LAMPIRAN

A. Perhitungan
1. Global Migrasi Kemasan
Rumus Umum:
𝐵 −𝐴
Global migrasi = × 106
𝑊

a. Global migrasi Shift A


1. Dengan simulan aquades
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊
104,270 − 104,266
= × 106
0,138
= 0,029 × 106 ppm
2. Dengan simulan alkohol 70%
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊

126,564 − 126,562
= × 106
0,148
= 0,014 × 106 ppm
3. Dengan simulan asam asetat 4%
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊

124,906 − 124,665
= × 106
0,133
= 1,812 × 106 ppm
b. Global migrasi Shift B
1. Dengan simulan aquades
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊
123,239 − 123,037
= × 106
0,156
= 1,359 × 106 ppm

26
2. Dengan simulan alkohol 70%
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊
172,294 − 171,980
= × 106
0,158
= 1,987 × 106 ppm
3. Dengan simulan asam asetat 4%
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊
149,112 − 149,109
= × 106
0,160
= 0,019 × 106 ppm
c. Global migrasi Shift Agrofarmaka
1. Dengan simulan aquades
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊

126,733 − 126,516
= × 106
0,125
= 1,736 × 106 ppm
2. Dengan simulan alkohol 70%
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊

92,558 − 92,719
= × 106
0,136
= 1,183 × 106 ppm
3. Dengan simulan asam asetat 4%
𝐵 −𝐴
𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑠𝑖 = × 106
𝑊

132,567 − 132,652
= × 106
0,140
= −0,607 × 106 ppm

27
2. Densitas dan Gramatur Kemasan Karton
Rumus umum:
𝑔𝑟 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑠𝑎𝑛
a. 𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 ( ⁄𝑚2 ) = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑠𝑎𝑛
𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 1+𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 2+𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 3
b. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 = 3
𝑔𝑟 𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟
c. 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 ( ⁄𝑚3 ) = 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑠𝑎𝑛
𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 1+𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 2+𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 3
d. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 3

1. Kemasan Tango (Kelompok 1 dan 5)


0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
a. 𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 1 = = 500 ⁄𝑚2
4 × 10−4 𝑚2

0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 2 = −4 2
= 500 ⁄𝑚2
4 × 10 𝑚
0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 3 = −4 2
= 500 ⁄𝑚2
4 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500+500+500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
b. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 = = 500 ⁄𝑚2
3
𝑔𝑟
500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
c. 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 1 = −4
= 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 2 = −4
= 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500 ⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 3 = = 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10−4 𝑚
1 ×106 + 1 ×106 + 1 ×106
d. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 3
𝑔𝑟
= 1 × 106 ( ⁄𝑚3 )

2. Kemasan Nabati (Kelompok 2 dan 6)


0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
a. 𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 1 = = 500 ⁄𝑚2
4 × 10−4 𝑚2

0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 2 = = 500 ⁄𝑚2
4 × 10−4 𝑚2
0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 3 = −4 2
= 500 ⁄𝑚2
4 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500+500+500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
b. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 = = 500 ⁄𝑚2
3

28
𝑔𝑟
500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
c. 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 1 = = 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10−4 𝑚
𝑔𝑟
500 ⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 2 = −4
= 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500 ⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 3 = = 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10−4 𝑚
1 ×106 + 1 ×106 + 1 ×106
d. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 3
𝑔𝑟
= 1 × 106 ( ⁄𝑚3 )

3. Kemasan Shapes (Kelompok 3 dan 7)


0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
a. 𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 1 = = 500 ⁄𝑚2
4 × 10−4 𝑚2

0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 2 = = 500 ⁄𝑚2
4 × 10−4 𝑚2
0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 3 = −4 2
= 500 ⁄𝑚2
4 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500+500+500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
b. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 = = 500 ⁄𝑚2
3
𝑔𝑟
500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
c. 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 1 = = 1,1 × 106 ⁄𝑚3
4,5 × 10−4 𝑚
𝑔𝑟
500 ⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 1 = −4
= 1,1 × 106 ⁄𝑚3
4,5 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500 ⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 1 = = 1,1 × 106 ⁄𝑚3
4,5 × 10−4 𝑚
1,1 ×106 + 1,1 ×106 + 1,1 ×106
d. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 3
𝑔𝑟
= 1,1 × 106 ( ⁄𝑚3 )

4. Kemasan Fullo (Kelompok 4 dan 8)


0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
a. 𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 1 = = 500 ⁄𝑚2
4 × 10−4 𝑚2

0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 2 = −4 2
= 500 ⁄𝑚2
4 × 10 𝑚
0,2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑔𝑟
𝐺𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 3 = = 500 ⁄𝑚2
4 × 10−4 𝑚2
𝑔𝑟
500+500+500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
b. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑔𝑟𝑎𝑚𝑎𝑡𝑢𝑟 = = 500 ⁄𝑚2
3

29
𝑔𝑟
500 ⁄ 2 𝑔𝑟
𝑚
c. 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 1 = = 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10−4 𝑚
𝑔𝑟
500 ⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 2 = −4
= 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10 𝑚
𝑔𝑟
500 ⁄𝑚2 𝑔𝑟
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 3 = = 1 × 106 ⁄𝑚3
5 × 10−4 𝑚
1 ×106 + 1 ×106 + 1 ×106
d. 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 3
𝑔𝑟
= 1 × 106 ( ⁄𝑚3 )

30
B. Foto

1. Global Migrasi Kemasan plastik

Gambar 1.4 Pendinginan Gelas Beker


Gelas Beker ke Desikator

Gambar 1.5 Penimbangan

Gambar 1.6 Penimbangan Kemasan

31
2. Gramatur dan Densitas Kemasan Kertas

Gambar 1.7 Pemotongan 2x2 cm

Gambar 1.8 Penimbangan Kemasan


Sebanyak 3 Kali Ulangan

Gamber 1.9 Pengukuran Ketebalan Kemasan

32
3. Ketahanan Jatuh Kemasan Gelas Plastik untuk Minuman

Gambar 1.10 Sampel Kemasan Gelas Plastik

Gambar 1.11 Penjatuhan Sampel secara Vertikal

Gambar 1.12 Penjatuhan secara Horizontal

33
ACARA II
BIODEGRADABLE FILM

A. Tujuan
Tujuan praktikum Acara II “Biodegradable Film” adalah membuat
Biodegradable film dari berbagai jenis polimer.

B. Tinjauan Pustaka
Saat ini, pemanfaatan plastik meningkat dengan cepat. Hal ini karena
plastik dapat digunakan di banyak aplikasi seperti kemasan yang kebutuhannya
dalam jumlah yang besar seperti plastik konvensional dan kelebihan kemasan
plastik antara lain adalah karena mereka sangat baik dari segi umur, memiliki
waktu yang lama. Plastik biodegradable menawarkan satu-satunya produk yang
alami. Di antara semua biopolimer, pati menjadi bahan yang potensial untuk
biodegradable film. Pati terdiri dari dua jenis polisakarida, yaitu amilosa dan
amilopektin. Amilosa adalah molekul linear dengan beberapa cabang. Kadar
amilosa memberikan kontribusi untuk kekuatan film. sedangkan amilopektin
adalah molekul linear yang bercabang dan struktur bercabang dari amilopektin
pada umumnya mengarah ke pengemas film dengan sifat mekanik yang rendah
(Ezeoha dan Ezenwanne, 2013).
Biodegradable film adalah polimer dari hasil pertanian yang digunakan
sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetis
(plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam
bentuk tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah
polipeptida (protein), polisakarida (karbohidrat) dan lipida. Ketiganya
mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau
dicetak sebagai film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian adalah
bahannya yang berasal dari sumber yang terbarukan (renewable) dan dapat
dihancurkan secara alami (biodegradable) (Agustina, 2013).
Pengemasan dengan edible coating atau film merupakan salah satu teknik
pengawetan pangan yang relatif baru. Penelitian tentang pelapisan produk

34
pangan dengan edible coating atau film telah banyak dilakukan dan terbukti
dapat memperpanjang masa simpan dan memperbaiki kualitas produk pangan.
Materi polimer untuk edible coating atau film yang paling aman, potensial dan
sudah banyak diteliti adalah yang berbasis pati-patian. Pati merupakan salah satu
jenis polisakarida dari tanaman yang tersedia melimpah di alam, bersifat mudah
terurai (biodegradable), mudah diperoleh serta murah. Penggunaan pengemas
edible berbasis pati dengan penambahan bahan antimikroba merupakan
alternatif yang baik untuk meningkatkan daya tahan dan kualitas bahan selama
penyimpanan (Widaningrum, 2012).
Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan
edible (edible packaging). Edible packaging merupakan teknologi kemasan
makanan berupa film tipis yang digunakan untuk coating makanan atau sebagai
lapisan yang berada di antara produk makanan untuk menghalangi transfer
massa yang dapat menghilangkan kualitas makanan. Pada dasarnya kemasan ini
terbagi menjadi beberapa tipe bentuk dan aplikasi untuk makanan, yaitu edible
coating dan edible film (Balasubraniman, 1997).
Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi
makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi
sebagai penahan terhadap transfer massa seperti kadar air, oksigen, lemak, dan
cahaya atau berfungsi sebagai pembawa bahan tambahan pangan. Edible film
dapat dibuat dari berbagai bahan baku yang memiliki komposisi pati yang cukup
tinggi. Keuntungan dari edible film adalah dapat melindungi produk pangan,
penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan
serta aman bagi lingkungan (Nugroho dkk., 2013).
Edible film diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berdasarkan sifat
komponen yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida), lemak (asam lemak,
asilgliserol atau malam), dan komposit (campuran hidrokoloid dan lemak).
Mekanisme utama pembentukan film pada polisakarida adalah pemutusan
segmen polimer dan pembentukan kembali rantai polimer ke dalam matriks
lapisan atau gel yang biasanya dicapai dengan penguapan pelarut sehingga

35
menciptakan ikatan hidrogen yang hidrofilik maupun ikatan silang elektrolit dan
ionik (Nurhayati dan Agusman, 2011).
Bahan dasar pembuat edible film dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok yaitu hidrokoloid (protein, polisakarida, dan lemak). Kelompok lemak
(asam lemak dan wax) dan campuran hidrokoloid dengan lemak. Kelompok
protein (protein jagung, kedelai, wheat gluten, kasein, kolagen, gelatin, corn
zein, protein susu dan protein ikan). Sedangkan polisakarida yang digunakan
dalam pembuatan edible film adalah selulosa dan turunannya, pati dan
turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (aliginat, karagenan, agar), gum (gum
arab, gum karaya), dan lain-lain (Rahim dkk, 2010).
Aplikasi yang potensial dari edible film dan coating dari biopolimer adalah
untuk memperlambat transportasi gas oksigen dan karbondioksida dari buah dan
sayuran, perpindahan kelembaban pangan yang dikeringkan atau pangan dengan
kelembaban sedang, serta perpindahan zat terlarut pada pangan beku.
Kekurangan yang paling besar dari kebanyakan edible film yaitu kemampuannya
yang kurang dalam menghalangi air yang merupakan sifat hidrofilik dari edible
film. Kemampuan edible film dan coating dalam menahan uap air dan oksigen
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesegaran dari buah, sayuran dan
pangan lainnya (Park dkk., 1996).
Pati merupakan senyawa yang tersusun dari polisakarida (karbohidrat),
polipeptida (protein) dan lipida. Ketiga komponen penyusun pati tersebut
memiliki sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau
dicetak sebagai film kemasan. Salah satu keunggulan bahan polimer ini adalah
bahannya yang berasal dari sumber terbarui yang dapat dihancurkan secara alami
(biodegradable). Pengembangan plastik biodegradable diharapkan dapat
memberikan kualitas produk yang lebih baik dan dapat memperpanjang daya
tahan, juga dapat menjadi bahan pengemas yang ramah lingkungan
(Rahardiyanto, 2013).
Gliserol adalah plastisizer dengan titik didih yang tinggi, larut dalam air,
polar non volatile dan dapat bercampur dengan protein. Gliserol merupakan
molekul hidrofilik dengan berat molekul rendah, mudah masuk ke dalam rantai

36
protein dan dapat menyusun ikatan hidrogen dengan gugus reaktif protein. Sifat-
sifat tersebut yang menyebabkan gliserol cocok digunakan sebagai plastisizer
(Galietta dkk., 1998).
Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam memperoleh
pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia ata, kematangan
dari tanaman singkong. Komposisi kimia tepung tapioka antara lain
mengandung karbohidrat sebanyak 85%, lemak 0,2%, protein 0,5-0,7%, serat
0,5%, air 15% dan energi sebesar 307 kalori/100 gram. Granula tapioka
berbentuk semi bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya mengerucut dengan
ukuran 5-35 µm. Suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64oC, kristalinisasi 38%,
kekuatan pembengkakan sebesar 42 µm dan kelarutan 31%. Sedangkan susu
gelatinisasi pada pati jagung berkisar 70-89oC (Amin, 2013).
Kemasan edible atau biodegradable secara komersial telah
dikembangkan sebagai kemasan ramah lingkungan. Penggabungan bahan
aktif ke dalam formulasi kemasan film edible atau biodegadable bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan kemasan film tersebut untuk melindungi
dan mempertahankan mutu produk terkemas yang dikenal sebagai kemasan
aktif. Namun demikian, kemasan aktif edible maupun biodegradable sejauh
ini masih mempunyai beberapa kelemahan jika dibandingkan dengan
kemasan plastik konvensional, khususnya sifat fisis dan mekanis. Oleh
karena itu, aplikasi edible atau biodegradable masih terbatas sebagai kemasan
sekunder atau tersier yang tentunya masih memerlukan kemasan pelindung lain.
Biasanya dari plastik konvensional untuk menjalankan fungsinya sebagai
kemasan. Usaha untuk memperbaiki kualitas edible film sebagai kemasan
primer terus dilakukan seperti pemilihan bahan baku dan penambahan aditif
tertentu (Warsiki dkk, 2012).

37
C. Metodologi
1. Alat
a. Cabinet dryer
b. Gelas beker 250 ml
c. Gelas ukur 100 ml
d. Hotplate
e. Nampan
f. Neraca analitik
g. Pengaduk
2. Bahan
a. Aquades 100 ml
b. Gliserol 1 ml
c. Tepung komposit (maizena 5 gr + tapioka 5 gr)
d. Tepung maizena 10 gr
e. Tepung tapioka 10 gr

38
3. Cara Kerja

Tepung Komposit 10 gr,


Tepung Maizena 10 gr,
Tepung Tapioka 10 gr

Pelarutan dalam campuran aquades 100


ml dan gliserol 1 ml

Larutan Film Pemanasan sampai mendidih

Penuangan ketika masih hangat diatas plat


film kaca

Pendiaman sampai mengering pada suhu


60oC selama 10 jam

Pelepasan dari plat film dan siap untuk


karakterisasi dan aplikasi

Gambar 2.1 Diagram Alir Pembuatan Biodegradable Film

39
D. Hasil dan Pembahasan
Menurut Agustina (2014), biodegradable dapat diartikan dari tiga kata
yaitu bio yang berarti makhluk hidup , degra yang berarti terurai dan able berarti
dapat. Jadi film biodegradable plastik adalah film plastik yang dapat terurai oleh
mikroorganisme. Film plastik ini, biasanya digunakan untuk pengemasan.
Kelebihan film plastik antara lain tidak mudah ditembus uap air sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengemas.
Menurut Akbar (2013), plastik biodegradable adalah plastik yang dapat
digunakan seperti layaknya plastik konvensional, namun akan hancur terurai
oleh aktivitas mikroorganisme menjadi air dan karbondioksida setelah habis
terpakai dan dibuang ke lingkungan. Sifatnya yang dapat kembali ke alam,
plastik biodegradasi merupakan plastik yang ramah lingkungan. Berdasarkan
bahan baku yang dipakai plastik biodegradable dibagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia seperti poli (ε- kaprolakton),
(PCL) dan kelompok dengan bahan baku produk tanaman seperti pati dan
selulosa. Menurut Vroman dan Tighzert (2009), penggunaan biodegradable film
pada bahan pengemas dapat memberikan perlindungan terhadap kualitas produk
dengan baik dan memperpanjang masa simpan, juga dapat digunakan sebagai
bahan pengemas yang ramah lingkungan.
Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi
makanan, atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan
terhadap transfer massa seperti air, oksigen, dan lemak. Edible film dapat
bergabung dengan bahan tambahan makanan untuk mempertinggi kualitas
warna, aroma dan tekstur produk, serta untuk mengontrol pertumbuhan mikroba
(Sinaga dkk,. 2013). Sedangkan Biodegradable film adalah polimer dari hasil
pertanian yang digunakan sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur
dengan polimer sintetis (plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari
hasil pertanian dalam bentuk tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil
pertanian adalah polipeptida (protein), polisakarida (karbohidrat) dan lipida.
Ketiganya mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk
dibentuk atau dicetak sebagai film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian

40
adalah bahannya yang berasal dari sumber yang terbarukan (renewable) dan
dapat dihancurkan secara alami (biodegradable) (Agustina, 2013).
Golongan polisakarida yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan
edible coating adalah pati dan turunannya, selulosa dan turunannya (metil
selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi propil metil selulosa), pektin ekstrak
ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya), xanthan,
dan kitosan (Gennadios dan Weller 1990). Aplikasi polisakarida biasanya
dikombinasikan dengan beberapa pangan fungsional seperti resin, plasticizers,
surfaktan, minyak, lilin (waxes), dan emulsifier yang memiliki fungsi
memberikan permukaan yang halus dan mencegah kehilangan uap
(Krochta dkk., 1994).
Bahan- bahan pembentuk edible film terdapat bermacam-macam, edible
coating atau film yang dibuat dari polisakarida (karbohidrat), protein dan lipid
yang memiliki banyak keunggulan seperti biodegradable, dapat dimakan,
biocompatible, penampilan yang estetis dan kemampuannya sebagai penghalang
(barrier) terhadap oksigen dan tekanan fisik selama transportasi dan
penyimpanan. Edible coating atau film berbahan dasar polisakarida berperan
sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas O2 dan CO2
sehingga dapat menurunkan tingkat respirasi pada buah dan sayuran (Krochta
dkk.,1994). Aplikasi coating polisakarida dapat mencegah dehidrasi, oksidasi
lemak dan pencoklatan pada permukaan serta mengurangi laju respirasi dengan
mengontrol komposisi gas CO2 dan O2 dalam atmosfer internal. Keuntungan lain
coating berbahan dasar polisakarida adalah memperbaiki flavor, tekstur, warna,
meningkatkan stabilitas selama penjualan dan penyimpanan, memperbaiki
penampilan serta mengurangi tingkat kebusukan. Selain keunggulan, edible
coating atau film juga memiliki kelemahan. Menurut Garcia dkk (2011), film
dari pati, misalnya mudah rusak atau sobek karena resistensinya yang rendah
terhadap air dan mempunyai sifat penghalang yang rendah terhadap uap air
karena sifat hidrofilik dari pati.
Hidrokoloid merupakan suatu polimer larut dalam air, yang mampu
membentuk koloid dan mampu mengentalkan larutan atau mampu membentuk

41
gel dari larutan tersebut. Dalam produk pangan berbahan dasar pati, penambahan
hidrokoloid diperlukan untuk mengontrol karakteristik reologi dan
memodifikasi tekstur (Glicksman, 1982). Menurut Widyaningtyas (2015).
Hidrokoloid dapat digunakan sebagai perekat, pengikat air, pengemulsi,
pembentuk gel dan pengental dalam produk pangan. Hidrokoloid memiliki
kemampuan untuk menurunkan kandungan air bebas dalam bahan pangan.
Interaksi antara amilosa dan amilopektin yang mempengaruhi sifat film
adalah amilosa dan amilopektin secara fisik membentuk ikatan silang inter- dan
intramolekul untuk membentuk jaringan makromolekul yang lebih besar pada
pembuatan gel. Ikatan-ikatan silang yang terdapat pada jaringan makromolekul
pati terutama dibentuk dari domain mikrokristal amilosa, yang berkontribusi
pada kekuatan dan daya peregangan yang tinggi pada film yang dihasilkan
(Maizura dkk., 2007).
Gelatinisasi adalah perubahan yang terjadi pada granula pada waktu
mengalami kenaikan yang luar biasa dan tidak dapat kembali ke bentuk semula
(Winarno, 2002). Proses gelatinisasi terjadi karena kerusakan ikatan hidrogen
yang berfungsi untuk mempertahankan struktur dan itegritas granula pati.
Kerusakan integritas pati menyebabkan granula pati menyerap air, sehingga
sebagian fraksi terpisah dan masuk ke dalam medium (Greenwood, 1979).
Pati merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan suatu polimer senyawa
glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin.
(Akbar, 2013). Menurut Amaliya (2014), kedua komponen amilosa dan
amilopektin tersebut berperan penting dalam pembentukan edible film.
Kestabilan edible film dipengaruhi oleh kekompakannya. Pati dengan kadar
amiosa akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pati. Pada saat
praktikum edible film terdapat proses pemanasan yang dapat melemahkan ikatan
hidrogen pada amilosa sehingga terjadi gelatinisasi yang berlanjut dengan difusi
amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki kemampuan membentuk gel yang
kokoh, pembentukan gel merupakan hasil penggabungan polimer-polimer pati
setelah terjadinya proses pemanasan atau retrogradasi. Pada tahap retrogradasi

42
tersebut mengakibatkan film bertampak keras pada saat proses pengeringan dan
mengakibatkan kekuatan peregangan semakin baik.
Menurut Akbar (2013), plastisizer berfungsi untuk meningkatkan
elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hydrogen dan meningkatkan jarak
antar molekul dari polimer. Syarat plastisizer yang digunakan sebagai zat
pelembut adalah stabil (inert), yaitu tidak terdegradasi oleh panas dan cahaya,
tidak merubah warna polimer dan tidak menyebabkan korosi. Plasticizer umum
digunakan dalam produksi film pati adalah air, gliserol, sorbitol dan polihidroksi
berat molekul rendah lainnya. Gliserol dan sorbitol banyak digunakan sebagai
plasticizer karena stabilitas dan tidak beracun. Penambahan plasticizer dapat
meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas terhadap uap air dan gas.
Plasticizer pada biodegradable film berfungsi untuk mengurangi kerapuhan film,
meningkatkan permeabilitas uap air dan meningkatkan sifat plastis (Gontard
dkk.,1993).
Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dan berbeda-
beda bagi tiap jenis pati serta merupakan suatu kisaran. Viskometer suhu
gelatinisasi dapat ditentukan, misalnya pada jagung 62-70°C, beras 68-78°C
gandum 54,5- 64°C, kentang 58-66°C, dan tapioka 52-64°C (Winarno, 2002).
Menurut Akbar (2013), pati umbi-umbian memiliki suhu gelatinisasi berkisar
antara 70–80°C, bersifat elastis, mudah rusak dan memiliki penampakan yang
translucent ketika dingin. Pati biji-bijian memiliki suhu gelatinisasi yang lebih
tinggi, yaitu 95°C, berbentuk gel dan ketika dingin memiliki penampakan
opaque.
Mekanisme gelatinisasi pati menurut Harper (1981), (tahap 1) granula pati
masih dalam keadaan normal belum berinteraksi dengan apapun. Ketika granula
mulai berinteraksi dengan molekul air disertai dengan peningkatan suhu
suspensi terjadilah pemutusan sebagian besar ikatan intermolecular pada kristal
amilosa. Akibatnya granula akan mengembang. Tahap berikutnya (tahap 2)
molekul-molekul amilosa mulai berdifusi keluar granula akibat meningkatnya
aplikasi panas dan air yang berlebihan yang menyebabkan granula mengembang
lebih lanjut. Kemudian (tahap 3) proses gelatinisasi terus berlanjut sampai

43
seluruh mol amilosa berdifusi keluar. Hingga tinggal molekul amilopektin yang
berbeda di dalam granula. Keadaan ini pun tidak bertahan lama karena dinding
granua akan segera pecah sehingga akhirnya terbentuk matriks 3 dimensi yan
tersusus oleh molekul-molekul amilosa dan amilopektin.
Dalam industri pangan biodegradable film berfungsi sebagai pengemas
buah-buahan, seperti pepaya, apel, melon, strowberi, anggur atau sayuran seperti
wortel dan paprika. Biodegradable film juga berfungsi sebagai pengemas roti.
Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis,
buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlamba penurunan mutu, karena
edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida
dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi
atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas
(Widaningrum, 2012).

44
E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum Acara II “Pembuatan Biodegradable Film”
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan seperti layaknya
plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas
mikroorganisme menjadi air dan karbondioksida setelah habis terpakai dan
dibuang ke lingkungan
2. Hidrokoloid adalah suatu polimer larut dalam air, yang mampu membentuk
koloid dan mampu mengentalkan larutan atau mampu membentuk gel dari
larutan tersebut.
3. Suhu gelatinisasi pada pati jagung adalah 62-70°C dan pada tapioka 52-64°C
4. Penambahan plasticizer dapat meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas
terhadap uap air dan gas plasticizer pada biodegradable film berfungsi untuk
mengurangi kerapuhan film, meningkatkan permeabilitas uap air dan
meningkatkan sifat plastis.
5. Aplikasi Biodegradable film dalam bidang pangan adalah sebagai
pembungkus buah, sayuran segar dan sosis.

45
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Serly Putri. 2014. Pembuatan Plastik Biodegradable dari Pati Umbi
Gadung. Politeknik Negeri Sriwijaya: Palembang.
Akbar, Fauzi., Zulisma Anita dan Hamida Harahap. 2013. Pengaruh Waktu Simpan
Film Plastik Biodegradasi Dari Pati Kulit Singkong Terhadap Sifat
Mekanikalnya. Jurnal Teknik Kimia USU Vol. 2, No. 2.
Amaliya, Riza Rizki dan Widya Dwi Rukmi Putri. Karakterisasi Edible Film dari
Pati Jagung dengan Penambahan Filtrat Kunyit Putih sebagai Anti Bakteri.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2, No. 3.
Amin, Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilisasi terhadap Sifat Fisikokimia
Pati Tapioka Termodifikasi. Teknologi Pertanian. Universitas Hasanudin
Makassar.
Balasubramanian, V. M., Chinnan, M. S., Malikarjunan. P., and Philips, R. D. 1997.
The Effect of Edible Film on Oil Uptake and Moisture Retention of Deep-
fat Poultry Product. Journal of Food Processing Engineering. Vol. 20, No.
1.
Ezeoha, S. L. dan Ezenwanne, J. N. 2013. Production of Biodegradable Plastic
Packaging Film from Cassava Starch. IOSR Journal of Engineering Vol. 3,
Hal: 14-20.
Galietta, Giovani, Lodovico Di Gioia, Stephane Guilbert, dan Bernard Cuq. 1998.
Mechanical and Thermomechanical Properties of Films Based on
WheyProteins as Affected by Plasticizer and Crosslinking Agents. Journal
of Dairy Science Vol. 81, No. 12, Hal: 3123–3130.
Garcia, N.L., L. Ribbon, A. Dufresne, M. Aranguren, and S. Goyanes. 2011. Effect
Of Glycerol On The Morphology Of Nanocomposites Made From
Thermoplastic Starch And Starch Nanocrystals. Carbohydrate Polymers
Vol. 1, No. 84, Hal: 203−210.
Gennadios, A. dan C. L. Weller. 1990. Edible Films And Coating From Wheat And
Corn Proteins. Food Technol. 44: 10: 63−69.
Glicksman, M. 1982. Functional Properties Of Hydrocolloids. Food Hydrocolloids
Vol. 1, Boca Raton: CRC Press.
Gontard, N., Guilbert, S., dan Cuq, J. L. 1993. Water And Glycerol as Plasticizers
Affect Mechanical and Water Vapor Barrier Properties of An Edible Wheat
Gluten Film, Journal of Food Science, 58, Hal: 206-211.
Greenwood, C.T. 1979. Principle of Food Science Part I Food Chemistry. Marcell
Dekker Inc: New York.
Harper, H. A., Rodwell V. W dan MAYES P. A. 1981. Riview of Phsyological
Chemistry. Lange Medical Publication: Los Altos California.

46
Krochta, J. M., E.A. Baldwin, dan M.O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coatings
and Films to Improve Food Quality. Lancaster Pa. Technomic Publishing.
Maizura, M., A. Fazilah, M.H. Norziah, and A.A. Karim. 2007. Antibacterial
Activity Of Modified Sago Starch-Alginate Based Edible Film Incorporated
With Lemongrass (Cymbopogon Citratus) Oil. Intl. Food Res. J. Vol.2,
No.15, Hal: 233−236.
Nugroho, Agung Adi. 2013. Kajian Pembuatan Edible Film Tapioka Dengan
Pengaruh Penambahan Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang Terhadap
Karakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal Teknosains Pangan Volume 2
Nomor 1.
Nurhayati dan Agusman. 2011. Edible Film dari Limbah Udang Sebagai Pengemas
Pangan Ramah Lingkungan. Jurnal Squalen Vol. 6, No. 1.
Park, H.J., C.L. Weller, P.J. Vergano dan R.F. Testin. 1996. Factor Affecting
Barrier and Mechanical Properties of Protein-Edible, Degradable Films.
New Orlean. L.A.
Rahardiyanto, Tri Prastyo dan Rudiana Agustini. 2013. Pengaruh Massa Gliserol
Terhadap Titik Leleh Plastik Biodegradable Dari Pati Ubi Kayu. Unesa
Journal Of Chemistry, Vol. 2, No.1.
Rahim. 2010. Pengaruh Konsentrasi Pati Aren dan Minyak Sawit terhadap Sifat
Fisik dan Mekanik Edible Film. Jurnal Agroland Vol. 17, No. 1, Hal: 38 –
46.
Sinaga, Loisa Lorensia., Melisa Seri Rejekina S dan Mersi Suriani Sinaga. 2013.
Karakteristik Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Dengan
Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas
Makanan. Jurnal Teknik Kimia USU Vol. 2, No. 4.
Vroman, I., dan L. Tighzert. 2009. Biodegradable Polymers. Material Journal Vol.
2, Hal:307-344.
Warsiki, Endang., Juanda Sianturi dan Titi Candra Sunarti. 2012. Evaluasi Sifat
Fisis-Mekanis dan Permeabilitas Film Berbahan Kitosan. Jurnal Teknik
Industri Pertanian Vol. 21, No. 3: 139-145.
Widaningrum, 2012. Teknologi Produksi Dan Aplikasi Pengemas Edible
Antimikroba Berbasis Pati. Teknologi Produksi Dan Aplikasi Pengemas J.
Litbang Pert. Vol. 31, No. 3, Hal: 85-93.
Widyaningtyas, Mita dan Wahono Hadi Susanto. 2015. Pengaruh Jenis dan
Konsentrasi Hidrokoloid (Carboxy Methyl Cellulose, Xanthan Gum, dan
Karagenan) Terhadap Karakteristik Mie Kering Berbasis Pasta Ubi Jalar
Varietas Ase Kuning. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3, No. 2, Hal:
417-423.
Winarno, F. G. 2002. Ilmu Pangan Dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

47
Yoshimura M, Takaya T, Nishinari K. 1999. Effects Of Konjac-Glucomannan On
The Gelatinization And Retrogradation Of Corn Starch As Determined By
Rheology And Differential Scanning Calorimetry.J Agr Food Chem Vol. 44,
Hal: 2970–2976.

48
LAMPIRAN

Gambar 2.2 Pemanasan Pati

Gambar 2.3 Pembentukan Gelatinisasi

Gambar 2.4 Biodegradable Film

49
ACARA III
PENGUJIAN KARAKTERISTIK DAN APLIKASI
BIODEGRADABLE FILM

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Acara III Pengujian Karakteristik dan Aplikasi
Biodegradable Film adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kelarutan biodegradable film.
2. Menentukan WVP biodegradable film dengan polimer polar dan plastik non
polar.
3. Mengukur susut berat buah yang dikemas dengan biodegradable film.

B. Tinjauan Pustaka
Pengemasan merupakan faktor penting dalam penjualan produk
makanan. Fungsi kemasan adalah mempercantik produk, melindungi produk
dari bahaya bakteri dan bahan berbahaya lain, sehingga meningkatkan mutu
suatu produk makanan dan minuman. Meskipun usaha yang dijalani dimulai dari
usaha rumahan, tetapi aspek pengemasan harus diperhatikan. Menggunakan
bahan kemasan yang aman bagi kesehatan (food grade) sesuai standar keamanan
pangan (food safety) dan tersedia dipasaran dalam skala kecil. Selain itu, jenis
kemasan yang digunakan perlu disesuaikan dengan produk makanan atau
minuman yang akan dikemas. Berikut ini beberapa jenis kemasan yang di
pasaran yaitu composite chan, toples PET, botol PET, plastik multilayer OPP,
standing up pouch, dan karton (Yuyun, 2010).
Plastik biodegradable menawarkan satu-satunya produk yang alami. Di
antara semua biopolimer, pati menjadi bahan yang potensial untuk
biodegradable film. Pati terdiri dari dua jenis polisakarida, yaitu amilosa dan
amilopektin. Amilosa adalah molekul linear dengan beberapa cabang. Kadar
amilosa memberikan kontribusi untuk kekuatan film. sedangkan amilopektin
adalah molekul linear yang bercabang dan struktur bercabang dari

50
amilopektin pada umumnya mengarah ke pengemas film dengan sifat
mekanik yang rendah (Ezeoha dan Ezenwanne, 2013).
Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini telah
dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik yang dapat diuraikan
kembali oleh mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah
lingkungan. Biasanya plastik konvensional berbahan dasar petroleum, gas alam,
atau batu bara. Sementara plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat
diperbaharui, yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman
misalnya selulosa, kolagen, kasein, protein atau lipid yang terdapat dalam
hewan (Sanjaya, 2005).
Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah
kemasan edible (edible packaging). Edible packaging merupakan teknologi
kemasan makanan berupa film tipis yang digunakan untuk coating makanan atau
sebagai lapisan yang berada di antara produk makanan untuk menghalangi
transfer massa yang dapat menghilangkan kualitas makanan. Pada dasarnya
kemasan ini terbagi menjadi beberapa tipe bentuk dan aplikasi untuk makanan,
yaitu edible coating dan edible film (Balasubraniman, 1997).
Plastik biodegradable menawarkan satu-satunya produk yang alami. Di
antara semua biopolimer, pati menjadi bahan yang potensial untuk
biodegradable film. Pati terdiri dari dua jenis polisakarida, yaitu amilosa dan
amilopektin. Amilosa adalah molekul linear dengan beberapa cabang. Kadar
amilosa memberikan kontribusi untuk kekuatan film. sedangkan amilopektin
adalah molekul linear yang bercabang dan struktur bercabang dari amilopektin
pada umumnya mengarah ke pengemas film dengan sifat mekanik yang rendah
(Ezeoha dan Ezenwanne, 2013).
Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi
makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi
sebagai penahan terhadap transfer massa seperti kadar air, oksigen, lemak, dan
cahaya atau berfungsi sebagai pembawa bahan tambahan pangan. Edible film
dapat dibuat dari berbagai bahan baku yang memiliki komposisi pati yang cukup
tinggi. Keuntungan dari edible film adalah dapat melindungi produk pangan,

51
penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan
serta aman bagi lingkungan (Nugroho, 2013).
Bahan dasar pembuat edible film dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok yaitu hidrokoloid (protein, polisakarida, dan lemak). Kelompok lemak
(asam lemak dan wax) dan campuran hidrokoloid dengan lemak. Kelompok
protein (protein jagung, kedelai, wheat gluten, kasein, kolagen, gelatin, corn
zein, protein susu dan protein ikan. Sedangkan polisakarida yang digunakan
dalam pembuatan edible film adalah selulosa dan turunannya, pati dan
turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (aliginat, karagenan, agar), gum (gum
arab, gum karaya) dan lain-lain (Rahim dkk, 2010).
Aplikasi yang potensial dari edible film dan coating dari biopolimer
adalah untuk memperlambat transportasi gas oksigen dan karbondioksida dari
buah dan sayuran, perpindahan kelembaban pangan yang dikeringkan atau
pangan dengan kelembaban sedang, serta perpindahan zat terlarut pada pangan
beku. Kekurangan yang paling besar dari kebanyakan edible film yaitu
kemampuannya yang kurang dalam menghalangi air yang merupakan sifat
hidrofilik dari edible film. Kemampuan edible film dan coating dalam menahan
uap air dan oksigen dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesegaran dari
buah, sayuran, dan pangan lainnya (Park et al., 1996).
Edible film yang terbuat dari hidrokoloid menjadi barrier yang baik
terhadap transfer oksigen, karbohidrat dan lipid. Pada umumnya sifat dari
hidrokoloid sangat baik sehingga potensial untuk dijadikan pengemas. Sifat film
hidrokoloid umumnya mudah larut dalam air sehingga menguntungkan dalam
pemakaiannya (Koswara, et.al, 2002).
Kelarutan film merupakan faktor yang penting dalam menentukan
biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang
dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis
produk yang dikemas. Permeabilitas uap air merupakan jumlah uap air yang
hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah
satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka
permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin. migrasi uap air

52
umumnya terjadi pada bagian film yang hidrofilik. Dengan demikian ratio
antara bagian yang hidrofilik dan hidrofobik komponen film akan
mempengaruhi nilai laju transmisi uap air film tersebut. Semakin besar
hidrofobisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan
semakin turun. (Nugroho dkk., 2012).
Silika gel merupakan adsorben dibuat dari pembekuan larutan koloid dari
asam silikat. Istilah dari silika menunjukkan senyawa silikon dioksida dan
mencakup berbagainya bentuk kristal termasuk silika, silika vitreous dan silika
amorf. Istilah "Gel" hanya menunjukkan kondisi bahan pada satu tahap
pembuatannya. Silica gel ini adalah struktur yang sangat berpori, ditandai
dengan keseragaman penataan pori-pori dan ukuran mereka. Daerah pori silika
gel bervariasi dengan metode pembuatan. Silika gel banyak digunakan sebagai
desikan. Perannya sebagai penyangga katalis, sebagai agen flatting di pelapis
dan sebagai adsorben selektif dalam kromatografi kolom mapan. Silika gel dapat
juga digunakan untuk pengolahan air limbah, kontrol kelembaban atmosfer,
pemurnian gas dan untuk penyulingan minyak bumi (Ali dkk., 2009).
Salah satu faktor yang penting dalam pemilihan kemasan adalah sifat
impermeabilitas dari kemasan tersebut. Kemasan makanan atau minuman
dirancang untuk menjaga mutu pangan. Fungsi perlindungan ini meliputi
proteksi terhadap uap air, oksigen, cahaya, debu, pengurangan bobot, kerusakan
mekanik, serta mencegah invasi mikroba dan serangga, kemasan yang buruk
memudahkan penyusupan jasad renik (Arisman, 2009)

53
C. Metodologi
1. Alat
a. Batang pengaduk
b. Corong kaca
c. Desikator
d. Gelas bekker
e. Gunting
f. Higrometer
g. Jangka sorong
h. Kertas saring
i. Mangkuk WVP
j. Mikrometer
k. Oven
l. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Air
b. Film plastic biodegradable
c. Kertas saring
d. Malam (wax)
e. Melon
f. Plastik polimer non polimer
g. Plastik wrap
m. Silika gel
n. Plastisin

54
4. Cara Kerja
a. Penentuan Kelarutan Edible Film

Film kering

Penentuan berat setelah pengeringan pada


suhu 100oC selama 24 jam

Pemotongan diameter 2 x 2 cm sebanyak


2 buah

Penimbangan

Pencelupan

Air 50 ml Pencelupan

Penyimpanan selama 24 jam pada suhu


20oC sambil pengadukan secara periodik

Penyaringan dengan kertas saring yang


telah diketahui beratnya

Pengeringan pada suhu 100oC selama 24


jam

Pengeringan pada suhu 100oC selama 24


jam

Gambar 3.1 Cara Kerja Penentuan Kelarutan


Edible Film

55
b. Penentuan Permeabilitas Uap Air
Kemasan (plastik polimer non polar)

Penentuan ketebalan

Pemotongan bentuk permukaan mangkuk

Penentuan diameter mangkuk

Penentuan luas permukaan mangkuk

Desikan ½ volume cawan Pemasukan


(silica gel)

Penutupan kemasan

Perekatan

Penentuan berat

Penginkubasian dalam suhu, tekanan dan


kelembaban ruang selama 4 hari

Penimbangan mangkuk WVP dan isinya


saat inkubasi hari 2, 3 dan 4

Pembuatan grafik hubungan kenaikan


berat mangkuk dan waktu

Penentuan kecepatan transfer massa uap


air melewati kemasan uji

Gambar 3.2 Cara Kerja Penentuan Permeabilitas


Uap Air
56
c. Aplikasi Biodegradable Film

Buah melon

Pencucian

Pengeringan dengan angin

Penyusunan 5-6 buah dalam cawan dengan


jumlah ukuran yang sama

Penutupan dengan 3 varian perlakuan


Plastik wrap, edible film (tanpa tutu, plastik wrap, edible film)

Penyimpanan suhu kamar selama 24 jam

Penimbangan susut berat pada jam ke 0, 1,


2, 3, 4, 5

Penentuan nilai susut berat

Gambar 3.3 Diagram Alir Aplikasi Biodegradable Film

57
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Kelarutan Edible Film
Jenis Berat Berat kertas Berat kertas %
Film tidak Film larut
Shift Kelompok Biodegradable awal saring awal saring akhir Kelarutan
larut (g) (g)
Film Film (g) (g) (g) Film
1,2,3,4 Maizena 0,074 0,496 0,5380 0,042 0,032 43,24
Agrofarmaka
5,6,7,8 Komposit 0,093 0,506 0,5457 0,0397 0,0533 57,31
1,2,3,4 Maizena 0,108 0,4945 0,5524 0,0579 0,0501 46,39
THP B
5,6,7,8 Tapioka 0,0667 0,4916 0,3239 0,0323 0,0344 51,57
1,2,3,4 Tapioka 0,0789 0,4856 0,4564 0,0292 0,1081 137,01
THP A
5,6,7,8 Komposit 0,0741 0,4829 0,528 0,0451 0,029 39,14

58
Kelarutan edible film merupakan karakteristik yang pada umumnya
dipengaruhi oleh konsentrasi bahan keringnya. Kelarutan film adalah
Kemampuan suatu film untuk bisa larut dalam suatu pelarut. Persen kelarutan
film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan dalam
air selama 24 jam. Kelarutan film merupakan faktor yang penting dalam
menentukan biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada
film yang dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung
jenis produk yang dikemas (Nugroho dkk., 2013).
Pada praktikum penentuan kelarutan film digunakan berbagai jenis
biodegradable film yaitu maizena, tapioka, dan komposit (tapioka 5 gr +
maizena 5gr). Berdasarkan Tabel 3.1 Penentuan Kelarutan Film, pada masing-
masing kelompok didapatkan hasil % kelarutan film yang berbeda-beda. %.
Pada kelompok THP A menggunakan tepung tapioka 10 gr memiliki tingkat
kelarutan 137,01%, menggunakan tepung komposit memiliki tingkat kelarutan
39,14%. Pada kelompok THP B menggunakan tepung maizena 10 gr memiliki
tingkat kelarutan sebesar 46,39%, menggunakan tepung tapioka 10 gram
memiliki tingkat kelarutan sebesar 51,57 %. Pada kelompok Agrofarmaka
menggunakan tepung maizena 10 gr memiliki tingkat kelarutan 43,24%,
dengan tepung komposit kelarutan 57,31. Berdasarkan hasil tersebut diketahui
bahwa tingkat kelarutan tertinggi pada jenis biodegradable film dengan
menggunakan tepung tapioka 10 gr dengan % kelarutan 137,01%.
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jenis edible film
mempengaruhi besarnya kelarutan edible film. Kelarutan edible film dengan
bahan tepung tapioka memiliki kelarutan yang paling besar daripada edible film
dengan bahan tepung komposit dan tepung maizena saja. Hal ini dikarenakan
edible film dengan bahan tepung tapioka memiliki total padatan yang lebih
banyak. Astuti (2008), juga menyatakann bahwa kelarutan film dipengaruhi
oleh total padatan larutan dan ketebalan dalam cetakan. Semakin banyak
padatan terlarut dalam edible film maka semakin tebal edible film yang
dihasilkan sehingga kelarutannya juga besar. Kelarutan dalam air merupakan
sifat film yang penting untuk penerapannya sebagai pelindung makanan. Film

59
dengan kelarutan yang rendah biasanya diaplikasikan untuk bahan pengemas
produk yang dibekukan. Hal itu dikarenakan film harus selalu kontak dengan
aktivitas air yang tinggi pada proses pengolahan makanan, sehingga
diharapkan film seminimal mungkin larut dalam air agar dapat menghindari
pencairan produk. Sedangkan film dengan kelarutan yang tinggi juga
dikehendaki untuk bahan pengemas makanan yang panas (Gontard et al, 1992).
Jadi dapat disimpulkan bahwa edible film terbaik bukan dilihat dari
formulasinya namun fleksibel tergantung pada aplikasi dan penggunaannya.
Menurut Rokhaniah (2003), suhu juga mempengaruhi kelarutan film.
Beberapa molekul ada yang tidak larut dalam air dingin, namun dengan
semakin meningkatnya suhu akan terjadi pelelehan atau “chain melting” yang
memungkinkan terpenetrasinya air ke bagian yang bersifat hidrofilik.
Sedangkan menurut Feris (2008), faktor yang paling menentukan pada uji
kelarutan adalah sifat hidrofilik film plastik dan didukung oleh pengadukan
yang secara mekanis dapat mempercepat kelarutan film plastik dalam air.
Kelarutan dipengaruhi oleh perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin
tepung. Semakin tinggi kandungan amilopektin pada tepung yang digunakan,
nilai kelarutan biodegradable film semakin kecil sehingga kemampuan film
untuk melindungi produk yang dikemas dari pengaruh air akan lebih tinggi,
maka semakin jelek kualitas film tersebut untuk dijadikan bahan pengemas
makanan karena film mudah sekali larut dalam air sehingga dapat memperbesar
terjadinya kemungkinan kerusakan pada produk terutama sifat-sifat bahan
yang terpengaruh oleh kadar air. Menurut Haryadi (1999), amilopektin
umumnya merupakan penyusun utama kebanyakan granula pati. Dengan kadar
amilopektin yang tinggi maka kelarutan tepung tapioka dalam air lebih rendah.
Menurut Siswanti (2008), bahwa penambahan gliserol diduga mampu
meningkatkan kelarutan film. Hal ini dikarenakan gliserol bersifat hidrofil,
sehingga mudah larut dalam air sekaligus dapat meningkatkan persentase
kelarutan dari edible film tersebut.
Sedangkan menurut Nugroho dkk (2013), Faktor yang mempengaruhi
kelarutan film yaitu komposisi bahan dalam pembentukan edible film, ukuran

60
film yang digunakan saat pelarutan film, menambahkan suhu dan dengan proses
pengadukan menggunakan magnetic stirrer, waktu dan kecepatan pengadukan
akan berpengaruh terhadap pemecahan granula pati. Kecepatan tinggi dan
waktu pengadukan yang lama akan menyebabkan terjadinya pemecahan
partikel menjadi partikel yang lebih kecil, sehingga hal tersebut dapat
berpengaruh terhadap kelarutan film.

61
Tabel 3.2 Penentuan Permeabilitas Uap Air
Jenis Berat Jam Ke-
A Ketebalan
Shift Biodegradabel Permeabilitas
(m2) (mm) 0 1 2 3 4 5
Film
Maizena - - - - - - - - -
A
Tapioka - - - - - - - - -
Maizena 34,091 x 10-4 0,2 169,051 185,597 185,691 185,742 185,802 185,857 0,0142 x 10-4
B
Tapioka - - - - - - - - -
Maizena 4,6353 x 10-4 0,25 130,825 131,059 131,270 131,375 131,436 131,489 7,023 x 10-4
Agrofarmaka
Komposit 4,6753 x 10-4 0,26 154,578 155,009 155,317 155,317 155,583 155,435 8,797 x 10-4

62
Permeabilitas uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan
waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film
adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air
harus serendah mungkin (Nugroho dkk., 2013). Permeabilitas kemasan biasanya
dinyatakan dalam gram H2O yang melewati kemasan dengan luas permukaan
tertentu per hari untuk tebal dan suhu serta kelembaban relativ (RH) tertentu.
Satuannya dinyatakan dalam gr H2O mm/m2 hari atm.
Sedangkan menurut Lastriyanto (2007), permeabilitas suatu film kemasan
adalah kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan
bahan pada suatu kondisi tertentu. Semakin besar konsentrasi isolat protein
kededai (IPK) menyebabkan interaksi protein dan air semakin besar sehingga
edible film akan membengkak (swollen), selanjutnya memudahkan uap air
melewati edible film dan permeabilitas uap airnya menjadi semakin tinggi.
Semakin tinggi permeabilitas suatu film maka kualitas film tersebut semakin
rendah. Sedangkan semakin rendah permeabilitas suatu film maka semakin baik
kualitas film tersebut.
Menurut Syarief dkk (1989), mekanisme uji permeabilitas yang umum
digunakan untuk mengukur permeabilitas uap ialah dengan metode gravimetri.
Dalam metode ini digunakan suatu desikan yang bisa menyerap uap air dan
menjaga supaya tekanan uap air tetap rendah disimpan dalam suatu mangkuk
alumunium yang kemudian ditutup dengan film plastik yang akan diukur
permeabilitasnya. Prinsip pengujian uji peremeabilitas terhadap gas dan uap air
(Gas or water vapor permeability = WVP) yang banyak digunakan dalam
teknologi pengemasan menghitung gram air per hari per 100 in2 permukaan
kemasan, untuk ketebalan dan temperatur tertentu, dan kelembaban relatif di
satu sisi 0% dan pada sisi lainnya 95%.
Berdasarkan hasil praktikum dapat dilihat pada Tabel 3.2 Penentuan
Permeabilitas Uap Air, diketahui bahwa pada shift AGF tepung komposit dengan
tebal edible film 0,26 dan diameter WVP 4,6735 memiliki berat awal 154,578
gram dan ketika dilakukan pengamatan setiap 1 jam selama 5 jam terjadi kenaikan
beratnya yaitu menjadi 155,435 gram, dengan permeabilitas 8,797x10-4. Pada shift

63
AGF menggunakan edible film maizena dengan ketebalan 0,25 dan diameter WVP
4,6353 memiliki berat awal 130,825 gram mengalami kenaikan beratnya menjadi
131,4892 dengan permeabilitas 7,023x104. Pada shift THP B maizena
menggunakan edible film dengan ketebalan 0,2 memiliki berat awal 169,051
mengalami kenaikan menjadi 185,857 dengan permeabilitas 0,0142x10-4 . Hasil
permeabilitas yang paling tinggi adalah shift Agrofarmaka dengan menggunakan
edible film sebesar 8,797x10-4. Hasil permeabilitas yang berbeda-beda
dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Nugroho (2013), permeabilitas bahan
pengemas dipengaruhi oleh jenis bahan pengemas, ketebalan bahan pengemas,
suhu dan beberapa parameter lainnya seperti kelembaban relatif. Permeabilitias
dapat dilihat dari karakteristik penyusun suatu pengemas atau bahan
pengemas, misalnya bahan yang tersusun dari polymer yang mengandung
chlorine mempunyai permeabilitas uap air yang rendah, atau dapat juga
ditentukan dengan menghitung konstanta permeabilitas melalui hubungan
pertambahan berat dan waktu.
Pengamatan dari keseluruhan rata-rata setiap sampel mengalami kenaikan
berat. Menurut Indriani (2013), perubahan berat tersebut menunjukkan bahwa ada
uap air yang diserap oleh silica gel. Semakin besar berat pada sampel maka
menunjukkan bahwa uap air yang diserap oleh silica gel juga tinggi. Berdasarkan
hasil pengamatan permeabilitas edible film diperoleh edible film dengan
permeabilitas tinggi yaitu pada shift AGF dengan komposit yaitu 8,797x10-4
sedangkan permeabilitas rendah pada kelompok THP B Maizena yaitu
0,0142x104. Berdasarkan teori Winarno (2004), edible film dengan permeabilitas
rendah yaitu pada edible film yang terbuat dari tepung komposit. Penyimpangan
permeabilitas ini dapat dipengaruhi oleh ketidaktelitian praktikan saat menimbang
bahan pada waktu praktikum.
Menurut Apriyanti dkk (2013), semakin rendah nilai permeabilitas uap air
atau semakin mendekati nol maka daya serap plastik terhadap uap air semakin
kecil. Jika plastik telah menyerap uap air dari luar maka plastik tersebut tidak
mampu untuk menyerap uap air lagi yang melebihi dari kapasitas penyerapannya
maka nilai permeabilitas uap air (WVP) akan semakin baik. Kecilnya

64
permeabilitas yang ada pada kemasan maka kemampuan kemasan untuk
melindungi produk semakin baik sehingga dapat menambah daya simpan produk.
juga tinggi.
Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan
waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film
adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air
harus serendah mungkin. Faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta
permeabilitas kemasan adalah, jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih
kecil dari pada polietilen artinya gas atau uap air lebih mudah menembus
polipropilen daripada polietilen, ada tidaknya ”cross linking” misalnya pada
konstanta, suhu, ada tidaknya plasticizer misal air, jenis polimer film, sifat dan
besar molekul gas, dan solubilitas atau kelarutan gas. Dilakukan pengujian
permeabilitas uap air edible film agar mengetahui apakah kemasan dapat menahan
migrasi uap air atau tidak.
Menurut Nugroho dkk (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi
permeabilitas uap air edible film yaitu pertama jenis film permeabilitas, artinya
jenis film yang memiliki pati emilosa rendah akan menghasilkan ketebalan edible
film yang rendah dan tidak kokoh sehingga uap air akan mudah dalam menembus
film. Kedua yaitu ada tidaknya cross linking, misalnya pada konstanta. Ketiga
adalah suhu, semakin tinggi suhu maka nilai permeabilitas semakin besar. Uji
permeabilitas uap air edible film perlu dilakukan untuk mngetahui adanya migrasi
uap air yang terjadi pada produk yang dikemas oleh edible film. Permeabilitias
dapat dilihat dari karakteristik penyusun suatu pengemas atau bahan
pengemas, misalnya bahan yang tersusun dari polymer yang mengandung
chlorine mempunyai permeabilitas uap air yang rendah, atau dapat juga
ditentukan dengan menghitung konstanta permebilitas melalui hubungan
pertambahan berat dan waktu. Hidrokoloid pada edible film komposit mampu
memberikan integritas struktural serta ketahanan yang baik dan lipid mampu
melindungi produk dari migrasi uap air. Penggunaan maizena sebagai bahan
pembuat edible film diduga mampu menurunkan permeabilitas uap air dari film
yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena zein dalam maizena memiliki

65
keunikan yaitu mempunyai komposisi asam amino penyusun yang sebagian besar
berupa asam amino non polar seperti leusin, prolin dan alanin
(Krochta dkk., 1994).
Menurut Renate (2009), kegunaan permeabilitas ini adalah untuk
memperkirakan umur simpan dan mempertahankan mutu produk dalam
kemasan agar dapat bertahan lama dengan mutu yang tetap baik dan dapat
diterima konsumen. Kemampuan edible film dalam menahan migrasi uap air dari
buah merupakan sifat yang penting untuk diketahui, karena menurut Gontard dkk
(1993), salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap.

Tabel 3.3 Hasil Pengamatan Susut Bobot Buah Melon


Perlakuan
Shift Jam ke
Kontrol Wrap Tapioka Maizena Komposit
0 10,151 10,630 15,224 - -
1 10,006 10,613 15,119 - -
2 9,826 10,592 14,997 - -
A
3 9,644 10,572 14,820 - -
4 9,480 10,559 14,648 - -
5 9,245 10,545 14,432 - -
0 10,792 10,262 11,624 11,155 -
1 10,171 10,231 11,370 10,974 -
2 10,019 10,206 11,025 10,828 -
B
3 9,793 10,165 10,508 10,559 -
4 9,638 10,138 10,416 10,334 -
5 9,582 10,078 10,284 10,112 -
0 9,804 10,163 - 10,933 10,998
1 9,533 10,103 - 10,748 10,686
2 9,225 10,060 - 10,527 10,142
AGF
3 9,112 10,043 - 10,440 10,072
4 9,016 10,028 - 10,308 9,858
5 8,849 10,003 - 10,220 9,718

Menurut Krochta dkk (1994), pada umumnya kehilangan air pada produk
buah-buahan dan sayur-sayuran merupakan penyebab utama kerusakan selama
penyimpanan. Kehilangan air dapat menyebabkan buah-buahan dan sayuran
mengalami susut berat dan tampak layu atau berkerut sehingga kurang diminati
oleh konsumen. Uji susut berat menunjukkan kemampuan film untuk melindungi
produk yang dikemas dari migrasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam bahan

66
sehingga bahan tetap terjaga kualitasnya. Semakin kecil nilai susut beratnya, maka
kemasan semakin baik.
Pada Tabel 3.3 Hasil Pengamatan Susut Bobot Buah Melon, dapat diketahui
bahwa semua sampel mengalami susut berat. Penyusutan berat berlangsung tidak
stabil, dikarenakan adanya perubahan suhu lingkungan sekitar yang dapat
mempengaruhi berat pada sampel melon. Berdasdarkan praktikum kemasan yang
terbaik adalah melon yang dikemas dengan wrap. Hal ini karena pada melon yang
dikemas dengan wrap memiliki nilai susut berat yang lebih kecil dibanding
dengan bahan yang dikemas dengan edible film, sedangkan pada melon yang
dikemas dengan edible film mengalami banyak susut berat. Hal ini tidak seseuai
dengan teori Nugroho dkk (2013), yang menyatakan bahwa perlakuan film
mempengaruhi besar kecilnya kecepatan susut berat pada aplikasi biodegradable
film terutama karena jenis komposisi yang dipakai dalam formula film.
Berdasarkan teori, melon yang dikemas edible film seharusnya memiliki nilai
susut berat yang kecil. Hal ini karena fungsi edible film adalah untuk menahan
migrasi uap air pada bahan yang dikemas. Pengemas edible film memiliki nilai
susut berat yang lebih besar dibandingkan dengan pengemas wrap. Faktor-faktor
yang mempengaruhi besar kecilnya kecepatan susut berat pada aplikasi
biodegradable film yaitu jenis komposisi yang dipakai dalam formula film.
Penambahan tepung komposit (tapioka dan maizena) ke dalam formulasi film rata-
rata meningkatkan sifat biodegradable film, yaitu susut berat buah melon menjadi
lebih kecil, sedangkan dengan pengemas sintetik seperti plastik wrap sangat
resisten terhadap oksigen, air dan asam, serta basa.
Menurut Pokatong (2014), susut bobot adalah dimana bahan hasil pertanian
mengalami penurunan akibat proses fisiologi yang terus berlangsung. Faktor
utama Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan
waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film
adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air
harus serendah mungkin. Penyebab susut bobot pada buah adalah proses respirasi,
perpindahan uap air yang terjadi melalui bagian hidrofilik film, dan beberapa
proses oksidasi. Edible coating merupakan media penghambat selektif terhadap

67
O2 dan CO2, memodifikasi atmosfer internal, dan memperlambat laju respirasi
buah, sehingga dapat menurunkan susut berat buah.
Aplikasi dari edible film untuk kemasan bahan pangan saat ini sudah
semakin meningkat, seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
lingkungan hidup. Edible film dan biodegradable film banyak digunakan untuk
pengemasan produk buah-buahan segar antara lain: apel, pir, anggur, cherry, kiwi,
dan lain-lain. Fungsi dari pengemasan tersebut yaitu untuk mengendalikan laju
respirasi, akan tetapi produk-produk pangan lainnya juga sudah banyak
menggunakan edible coating, seperti produk konfeksionari, daging dan ayam
beku, sosis, produk hasil laut dan pangan semi basah (Widaningrum, 2012).

68
E. Kesimpulan
Dari pembahasan Acara III Pengujian Karakteristik dan Aplikasi
Biodegradable Film didapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Kelarutan edible film merupakan karakteristik yang pada umumnya
dipengaruhi oleh konsentrasi bahan keringnya.
2. Berdasarkan data kelarutan edible film yang baik yaitu shift THP A kelompok
1, 2, 3, 4 dan 5 yaitu % kelarutan film sebesar 137,01% dengan formulasi
tapioka 10 gr.
3. Berdasarkan hasil permeabilitas uap air pada percobaan hanya terdapat 3
pengujian yang berhasil diantaranya pada shift THP B dengan jenis
biodegradable film maizena dan permeabilitas sebesar 0,0142x106, dan pada
shift Agrofarmaka menggunakan jenis biodegradable film maizena dengan
hasil permeabilitas 7,023x106 serta jenis biodegradable film komposit dengan
permeabilitas 8,797x106.
4. Berdasarkan hasil pengamatan susut bobot buah melon dengan perlakuan
kontrol, wrap, tapioka dan komposit, pada shift THP A , shift THP B dan shift
Agrofarmaka pengamatan dari jam 0-5 perlakuan kontrol, wrap, tapioka,
maizena dan komposit data susut bobot buah selama jam ke 0-5 semakin
menurun.
5. Susut berat buah, banyak dipengaruhi oleh kemampuan penghambatan laju
transmisi uap air (WVTR) film.

69
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hafiz Asghar., Arshad Chughtai dan Abdul Sattar. Synthesis of quality silica
gel; Optimization of parameters. Journal of Faculty of Engineering &
Technology, Vol. 2, No. 3, Hal: 1-14.
Apriyanti, Arie Fitry., F . Widhi Mahatmanti dan Warlan Sugiyo. 2013. Kajian Sifat
Fisik-Mekanik dan Antibakteri Plastik Kitosan Termodifikasi Gliserol.
Indonesian Journal of Chemical Science, Vol. 2, No. 2, Hal: 147-153.
Arisman. 2009. Keracunan Makanan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku Kedokteran ECG:
Jakarta.
Astuti, Beti Cahyaning. 2008. Pengembangan Edible Film Kitosan dengan
Penambahan Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier
dan Aktivitas Antimikroba. Institut Pertanian Bogor.
Balasubramanian, V. M., Chinnan, M. S., Malikarjunan. P dan Philips, R. D. 1997.
The Effect of Edible Film on Oil Uptake and Moisture Retention of Deep-
fat Poultry Product. Journal of Food Processing Engineering. Vol. 20, No.1.
Ezeoha, S. L dan Ezenwanne, J. N. 2013. Production of Biodegradable Plastic
Packaging Film from Cassava Starch. IOSR Journal of Engineering, e-
ISSN: 2250-3021 Vol. 3, Hal: 14-20.
Gontard, N. S., Guilbert dan J. L. Cug. 1993. Water and Glyserol as Plasticizers
Affect Mechanical and Water Vapour Barrier Properties of Edible Wheat
Gluten Film. J. Food Sci Vol. 1, Hal: 206-210.
Hariyadi. 1999 . Kimia danTeknologi Pati. UGM Press: Yogyakarta.
Koswara S; Purwiyatno, H; dan Eko, H.P. 2002. Edible Film. Jurnal Tekno Pangan
dan Agroindustri Vol. 1, No. 12, Hal: 183-196.
Krochta, J.M., E.A. Baldwin dan M.O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coatings
and Films to Improve Food Quality. Lancaster Pa. Technomic Publishing.
Lastriyanto, Anang., Bambang Dwi Argo., Sumardi HS., Nur Komar., La Chovia
Hawa., dan Mochamad Bagus Hermanto. 2007. Penentuan Koefisien
Permeabilitas Film Edibel TerhadapTransmisi Uap Air, Gas O2, Dan Gas
CO2. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 8, No.3, Hal: 182-187.
Nugroho, Agung Adi., Basito dan R. Baskara Katri A. 2013. Kajian Pembuatan
Edible Film Tapioka dengan Pengaruh Penambahan Pektin Beberapa Jenis
Kulit Pisang terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal Teknosains
Pangan Vol. 2, No. 1: ISSN: 2302-0733.
Park, H.J., C.L. Weller, P.J. Vergano dan R.F. Testin. 1996. Factor Affecting
Barrier and Mechanical Properties of Protein-Edible, Degradable Films.
New Orlean: L.A.
Pokatong, W Donald R., Carolina Lestari., dan Titri S Mastuti. 2014. Pemanfaatan
Pati Gembili (Dioscorea Esculenta Lour. Burkill) Dengan Penambahan

70
Plasticizer Sebagai Edible Coating Pada Stroberi (Fragaria Ananassa).
Prosiding Snst Ke-5 Tahun 2014.
Rahardiyanto, Tri Prastyo., dan Rudiana Agustini. 2013. Pengaruh Massa Gliserol
Terhadap Titik Leleh Plastik Biodegradable Dari Pati Ubi Kayu. Unesa
Journal Of Chemistry, Vol. 2, No.1.
Rahim dkk. 2010. Pengaruh Konsentrasi Pati Aren dan Minyak Sawit terhadap
Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film. Jurnal Agroland Vol. 17, No. 1, Hal:
38-46.
Renate D. 2009. Volume 14. Packaging Of Red Chilli Puree With Various Types Of
Plastic Vacum Packaged. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi
Rokhaniah, 2003. Isolasi dan Karakterisasi Pati Biji Nangka (Artocorpus
heterophyllus Lamk) untuk Pembuatan Biodegradable Film. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian UGM
Royani, Achmad., Febryan Harmansyah., Nanik Astuti Rahman., Heru Setyawan.,
dan Minta Yuwana. 2012. Pembuatan Silika Gel dari Abu Bagasse yang
Dicangkok Gugus Amine Secara In-situ Sebagai Adsorben Gas Karbon
Dioksida (CO2). Jurnal Teknik Pomits, Vol. 1, No. 1, Hal: 1-4.
Sanjaya, I Gede dan Tyas Puspita. 2014. Pengaruh Penambahan Khitosan Dan
Plasticizer GliserolPada Karakteristik Plastik BiodegradableDari Pati
Limbah Kulit Singkong. Jurnal Bioproses, Vol. 1, No. 3.
Siswanti. 2008. Karakterisasi Edible Film Komposit Dari Glukomanan. Jurnal
Teknosains, Vol. 2, No. 5.
Smith, Ray. 2000. Biodegradable Polymers For Industrial Applications. CRC
Press. New York.
Syarief, R., Sasya Sentausa dan St Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi: Bogor.
Utomo, Arief Wahyu., Bambang Dwi Argo., dan Mochamad Bagus Hermanto.
2013. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Karakteristik
Fisikokimiawi Plastik Biodegradable Dari Komposit Pati Lidah Buaya
(Aloe Vera)-Kitosan. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, Vol. 1, No. 1.
Widaningrum, 2012. Teknologi Produksi Dan Aplikasi Pengemas Edible
Antimikroba Berbasis Pati. Teknologi Produksi Dan Aplikasi Pengemas J.
Litbang Pert. Vol. 31, No. 3, Hal: 85-93.
Winarno, F G. 2004. Kimia Pangan. Erlangga. Jakarta.
Yuyun A. dan Delli Gunarsa. 2011. Cerdas Mengemas Produk Makanan dan
Minuman. AgroMedia Pustaka: Jakarta.

71
LAMPIRAN

A. Perhitungan
1. Kelarutan Film
Rumus Umum:
a. Berat film tidak larut = Berat KS akhir – berat KS awal
b. Berat film yang larut = Berat film awal – berat film tidak larut
berat film yang larut
c. Kelarutan = x 100%
berat film awal
 SHIFT A
1. Tepung Komposit
a. Berat film tidak larut = 0,528 gr – 0,483 gr = 0,045 gr
b. Berat film yang larut = 0,074 gr – 0,045 gr = 0,029 gr
0,029 gr
c. Kelarutan = x 100%
0,045 gr

= 39,189%
2. Tepung Tapioka
a. Berat film tidak larut = 0,456 gr – 0,486 gr = -0,030 gr
b. Berat film yang larut = 0,079 gr – (-0,030 gr) = 0,109 gr
0,109 gr
c. Kelarutan = x 100%
0,079 gr

= 137,975%
 SHIFT B
1. Tepung Maizena
a. Berat film tidak larut = 0,552 gr – 0,495 gr = 0,057 gr
b. Berat film yang larut = 0,108 gr – 0,057 gr = 0,051 gr
0,057 gr
c. Kelarutan = x 100%
0,051 gr

= 47,222%

72
2. Tepung Tapioka
a. Berat film tidak larut = 0,542 gr – 0,492 gr = 0,032 gr
b. Berat film yang larut = 0,067 gr – 0,032 gr = 0,035 gr
0,035 gr
c. Kelarutan = x 100%
0,032 gr

= 52,239%

73
B. Foto
1. Kelarutan Edible Film

Gambar 3.4 Pemotongan Gambar 3.5 Pemasukan


Edible Film Edible Film

Gambar 3.6 Pengadukan Gambar 3.7 Penyaringan


Edible Film Edible Film

2. Permeabilitas Uap Air

Gambar 3.8 Penimbangan


Mangkuk WVTR

74
3. Susut Bobot Buah Melon dengan Biodegradable Film

Gambar 3.9 Pelapisan Gambar 3.10 Penimbangan


Pengemas Buah Kontrol

Gambar 3.11 Penimbangan Gambar 3.12 Penimbangan Buah


Buah Wrap BF Tepung Tapioka

Biodegradable Film Tepung


Tapioka

75
ACARA IV
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS KEMASAN MAKANAN DAN
MINUMAN DI PASARAN

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Acara IV Identifikasi dan Analisis Kemasan
Makanan dan Minuman di Pasaran adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi kemasan makanan dan minuman yang
ada di pasaran (jenis, bahan, desain, dan labelling).
2. Mahasiswa mampu menganalisis kelebihan dan kelemahan kemasan
minuman dan makanan yang ada di pasaran ditinjau dari segi fungsi utama
dan fungsi penunjang.

B. Tinjauan Pustaka
Packaging atau kemasan, diartikan secara umum adalah bagian terluar
yang membungkus suatu produk dengan tujuan untuk melindungi produk dari
cuaca, guncangan dan benturan-benturan, terhadap benda lain. Setiap bentuk
barang benda yang membungkus suatu benda di dalamnya dapat disebut dengan
packaging atau kemasan sejauh hal tersebut memang melindungi isinya.
Kemasan dari bahan karton berbentuk kotak seperti kemasan susu bubuk
(Permono, 2009).
Kemasan adalah tempat atau wadah yang membungkus atau melindungi
produk. Prinsip dasar kemasan pangan adalah harus dapat melindungi produk
yang dikemas dari berbagai kerusakan dari mulai selesai proses produksi, selama
distribusi dan penjualan. Kemasan juga berfungsi sebagai media promosi bagi
produk yang dikemas. Hal ini dikarenakan pada kemasan pangan terdapat label
yang memuat informasi mengenai produk yang dikemas. Oleh karena itu, desain
kemasan perlu dibuat semenarik mungkin, baik dari material kemasan maupun
dari segi grafis. Saat mendesain kemasan tidak ada yang benar dan yang salah,
tetapi yang layak dan tidak layak menurut konsumen yang dituju
(Rosalina, 2008).

76
Fungsi kemasan yaitu melindungi produk makanan dari proses degradasi
(terutama yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti oksigen, cahaya dan
kelembaban), dari makanan itu sendiri dan untuk menyediakan informasi bagi
konsumen tentang bahan dan gizi dalam makanan. Kemasan yang baik adalah
kemasan yang berbahan inert karena tidak mengkontaminasi produk makanan
dari lingkungan luar, juga menghindari migrasi zat berbahaya dari kemasan
makanan. Bahan yang telah digunakan dalam kemasan makanan yaitu kaca,
logam (aluminium, foil dan laminasi, timplate, dan baja timah bebas), kertas dan
plastik. Pemilihan yang tepat bahan kemasan menjadi peran penting dalam
menjaga kualitas produk dan kesegaran selama distribusi serta penyimpanan
(Ramos dkk., 2015).
Kaca memiliki sejarah yang sangat panjang dalam kemasan makanan.
Gelas kaca juga meningkatkan dan melestarikan kekuatan botol untuk
mengurangi kerusakan. Produsen untuk membuat botol kaca lebih memilih
bahan kaca yang tipis karena bertujuan untuk mengurangi berat botol. Karena
kaca tidak berbau dan kimia inert hampir semua makanan produknya berupa
kaca, karena kaca memiliki beberapa keunggulan untuk aplikasi makanan-
kemasan. Hal ini disebabkan kaca kedap gas dan uap, sehingga mempertahankan
produk untuk jangka waktu yang panjang tanpa merusak rasa atau rasa.
Transparansi kaca memungkinkan konsumen untuk melihat produk, namun
variasi warna kaca dapat melindungi Isi terhadap cahaya. Kemasan gelas kaca
memiliki manfaat bagi lingkungan karena dapat digunakan kembali dan didaur
ulang. Seperti bahan lainnya, kaca memiliki beberapa kelemahan. Meskipun
upaya menggunakan kaca yang tipis, beban berat yang dapat menambah biaya
transportasi (Marsh, 2007).
Botol gelas merupakan kemasan yang sangat baik untuk benda padat,
cair, dan gas. Kemasan gelas menjadi bahan pelindung yang sangat baik dari
kontaminasi bau dari luar sehingga citra rasa produk dapat dipertahankan.
Berdasarkan warnanya, botol gelas dibagi menjadi 3 jenis, yaitu hijau (UVA
hijau), flint (putih jernih) dan amber (cokelat). Berdasarkan jenis botol gelas
yang dihasilkan dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu HPS (Hasil Produk

77
Selesai) dan HPA (Hasil Produk Antara). Berdasarkan tujuan penggunaan botol
gelas, dibagi menjadi 3 jenis, yaitu botol gelas sekali pakai dirancang dengan
bahan yang ringan (jenis kemasan ini biasanya dibuang setelah digunakan), botol
gelas setelah dipakai dapat digunakan kembali tiga sampai lima kali dan botol
gelas yang dapat dipakai kembali sampai lebih dari 70 kali (Yani, 2014).
Menurut Yuyun (2011), kemasan gelas atau kaca memiliki keunggulan
dibanding dengan bahan kemasan lain. Keunggulan gelas diantaranya sebagai
berikut: (1) bersifat inert atau lambat bereaksi terhadap bahan kimia dan tidak
mengkontaminasi produk makanan yang dikemas, (2) mencegah penguapan
sehingga cocok untuk mengemas bahan makanan cair, gas dan padat, (3)
melindungi bahan pangan dari kontaminasi bau atau flavor dari luar, (4)
menghalangi keluarnya cairan atau gas dari produk yang dikemas, (5) gelas
transparan dan jernih akan mempermudah serta menarik pembeli untuk melihat
langsung produk yang dikemas, (6) bahan gelas bersifat kokoh, tahan tekanan
dan tahan panas sehingga sangat tahan terhadap pengaruh dari luar,
memudahkan proses pengisian dan pengepakan makanan dan minuman, (7)
mulut botol atau gelas yang terbuka dapat memudahkan pengisian, (8) kemasan
botol kaca atau gelas dapat digunakan kembali sehingga menguntungkan
pembeli dan otomatis biayanya lebih murah. Namun, kemasan kaca atau gelas
juga memiliki kelemahan, sebagai berikut: (1) tidak disarankan untuk
meletakkan ditempat yang memiliki cahaya terang karena akan mudah
teroksidasi, (2) berat dan kurang praktis sehingga sulit dibawa, (3) mudah pecah.
Menurut (Sutomo, 2014), untuk kemasan sambal sebaiknya digunakan
kemasan kaca agar lebih menarik penampilan dan aman digunakan untuk
mengemas makanan yang mengandung garam dan asam tinggi. Pemberian label
dan merek yang menarik agar konsumen tertarik dan selalu memberikan tanggal
kedaluarsa pada produk sambal kemasan. Pemberian perizinan seperti label halal
MUI, izin Depkes dan BPOM jika produk akan dijual secara masal dan skala
besar. Kalkulasi harga juga wajib dilakukan untuk menentukan harga jual.
(Sutomo, 2014).

78
C. Metodologi
1. Alat
a. Transparasi
b. OHP
2. Bahan
a. Botol Saus Sambal Kemasan Kaca merek ABC
b. Botol Saus Sambal Kemasan Kaca merek Indofood
3. Cara Kerja
Botol kaca saus sambal merek
ABC dan Indofood

Pengamatan kemasan bahan, jenis, desain,


(bentuk, ukuran, warna, gambar), labelling
(tanggal kadaluwarsa, kode produksi, label
halal, komposisi, kandungan gizi, jenis produk,
ukuran isi, izin depkes dll)

Penganalisisan kemasan terkait fungsi,


kelebihan dan kekurangan kemasan

Gambar 4.1 Diagram Alir Pengamatan Kemasan Botol Kaca

79
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 4.1 Pengamatan Desain Kemasan Kaca Produk Saus Sambal
ABC Indofood

Merek
Produk

Gambar 4.2 Saus Sambal Gambar 4.3 Saus Sambal


ABC Indofood
Bentuk Botol kaca Botol kaca
Ukuran 335 ml 340 ml
Warna Botol kaca bening dilapisi Botol kaca bening dilapisi
label produk ABC dominasi label produk Indofood
warna hijau dominasi warna merah kuning
Gambar Gambar saus sambal manis Gambar saus sambal pedas,
pedas dan ada cabai, tomat cabai, tahu dan bakwan pada
pada label label

Menurut Julianti dan Nurmainah (2006), pengemasan merupakan proses


akhir yang akan menentukan bahwa kualitas produk yang telah diproduksi tidak
mengalami perubahan selama didistribusikan. Selain untuk mempertahankan
kualitas dan menghindari kerusakan selama penyimpanan, pengemasan juga
bertujuan untuk memudahkan transportasi dan handling bahan. Kemasan adalah
salah satu hal yang sangat penting dalam menjaga kualitas produk, umur simpan
produk, serta dalam peningkatan harga jual produk. Produk yang memiliki
kemasan yang bagus dan menarik akan memiliki nilai jual lebih tinggi
dibandingkan dengan produk yang tidak memiliki kemasan. Bila dilihat dari
prinsip utama suatu perusahaan yaitu menghasilkan produk yang bermutu
dengan biaya yang seminimal mungkin jika perusahaan tersebut ingin
mendapatkan pangsa pasar yang luas, maka diperlukan adanya kemasan yang
menjaga produk. Kemasan yang menarik ini merupakan salah satu strategi bisnis
yang dapat digunakan perusahaan untuk meningkatkan profit perusahaan.

80
Menurut Syarief (1989), desain kemasan mempunyai 5 prinsip
fungsional, pertama kemasan (packaging). Pada kemasan ini harus disampaikan
tentang jenis produk, dan kegunaannya. Disini kejujuran jadi hal penting. Kedua,
kemasan secara fisik. Fungsinya sebagai pelindung produk dari benturan,
gesekan, guncangan, hentakan dan lain-lain. Disini kekuatan menjadi prinsip
utama. Ketiga, kemasan yang nyaman dipakai. Maksudnya kemasan disini
memberikan rasa nyaman jika disentuh, permukaannya tidak melukai, lentur saat
digenggam, mudah dibersihkan, disimpan, stabil bila diletakkan. Kemasan yang
dapat didaur ulang sangat diutamakan. Keempat, kemasan yang mampu
menampilkan citra produk dan segmentasi pasar pemakainya. Disini melibatkan
banyak unsur terutama yang berkaitan dengan imajinasi, selera dan fantasi
pemakai. Kemasan disini harus mampu menerjemahkan siapa pemakainya,
status sosial, dimana dan jenis perilaku seperti apa produk mainan tersebut
dipakai. Keunikan menjadi nilai penting. Kelima, kemasan yang berprinsip
mendukung keselarasan lingkungan. Kemasan yang baik adalah yang; mudah
didaur ulang (recycle) ke produk baru dan tidak terkontaminasi, bisa dilebur dan
dibuat kembali ke produk (re-use) asal.
Menurut Sulistyo (2008), responden memandang bahwa desain kemasan
perlu dibuat lebih menarik lagi. Terutama bila nanti produk baru diluncurkan,
desain kemasan sebisa mungkin mendorong orang untuk mencoba. Namun yang
perlu diperhatikan juga fungsi utama dari kemasan yakni mampu melindungi dan
menjaga produk. Sedangkan menurut Natadjaja (2003), menunjukkan bahwa
pada pembelian pertama kali, desain kemasan berperan dalam keputusan
konsumen untuk membeli sambel terasi instan, juga desain kemasan dapat
memberikan efek lebih untuk preferensi merek bagi konsumen.
Berdasarkan Tabel 4.1 Pengamatan Desain Kemasan Kaca Produk Saus
Sambal, menggunakan merek prouk sambal ABC dan Indofood. Bentuk desain
kemasan merek ABC dan Indofood menggunakan botol kaca bening. Menurt
Julianti dan Nurmainah (2006), gelas adalah benda yang transparan, lumayan
kuat, biasanya tidak bereaksi dengan barang kimia, dan tidak aktif secara biologi
yang bisa dibentuk dengan permukaan yang sangat halus dan kedap air. Oleh

81
karena sifatnya yang sangat ideal gelas banyak digunakan di banyak bidang
kehidupan. Wadah gelas dalam bentuk botol dikenalkan oleh seorang dokter
untuk sistem distribusi susu segar yang bersih dan aman pada tahun 1884.
Mekanisasi pembuatan botol gelas besar-besaran pertama kali tahun 1892.
Wadah-wadah gelas terus berkembang hingga saat ini, mulai dari bejana-bejana
sederhana hingga berbagai bentuk yang sangat menarik. Sebagai bahan
kemasan, gelas mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan kemasan gelas diantaranya sebagai berikut:
a. kedap terhadap air, gas , bau-bauan dan mikroorganisme
b. Inert dan tidak dapat bereaksi atau bermigrasi ke dalam bahan pangan
c. Kecepatan pengisian hampir sama dengan kemasan kaleng
d. Sesuai untuk produk yang mengalami pemanasan dan penutupan secara
hermetis
e. Dapat didaur ulang - Dapat ditutup kembali setelah dibuka
f. Transparan sehingga isinya dapat diperlihatkan dan dapat dihias
g. Dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk dan warna
h. Memberikan nilai tambah bagi produk
i. Rigid (kaku), kuat dan dapat ditumpuk tanpa mengalami kerusakan
Kelemahan kemasan gelas sebagai berikut:
a. Berat sehingga biaya transportasi mahal
b. Resistensi terhadap pecah dan mempunyai thermal shock yang rendah
c. Dimensinya bervariasi
d. Berpotensi menimbulkan bahaya yaitu dari pecahan kaca.
Menurut Millati (2010), untuk membuat agar kemasan gelas bersifat inert
dan netral maka gelas dicelupkan dalam larutan asam. Untuk melinungi
permukaan gelas maka diberi laminasi silikon polietilen glikol atau polietilen
stearat. Sifat gelas yang stabil menyebabkan gelas dapat disimpan
dalam jangka waktu panjang tanpa kerusakan.
Ukuran dari kemasan merk ABC dan Indofood yaitu sama sekitar 335
ml. Menurut Syarief (1989), ukuran kemasan harus direncanakan dan dirancang
sedemikian rupa sehingga tidak sampai menyulitkan peletakan di rak atau tempat

82
pemajangan. Warna dari kemasan merk ABC yaitu bening dilapisi label merek
dominasi berwarna hijau. Sedangkan kemasaan merk Indofood yaitu bening
dilapisi label merek Indofood dominasi warna kunging. Menurut Cenadi (2000),
salah satu cara adalah dengan penggunaan warna yang cermat, karena konsumen
melihat warna jauh lebih cepat daripada melihat bentuk atau rupa. Dan warnalah
yang pertama kali terlihat bila produk berada di tempat penjualan. Warna yang
terang akan lebih terlihat dari jarak jauh, karena memiliki daya tarik dan dampak
yang lebih besar. Sehingga warna pada kemasan saus sambal merk ABC dan merk
Indofood sudah sesuai dengan teori karena daya tarik kenampakan yang menarik
yaitu kemasan dengan warna label yang cerah. Menurut Apriliani dkk (2012),
Warna dan bentuk kemasan yang menarik dianggap penting karena dapat
mempengaruhi daya tarik konsumen dalam melakukan pembelian. Hal tersebut
dikarenakan kemasan merupakan salah satu alat promosi produk yang dapat
dilihat secara langsung sebelum mengkonsumsi produknya.
Gambar desain kemasan merk ABC yaitu gambar sambal saus sambal
manis pedas disertai logo merek ABC, terdapat gambar cabai dan tomat pada
label. Sedangkan Gambar desain kemasan saus sambal merek Indofood yaitu
gambar saus sambal disertai merek Indofood, cabai, tahu dan bakwan. Gambar
dari kemasan menurut Cenadi (2000), harus sesuai dengan produk dan
membujuk konsumen untuk membelinya. Sedangkan menurut Sulistyo (2008),
konsumen umumnya akan tertarik dengan produk-produk yang dibungkus
dengan gambar-gambar yang kreatif, menarik dan eye catching.

83
Tabel 4.2 Pengamatan Labeling Kemasan Botol Kaca Produk Saus Sambal
Merk Produk ABC Indofood
Ada/tidak tanggal
Ada Ada
kadaluwarsa
Ada/tidak kode
Ada Ada
produksi
Ada/ tidak label Halal Ada Ada
Ada/tidak komposisi Ada Ada
Ada/tidak kandungan
Tidak ada Tidak ada
Gizi
Ada/tidak merk dagang Ada Ada
Jenis produk Saus Saus
Ukuran isi/ Berat bersih 335 ml 340 ml
Izin depkes BPOM RI MD: LPPOM : 00060000421298
256328025010 BPOM BPOM RI MD:
256311037038
Buatan dalam/luar
Dalam negeri Dalam negeri
negeri
Ada/ tidak petunjuk
Tidak ada Tidak ada
penggunaan
Ada/ tidak barcode Ada Ada
Ada/tidak Identitas
Ada Ada
pembuat
Ada/tidak layanan
Ada Ada
konsumen
Informasi promosi Iklan Iklan
Ada/tidak Informasi
teknologi pengolahan Tidak ada Tidak ada
yang digunakan

Menurut Ahmadi (2007), label adalah sejumlah keterangan pada


kemasan produk. Secara umum, label minimal harus berisi nama atau merek
produk, bahan baku, bahan tambahan komposisi, informasi gizi, tanggal
kedaluwarsa, isi produk, dan keterangan legalitas. Sedangkan menurut Asgari
dan Borzooei (2013), keterangan tentang halal pada produk yang dijual terutama
di Indonesia mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari melakukan
pengkonsumsian pangan yang tidak halal (haram).
Berdasarkan Tabel 4.2 Pengamatan Labeling Kemasan Botol Kaca
Produk Saus Sambal merk ABC dan Indofood, dari kedua merk tersebut hasilnya

84
yaitu terdapat tanggal kadaluarsa. Sambal merk ABC tanggal kadaluarsanya
yaitu 28-Juli-17, sedangkan pada sambal merk Indofood yaitu 18-Des-17.
Menurut Amalia (2012), keterangan umur simpan (masa kadaluarsa) produk
pangan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen
pada label kemasan produk pangan, terkait dengan keamanan produk pangan dan
untuk memberikan jaminan mutu pada saat produk sampai ke tangan konsumen.
Kewajiban pencantuman masa kadaluarsa pada label pangan diatur dalam
Undang-undang Pangan No.7/1996 serta Peraturan Pemerintah No. 69/1999
tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib
mencantumkan tanggal kadaluarsa (expired date) pada setiap kemasan produk
pangan. Menurut Setiawan dan Hanny (2012), setiap produk atau barang yang
diproduksi baik itu makanan atau non-makanan pasti memiliki tanggal
kadaluarsa. Tanggal kadaluarsa tersebut biasanya dicantumkan dalam
pembungkus atau menempel pada makanan tersebut dan berbentuk label.
Menurut peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia
No.180/Men.Kes/Per/IV/85 tentang makanan kadaluarsa, tanggal kadaluarsa
adalah adalah batas akhir suatu makanan pada kemasan dijamin mutunya
sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen.
Label tanggal kadaluarsa terkadang susah untuk dilihat pembeli atau tidak
dicantumkan dalam kemasan. Dari analisis produk saus sambal merk ABC dan
Indofood sudah memenuhi syarat yang berlaku tentang pencantuman tanggal
kadaluarsa produk.
Berdasarkan analisis kode produksi dari kemasan saus sambal merk ABC
dan Indofood terdapat tanggal kode produksi. Menurut Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (2012), tentang Cara Produksi
Pangan yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga, untuk menghasilkan produk
yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar.
Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga pangan dapat
dilakukan dengan salah satu cara cara mencantumkan tanggal produksi pada
kemasan. Sehingga produk sambal merk ABC dan Indofood sudah memenuhi
syarat yang berlaku tentang pencantuman kode produksi.

85
Terdapat pencantuman label halal dalam kemasan saus sambal merk
ABC dan Indofood. Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan
yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal
dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk
mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah
memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah
diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang dimaksudkan telah
memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal dilakukan oleh
lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya. Tujuan akhir dari
Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi
mempunyai keterkaitan satu sama lain. Di Indonesia lembaga yang otoritatif
melaksanakan Sertifikasi Halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan
Kosmetika (LPPOM). Sedangkan kegiatan labelisasi halal dikelola oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dalam pelaksanaannya di
Indonesia, kegiatan labelisasi halal telah diterapkan lebih dahulu sebelum
sertifikasi halal. Di Indonesia peraturan yang bersifat teknis yang mengatur
masalah pelabelan halal antara lain keputusan bersama Menteri Kesehatan dan
Menteri Agama RI No. 427/Men.Kes/SKBMII/1985 (No.68 Tahun 1985)
Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan. Definisi halal seperti
dalam Halal Consumer Magazine (2008) yang dipublikasikan oleh the Islamic
Food and Nutrition Council of America (IFANCA) dalam bahasa Arab
(sebagaimana tercantum dalam Kitab suci Al-Qur’an) adalah sah menurut
hukum atau diijinkan (Asgari dan Borzooei, 2013).
Dari kemasan saus sambal merk ABC dan Indofood dicantumkan
komposisi bahan pembuat produk. Komposisi dari saus sambal ABC yaitu cabai
38%, tomat, gula, air, garam, pati termodifikasi, pengatur keasaman, pengawet
(natrium benzoat dan natrium metabisulfit), penguat rasa (monosodium glutamat
dan inosinat guanilat) dan perisa identik alami. Sedangkan komposisi dari saus
sambal merk Indofood yaitu air, cabai, gula, garam, pengental nabati, ekstrak
ragi, bumbu dan rempah-rempah, pengatur keasaman, perisa alami dan pengawet

86
(Natrium Benzoat, Natrium Metabisulfit). Menurut Apriliani dkk (2012),
pencantuman komposisi pada kemasan dapat meningkatkan kepuasan
konsumen, sebab semakin lengkap informasi yang ada pada kemasan maka
konsumen akan semakin puas, tetapi tidak adanya pencantuman komposisi pada
kemasan kepuasan konsumen tidak akan menurun. Pencantuman komposisi
pada kemasan dianggap tidak terlalu penting untuk dicantumkan, dikarenakan
terkadang lebih banyak konsumen tidak terlalu memperhatikan informasi yang
ada pada kemasan. Untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya tidak
jarang para pelaku usaha tidak memberikan kelengkapan informasi mengenai
komposisi suatu produk dengan alasan kebanyakan konsumen tidak terlalu
memperhatikan hal itu karena dianggap tidak terlalu penting untuk dilihat dan
dibaca. Sehingga ketentuan pencantuman komposisi dalam kemasan saus
sambal merk ABC dan Indofood sudah sesuai dengan literatur dan syarat yang
berlaku.
Untuk pencantuman nilai gizi dalam kemasan saus sambal merek ABC
dan Indofood, keduanya tidak dicantumkan kandungan gizinya. Menurut BPOM
(2012), di Indonesia informasi nilai gizi atau dikenal juga dengan Nutrition
informasi atau Nutrition Fact atau Nutrition labelling merupakan salah satu
informasi wajib dicantumkan apabila label pangan memuat sejumlah keterangan
tertentu. Secara definisi informasi Nilai Gizi dapat diartikan sebagai daftar
kandungan zat gizi pangan pada label pangan sesuai dengan format yang telah
ditetapkan. Di beberapa negara pencantuman informasi Nilai Gizi ada yang telah
diberlakukan secara wajib dan ada juga yang sukarela. Di tingkat internasional,
Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai Badan di bidang pangan, saat
ini sedang mengkaji penerapan mandatory nutrition labeling. Maka dari itu
pencantuman gizi dari produk saus sambal merk ABC dan Indofood, belum
memenuhi standar dalam kemasan gizi.
Pada kemasan saus sambal merk ABC dan merk Indofood tercantum
merek dagang, barcode, komposisi isi bersih, izin depkes serta identitas
pembuat. Identitas pembuat sambal merk ABC yaitu PT. Heinz ABC Indonesia,
Karawang-41371, Indonesia. Sedangkan identitas pembuat produk saus sambal

87
merek Indofood oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, Semarang -50151,
Indonesia. Dalam kemasan saus sambal merk ABC dan merek Indofood tidak
ada informasi teknologi pengolahan yang digunakan. Berat isi dari saus sambal
merk ABC yaitu 335 ml dan merk Indofood yaitu 340 ml. Izin dekpes dari
sambal merk ABC yaitu BPOM RI MD: 256328025010 dan saus sambal merk
Indofood yaitu LPPOM: 00060000421298 dan BPOM BPOM RI MD:
256311037038. Pada saus sambal merk ABC dan merek Indofood terdapat pesan
layanan konsumen dalam label tetapi tidak dicantumkan petunjuk
penggunaannya.
Menurut Adam (2004), bahwa variabel harga, saluran distribusi, produk,
dan promosi, secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap pembelian
produk dalam kemasan oleh konsumen. Sedangkan menurut Mahmudi (2002),
menemukan bahwa variabel produk yang tersiri dari item harga, rasa, kemasan,
dan merek merupakan faktor pertama yang memotivasi konsumen dalam
melakukan pembelian sambel terasi instan. Variabel promosi yang terdiri dari
item bonus, pemeran iklan, gaya penjual merupakan faktor kedua yang
memotivasi pembelian. Variabel distribusi yang terdiri dari item pengecer,
lokasi, dan outlet merupakan faktor ketiga dalam memotivasi pembelian.

88
E. Kesimpulan
Dari pembahasan Acara IV “Indentifikasi dan Analisis Kemasan
Makanan dan Minuman di Pasaran” dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemasan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam menjaga kualitas
produk, umur simpan produk, serta dalam peningkatan harga jual produk.
2. Desain kemasan mempunyai 5 prinsip fungsional yaitu kemasan, kemasan
secara fisik, kemasan yang nyaman dipakai, kemasan yang mampu
menampilkan citra produk dan segmentasi pasar pemakainya, dan kemasan
yang berprinsip mendukung keselarasan lingkungan.
3. Label dari sambal merk ABC yaitu ada tanggal kadaluwarsa, terdapat kode
produksi, terdapat label Halal, terdapat komposisi, tidak ada kandungan gizi,
terdapat merk dagang, jenis produk saus, terdapat izin depkes, buatan dalam
negeri, terdapat petunjuk penggunaan, terdapat identitas pembuat, terdapat
informasi promosi, dan tidak dicantumkan nformasi teknologi pengolahan
yang digunakan.
4. Label dari sambal merk Indofood yaitu terdapat tanggal kadaluwarsa, kode
produksi, label Halal, komposisi, tidak tidak terdapat kandungan gizi,
terdapat merk dagang, jenis produk saus, izin depkes, buatan dalam negeri,
tidak ada petunjuk penggunaan, terdapat identitas pembuat, terdapat
informasi promosi, dan tidak tidak tercantum Informasi teknologi pengolahan
yang digunakan.
5. Fungsi pengemasan pada bahan pangan adalah mewadahi produk selama
distribusi dari produsen hingga kekonsumen, agar produk tidak tercecer,
terutama untuk cairan, pasta atau butiran. Melindungi dan mengawetkan
produk, seperti melindungi dari sinar ultraviolet, panas, kelembaban udara,
oksigen, benturan, kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapat merusak
dan menurunkan mutu produk.

89
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Rosida P. 2004. Pengaruh Faktor Internal Konsumen dan Kinerja Bauran
Pemasaran Terhadap Keputusan Pembelian Produk Teh dalam Kemasan
oleh Konsumen Rumah Tangga di Jawa Barat. Tesis Magister Manajemen
Universitas Pajajaran.
Ahmadi, Miru. 2007. Hukum kontrak: Perancang kontrak. PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
Amalia, Ulfah. 2012. Pendugaan Umur Simpan Produk Nugget Ikan dengan Merk
Dagang Fish Nugget “So Lite”. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 8. No. 1.
Anggarini. 2012. Analisis Atribut Produk yang Mempengaruhi Kategori Kepuasan
Konsumen dengan Metode KANO dan Root Cause Analysis (Studi Kasus
di Citra Kendedes Cake & Bakery, Malang). FTP Univ. Brawijaya.
Asgari, M., dan Borzooei, M. 2013. “Halal Branding and Purchase Intention: A
Brand Personality Appeal Perspective”. International Journal of Business
and Management Invention Vol. 2, No. 8, Hal: 23-27.
Cenadi, Christine Suharto. 2000. Peranan Desain Kemasan Dalam Dunia
Pemasaran. Nirmana Vol. 2, No. 1.
Julianti, Elisa dan Nurminah Mimi. 2006. Teknologi Pengemasan. Sumatra Utara:
FP UNSU.
Mahmudi, Moh. 2002. Faktor-Faktor Yang Memotivasi Konsumen Dalam
Melakukan Pembelian Indomie Pada Masyarakat Kelurahan Sumbersari
Kecamatan Lowokwaru Kodya Malang. Universitas Brawijaya Malang.
Marsh, Kenneth dan Betty Bugusu. 2007. Food Packaging-Roles, Materials, and
Environmental Issues. Journal of Food Science. Vol. 72, No. 3.
Millati, Tanwirul. 2010. Penuntun Praktikum Teknologi Pengemasan dan
Penyimpanan. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.
Banjarbaru.
Natadjaja, Listia. 2003. Comparation Study of Instant Noodle Nong Shim Kam
Korea and Indomie Indonesia as The Effect of Packaging Design Point of
Interest to The Consumer Brand Preference, Jurnal Nirmana Vol. 5, No.
2, Hal: 123-136.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.
Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga. No.
Hk.03.1.23.04.12.2206.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Makanan Daluwarsa. No:
180 /Men.Kes/Per/IV/85.
Permono, Ajar. 2009. Membuat Detergen Bubuk. Penebar Swadaya: Jakarta.

90
Ramos, Marina., Arantzazu Valdes., Ana Cristina Mellinas dan Maria Carmen
Garrigos. 2015. New Trends in Beverage Packaging Systems: A Review J.
Beverages. Vol. 1, Hal: 248-272.
Rosalina, Yessy., Alnopri dan Prasetyo. 2008. Disain Kemasan Untuk
Meningkatkan Nilai Tambah Madu Bunga Kopi Sebagai Produk
Unggulan Daerah. Jurnal Agroindustri Vol. 2, No. 1, ISSN 2088– 5369.
Sulistyo, Christian Yudho. 2008. Pengaruh Merk, Rasa, Harga, Desain Kemasan,
dan Kemudahan Memperoleh terhadap Pembelian Mi Instan Di
Yogyakarta (Studi Kasus Pada Mahasiswa Universitas Pembangunan
Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta). Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Sutomo, Budi. 2014. Koleksi Resep Sambal & Saus. Kawan Pustaka: Jakarta.
Syarief. 1989. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan: Jakarta.
Yani, Mohamad., Endang Warsiki, dan Noviana Wulandari. 2014. Penilaian Daur
Hidup Botol Gelas Pada Produk Minuman Teh. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian Vol. 2, No. 24, Hal:166-178.
Yuyun dan Delli Gunarsa. 2011. Cerdas Mengemas Produk Makanan dan
Minuman. Agromedia Pustaka. Jakarta.

91
LAMPIRAN FOTO

Gambar 4. 4 Saus Sambal Merek ABC

Gambar 4.5 Saus Sambal Merek Indofood

92
93

Anda mungkin juga menyukai