Anda di halaman 1dari 29

Jurnal Reading

POLIP KOLOREKTAL

Oleh:
I Dewa Made Satrianjaya 1702612156

Pembimbing:
dr. I Made Mulyawan SpB-KBD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RUMAH SAKIT


UMUM PUSAT SANGLAH

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan journal reading ini
dengan judul Polip Kolorektal tepat pada waktunya.

Journal reading ini dibuat sebagai prasyarat dalam mengikuti. Kepaniteraan


Klinik Madya (KKM) di BAG/KSM Bedah FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Dalam
penyusunan laporan kali ini, Penulis memperoleh banyak bimbingan, petunjuk dan
dukungan dari berbagai pihak.

Penulis menyadari bahwa dalam journal reading ini masih terdapat kekurangan,
diharapkan adanya saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga bisa memberikan
sumbangan ilmiah bagi dunia kedokteran dan manfaat bagi masyarakat. Terima kasih.

Denpasar, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Definisi ................................................................................................. 3
2.2 Etiologi .................................................................................................. 4
2.3 Faktor Risiko ......................................................................................... 5
2.4 Klasifikasi .............................................................................................. 7
2.5 Manifestasi Klinis ................................................................................ 15
2.6 Diagnosis ............................................................................................. 16
2.7 Terapi ................................................................................................... 20
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah polip kolorektal dalam klinik dipakai untuk menggambarkan tiap


kelainan yang jelas, menonjol diatas permukaan mukosa yang mengeliling. Polip
merupakan suatu massa seperti tumor yang menonjol kedalam lumen usus yang
berasal dari epitel mukosa dan submukosa. Polip kolorektal dapat diklasifikasikan
berdasarkan penampakan makroskopiknya sebagai sessile (rata, timbul langsung dari
lapisan mukosa) atau pedunculated (memanjang dari mukosa melalui batang
fibrovaskular). Beberapa jenis polip dapat diklasifikasikan secara makroskopis, akan
tetapi untuk mengetahui secara pasti jenis polip diperlukan pemeriksaan histologis,
terutama dalam hal potensi untuk menjadi ganas.1

Polip berasal dari epitel mukosa dan merupakan neoplasma jinak terbanyak di
kolon dan rektum. Bila tidak diobati, polip kolon dapat mengalami perkembangan
menjadi karsinoma dalam beberapa tahun. Sebagian besar polip adenoma bersifat
asimtomatik dan ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan sigmoidoskopi, enema
barium, atau otopsi. Bila polip menimbulkan gejala, umumnya berupa perdarahan
yang nyata atau samar. Kadang-kadang, polip yang besar dapat menimbulkan
intususepsi dan menyebabkan obstruksi usus.1

Ketika karsinoma invasif muncul dalam polip, pertimbangan yang cermat


harus diberikan untuk memastikan kecukupan pengobatan. Meskipun sebagian besar
polip neoplastik tidak berevolusi menjadi kanker, dapat dinyatakan bahwa mayoritas
karsinoma kolorektal berevolusi dari polip adenomatosa. Urutan kejadian yang
mengarah pada transformasi ini disebut sebagai urutan adenoma-ke-karsinoma.1
Polip neoplastik sangat penting karena mengandung potensi ganas, yang
merupakan tahap dalam perkembangan kanker kolorektal. Untuk alasan ini, penting
untuk mengidentifikasi polip ini pada tahap awal yang cukup. Kehadiran proses
sistemik yang mempromosikan pengembangan beberapa polip gastrointestinal
disebut 'poliposis'. Sindrom poliposis gastrointestinal herediter menyumbang sekitar

1
1% dari semua kasus kanker kolorektal dan berhubungan dengan spektrum luas
tumor ekstra-kolon.1

Diagnosis polip kolon biasanya incidental selama pemeriksaan usus besar dan
dubur. Di sisi lain terkadang, polip terdeteksi dalam program pencegahan kanker
kolorektal atau selama follow-up pasien dengan neoplasias kolorektal. Deteksi dini
dan klasifikasi akurat dari sindrom-sindrom ini sangat penting, untuk memulai
program pengawasan untuk deteksi dini kanker. Beberapa sindrom poliposis telah
dideskripsikan, masing-masing memiliki basis genetik dan distribusi polip yang khas,
presentasi klinis, dan risiko keganasan.11

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Polip berasal dari kata Yunani, istilah polip menggambarkan adanya massa
atau jaringan dari mukosa normal yang menonjol kedalam lumen. Menurut
bentuknya, polip dibedakan atas bentuk bertangkai (pedunculated polyps) dan bentuk
tidak bertangkai dengan dasar yang lebar (sessile polyps).1

Polip kolorektal didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan yang bertangkai


dari dinding usus yang menonjol ke arah usus besar atau rektum. Ukuran polip dapat
bervariasi dan semakin besar polip maka semakin besar risiko berkembang menjadi
kanker atau pra-kanker.2

Polip dapat tumbuh dengan atau tanpa batang polip. Polip yang tumbuh tanpa
batang lebih memungkinkan untuk berkembang menjadi kanker dibandingkan yang
memiliki batang. Polip adenomatosa yang terdiri dari sel-sel kelenjar yang melapisi
bagian dalam usus besar cenderung tumbuh menjadi kanker (calon kanker). Adenoma
bergerigi adalah bentuk agresif dari adenoma.2

Sebagian besar polip termasuk dalam kategori adenomatosa. Meskipun hanya


sebagian kecil polip yang berkembang menjadi kanker, namun hampir semua polip
ganas berasal dari jenis adenomatosa. Polip hiperplastik paling sering terjadi di kolon
dan rektum. Biasanya memiliki ukuran <1/4 inci (5 mm), jenis polip ini sangat jarang
berkembang menjadi kanker. Polip inflamasi dapat menyertai serangan ulcerative
colitis atau penyakit Crohn pada kolon. Meskipun polip sendiri tidak terlalu
berbahaya, namun memiliki ulcerative colitis atau penyakit Crohn pada kolon
meningkatkan risiko kanker kolon.3

Polip kolorektal secara histologis diklasifikasikan menjadi dua kelompok


utama yaitu polip neoplastic dan non neoplastik.1 Polip non-neoplastik umumnya

3
tidak memiliki potensi ganas dan yang dibagi menjadi hiperplastik, hamartoma dan
polip inflamasi. Polip neoplastik mengandung potensi ganas, termasuk adenomatosa
yang merupakan tahap dalam perkembangan kanker kolorektal. Untuk alasan ini,
penting untuk mengidentifikasi polip ini pada tahap awal. Polip kolorektal dalam
kolonoskopi dapat diklasifikasikan sebagai sessile (datar, timbul langsung dari
lapisan mukosa) atau bertangkai (memanjang dari mukosa melalui batang
fibrovaskular) (Gambar 1).2

Gambar 1. Pandangan kolonoskopik dari normal colon, polip sessile dan


pedunculated.2

2.2 Etiologi

Sebagian besar polip tidak bersifat ganas atau berkembang menjadi kanker.
Namun seperti kebanyakan kanker, polip adalah hasil dari pertumbuhan sel yang
abnormal. Sel-sel sehat tumbuh dan membelah secara teratur yang merupakan proses
yang dikontrol oleh gen. Mutasi dalam setiap gen ini dapat menyebabkan sel untuk
terus membelah bahkan ketika sel-sel baru tidak diperlukan. Jika pembelahan sel-sel

4
dalam kolon dan rektum tidak terkontrol, maka dapat menyebabkan terbentuknya
polip.3

Selama jangka waktu yang panjang, beberapa polip dapat menjadi ganas.
Polip dapat berkembang di bagian mana saja di dalam kolon. Polip dapat berukuran
kecil atau besar dan datar (sesil) atau berbentuk menyerupai jamur atau seperti
melekat pada batang (pedunkulata). Secara umum, semakin besar ukuran polip,
semakin besar kemungkinan untuk berkembang menjadi kanker.3

2.3 Faktor Risiko

1. Jenis Kelamin

Hasil studi sebelumnya bervariasi sehubungan dengan perbedaan jenis


kelamin antara kasus dengan adenoma dan kasus dengan bergerigi polip. Beberapa
penelitian mengevaluasi kedua jenis polip yang ditemukan bahwa, dibandingkan
dengan wanita, pria memiliki risiko lebih tinggi terhadap adenoma dan polip
bergerigi, studi lain mengamati risiko adenoma yang lebih tinggi pada pria
dibandingkan pada wanita dan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan polip
bergerigi.2

2. Merokok

Temuan bahwa merokok memiliki hubungan yang lebih kuat dengan polip
bergerigi dibandingkan dengan polip adenomatosa didukung oleh beberapa penelitian
sebelumnya dan diperkuat dalam penelitian ini. Selanjutnya, analisis kanker
kolorektal menunjukkan bahwa karsinoma paling banyak kemungkinan timbul dari
jalur bergerigi (serrated pathway) yaitu, kanker yang bermutasi BRAF, tinggi CIMP,
dan tinggi MSI secara khusus dikaitkan dengan merokok.3 Zat karsinogenik
(polisiklik aromatic hidrokarbon, heterosiklik aromatic amin) dalam rokok diserap
oleh paru-paru kemudian masuk ke pembuluh darah menyebabkan terjadinya

5
kerusakan DNA (CIMP, BRAF, P53) sehingga terjadi proliferasi sel-sel abnormal
dalam usus.4

3. Usia

Risiko kanker kolorektal meningkat dengan meningkatnya usia, lebih sering


terjadi pada usia diatas 50 tahun. Karena itu, tidak mengherankan bahwa hasil
penelitian ini menyatakan usia yang lebih tua memiliki hubungan yang lebih kuat
dengan advanced adenomas dengan nonadvanced adenomas.3 Semakin tua, semakin
banyak terpapar zat karsinogen seperti makanan, radiasi, zat kimi. Mutasi juga bisa
terjadi akibat kesalahan ketika DNA dicopy sebelum membelah. Semakin tua usia
semakin banyak akumulasi mutasi DNA (replikasi DNA yang salah). Pada usia tua
juga berkurangnya mekanisme perbaikan kerusakan DNA dari tubuh.4

.4.. Indeks Masa Tubuh

Sebuah meta-analisis baru-baru ini tentang hubungan antara kanker kolorektal


dan BMI menunjukkan peningkatan risiko kanker kolorektal dengan peningkatan
BMI. Sel adipose mudah menghasilkan mediator inflamasi sehingga memudahkan
terjadinya infeks. Lemak visceral menyebabkan resistensi insulin sehingga
menyebabkan hiperinsulinemia dan peningkatan IGF 1 yang menstimulasi proliferasi
epitel kolon. Obesitas juga menyebabkan turunnya adiponektin yang bekerja
mengatur apoptosis sel sehingga ketika adiponektin berkurang akan terjadi hambatan
apoptosis sel melalui sinyal faktor kappa dan beta.3 Dengan hasil yang mirip dengan,
Wallace et al. melaporkan bahwa BMI dikaitkan dengan peningkatan risiko polip
bergerigi khusus di kolon distal dan rektum. Hubungan antara BMI dan neoplasia
kolorektal adalah kompleks, dan investigasi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan peran BMI dalam jalur bergerigi.4

6
2.4 Klasifikasi

2.4.1 Kolorektal Polip Neoplastik

Polip kolorektal neoplastik (adenomatosa) adalah tumor jinak yang berasal


dari sel epitel kolon yang mensekresi lendir. Polip adenomatosa sering terjadi,
terutama di negara-negara barat, terjadi, di Amerika Serikat, pada 20-40% penapisan
kolonoskopi pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun. Satu seri baru-baru ini
melaporkan bahwa tingkat adenoma tergantung pada usia dan jenis kelamin. Pada
orang yang lebih muda dari 50 tahun, 3% wanita dan 24% pria ditemukan memiliki
adenoma pada screening colonoscopy. Pada wanita dan pria yang lebih tua dari 80
tahun, angka meningkat masing-masing menjadi 27% dan 40%. Sebuah studi berbasis
populasi baru-baru ini menemukan bahwa setidaknya satu polip terdeteksi pada
34,3% pasien tanpa gejala yang menjalani skrining kolonoskopi.1

Dalam seri otopsi, prevalensinya bahkan lebih tinggi dan meningkat dengan
bertambahnya usia. Sepertiga hingga setengah dari pasien yang ditemukan memiliki
adenoma kolon memiliki lesi kolon yang sinkron. Faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap perkembangan adenoma kolon berlipat ganda dan tidak pasti, namun dapat
diterima dengan baik bahwa kerentanan genetik dan faktor lingkungan berperan
dalam proses ini. Merokok terbukti menjadi faktor risiko untuk pengembangan polip
kolon yang lain termasuk obesitas, asupan tinggi daging merah dan rendahnya asupan
serat dan kalsium. Sebaliknya, penggunaan obat antiinflamasi non-steroid (NSAID)
dan statin, telah terbukti memiliki efek perlindungan.5

Secara anatomis, adenoma dapat ditemukan di mana saja di sepanjang usus


besar. Adenoma besar yang lebih rentan berkembang menjadi karsinoma ditemukan
dalam distribusi yang mirip dengan karsinoma, dengan dominasi kolon kiri. Secara
klinis, sebagian besar polip tidak bergejala dan ditemukan pada skrining kolonoskopi.
Polip yang lebih besar dapat berdarah atau sebagian menghalangi lumen kolon oleh
karena itu, hematochezia (terlihat atau klenik) atau gejala obstruktif seperti nyeri
perut, pembengkakan, atau perubahan kebiasaan buang air besar dapat segera

7
diselidiki. Diare sekretorik dan hipokalemia (sindrom McKittrick-Wheelock)
mungkin merupakan presentasi klinis yang jarang dari adenoma vili.5

Polip adenomatosa dikelompokkan menurut penampilan histologisnya sebagai


adenoma tubular, villous, atau tubule-villous. Adenoma tubular memiliki penampilan
histologis kelenjar tubulus bercabang (Gambar 2). Ini adalah subtipe histologis yang
paling umum, yang membentuk sekitar 65-80% dari semua polip yang dihilangkan.
Adenoma tubular paling sering bertangkai dan umumnya memiliki lebih sedikit
atypia daripada adenoma vili, meskipun derajat atypia bervariasi. Adenoma vili
memiliki proyeksi panjang seperti jari pada mikroskop (Gambar 3). Hanya 5-10%
polip neoplastik adalah adenoma vili. Dibandingkan dengan adenoma tubular,
adenoma vili lebih sering sessile dan lebih cenderung memiliki atypia atau displasia
yang parah. 5

Adenoma tubular: pandangan perbesaran daya rendah (× 400, 2a) dan tinggi (× 2000,
2b) dari pewarnaan hematoxilin-eosin. Tampilan histologis adalah kelenjar tubular
bercabang.

8
Adenoma vili: pandangan perbesaran daya rendah (× 400, 3a) dan tinggi (× 2000, 3b)
dari pewarnaan hematoxilin-eosin. Penampilan histologis adalah proyeksi panjang
seperti jari.1

Meskipun sebagian besar polip neoplastik tidak berevolusi menjadi kanker,


dapat diterima sebagai karsinoma kolorektal berevolusi dari polip adenomatosa
urutan kejadian yang mengarah pada transformasi ini disebut urutan adenoma-ke-
karsinoma.Pembentukan proses neoplastik memerlukan beberapa perubahan genetik
kumulatif yang dapat dibagi menjadi tiga kategori:1

a. Mutasi pada proto-onkogen yang menyebabkan transformasi mereka menjadi


onkogen aktif (ini adalah gen yang menggantikan dalam transduksi sinyal intraseluler
dan mengaktifkan mereka yang menyebabkan transmisi abnormal sinyal pengatur
tumbuh).

b. Mutasi atau penghapusan yang mengurangi aktivitas gen penekan tumor.

c. Mutasi yang menyebabkan kerusakan gen yang terlibat dalam perbaikan


DNA.

Tiga mekanisme ini berkontribusi terhadap proliferasi sel yang tidak terkendali,
pertumbuhan otonom dan, karenanya, pembentukan tumor. Diasumsikan bahwa
proses neoplastik dimulai bersamaan dengan ekspresi intraseluler dari mutasi genetik
pertama dan, ketika kerusakan genetik terus menumpuk, proses neoplastik menjadi
lebih maju. Suatu titik kritis dalam proses ini terjadi ketika sel-sel neoplastik

9
memperoleh kemampuan untuk menembus membran dasar dan bermetastasis. Poin
ini mendefinisikan transformasi adenoma menjadi karsinoma [10].1

Beberapa gen telah diakui berperan dalam pengembangan kanker kolorektal


melalui urutan adenoma-ke-karsinoma. Gen-gen ini termasuk gen penekan tumor
APC, DCC, dan p53; proto-onkogen K-RAS dan MYC; dan gen perbaikan
ketidakcocokan DNA MLH1, MSH2, dan MSH6. Masing-masing gen ini diyakini
memiliki tahap spesifik pembentukan tumor di mana de-aktivasi (gen penekan tumor)
atau aktivasi (proto-onkogen) sangat penting. Sebagai contoh, produk protein dari gen
p53 memiliki peran dalam mencegah sel-sel yang rusak dari melalui siklus mitosis
dan kehilangannya diyakini memediasi konversi adenoma menjadi karsinoma Perlu
disebutkan bahwa hilangnya aktivitas gen penekan tumor membutuhkan mutasi atau
penghapusan kedua alel [3]. Demonstrasi prinsip ini dapat ditemukan dalam beberapa
sindrom yang diturunkan, di mana mutasi (germline) yang diwariskan pada satu alel
gen penekan tumor menyebabkan individu menjadi rentan terhadap pembentukan
tumor; kemudian mutasi kedua (somatik) disebabkan oleh faktor lingkungan dan
menyebabkan kerusakan pada alel lainnya. Pembentukan tumor dimulai pada saat itu.
Individu tersebut memiliki kecenderungan untuk mengembangkan tumor pada usia
dini. Contoh dari sindrom yang diturunkan ini adalah familial adenomatous polyposis
(FAP), di mana mutasi pada salah satu alel gen penekan tumor APC menyebabkan
kerentanan terhadap kanker kolorektal. Sindrom ini, bersama dengan sindrom
poliposis bawaan lainnya, dibahas lebih lanjut di bawah ini.1

Diskusi tentang adenoma ke karsinoma urutan adenoma-ke-karsinoma tidak


akan lengkap tanpa menyebutkan perubahan epigenetik (termasuk metilasi DNA) dan
pengaruh mikro-lingkungan, tetapi ini berada di luar ruang lingkup tinjauan ini.
Kecepatan pasti adenoma berubah menjadi tumor invasif tidak diketahui.
Diperkirakan bahwa dalam banyak kasus dibutuhkan 5-10 tahun untuk polip yang
terlihat menjadi karsinoma.1

10
2.4.2 Karsinoma Polip

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, polip adenomatosa harus dianggap


sebagai prekursor kanker. Risiko terkena kanker polip terkait dengan beberapa faktor.
Salah satunya — yang jelas pada identifikasi selama kolonoskopi — adalah
ukurannya. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa risiko polip tidak lebih
besar dari 5 mm yang mengandung neoplasia tingkat tinggi kurang dari 1%, dan
risiko kanker yang menimbunnya dapat diabaikan. Namun, polip yang berukuran
lebih dari 5 mm terbukti memiliki peluang 3% untuk terserang kanker dan
kemungkinan meningkat dengan meningkatnya ukuran polip. Ketika karsinoma
invasif muncul dalam polip, pertimbangan yang cermat harus diberikan untuk
memastikan kecukupan pengobatan. Karsinoma terbatas pada mukosa muskularis
tidak bermetastasis, dan eksisi lengkap dari jenis polip adalah pengobatan yang
memadai. Namun demikian, penetrasi melalui muscularis mukosa menunjukkan
bahwa tumor telah memperoleh kemampuan untuk bermetastasis dengan demikian
kecukupan polipektomi sederhana dipertanyakan. Haggitt dan rekannya telah
mengusulkan sistem klasifikasi untuk polip yang mengandung kanker, yang telah
diterima untuk menentukan apakah polip seperti itu membutuhkan eksisi yang lebih
luas. Menurut sistem ini, semua kriteria berikut harus dipenuhi agar polipektomi
lengkap dipertimbangkan sebagai pengobatan yang memadai:7

a. Polip harus pedunculated

b. Tumor tidak melampaui kepala atau leher polip (masing-masing level Haggitt
1 dan 2,)

c. Jarak antara tepi tumor dan margin spesimen melebihi 2 mm

d. Histologi menguntungkan (tidak berdiferensiasi buruk dan tidak ada invasi


limfatik atau vaskular).

Namun, jika salah satu dari situasi berikut terjadi ketika polip yang
mengandung kanker dikeluarkan, polipektomi saja tidak dianggap sebagai strategi

11
yang cukup aman, karena 10% atau lebih besar kemungkinan metastasis kelenjar
getah bening:7

a. Polip sesil

b. Polip bertangkai diidentifikasi dengan invasi tumor ke bagian mana pun dari
tangkainya di bawah lehernya atau ke submukosa dinding usus di bawah
tangkainya (masing-masing level Haggitt 3 dan 4)

c. Jarak antara tepi tumor dan margin spesimen kurang dari 2 mm

d. Histologinya berbeda

e. Invasi limfatik atau vaskular diamati

Jika salah satu dari situasi ini terjadi, reseksi bedah pada segmen kolon yang
terkena sesuai dengan prinsip onkologis umumnya direkomendasikan. Pasien seperti
itu seringkali merupakan kandidat yang sangat baik untuk kolektomi laparoskopi.1

A. Serrated Adenomas

Hingga beberapa tahun terakhir, polip kolorektal secara tradisional


diklasifikasikan sebagai adenomatosa atau non-neoplastik. Dalam beberapa tahun
terakhir, mengumpulkan bukti menunjukkan polip jenis lain, yang dulu diyakini
sebagai bagian dari polip hipeplastik, yang sekarang diketahui memiliki potensi
ganas. Ini diberi nama 'polip bergerigi' karena penampilan histologisnya (dari lipatan
papiler bergerigi ke dalam crypts). Polip bergerigi adalah kelompok polip heterogen
— beberapa di antaranya didefinisikan pada tahun 2003 sebagai subkelompok — dan
disebut “sessile serrated adenoma” (SSA). Ini cenderung berkembang pada usus
besar kanan dan lebih sering pada wanita daripada pada pria.1

SSA memiliki penampilan endoskopi datar dan ireguler yang khas dan temuan
histologis ekstensi gerigi ke dasar kriptus dan L yang melebar atau kriptus T-
berbentuk terbalik. Mereka juga tampaknya terkait dengan karakteristik
ketidakstabilan mikrosatelit dari defek pada mekanisme perbaikan DNA (terutama

12
hipermetilasi gen MLH1), mirip dengan perubahan DNA yang terlihat pada kanker
mikrosatelit sporadis yang tidak stabil. Polip dari subtipe lain, yang disebut 'adenoma
bergerigi tradisional' (TSA), cenderung mengandung mutasi pada gen BRAF dan
menyajikan tingkat hipermetilasi banyak gen yang tinggi, suatu karakteristik yang
disebut 'fenotipe metilator pulau CpG' (CIMP). Perubahan ini juga mirip dengan yang
terlihat pada kanker mikrosatelit sporadis yang tidak stabil.1

Polip bergerigi besar (> 10 mm) juga terbukti berhubungan dengan neoplasia
lanjut yang sinkron karenanya, kini telah diterima bahwa ada urutan adenoma-ke-
karsinoma yang lebih cepat, yang disebut sebagai 'jalur adenoma bergerigi'. Jalur ini
baru-baru ini bertanggung jawab untuk pengembangan sebanyak 15-30% kanker usus
besar karenanya, meskipun pernah dianggap berpotensi ganas rendah, adenoma
bergerigi apa pun yang lebih besar dari 5 mm harus dikeluarkan, dengan insentif
untuk menghilangkannya. Jika adenoma bergerigi tidak memungkinkan untuk
menyelesaikan polipektomi endoskopi, colectomy segmental harus dilakukan.
Pengawasan yang direkomendasikan untuk pasien yang ditemukan memiliki adenoma
bergerigi adalah sama dengan untuk pasien yang ditemukan memiliki polip
adenomatosa, menunjukkan kolonoskopi berulang pada interval tiga tahun.9

B. Lesi atau massa terkait displasia

Lesi atau massa yang berhubungan dengan displasia (DALM) mengacu pada
penemuan lesi mukosa yang meningkat pada pasien dengan penyakit radang usus
yang sudah berlangsung lama (IBD), terutama mukosa ulseratif kolitis (MUC), di
mana displasia ditemukan pada pemeriksaan histologis. DALM dapat dibedakan
secara makroskopik dari pseudopolip inflamasi, selain dari fakta bahwa pseudopolip
inflamasi biasanya tidak soliter. Lesi-lesi ini dapat menyerupai polip 'reguler' atau
mungkin digambarkan secara tidak teratur, seperti plak, atau meningkat secara tidak
teratur. Pentingnya DALM adalah bahwa mereka memiliki risiko tinggi untuk
berkembang menjadi kanker. Transisi DALM ke kanker kolorektal diyakini jauh
lebih cepat daripada urutan adenoma-ke-karsinoma klasik. Kehadiran DALM juga

13
dianggap sebagai tanda kondisi pra-kanker seluruh kolon, dipengaruhi oleh kondisi
inflamasi yang sudah berlangsung lama; maka penemuan DALM pada pasien dengan
MUC dengan sendirinya adalah indikasi untuk proktokolektomi total, dengan atau
tanpa rekonstruksi.1

2.4.3 Polip Kolorektal Nonneoplastik

Polip hiperplastik adalah jenis polip kolorektal yang paling umum. Polip ini
biasanya lebih kecil dari 5 mm (polip kecil), sessile, dan paling sering ditemukan di
kolon distal dan rektum. Karakteristik histologis hiperplasia tanpa displasia; untuk
alasan ini, mereka tidak dianggap pra-ganas. Sayangnya, polip hiperplastik tidak
selalu dapat dibedakan dari polip adenomatosa pada endoskopi dan karena itu sering
diangkat.1

Polip hiperplastik berdiameter lebih dari 2 cm dapat menimbulkan sedikit


risiko displasia dan degenerasi ganas. Polip Hamartomatosa juga dikenal sebagai
'polip juvenil', terutama terdiri dari jaringan ikat (otot polos, lamina propria, dan
infiltrat inflamasi) yang ditutupi oleh epitel hipertrofik. Secara makroskopis, polip-
polip ini merupakan pedunculated, ceri-merah, polip halus dan kadang-kadang tidak
dapat dibedakan dengan polip adenomatosa pedunculated. Hamartoma dapat muncul
secara sporadis atau sebagai bagian dari sindrom poliposis. Polip hamartomatosa
sporadis biasanya soliter dan muncul pada usia dini 75% terjadi pada anak-anak di
bawah sepuluh tahun (karenanya disebut polip 'juvenile'). Polip hamartomatous
sporadis biasanya tidak mengandung potensi ganas. Namun, karena sangat
vaskularisasi, mereka cenderung menyebabkan perdarahan. Intususepsi dan obstruksi
juga dapat terjadi. Beberapa polip hamartomatosa muncul dengan sindrom poliposis
genetik yang ditinjau secara rinci di bawah ini.1

Polip peradangan (pseudopolyps) paling sering terjadi pada pasien dengan


penyakit radang usus, terutama kolitis ulserativa. Mereka juga dapat terjadi setelah
suatu kejadian kolitis infeksi atau iskemik. Lesi-lesi ini bukan polip sejati, melainkan
akumulasi infiltrasi inflamasi dengan anatomi mukosa yang terdistorsi. Lesi ini bukan

14
pra-ganas, tetapi tidak dapat dibedakan dari polip adenomatosa berdasarkan
penampilan kolonoskopi. Karena itu, rekomendasinya adalah melakukan biopsi.
Secara umum tidak perlu untuk membedahnya kecuali gejala. Pemeriksaan
mikroskopis dari pseudopolyp inflamasi menunjukkan pulau-pulau yang normal,
regenerasi mukosa (polip) dikelilingi oleh daerah-daerah kehilangan mukosa.
Poliposis mungkin luas, terutama pada pasien dengan kolitis berat, dan mungkin
meniru poliposis adenomatosa familial.1

Lesi kolorektal submukosa keduanya jinak dan ganas, dapat disalahartikan


sebagai polip kolorektal. Lesi jinak tersebut termasuk lipoma, nodul limfoid
terisolasi, pneumatosis cystoides intestinalis, hemangioma, endometriosis, dan lain-
lain. Lesi ganas atau pra-ganas yang dapat keliru diidentifikasi sebagai polip adalah
tumor karsinoid, tumor stroma gastro-intestinal (GIST), limfoma, metastasis, dan
lainnya. Penting untuk mendiagnosis lesi ini dan, dalam kasus ketika diagnosis
diragukan dan biopsi kolonoskopi gagal mendiagnosis lesi, dimungkinkan untuk
melanjutkan evaluasi menggunakan computed tomography. Dalam kasus lesi rektum,
evaluasi dengan ultrasonografi endorektal (ERUS) dan biopsi yang dipandu ERUS
mungkin bermanfaat.1

2.5 Manifestasi Klinis

Pada banyak kasus, polip kolorektal tidak menunjukkan gejala apa pun.
Gejala yang paling umum dari polip kolorektal adalah perdarahan pada area rektum.
Polip kolorektal dengan ukuran besar dapat menyebabkan kram, nyeri perut, atau
sembelit. Polip besar dengan tonjolan kecil yang menyerupai jari (adenoma vili) bisa
menghasilkan air dan garam yang menyebabkan diare encer sehingga
mengakibatkan turunnya kadar kalium dalam darah (hipokalemia). Kadang, polip di
sekitar area rektum dengan batang yang cukup panjang akan turun ke bawah dan
menggantung mendekati anus.2 Polip kolorektal dapat menyumbat usus, sehingga
dapat menyebabkan konstipasi, sakit perut, kram, mual dan muntah.3

15
Anemia akibat kekurangan zat besi. Perdarahan dari polip bisa terjadi secara
bertahap, tanpa darah yang tampak di feses. Perdarahan kronis menghilangkan logam
yang penting bagi tubuh untuk memproduksi zat besi. Zat ini memungkinkan sel-sel
darah merah untuk mengangkut oksigen ke tubuh (hemoglobin). Hasilnya adalah
anemia akibat kekurangan zat besi, yang bisa membuat Anda merasa lelah dan sesak
napas.

Beberapa tumor non-kanker berkembang di area lain dalam tubuh (misalnya,


pada kulit, tengkorak, atau rahang). Dalam sindrom Peutz-Jeghers, seseorang
memiliki banyak polip kecil di dalam perut, usus kecil, usus besar, dan rektum.
Muncul bintik-bintik hitam kebiruan di wajah penderita, di dalam mulut, juga pada
tangan dan kaki. Bintik-bintik cenderung memudar saat memasuki masa pubertas
kecuali yang ada di dalam mulut. Orang dengan sindrom Peutz-Jeghers lebih berisiko
mengembangkan kanker di organ lainnya, terutama pankreas, usus kecil, usus besar,
payudara, paru-paru, ovarium, serta rahim.2

2.6 Diagnosis

Seperti disebutkan di atas, sebagian besar adenoma kolon tidak menunjukkan


gejala. Karena karakter luas dari fenomena ini dan risiko keganasan, banyak negara
telah memperkenalkan program skrining untuk deteksi dini adenoma kolon.1

a. Tes darah okultisme tinja (Fecal Occult Bloof Testing)

FOBT dapat mengindikasikan perdarahan dari polip kolon. FOBT positif


karena perdarahan dari polip berkorelasi dengan ukuran polip dan kedekatan dengan
dubur. Sebagian besar polip kecil akan gagal menghasilkan FOBT positif, meskipun
tes ini memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk polip yang lebih besar dan untuk
karsinoma. Untuk alasan ini, FOBT adalah bagian dari algoritma skrining untuk
deteksi dini kanker usus besar, meskipun sensitivitasnya terhadap polip rendah.1

b. Tes imunokimia tinja (Fecal Immunochemical Testing)

16
FIT atau iFOBT adalah metode penyaringan yang lebih baru dan lebih sensitif
daripada FOBT tradisional. Ini menggunakan antibodi spesifik untuk komponen
globin hemoglobin. Sebuah penelitian terbaru membandingkan FIT terhadap
kolonoskopi sebagai alat skrining untuk kanker kolorektal dan adenoma [16].
Meskipun FIT terbukti sama sensitifnya dengan kolonoskopi dalam deteksi kanker,
adenoma lanjut terdeteksi dalam proporsi yang lebih rendah menggunakan FIT, jika
dibandingkan dengan kolonoskopi (0,9 vs 1,9%; rasio odds 2,30; P <0,001) dan
deteksi adenoma tidak lanjut tingkat bahkan lebih rendah (0,4 vs 4,2%; rasio odds
9,80; P <0,001).1

c. Kolonoskopi

Kolonoskopi adalah metode 'gold standard' untuk mendeteksi lesi kolon intra-
luminal. Namun sensitivitasnya tidak 100%. Beberapa penelitian telah menunjukkan
tingkat polip variabel 'terjawab'. Satu tinjauan sistematis mencakup enam studi yang
mencakup total 465 pasien yang menjalani dua kolonoskopi pada hari yang sama.
Tingkat 'miss' untuk polip ukuran apa pun adalah 22%, tingkat miss adenoma
berdasarkan ukuran adalah 2,1% untuk adenoma ≥10 mm, 13% untuk adenoma 5-10
mm dan 26% untuk adenoma 1-5 mm [17]. Studi lain menunjukkan hasil yang
serupa. Namun, karena sebagian besar polip vili didistribusikan ke seluruh kolon kiri,
skrining sigmoidoskopi fleksibel setiap lima tahun, dimulai pada usia 50,
direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan lain-lain.Strategi skrining
lain, yang direkomendasikan oleh American Cancer Society, adalah kolonoskopi
penuh setiap sepuluh tahun, dimulai pada usia 50.1

d. Spektroskopi kolonoskopik

Spektroskopi kolonoskopik menggunakan autofluoresensi dekat-inframerah


(NIR AF) baru-baru ini diusulkan sebagai tambahan untuk diagnosis in vivo dari
kolon 'pra-kanker' dan kanker selama skrining kolonoskopi klinis. Metode ini
ditemukan memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sekitar 80% dan
90%, untuk klasifikasi jinak, lesi pra-kanker dan kanker di usus besar [20]. Metode

17
ini, meskipun menjanjikan, masih bersifat eksperimental dan tidak secara rutin
digunakan dalam praktik klinis. Pencitraan pita sempit (NBI) adalah teknik pencitraan
endoskopi baru yang menyoroti struktur permukaan dan kapiler mukosa superfisial
selama kolonoskopi. Meskipun ada ketidaksepakatan mengenai efektivitasnya dalam
meningkatkan sensitivitas pandangan kolonoskopi, baru-baru ini telah terbukti
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk membedakan polip neoplastik
dan non-neoplastik. Modalitas ini juga belum memasuki praktik klinis rutin.1
e. Narrow-band Imaging (NBI)

NBI adalah teknik pencitraan endoskopi baru yang menyoroti struktur


permukaan dan kapiler mukosa superfisial selama kolonoskopi. Meskipun ada
ketidaksepakatan mengenai efektivitasnya dalam meningkatkan sensitivitas
pandangan kolonoskopi, baru-baru ini telah terbukti memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk membedakan polip neoplastik dan non-neoplastik.
Modalitas ini juga belum memasuki praktik klinis rutin.6

Gambar 3.1 Endoskop dengan NBI dari polip kolorektal diminutive. A. Adenoma dan
B. Polip non-neoplastik6

f. Computed Tomographic Colonography (CT Colonography)

Kolonografi tomografi terkomputasi (juga disebut 'CT colonography' atau


'colonoscopy virtual') adalah modalitas skrining lain, yang disarankan untuk pasien

18
yang menolak colonoscopy. Modalitas ini menggunakan computed tomography dari
usus yang disiapkan udara-buncit. Dengan persiapan usus yang optimal dan ahli
radiologi yang berpengalaman membaca gambar, beberapa laporan menunjukkan
bahwa sensitivitas CT colonography untuk mendeteksi polip lebih besar dari 5 mm
(yang diyakini signifikan secara klinis) melebihi 90%; namun, laporan lain mencatat
sensitivitas dan jebakan yang lebih rendah. Oleh karena itu, pemeriksaan ini terutama
dianjurkan untuk pasien dengan peningkatan risiko yang terkait dengan sedasi untuk
kolonoskopi, atau dengan anatomi yang sulit yang menantang keberhasilan
penyelesaian kolonoskopi lengkap.1

Seperti ditunjukkan di atas, prasyarat lain untuk keberhasilan penggunaan CT


colonography adalah persiapan usus yang optimal, komputer dan perangkat lunak
yang tepat, dan ahli radiologi yang berpengalaman untuk menginterpretasikan gambar
yang diperoleh. Harus ditekankan bahwa CT colonography tidak memungkinkan
polypectomy dan oleh karena itu, setiap kali CT colonography mengidentifikasi
polip, colonoscopy berurutan dan polypectomy diindikasikan. Kolonografi resonansi
magnetik (MRC) adalah modalitas diagnostik lain yang saat ini sedang dievaluasi.
Alasan untuk menggunakan MRC didasarkan pada paparan radiasi yang relatif tinggi
selama CT colonography. Sebuah studi skala kecil baru-baru ini telah menunjukkan
sensitivitas rendah (meskipun spesifisitas tinggi) untuk mendeteksi polip besar (> 10
mm) menggunakan MRC. Oleh karena itu, bukti tidak mendukung MRC sebagai
modalitas diagnostik standar untuk mendeteksi polip kolorektal dan modalitas ini
tidak secara rutin digunakan dalam praktik klinis.1

g. Capsule Endoscopic

Endoskopi kapsul adalah modalitas diagnostik yang awalnya dikembangkan


untuk mendiagnosis dan mengevaluasi lesi usus kecil. Karena kapsul melewati usus
besar yang disiapkan setelah melintasi katup ileo-cecal dan terus mengirimkan
gambar, ia juga dapat mendeteksi lesi kolon. Sebuah kohort besar pasien (328) yang
diduga lesi kolon menjalani endoskopi kapsul dengan kapsul kamera ganda yang
dirancang khusus untuk mengevaluasi usus besar (kolon PILLcam) dan, segera

19
setelah itu, melakukan kolonoskopi. Sensitivitas dan spesifisitas endoskopi kapsul
terbukti lebih rendah daripada kolonoskopi [27]. Secara khusus usus PILLcam
ditemukan memiliki sensitivitas 64% untuk deteksi polip lebih besar dari 6 mm, 73%
untuk deteksi adenoma lanjut (lebih besar dari 1 cm, vili atau mengandung displasia
bermutu tinggi) dan 74% untuk deteksi kanker. Oleh karena itu, tidak
direkomendasikan sebagai modalitas skrining untuk mendeteksi polip atau kanker
kolon.1

h. Fecal DNA dan antigen testing

Fecal DNA dan antigen testing adalah modalitas futuristik lain yang
diharapkan menghasilkan hasil dalam beberapa dekade mendatang. Beberapa
kemajuan teknis baru-baru ini terlihat meningkatkan akurasinya, termasuk
penggunaan buffer pengawet DNA dengan koleksi tinja, metode amplifikasi DNA
dan pengujian otomatis dari beberapa penanda DNA. Sebuah multicenter, studi
kasus-kontrol yang baru-baru ini diterbitkan, membandingkan kolonoskopi dengan
analisis sampel tinja dari 459 pasien tanpa gejala dan 544 pasien yang dirujuk. Feses
dianalisis dengan uji DNA tinja multi-target otomatis untuk mengukur β-aktin, KRAS
mutan, BMP3 dan NDRG4 yang termetilasi secara tidak disengaja, dan hemoglobin
tinja. Analisis DNA tinja mengidentifikasi individu dengan kanker kolorektal dengan
sensitivitas 98% dan spesifisitas 90%. Sensitivitasnya sehubungan dengan adenoma
lanjut adalah 57% dan untuk displasia tingkat tinggi adalah 83%. Di masa depan, jika
modalitas ini terbukti memiliki nilai prediktif positif yang lebih tinggi untuk
mendeteksi adenoma atau karsinoma, itu mungkin meniadakan perlunya tes skrining
invasif.1

2.7 Terapi

Perawatan definitif polip adenomatosa adalah pengangkatan pada saat


terdeteksi walaupun ada beberapa perdebatan mengenai perlunya prosedur ini pada
polip yang lebih kecil dari 10 mm yang didiagnosis dengan prosedur non-invasif,
khususnya CT colonography. Pendekatan yang diterima untuk masalah ini adalah

20
reseksi setiap polip kecil (6-9 mm) dan untuk melaporkan dan secara berkala menilai
kembali setiap polip kecil (5 mm atau lebih kecil), karena potensi keganasan yang
dapat diabaikan dalam kasus terakhir.10

Polipektomi forceps endoskopi adalah salah satu manuver paling sederhana di


armamentarium endoscopist. Ini adalah metode sederhana dan efisien untuk biopsi
lesi kolon tetapi telah terbukti memiliki tingkat pembersihan histologis yang lebih
rendah di pangkalan polip, dibandingkan dengan polarektomi snare (75,9 vs 93,2%; P
= 0,009 dalam percobaan acak baru-baru ini) terlepas dari ukuran polip.10

Polipektomi snare endoskopi adalah cara yang disukai untuk menghapus


polip. Selama prosedur ini, kawat (jerat) dilewatkan melalui saluran endoskopi yang
berfungsi untuk mengelilingi polip di pangkalannya atau 'tangkai'. Arus listrik
monopolar dapat diterapkan dengan hati-hati pada kabel ('hot snare') saat menarik
polip. Prosedur ini sederhana untuk polip bertangkai tetapi bisa sangat menantang
bagi polip sessile. Suatu teknik untuk membuat snare polypectomy layak untuk polip
sessile adalah dengan menyuntikkan saline ke dalam lapisan submukosa di bawah
polyp. Situs polipektomi sessile harus ditandai dengan suntikan tinta (tato) untuk
memandu kolonoskopi tindak lanjut dan untuk memfasilitasi identifikasi segmen usus
yang terlibat, jika diperlukan operasi reseksi. Kehadiran sebenarnya dari polip adalah
indikasi untuk kolonoskopi lengkap untuk mengecualikan lesi sinkron.10

Diseksi sub-mukosa endoskopi (ESD) adalah teknik untuk reseksi polip


sessile yang tidak setuju dengan snare polypectomy. Selama kolonoskopi, lapisan
submukosa dinding usus di bawah polip disuntikkan dengan Saline-adrenalin dan
dibedah dari lapisan otot yang mendasarinya. Metode ini bertujuan untuk
menghilangkan seluruh polip sessile, bersama dengan batas mukosa yang sehat.
Prosedur ini memakan waktu dan secara teknis menuntut; Namun, di tangan-tangan
terampil dan dalam kasus-kasus pasien yang dipilih dengan baik, itu dapat
menghindarkan operasi. Satu seri polipektomi endoskopi terbaru untuk polip
bertangkai raksasa (> 30 mm) menunjukkan tingkat keberhasilan 100% reseksi en

21
bloc menggunakan ESD untuk polip yang secara teknis dianggap terlalu sulit untuk
polipektomi snare.8

Komplikasi polipektomi termasuk perdarahan dan perforasi, insiden keduanya


rendah. Pendarahan dapat terjadi segera setelah polipektomi atau mungkin tertunda.
Jika perdarahan tidak berhenti secara spontan, kolonoskopi diindikasikan untuk
mengamankan hemostasis. Risiko perforasi meningkat dengan kompleksitas prosedur
dan lebih tinggi untuk eksisi polip sessile (apakah diseksi submukosa dilakukan atau
tidak). Mikro-perforasi yang terbukti hanya sebagai gelembung udara ekstra-luminal
pada CT, pada pasien yang stabil tanpa tanda-tanda klinis peritonitis, dapat dikelola
dengan istirahat usus, antibiotik dan observasi. Tanda-tanda sepsis atau peritonitis
adalah indikasi untuk eksplorasi bedah segera melalui laparotomi atau laparoskopi,
untuk memperbaiki kerusakan atau untuk reseksi segmen usus berlubang.8

Operasi kadang-kadang diindikasikan untuk perawatan polip. Lesi sessile


tidak selalu dapat sepenuhnya dieksisi dengan kolonoskopi dan kasus-kasus tersebut
merupakan indikasi untuk kolektomi segmental. Indikasi lain untuk pembedahan
adalah dalam kasus polip bertangkai, yang mengandung karsinoma invasif yang
meluas ke tangkai polip, seperti yang dijelaskan dalam kriteria Haggitt. Namun
demikian, penting untuk dicatat bahwa kolektomi parsial untuk menghilangkan polip
yang tidak menerima reseksi kolonoskopi berpotensi merupakan prosedur untuk
mengobati kanker. Sebuah studi skala besar baru-baru ini (750 pasien) benar-benar
menemukan bahwa kejadian kanker pada pasien yang menjalani colectomy untuk
polip yang tidak dapat diperbaiki adalah 17,7%. Analisis multivariat mengidentifikasi
dua faktor risiko untuk polip yang mengandung kanker: lokasi polip di usus besar kiri
dan adanya displasia tingkat tinggi. Yang mengejutkan, baik ukuran polip maupun
histologi vili ditemukan sebagai faktor risiko. Dengan data ini, pembedahan untuk
polip yang tidak dapat diperbaiki harus mengikuti pedoman onkologis, yang berarti
reseksi anatomi, termasuk mesenterium terkait yang mengandung cekungan limfatik
dengan ligasi tinggi arteri. Untuk polip sektil rektum, eksisi operatif transanal —
menggunakan eksisi transanal sederhana atau bedah mikro endoskopi transanal

22
(TEM) —disukai karena dua alasan: (i) ia memiliki kemungkinan eksisi total yang
lebih tinggi daripada eksisi snare endoskopik dan (ii) menghasilkan spesimen utuh
yang dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan terapi selanjutnya.8

Follow up diperlukan untuk pasien yang ditemukan memiliki polip kolon,


karena kemungkinan 30-40% kemunculan lesi metakron dalam waktu tiga tahun.
Oleh karena itu, setelah polipektomi, diulang kolonoskopi pada interval tiga tahun
diindikasikan. Jika pemeriksaan ulang tidak menunjukkan lesi metachronous, tindak
lanjut lanjutan disarankan pada interval lima tahun. Jika polip primer (indeks)
mengandung displasia atau karsinoma derajat tinggi pada histologi, kemungkinan lesi
metakronous awal yang signifikan secara histologis tinggi. Oleh karena itu, dalam
kasus seperti itu rekomendasi adalah untuk tindak lanjut pertama pada satu tahun.1

Tidak ada pedoman untuk pencegahan pembentukan adenoma. Beberapa


penelitian telah menunjukkan prevalensi adenoma kolorektal dan kanker yang lebih
rendah tetapi signifikan secara statistik pada orang yang mengonsumsi NSAID,
termasuk aspirin [36, 37]. Namun demikian, karena risiko toksisitas NSAID, tidak
ada konsensus mengenai penggunaannya untuk indikasi ini. Tidak ada strategi lain
yang telah terbukti untuk mencegah perkembangan adenoma kolon.1

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Polip kolorektal adalah temuan umum dalam skrining kolonoskopi. Sebagian


besar tidak memiliki signifikansi klinis tetapi, karena prevalensinya yang tinggi,
minoritas polip yang mengandung potensi ganas masih merupakan masalah sentral
dalam pengobatan pencegahan. Identifikasi dini dan pengangkatan lesi ini adalah
metode yang sangat efektif untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
karsinoma kolorektal. Diagnosis sindrom poliposis kolorektal awalnya disarankan,
berdasarkan temuan kolonoskopi dan histologi polip. Karena sindrom yang berbeda
dapat menyerupai satu sama lain secara fenotip, studi genetik molekuler sangat
penting untuk diagnosis akhir, penilaian risiko kanker, dan pengambilan keputusan
mengenai program pengawasan dan pengobatan. Selain itu, identifikasi mutasi
keluarga pada pasien yang terkena merupakan prasyarat untuk pengujian di masa
depan dari kerabat tanpa gejala.

24
1. Shussman N, Wexner SD. 2016. Colorectal Polyps and Polyposis Syndromes.
Gastroenterology Report. 2(1):1-15

2. Hartman ANB, et al. 2016. Differences in Epidemiologic Risk Factors for


Colorectal Adenomas and Serrated Polyps by Lession Severity and
Anatomical Site. American Journal of Epidemiology. Vol. 177, No. 7

3. Fu Z et al. 2016. Lifestyle Factors and Their Combined Impact on the Risk of
Colorectal Polyps. Am J Epidemiol. Vol.176, No 9

4. Okabayashi K, et al. 2016. Body Mass Index Category as a Risk Factor for
Colorectal Adenomas: a Systematic Review and Meta-analysis. Am J
Gastroenterol. 107 (8): 275-85

5. Broughton T, et al. 2015. Statin Use Is Associated With A Reduced Incidence


Of Colorectal Adenomatous Polyps. Int J Colorectal Dis. 28(4):469–76

6. McGill SK et al. 2016. Narrow Band Imaging To Differentiate Neoplastic


And Non-Neoplastic Colorectal Polyps In Real Time: A Meta-Analysis Of
Diagnostic Operating Characteristics. 62:1704–13

7. Lee CK et al. 2016. Cold Snare Polypectomy Vs. Cold Forceps Polypectomy
Using Double-Biopsy Technique For Removal Of Diminutive Colorectal
Polyps: A Prospective Randomized Study. Am J Gastroenterol. 108:1593–600

8. Choi YS, et al. 2016. Can Endoscopic Submucosal Dissection Technique Be


An Alternative Treatment Option For A Difficult Giant (≥30 Mm)
Pedunculated Colorectal Polyp? Dis Colon Rectum. 56:660–66

9. Alvarez C, et al. 2016 Relationship Of Colonoscopy-Detected Serrated Polyps


With Synchronous Advanced Neoplasia In Average-Risk
Individuals. Gastrointest Endosc. ;78:333–41

25
10. Mounze R, et al. 2015. Endoscopic and Surgical Treatment of Malignant
Colorectal Polyps: a Population-based Comparative Study. Gie Journal. Vol
81 No.3

26

Anda mungkin juga menyukai