Anda di halaman 1dari 3

DBTT Pada Material Berstruktur Kristal BCC

Transisi ductile-brittle terdapat pada logam BCC seperti low carbon steel yang akan
menjadi getas pada temperatur rendah atau pada laju regangan yang sangat tinggi. Sedangkan pada
logam FCC umumnya tetap ulet pada temperatur rendah. Deformasi plastis pada temperatur ruang
disebabkan oleh pergerakan dislokasi. Tegangan yang dibutuhkan untuk menggerakkan dislokasi
bergantung pada ikatan atom, struktur kristal, dan pengahalang seperti batas butir, partikel
presipitat, dan dislokasi lainnya. Jika tegangan yang diperlukan untuk menggerakkan dislokasi
terlalu tinggi, logam akan gagal oleh rambatan retak dan failure akan berbentuk getas. Dengan
demikian, plastic flow (kegagalan ulet) atau perambatan retak (kegagalan getas) akan terjadi,
tergantung pada proses mana yang memerlukan tegangan yang lebih kecil. Pada logam FCC,
tegangan aliran (flow stress), yaitu gaya yang diperlukan untuk menggerakkan dislokasi, tidak
terlalu bergantung pada suhu. Oleh karena itu, gerakan dislokasi tetap tinggi bahkan pada suhu
rendah dan materialnya relatif ulet. Berbeda dengan kristal logam FCC, yield stress atau critical
resolved shear stress dari kristal tunggal BCC sangat bergantung pada suhu, khususnya pada suhu
rendah. Sensitivitas suhu dari tegangan luluh kristal BCC berhubungan dengan adanya pengotor
interstitial pada satu sisi, dan gaya Peierls-Nabarro yang bergantung pada suhu di sisi lainnya.
Namun, tegangan perambatan retak relatif tidak tergantung pada suhu. Dengan demikian, mode
kegagalan berubah dari plastic flow pada suhu tinggi ke perpatahan getas pada suhu rendah [1].
Gambar 1a menunjukkan grafik energi perpatahan terhadap temperatur pada struktur kristal BCC.
Struktur mikro perpatahan ulet berbeda dengan perpatahan getas, di mana perpatahan ulet terdapat
void yang ditunjukkan pada gambar 1b. Logam FCC dan high strength materials tidak memiliki
DBTT, seperti pada gambar 1c.

(c)

Gambar 1. Grafik ductile-to-brittle transition. (a) Energi perpatahan sebagai fungsi suhu pada
material dengan transisi ulet ke getas (b) Perpatahan ulet dan getas yang diamati melalui
mikroskop. (c) Grafik perbandingan energi impak vs suhu antara logam FCC, BCC, dan high
strength materials [2].
Banyak metode yang telah menganalisis fenomana transisi pada DBTT. Kebanyakan dari
metode tersebut menunjukkan hubungan yang erat antara pergerakan dislokasi dekat crack tip dan
fracture toughness. Metode tersebut dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah nucleation-
based model yang berasumsi bahwa nukleasi dislokasi pada crack tip merupakan faktor penting
dalam DBT. Tipe ini merupakan karakteristik dari transisi logam BCC. Jenis lainnya adalah
mobility-based models, yang berasumsi bahwa dislokasi nukleasi relatif mudah ketika temperatur
mempengaruhi pergerakan dislokasi. Jenis ini dapat dijumpai pada material semi-konduktor [3].
a. Nucleation-based model
Model nucleation-based pertama kali dicetuskan oleh Rice-Thomson [4], dimana mereka
mempertimbangkan perilaku getas versus ulet dari material berhubungan dengan aktivitas crack
tip dislocation. Gambar 2 menunjukkan bahwa pertemuan antara emisi dislokasi dan dekohesi
atomik pada crack tip merupakan faktor penentu pada DBT. Pada model ini, diasumsikan terdapat
dislokasi embriyonik yang bernukleasi pada bidang geser dengan sudut inklinasi φ. Jarak antara
dislokasi embryonic dan crack tip sama dengan radius dislocation core r0.

Gambar 2. Ilustrasi model Rice-Thompson

b. Mobility-based model
Pada logam BCC, kecepatan dislokasi meningkat seiring meningkatnya suhu
sampai suhu atermal. Di atas temperatur ini, kecepatan dislokasi tidak bergantung pada
temperature. Jika di bawah temperatur atermal, kecepatan dislokasi bergantung pada
temperatur dengan energi aktivasi Qdis dan dapat ditulisan dalam rumus tipe Arrhenius
berikut [5]:

(1)

Dimana A adalah konstanta, τ adalah shear velocity pada dislokasi, τ0 adalah


normalized stress, kB adalah konstanta Boltzmann, T adalah temperature absolut.
Mobilitas dislokasi didefinisikan sebagai:

(2)
Sehingga persamaan (1) dapat dituliskan sebagai berikut:
(3)
Dari persamaan (3) tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi total shear stress pada
dislokasi, semakin cepat dislokasi bergerak. Dengan demikian, semakin tinggi
temperatur, semakin tinggi mobilitas dislokasi sehingga semakin tinggi kecepatan
dislokasi [5].

Referensi
[1] Sahadev Shivaji Sutar. 2014. Analysis of Ductile-to-Brittle Transition Temperature of Mild
Steel. International Journal of Innovations in Engineering Research and Technology
[IJIERT] Vol. 1, Issue 1.
[2] Dana Ashkenazi. 2007. Investigating Material Failures: “Were the Titanic and Challenger
Disasters Prevetable?”. Diakses pada 11 Desember 2019 dari
https://sites.google.com/site/polymorphismmyhomepage/investigating-material-failures
[3] Jianming Huang. 2004. Dissertation: Microstructural Effect on the Ductile-to-Brittle
Transition in Body Centered Cubic Metals Investigation by Three Dimensional
Dislocation Dynamics Simulations. University of California, Los Angeles.
[4] J.R. Rice and R. Thomson. Ductile versus brittle behavior of crystals. Phil. Mag. A,
43:1103–1123, 1974.
[5] P.B. Hirsch and S.G. Roberts. The brittle-ductile transition in silicon. Philosophical
Magazine A, 64(1):55–80, 1991.

Anda mungkin juga menyukai