Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT)

Pembimbing:
dr. M. Aron Pase, M.Ked(PD), Sp.PD

Oleh:
Afrilia Rosada Lubis (150100142)
Alifa Putri Mirza (150100168)
M. Catur Fariandy (110100499)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H ADAM MALIK
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

PIMPINAN SIDANG

dr. M. Aron Pase, M.Ked(PD), Sp.PD

CHIEF OF WARDS

dr. Epifania Yoan Theresa Ginting


i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Deep Vein Thrombosis (DVT)”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 15 Maret 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 2
1.3 Manfaat ............................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
2.1 Definisi .............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 3
2.3 Etiologi .............................................................................................. 5
2.4 Faktor Risiko ..................................................................................... 8
2.5 Patogenesis ...................................................................................... 11
2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................... 12
2.7 Diagnosis ......................................................................................... 15
2.8 Tatalaksana ...................................................................................... 17
2.9 Komplikasi ...................................................................................... 20
2.10 Pencegahan .................................................................................... 23
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT ................................................................. 25
BAB 4 FOLLOW UP ...................................................................................... 37
BAB 5 DISKUSI KASUS ................................................................................ 41
BAB 6 KESIMPULAN ................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 46
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana trombus


terbentuk pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan disekitar vena. DVT merupakan penyakit yang sulit
didiagnosa, kesalahan diagnosis dengan diagnosa klinis saja mencapai 50%. DVT
dapat berlanjut menjadi emboli paru, separuh dari penyakit ini tidak menimbulkan
gejala sehingga menyebabkan penderita menuju kematian bila tidak dikenali dan
diterapi secara efektif. Insiden DVT di Amerika Serikat adalah 159 per 100.000
atau sekitar 398.000 pertahun, sedangkan insiden DVT pada pasien tanpa
profilaksis adalah: stroke (56%), elective hip replacement (51%), trauma multipel
(50%), total knee replacemet (47%), fraktur panggul (45%), cedera medulla
spinalis (35%), operasi umum (25%), infark miokard (22%), operasi bedah saraf
(22%), operasi ginekologi (14-22%), dan kondisi medis umum (17%). Insiden
DVT pasca operasi ortopedi tanpa profilaksis pada pasien Asia adalah: pada total
knee replacement (76,5%), total hip replacement (64,3%) dan fiksasi fraktur
femur proksimal (50%).1,2,3

Insiden DVT pada pasien diabetes mellitus lebih tinggi daripada populasi
umum (12,0 vs 7,51 per 1000 / tahun). Tatalaksana profilaksis DVT dibagi
menjadi dua yaitu dengan cara inaktifasi koagulasi darah (profilaksis
farmakologis) atau pencegahan stasis vena (profilaksis mekanis). Profilaksis
farmakologis (Low Molecular Weight Heparin/ LMWH) secara nyata menurunkan
insiden DVT pada bedah ortopedi sebesar 71%. Diagnosa DVT dapat ditegakkan
baik secara klinis maupun radiologis dengan menggunakan doppler ultrasound
atau venografi. Dengan diberikan terapi LMWH, gejala-gejala DVT sebagian
besar akan berkurang sejak hari ke 4 dan bebas gejala sama sekali pada hari ke 10.
Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan
penatalaksanaan profilaksis yang tepat sangat diperlukan.4,5
2

1.2 TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari pembuatan dari laporan kasus ini adalah :
1. Penulis dan pembaca diharapkan dapat mengerti dan memahami tentang deep
vein thrombosis.
2. Penulis dan pembaca diharapkan mampu menerapkan teori terhadap pasien
dengan deep vein thrombosis.
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami
tentang deep vein thrombosis.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SISTEM VASKULAR PERIFER

Sirkulasi darah terjadi melalui satu lengkungan arteri dan vena yang kontinu
serta terbagi menjadi sirkuit pulmonal dan sistemik (Gambar 2.1.1).

Sirkuit pulmonal menghantarkan darah dari jantung ke paru, di mana darah


dioksigenasi dan kemudian dikembalikan ke jantung. Sirkulasi sistemik, atau
sistem vaskular perifer, meliputi arteri, arteriol, vena, venula, dan kapiler, dimana
sistem ini membawa darah dari jantung ke seluruh organ dan jaringan lain dan
kemudian membawa darah kembali ke jantung.

Gambar 2.1.1 Sistem sirkulasi


4

2.1.1 Arteri

Jantung memompa darah baru yang telah teroksigenasi melalui arteri,


arteriol, dan bantalan kapiler menuju seluruh organ dan jaringan. Arteri tersusun
atas otot polos yang tebal dan serat elastis. Serat yang kontraktil dan elastis
membantu menahan tekanan yang dihasilkan saat jantung mendorong darah
menuju sirkulasi sistemik. Arteri utama/mayor dari sirkulasi sistemik meliputi
aorta, karotis, subklavia dan iliaka (Gambar 2.1.2). Aorta melengkung membentuk
seperti busur di belakang jantung dan turun ke bawah hingga pertengahan tubuh.
Arteri lain merupakan cabang dari aorta dan mengalirkan darah menuju kepala,
leher dan organ-organ utama di dalam abdomen. Arteri karotis bergerak naik di
dalam leher dan mengalirkan darah ke organ di dalam kepala dan leher, termasuk
otak. Arteri subklavia mengalirkan darah menuju lengan, dinding dada, bahu,
punggung, dan sistem saraf pusat. Arteri iliaka mengalirkan darah menuju pelvis
dan kaki.
5

2.1.2 Arteri di Lengan

Setelah meluas melalui rongga dada/toraks, arteri subklavia menjadi arteri


aksilaris (Gambar 2.1.3). Arteri aksilaris kemudian menyeberangi aksila dan
menjadi arteri brakhialis, yang terletak di dalam lekukan/sulkus bisep-trisep pada
lengan atas. Arteri brakhialis mengalirkan sebagian besar darah menuju lengan.
Pada fosa kubiti (yaitu lipatan siku), arteri brakhialis bercabang menjadi arteri
radialis dan arteri, yang meluas ke lengan bawah dan, selanjutnya bercabang
menjadi arkus palmaris yang mengalirkan darah ke telapak tangan.

Gambar 2.1.3 Arteri pada lengan

2.1.3 Arteri di Kaki

Setelah melewati daerah pelvis, arteri iliaka selanjutnya menjadi arteri


femoralis, yang bergerak turun di sebelah anterior paha (Gambar 2.1.4). Arteri
femoralis mengalirkan darah ke kulit dan otot paha dalam. Pada bagian bawah
paha, arteri femoralis menyilang di posterior dan menjadi arteri poplitea. Di
bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi arteri tibialis anterior dan tibialis
6

posterior. Arteri tibialis bergerak turun di sebelah depan dari kaki bagian bawah
menuju bagian dorsal/punggung telapak kaki dan menjadi arteri dorsalis pedis.
Arteri tibialis posterior bergerak turun menyusuri betis dari kaki bagian bawah
dan bercabang menjadi arteri plantaris di dalam telapak kaki bagian bawah.

Gambar 2.1.4 Arteri pada kaki

2.1.4 Vena

Setelah dihantarkan melalui sistem vaskular arteri dan menuju jaringan


tubuh dan organ, darah “dikosongkan” menuju jaringan vena yang tersusun
menyebar (Gambar 2.1.5) yang dan pada akhirnya mengembalikan darah ke
atrium kanan jantung. Sistem vena berjalan berdampingan dengan sistem arteri
dan memiliki nama yang sama; walaupun terdapat perbedaan mayor antara sistem
arteri dan sistem vena di leher dan ekstremitas. Arteri di daerah ini terletak dalam
7

di bawah kulit dan terlindung oleh tulang dan jaringan lunak.Sebaliknya, dua set
vena perifer biasanya ditemukan di leher dan ekstremitas: satu superfisial dan satu
lagi terletak lebih dalam. Vena superficial terletak dekat dengan permukaan kulit,
mudah untuk dilihat, dan membantun untuk mengatur suhu tubuh. Saat suhu
tubuh, menjadi rendah, aliran darah arteri menjadi berkurang, dan vena vena
superfisial dilewati. Sebaliknya, saat tubuh menjadi kelebihan panas, aliran darah
ke kulit meningkat, dan vena superfisialis berdilatasi.

Gambar 2.1.5

Vena-vena mayor dari sirkulasi sistemik meliputi vena kava superior, vena
kava inferior, dan vena jugularis. Vena kava superior menerima darah dari
8

jaringan dan organ di kepala, leher, dada, bahu, dan ekstremitas atas. Vena kava
inferior mengumpulkan darah dari sebagian besar organ yang terletak di bawah
diafragma. Darah vena dari kepala dan wajah dialirkan menuju vena jugularis,
yang terletak di dalam leher.
9

2.1.5 Vena di Lengan

Arkus vena palmaris meluas dari tangan menuju lengan bawah, dimana
vena-vena ini menjadi vena radialis dan vena ulnaris (Gambar 2.1.6). Saat vena
ulnaris dan radialis mencapaifosa kubiti (yaitu lipatan siku), vena-vena ini
bergabung untuk membentuk vena brakhialis. Saat vena brakhialis meluas melalui
lengan atas, vena ini bergabung dengan vena superfisialis lenan untuk membentuk
vena aksilaris, yang berjalan melalui aksila dan menjadi vena subklavia di dalam
rongga toraks. Vena subklavia membawa arau dari lengan dan area toraks/dada
menuju vena kava superior.

Gambar 2.1.6 Vena pada lengan

2.1.6 Vena di Kaki

Darah yang meninggalkan kapiler-kapiler di setiap jari kaki bergabung


membentuk jaringan vena plantaris (Gambar 2.1.7). Jaringan plantar mengalirkan
darah menuju vena dalam kaki (yaitu vena tibialis anterior, tibialis posterior,
poplitea, dan femoralis). Vena safena magna dan safena parva superfisial
mengalirkan darah di telapak kaki dari arkus vena dorsalis menuju vena poplitea
dan femoralis.
10

Gambar 2.1.7 Vena pada kaki

2.2 DEFINISI

Deep vein trombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana trombus


terbentuk pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan disekitar vena. DVT terjadi terutama di tungkai
bawah dan inguinal. Bekuan darah dapat menghambat darah dari tungkai bawah
kembali ke jantung. Trombus adalah bekuan abnormal didalam pembuluh darah
yang terbentuk walaupun tidak ada kebocoran, proses pembentukan trombus
dinamakan trombosis. Trombus vena merupakan deposit intravaskuler yang
11

tersusun dari fibrin dan sel darah merah disertai berbagai komponen trombosit dan
leukosit.1,5,6

2.3 PATOGENESIS

DVT biasanya terbentuk pada daerah dengan aliran darah lambat atau
terganggu di sinus vena besar dan kantung ujung katup di vena dalam tungkai
bawah atau segmen vena yang terpapar oleh trauma langsung. Pembentukkan dan
perkembangan trombus vena menggambarkan keseimbangan antara efek
rangsangan trombogenik dan berbagai mekanisme protektif. Faktor yang
mempengaruhi keseimbangan dan berimplikasi pada patogenesis trombosis vena,
dikenal dengan Trias Virchow’s, yaitu: 1). Cedera Vaskuler (kerusakan
endothelial); 2). Stasis Vena; 3). Aktivasi koagulasi darah (hiperkoagulabilitas).1,6

1.Cedera Vaskular

Kerusakan vaskular memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan


trombosis vena melalui trauma langsung atau aktivasi sel endotel melalui
sitokinin (interleukin-1 dan tumornecrosis factor) yang dilepaskan dari hasil
cedera jaringan dan inflamasi. Koagulasi darah dapat diaktifkan melalui
rangsangan intravaskuler yang dilepaskan dari tempat jauh (misal kerusakan vena
femoralis saat operasi panggul) atau oleh sitokin yang terinduksi rangsangan
endotel yang utuh. Sitokinin ini merangsang sel endotel untuk mensintesis tissue
factor dan plasminogen activator inhibitor-1 dan mengakibatkan reduksi
trombodulin, sehingga membalikkan kemampuan protektif endotel yang normal.
Trombodulin (TM) adalah reseptor membran sel endotel untuk trombin. Bila
trombin terikat pada TM maka kemampuan memecah fibrinogen menurun.
Sebaliknya kemampuan mengaktifasi antikoagulan, protein C meningkat. Protein
C dengan kofaktornya protein S menginaktifasi bentuk aktif kofaktor
prokoagulan, faktor Va dan VIIIa. Protein C aktif juga meningkatkan
fibrinolisis.1,6
12

Endotel vena mengandung activator yang mengkonversi plasminogen ke


plasmin kemudian plasmin melisis fibrin. Setelah pembedahan dan cedera, sistem
fibrinolisis akan dihambat kemudian aktivitas vena ekstemitas bawah lebih
berkurang dibanding dengan ekstremitas atas.1,6

2. Stasis Vena

Stasis vena sering pada usia tua, tirah baring lebih dari tiga hari dan
operasi yang memakan waktu lama. Stasis vena memberikan predisposisi
trombosis lokal. Stasis menggangu pembersihan faktor koagulasi aktif dan
membatasi aksesibilitas trombin di vena kemudian menempel ke trombomodulin.
Protein ini terdapat dalam densitas terbesar di pembuluh darah kapiler.1,6

Penelitian ultrastruktural menunjukkan bahwa setelah trauma ditempat


jauh, leukosit melekat diantara intercellular junction endotel pada daerah stasis
vena. Hal ini menjadi nidus untuk pembentukkan trombus. Bila nidus trombus
mulai terdapat di daerah stasis, maka substansi yang dapat meningkatkan agregasi
trombosit, yaitu faktor X teraktivasi, trombin, fibrin dan katekolamin tetap dalam
konsentrasi tinggi di daerah tersebut. Stasis juga memberikan kontribusi
tambahan, yaitu membentuk trombin dengan cara merusak katup vena yang
avaskuler. Sebaliknya katup tergantung pada darah lumen untuk oksigenasi dan
nutrisi, sedangkan aliran darah stasis. Mekanisme trombosis adalah aktivitas
faktor koagulasi aktif melalui darah yang mengalir, inhibisi trombomodulin pada
aktivitas koagulan dari trombin, pengaruh trombomodulin aktivitas antikoagulan
dari trombin melalui aktivasi protein C dan disolusi fibrin oleh sistem
fibrinolitik.1,6

3. Hiperkoagulabilitas

Keadaan hirepkoagulabilitas adalah suatu perubahan keadaan darah


membantu pembentukan trombus vena. Perubahannya meliputi peningkatan
konsentrasi faktor koagulasi normal maupun teraktivasi, penurunan kadar
13

inhibitors dalam sirkulasi, gangguan fungsi sistem fibrinolitik, adanya trombosit


hiperaktif, faktor hiperkoagulabilitas dan stasis bekerjasama membentuk trombus
vena. Dari ketiga factor penyebab DVT yang terpenting adalah faktor stasis dan
hiperkoagulabilitas.1,6

Faktor resiko penyakit DVT digolongkan faktor patogenesis pembentukan


DVT (Trias Virchow’s) dan faktor umum yang mendukung, berhubungan dengan
pembentukan DVT atau kombinasi dari faktor trias Virchow’s.1,6

Gambar 2.3-1 Trias Virchow’s

2.4 EPIDEMIOLOGI

DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah


penyakit jantung koroner dan stroke. DVT terjadi pada kurang lebih 0,1%
orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. DVT
di Amerika Serikat adalah 159 per 100.000 atau sekitar 398.000 pertahun,
sedangkan insiden DVT pada pasien tanpa profilaksis adalah: stroke (56%),
elective hip replacement (51%), trauma multipel (50%), total knee replacemet
(47%), hip fracture (45%), cedera medulla spinalis (35%), operasi umum (25%),
infark miokard (22%), operasi bedah saraf (22%), operasi ginekologi (14-22%),
kondisi medis umum (17%). Insiden DVT pasca operasi ortopedi tanpa profilaksis
14

pada pasien Asia adalah: pada total knee replacement (76,5%), total hip
replacement (64,3%) dan fiksasi fraktur femur proksimal (50%).Insiden DVT
pada pasien diabetes mellitus lebih tinggi daripada populasi umum (12,0 vs 7,51
per 1000 / tahun).1,2,3,5

2.5 FAKTOR RESIKO

Berdasarkan konferensi ketujuh American College of Chest Physicians


(ACCP), pasien yang melakukan operasi diklasifikasikan menjadi 4 tingkat
menjadi resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Klasifikasi dibuat
berdasarkan umur, jenis operasi, durasi operasi, durasi immobilisasi dan faktor
resiko lainnya.7,8

a. Resiko rendah: Durasi operasi kurang dari 30 menit, umur lebih dari 40 tahun,
perbaikan dari fraktur kecil.
b. Resiko sedang: Umur 40 – 60 tahun, arthroscopy atau perbaikan fraktur
tunkai bagian bawah, penggunaan plaster cast post-operasi.
c. Resiko tinggi: Umur lebih dari 60 tahun, atau umur 40 – 60 tahun dengan
adanya faktor resiko tambahan, immobilisasi lebih dari 4 hari.
d. Resiko sangat tinggi: Operasi arthroplasty lutut dan panggul, operasi fraktur
panggul, operasi open fracture pada tungkai bawah, trauma pada spinal cord,
berbagai resiko tambahan (umur lebih dari 40 tahun, sebelumnya ada riwayat
mengalami DVT, kanker, dan hypercoagulable state).

2.6 DIAGNOSIS

Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh
nyeri, bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak.
Bengkak dan nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat
nyeri biasanya terus menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan
meningkatnya aktivitas atau jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik
manifestasi DVT dapat berupa tungkai bengkak unilateral, gambaran
eritrosianotik, dilatasi vena superfisial, suhu kulit meningkat atau nyeri tekan pada
paha atau betis. Tanda klinis ini hanya ditemukan pada 23-50% pasien DVT.
15

Tanda klinis yang negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tungkai
bawah yang bengkak, lunak disertai dengan cord vena yang dapat dipalpasi
mengarahkan pada DVT popliteal. Perbedaan ukuran lingkaran tungkai yang
bermakna mendukung diagnosis DVT. Namun sebagian besar pasien tidak
menunjukkan bengkak yang jelas. Kepastian diagnosis DVT secara klinis hanya
50%, sehingga tes diagnosik diharuskan bila ada kecurigaan DVT. Kematian dapat
terjadi bila trombus vena pecah dan membentuk emboli pulmoner yang akan
mengobstruksi arteri pada paru.1,3,5

Kecurigaan trombosis vena secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang
terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Tes laboratorium adalah
Simplie-red D-dimer. Konsentrasi plasma D-dimer merupakan hasil pencernaan
fibrin oleh plasmin. Kadarnya meningkat pada pasien trombosis vena atau emboli
pulmoner. Pengukuran dilakukan dengan cara pengambilan darah dari jari tangan
pasien diperiksa secara ELISA atau dengan Simple RED agent. Tes ini hasil
sensitifitas 97%. Tes D-dimer sering menghasilkan positif semu pada pasien pasca
bedah atau trauma. Pemeriksaan radiologis menggunakan Venous compression
duplex ultrasonography, merupakan teknik noninvasif yang memiliki sensitifitas
95% untuk mendiagnosis DVT.3,5

Gambar 2.6.1 Manifestasi klinis DVT


16

Untuk mendeteksi risiko terjadinya DVT menggunakan caprini score.9

Interpretasi: risiko sangat rendah (0-1), risiko rendah (2), risiko sedang (3-4),
risiko tinggi (≥5).

2.7 KOMPLIKASI

Komplikasi utama dari DVT adalah Pulmonary Embolism (PE). PE


muncul ditandai dengan dispnea, nyeri dada pleuritik, batuk, takikardi, takipnea,
ronki, sinkop dan hipoksia.PE merupakan kondisi yang dapat mengancam nyawa
pasien. Post-phlebitic syndrome dapat terjadi setelah deep vein trombosis. Kaki
yang terpengaruh dapat menjadi bengkak dan nyeri secara kronis dengan
perubahan-perubahan warna kulit dan pembentukan borok-borok (ulkus) disekitar
kaki dan pergelangan kaki. Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli
paru diagnosis dan penatalaksanaan profilasis yang tepat sangat diperlukan.3,7,8
17

2.8 TATALAKSANA

TatalaksanaDVT harus dilakukan secara komprehensif, meliputi


pencegahan terapi.

1. Pencegahan
Bentuk profilaksi mekanis adalah mobilisasi dini, machine continous
passive motion, pressure vascular stocking, dan alat kompresi pneumatik
bergradasi secara elevasi tungkai 15-22 cm. Stasis vena, proses patologi
yang mendasari terjadinya trombosis, dicegah dengan kontraksi atau
kompresi otot betis yang dapat menghindari penumpukan darah vena di
ekstremitas bawah. Stoking elastis dapat digunakan untuk tujuan di atas.
Pemakaian stoking elastis meningkatkan aliran dara vena hingga 1,5 kali
aliran basalnya sehingga memacu sirkulasi darah, mencegah stasis darah
pada aneurisma (pelebaran vena dan dilatasi sakuler) yang sering pada usia
lanjut dan penderita DVT. Tekanan pada mata kaki 18mmHg, 14mmHg
pada betis, 10mmHg pada lutut dan 8mmHg pertengahan paha.
Penggunaannya merupakan pilihan pertama untuk mencegah DVT pada
pasien yang dirawat. Alat kompresi pneumatik merangsang pengosongan
vena ekstremitas bawah dengan cara menurunkan stasis dan menstimuli
sistem fibrinolik.3,9,10,11
2. Terapi Medikamentosa. Tujuan terapi untuk mencegah serta mengurangi
risik pembentukan trombus yang lebih besar serta mencegah emboli paru.
Beberapa obat yang dapat digunakan antara lain golongan antikoagulan
(warfarin atau heparin). Perlu diperhatikan pula bahwa obat golongan
antikoagulan dapat menyebabkan efek samping perdarahan.
a. Terapi antikoagulan
 Heparin
Heparin adalah antikoagulan yang diberikan secara parental,
mekanisme kerjanya adalah meningkatkan efek antitrombin III dalam
menetralkan trombin dan protease serum lainnya. Heparin dosis rendah
di berikan subkutan dengan dosis 5000 U. diberikan sebelum operasi
18

dan setelah operasi (setiap 8-12 jam). Cara ini merupakan pilihan bagi
pasien sedang terhadap DVT. Dapat menurunkan resiko DVT 50-70%.
Cara ini tidak memerlukan pemantauan dengan laboratorium,
sederhana, tidak mahal, aman. Cara ini kurang efektif bagi penderita
yang memerlukan bedah orthopedic mayor. Heparin menginduksi
terjadinya trombositopenia karena ikatan antara Heparin dengan faktor
IV trombosit dapat menyebabkan terbentuknya antibodi IgG yang
nantinya menginduksi terjadinya trombositopenia.3,6,7
 Warfarin
Warfarin dosis sedang, efektif untuk mencegah DVT pada semua
kategori resiko. Dapat mulai diberikan 5 atau 10 mg malam sebelum
operasi atau malam setelah operasi, efek antikoagulan terukur baru
dapat dicapai pada 3-4 hari pasca operasi, namum bila terapi dimulai
saat operasi atau sesaat setelah operasi maka warfarin masih efektif
bagi penderita resiko tinggi DVT, termasuk pasien fraktur tulang
panggul. Lama profilaksis menurut rekomendasi ACPP adalah
minimal 7-10 hari. Regimen ini kurang menyenangkan karena
memerlukan monitoring laboratorium.3,6
 Low-dose Unfractionated Heparin (UFH)
Diberikan secara subkutan 3 kali 3500 U sehari, dimulai sejak dua
hari sebelum operasi. Lebih efektif dari heparin dosis rendah bila
diberikan pada pasien operasi panggul elektif. Bila dibanding LMWH
efektifnya lebih rendah dalam mencegah trombosis vena proksimal
setelah operasi panggul. Membutuhkan monitoring laboratorium yang
teliti.6,7
 Low Molecular Weight heparin (LMWH)

LMWH lebih efektif dibanding yang lainnya, sediaan ini juga lebih
efektif mencegah trombosis vena proksimal setelah operasi panggul.
Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan aktivitas efek antitrombin
III, anti faktor Xa dan anti faktor IIa. Secara subkutan,
19

LMWH/enoxaparin diberikan sehingga profilaksi dengan dosis 40 mg


satu kali sehari, pada pasien yang menjalani pembedahan beresiko
tinggi DVT. Dosis pertama diberikan 12 jam sebelum pebedahan dan
dilanjutkan sehari sekali selama tujuh hari. Selain tidak memerlukan
pemantauan komplikasi perdarahan kecil terjadi. Pada operasi
ortopedic mayor, terapi LMWH/enoxaparin adalah injeksi 40 mg
secara sub kutan 12 jam sebelum pembedahan dan dilanjutkan sehari
sekali selama 12-14 hari. Sebaliknya Turpie memberikan 30 mg
LMWH/enoxaparin sub kutan 12-14 jam sesudah pembedahan dan
dilanjutkan 30 mg dua kali sehari 10-15 hari.3,7

b. Terapi trombolitik
- Sistemik: kurang direkomendasikan karena tingginya
kemungkinan komplikasi perdarahan.
- Catheter directed: lebih rendah angka komplikasi perdarahan
dibandingkan trombolitik sistemik dan terbukti lebih efektif.11
20

BAB 3

STATUS ORANG SAKIT

Tanggal Masuk: 11/03/ 2019 Dokter Ruangan:

dr. Irsyadil Fikri

Jam: 21:00 Dokter Chief of Ward:

dr. Epifania Yoan Theresa Ginting

Ruang: RA2 ruang 3.2.3 Dokter Penanggung Jawab Pasien:

dr. Dairion Gatot Sp.PD, K-HOM

ANAMNESA PRIBADI
Nama :Japet Ginting
Umur :57 tahun
Jenis Kelamin :Laki-laki
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Batak
Agama : Kristen Katholik
Alamat :Tiga Panah Kab. Karo

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama :Bengkak dan merah pada paha kanan
Telaah:Os mengeluhkan bengkak pada paha kanan dan berwarna merah. Hal ini
dialami sejak kurang lebih 1 bulan terakhir.Awalnya kaki terasa panas, nyeri,
kemerahan dan bengkak.Kaki terasa berat dan sulit untuk digerakkan.Riwayat
trauma pada kaki tidak dijumpai.Demam dijumpai tidak terlalu tinggi.Sesak nafas
tidak dijumpai.Penurunan nafsu makan dan penurunan BB tidak dijumpai.Mual
dijumpai namun tidak sampai muntah.Nyeri ulu hati dijumpai seperti ditusuk-
tusuk.BAB dijumpai 1 hari yang lalu setelah pemberian pencahar.Riwayat DM
21

dijumpai diketahui sejak 1 tahun terakhir dengan penggunaan metformin.Riwayat


hipertensi disangkal. Pasien rujukan RS luar dengan DM susp. DVT dan sudah
mendapat Cefotaxim, Metronidazole, Klindamisin, Sucralfate, Xarelto, Gabexal,
PCT.

ANAMNESIS ORGAN
Jantung
Sesak Nafas :( - ) Edema :(-)
Angina Pectoris :(-) Palpitasi :(-)
Lain-lain : ( -)
SaluranPernapasan
Batuk-batuk : ( -) Asma, bronchitis :(-)
Dahak : ( -) Lain-lain :(-)
SaluranPencernaan
Nafsu Makan :Baik Penurunan BB :(-)
Keluhan Menelan :(-) Keluhan Defekasi :(-)
Keluhan Perut :(+) Lain-lain :(-)
Saluran Urogenital
Nyeri BAK :(-) BAK Tersendat :(-)
Batu :(-) Keadaan Urin :(-)
Haid :(-) Lain-lain :(-)
Sendi dan Tulang :(-)
Sakit Pinggang :(-) Keterbatasan Gerak :(-)
Keluhan Persendian :(-) Lain- lain :(-)
Endokrin
Haus/Polidipsi :(-) Gugup :(-)
Poliuri :(-) Perubahan suara :(-)
Polifagi :(-) Lain-lain :(-)
Saraf Pusat
Sakit Kepala :(-) Hoyong :( - )
22

Lain- lain :(-)

Darah dan Pembuluh Darah


Pucat :(-) Perdarahan :(-)
Petechiae :(-) Purpura :(-)
Lain-lain :(-)

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

STATUS PRESENS
Keadaan Umum :Sedang
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah :150/60 mmHg
Nadi :96 x/ menit
Pernafasan : 20 x/menit
Temperatur : 37,1oC

Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 156 cm
IMT : 20,54 kg/m2 (Kesan: Normal)

KEPALA
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterus
(-/-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal

LEHER
Leher :TVJ R-2cm H2O, pembesaran KGB (-),
Trakea : Medial
23

THORAKS

PARU-PARU

Inspeksi : Simetris Fusiformis


Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri (kesan: normal)
Perkusi :Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi :Suara Pernafasan: Vesikuler
Suara Tambahan: Ronki basah (-), Wheezing (-)

JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung kiri 2 cm LMCS
Auskultasi :S1 S2= kesan normal,Murmur (-) Gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H//L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Normoperistaltik

EKSTREMITAS
SUPERIOR
Akral : Hangat
Edema : (-/-)

INFERIOR
Akral : Hangat
Edema : Dijumpai edema pada regio femoralis dextra
Eritema : Dijumpai eritema pada regio femoralis dextra
24

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal :11/03/2019

Hematologi Urinalisa Feses

Hb :12,1g/dL Warna: kuning jernih Warna: Coklat


Eritrosit: 4,18juta / μL
Buih: (-) Konsistensi:
Leukosit: 15.120 / μL
padat
Trombosit: 268.000 / μL Bau: (-)

Ht: 34 %
Hitung jenis:
Protein: -
Eosinofil: 1,5
Basofil:0,5 Reduksi: -
Neutrofil: 78,1
Bilirubin: -
Limfosit: 13,8
Monosit: 6,1 Urobilinogen: +

Neutrofil Absolut:11,82 x 103/ μL


Limfosit Absolut: 2,08 x 103/ μL
Sedimen urine
Monosit Absolut: 0,92 x 103/ μL
Eosinofil Absolut: 0,23 x 103/ μL Eritrosit: 0-1 /lpb
Basofil Absolut: 0,07 x 103/ μL
Leukosit: 3-5 / lpb

Kristal: -

Bakteri: -
25

RESUME

ANAMNESA Keluhan utama:Edema disertai eritema pada


inferior dextraregio femoralis.

Telaah:Dijumpai edemadisertai eritema pada


inferior dextra regio femoralis. Hal ini dialami
sejak kurang lebih 1 bulan terakhir. Os merasa
kaki berat dan sulit digerakkan.Dijumpai rubor,
kalor dan dolor pada inferior dextra regio
femoralis. Suhu badan kesan febris. Mual
dijumpai namun tidak sampai muntah. Nyeri
epigastrium dijumpai seperti ditusuk-tusuk.
BAB dijumpai 1 hari yang lalu setelah
pemberian pencahar. Riwayat berbaring lama
dijumpai. Riwayat DM dijumpai diketahui sejak
1 tahun terakhir dengan penggunaan metformin.
Pasien rujukan RS luar dengan DM susp DVT
dan sudah mendapat Cefotaxim, Metronidazole,
Sucralfate, Xarelto, Klindamisin, Gabexal dan
PCT.

STATUS PRESENS Keadaan Umum:Sedang


Keadaan Penyakit: Sedang
Keadaan Gizi:Sedang

PEMERIKSAAN FISIK VITAL SIGN

Sensorium: Compos Mentis


Tekanan darah: 150/60 mmHg
Nadi: 96x/menit
Pernafasan:20 x/menit
Temperatur: 37,1°C
26

STATUS LOKALISATA

Ekstremitas

Inferior: edema (+), rubor (+), kalor (+), dolor


(+) pada regio femoralis dextra

LABORATORIUM

Hematologi Hb: 12,1


Leukosit :15.120/mm3
Trombosit :268 x 106/ mm3

Kimia Klinik Albumin:2,8 g/dL


Glukosa Darah (Sewaktu): 115 mg/dL
Elektrolit
Natrium: 126 mEq/L
Kalium: 2,9 mEq/L

DIAGNOSIS BANDING Selulitis dd/ DVT

DIAGNOSIS SEMENTARA DM tipe 2 + Selulitis+ Hipoalbuminemia +


Hiponatremia + Hipokalemia

PENATALAKSANAAN Non Farmakologis:


- Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal + ekstra putih telur

Farmakologis:
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/I
- Inj. Ranitidine 1amp/12 jam/IV
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
- Inj. Keterolac 30 mg/8 jam/IV
- Inj. Lovenox 2 x 0,6 cc/12jam
- Klindamisin 4 x 300 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg
- KSR 2 x 600 mg
27

RENCANA PENJAJAKAN DIAGNOSTIK / TINDAKAN LANJUTAN


1. Pemeriksaan Darah Rutin 6. Albumin

2. Lipid Profile 7. Elektrolit

3. KGD puasa / 2 jam pp / Hb-A1c 8. HST

4. USG Doppler 9. Foto Thoraks

5.Gastroskopi 10. EKG


28

BAB 4
FOLLOW UP

Tanggal S O A P
11Maret Nyeri pada paha Sens: CM - Selulitis dd DVT  Tirah baring
2019 – 12 kanan TD: 110-120/70-80  Diet MB kalori>1700
Maret 2019 (VAS = 3) mmHg - DM tipe 2
kkal + ekstra putih
HR: 68-88 x/i - Hipoalbuminemia telur
RR: 24-32 x/i  Inj. Ceftriaxone
T : 35,9-38,8oC - Hiponatremia 1gr/24jam IV dlm
Kepala 100 cc NaCl 0,9%
- Hipokalemia
Conj. palp. inf. anemis  Inj. Keterolac 30
(-/-), sklera ikterik (-/-) - Dispepsia mg/8 jam/IV
Leher  Inj. Ranitidine
fungsional dd
TVJ R-2 cmH2O 1amp/12jam/IV
Pembesaran KGB (-) organik
 KSR 2x600mg
Thorax  PCT 3x500mg
Simetris fusiformis
 Klindamisin
SF kanan: kiri
4x300mg
SP: vesikuler
Abdomen R/
Simetris
Soepel  Gula darah puasa/ 2
BU (+) normal jam pp/ HbA1C
Timpani
 Lipid profile
Ekstremitas
Inferior dextra:  USG Doppler
Edema (+)  Foto Thoraks
Rubor (+)Kalor
 EKG
(+)Dolor (+) pada regio
femoralis
Hasil Lab (12/03/19):
PT/C 1,4
APTT/C 1,15
Fibrinogen 653
D-dimer 2010
13 Maret Nyeri dan panas Sens: CM - DVT  Tirah baring
2019 – 14 pada kaki kanan TD: 110/60 mmHg  Diet MB kalori
Maret 2019 dijumpai HR: 76-98 x/i - Selulitis
>1700 + ekstra
berkurang RR: 20-24 x/i putihtelur
29

T : 36,7-38,5oC - DM tipe 2  Inj. Ceftriaxone


KGDs: 121 1gr/24jam IV dlm
- Hipoalbuminemia
Kepala 100 cc NaCl 0,9%
Conj. palp, inf. anemis - Hiponatremia  Inj. Keterolac 30
(-/-), sklera ikterik (-/-) mg/8 jam/IV
Leher - Hipokalemia  Inj. Ranitidine
TVJ R-2 cmH2O 1amp/12jam/IV
- Dispepsia
Pembesaran KGB (-)  Inj. Lovenox 2 x 0,6
Thorax fungsionaldd
cc/12jam
Simetris organik  KSR 2x600mg
SF kanan : kiri  PCT 3x500mg
Sonor  Klindamisin
SP: Vesikuler 4x300mg
Abdomen
Simetris
BU (+) normal
Timpani
Soepel R/
H/L/R tidak teraba
Ekstremitas  Cek ulangdarah rutin,
Inferior dextra: albumin, elektrolit,
Edema (+)
HST
Rubor (+) Kalor (+)
Dolor (+) pada regio
femoralis
Metabolisme
Karbohidrat:
GDP: 91, GDP 2jam
pp: 151, Hb-A1c: 14,6
Lipid Profile:
Kolesterol Total: 88 mg
Trigliserida: 142
Kolesterol HDL: 14
Kolesterol LDL: 54
Foto Thoraks: Tidak
dijumpai kelainan
EKG
Sinus ritme
Normoaksis
Gel. P: normal
30

PR Interval: normal
Durasi QRS: normal
ST segment: normal

USG Doppler:DVT
pada vena femoralis
kanan dan vena poplitea
kanan. Pembesaran
KGB multipel kanan
(+)
15 Maret -Nyeri dan Compos mentis - DVT  Tirah baring
2019 panas pada kaki TD: 120/60 mmHg  Diet MB kalori
kanan HR: 64 x/i - Selulitis
>1700 kkal + ekstra
berkurang RR: 24x/i - DM Tipe 2 putih telur
T : 36,2oC  Inj. Ceftriaxone
Kepala - Hipoalbuminemia 2gr/24jam IV dlm
Conj anemis (-/-), 100 cc NaCl 0,9%
- Hiponatremia
Sklera ikterik (-/-)  Inj. Ranitidine
Leher - Hipokalemia 1amp/12jam/IV
TVJ R-2 cmH2O  Inj. Lovenox
Pembesaran KGB (-) - Dispepsia
2x0,6cc/12jam
Thorax fungsional dd
 NaCl 3% gandeng
Simetris organik
NaCl 0,9%
SF kanan: kiri
 KSR 2x600mg
Sonor
 PCT 3x500mg
SP: Vesikuler
 Klindamisin
Abdomen
4x300mg
Soepel
H/L/R tidak teraba R/
Normoperistaltik
Shifting dullness (-)  Substitusi Natrium
Ekstremitas (135-121) 70 x 0,6 =
Edema (-/-)
588 ≈2 fl NaCL 3%
Akral hangat
CRT < 2’ gandeng dengan
NaCl 0,9 %
Hasil lab(15/03/2019):
 Terapi 3 bulan
Hb/leu/tromb:
pengobatan / switch
10/9290/265.000
31

Ur/Cr/AU: 9/0,57/3,3 Xarelto 2 x 15 mg


Na/K/Cl/Ca/Mg:
121/3,0/90/6,2/1,19
32

BAB 5

DISKUSI

TEORI PASIEN

Definisi

Deep vein trombosis (DVT) merupakan suatu Seorang laki-laki 57 tahun


kondisi dimana trombus terbentuk pada vena datang dengan keluhan
dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi bengkak dan merah pada paha
inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan kanan
disekitar vena. DVT terjadi terutama di tungkai
bawah dan inguinal. Bekuan darah dapat
menghambat darah dari tungkai bawah kembali
ke jantung. Trombus adalah bekuan abnormal
didalam pembuluh darah yang terbentuk
walaupun tidak ada kebocoran, proses
pembentukan trombus dinamakan trombosis.
Trombus vena merupakan deposit intravaskuler
yang tersusun dari fibrin dan sel darah merah
disertai berbagai komponen trombosit dan
leukosit.

Faktor Risiko

Berdasarkan konferensi ketujuh American Pasien ini dikategorikan risiko


College of Chest Physicians (ACCP), pasien tinggi terjadinya DVT
yang melakukan operasi diklasifikasikan dikarenakan umur lebih dari
menjadi 4 tingkat menjadi resiko rendah, 40 tahun dan kurangnya
sedang, tinggi dan sangat tinggi. Klasifikasi aktivitas sehari-hari
dibuat berdasarkan umur, jenis operasi, durasi (immobilisasi).
operasi, durasi immobilisasi dan faktor resiko
33

lainnya.6,7

e. Resiko rendah: Durasi operasi kurang dari


30 menit, umur lebih dari 40 tahun,
perbaikan dari fraktur kecil.
f. Resiko sedang: Umur 40 – 60 tahun,
arthroscopy atau perbaikan fraktur tunkai
bagian bawah, penggunaan plaster cast post-
operasi.
g. Resiko tinggi: Umur lebih dari 60 tahun,
atau umur 40 – 60 tahun dengan adanya
faktor resiko tambahan, immobilisasi lebih
dari 4 hari.
h. Resiko sangat tinggi: Operasi arthroplasty
lutut dan panggul, operasi fraktur panggul,
operasi open fracture pada tungkai bawah,
trauma pada spinal cord, berbagai resiko
tambahan (umur lebih dari 40 tahun,
sebelumnya ada riwayat mengalami DVT,
kanker, dan hypercoagulable state).

Tanda dan gejala


 Pembengkakan pada ekstremitas Pada pasien ini ditemukan
(tungkai / lengan), mulai dari distal. pembengkakan pada paha
 Otot kaku/ tidak lunak kanan, otot kaku dan nyeri.
 Nyeri pada betis saat pedis di posiskan
dorsofleksi dan sendi lutut dalam kondisi
ekstensi penuh (Homan’s sign)
 Kulit kebiruan (sianosis)
 Vena superficial tampak jelas akibat
dilatasi vena kolateral superfisialis
34

 Beberapa thrombus dapat mengalami


perbaikan secara spontan dan membentuk
jaringan parut disekitar katup. Jaringan parut
yang terbentuk dapat merusak fungsi katup pada
pembuluh vena di tungkai bawah yang
mengakibatkan thrombosis vena dalam kronis
berulang (post phebitic syndrome).

Diagnosis
Dari anamnesis dan
 Anamnesis yang mengarah pada faktor
pemeriksaan fisik
risiko dan gejala klinis, serta
menggunakan caprini score,
pemeriksaan fisik ditunjukkan untuk
didapati hasil risiko rendah
menemukan adanya tanda dan gejala
DVT dengan skor 2.
trombosis vena dalam. Secara sederhana
menggunakan Caprini Score (lihat Pemerikasaan laboratorium:
Gambar)
-Fibrinogen: 653,0 mg/dL
 Pemeriksaan laboratorium: kadar D-
Dimer ↑ (trombosis yang aktif), dapat - D-dimer: 2010,00 ng/mL
dipengaruhi oleh adanya keganasan atau
Pemeriksaan penunjang lain:
kerusakan jaringan.
 Pemeriksaan penunjang lain: -USG Doppler
-Non invasif : USG Doppler, CT
venografi
-Invasif : Flebografi
Tatalaksana

1. Terapi antikoagulan Low Molecular Weight


Heparin (LMWH)
 Heparin, secara parental. Heparin dosis
rendah di berikan subkutan dengan dosis - Inj. Lovenox 2 x
5000 U. diberikan sebelum operasi dan 0,6cc/12jam
- Xarelto 1 x 15 mg
35

setelah operasi (setiap 8-12 jam). R/

 Warfarin. Dapat mulai diberikan 5 atau 10 Terapi 3 bulan pengobatan /


mg. Lama profilaksis menurut rekomendasi switch Xarelto 2 x 15 mg
ACPP adalah minimal 7-10 hari.

 Low-dose Unfractionated Heparin (UFH)

Diberikan secara subkutan 3 kali 3500 U


sehari, dimulai sejak dua hari sebelum
operasi.

 Low Molecular Weight heparin (LMWH)

LMWH lebih efektif dibanding yang


lainnya. Secara subkutan,
LMWH/enoxaparin diberikan sehingga
profilaksi dengan dosis 40 mg satu kali
sehari, pada pasien yang menjalani
pembedahan beresiko tinggi DVT.

2. Terapi trombolitik

- Sistemik: kurang direkomendasikan


karena tingginya kemungkinan komplikasi
perdarahan.

-Catheter directed: lebih rendah angka


komplikasi perdarahan dibandingkan
trombolitik sistemik dan terbukti lebih
efektif.
36

BAB 6

KESIMPULAN

Pasien laki-laki berusia 57 tahun bernama Bapak J didiagnosis dengan DVT.


Pasien dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan dan ditatalaksana dengan tirah
baring, diet MB kalori >1700 kkal + ekstra putih telur, terapi sesuai RM 8.1, inj.
Lovenox 2 x 0,6 cc / 12 jam, drip Ceftriaxone 2gr/24 jam IV dan Klindamisin 4 x
300 mg.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Patel, Kaushal et al. deep Venous Trombosis. Avalible in:


www.medscape.com.( Accessed 14 March 2019 ).

2. Hetcher, John et al. Prevention of Venous


Thromboembolism.Australia.2008

3. Ennis,Robert et al. deep venous Trombosis Propylaxis in Ortopedic


Surgery. Avalaible in :www.medscape.com ( Accessed 14 March 2019 )

4. Chung, W., Lin, C. and Kao, C. Diabetes increases the risk of deep-vein
thrombosis and pulmonary embolism. 2015; pp. 812–818.

5. Lilly, Leonard. Pathopysiology of Hearth Disease 5th Edition. London:


Lippincott; 2011

6. Baksa, I Made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006

7. Deitelzweig, Steven et al. prevention of venous Thromboembolism in The


Ortopedic Surgery Patient. Cleveland clinic journal of Medicine. 2008; 75
(3) : 27-36

8. Kearon, Clive et al. antithrombotic Therapy for Venous Thromboemboli


Disease : American College of Chest Physicians Evidence-Based Practice
Guidline ( 8th Edition). Journal of American Colleg of Chest Physicians.
2008; 133 (10) : 475-510

9. Laryea, J. and Champagne, B. 2013, ‘Venous Thromboembolism


Prophylaxis’.
10. Tosadak, Uddin et al. aetiology and Prevention of Venous
Thromboembolism. National Journal Medicine. 2007; 331 (24): 70-81
11. Rosani S.and Utama A. J. Kapita Selekta Edisi IV Jilid I : Trombosis Vena
Dalam. 2016; pp 302-305.

Anda mungkin juga menyukai