Biologi Konservasi Bekantan PDF
Biologi Konservasi Bekantan PDF
B i o l o g i K o n s e r v a s i B E K A N T A N (N a s a l i s l a r v a t u s)
mengikuti kursus Amdal A di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Pada tahun 1979 memulai tugas sebagai calon peneliti di Lembaga Penelitian Hutan yang
sekarang menjadi Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan.
Jabatan fungsional dimulai dari Ajun Peneliti Madya pada tahun 1987, Peneliti Muda tahun
1988, Peneliti Madya tahun 1993, Ahli Peneliti Muda tahun 1996, Ahli Peneliti Madya tahun
1999, dan Ahli Peneliti Utama tahun 2003. Pada tahun 2007 dikukuhkan sebagai Profesor Riset.
Dalam perjalanan karier sebagai peneliti tersebut telah diterbitkan lebih dari 80
judul laporan dan karya ilmiah, dimuat dalam berbagai Bulletin, Jurnal, dan Prosiding.
Di samping itu aktif sebagai Dosen Luar Biasa, membimbing mahasiswa program
S1, S2, dan S3 di Universitas Nusa Bangsa Bogor, Universitas Nasional Jakarta, dan
pada Program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia.
N a s a l i s l a r v a t u s
Organisasi profesi yang diikuti adalah sebagai anggota Asosiasi Peminat dan Ahli Primata
Indonesia (APAPI) dan Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI) serta terlibat dalam kegiatan
penelitian bersama lembaga swadaya masyarakat, seperti Wetlands International,
Oleh : M. Bismark
Conservation International dan The Nature Conservancy. Selain itu, kegiatan di bidang
ilmiah lainnya adalah sebagai Dewan Redaksi Bulletin dan Jurnal Penelitian Hutan, serta Editor : Sulistyo A. Siran; Abdullah Syarief Mukhtar; Titiek Setyawati
sebagai Ketua Dewan Redaksi Info Hutan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
N a s a l i s l a r v a t u s
DEPARTEMEN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
M. BISMARK
Editor:
Sulistyo A. Siran; Abdullah Syarief Mukhtar; Titiek Setyawati
BIOLOGI KONSERVASI
BEKANTAN (Nasalis larvatus)
Penulis : M. Bismark
Editor : Sulistyo A. Siran
Abdullah Syarief Mukhtar
Titiek Setyawati
ISBN 978-979-3145-42-6
Penerbit:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam
Kampus Balitbang Kehutanan
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16110
Telp. (0251) 8633234, 7520067; Fax. (0251) 8638111
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.id
Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuat-an sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
ma-sing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
Bekantan Mangrove
Agustus, 2009
M. Bismark
iii
KATA PENGANTAR
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Wasalam,
Penulis
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................v
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Bekantan Satwa Endemik...................................................................2
1.2. Dukungan Penelitian dalam Program Konservasi
Bekantan ...................................................................................................3
1.3. Biofisik Lingkungan Habitat Bekantan ........................................5
BAB 2 HABITAT ................................................................................................11
2.1. Tipe dan Sebaran Habitat ...............................................................11
2.1.1. Hutan Rawa Gambut ..............................................................12
2.1.2. Hutan Mangrove .....................................................................18
2.2. Degradasi Habitat ..............................................................................27
2.3. Keanekaragaman Fauna di Habitat Bekantan .......................29
2.3.1. Mamalia .......................................................................................30
2.3.2. Burung .........................................................................................31
2.3.3. Reptilia.........................................................................................35
2.3.4. Fauna Perairan .........................................................................36
2.3.5. Parasit ..........................................................................................37
BAB 3 STRUKTUR KELOMPOK....................................................................41
3.1. Morfologi dan Geometri ..................................................................41
3.2. Sistem Sosial .........................................................................................46
3.3. Komposisi Kelompok.........................................................................48
BAB 4 POPULASI DAN SEBARAN ................................................................55
4.1. Populasi ..................................................................................................58
4.2. Ancaman Populasi Bekantan .........................................................61
BAB 5 PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH ........................65
5.1. Pergerakan Harian..............................................................................65
5.2. Penggunaan Strata Hutan ................................................................71
5.3. Ruang Pengembaraan ......................................................................72
ix
DAFTAR ISI
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
PENDAHULUAN
2
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
3
PENDAHULUAN
hal ini, penelitian ekologi secara mendalam terhadap bekantan yang hidup
di habitat hutan bakau belum banyak dilakukan. Walaupun demikian,
Sunjoto (2004) telah mengkaji aspek ekologi dan habitat bekantan yang
hidup di hutan karet di Kalimantan Selatan.
4
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
5
PENDAHULUAN
6
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
antar jenis atau kelompok serta proses belajar sejak dari umur muda atau
belajar dari pengalaman yang didapat dari individu yang lebih tua. Kedua
faktor ini dapat terlihat pada pola jelajah dan ruang pengembaraan (home
range) primata yang sesuai dengan perilaku sosial dan perilaku makan
dalam lingkungan habitat (Whitten, 1982; Bismark, 1994).
Keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai habitat, secara
terpisah atau bersamasama akan menyediakan berbagai relung (niche)
ekologi yang potensial dalam sebaran satwa, terutama besarnya volume
tajuk sebagai penghasil produktivitas primer yang akan menentukan
produktivitas sekunder (satwa). Hutan tropika dataran rendah di Asia,
Afrika, dan Amerika, menghasilkan serasah kering sebanyak/sebesar 6-7
ton/ha/tahun, di Malaysia sekitar 7,5 ton/ha/tahun (Raemakers et al.,
1980), dan hutan bakau dapat menghasilkan daun muda 5 ton/ha/ tahun
(Clough et al., 1983).
Struktur fisik hutan terbentuk akibat adanya perbedaan tinggi pohon
menurut jenis, umur maupun sifat tumbuhnya. Keadaan ini membentuk
stratifikasi yang menciptakan relung ekologi tertentu, seperti adanya
perbedaan ketinggian dan posisi tempat makan jenis primata simpatrik
pada pohon. Berbagai relung ekologi akan memberikan tempat bagi
satwa mamalia herbivora lain dan burung untuk mencari makan. Satwa-
satwa tersebut dapat membantu percepatan regenerasi hutan melalui
penyebaran biji tumbuhan sebagai sisa makanan, baik oleh primata atau
burung serta mempercepat proses daur ulang unsur-unsur penting ke
lingkungan. Bekantan dapat meningkatkan biodiversitas jenis tumbuhan
di habitatnya melalui cara makan yang mengurangi jumlah biji tumbuhan
dominan, sehingga memberikan kesempatan bagi biji tumbuhan yang
tidak dominan untuk tumbuh dan berkembang (Yeager dan Blondal, 1992).
Hutan tropika Indonesia memiliki keragaman jenis primata yang
tinggi, baik primata pemakan daun (folivorous) maupun pemakan buah
(frugivorous). Hal ini didukung oleh ekologi dari setiap jenis primata dalam
memanfaatkan sumber pakan yang berbeda sesuai dengan jenis pakan
yang disukai, penggunaan stratifikasi tajuk hutan, dan pola pergerakannya
(Curtin dan Chivers, 1979; Meijaard et al., 2006). Keragaman jenis
tumbuhan yang tinggi di habitat primata, terutama primata simpatrik
akan memungkinkan tingginya keragaman jenis pakan menurut ruang dan
waktu. Walaupun di hutan primer banyak terdapat pohon besar dan tinggi,
pada umumnya kehidupan satwa lebih banyak berkisar pada ketinggian
antara 25-35 m dan 15-30 m, kecuali pada habitat tertentu seperti di tepi
sungai (Curtin dan Chivers, 1979).
7
PENDAHULUAN
8
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
pada bekantan yang berbeda lokasi habitat seperti di hutan bakau Taman
Nasional (TN) Bako dan di Suaka Margasatwa (SM) Samunsam, Sarawak, di
mana pada TN Bako aktivitas makan bekantan sejumlah 63,2%, sedangkan
di hutan bakau SM Samunsan 13,1% (Salter et al., 1985). Bekantan sebagai
primata pemakan daun yang bersifat seperti ruminansia (Hladik, 1978)
butuh pakan yang perbandingan protein dengan serat kasarnya rendah
(Bennett dan Sebastian, 1988). Di hutan dipterocarpaceae, dengan tanah
miskin hara menghasilkan daun dengan rasio protein dan serat yang
rendah pula, tetapi kekurangan unsur lain seperti mineral, menyebabkan
bekantan tidak dapat menempati habitat yang demikian (Bennett dan
Sebastian, 1988).
Hutan bakau yang menerima masukan unsur hara dari sungai dan
dari pasang air laut, melalui endapan dan proses dekomposisi oleh
jasad renik (Lear dan Turner, 1977) menyebabkan tanah hutan bakau
kaya unsur hara, seperti unsur N yang berperan dalam peningkatan
produktivitas daun bakau (Clough et al., 1983). Di samping itu daun
bakau lebih banyak mengandung mineral yang sangat dibutuhkan oleh
satwa ruminansia. Dalam habitat hutan, pakan primata tersebar secara
vertikal dan horizontal, dengan demikian primata akan bergerak secara
vertikal maupun horizontal untuk mencari makan sesuai dengan tingkat
kesukaan terhadap jenis pakan, terutama kaitannya dengan kadar nutrisi
dan keamanan, serta menghindarkan kompetisi (Bismark, 1994).
Dalam buku ini akan dikemukakan rangkuman hasil penelitian
penulis terhadap populasi dan perilaku bekantan di hutan bakau serta
hasil penelitian para pakar yang relevan termasuk hasil penelitian pada
program doktor di mana penulis ikut sebagai Tim Promotor. Sebagaimana
uraian pendahuluan di atas, kajian ekologi dan konservasi bekantan akan
diarahkan pada potensi habitat, sebaran populasi bekantan, dan perilaku
terutama yang terkait dengan pakan, daya dukung, dan aspek konservasi
bekantan di luar kawasan konservasi.
9
BAB 2
HABITAT
11
HABITAT
Jenis bekantan juga dijumpai di hulu sungai yang jauh dari laut,
seperti di Sungai Murung Barito Utara (laporan Chivers dan pengamatan
pribadi, 1994) serta di hulu Sungai Sangatta yang didominasi hutan
dipterocarpaceae (Bismark, 1997). Bekantan ditemukan di pulau kecil,
seperti Pulau Kaget seluas 247 ha di Kalimantan Selatan dengan habitat
tumbuhan mangrove dan masih terpengaruh oleh kadar garam.
Kekhawatiran akan cepatnya pengurangan luas habitat yang
berdampak negatif pada penurunan populasi bekantan adalah terjadinya
degradasi habitat hutan dataran rendah, seperti kasus di Taman Nasional
Gunung Palung. Dari tahun 1998-2002, penurunan luas tutupan di TN
Gunung Palung sangat meningkat dari sekitar 500 sampai 8.000 ha per
tahun dan di daerah penyangga sekitar 600 ha per tahun (Curran et al.,
2004). Kerusakan hutan mangrove lebih disebabkan oleh konversi lahan
menjadi tambak. Tambak di hutan mangrove di kawasan hutan produksi PT
Karyasa Kencana Tarakan dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1982
meningkat dengan drastis. Luas tambak yang awalnya125 ha meningkat
menjadi 50 kali lipat (Sardjono, 1995) sebagai bentuk penyusutan areal
mangrove. Secara umum, upaya perbaikan ekosistem mangrove melalui
rehabilitasi di Kalimantan dalam kurun waktu tahun 1999-2006 telah
terealisasi sejumlah 4.173 ha.
Di Kalimantan Selatan, habitat bekantan mencakup hutan mangrove,
hutan campuran di pantai, rawa gambut, dan hutan rawa yang didominasi
oleh galam (Melaleuca cajuputi). Selain itu populasi bekantan juga
ditemukan di hutan bukit kapur dan hutan karet (Sunjoto et al., 2005).
Sebaran bekantan pada beberapa kawasan di luar kawasan konservasi
di Kalimantan Selatan telah diidentifikasi oleh Sunjoto et al. (2003)
sebagaimana Tabel 2.
12
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Tabel 2. Lokasi persebaran dan tipe habitat bekantan di Kalimantan Selatan Kabupaten
Tabalong (Soenjoto, 2003)
Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
1 Bukit Batu Bekantan teramati: • Bukit kapur yang kelilingnya (kaki) ± 4 km dan
Kumpai, Kec. Jaro 19 (3 J + 8 B + 3 A + tingginya ± 300 m
01°50’ 17,1” LS; 5 KT) • Lahan di kaki hingga puncak bukit ditumbuhi
115°37’ 01,1” BT semak belukar. Vegetasi ini tumbuh setelah
hutan sekunder terbakar 2 tahun lalu.
• Hamparan lahan di sekeliling kaki bukit (radius
300 m) ditumbuhi hutan karet, persawahan,
dan kebun.
• Menurut rnasyarakat, budidaya tanaman di
hamparan lahan ini sudah dilaksanakan sejak
tahun 1970-an.
13
HABITAT
Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
4 Hutan Baluun, Bekantan teramati:
• Hutan karet; Ærerata = 30,76 cm (28,34 - 33,41;
Desa Uwi, Kec. 10 = (I J + 3 B + 2 A
n = 60)
Muara Uya + 4 KT)
• Di sebelah timur berbatasan langsung dengan
01°54’ 09,1” LS;
Sungai Uwi (lebar ± 30 m)
115°34’ 54,9” BT
5 Hutan karet Pasar Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 33,27 cm (29,30 - 40,31;
Batu, Kec. Muara 14(2 J + 5 B + 2 A + n = 47)
Uya 5 KT) • Di sebelah timur berbatasan langsung dengan
01º56’ 29,8” LS; Sungai Ayu (Iebar 25 m)
15º33’ 30,0” BT • Di Desa Pasar Batu ini Sungai Ayu dan Sungai
Uwi bersatu menjadi Sungai Tabalong Kanan
6 Hutan karet Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 33,20 cm (31,85 – 39,17;
Kampung Ulan, dijumpai langsung. n = 57)
Desa Binjai, Kec. Menurut penyadap • Di sebelah utara dan timur berbatasan
Muara Uya 01°53’ karet atau peladang langsung dengan Sungai Ayu
01,6” LS; 115°32’ di lokasi, jumlah
07,1” BT populasi bekantan
15-50 ekor.
7 Hutan Bekantan teramati: • Hutan sekunder (campuran) di tepi sungai dan
Rantaunatu, Desa 16 (2 J + 6 B + 3 A + bertopografi curam
Salikung, Kec. 5 KT) • Di sebelah barat berbatasan langsung dengan
Muara Uya Sungai Ayu dan di sebelah timur berbatasan
01°48’40,2” LS; dengan hutan karet.
115°31’ 21,4” B
8 Hutan karet Desa Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 32,27 cm (28,34 - 34,25;
Mangkupum, Kec. dijumpai langsung. n = 50)
Muara Uya Menurut penyadap • Di sebelah selatan berbatasan langsung dengan
01°57’15,4” LS; karet atau peladang Sungai Mangkupum (lebar: ± 15 m), anak
115°35’ 07,6” BT di lokasi, populasi sungai Tabalong Kanan
15-50 ekor. • Terdapat pohon rambung (Ficus) dan tiwadak
banyu (Artocarpus teysmanii) yang merupakan
pohon tempat tidur bekantan
9 Rawa Panepeh, Bekantan teramati: • Hutan rawa (± 30 ha); didominasi oleh jingah
Desa Kaong, Kec. 18 (2 J + 2 B + 2 A + (Gluta renghas) dan dikelilingi hutan karet.
Upau 12 KT) • Lima pohon jingah yang dijadikan sampel
02°05’50,5” LS; tingginya mencapai 25 m dan diameternya 96
115°35’ 35,3” BT - 118 cm.
• Rawa relatif tidak terganggu. Rawa dibiarkan
tetap ada, tidak dikonversi dan tidak ditanami.
• Rawa dikelilingi hutan karet; Ærerata = 34,76 cm
(33,41 - 40,30; n = 55).
10 Hutan Salihin, Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 28,64 cm (25,16-31,53; n
Desa Bilas, Kec. 11 (1 J + 3 B + 2 A + = 47)
Upau 5 KT) • Di sebelah timur, terdapat hutan karet yang
02°07’ 18,3” LS; telah ditebang 2 minggu lalu dan direncanakan
115°33’ 47,4” BT untuk persawahan (irigasi).
14
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
11 Hutan karet milik Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 29,42 cm (24,68 - 35,01;
keluarga Sadit, 2(1 J + 1 B) n = 43)
Desa Batupulut, • Di sebelah barat terdapat permukiman serta
Kec. Haruai jalan yang menghubungkan Tanjung - Batu
02°01’07,1” LS; Pulut - Muara Uya; di utara dan timur terdapat
115°32’ 06,2” BT persawahan; di selatan terdapat lapangan
sepakbola, permukiman, dan hutan karet.
12 Hutan karet milik Bekantan teramati: • Hutan karet terletak pada kelokan Sungai
Hasbullah, Desa 12(1 J + 6 B + 5 KT) Tabalong Kanan; Ærerata = 29,76 cm (26,91 -
Batu-pulut, Kec. 34,87; n = 56).
Haruai • Terdapat pepohonan rambling yang disenangi
02°00’34,4” LS; bekantan untuk lokasi tidur.
115°31 ‘55,2” BT
13 Hutan Pulau Giar, Bekantan teramati: • Hutan karet (tinggal ± 10 ha); Ærerata = 33,26 cm
Desa Argomulyo, 5 (1 J+ 4 B) (30,57 - 41,40; n = 36)
Kec. Haruai • Di selatan dan barat terdapat sawah beririgasi
01°58’18,1” LS; dan rawa berbatu kapur; di timur terdapat
115°27’ 42,1” BT pemukiman, di utara terdapat lahan yang baru
dibuka untuk kebun karet dan sawah baru
• Rawa berbatu kapur ditumbuhi kariwaya
• Permukiman transmigrasi dihuni sejak tahun
1982/1983
14 Hutan karet Bekantan teramati: • Bekantan dijumpai memakan buah terung di
Desa Jabang, Kec. 10 (1 J + 1 B + 3 A + ladang.
Haruai 5 KT) • Ladang dikeliling hutan karet; Ærerata = 27,98 cm
02°01’08,2” LS; (26,75 - 28,67; n = 60)
115°27’ 05,7” BT • Sebagian hutan karet termasuk dalam
Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
15 Hutan Manunggul, Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 30,84 cm (28,63 - 35,32;
Desa Jaing Hilir, 21 (3 J + 15 B + 3 A) n = 58)
Kec. Murung • Di sebelah selatan berbatasan langsung dengan
Pudak Sungai Jaing (Iebar ± 15 m), anak Sungai
02°06’54,2” LS; Tabalong Kanan
115°26’ 42,5” BT
16 Hutan Mandu. Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 29,55 cm (28,36 - 32,16;
Desa Mangkusip, dijumpai langsung. n = 49)
Kec. Tanta Menurut penyadap • Di utara terdapat pemukiman dan jalan yang
02°12’58,6” LS; karet dan penduduk, menghubungkan Kec. Tanta dengan jalan raya
115°22’ 51,7” BT hutan di belakang Paringin - Tanjung, di selatan terdapat sawah
rumahnya menjadi yang baru dibuka (± 50 ha), di barat terdapat
daerah jelajah pemukiman dan jalan yang menghubungkan
bekantan, populasi Kec. Tanta dengan jalan raya Amuntai - Tanjung,
bekantan banyak di timur terdapat hamparan hutan karet.
atau mencapai • Terdapat pohon jingah yang menjadi tempat
ratusan tidur bekantan, pohon ini banyak ditebangi
untuk bahan baku papan.
• Bekantan di lokasi ini menjadi sasaran
perburuan dan dikonsumsi oleh suku Dayak.
15
HABITAT
Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
17 Hutan Pateh, Desa Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 28,76 cm (25,48 - 31,21;
Madang, Kec. dijumpai langsung. n = 61)
Muara Harus. Menurut penyadap • Hutan berbatasan dengan baruh Palai-palai dan
02°16’46,7” LS; karet dan baruh Hapau yang dibelah oleh Sungai Tabuk.
115°20’ 44,1” BT pemancing ikan, • Baruh yang luasnya lebih dari 100 ha akan
populasi banyak kering pada musim kemarau panjang
18 Hutan Punggur, Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 32,14 cm (29,30 - 38,53;
Desa Pampanan, 14 (2 J + 7 B + 3A + n = 38)
Kec. Pugaan. 2 KT) • Bekantan di lokasi ini menjadi sasaran
02°19’56,5” LS; perburuan dan dikonsumsi oleh suku Dayak
115°20’ 35,5” BT (yang datang dari wilayah Bintot, Kab. Barito
Timur, Kalimantan Tengah)
Catatan:
16
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Tabel 3. Inventarisasi vegetasi hutan rawa gambut dan presentase sebagai sumber
pakan bekantan (Yeager, 1989)
Genus spesies
No Genus spesies (Lokal) Persen No Persen
(Lokal)
1. Aglaia sp. 0,13 23. Baccaurea bracteata 0,48
2. Baccaurea racemosa 0,21 24. Licania splendens 2,94
3. Calophyllum sp. 1 0,08 25. Lthocarpus sundaicus 0,03
4. Calophyllum sp. 2 0,05 26. Litsea sp. 0,75
5. Crudea teyamannii 1,85 27. Lophopetalum javanicum 13,75
6. Dialium indum 0,11 28. Lucinaea montana 0,40
7. Diospyros maingayi 1,04 29. Macaranga hypoleuca 0,13
8. (Epiphyte) 0,03 30. Mangifera sp. 1,l5
9. Eugenia reinwardtiana 0,03 31. Neoscortechinia sp. 1,74
10. Eugenia sp. 1 0,86 32. Pandanus sp. 1,12
11. Eugenia sp. 2 0,24 33. Polyalthia glauca 0,03
12. Eugenia sp. 3 30,03 34. Polyalthia lateriflora 0,19
13. Eugenia zeylanica 0,02 35. Pternandra rostrata 0,29
14. Ficus acamtophylla 0,83 36. Rourea mimosoides 0,11
15. Ficus globosa 0,48 37. Ryparosa javanica 0,32
16. Ganua motleyana 20,22 38. Santirio rubiginosa 0,21
17. Garcinia dulcis 0,70 39. Shorea smithiana 0,21
18. Garcinia forbesii 0,24 40. Stenophlaea palustris 0,16
19. Gonystylus macrophyllus 0,05 41. Symplocos fasciculata 0,19
20. lxora blumei 0,05 42. Uncaria glabrata 2,03
21. Knema latifolia 0,11 43. Xylopia fusca 0,24
22. Kokoona ohracea 0,86 44. Unidentified 11,79
17
HABITAT
Tabel 4. Jenis tumbuhan sumber pakan utama bekantan di Samboja Kuala (Alikodra et
al., 1995)
18
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Suku Jenis
19
HABITAT
Suku Jenis
20
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Garis pantai
Sungai
Garis pantai
Sungai
21
HABITAT
Garis pantai
Sungai
Gambar 4e. Zonasi jenis pohon mangrove Ceriops tagal di habitat bekantan
TN. Kutai
Garis pantai
Sungai
22
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
35
Tinggi (m)
25
15
Rhizophora apiculata
5
5 15 25 35 45 55 65 75 85
Diameter (cm)
23
HABITAT
45
Tinggi (m) 35
25
15
Bruguiera gymnorrhiza
5
5 15 25 35 45 55
Diameter (cm)
15
10
5
Aglaia cuculata
5 10 15 20 25 30
Diameter (cm)
Gambar 5c. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Aglaia cuculata di
TN Kutai
20
15
Avicennia officinalis
35 55 75 95 115 135
Di t ( )
Gambar 5d. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Avicennia
officinalis di TN Kutai
24
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
25
gg ( )
15
Bruguiera parviflora
5
5 15 25 35
Diameter (cm)
Gambar 5e. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Bruguiera
parvifloras di TN Kutai
15
10
5 Ceriops tagal
5 10 15 20 25
Di t ( )
Gambar 5f. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Ceriops tagal di TN
Kutai
Tabel 6. Perkiraan luas proyeksi tajuk pohon mangrove di habitat bekantan di TN Kutai
25
HABITAT
Dari Tabel 6 terlihat bahwa luas tajuk dan kerapatan pohon sangat
potensial dalam penyediaan sumber pakan bekantan terutama pada tingkat
tiang dan pohon (diameter 20-40 cm). Tutupan tajuk pohon berdiameter > 50
cm dan pancang berperan dalam menjaga kestabilan fluktuasi iklim mikro di
siang hari saat bekantan istirahat pada strata rendah (0-10 m).
Tanah hutan mangrove berbeda dengan tanah hutan lainnya, di mana
tidak ada drainase, kadar garam tinggi, kondisi anaerob, dan mempunyai
kandungan organik yang tinggi. Pembentukan tanah hutan mangrove ini
dipengaruhi oleh faktor fisik, melalui transportasi nutrisi oleh pasang,
gelombang, dan sungai, melalui endapan kimia dan faktor biotik yaitu
proses dekomposisi oleh jasad renik (Lear dan Turner, 1977).
Salinitas dan nitrogen merupakan faktor ekologis yang mempengaruhi
pertumbuhan hutan mangrove (Peng dan Xin-Men, 1983) dan parameter
Na/K merupakan faktor kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
anakan di samping salinitas (Bhosale dan Shinde, 1983). Sukardjo (1987)
melakukan analisa kadar C dan N tanah vegetasi mangrove kaitannya
dengan jumlah pohon dalam plot pengamatannya.
Di hutan mangrove TN Kutai, tidak terlihat perbedaan nyata antara
kadar N dan C pada masing-masing zonasi, demikian pula dengan Na/K
dan salinitas. Dari analisis ini dapat dikatakan bahwa kandungan organik,
Na, dan K serta salinitas tanah dalam konsentrasi yang merata di hutan
mangrove riverine (Tabel 7). Keadaan ini dapat disebabkan oleh zonasi
R. apiculata yang sangat dominan. Selain itu dominasi A. aureum sebagai
tumbuhan bawah secara fisik dapat berpengaruh dalam pengendapan
unsur hara ke dalam tanah. Konsentrasi C di dalam tanah antara 4,996-
5,995% menunjukkan konsentrasi yang relatif stabil di mana konsentrasi
di bawah 2,86% termasuk dalam kategori tidak stabil (Soegiarto, 1984).
Tingginya kadar organik tanah hutan ini dimungkinkan oleh karena
sebagian besar struktur tanahnya didominasi gambut dan tingginya
produksi serasah serta hara dari sungai.
Tabel 7. Konsentrasi rata-rata beberapa unsur kimia tanah dalam zonasi mangrove di
TN Kutai
26
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
27
HABITAT
28
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
29
HABITAT
11. Sungai Kedang Kepala CA/ UNP 1-2 Ri, F, P Perburuan, logging,
kebakaran
12. Kutai TN 1 Ri, F, P, LoD Logging, kebakaran
13. Sungai Kayan UNP 1 Ri, F, Ma, Ni Logging, perburuan
14. Sangkulirang UNP 1-2 Ri, F, Ma, Ni Logging
15. Sungai Sesayap, UNP 3 Ri, Ma, Ni, F Tambak udang,
Sungai Sebuku, logging
Sungai Sebakung
16. Delta Mahakam UNP 2 Ma, Ni Tambak udang,
logging
Keterangan :
2.3.1. Mamalia
30
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
2.3.2. Burung
31
HABITAT
32
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
33
HABITAT
Tinggi (m)
40
30
20
10
10 m
100 80 60 40 20 (m)
Gambar 6. Diagram profil vegetasi hutan mangrove habitat burung, dari tepi
sungai ke dalam hutan (Ra = R. apiculata; Bp = B. parviflora; Ac =
A. cucullata; Ao = A. officinalis)
34
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
2.3.3. Reptilia
35
HABITAT
36
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
2.3.5. Parasit
37
HABITAT
Tabel 11. Jenis dan sebaran ikan di hulu Sungai Seturan habitat primata
Lokasi perairan
Kerapatan Frekuensi
Fam.
No. Jenis ikan relatif relatif RIL CNV
(%) (%) Sungai
1 2 3 1 2 3
Jumlah 11 11 10 14 10 6 23
*) Endemik Kalimantan
38
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
39
BAB 3
STRUKTUR KELOMPOK
41
STRUKTUR KELOMPOK
Gambar 10. Perbedaan warna pinggul bekantan jantan dan betina dewasa
Tabel 12. Berat badan bekantan menurut seks dan kelas umur
42
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
sama dengan 2/3 luas permukaan tubuh yang jantan. Ukuran tubuh betina
dewasa hampir sama dengan jantan setengah dewasa (Tabel 14).
Menurut Bennett dan Sebastian (1988) besar tubuh bekantan setengah
dewasa lebih dari 3/4 tubuh dewasa sedangkan yang remaja kurang dari
3/4 bagian tubuh dewasa. Walaupun tinggi duduk jantan setengah dewasa
sama dengan 3/4 dari jantan dewasa, namun lebar bahunya sama dengan
2/3 dari dewasa dan luas permukaan tubuhnya sama dengan1/2 dari luas
tubuh dewasa (Tabel 15).
43
STRUKTUR KELOMPOK
44
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
jantan setengah dewasa yaitu 3, atau tinggi duduk 3 kali lebar bahu,
sedangkan untuk kelas umur remaja dan bayi, panjang badan dan kepala
sama dengan 22/3 lebar bahu, sama dengan indeks pada jantan dewasa.
Parameter geometri yang mudah diamati di lapangan dan erat kaitannya
dengan besar tubuh bekantan yang dicirikan dengan luas permukaan
tubuh adalah tinggi duduk dan lebar bahu. Analisis parameter tersebut
secara matematik sangat ditentukan oleh variasi dan jumlah sampel yang
ada. Dari sampel yang ada, bekantan jantan dan betina dapat mewakili
setiap kelas umur walaupun tidak dalam jumlah yang sama (Tabel 13 dan
Tabel 16).
Luas permukaan anggota gerak (kaki dan tangan) bekantan rata-
rata adalah 52,65% dari luas permukaan tubuh. Pada rusa dengan berat
badan 60 kg, luas anggota geraknya hanya 36,9%. Dalam hal ini, pelepasan
panas secara konveksi melalui kaki rusa relatif besar dibandingkan dengan
luas permukaannya (Moen, 1973). Bekantan yang melakukan aktivitas
secara arboreal dengan luas permukaan anggota gerak relatif lebih besar
dari rusa (52,65%) memungkinkan terjadinya pelepasan panas tubuh
secara konveksi yang relatif lebih besar melalui anggota gerak pada saat
45
STRUKTUR KELOMPOK
46
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Gambar 11. Faktor yang berpengaruh dalam sistem sosial primata (P = dasar
kecenderungan polygini) (Raemakers dan Chivers, 1980)
47
STRUKTUR KELOMPOK
48
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Gambar 12. Sistem sosial primata dan jumlah individu dalam kelompok
(Terborg, 1984)
49
STRUKTUR KELOMPOK
Jantan Betina
Jantan Betina
Kelompok setengah setengah Remaja Bayi Jumlah
dewasa dewasa
sewasa dewasa
SS 1 0 7 1 2 5 16
D 1 0 2 0 1 1 5
F 1 0 3 0 2 2 8
V 1 0 6 0 3 3 13
B 1 0 2 0 2 1 6
K 1 1 2 0 1 1 6
50
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Tabel 19. Sistem sosial pada primata jenis Colobinae (Bennett, 1983)
Jumlah
Sistem sosial
Jenis (individu/
(jumlah jantan per kelompok)
kelompok)
Hutan hujan
Colobus badius teprosceles 50 Multi-male (1 jantan)
Colobus guereza 8 Umumnya 1 jantan, kadang-kadang ada
lebih dari satu
Colobus satanas 15 1-3 jantan
Presbytis johnii 13 Umumnya 1 jantan
51
STRUKTUR KELOMPOK
Jumlah
Sistem sosial
Jenis (individu/
(jumlah jantan per kelompok)
kelompok)
P. obscura 15 Umumnya 1 jantan
P. hosei 7 Umumnya 1 jantan
P. rubicunda 7 Umumnya 1 jantan
P. thoimasi 9 Umumnya 1 jantan
P. potenziani 5 Kelompok monogami
Simias concolor Bervariasi Monogami dan kadang-kadang ada 1
jantan
Presbytis pileata 7 Umumnya 1 jantan
Hutan gallery
Colobus badius rufomitratus 19 Umumnya 1 jantan
Hutan bakau dan tepi sungai
P. cristata 15 Umumnya 1 jantan
Nasalis larvatus Bervariasi Multi-male dan bervariasi (harem,
fission-fusion)
Hutan musim
P. senex 9 Umumnya 1 jantan
P. entellus Bervariasi Antara 1 sampai multi-male
52
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
53
STRUKTUR KELOMPOK
54
BAB 4
POPULASI DAN SEBARAN
Hutan lahan basah yang meliputi hutan rawa gambut, hutan tepi
sungai, dan hutan payau, dinilai sangat potensial dikembangkan menjadi
kawasan budidaya untuk menunjang perekonomian masyarakat lokal
maupun regional. Pemanfaatannya dapat dikaitkan dengan pengelolaan
hutan produksi, pengembangan lahan pertanian maupun pengembangan
wilayah. Dari segi ekosistem, hutan rawa berperan sebagai penampung air
hujan sehingga berfungsi sebagai pengendali banjir, sumber air minum,
dan pencegah intrusi air laut (Claridge, 1994). Apabila penebangan hutan
lahan basah dilakukan secara tidak terkendali, maka akan berdampak
pada perubahan tata air sehingga frekuensi banjir meningkat dan air
cepat mengalir menuju sungai (Bennet dan Gombek, 1991). Di samping
itu kawasan lahan basah memiliki keragaman jenis hayati berupa flora
dan fauna yang tinggi dan berfungsi sebagai habitat dari beragam jenis
satwaliar, bermanfaat untuk menunjang kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat lokal dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti
getah jelutung, buah-buahan, dan ikan sungai sumber protein hewani
masyarakat.
Okupasi masyarakat ke dalam kawasan hutan lahan basah dimulai dari
sungai sebagai sarana transportasi utama di wilayah kawasan tersebut.
Peningkatan frekuensi penggunaan sungai sebagai sarana transportasi
menyebabkan meningkatnya pertumbuhan pemukiman dan pemanfaatan
hutan riparian berupa hasil hutan maupun penggunaan lahan hutan untuk
perluasan ladang atau kebun. Padahal kawasan hutan sempadan sungai
selebar 100 m termasuk dalam kategori kawasan lindung.
Di Kalimantan, hutan rawa di sepanjang tepi sungai dan riverine
mangrove di pantai, merupakan kawasan potensial sebagai habitat
satwaliar. Bekantan adalah salah satu jenis primata pemakan daun
endemik Kalimantan, yang populasinya sangat bergantung pada kualitas
ekosistem lahan basah, khususnya hutan mangrove dan hutan riparian,
dan tidak toleran terhadap gangguan habitat (Wilson dan Wilson, 1975;
Bennet dan Gombek, 1991; Yeager, 1992). Berdasarkan laporan McNeely
et al. (1990) dari 29.500 km persegi habitat bekantan, 40% telah hilang,
sedangkan habitat bekantan yang termasuk ke dalam kawasan konservasi
55
POPULASI DAN SEBARAN
D i s t r i b u s i b e ka n t a n
di Kalimantan telah
didokumentasikan oleh
Meijaard dan Nijman (2000)
di 30 lokasi dan diperoleh
informasi sebaran bekantan
di 123 lokasi lainnya yang
tersebar di hutan mangrove,
pulau kecil, delta, sepanjang
sungai, dan hutan rawa
gambut. Lebih dari 20%
populasi tersebar di daerah
pantai, 18% tersebar antara
100-200 km dari pantai, 16%
antara 20-100 km, dan 58%
populasi tersebar 50 km dari
Gambar 14. Sebaran bekantan dan lokasi prioritas
(1-16) untuk pelestarian bekantan pantai, bahkan ditemukan di
(Nijman, 2000) kawasan 300 km dari pantai
dan sampai 750 km dari
pantai. Sebesar 90% lokasi sebaran bekantan terletak pada ketinggian di
bawah 200 m dari permukaan laut (dpl) dan tertinggi pernah dilaporkan
terletak pada 350 m dpl.
Sebaran bekantan dan tipe habitat di Kalimantan Selatan telah
dilaporkan oleh Soendjoto (2005) dan Bismark (1997), di Kalimantan
Timur oleh Bismark dan Iskandar (2002) dan Ma’ruf et al. (2005). Areal
prioritas sebaran bekantan yang mengalami tekanan sampai tahun 1997
telah diidentifikasi oleh Meijaard (2000), sebagaimana Gambar 14.
Habitat bekantan yang mudah dikunjungi di Kalimantan Selatan di
antaranya adalah Pulau Kaget yang sebagian kawasannya berupa cagar
alam dihuni oleh 3 kelompok bekantan (4-10 dan 11 individu) dengan
sistem kelompok 1 jantan dewasa dan 3-4 betina dewasa. Total populasi
di Pulau Kaget pada tahun 1996 adalah 288 individu di dalam areal seluas
56
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
267 ha (Bismark, 1997). Di sekitar Pulau Kaget, Pulau Puduk, dan Pulau
Temurung masih ditemukan kelompok bekantan dengan 7-25 individu
dan di Pulau Tempurung terdapat 3 kelompok masing-masing 7, 7, dan
12 individu (Bismark, 1997).
57
POPULASI DAN SEBARAN
pakan yaitu rambai laut dan pohon untuk beristirahat Heritiera littoralis
maupun nipah. Dari Gambar 15 terlihat bahwa areal pemanfaatan pantai
(warna ungu) oleh masyarakat untuk tambak, rata-rata setiap tambak
berukuran antara 2-5 hektar. Interpretasi awal menunjukkan bahwa 75%
muara Sungai Mahakam telah dikelola menjadi tambak. Kemungkinan
bertambahnya pembukaan areal untuk tambak atau usaha lain sangat
besar. Sisanya 25% merupakan areal yang terbagi menjadi 10% habitat
bekantan (terdapat pohon pakan) dan 15% habitat nipah (Ma,ruf, 2005).
4.1. Populasi
Survei populasi bekantan sudah banyak dilakukan para peneliti di
Taman Nasional (TN) Kutai, di antara peneliti yang melaporkan populasi
bekantan tersebut adalah Wilson dan Wilson (1975) dan Rodman
(1987). Keduanya melaporkan bahwa bekantan sulit ditemukan selama
penelitian mereka berlangsung. Wilson dan Wilson (1975) menemukan
tiga kelompok bekantan di muara Sungai Sangatta dan Rodman (1978)
menemukan bekantan di hulu Sungai Sangatta. Populasi bekantan di hutan
bakau terkonsentrasi di komplek hutan Sungai Sangkimah, Teluk Kaba,
Sungai Pemedas, dan Sungai Padang. Di Sungai Sangkimah sepanjang 2
km dari pantai terdapat sejumlah 117 individu bekantan (Bismark, 1986).
Kepadatan populasi bekantan di beberapa tempat yaitu dilaporkan
antara 8,3-58 individu/km² (Tabel 21). Beberapa penelitian populasi
bekantan dilakukan oleh Yeager dan Blondal (1992), Ruhiyat (1986),
Yasuma (1989), dan Bennett dan Sebastian (1988). Yeager dan Blondal
(1992) telah mengemukakan hasil analisisnya bahwa pada habitat yang
rusak berat, kerapatan bekantan 9 individu per km², selanjutnya yaitu
25 individu per km² pada kerusakan yang agak berat, 33 individu per
km² pada habitat dengan kerusakan sedang, dan 62 individu pada habitat
dengan kerusakan ringan. Bekantan sensitif terhadap kerusakan habitat
(Wilson dan Wilson, 1975) sehingga populasi bekantan dapat dijadikan
indikator terhadap tingkat kerusakan hutan mangrove dan hutan tepi
sungai.
Sungai yang panjang, cukup lebar (7->10 m), dan dalam, keberadaan
pohon mangrove yang relatif tinggi dan berdiameter besar serta tersedia
sumber air tawar yang memungkinkan terbentuknya hutan riverine
mangrove di habitat tersebut, menunjang kebutuhan ekologis dan
perilaku bekantan. Sungai termasuk komponen ekologis penting yang
mempengaruhi pemilihan habitat oleh kelompok bekantan di hutan bakau
58
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
59
POPULASI DAN SEBARAN
Tabel 22. Besar kelompok dan komposisi umur rata-rata individu bekantan
Komposisi kelompok
Lokasi Besar
Jantan Betina Anak/
Sungai Sangatta kelompok Pra dewasa Remaja
dewasa dewasa bayi
Hulu sungai 12 1 3,75 1,75 2,75 2,25
Muara sungai 17,4 1,4 6,4 2,8 3,4 1,8
Hutan mangrove 21 2,75 7 3,5 3,25 4
Jumlah
Luas areal Kerapatan per Perkiraan total
Loaksi bekantan yang
survey (km²) km² populasi
teramati
Hulu sungai 60 50 0,8 122
Muara sungai 10 89 8,9 107
Hutan bakau 12 84 7,0 81
Populasi total 224 310
60
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
61
POPULASI DAN SEBARAN
62
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
juga diburu sebagai umpan untuk menangkap biawak (V. salvator) guna
mendapatkan kulit biawak sebagai sumber mata pencaharian tambahan.
Kebakaran hutan sangat berpengaruh pada lingkungan habitat
bekantan. Akibat kebakaran hutan di Tanjung Puting (1997) telah merusak
75% hutan lahan basah dan di TN Kutai menyisakan 5% habitat bekantan
akibat kebakaran hutan (Meijaard dan Nijman, 2000). Kebakaran hutan
dapat meningkatkan mortalitas akibat berkurangnya sumber pakan,
kehilangan habitat, dan timbulnya penyakit yang mewabah (PHVA
Proboscis Monkey, 2004).
Berdasarkan permasalahan di atas, dalam PHVA Bekantan (2004)
diidentifikasi 12 lokasi populasi bekantan beserta jumlah individu
sebagaimana Tabel 24.
Tabel 24. Estimasi daya dukung populasi bekantan (PHVA bekantan, 2004)
63
BAB 5
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH
65
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH
Parameter
Individu
DR (m) MR (m) NPS (m) TS (m)
kelompok
Selang Rata-rata Selang Rata-rata Selang Rata-rata Selang Rata-rata
25 200-1100 500,0 125-435 254,1 50-300 197,2 50-400 187,5
17 225-950 500,7 100-400 262,5 75-450 262,5 75-300 167,5
20 200-550 475,0 150-300 225,0 150-300 204,2 90-250 177,9
Rata-rata 497,2 247,2 221,3 180,7
Hutan karet dengan sedikit variasi vegetasi di tepi sumber air (dalam
pengertian ini termasuk wilayah bervegetasi atau wilayah daratan dalam
jarak 100 m dari tepi sumber air) merupakan bagian habitat penting bagi
bekantan. Berdasarkan perjumpaan dengan bekantan di 18 lokasi dalam
wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Soendjoto et al. (2005)
mengungkapkan bahwa secara statistik, terdapat korelasi positif dan nyata
antara sumber air di hutan karet dengan kehadiran bekantan. Sumber air
tidak hanya merupakan titik awal bekantan untuk memulai aktivitas pada
siang hari atau titik akhir untuk menghentikan aktivitas pada siang hari,
tetapi juga untuk melakukan aktivitas sosial, termasuk istirahat.
66
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Tabel 26. Jarak, durasi, dan kecepatan perpindahan harian bekantan di hutan karet
(Soendjoto et al., 2006)
Simpung 527,79 250 950 0,86 0,32 2,02 315,21 206,90 461,54
Mabai 554,69 300 950 0,82 0,33 2,02 360,03 260,87 483,87
Gabungan 541,24 250 950 0,84 0,32 2,02 337,62 233,89 472,71
67
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH
Gambar 16. Pergerakan bekantan antar sumber air di hutan karet Simpung
dan Mabai, Kalimantan Selatan (Soendjoto, 2005)
68
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
69
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH
70
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Pergerakan bekantan
m e l i p u t i p e r g e ra k a n
arboreal dan terestrial.
Pe r g e ra k a n a r b o re a l
pada pohon terdiri dari
pergerakan quadrupedal,
memanjat, meloncat, dan
bergelantung (pergerakan
dengan tangan). Pola
pergerakan bekantan
menurut strata tajuk
m e n u n j u k k a n b a hwa
a k t iv i t a s p e r g e ra k a n Gambar 19. Aktivitas pergerakan bekantan pada strata
hutan
vertikal bekantan di
hutan mangrove lebih banyak terjadi pada strata 0-5 m (33,19%), pada
strata 5-10 m (24,28%), dan pada strata 10-15 m (27,53%) dengan tipe
pergerakan quadrupedal yang menjadi dominan (berjalan dengan 4
anggota gerak) (Gambar 19); sedangkan aktivitas harian seperti makan,
istirahat, bermain, dan aktivitas sosial pada habitat hutan karet terlihat
pada Gambar 20.
Umumnya aktivitas harian bekantan ada pada level ketinggian kurang
dari 15 m dengan tajuk yang rimbun oleh dedaunan. Kondisi ini tidak
hanya menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi bekantan untuk duduk
istirahat atau bermain, tetapi juga menyediakan tempat yang aman untuk
menghindari perilaku agonistik, pertengkaran antar individu, bersembunyi
atau melarikan diri dari predator. Di hutan karet dan tepi danau, pohon
yang biasa dipergunakan untuk aktivitas tersebut antara lain Macaranga
pruinosa, Vitex pubescens, Dillenia exelsa, dan Elaeocarpus stipularis
(Soendjoto et al., 2005).
71
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH
72
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
73
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH
74
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
75
BAB 6
PERILAKU MAKAN
77
PERILAKU MAKAN
Tabel 28. Perbandingan volume saluran pencernaan dari beberapa jenis Colobinae
(Bennett, 1983)
78
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Aktivitas makan
terlihat berlangsung terus-
menerus dalam satu hari.
Hal ini menggambarkan
bahwa selain waktu makan
yang intensif, sebagian
dari anggota kelompok
tetap ada yang makan di
selang waktu istirahatnya
meskipun tidak dalam
frekuensi tinggi. Keadaan
serupa juga dilaporkan
Ruhiyat (1983) pada P. Gambar 22. Grafik aktivitas harian bekantan di hutan
aygula di Jawa Barat, P. mangrove
femolaris, dengan aktivitas
makan terus-menerus tetapi puncak aktivitasnya terjadi pada pagi dan
sore hari (Megantara, 1989). Gurmaya (1986) melaporkan bahwa aktivitas
makan P. thomasi mempunyai tiga puncak aktivitas, yaitu pada pukul
08.00, 12.00, dan 17.00 dengan puncak tertinggi pada sore hari. Salter et
al. (1985) meneliti bahwa puncak aktivitas makan dan berjalan bekantan
di Sarawak terjadi pukul 09.00 pagi dan pukul 13.00.
Frekuensi makan anggota kelompok serta aktivitas pergerakan
yang mengikuti fluktuasi makan, menunjukkan bahwa aktivitas makan
bekantan tidak tetap pada satu pohon saja, dan selalu diikuti aktivitas
berjalan di antara cabang atau dari pohon ke pohon lain. Dalam hal ini
perpindahan lokasi makan bekantan terjadi antara 10-15 menit. Selain
itu jumlah dan sebaran pohon pakan yang merata memungkinkan untuk
menunjang aktivitas makan bekantan di setiap saat.
Bermain dan berkutuan (saling mencari kutu) terjadi saat istirahat di
pagi dan sore hari. Aktivitas bermain dilakukan oleh remaja dan setengah
dewasa dan antara induk dengan bayinya, sedangkan jantan dewasa lebih
79
PERILAKU MAKAN
Tabel 29. Pola aktivitas bekantan di habitat hutan mangrove (Salter et al., 1985)
Aktivitas (%)
Lokasi Interaksi Aktivitas
Makan Jalan Istirahat
sosial lain
Taman Nasional Bako*) 63,2 19,2 16,2 1,4 0,0
Suaka Margasatwa Samunsam*) 13,1 18,8 65,1 0,7 2,4
Taman Nasional Kutai**) 23,2 25,2 42,3 9,3 0,0
*) Salter et al., 1985 **) Bismark, 1994
80
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
81
PERILAKU MAKAN
menambah kebutuhan proteinnya dari buah dan biji (Hladik, 1978). Bekantan
memakan daun, bunga, dan buah yang ada di ujung-ujung cabang, namun
posisi bekantan pada cabang besar di tengah tajuk, meraih ranting di
sekitarnya atau duduk di atas ranting. Posisi bekantan sewaktu mencari
makan serupa dengan teknik P. obscura dan P. melalophos yang dilaporkan
Fleagle (1980). Gaya dan teknik bekantan tersebut seperti yang terlihat
pada Gambar 24 dan Gambar 25.
Gambar 24. Gaya dan posisi bekantan Gambar 25. Posisi bekantan pada cabang
sewaktu mencari makan pohon dan di atas tajuk sewaktu
makan
82
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
berasal dari air liur (Durand dan Kawashima, 1980), yang berperan untuk
menjaga kestabilan pH lambung (Bennet, 1983).
Tabel 30. Potensi dan keragaman jenis tumbuhan di mangrove sumber pakan bekantan
Dari hasil pengamatan feces, selain daun, bunga, buah, dan kulit batang
ditemukan pula partikel kepiting dan rayap. Bekantan juga dilaporkan
memakan cendawan Stereum lobatum (Bismark, 1980), dan bunga Nipa
fruticans (Bennett dan sebastian, 1988).
83
PERILAKU MAKAN
84
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
tepi danau, maka protein lebih banyak terdapat di daun karet daripada
daun tiwadak banyu dan kujamas, tetapi Ca lebih banyak dikandung daun
tiwadak banyu (Soendjoto, 2005) seperti halnya A. officinalis di hutan
mangrove dengan protein dan mineral tinggi (Bismark, 2004).
Kedua, bekantan ditemukan lebih sering memakan pucuk atau daun muda
daripada daun tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Bennett dan Sebastian
(1988) bahwa bekantan mengutamakan daun muda walaupun daun tua
melimpah. Primata akan memakan daun tua apabila daun muda tidak
tersedia lagi. Penyebab pemilihan daun muda ini adalah kadar airnya lebih
banyak. Diketahui bahwa kadar air pada pucuk mencapai 88% dan pada
daun muda 67%. Bismark (1987) melaporkan bahwa di hutan mangrove
bekantan memakan daun dengan kandungan air 68%. Faktor lain adalah
tingkat kemudahan untuk mencerna yang tinggi pada daun muda yang
diindikasikan dari rendahnya serat kasar yang dikandung oleh pucuk
atau daun muda (Tabel 32). Pakan yang mengandung kemudahan untuk
dicerna tinggi pada umumnya memiliki kandungan serat rendah.
85
PERILAKU MAKAN
86
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
87
PERILAKU MAKAN
dan kambing serta adanya racun pada ginjal dan hati hewan yang memiliki
sistem pencernaan sederhana (monogastrik).
Pakan bekantan terdiri dari 81,14% daun, 8,38% buah, 7,68% bunga,
1,05% kulit kayu, dan 1,75% serangga. Dari analisis feses diketahui
komposisi pakan berupa daun 72,90%, buah 17,79%, kulit kayu 7,05%,
serangga dan kepiting 1,13%. Komposisi pakan bekantan yang diamati
di lapangan tidak berbeda nyata dengan hasil analisis feses. Fragmen
tumbuhan dalam feses satwa ruminansia tidak berbeda dengan proporsi
tumbuhan yang dimakannya (Todd, 1973).
Dilihat dari kandungan kimia, kulit pohon (R. apiculata) yang dimakan
bekantan tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan daun
dan buah, kecuali dari jumlah serat kasar (63,78%) dan Ca (0,958%) kulit
kayu (lebih tinggi). Konsentrasi Ca pada kulit kayu mencapai 5 kali lebih
tinggi dari daun. Kalsium (Ca) dalam pakan ruminansia berguna untuk
pencernaan selulosa, untuk pembentukan dinding sel bakteri dan untuk
proses fiksasi nitrogen oleh bakteri (Durand dan Kawashima, 1980).
Rasio seleksi pakan tertinggi adalah A. officinalis (Tabel 34). Tingginya
rasio seleksi terhadap A. officinalis karena kadar protein dan mineral
esensial yang tinggi serta posisinya dekat tepi sungai di mana aktivitas
makan bekantan lebih sering dilakukan pada jarak 0-100 m dari tepi
sungai (73,53 %), terutama pada pagi hari dan sore hari. Salter et al.
(1985) juga melaporkan bahwa aktivitas makan bekantan lebih sering
ada di sekitar tepi sungai. Jenis pakan bekantan yang dominan adalah R.
apiculata dan A. officinalis masing-masing 71,9% dan 22,7%. Di Sarawak,
Rhizophora hanya mendapat porsi 0,8% dan Avicennia 7,6% dari waktu
makan bekantan (Salter et al., 1985).
Tabel 34. Jenis pohon mangrove pakan bekantan dan nilai seleksi rasionya
Jenis pakan Kerapatan relatif (%) Komposisi pakan (%) Rasio seleksi
88
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Tabel 35. Jenis dan komposisi pakan bekantan di hutan karet Desa Simpung Layung,
Kabupaten Tabalong (Soendjoto et al., 2006)
89
PERILAKU MAKAN
15. TT TT Lumut 6 - - - 6 TT - -
Keterangan: T/K = total lARF dibagi kepadatan; Rel = relatif (%) ; TT = tidak teridentifikasi. Data
kepadatan (individu/ha) dimodifikasi dari Soendjoto (2005). Tumbuhan pakan nomor
16, 17, 18 terdapat di luar tapak sampel (L). Tumbuhan pakan yang berupa lumut
menempel pada kulit batang kujamas
% Daun
Berat badan Rasio protein: Biomasa Besar
Jenis dalam
(kg) serat+tanin {kg/km²} kelompok
pakan
Colobus badius 7,0 87 0,43 1760 50
Colobus guereza 7,0 77 0,43 ? 9
Colobus satanas 7,0 38 0,20 176 15
Presbytis johnii 11,1 59 0,24 ? 16
Presbytis melalophos 5,8 36 0,25 540 15
Presbytis rubicunda 6,0 37 0,15 81 8
Presbytis obscura 6,6 58 0,25 440 14
Nasalis larvatus **) 12,5 81 0,35 792 21
Sumber: *) Bennett (1983); **) Bismark (1994)
90
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Tabel 37. Persentase protein, serat kasar dan tanin tumbuhan mangrove pakan bekantan
91
PERILAKU MAKAN
buah, 7,68% bunga; serta serangga, kepiting, dan kulit kayu sejumlah 2,8%
dengan jumlah pakan 900 g berat basah atau 270,25 g dalam berat kering
(Tabel 39). Waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi adalah 3,01 jam
per hari (Tabel 40). Bila dibandingkan dengan produksi daun muda, hanya
1% dari produktivitas hutan mangrove yang dikonsumsi bekantan. Hladik
(1978) melaporkan bahwa primata pemakan daun hanya mengkonsumsi
daun dalam total produktivitas hutan yang berkisar antara 0,5-4%.
Berdasarkan pengamatan tiga jenis tumbuhan pakan bekantan di
hutan karet (Tabel 38), maka jumlah pakan individu bekantan per hari
bervariasi antara 919,96-1.537,59 g berat basah (Soendjoto, 2005).
Bismark (1987) melaporkan tumbuhan yang dimakan bekantan di hutan
mangrove berberkisar 1.500-1.750 g daun.
Tabel 38. Jumlah pakan individu bekantan per hari di hutan karet (Soendjoto et al.,
2005)
92
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
93
PERILAKU MAKAN
Tabel 41. Rata-rata kandungan mineral dalam pakan bekantan (mg per hari)
94
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
95
BAB 7
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT
97
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT
Tabel 42. Berat badan (BB) dan tinggi duduk bekantan (td)
Berat badan td
Kelamin/kelas umur Sumber data
(BB) (kg) (cm)
98
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Tabel 43. Perbandingan ukuran tinggi duduk bekantan dan luas permukaan tubuh
99
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT
100
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Gambar 28. Biomasa jenis Colobinae (kg/km²) dan berat badan betina (kg)
(sumber: Bennett, 1983; *) Bismark, 1994)
101
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT
102
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
103
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT
104
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
105
BAB 8
KONSERVASI
107
KONSERVASI
108
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
109
KONSERVASI
instan, buah pohon simpur (Dillenia sp.), pisang, pepaya, dan air minum
(Tabel 46).
Rata-rata berat kering pakan bekantan per hari adalah 157,93 g atau
27,85 g/kg berat badan dengan kalori pakan 119,46 kcal/kg berat badan. Di
kebun binatang Singapura Zoological Garden (SZG) bekantan diberi makan
110
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
dengan apel (25 g), pisang (25 g), kacang panjang (3 ikat), telur rebus (½),
dan nasi dengan daging (25 g) dalam bentuk bola. Selain itu diberi makan
dengan pelet (Zupreem primate dry) dengan minyak ikan dan neotroplek
(3-4 pelet) dan daun-daunan (3 ikat atau 4 kg) untuk kebutuhan pakan
5 individu bekantan. Dilaporkan sejak awal tahun 1998 bekantan yang
dipelihara di SZG yang berasal dari Kebun Binatang Yogyakarta hidup
sehat dengan pola makan di atas dan dapat melahirkan anak.
Di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor bekantan diberi pakan sayuran
37,42%, protein 3,98%, daun-daunan 49,71%, dan buah 8,89% dengan
perbandingan Ca/P rasio 1,31. Bekantan dengan berat badan 6 kg makan
1,8 kg atau 30,18% dari berat badan dengan kandungan kalori 925,5 kcal
(Trihastuti et al., 2004), kebutuhan kalori pakan bekantan betina dengan
berat badan 8,8 kg adalah 745,41 kcal dan jantan dengan berat badan 5
kg membutuhkan kalori 647,8 kcal (Bismark, 1994). Komponen pakan
bekantan di TSI, Bogor tertera pada Tabel 47.
Tabel 47. Komposisi pakan bekantan di Taman Safari Indonesia, Bogor (Trihastuti et al.,
2004)
Jenis daun yang diberikan kepada bekantan di TSI adalah daun kayu
manis, beringin, angsana, jingjing, ketapang, nangka, dan ara jelateh. Jenis-
111
KONSERVASI
jenis tersebut memiliki kadar Ca tinggi antara 6-30%, di mana Ca daun ara
jelateh 30,5 ppm, kadar P 0,1-2,3%, dan kadar protein dari 11,3–22,8%.
Komposisi pakan, kadar gizi, dan teknik pemberian pakan yang tepat akan
mendukung percepatan program penangkaran atau konservasi eksitu
bekantan, yang diindikasikan dengan berkembangnya populasi bekantan
melalui kelahiran anak di penangkaran.
Konservasi eksitu bekantan melalui pengembangan penangkaran di
kebun binatang atau lembaga konservasi lainnya dapat digunakan sebagai
sarana pendidikan konservasi maupun rekreasi yang mendatangkan nilai
budaya menyangkut pelestarian bekantan di alam, terutama dalam hal
pencegahan perburuan atau upaya rehabilitasi habitat tepi sungai, danau,
dan hutan dengan tumbuhan yang dapat menjadi sumber pakan bekantan.
112
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
Masalah substansial
Fragmentasi habitat:
Pola pengelolaan lahan
• Konversi hutan
o Penanaman kelapa sawit
o Pengembangan lahan pertanian
• Kegiatan ilegal
o Penebangan hutan
o Pertambangan
o Perburuan
o Penangkapan ikan
o Kebakaran hutan
o Penuruan kualitas habitat
Tingkat kepedulian
Terkait kebijakan • Kurangnya kepedulian
• Kurangnya kapasitas
• Konflik lahan kelembagaan
• Tata ruang • Konflik antar sektor
• Penegakan hukum • Kurang selaras kebijakan pusat
dengan daerah
113
KONSERVASI
Hutan tepi sungai adalah kawasan yang pertama kali dan lebih mudah
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam pengembangan pemukiman
atau pertanian, termasuk sebagai lokasi pembangunan untuk pengelolaan
hasil hutan non kayu, industri perkayuan, dan industri angkutan sungai
sehingga habitat bekantan sangat rentan terhadap fragmentasi maupun
terbentuknya lahan kritis.
114
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
8.3.3. Penangkaran
115
DAFTAR PUSTAKA
116
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
117
DAFTAR PUSTAKA
Pelestarian bekantan
di luar kawasan konservasi
besar peranannya untuk men-
jaga penurunan populasi agar
jangan sampai berada pada
batas kritis. Sebagian besar
habitat bekantan adalah di
luar kawasan konservasi, oleh
karena itu habitat bekantan
di kawasan hutan produksi
sangat perlu dibina. Walaupun
perburuan bekantan jarang
terjadi, namun perusakan
habitat bekantan akibat
pengembangan areal
pemukiman maupun pertanian
dan tambak (perikanan) lebih
berdampak negatif terhadap
Gambar 32. Perumahan masyarakat di sekitar penurunan populasi. Untuk
habitat bekantan di Sungai Hitam,
Samboja (Foto Ma’ruf, 2005)
pelestarian populasi bekantan,
perlu dibuat perlindungan
pada habitat tepi sungai di mana bekantan ditemukan minimal sejauh 500
m, sesuai dengan jarak yang ditempuh bekantan dari tepi sungai dalam
aktivitas hariannya. Tepi sungai yang dihuni bekantan di kawasan hutan
produksi perlu dimasukkan sebagai wilayah konservasi yang menjadi
indikator pengelolaan hutan produksi lestari yang dapat dikelola sebagai
hutan wisata.
Di Brunei, upaya pelestarian populasi bekantan dikembangkan
bersamaan dengan pengembangan ekoturisme, sehingga kerusakan
habitat satwa dapat terpantau melalui peningkatan aktivitas rekreasi
(Yeager dan Blondal, 1992). Di TN Kutai, sebagian besar dari turis asing
yang berkunjung berusaha untuk menemukan kelompok bekantan di
samping melihat orangutan di Teluk Kaba. Pengembangan ekoturisme di
kawasan konservasi, taman nasional, dan di luar kawasan konservasi, selain
memberikan dukungan bagi upaya pelestarian habitat dan populasi juga
memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat, terutama di
luar kawasan konservasi. Dalam kawasan konservasi sendiri seperti taman
nasional dan suaka margasatwa di mana habitat dan populasi bekantan
118
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
119
DAFTAR PUSTAKA
121
DAFTAR PUSTAKA
122
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
123
DAFTAR PUSTAKA
124
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
125
KONSERVASI
126
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
127
KONSERVASI
128
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
129
KONSERVASI
130
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)
131
KONSERVASI
132