Anda di halaman 1dari 147

Mohammad Bismark, lahir di Banjarmasin tanggal 21 Juli 1954.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1965 di


Bukit Tinggi, SMP pada tahun 1968 dan SMA pada tahun 1971
di Padang. Sarjana Biologi diperoleh dari Fakultas Ilmu Pasti
dan Ilmu Alam Universitas Andalas Padang tahun 1977. Pada
tahun 1986 mendapat gelar Magister Sains dan pada tahun 1994
menyelesaikan Program Doktor di bidang Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor. Tahun 1981
mengikuti kursus Pelestarian dan Pengawetan Alam Spesialis
selama 11 bulan di Bogor, dan tahun 1989 mengikuti training
Wetland Survey and Management di Netherland. Pada tahun 1989

B i o l o g i K o n s e r v a s i B E K A N T A N (N a s a l i s l a r v a t u s)
mengikuti kursus Amdal A di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Pada tahun 1979 memulai tugas sebagai calon peneliti di Lembaga Penelitian Hutan yang
sekarang menjadi Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan.
Jabatan fungsional dimulai dari Ajun Peneliti Madya pada tahun 1987, Peneliti Muda tahun
1988, Peneliti Madya tahun 1993, Ahli Peneliti Muda tahun 1996, Ahli Peneliti Madya tahun
1999, dan Ahli Peneliti Utama tahun 2003. Pada tahun 2007 dikukuhkan sebagai Profesor Riset.
Dalam perjalanan karier sebagai peneliti tersebut telah diterbitkan lebih dari 80
judul laporan dan karya ilmiah, dimuat dalam berbagai Bulletin, Jurnal, dan Prosiding.
Di samping itu aktif sebagai Dosen Luar Biasa, membimbing mahasiswa program
S1, S2, dan S3 di Universitas Nusa Bangsa Bogor, Universitas Nasional Jakarta, dan
pada Program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia.
N a s a l i s l a r v a t u s
Organisasi profesi yang diikuti adalah sebagai anggota Asosiasi Peminat dan Ahli Primata
Indonesia (APAPI) dan Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI) serta terlibat dalam kegiatan
penelitian bersama lembaga swadaya masyarakat, seperti Wetlands International,
Oleh : M. Bismark
Conservation International dan The Nature Conservancy. Selain itu, kegiatan di bidang
ilmiah lainnya adalah sebagai Dewan Redaksi Bulletin dan Jurnal Penelitian Hutan, serta Editor : Sulistyo A. Siran; Abdullah Syarief Mukhtar; Titiek Setyawati
sebagai Ketua Dewan Redaksi Info Hutan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

N a s a l i s l a r v a t u s

DEPARTEMEN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

Kampus Balitbang Kehutanan


Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16110
Telp. (0251) 8633234, 7520067; Fax. (0251) 8638111 ISBN 978-979-3145-42-6
E-mail : p3hka_pp@yahoo.co.id

9 789 793 14542 6


BIOLOGI KONSERVASI

BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

M. BISMARK

Editor:
Sulistyo A. Siran; Abdullah Syarief Mukhtar; Titiek Setyawati
BIOLOGI KONSERVASI
BEKANTAN (Nasalis larvatus)

Penulis : M. Bismark
Editor : Sulistyo A. Siran
Abdullah Syarief Mukhtar
Titiek Setyawati

ISBN 978-979-3145-42-6

Penerbit:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam
Kampus Balitbang Kehutanan
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16110
Telp. (0251) 8633234, 7520067; Fax. (0251) 8638111
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.id

Petikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuat-an sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
ma-sing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
Bekantan Mangrove

Belukar merebak di antara pepohonan nan jarang


Ekosistem berubah dan gambut mengering
Kawanan bekantan merangkak menelusuri belukar
Air sungai jenuh menapis lumpur
Nyanyian burung pun jarang terdengar
Tatanan rimba dan sungai tak lagi seindah dulu
Air laut tak lagi biru
Nuansa alam telah berubah, laut tercemar, satwa berpindah
Mangrove menipis bahkan sirna dari habitatnya
Anak ikan, udang dan siput enggan bertahan,
Nasib bekantan pun membahayakan regenerasinya
Gerung suara motor sungai turut mengancam kehidupan fauna
Roman kehidupan pantai merana
Obrolan kerusakan mangrove belum lagi bermakna
Variasi ekosistem semakin meresahkan kehidupan
Empati, kebijakan menanti realitas

Agustus, 2009
M. Bismark

iii
KATA PENGANTAR

Peningkatan pemanfaatan hutan untuk pembangunan yang


membutuhkan lahan hutan secara langsung telah mengurangi habitat
dan sebaran satwaliar, terutama yang dilindungi atau satwa endemik.
Pemanfaatan kawasan hutan rawa gambut, hutan tepi sungai, dan hutan
mangrove di Kalimantan juga menurunkan populasi satwa endemik,
bekantan (Nasalis larvatus). Di samping pengurangan habitat, pencemaran
perairan sungai, pantai atau peningkatan lalu lintas di sungai pun
memberikan dampak pada penurunan populasi dan sebaran bekantan.
Berbagai penelitian ekologi bekantan di hutan mangrove dan rawa
gambut dilaksanakan dalam upaya mengungkap permasalahan konservasi
bekantan terkait dengan pengelolaan hutan dan kerusakan habitat. Secara
khusus hasil penelitian mengenai aspek konservasi bekantan secara in-
situ dan eksitu serta konsep konservasi bekantan yang terkait dengan
bentuk pemanfaatannya sebagai obyek wisata, dituangkan dalam buku
ini dengan maksud untuk memberikan gambaran mengenai keunikan
bekantan yang dari tahun ke tahun populasinya terus menurun dan perlu
upaya konservasi oleh kita semua.
Harapan saya semoga buku ini dapat menjadi acuan dalam mengelola
kawasan hutan, baik lahan basah kawasan konservasi maupun hutan
produksi yang menjadi habitat satwa langka, endemik, seperti bekantan.

Bogor, Agustus 2009


Kepala Badan Litbang Kehutanan

Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc.

v
UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan selesai penulisan buku ini, penulis mengucapkan terimakasih


kepada Bapak Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc., Kepala Badan Litbang Kehutanan,
Ir. Adi Susmianto, MSc., Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam serta Ir. Sulistyo A. Siran, MSc., yang telah berkenan mendukung
sepenuhnya un-tuk penerbitan buku ini.
Terimakasih saya sampaikan kepada guru-guru: Prof. DR. Ishemat
Soerianegara (Alm), Prof. DR. Gunawan Soeratmo (Alm), Prof. DR.
Djoko Woerjo Satradipradja, dan Prof. DR. Hadi S. Alikodra dari Institut
Pertanian Bogor; Prof. DR. Idrus Abbas dan Prof. DR. Zuhelmi Zen dari
Univeritas Andalas Pa-dang. Atas data dan tulisan bersama yang terbit di
berbagai media ilmiah, saya ucapkan terimakasih kepada Prof. DR. M. Arief
Soendjoto di Universitas Lambung Mangkurat, Banjar-baru.
Terimakasih disampaikan pula kepada teman-teman peneliti Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam, khususnya kepada peneliti dan teknisi
Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam yang telah mendukung
hingga terbitnya buku ini.
Secara khusus Penulis sampaikan ucapatan terimakasih kepa-da Prof.
(Riset) Abdullah Syarief Mukhtar, Ir. Sulistyo A. Siran, MSc., dan Ir. Titiek
Setyawati, MSc. yang telah banyak mem-bantu dalam penyuntingan dan
editing, sehingga buku yang disusun ini menjadi enak dibaca dan mudah
dimengerti.
Kepada Abah, H. Ghazali H.M., BA (Alm) ananda persembah-kan karya ini.
Terimakasih kepada yang tercinta Mak, Hj. Daiyah Thaib, Istriku Dra. Hj.
Syamsizar Zen, ananda dr. Anne Marrya dan M. Anno Zuhrias, SH., CHA.,
atas pengertian dan dorongannya.

Wasalam,
Penulis

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................v
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Bekantan Satwa Endemik...................................................................2
1.2. Dukungan Penelitian dalam Program Konservasi
Bekantan ...................................................................................................3
1.3. Biofisik Lingkungan Habitat Bekantan ........................................5
BAB 2 HABITAT ................................................................................................11
2.1. Tipe dan Sebaran Habitat ...............................................................11
2.1.1. Hutan Rawa Gambut ..............................................................12
2.1.2. Hutan Mangrove .....................................................................18
2.2. Degradasi Habitat ..............................................................................27
2.3. Keanekaragaman Fauna di Habitat Bekantan .......................29
2.3.1. Mamalia .......................................................................................30
2.3.2. Burung .........................................................................................31
2.3.3. Reptilia.........................................................................................35
2.3.4. Fauna Perairan .........................................................................36
2.3.5. Parasit ..........................................................................................37
BAB 3 STRUKTUR KELOMPOK....................................................................41
3.1. Morfologi dan Geometri ..................................................................41
3.2. Sistem Sosial .........................................................................................46
3.3. Komposisi Kelompok.........................................................................48
BAB 4 POPULASI DAN SEBARAN ................................................................55
4.1. Populasi ..................................................................................................58
4.2. Ancaman Populasi Bekantan .........................................................61
BAB 5 PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH ........................65
5.1. Pergerakan Harian..............................................................................65
5.2. Penggunaan Strata Hutan ................................................................71
5.3. Ruang Pengembaraan ......................................................................72

ix
DAFTAR ISI

BAB 6 PERILAKU MAKAN .............................................................................77


6.1. Waktu Aktivitas....................................................................................78
6.2. Teknik Makan .......................................................................................81
6.3. Jenis dan Keragaman Pakan ...........................................................83
6.4. Komposisi Pakan dan Seleksi Rasio ...........................................84
6.5. Kebutuhan Pakan ................................................................................91
6.6. Kebutuhan Mineral.............................................................................94
BAB 7 BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT .....................................97
7.1. Parameter Biomasa ...........................................................................97
7.2. Model Pengukuran Berat Bekantan ............................................99
7.3. Estimasi Biomasa ............................................................................. 101
7.4. Daya Dukung Habitat dan Adaptasi ......................................... 102
BAB 8 KONSERVASI...................................................................................... 107
8.1. Degradasi Habitat dan Penurunan Populasi ....................... 107
8.2. Konservasi Eksitu ............................................................................. 109
8.3. Program Konservasi ...................................................................... 112
8.3.1. Inventarisasi Sebaran Populasi ..................................... 114
8.3.2. Rehabilitasi dan Restorasi Habitat .............................. 114
8.3.3. Penangkaran .......................................................................... 115
8.3.4. Pengaturan Pemanfaatan Hutan Tepi Sungai........... 116
8.3.5. Pengembangan Agrowisata ............................................ 117
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 121

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bekantan jantan dewasa .......................................................................3


Gambar 2. Kalimantan sebagai daerah sebaran bekantan ...........................4
Gambar 3. Parameter lingkungan hutan mangrove dalam ekologi
dan perilaku bekantan...........................................................................6
Gambar 4a. Zonasi jenis pohon mangrove Aglaia cucullata di habitat
bekantan TN. Kutai...............................................................................21
Gambar 4b. Zonasi jenis pohon mangrove Avicennia officinalis
di habitat bekantan TN. Kutai ..........................................................21
Gambar 4c. Zonasi jenis pohon mangrove Rhizophora apiculata di
habitat bekantan TN. Kutai ...............................................................21
Gambar 4d. Zonasi jenis pohon mangrove Bruguiera gymnorhiza di
habitat bekantan TN. Kutai ...............................................................22
Gambar 4e. Zonasi jenis pohon mangrove Ceriops tagal di habitat
bekantan TN. Kutai...............................................................................22
Gambar 4f. Zonasi jenis pohon mangrove Bruguiera parviflora di
habitat bekantan TN. Kutai ...............................................................22
Gambar 5a. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove
Rhizophora apiculata di TN Kutai ..................................................23
Gambar 5b. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Bruguiera
gymnorrhiza di TN Kutai....................................................................24
Gambar 5c. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Aglaia
cuculata di TN Kutai ............................................................................24
Gambar 5d. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Avicennia
officinalis di TN Kutai ..........................................................................24
Gambar 5e. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Bruguiera
parvifloras di TN Kutai........................................................................25
Gambar 5f. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove
Ceriops tagal di TN Kutai ...................................................................25
Gambar 6. Diagram profil vegetasi hutan mangrove habitat burung,
dari tepi sungai ke dalam hutan (Ra = R. apiculata;
Bp = B. parviflora; Ac = A. cucullata; Ao = A. officinalis) .......34
Gambar 7. Diagram kepadatan pohon menurut ketinggian dan
frekuensi kehadiran burung di hutan mangrove ....................35
Gambar 8. Aponomma lucasi betina dilihat dari punggung ......................36
Gambar 9. Telur Trichiuris dan Nematoda dalam feses bekantan .........39
Gambar 10. Perbedaan warna pinggul bekantan jantan dan betina
dewasa .......................................................................................................42

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 11. Faktor yang berpengaruh dalam sistem sosial primata


(P = dasar kecenderungan polygini) (Raemakers dan
Chivers, 1980) ........................................................................................47
Gambar 12. Sistem sosial primata dan jumlah individu dalam
kelompok (Terborg, 1984)................................................................49
Gambar 13. Persentase jumlah individu sub-kelompok bekantan
di Taman Nasional Kutai ....................................................................53
Gambar 14. Sebaran bekantan dan lokasi prioritas (1-16) untuk
pelestarian bekantan (Nijman, 2000) ..........................................56
Gambar 15. Sebaran kelompok bekantan di muara Sungai Mahakam
(Ma’ruf et al., 2005) .............................................................................57
Gambar 16. Pergerakan bekantan antar sumber air di hutan karet
Simpung dan Mabai, Kalimantan Selatan
(Soendjoto, 2005) .................................................................................68
Gambar 17. Perbandingan DR dan MR harian bekantan terhadap
perpindahan lokasi tidur ...................................................................69
Gambar 18. Hubungan jarak perpindahan harian bekantan dengan
curah hujan (Soendjoto, 2005) .......................................................70
Gambar 19. Aktivitas pergerakan bekantan pada strata hutan .................71
Gambar 20. Proporsi waktu berperilaku bekantan menurut strata
pohon (Soendjoto et al., 2005)........................................................72
Gambar 21. Posisi bekantan pada pohon
A. officinalis untuk bermalam ..........................................................75
Gambar 22. Grafik aktivitas harian bekantan di hutan mangrove............79
Gambar 23. Penggunaan strata daIam aktivitas harian bekantan di
hutan mangrove ...................................................................................81
Gambar 24. Gaya dan posisi bekantan sewaktu mencari makan ..............82
Gambar 25. Posisi bekantan pada cabang pohon dan di atas tajuk
sewaktu makan ......................................................................................82
Gambar 26. Hubungan biomas dengan proporsi daun yang dikonsum-
si Colobinae (Sumber: Bennett, 1983),*)Bismark (1994) ..85
Gambar 27. Bekantan remaja menggigit kulit batang R. apiculata .......... 93
Gambar 28. Biomasa jenis Colobinae (kg/km²) dan berat badan
betina (kg) (sumber: Bennett, 1983; *) Bismark, 1994) .. 101
Gambar 29. Bekantan di TSI, Bogor .................................................................... 110
Gambar 30. Identifikasi permasalahan kerusakan habitat dan
dampaknya pada kelestarian bekantan ................................... 113
Gambar 31. Wisata sungai di habitat bekantan Sungai Hitam
Samboja, Kalimantan Timur (Ma’ruf, 2005) .......................... 117
Gambar 32. Perumahan masyarakat di sekitar habitat bekantan di
Sungai Hitam, Samboja (Foto Ma’ruf, 2005) .......................... 118

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Habitat bekantan di Kalimantan (modifikasi Meijaard


dan Nijman, 2000).....................................................................................11
Tabel 2. Lokasi persebaran dan tipe habitat bekantan di Kaliman-
tan Selatan Kabupaten Tabalong (Soenjoto, 2003).....................13
Tabel 3. Inventarisasi vegetasi hutan rawa gambut dan presentase
sebagai sumber pakan bekantan (Yeager, 1989) .........................17
Tabel 4. Jenis tumbuhan sumber pakan utama bekantan di
Samboja Kuala (Alikodra et al., 1995) ..............................................18
Tabel 5. Komposisi jenis tumbuhan di hutan mangrove di TN Kutai ...19
Tabel 6. Perkiraan luas proyeksi tajuk pohon mangrove di habitat
bekantan di TN Kutai ...............................................................................25
Tabel 7. Konsentrasi rata-rata beberapa unsur kimia tanah dalam
zonasi mangrove di TN Kutai................................................................26
Tabel 8. Kawasan pelestarian untuk melindungi bekantan di
Kalimantan (Meijaard dan Nijman, 2000) ......................................29
Tabel 9. Jenis burung di habitat bekantan hutan mangrove ....................33
Tabel 10. Fisik kimia air dan jumlah plankton sungai ...................................37
Tabel 11. Jenis dan sebaran ikan di hulu Sungai Seturan habitat
primata ...........................................................................................................38
Tabel 12. Berat badan bekantan menurut seks dan kelas umur ...............42
Tabel 13. Metode pengukuran luas permukaan tubuh bekantan .............43
Tabel 14. Morfologi bekantan...................................................................................44
Tabel 15. Indeks geometri bekantan .....................................................................45
Tabel 16. Proporsi luas permukaan tubuh bekantan (%)............................46
Tabel 17. Kelompok dan populasi bekantan di beberapa tipe habitat ...49
Tabel 18. Komposisi kelompok bekantan di Suaka Margasatwa
Samunsam Sarawak (Bennett dan Sebastian, 1988)..................50
Tabel 19. Sistem sosial pada primata jenis Colobinae
(Bennett, 1983) ..........................................................................................51
Tabel 20. Komposisi dan jumlah individu sub-kelompok bekantan .......52
Tabel 21. Ukuran kelompok dan kepadatan populasi bekantan ...............59
Tabel 22. Besar kelompok dan komposisi umur rata-rata individu
bekantan .......................................................................................................60
Tabel 23. Total populasi bekantan di Taman Nasional Kutai ......................60
Tabel 24. Estimasi daya dukung populasi bekantan
(PHVA bekantan, 2004) ..........................................................................63
Tabel 25. Pergerakan harian bekantan di hutan mangrove
di TN Kutai ....................................................................................................66

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 26. Jarak, durasi, dan kecepatan perpindahan harian bekantan


di hutan karet (Soendjoto et al., 2006).............................................67
Tabel 27. Ruang pengembaraan kelompok bekantan di hutan
mangrove ......................................................................................................73
Tabel 28. Perbandingan volume saluran pencernaan dari beberapa
jenis Colobinae (Bennett, 1983) .........................................................78
Tabel 29. Pola aktivitas bekantan di habitat hutan mangrove
(Salter et al., 1985)....................................................................................80
Tabel 30. Potensi dan keragaman jenis tumbuhan di mangrove
sumber pakan bekantan .........................................................................83
Tabel 31. Komposisi pakan bekantan (%) ..........................................................84
Tabel 32. Kandungan kimia daun pakan bekantan (Soendjoto, 2005) ..86
Tabel 33. Kandungan gizi, dan kalori daun di hutan mangrove ................87
Tabel 34. Jenis pohon mangrove pakan bekantan dan nilai seleksi
rasionya..........................................................................................................88
Tabel 35. Jenis dan komposisi pakan bekantan di hutan karet Desa
Simpung Layung, Kabupaten Tabalong
(Soendjoto et al., 2006) ...........................................................................89
Tabel 36. Parameter ekologi makanan jenis-jenis Colobinae*) .................90
Tabel 37. Persentase protein, serat kasar dan tanin tumbuhan
mangrove pakan bekantan ....................................................................91
Tabel 38. Jumlah pakan individu bekantan per hari di hutan karet
(Soendjoto et al., 2005) ...........................................................................92
Tabel 39. Komposisi pakan bekantan ...................................................................93
Tabel 40. Pembagian waktu dalam aktivitas harian bekantan ..................93
Tabel 41. Rata-rata kandungan mineral dalam pakan bekantan
(mg per hari) ...............................................................................................94
Tabel 42. Berat badan (BB) dan tinggi duduk bekantan (td) ....................98
Tabel 43. Perbandingan ukuran tinggi duduk bekantan dan luas
permukaan tubuh ......................................................................................99
Tabel 44. Bagian geometri yang mempengaruhi berat badan
bekantan ........................................................................................................99
Tabel 45. Besar kelompok dan biomasa bekantan ...................................... 101
Tabel 46. Pakan bekantan di penangkaran satwa PT Pupuk Kaltim
Bontang ....................................................................................................... 110
Tabel 47. Komposisi pakan bekantan di Taman Safari Indonesia,
Bogor (Trihastuti et al., 2004)........................................................... 111
Tabel 48. Tumbuhan pakan bekantan di luar habitat
(SZG Singapura)....................................................................................... 115

xiv
BAB 1
PENDAHULUAN

Pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini telah menyebabkan


degradasi hutan yang berdampak pada perlunya upaya pelestarian
satwaliar di berbagai ekosistem habitat hujan tropika. Kekhawatiran akan
semakin menurunnya populasi satwaliar akibat pemanfaatan hutan dan
habitatnya telah disadari oleh banyak fihak. Dari tahun 1981 sampai tahun
1985, setiap tahunnya 4,4 juta hektar hutan di seluruh dunia ditebang di
antaranya 3,8 juta ha diubah menjadi lahan untuk tujuan bukan hutan,
sehingga laju pengurangan hutan di dunia sekitar satu persen per tahun
dari luas hutan yang tersisa (WWF, 1990). Di Indonesia, dalam kurun
waktu antara 1998-2004 telah terjadi perubahan luas hutan tropika
dari kondisi primer menjadi hutan sekunder rata-rata 1,15 juta ha per
tahun dan perubahan dari hutan sekunder menjadi hutan terdegradasi
2,15 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan, 2005). Laju peningkatan
lahan kritis dari tahun 2000-2006 rata-rata 3,62% per tahun bahkan
untuk Kalimantan laju peningkatan lahan kritis sebesar 4,4% setahun
(Departemen Kehutanan, 2007). Menurut teori biogeografi, luas pulau
atau habitat sepuluh kali lebih luas maka peluang jumlah jenis yang
menghuninya akan meningkat dua kali lipat (Diamond, 1975). Dengan
demikian keragaman jenis, populasi satwaliar, dan habitat akan mengikuti
kaidah di atas, sebagai dasar penetapan kawasan konservasinya.
Perlindungan satwaliar di Indonesia, terutama satwa langka, sudah
dimulai sejak tahun 1931 dengan adanya Peraturan Perlindungan Binatang
Liar 1931 (Lembaran Negara 1931 No. 226 jis 1932 No. 28 dan 1935 No.
513). Primata yang dilindungi di antaranya adalah bekantan (Nasalis
larvatus Wurmb.), semua jenis gibbon (Hylobates spp.), dan orangutan
(Pongo pygmaeus). Upaya peningkatan konservasi satwa juga terus
dilakukan melaIui penetapan dan penataan berbagai kawasan konservasi,
yang saat ini kawasan konservasi darat mencapai 17% (22.702.527,17 ha)
dari kawasan hutan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2007). Kawasan
konservasi ini tidak hanya memelihara kelangsungan proses ekologi dan
evolusi yang menentukan keragaman jenis, tetapi juga untuk pelestarian
plasma nutfah alami yang bernilai ekologis dan ekonomis tinggi.
Pembangunan kawasan konservasi ini merupakan realisasi pelaksanaan

1
PENDAHULUAN

Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam


Hayati dan Ekosistemnya.
Dengan adanya berbagai peruntukan dan kepentingan kawasan
hutan maka tidak semua populasi primata yang langka dan dilindungi
tercakup dalam kawasan konservasi. Untuk melindungi satwa yang ada
di luar kawasan konservasi seperti di kawasan Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), tentunya
pemanfaatan hutan perlu mempertimbangkan batas toleransi satwa
maupun habitatnya terhadap kerusakan, di samping mengembangkan
Wilayah Konservasi di dalam kawasan HPH (dimulai dengan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 252/Kpts-II/1993) dan berkembang hingga
Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/Kpts-II/2002 tentang Keriteria
dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari).
Pelestarian hutan di luar kawasan konservasi penting artinya bagi
kelestarian satwa dan lingkungannya. Dalam pelestarian hutan tersebut
perlu dicari suatu indikator ekologis sebagai penentu kualitas lingkungan
hutan, seperti satwaliar yang sangat tergantung pada tegakan hutan.
Pada kawasan hutan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi yang
dihuni oleh satwa langka yang dilindungi, primata dapat dijadikan sebagai
indikator dalam mengelola hutan dan menentukan strategi konservasi.
Jenis satwa ini dalam hidupnya sangat tergantung pada tegakan pohon
dalam melakukan aktivitas hariannya, terutama pohon sebagai sumber
pakan utama. Dalam hal ini pengetahuan tentang faktor-faktor ekologis
yang mempengaruhi pola perilaku makan (feeding behavior) atau ekologi
makan (feeding ecology) dapat menunjang sistem pengelolaan habitat dan
populasi satwa di dalam kawasan konservasi maupun di kawasan hutan
produksi (Bismark, 1993; Meiyaard et al., 2006).

1.1. Bekantan Satwa Endemik


Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) adalah jenis satwa yang termasuk
ke dalam Ordo (bangsa) Primata, Famili (suku) Cercophitecidae, dan
Subfamili (anak suku) Colobinae (Jolly, 1972) dengan status konservasi
endangered (IUCN, 2008), termasuk dalam Appendix I CITES dan mendapat
perhatian sangat tinggi dalam upaya konservasinya. Jenis ini tergolong
sangat langka dan endemik, dengan habitat terbatas pada hutan bakau,
hutan di sekitar sungai, dan habitat rawa gambut di mana sebagian telah
terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Menurut McNeely et al. (1990),
dari 29.500 km persegi habitat bekantan, saat ini telah berkurang seluas

2
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

40%, sedangkan yang berstatus kawasan konservasi hanya 4,1%. Pada


tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan 3,49% per tahun (Supriatna,
2004). Dari enam tipe ekosistem habitat bekantan, pada tahun 1995 telah
terjadi penurunan luas habitat antara 20-88% (Meijaard, 2000) dan laju
penurunan habitat ini di dalam dan di luar kawasan konservasi dua persen
per tahun (PHVA Proboscis monkeys, 2004). Akibat dari penurunan luas
habitat tersebut maka populasi bekantan cenderung menurun karena
primata ini kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan
Wilson, 1975; Yeager, 1992).
Secara morfologi, warna rambut bekantan bervariasi. Di bagian bahu
dan punggung atas berwarna coklat kemerahan. Ujung-ujung rambutnya
berwarna merah kecoklatan, sedangkan dua pertiga nya berwarna
abu-abu. Punggung berwarna kuning keabuan, perut berwarna keku-
ningan atau abu-abu, kadang-kadang ada bagian yang berwarna kuning
kecoklatan. Tangan dan kaki putih kekuningan, kepala berwarna coklat
kemerahan, dan leher berwarna putih keabuan. Ciri khas bekantan yang
mudah dikenali adalah ukuran hidung yang besar dan panjang pada jantan
(Gambar 1) dan runcing pada betina.

Adanya variasi warna bulu


pada bagian-bagian tubuh tersebut
merupakan dasar dalam membedakan
sub-spesies bekantan yang ada, yaitu
Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis
lavartus orientalis (Kern, 1964).

1.2. Dukungan Penelitian


dalam Program Konservasi
Bekantan
Beberapa aspek penelitian tentang
bekantan telah dilakukan antara lain
Gambar 1. Bekantan jantan dewasa
menyangkut populasi di Tanjung Puting
dan ekologi makan di hutan bakau
(Bismark, 1980, 1989), ekologi dan perilaku sosial di habitat hutan
rawa gambut Kalimantan Tengah (TN Tanjung Puting) (Yeager, 1989,
1990), organisasi sosial di hutan bakau Sarawak (Bennett dan Sebastian,
1988), sebaran, habitat dan populasi di Sarawak (Salter et al., 1985), dan
distribusinya di berbagai tipe habitat (Meijaard dan Nijman, 2000). Dalam

3
PENDAHULUAN

hal ini, penelitian ekologi secara mendalam terhadap bekantan yang hidup
di habitat hutan bakau belum banyak dilakukan. Walaupun demikian,
Sunjoto (2004) telah mengkaji aspek ekologi dan habitat bekantan yang
hidup di hutan karet di Kalimantan Selatan.

Laporan hasil penelitian terdahulu sudah banyak mengemukakan dan


mendiskusikan fungsi dan manfaat serta potensi hutan bakau. Hutan bakau
merupakan salah satu bagian dari ekosistem estuaria dengan produktivitas
tinggi terutama ekosistem hutan bakau tipe “riverine” (Lear dan Turner,
1977; Mitsch dan Gosselink, 1984) dan mempunyai fungsi ekologis
dalam pelestarian jaringan makan (Dingwall, 1983). Seperti halnya di
New Guinea terdapat 204 jenis ikan yang sangat bergantung pada hutan
bakau, sedangkan di Kalimantan bagian utara diketahui ada 40 jenis dari
33 genus ikan (Collette, 1983). Selain nilai ekologis tersebut hutan bakau
juga mempunyai nilai dalam perlindungan pantai, habitat satwa, estetika,
dan nilai ekonomis
(Dingwall, 1983).
Terbatasnya sebaran
dan luas hutan bakau
serta tingginya nilai
kepentingan ekosistem
tersebut mendorong
p e n i n gka t a n u p aya
pelestarian hutan bakau
terutama sebagai habitat
satwaliar. Oleh sebab itu
hasil penelitian sekarang
lebih banyak menggali
aspek sosial ekonomi
Gambar 2. Kalimantan sebagai daerah sebaran bekantan dan biodiversitas dalam
kegiatan rehabilitasi
areal mangrove untuk tujuan pelestarian fungsi sebagai daerah penyangga
kehidupan kawasan perairan.
Sebaran dan luas hutan bakau di Kalimantan (Gambar 2) sangat
terbatas yaitu 383.450 ha (Darsidi, 1984) dan yang menjadi habitat
bekantan hanya seluas 15.600 ha. Pada tahun 1995 habitat ini hanya
tersisa 9.200 ha. Penurunan sebesar 41% ini berdampak pada habitat dan
sebaran populasi bekantan yang tidak merata (Salter et al., 1985; Yasuma,
1989; Bismark, 2004) dan perubahan sifat bekantan yang kurang toleran
terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975) serta meningkatnya

4
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

kebutuhan lahan untuk pertanian, pemukiman yang memanfaatkan hutan


bakau dan hutan di sepanjang sungai. Hal ini menjadi kekhawatiran besar
terhadap keterancaman populasi bekantan.
Sumber pakan primata dalam habitat merupakan faktor ekologis yang
sangat menentukan terhadap kelestarian populasi primata (Bismark,
1994, 2004; Meijaard et al., 2006). Kualitas dan kuantitas pakan dapat
mempengaruhi perilaku dan organisasi sosial primata (Raemaker dan
Chivers, 1980), mempengaruhi luas daerah jelajah dan perilaku pergerakan
primata (Whitten, 1982), dan juga mempengaruhi pakan sebagai
sumber energi, pertumbuhan dan perkembangbiakan. Potensi pakan
juga berpengaruh terhadap besarnya kelompok dan populasi bekantan
(Iskandar, 2006). Mengingat besarnya peranan sumber pakan terhadap
perilaku dan kelangsungan hidup primata, maka pengelolaan populasi dan
habitat bekantan dapat ditetapkan berdasarkan parameter ekologi makan,
yaitu hubungan faktor lingkungan habitat terhadap pola perilaku makan
dan aktivitas harian dalam habitatnya (Bismark, 2004; Sunjoto, 2005).
Mengingat bahwa pakan bekantan banyak tersimpan di hutan bakau,
maka penyelamatan hutan bakau akan sekaligus menyelamatkan populasi
bekantan. Dalam program pelestarian bekantan tersebut diperlukan
informasi tentang perilaku dan faktor lingkungan habitat yang mendukung
terhadap kebutuhan pakannya dan keamanan dari perburuan.

1.3. Biofisik Lingkungan Habitat Bekantan


Ekosistem hutan mangrove sebagai habitat bekantan (Nasalis larvatus)
berbeda dengan hutan rawa gambut dan hutan tepi sungai lainnya, di
mana hutan bakau dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan kadar
garam (salinitas) tinggi. Keadaan ini berpengaruh pada drainase tanah dan
kondisi salinitas tanah (Lear dan Turner, 1977).
Pasang surut air laut juga berperan sebagai pembawa unsur hara dan
menstabilkan salinitas tanah, sehingga tidak terjadi kompetisi tumbuhan
bakau dengan tumbuhan yang tidak toleran terhadap tanah bersalinitas
tinggi. Selain itu sungai juga berperan dalam mengatur kondisi fisik
dan kimia tanah hutan bakau sehingga terjadi perbedaan vegetasi yang
ada di tepi sungai dengan hutan yang ada di bagian dalam (Mitsch dan
Gosselink, 1984). Di samping pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia
tanah, dan vegetasi, sungai yang merupakan habitat satwa predator dan
parasit berpotensi membawa polutan yang akan berpengaruh terhadap
kehidupan bekantan.

5
PENDAHULUAN

Lingkungan fisik hutan mangrove seperti disebutkan di atas akan


berpengaruh terhadap produktivitas, sebaran, kerapatan, dan biodiversitas
tumbuhan. Kondisi ini akan menentukan kuantitas dan kualitas nutrisi
sumber pakan bekantan, yaitu kandungan protein, lemak, serat kasar,
karbohidrat, dan mineral dari daun, bunga, dan buah. Selanjutnya,
kuantitas dan kualitas sumber pakan tersebut akan membentuk pola
perilaku bekantan. Hubungan faktor biotik dan fisik habitat hutan bakau
yang dapat membentuk pola perilaku makan dikemukakan sebagaimana
Gambar 3.

 Komposisi dan
 Fisik Sungai dan
 zonasi jenis
kimia
stratifikasi ve- pasang
 getasi
tanah surut

 Faktor
 fisik

 Iklim mikro Polutan



 Dominansi jenis Vegetasi

 dan biodiversitas tepi sungai
 Faktor
 biotik

 Gizi Parasit
 Keragaman jenis
sumber
 sumber pakan
 pakan Predator





 Aktivitas Pola perilaku Perilaku Perilaku
 harian makan sosial bekantan


Gambar 3. Parameter lingkungan hutan mangrove dalam ekologi dan


perilaku bekantan

Primata sangat selektif dalam memilih habitat yang sesuai dengan


potensi sumber pakan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
sehingga pohon sumber pakan mempunyai korelasi positif dan dapat
menjadi penduga populasi jenis Hylobates (Iskandar, 2006). Secara teori,
sumber pakan merupakan faktor yang paling penting dalam pemilihan
habitat tersebut. Satwa dalam melakukan seleksi terhadap habitat yang
disukainya dapat dipandang dari dua segi. Pertama, secara genetik, setiap
individu mampu bereaksi terhadap keadaan lingkungan sehingga dapat
melakukan pemilihan habitat yang sesuai. Kedua, adanya hubungan

6
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

antar jenis atau kelompok serta proses belajar sejak dari umur muda atau
belajar dari pengalaman yang didapat dari individu yang lebih tua. Kedua
faktor ini dapat terlihat pada pola jelajah dan ruang pengembaraan (home
range) primata yang sesuai dengan perilaku sosial dan perilaku makan
dalam lingkungan habitat (Whitten, 1982; Bismark, 1994).
Keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai habitat, secara
terpisah atau bersamasama akan menyediakan berbagai relung (niche)
ekologi yang potensial dalam sebaran satwa, terutama besarnya volume
tajuk sebagai penghasil produktivitas primer yang akan menentukan
produktivitas sekunder (satwa). Hutan tropika dataran rendah di Asia,
Afrika, dan Amerika, menghasilkan serasah kering sebanyak/sebesar 6-7
ton/ha/tahun, di Malaysia sekitar 7,5 ton/ha/tahun (Raemakers et al.,
1980), dan hutan bakau dapat menghasilkan daun muda 5 ton/ha/ tahun
(Clough et al., 1983).
Struktur fisik hutan terbentuk akibat adanya perbedaan tinggi pohon
menurut jenis, umur maupun sifat tumbuhnya. Keadaan ini membentuk
stratifikasi yang menciptakan relung ekologi tertentu, seperti adanya
perbedaan ketinggian dan posisi tempat makan jenis primata simpatrik
pada pohon. Berbagai relung ekologi akan memberikan tempat bagi
satwa mamalia herbivora lain dan burung untuk mencari makan. Satwa-
satwa tersebut dapat membantu percepatan regenerasi hutan melalui
penyebaran biji tumbuhan sebagai sisa makanan, baik oleh primata atau
burung serta mempercepat proses daur ulang unsur-unsur penting ke
lingkungan. Bekantan dapat meningkatkan biodiversitas jenis tumbuhan
di habitatnya melalui cara makan yang mengurangi jumlah biji tumbuhan
dominan, sehingga memberikan kesempatan bagi biji tumbuhan yang
tidak dominan untuk tumbuh dan berkembang (Yeager dan Blondal, 1992).
Hutan tropika Indonesia memiliki keragaman jenis primata yang
tinggi, baik primata pemakan daun (folivorous) maupun pemakan buah
(frugivorous). Hal ini didukung oleh ekologi dari setiap jenis primata dalam
memanfaatkan sumber pakan yang berbeda sesuai dengan jenis pakan
yang disukai, penggunaan stratifikasi tajuk hutan, dan pola pergerakannya
(Curtin dan Chivers, 1979; Meijaard et al., 2006). Keragaman jenis
tumbuhan yang tinggi di habitat primata, terutama primata simpatrik
akan memungkinkan tingginya keragaman jenis pakan menurut ruang dan
waktu. Walaupun di hutan primer banyak terdapat pohon besar dan tinggi,
pada umumnya kehidupan satwa lebih banyak berkisar pada ketinggian
antara 25-35 m dan 15-30 m, kecuali pada habitat tertentu seperti di tepi
sungai (Curtin dan Chivers, 1979).

7
PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove dengan segala proses interaksi dan inter-relasi


komponen di dalamnya yang terkait dengan pertumbuhan populasi satwa
adalah ketersediaan atau potensi pakan yang tersedia dalam habitatnya.
Populasi primata arboreal sangat tergantung pada kerapatan pohon
(Bismark, 2006; Iskandar, 2006). Oleh karena itu upaya konservasi habitat
dan populasi primata langka endemik termasuk bekantan diawali dengan
pengetahuan status dan potensi tegakan pohon yang berfungsi sebagai
pakan maupun pohon tidur yang menentukan daya dukung habitat.
Sumber pakan primata di alam dapat dikelompokkan dalam tiga
kategori yaitu bagian vegetatif tumbuhan, bagian reproduktif tumbuhan
dan hewan. Dalam hal ini dapat berupa daun, bunga, buah, telur burung
maupun serangga, dan bagian tumbuhan berupa umbi dengan nilai nutrisi
sama dengan buah yang mengandung protein, asam amino bebas, vitamin
C, dan gula yang bermanfaat. Pada umumnya bagian vegetatif pohon dan
tanaman memanjat dapat dimakan primata, termasuk daun muda atau
daun tua (Chivers dan Raemakers, 1980). Orangutan dapat memakan
kulit kayu (Rijksen, 1978) demikian juga jenis-jenis tupai (Whitten dan
Whitten, 1987).
Masalah dalam pakan primata di hutan tropika adalah senyawa
fitokimia yang bersifat toksin, selulosa, dan lignin (Oates, 1977, Hoshino,
1985). Jenis primata pemakan daun terutama dari anak suku Colobinae,
dalam mencerna selulosa bersimbiose dengan mikroba lambung (Bauchop,
1978), tetapi proses ini akan kurang efektif bila terdapat kadar lignin
yang tinggi (Oates, 1977). Senyawa fitokimia yang terdapat dalam daun
(tergolong senyawa sekunder) berpengaruh terhadap tingkat kesukaan
mamalia herbivora untuk memakannya. Tumbuhan yang terdapat di hutan
tropika yang miskin nutrisi banyak mengandung senyawa fitokimia sebagai
senyawa untuk pertahanan, seperti terhadap insekta (Curtin dan Chivers,
1979). Senyawa sekunder tersebut dapat berupa asam amino non protein,
alkaloid, dan fenol yang kesemuanya berpengaruh pada perilaku makan
satwa (Hladik, 1978). Tanin sebagaimana terdapat pada daun mangrove
mengandung komponen senyawa yang dapat mengkoagulasikan protein
dan enzim pencernaan, namun pada beberapa jenis primata terlihat tidak
ada korelasi yang nyata antara intensitas makan dengan senyawa sekunder
tersebut (Whitten dan Whitten, 1987).
Perbedaan komposisi pakan dapat terjadi pada habitat yang berbeda,
terutama perbedaan tingkat kesuburan tanah yang akan mempengaruhi
keragaman jenis tumbuhan. Perbedaan perilaku makan juga terlihat

8
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

pada bekantan yang berbeda lokasi habitat seperti di hutan bakau Taman
Nasional (TN) Bako dan di Suaka Margasatwa (SM) Samunsam, Sarawak, di
mana pada TN Bako aktivitas makan bekantan sejumlah 63,2%, sedangkan
di hutan bakau SM Samunsan 13,1% (Salter et al., 1985). Bekantan sebagai
primata pemakan daun yang bersifat seperti ruminansia (Hladik, 1978)
butuh pakan yang perbandingan protein dengan serat kasarnya rendah
(Bennett dan Sebastian, 1988). Di hutan dipterocarpaceae, dengan tanah
miskin hara menghasilkan daun dengan rasio protein dan serat yang
rendah pula, tetapi kekurangan unsur lain seperti mineral, menyebabkan
bekantan tidak dapat menempati habitat yang demikian (Bennett dan
Sebastian, 1988).
Hutan bakau yang menerima masukan unsur hara dari sungai dan
dari pasang air laut, melalui endapan dan proses dekomposisi oleh
jasad renik (Lear dan Turner, 1977) menyebabkan tanah hutan bakau
kaya unsur hara, seperti unsur N yang berperan dalam peningkatan
produktivitas daun bakau (Clough et al., 1983). Di samping itu daun
bakau lebih banyak mengandung mineral yang sangat dibutuhkan oleh
satwa ruminansia. Dalam habitat hutan, pakan primata tersebar secara
vertikal dan horizontal, dengan demikian primata akan bergerak secara
vertikal maupun horizontal untuk mencari makan sesuai dengan tingkat
kesukaan terhadap jenis pakan, terutama kaitannya dengan kadar nutrisi
dan keamanan, serta menghindarkan kompetisi (Bismark, 1994).
Dalam buku ini akan dikemukakan rangkuman hasil penelitian
penulis terhadap populasi dan perilaku bekantan di hutan bakau serta
hasil penelitian para pakar yang relevan termasuk hasil penelitian pada
program doktor di mana penulis ikut sebagai Tim Promotor. Sebagaimana
uraian pendahuluan di atas, kajian ekologi dan konservasi bekantan akan
diarahkan pada potensi habitat, sebaran populasi bekantan, dan perilaku
terutama yang terkait dengan pakan, daya dukung, dan aspek konservasi
bekantan di luar kawasan konservasi.

9
BAB 2
HABITAT

2.1. Tipe dan Sebaran Habitat


Pada umumnya bekantan endemik Borneo menyukai habitat hutan
lahan basah, baik di dalam dan di luar kawasan konservasi. Di Kalimantan
Selatan, bekantan dapat ditemukan di hutan karet yang berada di luar
kawasan konservasi yang berdekatan dengan sumber air berupa sungai
atau danau kecil (Soendjoto et al., 2005). Meijaard et al. (2000) telah
mengidentifikasi luasan ekosistem habitat bekantan di Kalimantan
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
Jika melihat kondisi habitat bekantan pada tahun 1995 (Meijaard
et al., 2000) luasan terkecil merupakan hutan mangrove yang masih
tersisa sebesar 59%. Kondisi ini akan mengalami perubahan pada tahun
selanjutnya akibat perubahan fungsi dan vegetasi hutan mangrove,
sedangkan bekantan sangat tergantung pada hutan mangrove (Kern,
1962). Bismark (1980) melaporkan keberadaan primata ini tersebar di
berbagai tipe habitat yang dilalui sungai termasuk di hutan rawa gambut.
Bekantan juga diketahui menggunakan pohon yang ada di tepi-tepi sungai
untuk tempat tidurnya sehingga identifikasi sebaran dan habitat primata
ini lebih mudah dilakukan termasuk penggunaan metoda sensus populasi
bekantan melalui sungai.

Tabel 1. Habitat bekantan di Kalimantan (modifikasi Meijaard dan Nijman, 2000)

% Areal tahun 1995


Luas semula
Tipe vegetasi Dalam kawasan
(km²) Total
konservasi
Hutan rawa air tawar 38.950 44 21
Hutan rawa gambut 44.030 80 7
Hutan mangrove 15.600 59 8
Hutan lahan basah dataran 22.010 12 6
rendah
Hutan dataran lembab 870 29 -
Hutan dataran kering 210 0 -

11
HABITAT

Jenis bekantan juga dijumpai di hulu sungai yang jauh dari laut,
seperti di Sungai Murung Barito Utara (laporan Chivers dan pengamatan
pribadi, 1994) serta di hulu Sungai Sangatta yang didominasi hutan
dipterocarpaceae (Bismark, 1997). Bekantan ditemukan di pulau kecil,
seperti Pulau Kaget seluas 247 ha di Kalimantan Selatan dengan habitat
tumbuhan mangrove dan masih terpengaruh oleh kadar garam.
Kekhawatiran akan cepatnya pengurangan luas habitat yang
berdampak negatif pada penurunan populasi bekantan adalah terjadinya
degradasi habitat hutan dataran rendah, seperti kasus di Taman Nasional
Gunung Palung. Dari tahun 1998-2002, penurunan luas tutupan di TN
Gunung Palung sangat meningkat dari sekitar 500 sampai 8.000 ha per
tahun dan di daerah penyangga sekitar 600 ha per tahun (Curran et al.,
2004). Kerusakan hutan mangrove lebih disebabkan oleh konversi lahan
menjadi tambak. Tambak di hutan mangrove di kawasan hutan produksi PT
Karyasa Kencana Tarakan dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1982
meningkat dengan drastis. Luas tambak yang awalnya125 ha meningkat
menjadi 50 kali lipat (Sardjono, 1995) sebagai bentuk penyusutan areal
mangrove. Secara umum, upaya perbaikan ekosistem mangrove melalui
rehabilitasi di Kalimantan dalam kurun waktu tahun 1999-2006 telah
terealisasi sejumlah 4.173 ha.
Di Kalimantan Selatan, habitat bekantan mencakup hutan mangrove,
hutan campuran di pantai, rawa gambut, dan hutan rawa yang didominasi
oleh galam (Melaleuca cajuputi). Selain itu populasi bekantan juga
ditemukan di hutan bukit kapur dan hutan karet (Sunjoto et al., 2005).
Sebaran bekantan pada beberapa kawasan di luar kawasan konservasi
di Kalimantan Selatan telah diidentifikasi oleh Sunjoto et al. (2003)
sebagaimana Tabel 2.

2.1.1. Hutan Rawa Gambut

Kondisi vegetasi habitat bekantan di hutan rawa gambut Taman


Nasional Tanjung Puting telah dilaporkan oleh Yeager pada tahun
1989. Analisis vegetasi lebih diarahkan pada potensi pakan bekantan.
Dengan data tersebut dimungkinkan untuk mengembangkan penelitian
silvikultur jenis-jenis penting yang perlu untuk merehabilitasi habitat
atau memperkaya pohon sumber pakan di habitat, restorasi kawasan
konservasi dan kawasan hutan terdegradasi yang potensial memiliki
populasi bekantan sebagaimana Tabel 3.

12
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Tabel 2. Lokasi persebaran dan tipe habitat bekantan di Kalimantan Selatan Kabupaten
Tabalong (Soenjoto, 2003)

Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
1 Bukit Batu Bekantan teramati: • Bukit kapur yang kelilingnya (kaki) ± 4 km dan
Kumpai, Kec. Jaro 19 (3 J + 8 B + 3 A + tingginya ± 300 m
01°50’ 17,1” LS; 5 KT) • Lahan di kaki hingga puncak bukit ditumbuhi
115°37’ 01,1” BT semak belukar. Vegetasi ini tumbuh setelah
hutan sekunder terbakar 2 tahun lalu.
• Hamparan lahan di sekeliling kaki bukit (radius
300 m) ditumbuhi hutan karet, persawahan,
dan kebun.
• Menurut rnasyarakat, budidaya tanaman di
hamparan lahan ini sudah dilaksanakan sejak
tahun 1970-an.

• Kawasan relatif aman karena status bukit


kapur adalah hutan lindung dan bukit tersebut
dimanfaatkan sebagai sarang walet.
• Bekantan dijumpai di hutan karet, tidak di
vegetasi di atas bukit.
2 Bukit Batu Buli, Bekantan teramati: • Bukit kapur yang kelilingnya (kaki) ±3 km dan
Desa Lumbang, o Grup 1 = 13 (2 J + tingginya±300 m.
Kec. Muara Uya 7 B + 4 A); • Dari kaki bukit ke arah puncak adalah semak
01°54’ 05,5”’ LS; o Grup 2 = 5 (2 J + belukar dan hutan sekunder (kariwaya, wilas).
115°38’ 07,5” BT 3 B) • Hamparan lahan di sekeliling kaki bukit (radius
300 m) ditumbuhi tanaman pangan (merica,
kopi), hutan karet, persawahan, dan semak
belukar.
• Persawahan dialiri air dari saluran irigasi
(lebar 1,5 m) yang menurut masyarakat sudah
ada sejak jaman Jepang.
• Kawasan tidak aman. Batu bukit digali untuk
bahan baku bangunan dan pondasi jalan.
• Bekantan dijumpai di vegetasi di atas kaki
bukit.
3 Hutan Mabai, Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 34,58 cm (29,61-38,21; n
Desa Simpung o Grup 1= 10 (2 J + = 61)
Layung, Kec. 6 B + 2 T); • Hutan yang luasnya ± 1.200 ha berada di
Muara Uya o Grup 2 = 17 (4 J + belakang permukiman Desa Muara Uya dan
01°54’ 21,9” LS; 9 B + 4 KT) Simpung Layung serta terletak antara ruas
115°35’ 29,9” BT jalan Tanjung Balikpapan (timur), Jalan
Bangkar (utara), Pelapi-Muara Uya (barat), dan
Jalan Mangkupum (selatan).

13
HABITAT

Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
4 Hutan Baluun, Bekantan teramati:
• Hutan karet; Ærerata = 30,76 cm (28,34 - 33,41;
Desa Uwi, Kec. 10 = (I J + 3 B + 2 A
n = 60)
Muara Uya + 4 KT)
• Di sebelah timur berbatasan langsung dengan
01°54’ 09,1” LS;
Sungai Uwi (lebar ± 30 m)
115°34’ 54,9” BT
5 Hutan karet Pasar Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 33,27 cm (29,30 - 40,31;
Batu, Kec. Muara 14(2 J + 5 B + 2 A + n = 47)
Uya 5 KT) • Di sebelah timur berbatasan langsung dengan
01º56’ 29,8” LS; Sungai Ayu (Iebar 25 m)
15º33’ 30,0” BT • Di Desa Pasar Batu ini Sungai Ayu dan Sungai
Uwi bersatu menjadi Sungai Tabalong Kanan
6 Hutan karet Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 33,20 cm (31,85 – 39,17;
Kampung Ulan, dijumpai langsung. n = 57)
Desa Binjai, Kec. Menurut penyadap • Di sebelah utara dan timur berbatasan
Muara Uya 01°53’ karet atau peladang langsung dengan Sungai Ayu
01,6” LS; 115°32’ di lokasi, jumlah
07,1” BT populasi bekantan
15-50 ekor.
7 Hutan Bekantan teramati: • Hutan sekunder (campuran) di tepi sungai dan
Rantaunatu, Desa 16 (2 J + 6 B + 3 A + bertopografi curam
Salikung, Kec. 5 KT) • Di sebelah barat berbatasan langsung dengan
Muara Uya Sungai Ayu dan di sebelah timur berbatasan
01°48’40,2” LS; dengan hutan karet.
115°31’ 21,4” B
8 Hutan karet Desa Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 32,27 cm (28,34 - 34,25;
Mangkupum, Kec. dijumpai langsung. n = 50)
Muara Uya Menurut penyadap • Di sebelah selatan berbatasan langsung dengan
01°57’15,4” LS; karet atau peladang Sungai Mangkupum (lebar: ± 15 m), anak
115°35’ 07,6” BT di lokasi, populasi sungai Tabalong Kanan
15-50 ekor. • Terdapat pohon rambung (Ficus) dan tiwadak
banyu (Artocarpus teysmanii) yang merupakan
pohon tempat tidur bekantan
9 Rawa Panepeh, Bekantan teramati: • Hutan rawa (± 30 ha); didominasi oleh jingah
Desa Kaong, Kec. 18 (2 J + 2 B + 2 A + (Gluta renghas) dan dikelilingi hutan karet.
Upau 12 KT) • Lima pohon jingah yang dijadikan sampel
02°05’50,5” LS; tingginya mencapai 25 m dan diameternya 96
115°35’ 35,3” BT - 118 cm.
• Rawa relatif tidak terganggu. Rawa dibiarkan
tetap ada, tidak dikonversi dan tidak ditanami.
• Rawa dikelilingi hutan karet; Ærerata = 34,76 cm
(33,41 - 40,30; n = 55).
10 Hutan Salihin, Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 28,64 cm (25,16-31,53; n
Desa Bilas, Kec. 11 (1 J + 3 B + 2 A + = 47)
Upau 5 KT) • Di sebelah timur, terdapat hutan karet yang
02°07’ 18,3” LS; telah ditebang 2 minggu lalu dan direncanakan
115°33’ 47,4” BT untuk persawahan (irigasi).

14
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
11 Hutan karet milik Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 29,42 cm (24,68 - 35,01;
keluarga Sadit, 2(1 J + 1 B) n = 43)
Desa Batupulut, • Di sebelah barat terdapat permukiman serta
Kec. Haruai jalan yang menghubungkan Tanjung - Batu
02°01’07,1” LS; Pulut - Muara Uya; di utara dan timur terdapat
115°32’ 06,2” BT persawahan; di selatan terdapat lapangan
sepakbola, permukiman, dan hutan karet.
12 Hutan karet milik Bekantan teramati: • Hutan karet terletak pada kelokan Sungai
Hasbullah, Desa 12(1 J + 6 B + 5 KT) Tabalong Kanan; Ærerata = 29,76 cm (26,91 -
Batu-pulut, Kec. 34,87; n = 56).
Haruai • Terdapat pepohonan rambling yang disenangi
02°00’34,4” LS; bekantan untuk lokasi tidur.
115°31 ‘55,2” BT
13 Hutan Pulau Giar, Bekantan teramati: • Hutan karet (tinggal ± 10 ha); Ærerata = 33,26 cm
Desa Argomulyo, 5 (1 J+ 4 B) (30,57 - 41,40; n = 36)
Kec. Haruai • Di selatan dan barat terdapat sawah beririgasi
01°58’18,1” LS; dan rawa berbatu kapur; di timur terdapat
115°27’ 42,1” BT pemukiman, di utara terdapat lahan yang baru
dibuka untuk kebun karet dan sawah baru
• Rawa berbatu kapur ditumbuhi kariwaya
• Permukiman transmigrasi dihuni sejak tahun
1982/1983
14 Hutan karet Bekantan teramati: • Bekantan dijumpai memakan buah terung di
Desa Jabang, Kec. 10 (1 J + 1 B + 3 A + ladang.
Haruai 5 KT) • Ladang dikeliling hutan karet; Ærerata = 27,98 cm
02°01’08,2” LS; (26,75 - 28,67; n = 60)
115°27’ 05,7” BT • Sebagian hutan karet termasuk dalam
Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
15 Hutan Manunggul, Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 30,84 cm (28,63 - 35,32;
Desa Jaing Hilir, 21 (3 J + 15 B + 3 A) n = 58)
Kec. Murung • Di sebelah selatan berbatasan langsung dengan
Pudak Sungai Jaing (Iebar ± 15 m), anak Sungai
02°06’54,2” LS; Tabalong Kanan
115°26’ 42,5” BT
16 Hutan Mandu. Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 29,55 cm (28,36 - 32,16;
Desa Mangkusip, dijumpai langsung. n = 49)
Kec. Tanta Menurut penyadap • Di utara terdapat pemukiman dan jalan yang
02°12’58,6” LS; karet dan penduduk, menghubungkan Kec. Tanta dengan jalan raya
115°22’ 51,7” BT hutan di belakang Paringin - Tanjung, di selatan terdapat sawah
rumahnya menjadi yang baru dibuka (± 50 ha), di barat terdapat
daerah jelajah pemukiman dan jalan yang menghubungkan
bekantan, populasi Kec. Tanta dengan jalan raya Amuntai - Tanjung,
bekantan banyak di timur terdapat hamparan hutan karet.
atau mencapai • Terdapat pohon jingah yang menjadi tempat
ratusan tidur bekantan, pohon ini banyak ditebangi
untuk bahan baku papan.
• Bekantan di lokasi ini menjadi sasaran
perburuan dan dikonsumsi oleh suku Dayak.

15
HABITAT

Lokasi dan
Populasi bekantan
No. koordinat Tipe dan kondisi habitat
(Individu)
perjumpaan
17 Hutan Pateh, Desa Bekantan tidak • Hutan karet; Ærerata = 28,76 cm (25,48 - 31,21;
Madang, Kec. dijumpai langsung. n = 61)
Muara Harus. Menurut penyadap • Hutan berbatasan dengan baruh Palai-palai dan
02°16’46,7” LS; karet dan baruh Hapau yang dibelah oleh Sungai Tabuk.
115°20’ 44,1” BT pemancing ikan, • Baruh yang luasnya lebih dari 100 ha akan
populasi banyak kering pada musim kemarau panjang
18 Hutan Punggur, Bekantan teramati: • Hutan karet; Ærerata = 32,14 cm (29,30 - 38,53;
Desa Pampanan, 14 (2 J + 7 B + 3A + n = 38)
Kec. Pugaan. 2 KT) • Bekantan di lokasi ini menjadi sasaran
02°19’56,5” LS; perburuan dan dikonsumsi oleh suku Dayak
115°20’ 35,5” BT (yang datang dari wilayah Bintot, Kab. Barito
Timur, Kalimantan Tengah)
Catatan:

1) Kec. = Kecamatan; Kab. = Kabupaten; J = jantan; B = betina; A = anak; KT = kelamin takteridentifikasi.


2) Populasi teramati adalah populasi bekantan yang dijumpai langsung. Menurut masyarakat sekitar
(peladang, penyadap karet, pemancing ikan), populasi bekantan tergolong banyak (sekitar 15-50
ekor).
3) Di lokasi nomor 6, 8, 16, 17, bekantan tidak dijumpai secara langsung. Ketika pengamatan/
kunjungan dilakukan, bekantan diperkirakan beristirahat di lantai hutan.
4) Di dalam hutan karet di semua lokasi terdapat ladang (ditanami padi), kebun tanaman pangan,
kebun buah (pisang, pampakin (Durio kutejensis), langsat, durian, cempedak), dan semak belukar.
Semak belukar tumbuh di lahan bekas ladang yang sudah dua kali dipanen, ditanami karet dan
kemudian dibiarkan hingga karet mampu berproduksi.
5) Baruh (atau lebak) = hamparan lahan yang lebih rendah dari lahan sekitarnya, baruh digenangi
air terutama pada musim hujan. Pada musim kemarau, beberapa baruh masih mengandung air,
tetapi baruh lainnya kering. Baruh pada umumnya tidak ditanami.

Tinggi pohon di habitat bekantan berkisar 6-27 m (rata-rata 11,4 m),


diameter pohon 9,6-45,2 cm (rata-rata 18,11 cm), dan basal areal 71,6-
1.604,6 cm² (rata-rata 350,3 cm2) serta luas kanopi 9,1-54 m² (rata-rata
22,9 m²). Sejumlah 71% dari hasil identifikasi pohon adalah pohon pakan
yang meliputi 80,4% total basal area dan 71,6% dari luas kanopi (Yeager,
1980). Jenis pohon yang disenangi oleh bekantan sebagai sumber pakan
adalah Ganua motleyana (Yeager, 1989; Bismark, 1980).

16
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Tabel 3. Inventarisasi vegetasi hutan rawa gambut dan presentase sebagai sumber
pakan bekantan (Yeager, 1989)

Genus spesies
No Genus spesies (Lokal) Persen No Persen
(Lokal)
1. Aglaia sp. 0,13 23. Baccaurea bracteata 0,48
2. Baccaurea racemosa 0,21 24. Licania splendens 2,94
3. Calophyllum sp. 1 0,08 25. Lthocarpus sundaicus 0,03
4. Calophyllum sp. 2 0,05 26. Litsea sp. 0,75
5. Crudea teyamannii 1,85 27. Lophopetalum javanicum 13,75
6. Dialium indum 0,11 28. Lucinaea montana 0,40
7. Diospyros maingayi 1,04 29. Macaranga hypoleuca 0,13
8. (Epiphyte) 0,03 30. Mangifera sp. 1,l5
9. Eugenia reinwardtiana 0,03 31. Neoscortechinia sp. 1,74
10. Eugenia sp. 1 0,86 32. Pandanus sp. 1,12
11. Eugenia sp. 2 0,24 33. Polyalthia glauca 0,03
12. Eugenia sp. 3 30,03 34. Polyalthia lateriflora 0,19
13. Eugenia zeylanica 0,02 35. Pternandra rostrata 0,29
14. Ficus acamtophylla 0,83 36. Rourea mimosoides 0,11
15. Ficus globosa 0,48 37. Ryparosa javanica 0,32
16. Ganua motleyana 20,22 38. Santirio rubiginosa 0,21
17. Garcinia dulcis 0,70 39. Shorea smithiana 0,21
18. Garcinia forbesii 0,24 40. Stenophlaea palustris 0,16
19. Gonystylus macrophyllus 0,05 41. Symplocos fasciculata 0,19
20. lxora blumei 0,05 42. Uncaria glabrata 2,03
21. Knema latifolia 0,11 43. Xylopia fusca 0,24
22. Kokoona ohracea 0,86 44. Unidentified 11,79

Bekantan di Samboja Kuala, Kalimantan Timur yang lokasi habitatnya


berdekatan dengan kampung menunjukkan terjadinya adaptasi bekantan
terhadap areal pemukiman masyarakat. Atau sebaliknya, telah terjadi
invasi pemanfaatan lahan habitat bekantan oleh masyarakat setempat.
Di habitat ini pohon dominan adalah Sonneratia casiolaris (Indek Nilai
Penting (INP) 38,37%), Vitex pubescens (INP 30,38%), Sandoricum koetjapi
(INP 24,15%), dan Syzygium sp. (INP 18,9%). Selain itu juga terdapat
pohon karet (Hevea brasiliensis) 28,95 pohon/ha (Alikodra et al., 1995).
Jenis vegetasi tumbuhan yang menjadi sumber pakan bekantan di sekitar
areal perkampungan tertera pada Tabel 4.

17
HABITAT

Tabel 4. Jenis tumbuhan sumber pakan utama bekantan di Samboja Kuala (Alikodra et
al., 1995)

Jenis Rasio seleksi Rata-rata tinggi pohon (m)


Mangifera caesa 1,66 23,31
Bachanania arborescens 0,21 5,50
Ilex cymosa 1,24 11,68
Durio zibethinus 0,41 15,00
Hibiscus tilliaceus 0,21 4,25
Sandoricum koetjapi 0,03 14,50
Hevea brasiliensis 0,31 13,81
Ficus sp. 0,16 6,67
Ardisia humilis 0,07 5,00
Syzygum lineatum 0,62 7,00
Syzygium sp. 0,08 5,13
Nephelium lappaceum - 7,92
Sonneratia caseolaris 0,24 13,90
Schima sp. 0,21 15,00
Vitex pubescens 0,06 6,50

Habitat bekantan di sekitar pemukiman penduduk dengan tumbuhan


dominan Sonneratia caseolaris pada hutan tepi sungai hitam Samboja,
Kalimantan Timur yang kondisinya sangat terdegradasi juga dilaporkan
oleh Ma’ruf (2004). Analisis habitat hutan mangrove yang detail di komplek
hutan Sangkimah, Taman Nasional Kutai telah dilakukan pada tahun 1994.
Analisis dilakukan dalam areal 1 km persegi mulai dari tepi sungai sampai
500 m ke dalam hutan (Bismark, 1994).

2.1.2. Hutan Mangrove

Hutan mangrove sebagai contoh habitat bekantan dengan populasi


tinggi adalah mangrove tipe “riverine” di tepi Sungai Sangkimah Taman
Nasional (TN) Kutai (Bismark, 1994). Kawasan hutan mangrove tersebut
terbentang mulai dari pantai hingga 2 km ke arah hulu sungai. Tepi
sungai didominasi oleh nipah (Nypa fruticans), pohon apiapi (Avicennia
officinalis), Bruguiera parviflora, dan Rhizophora apiculata. Sebagian
lokasi penelitian di bagian pantai terdapat vegetasi hutan pantai yang

18
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

didominasi oleh Casuarina equisetifolia. Jenis tumbuhan yang ditemui di


lokasi penelitian tertera pada Tabel 5. Contoh habitat ini dapat menjadi
model habitat bekantan di hutan mangrove.

Tabel 5. Komposisi jenis tumbuhan di hutan mangrove di TN Kutai

Suku Jenis

Rhizophoraceae Rhizophora apiculata Bl


Rhizophora mucronata Poir.
Bruguiera gymnorhiza (L). Savigny
Bruguiera parviflora W.etA.
Bruguiera sexangula (Lour.) Poir.
Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob.
Ceriops roxburghiana Am.*
Sonneratiaceae Sonneratia alba J.E.Sm.
Verbenaceae A vicennia alba Bl.
Avicennia officinallis L.
Avicennia marina VieTh.*
Vitex pubescens Vahl
Combretaceae Lumnitzera littorea (Jack) Voigt.*
Myrtaceae Osbomia octodonta F.V.M.*
Eugenia cuprea K.et. V.*
Myrsinaceae Aegiceras comiculatum Blanco.
Rapanea umbellulata Merr.*
Ardisia humilis Vahl.*
Ardisia attenuata Miq.*
Meliaceae Aglaia cucullata (Roxb) Pellegrin
Melastomataceae Melastoma malabathricum Linn.*
Moraceae Ficus microcarpa L.
Ficus sp.l
Ficus sp.2
Ficus binendyldi Miq.
Rubiaceae Randia longiflora Lam.
Plectronia didyma Kurz.*
Tarezenna incerta K.etV.
Plectonia sp.
Euphorbiaceae Glochidion sp.*
Excoecaria agallocha L
Sapindaceae Guioa diplopetala Radlk.*
Goioca pleuropteris Radlk.*
Allophyllus cobbe Bl.
Malvaceae Hibiscus tiliaceus L.*
Pteridaceae Acrostichum aureum Linn.

19
HABITAT

Suku Jenis

Flacourtiaceae Flacourtia rucam Z.et.M.*


Guttiferaceae Callophyllum inophyllum L.
Anacardiaceae Buchanania arborescens Bl.
Flagellaceae Flagellaria indica L.*
Papiolinaceae Derris heterophylla Backer*
Pongamia pinnata Merr.*
Canavalia lineata D.C.*
Desmodium ubellatum D.C.*
Cyperaceae Cyperus umbellatus Thw.*
Aquifoliaceae Ilex cymosa Bl.*
Gramineae Paspalum conjugatum Berg.*
Polypodiaceae Nephrolepis biserrata Schott.*
Acanthaceae Acanthus sp.
Pandanaceae Pandanus tectorius Sol.*
Schizaeaceae Lypodium scandens S.W.*
Zingiberaceae Achasma walang Val.*
Vitaceae Vltis trlfolia L.
Convolvulaceae Ipomoea pescapre Roth.*
Palmae Nypa fruticans Wurmb.
Oncosperma tigillaria*
Casuarinaceae Casuarina equisetifolia J.R.&G.Forst*

Keterangan: *) Tumbuhan hutan pantai

Di hutan mangrove umumnya terdapat zonasi atau kelompok jenis


yang dominan. Terbentuknya zonasi ini dipengaruhi oleh pasang surut,
jauhnya vegetasi dari pantai serta faktor geomorfologi, ekofisiologi
tumbuhan, suksesi serta dinamika populasi jenis (Watson, 1928; Anwar
et al., 1984). Zonasi vegetasi di areal penelitian selain digunakan untuk
melihat pengelompokan jenis juga dapat menggambarkan sebaran jenis
pohon mangrove yang potensial sebagai pakan bekantan. Contoh zonasi
jenis tumbuhan yang dipetakan antara lain Aglaia cucullata, Avicennia
officinalis, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorhiza, Ceriops tagal, dan
Bruguiera parviflora (Gambar 4a, 4b, 4c, 4d, 4e, dan 4f).

20
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Gambar 4a. Zonasi jenis pohon mangrove Aglaia cucullata di habitat


bekantan TN. Kutai

Garis pantai

Sungai

Gambar 4b. Zonasi jenis pohon mangrove Avicennia officinalis di habitat


bekantan TN. Kutai

Garis pantai

Sungai

Gambar 4c. Zonasi jenis pohon mangrove Rhizophora apiculata di habitat


bekantan TN. Kutai

21
HABITAT

Gambar 4d. Zonasi jenis pohon mangrove Bruguiera gymnorhiza di habitat


bekantan TN. Kutai

Garis pantai

Sungai

Gambar 4e. Zonasi jenis pohon mangrove Ceriops tagal di habitat bekantan
TN. Kutai

Garis pantai

Sungai

Gambar 4f. Zonasi jenis pohon mangrove Bruguiera parviflora di habitat


bekantan TN. Kutai

22
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Dari zonasi tersebut terlihat bahwa R. apiculata mendominasi vegetasi


bahkan tumbuh bersama dengan jenis lainnya. Keadaan ini dapat terjadi
karena keadaan tanah hutan yang relatif padat dan bergambut dengan
lantai hutan didominasi oleh Acrostichum aureum. Zonasi jenis ditentukan
oleh kondisi tanah, di mana kondisi tanah yang lunak atau berlumpur
dalam ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia, sedangkan pada tanah
relatif keras ditumbuhi Rhizophora (Sugiarto, 1984). R. apiculata tumbuh
ke arah daratan tapi Rhizophora mucronata tumbuh pada tanah berlumpur
dalam (Anwar et al., 1984).
Diameter, tinggi, luas tajuk, dan kerapatan pohon berperan dalam
pembentukan struktur vegetasi. Dari pengamatan dan pengukuran
diameter serta tinggi pohon pada jalur pengamatan vegetasi diketahui
bahwa pohon bakau bisa mencapai diameter 140 cm. Frekuensi diameter
dan tinggi pohon dapat dilihat pada Gambar 5 (5a, 5b, 5c, 5d, 5e, dan 5f).
Pohon berdiameter > 50 cm dengan tinggi di atas 30 m, mempunyai fungsi
perlindungan dan pergerakan bekantan, terutama terhadap iklim mikro
yang memberikan kenyamanan sebagai tempat istirahat bekantan. Pohon
dengan tinggi antara 10-30 m berdiameter 20-40 cm mencapai jumlah
52%. Potensi ini mendukung aktivitas makan dan sumber pakan bekantan.
45

35
Tinggi (m)

25

15
Rhizophora apiculata
5

5 15 25 35 45 55 65 75 85
Diameter (cm)

Gambar 5a. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Rhizophora


apiculata di TN Kutai

23
HABITAT

45

Tinggi (m) 35

25

15

Bruguiera gymnorrhiza
5

5 15 25 35 45 55

Diameter (cm)

Gambar 5b. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Bruguiera


gymnorrhiza di TN Kutai

15

10

5
Aglaia cuculata

5 10 15 20 25 30
Diameter (cm)
Gambar 5c. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Aglaia cuculata di
TN Kutai

20

15

Avicennia officinalis

35 55 75 95 115 135
Di t ( )
Gambar 5d. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Avicennia
officinalis di TN Kutai

24
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

25
gg ( )

15

Bruguiera parviflora
5

5 15 25 35
Diameter (cm)
Gambar 5e. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Bruguiera
parvifloras di TN Kutai

15

10

5 Ceriops tagal

5 10 15 20 25
Di t ( )
Gambar 5f. Sebaran tinggi dan diameter pohon mangrove Ceriops tagal di TN
Kutai

Hubungan luas tajuk dengan diameter pohon dihitung dari jumlah


pohon yang ada dalam petak berukuran 10 m x 100 m, yaitu petak yang
dibuat untuk menggambarkan diagram profil vegetasi hutan bakau
dari tepi sungai hingga 100 m ke dalam hutan. Dari analisis didapatkan
hubungan linier antara luas tajuk (Y, dalam m²) dan basal area (X, dalam
cm²) dengan persamaan Y = 11,0559 + 0,01343 X (r = 0,69; n = 78; p <
0,005) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkiraan luas proyeksi tajuk pohon mangrove di habitat bekantan di TN Kutai

Tingkat Basal area rata- Luas tajuk rata-


Kerapatan Luas tajuk per ha
pertumbuhan rata per pohon rata per pohon
per ha (m²)
pohon (cm²) (m²)
Pohon 1756,45 59 34,645 2044,056
Tiang 347,50 188 15,723 2955,091
Pancang 30,04 508 11,459 5821,343

25
HABITAT

Dari Tabel 6 terlihat bahwa luas tajuk dan kerapatan pohon sangat
potensial dalam penyediaan sumber pakan bekantan terutama pada tingkat
tiang dan pohon (diameter 20-40 cm). Tutupan tajuk pohon berdiameter > 50
cm dan pancang berperan dalam menjaga kestabilan fluktuasi iklim mikro di
siang hari saat bekantan istirahat pada strata rendah (0-10 m).
Tanah hutan mangrove berbeda dengan tanah hutan lainnya, di mana
tidak ada drainase, kadar garam tinggi, kondisi anaerob, dan mempunyai
kandungan organik yang tinggi. Pembentukan tanah hutan mangrove ini
dipengaruhi oleh faktor fisik, melalui transportasi nutrisi oleh pasang,
gelombang, dan sungai, melalui endapan kimia dan faktor biotik yaitu
proses dekomposisi oleh jasad renik (Lear dan Turner, 1977).
Salinitas dan nitrogen merupakan faktor ekologis yang mempengaruhi
pertumbuhan hutan mangrove (Peng dan Xin-Men, 1983) dan parameter
Na/K merupakan faktor kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
anakan di samping salinitas (Bhosale dan Shinde, 1983). Sukardjo (1987)
melakukan analisa kadar C dan N tanah vegetasi mangrove kaitannya
dengan jumlah pohon dalam plot pengamatannya.
Di hutan mangrove TN Kutai, tidak terlihat perbedaan nyata antara
kadar N dan C pada masing-masing zonasi, demikian pula dengan Na/K
dan salinitas. Dari analisis ini dapat dikatakan bahwa kandungan organik,
Na, dan K serta salinitas tanah dalam konsentrasi yang merata di hutan
mangrove riverine (Tabel 7). Keadaan ini dapat disebabkan oleh zonasi
R. apiculata yang sangat dominan. Selain itu dominasi A. aureum sebagai
tumbuhan bawah secara fisik dapat berpengaruh dalam pengendapan
unsur hara ke dalam tanah. Konsentrasi C di dalam tanah antara 4,996-
5,995% menunjukkan konsentrasi yang relatif stabil di mana konsentrasi
di bawah 2,86% termasuk dalam kategori tidak stabil (Soegiarto, 1984).
Tingginya kadar organik tanah hutan ini dimungkinkan oleh karena
sebagian besar struktur tanahnya didominasi gambut dan tingginya
produksi serasah serta hara dari sungai.

Tabel 7. Konsentrasi rata-rata beberapa unsur kimia tanah dalam zonasi mangrove di
TN Kutai

Zonasi N% C% C/N Na/K NaCl %


B. parviflora 0,78 5,00 6,41 2,799 7,48
A. officinalis 0,61 5,00 8,20 2,982 7,21
B. gymnorhiza 0,91 4,99 5,53 3,234 7,37
R. apiculata 0,33 5,33 4,02 3,738 6,94
C. tagal 1,14 5,99 5,26 2,602 6,44

26
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Kadar N tanah di habitat mangrove tepi sungai habitat bekantan


berkisar 0,904-1,325%. Laporan Sukardjo (1987) menunjukkan bahwa
mangrove di Indramayu mempunyai kadar N tanah 0,08-0,203%
sedangkan Soegiarto (1984) menyebutkan angka kisaran 0,28-1,26% di
Pulau Rambut. Tingginya unsur C dan N dalam tanah ini memungkinkan
vegetasi hutan bakau tumbuh dengan baik sehingga kerapatan pohon
di hutan mangrove yang belum terganggu mencapai 755 pohon per ha
dengan produktivitas hutan yang tinggi. Hasil penelitian Peng dan Xin-
Men (1983) menunjukkan adanya kolerasi antara tinggi (Y) hutan bakau
dengan konsentrasi N (X) yang terdapat pada lapisan tanah 20-40 cm. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan persamaan log Y = 0,9373 + 3,124 X. Dilihat
dari kandungan organik (C), zonasi C. tagal mempunyai kadar C tanah
tertinggi yaitu 5,995 %. Kondisi tersebut juga dilaporkan oleh Johnstone
(1983), sedangkan nilai Na/K lebih tinggi pada zonasi Rhizophora
(Spenceley, 1983).
Habitat bekantan yang didominasi oleh R. apiculata (jumlah maupun
sebarannya) dapat mencapai indeks nilai penting (INP) lebih dari 200%
untuk tingkat pohon dan tingkat tiang. Kondisi ini juga terlihat di hutan
mangrove yang didominasi oleh R. apiculata di Sulawesi yang menunjukkan
INP tinggi, seperti di Sungai Ranu (Morowali, Sulawesi Tengah) yang
memiliki INP pohon R. apiculata sebesar 203,58% dan INP tiang 249,60%
dengan kerapatan 300 pohon/ha (pohon diameter > 10 cm) (Darnaedi
dan Budiman, 1982).
Salinitas sebenarnya tidak terlalu penting bagi kelangsungan hidup
jenis pohon bakau, namun diperlukan untuk menghindari kompetisi
dengan jenis yang tidak toleran terhadap salinitas tinggi (Mitsch dan
Gosselink, 1984). Pada tanah bersalinitas rendah (0,876%) akan terbentuk
zonasi R. apiculata murni (Sukardjo, 1987). Kondisi kadar garam tanah
yang relatif tinggi (6,44-7,475%), mendukung pembentukan zonasi jenis
lain walaupun tetap didominasi oleh R. apiculata. Pada kondisi salinitas
tanah cukup tinggi, tumbuhan menyimpan garam pada daun tua sebelum
gugur dan pada Avicennia, garam dapat dikeluarkan melalui kelenjar daun
(Lear dan Turner, 1977; Mitsch dan Gosselink, 1984; Field et aI., 1984).

2.2. Degradasi Habitat


Degradasi lahan habitat bekantan terjadi relatif cepat akibat nilai
ekonominya yang tinggi. Habitat tepi sungai adalah areal yang pertama
dilalui oleh masyarakat untuk menginvasi lahan di belakangnya, yang

27
HABITAT

dibuka untuk lahan pemukiman dan pertanian. Demikian pula dengan


terbentuknya perkampungan yang semuanya ini merupakan bentuk
degradasi habitat yang umum terjadi di hulu hingga ke muara sungai hutan
riparian yang berpotensi sebagai habitat bekantan.
Berkembangnya pemukiman dan areal pertanian di sepanjang hutan
tepi sungai menyebabkan penurunan dan berpencarnya populasi bekantan
antara 15-40 km (Bismark, 2002; Ma’ruf, 2004). Pada akhirnya, bekantan
yang tersisa, yang seharusnya merupakan penghuni asli, dianggap sebagai
hama pertanian oleh sebagian masyarakat (Sunjoto et al., 2005).
Pada tahun 1990 habitat bekantan telah dilaporkan hilang seluas
49% dan pada tahun 1995 dilaporkan tinggal 39% dan hanya 15% dari
habitat aslinya yang ada di kawasan konservasi (Meijaard et al., 2000).
Diperkirakan telah terjadi penurunan habitat sekitar 2% setahun.
Kerusakan habitat tidak hanya terjadi di luar kawasan konservasi, bahkan
telah memasuki kawasan konservasi. Pada tahun 2001 hutan dataran
rendah di kawasan konservasi Kalimantan telah terdegradasi lebih dari
56% (Curran et al., 2004). Degradasi habitat terlihat di Pulau Kaget, di
mana hanya 10% kawasan berhutan dan 90% menjadi areal pertanian
(Meijaard, 2000). Habitat tumbuhan pohon hanya berada dalam 20-50
m dari tepi sungai dengan kerapatan pohon 150 pohon per ha (Bismark,
1997). Kebakaran hutan yang luas terjadi di Taman Nasional Tanjung
Puting pada tahun 1997 menyebabkan habitat hilang sekitar 75% dan
pada tahun 1998 kebakaran hutan Taman Nasional Kutai menyisakan
habitat berhutan 5%.
Habitat bekantan yang spesifik, keterbatasan sumber pakan, dan
kompetisi dengan jenis primata lain, menyebabkan bekantan lebih sensitif
terhadap kerusakan habitat. Berdasarkan dampak peningkatan arus lalu
lintas sungai, pemanfaatan hutan berupa pengelolaan HPH mempercepat
kerusakan habitat dan percepatan ini dipacu oleh kebakaran hutan, illegal
logging, konversi lahan hutan gambut menjadi areal perkebunan dan
pertanian.
Kerusakan hutan karena illegal logging, dampak penambangan emas,
dan timbulnya tumbuhan pakupakuan di lahan hutan yang menghambat
regenerasi hutan juga mempunyai andil dalam penurunan kualitas
habitat bekantan. Namun jenis kerusakan yang sangat berdampak
negatif terhadap habitat bekantan adalah pemanfaatan hutan mangrove.
Walaupun keberadaan mangrove cukup luas di pantai, namun habitat
bekantan sangat terbatas pada tipe riverine mangrove.

28
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Identifikasi Meijaard (2000) menunjukkan beberapa kawasan yang


prioritas dalam perlindungan habitat bekantan serta tekanan yang
menyebabkan degradasi habitat di Kalimantan sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 8.
Degradasi habitat dan dampaknya terhadap perburuan dan konversi
lahan telah menurunkan populasi bekantan sebesar 90% dalam 20 tahun
dan di hutan mangrove penurunan populasi 3,1% per tahun (Bismark,
2002). Selain itu telah terjadi proses adaptasi bekantan yang terdesak
ke arah perkebunan namun tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap
sumber air, danau dan sungai dengan berbagai tumbuhan sebagai
sempadan sungai atau danau kecil (Soendjoto et al., 2004).

2.3. Keanekaragaman Fauna di Habitat Bekantan


Habitat hutan hujan Kalimantan mempunyai keanekaragaman jenis
fauna yang tinggi, di mana lebih dari 420 jenis burung dan 222 jenis
mamalia hidup di hutan Kalimantan. Lebih dari 50% burung dan lebih dari
35% jenis mamalianya adalah endemik Kalimantan, di mana 60% jenis
burung dan 81% jenis mamalia hidup di hutan dataran rendah (Curran
et al., 2004).

Tabel 8. Kawasan pelestarian untuk melindungi bekantan di Kalimantan (Meijaard dan


Nijman, 2000)

No. Prioritas kawasan Status* Populasi** Habitat*** Masalah utama

1. Gunung Palung TN 2 F, P, Ri, LoD Illegal logging


2. Kendawangan CA 2-3 F, P Illegal logging
3. Danau Sentarum TN 2-3 F, P, Ri Kebakaran hutan,
perburuan, logging
4. Sambas Paloh UNP 2 Ni, Ma, LoD, P Logging
5. Tanjung Puting TN 3 F, P, LoD Tambang emas,
logging, perburuan
6. Sungai Kalimantan CA/ UNP 2-3 F, P, Ri Reklamasi rawa
Tengah
7. Sungai Barito UNP 2 Ri Logging
8. Pulau Laut UNP ? Ri, LoD, F Logging
9. Teluk Balikpapan UNP 1-2 Ri, Ma, F Logging
10. Sungai Mahakam dan UNP 2 Ri, F, P Logging, kerusakan
danau hutan

29
HABITAT

No. Prioritas kawasan Status* Populasi** Habitat*** Masalah utama

11. Sungai Kedang Kepala CA/ UNP 1-2 Ri, F, P Perburuan, logging,
kebakaran
12. Kutai TN 1 Ri, F, P, LoD Logging, kebakaran
13. Sungai Kayan UNP 1 Ri, F, Ma, Ni Logging, perburuan
14. Sangkulirang UNP 1-2 Ri, F, Ma, Ni Logging
15. Sungai Sesayap, UNP 3 Ri, Ma, Ni, F Tambak udang,
Sungai Sebuku, logging
Sungai Sebakung
16. Delta Mahakam UNP 2 Ma, Ni Tambak udang,
logging

Keterangan :

* TN = Taman Nasional; CA = Cagar Alam; UNP = Bukan Kawasn Lindung


** Population: 1 < 100 individu; 2 100-1000 individu; 3 > 1000 individu.
*** Ma = Mangrove; F = Rawa Air Tawar; P = Rawa gambut; Ri = Riverine; LoD = Dipterokarpa
dataran Rendah; Ni = Nipah

Keanekaragaman hayati di Kalimantan ini merupakan bagian besar


dari keanekaragaman hayati Indonesia termasuk flora fauna, yang menjadi
modal dasar bagi berkembangnya beragam budaya dan suku. Berbagai
kegiatan seremonial dan ritual yang biasa dilaksanakan oleh banyak
suku di Indonesia tidak terlepas dari pemanfaatan keanekaragaman
hayati. Keanekaragaman hayati (keanekaragaman genetik, spesies, dan
ekosistem) Indonesia adalah yang tertinggi di dunia, dan sumberdaya
alam ini sebagai modal pembangunan, namun persoalan yang dihadapi
adalah bagaimana memanfaatkan keanekaragaman hayati secara lestari
(Sumardja, 2000).
Ancaman terhadap keanekaragaman fauna di Kalimantan juga
dipicu oleh adanya El-Nino penyebab kekeringan yang berdampak pada
perubahan musim berbuah yang tidak sejalan dengan reproduksi fauna
sebagai faktor penentu kelestarian populasi. Selain itu konsesi hutan yang
berbasis hasil hutan kayu, pembangunan hutan tanaman, dan lemahnya
pengawasan telah meningkatkan terjadinya fragmentasi dan deforestasi
habitat fauna (Curran et al., 2004).

2.3.1. Mamalia

Umumnya tanah di Kalimantan miskin hara terutama di hutan


bagian hulu yang didominasi oleh hutan dipterocarpaceae. Rendahnya

30
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

unsur hara tanah berdampak pada produktivitas tumbuhan terutama


tumbuhan sumber pakan satwa (Meijaard et al., 2006), sehingga biomas
satwa herbivor rendah. Dalam hal ini satwa herbivor besar, ungulata
membutuhkan garam (salt lick), termasuk bekantan membutuhkan
sumber pakan bermineral tinggi seperti di hutan mangrove. Rendahnya
mineral pada tanah hutan Dipterocarpaceae mempengaruhi sebaran dan
kestabilan populasi satwa herbivora (Bennet dan Sebastian, 1988).
Rendahnya tingkat kesuburan tanah menyebabkan tumbuhan
memproduksi senyawa sekunder sehingga daunnya kurang disukai satwa,
tetapi ada jenis satwa herbivor yang tidak terpengaruhi dengan unsur
tersebut. Unsur yang penting bagi vertebrata adalah Ca sebagai mineral
kunci. Rendahnya biomas, terbatasnya sebaran dan populasi herbivor
menyebabkan populasi mamalia predator juga rendah. Di Kalimantan
misalnya, hanya ditemui satu jenis macan, yaitu macan dahan, Neofelis
nebulosa yang jejaknya pernah ditemui di lantai hutan di bawah tegakan
pohon tidur bekantan (Bismark, pengamatan pribadi).
Jenis mamalia yang menyukai habitat bekantan di rawa gambut di
antaranya adalah orangutan (Pongo pygmaeus), Macaca fascicularis,
Presbytis spp., Hylobates agilis, dan Helarctos malayanus. Sedangkan di
hutan mangrove jenis mamalia yang lebih sering ditemui adalah Macaca
fascicularis dan Presbytis cristata. Sistem perakaran pohon mangrove yang
ada di atas permukaan tanah cukup menyulitkan bagi satwa teresterial
seperti Cervus unicolor untuk bergerak di lantai hutan, sedangkan mamalia
kecil jenis linsang cukup dominan di lantai hutan mangrove.

2.3.2. Burung

Habitat bekantan di hutan mangrove dengan kerapatan pohon yang


tinggi dan mempunyai beberapa strata menurut pertumbuhan pancang
dan tiang (Gambar 6) membuat habitat yang baik bagi jenis burung. Jenis
burung yang teridentifikasi di hutan mangrove habitat bekantan dapat
dilihat pada Tabel 9.
Keragaman jenis biota dalam suatu komunitas besar artinya dalam
pendugaan terhadap keadaan lingkungan dari komunitas tersebut. Dalam
hubungan dengan keragaman jenis burung di suatu komunitas, Karr
(1975) telah mengemukakan hipotesa bahwa keragaman jenis di suatu
komunitas mempunyai hubungan korelasi dengan sumberdaya yang ada
di komunitas serta berkorelasi pula dengan produktivitas maupun laju
aliran energi yang terdapat dalam komunitas tersebut.

31
HABITAT

Keterbatasan jumlah burung di hutan tropika disebabkan oleh


kompleksnya interaksi ekologi antara komunitas burung dengan habitatnya.
Di antara masalah ekologi yang erat kaitannya dengan komunitas burung
adalah faktor tingkat suksesi yang telah dicapai oleh suatu hutan, keadaan
curah hujan yang berhubungan dengan populasi serangga dan musim
buah, keragaman habitat serta hubungan antara burung dengan satwa liar
lainnya. Perbedaan keragaman jenis antara satu habitat dengan habitat
lainnya sebagian besar dipengaruhi oleh faktor fisik berupa keadaan iklim
serta struktur maupun komposisi vertikal dari tajuk pada masing-masing
habitat (Bismark, 1986).
Hutan mangrove mempunyai keragaman jenis pohon yang rendah dan
jarang terdapat buahbuahan yang berdaging sebagai makanan burung,
terutama burung pemakan buah. Tingginya keragaman jenis burung di
hutan mangrove disebabkan oleh keadaan ekosistem habitat yang relatif
stabil pada hutan yang belum terganggu sehingga terdapat kemantapan
sumber pakan terutama jenis serangga dan stabilnya iklim mikro.
Dalam komunitas yang mempunyai keragaman jenis pohon yang tinggi
terdapat lebih banyak jenis burung yang langka dan ditemukan burung-
burung khas pada komunitas tersebut. Bila pada komunitas dengan
keragaman jenis pohon yang rendah terdapat keragaman jenis burung
yang tinggi, maka jenis-jenis yang banyak adalah jenis yang mempunyai
sebaran luas, terutama terhadap mikro habitat (Thiollay, 1992).
Berdasarkan King et al. (1975), dari 42 jenis burung yang ditemukan
di hutan mangrove yang didominasi R. apiculata, satu jenis burung yang
hanya hidup di hutan bakau (2,4%), yaitu Cyornis rufigastra. Sedangkan
jenis lainnya mempunyai habitat yang luas, meliputi hutan dataran rendah,
hutan sekunder, bahkan ada yang hidup di habitat yang lebih terbuka
(Tabel 9).
Ciconia episcopus, Egretta, dan Anhinga menggunakan hutan
mangrove sebagai tempat beristirahat. Sedangkan Leptoptilos javanicus
menggunakan pohon B. mucronata sebagai tempat bersarang. Jenis-jenis
dari famili Cuculidae, Picidae, Muscicapidae, Eurylamiidae, dan Sylviidae,
terutama pemakan serangga, mencari makan di hutan mangrove. Pada
musim kemarau di Kalimantan, populasi serangga meningkat hingga 3-9
kali lipat sebagai sumber pakan burung (Pearson, 1975).
Pada habitat burung, keadaan stratifikasi tajuk pohon secara vertikal,
kerapatan daun, luas tajuk, dan jumlah pohon akan mempengaruhi
keanekaragaman jenis burung di setiap strata. Adanya kesamaan struktur

32
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

tajuk pada tempat yang berbeda akan memungkinkan adanya kesamaan


jumlah jenis burung, serta sebaliknya adanya kesamaan struktur daun,
tetapi terdapat jenis-jenis satwa lain sebagai persaing burung akan
menyebabkan keragaman jenis burung rendah.

Tabel 9. Jenis burung di habitat bekantan hutan mangrove

No. Jenis Famili


1. Anhinga melanogaster Phalacrocoracidae
2. Egretta sacra Ardeidae
3. Egretta intermedia Ardeidae
4. Ciconia episcopus Ciconiidae
5. Leptoptilos javanicus Ciconiidae
6. Heliastur indus Accipitridae
7. Spilornis cheela Accipitridae
8. Accipiter badius Accipitridae
9. Spizaetus alboniger Accipitridae
10. Charadrius peronii Charadriidae
11. Treron fulvicollis Columbidae
12. Treron bicincta Columbidae
13. Ducula aenea Columbidae
14. Ducula badia Columbidae
15. Streptopelia chinensis Columbidae
16. Eudynamys scolopancea Cuculidae
17. Phaenicophaeus javanicus Cuculidae
18. Centropus sinensis Cuculidae
19. Ketupa ketupu Strigidae
20. Pelargopsis capensis Alcedinidae
21. Halcyon coromanda Alcedinidae
22. Halcyon pileata Alcedinidae
23. Halcyon chloris Alcedinidae
24. Rhyticeros corrugatus Bucerotidae
25. Megalaima rafflesii Capitonidae
26. Dinopium javanense Picidae
27. Dinopium rafflesii Picidae
28. Chrysoloptes validus Picidae
29. Corydon sumatranus Eurylamiidae
30. Pericrocotus solaris Campephagidae
31. Oriolus chinensis Oriolidae
32. Corvus enca Corvidae
33. Trichastoma malaccense Timaliidae
34. Saxicola capraro Turdidae
35. Orthotomus sericeus Sylviidae
36. Cyornis rufigastra Muscicapidae

33
HABITAT

No. Jenis Famili


37. Rhipidura albicollis Muscicapidae
38 Rhipidura javanica Muscicapidae
39. Gracula religiosa Sturnidae
40. Anthreptes malacensis Nectariniidae
41. Nectarinia sperata Nectariniidae
42 Nectarinia calcostetha Nectariniidae

Tinggi (m)

40

30

20

10

­
10 m

­
100 80 60 40 20 (m)

Gambar 6. Diagram profil vegetasi hutan mangrove habitat burung, dari tepi
sungai ke dalam hutan (Ra = R. apiculata; Bp = B. parviflora; Ac =
A. cucullata; Ao = A. officinalis)

Kepadatan relatif daun pada setiap strata hutan mangrove berdasarkan


kerapatan pohon yang berketinggian di antara selang strata (seperti selang
ketinggian tiap 5 m) (Gambar 7) akan mempengaruhi frekuensi kehadiran
burung pada masing-masing strata.
Dari Gambar 7 terlihat bahwa kepadatan tajuk tertinggi terdapat pada
strata 15-25 m, kemudian menurun pada strata yang lebih tinggi. Kalau
dibandingkan dengan frekuensi kehadiran burung pada setiap strata,
burung lebih banyak dijumpai pada strata 5-15 m.

34
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Gambar 7. Diagram kepadatan pohon menurut ketinggian dan frekuensi


kehadiran burung di hutan mangrove

Tingginya frekuensi burung pada strata 0-15 m dapat disebabkan


oleh keadaan habitat mikro yang sesuai, karena di ketinggian tersebut
memudahkan burung untuk terbang melakukan foraging seperti mencari
makanan. Di samping itu tajuk yang rapat pada strata tinggi berfungsi
sebagai pelindung terhadap kestabilan habitat mikro di strata bawah
sehingga keseimbangan suhu dan kelembaban strata di bawah tidak
berfluktuasi tinggi. Berdasarkan pengamatan perbedaan fluktuasi suhu
dalam satu hari menyebabkan burung bermigrasi dari strata atas ke strata
bawah.

2.3.3. Reptilia

Reptil yang berpengaruh terhadap populasi bekantan di antaranya


adalah buaya sungai Tomistoma schlegeli sebagai predator (Galdikas,
1985), Varanus
2.3.3. salvator, dan Ophiophagus hannah (kobra). Varanus
Reptilia
salvator (biawak) lebih sering kontak dengan tanah atau lantai hutan,
sehingga berpotensi untuk menyebarkan ektoparasit bekantan, karena
bekantan sering ada di lantai hutan pada waktu istirahat siang. Jenis
ektoparasit yang hidup di habitat dan di tubuh biawak adalah Aponomma
lucasi. Perilaku biawak yang mencari makan di daerah lembab dekat
dengan sumber air memungkinkan biawak terserang ektoparasit darah.
Parasit darah dapat mengurangi kadar besi dalam darah dan anemia yang
berakibat pada proses respirasi dan metabolisme (Moen, 1973; Baker
dan Warthon, 1952). Reptil yang hidup di lantai hutan dimungkinkan
pula terkena berbagai jenis endoparasit, seperti bakteri yang hidup di

35
HABITAT

saluran pencernan. Graves et al. (1988) telah menganalisis jenis bakteri


yang terdapat pada kotoran (feses) reptil di Krakatau, di antaranya
ditemukan bakteri Citrobacter, Enterobacter, Pseudomonas, Acromonas,
dan Escherichia coli.
Pergerakan, daerah jelajah, dan waktu aktivitas biawak sangat
dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Untuk itu biawak menempati
mikrohabitat di bawah batu
b e s a r u n t u k m e n j a ga
keseimbangan suhu tubuh
(Christian et. al., 1983).
Perilaku biawak dalam
mencari mikrohabitat di
batu-batuan dan daerah
lembab dekat sumber air
yang teduh dapat mendukung
perkembangan populasi
caplak (ixodidae) di mana
telur caplak betina yang
menetas di tanah akan segera
mencari induk semang. A.
lucasi mempunyai sebaran
yang luas, sehingga
Gambar 8. Aponomma lucasi betina dilihat dari
punggung kemungkinan terserangnya
biawak dan ular oleh caplak
tersebut cukup besar pada habitat yang mengalami penurunan kualitas
terutama larva ektoparasit A. lucasi, besar kemungkinan dapat juga
menyerang bekantan. Bentuk A. lucasi betina dapat dilihat pada Gambar
8.
Ixodidae dapat menimbulkan masalah dalam kesehatan pada manusia
atau satwa. Pada satwa dapat menyebabkan penyakit anemia dan dapat
menularkan penyakit tipus, tularemia, dan “Q fever” pada manusia (Baker
dan Wharton, 1952).

2.3.4. Fauna Perairan

Fauna yang hidup di habitat di perairan sekitar habitat bekantan di


hutan mangrove terutama udang, kepiting serta jenis-jenis ikan. Kepiting
dan udang ini termasuk sumber protein hewani yang dikonsumsi oleh
bekantan. Fauna sungai yang sangat bernilai ekonomis di habitat bekantan
hutan rawa gambut adalah ikan arwana (Sclerophagus formosus) yang

36
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

sekarang populasinya sudah terancam akibat polusi air, tingginya lalu


lintas di perairan sungai, dan penangkapan di alam.
Selain permasalahan lingkungan perairan berupa polusi, penebangan
hutan juga berpengaruh pada keragaman dan populasi jenis ikan di hulu
sungai, terutama kawasan hutan riparian yang menjadi bagian pengelolaan
hutan produksi. Hasil penelitian perbandingan dampak pengelolaan hutan
konvensional (CNV) dan sistem reduce impact logging (RIL) terhadap
aliran nutrisi dan kualitas air di hulu sungai di Malinau Kalimantan Timur
menunjukkan perbedaan yang signifikan sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 10.

Tabel 10. Fisik kimia air dan jumlah plankton sungai

Kawasan Curah Parameter kualitas air Jumlah


bekas hujan TSS BOD COD DO plankton
tebangan (mm) N/P (ind./l)
(mg/l) mg/l mg/l mg/l
89 17,70 6.50 10.58 3.40 13,8 0 4.583
CNV
258 15,30 0.36 30.06 3.10 88,80 8.333
89 30,70 5.10 7.98 3.20 16,80 6.250
RIL
258 33,90 0.58 30.23 3.30 138,30 15.833

Tingginya N/P rasio dan residu tersuspensi di perairan RIL


menunjukkan tingginya bahan organik yang diproduksi dan dilepas dari
hutan bekas tebangan RIL sebagai sumber mineral dan hara bagi biota
perairan. Walaupun demikian nilai N/P rasio dengan angka di atas 20
tetap menunjukkan bahwa perairan sungai ada dalam kondisi oligotropik
yaitu input nutrient dan produsen pertama rendah, transparansi tinggi,
dan penyebaran jenis ikan merata (IETC, 1999).
Di stasiun penelitian Sungai Seturan, Malinau di mana terdapat areal
percobaan RIL dan CNV telah teridentifikasi 28 jenis ikan sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 11.

2.3.5. Parasit

Interaksi populasi primata dengan parasit akan berakibat negatif


terhadap pertumbuhan dan ketahanan populasi. Parasit dapat pula
mengakibatkan penurunan efisiensi energi metabolisme satwa inang
dan menurunnya fungsi dari sistem yang ada pada tubuh, seperti sistem
peredaran dan keseimbangan panas tubuh (Moen, 1973).

37
HABITAT

Tabel 11. Jenis dan sebaran ikan di hulu Sungai Seturan habitat primata

Lokasi perairan
Kerapatan Frekuensi
Fam.
No. Jenis ikan relatif relatif RIL CNV
(%) (%) Sungai
1 2 3 1 2 3

1 Anguilla malgumora Angui. 0,36 1,18 o

2 Anguilla nebulosa Anguil. 0,55 2,34 o o

3 Barbodes cf. ballaroides Cypr. 6,16 2,34 o o

4 Barbodes gonionotus Cypr. 11,23 4,70 o o o o

5 Clarias teijsmanii Clarii 0,72 1,18 o

6 Cyclocheilichthys apogon Cypr. 3,08 3,53 o o o

7 Gastromyzon lepidogaster* Bali. 0,36 2,34 o o

8 Gastromyzon spp.* Bali. 0,55 2,34 o o

9 Hampala macrolepidota Cypr. 1,81 3,53 o o o o

10 Hemibragus baramensis* Bagr. 7,25 5,88 o o o o

11 Hemibragus nemurus Bagr. 0,55 2,34 o o o o

12 Leptobarbus Cypr. 0,90 1,18


o
melanotaenia*

13 Macrognathus maculatus Masta. 0,36 1,18 o

14 Megalops ciprinoides Mega. 0,18 1,18 o

15 Nemacheilus saravacensis Bali. 0,18 1,18 o

16 Nematabremis everetti* Cypr. 17,57 7,01 o o o o o o

17 Neogastromyzon Bali. 0,18 1,18


o
niuwenhuisii*

18 Ompok cf. bimaculatus Silu. 0,18 1,18 o

19 Osteochilus waandersii Cypr. 3,08 7,01 o o o o o o

20 Parachela ingerkongi Cypr. 9,42 7,01 o o o o o

21 Puntius binotatus Cypr. 2,90 5,88 o o o o o

22 Puntius spp. Cypr. 2,53 7,01 o o o o o o

23 Rasbora argyrotaenia Cypr. 6,17 7,01 o o o o o o

24 Rasbora caudimaculata Cypr. 11,95 7,01 o o o o o o

25 Rasbora elegant Cypr. 1,45 3,53 o o o o

26 Rasbora lateristriata Cypr. 3,98 2,34 o

27 Tor tambra Cypr. 4,89 3,53 o o o

28 Garra borneensis* Cypr. 1,45 4,70 o o o o

Jumlah 11 11 10 14 10 6 23
*) Endemik Kalimantan

38
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Endoparasit bekantan dapat diketahui melalui feses dan dapat


diidentiftkasi di laboratorium. Sementara ini diketahui jenis endoparasit
bekantan yang dominan adalah cacing Trichiuris. Selain itu dalam feses
bekantan ditemukan telur Ascaris dan jenis Nematoda lainnya (Gambar 9).

Gambar 9. Telur Trichiuris dan Nematoda dalam feses bekantan

Trichiuris cukup berbahaya pada primata, dan jenis ini umumnya


ditemukan pada Macaca fascicularis (Matsubayashi et al., 1981),
orangutan dan simpanse (Rijksen, 1987). Jenis endoparasit lain
dalam saluran pencernaan orangutan adalah Strongyloides, Enterobius
buckleyi, Arborviata caucasia, Pithecostrongyloides, Trichostrongyloides,
dan Gasterodiscoides; dan pada orangutan yang direhabilitasi ditemukan
Ankylostoma basiliensi (Rijksen, 1978). Sedangkan pada M. fascicularis
ditemukan Oesophagustinum, Streptopharagus, Strongyloides, dan Bertiella
(Matsubayashi, 1981). Di hutan mangrove, bekantan hidup bersamaan
dengan kelompok M. fascicularis dan oleh karena itu sangat dimungkinkan
parasit yang ada pada M. fascicularis juga ditemukan pada bekantan.

39
BAB 3
STRUKTUR KELOMPOK

Di alam tidak ada jenis mamalia yang betul-betul hidup soliter.


Paling tidak kebutuhan pasangan dalam perkawinan atau kebutuhan
pemeliharaan, seperti menyusu pada saat bayi. Dengan demikian satwa
membutuhkan hubungan sosial, dan kehidupan sosial primata dapat
terlihat melalui sistem sosial dengan berkelompok.
Faktor penting yang mempengaruhi besar kelompok dan organisasi
sosial primata adalah sumber pakan (Jolly, 1972; Clutton-Brock dan
Harvey, 1977; Gittin dan Raemakers, 1980), tekanan predator (Jolly,
1972; Tilson, 1977), dan pengaruh parasit (Freeland, 1976). Menurut
Terborgh (1984) besar kelompok primata terbentuk oleh hasil interaksi
jenis dengan lingkungan, meliputi besar tubuh dan demografi, serta seleksi
dalam jenis kelamin. Primata bersifat poligami, dan dalam kehidupannya
terkait dengan kompetisi terseleksi melalui perbedaan besar tubuh dan
perkembangan otot pada jenis jantan (Clutton-Brock, 1977).

3.1. Morfologi dan Geometri


Bekantan dewasa menunjukkan perbedaan bentuk dan ukuran tubuh
yang nyata antara jantan dan betina (seks dimorphisme) (Kern, 1964;
Bennett dan Sebastian, 1988; Yeager, 1989). Perbedaan ini terlihat pada
besar tubuh dan bentuk hidung. Jenis jantan memiliki hidung yang relatif
besar, alat kelamin eksternal, terdapat warna putih berbentuk segi tiga
pada bagian pinggul (Gambar 10) serta berkembangnya otot yang kuat.
Betina relatif lebih kecil, puting susu jelas serta hidung lebih kecil dan
runcing. Berat badan jantan berkisar antara 20-22 kg dan betina antara
10-12 kg (Yeager, 1990). Berat badan bekantan jantan di hutan mangrove
berkisar antara 22-27 kg dan betina antara 8-17 kg (Bismark, 2005) (Tabel
12).
Perbedaan bentuk dan ukuran tubuh bekantan jantan dan betina
(dikenal sebagai geometri tubuh) meliputi panjang badan dan kepala (atau
tinggi saat duduk), lebar bahu, panjang ekor, dan luas permukaan tubuh.
Pengukuran luas permukaan tubuh disajikan seperti pada Tabel 13.

41
STRUKTUR KELOMPOK

Tinggi duduk, lebar bahu, dan panjang ekor ditentukan sebagai


parameter geometri tubuh bekantan yang mudah digunakan untuk
membedakan kelas umur bekantan saat satwa beristirahat pada posisi
duduk dengan ekor terjuntai ke bawah.

Gambar 10. Perbedaan warna pinggul bekantan jantan dan betina dewasa

Tabel 12. Berat badan bekantan menurut seks dan kelas umur

Kelas umur Berat (kg) Rata-rata (kg)


Dewasa (jantan) 22-27 25,17
Setengah dewasa (jantan) 5-8 6,67
Remaja (jantan) 4 4
Dewasa (betina) 8-17 12,50
Setengah dewasa (betina) 5 5
Remaja (betina) 3,5 3,5
Bayi 1,6 1,6

Perbedaan geometri bekantan jantan dan betina terlihat pada bentuk


hidung, di mana hidung yang jantan lebih besar dan yang betina lebih
runcing. Di samping itu lebar bahu betina (17,5-18 cm), sama dengan 2/3
lebar bahu jantan (23-32 cm) dan tinggi betina (55-58 cm), sama dengan
4/5 dari tinggi jantan (60-73 cm) sehingga luas permukaan tubuh betina

42
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

sama dengan 2/3 luas permukaan tubuh yang jantan. Ukuran tubuh betina
dewasa hampir sama dengan jantan setengah dewasa (Tabel 14).
Menurut Bennett dan Sebastian (1988) besar tubuh bekantan setengah
dewasa lebih dari 3/4 tubuh dewasa sedangkan yang remaja kurang dari
3/4 bagian tubuh dewasa. Walaupun tinggi duduk jantan setengah dewasa
sama dengan 3/4 dari jantan dewasa, namun lebar bahunya sama dengan
2/3 dari dewasa dan luas permukaan tubuhnya sama dengan1/2 dari luas
tubuh dewasa (Tabel 15).

Tabel 13. Metode pengukuran luas permukaan tubuh bekantan

No. Bagian tubuh Rumus penentuan luas


1. C. hidung C1 Luas = [(C1 + C2)/2]L1 = ...cm²
2. C. muka C2
3. L. hidung-mata L1
4. L. kepala L2 Luas = [(C2 + C3)/2]L2 =....cm²
5. C. leher atas C3
6. C. leher bawah C4 Luas = [(C3 + C4)/2]L3 = ...cm²
7. L. leher L3
8. L. telinga L4 Luas = 3‫(ת‬W1 x L4)/4 = ..cm²
9. W. telinga W1
10. C. badan atas C5
11. C. pinggang C6 Luas = [(CS + C6)/2]L5 = ..cm²
12. L. badan L5
13. C. lengan atas C7
14. C. siku C8 Luas = (C7 + Ca) L6 = ...cm²
15. L. lengan atas L6
16. L. lengan bawah L7 Luas = (Ca + Cg) L7 = ...cm²
17. C. pergelangan tangan C9
18. C. paha CI0
19. C. lutut C11 Luas = (C10 + C11) L8 = ....cm²
20. L. paha L8

43
STRUKTUR KELOMPOK

No. Bagian tubuh Rumus penentuan luas


21. L. kaki L9 Luas = (C11 + C12) L9 = ...cm²
22. C. Pergelangan kaki CI2
23. L. telapak tangan LI0 Luas = (L10 x W2) 4 = ...cm²
24. W. telapak tangan W2
25. C. jari tangan CI3 Luas = (L11 x C13) 2 = ...cm²
26. L. jari (5 buah) L11
27. L. telapak kaki L12 Luas = (LI2 x W3) 4 = ...cm²
28. W. telapak kaki W3
29. C. jari kaki C14 Luas = (L13 x C14) 2 = ...cm²
30. L. jari kaki (5 buah) L13
31. C. ekor C15
32. L. ekor L14 Luas = L14 x C15 = ...cm²
Luas total = .....cm²
C = Lingkaran, L = Panjang, W = Lebar

Tabel 14. Morfologi bekantan

Tinggi Panjang Lebar Luas


Kelas duduk ekor bahu permukaan
Kelamin E/Td Td/B
umur (cm) (cm) (cm) kulit (cm²)
(Td) (E) (B) (L)
Dewasa ♂ 65,50 69,95 26,10 1,02 2,63 7204,26
Dewasa ♀ 56,25 58,75 17,89 1,05 3,15 4135,22
Setengah ♂ 51,67 54,33 16,67 1,05 3,15 3904,91
dewasa
Setengah ♀ 50,00 47,00 14,00 0,94 3,57 3020,75
dewasa
Remaja ♂ 38,00 51,75 14 ,00 1,36 2,70 2828,11
Bayi ♀ 32,00 58,00 12,00 1,81 2,60 -

44
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Tabel 15. Indeks geometri bekantan

Seks dan kelas umur Td E B L


Betina dewasa/jantan dewasa 4/5 4/5 2/3 >1/2
Jantan setengah dewasa/jantan dewasa 3/4 3/4 2/3 >1/2
Betina setengah dewasa/betina dewasa >4/5 4/5 3/4 3/4
Jantan setengah dewasa/betina dewasa >4/5 >4/5 >4/5 >4/5

Selain dari ukuran besar tubuh dan tanda-tanda yang dikemukakan


Bennett dan Sebastian (1988), penentuan kelas umur bekantan dapat
dilihat dari perbandingan panjang ekor dengan tinggi duduk (E/Td) serta
tinggi duduk dengan lebar bahu (Td/B). Perbandingan ini dapat diamati
di lapangan saat bekantan dalam keadaan istirahat dengan posisi duduk.
Untuk kelas umur dewasa dan setengah dewasa, nilai E/Td sekitar 1 di
mana tinggi dan panjang ekor relatif sama, sedangkan untuk kelas umur
remaja, panjang ekor adalah 1⅓ tinggi badan sedangkan bayi, ekornya
lebih dari 13/4 tinggi duduk.
Indeks Td/B untuk jantan adalah 2,63 atau tinggi badan sama dengan
2 /3 lebar bahu. Indeks pada betina dewasa sama dengan indeks pada
2

jantan setengah dewasa yaitu 3, atau tinggi duduk 3 kali lebar bahu,
sedangkan untuk kelas umur remaja dan bayi, panjang badan dan kepala
sama dengan 22/3 lebar bahu, sama dengan indeks pada jantan dewasa.
Parameter geometri yang mudah diamati di lapangan dan erat kaitannya
dengan besar tubuh bekantan yang dicirikan dengan luas permukaan
tubuh adalah tinggi duduk dan lebar bahu. Analisis parameter tersebut
secara matematik sangat ditentukan oleh variasi dan jumlah sampel yang
ada. Dari sampel yang ada, bekantan jantan dan betina dapat mewakili
setiap kelas umur walaupun tidak dalam jumlah yang sama (Tabel 13 dan
Tabel 16).
Luas permukaan anggota gerak (kaki dan tangan) bekantan rata-
rata adalah 52,65% dari luas permukaan tubuh. Pada rusa dengan berat
badan 60 kg, luas anggota geraknya hanya 36,9%. Dalam hal ini, pelepasan
panas secara konveksi melalui kaki rusa relatif besar dibandingkan dengan
luas permukaannya (Moen, 1973). Bekantan yang melakukan aktivitas
secara arboreal dengan luas permukaan anggota gerak relatif lebih besar
dari rusa (52,65%) memungkinkan terjadinya pelepasan panas tubuh
secara konveksi yang relatif lebih besar melalui anggota gerak pada saat

45
STRUKTUR KELOMPOK

melakukan pergerakan quadrupedal (pergerakan dengan menggunakan


empat kaki).
Menurut pengamatan, bekantan lebih banyak istirahat setelah aktif
makan (42,3%). Pada waktu istirahat satwa ruminansia memproses
makanan dalam saluran pencernaan dan pada saat ini pula panas banyak
terlepas melalui saluran pencernaan (Moen, 1973).
Dalam hubungan ini bekantan memiliki volume saluran pencernaan
lebih besar dari primata pemakan daun lainnya, yaitu 8.371 cm³ sedangkan
jenis Presbytis melalophos, P. rubicunda, dan P. obscura masing masing
3.168, 3.113, dan 3.805 cm³ (Bennett, 1983). Untuk menjaga keseimbangan
suhu, bekantan melakukan istirahat atau tidur dalam posisi duduk dengan
anggota gerak mendekap ke bagian tubuh agar pelepasan panas secara
konveksi dan evaporasi dapat dikurangi.

Tabel 16. Proporsi luas permukaan tubuh bekantan (%)

Kelas umur Kelamin Kepala Leher Badan Tangan Kaki Ekor


Dewasa ♂ 5,83 2,76 35,60 21,05 28,46 6,30
Dewasa ♀ 5,09 2,35 32,27 21,61 30,86 7,82
Setengah
♂ 6,14 3,37 29,50 23,01 30,50 7,48
dewasa
Setengah
♀ 5,54 3,63 30,20 24,40 29,23 7,00
dewasa
Remaja ♂ 3,92 2,69 31,28 20,45 33,73 7,83
Rata-rata 5,30 2,90 31,87 22,10 30,55 7,29

3.2. Sistem Sosial


Faktor yang mempengaruhi jumIah individu dalam kelompok dan
organisasi sosial primata adalah kepadatan populasi, sumber pakan,
predator, dan lingkungan yang memungkinkan untuk memelihara anak
dengan baik. Faktor yang sangat berpengaruh di antara faktor di atas
juga tergantung pada jenis satwanya. Selain itu juga dipengaruhi oleh
phylogenetik satwa dalam berperilaku (Raemakers dan Chivers, 1980)
maupun jenis kelamin, seperti perilaku betina sangat tergantung pada
sumber pakan dibandingkan dengan jantan (Bennett, 1983). Model dari

46
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

faktor yang dapat mempengaruhi organisasi sosial primata dapat dilihat


pada Gambar 11.

Gambar 11. Faktor yang berpengaruh dalam sistem sosial primata (P = dasar
kecenderungan polygini) (Raemakers dan Chivers, 1980)

Faktor utama yang menentukan perilaku sosial primata adalah


seleksi pakan dan kecenderungan dari mamalia untuk menganut polygyni
(Raemakers dan Chivers, 1980). Pada burung, sistem monogami benar-
benar berperan karena jantan akan melakukan apa saja terutama saat
betina bertelur (Clutton-Brock dan Harvey, 1977; Raemakers dan Chivers,
1980).
Kelompok primata dalam jumlah kecil dengan teritorial sempit,
jarang berpencar dalam mencari makan sehingga memaksa kelompok ini
membentuk sistem sosial monogami (kelompok 2-6 individu) terutama
jantan, karena yang betina tidak dapat mempertahankan teritorial sendiri.
Perilaku menjaga teritorial ini akan memungkinkan untuk menjamin
anaknya agar dapat berkembang (Raemaekers dan Chivers, 1980).
Presbytis yang berkelompok dalam jumlah relatif besar (5-19 individu)
mencari makanan di dalam ruang pengembaraan (home range) secara

47
STRUKTUR KELOMPOK

berpencar dengan membentuk anak kelompok sebagai adaptasi terhadap


keterbatasan dan tersebarnya sumber pakan (Curtin, 1980).
Predator juga mempengaruhi perilaku sosial. Primata dalam kelompok
besar akan berkomunikasi lebih baik dalam mendeteksi predator dan
sumber pakan sehingga meningkatkan upaya penyelamatan terhadap
ancaman predator (Sussman, 1977). Hal ini sangat penting dilakukan pada
habitat yang struktur fisiknya sudah terganggu. Habitat yang terganggu
dapat mempengaruhi perubahan komposisi dan jumlah individu dalam
kelompok bekantan (Yeager, 1991).

3.3. Komposisi Kelompok


Populasi bekantan tersebar dari pantai hingga hutan hulu sungai yang
didominasi dipterocarpaceae yang berjarak 70 km dari pantai (Bismark
dan Iskandar, 2002), di Sungai Murung Barito Utara, 600 km dari pantai,
dan bahkan di hutan karet Kalimantan Selatan yang berjarak 300 km dari
pantai (Soendjoto et al., 2005). Populasi bekantan ditemukan tersebar
tidak merata, di Sungai Sangatta Kalimantan Timur (1986) tersebar antar
kelompok 4-25 km (rata-rata 10,6 km) dan tersebar dalam jarak 18-40 km
(Bismark dan Iskandar, 2002).
Daya dukung habitat terlihat dari besaran struktur kelas umur dalam
populasi bekantan. Populasi bekantan dibangun oleh kelompok-kelompok
bekantan dengan jumlah individu yang sangat bervariasi, yaitu antara
6-16 individu per kelompok (Bennet dan Sebastian, 1988), 3-17 individu
(Yeager, 1992), dan 17-25 individu (Bismark, 1994). Di Pulau Kaget yang
luasnya 247 ha pernah terdapat 19 kelompok bekantan dengan jumlah
individu kelompok berkisar antara 4-24 individu (Bismark, 1997).
Rata-rata individu kelompok bekantan di hutan mangrove Taman
Nasional Kutai adalah 21 individu (17-25 individu). Jumlah individu
kelompok bekantan cukup bervariasi yaitu antara 6-16 individu (Bennett
dan Sebastian, 1988), 12-27 individu (Kern, 1984), 11-56 individu
(Ruhiyat, 1986), dan 3-17 individu (Yeager et al., 1989).
Pada umumnya jumlah anggota kelompok primata dalam selang waktu
tertentu memiliki sistem sosial yang sama. Untuk kelompok dengan variasi
jumlah 5-25 individu kemungkinkan punya lebih dari satu sistem sosial.
Sistem sosial yang dimaksud adalah sistem multi-males (banyak jantan),
satu jantan dengan beberapa betina, sistem berpindah antar anggota
kelompok (fission fusion), poligami, monogami, dan soliter (Gambar 12).

48
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Terdapat perbedaan pendapat mengenai sistem sosial bekantan. Kern


(1964) mengemukakan bahwa sistem sosial bekantan agak longgar sehingga
dapat terjadi perpecahan dan penggabungan anggota antar kelompok
yang berbeda. Dengan sistem ini dapat ditemui kelompok yang lebih dari
60 individu (Kern, 1964; Bismark, 1986). Salter et at. (1985) menemukan
kelompok hingga 50 individu yang kemudian berpencar saat meninggalkan
lokasi tempat tidur dan kelompok ini dapat digolongkan pada fission fussion.

Tabel 17. Kelompok dan populasi bekantan di beberapa tipe habitat

Besar Komposisi kelompok (rata-rata individu)


kelompok Jantan Betina Setengah Populasi
Lokasi habitat Remaja Bayi
(rata- dewasa dewasa dewasa per km²
rata) (R) (B)
(DJ) (BD) (SD)
Hulu sungai 12 1 3,75 1,75 2,75 2,25 0,83
Muara sungai 17,4 1,4 6,4 2,8 3,4 1,8 8,9
Hutan mangrove 21 2,75 7 3,5 3,25 4,5 8,2
C.A. Pulau Kaget 8,7 1 3,7 1,3 1,3 1,3 -
DAS S. Wain 14,25 2,25 5,5 2,25 2,5 1,75 -
Hutan karet 17,6 1,2 3,4 4,6 4 2 -

Gambar 12. Sistem sosial primata dan jumlah individu dalam kelompok
(Terborg, 1984)

49
STRUKTUR KELOMPOK

Bennett dan Sebastian (1988) menyimpulkan bahwa sistem sosial


bekantan adalah harem, di mana terdapat beberapa betina dan satu jantan
dewasa (Tabel 18).

Tabel 18. Komposisi kelompok bekantan di Suaka Margasatwa Samunsam Sarawak


(Bennett dan Sebastian, 1988)

Jantan Betina
Jantan Betina
Kelompok setengah setengah Remaja Bayi Jumlah
dewasa dewasa
sewasa dewasa
SS 1 0 7 1 2 5 16
D 1 0 2 0 1 1 5
F 1 0 3 0 2 2 8
V 1 0 6 0 3 3 13
B 1 0 2 0 2 1 6
K 1 1 2 0 1 1 6

Yeager (1989, 1990, 1991) melaporkan bahwa sistem sosial harem


pada bekantan adalah stabil sedangkan sebelumnya Kawabe dan Mano
(1972) dalam Yeager (1990) mendeskripsikan bahwa sistem kelompok
bekantan adalah multi-male. Bila dilihat dari jumlah individu kelompok
bekantan yang bervariasi antara 17-25 individu maka menurut sistem
sosial primata yang dikemukakan Terborg (1984), kemungkinan sistem
sosial bekantan adalah harem atau multi-male. Sistem sosial bekantan
lebih ditentukan pada jumlah dan stabilitas jantan dalam kelompok.
Sistem harem terlihat saat pembentukan sub kelompok (Tabel 20).
Sistem sosial bekantan di hutan mangrove lebih mengarah pada
sistem multi-male, di mana dalam tiap kelompok terdapat lebih dari satu
jantan dewasa. Perbandingan individu jantan dewasa dengan betina
dewasa (seksrasio) adalah 1:2,55. Di samping itu perpindahan anggota
antar kelompok juga terjadi (Bismark, 1994). Penelitian Ruhyat (1986)
menunjukkan bahwa kelompok bekantan yang diteliti mempunyai jantan
dewasa antara 1-5 individu untuk kelompok 11-56 individu.
Peran jantan dalam kelompok seks dimorphisme adalah untuk
mempertahankan teritorial, terutama kaitannya dengan sumber pakan.
Bagi jenis primata yang kurang selektif terhadap sumber pakan, organisasi
sosialnya akan menjurus kepada kelompok besar multi-male dan seks

50
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

dimorphisme dan bahkan sistem sosial fission-fusion (Raemakers dan


Chivers, 1980).
Perbedaan sistem sosial bekantan berkaitan erat dengan kondisi
habitat dan sumber pakan. Habitat bekantan di hutan mangrove riverine
memiliki ciri-ciri keragaman jenis pohon yang rendah namun kerapatannya
tinggi, dan terdapat jenis pohon yang sangat dominan, yaitu R. apiculata
yang menjadi sumber pakan pokok (71,9%) dalam komposisi pakan
bekantan. Jenis ini dominan dan membentuk zonasi dengan kerapatan 391
pohon per ha serta mempunyai kualitas kandungan organik dan mineral
yang baik. Kondisi ini dapat menghindarkan persaingan antar jantan
dalam mempertahankan ruang pengembaraan dan ini terlihat pula pada
sempitnya ruang pengembaraan kelompok bekantan yaitu 19,4 ha. Dari
analisis ini terlihat bahwa kondisi habitat, kualitas dan kuantitas sumber
pakan di hutan bakau dapat mengurangi kompetisi antar jantan sehingga
mengarah terbentuknya kelompok yang multi-male.
Kompetisi juga dapat terhindari oleh adanya kemampuan bekantan
dalam memanfaatkan lantai hutan sebagai tempat istirahat dan mudahnya
anggota kelompok terpecah membentuk anak (sub) kelompok yang relatif
kecil jumlah anggotanya. Pembentukan sub-kelompok ini merupakan
strategi dalam perilaku makan. Penggunaan lantai hutan untuk berjalan
akan menguntungkan bagi penghematan energi serta memudahkan dalam
pemisahan dan penggabungan sub-kelompok (Raemaker dan Chivers,
1980). Perilaku pembentukan sub-kelompok dan semi teresterial terlihat
pula pada M. fascicularis (Kurland, 1973; Aldrich-Blake, 1980), Presbytis
obscura dan Presbytis melalophos (Curtin dan Chivers, 1979).

Tabel 19. Sistem sosial pada primata jenis Colobinae (Bennett, 1983)

Jumlah
Sistem sosial
Jenis (individu/
(jumlah jantan per kelompok)
kelompok)
Hutan hujan
Colobus badius teprosceles 50 Multi-male (1 jantan)
Colobus guereza 8 Umumnya 1 jantan, kadang-kadang ada
lebih dari satu
Colobus satanas 15 1-3 jantan
Presbytis johnii 13 Umumnya 1 jantan

51
STRUKTUR KELOMPOK

Jumlah
Sistem sosial
Jenis (individu/
(jumlah jantan per kelompok)
kelompok)
P. obscura 15 Umumnya 1 jantan
P. hosei 7 Umumnya 1 jantan
P. rubicunda 7 Umumnya 1 jantan
P. thoimasi 9 Umumnya 1 jantan
P. potenziani 5 Kelompok monogami
Simias concolor Bervariasi Monogami dan kadang-kadang ada 1
jantan
Presbytis pileata 7 Umumnya 1 jantan
Hutan gallery
Colobus badius rufomitratus 19 Umumnya 1 jantan
Hutan bakau dan tepi sungai
P. cristata 15 Umumnya 1 jantan
Nasalis larvatus Bervariasi Multi-male dan bervariasi (harem,
fission-fusion)
Hutan musim
P. senex 9 Umumnya 1 jantan
P. entellus Bervariasi Antara 1 sampai multi-male

Sub kelompok bekantan berkisar antara 1-19 individu (rata-rata 8,5).


Sub kelompok ada yang tidak memiliki jantan, dalam hal ini hanya terdiri
dari betina dewasa, setengah dewasa, remaja, dan bayi; sub-kelompok
lainnya ada yang memiliki satu, dua, dan tiga jantan dewasa (Tabel 20).

Tabel 20. Komposisi dan jumlah individu sub-kelompok bekantan

Rata-rata komposisi Rata-rata


Jumlah %
Dj BD SD R B jumlah

2-17 43,86 1 3,72 1,12 1,40 1,84 9,12


3-19 22,81 2 4,46 1,54 1,31 1,69 11,00
9-18 5,77 3 4,20 1,00 2,00 1,00 11,20
2-7 14,04 - 3,38 0,13 0,50 1,25 5,25
3-4 7,03 2,55 - 1,25 0,25 - 3,75
1 (Soliter) 3,51 1 - - - - 1

52
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Freksuensi terbentuknya sub-kelompok dengan satu jantan dewasa


adalah yang tertinggi (43,86%) dengan jumlah individu 2-17 atau rata-
rata 9,12 individu. Pembentukan sub-kelompok ini terjadi saat bekantan
melaksanakan aktivitas harian, mencari makan, dan istirahat. Sub
kelompok dapat pula terjadi sewaktu berada di lokasi tidur, di tepi sungai.
Frekuensi dari masing-masing jumlah individu dalam sub kelompok
terlihat pada Gambar 13.
Sub-kelompok yang memiliki satu jantan dewasa dengan jumlah rata-
rata 9,12 individu sama dengan besar kelompok rata-rata bekantan (9
individu) dengan sistem sosial harem (uni-male) yang stabil (Bennett dan
Sebastian, 1988).

Gambar 13. Persentase jumlah individu sub-kelompok bekantan di Taman


Nasional Kutai

Pembentukan sub-kelompok yang dimulai sejak bekantan


meninggalkan pohon tempat tidur berhubungan dengan efisiensi
pemanfaatan waktu mencari makan dan penghematan energi untuk
aktivitas pergerakan. Hal ini dimungkinkan pula dengan tersebar ratanya
sumber pakan utama yaitu Rhizopora apiculata. Sebaran sub-kelompok
yang berjarak antara 50-150 m (rata-rata 96 m) satu dengan lainnya
juga bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar
individu dalam kelompok dan bermanfaat dalam pengontrolan daerah
jelajahnya. Penggabungan sub-kelompok kembali terjadi saat akan kembali
ke tepi sungai untuk bermalam.
Pemisahan dan penggabungan individu tidak hanya ter-jadi pada
beberapa sub-kelompok dari kelompok yang sama. Penggabungan

53
STRUKTUR KELOMPOK

terjadi pula antar kelompok, terutama di lokasi tempat tidur di tepi


sungai (Bismark, 1986). Pada tahun 1985 kelompok bekantan di Sungai
Sangkimah Taman Nasional Kutai bergabung dalam jumlah lebih dari
80 individu dan 117 individu dalam waktu 3-7 hari (rata-rata 5,5 hari).
Pada saat tersebut belum banyak terjadi pembukaan hutan bakau untuk
dijadikan tambak dan pemukiman. Penggabungan kelompok satu dengan
yang lain berhubungan dengan perilaku anti predator (Yeager, 1992).
Dengan kecenderungan meningkatnya jumlah anggota pada sub-
kelompok yang beranggotakan lebih dari satu jantan memperkuat bahwa
kelompok bekantan di hutan bakau lebih cenderung bersifat multi-male.
Hal ini diperkuat pula dengan jarang ditemukan (3,5%) agonistik antar
jantan dalam satu kelompok atau antar kelompok. Kasus agonistik dapat
dilihat dari adanya aktivitas menggoyang cabang pohon dan mengangakan
mulut serta ereksi penis pada jantan (Yeager, 1992).
Dalam Tabel 20 terlihat bahwa sub-kelompok dapat terdiri dari jantan
saja dan ada pula jantan yang terpisah (soliter). Oleh karena individu-
individu tersebut berupa sub-kelompok maka dapat bergabung kembali
dengan kelompoknya. Menurut Bennett dan Sebastian (1988) kelompok
jantan dan jantan soliter umumnya bergabung dengan kelompok harem,
terutama bila berada di tepi sungai.
Kasus fission-fusion dalam kelompok bekantan terlihat pada kelompok
dengan jumlah individu 17, pada bulan Agustus 1993 berubah menjadi 22
individu. Perubahan akibat penambahan 4 betina dewasa dengan 2 bayi
dan keluarnya satu jantan dewasa (Bismark, 1994). Kasus perpindahan
betina dewasa dengan bayi juga dilaporkan oleh Bennett dan Sebastian
(1988).
Perpindahan betina dewasa dari satu kelompok ke kelompok lain
terjadi saat berasosiasi atau penggabungan kelompok dengan kelompok
lain di tepi sungai. Perpindahan betina dewasa di antara kelompok
berlainan juga terjadi pada monyet Papio hamadryas, Colobus badius,
Alouatta seniculus, Alouatta palliata, Gorilla gorilla, Pan troglodiates, dan
Colobus satanas (Bennett dan Sebastian, 1988). Perpindahan betina ini
menguntungkan dalam menghindari terjadi inbreeding, memperbaiki
status sosial betina, menghindari kompetisi dalam mendapat pakan, dan
menghindari kemungkinan pembunuhan bayi oleh jantan dominan, serta
untuk mendapatkan kelompok yang stabil guna memelihara anak dengan
baik.

54
BAB 4
POPULASI DAN SEBARAN

Hutan lahan basah yang meliputi hutan rawa gambut, hutan tepi
sungai, dan hutan payau, dinilai sangat potensial dikembangkan menjadi
kawasan budidaya untuk menunjang perekonomian masyarakat lokal
maupun regional. Pemanfaatannya dapat dikaitkan dengan pengelolaan
hutan produksi, pengembangan lahan pertanian maupun pengembangan
wilayah. Dari segi ekosistem, hutan rawa berperan sebagai penampung air
hujan sehingga berfungsi sebagai pengendali banjir, sumber air minum,
dan pencegah intrusi air laut (Claridge, 1994). Apabila penebangan hutan
lahan basah dilakukan secara tidak terkendali, maka akan berdampak
pada perubahan tata air sehingga frekuensi banjir meningkat dan air
cepat mengalir menuju sungai (Bennet dan Gombek, 1991). Di samping
itu kawasan lahan basah memiliki keragaman jenis hayati berupa flora
dan fauna yang tinggi dan berfungsi sebagai habitat dari beragam jenis
satwaliar, bermanfaat untuk menunjang kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat lokal dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti
getah jelutung, buah-buahan, dan ikan sungai sumber protein hewani
masyarakat.
Okupasi masyarakat ke dalam kawasan hutan lahan basah dimulai dari
sungai sebagai sarana transportasi utama di wilayah kawasan tersebut.
Peningkatan frekuensi penggunaan sungai sebagai sarana transportasi
menyebabkan meningkatnya pertumbuhan pemukiman dan pemanfaatan
hutan riparian berupa hasil hutan maupun penggunaan lahan hutan untuk
perluasan ladang atau kebun. Padahal kawasan hutan sempadan sungai
selebar 100 m termasuk dalam kategori kawasan lindung.
Di Kalimantan, hutan rawa di sepanjang tepi sungai dan riverine
mangrove di pantai, merupakan kawasan potensial sebagai habitat
satwaliar. Bekantan adalah salah satu jenis primata pemakan daun
endemik Kalimantan, yang populasinya sangat bergantung pada kualitas
ekosistem lahan basah, khususnya hutan mangrove dan hutan riparian,
dan tidak toleran terhadap gangguan habitat (Wilson dan Wilson, 1975;
Bennet dan Gombek, 1991; Yeager, 1992). Berdasarkan laporan McNeely
et al. (1990) dari 29.500 km persegi habitat bekantan, 40% telah hilang,
sedangkan habitat bekantan yang termasuk ke dalam kawasan konservasi

55
POPULASI DAN SEBARAN

hanya 4,1%. Oleh karena pembangunan pemukiman dan areal pertanian


di sepanjang sungai cenderung meningkat, maka dampaknya akan
berpengaruh terhadap penurunan kualitas habitat dan populasi satwa
endemik. Salah satu indikator dampak kerusakan habitat hutan rawa
terhadap biodiversitas satwa, di antaranya adalah penurunan populasi
bekantan.

D i s t r i b u s i b e ka n t a n
di Kalimantan telah
didokumentasikan oleh
Meijaard dan Nijman (2000)
di 30 lokasi dan diperoleh
informasi sebaran bekantan
di 123 lokasi lainnya yang
tersebar di hutan mangrove,
pulau kecil, delta, sepanjang
sungai, dan hutan rawa
gambut. Lebih dari 20%
populasi tersebar di daerah
pantai, 18% tersebar antara
100-200 km dari pantai, 16%
antara 20-100 km, dan 58%
populasi tersebar 50 km dari
Gambar 14. Sebaran bekantan dan lokasi prioritas
(1-16) untuk pelestarian bekantan pantai, bahkan ditemukan di
(Nijman, 2000) kawasan 300 km dari pantai
dan sampai 750 km dari
pantai. Sebesar 90% lokasi sebaran bekantan terletak pada ketinggian di
bawah 200 m dari permukaan laut (dpl) dan tertinggi pernah dilaporkan
terletak pada 350 m dpl.
Sebaran bekantan dan tipe habitat di Kalimantan Selatan telah
dilaporkan oleh Soendjoto (2005) dan Bismark (1997), di Kalimantan
Timur oleh Bismark dan Iskandar (2002) dan Ma’ruf et al. (2005). Areal
prioritas sebaran bekantan yang mengalami tekanan sampai tahun 1997
telah diidentifikasi oleh Meijaard (2000), sebagaimana Gambar 14.
Habitat bekantan yang mudah dikunjungi di Kalimantan Selatan di
antaranya adalah Pulau Kaget yang sebagian kawasannya berupa cagar
alam dihuni oleh 3 kelompok bekantan (4-10 dan 11 individu) dengan
sistem kelompok 1 jantan dewasa dan 3-4 betina dewasa. Total populasi
di Pulau Kaget pada tahun 1996 adalah 288 individu di dalam areal seluas

56
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

267 ha (Bismark, 1997). Di sekitar Pulau Kaget, Pulau Puduk, dan Pulau
Temurung masih ditemukan kelompok bekantan dengan 7-25 individu
dan di Pulau Tempurung terdapat 3 kelompok masing-masing 7, 7, dan
12 individu (Bismark, 1997).

Pengamatan populasi bekantan di Delta Sungai Mahakam Kalimantan


Timur dilakukan oleh Ma’ruf et al. (2005). Studi ini dilakukan di daerah
muara Sungai Mahakam dengan letak geografis 00’26”06,2-00’41”26,2
LU dan 117’19”13,7-117’31”26 BT. Muara Sungai Mahakam yang
dikenal dengan Delta Mahakam memiliki keragaman satwa dan salah
satunya adalah bekantan. Populasi satwa ini belum banyak diketahui,
sementara di Delta Mahakam kegiatan masyarakat meningkat seiring
dengan pembangunan pertambakan dan pertambangan batubara.
Kegiatan tersebut akan berpengaruh pada habitat dan sumber pakan
bekantan. Arus lalulintas muara Sungai Mahakam yang cukup padat
oleh kapal pengangkut batubara, kayu gelondongan, dan tanker minyak
dari Samarinda, juga dapat mempengaruhi populasi bekantan. Sebaran
populasi bekantan di muara Sungai Mahakam disajikan dalam Gambar 15.

Gambar 15. Sebaran kelompok bekantan di muara Sungai Mahakam


(Ma’ruf et al., 2005)

Sementara itu habitat bekantan kini telah berkurang akibat


pemanfaatan daerah tepi sungai menjadi tambak, pemanfaatan pohon

57
POPULASI DAN SEBARAN

pakan yaitu rambai laut dan pohon untuk beristirahat Heritiera littoralis
maupun nipah. Dari Gambar 15 terlihat bahwa areal pemanfaatan pantai
(warna ungu) oleh masyarakat untuk tambak, rata-rata setiap tambak
berukuran antara 2-5 hektar. Interpretasi awal menunjukkan bahwa 75%
muara Sungai Mahakam telah dikelola menjadi tambak. Kemungkinan
bertambahnya pembukaan areal untuk tambak atau usaha lain sangat
besar. Sisanya 25% merupakan areal yang terbagi menjadi 10% habitat
bekantan (terdapat pohon pakan) dan 15% habitat nipah (Ma,ruf, 2005).

4.1. Populasi
Survei populasi bekantan sudah banyak dilakukan para peneliti di
Taman Nasional (TN) Kutai, di antara peneliti yang melaporkan populasi
bekantan tersebut adalah Wilson dan Wilson (1975) dan Rodman
(1987). Keduanya melaporkan bahwa bekantan sulit ditemukan selama
penelitian mereka berlangsung. Wilson dan Wilson (1975) menemukan
tiga kelompok bekantan di muara Sungai Sangatta dan Rodman (1978)
menemukan bekantan di hulu Sungai Sangatta. Populasi bekantan di hutan
bakau terkonsentrasi di komplek hutan Sungai Sangkimah, Teluk Kaba,
Sungai Pemedas, dan Sungai Padang. Di Sungai Sangkimah sepanjang 2
km dari pantai terdapat sejumlah 117 individu bekantan (Bismark, 1986).
Kepadatan populasi bekantan di beberapa tempat yaitu dilaporkan
antara 8,3-58 individu/km² (Tabel 21). Beberapa penelitian populasi
bekantan dilakukan oleh Yeager dan Blondal (1992), Ruhiyat (1986),
Yasuma (1989), dan Bennett dan Sebastian (1988). Yeager dan Blondal
(1992) telah mengemukakan hasil analisisnya bahwa pada habitat yang
rusak berat, kerapatan bekantan 9 individu per km², selanjutnya yaitu
25 individu per km² pada kerusakan yang agak berat, 33 individu per
km² pada habitat dengan kerusakan sedang, dan 62 individu pada habitat
dengan kerusakan ringan. Bekantan sensitif terhadap kerusakan habitat
(Wilson dan Wilson, 1975) sehingga populasi bekantan dapat dijadikan
indikator terhadap tingkat kerusakan hutan mangrove dan hutan tepi
sungai.
Sungai yang panjang, cukup lebar (7->10 m), dan dalam, keberadaan
pohon mangrove yang relatif tinggi dan berdiameter besar serta tersedia
sumber air tawar yang memungkinkan terbentuknya hutan riverine
mangrove di habitat tersebut, menunjang kebutuhan ekologis dan
perilaku bekantan. Sungai termasuk komponen ekologis penting yang
mempengaruhi pemilihan habitat oleh kelompok bekantan di hutan bakau

58
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

termasuk bekantan di hutan karet yang membutuhkan sumber air atau


danau kecil sebagai bagian habitatnya (Soendjoto et al., 2006). Hutan
mangrove di sekitar sungai lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan
dengan tipe hutan mangrove lain (Mitsch dan Gosselink, 1984). Pohon yang
lebih tinggi akan memberikan keamanan bagi kelompok bekantan. Selain
itu perilaku tidur bekantan yang selalu memilih lokasi di tepi sungai untuk
tujuan pengamanan kelompok dari predator dan untuk berkomunikasi
(Bismark, 1986; Yeager, 1990). Bagi bekantan, sungai berfungsi sebagai
sumber air minum dan sarana untuk berenang; sedangkan A. officinalis
yang ada di tepi sungai, selain sebagai pohon tempat tidur juga sebagai
sumber pakan daun dan buah yang mengandung protein dan mineral
tinggi. Perbedaan ukuran kelompok dan populasi menurut perubahan
ekosistem dari muara hingga ke hulu sungai terlihat pada Tabel 22.

Tabel 21. Ukuran kelompok dan kepadatan populasi bekantan

Besar kelompok Kerapatan


Lokasi Tahun Sumber
(Individu) per km²
Kalimantan Tengah (Tanjung Puting)
Pengadan 10-18 12,7 1970 Jeffrey, 1982
Camp Leaky 10-18 8,3 1970 Jeffrey, 1982
Camp Leaky 6,6 33 1980-81 Yeager, 1992
Camp Leaky 20 16 1979 Bismark, 1980
Natal Lengkuas 12,1 62,9 1984-85 Yeager, 1992
Natal Lengkuas - 58 1989 Yeager, 1992
Buluh Besar 11 25 1989 Yeager, 1992
Kalimantan Timur
Mahakam 5-14 - 1984 Suzuki, 1984
TN Kutai 25-60 - 1985 Bismark, 1986
Tenggarong 10-20 2,4 1987-89 Yasuma, 1989
Sungai Maria 10-30 7,9-28,1 1987-89 Yasuma, 1989
Delta Mahakam 10-35 7,4 1987-89 Yasuma, 1989
Samboja 10-30 11,25 1987-89 Yasuma, 1989
Sepaku - 32,2 1987-89 Yasuma, 1989
Tanjung Redeb 9-31 - 1994 Bismark, 1994
Sungai Wain 11-16 15,2 2004 Ma’ruf et al., 2005
Delta Mahakam 10,6 10 2005 Ma’ruf et al., 2005
Kalimantan Barat
Gunung Palung 11-56 25 1986 Ruhiyat,1986
Kalimantan Selatan
Pulau Kaget 8- 24 107 1997 Bismark, 1997
Hutan Karet 10-19 - 2003 Soenjoto, 2003
Sarawak
Samunsam - 13,3 1970 Jeffrey, 1982
Sarawak - 9,2 1980-81 Salter et al., 1985
Samunsam 11,4 11,9 1984-86 Bennett, 1986; Bennett &
Sebastian, 1988
Brunei
Teluk Brunei 20 14,4 1962 Kern, 1964

59
POPULASI DAN SEBARAN

Tabel 22. Besar kelompok dan komposisi umur rata-rata individu bekantan

Komposisi kelompok
Lokasi Besar
Jantan Betina Anak/
Sungai Sangatta kelompok Pra dewasa Remaja
dewasa dewasa bayi
Hulu sungai 12 1 3,75 1,75 2,75 2,25
Muara sungai 17,4 1,4 6,4 2,8 3,4 1,8
Hutan mangrove 21 2,75 7 3,5 3,25 4

Di Sungai Sangatta terdapat 3 sub populasi bekantan yang tersebar


dari muara hingga hulu sungai dalam jarak 18-40 km. Sub populasi ini
terdiri dari 1-4 kelompok bekantan dalam kawasan 1-2 km hutan riparian
(Bismark dan Iskandar, 1997). Sebelumnya, Suzuki (1986) melaporkan
bahwa sebaran sub populasi bekantan di TN Kutai antara 4-25 km (rata-
rata 10,6 km), keadaan sekarang sub kelompok terpencar dalam jarak
rata-rata 30 km (Bismark dan Iskandar, 2002). Keadaan ini merupakan
indikasi menurunnya kualitas hutan sebagai habitat bekantan.
Jumlah individu kelompok bekantan dipengaruhi oleh kualitas dan
tipe habitat. Di hulu sungai, satu kelompok bekantan terdiri dari 6-15
individu sedangkan 10 km dari muara, kelompok bekantan pada umumnya
berkisar antara 10-25 individu. Kelompok bekantan di hutan mangrove
yang terganggu berkisar antara 6-10 individu, di hutan mangrove dengan
tutupan vegetasi baik, besar kelompok antara 17-25 individu. Pengamatan
di beberapa lokasi survei menunjukkan ada perbedaan jumlah bekantan
yang teramati, pengamatan jumlah pada hari pertama berbeda dengan
pengamatan hari berikutnya. Perbedaan ini menunjukkan suatu nilai
koreksi data dalam penghitungan populasi bekantan, yaitu 1,8. Menurut
Yasuma (1989), nilai koreksi ini adalah 2,46. Berdasarkan nilai korelasi,
maka populasi bekantan di TN Kutai (Tabel 23) diduga berjumlah 400
individu.

Tabel 23. Total populasi bekantan di Taman Nasional Kutai

Jumlah
Luas areal Kerapatan per Perkiraan total
Loaksi bekantan yang
survey (km²) km² populasi
teramati
Hulu sungai 60 50 0,8 122
Muara sungai 10 89 8,9 107
Hutan bakau 12 84 7,0 81
Populasi total 224 310

60
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Tingginya frekuensi perjumpaan bekantan di habitat hutan mangrove


dan nipah juga dilaporkan oleh Bennett dan Sebastian (1986); Salter et
al. (1985), dan Ma,ruf (2004). Mengingat terbatasnya habitat bekantan
di hutan mangrove maka ancaman terbesar bagi populasi bekantan
adalah rusaknya hutan mangrove, terutama di kawasan konservasi yang
hanya mengkonservasi 8% luasan mangrove di Kalimantan. Laporan
tentang populasi bekantan dan kondisi sekarang relatif sedikit. Pada
tahun 90-an, di TN Tanjung Puting dengan habitat hutan rawa gambut
diperkirakan hanya terdapat 2.000 individu bekantan dan di Sarawak
total populasi bekantan diperkirakan 1.000 individu dan 300 individu di
antaranya ada di kawasan konservasi (Yeager dan Blondal, 1992). Pada
tahun 1986 McKinnon memperkirakan jumlah populasi bekantan hanya
250.000 individu, 25.000 di antaranya berada di luar kawasan konservasi,
sedangkan bekantan yang ada di kawasan konservasi kurang dari 5.000
individu (Yeager dan Blondal, 1992), sedangkan dalam kawasan konservasi
sendiri hanya mencakup 4,1% dari seluruh habitat bekantan (McNeely et
al., 1990) dan pada tahun 1994 populasi bekantan di Kalimantan ditaksir
sejumlah 114.000 individu (Bismark, 2002).

4.2. Ancaman Populasi Bekantan


Di hutan mangrove populasi bekantan dapat mencapai 60 individu per
km² (Bismark, 1986). Dilihat dari komposisi umur dalam kelompok dan
jumlah bayi mencapai 4 individu dalam kelompok menunjukkan bahwa
tingkat reproduksi bekantan cukup tinggi. Dalam 9 tahun pengamatan
populasi bekantan di TN Kutai jumlah individu per km² menurun sebesar
28,2% atau rata-rata 3,1% setahun. Penurunan populasi ini disebabkan
oleh bertambahnya intensitas kerusakan habitat di tepi sungai dan
kerusakan hutan mangrove.
Pada tahun 1985, populasi bekantan di TN Tanjung Puting adalah 62,9
individu per km², pada tahun 1989 turun menjadi 27,7 individu per km²,
dan 41 individu per km² pada tahun 1991. Dalam waktu 6 tahun telah
terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% setahun. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya polusi air sungai akibat penambangan
emas, degradasi habitat, dan meningkatnya lalulintas angkutan sungai
(Yeager, 1992). Penurunan populasi dapat disebabkan oleh meningkatnya
populasi predator akibat pembukaan hutan. Di hutan rivarian populasi
biawak (Varanus salvator) cukup tinggi dan biawak adalah salah satu
predator primata yang potensial (Rodman, 1978; Yeager, 1990).

61
POPULASI DAN SEBARAN

Perbedaan populasi di antara jenis-jenis primata, selain dipengaruhi


oleh tingkat kerusakan habiat (Yeager dan Blondal, 1992; Wilson dan
Wilson, 1975; Happel et al., 1987; Marsh dan Wilson, 1981) ditentukan
pula oleh tekanan predator (Jolly, 1972; Tilson, 1977; Bennett, 1983),
parasit (Rijksen, 1978, Freeland, 1976), dan geografi sebaran (Happel et
al., 1987; Chivers, 1974), sistem sosial (Happel et al., 1987) serta pola dan
perilaku makan, seperti primata pemakan daun lebih tinggi populasinya
daripada primata pemakan buah (Chivers dan Raemaker, 1980; Clutton-
Brock dan Harvey, 1977), dan perbedaan fisiologi pencernaan (Bennett,
1983).
Perkembangan populasi yang baik pada habitat terdegradasi terlihat
di Pulau Kaget. Habitat yang didominasi pohon Sonneratia caseolaris yang
tersebar antara 20-55 m dari tepi sungai dengan kerapatan 150 pohon
per ha, kelompok bekantan masih bertahan dalam jumlah hampir 300
individu dalam areal 267 ha. Hanya 25% populasi yang terlihat kurang
teradaptasi dengan kondisi ini (Bismark, 1997). Populasi ini cukup tinggi
bila dibandingkan dengan populasi bekantan di TN Kutai dengan luas
200.000 ha, sejumlah 400 individu (Bismark dan Iskandar, 1996). Populasi
di Pulau Kaget terlihat dapat beradaptasi dengan sumber pakan tumbuhan
air Limnocharis flava, Agapanthus africanus, Hymenachne amplicaulis, dan
vittis trifolia. Tumbuhan air yang dimakan primata mempunyai kadar
mineral lebih tinggi dari tumbuhan pakan primata di dataran kering
(Oates, 1978). Untuk mempertahankan populasi, bekantan butuh mineral
yang cukup banyak (Bennett dan Sebastian, 1988), seperti K, dibutuhkan
sejumlah 179,9 mg/kg berat badan/hari (Bismark, 1995), sedangkan Vittis
trifolia diketahui mengandung konsentrasi K tinggi, yaitu 1,06%.
Perburuan primata bagi masyarakat eksosistem sesuatu yang umum
untuk kebutuhan protein hewani. Perburuan primata di Pulau Siberut
misalnya sudah merupakan bagian kebudayaan dan adat masyarakat.
Hal ini sebagai kontrol populasi karena di pulau tersebut tidak terdapat
mamalia predator. Perburuan dan perladangan adalah masalah utama
dalam penurunan populasi bekantan, terutama sejak 35 tahun lalu di mana
kepemilikan senjata buru dan speed boat mulai berkembang di masyarakat
(Meijaard dan Nijman, 2000), di mana tepi sungai habitat bekantan
adalah areal yang pertama dibuka. Berkembangnya perladangan dengan
menanam buah-buahan menyebabkan bekantan mendatangi ladang untuk
mendapatkan pakan. Hal ini menimbulkan anggapan bekantan sebagai
hama dan diburu (Soendjoto, personal komunikasi), selain itu bekantan

62
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

juga diburu sebagai umpan untuk menangkap biawak (V. salvator) guna
mendapatkan kulit biawak sebagai sumber mata pencaharian tambahan.
Kebakaran hutan sangat berpengaruh pada lingkungan habitat
bekantan. Akibat kebakaran hutan di Tanjung Puting (1997) telah merusak
75% hutan lahan basah dan di TN Kutai menyisakan 5% habitat bekantan
akibat kebakaran hutan (Meijaard dan Nijman, 2000). Kebakaran hutan
dapat meningkatkan mortalitas akibat berkurangnya sumber pakan,
kehilangan habitat, dan timbulnya penyakit yang mewabah (PHVA
Proboscis Monkey, 2004).
Berdasarkan permasalahan di atas, dalam PHVA Bekantan (2004)
diidentifikasi 12 lokasi populasi bekantan beserta jumlah individu
sebagaimana Tabel 24.

Tabel 24. Estimasi daya dukung populasi bekantan (PHVA bekantan, 2004)

No Lokasi/populasi Daya dukung (individu)


1. Sungai di Kalimantan Tengah 500
2. Danau Sentarum 700
3. Taman Nasional Gunung Palung 500
4. Taman Nasional Kutai 1.300
5. Cagar Alam Kendawangan 1.000
6. Barito Selatan 1.700
7. Delta Mahakam 300
8. Cagar Alam Sambas Paloh 200
9. Sangkurilang 100
10. Sesayap, Sebulu, Sebakung 700
11. Mahakam Selatan 200
12. Taman Nasional Tanjung Puting 2.000
Total 12 lokasi 9.200

Perkiraan total individu bekantan di Kalimantan adalah 25.000


individu, di dalam kawasan konservsi sekitar 5.000 individu. Dalam
pelestarian bekantan ini diperlukan upaya pencegahan kerusakan dan
penurunan luas habitat oleh illegal logging yang dapat memicu kebakaran
hutan dan perburuan, pengamanan hutan sempadan sungai sebagai
habitat serta upaya konservasi spesies di luar kawasan mangrove dan
rawa gambut, seperti di areal perkebunan.

63
BAB 5
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH

Aktivitas harian bekantan meliputi aktivitas berjalan, mencari makan,


bermain, istirahat, dan saling berkutu atau menyelisik. Aktivitas harian
dimulai dari tepi sungai di mana tempat kelompok dan sub kelompok
bermalam. Bekantan bangun sekitar pukul 05.30 untuk memulai aktivitas
dengan bergerak dari cabang tempat posisi tidur dan pada pukul 06.15
memulai aktivitas makan, aktivitas hariannya berakhir pada pukul18.30
sore.
Di hutan mangrove, aktivitas bekantan di tepi sungai dapat berlangsung
dari subuh pagi hari hingga pukul 07.45, seperti makan daun Avicennia
officinalis atau Rhizophora apiculata di sekitar pohon tidurnya. Bila
bergerak lebih awal, bekantan dapat mencapai radius 400 m dari tepi
sungai. Pada umumnya pukul 07.00, bekantan sudah ada pada posisi 100 m
dari tepi sungai. Selama aktivitas harian berlangsung, kelompok bekantan
dapat terbagi menjadi 2-3 sub kelompok. Pola pergerakan, bentuk, dan
luas ruang pengembaraan primata pada umumnya berhubungan erat
dengan penyebaran dan jumlah sumber pakan (Jolly, 1972; Whitten,
1982), sebaran pohon tempat tidur, dan cuaca (Chivers, 1974).
Parameter aktivitas pergerakan harian bekantan meliputi panjang
jaIur yang dilaIui bekantan dalam satu hari (DR, daily range), radius
maksimum yang ditempuh bekantan yaitu diukur dari lokasi tempat
tidur (MR, maximum radius) dan jarak antara perpindahan lokasi tidur
semula dengan malam berikutnya (NPS, night posisition shift) (Chivers,
1974; Gumarya, 1986, Megantara, 1989) dalam kurun waktu pergerakan
bekantan. Jarak terjauh dari tepi sungai (TS) juga diukur sebagai parameter
pergerakan.

5.1. Pergerakan Harian


Pergerakan harian bekantan dipimpin oleh betina dewasa. Pergerakan
dimulai dari pohon tempat tidur di mana arah pergerakan ditentukan.
Keadaan ini juga dilaporkan oleh Rajanathan dan Bennett (1990) karena
betina lebih membutuhkan sumber pakan yang baik untuk anaknya
(Bennett, 1983).

65
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH

Tabel 25 menunjukkan bahwa perjalanan harian (DR) bekantan


berkisar antara 200-1.100 m dengan jarak dari tepi sungai antara 50-
400 m. Perjalan bekantan hingga 400 m dari tepi sungai dicapai pada DR
1.100 m. Dalam melakukan aktivitas harian, terutama makan, bekantan
memencar dalam bentuk sub kelompok dengan jumlah 5-11 individu.
Strategi ini bertujuan untuk efisien waktu dan pergerakan kelompok dalam
memanfaatkan sumber pakan yang ada di ruang pengembaraannya. Sub
kelompok berpencar dalam jarak 50-150 m satu sama lain. Sub kelompok
dapat tersebar dalam areal 1 ha (Salter et al., 1985) dan di lokasi tempat
bermalam di tepi sungai berpencar dalam jarak 50 m (Rajanathan dan
Bennett, 1990; Bismark, 1994).

Tabel 25. Pergerakan harian bekantan di hutan mangrove di TN Kutai

Parameter
Individu
DR (m) MR (m) NPS (m) TS (m)
kelompok
Selang Rata-rata Selang Rata-rata Selang Rata-rata Selang Rata-rata
25 200-1100 500,0 125-435 254,1 50-300 197,2 50-400 187,5
17 225-950 500,7 100-400 262,5 75-450 262,5 75-300 167,5
20 200-550 475,0 150-300 225,0 150-300 204,2 90-250 177,9
Rata-rata 497,2 247,2 221,3 180,7

Hutan karet dengan sedikit variasi vegetasi di tepi sumber air (dalam
pengertian ini termasuk wilayah bervegetasi atau wilayah daratan dalam
jarak 100 m dari tepi sumber air) merupakan bagian habitat penting bagi
bekantan. Berdasarkan perjumpaan dengan bekantan di 18 lokasi dalam
wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Soendjoto et al. (2005)
mengungkapkan bahwa secara statistik, terdapat korelasi positif dan nyata
antara sumber air di hutan karet dengan kehadiran bekantan. Sumber air
tidak hanya merupakan titik awal bekantan untuk memulai aktivitas pada
siang hari atau titik akhir untuk menghentikan aktivitas pada siang hari,
tetapi juga untuk melakukan aktivitas sosial, termasuk istirahat.

66
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Tabel 26. Jarak, durasi, dan kecepatan perpindahan harian bekantan di hutan karet
(Soendjoto et al., 2006)

Durasi berpindah antar sumber


Pergerakan harian (m) Kecepatan (m/jam)
Kelompok air (km)

Rata-rata Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum

Simpung 527,79 250 950 0,86 0,32 2,02 315,21 206,90 461,54

Mabai 554,69 300 950 0,82 0,33 2,02 360,03 260,87 483,87

Gabungan 541,24 250 950 0,84 0,32 2,02 337,62 233,89 472,71

Perpindahan kelompok bekantan terjadi dua kali dalam satu hari.


Perpindahan pertama terjadi dari sumber air tertentu yang dipergunakan
sebagai lokasi tidur ke sumber air lain, tempat bekantan melakukan
sebagian besar aktivitas pada siang hari. Perpindahan kedua terjadi
dari sumber air untuk aktivitas siang ini ke sumber air berikutnya yang
dipergunakan sebagai lokasi tidur pada malam harinya. Penjelasan ini
memperkuat pendapat Bismark (1986) bahwa pola pergerakan bekantan
berorientasi pada lokasi tempat tidur, tempat makan, dan istirahat.
Perpindahan antar sumber air sebanyak dua kali sehari dilakukan oleh
70% dari kelompok bekantan, dan 30%-nya melakukan perpindahan satu
kali sehari.
Perpindahan antar sumber air dilakukan oleh bekantan pada pagi,
tengah, dan petang hari. Perpindahan lebih sering dilakukan pada jam
06.00-08.00 dan jam 15.00-17.00 serta jarang dilakukan pada jam 11.00-
14.00 (Gambar 16).
Pergerakan harian bekantan di hutan mangrove rata-rata adalah
497 m seperti yang dilaporkan Bennett dan Sebastian (1988) yaitu 300-
590 m (rata-rata 483 m). Menurut Bennett dan Sebastian (1988) ada
kelompok bekantan yang berjalan sejauh 1.400 m sampai pukul 12.30 dan
diperkirakan perjalanannya satu hari mencapai 2.000 m. Jarak pergerakan
harian bekantan dari tepi sungai mencapai 750 m (Salter et al., 1985). Pada
umumnya pergerakan harian tersebut hanya mencapai 600 m (Bennett
dan Sebastian, 1985). Pergerakan harian bekantan sangat bergantung
pada pola pemilihan lokasi pohon tempat tidur di tepi sungai sehingga
terbentuk pola setengah lingkaran atau elips. Perpindahan lokasi tidur
pada sisi sungai yang berseberangan dilakukan melalui berenang. Jarak
pergerakan primata berkorelasi positif dengan berat badan dan jumlah
individu sub kelompok dalam mencari makan (Clutton-Brock dan Harvey,
1977).

67
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH

Gambar 16. Pergerakan bekantan antar sumber air di hutan karet Simpung
dan Mabai, Kalimantan Selatan (Soendjoto, 2005)

Pada umumnya lokasi tempat tidur primata posisinya terletak di tengah


ruang pengembaraan, seperti Hylobates klossii yang menempati pohon
tidur di tengah daerah jelajah dua kali lebih banyak daripada di bagian
tepi ruang pengembaraan (Whitten, 1980). Lokasi tidur Presbytis aygula
posisinya ada ditepi ruang pengembaraan (Ruhiyat, 1986), sehingga pola
pergerakan hariannya dipengaruhi oleh perpindahan lokasi tempat tidur.
Presbytis aygula berjalan (DR) antara 300-600 m (rata-rata 500 m) per
hari, MR 250-900 m dengan NPS 0-400 (rata-rata 221 m) (Ruhiyat, 1986).
Presbytis femoralis berjalan, DR rata-rata 929 m per hari, MR 237 m, dan
NPS 130 m (Megantara, 1989). Presbytis thomasi berjalan, DR 150-1300
m (rata-rata 640 m), MR 140-590 m, dan NPS 110- 590 m (Kunkun, 1986).
Pola aktivitas bekantan menunjukkan korelasi sebagaimana telah
didiskusikan (MR = 101,86 + 0,669 NPS dan DR = 41,30 + 1,825 MR). Dalam
ruang pengembaraan bekantan di hutan mangrove tidak terdapat kendala
dari segi sumber pakan, namun vegetasi di tepi sungai sebagai lokasi
tempat tidur dan sumber pakan sangat mempengaruhi pola pergerakan
bekantan. Pemilihan lokasi tempat tidur bagi primata berfungsi untuk
menghindari predator dan parasit (Freeland, 1976). Jarak pengembaraan
primata dari tepi sungai juga dipengaruhi oleh komposisi pakan, dalam hal
ini perbandingan antara daun dan buah. Primata “frugivorous” akan lebih
jauh dari tepi sungai (Rodman, 1978).

68
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Gambar 17. Perbandingan DR dan MR harian bekantan terhadap perpindahan


lokasi tidur

Perbedaan DR di antara jenis Colobinae dipengaruhi oleh kualitas


habitat dan keragaman jenis sumber pakan, seperti P. melalophos (DR =
754 m) dengan keragaman jenis pakan lebih tinggi dari P. thomasi (DR =
640 m) (Kunkun, 1986). Pergerakan juga dipengaruhi oleh kebutuhan
energi sesuai dengan berat badan. Semakin berat badan maka makin
banyak butuh energi untuk pergerakan, terutama pergerakan vertikal.
Dengan demikian orangutan dengan berat 55 kg berjalan sepanjang 453
m per hari lebih pendek dibandingkan dengan M. fascicularis dengan
berat badan 5 kg yang berjalan sejauh 1.869 m per hari (Wheatley, 1982).
Berat badan bekantan yang lebih besar dari jenis Ceropithecidae lainnya
memungkinkan untuk melakukan pergerakan harian lebih pendek dari
jenis lainnya. Pembentukan dan penyebaran sub kelompok dalam mencari
makan dan sebaran pohon yang merata di hutan mangrove merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan pendeknya perjalanan harian
bekantan.
Secara statistik, jarak perpindahan harian bekantan berkorelasi
negatif dan nyata dengan curah hujan. Jarak itu menurun pada bulan-bulan
dengan curah hujan cukup tinggi dan meningkat pada bulan-bulan curah
hujan rendah (musim kemarau) (Gambar 18).

69
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH

Gambar 18. Hubungan jarak perpindahan harian bekantan dengan curah


hujan (Soendjoto, 2005)

Seperti satwaliar pada umumnya, bekantan berpindah terutama


untuk menghadapi keterbatasan pakan dan air di lingkungan sekitarnya.
Keterbatasan ini berkaitan dengan keragaman jenis pakan, tempat
perolehannya, dan jauh dekatnya dengan sumber air.
Peningkatan suhu harian saat hari cerah memungkinkan bekantan
berjalan jauh mencari tempat untuk berlindung, mencari makan dan
istirahat serta memungkinkan pula bagi bekantan untuk kembali dengan
cepat ke tepi sungai pada sore hari. Saat cuaca cerah, bekantan di hutan
mangrove dapat berjalan mencapai jarak maksimum dari tepi sungai (TS)
sejauh 400 m pada pukul 08.15 atau dalam waktu 2 jam, untuk kemudian
makan dan istirahat sampai pukul 14.30. Perbedaan suhu udara di tepi
sungai dengan lokasi yang berada 100 m ke dalam hutan berkisar antara
0,5-1,5°C, sedangkan perbedaan suhu di tajuk dengan lantai hutan pada
ketinggian pohon 15 m pada lokasi 100 m dari tepi sungai berkisar 0,5-
1,5°C.
Jauhnya perjalanan bekantan ke dalam hutan saat suhu udara meningkat
adalah salah satu upaya dalam menjaga keseimbangan pengaturan suhu
(termoregulasi) tubuh karena di dalam hutan suhu udara lebih rendah.
Pada saat peningkatan suhu udara maka pelepasan panas tubuh melalui
penguapan juga meningkat (Montheith dan Unsworth, 1990). Bila suhu
udara meningkat maka satwa akan mengalami penurunan aktivitas makan
dan konsumsi air minum meningkat, demikian pula dengan peningkatan
kelembaban udara (Church et al., 1971).

70
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

5.2. Penggunaan Strata Hutan


Kondisi fisik habitat primata dibangun oleh struktur vegetasi, pohon
pencahayaan, suhu dan kelembaban, yang berpengaruh pada pola
pergerakan primata, terutama pola pergerakan vertikal yaitu pergerakan
primata menurut strata (ketinggian) tajuk pohon. Pada beberapa jenis
primata simpatrik perbedaan penggunaan strata menunjukkan perbedaan
relung ekologi masing-masing jenis yang sesuai dengan anatomis organ
pergerakannya (MacKinnon dan MacKinnon, 1980).

Pergerakan bekantan
m e l i p u t i p e r g e ra k a n
arboreal dan terestrial.
Pe r g e ra k a n a r b o re a l
pada pohon terdiri dari
pergerakan quadrupedal,
memanjat, meloncat, dan
bergelantung (pergerakan
dengan tangan). Pola
pergerakan bekantan
menurut strata tajuk
m e n u n j u k k a n b a hwa
a k t iv i t a s p e r g e ra k a n Gambar 19. Aktivitas pergerakan bekantan pada strata
hutan
vertikal bekantan di
hutan mangrove lebih banyak terjadi pada strata 0-5 m (33,19%), pada
strata 5-10 m (24,28%), dan pada strata 10-15 m (27,53%) dengan tipe
pergerakan quadrupedal yang menjadi dominan (berjalan dengan 4
anggota gerak) (Gambar 19); sedangkan aktivitas harian seperti makan,
istirahat, bermain, dan aktivitas sosial pada habitat hutan karet terlihat
pada Gambar 20.
Umumnya aktivitas harian bekantan ada pada level ketinggian kurang
dari 15 m dengan tajuk yang rimbun oleh dedaunan. Kondisi ini tidak
hanya menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi bekantan untuk duduk
istirahat atau bermain, tetapi juga menyediakan tempat yang aman untuk
menghindari perilaku agonistik, pertengkaran antar individu, bersembunyi
atau melarikan diri dari predator. Di hutan karet dan tepi danau, pohon
yang biasa dipergunakan untuk aktivitas tersebut antara lain Macaranga
pruinosa, Vitex pubescens, Dillenia exelsa, dan Elaeocarpus stipularis
(Soendjoto et al., 2005).

71
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH

Frekuensi penggunaan lantai hutan (0-5 m) lebih banyak dibanding


dengan strata lain dalam aktivitas pergerakan.

Hal ini berhubungan dengan


faktor berat badan bekantan
(betina dewasa 12,5 kg dan jantan
dewasa 25 kg) yang memerlukan
keseimbangan sewaktu berjalan,
di samping membutuhkan pohon
dengan percabangan yang
agak besar sebagai prasarana
pergerakannya. Fleagle (1980)
menyatakan bahwa penggunaan
strata vegetasi oleh primata
Gambar 20. Proporsi waktu berperilaku
bekantan menurut strata pohon berkorelasi dengan strategi
(Soendjoto et al., 2005) mencari makan. Di hutan
mangrove dengan kondisi habitat
yang cukup homogen, ketersediaan sumber pakan (daun) pada setiap
strata, bekantan akan memilih strata untuk makan dan tempat isitirahat,
terutama pada strata 10-15 m. Pemilihan ini berkaitan dengan peran strata
di atasnya yaitu sebagai pelindung. Dalam hal ini perbedaan suhu udara
pada tajuk di atas 20 m dengan di bawah 15 m mencapai 1,5°C (Bismark,
1994). Perbedaan suhu di atas tajuk (> 20 m) dengan lantai hutan pada
pukul 08.40 sebesar 1°C dan meningkat menjadi 2,5°C pada pukul 12.00.
Keadaan ini juga menyebabkan bekantan turun ke lantai hutan untuk
istirahat maupun berjalan, baik di dalam hutan maupun di tepi sungai.

5.3. Ruang Pengembaraan


Ruang pengembaraan adalah areal yang digunakan oleh individu atau
kelompok dengan aktivitas normal untuk mencari makan, kawin, dan
memelihara anak; dan ada pula yang mengartikan sebagai total areal yang
digunakan (Mah dan Aldrich-Blake, 1980). Rijksen (1978) mengartikan
sebagai total areal yang digunakan oleh individu atau kelompok sebagai
rumah. Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai ruang pengem-
baraan adalah luas areal total yang digunakan kelompok bekantan selama
penelitian berlangsung. Jolly (1972) mendefinisikan home range (ruang
pengembaraan) sebagai daerah yang biasa dihuni satwa sepanjang hidup
dewasanya.

72
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Yeager (1989) melaporkan bahwa ruang pengembaraan bekantan


berkisar antara 125-137,5 ha (rata-rata 130,3 ha) dengan areal tumpang
tindih 95,9%, sedangkan areal yang menjadi bagian per kelompok (adjusted
home range) adalah 19,3 ha. Luas ruang pengembaraan bekantan di TN
Kutai adalah 19,4 ha, tidak berbeda dengan adjusted home range yang
dikemukakan Yeager (1989). Sempitnya ruang pengembaraan bekantan
selain akibat kerusakan habitat juga keterbatasan jarak tempuh harian
dari tepi sungai. Keterikatan bekantan pada sungai dan vegetasi tepi
sungai sebagai lokasi tempat tidur, sumber pakan, dan sumber air minum
juga mengakibatkan terbatasnya ruang pengembaraan. Daerah jelajah
yang sempit dipertahankan melalui pergerakan harian dan pembentukan
sub-kelompok, bersuara, dan perilaku agonistik yang menyebabkan
adanya tumpang tindih ruang pengembaraan sebesar 20,7-62,8%.
Sedangkan areal tumpang tindih di tepi sungai sebagai lokasi tidur yang
kurang dipertahankan berkisar antara 23,8-100%. Kurangnya upaya
mempertahankan lokasi tempat tidur terlihat dari jarak antar kelompok
yang mencapai 50 m antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Kondisi ini merupakan bentuk penggabungan antar kelompok sebagai
perilaku anti predator (Yeager, 1991), kerena pemilihan lokasi tempat
tidur oleh primata menjadi kriteria utama dari segi keamanan dari
ancaman predator (Roosmalen, 1980; Whitten, 1982).
Ruang pengembaraan jenis Colobinae saling tumpang tindih. Ruang
pengembaraan P. aygula seluas 38 ha mengalami tumpang tindih sebesar
10% (Ruhiyat, 1983), P. melalophos dengan ruang pengembaraan antara
14-31,3 ha tumpang tindih arealnya mencapai 15-79% (Bennett, 1988), P.
femoralis, dengan ruang pengembaraan sebesar 23,8 ha memiliki tumpang
tindih antara 15,8-36,7% (Megantara, 1989). Tumpang tindih ruang
pengembaraan dapat disebabkan oleh luasnya areal untuk dipertahankan
sehingga membutuhkan energi lebih banyak. Di samping itu jumlah
dan sebaran sumber pakan yang merata menyebabkan tidak terjadinya
kompetisi yang intensif (Bennett, 1988).

Tabel 27. Ruang pengembaraan kelompok bekantan di hutan mangrove

Jumlah ndividu Ruang Tumpang tindih


DR (m)
dalam kelompok pengembaraan (ha) (%)
25 500 18,3 43,84
17 516 19,4 62,82
20 475 20,5 20,73

73
PERGERAKAN HARIAN DAN DAERAH JELAJAH

Aktivitas harian bekantan di tepi sungai hutan mangrove pada siang


hari adalah untuk mencari makan, istirahat, dan bermain. Lokasi dan
frekuensi kunjungannya berhubungan dengan basal area pohon Avicennia
officinalis. Ketersediaan pakan, daun, dan buah A. officinalis dipengaruhi
basal area dan luas tajuk pohon yang menyediakan daun. Selain itu
kehadiran bekantan akan lebih sering pada saat A. officinalis berbuah
sehingga keberadaan buahnya di tepi sungai sangat penting bagi populasi
bekantan. Pada habitat P. melalophos, basal area Leguminoceae berkorelasi
positif dengan kepadatan populasinya (Marsh dan Wilson, 1981). Asosiasi
individu dalam kelompok dan antar kelompok umumnya terjadi di lokasi
bermalam di tepi sungai. Perilaku ini berperan dalam pengamanan lokasi
tidur dari satwa lain maupun predator (Yeager, 1991). Asosiasi kelompok
bekantan dapat terlihat dari tumpang tindih pemakaian areal di tepi
sungai sebagai lokasi tidur.
Bekantan tidur di atas pohon A. officinalis dan Rizophora apiculata
yang posisinya terletak antara 0-50 m dari tepi sungai. Pohon yang dipilih
sebagai tempat tidur, selain dekat tepi sungai, juga mempunyai tajuk yang
lebar dengan sejumlah percabangan yang mendatar. Kondisi ini diperlukan
agar posisi tubuh sewaktu istirahat atau tidur ada dalam keseimbangan.
Pohon yang lebih dekat ke tepi sungai yang digunakan untuk bermalam
umumnya tidak terlalu tinggi, yaitu 10-15 m. Sedangkan pohon yang
digunakan yang berada 20 m dari tepi sungai adalah R. apiculata dengan
ketinggian antara 20-30 m dan lokasi tajuk pohon yang terpisah dengan
pohon di sekitamya. Pohon tempat tidur yang dipilih dapat ditempati
oleh 3-15 individu, sehingga sewaktu tidur kelompok bekantan terlihat
membentuk sub kelompok yang tersebar antara 50-150 m.
Yeager (1989) melaporkan, alur tepi sungai yang panjang di rawa
gambut yang ditempati kelompok bekantan berkisar antara 1.575-1.750 m
dengan tumpang tindih antara 92-97,7%. Penelitian Bennett dan Sebastian
(1988) menunjukkan bahwa 19 kelompok bekantan yang ada di sungai
sepanjang 13,5 km masing-masing menempati antara 1.650-7.500 m tepi
sungai. Sempitnya penggunaan tepi sungai oleh kelompok bekantan di TN
Kutai disebabkan oleh terbatasnya panjang sungai dan lebar hutan bakau
yang menjadi habitatnya, di samping tidak ada kasus perburuan bekantan.
Faktor perburuan memungkinkan terjadinya perpindahan lokasi tidur
bekantan yang relatif lebih jauh. Walaupun di areal penelitian tidak ada
kasus perburuan namun perusakan habitat lebih berdampak terhadap
penyempitan ruang pengembaraan dan daerah jelajah di tepi sungai.

74
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Pada umumnya (90%) lokasi tidur bekantan akan berpindah setiap


hari. Satu lokasi dapat dipergunakan untuk dua, tiga, dan empat malam
berturut-turut. Areal tepi sungai sepanjang 50 m dapat ditempati oleh
1-3 sub kelompok yang terdiri dari 2-15 individu. Pemilihan lokasi dan
perpindahan lokasi pohon tempat tidur, posisi istirahat atau tidur di ujung
cabang dan di puncak tajuk pohon yang tidak berhubungan dengan pohon
di sekitarnya adalah cara bekantan untuk mengurangi kemungkinan
serangan predator pada malam hari. Pemilihan lokasi tidur dan asosiasi
bekantan di tepi sungai adalah perilaku sosial bekantan dalam strategi
anti predator (Yeager, 1991).

Tidur pada pohon dengan tajuk


yang luas dengan posisi istirahat
berpencar di bagian tepi dan puncak
tajuk merupakan strategi anti
predator yaitu untuk memudahkan
dalam mendeteksi kehadiran
predator dan kemudahan untuk
meloncat. Predator yang mungkin
menyerang bekantan di pohon
tidurnya adalah jenis ular dan
biawak. Biawak (V. salvador) dan
buaya (Tomistoma sclegeli) adalah
predator bekantan yang potensial
(Yeager, 1991), namun dalam hal
ini bekantan tidak mengembangkan
strategi anti predator terhadap
buaya (Galdikas, 1984).
Gambar 21. Posisi bekantan pada pohon
A. officinalis untuk bermalam

75
BAB 6
PERILAKU MAKAN

Primata mempunyai komposisi pakan tertentu, sesuai dengan habitat


dan musim (Curtin dan Chivers, 1979; Iwamoto, 1982; Harrison, 1984)
sehingga keadaan ini dapat menunjukkan perbedaan pola perilaku makan.
Perilaku makan primata berkaitan erat dengan kualitas sumber pakan
seperti tingginya kadar selulosa yang tidak dapat dicerna serta adanya
senyawa sekunder seperti tanin dalam pakan sehingga kedua komponen
ini merupakan faktor utama dalam ekologi makan (feeding ecology)
primata (Harison, 1984).
Richard (1977) menelaah teknik makan, tempat dan ketinggian,
pola aktivitas, komposisi pakan, bagian yang dimakan, variasi pakan dan
jumlahnya serta pola pergerakan sebagai parameter perilaku makan.
Menurut jumlah dan jenis makanannya, primata digolongkan pada dua
tipe, yaitu frugivorous yang lebih dominan memakan buah dan folivorous
yang lebih dominan memakan daun. Suku Hylobatidae termasuk tipe
frugivorous, sedangkan anak suku Colobinae (Presbytis spp. dan Nasalis
larvatus) tergolong dalam tipe folivorous.
Primata dari anak suku Colobinae mempunyai sistem pencernaan
mirip ruminansia. Sistem pencernaan tersebut dikenal dengan polygastric,
di antaranya terdapat organ forestomach, tempat terjadinya proses
fermentasi makanan oleh bekteri. Dari hasil proses fermentasi tersebut
diperoleh (Bennet, 1983):
1. Bakteri yang menghasilkan vitamin. Dengan demikian satwa tidak
terlalu bergantung pada vitamin yang dikandung makanan, kecuali
vitamin A dan D.
2. Bakteri yang dapat menggunakan nitrogen non protein untuk tumbuh.
Urea yang terjadi akibat katabolisme protein dapat diubah oleh bakteri
menjadi protein. Bakteri dapat lolos dari lambung ke usus halus
sehingga satwa mendapat tambahan protein yang berkualitas tinggi.
3. Penggunaan urea dalam sintesa protein oleh mikro flora menyebabkan
penurunan jumlah urea sehingga menghemat pengeluaran air dalam
bentuk urin.
4. Bakteri yang dapat menetralisir pengaruh tanin yang berasal dari
tumbuhan yang dimakan satwa.

77
PERILAKU MAKAN

5. Besarnya jumlah bakteri dan perkembangbiakan yang cepat


menyebabkan laju fermentasi juga cepat sehingga proses pembuatan
tanin pada makanan baru tidak aktif. Di samping itu terjadi pula
degradasi karbohidrat menjadi asam lemak yang mudah menguap.

Primata monogastric seperti Hylobates spp. umumnya memakan pakan


yang mudah dicerna, banyak mengandung gula serta tidak mengandung
alkoloid. Perbedaan lain antara primata monogastric dengan jenis
Colobinae adalah dalam menenuhi kebutuhan nutrisi tertentu di mana
primata monogastric memakan pakan dengan nutrisi rendah dalam jumlah
besar karena proses pencernaan lebih cepat, sedangkan Colobinae akan
mengkonsumsi tumbuhan yang bergizi tinggi (Bennett, 1983).
Menurut Milton (1981) perilaku memilih pakan pada primata
berkaitan dengan ukuran tubuh dan anatomi pencernaan. Hubungan
dengan anatomi pencernaan yaitu volume saluran pencernaan bekantan
lebih besar di antara jenis Colobinae lain (Tabel 28).

Tabel 28. Perbandingan volume saluran pencernaan dari beberapa jenis Colobinae
(Bennett, 1983)

Perbandingan volume saluran


Jenis Volume saluran pencernaan
pencernaan (cm³)
(cm³)
dengan panjang badan (cm)
Alouatta palliata 1.598 31,1
Alouatta seniculus 1.368 22,4
Presbytis melalophos 3.168 64,9
Presbytis rubicunda 3.113 55,6
Presbytis obscura 3.805 74,6
Nasalis larvatus 8.371 130,8
Colobus polykomos 2.523 44,3

6.1. Waktu Aktivitas


Bekantan aktif mulai pukul 05.30 sampai 18.30 atau 13 jam sehari.
Selama waktu tersebut berlangsung aktivitas berjalan, bermain, mencari
makan, atau tidur siang. Alokasi kegiatan atau aktivitas harian bekantan
sepanjang hari bervariasi menurut waktu (Gambar 22). Dalam satu
hari terdapat tiga puncak aktivitas yaitu sekitar pukul 8.30, 12.30, dan
pukul 15.30. Aktivitas mulai meningkat pukul 7.00 yaitu berjalan dari

78
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

tepi sungai ke dalam hutan hingga mencapai radius maksimum (MR).


Puncak aktivitas makan tertinggi terjadi pada sore hari, sedangkan puncak
aktivitas pergerakan terlihat tidak berbeda namun mengikuti fluktuasi
aktivitas makan. Hal ini memperlihatkan bahwa bekantan mencari makan
dengan cara berpindahpindah pohon. Sekitar pukul 12.00 aktivitas
makan meningkat hingga pukul 12.30 kemudian menurun, dan aktivitas
berikutnya diikuti dengan istirahat dan tidur hingga pukul 14.00.

Aktivitas makan
terlihat berlangsung terus-
menerus dalam satu hari.
Hal ini menggambarkan
bahwa selain waktu makan
yang intensif, sebagian
dari anggota kelompok
tetap ada yang makan di
selang waktu istirahatnya
meskipun tidak dalam
frekuensi tinggi. Keadaan
serupa juga dilaporkan
Ruhiyat (1983) pada P. Gambar 22. Grafik aktivitas harian bekantan di hutan
aygula di Jawa Barat, P. mangrove
femolaris, dengan aktivitas
makan terus-menerus tetapi puncak aktivitasnya terjadi pada pagi dan
sore hari (Megantara, 1989). Gurmaya (1986) melaporkan bahwa aktivitas
makan P. thomasi mempunyai tiga puncak aktivitas, yaitu pada pukul
08.00, 12.00, dan 17.00 dengan puncak tertinggi pada sore hari. Salter et
al. (1985) meneliti bahwa puncak aktivitas makan dan berjalan bekantan
di Sarawak terjadi pukul 09.00 pagi dan pukul 13.00.
Frekuensi makan anggota kelompok serta aktivitas pergerakan
yang mengikuti fluktuasi makan, menunjukkan bahwa aktivitas makan
bekantan tidak tetap pada satu pohon saja, dan selalu diikuti aktivitas
berjalan di antara cabang atau dari pohon ke pohon lain. Dalam hal ini
perpindahan lokasi makan bekantan terjadi antara 10-15 menit. Selain
itu jumlah dan sebaran pohon pakan yang merata memungkinkan untuk
menunjang aktivitas makan bekantan di setiap saat.
Bermain dan berkutuan (saling mencari kutu) terjadi saat istirahat di
pagi dan sore hari. Aktivitas bermain dilakukan oleh remaja dan setengah
dewasa dan antara induk dengan bayinya, sedangkan jantan dewasa lebih

79
PERILAKU MAKAN

banyak istirahat dan tidur. Betina dewasa dan remaja membutuhkan


gizi pakan yang lebih baik untuk pemeliharaan dan pertumbuhan bayi,
sedangkan jantan dengan berat badan yang dua kali berat badan betina
lebih banyak istirahat.
Aktivitas bekantan pada beberapa tempat menunjukkan pola yang
berbeda, seperti aktivitas bekantan di hutan bakau TN Bako dan Suaka
Margasatwa Samunsam di Sarawak (Salter et al., 1985). Pola aktivitas ini
disajikan pada Tabel 29. Hasil pengamatan yang dilakukan di TN Kutai
berada dalam selang pengamatan Salter et al. (1985). Perbedaan aktivitas
ini dapat disebabkan oleh perbedaan zonasi dan jenis tumbuhan mangrove
yang dominan dari masing-masing habitat, sehingga ada kaitannya dengan
kuantitas dan kualitas gizi sumber pakan.
Aktivitas bekantan berlangsung secara arboreal dari lantai hutan
hingga tajuk pohon dengan tinggi 30 m. Sedangkan tinggi pohon di habitat
bekantan dapat mencapai 43 m (R. apiculata dan B. gymnorrhiza). Fluktuasi
aktivitas harian utama yaitu makan, berjalan, dan istirahat dalam strata
hutan disajikan dalam Gambar 23. Dari keenam tingkat strata vegetasi
di habitat bekantan, strata yang dominan untuk ketiga kegiatan utama
bekantan adalah strata 10-15 m, terutama untuk aktivitas makan (42%)
dan istirahat (37%), sedangkan aktivitas berjalan lebih banyak pada strata
0-5 m (34%) dan sedikit sekali pada strata 25-30 m (8%).

Tabel 29. Pola aktivitas bekantan di habitat hutan mangrove (Salter et al., 1985)

Aktivitas (%)
Lokasi Interaksi Aktivitas
Makan Jalan Istirahat
sosial lain
Taman Nasional Bako*) 63,2 19,2 16,2 1,4 0,0
Suaka Margasatwa Samunsam*) 13,1 18,8 65,1 0,7 2,4
Taman Nasional Kutai**) 23,2 25,2 42,3 9,3 0,0
*) Salter et al., 1985 **) Bismark, 1994

Tingginya frekuensi pemanfaatan strata 10-15 m ini disebabkan oleh


rapatnya pohon mangrove berdiameter antara 10-35 cm (188 pohon/ha)
dan ketinggian 10-15 m ini merupakan bagian dasar dan tengah tajuk.
Bagian tengah tajuk dengan percabangan yang datar dan besar dapat
mendukung pergerakan quadrupedal. Di samping itu bagian tengah tajuk
cukup memberikan kenyamanan karena ternaungi oleh tajuk bagian atas

80
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

sehingga terdapat perbedaan suhu lebih rendah 1,5°C serta percabangan


yang sesuai dengan berat badan bekantan.

Gambar 23. Penggunaan strata daIam aktivitas harian bekantan di hutan


mangrove

Perbedaan penggunaan strata dalam habitat primata simpatrik


menunjukkan adanya perbedaan relung ekologi dari masing-masing jenis
primata. Selain itu juga tergantung pada tipe pergerakan, produktivitas
daun atau buah, suhu maupun kelembaban dari masing-masing strata
(MacKinnon dan MacKinnon, 1980). Penggunaan strata oleh primata juga
berhubungan dengan efisiensi pergerakan primata arboreal dalam mencari
pakan, dan bahkan apabila sumber pakan terpencar maka perjalanan lebih
efisien melalui lantai hutan, seperti perilaku M. nemestrina (Rodman,
1978). Strategi ini juga terlihat pada aktivitas bekantan saat berjalan jauh
ke dalam hutan dengan waktu yang relatif singkat. Di hutan mangrove
perjalanan bekantan mencapai jarak 400 m dari tepi sungai dalam waktu
1,25 jam atau 320 m per jam. Pergerakan yang cepat tanpa berhenti jarang
terjadi, namun kecepatan pergerakan bekantan dapat mencapai 450 m per
jam (Salter et al., 1985).

6.2. Teknik Makan


Bekantan tergolong primata folivorous (pemakan daun) (Rodman,
1978; Yeager, 1989; Bennett dan Sebastian, 1989). Golongan folivorous
mendapat protein esensial dari daun, sedangkan golongan frugivorous

81
PERILAKU MAKAN

menambah kebutuhan proteinnya dari buah dan biji (Hladik, 1978). Bekantan
memakan daun, bunga, dan buah yang ada di ujung-ujung cabang, namun
posisi bekantan pada cabang besar di tengah tajuk, meraih ranting di
sekitarnya atau duduk di atas ranting. Posisi bekantan sewaktu mencari
makan serupa dengan teknik P. obscura dan P. melalophos yang dilaporkan
Fleagle (1980). Gaya dan teknik bekantan tersebut seperti yang terlihat
pada Gambar 24 dan Gambar 25.

Gambar 24. Gaya dan posisi bekantan Gambar 25. Posisi bekantan pada cabang
sewaktu mencari makan pohon dan di atas tajuk sewaktu
makan

Daun yang dikonsumsi bekantan adalah daun muda dengan urutan


1 sampai 3 dari ujung ranting. Pakan tersebut dapat diambil langsung
dengan mulut atau dengan cara memetik. Daun dimakan satu per satu atau
dua lembar dengan cara menggigit hingga tiga kali. Setiap gigitan dikunyah
antara 10-30 kali, buah A. officinalis dimakan satu per satu dan dikunyah
15-30 kali, sehingga dalam 5 menit bekantan mengkonsumsi 7,5 lembar
daun atau 15,6 buah A. officinalis. Mengunyah sebanyak 10-30 kali adalah
salah satu strategi bekantan untuk membantu pencernaan secara fisik dan
merangsang keluarnya air liur guna mempertahankan pH lambung agar
proses fermentasi pakan oleh bakteri lambung dapat berjalan optimum
(Bismark, 1994). Pada umumnya Na+ yang ada dalam rumen ruminansia

82
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

berasal dari air liur (Durand dan Kawashima, 1980), yang berperan untuk
menjaga kestabilan pH lambung (Bennet, 1983).

6.3. Jenis dan Keragaman Pakan


Habitat bekantan di hutan mangrove dengan komunitas R. apiculata,
yang terdiri dari R. apiculata, A. officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B.
parviflora, dan beberapa jenis dalam jumlah terbatas misalnya B. sexangula
dan Avicennia marina; jenis yang bukan golongan mangrove, seperti
Ardisia humilis, Ficus binnendykii, Allophyllus cobbe, dan Aglaia cuculata
(Tabel 30). Keragaman jenis tumbuhan mangrove di ruang pengembaraan
bekantan di TN Kutai adalah 2,08 (Indek Shannon-Wiener). Rendahnya
keragaman jenis tumbuhan di habitat tersebut menyebabkan keragaman
jenis pakan bekantan rendah dengan kuantitas besar.
Jenis tumbuhan mangrove yang dimakan bekantan adalah R. apiculata,
A. officinalis, B. gymnorrhiza, B. parviflora, dan A. cobbe. Bagian yang
dimakan meliputi daun, bunga, buah dan kulit batang dengan indeks
keragaman 1,748.

Tabel 30. Potensi dan keragaman jenis tumbuhan di mangrove sumber pakan bekantan

Kerapatan Indeks nilai penting


No Jenis per ha Keragaman
(pohon) Pohon Tiang Pancang

1. Rhizophora apiculata 391,50 0,491 239,140 228,486 123,337


2. Bruguiera parviflora 154,25 0,468 6,964 21,389 79,823
3. Ceriops tagal 89,00 0,364 - 14,855 43,162
4. Aglaia cucullata 44,25 0,240 2,367 - 24,010
5. Bruguiera gymnorrhiza 42,00 0,232 21,211 28,792 14,911
6. Hibiscus tiliaceus 17,00 0,123 - 2,047 8,647
7. Ficus binnendykii 6,00 0,055 - 4,43 2,316
8. Avicennia officinalis 7,00 0,063 30,312 - 2,090
9. Ardisia humilis 4,00 0,040 - - 1,704

Jumlah 755,00 2,076 300,00 300,00 300,00

Dari hasil pengamatan feces, selain daun, bunga, buah, dan kulit batang
ditemukan pula partikel kepiting dan rayap. Bekantan juga dilaporkan
memakan cendawan Stereum lobatum (Bismark, 1980), dan bunga Nipa
fruticans (Bennett dan sebastian, 1988).

83
PERILAKU MAKAN

Tabel 31. Komposisi pakan bekantan (%)

Habitat rawa Habitat hutan


Habitat hutan karet
Jenis pakan gambut mangrove (Bismark,
(Soendjoto, 2005)
(Yeager, 1989) 1994)
Daun 51,94 81,14 80,9
Buah 6,8 8,38 6,8
Bunga 11,68 7,68 11,3
Kulit kayu, serangga, 2,80 2,80 0,95
dan lain-lain

Penelitian Yeager (1988) menyebutkan ada 47 jenis tumbuhan yang


dimakan bekantan di hutan rawa gambut tapi tiap bulan hanya dikonsumsi
10-23 jenis (rata rata 14,9 jenis) dengan keragaman jenis 0,86-2,21. Salter
et al. (1985) menyebutkan bahwa jenis pakan bekantan di dua lokasi
penelitian (TN Bako dan Suaka Margasatwa Samunsam) meliputi habitat
mangrove, rawa nipah, hutan tepi sungai, hutan Dipterocarpaceae dan
kerangas yang memiliki jenis pakan tidak kurang dari 90 jenis tumbuhan.
Dari beberapa hasil penelitian terdapat korelasi posistif antara berat
badan primata dengan komposisi daun dalam pakannya (Clutton-Brock
dan Harvey, 1977) dan primata yang mengkonsumsi daun lebih banyak
kemungkinan dapat mencapai biomas yang tinggi (Hladik, 1977; Bennett,
1983) (Gambar 26). Bekantan dengan komposisi pakan 51,94% daun
mempunyai biomas 499,5 kg/km² (Yeager, 1989), dan yang memakan
daun sejumlah 41% dari jumlah pakannya mempunyai biomas 45,8 kg/
km² (Bennett dan Sebastian, 1988), sedangkan komposisi pakan bekantan
yang terdiri dari 81,14% mempunyai biomas 792,06 kg/ km².

6.4. Komposisi Pakan dan Seleksi Rasio


Dalam kaitan dengan perilaku makan dan pakan bekantan, empat hal
yang mendukung kajian perilakunya (Soendjoto et al., 2005).
Pertama, bekantan memakan jenis pakan (daun, bunga, buah) dari berbagai
spesies tumbuhan. Keragaman pakan merupakan upaya bekantan atau
satwa lain pada umumnya untuk menjaga keseimbangan dan kebutuhan
nutrisi. Nutrisi yang tidak diperoleh dari spesies tumbuhan atau dari jenis
pakan tertentu diperoleh dari jenis pakan atau spesies tumbuhan lainnya.
Seperti yang tertera pada Tabel 36, habitat hutan karet dengan tumbuhan

84
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

tepi danau, maka protein lebih banyak terdapat di daun karet daripada
daun tiwadak banyu dan kujamas, tetapi Ca lebih banyak dikandung daun
tiwadak banyu (Soendjoto, 2005) seperti halnya A. officinalis di hutan
mangrove dengan protein dan mineral tinggi (Bismark, 2004).

Gambar 26. Hubungan biomas dengan proporsi daun yang dikonsumsi


Colobinae (Sumber: Bennett, 1983), *)Bismark (1994)

Kedua, bekantan ditemukan lebih sering memakan pucuk atau daun muda
daripada daun tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Bennett dan Sebastian
(1988) bahwa bekantan mengutamakan daun muda walaupun daun tua
melimpah. Primata akan memakan daun tua apabila daun muda tidak
tersedia lagi. Penyebab pemilihan daun muda ini adalah kadar airnya lebih
banyak. Diketahui bahwa kadar air pada pucuk mencapai 88% dan pada
daun muda 67%. Bismark (1987) melaporkan bahwa di hutan mangrove
bekantan memakan daun dengan kandungan air 68%. Faktor lain adalah
tingkat kemudahan untuk mencerna yang tinggi pada daun muda yang
diindikasikan dari rendahnya serat kasar yang dikandung oleh pucuk
atau daun muda (Tabel 32). Pakan yang mengandung kemudahan untuk
dicerna tinggi pada umumnya memiliki kandungan serat rendah.

85
PERILAKU MAKAN

Tabel 32. Kandungan kimia daun pakan bekantan (Soendjoto, 2005)

Tiwadak banyu Karet Kujamas


Zat Satuan
Pucuk Muda Tua Muda Tua Muda
Kadar air* % 15,79 20,59 16,57 15,94 14,06 17,13
Abu % 9,29 5,14 6,29 4,18 4,99 2.49
Protein % 14,90 15,22 16,30 42.84 30,67 9,80
Serat kasar % 15,26 22,68 31,92 10,01 25,37 9,24
Lemak % 3,60 2,85 3,44 7,00 4,96 3,44
Energi kcl/g 3.964 3.565 3.894 3.906 4.036 3.940
Tanin % 0,0030 0,0046 0,0026 0,004 0,0017 0,0122
P % 0,19 0,15 0,14 0,32 0,32 0,13
K % 1,25 0,83 0,67 2,01 1,55 0,75
Ca % 3,14 1,18 1,98 0,12 0,34 0,44
Na % 0,03 0,01 0,01 0,03 0,02 0,06
Mg % 0,44 0,26 0,32 0,23 0,27 0,14
S % 0,12 0,11 0,13 0,26 0,25 0,10
Fe ppm 121,0 151,3 122,5 137,8 125,6 86,2
Mn ppm 51,8 24,8 32,7 100,8 191,8 24,5
Cu ppm 15,6 10,6 11,6 35,7 31,7 15,9
Zn ppm 58,6 72,0 21,5 84,6 75,7 37,1
Keterangan: * = kadar air setelah sampel dikeringanginkan selama 15 hari

Ketiga, setelah memetik pakan, bekantan tidak selalu memakan seluruh


bagian tumbuhan yang dipetik seperti daun karet kadang-kadang hanya
dimakan sebagian saja. Tidak diketahui dengan pasti alasan bekantan
berperilaku demikian. Di hutan mangrove, bekantan juga memakan
sebagian daun dan membuang sisanya. Cara ini merupakan upaya
bekantan untuk mengefisiensikan energi dalam pencernaan pakan dan
untuk memperoleh gizi lebih baik (Bismark, 1986).

86
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Tabel 33. Kandungan gizi, dan kalori daun di hutan mangrove

Presentase Berat Kalori/


Jenis tumbuhan Serat Kadar Tannin Phenol basah/ gr
Protein Lemak Karbohidrat kasar Air daun (g) (g)
abu total
Aglaia (M) 28,19 6,30 30,56 42,93 15,00 2,45 0,0184 82,35 1,521 3959,6
cucullata
Allophyllus (M) 5,23 11,26 22,45 45,45 14,00 2,01 0,0021 - - 4225,8
cobbe
Ardisia humiIis (M) 6,94 15,00 35,41 41,78 13,60 2,46 0,0165 75,00 0,52 4001,7
Avicennia (M) 12,35 8,76 48,26 24,97 8,30 2,00 0,0179 80,52 0,750 3801,5
officinalis
Avicennia (T) 9,47 9,25 53,05 29,87 10,50 2,39 0,0159 71,22 1,100 3825,1
officinalis
Avicennia (B) 8,04 11,29 83,31 8,67 4,00 2,35 0,0165 59,33 2,143 3815,6
officinalis
Bruguiera (M) 7,82 10,00 57,66 24,69 9,50 2,65 0,0165 71,95 2,560 4085,7
gymnorrhiza
Bruguiera (T) 9,56 16,80 74,61 13,36 7,50 2,06 0,0135 71,72 2,390 4135,8
gymnorrhiza
Bruguiera (B) 2,875 16,90 71,73 20,31 5,50 1,75 0,0165 72,00 1,504 3958,4
gymnorrhiza
Bruguiera (B) 9,75 9,10 47,36 28,39 11,40 2,99 0,0175 69,44 0,640 3940,8
sexangula
Bruguiera (B) 12,50 7,50 53,49 26,91 10,00 2,75 0,0185 71,11 0,570 3781,0
parviflora
Ceriops tagal (M) 5,94 10,60 49,15 25,98 14,40 2,75 0,0194 69,41 1,030 3988,9
Ficus sp. (M) 4,31 15,80 72,77 13,04 10,50 1,86 0,0124 66,75 3,846 4048,8
Ficus (M) 7,188 15,30 74,25 19,10 1,00 1,74 0,0146 68,86 0,814 4035,1
binnendykii
Lumnitzera (M) 3,82 13,90 69,56 20,33 5,50 1,52 0,0106 77,78 0,550 3647,7
littorea
Lumnitzera (T) 5,875 16,30 59,40 25,66 9,00 2,04 0,0145 78,00 0,909 3371,1
littorea
Rhizophora (M) 8,16 8,75 53,12 30,97 10,50 2,35 0,0167 68,42 2,740 3937,1
apiculata
Rhizophora (T) 6,76 10,97 65,81 27,84 5,50 1,83 0,0128 67,58 3,670 3952,7
apiculata
Rhizophora (B) 4,563 16,70 69,37 18,40 7,50 1,84 0,0164 72,00 0,587 4091,3
apiculata
Rhizophora (M) 1,80 18,72 23,74 43,06 17,00 4,09 0,0140 67,51 4,040 4082,1
mucronata
Sonneratia (M) 6,81 6,50 49,12 26,27 14,80 2,75 0,0164 76,11 0,332 3997,2
alba
Sonneratia (M) 21,00 7,40 21,16 51,47 14,20 2,96 0,0203 75,00 0,769 4038,2
alba
Keterangan: M = Daun muda, T = Daun tua, B = Buah

Keempat, bekantan memakan dan menyukai sumber pakan yang


justru memiliki kadar tanin tinggi. Hal ini menunjukkan toleransi
yang besar terhadap kadar tanin pakan. Leinmuller et al. (1991)
melaporkan beberapa publikasi tentang dampak toksik tanin, yaitu
pengurangan nafsu makan dan kehilangan berat tubuh pada domba

87
PERILAKU MAKAN

dan kambing serta adanya racun pada ginjal dan hati hewan yang memiliki
sistem pencernaan sederhana (monogastrik).
Pakan bekantan terdiri dari 81,14% daun, 8,38% buah, 7,68% bunga,
1,05% kulit kayu, dan 1,75% serangga. Dari analisis feses diketahui
komposisi pakan berupa daun 72,90%, buah 17,79%, kulit kayu 7,05%,
serangga dan kepiting 1,13%. Komposisi pakan bekantan yang diamati
di lapangan tidak berbeda nyata dengan hasil analisis feses. Fragmen
tumbuhan dalam feses satwa ruminansia tidak berbeda dengan proporsi
tumbuhan yang dimakannya (Todd, 1973).
Dilihat dari kandungan kimia, kulit pohon (R. apiculata) yang dimakan
bekantan tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan daun
dan buah, kecuali dari jumlah serat kasar (63,78%) dan Ca (0,958%) kulit
kayu (lebih tinggi). Konsentrasi Ca pada kulit kayu mencapai 5 kali lebih
tinggi dari daun. Kalsium (Ca) dalam pakan ruminansia berguna untuk
pencernaan selulosa, untuk pembentukan dinding sel bakteri dan untuk
proses fiksasi nitrogen oleh bakteri (Durand dan Kawashima, 1980).
Rasio seleksi pakan tertinggi adalah A. officinalis (Tabel 34). Tingginya
rasio seleksi terhadap A. officinalis karena kadar protein dan mineral
esensial yang tinggi serta posisinya dekat tepi sungai di mana aktivitas
makan bekantan lebih sering dilakukan pada jarak 0-100 m dari tepi
sungai (73,53 %), terutama pada pagi hari dan sore hari. Salter et al.
(1985) juga melaporkan bahwa aktivitas makan bekantan lebih sering
ada di sekitar tepi sungai. Jenis pakan bekantan yang dominan adalah R.
apiculata dan A. officinalis masing-masing 71,9% dan 22,7%. Di Sarawak,
Rhizophora hanya mendapat porsi 0,8% dan Avicennia 7,6% dari waktu
makan bekantan (Salter et al., 1985).

Tabel 34. Jenis pohon mangrove pakan bekantan dan nilai seleksi rasionya

Jenis pakan Kerapatan relatif (%) Komposisi pakan (%) Rasio seleksi

R. apiculata (d) 79,15 64,22 8,11


R. apiculata (bg) 79,15 7,68 0,97
A. officinalis (d) 1,22 14,31 117,30
A. officinalis (bh) 1,22 8,38 65,57
B. gymnorrhiza (d) 7,29 0,87 1,193
B. parviflora (d) 5,77 0,87 1,507
Keterangan: d = daun; bg = bunga; bh = buah

88
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Dari Tabel 34 terlibat bahwa daun A. officinalis mempunyai nilai rasio


seleksi tertinggi. Daun A. officinalis disukai karena mengandung glandula
NaCl (Lear dan Turner, 1977) terutama pada waktu pasang naik, daun
terasa asin. Dengan memakan daun A. officinalis bekantan dapat menambah
konsumsi Na yang berguna untuk pertumbuhan bakteri dalam lambung.
Dengan kecukupan Na+ dalam pakan ruminansia maka fermentasi dalam
rumen dapat mencapai tingkat optimum (Durand dan Kawashima, 1980).
Selain itu bekantan di hutan mangrove mengkonsumsi A. cobbe dan A.
humilis (0,87%) yang tumbuh berupa semak. A. humilis mengandung
Na 3,045%. Strategi memakan daun tumbuhan di rawa dilakukan oleh
bakantan untuk memenuhi kebutuhan mineral (Bismark, 1997).
Di hutan karet di mana terdapat danau atau sungai kecil dengan
beberapa jenis tumbuhan dapat digunakan oleh bekantan sebagai habitat.
Adapun jenis tumbuhan yang terdapat di tepi danau dan sungai kecil yang
dapat dimakan bekantan dapat dilihat pada Tabel 35.

Tabel 35. Jenis dan komposisi pakan bekantan di hutan karet Desa Simpung Layung,
Kabupaten Tabalong (Soendjoto et al., 2006)

Tumbuhan pakan Kulit Jumlah Kepadatan Rasio seleksi


No. Daun Bunga Buah
Famili Nama ilmiah Nama lokal batang (IARF) pohon/ha T/K Rel.

1. Dilleniaceae Dillenia excelsa Galigantan 5 4 - - 9 385 0,203 0,071

2. Elaeocarpaceae Elaeocarpus Bangkinang 22 - 7 - 29 49,38 0,587 4,374


stipularis burung

3. Euphorbiaceae Hevea brasiliensis Karet 164 26 - - 190 13,270 0,14 0,104

4. Hypericaceae Cratoxylum Mampat 16 - - - 16 245 0,065 0,484


cochinchinensis

5. Moraceae Artocarpus integer Tiwadak 15 - 6 - 21 10 2,1 15,65

6. Moraceae A. teysmanii Tiwadak 24 - - - 24 2,5 9,64 71,54


banyu

7. Moraceae Ficus binnendykii Kariwaya 17 - - - 17 62,5 2,027 2,027

8. Myrtaceae Syzygium stapfiana Kujamas 171 21 - 6 198 14.476,9 0,014 0,104

9. Myrtaceae S. polyanthum Salam, 2 - - - 2 332,5 0,006 0,045


duhat

10. Myrtaceae S. pyrifolium Serai merah 19 - 5 - 24 225 0,192 1,431

11. Myrtaceae Syzygium sp. 1 - 4 - - - 4 260 0,015 0,112

12. Myrtaceae Syzygium sp. 2 Salam laki 3 - 4 - 7 165,63 0,042 0,313

13. Symplo-caceae Symplocos Geminting 13 - - - 13 3.957,5 0,003 0,022


cochinchinensis

89
PERILAKU MAKAN

Tumbuhan pakan Kulit Jumlah Kepadatan Rasio seleksi


No. Daun Bunga Buah
Famili Nama ilmiah Nama lokal batang (IARF) pohon/ha T/K Rel.

14. Verbenaceae Vitex pubescens Alaban 33 14 8 - 55 113,13 0,486 3,622

15. TT TT Lumut 6 - - - 6 TT - -

16. Palmae Arenga pinnata Aren, enau - 9 - - 9 L - -

17. Palmae Calamus scipionum Tuu - - 8 - 8 L - -

18. Rosaceae Rubus moluccana Bambab - - 5 - 5 L - -

Jumlah 514 74 43 6 637 13,419 100

Relatif (%) 80,9 11,3 6,77 0,95 100

Keterangan: T/K = total lARF dibagi kepadatan; Rel = relatif (%) ; TT = tidak teridentifikasi. Data
kepadatan (individu/ha) dimodifikasi dari Soendjoto (2005). Tumbuhan pakan nomor
16, 17, 18 terdapat di luar tapak sampel (L). Tumbuhan pakan yang berupa lumut
menempel pada kulit batang kujamas

Seleksi pakan oleh primata juga berhubungan erat dengan kandungan


protein, serat, dan tanin (Tabel 36). Untuk mengetahui tingkat seleksi
primata terhadap sumber pakan dapat dilihat dari rasio protein dan serat
(Iwamoto, 1982). Pakan bekantan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel
37 mengandung protein dari 4,56-12,50% (rata-rata 8,42%), serat kasar
dan tanin berkisar 11,02-31,50% (rata-rata 23,90%).

Tabel 36. Parameter ekologi makanan jenis-jenis Colobinae*)

% Daun
Berat badan Rasio protein: Biomasa Besar
Jenis dalam
(kg) serat+tanin {kg/km²} kelompok
pakan
Colobus badius 7,0 87 0,43 1760 50
Colobus guereza 7,0 77 0,43 ? 9
Colobus satanas 7,0 38 0,20 176 15
Presbytis johnii 11,1 59 0,24 ? 16
Presbytis melalophos 5,8 36 0,25 540 15
Presbytis rubicunda 6,0 37 0,15 81 8
Presbytis obscura 6,6 58 0,25 440 14
Nasalis larvatus **) 12,5 81 0,35 792 21
Sumber: *) Bennett (1983); **) Bismark (1994)

90
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Tabel 37. Persentase protein, serat kasar dan tanin tumbuhan mangrove pakan bekantan

Jenis pakan Protein (%) Serat kasar (%) Tanin (%)


R. apiculata (d) 7,46 29,41 2,09
R. apiculata (bg) 4,56 18,40 1,84
A. officinalis (d) 10,91 27,07 2,20
A. officinalis (bh) 6,38 8,67 2,35
B. gymnorrbiza (d) 8,69 19,03 2,36
B. parviflora (d) 12,50 26,96 2,75
Rata-rata 8,42 21,72 2,27
Keterangan: d = daun; bg = bunga; bh = buah

Perbandingan protein dengan serat dan tanin dalam pakan bekantan


adalah 0,35. Perbandingan ini lebih tinggi dari pakan Presbytis (0,15-0,25)
(Bennett, 1983). Hal ini menunjukkan bahwa bekantan toleran terhadap
tanin dan serat yang rendah serta butuh pakan berprotein tinggi. Tidak
terdapat korelasi rasio seleksi pakan dengan konsentrasi tanin dan serat
kasar, karena serat kasar dan tanin dapat difermentasi dan dijadikan
tidak aktif oleh mikroflora saluran pencemaan (Hladik, 1977; Bauchop,
1978; Bennett, 1983; dan Lindroth, 1989). Volume saluran pencernaan
bekantan lebih luas dari volume saluran pencernaan Colobinae lain (Tabel
40) sehingga sistem pencernaan akan lebih efisien.
Daun adalah komponen pakan utama bekantan (81,14%). Walaupun
buah hanya dikonsumsi 8,38% namun mempunyai seleksi rasio 65,57.
Kesukaan bekantan terhadap buah (A. officinalis) berhubungan dengan
rendahnya kadar serat dan tanin (11,02%) dibanding dengan daun (rata-
rata 23,903%). Selain itu buah A. officinalis mengandung Cu (18,8 ppm)
lebih tinggi dari sumber pakan lain (Tabel 41) di mana Cu berperan dalam
mengaktifkan sintesa protein (Durand dan Kawashima, 1980). Kekurangan
Cu dapat menyebabkan anemia pada ruminansia (Church et al., 1971).
Untuk mencukupi kebutuhan asam amino esensial bekantan memakan
serangga atau rayap (Coptotermes) dan kepiting.

6.5. Kebutuhan Pakan


Berdasarkan kelas umur, individu bekantan betina dewasa, setengah
dewasa, dan remaja dengan berat badan rata-rata adalah 8,84 kg
mengkonsumsi pakan dengan komposisi terdiri dari 81,14% daun, 8,38%

91
PERILAKU MAKAN

buah, 7,68% bunga; serta serangga, kepiting, dan kulit kayu sejumlah 2,8%
dengan jumlah pakan 900 g berat basah atau 270,25 g dalam berat kering
(Tabel 39). Waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi adalah 3,01 jam
per hari (Tabel 40). Bila dibandingkan dengan produksi daun muda, hanya
1% dari produktivitas hutan mangrove yang dikonsumsi bekantan. Hladik
(1978) melaporkan bahwa primata pemakan daun hanya mengkonsumsi
daun dalam total produktivitas hutan yang berkisar antara 0,5-4%.
Berdasarkan pengamatan tiga jenis tumbuhan pakan bekantan di
hutan karet (Tabel 38), maka jumlah pakan individu bekantan per hari
bervariasi antara 919,96-1.537,59 g berat basah (Soendjoto, 2005).
Bismark (1987) melaporkan tumbuhan yang dimakan bekantan di hutan
mangrove berberkisar 1.500-1.750 g daun.

Tabel 38. Jumlah pakan individu bekantan per hari di hutan karet (Soendjoto et al.,
2005)

Laju Jumlah pakan


Bagian Berat Berat per hari (g)
Spesies Kadar air makan
yang basah kering
tumbuhan (%) (petik/ Berat Berat
dimakan (g) (g)
Menit) basah kering
Karet Pucuk 0,64 0,07 88,59 7,64 1.443,31 168,57
Daun 0,68 0,23 67,12 7,64 1.537,59 515,94
muda
Kujamas Pucuk 0,30 0,08 72,90 14,77 1.313,18 350,78
Tiwadak Pucuk 0,34 0,04 87,35 14,77 1.537,59 515,94
banyu
Daun 1,36 0,28 77,97 2,27 919,96 192,08
muda

Kandungan kalori pakan yang dikonsumi bekantan, rata-rata adalah


3,9475 kcal per gram berat kering. Dengan demikian konsumsi pakan
bekantan seberat 270,252 g kering (30,57 g berat kering pakan/kg berat
badan) mengandung kalori sebesar 1066,8 kcal atau 120,68 kcal/ kg berat
badan.

92
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Gambar 27. Bekantan remaja menggigit kulit batang R. apiculata

Tabel 39. Komposisi pakan bekantan

Jenis pakan % Berat basah (g) Berat kering (g)


Daun 81,14 767,50 218,530
Buah 8,38 101,20 41,158
Bunga 7,68 16,30 4,564
Kulit kayu, serangga, kepiting 2,80 15,00 6,000
Jumlah 100,0 900,00 270,252

Tabel 40. Pembagian waktu dalam aktivitas harian bekantan

Aktivitas % Pengamatan Perkiraan waktu (jam)


Makan 23,18 3,01
Bergerak/jalan 25,17 3,27
Istirahat 42,33 5,50
Bermain 8,21 1,07
Berkutuan (menyeliksik) 1,11 0,15

93
PERILAKU MAKAN

Menurut penelitian Iwamoto (1982), Macaca fuscata dengan berat


8 kg butuh pakan rata-rata 254 g berat kering (31,75 g/kg berat badan)
dengan kalori sebesar 1.050 kcal (131,25 kcal/kg berat badan). Sedangkan
menurut penelitian Hasan (1983), P. melalophos yang ditangkarkan dengan
berat badan rata-rata 4,6 kg mengkonsumsi pakan sejumlah 28,3 g berat
kering per kg berat badan dengan kandungan kalori 110,7 kcal per kg
berat badan. Dibanding dengan hasil penelitian di atas, kebutuhan pakan
dan kalori per kg berat badan bekantan rata-rata tidak berbeda dengan
M. fuscata dan P. melalophos.
Waktu makan berpengaruh terhadap kecukupan kalori, dalam hal ini
P. melalophos jantan dan betina tidak berbeda dalam waktu makan karena
tidak terjadi sexual dimorphisme (Bennett, 1983) tentunya berbeda dengan
N. larvatus di mana berat jantan dua kali berat betina. Untuk kecukupan
kalori, bekantan melakukan efisiensi, di mana bekantan jantan berjalan
lebih lambat, turun ke lantai hutan, dan tidak melakukan aktivitas bermain.

6.6. Kebutuhan Mineral


Pakan bekantan yang berasal dari tumbuhan adalah 98,25% yang
terdiri dari daun, buah, dan bunga. Hasil analisis kosentrasi mineral dan
kandungan total mineral P, K, Na, Ca, Mg, CI, Fe, Mn, Cu, dan Zn yang dalam
pakan dikonsumsi bekantan rata-rata setiap harinya disajikan dalam Tabel
41.

Tabel 41. Rata-rata kandungan mineral dalam pakan bekantan (mg per hari)

Sumber pakan Mineral (mg)


Jenis % P Ca K Na Mg Cl Fe Mn Cu Zn
R. apiculata (d) 64,22 265,35 1227,5 1211,3 2003,3 919,62 3109,3 83,05 6,08 2,65 1,70
R. apiculata (bg) 7,68 4,79 0,46 17,15 12,72 16,92 39,76 0,46 0,14 0,006 0,001
R. apiculata (k) 1,05 2,12 38,32 3,32 18,40 10,92 2,64 0,12 0,20 0,003 0,013
A. officinalis (d) 14,31 34,68 12,55 159,35 149,53 50,84 194,53 1,99 0,62 0,013 0,013
A. officinalis (bh) 8,38 118,95 17,29 183,16 51,86 42,81 391,02 2,06 0,82 0,077 0,056
B. gymnorhiza (d) 0,87 3,57 12,78 7,38 19,70 8,99 36,40 2,13 0,08 0,002 0,002
B. parviflora (d) 0,87 0,76 3,92 4,77 19,34 1,76 2,22 0,006 0,006 0,0001 -
Alophyllus cobbe (d) 0,87 1,25 2,07 2,12 0,78 2,12 1,34 0,04 0,019 0,0004 0,02
Jumlah (Total) 431,47 1314,9 1588,6 2275,6 1054,0 3777,1 89,86 7,965 2,75 1,79

94
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Jenis pakan yang dikonsumsi dalam jumlah kecil menunjukkan


kelebihan dalam kandungan mineral tertentu yang dibutuhkan bekantan,
seperti Alophyllus cobbe (0,87% porsi pakan) mengandung P dan Zn yang
tinggi dari jenis daun pakan dominan. Walaupun sumber pakan utamanya
daun, namun bunga dan buah dikonsumsi untuk tambahan kebutuhan
mineral, seperti bunga R. apiculata dan buah A. officinalis mengandung
Cu lebih tinggi dari daun A. officinalis. Kandungan P pada daun dan buah
A. officinalis lebih tinggi dari Rhizophora dan Bruguiera, sedangkan kulit
pohon R. apiculata mengandung Ca lebih tinggi dari sumber pakan lainnya.
Dari jumlah kumulatif (Tabel 41), kandungan mineral yang termasuk
elemen utama konsumsi pakan bekantan dalam satu hari adalah P 431,47
mg; Na 2.275,65 mg; K 1.588,56 mg; Ca 1.314,9 mg; dan Mg 1.053,98 mg,
sedangkan elemen lain (minor) yang dibutuhkan dalam jumlah kecil yaitu
Fe, Mn, Cu, dan Zn masing-masing 89,86; 7,965; 2,75; dan 1,79 mg per hari.
Untuk memenuhi kebutuhan mineral, jenis Colobinae memakan
tumbuhan rawa dan tanah liat (Oates, 1978), seperti bekantan memakan
daun A. cobbe. Berdasarkan kandungan mineral feses bekantan di hutan
bakau maka penyerapan atau pemanfaatan mineral pakan elemen utama
P, K, Na, Ca, Mg, dan Cl lebih dari 90% sedangkan elemen lainnya (minor),
Cl, Fe, Mn, Cu, dan Zn bervariasi dari 60-80%. Tampak bahwa kebutuhan
mineral bekantan yang tinggi didukung oleh sistem pencernaan bekantan
yang efisien. Efisiensi sistem pencernaan memungkinkan karena volume
saluran pencernaan bekantan yang lebih besar (8.371 cm³) dari jenis
Colobinae lain.

95
BAB 7
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT

7.1. Parameter Biomasa


Pergerakan primata arboreal sangat tergantung pada keseimbangan
struktur fisik hutan yang meliputi stratifikasi luas tajuk, tinggi tegakan,
kerapatan pohon, dan komposisi jenis dalam habitatnya. Struktur fisik
tegakan hutan diperlukan untuk mendukung perilaku pergerakan harian,
mencari makan, aktivitas sosial, dan perilaku reproduksi. Selain itu
keseimbangan struktur fisik tegakan juga menentukan kondisi iklim mikro
yang mempengaruhi fisiologi satwa, komsumsi pakan, daya cerna, dan
efisiensi pemakaian energi (Church et al., 1974). Jumlah konsumsi pakan
dan energi tergantung pada berat badan atau biomasa satwa (Moen, 1973;
Wheatley, 1984).
Besarnya biomasa populasi satwa arboreal dipengaruhi oleh daya
dukung habitat terutama kerapatan tegakan dan keragaman jenis pohon
pakan dan struktur stratifikasi tajuk yang mempengaruhi pergerakan dan
efisiensi pemakaian energi dalam metabolisme satwa. Kerapatan populasi
dan biomasa sangat dipengaruhi oleh struktur fisik dan biodiversitas
tegakan hutan sebagai parameter kualitas habitatnya.
Pengaruh keseimbangan struktur habitat dan iklim mikro terhadap
efisiensi pemakaian energi terlihat dari perbandingan konsumsi energi
bekantan di penangkaran sebesar 119,46 kcal per kg berat badan (BB)
yang hampir sama dengan kebutuhan energi di hutan bakau sebesar
120,68 kcal per kg BB untuk mendukung semua aktivitas hariannya secara
bebas (Bismark, 1994).
Kecukupan energi populasi satwa arboreal dengan sumber pakan daun,
bunga, buah, dan biji seperti primata sangat ditentukan oleh produktivitas
hutan, berat badan atau biomasa populasi satwa yang menghuninya. Oleh
sebab itu penentuan berat badan satwa arboreal dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat daya dukung, atau untuk menilai kualitas hutan
sebagai habitat.
Pengukuran berat badan secara langsung di alam dilakukan dengan
menimbang besar gaya lenturan cabang pohon berdiameter kurang dari

97
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT

10 cm dengan ketinggian maksimum 5 m yang digunakan bekantan untuk


duduk atau berhenti sesaat sebelum berjalan atau meloncat. Dahan diikat
pada bagian titik berat bekantan dengan tali dan dikait pada timbangan
pegas yang diikatkan pada akar pohon, tegak lurus di bawah titik berat.
Elastisitas dan beban dahan dapat terlihat pada skala timbangan pegas
saat tali ditarik dan lenturan dahan sama dengan saat ditempati bekantan
(Tabel 42).

Tabel 42. Berat badan (BB) dan tinggi duduk bekantan (td)

Berat badan td
Kelamin/kelas umur Sumber data
(BB) (kg) (cm)

Jantan dewasa 27,5 72,0 Penimbangan langsung dengan


26,5 72,0 metode mekanis
22,0 -
Betina dewasa 17,0 - Penimbangan di penangkaran
Betina dewasa 8,0 60
Jantan setengah dewasa 5,0 56
Jantan remaja 4,0 46
Jantan setengah dewasa 7,0 54
Jantan dewasa 8 55,0 Bekantan peliharaan masyarakat
Betina setengah dewasa 5,0 50 Catatan spesimen di Museum
Zoologi Bogor

Untuk mencari parameter geometri yang berhubungan erat dengan


berat badan, dilakukan pengukuran tinggi duduk atau panjang badan dan
kepala bekantan. Pendugaan berat badan secara tidak langsung dengan
parameter tinggi duduk lebih baik dan mudah diamati (Bismark, 1994).
Pengukuran tinggi duduk (td) di lapangan dilakukan dengan mengukur
jarak kepala ke lantai hutan atau dahan di mana bekantan duduk.
Sebelumnya jarak kedua titik yang akan diukur diamati dengan teropong
untuk menentukan tanda pada dahan, ranting atau daun yang menyentuh
atau sejajar dengan kepala bekantan dan penentuan titik pada posisi
duduknya.

98
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

7.2. Model Pengukuran Berat Bekantan


Bekantan adalah primata dimorfisme, di mana terdapat perbedaan
bentuk tubuh, bentuk hidung, dan ukuran morfologi tubuh yang
berpengaruh pada berat badan. Perbandingan bentuk dan ukuran tubuh
yang berkorelasi dengan berat badan menurut jenis kelamin dan kelas
umur bekantan terhadap tinggi duduk (panjang badan sampai kepala)
dapat dilihat pada Tabel 43.
Bagian geometri tubuh yang dapat menjadi parameter berat badan
bekantan yang dominan adalah tinggi duduk dan luas permukaan
tubuh (Tabel 44).

Tabel 43. Perbandingan ukuran tinggi duduk bekantan dan luas permukaan tubuh

Tinggi duduk Luas permukaan


Jenis kelamin dan kelas umur
(td) tubuh (L)
Betina dewasa/jantan dewasa 4/5 > 1/2
Jantan setengah dewasa/ jantan dewasa 3/4 >1/2
Betina setengah dewasa/ betina dewasa > 4/5 3/4
Jantan setengah dewasa/ betina dewasa >4/5 >4/5

Tabel 44. Bagian geometri yang mempengaruhi berat badan bekantan

Geometri Berat badan BB


Kelas umur
td (cm) L (cm²) (kg)

Jantan dewasa 65,50 7204,26 25,17


Betina desawa 56,25 4135,22 12,50
Jantan setengah dewasa 51,67 3904.91 6,67
Betina setengah dewasa 50,00 320,75 5,00
Remaja betina 38,00 2828,11 3,50

Tinggi duduk ini lebih mudah diamati dan diukur di lapangan.


Parameter lain yang erat kaitan dengan berat badan adalah luas permukaan
tubuh (badan, kepala, dan anggota gerak) di mana luas permukaan tubuh
(L) satwa dengan berat antara 0,02-1.400 kg sebanding dengan berat
pangkat ¾ bahkan mendekati ⅔ (Montheith dan Unsworth, 1991).

99
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT

Berdasarkan hasil pengukuran luas permukaan tubuh bekantan


menurut seks dan kelas umur dengan parameter geometri yang
mudah diamati di lapangan, yaitu tinggi duduk (td) dibuat analisis
korelasi mengikuti kesamaan model regresi eksponensial (Bismark,
1994). Analisis regresi hubungan td (cm) dan L (m²) jantan dan betina
menghasilkan :
L (♂) = 0,0514e0,0395td. (r = 0,90)
L (♀) = 0,1048e0,0662td. (r = 0,87)
Sesuai dengan perbandingan tinggi duduk bekantan jantan dan betina,
maka persamaan pendugaan L juga berbeda antara jantan dan betina,
selanjutnya L digunakan untuk memperkirakan berat badan bekantan
melalui pengukuran td secara tidak langsung. Dari Tabel 44 diketahui
bahwa luas permukaan tubuh (L dalam m²) berkorelasi dengan berat badan
bekantan (BB kg) mengikuti persamaan: L = 0,134 BB0,67. Pendugaan berat
badan jantan dan betina berdasarkan parameter tinggi duduk (td) dan luas
permukaan tubuh (L) secara sistematik, seperti berikut:
1. Pengukuran tinggi duduk (td dalam cm) di lapangan
2. Penghitungan luas permukaan tubuh (L dalam m²)
(1) ……… L♂ = 0,514e0,039 td
(2) ……… L♀ = 0,1048e0,0662 td
3. Pendugaan berat badan (BB)
(3)…………L = 0,1324 BB0,67
Berdasarkan analisis data pada Tabel 44, hasil pengukuran td dan BB
dengan berbagai macam sumber data primer tanpa membedakan jenis
kelamin dan kelas umur maka diperoleh persamaan umum korelasi td dan
berat badan sebagai berikut:
(4) ……… td = 33,03 BB0,25 (r = 0,91)
Hasil pendugaan ini sangat ditentukan dengan akurasi pengamatan
td di lapangan. Untuk pengamatan td harus dipilih pengamatan posisi
bekantan dengan posisi badan relatif tegak pada cabang pohon berdiameter
kurang dari 10 cm dengan ketinggian 5 m agar dapat mengenali dan
mengukur td pada tanda di mana posisi duduk atau penandaan ranting di
sekitarnya yang menyentuh bagian atas kepala bekantan. Untuk mengukur
td pengamat harus melakukan pemanjatan pohon hingga pada posisi
satwa primata duduk, sesaat bekantan sudah berpindah tempat.

100
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

7.3. Estimasi Biomasa


Berdasarkan jumlah dan komposisi kelas umur kelompok bekantan
dalam satu km² hutan mangrove dapat ditaksir biomasa kelompok
bekantan sebagaimana pada Tabel 45.

Tabel 45. Besar kelompok dan biomasa bekantan

Jumlah individu Biomasa (kg)


22 192,49
25 218,55
17 198,72
20 182,30
84 individu/km 792,06 kg/km²

Yeager (1988) menyatakan bahwa biomasa sekelompok bekantan


di Tanjung Puting berkisar antara 54,1-148,4 kg, sedangkan biomasa
populasinya adalah 499,5 kg per km², di mana kelompok bekantan dengan
satu jantan dewasa, dengan berat jantan dewasa 20,3 kg, bayi 2 kg, remaja
5 kg, betina setengah dewasa 9 kg, jantan setengah dewasa 12 kg, dan
betina dewasa 9,9 kg. Di Suaka Margasatwa Samunsam, Sarawak, biomasa
populasi bekantan sebesar 46 kg per km² (Bennett dan Sebastian, 1988).

Gambar 28. Biomasa jenis Colobinae (kg/km²) dan berat badan betina (kg)
(sumber: Bennett, 1983; *) Bismark, 1994)

101
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT

Biomasa jenis Colobinae yang tinggi adalah Presbytis senex di


Polonnarua, yaitu 1.450 kg per km². Jenis ini memakan daun dalam porsi
yang besar, yaitu sejumlah 400 kg per individu per tahun (Hladik, 1978).
Jenis Colobinae di Asia Tenggara tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata dalam jumlah dan komposisi kelompok sosial (Bennett, 1983).
Namun perbedaan biomasa di antara jenis primata sangat ditentukan
oleh sumber pakan (Hladik, 1978). Populasi primata pemakan daun
(Colobinae) lebih tinggi dari primata pemakan buah, hal ini dimungkinkan
karena produktivitas daun yang tinggi dan tersedia setiap musim.
Biomasa primata juga dipengaruhi oleh kondisi dan perbedaan habitat,
seperti P. melalophos dan P. obscura di dataran rendah masing-masing
dengan biomasa 300 kg per km² dan 314 kg per km² (Marsh dan Wilson,
1981) berbeda dengan yang di dataran tinggi. Perbedaan produktivitas
dan lingkungan habitat di hutan rawa gambut sepanjang sungai dengan
hutan riverine mangrove juga menunjukkan perbedaan biomasa bekantan,
yaitu 499,5 kg per km² dengan 792,06 kg per km², jumlah biomasa tersebut
lebih besar dari biomasa bekantan di habitat lainnya.

7.4. Daya Dukung Habitat dan Adaptasi


Daya dukung habitat diindikasikan dari populasi bekantan yang dapat
hidup di habitat dalam kawasan tertentu. Daya dukung ini dipengaruhi oleh
tipe, kualitas, produktivitas habitat, sumber pakan serta faktor luar yang
mempengaruhi kualitas dan produktivitas habitat, seperti pencemaran.
Habitat bekantan di hutan mangrove dengan kerapatan pohon
(diameter ≥ 35 cm) sebanyak 59 pohon/ha, 118 tiang/ha, dan 508 pancang/
ha menunjukkan produktivitas hutan yang tinggi. Hal ini diprediksi dari
produksi serasah di bawah tegakan. Produksi serasah rata-rata 3,32 g
berat kering/m²/hari setara dengan 13,18 kcal/m²/hari. Produksi serasah
hutan mangrove riparian di Florida yang dilaporkan oleh Mitcsh dan
Gosselink (1989) adalah 14 kcal/m²/hari. Dengan hasil serasah sejumlah
tersebut produksi primer bersih dari hutan mangrove tersebut adalah
57 kcal/m²/hari. Clough et al. (1983) melaporkan bahwa Rhizophora
yang tumbuh baik di Australia menghasilkan daun muda sejumlah 5 ton/
ha/tahun. Salah satu indikator hutan mangrove yang berada pada dalam
kondisi produktivitas tinggi adalah hasil serasah yang mencapai 1,3-2,0
g/m²/hari (Champman, 1983).
Kebutuhan kalori individu bekantan tergantung pada berat badan
dan aktivitas berjalan. Dari aktivitas tersebut, 59,92% dilakukan dengan

102
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

berjalan quadrupedal, 11,34% memanjat, 23,89% meloncat, dan 4,85%


bergerak dengan cara bergelantungan. Berdasarkan rumus Moen (1973)
dan Wheatley (1982) maka kebutuhan kalori bekantan rata-rata seberat
8,84 kg untuk aktivitas pergerakan arboreal adalah 133,76 kcal, meliputi
kebutuhan meloncat 93,55 kcal, pergerakan quadrupedal, memanjat dan
bergelantungan 4,92 kcal, dan pergerakan vertikal (gradien 50%), 35,29
kcal. Metabolisme basal 358,89 kcal, makan 14,38 kcal, istirahat 92,89 kcal,
dan bermain 47,91 kcal. Aktivitas pergerakan arboreal tidak pada bidang
datar sehingga kebutuhan kalori untuk pergerakan arboreal adalah dua
kali lipat (Wheatley, 1982). Dengan demikian maka total kebutuhan kalori
bekantan dengan berat badan rata-rata 8,84 kg adalah 781,60 kcal. Untuk
memenuhi kalori setiap harinya bekantan dengan berat badan 8,84 kg
mengkonsumsi pakan sejumlah 900 g per hari.
Kandungan kalori pakan yang dikonsumsi bekantan rata-rata adalah
1066,8 kcal atau 120,68 kcal/kg berat badan bekantan. Daya dukung habitat
hutan mangrove adalah 84 individu bekantan/km² dengan biomasa 778,68
kg dan kebutuhan kalori 93.971,1 kcal per hari, sedangkan produktivitas
habitatnya adalah 570.000 kcal/km², dengan demikian konsumsi energi
pakan yang dibutuhkan bekantan dalam populasi optimum adalah 16,5%
dari produktivitas primer habitat.
Dalam habitat hutan mangrove dengan kualitas baik dan produktivitas
tinggi, bekantan dapat hidup dalam populasi relatif padat. Hal ini terlihat
dari penggunaan core area daerah jelajah yang relatif kecil (18-20 ha)
dengan tumpang tindih ruang pengembaraan sebesar 20-62%. Yeager
(1989) melaporkan bahwa ruang pengembaraan (home range) bekantan
di hutan rawa gambut berkisar antara 125-137,5 ha dengan areal tumpang
tindih 95,9%, sedangkan “adjusted home range” yang intensif digunakan
adalah 19,3 ha per kelompok. Luas ruang pengembaraan bekantan di
mangrove adalah 19,4 ha, tidak berbeda dengan adjusted home range yang
dikemukakan Yeager (1989). Untuk mengatasi terjadinya kompetisi dalam
penempatan pohon sumber pakan dan pohon tidur bekantan melakukan
perpindahan lokasi tempat tidur rata-rata 220 m setiap hari dan jarak
antar kelompok 50-400 m.
Penggunaan dan perpindahan pohon tempat tidur di tepi sungai
merupakan adaptasi bekantan terhadap penyakit dan predator. Pada
habitat yang telah rusak strategi pemilihan pohon tempat tidur dan
perilaku berpindah-pindah setiap hari adalah cara untuk mempertahankan
populasinya.

103
BIOMASA DAN DAYA DUKUNG HABITAT

Efisiensi penggunaan waktu dan perjalanan dalam aktivitas mencari


makan, kelompok bekantan membentuk sub-kelompok yang rata-rata
terdiri 8,5 individu yang masing-masing tersebar dalam jarak rata-rata
96 m. Empat puluh tiga persen sub-kelompok terdiri dari 1 jantan dewasa
dengan jumlah individu 9,12 dan 22,8% terdiri dari 2 jantan. Pembentukan
sub-kelompok ini selain untuk mengatasi kompetisi antar individu juga
berperan dalam efisiensi penggunaan sumber pakan, pemantauan ruang
pengembaraan, dan efisiensi pengontrolan anggota sub-kelompok yang
lebih sedikit jumlahnya oleh jantan dewasa.
Kepadatan populasi bekantan di sungai terpengaruh oleh perubahan
tipe vegetasi hutan lahan basah dari muara sungai hingga hutan
Dipterocarpaceae campuran di pedalaman hulu sungai. Hutan di pedalaman
relatif miskin unsur hara, sedangkan bekantan sebagai primata pemakan
daun (sub-famili Colobinae) membutuhkan mineral cukup tinggi.
Degradasi habitat bekantan yang serius pernah terjadi di Pulau Kaget
Kalimantan Selatan pada tahun 1996. Kawasan seluas 267 ha tersebut
dihuni bekantan sejumlah 228 individu. Habitat didominasi Sonneratia
caseolaris di tepi sungai setebal 20-55 m dengan kerapatan 150 pohon/
ha. Kepadatan pohon ini masih mendukung untuk kebutuhan pohon
tidur dan pakan bagi sejumlah 200 individu bekantan dengan sebaran
sub-kelompok antara 25-75 m. Dari segi pakan, dengan indikasi tingkat
kekurusan bekantan, secara kualitatif hanya 25% dari bekantan yang tidak
dapat teradaptasi dengan kondisi habitat, terutama individu yang soliter
dan individu kelas umur tua.
Adaptasi bekantan terlihat dari cara bekantan memanfaatkan
tumbuhan air yang bermineral tinggi, karena lantai hutan tepi sungai
didominasi oleh tumbuhan bawah, Eichornia crassipes, Lymnocharis flava,
Pistia stratiotes yang mudah terbawa dan hanyut di sungai. Tumbuhan yang
dominan adalah Agapanthus africanus, sedangkan di bagian tengah Pulau
Kaget didominasi oleh Acrostichum aureum. Tumbuhan bawah tersebut
umumnya menutupi akar napas S. caseolaris. Sebanyak 75% populasi
bekantan terlihat dapat beradaptasi dengan pakan dari tumbuhan air, yaitu
Lymnocharis flava, Agapanthus africanus, Hymnenachne amplexicanlis, dan
Vittis trifolia. Tumbuhan air yang dimakan primata mempunyai kadar
mineral lebih tinggi dari tumbuhan pakan primata di dataran kering
(Oates, 1978).
Untuk mempertahankan populasi, bekantan butuh mineral yang
cukup banyak (Bennet dan Sebastian, 1988) seperti K, dibutuhkan

104
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

sejumlah 197,9 mg/kg berat/hari (Bismark, 1995) sedangkan Vittis trifolia


diketahui mengandung K 1,06%. Tingginya mineral tumbuhan di pulau ini
diindikasikan dengan hasil analisis kimia akar napas Soneratia caseolaris.
Namun dalam akar napas S. caseolaris, mineral yang terdeteksi adalah Zn,
Cu, dan Al, yang konsentrasinya 2-8 kali dari kandungan mineral tanah,
sedangkan kandungan Al-nya 6-17 kali dari konsentrasi Al tanah; Cd dan
Pb tidak terdeteksi. Tidak terdeteksinya Cd dalam akar napas S. caseolaris
dapat disebabkan tingginya konsentrasi Zn, di mana konsentrasi Zn yang
tinggi dapat menekan penyerapan Cd.
Bekantan yang hidup di hutan riparian Samboja Kuala, Kalimantan
Timur yang dekat dengan pemukiman dapat mengkonsumsi Mangifera
caesia, Garcinia mangostana, Durio zibethinus, Sandoricum koetjape, dan
Hevea brasiliensis, namun demikian tetap memakan Sonneratia caseolaris
sebagai sumber mineral (Alikodra et al., 1995). Adaptasi bekantan terhadap
tipe habitat dan sumber pakan terlihat dari kerapatan populasi dan jumlah
kelompok rata-rata 14,9 individu/kelompok (Alikodra et al., 1995) dan
di hulu sungai yang didominasi Dipterocarpaceae rata-rata 12 individu/
kelompok, sedangkan di hutan mangrove 17,4 dan 21 individu/kelompok.
Kondisi ini menunjukkan perbedaan daya dukung habitat terutama dalam
penyediaan sumber pakan dan mineral.
Di hutan karet, bekantan dapat teradaptasi dengan baik yang ditandai
dengan jumlah anggota kelompok yang mencapai 19 individu. Tingginya
kadar protein dan ketersediaan mineral penting dalam pakan bekantan
serta ketersediaan air menjadi pendukung utama keberadaan dan adaptasi
bekantan di luar kawasan hutan rawa gambut atau hutan mangrove
(Soendjoto et al., 2006).

105
BAB 8
KONSERVASI

8.1. Degradasi Habitat dan Penurunan Populasi


The South East Asia Zoo Association (SEAZA) dan Perhimpunan Kebun
Binatang Seluruh Indonesai (PKBSI) telah mengindentifikasi bahwa
bekantan menduduki prioritas tinggi dalam upaya pelestarian secara insitu
atau eksitu. Untuk itu telah diadakan workshop konservasi internasional di
Bogor yang diselenggarakan oleh Conservation Breeding Specialist Group
of the IUCN- the World Conservation Union (CBSG) dan workshop Indonesia
Proboscis Monkey Population and Habitat Viability Assesment (PHVA) pada
bulan Desember 2004 (Proboscis monkey PHVA, 2004).
Tingginya tingkat prioritas konservasi bekantan disebabkan oleh
kekhawatiran akan penurunan populasi di alam dengan cepat. Populasi
bekantan di Kalimantan kurang lebih 25.000 individu, dan dari hasil
identifikasi pada 12 lokasi sebaran bekantan, populasi diperkirakan
berjumlah 9.200 individu (PHVA Prosboscis monkey, 2004) dan Supriatna
(2004) memprediksi populasi tinggal 15.000 individu dengan laju
deforestasi habitat 2,49%. Pada tahun 1994 total populasi bekantan di
Indonesia sejumlah 114.000 individu dengan salah satu contoh di TN Kutai
berjumlah 400 individu (Bismark dan Iskandar, 2002).
Di kawasan konservasi kelompok bekantan terpencar antara 4-25 km
(1986), rata-rata 30 km pada tahun 1994, dan jarak sebaran di luar kawasan
konservasi akan bertambah seiring dengan terjadinya fragmentasi hutan di
sepanjang sungai habitat bekantan, hutan rawa gambut serta terputusnya
koridor yang menghubungkan danau-danau berhutan yang berpotensi
sebagai habitat bekantan, seperti sebaran sub-populasi bekantan di Delta
Mahakam yaitu rata-rata 50 km (Ma’ruf, 2005).
Fragmentasi habitat tepi sungai akan memutus jalur migrasi populasi
bekantan sewaktuwaktu bila terjadi penurunan daya dukung habitat.
Demikian pula kurangnya pakan pada musim tertentu dan kebutuhan
mineral yang tinggi sebagai komponen pakan bekantan secara langsung
yang dapat berakibat pada penurunan populasi. Dalam setahun kelompok
bekantan menggunakan kawasan hutan seluas 9 km². Fragmentasi habitat

107
KONSERVASI

dapat meningkatkan ancaman perburuan, parasit, predator, dan tekanan


tinggi yang mempengaruhi penurunan populasi bekantan.
Pengaruh fragmentasi habitat terhadap populasi bekantan terutama di
hutan riverine mangrove, karena vegetasi mangrove yang potensial sebagai
habitat bekantan hanya 7%. Selain itu habitat di hutan rawa gambut telah
terdegradasi melalui pemanfaatan hutan produksi, pengembangan areal
pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Ancaman penurunan populasi
bekantan akibat pengurangan habitat bekantan adalah 3,1% tiap tahun
(Bismark dan Iskandar, 1997) sedangkan degradasi habitat 3,49% tiap
tahun (Supriatna, 2004). Bila dilihat dari populasi pada tahun 1994
dengan populasi 114.000 individu dan 15.000 individu pada tahun 2004,
penurunan populasi dalam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 10% per
tahun. Ini menunjukkan bahwa bekantan sensitif terhadap fragmentasi
habitat.
Mengingat aktivitas harian bekantan yang menggunakan hutan
riparian selebar 500 m dan perpindahan harian bekantan antara 300-
800 m di kebun karet, 800-2.000 m di hutan mangrove, maka sebagai
upaya pelestarian habitat bekantan perlu dilakukan perlindungan atau
ditetapkan hutan sempadan sungai sebagai kawasan lindung yaitu seluas
minimal 500 m. Perlindungan sempadan sungai selebar 500 m ini selain
menyediakan habitat dengan daya dukung minimal kepada kelompok
bekantan, juga memberikan dampak pengurangan laju aliran permukaan
yang membawa partikel tanah hasil erosi yang dapat menurunkan kualitas
sungai. Percepatan pengurasan hasil mineralisasi serasah sehingga dapat
menyebabkan eutropikasi sungai, termasuk kelestarian keanekaragaman
jenis fauna air. Pada hutan produksi yang berbatasan dengan habitat
bekantan perlu diterapkan teknik pemanenan dengan Reduced Impact
Logging (RIL) guna mempertahankan kualitas perairan. Hal ini sangat
mendukung bagi kelestarian habitat bekantan, karena bekantan sangat
membutuhkan kualitas perairan yang baik yang dapat mempengaruhi
kualitas pakan, pohon tempat tidur, sumber air minum, dan sebagai sarana
untuk aktivitas berenang dan mandi.
Pengamatan Yeager (1992) di TN Tanjung Puting pada tahun 1985
menunjukkan kepadatan populasi bekantan sebesar 62,9 individu per km
persegi, dan 41 individu per km persegi dalam tahun 1991. Dalam waktu
enam tahun telah terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6%
per tahun. Hal ini disebabkan oleh polusi air sungai akibat penambangan
emas di hulu sungai, degradasi habitat sungai, dan meningkatnya lalu lintas

108
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

perahu motor. Mengingat bekantan sangat sensitif terhadap kerusakan


habitat (Bennett dan Gombek, 1991), maka populasi bekantan dapat
dijadikan sebagai indikator bagi kerusakan hutan rawa. Populasi bekantan
dalam kondisi habitat yang mengalami kerusakan berat mencapai rata-
rata sembilan individu per km persegi (Yeager dan Blondan, 1992).
Pencemaran air oleh logam berat terindikasi dari akumulasi Cd, Pb,
Cr, Ni, dan Mo dalam jaringan akar R. apiculata dalam habitat bekantan di
hutan mangrove (Bismark, 1995). Merangasnya Sonneratia caeolaris akibat
logam berat di Pulau Kaget Kalimantan Selatan, menyebabkan turunnya
potensi pakan bekantan. Hutan lahan basah tepi sungai dan pantai yang
berhubungan dengan pasang surut sungai atau laut yang tercemar, maka
polutan yang terlarut dapat berdampak pada kualitas sumber pakan, dan
dapat berpengaruh terhadap keragaman jenis dan populasi satwa langka.
Kerusakan habitat menyebabkan predator bekantan melakukan
pergerakan dengan mudah. Populasi biawak Varanus salvator sebagai
salah satu predator primata (Rodman, 1998; Yeager, 1992) cukup banyak
terdapat di areal rawa dan mangrove. Selain biawak, jenis reptil yang
memungkinkan sebagai predator bekantan di hutan bakau adalah ular
kobra (Ophiophagus hannah). Permasalahan habitat bekantan bukan
saja masalah pengurangan luas hutan rawa, tetapi juga masalah kualitas
air sungai yang menjadi sumber air minum, mandi, dan berenang bagi
bekantan. Berlangsungnya pembangunan pemukiman dan industri di hulu
sungai, dapat menurunkan kualitas sungai, seperti pencemaran parasit
yang penyebarannya dapat melalui air. Bukti ini telah diketahui dari
ditemukannya telur cacing Ascris dan Trichiuris dalam feses bekantan.
Trichiuris umum ditemukan pada feses primata seperti Macaca fascicularis
(Matsubayashi, 1981), pada orangutan dan simpanse (Rijksen, 1987).

8.2. Konservasi Eksitu


Pemeliharaan bekantan di kebun binatang maupun oleh masyarakat
sudah lama dilakukan di dalam maupun di luar negeri, dan keberhasilan
penangkaran bekantan pertama dilaporkan tahun 1993. Dari berbagai
laporan masyarakat, bekantan yang ditangkap dari alam sangat sulit
dipelihara karena mempunyai tingkat stres yang tinggi dan sulit makan,
akibatnya tidak jarang mati dalam waktu singkat. Percobaan penangkaran
bekantan di Kalimantan Timur pernah dilakukan di areal tanam satwa PT
Pupuk Kaltim Bontang (1993) dan Taman Safari Indonesia (TSI). Bekantan
yang ditangkar di PT Pupuk Kaltim Bontang diberi pakan dengan mie

109
KONSERVASI

instan, buah pohon simpur (Dillenia sp.), pisang, pepaya, dan air minum
(Tabel 46).

Tabel 46. Pakan bekantan di penangkaran satwa PT Pupuk Kaltim Bontang

Berat Berat kering/hari (g)


Seks dan kelas umur badan Minum
(kg) Indomie Simpur Pisang Pepaya
(ml)
Betina dewasa 8 97,75 31,73 41,55 4,52 125
Jantan pra dewasa 5 102,70 22,19 22,19 3,03 142
Jantan remaja 4 98,00 22,37 25,49 2,49 131

Gambar 29. Bekantan di TSI, Bogor

Rata-rata berat kering pakan bekantan per hari adalah 157,93 g atau
27,85 g/kg berat badan dengan kalori pakan 119,46 kcal/kg berat badan. Di
kebun binatang Singapura Zoological Garden (SZG) bekantan diberi makan

110
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

dengan apel (25 g), pisang (25 g), kacang panjang (3 ikat), telur rebus (½),
dan nasi dengan daging (25 g) dalam bentuk bola. Selain itu diberi makan
dengan pelet (Zupreem primate dry) dengan minyak ikan dan neotroplek
(3-4 pelet) dan daun-daunan (3 ikat atau 4 kg) untuk kebutuhan pakan
5 individu bekantan. Dilaporkan sejak awal tahun 1998 bekantan yang
dipelihara di SZG yang berasal dari Kebun Binatang Yogyakarta hidup
sehat dengan pola makan di atas dan dapat melahirkan anak.
Di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor bekantan diberi pakan sayuran
37,42%, protein 3,98%, daun-daunan 49,71%, dan buah 8,89% dengan
perbandingan Ca/P rasio 1,31. Bekantan dengan berat badan 6 kg makan
1,8 kg atau 30,18% dari berat badan dengan kandungan kalori 925,5 kcal
(Trihastuti et al., 2004), kebutuhan kalori pakan bekantan betina dengan
berat badan 8,8 kg adalah 745,41 kcal dan jantan dengan berat badan 5
kg membutuhkan kalori 647,8 kcal (Bismark, 1994). Komponen pakan
bekantan di TSI, Bogor tertera pada Tabel 47.

Tabel 47. Komposisi pakan bekantan di Taman Safari Indonesia, Bogor (Trihastuti et al.,
2004)

Jumlah yang dikonsumsi


Jenis pakan % dalam pakan
(g/individu)
Gibbon ball 72 4,0
Apel 54 3,0
Salak 32 1,8
Wortel 127,5 7,0
Bayam 100 5,5
Daun kemang 320 17,5
Daun hutan 180 9,9
Toge 180 9,9
Kacang panjang 90 5,0
Daun ketapang 240 13,3
Daun ara jelateh 160 8,8
Nasi 180 9,9

Jenis daun yang diberikan kepada bekantan di TSI adalah daun kayu
manis, beringin, angsana, jingjing, ketapang, nangka, dan ara jelateh. Jenis-

111
KONSERVASI

jenis tersebut memiliki kadar Ca tinggi antara 6-30%, di mana Ca daun ara
jelateh 30,5 ppm, kadar P 0,1-2,3%, dan kadar protein dari 11,3–22,8%.
Komposisi pakan, kadar gizi, dan teknik pemberian pakan yang tepat akan
mendukung percepatan program penangkaran atau konservasi eksitu
bekantan, yang diindikasikan dengan berkembangnya populasi bekantan
melalui kelahiran anak di penangkaran.
Konservasi eksitu bekantan melalui pengembangan penangkaran di
kebun binatang atau lembaga konservasi lainnya dapat digunakan sebagai
sarana pendidikan konservasi maupun rekreasi yang mendatangkan nilai
budaya menyangkut pelestarian bekantan di alam, terutama dalam hal
pencegahan perburuan atau upaya rehabilitasi habitat tepi sungai, danau,
dan hutan dengan tumbuhan yang dapat menjadi sumber pakan bekantan.

8.3. Program Konservasi


Berdasarkan hasil PHVA bekantan tahun 2004, telah diidentifikasi
permasalahan kerusakan habitat dan dampaknya pada kelestarian
bekantan seperti terlihat dalam Gambar 30.
Pemanfaatan dan konversi lahan hutan habitat bekantan pada hutan
rawa gambut, rawa air tawar atau mangrove menjadi areal perkebunan,
tambak perikanan atau penambangan di hulu sungai yang berdampak
pada kualitas perairan habitat bekantan sebenarnya sudah berjalan lama.
Di antaranya adalah perubahan kualitas air sungai habitat bekantan di
TN Tanjung Puting akibat penambangan emas di hulu sungai. Penurunan
kualitas sungai diperkuat oleh tingginya aktivitas angkutan sungai (speed
boat) yang dapat meningkatkan abrasi tepi sungai, mengurangi keragaman
jenis tumbuhan bawah tepi sungai yang berpotensi sebagai sumber pakan
bekantan.
Polusi sungai oleh logam berat terindikasi dari meningkatnya
konsentrasi logam berat di akar tumbuhan mangrove yang menjadi
sumber pakan bekantan, seperti kandungan Zn dan Cu di akar Soneratia
caseolaris dengan kosentrasi 2-8 kali dari kandungan yang ada di tanah
dan 6-17 kali untuk mineral Al. Kandungan Pb 20-120 ppm dan 1,04-1-
21 ppm Mo ditemukan pada akar mangrove di TN Kutai (Bismark, 1994),
sedangkan di hutan mangrove yang belum tercemar tidak terdeteksi
adanya Mo (Bismark, 2007).

112
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Masalah substansial
Fragmentasi habitat:
Pola pengelolaan lahan
• Konversi hutan
o Penanaman kelapa sawit
o Pengembangan lahan pertanian
• Kegiatan ilegal
o Penebangan hutan
o Pertambangan
o Perburuan
o Penangkapan ikan
o Kebakaran hutan
o Penuruan kualitas habitat

Tingkat kepedulian
Terkait kebijakan • Kurangnya kepedulian
• Kurangnya kapasitas
• Konflik lahan kelembagaan
• Tata ruang • Konflik antar sektor
• Penegakan hukum • Kurang selaras kebijakan pusat
dengan daerah

Gambar 30. Identifikasi permasalahan kerusakan habitat dan dampaknya


pada kelestarian bekantan

Perluasan tambak yang mencapai lebih dari 50% dalam waktu 10


tahun (Sarjono, 1997) dan tersisanya habitat bekantan seluas 10% di
muara Mahakam (Ma’ruf et al., 2005) dan terputusnya habitat dan
sebaran bekantan rata-rata sepanjang 30 km adalah kenyataan yang dapat
digunakan sebagai dasar mengapa pelestarian bekantan menjadi prioritas
utama, termasuk kebakaran hutan akibat berbagai dampak intervensi
masyarakat ke dalam kawasan hutan gambut dan hutan tepi sungai secara
ilegal.
Untuk mengatasi permasalahan habitat dan penurunan populasi
bekantan perlu dibuat program-program kegiatan sebagai berikut:
1. Inventarisasi sebaran, habitat, dan populasi bekantan.
2. Rehabilitasi dan restorasi habitat yang potensial bagi pengembangan
populasi bekantan.
3. Pengembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam melakukan
konservasi sempadan sungai dan satwa.

113
KONSERVASI

4. Pengaturan penggunaan sungai sebagai alat transportasi, pencegahan


masuknya limbah ke sungai, dan pengembangan bangunan di sempadan
sungai habitat bekantan.
5. Pengembangan konservasi eksitu.
6. Pengembangan wisata alam dengan objek bekantan sebagai upaya
peningkatan nilai ekonomi masyarakat lokal dan manfaat satwaliar.
7. Peningkatan peran kelembagaan dan budidaya usaha pengelolaan
kawasan hutan yang terkait dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu
dan jasa lingkungan.

8.3.1. Inventarisasi Sebaran Populasi

Peningkatan pemanfaatan lahan sepanjang sungai habitat bekantan


dan peningkatan transportasi sungai telah terbukti menurunkan populasi
dan peningkatan fragmentasi habitat bekantan. Oleh karena itu data
sebaran populasi sangat diperlukan untuk menentukan status konservasi
dan program prioritas penyelamatannya. Hal ini lebih penting bagi
pelestarian bekantan di luar kawasan konservasi. Inventariasi ini juga
terkait dengan program rehabilitasi, restorasi, dan pemanfaatan kawasan
dan populasi sebagai objek wisata dalam kawasan wisata alam.
Saat ini penelitian umumnya terfokus pada penentuan sebaran dan
populasi, sedangkan penelitian perilaku yang mendukung pelestarian
habitat masih terbatas karena tipe habitat dan sifat semiterestrial
bekantan menyulitkan proses habituasi. Oleh karena itu dalam buku ini
disampaikan hasil penelitian perilaku dan pemanfaatan habitat bekantan
dalam 10 tahun terakhir. Hasil penelitian terakhir yang dilakukan
Soendjoto (2005) adalah penelitian bekantan di hutan karet. Penelaahan
ditujukan pada aspek adaptasi bekantan terhadap hutan tanaman karet.
Hasil inventarisasi juga menunjukkan bahwa bekantan juga ditemukan di
hutan bukit kapur, Kalimantan Selatan.

8.3.2. Rehabilitasi dan Restorasi Habitat

Hutan tepi sungai adalah kawasan yang pertama kali dan lebih mudah
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam pengembangan pemukiman
atau pertanian, termasuk sebagai lokasi pembangunan untuk pengelolaan
hasil hutan non kayu, industri perkayuan, dan industri angkutan sungai
sehingga habitat bekantan sangat rentan terhadap fragmentasi maupun
terbentuknya lahan kritis.

114
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Sesuai hasil inventarisasi sebaran populasi, perlu dibuat program


lanjutan untuk melaksanakan rehabilitasi atau restorasi habitat bekantan
yang potensial untuk pembinaan populasi. Program rehabilitasi atau
restorasi pada habitat yang telah menurun kualitasnya diarahkan pada
pengayaan jenis tumbuhan pakan yang mengandung mineral dan protein
tinggi. Pembinaan habitat untuk peningkatan populasi diarahkan agar
sub populasi yang berkelompok dalam kawasan tersebut dapat mencapai
angka populasi minimum (250 individu).
Apabila kawasan tersebut merupakan bagian areal pertanian,
rehabilitasi dapat dilakukan dengan menanam jenis buah-buahan yang
dapat mendukung tersedianya sumber pakan bekantan seperti dilaporkan
Alikodra et al. (1995), atau dengan tanaman karet (Soendjoto et al., 2005).
Daun dan buah dari jenis-jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi oleh
bekantan seperti di SZG Singapura tertera pada Tabel 48.

Tabel 48. Tumbuhan pakan bekantan di luar habitat (SZG Singapura)

No Jenis tumbuhan Jenis yang dimakan


1. Morus alba Daun dan batang
2. Asystasia intrusa Buah, daun
3. Leucaena leucocephala Kulit, daun bunga dan batang
4. Acalypha siamensis Daun muda
5. Ligustrum quaihoni Semua daun
6. Dillenia suffritiuosa Daun muda
7. Khaya senegalensis Daun muda
8. Terminalia catappa Daun muda dan daun tua
9. Baphia nitida Daun muda
10. Cinammomum iners Daun muda
11. Prerocarpus indicus Daun muda
12. Eugenia sp. Daun muda
13. Pennisetum purpureum Daun
14. Averrhoa carambola Daun muda

8.3.3. Penangkaran

Upaya konservasi eksitu bekantan sudah menunjukkan hasil dengan


berkembangnya jumlah individu bekantan dalam bentuk penangkaran
di kebun binatang dan TSI. Keberhasilan ini didukung pula oleh upaya
pengembangan jenis dan pakan bekantan yang memenuhi kualitas gizi dan

115
DAFTAR PUSTAKA

kalori yang dibutuhkan. Keberhasilan diindikasikan dengan berhasilnya


kelahiran bekantan di penangkaran tersebut.
Penangkaran merupakan salah satu upaya konservasi yang dapat
meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap
pelestarian satwa.
Bekantan yang ada dalam areal penangkaran kebun binatang atau TSI
digunakan sebagai sumber atau model dalam pendidikan konservasi. Hal
ini dapat meningkatkan nilai-nilai pelestarian habitat dan satwa bagi kader
konservasi sebagai langkah dalam melakukan pelestarian insitu melalui
peningkatan kesadaran terhadap perlindungan hutan, sempadan sungai,
dan pencegahan perburuan. Di samping itu, dapat pula diterapkan untuk
merubah persepsi masyarakat yang selama ini menganggap bekantan
sebagai hama pertanian menjadi objek wisata.

8.3.4. Pengaturan Pemanfaatan Hutan Tepi Sungai

Hutan tepi sungai (sebagai habitat bekantan), sungai dan kualitas


airnya sangat menentukan dalam pelestarian populasi bekantan. Hutan
sempadan sungai minimal selebar 500 m dengan keragaman jenis pohon
dan tumbuhan yang tinggi untuk pohon tidur dan pakan bekantan penting
dilestarikan sebagai habitat. Di areal dengan keragaman jenis rendah
seperti adanya tanaman perkebunan dan buah-buahan yang dikelola
masyarakat, pergerakan harian bekantan meningkat menjadi 800-1000 m.
Oleh karena itu pemanfaatan kawasan untuk tujuan lain seperti kebun dan
pemukiman sebaiknya minimal berjarak 500 m dari tepi sungai. Hal ini
dimaksudkan agar tingkat gangguan bekantan terhadap areal pertanian
akan rendah, karena bekantan sangat terikat dengan sumber air. Adaptasi
bekantan terhadap tanaman perkebunan terlihat dari berkembangnya
populasi di hutan karet. Namun sumber air dan hutan sempadan mata air
dan sungai kecil tetap menjadi bagian penting dalam perilaku makan dan
perilaku harian bekantan.
Mengingat bahwa peningkatan lalulintas di sungai habitat bekantan
dapat menurunkan populasi bekantan maka diperlukan aturan atau
rambu-rambu di sungai yang dihuni oleh bekantan. Hal ini diperlukan
agar pengemudi speed boat mengurangi kecepatannya agar tidak terjadi
kebisingan tinggi yang dapat menimbulkan stres pada bekantan, terutama
di sungai kecil.

116
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

8.3.5. Pengembangan Agrowisata

Program restorasi atau rehabilitasi hutan tepi sungai habitat bekantan


sejalan dengan pengembangan wisata sungai dengan objek bekantan.
Rehabilitasi sempadan sungai dapat dikombinasikan dengan tanaman
buah-buahan dengan pola agroforestry sehingga dapat menjadi bagian
program pengembangan agrowisata.
Pakan bekantan yang komposisinya lebih dari 80% daun dapat
dikatakan bahwa ancaman bekantan terhadap buah-buahan relatif rendah,
sehingga model agroforestry merupakan kombinasi aspek pelestarian
bekantan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, rehabilitasi lahan,
dan peningkatan kualitas sungai. Diharapkan pengembangan wisata alam
di habitat bekantan di luar kawasan konservasi ini segera direalisasikan
dan ditingkatkan guna mengurangi fragmentasi habitat dan populasi di
luar kawasan konservasi.

Gambar 31. Wisata sungai di habitat bekantan Sungai Hitam Samboja,


Kalimantan Timur (Ma’ruf, 2005)

Bekantan berperan dalam mempertahankan biodiversitas vegetasi


habitat. Dalam hal ini bekantan juga memakan biji tumbuhan yang dominan.
Cara ini akan memberikan kesempatan bagi jenis yang tidak dominan
untuk berkembang, sehingga dengan demikian populasi bekantan cukup
besar peranannya dalam perbaikan biodiversitas vegetasi hutan (Yeager
dan Blondal, 1992).

117
DAFTAR PUSTAKA

Pelestarian bekantan
di luar kawasan konservasi
besar peranannya untuk men-
jaga penurunan populasi agar
jangan sampai berada pada
batas kritis. Sebagian besar
habitat bekantan adalah di
luar kawasan konservasi, oleh
karena itu habitat bekantan
di kawasan hutan produksi
sangat perlu dibina. Walaupun
perburuan bekantan jarang
terjadi, namun perusakan
habitat bekantan akibat
pengembangan areal
pemukiman maupun pertanian
dan tambak (perikanan) lebih
berdampak negatif terhadap
Gambar 32. Perumahan masyarakat di sekitar penurunan populasi. Untuk
habitat bekantan di Sungai Hitam,
Samboja (Foto Ma’ruf, 2005)
pelestarian populasi bekantan,
perlu dibuat perlindungan
pada habitat tepi sungai di mana bekantan ditemukan minimal sejauh 500
m, sesuai dengan jarak yang ditempuh bekantan dari tepi sungai dalam
aktivitas hariannya. Tepi sungai yang dihuni bekantan di kawasan hutan
produksi perlu dimasukkan sebagai wilayah konservasi yang menjadi
indikator pengelolaan hutan produksi lestari yang dapat dikelola sebagai
hutan wisata.
Di Brunei, upaya pelestarian populasi bekantan dikembangkan
bersamaan dengan pengembangan ekoturisme, sehingga kerusakan
habitat satwa dapat terpantau melalui peningkatan aktivitas rekreasi
(Yeager dan Blondal, 1992). Di TN Kutai, sebagian besar dari turis asing
yang berkunjung berusaha untuk menemukan kelompok bekantan di
samping melihat orangutan di Teluk Kaba. Pengembangan ekoturisme di
kawasan konservasi, taman nasional, dan di luar kawasan konservasi, selain
memberikan dukungan bagi upaya pelestarian habitat dan populasi juga
memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat, terutama di
luar kawasan konservasi. Dalam kawasan konservasi sendiri seperti taman
nasional dan suaka margasatwa di mana habitat dan populasi bekantan

118
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

dikonservasikan, diperlukan pengawasan dan pembinaan habitat dan


populasi yang intensif mengingat maraknya illegal logging. Kegiatan ini
dapat dilakukan mulai dari hutan yang berada di sempadan sungai.
Kegiatan pengelolaan satwa langka di luar dan dalam kawasan
konservasi masih menjadi tugas pokok Departemen Kehutanan (Dephut),
sementara itu habitat dan keberadaan satwa tidak selamanya ada dalam
pengawasan dan tanggung jawab Dephut, seperti daerah penyangga
taman nasional yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah
(Departemen Dalam Negeri). Di daerah penyangga masih terdapat habitat
potensial bagi satwaliar langka, termasuk bekantan. Dengan tingginya
laju fragmentasi, habitat bekantan tidak disadari sudah berada di bagian
wilayah pedesaan di mana habitatnya sangat berarti bagi pegembangan
pertanian dan kebun rakyat untuk pendukung kebutuhan ekonomi.
Habitat bekantan juga ada di kawasan hutan produksi di mana
keamanan habitatnya menjadi tanggung jawab pemegang Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Walaupun sudah ada arahan
kelola lingkungan dan peraturan untuk menetapkan wilayah konservasi
dan areal plasma nutfah dalam kawasan hutan produksi, namun
keberadaan bekantan pada habitat yang spesifik menyebabkan penetapan
dan pengamanan habitatnya dalam kategori di atas belum sepenuhnya
terlaksana.
Koordinasi program pengelolaan daerah aliran sungai, kawasan
lindung gambut, hutan mangrove, pedesaan, dan perkebunan yang
terpadu dan saling sinergis dalam melestarikan habitat dan populasi
bekantan sangat diperlukan terutama di luar kawasan konservasi. Untuk
itu diperlukan pembentukan kelembagaan seperti Lembaga Pengarah
Konservasi yang dikoordinasikan oleh Bappeda dengan anggota dinas-
dinas terkait seperti Dinas Kehutanan, Perkebunan, Pemda, Pengairan
(PU), dan lain-lain yang kegiatannya akan berdampak pada perbaikan
habitat dan pelestarian bekantan.

119
DAFTAR PUSTAKA

Aldrich-Blake, F. P. G. 1980. Longtailed macaques. p. 147-165. In: Malayan


Forest Primates (D.J. Chivers ed.). Plenum Press, New York.
Alikodra, H. S., A. H. Mustari, N. Santoso, dan Yasuma. 1995. Social
interaction of proboscis monkeys (Nasalis larvatus Wurmb) group
at Samboja Koala, East Kalimantan. Pusrehut, Anual Report, 10 pp.
Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi ekosistem
Sumatra. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Baker, E. W. and G. W. Wharton. 1952. In introduction to arcarology. The
Mac Millan Company, New York.
Bauchop, T. 1978. Digestion of leaves in vertebrata arboreal folivores. p.
139-204. In: The Ecology of Arboreal Folivores (G.G. Montgomery ed.).
Smithsonian Institute, Washington D.C.
Bennett, E. L. 1983. The Banded Langur: Ecology of a Colobinae in West
Malaysian Rain Forest. Ph.D. Dissertation, Cambridge University,
Cambridge.
Bennett, E. L. and A. C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology
of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in
Sarawak. Int. J. of Primatol. 9 (3) : 233-255.
Bhosale, J. L. and L. S. Shinde. 1983. Significance of cryptovivipary
in Aegiceras corniculatum (L) Blan-co., p. 123-129. In: Tasks for
Vegetation Science (H.J. Teas eds.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The
Hague.
Bismark, M. 1980. Populasi dan tingkahlaku bekantan (Nasalis larvatus)
di Suaka Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Laporan
Penelitian Hutan No. 357.
Bismark, M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus) dalam
memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai,
Kalimantan Timor. Thesis Magister Sains, Program Pascasarjana IPB,
Bogor.
Bismark, M. 1986. Keragaman burung di hutan bakau Taman Nasional
Kutai. Bul. Pen. Hut. 482: 11-22.

121
DAFTAR PUSTAKA

Bismark, M. 1993. Sebaran dan populasi primata sebagai indikator kualitas


lingkungan habitat di areal tegakan tinggal hutan produksi alam.
Simposium dan Seminar Nasional Primata. Oktober 1993. Cisarua.
Bismark, M. 1994. Parasit biawak (Varanus salvator) Aponomma lucasi di
Cagar Alam Kepulauan Krakatau. Bul. Pen. Hut. 558: 14-25.
Bismark, M., I. Soerianegara, D. Sastradipradja, F. G. Suratmo, H. S. Alikodra
and H. Pawitan. 1994. The potency of mangrove forest habitat to
the proboscis monkey’s food source at Kutai National Park. East
Kalimantan. International Primatological Society Congres, Bali.
Bismark, M. 1995. Konsumsi pakan bekantan dalam penangkaran. Bul.
Pen. Hut. 589: 27-38.
Bismark, M. 1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis
larvatus) di Cagar Alam Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Diskusi
Hasil Penelitian, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Bismark, M., H. Gunawan, H. Tikupadang, dan S. Iskandar. 1997. Komposisi
dan jenis pakan Macaca ochreata di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, Sulawesi Tenggara. Bul. Pen. Kehutanan Ujung Pandang
3(1): 1-17.
Bismark, M. dan S. Iskandar. 2002. Kajian total populasi dan struktur sosial
bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan
Timur. Bul. Pen. Hut. 631:p.17-29.
Bismark, M., R. Sawitri, dan S. Iskandar. 2004. Pengaruh sistem penebangan
ramah lingkungan dan TPTI di hutan produksi terhadap keragaman
jenis ikan. Jurn. Pen. Hut. dan Kons. Alam I(2):147-155.
Bismark, M. 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan Nasalis
larvatus. Jurn. Pen. Hut. dan Kons. Alam I(3):309-320.
Bismark, M. 2005. Estimasi populasi orangutan dan model perlindungan
di komplek hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur. Bul. Plasma
Nutfah. 11(2): 74-80.
Bismark, M. 2005. Model pengukuran biomasa populasi primata. Jurn. Pen.
Hut. dan Kons. Alam II(5):491-496.
Chapman, V. J. 1983. Mangroves in New Zealand. p. 81-85. In: Tasks for
Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The
Hague.
Chivers, D.J. 1974. The siamang in Malaya: a field study of a primate in
tropical rain forest. Contrib. Primat. (4) : 1-335.

122
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Chivers, D. J. and J. J. Raemakers. 1980. Longterm changes in behaviour, p.


209-258. In: Malayan Forest Primates (D.J. Chivers, ed.). Plenum Press,
New York.
Chivers, D. J. and J. J. Raemakers. 1984. Natural and synthetic diets of
Malayan gibbons, p. 39-56. In: Primate Ecology and Conservation
(D.J. Chivers, ed.) vol. 2. Cambridge University Press, London.
Christian, K. C., R. Trancy, dan W. P. Pater. 1983. Seasonal shifts in body
temperature and use microhabitats by Galapagos Land iguanas
(Conolophus pallius). Ecology 64(3): 463-468.
Church, D. C. 1974. Effect of stress on nutritional physiology, p. 663-683.
In: Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants (Church, D. C.,
G. E. Smith, J. P. Fontenot and A. T. Ralston eds.). Albany Printing Co.,
Oregon.
Clough, B. F., K. G. Boto, and P. M. Attiwill. 1983. Mangroves and sewage:
a revaluation, p. 151-161. In: Tasks for Vegetation Science (H.J. Teas
ed.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Clutton-Brock, T. H. 1977. Some aspects of intraspecific variation in feeding
and ranging behaviour in primates, p. 539-556. In: Primate Ecology
(T.H. Clutton-Brock ed.). Academic Press, London.
Clutton-Brock, T. H. and P. H. Harvey. 1977. Species differences in feeding
and ranging behaviour in primates, p. 557-584. In: Primate Ecology
(T .H. Clutton-Brock ed.). Academic Press, London.
Collette, B. B. 1983. Mangrove fishes of New Guinea, p. 91-102. In: Taskes
For Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol. 8 Dr. W. Junk Publisher, The
Hague.
Curtin, S. H. 1976. Niche separation in sympatric Malaysian leaf monkeys
(Presbytis obscura and Presbytis melalophos). Yearbook of Physical
Anthropology 20: 421-439.
Curtin, S. H. and D. J. Chivers. 1979. Leaf eating primate of Peninsular
Malaysia, the siamang and the dusky leaf monkey, p. 441-464. In:
The Ecology of Arboreal Folivores (D. J. Chivers ed.). Smithsonian
Institution Press, Washington, D.C.
Curtin, S. H. 1980. Dusky and banded leaf monkeys, p. 107-145. In: Malayan
Forest Primates (D. J. Chivers ed.). Plenum Press, London.
Curran, L. M., S. N. Trigg, A. K. McDonald, D. Astini, Y. M. Hardiono, P. Siregar,
T. Caniago, E. Kasischke. 2004. Lowland Forest Loss in Protected areas
of Indonesian Borneo. Science 303: 1000-1003.

123
DAFTAR PUSTAKA

Darnaedi, D. dan A. Budiman. 1982. Analisis vegetasi hutan mangrove


Morowali, Sulawesi Tengah, p. 162-170. Dalam: Prosiding Seminar II
Ekosistem Mangrove, Baturaden. MAB-LIPI, Jakarta.
Darsidi, A. 1984. Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia p. 19-28,
Dalam: Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden. MAB-
LIPI, Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2005. Data Strategis Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006.
Jakarta.
Diamond, J. M. 1975. The island dilemma: Lessons of modern biogeographic
studies for the design of nature reserve. Biol. Conserv. 7: 127-145.
Dingwall, P. R. 1984. Overcoming problems in the management of New
Zealand mangrove forest, p. 97-106. In: Physiology and Managemant
of Mangroves (H.J. Teas ed.). Dr. W. Junk Publishers, The Hague.
Durand, M. and R. Kawashima. 1980. Infuence of minerals in rumen
microbial digestion, p. 375-408. In: Digestive Physiology and
Metabolism in Ruminant (Y. Ruckebusch and P. Thivend eds.) MTP
Press Limited, Lancaster, England.
Field, C. D., B. G. Hinwood dan I. Sterenson. 1984. Structural features of the
salt gland of Aegiceras, p. 37-42. In: Tasks for Vegetation Science (H.J.
Teas ed.) vol. 9. Dr W. Junk Publishers, The Hague.
Fleagle, J. G. 1980. Locomotion and posture p. 191-207. In: Malayan Forest
Primates (D.J. Chivers, ed.) Plenum Press, New York.
Freeland, W. J. 1976. Pathogens and the evolution of primate sociality.
Biotropica 8 (I) : 12-24.
Ganzhom, J. U. 1984. The influence of plant chemistry on food selection by
Lemur calta and Lemur fulvus, p. 21-29. In: Primate Ecology (J.G. Else
and P.C. Lee ed.) vol. 2. Cambridge Univ. Press. London.
Ganzhom, J. U., J. P. Abraham, M. Razanahoera. 1985. Some aspects of the
natural history and food selection of Avahi laniger. Primates, 26 (4)
: 542-463.
Galdikas, B. M. F. 1985. Crocodile predation on proboscis monkey in
Borneo. Primates 26 (4): 495-496.
Gittins, S. P. and J. J. Raemakers . 1980. Siamang, lar and agile gibbons, p.
63-106. In: Malayan Forest Primates (D.J. Chiversed.). Plenum Press,
New York.

124
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Glander, K. E. 1978. Dringking from arboreal water sources by mantled


howling monkeys (Alouatta palliata, Gray). Folia Primatol, 29: 206-
217.
Gurmaya, J. K. 1986. Ecology and behaviour of Presbytis thomasi in
Northern Sumatra. Primates 27 (2):151-172.
Happel, R. E., J. F. Noss, dan C. W. Marsh. 1987. Distribution, abundance,
and endangerment of primates, p. 63-82. In: Primates Conservation
in The Tropical Rain Forest, (C.W. Marsh and R.A. Mittermeier ed.).
Alan R. Liss. Inc.
Harcourt, C. S. and L. T. Nash. 1986. Species differences in substrate use
and diet. between sympatric Galapagos in Two Kenyan Coastal forest.
Primates 27 (1):41-52.
Harcourt, A. M. 1995. Population viability estimates. Theory and practical
for wild gorilla population. Conserv. Biol. 9(1):134-142.
Harrison, M. J. S. 1984. Feeding ecology of black colobus (Colobus satanas)
in Central Gabon, p. 31-37. In: Primate Ecology (G.J. Else and P.C. Lee
ed.) vol. 2. Cambridge Univ. Press.
Hasan, M. N. 1983.Voluntary food intake digestion and food selection by
Presbytis melalophos in captivity. p. 141-159. Proced. Wildlife Ecology
in South East Asia. Biotrop, Special Pub. No 21, Bogor.
Hladik, C. M. 1977. A comparative study of feeding strategy of two sympatric
species of leaf monkey Presbytis senex and Presbytis entellus, p. 324-
353. In: Primate Ecology (T.H. Clutton-Brock ed.). Academic Press,
London.
Hladik, C. M. 1978. Adaptive strategies of primates in relation of leaf eating
p. 373-395. The Ecology of Arboreal Folivore (G. G. Montgomery ed.).
Smithsonian Institution Press, Washington, D. C.
Hoshino, J. 1985. Feeding ecology of madrilla (Madrillus spinx) in Campo
Animal Reserve, Comecon. Primates, 26 (3): 248-273.
Hutchings, P. A., H. F. Recher. 1983. The faunal communities of Australian
mangrove, p. 103-110. In: Taks For Vegetation Scence (H.J. Teas ed.)
vol. 8. Dr W. Junk Publisher, The Hague.
IETC. 1999. Planning and management of likes and riverines an integrated
approach to eutrophication, Technical Publication II UNEP Osaka.
Indonesian Proboscis Monkey PHVA. 2004. Population biology and
modeling. Bogor:4-6 Desember 2004.

125
KONSERVASI

Indrawan, M., R. B. Primack, J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan


Obor Indonesia, Jakarta.
Iskandar, E. 2006. Habitat dan populasi owa Jawa (Hylobates moloch) di
TN Gunung Halimun Salak Jawa Barat, Disertasi IPB.
Iwamoto, T. 1982. Food and nutritional condition of free ranging Japanese
monkeys on Koshima Islet during winter. Primates 23 (2): 153-170.
Jansen, D.H. 1982. Pattern of herbivory in tropical deciduous forest.
Biotropica 13 (4) : 171-282.
Jeffrey, S. M. 1979. The proboscis monkey, some preliminary obervations.
Tiger Paper 6 (1): 5-6.
Johnstone, I. M. 1981. Consumption of leaves by herbivores in mixed
mangrove stand. Biotropica 13 (4): 252-259.
Jolly, A. 1972. The evolution of primate behavior. Mac-Millan Publishing
Co., Inc. New York.
Kay, R. N. B., W. V. Engelhardt, and R. G. White. 1980. The digestive
physiology of wild ruminants: p. 743-761. In: Digestive Physiology
and Metabolism in Ruminant (Y. Ruckebusch and P. Thivend eds.).
MTP Press Limited.
Kern, J. A. 1964. Observation on the habit of the proboscis monkey, Nasalis
larvatus (Wurmb), made in the Brunei Bay area. Borneo Zoologica
49: 183-192.
King, B., M. Woodcock, and E. C. DicKinson. 1975. Afield guide to birds of
South East Asia. Collin. St. James’s Palace, London
Kuraishi, S., K. Kojima, H. Hiyanchi, N. Sakurai, H. Tsuboto, M. Nuraki, I. Goto,
and J. Sugi. 1985. Blackish water and soil components of mangrove
forest on Triomote Island, Japan. Biotropica 17 (4) :277-286.
Kurland, J. 1973. A natural history of kera macaques (Macaca jascicularis
Raffles, 1821) at Kutai Reserve, Kalimantan Timur Indonesia.
Primates 14: 245-262.
Lacerda, L. D. de, C. E. Resende, D. V. Jose, J. C. Wasserman and M.C.
Francisco. 1985. Mineral consentration in leaves of mangrove trees.
Biotropica 17 (3): 260-262.
Lear, R. and T. Turner. 1977. Mangrove of Australia. Univ. of Queensland
Press.
Leighton, D. S. R. and A. J. Whitten. 1984. Management of freeranging
gibbons, p : 32-43. In: The Lesser Apes: Evolutionary Biology (M.

126
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Preuschoft, D. J. Chivers, W. Y. Brockelman, and N. Creel eds.) Edinburgh


Univ. Press.
Lindbrug, D. G. 1977. Feeding behaviour and diet of rhesus monkeys
(Macaca mulatta) in a Siwalik forest in North India, p. 223-249. In:
Primate Ecology (T. H. Clutton-Brock ed.). Academic Press, London.
Lindroth, R. 1989. Mamalian herbivore plant interaction (W.G. Abraham
ed.). McGraw-Hill Book Campany, Toronto).
Ma’ruf, A. Triatmoko, dan I. Syahbani. 2005. Studi populasi bekantan
(Nasalis larvatus) di Muara Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Lap.
Penelitian Loka Litbang Primata, Samboja (Unpublish).
Ma’ruf, A. 2004. Studi perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di daerah
Balikpapan dan sekitarnya. Lap. Penelitian Loka Litbang Primata,
Samboja (Unpublish).
MacKinnon, J. R. and K. S. MacKinnon. 1980. Niche differentiation in
primate community, p. 167-190. In: Malayan Forest Primates (D.J.
Chivers ed.). Plenum Press, New York.
MacKinnon, K., G. Child, dan J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan yang
dilindungi di daerah tropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
MacKinnon, A. M., D. J. Chivers, and R. D. Martin. 1984. Gastro intestinal
allometry in primates and other mammals including new species, p.
75-85. In: Primate Ecology (J.G. Else and P.C. Lee eds.) vol. 2. Cambridge
Univ. Press, London.
Mah, Y. L. and F. P. G. Aldrich-Blake. 1980. Ranging behaviour of Macaca
fascicularis (Raffles) in two different habitats in Peninsula Malaya, p.
353-365. In: Proced. Tropical Ecology & Development (J. R. Furtado
ed.). The International Society of Tropical Ecology. Kuala Lumpur.
Malik, I. 1984. Time budgets and activity patterns in free-ranging rhesus
monkeys, p. 105-114. In: Primate Ecology (J. G. Else and P. C. Lee eds.).
vol. 2. Cambridge Univ. Press. London.
Marsh, C. W. and W. L Wilson. 1981. Effects of natural habitat differences
and disturbance on the abundance of Malaysian primates. Malaysian.
App. Biol. 10 (2): 227-249.
Marsh, C. W., W. L. Wilson, dan J. M. Ayres. 1987. Effects of habitat disturbance
on rain forest primates, p. 83-107. In: Primate Conservation in The
Tropical Rain Forest (C.W. Marsh and R.A. Mitter Meier eds). Alan R.
Liss. Inc. New York.

127
KONSERVASI

Matsubayashi, K. and D. Sajuthi. 1981. Microbiological and clinical


examinations of cynomolgus monkeys in Indonesia, p. 47-56. In:
Kyoto University Overseas Report of Studies on Indonesian Macaque
No.1. Kyoto Univ. Primate Research Centre Institute.
McNelly, J. A., K. R. Miller, W. V. Reid, R. A. Miltermeier and T. B. Werner. 1990.
Coserving the world’s biological diversity. IUCN, Gland. Switzerland.
Megantara, E. R. 1989. Ecology, behaviour and sociality of Presbytis femoralis
in the Central Sumatra. Comparative Primatology Monographs No. 2.
Meijaard, E. and V. Nijman. 2000. Distribution and conservation of proboscis
monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan Indonesia. Biol. Conserv.
92: 15-24.
Meijaard, E., H. D. Rijksen, S. N. Kartikasari. 2001. Di ambang kepunahan!
kondisi orangutan liar di awal abad ke 21. Gibbon Fondation Indonesia.
Meijaard, E, and D. Sheild. 2006. Hutan pasca pemanenan melidungi
satwaliar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimantan. CIFOR, Bogor.
Milton, K. 1981. Food choice and digestive strategies of two sympatric
primate species. Am. Nat. 117 (4): 495-505.
Mitsch, W. J. and J. G. Gosselink. 1984. Wetlands. Van Nostrand Reinhold
Compo New York.
Moen, A. N. 1973. Wildlife ecology, an analytical approach. W.H. Freeman
and Company. San Francisco.
Montheith and M. H. Unsworth. 1991. Principles of environmental physics.
Second edition. Edward Alnold, London.
Myers, N. 1987. Trends in destruction of rainforest, p. 3-22. In: Primate
Conservation in The Tropical Rain Forest (C. W. Marsh and R. A.
Mittermeier eds.). Alan R. Liss. Inc.
Oates, J. F. 1977. The guereza and its food, p. 276-313. In: Primate Ecology
(T.H. Clutton-Brock ed.). Academic Press London.
Oates, J. F. 1978. Waterplant and soil consumption by guereze monkeys
(Colobus guereza) : a relationship with mineral and toxin in diet.
Biotropica 10 (4): 241253.
Peng, L. and W. Xin-Men. 1983. Ecological notes on the mangrove of Fujian,
China. p. 31-36. In: Biology and Ecology of Mangrove (H. J. Teas ed.).
Dr W. Junk Publishers, The Hague.

128
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

Pirta, R. S. and M. Sin. 1990. Changes in home ranges of rhesus monkey


(Macaca mulata) groups living in natural habitats. Proc. Indian Acad.
Sel. 86: 515-525.
Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan, P. Karmadibrata. 1998. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Raemakers, J. J. 1980. Causes variation between months in the distance
traveled daily by gibbons. Folia Primato134: 46-60.
Raemakers, J. J. and D. J. Chivers. 1980. Socioecology of Malayan forest
primates, p. 279-315. In: Malayan Forest Primates (D.J. Chivers ed.).
Plenum Press. London.
Rajanathan, R. and E. L. Bennett. 1990. Notes on the sosial behaviour of
wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus). Malayan Nature Journal
44 : 35-44.
Rijksen, H. D. 1978. A field study of the sumatran orangutan: Ecology,
behaviour and conservation. Vienman, Wageningen.
Rodman, P. S. 1978. Diets, densities and distribution of bornean primates,
p. 465-478. In: The Ecology of Arboreal Folivore (G.G. Montgomery,
ed.). Smithsonian Institution Press. Washington, D. C.
Roosmalen, M. G. G. Van. 1980. Habitat preferences, diet, feeding strategy
and social organization of black spider monkey (Ateles paniscus
Linnaeus, 1758) in Surinam. Ph.D. Diss. Lanbowhogeschool.
Wageningen.
Ruhiyat, Y. 1983. Socioecological study of Presbytis aygula in West Java.
Primates, 24 (3) : 394-359.
Ruhiyat, Y. 1986. Premilinary study of proboscis monkey (Nasalis larvatus)
in Gunung Palung Nature Reserve, West Kalimantan, p. 59-69. In:
Kyoto University Overseas Research Report of Studies on Asian non-
human Primates, No. 5. Kyoto Univ. Primates Resc. Inst. Kyoto.
Salter, R. E., N. A. Mackenzie, N. Nightingale, K.M. Aken, and P. Chai. 1985.
Habitat use, ranging behaviour and food habits of proboscis monkey
Nasalis larvatus (Van Wurmb) in Sarawak. Primates 26 (4): 436-451.
Sardjono, M. A. 1997. Conversion of mangrove forest into conditional
brakish water ponds in Tarakan East Kalimantan: Problem analysis
and solution finding. Fak. Kehutanan Mulawarman. 17pp.
Soegiarto, A. 1984. The mangrove ecosystem in Indonesia, p. 69-78. In:
Task for Vegetation Science (B. J. Teas ed.) vol. 9. Dr W. Junk Publishers.
The Hague.

129
KONSERVASI

Soemardja, E. A. 2004. Tindak lanjut dalam menghadapi era globalisasi


terhadap kelestarian dan pemanfaatan fauna nusantara. Saresehan
Fauna Nusantara di Era Globalisasi. LIPI.
Soendjoto, M. A. 2003. Persebaran dan status habitat bekantan (Nasalis
larvatus) di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Media
Konservasi 8(20): 45-57.
Soendjoto, M. A. 2005. Adaptasi bekantan (Nasalis larvatus) terhadap
hutan karet: Studi kasus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Disertasi Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Soendjoto, A. M., H. S. Alikodra, M. Bismark, dan H. Setijanto. 2005. Vegetasi
tepi baruh pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas 6(1):40-44.
Soendjoto, A. M., H. S. Alikodra, M. Bismark, dan H. Setijanto. 2006. Jenis
dan komposisi pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di hutan
karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas 7(1):
34-38.
Soendjoto, A. M., H. S. Alikodra, M. Bismark, dan H. Setijanto. 2006. Aktivitas
harian bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di hutan karet Kabupaten
Tabalong, Kalimantan Selatan. Biota XI(2):101-109.
Sommer, V. 1987. Infanticide among foraging langurs (Presbytis
entellus) at Jodhpur (Ranjasthan/India): Recent observation and a
reconsideration of hypothesis. Primates 28 (2): 163-197.
Spenceley, A. P. 1983. Aspects of the devolepment of mangroves in the
Townsville Region, North Queensland, Australia, p. 47-56. In: Tasks
for Vegetation Science (H.J. Teas ed.) vol. 8. Dr W. Junk Publishers,
The Hague.
Sugiyama, Y. 1984. Some aspects of infanticide and inter male competition
among langurs, Presbytis entellus, at Dharwer, India. Primates 25 (4):
423-432.
Sukardjo, S. 1987. Tanah dan status hara di hutan mangrove Tritis,
Indramayu, Jawa Barat. Rimba Indonesia XXI (2-4): 12-23.
Sussman, R. W. 1977. The feeding behaviour of Lemur carta and Lemur
fulvus, p. 1-36. In: Primate Ecology (T.H. Clutton-Brock ed.). Academic
Press, London.
Suzuki, A. 1986. The socioecological study on the orangutan in the
Mentoko-B. T. Sinara Study area, in Kutai National Park, East
Kalimantan. p. 23-28. In: Kyoto University Overseas Research Report

130
BIOLOGI KONSERVASI BEKANTAN
(Nasalis larvatus)

of Studies on Asia Non-human Primates No. 5. Kyoto Univ. Primate


Resc. Inst. Kyoto.
Suzuki, A. 1986. The ecological survey on the effects of the forest fires
and droughts in 1982-1983, and the distributions and populations
of primates along the midle upper streams of Sungai Sengata in
Kutai National Park, East Kalimantan, Indonesia, p. 13-22. In: Kyoto
University Overseas Research Report of Studies on Asia Non-human
Primates No. 5. Kyoto Univ. Primate Resc. Inst. Kyoto.
Terborgh, J. 1984. The social systems of New World Primates: an adaption
view, p. 199-211. In: Primate Ecology (J. G. Else and P. C. Lee eds.) vol.
2. Cambridge Univ. Press.
Thiollay, J. M, 1992. Influence of selective logging on bird species diversity
in Guianan rain forest. Consev. Biol. 6(1): 47-63.
Tilson, R. L. 1977. Social organization of simakobu monkeys (Nasalis
concolor) in Siberut Island, Indonesia. J. Mammalogy 58 (2):202-11.
Todd, J. W. and R. M. Hansen. 1973. Plant fragments in the feces of bighorns
as indicators of feeding habits. J. of Wildlife Management 37 (3) :
363-366.
Waser, P. 1977. Feeding, ranging and group size in the mangabey Cercocebus
albigena. p. 183-222. In: Primate Ecology (T.H. Clutton-Brock ed.).
Academic Press. London.
Wheatley, B. P. 1982. Energetics of foraging in Macaca fascicularis and
Pongo pygmaeus and selective advantage of large body size in the
orangutan. Primates 23 (3): 348-363.
Whitten, A. J. 1980. The kloss gibbon in Siberut rain forest. PhD. Diss. Univ.
of Cambridge. Cambridge.
Whitten, A. J. 1982. Diet and feeding behaviour of kloss gibbon on Siberut
Island, Indonesia. Folia Primatol. 37: 177-208.
Whitten, A. J. 1982. Home range use by kloss gibbon (Hylobates klossii) on
Siberut Island. Indonesia. Anim. Behav. 30: 182-198.
Whitten, J. E. l. and A. l. Whitten. 1987. Analysis of bark eating in a tropical
squirrel. Biotropica 19 (2): 107-115.
Wilson, C. C. and W. L. Wilson. 1975. The influence of selective logging on
primates and some other animals in East Kalimantan. Folia Primatol
23: 245-274.

131
KONSERVASI

W.W.F. 1990. The importance of biological diversity. A statement by WWF.


Gland, Switzerland.
Yasuma, S. 1989. The present situation of proboscis monkey Nasalis
larvarus, concern with it’s distributions in and aroud the Bukit
Soeharto protection forest. Tropical Rain Forest Research Project.
DCA Report.
Yeager, C. P. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis
larvatus). Int. J. of Primatology 10 (6): 497-529.
Yeager, C.P. 1990. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization
group structure. Am. J. of Primatology 20: 95-106.
Yeager, C. P. 1991. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization:
Intergroup patterns of assosiation. Am. J. of Primatology 23: 73-86.
Yeager, C. P. 1991. Possible anti predator behaviour associated with river
crossing by proboscis monkey (Nasalis larvatus). Am. J. of Primatology
24: 61-66.
Yeager, C. P. 1992. Changes in proboscis monkey (Nasalis larvatus) group
size and density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah,
Indonesia. Tropical Biodiversity I (1) : 49-55.
Yeager, C. P. and T. K. Blondal. 1992. Conservation status of proboscis
monkey (Nasalis larvarus) at Tanjung Puting National Park,
Kalimantan Tengah, Indonesia. Forest Biology and Conservation in
Borneo. Center for Borneo Studies Publication 2 : 220-228.
Yeager, C. P. 1992. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization.
Nature and possible functions of inter group patterns of association.
Am. J. of Primatology 26 : 133-137.

132

Anda mungkin juga menyukai