Anda di halaman 1dari 118

Mulawarman

University PRESS

Parasit
Biota
Akuatik
Esti Handayani Hardi
Esti Handayani Hardi

Editor : Susilo
Triana Fitriastuti
Kiswanto

Tata Letak : Agus Fitrianto

ISBN : XXX-XXX-XXXXX-X-X
© 2015. Mulawarman University Press

Cetakan Pertama : Oktober 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Hardi, E. H., 2015. Parasit Biota Akuatik. Mulawarman University


Press. Samarinda

Penerbit
Mulawarman University PRESS
Gedung LPPM Universitas Mulawarman
Jl. Krayan, Kampus Gunung Kelua
Samarinda – Kalimantan Timur – INDONESIA 75123
Telp/Fax (0541) 747432; Email : mup@lppm.unmul.ac.id

Parasit Biota Akuatik | ii


Parasit biota akuatik merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman. Mata kuliah ini juga
ada di beberapa universitas di Indonesia, namun dengan nama yang beragam
seperti Penyakit Ikan, Parasit dan Penyakit Ikan, serta Kesehatan Ikan. Ruang
lingkup mata kuliah ini meliputi pengertian parasit, identifikasi parasit pada
biota akuatik seperti jamur, protozoa, krustace, cacing yang juga dilengkapi
dengan cara pencegahan dan pengendaliannya.

Buku ini menjabarkan tentang cakupan parasit pada biota akuatik, antara lain
pengertian parasit, penyakit dan ganguan pada kesehatan biota akuatik; sifat
adaptasi parasit pada tubuh inang; faktor-faktor ekternal dan internal yang
berpengaruh terhadap serangan parasit pada biota akuatik; diagnosa dan
penanggulangan penyakit; jamur, protozoa, krustace, cacing serta penyakit pada
udang, serta menjabarkan juga mengenai penyakit non parasiter.

Buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi mahasiswa yang mengambil
mata kuliah Parasit Biota Akuatik juga menjadi acuan dalam upaya mempelajari
penyakit parasitik pada kultivan budidaya khususnya ikan, udang, kepiting dan
biota budidaya lainnya.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan buku ini masih terdapat kekurangan,
sehingga dibutuhkan saran dan masukan untuk perbaikan tulisan-tulisan
mengenai parasit biota akuatik selanjutnya.

Samarinda, Oktober 2015


Esti Handayani Hardi

Parasit Biota Akuatik | iii


PENGANTAR …………………………………………………..………………..……………………………….. iii

DAFTAR ISI ……………………………………………………….………………..………………………………. iv

DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………………………………. vi

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………………………….. vii

I. PENDAHULUAN
A. Bentuk-Bentuk Hubungan (Simbiosis) ………………..………………………… 1
B. Hama dan Patogen ……………………………………………..……….……………………….. 2
C. Timbulnya Kejadian Penyakit Ikan ………………………………………………….. 3

II. HUBUNGAN PARASIT DAN INANG PADA IKAN


A. Adaptasi Parasit ………………………………………………………………………………….. 10
B. Mekanisme Pertahanan Terhadap Kondisi Inang ….……………….……… 13
C. Infeksi dan Infestasi …………………………………………………….………………..…….. 14
D. Cara Parasit Merugikan Inang …………………………………….………………..……. 15
E. Sistem Pertahanan Inang Terhadap Parasit ……………………………..……. 17

III. FAKTOR EKSTERNAL SERANGAN PARASIT


A. Pengertian Faktor Eksternal ……………………………………………………………… 20
B. Beberapa Faktor Eksternal Serangan Parasit ………………..……………….. 20

IV. FAKTOR INTERNAL SERANGAN PARASIT


A. Pengertian Faktor Internal ………………………………………………..………………. 26
B. Beberapa Faktor Internal Serangan Parasit …………………………………….. 26

V. DIAGNOSA DAN PENANGGULANGAN


A. Gejala Klinis Ikan yang Terinfeksi Patogen ……..…………..………………… 29
B. Metoda Diagnosa Kesehatan Ikan ……………………………………………………… 35
C. Teknik Pemeriksaan Penyakit Parasiter …………………………………………. 47
D. Metoda Pencegahan Penyakit ……………………………………………………………. 50

VI. PENYAKIT JAMUR


A. Jamur Ikan Air Tawar ………………………………………………………………………….. 53
B. Jamur Ikan Air Laut …………………………………………………………….……………….. 56

VII. PENYAKIT PROTOZOA


A. Protozoa Air Tawar …………………………………………………………….……………….. 59
B. Protozoa Air Laut ……………………………………………………………….……………….. 72

Parasit Biota Akuatik | iv


VIII. PENYAKIT KRUSTACEA ……………………………..……………………….………………. 81

IX. PENYAKIT CACING


A. Cacing Monogenea ……………………………………………………………..………………. 86
B. Digenea ………………………………………………………………………………………………….. 90
C. Cestoda ………………………………………………………………………………………………….. 92
D. Nematoda ……………………………………………………………………………..………………. 94

X. PENYAKIT PADA UDANG DAN RUMPUT LAUT ……….……………….. 95

XI. PENYAKIT NON PARASITER


A. Kelainan Akibat Kondisi Lingkungan ……………………………………………… 102
B. Kelainan Akibat Polusi Logam Berat …………………………………………………. 105

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………… 108

Parasit Biota Akuatik |v


No. Tubuh Utama Halaman

5.1. Gejala Tingkah Laku dan Perubahan Organ Luar Ikan Amphiprion
ocellaris yang Terinfestasi Ektoparasit (Hardi, 2002) …………………….… 30

5.2. Hubungan Gejala Tingkah Laku Ikan Mas dengan Infeksi


Ektoparasit yang Menginfeksi .............................................................. 31

5.3. Pengaruh Infeksi Ektoparasit Pada Gerakan Reflek Terhadap


Makanan Pada Ikan Mas ........................................................................ 32

5.4. Hubungan Perubahan Anatomi Luar dengan Infeksi Ektoparasit ... 33

5.5. Patologi Anatomi Makroskopis Organ Luar Ikan Nila Pasca


Diinjeksi Streptococcus agalactiae Tipe Berbeda ……………………………………… 35

5.6. Pembacaan Titer Antibodi ……………………………………………………………………… 39

Parasit Biota Akuatik | vi


No. Tubuh Utama Halaman

1.1. Alur Munculnya Wabah Penyakit Pada Populasi Ikan


(Sumber : Moller-Kiel 1986) …………………………………………………………………… 5

1.2. Beberapa Ektoparasit yang Menginfeksi Ikan Laut …………………………… 7

1.3. Beberapa Endoparasit yang Menginfeksi Ikan Air Laut …………………… 8

1.4. Beberapa Parasit yang Menginfeksi Ikan Mas ………………………………….. 8

1.5. Beberapa Parasit yang Menginfeksi Ikan Nila ……………………………………. 9

6.1. Ekor Ikan yang Terinfeksi Saprolegnia fungus………………………………………….. 54

7.1. Icthyopthirius multifilis ………………………………………………………………………………… 60

7.2. Siklus Hidup I. multifilis (Sumber: Wilfred Hass, diunduh pada


tanggal 9 Januari 2013) …………………………………………………………………………….. 62

7.3. Tricodina sp. (a) Tampak Ventral, (b) Tampak Atas……………………………… 64

7.4. Ichthobodo sp (Sumber : Graetzek, 1993) ……………………………………………….. 66

7.5. Bentuk Spora Henneguya sp. (kiri) dan Myxobolus sp. (kanan) ………….. 68

7.6. Epistylis sp. …………………………………………………………………………………………………… 70

7.7. Brooklynella hostiles …………………………………………………………………………………….. 73

7.8. Oodinium sp. …………………………………………………………………………………………………. 74

7.9. Siklus Hidup Oodonium sp. (Sumber Moller-Kiel, 1983) …………………. 74

7.10. Cryptocaryon irritaans ………………………………………………………………………………… 75

7.11. Siklus Cliptocarion irritant (Sumber Moller-Kiel, 1983) ……………………. 76

7.12. Uronema marinum ………………………………………………………………………………………… 77

8.1. Ergasilus versicolor ……………………………………………………………………………………….. 81

Parasit Biota Akuatik | vii


8.2. Caligus sp.……………………………………………………………………………………………………… 83

8.3. Lepeophteirus sp. (Sumber: Klik, Janse, Benz, 2011) …………………………… 84

8.4. Chalimus sp. ……………………………………………………………………………………………….. 85

9.1. Dactylogyrus sp. …………………………………………………………………………………………… 87

9.2. Gyrodactylus sp. ………………………………………………………………………………………… 88

9.3. Diplectanum sp. ………………………………………………………………………………………….. 89

9.4. Benedenia sp. ………………………………………………………………………………………………… 90

10.1. Hama Kerang Bakau/Temburung (Thelescosium thleskium) dan


Ikan yang Ditemukan di Tambak dan Menjadi Sumber
Penyakit WSSV ………………………………………………………………………………………… 98

10.2. Karapas Udang yang Terinfeksi WSSV (A) dan Karapas Udang
Normal (B), serta Rod Shape Virus yang Menjadi Penyebab
WSSV (Sumber foto: Takahashi et. al, 2003) ……………………………………….. 98

10.3. Thallus Rumput Laut yang Terinfeksi Penyakit “ice-ice” …………………. 100

10.4. Vorticela sp …………………………………………………………………………………………………. 101

Parasit Biota Akuatik | viii


A. BENTUK-BENTUK HUBUNGAN (SIMBIOSIS)

Secara alami, biota-biota perairan itu melakukan hubungan antara dua


organisme baik dalam satu spesies maupun berbeda spesies, dimana interaksi
tersebut berlangsung permanen berdasarkan hubungan saling menguntungkan
atau pun tidak. Berdasarkan bentuk-bentuk interaksi itu, hubungan (simbiosis)
dapat dikelompokkan dalam beberapa tipe, yakni :
1) Komensalisme, semua organisme saling berbagi sumber makanan yang sama.
Hubungan ini saling menguntungkan antara satu sama lain. Contohnya
adalah hubungan antara hiu dan ikan remora (Echeneis remora), ikan remora
selalu berenang bersama hiu, menempel pada kulit hiu dengan sucker, dan
memakan sisa-sisa makanan hiu.
2) Epioiky, terjadi ketika salah satu hewan tinggal di tubuh hewan lainnya, dan
yang terakhir menyediakan makanan untuk yang lain. Contohnya adalah
remis atau tritip yang menempel pada moluska atau kepiting, anemon laut
yang tumbuh pada kepiting dan sebagainya. Epioiky ini dapat berkembang
menjadi menjadi parasitisme dan merupakan bentuk hubungan yang dapat
mengawali terjadinya ekternal parasit.
3) Endoiky merupakan sekumpulan hewan yang hidup di dalam tubuh hewan
lainnya seperti dalam insang, mantel, paru-paru dan sebagainya. Hubungan
tersebut hanya terjadi pada bagian tertentu saja, dan dapat berkembang
menjadi internal parasit. Contohnya hubungan ikan Mediterranean Carapus acus
dengan timun laut (Holothuria tubulosa). Dalam kondisi berbahaya, ikan akan
bersembunyi di dalam kloaca timun laut. Tidak hanya itu, timun laut tidak
hanya menjadi tempat persembunyian, melainkan ikan Mediterranean juga

Parasit Biota Akuatik |1


memakan gonad dan pohon-pohon pernapasan pada timun laut tanpa
menyebabkan gangguan pada timun laut karena organ yang dimakan
merupakan organ yang mudah beregenerasi.
4) Inquilinisme terjadi ketika salah satu spesies memanfaatkan tempat tinggal
spesies lainnya seperti sarang burung, sarang lebah, sarang semut dan
sebagainya.
5) Mutualisme merupakan hubungan yang sangat dekat antara dua spesies
dimana satu sama lain tidak dapat hidup sendiri atau terpisah (saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya). Contohnya adalah tumbuhan
lumut, kombinasi alga dan jamur yang menyelubungi tumbuhan lumut tidak
dapat hidup jika dipisahkan.
6) Parasitisme merupakan hubungan, salah satu menjadi parasit dengan
memanfaatkan inangnya seperti menjadikan inang sebagai habitat dan
sumber makanan. Parasit hidup pada inangnya. Tubuh inang menjadi
lingkungan primer bagi parasit, sedangkan lingkungan hidup inang menjadi
lingkungan sekunder bagi parasit. Hubungan parasitisme ini merupakan
hubungan yang permanen. Parasit tidak menyebabkan kematian secara
langsung terhadap inang, karena dia tidak memakan inang sekaligus namun
hanya memanfaatkan sebagian dari tubuh inang (baik sebagai sumber
makanan maupun sebagai tempat tinggal).

B. HAMA DAN PATOGEN

Hama merupakan organisme yang sifatnya mengganggu dan memangsa,


dan umumnya adalah predator mulai dari tingkatan larva sampai ikan dewasa.
Hama berukuran lebih besar dari ikan yang dimangsa dan tidak bersifat menular
seperti halnya penyakit. Hama tidak selalu mematikan, akan tetapi luka yang
ditimbulkannya dapat meningkatkan kerentanan ikan terhadap patogen.
Beberapa contoh hama yang sering menjadi masalah pada budidaya adalah
katak, ular, burung, larva serangga dan ikan-ikan liar yang bersifat karnivor atau
pemangsa.
Patogen adalah organisme yang dapat menimbulkan penyakit dan terdiri
atas dua golongan yaitu :

Parasit Biota Akuatik |2


1) patogen obligat: yaitu patogen yang tidak hidup lama di perairan tanpa
inang dan bisa menimbulkan penyakit pada ikan yang sehat pada saat
kondisi lingkungan bagus. Sifat ini dijadikan metoda pengendalian penyakit
tanpa menggunakan bahan kimia. Beberapa patogen yang termasuk ke dalam
golongan patogen obligat adalah protozoa Ichtyopthirius multifilis, berbagai
jenis virus patogen pada ikan dan bakteri seperti Renibacterium salmoninarum,
Yersinia ruckery, Aeromonas salmonicida salmonicida.
2) patogen fakultatif (oportunistik): Sebagian besar patogen ikan umumnya
termasuk ke dalam kelompok ini. Patogen fakultatif merupakan organisme
yang normal dijumpai di perairan dan dapat hidup tanpa inang, dan
menimbulkan penyakit hanya jika ada kondisi yang mendukung seperti
menurunnya daya tahan tubuh ikan karena stress yang disebabkan oleh
lingkungan, handling, memijah dan lain-lain. Faktor lain adalah kondisi
lingkungan yang mendukung perkembangbiakan patogen seperti kandungan
oksigen yang rendah dan kandungan bahan organik tinggi. Patogen yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah berbagai jenis protozoa seperti
Trichodina sp, cacing Dactylogyrus sp dan jamur Saprolegnia sp, bakteri seperti
Aeromonas hydrophila, dan Vibrio harveyii.

C. TIMBULNYA KEJADIAN PENYAKIT IKAN

Infeksi merupakan proses masuknya patogen pada inang dan dapat


menyebabkan inang mengalami sakit ataupun tidak. Sakit dapat diartikan
sebagai berkurang atau hilangnya rasa nyaman pada tubuh. Plumb (1994)
mengemukakan bahwa sakit juga dapat diartikan sebagai proses morbid kondisi
tubuh atau bagiannya dan adanya tanda tanda klinis yang menunjukkan kondisi
fisiologi dan histologi yang tidak normal. Penyakit dapat bersifat infeksi (bisa
menular dari satu inang ke inang lainnya) atau noninfeksi. Penyakit infeksi
biasanya disebabkan oleh parasit yaitu parasitik (protozoa, cacing, krustacea),
bakteri, virus, jamur dan cendawan. Sedangkan penyakitt non infeksius,
biasanya disebabkan oleh lingkungan, nutrisi dan genetik. Lamanya sakit dapat
berkisar dari waktu singkat dan mematikan (akut) sampai kronis dimana gejala

Parasit Biota Akuatik |3


klinis tidak terlihat jelas dan hanya dapat dideteksi dengan nekropsi atau
menggunakan uji khusus pada waktu yang tepat.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, umumnya bakteri dan parasit
yang mampu menyebabkan penyakit yang serius pada ikan adalah organisme
yang normal dijumpai di lingkungan perairan dan bersifat patogen oportunis.
Walaupun mereka ada di suatu lingkungan perairan penyakit bisa saja tidak
terjadi. Timbulnya penyakit merupakan akibat dari interaksi yang kompleks
antara adanya inang (ikan) yang rentan, patogen yang virulen dan lingkungan
dimana kedua faktor tersebut bertemu dalam satu waktu. Pemahaman terhadap
proses-proses yang terjadi selama interaksi adalah sangat penting jika
mempelajari diagnosa, pencegahan dan pengobatan.
Salah satu dari tanda yang paling awal bahwa suatu penyakit sedang
menyerang dalam suatu populasi ikan adalah laju kematian yang meningkat
secara nonspesifik. Ikan yang mati pada tahap ini bisa saja yang sangat rentan
terhadap patogen yang ada atau bisa juga yang paling rentan terhadap kondisi
lingkungan yang buruk sehingga memicu terjadinya epizootik. Berikut ini dikaji
peranan masing masing faktor dalam timbulnya penyakit ikan :

1) Lingkungan
Inang dan patogen dapat hidup dalam lingkungan (perairan) yang sama,
dan berinteraksi tanpa timbulnya penyakit. Tapi jika salah satu dari ke tiga
faktor tersebut berubah sehingga hubungan ketiganya juga berubah, penyakit
bisa muncul dan menyebar. Warren (1984) pernah menggambarkannya sebagai
timbangan dimana kondisi lingkungan diibaratkan anak timbangan tambahan
yang bisa bergeser ke salah satu faktor. Pergeseran tersebut bisa mempengaruhi
inang secara positif atau negatif. Penyebab ketidakseimbangan ini harus
ditentukan jika kita ingin mengembanglan pengertian tentang ketiga faktor
dan peranan yang dimainkan masing-masing. Berbagai perubahan kualitas air
yang mendadak atau mencapai kondisi ekstrim akan menimbulkan stress bagi
ikan yang tentu saja akan menurunkan daya tahan ikan. Demikian juga berbagai
bahan pencemar yang terdapat di peraiaran akan mempunyai pengaruh negatif
pada sistim kekebalan yang akhirnya meningkatkan kerentanan ikan terhadap
patogen. Berbagai penyakit yang dijumpai pada ikan budidaya seperti penyakit

Parasit Biota Akuatik |4


yang disebabkan oleh protozoa Trichodina, udang berpendar (kunang-kunang)
dan bercak putih yang umumnya muncul jika kandungan bahan organik di
perairan tinggi dan kualitas air menurun. Pada serangan ringan, penggantian air
dapat mengatasi masalah penyakit ini.

2) Inang yang Rentan


Jika inang tidak rentan, penyakit tidak akan timbul. Hal inilah yang
menjadi dasar kegiatan immunisasi pada manusia. Tapi kerentanan terhadap
suatu penyakit ditentukan tidak hanya oleh kekebalan akan tetapi kebiasaan
manajemen budidaya lebih menentukan. Contohnya makanan dengan kualitas
yang bagus dan suplai air yang bersih akan dapat mengurangi beberapa sumber
penyakit yang potensial seperti menghindari pemasukan ikan baru dari panti
benih yang lain. Salah satu factor yang meningkatkan kerentanan inang adalah
adanya luka, borok, sisik lepas maupun sirip gripis baik akibat penanganan yang
kurang baik ataupun karena parasit, ataupun juga stress karena transportasi
dan handling, dan kualitas air yang tidak baik.

LINGKUNGAN

Masukan Pada
Masukan Pada
Ketahanan Ikan
Populasi Parasit
Terhadap Penyakit

Hanya
Sedikit Penyakit
yang Disebabkan
PARASIT Secara Langsung IKAN
Karena Kondisi
Lingkungan
yang Buruk

Populasi Populasi Daya Tahan Daya Tahan


Kecil Besar Rendah Tinggi

PENYAKIT

Gambar 1.1. Alur Munculnya Wabah Penyakit Pada Populasi Ikan


(Sumber : Moller-Kiel 1986)

Parasit Biota Akuatik |5


Dalam tubuh ikan, mekanisme pertahanan bervariasi. Pertama adalah
kulit, sisik dan membran lendir menghalangi masuknya racun, parasit, bakteri
dan virus. tingkatan selanjutnya bersifat fisiologi yaitu bekerjanya sel-sel fagosit,
penghindaran (avoidance mechanisms), kemampuan hati untuk mendetoksifikasi
racun/ kimia dari air dan makanan, penyimpanan beberapa logam dalam tulang,
reaksi jaringan lokal. Garis pertahanan terakhir adalah yang bersifat spesifik
melawan virus, bakteri dan parasit. Bekerjanya sistem kekebalan pada ikan tidak
terlepas dari pengaruh faktor lingkungan perairan. Oleh sebab itu kedua faktor
di atas harus dianalisa secara menyeluruh. Hal hal yang menentukan kerentanan
ikan adalah spesies, umur, kondisi nutrisi, kondisi fisiologi dan kepadatan.

3) Patogen yang Virulen


Virulensi (patogenisitas) menunjukkan tingkat keganasan patogen dan
kemampuannya dalam menimbulkan penyakit yang sifatnya relatif terhadap
dosis dan waktu. Patogen ikan biasanya merupakan agen biologis yang terdiri
atas cacing, protozoa, jamur, virus dan bakteri. Untuk itu harus diketahui sifat
patogen, cara penyebaran, jalan masuk ke tubuh ikan (port entry) dan fasilitas
budidaya, cara menghindari dan cara mengobatinya. Beberapa patogen bersifat
obligat yang mempunyai virulensi tinggi seperti parasit protozoa penyebab
penyakit bintik putih Ichtyopthirius multifilis. Berbagai jenis virus juga merupakan
patogen obligat namun dengan virulensi bervariasi. Beberapa bakteri patogen
yang dijumpai di Indonesia seperti Aeromonas hydrophila adalah patogen fakultatif
dengan virulensi bervariasi. Selain virulensi, faktor lain dari patogen yang
menentukan timbul penyakit adalah viabilitas, strain, intensitas dan lain-lain.
Dalam berbagai keadaan, ikan dapat hidup sehat walaupun dalam
perairan tersebut selalu saja ada patogen fakultatif. Umumnya hanya jika stress
lingkungan terjadi yang menyebabkan keseimbangan ‘timbangan’ bergeser ke
arah penyakit dan patogen mempunyai kesempatan untuk berkembang biak
dengan cepat. Jika ikan tidak dapat menyesuaikan diri dengan cepat, atau jika
tindakan untuk memperbaiki keadaan tidak dilakukan, penyakit bisa terjadi.
Jika kematian yang merugikan mulai terjadi, akuakulturis harus bertindak cepat.
Dengan mengembalikan kualitas air kekondisi yang optimal dan menggunakan
obat-obatan yang tepat kesimbangan inang dan patogen dapat dikembalikan.

Parasit Biota Akuatik |6


Parasit adalah organisme hidup diatas atau didalam organisme lain,
dikenal sebagai induk semang atau inang. Parasit bisa berupa kelompok hewan
maupun tumbuhan; berupa virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing, antropoda.
Umumnya parasit dibedakan menjadi dua berdasarkan organ targetnya yaitu
ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah golongan parasit yang hidup di
luar atau di permukaan tubuh inang. Sedangkan endoparasit adalah golongan
parasit yang selama hidupnya atau sebagian dari siklus hidupnya ada di dalam
tubuh inang. Selain itu, dikenal juga istilah vektor yaitu golongan hewan atau
tumbuhan yang menjadi pembawa agen parasit. Ektoparasit aalah masalah yang
sering ditemukan menjadi kendala budidaya ikan. Walaupun jarang menjadi
wabah, tapi infeksinya dapat terjadi sepanjang tahun. Perbedaan ektoparasit dan
endoparasit adalah habitat hidup parasit di dalam tubuh inang. Ektoparasit
ditemukan pada anatomi luar tubuh ikan: kulit, mukosa, sisik, sirip, operkulum,
mata, insang, hidung. Sedangkan endoparasit biasanya ditemukan pada organ
hati, saluran pencernaan, ginjal, jantung, daging, dan organ dalam lainnya.
Beberapa parasit yang umum ditemukan pada organ dalam dan organ luar
ikan air laut dapat dilihat pada Gambar 1.2 dan 1.3, sedangkan beberapa patogen
yang menginfeksi ikan air tawar dapat dilihat pada Gambar 1.4 dan 1.5 berikut :

Keterangan :

Gambar 1.2. Beberapa Ektoparasit yang Menginfeksi Ikan Laut

Parasit Biota Akuatik |7


Gambar 1.3. Beberapa Endoparasit yang Menginfeksi Ikan Air Laut

Gambar 1.4. Beberapa Parasit yang Menginfeksi Ikan Mas

Parasit Biota Akuatik |8


Gambar 1.5. Beberapa Parasit yang Menginfeksi Ikan Nila

Pada saat terjadi sebuah kasus kematian atau sakitnya hewan budidaya,
maka perlu dilakukan suatu pemeriksaan. Untuk ketepatan pemeriksaan perlu
dilakukan persiapan sampel hewan budidaya yang akan diperiksa. Agar hasil
pemeriksaan tidak terjadi kerusakan sampel dan benar-benar menggambarkan
kondisi ikan maupun perairan maka perlu dilakukan pemilihan ikan sampel dan
penanganan ikan sampel sebelum dibawa ke laboratorium untuk pemeriksanaan
lebih lanjut. Adapun beberapa langkah yang harus dilakukan adalah:
1. Pemilihan ikan sampel, ikan yang akan dikirim untuk diperiksa terdiri atas:
a) Ikan yang diduga terinfeksi penyakit yaitu ikan menunjukkan gejala sakit
seperti berenang lemah, adanya luka, sisik lepas, berlendir.
b) Ikan yang baru saja mati, kematian tidak lebih dari 1-2 jam
c) Ikan yang kondisinya sehat sebagai pembanding.
2. Penanganan ikan sampel
Jika ikan sampel hidup, maka ikan diletakkan dalam kantong plastik yang
berisi air dan diberi oksigen. Dan jika ikan sampel mati, maka sebaiknya ikan
disimpan dalam termos es atau dalam wadah yang berisi es (pendingin),
untuk mengurangi kerusakan jaringan.

Parasit Biota Akuatik |9


Pada umumnya parasit tidak berparasit pada berbagai jenis hewan,
artinya hanya membutuhkan inang spesifik. Hidup parasitik itu bukanlah
hidup sembarangan, melainkan hidup berpreferensi. Dengan kata lain, parasit
itu umumnya mempunyai inang pilihan atau inang spesifik. Secara alami parasit
itu menunjukkan derajat preferensi inang, disamping juga derajat preferensi
jaringan tubuhnya sebagai habitat parasit. Derajat preferensi inang itu adalah
produk adaptasi biologis yang diperoleh induknya dan diturunkan kepada
keturunannya. Diduga derajat preferensi inang dapat berubah, makin tingginya
derajat preferensi inang itu dapat menyebabkan perubahan pola penyebaran
penyakit atau perubahan pola penularan penyakit yang disebabkan oleh parasit.

A. ADAPTASI PARASIT

Setiap parasit memiliki adaptasi spesifik untuk hidup pada tubuh inang
termasuk morfologi dan fisiologi adaptasi. Adaptasi parasit menurut Raabe
(1964) adalah keseluruhan karakteristik hewan yang dapat membatu dalam
populasi untuk hidup, tumbuh dan bereproduksi menjadi lebih banyak, di
bawah kondisi yang ada pada habitatnya.

1. Adaptasi Morfologi Parasit


Adaptasi morfologi merupakan adaptasi berupa bentuk parasit dan
perlengkapan yang dimilikinya untuk dapat hidup di dalam tubuh inang. Yang
termasuk adaptasi morfologi antara lain bentuk tubuh yang tergantung pada
lokasi tempat parasit itu hidup dalam inang.

Parasit Biota Akuatik | 10


Adaptasi morfologi adalah penyesuaian yang disertai dengan perubahan
atau modifikasi dari salah satu atau beberapa, atau bahkan semua bagian atau
bagian-bagian alat tubuh sehingga bagian-bagian tubuh itu menjadi tertentu
baik bentuk maupun sifatnya atau fungsinya. Modifikasi itu terjadi agar supaya
parasit memperoleh kemampuan untuk dapat mengikuti segala persyaratan
untuk hidup dalam tubuh inang.
Adaptasi ektoparasit yang menempel pada permukaan tubuh inang.
Bentuk tubuh parasit yang menempel pada permukaan tubuh inang biasanya
memiliki bentuk:
 Tubuh yang pipih (clypeate).
 Flattened dorso-ventrally (rata pada bagian perut).
 Slightly concave (cekung) pada salah satu sisi dan convex (cembung) pada
sisi lainnya.
 Cekung pada sisi pelekat.
 Memiliki cakram penghisap.
 Parasit-parasit ini sulit dihilangkan atau dibersihkan dengan air, namun bisa
dilepaskan dengan cara abrasi contohnya ciliata (chilodonella, Trichodina),
branchiura, copepods (Lepeophtheirus, Caligus), trematoda (Tristoma, Entobdella,
Calicotyle).
Adaptasi parasit yang hidup di dalam intra-intestinal, biasanya memiliki
bentuk sebagai berikut:
 Biasanya berbentuk elongated (memanjang), ribbon-like yaitu seperti pita
(cestoda), silinder atau spindle-shape atau gelondong (nematoda,
acanthocephala).
 Bentuknya bulat pipih untuk memudahkan bergerak di dalam usus
 Adaptasi parasit pada iang seperti adanya keanekaragaman hook (pengkait),
suckers (penghisap)dan clamps (alat penjepit) pada monogenea.
 Cestoda memiliki sucker yang komplek strukturnya.
 Bebrapa cacing memiliki sucker, ring dan hook, Tetrarhynchidea (pada ikan air
laut) memiliki 4 probosces yang panjang yang ditutup oleh hook
 Acantocephala memiliki proboscis yang dibungkus dengan sederetan hook
yang kuat.

Parasit Biota Akuatik | 11


 Parasit copepods: pada bagian cephalotorax memiliki organ pengait seperti
anchor untuk menempel pada inang (Lernaea, Lernaeocera, Sphyrion, Pennella),
memiliki retained yang dapat digunakan untuk berpindah dari satu tempat
ketempat lain, juga memiliki hook pada antena, maxilliped dan appendages
(Cecrops, Caligus).
Adaptasi endoparasit dalam tubuh inang, biasanya memiliki bentuk yang
menyesuaikan dengan kondisi di dalam tubuh inang. Adaptasi bentuk biasanya
berupa:
 Parasit yang hidup dalam usus seperti cestoda dan acanthocephala
menempel pada saluran pencernaan. Sumber makanan menjadi hal penting,
penyerapan osmotik dilakukan oleh permukaan tubuh parasit ini yang
banyak mengandung kutikula (membungkus permukaan tubuhnya).
 Elektron mikroskopik mengungkapkan kegunaan cuticle (selaput luar) pada
cestoda yang dibungkus dengan karakter microvilli yang sangat membantu
meningkatkan absorbansi pada permukaan.

2. Adaptasi Fisiologi
Adaptasi fisiologi merupakan adaptasi yang terkait dengan fisiologi
tubuh parasit untuk dapat hidup di dalam inang. Adaptasi fisiologi sangat
bergantung dengan tempat parasit hidup. Beberapa parasiy yang hidup di dalam
saluran pencernaan ikan umumnya menghasilkan enzyme anti enzy pencernaan
dengan tujuan untuk menetralisir, agar parasit tidak ikut tercerna pada saat
inang mencerna makanan. Beberapa parasit juga membungkus dirinya dengan
asam amino yang sama dengan asam amino inang dengan tujuan agar tidak
kenali sebagai benda asing. Cacing schistomiasis melakukan Penyamaran
antigenik (antigenic mimicry) yaitu parasit cacing dewasa dapat memperoleh
antigenik jaringan inang untuk menyelubungi dirinya sehingga sistem imun
inang gagal mengusir parasit cacing tersebut.

3. Adaptasi pada Indera Penglihatan Parasit


Organ penglihatan parasit umumnya disesuaikan dengan organ target
tempatnya hidup pada inang. Beberapa hal yang dapat dijabarkan mengenai
indera penglihatan parasit adalah sebagai berikut :

Parasit Biota Akuatik | 12


 Monogenea: sebagai indera penglihatan, monogenea memiliki pigmen mata
(biasanya 2 pasang)
 Digenea trematoda memiliki 1 pasang mata pada tahap larva (miracidium dan
cercaria) yang hidup di luar inang, dan tahap lainnya tidak memiliki alat
pelengkap fotosintesis.
 Cestoda, nematoda dan acanthocephala alat penglihatannya terbatas bahkan
tidak memiliki alat penglihat.
 Organ sensori internal parasit biasanya tersebar pada tubuh parasit seperti
pada sucker, nematoda labia, dan pada ekor (nematoda jantan).

4. Adaptasi pada Mekanisme Pernapasan Parasit


Mekanisme pernapasan parasit belum dipelajari secara mendetail sejauh
ini. Pada umumnya parasit belum memiliki alat pernapasan spesifik. Namun
beberapa hal yang bisa dijelaskan mengenai mekanisme pernapasan parasit
adalah:
 Parasit tidak memiliki organ respirator secara khusus, pertukaran gas terjadi
pada permukaan tubuh.
 Copepod cenderung terjadi pernapasan pada struktur permukaan tubuhnya.
Misalnya berbagai struktur seperti grapelike bublles pada bagian ujung
posterior thorax Pennella, Lernaeolophus dan jenis Chondracanthus biasanya
memiliki berbagai macam papillae dan proses pernafasan terjadi pada bagian
thorax.
 Ektoparasit menggunakan oksigen terlarut dalam air, sedangkan endoparasit
mendapatkan energi dari dekomposisi glikogen dalam sel, menghasilkan
(mengeluarkan) karbondioksida dan asam lemak.

B. MEKANISME PERTAHANAN TERHADAP KONDISI INANG

Secara alamiah, keberadaan parasit pada inang akan mengganggu sistem


dalam tubuh inang yang bekerja. Inang akan melakukan berbagai cara untuk
mengeliminasi keberadaan parasit dengan banyak cara. Parasit dalam usus
memanfatkan enzim pencernaan yang dihasilkan oleh inang. Hanya sebagian
kecil saja yang mampu hidup dalam usus yaitu dengan memiliki kemampuan

Parasit Biota Akuatik | 13


menatralisir enzim yang dihasilkan inang, misalnya dengan menghasilkan bahan
mucoproteid. Adaptasi parasit lainnya pada tubuh inang untuk menyesuaikan
dengan tubuh inang yaitu jaringan tubuh parasit dan inang harus memiliki
komposisi asam amino yang sama. Contohnya asam amino pada cestoda
(Hymenolepis diminuta) dan inang (tikus) menunjukkan ada kesamaan 20 jenis
asam amino (Goodchild and Wells, 1957).

C. INFEKSI DAN INFESTASI

Penyebaran parasit dari satu inang ke inang yang lain dalam satu
populasi, dilakukan dengan cara yang beraneka ragam tergantung pada spesies
dari parasit itu sendiri. Cara invansi parasit pada inang, dapat dilakukan dengan
4 (empat) cara, yaitu melalui kontak secara langsung, saluran pencernaan,
phoresis (membutuhkan perantara/hewan pembantu) atau dengan cara
menembus permukaan kulit.
1. Kontak Langsung
Invansi parasit terjadi melalui kontak secara langsung antara terjadi pada
ikan sehat dengan ikan yang telah terinvansi parasit terlebih dahulu. Padat
penebaran yang tinggi pada budidaya ikan menjadi salah satu penyebab
penyebaran parasit melalui cara ini. Cara ini umumnya digunakan untuk
penyebaran larva parasit dan terkadang juga parasit dewasa (digunakan oleh
parasit yang memiliki siklus hidup yang sederhana), contohnya adalah
parasit ciliata, Trematoda monogenea, copepoda, isopoda, branchiurans.
2. Melalui Saluran Pencernaan
Invansi parasit dengan cara melalui saluran pencernaan ini pada umumnya
dilakukan setelah fase invasif dari parasit (telur, larva, spora) yang masuk ke
dalam inang bersama makanan. Biasanya dilakukan oleh parasit yang
memiliki siklus hidup yang kompleks, contohnya adalah jenis protozoa
seperti Coccidiomorpha dan Cnidesporidia, Digenea trematoda, cestoda, nematoda
dan acantocephala.
3. Phoresis (Membutuhkan Perantara/Hewan Pembantu)
Transportasi parasit ini dilakukan dari satu inang ke inang lain melalui
hewan lain. Cara ini pada umumnya digunakan untuk jenis parasit darah

Parasit Biota Akuatik | 14


contohnya adalah jenis Tripanosoma, parasit branchiura memindahkan larva
nematoda Skrjabillanus dari satu ikan ke ikan yang lain dalam satu populasi.
Cercaria menujukkan karakteristik adaptasi yaitu kemampuan menembus
kulit ikan dan kemudian tumbuh dan berkembang dalam jaringan inang.
Bagian yang terdiri dari mulut dilengkapi dengan sucker yang memiliki stylets
untuk menusuk kulit. Kelenjar dalam alat penusuk menghasilkan enzim
proteolytic yang dapat merusak jaringan inang, dan hal ini yang menjadi
sarana migrasi dari cercaria.
4. Menembus Permukaan Kulit
Cara lain yang bisa dilakukan oleh cercaria dari Digenea trematoda dengan
menyerang jaringan kulit hingga berkembang menjadi fase berikutnya yaitu
metacercaria.

D. CARA PARASIT MERUGIKAN INANG

Dalam hubungan antara parasit dan inang, maka sesungguhnya tidaklah


menjadi tujuan parasit untuk merusak alat tubuh inang, apalagi sampai
menyebabkan kematian inang. Parasit membutuhkan jaminan makanan dan
tempat hidup untuk kelangsungan jenisnya. Terutama untuk jenis endoparasit
jika inangnya sakit atau sampai mati, maka dia tidak mendapatkan jaminan
makan.
Ada korelasi atau hubungan positif antara luasnya sebaran inang dan
jenis parasit dengan kerugian yang ditimbulkan oleh parasit. Makin luas jenis
parasit dan inang, maka makin tinggi kerugian yang ditimbulkan oleh parasit
tersebut.
Kerusakan yang ditimbulkan dengan adanya parasit pada inang itu
bertingkat tergantung pada jenis parasit, umur parasit jenis dan umur inang,
perawatan inang, penyebaran geografis dari parasit.
Pada saat kondisi normal, sistem dalam tubuh inang terjadi secara
normal, keberadaan parasit menyebabkan dampak yang beragam pada tubuh
inang, dampak yang ditimbukan oleh parasit pada inang antara antara lain:
dapat berupa kerusakan secara mekanik, kekurangan makanan dan dampak
keracunan.

Parasit Biota Akuatik | 15


1. Kerusakan Secara Mekanik
Di samping merugikan inang karena mengambil sebagian makanan atau
menghisap darah, atau menghisap cairan tubuh, makan atau merusak jaringan
tubuh inang, maka parasit yang bertubuh besar atau parasit yang berkumpul
sebagai gumpalan benda asing dalam tubuh inang dapat menyebabkan
timbulnya gangguan mekanik. Parasit yang memiliki organ penyerang (hooks,
clamps, suckers) bisa menyebabkan kerusakan pada jaringan inang, yakni :
a) Kerusakan pada kulit dan insang ikan, contohnya :
 Sucker dan probosces dari digenea, cestoda dan acanthocephala
menyebabkan kerusakan pada mukosa usus.
 Cercaria dari trematoda menembus kulit dan menyebabkan kerusakan
jaringan dan bisa menyebar ke jaringan lain. Kerusakan ini dapat menjadi
media perpindahan larva nematoda
b) Kerusakan pada usus akibat parasit antara lain: pengerasan pada usus,
lemahnya gerakan peristaltik dan pencernaan terhambat, contohnya :
 Triaenophorus menghambat usus ikan.
 Ligula menghambat perkembangan gonad sama halnya dampak yang
ditimbulkan oleh Amphilina foliacea pada iikan sturgeons.

2. Kekurangan Makanan (Nutrien)


Parasit biasanya memakan makanan yang ada dalam tubuh inang (parasit
dalam usus) atau mengambil sebagian nutrisi pada inang. Dampak pada inang
mnyebabkan anemia. Kabata (1958) pernah menunjukkan bahwa investasi dari
Lernaeocera obtusa menyebabkan penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan jumlah
lemak dalam hati. Diphyllobathrium latum pada usus manusia menyebabkan
hilangnya vitamin B12 (44 %).
Parasit lain mengambil vitamin A, B komplek, C dari inangnya. Parasit
terkadang memakan darah atau jaringan pada inang, yang dapat menyebabkan
hemoglobin ikan yang terinvestasi oleh Lernaeocera branchialis menjadi menurun
dari 30-40 % menjadi 20-22 %. Jumlah total eritrosit menurun dari 902.500/mm
menjadi 847.500/mm. Selain itu, adanya kronik hypochromatic dan hemolitik dan
juga basofil dan polychromatic eritrosit meningkat, granulosit (heterofil dan
basofil) yang umumnya ditemukan menyertai pendarahan dan radang insang.

Parasit Biota Akuatik | 16


3. Toxic dan Lytic Effects
Hasil dari metabolisme parasit dan sekresi dari kelenjar parasit dapat
bersifat toxik bagi inang, misalnya cercaria menghasilkan enzim proteolytic
yang dapat menghancurkan jaringan inang juga menjadi sarana perpindahan
cercaria dalam tubuh inang. Argulus memiliki kelenjar venom pada bagian stylet
yang digunakan untuk menusuk kulit masuk ke dalam aliran darah dan cairan
tubuh. Hal ini menyebabkan iritasi pada kulit dan menghasilkan radang.
Nematoda (Anisakis) menghasilkan racun, yang dapat menyebabkan asma dan
parasit Kudoa (Myxobolidae), menghasilkan enzym proteolitik yang dapat
menyebabkan otot daging menjadi lembek.

E. SISTEM PERTAHANAN INANG TERHADAP PARASIT

Sistem pertahanan inang terhadap parasit Sebagaimana hewan vetebrata


lainnya, ikan memiliki sistem kekebalan/imunitas, hanya berbeda dengan
vertebrata lainnya yaitu pada organ pembentuknya. Sistem imunitas ini
berfungsi untuk melawan berbagai macam penyakit, yang meliputi sistem
pertahanan spesifik dan non spesifik. Anderson dan Siwicki (1993) menyatakan
bahwa respon imunitas spesifik memerlukan stimulasi terlebih dahulu dan
bersifat khusus terhadap agen penginduksinya, keberadaannya dalam tubuh
sangat berfluktuasi. Respon non spesifik bersifat umum dan keberadaannya
bersifat permanen dalam tubuh ikan (Ellis, 1988).
Sistem pertahanan nonspesifik disusun dari penghalang fisik dan kimia
(mukus, kulit sisik dan insang) dan pertahanan seluler (sel makrofag, lekosit
seperti monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil) terhadap serangan patogen.
Salah satu dari kebanyakan pertahanan non spesifik umum dari ikan adalah
sekresi jumlah mukus yang berlimpah selama keadaan stres, terutama karena
penangkapan dan penanganan.
Mukus ikan yang menyelimuti permukaan tubuh, insang dan terdapat
juga pada lapisan mukosa usus berperan menjerat mikroorganisme yang secara
potensial membahayakan dan memusnahkan material asing dengan lisosim dan
enzim proteolitik lain (Anderson, 1974). Ingram (1980) mengemukakan bahwa

Parasit Biota Akuatik | 17


mukus juga mengandung antibodi (pertahanan spesifik), aglutinin alamiah dan
lisin yang berkemampuan mengeleminir patogen.
Kulit dan sisik ikan berperan dalam perlindungan mekanik terhadap
infasi patogen melalui penebalan kutikel ataupun hiperplasia sel-sel malphigi
(Robert, 1989). Reaksi peradangan juga dapat terjadi disekitar situs masuknya
patogen, dalam hal ini komponen lainnya yang berperan dalam proses
pertahanan seluler seperti leukosot akan membanjiri situs untuk memfagosit
patogen yang ada tersebut.
Jika mikroorganisme menembus penghalang fisik dari kulit dan sisik
melalui abrasi atau memotong, pengenalan pengganggu asing menimbulkan
reaksi peradangan. Jaringan makrofag dan sirkulasi migrasi monosit ke tempat
fagositis dan menghancurkan pengganggu. Neutropil dan lekosit lainnya juga
tertarik ke abrasi, dimana mereka melepas enzim destruktif yang bertindak pada
mikroorganisme target.
Respon imun spesifik dirangsang bereaksi terhadap antigen tunggal yang
merupakan komponen patogen. Jika garis pertahanan pertama tidak berhasil,
mikroorganisme mendapat kontrol secara cepat, berkembang, dan membunuh
ikan. Namun, jika ada waktu yang cukup untuk aktifasi respon imun spesifik,
respon tersebut dapat menolong ikan selama paparan primer dan berikutnya.
Pertahanan tubuh spesifik dilakukan oleh antibodi yang merupakan
respon humoral. Ikan hanya memiliki satu kelas Ig yakni IgM (Robert, 1989)
dengan berat molekulnya 700 kDa (Lobb, 1986) dan koefisien sedimentasi 16 S.
IgM ini merupakan makrobglobulin, kestabilan struktur molekulnya dilakukan
oleh rantai J. Klasifikasi Ig didasarkan atas sifat fisika-kimia, kandungan
karbohidrat dan komposisi asam amino molekul Ig (Rosenshein et al., 1986).
Imonoglobulin (Ig) ini selain terdapat dalam plasma darah juga ditemukan pada
mukus, usus, cairan empedu dan dalam telur ikan mas (Robert, 1989).
Infeksi parasit merupakan infeksi yang merangsang lebih dari satu
mekanisme pertahanan, yaitu kedua respon imun humoral dan seluler sekaligus.
Makin besar ukuran parasit yang menyerang, makin banyak jumlah dan jenis
antigennya yang akan membangkitkan respons imun tubuh. Infeksi parasit
umumnya berlangsung kronis, antigen selalu beredar di dalam tubuh sehingga
terjadi perangsangan yg terus menerus. Respon imun seluler lebih efektif

Parasit Biota Akuatik | 18


menghadapi protozoa intraseluler, sebaliknya antibodi efektif untuk parasit
ekstraseluler dalam darah atau jaringan (contoh, malaria dan tripanosoma)
karena antibodi tidak dapat melintasi membran sel inang untuk mencapai
parasit intraseluler.
Ada sel yang berperan lebih banyak pada saat infeksi parasit yaitu sel
eosinofil yang merupakan sel penghuni jaringan, keberadaan dalam aliran darah
sedikit, pada membran selnya terdapat resptor IgG, IgE, IgM, C3b dan di dalam
sitoplasmanya ada tiga butir-butir: fosfatase asam dan arilsulfatase, butir primer,
butir sekunder. Butir sekunder memiliki mayor basic protein (MBP) yang bersifat
toksik terhadap parasit dan produksi histamin, eosinophil cationic neurotoxin
(EDN), eosinophil peroksidase (EPO), yang keduanya bias membunuh parasit.
Parasit di dalam tubuh inang juga melakukan perlawanan terhadap
serangan dari sistem imun. Cara parasit menghindar dari sistem imun yaitu
dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Keanekaragaman antigenik (antigenic variation) : parasit memiliki gen antigen
permukaan yang munculnya tergantung aktivitas masing-masing gen yang
merupakan hasil adaptasinya, contoh plasmodium penyebab malaria
2. Penyamaran antigenik (antigenic mimicry): cacing dewasa bisa memperoleh
antigenik jaringan inang untuk menyelubungi dirinya sehingga sistem imun
inang gagal mengusir cacing, contoh Schistomiasis
3. Hidup di dalam makrofag dengan cara:
 Mencegah fusi lisosom dan fagosom
 Tahan terhadap pembunuhan dengan enzim
 Menghindari lisosom masuk ke sitoplasma makrofag
4. Supresi respon imun : antigen yang dilepaskan parasit dapat mengganggu
respon imun inang dengan mekanisme sebagai berikut:
 Pengikatan dengan antibodi sehingga tidak dapat menyerang parasitnya
 Memblok sel-sel efektor melalui pembentukan kompleks imun
 Menginduksi toleransi sel B dan sel T
 Aktivasi poliklonal banyak dihasilkan IgM dan IgG yang tidak spesifik
 Aktivasi sel-sel supresor
5. Subversi sistem imun

Parasit Biota Akuatik | 19


A. PENGERTIAN FAKTOR EKSTERNAL

Seperti sudah dijelaskan pada bab awal mengenai parasit dan penyakit
itu sendiri, maka bab ini selanjutnya akan membahas tentang faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap serangan parasit pada biota akuatik. Faktor eksternal
yang dimaksud adalah faktor-faktor luar (dari ikan) yang berpengaruh terhadap
tingkat patogenitas dari parasit itu maupun faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kesehatan ikan sebagai inang, karena sistem ketahanan ikan sangat
berpengaruh terhadap kemampuan parasit menginfestasinya. Pada saat kondisi
ikan sebagai inang dalam keadaan baik maka, dia akan mampu menghalau
masuknya parasit dalam tubuhnya. Faktor ekternal yang berpengaruh terhadap
kondisi kesehatan ikan antara lain, lingkungan, vektor dan parasit itu sendiri.

B. BEBERAPA FAKTOR EKSTERNAL SERANGAN PARASIT

Parasit pada umumnya berada dalam suatu perairan dan biasanya


memiliki waktu-waktu tertentu untuk memulai menginfeksi inang, dan faktor-
faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat infestasi dari parasit
terhadap inang adalah :

1. Lingkungan
Sistem pertahanan tubuh (sistem imun) dipengaruhi oleh keseimbangan
dan ketidakseimbangan antara lingkungan dan ikan itu sendiri. Dalam kondisi
normal, ikan berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam interaksi ini semua
sistem bekerja. Apabila kondisi perairan tempat ikan hidup telah mengalami
perubahan karena ada bahan-bahan yang masuk secara terus menerus dalam

Parasit Biota Akuatik | 20


jangka waktu yang lama, maka akan menyebabkan perubahan pada sistem
immunologi ikan. Hal ini terjadi karena sistem immunologi ikan berkaitan
dengan sistem ketahanan tubuh, dimana ikan mempertahankan diri untuk tetap
hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda dari kondisi normal. Sistem
pertahanan tubuh ikan ini berkaitan dengan keberadaan sel-sel pertahanan
tubuh seperti leukosit (monosit, neutrofil, eusonofil, basofil) dan trombosit.
Selain itu berkaitan dengan bahan-bahan yang dikeluarkan oleh tubuh sebagai
respon tubuh terhadap stress yang dideritanya seperti kortisol dan glukosa
dalam plasma. Terganggunya sistem imun ikan sangat mempengaruhi daya
tahan tubuh organisme dalam mengontrol infeksi penyakit yang menyerang.

a) Fisika Perairan
Parameter yang termasuk dalam fisika perairan, antara lain temperatur,
salinitas (Tekanan Osmotik), kekeruhan/kecerahan, TDS/TSS, kuat arus, warna,
rasa dan bau.
Temperatur dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh langsung biasanya berefek mematikan pada saat berada di atas
ataupun di bawah suhu normal (± 5 oC) tiap individu memiliki kisaran suhu
yang berbeda sehingga dampak yang ditimbulkan juga bisa berbeda. Dampak
lain yang lebih berbahaya adalah dampak yang tidak mematikan tetapi bersifat
letal. Pada kisaran suhu ini ikan tidak mati namun masih dalam tahap
mengganggu proses fisiologis dan metabolisme di dalam tubuhnya saja.
pengaruh yang tidak langsung maksudnya adalah bahwa suhu ini sangat
mempengaruhi kondisi kualitas air yang lain, artinya suhu dapat menjadi pemicu
atau penurunan kualitas air yang lain seperti oksigen, karbondioksida dan pH.
Pada saat suhu naik menyebabkan gas oksigen turun ini biasanya yang
menyebabkan ikan hipoksia. Pada saat suhu turun, berpengaruh terhadap pH
atau drajat keasaman yang akan di bahas pada kimia air pada sub bab
berikutnya.
Salinitas termasuk dalam parameter dalam fisika air, meskipun salinitas
juga terkait dengan faktor kimia air. Salinitas ini biasa diukur karena selain
berkaitan dengan oksigen dan unsur atau senyawa kimia lain dalam perairan
seperti unsur fosfor/F, calsium/Cl, brom/Br, dan iodium/I yang semuanya

Parasit Biota Akuatik | 21


berpengaruh terhadap pH. Salainitas ini masuk sebagai parameter fisika karena
terkait dengan tekanan osmotik, masuk dalam parameter kimia karena ada
senyawa NaCl yang terkait.
Kekeruhan dan kecerahan juga biasa di analisa. Kekeruhan dapat
disebabkan karena faktor abiotik yaitu pasir, lumpur dan sebagainya sedangkan
faktor biotik penyebabnya yaitu karena phytoplankton. Faktor ini berpengaruh
karena adanya buangan sluge dari industri atau karena longsoran, yang tentu
saja akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem perairan. Sedangkan
kecerahan yang diukur adalah sinar yang dipantulkan ke mata pengukur
sedangkan kekeruhan adalah sinar yang diserap oleh perairan.
Keseluruhan faktor fisika perairan dapat berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap terjadinya suatu penyakit. Kualitas air (factor
fisika) yang buruk dapat mempengaruhi kerentanan ikan terhadap suatu
patogen, artinya pada saat kualitas air buruk maka kondisi kesehatan ikan akan
mengalami penurunan dan pada saat itulah agen penyakit/patogen akan mudah
untuk menginfeksi ikan/inang. Pengaruh tidak langsung, penurunan kualitas air
(peningkatan bahan organic dari sisa pakan, feses) dapat menjadi factor pemicu
pertumbuhan jenis patogen tertentu seperti Trichodina, Ichtyoptirius multifillis,
Aeromonas hydrophilla. Pada saat jumlah patogen meningkat maka intensitas
infeksi patogen tersebut pada inang akan meningkat pula.

b) Kimia Perairan
Beberapa parameter yang masuk dalam indikator kimia adalah : Asam
basa, CO2, gas oksigen (O2), gas amonia (NH 3), amonium (NH 4+) dan gas lain
(P2, S2, CH4).
Asam basa perairan ini terkait dengan i) nilai basa (pH), ii) aciditas/
alkainitas, iii) kesadahan, iv) kalsium (Ca++), v) buffer/larutan penyangga.
Pengukuran pH ini dipentingkan karena parameter ini dapat menyebabkan ikan
atau biota dalam suatu perairan mati mendadak. Itu disebabkan karena pada
saat pH rendah, ion H + tinggi ini menyebabkan ion – (negatif) dalam insang
keluar dan ion + (positif) masuk ke dalam insang sehingga keseimbangan sel
insang jadi tidak seimbang, akibatnya insang berlendir yang menyebabkan O2
sulit diserap insang masuk ke dalam tubuh ikan.

Parasit Biota Akuatik | 22


Aciditas (kemasaman) dan alkalinitas (kebasaan) atau daya mengikat
asam seperti Na+, K+, Ca++, Mg++, Fe dan OH - . Pada saat mengukur alkalinitas
sebenarnya adalam mengukur ion-ion di atas. Ada dua macam alkalinitas yaitu
pertama CO 3= atau alkalinitas pp (phenol ptealin)/alkalinitas karbonat biasanya
digunakan pada saat pH perairan >8,1 dan kedua HCO 3- atau alkalinitas mo
(methyl orange)/alkalinitas bikarbonat, yang biasa diukur pada saat pH perairan
3,2 – 8,1. Jumlah kedua alkalinitas merupakan alkalinitas total.
Kesadahan terkait dengan uin Ca++, Mg++, Fe++atau 3+. Arti dari kesadahan
ini adalah :
 Air tidak sadah / tawar nilainya 0 – 50 mg/l CaCO3
 Air sadah/payau nilainnya 50 - 150 mg/l CaCO3
 Air sangat sadah/laut nilainya >150 mg/l CaCO 3
Kalsium (Ca++) hanya dibutuhkan pada budidaya air tawar karena di
perairan laut sudah banyak jumlahnya. Parameter ini sangat penting diukur
untuk budidaya. Nilainya > 12 mg/l Ca++ (CaCl2, CaCO3, CaSO4). Ion Ca++
berubah pada saat pH berubah. Buffer atau larutan penyangga adalah larutan
yang bisa menahan perubahan pH karena penambahan asam/basa.
Parameter kimia lain yang biasa dianalisa pada perairan yang diduga ada
stressor adalah karbondioksida (CO2), gas oksigen (O2), gas ammonia (NH 3)
dan gas ammonium (NH4+) dan gas lainnya. Karbondioksida digunakan oleh
tumbuhan untuk fotosintesis, berbahaya bagi ikan pada konsentrasi < 5 mg/l.
Pada saat CO2 rendah atau tinggi ini dapat menjadi indikasi bahwa telah terjadi
perubahan pada lingkungan perairan.
Gas oksigen sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup sehingga ini sangat
penting diukur untuk mengetahui terjadi pencemaran atau tidak diperairan.
Pada saat gas oksigen tinggi bisa membunuh ikan karena pada saat itu gas O16
berubah menjadi O18 dan gas ini yang bersifat racun.
Gas ammonia (NH 3) dan gas ammonium (NH4+) berbahaya bagi hewan.
Gas BM yang kecil lebih mudah masuk ke dalam aliran darah dibandingkan
dengan gas dengan BM yang lebih besar. Gas lain yang juga penting dianalisa
adalah P2, S2 dan CH4. gas-gas ini muncul karena oksidasi yang tidak sempurna
dan berbahaya bagi ikan, khusus untuk gas S2, pada saat O2 berlebih akan
menjadi H2S. yang bersifat racun.

Parasit Biota Akuatik | 23


Kondisi lingkungan yang mengalami perubahan dapat menjadi pemicu
menurunnya keseimbangan tubuh ikan (biota air) sehingga menyebabkan daya
tahan tubuh ikan menjadi menurun, pada kondisi ini ikan menjadi lebih rentan
terhadap infeksi patogen. Selain itu, kondisi lingkungan yang sangat buruk
(peningkatan bahan organik, amoniak) menjadi salah satu dari beberapa
penyebab meningkatnya pertumbuhan patogen tertentu seperti Trichodina sp.,
dan cacing Ascaropis sp. dan Camallanus sp., sehingga pada saat pertumbuhan
patogen meningkat, bisa menyebabkan intensitas penyerangan pada ikan
meningkat juga yang akhirnya menyebabkan kejadian penyakit meningkat.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dampak
lingkungan terhadap kejadian penyakit pada lingkungan budidaya memiliki
dampak yang kuadratik, yaitu berpengaruh langsung terhadap biotaa
(menyebabkan penyakit non infeksius karana faktor lingkungan dan
menyebabkan penurunan kondisi kesehatan ikan) dan juga berpengaruh
terhadap peningkatan jumlah patogen pada perairan.

2. Vektor
Vektor merupakan agen pembawa penyakit, biasanya hidup di perairan
bersama hewan budidaya atau secara luas berarti pembawa atau pengangkut.
Dalam parasitologi, vektor didefinisikan sebagai hewan yang memindahkan
parasit stadium infektif dari hewan penderita ke hewan penerima. Hewan yang
memindahkan agen penyakit itu aktif bergerak dari satu tempat ke tempat lain,
jadi dengan arah atau tujuan tertentu. Kelompok krustacea biasanya menjadi
pembawa penyakit di areal tambak udang. Keberadaan vektor di areal budidaya
sangat berpengaruh terhadap masuknya patogen dan serangan patogen terhadap
ikan.
Ada tiga sumber yang secara nyata keberadaan hewan lain diluar kultivan
budidaya membahayakan keberlangsungan budidaya yaitu:
 Hewan yang berperan sebagai host-antara parasit ikan, atau parasit yang
memerlukan ikan sebagai host-antara. Misalnya: keong air, katak, moluska,
burung.
 Hewan yang berfungsi sebagai vektor (pembawa penyakit). Misalnya leech
 Hama dan organisme pengganggu. misalnya ular, burung, larva insekta.

Parasit Biota Akuatik | 24


3. Parasit itu sendiri
Kondisi parasit juga sangat berpengaruh terhadap tingkat investasi pada
inang. Biasanya parasit menyerang pada tahap-tahapan pertumbuhan tertentu.
Parasit Ichtyopthyrius multifilis biasanya mulai menginfeksi pada tahap trophont.
Selain jenis parasit, jumlah parasit juga berpengaruh terhadap tingkat investasi
dari parasit.

Parasit Biota Akuatik | 25


A. PENGERTIAN FAKTOR INTERNAL

Faktor internal yang berkaitan dengan serangan parasit pada biotik


adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan individu ikan itu sendiri sebagai
inang. Kondisi kesehatan ikan memegang peranan penting dalam dapat tidaknya
parasit menginvasi inang. Infeksi pada umumnya dimulai pada saat ada
ketidakseimbangan antara lingkungan, parasit dan ikan sebagai inang. Ikan
sebagai inang memiliki kendali untuk menjadikan infeksi menjadi sakit atau
tidak. Seperti diketahui infeksi adalah patogen pada inang yang bisa atau tidak
menimbulkan penyakit sedangkan sakit/penyakit : penyimpangan dari kondisi
normal atau kondisi sehat. Penyimpangan kondisi sebagai akibat dari infeksi
patogen, defisiensi nutrisi, toxicant, lingkungan atau genetik

B. BEBERAPA FAKTOR INTERNAL SERANGAN PARASIT

Faktor internal yang mempengaruhi tingkan investasi parasit pada biota


akuatik antara lain :

1. Genetika
Genetik memegang peranan penting dalam susunan komponen sistem
imun ikan. Jaringan limfoloid ikan merupakan jaringan yang bertanggungjawab
terhadap sistem imun ikan. Susunan jaringan limfoloid yang tidak sempurna
atau yang mengalami kelainan akan lebih menyebabkan ketahan tubuh, atau
sistem imun ikan tidak sempurna. Perbedaan jenis ikan pada umumnya juga
berpengaruh terhadap komponen-komponen sistem imunnya. Keberadaan
komponen sistem imun pada biota akutik menjadi penentu dalam sistem

Parasit Biota Akuatik | 26


pertahan tubuh terhadap serangan patogen maupun kondisi lingkungan. Ada
beberapa patogen yang ditemukan hampir disemua jenis ikan air tawar namun
juga ada patogen spesifik yang ditemukan hanya pada jenis ikan tertentu. Ikan
nila umumnya memiliki sistem pertahanan tubuh yang baik sehingga jenis
patogen yang ditemukan tidak sebanyak pada ikan jenis mas.

2. Nutrisi
Nutrisi juga sangat mempengaruhi kesehatan ikan, pakan yang seimbang
antara nutrien, mineral, protein, lemak, karbohidrat sesuai denga kebutuhan si
ikan sangat penting agar tidak terjadi mall nutrisi. Karena ada penyakit non
infeksius yang disebabkankarena kekurangan ataupun kelebihan nutrisi. Ikan
yang kekurangan vitamin A pada pakannya cenderung mengalami eksoptalmia
(mata menonjol) pada mata, eksoptalmia juga dapat terjadi karena faktor infeksi
patogen namun dengan kondisi yang berbeda. Jika eksoptalmia yang disebabkan
oleh patogen adalah karena pembesaran atau hiperplasia pada sel choroid mata,
sedangkan jika kekurangan vitamin A biasanya disebabkan karena adanya
hiperplasia pada pembuluh darah di mata. Nutrisi dalam pakan sangat
berpengaruh terhadap status kesehatan suatu organisme. Pakan yang masuk
kedalam tubuh dimanfaatkan untuk metabolisme tubuh, salah satunya adalah
proses ketahanan tubuh, sehingga pakan yang seimbang sesuai dengan yang
dibutuhkan akan menunjang proses dalam tubuh (sistem pertahanan tubuh
akan berfungsi dengan baik).

3. Jenis dan Umur Ikan


Jenis dan umur ikan juga berpengaruh terhadap tingkat investasi parasit.
Ikan yang berumur lebih muda atau ukuran benih dan juvenil lebih rentan
terinfeksi parasit dan menyebabkan sakit dibandingkan dengan ikan dewasa,
karena terkait dengan kesiapan dari sistem pertahan tubuhnya. Ada jenis-jenis
ikan yang cenderung lebih resisten terhadap serangan penyakit dibandingkan
dengan jenis ikan lainnya. Ikan yang bersisik biasanya lebih tahan terhadap
serangan ektoparasit dibandingkan dengan ikan yang tidak bersisik. Hasil riset
menyatakan bahwa ikan yang berusia lebih tua biasanya jenis patogen yang
menginfeksi lebih sedikit dibandingkan dengan ikan yang berumur lebih muda.
Artinya jenis patogen yang menginfeksi ikan berumur lebih muda biasanya lebih

Parasit Biota Akuatik | 27


banyak atau lebih beragam dibandikan ikan yang berumur lebih tua pada jenis
yang sama.

4. Aktivitas Ikan
Aktivitas ikan juga secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat
kesehatan ikan dan juga serangan parasit. Salah satu cara penyebaran penyakit
adalah melalui kontak dengan ikan yang terinfeksi sehingga ikan-ikan dengan
aktivitas tinggi cenderung lebih sering berinteraksi dengan ikan lain yang
menyebabkan lebih mudah terinfeksi penyakit infeksius. Selain itu, ikan-ikan
yang beruaya seperti ikan salmon cenderung akan lebih sering terinfeksi parasit
karena habitatnya yang luas, dari daratan hingga lauatan yang luas.

Parasit Biota Akuatik | 28


A. GEJALA KLINIS IKAN YANG TERINFEKSI PATOGEN

Untuk mengamati perubahan abnormalitas pada ikan yang terinfeksi


suatu parasit dapat dilihat melalui gejala klinis tingkah laku ikan, berupa
perubahan pola renang, perubahan pada anatomi organ luar dan adanya
perubahan pada organ dalam baik berupa perubahan pola warna, bentuk
maupun konsistensinya. Secara lebih mendalam kondisi suatu organisme
akuatik dapat dilihat melalui pengamatan hematologi dan histologinya. Tahapan
pengamatan dan prosedur diagnosa akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Perubahan Pola Berenang


Perubahan pola renang dapat digunakan sebagai diteksi awal terjadinya
serangan patogen, karena pengamatan parameter ini relatif mudah yaitu
pengamatan secara langsung tanpa melakukan nekropsi atau pembedahan.
Beberapa perubahan pola renang yang biasa diamati untuk mengetahui adanya
serangan parasit berupa perubahan gerakan pada kolom air (berenang di
permukaan, melayang atau di dasar akuarium), perpindahan badan (lemah atau
agresif), bentuk cara berenang (berulang, berputar dan tidak beraturan) dan
gerakan operkulum dan pengamatan dilakukan selama 5 menit.
Perubahan pola renang biasanya terjadi setelah 6 jam pasca infeksi,
tergantung dari parasit yang menginfeksi, kondisi inang dan kondisi perairan.
Hasil penelitian Hardi et al. (2011) menyatakan bahwa perubahan pola renang
yang muncul pada inang yang terinfeksi patogen biasanya ikan cenderung agresif
dengan sirip punggung yang mengembang atau berenang lemah di dasar
akuarium. Perubahan terjadi biasanya mulai jam ke-6 pasca infeksi yaitu pola

Parasit Biota Akuatik | 29


renang ikan yang tidak beraturan dan cenderung soliter yaitu berenang terpisah
dari kelompok. Jenis atau type dari parasit itu sendiri juga sangat berpengaruh
terhadap gejala renang yang muncul pada ikan yang terinfeksi. Perubahan pola
renang ini dapat digunakan untuk penditeksian dini adanya serangan parasit,
agar serangan tidak menjadi wabah. Namun terkadang perubahan pola renang
yang terjadi pada ikan yang terinfeksi parasit tersebut hampir sama antara
parasit yang satu dengan parasit yang lain. Namun tetap dapat digunakan
sebagai pertanda adanya serangan parasit. Di bawah ini dijabarkan beberapa
perubahan pola renang ikan hias air laut yang terinfestasi parasit.

Tabel 5.1. Gejala Tingkah Laku dan Perubahan Organ Luar Ikan Amphiprion
ocellaris yang Terinfestasi Ektoparasit (Hardi, 2002)
No Jenis Parasit Organ Target Gejala Tingkah Laku Gejala Pada Organ Luar
1 Trichodina sp Sisik, kulit,  Berenang normal  Sirip atau sisik banyak
insang sirip  Ikan megap-megap yang lepas
 Berenang lambat,  Sirip dada gripis
agak miring dan ada  Tubuh berlendir
yang berenang aktif  Warna kulit kusam
 Menggosokan  Insang tampak pucat
tubuh ke dinding dan terlihat ada
akuarium pembengkakan
2 Brookynella Sisik, kulit  Berenang normal  Ada bercak merah dan
sp. dan sirip  Ikan megap-megap luka di daerah
 Berenang cepat, terinfeksi
terkadang diam di  Tubuh tampak kusam
dasar akuarium  Produksi lendir
 Berenang lambat, berlebih
lemah, megap-  Sisik mulai lepas
megap
3 Criptocaryon Kulit  Berenang cepat,  Tubuh berlendir
sp. terkadang diam di
dasar akuarium
 Mengibaskan sirip
4 Oodinium sp. Sisik, kulit,  Berenang aktif,  Produksi lendir
insang, sirip megap-megap berlebih
 Berenang lambat,  Sisik mudah lepas
agak miring dan  Tubuh, insang tampak
lemah pucat dan terjadi
 Mengibaskan ekor pembengkakan di
 Menggosokan insang
tubuh dan sirip ke
dinding akuarium
5 Dactylogyrus Insang, sisik  Megap-megap  Sisik mudah lepas
sp.  Berenang lambat,  Insang tampak
agak miring dan kemerahan
lemah

Parasit Biota Akuatik | 30


Tabel 5.1. Lanjutan
No Jenis Parasit Organ Target Gejala Tingkah Laku Gejala Pada Organ Luar
6 Gyrodactyllus Sirip  Berenang aktif,  Produksi lendir
sp. megap-megap berlebih sehingga
 Menggosokan tubuh agak kusam
tubuh dan sirip ke  Sisik mudah lepas
dinding akuarium
 Ikan berenang
lambat dan
terkadang diam di
dasar akuarium
7 Pseudanisakis Sisik, kulit  Megap-megap  Sisik mudah lepas
sp.  Berenang lambat,  Tubuh berlendir
agak miring dan  Warna tubuh kusam
lemah
8 Argulus sp. Sisik  Berenang aktif  Sisik mudah lepas
 Menggosokan  Tubuh berlendir
tubuh ke dinding
akuarium

Gejala tingkah laku atau pola renang dapat dijadikan sebagai indikasi
adanya serangan patogen (ektoparasit dan endoparasit), beberapa gejala tingkah
laku ikan mas yang dibudidayakan dalam karamba di sepanjang sungai
Mahakam Wilayah Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai tampak pada tabel
berikut :

Tabel 5.2. Hubungan Gejala Tingkah Laku Ikan Mas dengan Infeksi Ektoparasit
yang Menginfeksi
Gejala Tingkah Laku
Jenis Ektoparasit Ikan Berenang Miring Tubuh Ikan Warna Tubuh
dan Gasping Mengkilap Kusam
Diplozoon √ X X
Epistylis √ X √
Gyrodactylus √ X X
Trichodina √ X X
Oodinium X X X
Dactylogyrus √ √ √

Tabel di atas menunjukkan bahwa gejala awal yang tampak jika ikan
mengalami gangguan dalam hal ini terinfeksi parasit adalah ikan berenang
lemah, miring dan berenang gasping. Ikan yang terinfeksi Dactylogyrus
menunjukkan tubuh yang mengkilap ini biasanya disebabkan karena produksi
lendir yang berlebih. Dactylogyrus biasanya menginfeksi bagian kulit ikan.

Parasit Biota Akuatik | 31


Lendir atau mucosa merupakan zat yang diproduksi tubuh yang salah satu
fungsinya untuk mempertahankan diri terhadap bahan asing (antigen), dengan
cara memproduksi makrofag. Makrofag merupakan satu diantara sistem
imunitas selluler (mediated celluler) yang berfungsi memfagosit antigen. Jika ada
sesuatu benda atau bahan asing yang menempel di tubuh ikan, ikan akan
mengeluarkan lendir untuk memfagosit antigen tersebut. Antigen tidak hanya
berupa agen penyebab penyakit, kondisi perairan yang berubahpun dapat
memicu produksi lendir.
Warna alimen baru tubuh yang kusam biasanya tampak karena ikan
produksi lendirnya menurun dan ikan tampak ”kasat” ini juga dapat disebabkan
karena banyaknya benda asing yang menempel ditubuhnya sehingga tubuh
mengeluarkan lendir secara berlebihan yang mengakibatkan produksi lendir
menurun draktis.

2. Tingkah Laku Makan


Perubahan pada gejala klinis tingkah laku ikan yang dapat diamati
lainnya adalah perubahan tingkah laku makan. Ikan yang terinfeksi parasit
biasanya mengalami perubahan nafsu makan, biasanya pakan yang dimakan
berkurang bahkan nafsu makan bisa hilang sama sekali. Perubahan pola makan
yang dapat diamati adalah dengan mengamati respon ikan terhadap pakan yang
diberikan. Data yang dikumpulkan termasuk jumlah pakan yang dimakan,
jumlah pakan yang tidak dimakan, waktu menangani setiap pakan (waktu dari
pakan pertama dimakan hingga dia mencari atau memakan pakan lainnya
kembali).

Tabel 5.3. Pengaruh Infeksi Ektoparasit Pada Gerakan Reflek Terhadap


Makanan Pada Ikan Mas
Jenis Ektoparasit Gerakan Reflek Terhadap Makanan Lemah
Diplozoon X
Epistylis √
Gyrodactylus √
Trichodina √
Oodinium X
Dactylogyrus X

Parasit Biota Akuatik | 32


Gerak reflek terhadap pakan yang lemah biasanya karena akumulasi
dari gejala tingkah laku ikan yang mengalami gangguan. Keberadaan ektoparasit
umumnya tidak menyebabkan kematian secara langsung pada ikan namun nafsu
makan yang menurun secara terus-menerus karena adanya parasit ditubuhnya
itulah yang menyebabkan kematian pada ikan.

3. Perubahan Anatomi Organ Luar dan Organ Dalam


Perubahan yang diamati pada anatomi luar berupa kondisi mata,
operkulum, warna tubuh, kondisi sirip, pendarahan atau kelainan lainnya,
sedangkan perubahan anatomi dalam berupa perubahan warna, bentuk dan
konsistensi organ otak, saluran pencernaan, hati dan ginjal ikan. Selain gejala
tingkah laku ikan yang abnormal, ikan mas yang dibudidayakan di karamba
menunjukkan adanya perubhan anatomi organ luar seperti yang tertuang dalam
tabel berikut :

Tabel 5.4. Hubungan Perubahan Anatomi Luar dengan Infeksi Ektoparasit


Jenis Perubahan Patologi Anatomi Luar
Ektoparasit N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Gejala
Diplozoon  
X   X    X 6
Epistylis  
X        8
Gyrodactylus           9
Trichodina X X       X 6
Oodinium X X X X X X X X X 0
Dactylogyrus X 
X X X    X 5

Keterangan :
N = Ikan tampak normal, tidak ada perubahan patologi anatomi luar
1 = Mulut kemerahan dan terdapat luka
2 = Luka di bagian operculum dan kepala beraturan
3 = Exathalmus/adanya luka pada mata
4 = Insang berdarah dna letaknya tidak beraturan
5 = Sisik lepas
6 = Terdapat luka di permukaan tubuh dan perut
7 = Luka/kemerahan di semua bagian sirip tubuh
8 = Sirip ekor kemerahan dan gripis
9 = Terdapat luka di bagian punggung

Tabel 5.4. menggambarkan ikan-ikan yang terinfeksi ektoparasit ini


biasanya menunjukkan perubahan anatomi organ luar yang hampir sama,
tergantung organ targen parasit itu sendiri. Golongan protozoa seperti Trichodina
dan Oodonium biasanya menginfeksi permukan tubuh ikan dan tidak jarang

Parasit Biota Akuatik | 33


ditemukan juga di organ insang. Parasit ini masuk ke insang bersama air. Ciliate
jenis ini menyerang epitel kulit yang menyebabkan iritasi dikarenakan oleh
gerakan tubuhnya. Iritasi yang tampak berupa kemerahan pada organ yang
terinfeksi dan infeksi pada jumlah yang banyak akan menyebabkan adanya luka.
Selain itu karena rusaknya epitel kulit tak jarang menyebabkan adanya sisik
yang lepas, sehingga sering ditemukan ikan yang sebagian sisiknya tidak ada.
Menurut Kabata (1985) perkembangbiakan parasit ini dilakukan di tubuh inang
sehingga efek yang ditimbulkan cukup buruk. Parasit Trichodina bisa ditemukan
pada jumlah yang sedikit artinya dalam menginfeksi dia bersifat soliter atau
tunggal dan tiap individu dapat menyebabkan kerusakan yang luas.
Infeksi awal pada insang akan menyebabkan insang tampak berdarah dan
lembaran insang tampak lengket tidak beraturan, ini disebabkan karena gerakan
cilianya yang merusak epitel insang. Pada infeksi tingkat lanjut insang akan
tampak pucat karena darah yang banyak keluar.
Jenis-jenis cacing baik monogenea, digenea mapun nematoda biasanya
masuk kedalam bagian endodermis, ini dikarenakan parasit-parasit tersebut
memiliki jangkar atau alat hisap yang dapat menembus jaringan yang lebih
dalam. Dalam menginfeksi juga bersifat soliter atau tidak bergerombol. Organ
targen yang diinfeksi oleh golongan ini bisa lebih luas. Cacing-cacing itu dapat
ditemukan pada bagian mata, hidung, permukaan tubuh, sirip, dan anus.
Kerusakan yang ditimbulkan dapat lebih parah jika dibandingkan dengan
infeksi protozoa.
Infeksi awal Gyrodactyllus dapat menyebabkan munculnya kemerahan dan
sisik lepas, infeksi yang lebih jauh dapat muncul ulcus lalu luka pada permukaan
tubuh atau organ yang terinfeksi lainnya. Tak jarang parasit ini ditemukan pada
bagian sirip-sirip ikan. Gerakan ikan yang terinfeksi biasanya mengibas-
ngibaskan siripnya pada saat berenang. Hal tersebut merupakan cara ikan untuk
melepaskan parasit yang menempel pada siripnya. Dampak yang ditimbulkan
berupa munculnya kemerahan dan menyebabkan sirip gripis atau sirip seperti
terpotong tapi tidak beraturan.
Dactyllogyrus, jenis monogenea selain Gyrodactyllus lebih sering ditemukan
di insang ikan. Sama halnya dengan Gyrodactyllus, parasit ini memiliki jangkar
yang dilengkapi bar yang dapat menembus kulit bagian dalam. Infeksi pada

Parasit Biota Akuatik | 34


insang menyebabkan insang berdarah ini disebabkan karena jangkar-jangkarnya
mampu merobek pembuluh darah di insang ini yang menyebabkan insang
tampak menggumpal dan lengket. Tidak jarang darah muncul dan bercampur
lendir. Infeksi lanjutan dapat menyebabkan insang pucat karena banyaknya
darah keluar.
Pada penelitian tersebut ditemukan Diplozoon pada insang. Dampak yang
ditimbulkan hampir sama dengan infeksi Dactyllogyrus. Parasit yang infeksinya
bersifat koloni adalah parsit Epistylis, parasit ini selalu ditemukan bergerombol,
bentuknya seperti balon terbang yang bertali. Sehingga tidak mengherankan jika
akibat yang ditimbulkan dari infeksi parasit ini sangat luas. Ciri spesifik dari
infeksi parasit ini adalah adanya kemerahan, beberapa atau keseluruhan sisik
lepas, dan tak jarang muncul luka yang melebar.
Berdasarkan pengamatan Hardi (2011) pada ikan nila yang diinjeksi S.
agalactiae, menunjukkan perubahan makroskopis pada anatomi organ luar (mata,
operkulum dan kepala) dan anatomi organ dalam (otak, ginjal) berupa
perubahan warna dan konsistensi. Tabel 5.5 menjabarkan gejala klinis pada ikan
pasca diinjeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik.

Tabel 5.5. Patologi Anatomi Makroskopis Organ Luar Ikan Nila Pasca Diinjeksi
Streptococcus agalactiae Tipe Berbeda
Patologi Anatomi Organ Luar Waktu Terjadi (Pasca Injeksi) (jam)
Secara Makroskopis Non-Hemolitik β-Hemolitik
Garis vertical tubuh menghitam 6 24
Clear operculum 24 72
Mata mengkerut 24 264
Eksoptalmia & purulens 96 120
Pendarahan di mata 24 X
Ulcer pada kepala 264 X
Abses pada perut 336 X
“C” shape 288 X
Keterangan : (X) tidak ditemukan adanya gejala

B. METODA DIAGNOSA KESEHATAN IKAN

Beberapa langkah diagnosa terhadap perubahan abnormalitas pada ikan


yang terinfeksi suatu parasit dapat dilakukan dengan berbagai pengamatan dan
pengukuran sebagai berikut :

Parasit Biota Akuatik | 35


1. Pengamatan Mean Time to Death (MTD)
Pengamatan Mean Time to Death (MTD) dilakukan untuk mengetahui
rerata waktu kematian ikan uji yang terinfeksi S. agalactiae, yang dihitung
menurut Kamiso (2001) dalam Murdjani (2002) dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
𝒏
𝒊=𝟏 𝒂𝒊. 𝒃𝒊
𝑴𝑻𝑫 = 𝒏
𝒊=𝟏 𝒃𝒊

Keterangan:
MTD = Mean Time to Death (rerata waktu kematian)
A = waktu kematian (jam)
B = jumlah ikan mati setiap waktu pengamatan

Pengamatan MTD ini dilakukan untuk mengetahui waktu rata-rata


kejadian suatu penyakit menyebabkan kematian pada inang. Ini untuk
membantu dalam penanganan pada saat terjadi wabah. Patogen yang bersifat
akut biasanya menyebabkan kematian kurang dari 24 jam pasca infeksi dan
biasanya ikan-ikan terinfeksi patogen ini akan mengalami kematian yang cepat
dan dalam jumlah yang banyak sehingga pencegahan lebih tepat dilakukan
dengan melakukan pencegahan dari sistem budidayanya atau bila perlu
diberikan imonostimulan dan atau vaksinasi. Contoh penyakit yang bersifat
akut adalah bakteri Vibrio harvey pada udang, bakteri Aeromonas salmonicida pada
ikan mas dan koi herves virus (KHV) pada ikan mas.
Sedangkan patogen yang waktu MTD-nya lebih dari 24 jam biasanya
termasuk dalam patogen akut, yaitu waktu kematian terjadi dalam waktu yang
lama, dan yang lebih menonjol dari tanda-tanda serangan penyakit ini adalah
adanya perubahan pada gejala klinis baik tingkah laku, patologi anatomi organ
luar maupun dalam ikan. Serangan bakteri Streptococcus agalactiae dan S. iniae lebih
bersifat kronis karena kematian biasanya terjadi setelah 96 jam pasca injeksi.

2. Pengamatan Gambaran Darah


Pengamatan gambaran darah diawali dengan pengambilan darah ikan
dengan jarum suntik dari vena caudalis. Pengukuran parameter gambaran darah
antara lain diferensial leukosit, total leukosit serta total eritrosit dilakukan
mengikuti prosedur Blaxhall dan Daisley (1973).

Parasit Biota Akuatik | 36


Secara terperinci, pengukuran gambaran darah ikan dapat dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut :
a. Kadar Hematokrit Metode Anderson dan Siwicki (1993)
 Sampel darah dimasukkan dalam tabung mikrohematokrit sampai 4/5
bagian tabung, sumbat ujungnya (bertanda merah) dengan kretoseal;
 Sentrifus dengan sentrifus hematokrit selama 15 menit dengan kecepatan
3500 rpm;
 Kadar He dinyatakan sebagai % volume padatan sel darah.
b. Total Leukosit Metode Blaxhall dan Daisley (1973)
 Sampel darah dihisap dengan pipet sampai skala 0.5 (pipet yang
digunakan adalah pipet khusus pengukuran leukosit), dilanjutkan
dengan menghisap larutan Turk’s sampai skala 11, goyangkan pipet agar
bercampur homogen;
 Buang tetesan pertama, tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam
hemasitometer dan tutup dengan kaca penutup;
 Perhitungan dilakukan pada 5 kotak besar hemasitometer;
 Jumlah lekosit = jumlah sel lekosit terhitung X 50 sel/mm 3
c. Diferensial Leukosit Metode Blaxhall dan Daisley (1973)
 Buat sediaan ulas darah, keringkan di udara, fiksasi dengan methanol 5
menit;
 Bilas dengan akuades, keringkan, warnai dengan pewarna Giemsa 15
menit;
 Cuci dengan air mengalir dan keringkan di atas kertas tissu;
 Hitung jenis-jenis lekosit sampai berjumlah 100 sel.
d. Total Eritrosit Metode Blaxhall dan Daisley (1973)
 Sampel darah dihisap dengan pipet bersekala sampai 0.5, selanjutnya
hisap larutan Hayem sampai skala 101, goyangkan agar bercampur
homogen;
 Buang tetesan pertama, berikutnya diteteskan ke dalam hemasitometer
dan tutup dengan kaca penutup;
 Perhitungan dilakukan pada 5 kotak kecil hemasitometer;
 Jumlah eritrosit = jumlah eritrosit terhitung X 104 sel/mm3

Parasit Biota Akuatik | 37


3. Pengukuran Indeks Fagositik
Pengukuran indeks fagositik dilakukan dengan metode Anderson dan
Siwicki (1995) dengan cara mengambil sebanyak 50 μl darah dimasukkan ke
dalam Effendorf, ditambahkan 50 μl suspensi Staphylococcus aerus dalam PBS (107
sel/ml), dihomogenkan dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit.
Membuat sediaan ulas dan dikeringudarakan. Dilanjutkan dengan mengfiksasi
dengan metanol selama 5 menit dan dikeringkan, diwarnai dengan cara
merendam kedalam pewarna Giemsa selama 15 menit, dicuci dengan air
mengalir dan dikeringkan dengan tissue, selanjutnya diamati dan dihitung
jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 sel fagosit teramati.

4. Pengukuran Titer Antibodi


Pengukuran titer antibodi dengan uji mikrotiter aglutinasi. Secara
terperinci prosedur pengukurannya terdiri dari dua tahap yaitu :

a. Persiapan Serum
Serum darah ikan diambil dengan cara mengambil darah pada vena caudalis dan
ditampung dalam eppendorf, kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm selama 3
menit. Setelah serum terpisah dari sel darah, serum dipisahkan dan diinkubasi
pada suhu 44oC selama 20 menit untuk mengaktifkan komplemen (Sakai, 1987).
Serum selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator pada suhu 4 oC untuk
pengamatan titer antibodi.

b. Pengukuran titer antibodi


Pengukuran titer antibodi dilakukan dengan mengambil larutan PBS sebanyak
25 µl dan dimasukan ke dalam mikroplate pada lubang 1 sampai 12, selanjutnya
dimasukan serum darah pada lubang 1 sebanyak 25 µl kemudian dilakukan
pengenceran bertingkat hingga lubang ke-11. Bakterin sebanyak 25 µl
dimasukkan ke dalam lubang 1 sampai 12, campuran dihomogenkan dengan cara
menggoyangkan mikroplate secara perlahan. Selanjutnya disimpan selama 2 jam
dalam inkubator pada suhu 37 oC, dilanjutkan dengan menyimpan ke dalam
refrigerator 4 oC semalaman, titer antibodi ditentukan dari lubang terakhir yang
masih ditemukan reaksi aglutinasi.

Parasit Biota Akuatik | 38


Tabel 5.6. Pembacaan Titer Antibodi
Nomor lubang pengamatan (n) Pengenceran serum Titer antibodi (-log2)
1 1:4 2
2 1:8 3
. . .
. . .
. . .
11 1 : 4096 12
12 Kontrol

5. Pengukuran Patologi Klinik Darah


Kadar hemoglobin diukur menurut metode Sahli dengan Sahlinometer
(Wedemeyer dan Yasutake, 1977), kadar hematokrit diukur menurut metode
Anderson dan Siwicki (1995); kadar glukosa darah juga diamati dalam setiap
perlakuan, mengikuti metoda Wedemeyer dan Yasutake (1977).
a. Kadar hemoglobin metode Sahli dengan Sahlinometer (Wedemeyer dan
Yasutake, 1977).
 Isi tabung sahlinometer dengan larutan HCl 0.1 N sampai angka 10 (garis
skala paling bawah pada tabung sahlinometer);
 Tempatkan tabung tersebut diantara 2 tabung dengan warna standar;
 Ambil darah ikan dari tabung eppendorf dengan pipet sahli sebanyak
0.02 ml;
 Bersihkan ujung pipet, masukkan darah ke dalam tabung Sahli dan
diamkan 3 menit;
 Tambahkan akuades dengan pipet tetes sedikit demi sedikit sambil
diaduk dengan gelas pengaduk sampai warnanya tepat sama dengan
warna standar;
 Kadar hemoglobin dinyatakan dalam %.

b. Kadar glukosa darah dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :


 Sebanyak 3.5 ml larutan campuran O-toluidin-asam asetat glacial;
 Tambahkan plasma sebanyak 0.05 ml;
 Panaskan dalam air mendidih selama 10 menit;
 Baca OD-nya pada 635 nm spektrofotometer;
 Kadar glukos plasma (mg/100 ml) adalah

Parasit Biota Akuatik | 39


Absorban Sampel
x Konsentrasi Standar
Absorban Standar

6. Pengamatan Histopatologi Ikan


Pengamatan histopatologi ikan dilakukan untuk mengetahui kerusakan
jaringan ikan yang terinfeksi patogen infeksius maupun yang non infeksius
lainnya. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap ikan sakit atau yang diduga
sakit dan yang sudah mati. Pemeriksaan kondisi hewan di tempat pemeliharaan
dan lingkungan sangat membantu dalam menentukkan diagnosa nanti. Dalam
pemeriksaan awal sebaiknya dilihat bagaimana lingkungan sekitar, dan
kebiasaan hidup hewan.
Pemeriksaan ikan misalnya, yang diamati adalah pemeriksaan luar dan
organ dalam meliputi pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Pemeriksaan
luar meliputi pertumbuhan, cacat dan abnormalitas; kulit : warna, produksi
mucus, sisik, parasit, perlu dilakukan scraping dan wet mount; sirip : warna dan
keadaan, perlu dilakukan wet mount; insang : warna, keadaan, produksi mucus,
adanya benda asing atau parasit, perlu dilakukan wet mount; mata : kekeruhan
atau adanya exophthalmia. Sedangkan pemeriksaan organ dalam meliputi
rongga tubuh : warna, kedalaman dan adanya timbunan cair (wet mount dari
cairan) dan rongga visceral : ukuran, bentuk, warna konsistensi letak, bidang
sayatan, perlu dilakukan usapan tekan (impression smears) dan wet mount.
Jumlah ikan yang diperlukan untuk pengambilan sampel tidak selalu
sama tergantung pada penyebab penyakitnya. Penyakit yang disebabkan oleh:
bahan toksik diperlukan 2 – 3 ekor ikan sakit dari berbagai macam spesies;
infeksi bakteri atau virus diperlukan 3 – 10 ekor ikan sakit; dan jamur dan
parasit memerlukan 10 – 15 ekor ikan dengan gejala patogenesis.
Spesimen untuk pemeriksaan di laboratorium sebaiknya berasal dari ikan
sakit atau baru saja mati, ikan mati lebih dari 6 jam tidak dapat dijadikan sampel
karena hasilnya kurang akurat.

a. Preparasi Preparat
Fiksasi jaringan bertujuan untuk mematikan sel dan mengeraskan
jaringan secara cepat. Jaringan yang berasal dari ikan cenderung cepat

Parasit Biota Akuatik | 40


membusuk. Jika larutan fiksatif tidak tersedia maka jaringan dapat disimpan ke
dalam refrigerator. Untuk pemeriksaan ikan yang berukuran kecil, (panjang 
10 cm) harus dilakukan sayatan memanjang pada bagian ventral mulai belakang
mendibula hingga rectum dan melepas otot yang menutupi sisi perut agar
mempermudah proses fiksasi.
Jika lebih besar dari 10 cm, jaringan hendaknya dipotong lebih kecil agar
larutan fiksatif dapat menembus jaringan dengan cepat. Jaringan jangan lebih
dari 0,5 cm dan dimasukkan ke dalam larutan fiksatif sebanyak 20x volume
organ. Guna membantu diagnosa penyakit, sebaiknya tiap organ atau jaringan
yang diambil mewakili bagian yang terinfeksi atau rusak dan bagian yang
normal agar diperoleh pembanding. Pengambilan foto makroskopik sesudah
nekropsi akan sangat membantu diagnosa penyakit.

b. Teknik Fiksatif
Ada beberapa larutan fiksatif yang dapat digunakan, tergantung pada
jenis jaringan, spesies ikan dan tujuan pemeriksaan. Macam larutan-larutan
tersebut adalah sebagai berikut :

1) Buffered formalin
 37-40% formaldehyde 100 cc
 Distilled water 900 cc
 Sodium Phosphate monobasic 4 g
 Sodium Phosphate dibasic (anhydrous) 605 g

2) Larutan Bouin
 Picric acid, saturated aqueous solution 750 cc
 37-40 % formaldehyde 250 cc
 Glacial acetic acid 50 cc

3) Larutan Davidson
 Formaldehyde 4% 220 ml
 Ethyl alcohol 95% 330 ml
 Asam asetat glacial 115 ml
 Aquadest 335 ml

Parasit Biota Akuatik | 41


4) Larutan Carnoy
 Alkohol absolut 60 cc
 Chloroform 30 cc
 Asetic acid glacial 10 cc

5) Larutan Dekalsifikasi
 Sodium chloride (36%) 50 cc
 Aquades 42 cc
 Hydrochloric acid (pure) 37 % 8 cc

c. Teknik Emmbeding
Sampel yang sudah dipotong kecil pada bagian yang mengalami
perubahan dimasukkan ke dalam kaset yang sudah diberi label kemudian
dilakukan proses dehidrasi untuk mengeluarkan air dari dalam jaringan dengan
menggunkan alkohol secara bertahap mulai dari konsentrasi rendah ke
konsentrasi tinggi, agar organ sampel tidak mengkerut. Selanjutnya dilakukan
clearing (penjernihan) dengan menggunkan xylen, chloroform atau benzene dan
diikuti dengan emmbeding dengan paraffin. Macam larutan dan lama
pencelupan dapat dilakukan seperti tiga metode dibawah ini :
1) Metode I
 Alcohol 80% 1-2 jam
 Alcohol 95% (2X) @ 1-2 jam
 Alcohol absolute (3X) @ 1-2 jam
 Xylene (2X) @ 1-2 jam
 Paraffin cair (3X) @ 1 jam
 Diblock dalam paraffin dan didinginkan cepat.
2) Metode II
 Alcohol 80% (2X) @ 1-2 jam
 Alcohol 95% (2X) @ 1-2 jam
 Alcohol absolute (3X) @ 1-3 jam
 Chloroform (2X) @ 1-2 jam
 Paraffin cair (3X) @ 1 jam
 Diblock dalam paraffin dan didinginkan cepat.

Parasit Biota Akuatik | 42


3) Metode III
 Alcohol 80% (2X) @ 1-2 jam
 Alcohol 95% (2X) @ 1-2 jam
 Alcohol absolute (3X) @ 1-2 jam
 Benzene 1-2 jam
 Paraffin cair (3X) @ 1 jam
 Diblock dalam paraffin dan didinginkan cepat.

d. Pemotongan Jaringan
Blok paraffin yang sudah berisi jaringan atau organ sempel diletakkan
pada holder yang sesuai untuk mikrotom. Permukaan blok dipotong bagian
tepinya sehingga hanya disisakan paraffin yang ada jaringannya. Setelan diatur
sedemikian rupa agar permukaan sayatan sejajar dengan mata pisau, maka
dilakukan pemotongan jaringan dengan ketebalan 6 - 7. Hasil potongan yang
tipis dan menyerupai pita ditaruh di atas permukaan air didalam waterbath
(40o), diusahakan jaringan mengembang dengan baik. Jaringan kemudian
diangkat dan menempel pada gelas obyek yang telah diolesi dengan mayer’s egg
albumin. Preparat jaringan dibiarkan semalam atau disimpan dalam incubator
37oC agar melekat erat pada gelas objek dan tidak terlepas saat pewarnaan.
Mayer’s egg dibuat dari campuran putih telur sebnayak 50cc dan glycerin
sebanyak 50 cc. Setelah dicampur dan disaring dengan baik kemudian diberi
larutan thymol agar tahan lama.

e. Pewarnaan
Pewarnaan pada sampel histology yang sudah dibuat sangat bergantung
dengan tujuan pengamatan. Beberapa pewarna sederhana yang biasa digunakan
untuk pengamatan kerusakan pada jaringan dan sel ikan adalah :

1) Pewarna Hematoxylin dan Eosin


Ada beberapa tahapan yang harus dipersiapkan antara lain :
 Persiapan Pewarna Harris’s Hematoxylin, meliputi persiapan beberapa
bahan antara lain : Haematoxylin crystals (5 g), Alcohol absolut (50 cc),
Ammonium atau potassium alum (100 cc), Distilled water (1000 cc), dan

Parasit Biota Akuatik | 43


Mercuric oxide (2.5 g). Larutkan hematoksilin di dalam Alcohol dan alum
didalam air dengan cara dipanaskan, campurkan dua larutan tersebut dan
dipanaskan hingga mendidih. Larutan diambil dari pemanas dan ditambah
dengan mercuric oxide. Panaskan larutan hingga berwarna purple kurang
lebih 1 menit dan taruh diatas basin berisi air dingin. Setelah dingin
tambahkan 2-4 cc asam asetat glacial tiap 100 cc larutan.
 Persiapan larutan Acid Alcohol berupa Alcohol 70% (1000 cc) dan Asam
hydrochlorat (10 cc).
 Persiapan larutan Eosin Alcohol berupa Eosin Y yang dilarutkan di air (2 g),
Distilled water (160 cc) dan Alcohol 95% (640 cc)
Prosedur pengecatan yang dilakukan melalui langkah sebagai berikut :
 Preparat direndam dalam xylene sebanyak 2X masing-masing 5-10 menit
 Alcohol absolute dan Alcohol 95% masing-masing 2X selama 1-2 menit
 Harris’s hematoksilin selama 10 menit
 Dicuci dalam air selama 4-10 celup
 Diferensiasi dalam 1% acid alcohol selama 4-10 celup
 Dicuci dengan air mengalir selama 15 menit
 Diwarnai dalam 1% eosin selama 15 detik-2menit
 Pindahkan potongan jaringan ke dalam Alcohol 95%, Alcohol absolut
masing-masing sebanyak 2X selama 1 menit
 Jernihkan dalam xylene sebanyak 3X selama 2 menit untuk masing-masing.
 Tutup dengan Canada balsem/etellan
 Dari pewarnaan ini akan diperoleh hasil : inti berwarna biru, sitoplasma
berwarna merah muda.

2) Pewarna Pariodic Acid Schiff (PAS)


Pewarnaan ini bertujuan untuk menunjukkan adanya timbunan glikogen
pada jaringan yang diamati. Beberapa tahapan yang harus dipersiapkan yaitu :
 Persiapan larutan fiksatif Gendre’s fluid atau formalin 10% yang terdiri atas
Picric acid solution dalam alcohol 95% (80 ml), Formalin (15 ml), dan Asam
asetat glacial (5 ml).

Parasit Biota Akuatik | 44


 Persiapan larutan Coleman’s Feulgen, dengan cara melarutkan 1 g basic
fuchisin di dalam 200cc distilled water panaskan hingga mendidih. Setelah
dingin tambahkan 2 g potassium metabisulfit dan 10 cc asam hydrochloride.
Biarkan selama 24 jam, kemudian tambahkan 0,5 g norit. Kocok 1 menit
saring dengan kertas saring berulang kali hingga larutan tidak berwarna.
 Persiapan larutan Asam periodic 0.5%, yang terdiri atas Periodic acid (0.5 g)
dan Distilled water (100 cc).
 Persiapan larutan Asam hydrochloride normal, yang terdiri atas Asam
hidrokloride (83.5 cc) dan Distilled water (916.5 cc)
 Persiapan larutan Light green counterstain, yang terdiri atas Light green
crystal (0.2 g), Distilled water (100 cc), dan Asam asetat glacial (0.2 cc).
Prosedur pengecatan yang dilakukan melalui langkah sebagai berikut :
 Hilangkan paraffin dengan xylene
 Alcohol absolut, dilanjutkan dengan Alcohol 95%
 Larutan asam periodic 0.5% selama 5 menit
 Masukkan dalam Coleman’s Feulgen selama 15 menit
 Air mengalir selama 10 menit hingga nampak warna merah muda
 Warnai dengan light green counterstain selama beberapa detik
 Alcohol 95%, dilanjutkan dengan Alcohol absolut 2X
 Xylen 2X
 Tutup dengan Canada balsem atau etellan

3) Pewarna Giemsa
Pengecatan ini bertujuan untuk menunjukkan adanya riketsia atau
metaserkaria dalam jaringan atau organ. Larutan yang digunakan adalah zenker
atau formalin 10%. Larutan yang digunakan adalah sebagai berikut :
 Larutan Buffered Water pH 6.5, yang terdiri atas buffer salts (pH 6.8)
sebanyak 1 g dan distilled water sebanyak 1000 cc.
 Larutan Giemsa Stain, yang terdiri atas giemsa stain sebanyak 1 cc dan
buffered water pH 6.8 sebanyak 50 cc.
 Larutan Stok rosin Alcohol, yang terdiri atas rosin sebanyak 10 g dan alcohol
absolut sebanyak 100 cc.

Parasit Biota Akuatik | 45


 Larutan Working Rosin Alcohol, yang terdiri atas stok rosin Alcohol
sebanyak 10 cc dan Alcohol 95% sebanyak 40cc.
Prosedur pengecatan yang dilakukan melalui langkah sebagai berikut :
 Hilangkan paraffin dengan xylen 2X. pindahkan ke Alcohol absolut dan
Alcohol 95%
 Bilas dengan distilled water
 Masukkan dalam bufferd water pH 6.8 selama 30-60 menit
 Warnai dengan Giemsa stain selama 8-24 jam
 Masukkan ke dalam working rosin Alcohol, periksa di bawah mikroskop
hingga metacercaria tambapp berwarna violet
 Alcohol absolut 3X
 Xylen 2-3X
 Tutup dengan cover yang diberi Canada balsem/etellan

4) Pewarna Oil Red O Fat Stain


Beberapa larutan yang harus dipersiapkan pada pewarnaan ini adalah :
 Larutan Oil red O, yang terdiri atas Oil red O sebanyak 1-2 g,  70%
sebanyak 50 cc, dan Aceton sebanyak 50 cc.
 Larutan Glycerin Jelly, yang terdiri atas Gelatin sebanyak 10 g, distilled
water sebanyak 60 cc yang dipanaskan hingga gelatin larut dan tambahkan
Glycerin sebanyak 70 cc dan Phenol sebanyak 1 cc.
Prosedur pengecatan yang dilakukan melalui langkah sebagai berikut :
 Celupkan hasil potongan frozen dalam Alcohol 70% selama 1 detik
 Taruh didalam oil red O selama 5 menit
 Cuci cepat dengan Alcohol 70%, kemudian cucii dengan air
 Warnai dengan Harris’s hematoxylin selama beberapa menit dan cuci
dengan air
 Pindahkan ke ammonia water atau acetic water 1% hingga didapat warna
yang sesui
 Cuci dengan air, tutup dengan glycerin jelly
 Dari pewarnaan ini akan diperoleh : lemak berwarna orange hinga merah
menyala dan inti berwarna biru.

Parasit Biota Akuatik | 46


7. Tingkat Kelangsungan Hidup Relatif
Tingkat kelangsungan hidup relatif (Relative Percent Survival/RPS)
beberapa penelitian ada yang menggunakan pengukuran tingkat kelangsungan
hidup relatif Ellis (1988):
𝑝𝑒𝑟 𝑐𝑒𝑛𝑡 𝑣𝑎𝑐𝑐𝑖𝑛𝑎𝑡𝑒 𝑚𝑜𝑟𝑡𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦
RPS = 1 − 𝑋 100
𝑝𝑒𝑟 𝑐𝑒𝑛𝑡 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑚𝑜𝑟𝑡𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦

C. TEKNIK PEMERIKSAAN PENYAKIT PARASITER

1. Pemeriksaan ektoparasit
Pemerikisaan ini bertujuan untuk mencari dan menentukan identitas
ektoparasit tergolong protozoa, metazoa, cacing, golongan crustacea dan
arthropoda pada biota akuatik baik ikan, udang, kepiting, molusca dan
gastropoda. Pemeriksaan ektoparasit memerlukan ikan segar yang hidup atau
baru saja mati dan dalam keadaan basah, karena beberapa cacing parasit akan
berpindah jika inangnya mati. Akibatnya lokasi yang normal bagi parasit
tersebut di tubuh ikan menjadi tidak pasti. Jika nekropsi terpaksa ditunda, ikan
harus disimpan dalam kulkas (refrigerator) atau cooler dan diberi es.
Pemeriksaan bagian luar tubuh ikan dimulai dengan mengamati dengan
teliti keadaan bagian luar tubuh ikan secara umum dan dilanjutkan dengan
memeriksa lendir dari lamella insang, tubuh, sirip, hidung dan mulut dengan
mikroskop. Pemeriksaan ektoparasit dapat dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut :
a) Catat spesies ikan, perairan asal, nomor sampel dan tanggal pemeriksaan.
b) Perhatikan tingkah laku ikan dan catat gejala klinis tingkah laku yang ada,
seperti berenang dengan lesu, terkejut, menggesekkan tubuh ke pinggir
akuarium.
c) Catat gejala klinis yang terdapat pada bagian luar tubuh seperti luka kecil,
borok, lendir yang berlebihan, warna yang tidak normal, bentuk tubuh,
lendir yang berlebihan atau adanya struktur seperti benang. Beberapa
protozoa seperti Henneguya sp dan Myxobolus sp membentuk kista berwarna

Parasit Biota Akuatik | 47


putih. Ikan yang terinfeksi Ichthyopthirius multifilis akan terlihat seperti
butiran garam pada bagian yang terinfeksi, sedangkan ikan yang terinfeksi
jamur akan terdapat struktur seperti gumpalan kapas. Jika ikan anda
terinfeksi Argulus sp anda akan melihat “kutu” yang berjalan di badan ikan.
Sedangkan jika ikan anda terinfeksi Lernaea sp anda akan melihat adanya
struktur seperti benang merah yang menjuntai dari tubuh ikan.
d) Bunuh ikan dengan cara deserebrasi, timbang beratnya dan letakkan pada
sterofoam dengan bagian kepala berada pada sebelah kiri anda, kemudian
ukur TL nya.
e) Letakkan 1-2 tetes akuades atau air yang bersih pada kaca objek.
f) Dengan menggunakan tepi kaca penutup kikis lendir dari bagian tubuh yang
menunjukkan gejala klinis dan letakkan pada kaca objek yang sudah diberi
air dengan bagian yang mengandung lendir mengarah ke bawah.
g) Periksa dengan mikroskop. Mulailah dengan pembesaran kecil (100x) dan
lanjutkan ke pembesaran yang lebih tinggi.
h) Gambar dan identifikasi parasit dengan menggunakan buku yang telah
ditentukan.
i) Untuk pemeriksaan lamella insang, ulangi langkah 5, kemudian dengan
menggunakan gunting berujung lancip potong beberapa lembar lamella
insang letakkan pada kaca objek dan tutup dengan kaca penutup. Beri
sedikit tekanan agar sista protozoa dan trematoda pecah sehingga dapat
dilakukan pengmatan dengan lebih baik. Untuk mendapatkan hasil yang
baik, hindari memotong tulang rawan insang.
j) Periksa bagian rongga hidung, mulut dan mata.

2. Pemeriksaan Endoparasit
Pemeriksaan endoparasit biasanya dilakukan setelah pemeriksaan
ektoparasit. Pemeriksaan parasit yang biasanya dapat terlihat adalah golongan
protozoa, metazoa, cacing, golongan crustacea dan arthropoda pada biota
akuatik baik ikan, udang, kepiting, molusca dan gastropoda. Prosedur yang
dilakukan yaitu, membuka rongga tubuh ikan dan memeriksa organ dalam satu
persatu antara lain ginjal, hati, usus, lambung, limpa dan jantung.

Parasit Biota Akuatik | 48


Terkadang daging ikan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan
parasit pada ikan. Parasit tersebut umumnya dapat dilihat dengan mata secara
langsung. Namun untuk mengidentifikasi memerlukan mikroskop. Tahapan
prosedur pemeriksaan endoparasit yaitu :
a) Catat spesies ikan, perairan asal, nomor sampel dan tanggal pemeriksaan.
b) Perhatikan tingkah laku ikan dan catat gejala klinis tingkah laku yang ada,
seperti berenang dengan lesu, terkejut, menggesekkan tubuh ke pinggir
akuarium.
c) Catat gejala klinis yang terdapat pada bagian luar tubuh seperti luka kecil,
borok, lendir yang berlebihan, warna yang tidak normal, bentuk tubuh,
lendir yang berlebihan atau adanya sista dibawah permukaan kulit. Beberapa
cacing trematoda digenea akan membentuk sista berwarna kuming, putih
atau hitam di bawah permukaan kulit terutama pada ikan liar. Jika anda
menemukan sista ambil dan periksa dengan mikroskop sebelum anda
membuka rongga tubuh.
d) Dengan menggunakan pinset dan gunting runcing-tumpul, buka rongga
perut ikan seperti pada gambar. Hati-hati jangan sampai merusak atau
mengenai organ dalam.
e) Amati kondisi tiap tiap organ dalam. Mulailah dari bagian terluar dan catat
kelainan yang dijumpai seperti warna dan ukuran yang tidak normal, bentuk,
adanya kista parasit, pembengkakan, bercak darah dan sebagainya. Cacing
Nematoda sering dijumpai bebas di rongga tubuh, dibawah peritoneum atau
mesenteri. Ambil parasit dengan hati hati dan amati.
f) Dengan hati-hati pisahkan hati dan saluran pencernaan dan gonad. Letakkan
masing masing organ pada petri dish yang sudah diisi akuades.
g) Amati dengan teliti dengan mata telanjang. Periksa permukaan hati untuk
sista cacing. Ambil parasit yang anda jumpai, letakkan pada kaca objek yang
sudah disiapkan, tutup dengan kaca penutup dan periksa dengan mikroskop.
h) Amati saluran pencernaan dari luar. Perhatikan jika terjadi benjolan atau
luka. Selanjutnya buka saluran pencernaan. Pada organ ini anda bisa
menemukan cacing Cestoda, Acanthocephala, Nematoda dan Trematoda Digenea.
i) Sayat tipis daging ikan. Periksa jika terdapat sista cacing Nematoda (Anisakis
sp)

Parasit Biota Akuatik | 49


j) Periksa gonad. Cacing Phylometra sp sering ditemukan di gonad dan kadang
di saluran pencernaan ikan.
k) Gambar dan identifikasi dengan menggunakan buku yang sudah ditentukan
Jika ditemukan parasit dalam sista, buka sistanya terlebih dahulu dan
biasanya cacing dapat terlihat di dalam sista. Pada pemeriksaan endoparasit,
spesimen tidak boleh dibiarkan kering, harus selalu terendam cairan.

D. METODE PENCEGAHAN PENYAKIT

Dalam sektor budidaya ini, manajemen kesehatan ikan tidak bisa


dilepaskan. Budidaya yang ramah lingkungan lebih dipilih agar budidaya
berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan. Jika dulu penanganan
penyakit dilakukan setelah terjadinya wabah yang menyebabkan kematian ikan
budidaya, sekarang penanggulangan penyakit dimulai dari awal budidaya.
Secara terperinci akan dijelaskan di bawah ini.
Usaha yang bisa dilakukan untuk pencegahan penyebaran penyakit
adalah pencegahan dan pengobatan. Pencegahan lebih dipilih karena ini bisa
dilakukan secara bertahap dan mudah dilakukan sedangkan pengobatan
biasanya membutuhkan biaya banyak. Upaya proteksi yang bisa dilakukan
meliputi :

1. Pengadaan Air Bebas Patogen


Upaya mendapatkan sumber air yang bebas patogen merupakan syarat
mutlak bagi keberhasilan budidaya (Kabata, 1985). Kualitas air yang masuk
dalam petakan budidaya hendaknya dilakukan monitoring kualitas airnya.
Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pengendapan,
penyaringan dan pemusnahan gas beracun baik secara fisik maupun biologik
terhadap sumber air. Disarankan juga unit budidaya memiliki fasilitas air yang
dapat diatur debitnya sesui kebutuhan.

2. Pemberian Pakan Bebas Patogen


Selain melalui air, patogen juga dapat masuk menembus pertahanan ikan
lewat pakan. Oleh karena itu pakan buatan maupun pakan tambahan yang
diberikan baik kualitas dan kuantitasnya harus dikontrol sehingga bebas

Parasit Biota Akuatik | 50


patogen. Kenyataan yang ada bahan baku pakan yang terbuat dari tepung ikan
atau ikan segar tidak diperlukan secara sempurna sehingga memungkinkan
terjadi infeksi sporozoa dan trematoda oleh karena itu pemberian pakan
sebaiknya diperhatikan hygiene pakan, cara pemberian dan penyimpanan perlu
diperhatikan agar transmisi parasit dan penyakit tidak terjadi pada hewan
budidaya.

3. Hygiene
Kebersihan tidak hanya dilakukan terhadap pelaksana, tempat bekerja
dan lingkungan, akan tetapi dilakukan terhadap seluruh fasilitas, media dan
hewan budidaya sehingga memenuhi standard kesehatan dan keselamatan kerja.
a) Desinfeksi habitat, desinfeksi habitat meliputi kegiatan pencucian dan
pemeliharaan keberhasilan air, dasar kolam/bak, reservoir, kanal dan habitat
ikan lain, melalui pengeringan secara periodik. Perbaikan, pengangkatan
Lumpur dan levelling dasar kolam dilakukan secara rutin sehingga air dapat
terbuang dengan sempurna. Pengeringan setidaknya dilakukan setiap siklus
budidaya.
b) Desinfeksi alat, untuk mencegah tersebarnya patogen darii satu kolam ke
kolam lain, alat-alat yang digunakan harus didesinfeksi. Setiap set alat hanya
digunakan untuk kolam tertentu dan tidak di campur. Setiap selesai
menggunakan, harus direndam pada larutan desinfeksi. Pelaksana juga
disarankan selalu mencuci tangan dan kaki/sepatu sebelum dan sesudah
memasuki unit budidaya.
c) Desinfeksi ikan, ikan hendaknya didisinfeksi setiap 6 bulan sekali atau
dalam satu siklus produksi dilakukan 2–3 kali desinfeksi. Kegiatan ini bisa
diterapkan untuk semua jenis dan ukuran ikan dengan tujuan mencegah
infeksi ektoparasit. Bahan yang digunakan untuk desinfeksi antara lain :
larutan garam, larutan ammonia, copper sulphate, potassium permanganat
dan lain-lain.

4. Memisahkan Ikan yang Baru Masuk


Ikan-ikan yang datang dari daerah lain sebaiknya dilakukan aklimatisasi
terlebih dahulu di tempat terpisah/tersendiri untuk mengadaptasikan dengan
wadah budidaya baru juga untuk mencegah penyebaran penyakit apabila ikan

Parasit Biota Akuatik | 51


yang baru datang ini membawa bibit penyakit yang bisa menularkan ikan
budidaya lain.

5. Kontrol Terhadap Ikan Liar


Kontak antara ikan budidaya dengan ikan liar harus dicegah, karena
ikan liar seribng membawa patogen yang membahayakan ikan budidaya pada
kepadatan tinggi. Penggunaan saringan pada bagian saluran pemasukan dan
pengeluaran adalah salah satu cara mencegah masuknya ikan liar. Upaya lain
yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan larutan sumithion (1 ppm) dan
akar tuba (5 ppm).

6. Vektor dan Pengendalian Hama


Ada tiga sumber yang secara nyata keberadaan hewan lain diluar kultivan
budidaya membahayakan keberlangsungan budidaya yaitu :
a) Hewan yang berperan sebagai host-antara parasit ikan, atau parasit yang
memerlukan ikan sebagai host-antara. Misalnya: keong air, katak, moluska,
burung.
b) Hewan yang berfungsi sebagai vector (pembawa penyakit). Misalnya leech
c) Hama dan organisme pengganggu. misalnya ular, burung, larva insekta.

7. Vaksinasi dan Imunostimulan


Kegiatan ini sudah banyak dilakukan baik menggunakan baghan kimia
maupun bahan alami yang berasal dari tumbuhan. Penggunaannya relative aman
dan relative murah, hanya penerapannya membutuhkan keahlian dan kebiasaan.
Pada intinya pilihan ini bisa digunakan untuk meningkatkan ketahanan tubuh
ikan budidaya terhadap serangan patogen, karena sejalan dengan perkembangan
kegiatan budidaya, maka keberadaan, keragaman patogen yang menginfeksi juga
meningkat.

Parasit Biota Akuatik | 52


A. JAMUR IKAN AIR TAWAR

Beberapa jenis penyakit jamur yang termasuk berbahaya untuk ikan


antara lain adalah golongan Aphanomyces yaitu Aphanomyces, Branchiomyces dan
Ichthyophonus. Jamur Apanomyces dilaporkan menyerang lobster air tawar, crayfish,
sea mullet, yellow fin bream, dan sand whiting. Jamur ini menyerang organ
persendian dan pergerakan. Ikan yang terserang mengalami paralisis, terlihat
diam terlentang di dasar akuarium atau kolam sampai mati. Tidak ada respon
terhadap rangsangan eksternal yang diberikan. Jaringan yang terinfeksi
umumnya daerah persendiaan berwarna kekuningan atau cokelat dan
mengalami nekrosis. Aphanomyces merupakan parasit obligat, menginfeksi
daerah lunak persendian dan ruas abdomen. Jamur ini membentuk hifa di
sepanjang syaraf ventral dan ganglion otak. Keadaan ini menimbulkan gangguan
serta kerusakan organ lokomotor dan juga sistim kekebalan dari ikan yang
terinfeksi. Dari tempat penetrasi akan terbentuk zoosporangium dan zoospora
akan dilepas ke dalam air untuk selanjutnya menginfeksi ikan baru.

1. Order Saprolegniales
Penyakitnya disebut juga saprolegniasis (Cotton Wool Disease), biasanya
terdapat pada air tawar dan substrat, dapat juga menjadi parasit tanaman dan
hewan. Jamur ini bersifat saprolitik yaitu mengambil nutrien dari sisa-sisa
makhluk hidup dan merupakan parasit opurtunistik yang terbiasa ada di
lingkungan perairan. Beberapa jenis ikan air tawar dan telur ikan, sering
dilaporkan terinfeksi jenis jamur ini bahkan menjadi patogen utama.

Parasit Biota Akuatik | 53


Cara mendiagnosa ikan yang terinfeksi jamur ini adalah dengan melihat
tanda-tanda klinis pada kulit, insang dan permukaan tubuh ikan atau telur yang
terinfeksi, yaitu adanya selaput berwarna putih seperti kapas menjumbai (hifa
jamur) menutupi daerah terinfeksi. Ujung hifa jamur yang matang biasanya
mengandung zoospora biflagellated. Jamur ini dapat diisolasi menggunakan tepung
jagung atau kentang agar yang diinkubasi pada suhu sekitar 25-28 o C

Gambar 6.1. Ekor Ikan yang Terinfeksi Saprolegnia fungus

2. Aphanomyces astaci =A. magnusii


Jamur ini merupakan Penyebab penyakit cryfish plague yang menyerang
lobster air tawar. Ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis seperti timbul
kematian besar pada siang hari, berenang dan bergerak tidak beraturan dan
sering terjatuh terbalik dan tidak dapat kembali lagi.

3. A. Invandans = A. piscicida = A. invanderis


Tanda-tanda klinis ikan atau biota yang terinfeksi antara lain: nafsu makan
menurun, warna tubuh ikan menjadi lebih gelap/hitam , ikan berenang di bawah
permukaan air dan menjadi hiperaktif. Beberapa ikan akan muncul titik merah
(red spot) kemudian akan muncul di permukaan tubuh seperti kepala,
operkulum atau pangkal ekor, sebagai awal terbentuknya koreng. Pada infeksi
berat akan timbul koreng (ulcer) dengan kecoklatan yang mirip dengan gejala
ikan yang terinfeksi bakteri Aeromonas. Beberapa ikan yang telah dilaporkan
terinfeksi jamur ini adalah ikan gabus, ikan mas, dan ikan sepat siam.

4. Golongan Branchiomycetes
Branchiomycosis merupakan penyakit ikan yang disebabkan jamur
Branchiomyces sanguinis. Inang definitif dari jamur ini dilaporkan meliputi Cyprinus

Parasit Biota Akuatik | 54


carpio, Tinca tinca, Carrasius auratus, Esox lucius, Gasterosteus aculeatus, dan Salmonid.
Tanda-tanda klinis serangan Branchiomycosis meliputi adanya nekrosis pada
insang yang berwarna keputihan. Ikan mengalami kesulitan bernafas atau
asphyxia, megap-megap di permukaan air. Insang memperlihatkan tanda-tanda
hemorhagik. Ikan terlihat berkumpul di daerah pemasukan air dan tidak mau
makan. Kejadian infeksi dipengaruhi oleh suhu perairan. Infeksi hanya terjadi
pada musim panas, terutama pada bulan Juli–Agustus di daerah yang bermusim
empat. Morbiditas penyakit ini dapat mencapai 50 %, sedang pada infeksi yang
bersifat akut dapat menimbulkankematian sebanyak 30–50 % dari populasi ikan
yang terinfeksi dalam waktu 2–4 hari, terutama diakibatkan karena terjadinya
anorexia.
Jamur Branchiomycosis merupakan penyebab penyakit gill rot (B.
sanguinis dan B. demigrans). Umumnya menyerang ikan air tawar : karper, cat fish,
guppy, japanese eel, rainbow trout. Faktor penting yang memicu infeksi jamur
ini adalah adanya kontaminasi bahan organik, blooming algae, suhu > 20 oC,
oksigen rendah dan pH rendah (5.8 – 6.5)
Branchiomycosis akut dapat dikenali dengan terjadinya nodul putih pada
insang sebagai suatu luka patogenomonik. Infeksi dari jamur ini dapat terjadi
secara langsung dari spora yang menempel pada insang atau dengan cara
tertelan. Penyebaran infeksi didukung oleh kandungan bahan organik dari
perairan dan suhu di atas 20 o C. Penyumbatan pembuluh darah insang karena
adanya infeksi jamur ini seringkali terjadi dan menimbulkan hiperplasia.
Selanjutnya terjadi pula fusi lembaran insang yang menyebabkan nekrosis yang
meluas. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya daya ikat oksigen. Pada infeksi
yang berat, jamur ini membentuk kista pada lembaran insang yang menyerupai
suatu nodul berwarna keputihan. Spora yang terlepas dari jaringan insang akan
berhamburan dalam air dan mengendap di dasar kolam menjadi sumber infeksi.
Jenis Branchiomyces sanguinins dan B. demigrans ditemukan pada filamen,
kapiler darah dan jaringan insang ikan. Unit reproduksinya adalah symcytium
yaitu pembesaran dari bagian hyphae tertentu yang memproduksi spora
aseksual. Keduanya melepaskan spora melalui tabung symcytium, bedanya B.
sanguinis melepaskan spora ke lamela atau filamen insang sedangkan B. demigrans
melepaskan ke lingkungan.

Parasit Biota Akuatik | 55


Kedua jamur itu dapat diisolasi dengan menumbuhkan pada temperatur
14-35°C dengan temperatur optimum 23-32°C, sedangkan pada suhu 32°C
serangan akan lebih kondusif. Media yang digunakan adalah buatan peptone
dan glukosa dengan pH 5.8 dan bisa ditumbuhkan pada media SDA (Sabourands
Dextrose Agar). Cara penularan melalui air dan jaringan insang. Spora jamur akan
menyerang insang, tumbuh dan berkembang membentuk hyphae, dimana
Hyphae akan menembus epithelium insang. Jenis B. sanguinins menyukai jaringan
insang yang kadar oksigennya tinggi. Sedangkan B. demigrans menyukai jaringan
yang kandungan oksigennya rendah. Mycelium jamur membesar ke jaringan,
akan menurunkan suplai darah dan menyebabkan nekrosi jaringan insang.
Jaringan yang mengalami nekrosis, mengandung hyphae jamur dan
symcytium dengan spora yang masak akan melepaskan spora ke lingkungan.
Spora tersebut akan menyerang insang tanpa proses pematangan terlebih
dahulu. Beberapa hyphae dan spora dapat masuk ke peredaran darah,oleh
karena itu, beberapa jamur ditemukan di hati ikan yang sakit.
Gejala-gejala ikan yang terinfeksi branchiomyces baik akut maupun
subakut, akan menunjukkan gejala lemah dan letargik. Kesulitan bernafas dan
kurang tahan terhadap pengangkutan/transportasi. Insang yang terinfeksi
mengalami nekrosis, berwarna putih sampai coklat. Ikan yang terinfeksi kronis
biasanya tidak menunjukkan adanya gejala penyakit.
Untuk mendiagnosa ikan perlu diketahui sejarah adal ikan, gejala yang
timbul dan identifikasi patogen. Ikan yang berasal dari daerah endemik dan
mengalami gangguan pernapasan, patut dicurigai terinfeksi patogen ini.
Pengamtan jamur dapat dilakukan dengan mengambil sampel insang yang
mengalami nekrosa dan diamati di bawah mikroskop jika ditemukan hyphae
atau spora dijaringan menunjukkan infeksi positif. Pengamatan lanjutan dengan
menggunakan media SDA pH 5.8 dan diinkubai 25-30 o C.

B. JAMUR IKAN AIR LAUT

Ichtyosporidium hoferi (Ich) atau dikenal dengan sebutan Ichthyophonus


adalah jamur penyebab penyakit Ichthyophoniasis yang merupakan penyakit
infeksi sekunder (Riddell and Alexander, 1991).

Parasit Biota Akuatik | 56


1. Kisaran Inang
Jamur ini biasanya menyerang sendiri atau tidak disertai penyerangan
jenis jamur lain. Penyebaran inang tidak terbatas pada ikan air laut tetapi
tersebar pada ikan air tawar, seperti golongan krustacea, elasmobrancia dan
teleost, amphibi, reptile (Reichenbach-Klinke, 1954-1955, 1957; Mc Vicar, 1982).
Penyakit ini tidak menginfeksi atau tidak beresiko pada manusia dan mamalia.
Hasil penelitian Spanggaard dan Huss (1996) menunjukkan bahwa jamur masih
bertahan hidup selama 3 menit pada suhu 40 o C. Jamur tersebut ditemukan pada
35 spesies ikan laut dan 48 spesies ikan tawar. Bahkan Spanggaard et al. (1994)
berhasil mengumpulkan 80 spesies ikan sebagai inang jamur ini.

2. Geographical Distribution
Dari hasil pengamatan, Ic yang diidentifikasi dari jaringan inang yang
terinfeksi menunjukkan adanya karakteristik morfologi yang berbeda (luka yang
tampak nyata). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya perbedaan tahap
perkembangan, fase sexual, bentuk dan ukuran jamur pada saat menginfeksi.
Perbedaan bentuk jamur yang menginfeksi bias berbeda antar inang, kondisi
inang hidup (kualitas air). Keberadaan Ic dipengaruhi oleh pH, CO2, glukosa,
salinitas perairan. Ukuran diameter spora Ic berkisar 10-250 µm. ini menyerang
granuloma jaringan. Temperatur pembatas Ic 25°C pada pH rendah selama 4-5
jam.

3. Siklus Hidup
a) Resting spore: dinding sel tipis, memiliki granular cytoplasma dibungkus
oleh ribosom, terkadang memiliki mitokondria dengan tubular cristae dan
beberapa inti, disekitar spora dikelilingi oleh lingkaran kecil dan besar yang
merupakan reaksi dari jaringan inang yang terinfeksi. Phase ini bertahan 3-5
jam pada berbagai PH.
b) Hyphae (phase kecambah) : phase ini kadang bercabang, tahap ini hampir
sama seperti yang ditemukan pada inang yang telah mati.
c) Uninucleate stages: setelah dinding pecah, bentuk ini memiliki kemampuan
amoeboid mampu berpindah dari 1 inang ke tempat lain dan mampu
bertahan 1-5 hari, dan ini diduga sebagai endospores (tahap menginfeksi).

Parasit Biota Akuatik | 57


4. Respon Inang
Ichthyophonus merupakan antigen tingkat tinggi yang menyebabkan
respon humoral (antibodi). Tanda klinis dan patologi adalah berat tubuh turun,
mata menonjol, tampak bintik-bintik gelap pada kulit sedangkan gejala tingkah
laku berenang tidak normal.

Parasit Biota Akuatik | 58


A. PROTOZOA AIR TAWAR

1. Ichthyopthirius multifilis
a. Biologi dan Distribusi Geografis
Ichthyopthirius multifilis (sinonim= “Ich”) adalah salah satu dari protozoa
ektoparasit yang paling penting pada ikan. Protozoa berambut getar ini
termasuk dalam kelas Olygohymenophorea, ordo Hymenostomatioda, famili
Ophryoglenidae, genus Ichtyopthirius. Parasit I. multifilis adalah satu-satunya
spesies dalam genus ini. Penyakit yang ditimbulkan disebut Ichthyopthiriasis,
white spot, bintik putih dan Ich. Ich adalah parasit obligat yang mempunyai
distribusi geografis yang sangat luas di dunia dan menyerang semua jenis ikan
air tawar di seluruh dunia. Penyakit ini merupakan penyakit serius yang
menyebabkan kematian yang tinggi dan kerugian ekonomi pada ikan konsumsi
maupun ikan hias air tawar tropis. Serangan Ich sangat ganas pada kondisi
akuarium yang volume airnya sangat terbatas. Parasit I. multifilis cukup sering
ditemukan pada ikan salmon kultur, akan tetapi efek yang ditimbulkan tidak
separah pada ikan tropis.
Sel I. multifilis berbentuk bulat/oval dan silia yang terdapat di seluruh
permukaan tubuh (holotrich). Ich merupakan parasit protozoa ikan terbesar.
Trofozoit atau trofon atau tomon (Ich dewasa) memiliki diameter sel 0,5–1,0
mm, membenamkan diri di bawah lendir di lapisan epidermis ikan dan dapat
terlihat sebagai bintik putih dengan mata telanjang. Makronukleus besar
berbentuk seperti huruf C atau tapal kuda dan hanya terlihat pada organisme
yang dewasa. Makronukleus Ich yang masih muda tampak berbentuk seperti
sosis (Gambar 7.1).

Parasit Biota Akuatik | 59


Gambar 7.1. Icthyopthirius multifilis

b. Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi parasit Icthyopthirius multifilis ini akan menunjukkan
gejala klinis penyakit Ichthyopthiriasis antara lain:
 Adanya bintik putih atau abu abu pada kulit, insang dan sirip yang tertelatak
di bawah lapisan lendir. Ini adalah gejala klinis yang khas dari penyakit ini.
Dalam beberapa kasus infestasi hanya terbatas pada insang.
 Warna tubuh memudar dan adanya produksi lendir yang berlebihan
 Ikan lesu, nafsu makan berkurang dan bernafas dengan megap megap.
 Ikan menggosok goskkan badannya ke dinding kolam, berenang tidak
normal dan gelisah.

c. Diagnosa
Diagnosa penyakit Ich dilakukan dengan cara mengamati gejala klinis
terutama adanya bintik putih dan dipastikan dengan pemeriksaan lendir kulit,
sirip dan insang dengan mikroskop. Trofon terlihat berbentuk bulat sampai oval,
bergerak menggelinding lambat dengan menggunakan silia yang dapat terlihat
objektif berkekuatan tinggi. Nukleus berbentuk tapal kuda sering terlihat dan
merupakan kunci identifikasi. Theron bersilia pada tahap infektif yang berenang
bebas berbentuk buah persik, bergerak aktif dan berdiameter 30- 45 mm.

Parasit Biota Akuatik | 60


d. Patogenesis, Siklus Hidup, Penularan dan Epizootiologi
Parasit ini mempunyai siklus hidup yang kompleks meliputi beberapa
tahap perkembangan pada inang maupun di lingkungan. Menurut Post (1987)
bintik putih yang terlihat pada ikan yang sakit adalah trofon (Ich yang matang).
Pada akhirnya, trofon membesar, menerobos epitel ikan, dan terjatuh ke dasar
kolam atau akuarium dimana dia melekat pada berbagai benda yang tersdia
seperti kerikil, kayu, batu atau selang. Trofon mensekresikan lapisan gelatin
yang tebal dan membentuk kista.
Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangannya sangat tergantung
pada suhu. Suhu optimum untuk reproduksi adalah 26-27 oC, dan waktu yang
dibutuhkan adalah 10-12 jam. Semakin rendah suhu semakin lama waktu yang
dibutuhkan. Pada suhu 22 o C butuh 3-4 hari, mencapai 11 hari pada suhu 15 o C
dan hampir 30 hari pada 10 oC (Gratzek, 1993). Melihat rentang suhu ini, ikan
air tawar tropis lebih rentan terhadap penyakit Ichthyopthiriasis.
Post (1987) mengemukakan bahwa trofozoit yang melekat pada substrat
atau tumbuhan di dasar mulai mengalami mitosis segera setelah perlekatan. Sel
anak ini menghasilkan enzim hyaluronidase yang menyebabkab sista koyak.
Satu sel trofon dapat menghasilkan 250–1000 tomit (Ich muda, sering juga
disebut teron). Tomit lepas ke perairan dan selanjutnya berkembang menjadi
theront yang merupakan tahap infektif.
Tomit berbentuk oval sampai memanjang, panjang sel 30-45 µm dan
seluruh permukaan tubuh tertutup silia. Tomit ini berenang aktif dan jika
bertemu inang, melekat secara aktif menembus epitel kulit dan insang, dimana
mereka tumbuh menjadi tomon dan selanjutnya berkembang menjadi trofozoit
dan terlihat sebagai bintik putih. Trofozoit berkembang menjadi trofon yang
siap untuk melanjutkan siklus reproduksi. Tomit bersilia yang baru “menetas”
dan berenang bebas harus menemukan inang dalam waktu 48 jam , kalau tidak
mati. Akan tetapi tomit masih bersifat infektif sampai 4 hari, dan jika tidak
menemukan inang, infektifitas dari tomit menurun. Setiap tomit dilengkapi
dengan perfotarium yaitu organel yang digunakan untuk menembus kulit ikan.
Ich terutama merupakan penyakit ikan budidaya dan tidak bersifat inang
khusus (non-host specific). Penyakit biasanya terlihat beberapa hari setelah
ikan baru dimasukkan ke wadah budidaya. Jika tidak dilakukan pengendalian

Parasit Biota Akuatik | 61


kematian bisa mencapai 100 % terutama pada kepadatan tinggi dan suhu air
hangat. Ikan yang tidak bersisik seperti lele lebih rentan terhadap penyakit ini.
Akan tetapi ikan mas koki, walaupun bersisik, juga sangat rentan terhadap Ich.
Di perairan subtropis, penyakit ini bersifat musiman

Keterangan Gambar :
 Trofozoit matang dalam lapisan epidermis kulit ikan.
 Trofon (trofozoit yang dewasa) meninggalkan inang mensekresikan lapisan
gelatin yang tebal dan melekat pada kayu, batu, dinding kolam/akuarium dan.
 Trofon melakukan pembelahan mitosis menghasilkan 250-1000 tomit yang
merupakan unit yang menginfeksi.
 Trofon pecah, tomit berenang mencari inang.
 Tomit menembus kulit inang dan berkembang menjadi tomon dan selanjutnya
berkembang menjadi trofon

Gambar 7.2. Siklus Hidup I. multifilis (Sumber: Wilfred Hass, diunduh pada
tanggal 9 Januari 2013)

Ikan yang terinfeksi kemudian sembuh menjadi lebih tahan terhadap


infeksi yang berikutnya. Hasil penelitian Davis (1996) pada suatu infeksi buatan
menunjukkan tidak terjadi perubahan mencolok pada kimia serum. Indikasi ini
menunjukkan bahwa imunisasi mungkin dilaksanakan. Antibodi penggumpal
(agglutinating antibodi) terdeteksi pada ikan yang diinokulasi dengan trofon
yang dilemahkan dengan formalin (formalin-fixed trofon) dan kelulushidupan

Parasit Biota Akuatik | 62


ikan 100% ketika dilakukan uji tantang dengan tomit dalam jumlah kecil. Pada
kondisi in-vitro, antisera ikan yang diimunisasi mampu mengimobilisasi dan
menggumpalkan theront (Clark et al 1988 dalam Woo 1992).
Woo (1992) juga mengemukakan berbagai penelitian yang menunjukkan
bahwa silia dari Siliata lain yang hidup bebas dan kerabat dekat Ich, Tetrahimena
pyriformis ketika diinokulasikan ke dalam ikan mampu melindungi ikan tersebut
dari Ich. Diduga hal ini karena adanya antibodi penggumpal dalam lendir ikan
yang telah diimunisasi yang mampu menghentikan pergerakan teron sehingga
mencegah terjadinya infeksi. Selam infeksi akut, mukus pada permukaan tubuh
mempunyai aktivitas imobilisasi tinggi sedangkan yang dalam serum rendah.
Kondisi ini terbalik beberapa bulan kemudian setelah ikan sembuh. Ikan yang
diimunisasi juga lebih tahan terhadap ektoparasit flagellata Ichthyobodo necator.

e. Pengendalian
Ich yang membenamkan diri dibawah lendir di kulit dan insang ikan
umumnya tahan terhadap terapi bahan kimia, oleh sebab itu sasaran terapi
adalah Ich yang berada di air. Cara pengendalian Ich adalah sebagai berikut:
 Pencegahan merupakan cara pengendalian yang terbaik. Pencegahan dapat
dilakukan dengan mengkarantinakan ikan dan tumbuhan air yang datang,
minimum 3 hari tergantung pada suhu air, menggunakan peralatan terpisah
untuk setiap wadah dan desinfeksi peralatan. Ich dapat menular melalui
jaring dan serok.
 Meningkatkan aliran air.
 Mengurangi kepadatan.
 Memindahkan ikan dan membiarkan kolam/akuarium tanpa ikan selama
beberapa hari. Sebaiknya selama periode ini suhu dinaikkan karena pada
suhu tinggi laju reproduksinya akan meningkat. Dengan cara ini, tomit akan
mati karena tidak menemukan inang. Metoda tersebut memanfaatkan sifat I.
multifilis yang merupakan patogen obligat.
 Terapi dengan metoda perendaman. Obat yang digunakan adalah KMnO4 2-
4 ppm selama 30 menit sampai 1 jam, NaCl 3 % selama 1 jam dan Malachyte
green 1,5 ppm selama 6 jam. Terapi dapat diulangi sesuai kebutuhan.

Parasit Biota Akuatik | 63


2. Trichodina
a. Biologi dan Distribusi Geografis
Trichodinid meliputi beberapa genera dalam famili Trichodinidae yaitu
Trichodina, Trichodinella dan Tripartiella. Sel berbentuk seperti topi atau piring
terbang dengan silia pada seluruh pinggirnya. Sisi adoral (anterior) berbentuk
cembung membentuk organ pelekat yang kompleks yang disebut juga lemepeng
pelekat. Struktur ini terdiri dari dentikel yang tersusun membentuk lingkaran
yang konsentris (Gambar 7.3). Ketiga genera ini dibedakan dari silia pada spiral
adoral dan dentikel. Genus Trichodina mempunyai silia spiral adoral mendekati
360o dengan dentikel yang berkembang baik. Genus Trichodinella mempunyai
spiral silia adoral kurang dari 180o dan duri dentikel yang tidak berkembang
baik, sedangkan, sedangkan genus Tripartiella mempunyai duri dentikel yang
berkembang dengan baik (Kabata, 1985).

Gambar 7.3. Tricodina sp. (a) Tampak Ventral, (b) Tampak Atas

Penyakitnya secara kolektif disebut trichodiniasis. Distribusi geografis


penyakit ini adalah air tawar dan air laut di seluruh dunia. Dengan demikian
hampr semua ikan rentan terhadap infeksi Trichodina. Trichodinids merupakan
patogen oportunis dengan rentang inang yang luas.

b. Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi ringan (1-2) ekor tidak menunjukkan gejala klinis
terinfeksi. Akan tetapi kondisi dapat berkembang menjadi parah jika ada faktor
pemicu perkembangan Trichodina seperti kandungan bahan organik yang tinggi
dan kepadatan yang tinggi. Gejala klinis ikan yang terinfeksi Trichodina adalah
sebagai berikut :

Parasit Biota Akuatik | 64


 Berbagai tingkat kerusakan pada kulit seperti epitel terkikis dan lepas, luka
luka kecil dan sisik lepas.
 Produksi lendir yangberlebihan
 Sirip koyak dan geripis
 Hiperplasia pada insang menyebabkan ikan sukar bernafas.
 Lesu dan nafsu makan berkurang.

c. Diagnosa
Diagnosa dilakukan dengan mengamati preparat ulas lendir kulit, sirip
dan insang di bawah mikroskop. Dalam keadaan tertelungkup akan terlihat sel
terlihat seperti topi dan bergerak dengan cepat sedangkan jika dalam kondisi
terlentang terlihat seperti roda sepeda. Dentikel tersusun seperti jari jari sepeda.

d. Patogenesis, Siklus Hidup, Penularan dan Epizootiologi


Trichodina merupakan ektoparasit yang menginfeksi kulit dan insang
ikan. Menurut Graetzek (1993) parasit yang menginfeksi kulit mempunyai
rentang inang lebih luas dan berukuran lebih besar, sedangkan yang menginfeksi
insang bersifat inang khusus dan organ khusus serta berukuran lebih kecil.
Siklus hidup langsung, dan reproduksi secara aseksuil dengan pembelahan
biner. Infeksi Trichodiniasis berat menunjukkan kualitas lingkungan budidaya
yang kurang baik, kepadatan tinggi, dan kurangnya sanitasi lingkungan. Infeksi
trichodina sering bersamaan dengan infeksi protozoa dan patogen lain.
Parasit ini mampu bertahan hidup sampai 2 hari tanpa ikan, beberapa
bahkan bisa hidup pada kaki katak dan krustase planktonis. Kondisi ini dapat
menjadi sumber infeksi bagi ikan. Trichodinids berkembang biak dengan pesat
pada kolam yang airnya tidak mengalir, terutama dipanti benih dan kolam
pembesaran dengan populasi yang tinggi.
Efek yang merugikan dari parasit ini terjadi karena perpindahannya.
Dentikel yang terbuat dari kitin akan mengikis epitel ketika dia bergerak yang
menyebabkan iritasi kulit. Selanjutnya epitel mengalami hyperplasia, degenerasi
(terkikis dan lepas), dan nekrosis diikuti oleh proliferasi sel lendir. Gangguan
proses pernafasan karena adanya parasit pada insang dan kulit merupakan
akibat yang paling serius dari trichodiniasis dan dapat mematikan pada larva.

Parasit Biota Akuatik | 65


e. Pengendalian
Cara pencegahan terbaik adalah menciptakan lingkungan yang tidak
menguntungkan bagi parasit yaitu desinfeksi kolam, mencegah kodok dan
udang-udangan masuk ke kolam, dan mengatur kepadatan ikan. Pengobatan
dilakukan dengan cara terapi menggunakan metoda perendaman dalam larutan
NaCl 2,5 % selama 3 jam dan dilakukan 3 hari berturut turut, atau bisa juga
menggunakan terapi yang sama seperti pada infeksi Ichthyopthiriasis.

3. Ichthyobodo sp (Costia sp)


a. Biologi dan Sebaran Geografis
Ichthyobodo sp (sinonim Costia sp) termasuk famili Bodonidae. Penyakit
yang ditimbulkan disebut Ichthyobodiasis atau costiasis yang disebabkan oleh
parasitisme yang berlebihan dari organisme ini. Parasit ini berbentuk seperti
tetesan air, berukuran sangat kecil dan bersifat sesil. Sejauh ini terdapat 2
spesies Ichthyobodo yang menjadi parasit ikan yaitu I. necatrix dan I. pyriformis. I.
necatrix berukuran panjang 10-20 µm dan lebar 5-10 µm, sedangkan I. pyriformis
berukuran lebih kecil. Penyebarannya dalam air tawar dan kadang air payau.
Inang yang rentan adalah ikan air tawar terutama ikan liar dan berudu.

Gambar 7.4. Ichthobodo sp (Sumber : Graetzek, 1993)

b. Gejala Klinis
Gejala klinis ikan yang terinfeksi costiasis menunjukkan bercak-bercak
kusam dan selaput keputihan pada kulit yang meluas serta ditutupi oleh lendir
yang banyak terutama di tempat parasit melekat, sirip koyak koyak dan lepas,
insang pucat dan tertutup lendir, nafsu makan berkurang, dan ikan tampak
bernafas megap megap.

Parasit Biota Akuatik | 66


c. Diagnosa
Diagnosa dilakukan sesuai gejala klinis dan dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan lendir tubuh, dan insang. Dibawah mikroskop organisme ini
mungkin agak sukar untuk didiagnosa terutama bagi pemula karena ukurannya
yang kecil. Hasil yang terbaik akan diperoleh dengan spesimen segar pada
perbesaran 200X atau 400X. Parasit ini terlihat berbentuk seperti tetesan air
yang melekat pada epitel insang dan kulit melalui struktur seperti tangkai yang
sebetulnya adalah flagel, berukuran kira kira sebesar sel darah merah. Gambar
7.4 menggambarkan Ichthyobodo bergerak aktif ke kiri dan kanan (flickering).
Ichthyobodo melepaskan diri dari inang segera setelah inangnya mati dan bisa
saja yang terlihat dalam pengamatan adalah bentuk yang berenang bebas.

d. Patogenesis, Siklus Hidup, Penularan dan Epizootiologi


Ichthyobodo adalah parasit obligat dan menancapkan tubula kecil ke
dalam jaringan tubuh inang untuk memperoleh makanan. Parasit ini memakan
sel sel epitel yang lepas dan sisa sisa sel. Efek yang merugikan bagi inang adalah
karena parasit ini menyerang sel hidup sehingga dapat menghancurkan epitel
insang dan kulit. Hal ini menyebabkan Ichthyobodo mempunyai kemampuan
berkembang biak yang sangat tinggi (Post 1987). Parasit ini hanya bisa hidup
lebih kurang 1 jam diluar ikan (Gratzek 1993).
Ichtyobodo mempunyai siklus hidup langsung melalui pembelahan biner
(Thune 1993). Penularan melalui kontak langsung atau paparan dalam air yang
sudah mengandung ikan yang terinfeksi dalam waktu beberapa jam. Penyakit ini
terutama dijumpai di perairan tropis. Akan tetapi karena ukurannya yang sangat
kecil dan melepaskan diri dari inang segera setelah inangnya mati, menyebabkan
lebih sukar dalam melakukan diagnosa.

e. Pengendalian
Pengendalian Ichtyobodiasis dapat dilakukan dengan cara memperbaiki
kondisi budidaya, mengurangi kepadatan, dan menghindari ikan liar. Parasit ini
rentan terhadap terapi antiprotozoal yang umum digunakan. Gratzek (1993)
menyarankan treatment dalam 25 ppm formalin selama 4–8 jam, diikuti dengan
penggantian air sampai 75%. Terapi Post (1987) lebih menyarankan melakukan
perendaman dalam Malachyte green 0,1–0,15 ppm selama 1–2 jam dan diulangi

Parasit Biota Akuatik | 67


setiap 2 hari. Terapi ini hanya bisa digunakan untuk ikan hias. Terapi lain yang
terbukti efektif adalah perendaman dalam larutan Nacl 1% selama 15–30 menit.

4. Henneguya sp.
a. Biologi dan Distribusi Geografis
Henneguya termasuk dalam famili Myxobolidae, yang merupakan salah
satu dari genera protozoa myxosporidia yang menginfeksi ikan air tawar tropis.
Parasit ini kosmopolit dan menginfeksi berbagai spesies ikan air tawar di dunia.
Henneguya sering dijumpai pada insang dan sirip punggung ikan liar dan
berbagai jenis ikan hias seperti ikan mas koki (Desrina et al, 2001) dan corydoras
dan ikan budidaya terutama ikan gurami. Spora Henneguya sp terdapat dalam
sista, berbentuk fusiform atau oval, mempunyai 2 kapsul polar, dan struktur
seperti ekor yang khas pada genus ini. Jenis myxosporidia lain yang sering
dijumpai pada ikan di Indonesia adalah Myxobolus. Bentuk spora oval dan tidak
mempunyai ekor. Beberapa spesies memiliki sifat inang spesifik. Post (1987)
mengemukakan bahwa di Amerika Serikat sudah teridentifikasi 17 spesies dan di
Eropa sebanyak 18 spesies. Dikemukakan juga bahwa jenis yang terdapat pada
suatu perkolaman bisa saja berbeda dengan perkolaman yang lain.

Gambar 7.5. Bentuk Spora Henneguya sp. (kiri) dan Myxobolus sp. (kanan)

b. Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas pada henneguyasis adalah adanya sista putih
umumnya berdiameter 0,5–1,0 mm yang terdapat di dalam dan diantara lamella,
sirip punggung, sirip perut, usus, jantung, ginjal, limpa dan kadang kadang
sepanjang mesenteri. Jumlahnya sedikit sampai banyak, ukurannya bervariasi
dari mikroskopis sampai berdiameter beberapa milimeter. Henneguya postexilis

Parasit Biota Akuatik | 68


yang biasanya ditemukan di interlamella ikan lele amerika dapat mengakibatkan
kematian pada ukuran larva. Myxozoa lain yang sering ditemukan di Indonesia
adalah genus Myxobolus. Genus ini mempunyai sista yang lebih besar (diameter
sampai 3 mm) berbentuk oval dan berwarna putih/pink. Sporanya berukuran
lebih besar, berbentuk oval/sferis, dengan 2 kapsul polar dan tidak mempunyai
“ekor”.

c. Diagnosa
Diagnosa penyakit henneguyasis adalah dengan memperhatikan adanya
sista pada pengamatan eksternal tubuh. Sista diambil dan diletakkan pada kaca
objek dan dipecahkan dengan memberi sedikit tekanan pada kaca penutup.
Dibawah mikroskop akan terlihat ribuan spora Henneguya. Cara lain adalah
dengan mengamati seksi histologi dari area yang terinfeksi dan identifikasi spora
yang tipikal. Spora diklasifikasikan menurut genus berdasarkan posisi kapsul
polar di dalam spora. Sepintas sista Henneguya mirip dengan benjolan yang
disebabkan bakteri Mycobacterium sp yang menyebabkan penyakit TBC ikan.
Akan tetapi hasil pengamatan sista dengan mikroskop perbesaran 400x akan
mampu membedakannya. Penyakitnya disebut henneguyasis.

d. Patogenesis, Siklus Hidup dan Penularan


Henneguya merupakan parasit Myxosporidia yang paling sering ditemui.
Graetzek (1993) mengemukakan infestasi myxosporidia umum dijumpai pada
pengamatan post-mortem ikan airtawar tropis liar. Sista yang ditemukan si sirip
dan tubuh umumnya tidak berbahaya bagi inang, akan tetapi mengganggu
penampilan dan mengurangi keindahan ikan. Sista yang menempel di lamella
dapat menyebabkan terganggunya aliran darah di insang, menimbulkan
hiperplasia dan kematian. Sista bisa saja menghilang, kemungkinan karena
pecah. Hal ini menyebabkan lepasnya spora ke perairan dan mampu menginfeksi
ikan lain. Siklus hidup parasit ini masih belum diketahui akan tetapi mungkin
membutuhkan inang perantara yang umumnya ditemukan di alam.

e. Pengendalian
Cara terbaik mengendalikan parasit ini adalah dengan pencegahan yaitu
menghindari ikan yang terinfeksi. Jika ikan yang terinfeksi sedikit, sista dapat

Parasit Biota Akuatik | 69


dipecahkan satu persatu dan luka yang ditimbulkan diolesi dengan antiseptik.
Tentu saja hal ini harus dilakukan diluar wadah budidaya dan air yang dipakai
selama pengobatan tidak dibuang ke perairan. Belum ada kemoterapi yang
efektif untuk mengatasi parasit ini.

5. Epistylis sp.
a. Biologi dan Sebaran Geografis
Epistylis sp. (sinonim Heteropolaria spp) berbentuk lonceng dengan
tangkai yang berrcabang cabang dan tidak berkontraksi (Gambar 11). Parasit ini
hidup berkoloni, sesil dan melekat. Penyakit yang ditimbulkan disebut
epistyliasis. Parasit ini hidup di air tawar di seluruh dunia dan belum diketahui
apakah merupakan ektokomensal atau parasit. Ada beberapa spesies Epistylis
yang hidup pada kulit, sirip dan insang ikan. Organisme ini melekat pada inang
dengan sebuah tangkai yang transparan dan dalam jumlah kecil bersifat
ektokomensal atau mutual.

Gambar 7.6. Epistylis sp.

Epistylis sp menginfeksi ikan air tawar dan laut di seluruh dunia. Di


Indonesia, parasit ini umumnya dijumpai pada ikan air tawar budidaya seperti
ikan mas, ikan lele dan ikan gurami, atau yang dipelihara di akuarium terutama
ikan mas koki.

Parasit Biota Akuatik | 70


b. Gejala Klinis
Gejala klinis ikan terinfeksi Epistylis sp antara lain nafsu makan yang
mulai berkurang, ikan berenang dengan lesu dan kadang kadang diam di dasar,
ikan sukar bernafas (megap-megap), warna tubuh menjadi lebih gelap dengan
bercak bercak pucat berlendir pada berbagai bagian tubuh, hiperplasia epitel
insang dan kulit, dan produksi lendir berlebihan atau berkurang memberikan
tampilan bercak putih, putih keabuan atau kemerahan pada insang dan kulit.

c. Diagnosa
Diagnosa penyakit ini dengan pengamatan organisme dalam preparat
segar yang diambil dari lendir kulit, sirip dan potongan lamella insang. Dibawah
mikroskop, organisme ini transparan dan secara khas terlihat berrbentuk sperti
serumpun bunga. Sel berbentuk seperti tabung yang panjang dengan silia pada
ujung distal dan makronukleus berupa organel yang berbentuk tapal kuda dan
berkontraksi. Tangkai bercabang dua dan membentuk koloni. Panjang tangkai
masing-masing spesies sangat bervariasi. Gerakan kontraksi dari sel membantu
mengenali parasit ini. Preparat harus segera diamati karena organisme ini mudah
mati karena kekeringan.

d. Patogenesis, Siklus Hidup, Penularan dan Epizootiologi


Semua ikan air tawar terutama yang dibudidayakan pada dasarnya rentan
terhadap infestasi Epistylis sp. Organisme ini umumnya adalah ektokomensal,
menimbulkan iritasi pada insang dan kulit ataupun kerusakan yang lebih parah
jika kondisi menguntungkannnya. Reproduksi dengan pembelahan longitudinal.
Epsitylis biasanya hadir dalam jumlah kecil pada permukaan insang dan
kulit ikan sehat. Kepadatan yang tinggi dan malnutrisi bisa merubah kondisi
kesehatan ikan sehingga menguntungkan parasit. Epistylis memakan sel-sel inang
yang lepas dan plankton. Polusi air diikuti dengan iritasi pada permukaan tubuh
bisa menyebabkan hiperplasia pada insang dan kulit serta peningkatan sel-sel
epitel yang lepas. Peningkatan suplai makanan akan diikuti dengan peningkatan
tajam populasi Epistylis sp. Epistylis yang melekat dalam jumlah besar pada kulit
menyebabkan iritasi. Akibatnya destruksi epitel insang dan kulit berlebihan
yang berakibat langsung pada kematian, invasi bakteri, jamur dan parasit lain.

Parasit Biota Akuatik | 71


Parasit ini dapat menimbulkan kematian terutama pada kolam yang
kepadatannya tinggidan air tidak mengalir atau aliran airnya lambat. Epizootik
dapat terjadi kapan saja jika kondisi manajemen budidaya tidak baik sehingga
memicu sifat habitasi Epistylis dari ektokomensal atau mutual menjadi parasit.

e. Pengendalian
Pengendalian dapat dilakukan dengan mengurangi faktor pemicu yaitu
mengurangi kepadatan, polusi dan kandungan bahan organik yang berlebihan.
Peningkatan aliran air atau penyaringan air akuarium yang lebih cepat dapat
mengurangi populasi Epistylis sp dan siliata secara umum. Terapi yang digunakan
dan metoda pemberiannya sama dengan untuk Trichodina sp.

B. PROTOZOA AIR LAUT

Pada umumnya patogen golongan protozoa yang menginfeksi ikan air


tawar hampir sama dengan patogen yang menginfeksi ikan air tawar namun ada
beberapa golongan protozoa yang endemis menginfeksi ikan air laut, antara lain:

1. Brooklynella hostilis
Protozoa yang satu ini dikenal juga dengan nama Chilodonella sp di air
tawar yang termasuk dalam phylum Ciliophora, kelas Kinetophragmenophorea,
famili Chilodonellidae dan genus Brooklynella. Makronukleus berbentuk oval
berukuran 18 x 12 µm, terdiri dari 13-22 mikronukleus dan beberapa vakuola
kontraktil kecil.
Inang yang sering diserang adalah ikan laut, terutama yang termasuk
dalam Amphyprion, Dacyllus, dan Caetodon. Protozoa ini menyerang kulit dan
beberapa di insang. Kasus penyerangan banyak ditemukan di berbagai lokasi di
perairan/laut. Berdasarkan tanda klinis dan patologi, patogen ini memakan sel
darah dan jaringan debris sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit,
yang disebabkan kondisi air yang menurun atau buruk.
Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang antara lain
kulit tampak kusam, terkadang karena produksi lendir yang berlebih, tampak
seperti ada lapisan yang menutupi permukaan kulit, mata ikan tampak sayu,
haemorrhage dan petechiae pada insang, inflamation. Sementara tingkah laku

Parasit Biota Akuatik | 72


ikan yang terserang seringkali menunjukkan gejala kesulitan bernafas, ikan
berenang pelan, berada di bawah permukaan air atau dekat sumber air, dan
gasping.

Gambar 7.7. Brooklynella hostiles

2. Oodinium ocellatum
Jenis ini juga dikenal dengan nama Amyllodinium sp pada ikan air tawar
yang termasuk ke dalam Phylum Sarcomastigophora, Subphylum Mastigophora
(flagellates), Class Phytomastigophorea (phytoflagellates), Ordo Dinoflagellida,
dan Genus Oodinium. Jenis ini berbentuk bulat kuning berukuran 50-60 µm.
bergerak menggunakan akar rizoit (cilia) dengan siklus hidup dimulai dari
Trophont, kemudian menjadi encysted tomont, lalu palmela hingga menjadi free
swimming invective dinospores. Tomont mulai membelah pada suhu 23-27°C.
terhambat suhu 16-30 oC, salinitas 50 ppt
Jenis ini sering menyerang ikan air laut dengan kondisi yang menurun
atau buruk, terutama pada jenis ikan Amphyprion percula, Dacyllus melanurus, dan
monodactyllus argentus. Awalnya, jenis ini menyerang insang kemudian menyebar
ke kulit, sirip juga ginjal. Tanda klinis dan patologi yang dapat ditemukan pada
ikan yang terserang antara lain bintik merah, hyperemia, haemorrhage, anorexia,
depression, dyspoea (berenang dekat permukaan air dengan kesulitan bernafas).
Ikan yang terserang menunjukkan gejala tingkah laku seperti megap-megap,
ikan berenang pelan, berada di bawah permukaan air atau di dekat sumber air,
dan gasping.

Parasit Biota Akuatik | 73


Gambar 7.8. Oodinium sp.

Gambar 7.9. Siklus Hidup Oodonium sp (Sumber Moller-Kiel, 1983)

3. Cryptocaryon irritaans
Jenis dari Genus Cryptocaryon ini termasuk dalam Phylum Ciliophora,
Class Oligohymenophora, Subclass Hymenostomata, Ordo Hymenostomatida,
Subordo Ophryoglenina, dan Family Ichthyophthiriidae. Protozoa ini menyerang
ikan air laut yang ditemukan pertama kali di Jepang pada tahun 1938. Bagian
yang diserang umumnya adalah insang yang kemudian menyebar ke bagian
kulit, sirip dan ginjal.

Parasit Biota Akuatik | 74


Gambar 7.10. Cryptocaryon irritaans

Bentuk Theront yang menginfeksi berbentuk pipih ukuran 25-60µm


panjangnya memiliki 2 inti yaitu makro dan mikronuklei. Makronuklei trophont
memilki 4 lobe yang masing-masing berukuran 10 µm panjang dan 8 µm lebar
yang terdiri dari 1 atau 2 nukleoli. Siklus hidup dimulai dari Trophont memakan
ikan, lalu tomont meninggalkan inang dan menghasilkan gelatin sebagai kista
pelindung, tomont menempel di substrat dan berkembang menjadi tomont
dewasa, hingga tomit berkembang dan berubah menjadi theront yang pecah dan
menginfeksi inang dan tomont berkembang secara budding. Faktor pendukung
perkembangan adalah trophont mampu bertahan pada ikan selama 3-7 hari dan
pertumbuhannya optimal pada suhu 23-30°C. Pecahnya kista terjadi dalam
waktu 24 jam pada suhu 25°C.
Tanda klinis dan patologi dari ikan yang diserang antara lain
haemorrhage pada kulit, produksi lender lebih banyak. Sering menyebabkan
ulcer yang disertai dengan serangan Pseudomonas spp. Sementara tingkah laku
ikan yang terserang menunjukkan gejala megap-megap, gasping, menggosokkan
tubuh ke dinding atau dasar aquarium.

Parasit Biota Akuatik | 75


Gambar 7.11. Siklus Cliptocarion irritant (Sumber Moller-Kiel, 1983)

4. Trichodina heterodentata
Jenis ini tergolong dalam Phylum Ciliophora, Ordo Peritrichida, Subordo
Mobilina, Family Trichodinidae dan Genus Trichodina. Pada umumnya, jenis ini
ditemukan di perairan/laut Philipina. Bentuk adhesive disc berukuran 38-60 µm,
denticulate ring 23-51 dan denticles 22-30. Ciri umum dari jenis ini adalah
memiliki dentikel dan mampu bergerak memutar mempunyai cilia. Protozoa ini
dapat tahan lebih dari 2 hari tanpa inang dan dapat berpindah dari 1 inang ke
inang lainnya dengan menggunakan cilia. Bahan organik yang tinggi dalam
perairan dan rendahnya aliran air, suhu, pH, O2 dan amoniak menjadi faktor
pendukung perkembangan patogen ini.

Parasit Biota Akuatik | 76


Jenis ini biasanya menyerang bagian insang, kemudian lanjut ke kulit
hingga sirip ikan. Tanda klinis dan patologi yang ditunjukkan oleh ikan yang
terserang umumnya terdapat pigmen berwarna merah pada kulit dan terjadi
pendarahan. Sementara gejala tingkah laku ikan yang terserang umumnya sulit
bernafas karena operkulum tertutup, berenang tidak normal dan menggosokkan
tubuh ke dinding aquarium.

5. Uronema marinum
Jenis dari Genus Uronema yang dikenal dengan nama lain Tetrahymena
pyriformis di air tawar ini termasuk ke dalam Phylum Ciliophora dan Ordo
Scuticociliatida. Jenis ini berukuran 30-50 µm dan memulai siklus hidupnya
dari memakan sel darah dan cellular debris kadang ditemukan di ginjal dan
perut ikan. Faktor pendukung perkembangan protozoa ini adalah transportasi
selama 24-48 jam dalam air yang pH rendah, ammonia tinggi, dan bahan organik
DO rendah.
Ikan yang terserang menunjukkan tanda klinis dan patologi berupa
bintik putih pada bagian tubuh yang terinfeksi dan menjadi luka, ulcer dipenuhi
oleh cilia, serta peningkatan produksi lendir. Sedangkan gejala tingkah laku ikan
yang terserang umumnya megap-megap, berenang di dekat permukaan air
dengan kesulitan bernafas, menggosokkan tubuh di dinding dan dasar aquarium.

Gambar 7.12. Uronema marinum

Parasit Biota Akuatik | 77


6. Kudoa sp.
Parasit Kudoa termasuk dalam genus Kudoa (Myxozoa : Myxosporea)
yang menginfeksi daging ikan. Parasit ini menimbulkan kerugian yang cukup
besar karena kista yang menyebabkan luka pada daging. Contohnya adalah
Kudoa amamlensis pada Seriola quingueradiata dan K. thyrsites pada ikan salmon
Atlantik (Salmo solar), ini menyebabkan kerusakan yang berat yang disebabkan
oleh enzym proteolytik yang dihasilkan (Tsuyuki et al, 1982). Enzim ini
dihasilkan parasit untuk tumbuh dan berkembang pada jaringan daging ikan.
 K. muscololiquefaciens pada Xiphias gladius (Sword fish)
 K. paniformis pada Merluccius productus (Pacific hake)
 K. clupeidae pada Clupea harengus (Atlantic herring)
Parasit ini termasuk dalam class Myxosporea, family Kudoidae dan genus
Kudoa. Myxosporea dibedakan menjadi dua yaitu Bivalvulida Shulman, 1959
yaitu myxospore dengan dua valve dan Multivalvulida Shulman, 1959 yaitu
myxospore dengan tiga tau lebih valve.
Lom dan Dykova (1992) menyatakkan bahwa multivalvulida memiliki
valve yang berbentuk radial simetri yang didalamnya terdapat polar kapsul
berbentuk spora. Hanya dari genus Unicapsula Davis, 1924 yang memiliki kapsul
polar tunggal dan tiga spora valve. Yang termasuk dalam multivalvulid menurut
Lom dan Dykova (1992) adalah:
 Trilospora (Noble, 1939)
 Unicapsula (Davis, 1924)
 Kudoa (Meglitsch, 1947)
 Pentacapsula (Naidenova dan Zaika, 1970)
 Hexacapsula (Arai dan Matsumoto, 1953), dan
 Septemcapsula (Hsieh dan Chen, 1984).
Class yang baru-baru ini ditemukan adalah class Actinospore dimana
tahapan siklus hidupnya terjadi di air tawar seperti myxosporean. Menurut Ied
Kent et.al. (1994), class Actinosporea berada satu tingkat di atas Myxosporea.
Class Actinosporea, genus Tertractinomyxon (Ikeda, 1912) merupakan spesies
yang mengalami perubahan dari myxospore menjadi Multivalvulida. Anggota

Parasit Biota Akuatik | 78


genus Kodoa yang pertama adalah Chloromyxum, yang memiliki polar kapsul dan
myxospore dengan 4 valve (Meglitsch, 1947).
Seperti diketahui, semua spesies Kudoa menginfeksi ikan air laut dan
estuarin. Dari hasil laporan Lom et al. (1983), multivalvulid myxosporean (Kudoa)
ditemukan pada ikan Osmerus mordax di danau air tawar Canada. Inang Kudoa
hampir sama dengan inang class Myxospora (Shulman, 1966), misalnya K.
thyrsites ditemukan pada lebih dari 20 ekor ikan, sedangkan McDonald dan
Margolis (1995) menemukan K. thyrsites di 11 spesies ikan.
Dengan menggunakan SSU rDNA, Hervio et al. (1997) melaporkan bahwa
K. thyrsites ditemukan pada ikan Pacific hake, Atlantic salmon dan Aulorhynchus
flavidus. Shaw et al. (1997) menemukan K thyrsites pada ikan Tube-snout; yaitu
kultivan laut komersial di kolam salmon Colombia pada ikan Thysites atun yang
berasal dari Afrika Selatan (99 %).
Lom dan Dykova (1992) menggambarkan perkembangan Trophozoite
myxosporean di inang, mereka mengalami fase poliferatif di jaringan atau organ
berbeda dari fase akhir (fase extrasporogonik) yang lepas dari fase sporogonik.
Fase proliferatif terlihat hampir sama dengan kelompok myxosporean tapi
belum bisa dikatakan Kudoa. Moran et al. (1999) menggambarkan bahwa K.
thyrsites menghasilkan tahap extrasporogonik yang masuk dalam aliran darah
dan tahap itu berpindah ke inang lain dengan jalan menginfeksi darah pada
bagian intraperitonial. Dalam percobaan K. thyrsites menginfeksi 2–23 ekor
atlantic salmon.
Satu parasit hidup di bagian daging inang, plasmodium tidak mengalami
pembelahan tapi berkembang menjadi ukuran yang sangat besar, diikuti dengan
perkembangan myxospores. Dengan spesies histozoic, nutrisi mencapai sukses
dalam arti pinocytotik aktif berpindah dari satu inang ke inang lain. Proses
sporogonesis K. Lunata (cf. Lom dan Dykova, 1988) dan K. paniformis (cf. Stehr,
1986) terjadi dengan perpindahan electron microscopy. Lom dan Dykova (1988)
menyatakan bahwa polysporic plasmodia tanpa menghasilkan pansporoblas
pada K. lunata, K. paniformis, K. thyrsites. Spesies Kudoa berasal dari trophozoit kecil
yang menghasilkan 8 myxospore yang tidak terdapat bentuk pansporoblash.

Parasit Biota Akuatik | 79


Perkembangan vegetatif terjadi di bagian daging cardiac selama 4 minggu
dalam bentuk post-exposure dan di bagian daging somatik selama 5,5 bulan
dalam bentuk perkembangan post-exposure penuh myxospores ditemukan
pada 64% ikan Atlantik salmon pada 6 bulan p.e. Infeksi daging tidak terditeksi
sampai 9 minggu infeksi. Tahap pertama 25 (4%) ikan Atlantic salmon positif
terinfeksi. Dengan menggunakan PCR 8 dari 10 (80%), Atlantik Salmon
terinfeksi pada 6 minggu pertama dan 7 dari 10 (70%) terinfeksi pada 9 minggu.
Inflammation merupakan pertahanan pertama untuk menghindari infeksi
myxosporean (Lom dan Dykova, 1992). Respon inang biasanya tidak ditemukan
sampai parasit berhasil menjadi sporogony dan plasmodium berisi myxospores
muda. Menurut Lom et al (1983) dan Voelker et al (1978), hubungan antara inang
dan parasit sangat tergantung dengan spesies dan perkembangan parasit dalam
inang.
Bentuk pseudocyst dengan tipe kista pada daging menimbulkan reaksi
nekrotik dan dinding pseudocyst memacu perbaikan inflammation. Anderson
(1985) menyatakan bahwa pertahanan inang adalah dengan membentuk sel
amplop. Pada saat daging inang penuh plasmodium, baru terjadi pembengkakan.
Respon ini dicirikan dengan phagocytic infiltrasi, granuloma dan bentuk kapsul
(Morado dan Sparks, 1986). Respon inang terhadap encapsule parasit adalah
dengan membentuk fibroblast. Daging yang terinfeksi akan menjadi gelap hal ini
disebabkan oleh berkurangnya melanin.

Parasit Biota Akuatik | 80


1. Ergasilus versicolor
Jenis ini termasuk dalam Phylum Arthropoda, Class Crustacea, Subclass
Copepoda, Ordo Poecilostomatoida, Family Ergasillidae dan Genus Ergasillus.
Inangnya adalah mullet culture di kawasan Mediterranea (terdapat 33 spesies di
Laut Telost). Tubuhnya memiliki cephalotorax yang lebarnya 2 kali panjangnya,
dorsoventral pipih, anteriornya pendek, posteriornya berbentuk truncate, punya
1 pasang mata dekat anterior, ada 4 segmen. Abdomennya terdiri dari 3 segmen.
Ukuran p 1.3-1.7 mm dan l 0.4-0.7 mm. Jenis ini hanya betina yang menjadi
parasit, dengan menyerang insang bagian dalam dan menyebabkan luka.

Gambar 8.1 Ergasilus versicolor


http://www.glsc.usgs.gov/greatlakescopepods/Detail.php?GROUP=Parasite&SPECIES=Ergasilus%20versicolor

Parasit Biota Akuatik | 81


Ergasilus versicolor adalah ergasilid yang berbentuk relatif ramping, dengan
cephalothorax tidak berlapis. Segmen pertama bagian antena tidak bertingkat
atau berlapis dan tidak terdapat gigi pada segmen lainnya. Namun bagian
sensilla menonjol pada bagian tengah segmen ke-2, dekat posterior dan anterior
ujung segmen ke-3. endopod kaki pertama adalah dua pasang; dan kaki ke-5
terdiri dari 2 papila, babgian ventral pertama menjadi 5 kali lebih pendek dan
masing-masing membawa sebuah seta di ujung terminal.
Tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan terserang adalah hyperplasia sel
epitel, anemia, dan haemorrhage. Sementara tingkah laku ikan yang terserang
biasanya menunjukkan gejala lemah, berenang gasping, dan operculuk terbuka.
Kondisi lingkungan buruk dan bahan organik tinggi menjadi penyebab serangan
yang didukung oleh meningkatnya suhu di dalam air.
Beberapa ikan yang dilaporkan terinfeksi Ergasilus versicolor terdapat di
kawasan Great Lakes terdiri atas Ameiurus nebulosus (brown bullhead), Culaea
inconstans (brook stickleback), Ictalurus punctatus (channel catfish), Noturus flavus
(stonecat). Selain itu, juga ditemukan di Amerika Utara yakni pada jenis
Ameiurus natalis (yellow bullhead), Ameiurus melas (black bullhead), Catostomus
commersoni (white sucker), Erimyzon oblongus (creek chubsucker), Erimyzon sucetta
(lake chubsucker), Erimyzon tenuis (sharpfin chubsucker), Ictiobus bubalus
(smallmouth buffalo), Ictiobus cyprinellus (bigmouth buffalo), Ictalurus furcatus
(blue catfish), Lepisosteus osseus (longnose gar), Lepisosteus platostomus (shortnose
gar), Lepisosteus spatula (alligator gar), Minytrema melanops (spotted sucker),
Moxostoma macrolepidotum (shorthead redhorse), Moxostoma poecilurum (blacktail
redhorse), Mugil cephalus (striped mullet), Pogonias cromis (black drum), dan
Pylodictus olivaris (flathead catfish).

2. Caligus Epidemicus
Jenis ini termasuk dalam Phylum Arthropoda, Class Crustacea, Subclass
Copepoda, Ordo Siphonostomatoida, Family Caligidae, dan Genus Caligus. Jenis
ini berada pada inang berupa ikan air laut, terutama menyerang kulit dan
operkulum.

Parasit Biota Akuatik | 82


Gambar 8.2. Caligus sp.
http:// www.sciencefish.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7&Itemid=19

Ciri-ciri bentuknya antara lain caligus betina seluruh tubuhnya ditutupi


cangkang dorsal. Cephalotoraxnya panjang, posteriornya lembut. Bagian
lateralnya dilengkapai marginal membrane. Bagian posterior ada thorax zone.
Keempat kaki terletak lebih dekat posterior dari pada cephalotorax, bentuk
pendek, tubuh lebar antara 1-9 mm. Siklus hidupnya diawali dari telur,
kemudian nauplius berenang bebas, nauplius II sebelum molting menjadi larva
yang menginfeksi (copepodit).
Ikan yang terserang menunjukkan tanda klinis dan patologi berupa
hipertropi dan haenaorrhage. Sementara gejala tingkah laku dari ikan biasanya
menunjukkan pola berenang yang tidak teratur dan menggosokkan tubuh ke
benda keras. Penyebab penyerangan umumnya karena suhu yang rendah

3. Lepeophteirus sp.
Jenis ini banyak ditemukan pada ikan salmon, yang umumnya menyerang
bagian mulut dengan menggunakan cephalotorax yang terletak pada sucker.
Lepeophteirus jantan berukuran 6.7 mm, sementara yang betina berukuran 14-22

Parasit Biota Akuatik | 83


mm. Siklus hidup diawali dari nauplius, kemudian menjadi copepodid, lalu
chalimus pertama, hingga tumbuh dewasa. Jenis ini mampu bertahan selama 8-9
minggu pada suhu 6 o C, sekitar 6 minggu pada 9-12 o C dan sekitar 4 minggu
pada suhu 18o C.
Ikan yang terserang umumnya menunjukkan tanda klinis dan patologi
berupa erosi lapisan epitel dan haemorrhage. Sedangkan gejala tingkah laku
yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang biasanya berenang berputar-putar
(whirling swimming), seluruh permukaan tubuh ditutupi oleh kutu (sea lice).
Penyebab penyerangan diduga disebabkan oleh adanya suhu yang rendah dan
bahan organik yang tinggi.

Gambar 8.3. Lepeophteirus sp. (Sumber: Klik, Janse, Benz, 2011)

4. Chalimus sp.
Jenis ini termasuk dalam Phylum Arthropoda, Class Crustacea, Subclass
Copepoda, Ordo Siphonostomatoida dan Family Cecropidae. Bentuk besar,
bagiann segmen thoracic ditutupi piring. Kepala ada segmen thoracic pertama.
Segmen kedua dan ketiga sama besar atau lebih kecil dan terdiri dari sepasang
bagian dorsal dan sepasang lateral plate. Segmen ke empat terdiri dari sepasang

Parasit Biota Akuatik | 84


dan agak besar, dilengkapai dengan plate yang ditutupi bagian genital. Ketiga
pasang dorsal plate terbangun dari segmen genital dan ditutupi oleh segmen
abdomen.
Jenis ini sering ditemukan di bagian luar tubuh ikan, yang menyerang
bagian insang hingga menimbulkan peradangan. Pendukung perkembangan
jenis ini umumnya dikarenakan kondisi perairan buruk dan suhu tinggi. Tanda
klinis dan patologi dari ikan yang diserang adalah peradangan pada insang.
Sementara tingkah laku ikan yang terserang umumnya menunjukkan gejala sulit
bernafas dan berenang berputar-putar (whirling swimming).

Gambar 8.4. Chalimus sp.

Parasit Biota Akuatik | 85


A. CACING MONOGENEA

1. Monogenea Air Tawar


Jangkar merupakan organ pelekat yang paling sering ditemui pada
monogenea. (1-2 pasang) yang diikat pada palang penghubung (>1) dengan
berbagai bentuk. Kait tepi dijumpai pada hamper semua spesies di Asia
Tenggara kecuali Diplozoon. Kait tepi ini tersusun pada pinggir opistahaptor, tapi
dapat juga di dalam. Pada Diplozoon kait tepi diganti oleh clamps. Kadang ada
yang mempunyai alat pelekat tambahan yang disebut squamodisc, yang dilengkapi
dengan cicin khitin.
Monogenea tidak mempunyai rongga tubuh, organ-organ terdapat pada
embedded dalam parenkima. Kebanyakan monogenea mempunyai siklus hidup
langsung dan membutuhkan hanya satu inang. Umumnya ovipar, mengeluarkan
telur, lalu menetas menghasilakan larva bersilia, kemudian mencari inang baru,
selanjutnya melekat pada cacing dewasa. Kelompok vivipar adalah dari famili
Gyrodactylidae, langsung melekat, memungkinkan untuk membentuk populasi
besar dan terdiri atas hampir setengah dari spesies monogenea yang telah
diketahui.

a) Dactylogyrus sp. (Family : Dactylogiridae)


Opisthaptor mempunyai 14 kait tepi, dua diantaranya terletak jauh di
tepi, dekat jangkar. Ujung jangkar yang runcing mengarah ke punggung.
Mempunyai 1-2 palang penghubung. Titik mata 2 pasang mempunyai 4 lekukan
dikepala. Merupakan salah satu genus monogenea terbesar, mempunyai inang
yang terbatas. Ditemukan hamper disemua ikan air tawar dan kadang-kadang

Parasit Biota Akuatik | 86


ikan air laut. C. idellus, lele, ikan mas, tambakan, gurami, patin, sepat air, sepat
rawa, mas koki.

Gambar 9.1. Dactylogyrus sp.

b) Actinocleidus sp (Family : Dactylogiridae)


Bagian anterior tidak mempunyai lekuk. Opisthaptor berbentuk bulat
(seperti piring), ukurannya relative kecil (10% dari panjang tubuh). 14 kait tepi,
2 pasang jangkar, 2 buah palang penghubung antara jangkar bentuknya seperti
V. Jenis ini ditemukan pada ikan lele di Indonesia.

c) Diplectanum sp. (Family : Diplectanidae)


Tubuh memanjang, lekuk di kepala bisa ada bisa tidak, opisthaptor
terpisah dari tubuh, 14 kait tepi, 2 pasang jangkar, 3 palang melintang
mempunyai squamodisc. 2 pasang bintik mata, parasit ikan laut.
Patogenisitas yang dibahas, Dactylogyrus untuk mewakili dan paling
banyak dijumpai. Efek lokal yang terjadi pada infeksi monogenea pada insang
hyperplasia pada epitel insang, ‘bahkan sampai ke daerah yang tidak ada
cacingnya. Telangiectasis (gill blood blister) yang sering ditemui. Jaringan
tempat melekat terkikis dan pada bagian pinggir mengalami proliferasi

Parasit Biota Akuatik | 87


(pembengkakan). Produksi lender meningkat banyak sekali mengganggu
pernafasan. Warna insang memudar dan membengkak. Nafsu makan berkurang
yang akhirnya mengakibatkan pertumbuhan terhambat. Ikan megap-megap,
lesu, sel-sel darah putih (monosit dan neutrofil) meningkat.

d) Gyrodactylus sp. (Family : Gyrodactilidae)


Tubuh ramping, kecil, anterior bifid (berlekuk-lekuk). Opisthaptor
mempunyai 16 kait tepi 1 pasang jangkar danseterusnya dihubungkan oleh 2
buah bar. Tidak mempunyai bintik mata. Vagnia tidak ada. Uterus mengandung
embryo, dapat mencapai 3 generasi, vivipar. Jumalh spesies 100, ditemukan di
kulit lele, mas, gabus, patin, sepat dan ikan-ikan akuarium.
Ikan yang terserang menunjukkan kulit pucat, epithelium mengalami
hyperplasia. Lender berlebihan, membentuk lapisan putih abu-abu, luka, bagian
yang rusak menjadi gelap yang parah, kulit terkelupas.

Gambar 9.2. Gyrodactylus sp.

2. Monogenea Air Laut


a) Diplectanum sp. (Family : Diplectanidae)
Jenis ini termasuk dalam Phylum Platyhelminthes, Class Monogenea,
Subclass Polyonchoirnea, Genus Diplectanum dan Family Diplectanidae. Bentuk
tubuh subcircular atau ova tanpa lekukan kepala, opishaptornya terpisah dari
tubuh, memiliki 14 marginal hook dan dua pasang anchor yang dilengkapi

Parasit Biota Akuatik | 88


dengan bar. Bagian ventral dan dorsal memiliki squasmodic digunakan untuk
melekatkan diri ke inang. Memiliki 2 pasang mata, ovarium panjang, memiliki
vagina. Ukuran 1-1.5 mm.
Jenis ini sering menyerang ikan air laut, terutama pada bagian insang dan
kulit. Siklus hidupnya mirip dengan gyrodactyllus. Kondisi kualitas air yang
buruk, nutrisi yang kurang pada inang menjadi salah satu faktor pendukung
perkembangan jenis ini. Ikan yang terserang biasanya menunjukkan tanda klinis
dan patologi berupa Haemmorhage di insang dan operkulum terbuka. Ikan akan
kesulitan bernafas dan lemah berenang.

Gambar 9.3. Diplectanum sp.

b) Benedenia sp. (Family : Capsalidae)


Jenis ini termasuk dalam Phylum Platyhelminthes, Class Monogenea,
Subclass Polyonchoinea, Genus Benedenia dan Family Capsalidae. Jenis ini
sering ditemukan di dekat kepala dan mulut ikan air laur seperti Liza carinata,
Crenimugil crenilabris, Mugil auratus, Mugil capito dan sebagainya. Bentuknya bulat,
ukuran 2-5 mm, memiliki 2 adhesive disc di bagian anterior. Panjang telur 0.8-1.2
µm, telur bertahan selama 5-8 hari. Faktor pendukung perkembangan jenis ini
adalah pH yang tinggi dan kondisi perairan yang menurun kualitasnya, serta
kurangnya cahaya matahari.
Infeksi berat akan menunjukan adanya lesy di mulut, ikan menjadi kurus
karena nafsu makan berkurang. Parasit ini memakan epithelium sel inang
sehingga menyebabkan erosi dan hilangnya lapisan dermis, biasanya diikuti

Parasit Biota Akuatik | 89


dengan infeksi bakteri yang berasosiasi dengan inflammation dan necrosis pada
lapisan dan septicemia biasanya menyebabkan kematian. Ikan lemah berenang,
menyendiri. Ada korelasi positif antara intensitas dengan panjang inang,
intensitas dengan peningkatan patologi

Gambar 9.4. Benedenia sp

B. DIGENEA

Umumnya endoparasit tubuh tidak bersegmen, oval, mempunyai 2 organ


pelekat pada bagian anterior (sekitarnya) terdapat penghisap oral (oral sucker)
dan padabagian ventral terdapat penghisap ventral (acetabulum).
Siklus hidup melibatkan lebih dari 1 induk, yang meliputi beberapa tahap
morfologi bilogi yang berbeda. Siklus hidup meliputi telur, miracidia,
sporokista,serkaria,metaserkaria, dewasa,kadang tidak semua tingkatan diatas
dijalani.
Ikan berperan sebagai inang perantara ke-2 atau terakhir. Jika sebagai
inang perantara ke-2, cacing ditemukan dalam bentuk metaserkaria yang
membentuk kista pada berbagai jaringan dan organ, jika ikan dimakan oleh
inang terakhir/ sebenarnya, barulah siklus hidup ini selesai dan cacing dewasa
baru terbentuk. Jika tidak, tahapan perkembangan terhenti sampai iakn mati.
Metaserkaria masuk ke tubuh ikan karena serkaria mampu menembus kulit dan
bergerak menuju organ target. Jika ikan yang menjadi inang definit, akan
ditemukan cacing dewasa pada saluran pencernaan, yang melekat melalui
acetabula. Cacing ini masuk bersama infertebrata dan ikan kecil yang menjadi
makanan ikan.

Parasit Biota Akuatik | 90


Beberapa jenis Digenea dewasa yang ditemukan akan dijelaskan secara
singkat berikut ini :

1. Orientocreadium (Family : Allocreadiidae)


Tubuh memanjang oral sucker terletak subterminal, pharing besar.
Acetabulum terletak agak pertengahan. Ovari terletak antara testes dan
acetabulum. Ukuran 1.04-2.58 x 0.22-0.77 mm. Ditemukan di intestine lele,
gabus.

2. Gauhatiana (Family : Macroderoididae)


Tubuh memanjang, membengkak pada ujung-ujungnya. Oral sucker besar,
subterminal, pharing berkembang dengan baik, esophagus panjang.
Acetabulum hampir sama besar dengan oral sucker terletak pertengahan
agak anterior. Contoh adalah ikan lele.

3. Opegaster (Family : Opecoelidae)


Tubuh berbentuk, fusiform, bagian posterior bulat anterior, runcing. Oral
sucker tidak terlalu berkembang terletak subterminal. Diameter acetabulum
+ 2x oral sucker, terletak antara anterior dan 1/3 bagian tubuh. Ukuran 1.13 x
0.27 mm. Inangnya adalah lele, gabus. Siklus hidup Digenea dimulai dari
telur yang keluar bersama feses dari inang definit, menetas menjadi
miracidium (larva yang berenang bebas), menembus moluska (inang
perantara) mengalami reproduksi aseksual, serkaria bebas, menembus/
termakan ikan (inang perantara 2/ akhir), dewasa. Metaserkaria (kista),
dimakan inang akhir. Larva clinostomum, kulit, rongga tubuh, otot, warna
putih/ kuning.

4. Prosorhynchus (Family : Bucephalidae)


Tubuh memanjang, tidak punya oral sucker, mulut terletak dipertengahan
tubuh. Tidak punya ventrl sucker. Ukuran panjang 0.82-1 mm, lebar 0.25-
0.26 mm. Ditemukan di otot, lambung dan intestine kakap.

5. Pseudimetadena (Family : Cryptogonimidae)


Tubuh agak oval, pendek, membulat,oral sucker terletak agak ke tengah
testes dibelakang acetabulum, ditemukan di lambung, usus kecil, caeca
kakap.

Parasit Biota Akuatik | 91


Tingkat larva cerkaria mempunyai kelenjar penembus
1. Clinostomoides, Clinostomidae, Metacerkaria dengan ke-2 ujung membulat.
Anterior I buah lebar dari posterior. Oral sucker subterminal acetabulum 2
kali ukuran oral sucker terletak 1/3 panjang tubuh dari ujung anterior.
Ukuran 2.8 x 1.1 mm. Kista ditemukan dalam insang dan rongga insang ikan
gabus dan lele.
2. Clinostonum, Tubuh membulat, oral sucker subterminal. Acetabulum besar
dari oral sucker terletak antara pertengahan tubuh dan depan. Kista
ditemukan di jaringan ikan gurami, sepat rawa, gabus, kista berwarna
kuning.
Cacing jenis ini yang dewasa tidak terlalu menimbulkan kerusakan pada
jaringan, tapi competitor unutk mendapatkan makanan. Yang meteserkaria
merusak jaringan tempat masuk dan jalur yang dilalui untuk sampai ke organ
target. Kesatuan atau kekompakan jaringan terganggu, karena pada waktu baru
masuk metaserkaria bergerak aktif menuju organ target. Menimbulkan iritasi
dan setelah sampai membentuk kista. Efeknya tergantung jumlah dan ukuran
dan lokasi. Dapat menimbulkan nekrosis. Jika banyak dapat menyebabkan organ
tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan kematian, terutama pada larva dan
ikan-ikan kecil. Kista Trematoda di insang dapat menimbulkan penyakit
zoonogis, contoh : Clinostomum complanatun.
Pencegahan dilakukan dengan membersihkan kolam dari inang perantara
akhir (contohnya: mamalia kecil, burung pemakan ikan), mengangkat tempat
siput memempel, dan memasang pagar. Terapi untuk metaserkaria belum ada
yang efektif.

C. CESTODA

Cacing pita, ditemukan di saluran pencernaan ikan ALLAT. Tidang


mempunyai saluran pencernaan dan rongga tubuh. Umumnya mempunyai organ
pelekat (hold fast organ), yang disebut scolet. Leher tidak bersegmen, sisanya
disebut stoobila. Stoobila bersegmen disebut proglofid 1/I proglofid
mengandung organ reproduksi jantan dan betina, merupakan unit yang terpisah.
Organ tidak sama matangnya jadi 1 x lain kali betina. Ikan inang akhir atau

Parasit Biota Akuatik | 92


perantara, siklus hidup melalui 1-2 inang perantara, terutama invertebrate,
kadang-kadang vertebrata.
Jumlah, letak, sucker pada scolex, identifikasi. Serlex, kadang dilengkapi
dengan sucker, groves (lekukan), kait, duri, kombinasi atau tidak sama sekali.
Telur, larva berenang bebas caracidium, inang perantara, pleurocerenid.
Procercoid, inang perantara II (ikan), kista rongga saluran pencernaan,
plearocercoid, ikan karnivor, burung, mamal, dewasa.
Cestoda pada ikan host-specific, siklus hidup sangat bervariasi dewa
pada ikan : saluran pencernaan, jika inang perantara, diluar saluran pencernaan
bisa pada organ apa saja. Kerusakan satu buah parah, tapi tyergantung organ
transmisi selalu melibatkan rantai makanan.
1. Proteocephalus, Proteocephalidae, Scolex mempunyai 4 sucker, seperti
cangkir tidak mempunyai duri/ kait, contoh : lele, gabus, ikan carnivore/
omnivore inang sebenarnya. Panjang 15 cm, lebar 1.5 mm.
2. Senga, Fam. Ptychobothriidae, Scorlex mempunyai apical dick dengan kait
besar mencapai lebih dari 50 buah. Contoh : Senga pahangensi
3. Cyatocephalus sp, Cyatocephalidae, Scolex mempunyai sucker berbentuk
corong, intestine lele.
Larva yang bermigrasi dapat menyebabkan kerusakan ekstensif di hati,
limpa, sinyal, saluran pencernaan saling melekat. Jika ikan inang perantara,
cacing masuk pada tahap larva, bermigrasi dalam tubuh, menimbulkan reaksi
inflamasi dan proliferensi sel. Larva yang telah dewasa, sedikit merusak jaringan,
mengambil makanan inang, zat metabolit yang dihasilkan, merubah komposisi
darah. Ada kemungkinan penyakit zooursis, dapat mengurangi nilai jual,
kesuburan, contoh : krustase.
Dalam jumlah banyak, pertumbuhan terhambat, kurus, anemia rentan
terhadap infeksi sekunder. Jika menginfeksi organ-organ penting (Jantung,
ginjal, limpa, gonad) walaupun dalam jumlah kecil dapat menimbulkan
gangguan fungsi dan kematian. Gonad jadi tidak produktif. Terapi yang
dilakukan untuk cacing Digenea dengan total dosis 250 mg/kg ikan, dewasa,
larva (procercoid), Naebendazole 100 mg/ kg ikan/hari selama 14 hari.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah membunuh inang perantara,
putuskan siklus hidup dan inang definit, jangan beri makan ikan mentah. Terapi

Parasit Biota Akuatik | 93


belum ada yang efektif. Selain itu, dapat juga dilakukan desinfeksi pada kolam.
Cestoda mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Perubahan ekosistem
sehingga menguntungkan bagi cacing akan meningkatkan populasi cacing
dengan pesat.

D. NEMATODA

Tubuh bilateris simetris, punya pseudocolom dan gut. Tubuh silindris.


Mempunyai alat pencernaan yang lengkap esophagus, intestine dan anus.
Cacing ini dijumpai dalam bentuk larva atau dewasa pada ikan air tawar dan air
laut. Umumnya Nematoda dewasa inang infeksi lambung dan intestinal ikan.
Tapi ada juga yang hidup di rongga tubuh gonad dan otot seperti philonema dan
philometra. Larvanya dapat ditemui pada hampir semua jaringan, contohnya
adalah dari genera. Philonema, centracaecum, Anisolis dan Spiroxys. Cacing :
dapat merusak berbagai organ karena gerakan migrasinya.
Nematoda mempunyai alat kelamin yang terpisah dan umumnya yang
parasit pada ikan adalah ovipar. Telur dilepaskan ke air, larva, arthropoda (inang
perantara I), terus berkembang, dimakan ikan, dewasa dan kista (larva) dalam
jaringan/rongga tubuh inang perantara II, ikan karnivor, burung, mamalia,
semapi dewasa.
Cacing ini dapat menimbulkan tukak dan inflamasi, contoh : Camallamus.
Larva Eusfoongyloides sp, intestine dan p rongga pentoneal warna merah, kista.
Camallus, cacing merah keluar dari anus.

Parasit Biota Akuatik | 94


Munculnya penyakit udang pada umumnya merupakan hasil interaksi
yang tidak seimbang anatar tiga komponen yaitu inang yang lemah, patogen
yang ganas serta kualitas lingkungan yang memburuk. Kendala Penyakit dalam
Budidaya Udang Windu (Parasit) Dapat menyebabkan penurunan berat badan,
penurunan kualitas, kepekaan terhadap infeksi virus/bakteri dan beberapa
parasit dapat menyebabkan kemandulan (Bopyrid).

1. Parasit Protozoa
a) Zoothamniosis
Golongan ini yang sering ditemukan menginfeksi udang dan rumput laut
adalah Zoothamnium penaei. Jenis ini termasuk dalam Phylum Protozoa, Class
Ciliata, Ordo Peritricha, Famili Vorticellidae, dan Genus Zoothamnium.
Morfologi dari zootanium adalah hidup berkoloni, sangat jarang
ditemukan sendiri, bewarna keputih-putihan, menempel dengan semacam akar
dan batang (pedicle), pediclenya bercabang 2, kemudian dari 2 cabang 2 cabang
menjadi 3. Zooid bersifat dimorph besar bentuk globuler, 1 koloni bentuk dan
bentuknya sama.
Inang parasit ini adalah udang dan ikan baik air laut, payau, tawar semua
stadia, namun tidak jarang ditemukan juga pada rumput laut dan kepiting.
Siklus Hidup dilakukan dengan pembelahan sel secara paralel dengan axis
panjang tubuh, berasal dari satu batang 2 zooid yg bersilia

b) Epistyliasis
Golongan yang umum ditemukan adalah Epistylis sp yang termasuk dalam
klasifikasi Phylum Protozoa, Class Oligohymenophorea, Ordo Peritricha, Famili

Parasit Biota Akuatik | 95


Epistylidae, dan Genus Epistylis. Sedangkan spesiesnya cukup banyak, salah
satunya adalah E. mubellaria.
Morfologi dari parasit ini memiliki makronukleus kecil, bertangkai, tidak
berkontraktil, selnya mampu berkontraksi, capsilia kecil-kecil berpasangan
mengandung benang melngkar, ukuran selnya panjang : 51.00 ± 2.00μm, Lebar :
25.00 ± 3.850μm Siklus Hidup : siklus hidup parasit ini sama dengan zoo.
Induk semang parasit ini umum ditemukan pada seluruh jenis ikan,
kepiting, udang dan rumput laut. Siklus hidup: Zooid membelah secara
transversal 2, 4, 8, dan seterusnya, untuk memprbesar koloni, berenang bebas
menempel, kondisi cocok berkemang biak lebih cepat, ½ - 1/2 jam tergantung
jenis spesies.

c) Vorticelliasis
Golongan yang sering ditemukan menginfeksi ikan adalah Vorticella sp.
yang termasuk dalam klasifikasi Phylum Protozoa, Class Ciliata, Ordo
Peritricha, Famili Vorticellidae, dan Genus Vorticella. Spesies yang berhasil
diidentifikasi sebanyak 84 spesies.
Morfologi jenis ini termasuk senang hidup soliter, menempel dan
kontraktil; bentuk seperti lonceng; tangkai pipih, silindris; daerah sekitar mulut
(peristome) besar, bersilia; sel ada yang makro dan mikro nucleus; vakuola
kontraktil 1- 2 buah dan sel bening kekunungan/kenijauan. Ukuran zooid
adalah panjang 38.00 ± 7.909μm; lebar 25.20 ± 4.970μm. Ukuran panselnya
panjang 40.86 ± 9.442μm dan lebar 31.88 ± 8.709μm
Ketiga parasit tersebut merupakan parasit jenis fakultatif yang umum ada
dalam perairan terutama jika didukung faktor-faktor seperti : oksigen rendah
(<3 ppm), bahan organik tinggi, padat tebar tinggi dan perubahan musim yang
ekstrim.

2. Parasit Cacing
a) Cacing Cestoda, yaitu: Polypochepalus sp., bentuk cyste dari cacing ini
terdapat dalam jaringan ikat di sepanjang syaraf bagian ventral. Dan
Parachristianella monomegacantha, berparasit dalam jaringan intertubuler
hepatopankreas.

Parasit Biota Akuatik | 96


b) Cacing Trematoda: Opecoeloides sp., yang ditemukan pada dinding
proventriculus dan usus.
c) Cacing Nematoda: Contracaecum sp., menyerang hepatopankreas udang
yang hidup secara alamiah

3. Parasit Isopoda
Parasit ini dapat menghambat perkembangan alat reproduksi udang. Parasit
ini menempel di daerah branchial insang (persambung antara insang dengan
tubuh udang), sehingga menghambat perkembangan gonad (sel telur) pada
udang.

4. Penyakit Viral dan Bakteri


a) WSSV ( White Spot Syndrome Virus)
Penyakit ini sangat umum ditemukan menginfeksi udang, kepiting dan
rumput laut. Gejala yang menonjol adalah timbulnya bintik-bintik putih pada
karapas udang atau kepiting dengan diameter 0,5-2 mm. Udang yang terinfeksi
dalam keadaan lemah, berenang ke permukaan, kemudian mendekat ke
pematang dan mati. Kematian yang disebabkan virus ini bisa terjadi sangat
cepat biasanya hanya dalam waktu antara 3-5 hari sejak gejala kematian pertama
teramati kematian dan kematian dapat mencapai 100%.
Penyebab penyakit WSSV adalah virus SEMBV (Systemic Ectodermal and
Mesodermal Baculo Virus) yang merupakan virus DNA (Dioxyribonucleic Acid),
berbentuk batang (bacillifrom). Organ yang terinfeksi virus adalah kaki renang,
kaki jalan, insang, lambung, otot abdomen, gonad, intestinum, karapas, jantung
sehingga menimbulkan infeksi yang sistemik (menyeluruh). Stadia utama yang
terinfeksi adalah pada saat terjadi molting karena karapas dalam kondisi lunak,
sehingga menimbulkan pola bercak pada saat pasca molting karena kerusakan
sel ektodermal yang mengakibatkan penimbunan kalsium ke karapas terganggu.
Beberapa faktor lingkungan yang mendukung terjadinya peningkatan serangan
virus ini adalah :
 Blooming fitoplankton yang akhirnya mengalami kematian secara mendadak,
hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kualitas air.

Parasit Biota Akuatik | 97


 Kadar oksigen rendah.
 Terjadi fluktuasi pH harian yang besar.
 Rendahnya temperatur air.
 Turun hujan secara mendadak.
 Pengelolaan pakan yang kurang baik.
Penularan virus ini bisa melalui organism liar di dalam tambak seperti
kepiting, cacing, kerang-kerangan, ikan liar bahkan udang yang terinfeksi dan
mati yang kemudian di makan oleh udang yang sehat. Beberapa hama yang
pernag dilaporkan menjadi carier virus ini adalah kerang bakau/temburung
(Thelescosium thleskium) .

Gambar 10.1. Hama Kerang Bakau/Temburung (Thelescosium thleskium) dan Ikan


yang Ditemukan di Tambak dan Menjadi Sumber Penyakit WSSV.

Gambar 10.2. Karapas Udang yang Terinfeksi WSSV (A) dan Karapas Udang
Normal (B), serta Rod Shape Virus yang Menjadi Penyebab WSSV
(Sumber foto: Takahashi et. al, 2003)

Parasit Biota Akuatik | 98


b) Vibriosis
Vibriosis adalah salah satu masalah penyakit utama dalam kerang dan
ikan budidaya yang banyak menyebabkan kematian udang budidaya seluruh
dunia (Lightner & Lewis, 1975; Adams, 1991; Lightner et al, 1992;. LavillaPitogo
et.al., 1996; Lavilla-pitogo et.al., 1998; Chen et al., 2000). Bakteri ini termasuk gram
negative, motil fakultatif anaerob dan termasuk dalam family Vibrionaceae.
Bakteri ini biasa ditemukan menginfeksi golongan kustacea laut seperti udang.
Vibrio didistribusikan secara luas dalam budaya memfasilitasi seluruh dunia. –
Vibriosis disebabkan oleh bakteri gram negatif dalam keluarga Vibrionaceae.
Wabah dapat terjadi ketika faktor lingkungan mengalami perubahan yang
berfluktuasi (Sizemore and Davis, 1985). Sebenarnya exoskeleton udang
menjadi penghalang yang efektif terhadap patogen akan menembus permukaan
luar krustasea, namun Vibrio spp. dapat masuk ke tubuh melalui luka di bagian
exoskeleton atau pori-pori (Jiravanichpaisal dan Miyazaki, 1994; Alday-Sanz et
al ,. 2002).
Bakteri ini merupakan pathogen oppurtunistik pada saat tubuh inang
mampu melakukan pertahanan secara lamai untuk menekan pertumbuhannya
(Lightner, 1993). Pada system intensif, shellfish, kondisi stress seperti padat
penebaran yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya serangan infeksi
patogen. Infeksi bakteri vibrio sering juga disebut sebagai black shell disease,
tail rot, septic hepatopancreatic necrosis, brown gill disease, swollen hindgut
syndrome dan luminous bacterial disease atau bakteri berpendar.
Beberapa gejala yang menonjol pada saat udang terinfeksi bakteri vibio
antara lain :
➜ Lemah ➜ kehilangan nafsu makan ➜ kehilangan warna tubuh dan adanya
nekrosis pada hepatopancreas yang disertai dengan “clumping“ (kerusakan pada
saluran pencernaan) ➜ adanya warna merah pada tubuh ➜ jaringan insang
berwarna kekuningan ➜ adanya bintik putih pada otot abdominal ➜
Melanisasi ➜ munculnya granulomatous encapsulation, necrosis dan inflammasi
pada organ (lymphoid organ, insang, hati dan sebagainya) ➜ Luminescence atau
berpendar.

Parasit Biota Akuatik | 99


5. Penyakit Pada Rumput Laut
Beberapa penyakit yang biasa ditemukan pada budidaya rumput laut
antara lain :
a) Penyakit “ice-ice”, penyakit ini menyerang bagian thallus yang menyebabkan
warna memudar, pucat dan thallus menjadi rapuh mudah patah. Beberapa
penelitian menunjukkan penyakit ini disebabkan oleh beberapa patogen
yang menginfeksi secara bersamaan. beberapa patogen adalah Vibrio,
Aeromonas, Pseudomonas, parasit Vorticella, Zoothamnium, Oodonium, Trichodina.
Selin itu, faktor lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan perairan
menjadi faktor pemicu penyakit ini.

Gambar 10.3. Thallus Rumput Laut yang Terinfeksi Penyakit “ice-ice”

b) Penyakit pitting – terjadi pada lapisan korteks dimana rongga terbentuk


karena adanya luka.
c) Penyakit ”tip darkening” – biasanya karena disebabkan umur rumput laut yang
sudah tua didukung juga dengan cuaca dingin yang menyebabkan warna
rumput laut pucat atau kusam.
d) Penyakit “tip discoloration” – biasanya disebabkan karena adanya paparan
udara dari musim dan kondisi perairan yang buruk.

Parasit Biota Akuatik | 100


e) Penyakit epiphytism dan algal parasitism – penyakit ini disebabkan karena
adanya serangan hama atau serangga yang merusak thallus. Keberadaan alga
alga berpigmen (Rhodophytes), menyebabkan gerakan air menjadi lambat
atau air menjadi keruh yang mengakibatkan berkurangnya suplay oksigen.
Apabila pada budidaya udang, tampak adanya bercak putih pada bagian
kepala, atau kaki hal ini mungkin disebabkan oleh parasit atau jamur. Diagnosa
secara tepat diperlukan karena berkaitan dengan penanggulangannya. Parasit
yang biasa ditemukan pada diagnosa di atas adalah jenis protozoa, ciliata yaitu
Vorticela. Vorticella biasanya muncul pada kondisi perairan yang buruk dan
kadang-kadang ditemukan pada udang liar, namun kadang-kadang gejala
terinfestasi parasit tersebut hilang setelah udang molting karena biasanya
Vorticela ini menyebabkan ekor udang gripis dan permukaan tubuh udang
muncul bercak-bercak putih. Jika udang yang telah terinfestasi parasit pada
bagian kepala dan tubuh, kemungkinan udang akan mengalami kekurangan
kemampuan untuk makan sehingga menyebabkan kelaparan.
Parasit yang menginfeksi udang biasanya sitemukan hampir sama dengan
parasit-parasit yang menginfeksi ikan air laut. Jenis-jenisnya pun beragam baik
protozoa, kelompok krustacea, nematoda.

Gambar 10.4. Vorticela sp.

Parasit Biota Akuatik | 101


A. KELAINAN AKIBAT KONDISI LINGKUNGAN

Umumnya penyakit non-parasiter disebabkan karena kondisi lingkungan


tempat ikan/biota hidup. Masalah bisa timbul karena:

1. Manajemen kolam strategis


tergantung pada ukuran kolam, treatmen yang dilakukan pada kolam/
keberadaan bahan organic dan anorganik dan komponen kimia (Boyd 1995)

2. Kedalaman kolam
Hal ini berkaitan dengan masukan dan keberadaan oksigen yang berdampak/
sensitive pada pertumbuhan ikan-ikan muda (juvenile). Contohnya adalah
larva diurnal bentik yang berada di daerah termoklin bermigrasi ke daerah
dingin, ini terkait dengan keberadan oksigen, banyak mengalami kematian.

3. Pakan
Frekwensi dan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Penyakit yang
disebabkan oleh pakan ini berbagai macam terkait dengan bahan beracun
pada pakan (Patton & Couch,1984), contohnya Swimbladder inflation,
perkembangan gel renang sensitif terhadap bahan toxic (Marty et al, 1990),
dan kualitas dari indikator lingkungan secara umum (Sinderman,1979).

4. Genetik
Kelainan yang tejadi dalam sistem budidaya dapat terjadi karena turunan
apabila keragaman genotip menjadi penyebabnya (Liao et al,1993). Penyakit
infeksius dan kontaminan pada sumber air ini menyebabkan kelainan pada
patologi (Robert,1989).

Parasit Biota Akuatik | 102


5. Faktor lain
Kelainan yang terlihat terkadang menyulitkan aquaculturis menentukan
penyebab utama karena banyaknya faktor yang berpengaruh, contohnya
kelainan operkulum ikan disebabkan penyakit infeksi yang menyebabkan
operkulum terbuka dan tidak bisa menutup. Faktor kimia air juga bisa
menyebabkan hal ini.
Kelainan atau abnormalitas pada ikan yang disebabkan oleh bahan-bahan
non parasiter dapat berupa:

1. Pertumbuhan tidak normal/ kelainan bentuk pada tulang belakang


Pertumbuhan tidak normal atau kelainan pada bentuk tulang belakang
ikan sering ditemui, penyebabnya bisa disebabkan oleh faktor infeksi atau non
infeksi. Bentuk-bentuk kelainan itu dapat dalam bentuk scoliosisi, lordosisi.
Scoliosis/lordosis merupakan kelainan bentuk pada cabang lengkung tulang
belakang (Sindermann, 1990). Kondisi Scoliosis/Lordosis dapat menyebabkan
kematian pada beberapa kasus. Faktor pemicu penyakit ini dapat disebabkan
oleh makanan (kekurangan nutrisi/malnutrisi) atau masalah lingkungan.
a) Malnutrisi
Penyakit yang disebabkan karena kekurangan nutrisi dalam pakan
seperti, vitamin, mineral, protein, karbohidrat dan lemak. Contoh penyakit mal
nutrisi misalnya ikan kekurangan asam amino,seperti tryptophan, kekurangan
vitamin C. Pemberian vitamin C bisa membantu penyembuhan. Kekurangan
nutrisi dalam pakan dapat menyebabkan ikan mengalami kelainan pada tulang
belakang seperti scoliosisi/lordosis. Sebanyak 45 % ikan mengalami Scoliosis
dan Lordosis pada budidaya Chanlel clatfish yang diberi pakan kurang Vitamin
C dan hanya 39 % pada ikan kontrol yang diberi pakan kandungan Vitamin C
normal (Lovell, 1973)
b) Lingkungan
Kelainan bentuk ini karena faktor pencahayaan yang kurang, temperatur
dan salinitas pH (Oyen et al 1991). Suhu berpengaruh melalui cara yaitu:
 Larva hidup dalam lingkungan perairan dimana suhunya optimal

Parasit Biota Akuatik | 103


 Suhu shock meningkatkan kelainan pada spinal, saat adanya peningkatan
atau penurunan yang mendadak pada suhu air dalam konisi Fase Kritis. Awal
pertumbuhan dapat menyebkan 100% embrio mengalami scoliosis.
 Suhu yang tinggi dapat menyebabkan permukaan organ sistem menjadi
asynchronous dan ini merupakan abnormalitas.
Selain suhu, keberadaan bahan polutan dalam perairan juga bisa menjadi
faktor penyebab terjadinya Scoliosis. Bahan polutan yang dapat menyebabkan
kelainan tersebut antara lain Zin C, organochlorine, organophospate, logam
berat dan pestisida, serta fungisida (Malacvhite greeen)
c) Infeksi Patogen
Scoliosis/lordosis juga dapat disebabkan oleh adanya infeksi patogen
seperti virus, jamur, protozoa dan bakteri. Infeksi dari Myxobolus buri dapat
menyebabkan kelainan pada bagian spinal ikan.
d) Treatmen Pencegahan Penyakit,
Pada saat penggunaan bahan antibakterial untuk mencegah terinfeksinya
telur oleh bakteri, juga dapat menyebabkan Scoliosis/lordosis pada benih.

2. Kelainan Pada Kepala dan Rahang (Pictman et al 1990)


Ikan budidaya maupun ikan di perairan umum sering ditemukan
mengalami kelainan pada bagian kepala dan rahang. Kondisi itu disebabkan
temperatur dan kondisi penerangan atau cahaya (Bolla dan Holmefjord,1988).
Contohnya adalah ikan Atlantic halibut (Hippoglossus hiplooglosus L).

3. Kelainan pada Sirip


Kelainan pada bagian sirip ikan juga sering ditemukan yang disebabkan
oleh faktor kimia dan fisika air, genetik faktor, infeksi/luka, termal shock,
kekurangan vitamin C menyebabkan kelainan pada ekor.

4. Kelainan pada Insang


Kelainan bagian insang ikan menyebabkan melemahnya/ melembeknya
cartilage insang yang menunjukkan adanya penyimpanan pada filament insang.
Kelainan pada insang dapat disebabkan oleh faktor-faktor di bawah ini : genetik,
lingkungan, mal nutrisi dan kekurangan Vitamin C.

Parasit Biota Akuatik | 104


5. Kelainan pada Kulit
Terjadi pigmentasi pada kulit yang terjadi saat metamorphosis pada
juvenil, biasanya terjadi pada kukltur intensif, malnutisi (kekurangna Vitamin
C). Logam berat meyebabkan albino pada chanlel catfish (Rutherford et al,1990)

6. Kelainan pada Mata


Kelianan pada mata dapat berupa, mata menonjol, mata mengalami
pendarahan, mata mengkerut atau pertumbuhan mata tidak normal. Faktor-
faktor penyebabnya adalah karena faktor genetik dan pakan.

B. KELAINAN AKIBAT POLUSI LOGAM BERAT

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan pertambahan manusia,


banyak aspek kehidupan yang dapat menjadi sumber polusi logam berat yaitu
bidang pertambangan, pertanian, kegiatan kehutanan, pembuangan sampah.
Bahan yang termasuk logam berat bahaya antara lain Cd, Cu, Hg dan Zn.
Bahaya karena dapat bersifat alergi, mutagen dan kankerogens. Kondisi dan
keberadaan bahan-bahan tersebut tergantung pada kondisi perairan seperti pH,
suhu, komposisis ion, alkalinitas, konsentrasi bahan-bahan organic yang
terakumulasi dalam tubuh ikan.
Keberadaan logam berat dalam air tergantung pada kualitas air, seperti
pH, salinitas, suhu dan keberdaan bahan organik. Misalnya zat Hg, bentuk ion
dapat masuk ke dalam epithelial membran, dimana prosesnya sangat
dipengaruhi oleh:
1. Kimia Air
Bahan logam dapat digolongkan menjadi 3 ion, yaitu: logam dalam air yang
sederhana; ion logam komplek dengan anorganik; dan ion logam komplek
dengan bahan organik seperti asam amino,asam.
2. Suhu dan DO
Logam berat dan suhu tinggi menyebabkan ketahanan hidup rendah
dibandingkan hanya pada suhu rendah. Peningkatan toxicity dari logam
berat menyebabkan penuingkatan cairan membran dan peningkatan aktifitas
enzim

Parasit Biota Akuatik | 105


3. Kesadahan dan pH
Kesadahan berpengaruh terhadap tingkat racun logam berat (terutama Cu)
dengan bentuk karbonat atau dengan penyerapan pada CaO2. Cu dan Mg
berlomba dengan ion atau logam berat dalam aktif di jaringan ikan dan ini
berdampak terhadap tingkat racun logam berta. Kesadahan tinggi tingkat
racun logam berat tinggi.
4. Salinitas
Salinitas berpengaruh terhadap ginjal dan hepatopankreas. Jalur dan
mekanisme penyerap[an logam berat dalam tubuh ikan masuk dalam tubuh
melalui insang (pernafasan), usus (pencernaan) dan kulit (pengangkutan
atau penyerapan).
Penyerapan dan masuknya logam berat ke dalam tubuh organisme
tergantung kualitas air, aktifitas metabolisme, fase pertumbuhan, bentuk/
keberadaan logam berat, interaksi/hubungan logam berat dan transportasi
protein dan penyerapan ion lain. Bahan Cd dan Zn menyebabkan terganggunya
penyerapan/metabolisme calcium pada ikan. Sedangkan Gabungan Ca, Cd dan
Zn di ikan air tawar mengganggu kerja sel chloride insang
Tingkat racun Cd, Cu, Zn dan Hg pada jalur yang berbeda. Misalnya Ca
dapat mempengaruhi tingkat toksisitas dari Cd namun apabila bertemu dengan
Zn maka toxisitasnya akan menurun. Penyebaran masing logam berat berbeda
pada organ ikan. Tergantung pada kebutuhan nutrisi (Cu dan Zn) dan daya
tarik menarik dalam sistem. Logam Cd sangat berhubungan dengan kondisi
jaringan (Nethyil Hg).
Dampak logam berat pada ikan dapat dilihat pada histologi jaringan dan
sel ikan, haemotologi (gambaran darah), komposisi plasma, enzimatik,
reproduktif dan tingkah laku dan kebiasaan hidup.

1. Besi (Zn)
Keberadaan zat Zn pada lingkungan dapat berdampak pada morfologi
insang ikan yang akhirnya mempengaruhi sel cholid, rusaknya lamella sekunder
insang, sel darah, menyebabkan menurunnya peredaran O2 dalam darah,
terhambatnya kerja enzim Ca-ATPase, menurunnya pH darah, rendahnya
pengambilan O2 pada hati, feeding rate menurun, menurunnya sintasan dan HR
(Hatching Rate).

Parasit Biota Akuatik | 106


2. Tembaga (Cu)
Keberadaan Cu di perairan dapat menyebabkan kelainan pada morfologi
insang, kerusakannya dapt berupa rusaknya lamella sekunder insang, hilangnya
atau berkurangnya sel spesifik di insang, penurunan sel mukus dan peningkatan
sel choride di insang, menyebabkan chemoreceptor dan mechanyoreceptor serta
mempengaruhi ntingkah laku, menyebabkan lesi pada epitelium dan kerusakan
pada organ penciuman.
Dampak lain dari daya racun Cu terhadap proses fisiologis dalam tubuh
biota akuatik adalah mempengaruhi konsumsi O2, penurunan produksi antibodi,
penurunan osmolaritas plasma Na, mengganggu pertukaran ion transepithelium,
penghambatan kerja Na-K-ATPase dan penurunan Lematocrit dan seru protein
(Corticol), mempengaruhi rendahnya pertumbuhan reprodusi (sexual),
produksi telur, spawning, penetasan telur, penetasan prematur, sintasan, sirip
punggung tidak tumbuh.

3. Kadmium (Cd)
Keberadaan Cu di perairan dapat mempengaruhi metabolisme Ca dalam
tubuh, terjadinya peningkatan produksi sel mukus di usus dan insang,
peningkatan produsi sel chloride di bagian epithel operkular, menghambat kerja
alkaline phosphate dan Ca ATP ase, meningkatkan aktifitas ALA-D,
menyebabkan kerusakan pada proximal tubuli  Pembelahan mitokondria dan
reticulum endoplasmite, menyebabkan kecacatan pada vertebrata, negrosis cel
lobule boundary, haemorrhage, oedema pada yolk absorbsion, pertumbuhan
tidak sempurna pada sirip ekor.

4. Merkury (Hg)
Keberadaan Cu di perairan dapat menyebabkan peningkatan produksi
mukus, negrosis pada sel epithel, hiperplasia epithel, terhambatnya kerja
aktifitas Na-K-ATPase, embrio, kelangsungan hidup menurun dan percepatan
penetasan telur.

Parasit Biota Akuatik | 107


Adam, SM. 1990. Status and use of biological indicator for evaluating the effect
of stress on fish. A.Fish.Society Symposium 8: 1-8

Alcaide, EE., Sanjuan, F. de la Gandara, A Garcia-Gomez. 2000. Susceptibility of


amberjack (Seriola dumerili) to bacterial fish pathogens. Bull.Eur. Assoc.
Fish Pathol. 20:153-156.

Almendras, JME. 2001. Immunity and biological methods of disease prevention


and control. In: Health management in aquaculture. G.D. Liopo, C.R.
Lavilla and E.R. Cruz-Lacierda (Eds.). Aquaculture Departement
Southeast Asian Fisheries Development Center, Philippines:111-136.

Anderson, DP. 1974. Fish immunology. Hongkong: TFH Publication Ltd. pp 182

Anderson, DP., AK Siwicki. 1995. Basic hematology and serology for fish health
programs. Paper presented in second symposium on diseases in Asian
Aquaculture “Aquatic Animal Health and the Environment”. Phuket,
Thailand. 25 – 29 thOctober 1993. 17 hal

Anderson, DP.1990. immunological indicators : Effects of environmental stress


on immun protection and disease outbreaks. A.Fis. society Symposium 8 :
38-50

Austin B., DA Austin. 2007. Bacterial fish pathogens. Fourth Edition. New
York: Praxis Publishing Ltd. pp 552

Blaxhall, PC., KW Daisley. 1973. Routine haematological methods for use with
fish blood. J. Fish Biol. 5: 577-581

Bullock, GL. 1971. Diseases of fishes. Book 2A: Bacterial diseases of fishes. TFH
Pub. Nepture pp. 42-50.

Clem, LW., E Faulman, NW Miller, C Ellsaesser, CJ Lobb, MA Cuchens. 1985.


Monocytes as accessory cells in fish immune respones. Developmental and
comparative immunology 9: 803 – 809

Evenberg, D., de Graaff D, Fleuren W, van Muiswinkel WB. 1986. Blood changes
in carp (Cyprinus carpio) induced by ulcerative Aeromonas
salmonicida infections. Vet. Immunol. Immunopathol., 12: 321-330.

Parasit Biota Akuatik | 108


Fange, R. 1982. A comperative study of lymphomieloid tissue in fish.
Developmental and comperative immunology (Supplement) 2: 23 – 33.

Ferguson, HW. 1989. Systemic pathology of fish. Lowa State University Press:
Ames. pp 263

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Penerbit Rineka Cipta. 179 hal.

Hinton, DE and DJ Lauren. 1990. Integrative histopathological approaches to


detecting effects of environmental stressors of fishes. American Fisheries
Society Symposium, 8:51-66

Kamiso, HN. 1996. Vibriosis pada ikan dan alternatif cara penanggulangannya. J.
Perikanan UGM (GMU J.Fish Sci.) 1 (1): 78 – 86

Kawahara, E and S Nomura. 1990. Lethality and immunogenicity of Aeromonas


salmonicida extracellular products to salmonids in R. Hirano and I.
Hanyu (Eds), Proc. Of The Second Asian Fisheries Forum, Tokyo Japan,
17-22 April 1989. 671-674

Lamas, J., Y Santos, D Bruno, AE Toranzo and R Anadon. 1994. A comparison of


pathological changes caused by Vibrio anguillarum and its extracellular
products in rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). J. of Fish Pathology, 29
(2):79-89.

Lusiastuti, AM. 2009. Potensi imunogenik sel utuh (whole cell) Streptococcus
agalactiae yang diinaktivasi dengan formalin untuk pencegahan
penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Laporan
Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen
Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan :
1-16

Mueller M, De la Pena A, Derendorf H. Issues in pharmacokinetics and


pharmacodynamics of anti-infective agents: kill curves versus MIC.
Antimicrobial agents and chemotherapy 2004;48:369-77.

Murdjani, M. 2002. Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolyticus pada


ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) [Desertasi]. Malang: Program
Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya.

Pasaribu, FH., N Dalimunthe dan M Poeloengan. 1990. Pengobatan dan


pencegahan penyakit ikan bercak merah. Prosiding Seminar Nasional
II Penyakit Ikan dan Udang 16-18 Januari. Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian: 143-152.

Rahadjo, MF. 1985. Ichtyologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor : 45-60

Parasit Biota Akuatik | 109


Roth, JA. 1988. Virulence mechanism of bacterial pathogens. American Society
for Microbiology, USA. pp 317

Sirirat, T., J Intuseth, J Chanphong, K Thompson, S Chinabut, A Adams. 1999.


Characterisation of Aeromonas hydrophila Extracellular Products with
Reference to Toxicity, Virulence, Protein Profiles and Antigenicity.
Asian Fisheries Science 12: 371-379

Subowo. 1993. Imunobiologi Klinik. Penerbit Angkasa. Bandung: 265 hal.

Wedemeyer, GA., WT Yasutake. 1977. Clinical methods for the assessment of


the effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of
the U.S. Fish and Wildlife Service. US depert. Of the Interior. J. Fish and
Wildlife Service 89: 1 – 17

Parasit Biota Akuatik | 110

Anda mungkin juga menyukai