University PRESS
Parasit
Biota
Akuatik
Esti Handayani Hardi
Esti Handayani Hardi
Editor : Susilo
Triana Fitriastuti
Kiswanto
ISBN : XXX-XXX-XXXXX-X-X
© 2015. Mulawarman University Press
Penerbit
Mulawarman University PRESS
Gedung LPPM Universitas Mulawarman
Jl. Krayan, Kampus Gunung Kelua
Samarinda – Kalimantan Timur – INDONESIA 75123
Telp/Fax (0541) 747432; Email : mup@lppm.unmul.ac.id
Buku ini menjabarkan tentang cakupan parasit pada biota akuatik, antara lain
pengertian parasit, penyakit dan ganguan pada kesehatan biota akuatik; sifat
adaptasi parasit pada tubuh inang; faktor-faktor ekternal dan internal yang
berpengaruh terhadap serangan parasit pada biota akuatik; diagnosa dan
penanggulangan penyakit; jamur, protozoa, krustace, cacing serta penyakit pada
udang, serta menjabarkan juga mengenai penyakit non parasiter.
Buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi mahasiswa yang mengambil
mata kuliah Parasit Biota Akuatik juga menjadi acuan dalam upaya mempelajari
penyakit parasitik pada kultivan budidaya khususnya ikan, udang, kepiting dan
biota budidaya lainnya.
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan buku ini masih terdapat kekurangan,
sehingga dibutuhkan saran dan masukan untuk perbaikan tulisan-tulisan
mengenai parasit biota akuatik selanjutnya.
I. PENDAHULUAN
A. Bentuk-Bentuk Hubungan (Simbiosis) ………………..………………………… 1
B. Hama dan Patogen ……………………………………………..……….……………………….. 2
C. Timbulnya Kejadian Penyakit Ikan ………………………………………………….. 3
5.1. Gejala Tingkah Laku dan Perubahan Organ Luar Ikan Amphiprion
ocellaris yang Terinfestasi Ektoparasit (Hardi, 2002) …………………….… 30
7.5. Bentuk Spora Henneguya sp. (kiri) dan Myxobolus sp. (kanan) ………….. 68
10.2. Karapas Udang yang Terinfeksi WSSV (A) dan Karapas Udang
Normal (B), serta Rod Shape Virus yang Menjadi Penyebab
WSSV (Sumber foto: Takahashi et. al, 2003) ……………………………………….. 98
10.3. Thallus Rumput Laut yang Terinfeksi Penyakit “ice-ice” …………………. 100
1) Lingkungan
Inang dan patogen dapat hidup dalam lingkungan (perairan) yang sama,
dan berinteraksi tanpa timbulnya penyakit. Tapi jika salah satu dari ke tiga
faktor tersebut berubah sehingga hubungan ketiganya juga berubah, penyakit
bisa muncul dan menyebar. Warren (1984) pernah menggambarkannya sebagai
timbangan dimana kondisi lingkungan diibaratkan anak timbangan tambahan
yang bisa bergeser ke salah satu faktor. Pergeseran tersebut bisa mempengaruhi
inang secara positif atau negatif. Penyebab ketidakseimbangan ini harus
ditentukan jika kita ingin mengembanglan pengertian tentang ketiga faktor
dan peranan yang dimainkan masing-masing. Berbagai perubahan kualitas air
yang mendadak atau mencapai kondisi ekstrim akan menimbulkan stress bagi
ikan yang tentu saja akan menurunkan daya tahan ikan. Demikian juga berbagai
bahan pencemar yang terdapat di peraiaran akan mempunyai pengaruh negatif
pada sistim kekebalan yang akhirnya meningkatkan kerentanan ikan terhadap
patogen. Berbagai penyakit yang dijumpai pada ikan budidaya seperti penyakit
LINGKUNGAN
Masukan Pada
Masukan Pada
Ketahanan Ikan
Populasi Parasit
Terhadap Penyakit
Hanya
Sedikit Penyakit
yang Disebabkan
PARASIT Secara Langsung IKAN
Karena Kondisi
Lingkungan
yang Buruk
PENYAKIT
Keterangan :
Pada saat terjadi sebuah kasus kematian atau sakitnya hewan budidaya,
maka perlu dilakukan suatu pemeriksaan. Untuk ketepatan pemeriksaan perlu
dilakukan persiapan sampel hewan budidaya yang akan diperiksa. Agar hasil
pemeriksaan tidak terjadi kerusakan sampel dan benar-benar menggambarkan
kondisi ikan maupun perairan maka perlu dilakukan pemilihan ikan sampel dan
penanganan ikan sampel sebelum dibawa ke laboratorium untuk pemeriksanaan
lebih lanjut. Adapun beberapa langkah yang harus dilakukan adalah:
1. Pemilihan ikan sampel, ikan yang akan dikirim untuk diperiksa terdiri atas:
a) Ikan yang diduga terinfeksi penyakit yaitu ikan menunjukkan gejala sakit
seperti berenang lemah, adanya luka, sisik lepas, berlendir.
b) Ikan yang baru saja mati, kematian tidak lebih dari 1-2 jam
c) Ikan yang kondisinya sehat sebagai pembanding.
2. Penanganan ikan sampel
Jika ikan sampel hidup, maka ikan diletakkan dalam kantong plastik yang
berisi air dan diberi oksigen. Dan jika ikan sampel mati, maka sebaiknya ikan
disimpan dalam termos es atau dalam wadah yang berisi es (pendingin),
untuk mengurangi kerusakan jaringan.
A. ADAPTASI PARASIT
Setiap parasit memiliki adaptasi spesifik untuk hidup pada tubuh inang
termasuk morfologi dan fisiologi adaptasi. Adaptasi parasit menurut Raabe
(1964) adalah keseluruhan karakteristik hewan yang dapat membatu dalam
populasi untuk hidup, tumbuh dan bereproduksi menjadi lebih banyak, di
bawah kondisi yang ada pada habitatnya.
2. Adaptasi Fisiologi
Adaptasi fisiologi merupakan adaptasi yang terkait dengan fisiologi
tubuh parasit untuk dapat hidup di dalam inang. Adaptasi fisiologi sangat
bergantung dengan tempat parasit hidup. Beberapa parasiy yang hidup di dalam
saluran pencernaan ikan umumnya menghasilkan enzyme anti enzy pencernaan
dengan tujuan untuk menetralisir, agar parasit tidak ikut tercerna pada saat
inang mencerna makanan. Beberapa parasit juga membungkus dirinya dengan
asam amino yang sama dengan asam amino inang dengan tujuan agar tidak
kenali sebagai benda asing. Cacing schistomiasis melakukan Penyamaran
antigenik (antigenic mimicry) yaitu parasit cacing dewasa dapat memperoleh
antigenik jaringan inang untuk menyelubungi dirinya sehingga sistem imun
inang gagal mengusir parasit cacing tersebut.
Penyebaran parasit dari satu inang ke inang yang lain dalam satu
populasi, dilakukan dengan cara yang beraneka ragam tergantung pada spesies
dari parasit itu sendiri. Cara invansi parasit pada inang, dapat dilakukan dengan
4 (empat) cara, yaitu melalui kontak secara langsung, saluran pencernaan,
phoresis (membutuhkan perantara/hewan pembantu) atau dengan cara
menembus permukaan kulit.
1. Kontak Langsung
Invansi parasit terjadi melalui kontak secara langsung antara terjadi pada
ikan sehat dengan ikan yang telah terinvansi parasit terlebih dahulu. Padat
penebaran yang tinggi pada budidaya ikan menjadi salah satu penyebab
penyebaran parasit melalui cara ini. Cara ini umumnya digunakan untuk
penyebaran larva parasit dan terkadang juga parasit dewasa (digunakan oleh
parasit yang memiliki siklus hidup yang sederhana), contohnya adalah
parasit ciliata, Trematoda monogenea, copepoda, isopoda, branchiurans.
2. Melalui Saluran Pencernaan
Invansi parasit dengan cara melalui saluran pencernaan ini pada umumnya
dilakukan setelah fase invasif dari parasit (telur, larva, spora) yang masuk ke
dalam inang bersama makanan. Biasanya dilakukan oleh parasit yang
memiliki siklus hidup yang kompleks, contohnya adalah jenis protozoa
seperti Coccidiomorpha dan Cnidesporidia, Digenea trematoda, cestoda, nematoda
dan acantocephala.
3. Phoresis (Membutuhkan Perantara/Hewan Pembantu)
Transportasi parasit ini dilakukan dari satu inang ke inang lain melalui
hewan lain. Cara ini pada umumnya digunakan untuk jenis parasit darah
Seperti sudah dijelaskan pada bab awal mengenai parasit dan penyakit
itu sendiri, maka bab ini selanjutnya akan membahas tentang faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap serangan parasit pada biota akuatik. Faktor eksternal
yang dimaksud adalah faktor-faktor luar (dari ikan) yang berpengaruh terhadap
tingkat patogenitas dari parasit itu maupun faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kesehatan ikan sebagai inang, karena sistem ketahanan ikan sangat
berpengaruh terhadap kemampuan parasit menginfestasinya. Pada saat kondisi
ikan sebagai inang dalam keadaan baik maka, dia akan mampu menghalau
masuknya parasit dalam tubuhnya. Faktor ekternal yang berpengaruh terhadap
kondisi kesehatan ikan antara lain, lingkungan, vektor dan parasit itu sendiri.
1. Lingkungan
Sistem pertahanan tubuh (sistem imun) dipengaruhi oleh keseimbangan
dan ketidakseimbangan antara lingkungan dan ikan itu sendiri. Dalam kondisi
normal, ikan berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam interaksi ini semua
sistem bekerja. Apabila kondisi perairan tempat ikan hidup telah mengalami
perubahan karena ada bahan-bahan yang masuk secara terus menerus dalam
a) Fisika Perairan
Parameter yang termasuk dalam fisika perairan, antara lain temperatur,
salinitas (Tekanan Osmotik), kekeruhan/kecerahan, TDS/TSS, kuat arus, warna,
rasa dan bau.
Temperatur dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh langsung biasanya berefek mematikan pada saat berada di atas
ataupun di bawah suhu normal (± 5 oC) tiap individu memiliki kisaran suhu
yang berbeda sehingga dampak yang ditimbulkan juga bisa berbeda. Dampak
lain yang lebih berbahaya adalah dampak yang tidak mematikan tetapi bersifat
letal. Pada kisaran suhu ini ikan tidak mati namun masih dalam tahap
mengganggu proses fisiologis dan metabolisme di dalam tubuhnya saja.
pengaruh yang tidak langsung maksudnya adalah bahwa suhu ini sangat
mempengaruhi kondisi kualitas air yang lain, artinya suhu dapat menjadi pemicu
atau penurunan kualitas air yang lain seperti oksigen, karbondioksida dan pH.
Pada saat suhu naik menyebabkan gas oksigen turun ini biasanya yang
menyebabkan ikan hipoksia. Pada saat suhu turun, berpengaruh terhadap pH
atau drajat keasaman yang akan di bahas pada kimia air pada sub bab
berikutnya.
Salinitas termasuk dalam parameter dalam fisika air, meskipun salinitas
juga terkait dengan faktor kimia air. Salinitas ini biasa diukur karena selain
berkaitan dengan oksigen dan unsur atau senyawa kimia lain dalam perairan
seperti unsur fosfor/F, calsium/Cl, brom/Br, dan iodium/I yang semuanya
b) Kimia Perairan
Beberapa parameter yang masuk dalam indikator kimia adalah : Asam
basa, CO2, gas oksigen (O2), gas amonia (NH 3), amonium (NH 4+) dan gas lain
(P2, S2, CH4).
Asam basa perairan ini terkait dengan i) nilai basa (pH), ii) aciditas/
alkainitas, iii) kesadahan, iv) kalsium (Ca++), v) buffer/larutan penyangga.
Pengukuran pH ini dipentingkan karena parameter ini dapat menyebabkan ikan
atau biota dalam suatu perairan mati mendadak. Itu disebabkan karena pada
saat pH rendah, ion H + tinggi ini menyebabkan ion – (negatif) dalam insang
keluar dan ion + (positif) masuk ke dalam insang sehingga keseimbangan sel
insang jadi tidak seimbang, akibatnya insang berlendir yang menyebabkan O2
sulit diserap insang masuk ke dalam tubuh ikan.
2. Vektor
Vektor merupakan agen pembawa penyakit, biasanya hidup di perairan
bersama hewan budidaya atau secara luas berarti pembawa atau pengangkut.
Dalam parasitologi, vektor didefinisikan sebagai hewan yang memindahkan
parasit stadium infektif dari hewan penderita ke hewan penerima. Hewan yang
memindahkan agen penyakit itu aktif bergerak dari satu tempat ke tempat lain,
jadi dengan arah atau tujuan tertentu. Kelompok krustacea biasanya menjadi
pembawa penyakit di areal tambak udang. Keberadaan vektor di areal budidaya
sangat berpengaruh terhadap masuknya patogen dan serangan patogen terhadap
ikan.
Ada tiga sumber yang secara nyata keberadaan hewan lain diluar kultivan
budidaya membahayakan keberlangsungan budidaya yaitu:
Hewan yang berperan sebagai host-antara parasit ikan, atau parasit yang
memerlukan ikan sebagai host-antara. Misalnya: keong air, katak, moluska,
burung.
Hewan yang berfungsi sebagai vektor (pembawa penyakit). Misalnya leech
Hama dan organisme pengganggu. misalnya ular, burung, larva insekta.
1. Genetika
Genetik memegang peranan penting dalam susunan komponen sistem
imun ikan. Jaringan limfoloid ikan merupakan jaringan yang bertanggungjawab
terhadap sistem imun ikan. Susunan jaringan limfoloid yang tidak sempurna
atau yang mengalami kelainan akan lebih menyebabkan ketahan tubuh, atau
sistem imun ikan tidak sempurna. Perbedaan jenis ikan pada umumnya juga
berpengaruh terhadap komponen-komponen sistem imunnya. Keberadaan
komponen sistem imun pada biota akutik menjadi penentu dalam sistem
2. Nutrisi
Nutrisi juga sangat mempengaruhi kesehatan ikan, pakan yang seimbang
antara nutrien, mineral, protein, lemak, karbohidrat sesuai denga kebutuhan si
ikan sangat penting agar tidak terjadi mall nutrisi. Karena ada penyakit non
infeksius yang disebabkankarena kekurangan ataupun kelebihan nutrisi. Ikan
yang kekurangan vitamin A pada pakannya cenderung mengalami eksoptalmia
(mata menonjol) pada mata, eksoptalmia juga dapat terjadi karena faktor infeksi
patogen namun dengan kondisi yang berbeda. Jika eksoptalmia yang disebabkan
oleh patogen adalah karena pembesaran atau hiperplasia pada sel choroid mata,
sedangkan jika kekurangan vitamin A biasanya disebabkan karena adanya
hiperplasia pada pembuluh darah di mata. Nutrisi dalam pakan sangat
berpengaruh terhadap status kesehatan suatu organisme. Pakan yang masuk
kedalam tubuh dimanfaatkan untuk metabolisme tubuh, salah satunya adalah
proses ketahanan tubuh, sehingga pakan yang seimbang sesuai dengan yang
dibutuhkan akan menunjang proses dalam tubuh (sistem pertahanan tubuh
akan berfungsi dengan baik).
4. Aktivitas Ikan
Aktivitas ikan juga secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat
kesehatan ikan dan juga serangan parasit. Salah satu cara penyebaran penyakit
adalah melalui kontak dengan ikan yang terinfeksi sehingga ikan-ikan dengan
aktivitas tinggi cenderung lebih sering berinteraksi dengan ikan lain yang
menyebabkan lebih mudah terinfeksi penyakit infeksius. Selain itu, ikan-ikan
yang beruaya seperti ikan salmon cenderung akan lebih sering terinfeksi parasit
karena habitatnya yang luas, dari daratan hingga lauatan yang luas.
Tabel 5.1. Gejala Tingkah Laku dan Perubahan Organ Luar Ikan Amphiprion
ocellaris yang Terinfestasi Ektoparasit (Hardi, 2002)
No Jenis Parasit Organ Target Gejala Tingkah Laku Gejala Pada Organ Luar
1 Trichodina sp Sisik, kulit, Berenang normal Sirip atau sisik banyak
insang sirip Ikan megap-megap yang lepas
Berenang lambat, Sirip dada gripis
agak miring dan ada Tubuh berlendir
yang berenang aktif Warna kulit kusam
Menggosokan Insang tampak pucat
tubuh ke dinding dan terlihat ada
akuarium pembengkakan
2 Brookynella Sisik, kulit Berenang normal Ada bercak merah dan
sp. dan sirip Ikan megap-megap luka di daerah
Berenang cepat, terinfeksi
terkadang diam di Tubuh tampak kusam
dasar akuarium Produksi lendir
Berenang lambat, berlebih
lemah, megap- Sisik mulai lepas
megap
3 Criptocaryon Kulit Berenang cepat, Tubuh berlendir
sp. terkadang diam di
dasar akuarium
Mengibaskan sirip
4 Oodinium sp. Sisik, kulit, Berenang aktif, Produksi lendir
insang, sirip megap-megap berlebih
Berenang lambat, Sisik mudah lepas
agak miring dan Tubuh, insang tampak
lemah pucat dan terjadi
Mengibaskan ekor pembengkakan di
Menggosokan insang
tubuh dan sirip ke
dinding akuarium
5 Dactylogyrus Insang, sisik Megap-megap Sisik mudah lepas
sp. Berenang lambat, Insang tampak
agak miring dan kemerahan
lemah
Gejala tingkah laku atau pola renang dapat dijadikan sebagai indikasi
adanya serangan patogen (ektoparasit dan endoparasit), beberapa gejala tingkah
laku ikan mas yang dibudidayakan dalam karamba di sepanjang sungai
Mahakam Wilayah Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai tampak pada tabel
berikut :
Tabel 5.2. Hubungan Gejala Tingkah Laku Ikan Mas dengan Infeksi Ektoparasit
yang Menginfeksi
Gejala Tingkah Laku
Jenis Ektoparasit Ikan Berenang Miring Tubuh Ikan Warna Tubuh
dan Gasping Mengkilap Kusam
Diplozoon √ X X
Epistylis √ X √
Gyrodactylus √ X X
Trichodina √ X X
Oodinium X X X
Dactylogyrus √ √ √
Tabel di atas menunjukkan bahwa gejala awal yang tampak jika ikan
mengalami gangguan dalam hal ini terinfeksi parasit adalah ikan berenang
lemah, miring dan berenang gasping. Ikan yang terinfeksi Dactylogyrus
menunjukkan tubuh yang mengkilap ini biasanya disebabkan karena produksi
lendir yang berlebih. Dactylogyrus biasanya menginfeksi bagian kulit ikan.
Keterangan :
N = Ikan tampak normal, tidak ada perubahan patologi anatomi luar
1 = Mulut kemerahan dan terdapat luka
2 = Luka di bagian operculum dan kepala beraturan
3 = Exathalmus/adanya luka pada mata
4 = Insang berdarah dna letaknya tidak beraturan
5 = Sisik lepas
6 = Terdapat luka di permukaan tubuh dan perut
7 = Luka/kemerahan di semua bagian sirip tubuh
8 = Sirip ekor kemerahan dan gripis
9 = Terdapat luka di bagian punggung
Tabel 5.5. Patologi Anatomi Makroskopis Organ Luar Ikan Nila Pasca Diinjeksi
Streptococcus agalactiae Tipe Berbeda
Patologi Anatomi Organ Luar Waktu Terjadi (Pasca Injeksi) (jam)
Secara Makroskopis Non-Hemolitik β-Hemolitik
Garis vertical tubuh menghitam 6 24
Clear operculum 24 72
Mata mengkerut 24 264
Eksoptalmia & purulens 96 120
Pendarahan di mata 24 X
Ulcer pada kepala 264 X
Abses pada perut 336 X
“C” shape 288 X
Keterangan : (X) tidak ditemukan adanya gejala
Keterangan:
MTD = Mean Time to Death (rerata waktu kematian)
A = waktu kematian (jam)
B = jumlah ikan mati setiap waktu pengamatan
a. Persiapan Serum
Serum darah ikan diambil dengan cara mengambil darah pada vena caudalis dan
ditampung dalam eppendorf, kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm selama 3
menit. Setelah serum terpisah dari sel darah, serum dipisahkan dan diinkubasi
pada suhu 44oC selama 20 menit untuk mengaktifkan komplemen (Sakai, 1987).
Serum selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator pada suhu 4 oC untuk
pengamatan titer antibodi.
a. Preparasi Preparat
Fiksasi jaringan bertujuan untuk mematikan sel dan mengeraskan
jaringan secara cepat. Jaringan yang berasal dari ikan cenderung cepat
b. Teknik Fiksatif
Ada beberapa larutan fiksatif yang dapat digunakan, tergantung pada
jenis jaringan, spesies ikan dan tujuan pemeriksaan. Macam larutan-larutan
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Buffered formalin
37-40% formaldehyde 100 cc
Distilled water 900 cc
Sodium Phosphate monobasic 4 g
Sodium Phosphate dibasic (anhydrous) 605 g
2) Larutan Bouin
Picric acid, saturated aqueous solution 750 cc
37-40 % formaldehyde 250 cc
Glacial acetic acid 50 cc
3) Larutan Davidson
Formaldehyde 4% 220 ml
Ethyl alcohol 95% 330 ml
Asam asetat glacial 115 ml
Aquadest 335 ml
5) Larutan Dekalsifikasi
Sodium chloride (36%) 50 cc
Aquades 42 cc
Hydrochloric acid (pure) 37 % 8 cc
c. Teknik Emmbeding
Sampel yang sudah dipotong kecil pada bagian yang mengalami
perubahan dimasukkan ke dalam kaset yang sudah diberi label kemudian
dilakukan proses dehidrasi untuk mengeluarkan air dari dalam jaringan dengan
menggunkan alkohol secara bertahap mulai dari konsentrasi rendah ke
konsentrasi tinggi, agar organ sampel tidak mengkerut. Selanjutnya dilakukan
clearing (penjernihan) dengan menggunkan xylen, chloroform atau benzene dan
diikuti dengan emmbeding dengan paraffin. Macam larutan dan lama
pencelupan dapat dilakukan seperti tiga metode dibawah ini :
1) Metode I
Alcohol 80% 1-2 jam
Alcohol 95% (2X) @ 1-2 jam
Alcohol absolute (3X) @ 1-2 jam
Xylene (2X) @ 1-2 jam
Paraffin cair (3X) @ 1 jam
Diblock dalam paraffin dan didinginkan cepat.
2) Metode II
Alcohol 80% (2X) @ 1-2 jam
Alcohol 95% (2X) @ 1-2 jam
Alcohol absolute (3X) @ 1-3 jam
Chloroform (2X) @ 1-2 jam
Paraffin cair (3X) @ 1 jam
Diblock dalam paraffin dan didinginkan cepat.
d. Pemotongan Jaringan
Blok paraffin yang sudah berisi jaringan atau organ sempel diletakkan
pada holder yang sesuai untuk mikrotom. Permukaan blok dipotong bagian
tepinya sehingga hanya disisakan paraffin yang ada jaringannya. Setelan diatur
sedemikian rupa agar permukaan sayatan sejajar dengan mata pisau, maka
dilakukan pemotongan jaringan dengan ketebalan 6 - 7. Hasil potongan yang
tipis dan menyerupai pita ditaruh di atas permukaan air didalam waterbath
(40o), diusahakan jaringan mengembang dengan baik. Jaringan kemudian
diangkat dan menempel pada gelas obyek yang telah diolesi dengan mayer’s egg
albumin. Preparat jaringan dibiarkan semalam atau disimpan dalam incubator
37oC agar melekat erat pada gelas objek dan tidak terlepas saat pewarnaan.
Mayer’s egg dibuat dari campuran putih telur sebnayak 50cc dan glycerin
sebanyak 50 cc. Setelah dicampur dan disaring dengan baik kemudian diberi
larutan thymol agar tahan lama.
e. Pewarnaan
Pewarnaan pada sampel histology yang sudah dibuat sangat bergantung
dengan tujuan pengamatan. Beberapa pewarna sederhana yang biasa digunakan
untuk pengamatan kerusakan pada jaringan dan sel ikan adalah :
3) Pewarna Giemsa
Pengecatan ini bertujuan untuk menunjukkan adanya riketsia atau
metaserkaria dalam jaringan atau organ. Larutan yang digunakan adalah zenker
atau formalin 10%. Larutan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Larutan Buffered Water pH 6.5, yang terdiri atas buffer salts (pH 6.8)
sebanyak 1 g dan distilled water sebanyak 1000 cc.
Larutan Giemsa Stain, yang terdiri atas giemsa stain sebanyak 1 cc dan
buffered water pH 6.8 sebanyak 50 cc.
Larutan Stok rosin Alcohol, yang terdiri atas rosin sebanyak 10 g dan alcohol
absolut sebanyak 100 cc.
1. Pemeriksaan ektoparasit
Pemerikisaan ini bertujuan untuk mencari dan menentukan identitas
ektoparasit tergolong protozoa, metazoa, cacing, golongan crustacea dan
arthropoda pada biota akuatik baik ikan, udang, kepiting, molusca dan
gastropoda. Pemeriksaan ektoparasit memerlukan ikan segar yang hidup atau
baru saja mati dan dalam keadaan basah, karena beberapa cacing parasit akan
berpindah jika inangnya mati. Akibatnya lokasi yang normal bagi parasit
tersebut di tubuh ikan menjadi tidak pasti. Jika nekropsi terpaksa ditunda, ikan
harus disimpan dalam kulkas (refrigerator) atau cooler dan diberi es.
Pemeriksaan bagian luar tubuh ikan dimulai dengan mengamati dengan
teliti keadaan bagian luar tubuh ikan secara umum dan dilanjutkan dengan
memeriksa lendir dari lamella insang, tubuh, sirip, hidung dan mulut dengan
mikroskop. Pemeriksaan ektoparasit dapat dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut :
a) Catat spesies ikan, perairan asal, nomor sampel dan tanggal pemeriksaan.
b) Perhatikan tingkah laku ikan dan catat gejala klinis tingkah laku yang ada,
seperti berenang dengan lesu, terkejut, menggesekkan tubuh ke pinggir
akuarium.
c) Catat gejala klinis yang terdapat pada bagian luar tubuh seperti luka kecil,
borok, lendir yang berlebihan, warna yang tidak normal, bentuk tubuh,
lendir yang berlebihan atau adanya struktur seperti benang. Beberapa
protozoa seperti Henneguya sp dan Myxobolus sp membentuk kista berwarna
2. Pemeriksaan Endoparasit
Pemeriksaan endoparasit biasanya dilakukan setelah pemeriksaan
ektoparasit. Pemeriksaan parasit yang biasanya dapat terlihat adalah golongan
protozoa, metazoa, cacing, golongan crustacea dan arthropoda pada biota
akuatik baik ikan, udang, kepiting, molusca dan gastropoda. Prosedur yang
dilakukan yaitu, membuka rongga tubuh ikan dan memeriksa organ dalam satu
persatu antara lain ginjal, hati, usus, lambung, limpa dan jantung.
3. Hygiene
Kebersihan tidak hanya dilakukan terhadap pelaksana, tempat bekerja
dan lingkungan, akan tetapi dilakukan terhadap seluruh fasilitas, media dan
hewan budidaya sehingga memenuhi standard kesehatan dan keselamatan kerja.
a) Desinfeksi habitat, desinfeksi habitat meliputi kegiatan pencucian dan
pemeliharaan keberhasilan air, dasar kolam/bak, reservoir, kanal dan habitat
ikan lain, melalui pengeringan secara periodik. Perbaikan, pengangkatan
Lumpur dan levelling dasar kolam dilakukan secara rutin sehingga air dapat
terbuang dengan sempurna. Pengeringan setidaknya dilakukan setiap siklus
budidaya.
b) Desinfeksi alat, untuk mencegah tersebarnya patogen darii satu kolam ke
kolam lain, alat-alat yang digunakan harus didesinfeksi. Setiap set alat hanya
digunakan untuk kolam tertentu dan tidak di campur. Setiap selesai
menggunakan, harus direndam pada larutan desinfeksi. Pelaksana juga
disarankan selalu mencuci tangan dan kaki/sepatu sebelum dan sesudah
memasuki unit budidaya.
c) Desinfeksi ikan, ikan hendaknya didisinfeksi setiap 6 bulan sekali atau
dalam satu siklus produksi dilakukan 2–3 kali desinfeksi. Kegiatan ini bisa
diterapkan untuk semua jenis dan ukuran ikan dengan tujuan mencegah
infeksi ektoparasit. Bahan yang digunakan untuk desinfeksi antara lain :
larutan garam, larutan ammonia, copper sulphate, potassium permanganat
dan lain-lain.
1. Order Saprolegniales
Penyakitnya disebut juga saprolegniasis (Cotton Wool Disease), biasanya
terdapat pada air tawar dan substrat, dapat juga menjadi parasit tanaman dan
hewan. Jamur ini bersifat saprolitik yaitu mengambil nutrien dari sisa-sisa
makhluk hidup dan merupakan parasit opurtunistik yang terbiasa ada di
lingkungan perairan. Beberapa jenis ikan air tawar dan telur ikan, sering
dilaporkan terinfeksi jenis jamur ini bahkan menjadi patogen utama.
4. Golongan Branchiomycetes
Branchiomycosis merupakan penyakit ikan yang disebabkan jamur
Branchiomyces sanguinis. Inang definitif dari jamur ini dilaporkan meliputi Cyprinus
2. Geographical Distribution
Dari hasil pengamatan, Ic yang diidentifikasi dari jaringan inang yang
terinfeksi menunjukkan adanya karakteristik morfologi yang berbeda (luka yang
tampak nyata). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya perbedaan tahap
perkembangan, fase sexual, bentuk dan ukuran jamur pada saat menginfeksi.
Perbedaan bentuk jamur yang menginfeksi bias berbeda antar inang, kondisi
inang hidup (kualitas air). Keberadaan Ic dipengaruhi oleh pH, CO2, glukosa,
salinitas perairan. Ukuran diameter spora Ic berkisar 10-250 µm. ini menyerang
granuloma jaringan. Temperatur pembatas Ic 25°C pada pH rendah selama 4-5
jam.
3. Siklus Hidup
a) Resting spore: dinding sel tipis, memiliki granular cytoplasma dibungkus
oleh ribosom, terkadang memiliki mitokondria dengan tubular cristae dan
beberapa inti, disekitar spora dikelilingi oleh lingkaran kecil dan besar yang
merupakan reaksi dari jaringan inang yang terinfeksi. Phase ini bertahan 3-5
jam pada berbagai PH.
b) Hyphae (phase kecambah) : phase ini kadang bercabang, tahap ini hampir
sama seperti yang ditemukan pada inang yang telah mati.
c) Uninucleate stages: setelah dinding pecah, bentuk ini memiliki kemampuan
amoeboid mampu berpindah dari 1 inang ke tempat lain dan mampu
bertahan 1-5 hari, dan ini diduga sebagai endospores (tahap menginfeksi).
1. Ichthyopthirius multifilis
a. Biologi dan Distribusi Geografis
Ichthyopthirius multifilis (sinonim= “Ich”) adalah salah satu dari protozoa
ektoparasit yang paling penting pada ikan. Protozoa berambut getar ini
termasuk dalam kelas Olygohymenophorea, ordo Hymenostomatioda, famili
Ophryoglenidae, genus Ichtyopthirius. Parasit I. multifilis adalah satu-satunya
spesies dalam genus ini. Penyakit yang ditimbulkan disebut Ichthyopthiriasis,
white spot, bintik putih dan Ich. Ich adalah parasit obligat yang mempunyai
distribusi geografis yang sangat luas di dunia dan menyerang semua jenis ikan
air tawar di seluruh dunia. Penyakit ini merupakan penyakit serius yang
menyebabkan kematian yang tinggi dan kerugian ekonomi pada ikan konsumsi
maupun ikan hias air tawar tropis. Serangan Ich sangat ganas pada kondisi
akuarium yang volume airnya sangat terbatas. Parasit I. multifilis cukup sering
ditemukan pada ikan salmon kultur, akan tetapi efek yang ditimbulkan tidak
separah pada ikan tropis.
Sel I. multifilis berbentuk bulat/oval dan silia yang terdapat di seluruh
permukaan tubuh (holotrich). Ich merupakan parasit protozoa ikan terbesar.
Trofozoit atau trofon atau tomon (Ich dewasa) memiliki diameter sel 0,5–1,0
mm, membenamkan diri di bawah lendir di lapisan epidermis ikan dan dapat
terlihat sebagai bintik putih dengan mata telanjang. Makronukleus besar
berbentuk seperti huruf C atau tapal kuda dan hanya terlihat pada organisme
yang dewasa. Makronukleus Ich yang masih muda tampak berbentuk seperti
sosis (Gambar 7.1).
b. Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi parasit Icthyopthirius multifilis ini akan menunjukkan
gejala klinis penyakit Ichthyopthiriasis antara lain:
Adanya bintik putih atau abu abu pada kulit, insang dan sirip yang tertelatak
di bawah lapisan lendir. Ini adalah gejala klinis yang khas dari penyakit ini.
Dalam beberapa kasus infestasi hanya terbatas pada insang.
Warna tubuh memudar dan adanya produksi lendir yang berlebihan
Ikan lesu, nafsu makan berkurang dan bernafas dengan megap megap.
Ikan menggosok goskkan badannya ke dinding kolam, berenang tidak
normal dan gelisah.
c. Diagnosa
Diagnosa penyakit Ich dilakukan dengan cara mengamati gejala klinis
terutama adanya bintik putih dan dipastikan dengan pemeriksaan lendir kulit,
sirip dan insang dengan mikroskop. Trofon terlihat berbentuk bulat sampai oval,
bergerak menggelinding lambat dengan menggunakan silia yang dapat terlihat
objektif berkekuatan tinggi. Nukleus berbentuk tapal kuda sering terlihat dan
merupakan kunci identifikasi. Theron bersilia pada tahap infektif yang berenang
bebas berbentuk buah persik, bergerak aktif dan berdiameter 30- 45 mm.
Keterangan Gambar :
Trofozoit matang dalam lapisan epidermis kulit ikan.
Trofon (trofozoit yang dewasa) meninggalkan inang mensekresikan lapisan
gelatin yang tebal dan melekat pada kayu, batu, dinding kolam/akuarium dan.
Trofon melakukan pembelahan mitosis menghasilkan 250-1000 tomit yang
merupakan unit yang menginfeksi.
Trofon pecah, tomit berenang mencari inang.
Tomit menembus kulit inang dan berkembang menjadi tomon dan selanjutnya
berkembang menjadi trofon
Gambar 7.2. Siklus Hidup I. multifilis (Sumber: Wilfred Hass, diunduh pada
tanggal 9 Januari 2013)
e. Pengendalian
Ich yang membenamkan diri dibawah lendir di kulit dan insang ikan
umumnya tahan terhadap terapi bahan kimia, oleh sebab itu sasaran terapi
adalah Ich yang berada di air. Cara pengendalian Ich adalah sebagai berikut:
Pencegahan merupakan cara pengendalian yang terbaik. Pencegahan dapat
dilakukan dengan mengkarantinakan ikan dan tumbuhan air yang datang,
minimum 3 hari tergantung pada suhu air, menggunakan peralatan terpisah
untuk setiap wadah dan desinfeksi peralatan. Ich dapat menular melalui
jaring dan serok.
Meningkatkan aliran air.
Mengurangi kepadatan.
Memindahkan ikan dan membiarkan kolam/akuarium tanpa ikan selama
beberapa hari. Sebaiknya selama periode ini suhu dinaikkan karena pada
suhu tinggi laju reproduksinya akan meningkat. Dengan cara ini, tomit akan
mati karena tidak menemukan inang. Metoda tersebut memanfaatkan sifat I.
multifilis yang merupakan patogen obligat.
Terapi dengan metoda perendaman. Obat yang digunakan adalah KMnO4 2-
4 ppm selama 30 menit sampai 1 jam, NaCl 3 % selama 1 jam dan Malachyte
green 1,5 ppm selama 6 jam. Terapi dapat diulangi sesuai kebutuhan.
Gambar 7.3. Tricodina sp. (a) Tampak Ventral, (b) Tampak Atas
b. Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi ringan (1-2) ekor tidak menunjukkan gejala klinis
terinfeksi. Akan tetapi kondisi dapat berkembang menjadi parah jika ada faktor
pemicu perkembangan Trichodina seperti kandungan bahan organik yang tinggi
dan kepadatan yang tinggi. Gejala klinis ikan yang terinfeksi Trichodina adalah
sebagai berikut :
c. Diagnosa
Diagnosa dilakukan dengan mengamati preparat ulas lendir kulit, sirip
dan insang di bawah mikroskop. Dalam keadaan tertelungkup akan terlihat sel
terlihat seperti topi dan bergerak dengan cepat sedangkan jika dalam kondisi
terlentang terlihat seperti roda sepeda. Dentikel tersusun seperti jari jari sepeda.
b. Gejala Klinis
Gejala klinis ikan yang terinfeksi costiasis menunjukkan bercak-bercak
kusam dan selaput keputihan pada kulit yang meluas serta ditutupi oleh lendir
yang banyak terutama di tempat parasit melekat, sirip koyak koyak dan lepas,
insang pucat dan tertutup lendir, nafsu makan berkurang, dan ikan tampak
bernafas megap megap.
e. Pengendalian
Pengendalian Ichtyobodiasis dapat dilakukan dengan cara memperbaiki
kondisi budidaya, mengurangi kepadatan, dan menghindari ikan liar. Parasit ini
rentan terhadap terapi antiprotozoal yang umum digunakan. Gratzek (1993)
menyarankan treatment dalam 25 ppm formalin selama 4–8 jam, diikuti dengan
penggantian air sampai 75%. Terapi Post (1987) lebih menyarankan melakukan
perendaman dalam Malachyte green 0,1–0,15 ppm selama 1–2 jam dan diulangi
4. Henneguya sp.
a. Biologi dan Distribusi Geografis
Henneguya termasuk dalam famili Myxobolidae, yang merupakan salah
satu dari genera protozoa myxosporidia yang menginfeksi ikan air tawar tropis.
Parasit ini kosmopolit dan menginfeksi berbagai spesies ikan air tawar di dunia.
Henneguya sering dijumpai pada insang dan sirip punggung ikan liar dan
berbagai jenis ikan hias seperti ikan mas koki (Desrina et al, 2001) dan corydoras
dan ikan budidaya terutama ikan gurami. Spora Henneguya sp terdapat dalam
sista, berbentuk fusiform atau oval, mempunyai 2 kapsul polar, dan struktur
seperti ekor yang khas pada genus ini. Jenis myxosporidia lain yang sering
dijumpai pada ikan di Indonesia adalah Myxobolus. Bentuk spora oval dan tidak
mempunyai ekor. Beberapa spesies memiliki sifat inang spesifik. Post (1987)
mengemukakan bahwa di Amerika Serikat sudah teridentifikasi 17 spesies dan di
Eropa sebanyak 18 spesies. Dikemukakan juga bahwa jenis yang terdapat pada
suatu perkolaman bisa saja berbeda dengan perkolaman yang lain.
Gambar 7.5. Bentuk Spora Henneguya sp. (kiri) dan Myxobolus sp. (kanan)
b. Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas pada henneguyasis adalah adanya sista putih
umumnya berdiameter 0,5–1,0 mm yang terdapat di dalam dan diantara lamella,
sirip punggung, sirip perut, usus, jantung, ginjal, limpa dan kadang kadang
sepanjang mesenteri. Jumlahnya sedikit sampai banyak, ukurannya bervariasi
dari mikroskopis sampai berdiameter beberapa milimeter. Henneguya postexilis
c. Diagnosa
Diagnosa penyakit henneguyasis adalah dengan memperhatikan adanya
sista pada pengamatan eksternal tubuh. Sista diambil dan diletakkan pada kaca
objek dan dipecahkan dengan memberi sedikit tekanan pada kaca penutup.
Dibawah mikroskop akan terlihat ribuan spora Henneguya. Cara lain adalah
dengan mengamati seksi histologi dari area yang terinfeksi dan identifikasi spora
yang tipikal. Spora diklasifikasikan menurut genus berdasarkan posisi kapsul
polar di dalam spora. Sepintas sista Henneguya mirip dengan benjolan yang
disebabkan bakteri Mycobacterium sp yang menyebabkan penyakit TBC ikan.
Akan tetapi hasil pengamatan sista dengan mikroskop perbesaran 400x akan
mampu membedakannya. Penyakitnya disebut henneguyasis.
e. Pengendalian
Cara terbaik mengendalikan parasit ini adalah dengan pencegahan yaitu
menghindari ikan yang terinfeksi. Jika ikan yang terinfeksi sedikit, sista dapat
5. Epistylis sp.
a. Biologi dan Sebaran Geografis
Epistylis sp. (sinonim Heteropolaria spp) berbentuk lonceng dengan
tangkai yang berrcabang cabang dan tidak berkontraksi (Gambar 11). Parasit ini
hidup berkoloni, sesil dan melekat. Penyakit yang ditimbulkan disebut
epistyliasis. Parasit ini hidup di air tawar di seluruh dunia dan belum diketahui
apakah merupakan ektokomensal atau parasit. Ada beberapa spesies Epistylis
yang hidup pada kulit, sirip dan insang ikan. Organisme ini melekat pada inang
dengan sebuah tangkai yang transparan dan dalam jumlah kecil bersifat
ektokomensal atau mutual.
c. Diagnosa
Diagnosa penyakit ini dengan pengamatan organisme dalam preparat
segar yang diambil dari lendir kulit, sirip dan potongan lamella insang. Dibawah
mikroskop, organisme ini transparan dan secara khas terlihat berrbentuk sperti
serumpun bunga. Sel berbentuk seperti tabung yang panjang dengan silia pada
ujung distal dan makronukleus berupa organel yang berbentuk tapal kuda dan
berkontraksi. Tangkai bercabang dua dan membentuk koloni. Panjang tangkai
masing-masing spesies sangat bervariasi. Gerakan kontraksi dari sel membantu
mengenali parasit ini. Preparat harus segera diamati karena organisme ini mudah
mati karena kekeringan.
e. Pengendalian
Pengendalian dapat dilakukan dengan mengurangi faktor pemicu yaitu
mengurangi kepadatan, polusi dan kandungan bahan organik yang berlebihan.
Peningkatan aliran air atau penyaringan air akuarium yang lebih cepat dapat
mengurangi populasi Epistylis sp dan siliata secara umum. Terapi yang digunakan
dan metoda pemberiannya sama dengan untuk Trichodina sp.
1. Brooklynella hostilis
Protozoa yang satu ini dikenal juga dengan nama Chilodonella sp di air
tawar yang termasuk dalam phylum Ciliophora, kelas Kinetophragmenophorea,
famili Chilodonellidae dan genus Brooklynella. Makronukleus berbentuk oval
berukuran 18 x 12 µm, terdiri dari 13-22 mikronukleus dan beberapa vakuola
kontraktil kecil.
Inang yang sering diserang adalah ikan laut, terutama yang termasuk
dalam Amphyprion, Dacyllus, dan Caetodon. Protozoa ini menyerang kulit dan
beberapa di insang. Kasus penyerangan banyak ditemukan di berbagai lokasi di
perairan/laut. Berdasarkan tanda klinis dan patologi, patogen ini memakan sel
darah dan jaringan debris sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit,
yang disebabkan kondisi air yang menurun atau buruk.
Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terserang antara lain
kulit tampak kusam, terkadang karena produksi lendir yang berlebih, tampak
seperti ada lapisan yang menutupi permukaan kulit, mata ikan tampak sayu,
haemorrhage dan petechiae pada insang, inflamation. Sementara tingkah laku
2. Oodinium ocellatum
Jenis ini juga dikenal dengan nama Amyllodinium sp pada ikan air tawar
yang termasuk ke dalam Phylum Sarcomastigophora, Subphylum Mastigophora
(flagellates), Class Phytomastigophorea (phytoflagellates), Ordo Dinoflagellida,
dan Genus Oodinium. Jenis ini berbentuk bulat kuning berukuran 50-60 µm.
bergerak menggunakan akar rizoit (cilia) dengan siklus hidup dimulai dari
Trophont, kemudian menjadi encysted tomont, lalu palmela hingga menjadi free
swimming invective dinospores. Tomont mulai membelah pada suhu 23-27°C.
terhambat suhu 16-30 oC, salinitas 50 ppt
Jenis ini sering menyerang ikan air laut dengan kondisi yang menurun
atau buruk, terutama pada jenis ikan Amphyprion percula, Dacyllus melanurus, dan
monodactyllus argentus. Awalnya, jenis ini menyerang insang kemudian menyebar
ke kulit, sirip juga ginjal. Tanda klinis dan patologi yang dapat ditemukan pada
ikan yang terserang antara lain bintik merah, hyperemia, haemorrhage, anorexia,
depression, dyspoea (berenang dekat permukaan air dengan kesulitan bernafas).
Ikan yang terserang menunjukkan gejala tingkah laku seperti megap-megap,
ikan berenang pelan, berada di bawah permukaan air atau di dekat sumber air,
dan gasping.
3. Cryptocaryon irritaans
Jenis dari Genus Cryptocaryon ini termasuk dalam Phylum Ciliophora,
Class Oligohymenophora, Subclass Hymenostomata, Ordo Hymenostomatida,
Subordo Ophryoglenina, dan Family Ichthyophthiriidae. Protozoa ini menyerang
ikan air laut yang ditemukan pertama kali di Jepang pada tahun 1938. Bagian
yang diserang umumnya adalah insang yang kemudian menyebar ke bagian
kulit, sirip dan ginjal.
4. Trichodina heterodentata
Jenis ini tergolong dalam Phylum Ciliophora, Ordo Peritrichida, Subordo
Mobilina, Family Trichodinidae dan Genus Trichodina. Pada umumnya, jenis ini
ditemukan di perairan/laut Philipina. Bentuk adhesive disc berukuran 38-60 µm,
denticulate ring 23-51 dan denticles 22-30. Ciri umum dari jenis ini adalah
memiliki dentikel dan mampu bergerak memutar mempunyai cilia. Protozoa ini
dapat tahan lebih dari 2 hari tanpa inang dan dapat berpindah dari 1 inang ke
inang lainnya dengan menggunakan cilia. Bahan organik yang tinggi dalam
perairan dan rendahnya aliran air, suhu, pH, O2 dan amoniak menjadi faktor
pendukung perkembangan patogen ini.
5. Uronema marinum
Jenis dari Genus Uronema yang dikenal dengan nama lain Tetrahymena
pyriformis di air tawar ini termasuk ke dalam Phylum Ciliophora dan Ordo
Scuticociliatida. Jenis ini berukuran 30-50 µm dan memulai siklus hidupnya
dari memakan sel darah dan cellular debris kadang ditemukan di ginjal dan
perut ikan. Faktor pendukung perkembangan protozoa ini adalah transportasi
selama 24-48 jam dalam air yang pH rendah, ammonia tinggi, dan bahan organik
DO rendah.
Ikan yang terserang menunjukkan tanda klinis dan patologi berupa
bintik putih pada bagian tubuh yang terinfeksi dan menjadi luka, ulcer dipenuhi
oleh cilia, serta peningkatan produksi lendir. Sedangkan gejala tingkah laku ikan
yang terserang umumnya megap-megap, berenang di dekat permukaan air
dengan kesulitan bernafas, menggosokkan tubuh di dinding dan dasar aquarium.
2. Caligus Epidemicus
Jenis ini termasuk dalam Phylum Arthropoda, Class Crustacea, Subclass
Copepoda, Ordo Siphonostomatoida, Family Caligidae, dan Genus Caligus. Jenis
ini berada pada inang berupa ikan air laut, terutama menyerang kulit dan
operkulum.
3. Lepeophteirus sp.
Jenis ini banyak ditemukan pada ikan salmon, yang umumnya menyerang
bagian mulut dengan menggunakan cephalotorax yang terletak pada sucker.
Lepeophteirus jantan berukuran 6.7 mm, sementara yang betina berukuran 14-22
4. Chalimus sp.
Jenis ini termasuk dalam Phylum Arthropoda, Class Crustacea, Subclass
Copepoda, Ordo Siphonostomatoida dan Family Cecropidae. Bentuk besar,
bagiann segmen thoracic ditutupi piring. Kepala ada segmen thoracic pertama.
Segmen kedua dan ketiga sama besar atau lebih kecil dan terdiri dari sepasang
bagian dorsal dan sepasang lateral plate. Segmen ke empat terdiri dari sepasang
B. DIGENEA
C. CESTODA
D. NEMATODA
1. Parasit Protozoa
a) Zoothamniosis
Golongan ini yang sering ditemukan menginfeksi udang dan rumput laut
adalah Zoothamnium penaei. Jenis ini termasuk dalam Phylum Protozoa, Class
Ciliata, Ordo Peritricha, Famili Vorticellidae, dan Genus Zoothamnium.
Morfologi dari zootanium adalah hidup berkoloni, sangat jarang
ditemukan sendiri, bewarna keputih-putihan, menempel dengan semacam akar
dan batang (pedicle), pediclenya bercabang 2, kemudian dari 2 cabang 2 cabang
menjadi 3. Zooid bersifat dimorph besar bentuk globuler, 1 koloni bentuk dan
bentuknya sama.
Inang parasit ini adalah udang dan ikan baik air laut, payau, tawar semua
stadia, namun tidak jarang ditemukan juga pada rumput laut dan kepiting.
Siklus Hidup dilakukan dengan pembelahan sel secara paralel dengan axis
panjang tubuh, berasal dari satu batang 2 zooid yg bersilia
b) Epistyliasis
Golongan yang umum ditemukan adalah Epistylis sp yang termasuk dalam
klasifikasi Phylum Protozoa, Class Oligohymenophorea, Ordo Peritricha, Famili
c) Vorticelliasis
Golongan yang sering ditemukan menginfeksi ikan adalah Vorticella sp.
yang termasuk dalam klasifikasi Phylum Protozoa, Class Ciliata, Ordo
Peritricha, Famili Vorticellidae, dan Genus Vorticella. Spesies yang berhasil
diidentifikasi sebanyak 84 spesies.
Morfologi jenis ini termasuk senang hidup soliter, menempel dan
kontraktil; bentuk seperti lonceng; tangkai pipih, silindris; daerah sekitar mulut
(peristome) besar, bersilia; sel ada yang makro dan mikro nucleus; vakuola
kontraktil 1- 2 buah dan sel bening kekunungan/kenijauan. Ukuran zooid
adalah panjang 38.00 ± 7.909μm; lebar 25.20 ± 4.970μm. Ukuran panselnya
panjang 40.86 ± 9.442μm dan lebar 31.88 ± 8.709μm
Ketiga parasit tersebut merupakan parasit jenis fakultatif yang umum ada
dalam perairan terutama jika didukung faktor-faktor seperti : oksigen rendah
(<3 ppm), bahan organik tinggi, padat tebar tinggi dan perubahan musim yang
ekstrim.
2. Parasit Cacing
a) Cacing Cestoda, yaitu: Polypochepalus sp., bentuk cyste dari cacing ini
terdapat dalam jaringan ikat di sepanjang syaraf bagian ventral. Dan
Parachristianella monomegacantha, berparasit dalam jaringan intertubuler
hepatopankreas.
3. Parasit Isopoda
Parasit ini dapat menghambat perkembangan alat reproduksi udang. Parasit
ini menempel di daerah branchial insang (persambung antara insang dengan
tubuh udang), sehingga menghambat perkembangan gonad (sel telur) pada
udang.
Gambar 10.2. Karapas Udang yang Terinfeksi WSSV (A) dan Karapas Udang
Normal (B), serta Rod Shape Virus yang Menjadi Penyebab WSSV
(Sumber foto: Takahashi et. al, 2003)
2. Kedalaman kolam
Hal ini berkaitan dengan masukan dan keberadaan oksigen yang berdampak/
sensitive pada pertumbuhan ikan-ikan muda (juvenile). Contohnya adalah
larva diurnal bentik yang berada di daerah termoklin bermigrasi ke daerah
dingin, ini terkait dengan keberadan oksigen, banyak mengalami kematian.
3. Pakan
Frekwensi dan kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Penyakit yang
disebabkan oleh pakan ini berbagai macam terkait dengan bahan beracun
pada pakan (Patton & Couch,1984), contohnya Swimbladder inflation,
perkembangan gel renang sensitif terhadap bahan toxic (Marty et al, 1990),
dan kualitas dari indikator lingkungan secara umum (Sinderman,1979).
4. Genetik
Kelainan yang tejadi dalam sistem budidaya dapat terjadi karena turunan
apabila keragaman genotip menjadi penyebabnya (Liao et al,1993). Penyakit
infeksius dan kontaminan pada sumber air ini menyebabkan kelainan pada
patologi (Robert,1989).
1. Besi (Zn)
Keberadaan zat Zn pada lingkungan dapat berdampak pada morfologi
insang ikan yang akhirnya mempengaruhi sel cholid, rusaknya lamella sekunder
insang, sel darah, menyebabkan menurunnya peredaran O2 dalam darah,
terhambatnya kerja enzim Ca-ATPase, menurunnya pH darah, rendahnya
pengambilan O2 pada hati, feeding rate menurun, menurunnya sintasan dan HR
(Hatching Rate).
3. Kadmium (Cd)
Keberadaan Cu di perairan dapat mempengaruhi metabolisme Ca dalam
tubuh, terjadinya peningkatan produksi sel mukus di usus dan insang,
peningkatan produsi sel chloride di bagian epithel operkular, menghambat kerja
alkaline phosphate dan Ca ATP ase, meningkatkan aktifitas ALA-D,
menyebabkan kerusakan pada proximal tubuli Pembelahan mitokondria dan
reticulum endoplasmite, menyebabkan kecacatan pada vertebrata, negrosis cel
lobule boundary, haemorrhage, oedema pada yolk absorbsion, pertumbuhan
tidak sempurna pada sirip ekor.
4. Merkury (Hg)
Keberadaan Cu di perairan dapat menyebabkan peningkatan produksi
mukus, negrosis pada sel epithel, hiperplasia epithel, terhambatnya kerja
aktifitas Na-K-ATPase, embrio, kelangsungan hidup menurun dan percepatan
penetasan telur.
Anderson, DP. 1974. Fish immunology. Hongkong: TFH Publication Ltd. pp 182
Anderson, DP., AK Siwicki. 1995. Basic hematology and serology for fish health
programs. Paper presented in second symposium on diseases in Asian
Aquaculture “Aquatic Animal Health and the Environment”. Phuket,
Thailand. 25 – 29 thOctober 1993. 17 hal
Austin B., DA Austin. 2007. Bacterial fish pathogens. Fourth Edition. New
York: Praxis Publishing Ltd. pp 552
Blaxhall, PC., KW Daisley. 1973. Routine haematological methods for use with
fish blood. J. Fish Biol. 5: 577-581
Bullock, GL. 1971. Diseases of fishes. Book 2A: Bacterial diseases of fishes. TFH
Pub. Nepture pp. 42-50.
Evenberg, D., de Graaff D, Fleuren W, van Muiswinkel WB. 1986. Blood changes
in carp (Cyprinus carpio) induced by ulcerative Aeromonas
salmonicida infections. Vet. Immunol. Immunopathol., 12: 321-330.
Ferguson, HW. 1989. Systemic pathology of fish. Lowa State University Press:
Ames. pp 263
Kamiso, HN. 1996. Vibriosis pada ikan dan alternatif cara penanggulangannya. J.
Perikanan UGM (GMU J.Fish Sci.) 1 (1): 78 – 86
Lusiastuti, AM. 2009. Potensi imunogenik sel utuh (whole cell) Streptococcus
agalactiae yang diinaktivasi dengan formalin untuk pencegahan
penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Laporan
Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen
Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan :
1-16