Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“PENGARUH OBAT OTONOM TERHADAP MATA”

NAMA KELOMPOK :

Rizki Sepridayanti 1604015114


Iis Nurwiati 1704015008
Raisha Vira Auliana 1704015159
Nur Fitriyani P. 1704015195
Ulfi Mursid 1704015276

DOSEN : Siska, M.Farm., Apt.

KELAS : C1/ Kelompok 1

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA

JAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari kemampuan
obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi,
resorpsi dan nasipnya didalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi
antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit,
disebut farmakologi klinis.

Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi
sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat
neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau
sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke sistem
saraf pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls
(informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel
organ efektor. Jalur eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu
saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-
organ yang sama tetapi menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya
homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang atau menekan.
Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya dengan
farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat yang
akan mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri.

1.2 Tujuan Praktikum


Setelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa diharapkan :
1. Mampu mengukur dan mengevaluasi diameter pupil mata kelinci akibat pengaruh
obat kolonimimetik, muskarinik blocker, agonis adrenergik, dan adrenergik
bloker.
2. Mampu mendemonstrasikan dan mengevaluasi perbedaan efek obat kolinergik
dan anti kolinergik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi
(SST). SSP terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf
somatik (SSS) dan sistem saraf otonom (SSO).
SSS merupakan saraf volunter karena mensarafi otot rangka yang dapat
dikendalikan. Sedangkan SSO bekerja pada otot polos dan kelenjar yang tidak dapat
dikendalikan. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom,
seperti jantung, saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah,
kelenjar, paru-paru dan bronkus.
SSO mmpunyai 2 neuron, yaitu aferen (sensorik) dan eferen (motorik). Neuron
aferen mengirimkan inpuls (informasi) ke SSP, untuk diinterprestasikan. Neuron eferen
menerima inpuls dari otak dan diteruskan melalui medulla spinalis ke sel-sel organ
efektor, seperti jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan. Jalur eferen dari SSO dibagi
menjadi 2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik, yang sering disebut sebagai sistem
saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
Sistem saraf simpatik dan parasimpatik jika bekerja pada organ yang sama akan
menghasilkan efek yang berlawanan untuk tujuan keseimbangan, kecuali pada organ
tertentu. Sistem saraf simpatik bersifat katabolik artinya menghabiskan energi. Sistem
saraf parasimpatik bersifat anabolik berarti berusaha menyimpan energi. Kerja obat pada
kedua sistem saraf ini menyebabkan perangsangan atau penghambatan.
Istilah untuk obat perangsangan simpatik adalah adrenergik, simpatomimetik atau
agonis adrenergik, dan penghambat simpatik, dan penghambat simpatik disebut
simpatolitik atau antiadrenergik. Istilah untuk perangsang parasimpatik adalah
kolinergik, parasimpatomimetik atau agonis kolinergik, dan penghambat parasimpatik
disebut parasimpatolitik atau antikolinrgik.
2.2 Sistem Saraf Parasimpatik
2.2.1 Kolinergik (Parasimpatomimetik)
1. Kolinoseptor
1) Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pila
muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun
tertentu. Sebalikya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah
terhadap nikotin.
2) Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal
nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin
memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyerap
reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat, medula
adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular.
2. Obat yang bekerja pada kolinergik
1) Parasimpatomimetik langsung
Mekanisme: bekerja agonis terhadap reseptor kolinergik (M,N)
Klasifikasi berdasarkan struktur kimia :
 Ester cholin (asetilkolin, karbakol, metakolin) => (M,N)
 Alkaloida (muskarin, pilokarpin (M), nikotin, cytisine, labeline (N)).
2) Parasimpatomimetik tidak langsung
Mekanisme:menghambat kolinesterase sehingga meningkatkan
konsentrasi asetilkolin endogen disekitar kolinoseptor.
Dibagi 2:
Reversibel : mengikat kolineterase dalam waktu tertentu.
Irreversibel : mengikat kolineterase secara permanen.
3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi
pembuluh darah, meningkatnya kontraksi otot polos saluran GI, kontriksi
kandung kemih, meningkatkan saliva, meningkatkan motilitas usus.
2.2.2 Antikolinergik (Parasimpatolitik)
1. Mekanisme : antagonis kompetitif asetilkolin di reseptor muskarin ->
menghambat aktivitas sistem saraf parasimpatik -> semua efek asetilkoin
diperlemah.
2. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi
pembuluh darah, relaksasi otot polos saluran GI, relaksasi kandung kemih,
relaksasi uterus.
2.3 Sistem Saraf Simpatik
2.3.1 Adrenergik (Simpatomimetik)
1. Simpatomimetik langsung
Pada reseptor :
Alfa-1 : mengaktivasi organ-organ efektor seperti otot-otot polos
(vasokontriksi) dan sel-sel kelenjar dengan efek bertambahnya sekresi ludah
dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf adrenergik
dengan efek turunnya tekanan darah.
Beta-1 : memperkuat data dan frekuensi kontraksi jantung.
Beta-2 : bronkodilatasi dan stimulatasi dan stimulasi metabolisme glikogen
dan lemak.
1) Simpatomimetik Nonspesifik Langsung
Mekanisme : bekerja antagonis pada sistem saraf simpatik, aktivasi
adrenoseptor
2) Simpatomimetik Alfa Langsung
 Penggunaan sistemik (nonselektif) : alfa-1 dan alfa-2
 Penggunaan lokal (selektif) : alfa-1 atau alfa-2
3) Simpatomimetik Beta Langsung
 Nonselektif :kerja pada beta-1 dan beta-2
 Selektif beta 2
2. Simpatomimetik Tidak Langsung
Mekanisme : melepaskan noradrenalin dan atau menghambat penguraian atau
menghambat uptake noradrenalin.
3. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi
pembuluh darah, relaksasi GI, relaksasi otot kandung kemih, relaksasi uterus.
2.3.2 Antiadrenergik (Simpatolitik)
1. Simpatolitik Alfa
1) Simpatolitik alfa (alfa bloker) nonselektif
 Derivat haloalkilamin
Mekanisme: bentuk basa->kehilangan gugus beta halogen -
>membentuk cincin etilenimonium->membentuk ion karbonium yang
sangat reaktif+gugus sulfidril, amino -> ikatan kovalen yang stabil
dangan adrenoseptor alfa.
 Derivat imidazolin
Mekanisme : menghambat reseptor alfa, dan agonis reseptor
muskarinik
 Derivat alkaloid ergot
Mekanisme : antagonis parsial pada reseptor alfa adrenergik, dopamin
dan serotonin.
2) Simpatolitik alfa-1 selektif
3) Simpatolitik alfa-2 selektif
Mekanisme : memblok reseptor alfa-2 pascasinaps, menyebabkan
peningkatan aktivitas neuron adrenergik sentral, meningkatkan pelepasan
NE dari ujung saraf adrenergik di perifer, akibatnya tekanan darah
meningkat.
2. Simpatolitik Beta (beta bloker)
Mekanisme : antagonis kompetitif terhadap adrenoseptor beta.
3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi
pembuluh darah, kontaksi GI, kontraksi kandung kemih.

2.4 Perangsangan Simpatik dan Parasimpatik


Perangsangan Simpatik Perangsangan Parasimpatik
- Meningkatkan tekanan darah - Menurunkan tekanan darah
- Meningkatkan denyut nadi - Menurunkan denyut nadi
- Relaksasi bronkus - Kontraksi bronkus
- Dilatasi pupil - Kontraksi pupil
- Relaksasi saluran kemih - Meningkatkan kontraksi saluran
- Relaksasi otot polos GI kemih
- Relaksasi urterus - Meningkatkan kontraksi GI
- Meningkatkan gula darah - Meningkatkan tonus otot
2.5 Jenis Obat
1. Atropin
Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat
secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya direseptor
muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik disentral maupun saraf tepi.
Kerja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali diteteskan ke mata
maka kerjanya akan berhari-hari.
- Kerja
Mata : Atropin menyekat semua akivitas kolinergik pada mata, sehingga
menimbulkan midriasis mata menjadi tidak bereaksi dengan cahaya dan
skiplegia (ketidakmampuan untuk memfokuskan penglihatan dekat) pada
pasien dengan glaukomatekanan intraokular akan meninggi secra
membahayakan.
Gastrointetestial : Atropin digunakan sebagai obat antipsmodik untuk
mengurangi aktivitas saluran cerna.
Sistem kemih : Atropin digunakan juga untuk mengurangi keadaan
hippermotilitas kandung kemih. Obat ini kadang-kadang masih dipakai untuk
kasus enuresis. Tetapi obat agoni adrenergik alfa mungkin lebih efektif
dengan efek sampijng yang sedikit.
- Farmakokinetik : Atropin mudah diserap sebagian dimetaboisme dihepar, dan
dibuang dari tubuh melalui air seni. Masa paruhnya sekitar 4 jam
- Efek Samping : Tergantung pada dosis atropin dapat menyebabkan mulut
kering, penglihatan kabur, mata rasa berpasir, takikardia, dan konstipasi.
Efekny aterhadap SSP termasuk rasa capek, bingung, halusinasi, delirium
yang mungkin berlanjut menjadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem
pernapasan dan kematian. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropin
dapat menimbulkan midriasis dan sikloplegi dan keadaan ini cukup gawat
karena dapat menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah menjalani
kondisi tenang.
2. Epinefrin
 Sediaan : Adrenal mengandung Epinefrina 1%. In : Glaukoma kronik. Ds : tiap1-
3 hari 1 tts sebelum tidur.
 Epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik.
 Epinefrin bekerja pada semua reseptor adrenergik : α1, α2, β1 dan β2.
 Pada umumnya, pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergik. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmiter pada saraf
adrenergik adalah NE.
 Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh
darah dan otot polos lain.
 Epinefrin biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang normal maupun pada
pasien glukoma sudut lebar. Efek ini mungkin disebabkan berkurangnya
pembentukan cairan bola mata akibat vaso kontriksi dan karena bertambahnya
aliran keluar.
3. Pilokarpin
Menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftalmologi.
 Kerja : Dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot
siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akoomodasi, dan
penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu sehingga sulit untuk
memfokus pada suatu objek. Pilokarpin adalah suatu pemacu sekresi
kelenjar keringat, air mata, dan saliva.
 Penggunaan terapi : Merupakan obat pilihan dalam keadaaan gawat
yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma bersudut
sempit maupun bersudut lebar.
 Efek samping : Pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan
gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan saliva yang
berlebihan.
2.6 Prosedur

PROSEDUR SISTEM SARAF


OTONOM

Ukur Diameter Pupil

Kelinci
Kelinci1I 2
Kelinci II

Mata Kanan Mata Kiri Mata Kanan Mata Kiri

Atropin Epinefrin Pilokarpin + Atropin Pilokarpin


3 tts 3 tts 2 tts 3 tts
BAB III

HASIL PENGAMATAN

3.1 Hasil
1. Pengaruh Obat Otonom terhadap Otot Iris Mata Kelinci yang diberi Atropin
(mata kanan) dan Epinefrin (mata kiri)
D pupil
Diameter pupil kanan (cm) Dimeter pupil kiri (cm)
normal

Kanan Kiri 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’ 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’
0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7
cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm

2. Pengaruh Obat Otonom terhadap Otot Iris Mata Kelinci yang diberi
Pilokarpin+Atropin (mata kanan) dan Pilokarpin (mata kiri)
D pupil
Diameter pupil kanan (cm) Dimeter pupil kiri (cm)
normal

Kanan Kiri 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’ 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’

0,8 0,7 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,6 0,7 0,8 0,5
cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm cm
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata ini menggunakan hewan uji
kelinci yang diberikan obat tetes mata berupa atropin, epinefrin dan pilokarpin. Setiap kelinci
diukur terlebih dahulu diameter matanya, digunakan sebagai pembanding ketika telah ditetesi
obat.

Pada kelinci pertama, mata kanan ditetesi atropin sebanyak 3 tetes. Lalu dihitung tiap
menit sesuai data pengamatan. Atropin merupakan obat golongan antimuskarinik. Yang dapat
menyebabkan dilatasi pupil. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa mata kanan kelinci
pada saat normal berukuran 0,6 cm, sedangkan setelah 0,5 menit dan 1 menit pemberian
atropin tidak ada perubahan karena ukuran pupil masih 0,6 cm, dapat diketahui pada waktu
tersebut obat belum bereaksi, sehingga belum terlihat dilatasi pupil. Setelah pemberian 5
menit terlihat perubahan pada pupil mata, karena ukurannya menjadi 0,7 cm. Atropin telah
memberikan efek dilatasi pupil. Dilanjutkan pada menit ke 10, diameter pupil tetap 0,7 cm.
Pada menit ke 15 dan menit ke 30 , diameter pupil menjadi 0,8 cm. Atropin masih
menyebabkan efek dilatasi.

Atropin merupakan obat golongan antimuskarinik yang dapat menyebabkan dilatasi


pupil. Dari hasil dapat disimpulkan bahwa setiap menitnya diameter pupil mengalami
pembesaran, ini disesbabkan adanya efek dari ibat atropin.Hasil ini sesuai dengan literatur.

Pada kelinci pertama, mata kiri ditetesi epinefrin sebanyak 3 tetes yang merupakan
obat golongan adrenergik. Sama halnya dengan atropin, epinefrin juga mengakibatkan
dilatasi pada pupil mata. Dari hasil pengamatan, diameter normal pada mata kelinci yaitu 0,6
cm. Setelah pemberian pada 0,5 menit diameter dari pupil mata tetap 0,6 disebabkan obat
epinefrin belum bekerja sehingga tidak menyebabkan dilatasi pupil. Setelah pemberian 1
menit diameter pupil menjadi 0,7 cm, terjadi dilatasi pupil. Pada menit ke 5 diameter pupil
tetap 0,7 cm. Kemudian setelah menit ke 10, 15 dan 30 diameter pupil tetap yaitu 0,7cm.

Pada kelinci kedua, mata sebelah kanan memiliki diameter mata normalnya 0,8 cm.
Mata kanan diberikan pilokarpin dan atropin 2 tetes untuk masing-masing obat. Obat pertama
yang diberikan yaitu pilokarpin lalu dijaraki beberapa menit dan dilanjutkan dengan menetesi
obat atropin. Atropin merupakan obat golongan antimuskarinik yang menyebabkan dilatasi
pupil, sedangkan pilokarpin adalah obat golongan agonis muskarinik yang menyebabkan
kontriksi pupil. Kerja antara 2 obat ini adalah antagonis atau berlawanan, sehingga ketika
perlakuan akan menyebabkan efek diameter pupil tidak akan mengalami perubahan.

Setelah pemberian 0,5 menit atau 30 detik, diameter dari pupil mata masih 0,8 cm,
masih belum terjadi perubahan atau efek obat belum terlihat. Pada menit ke 0,8 cm diameter
pupil masih 0,8 cm, kemudian pada menit ke 10, 15 dan 30 diamter pupil tidak mengalami
perubahan tetap pada 0,8 cm.

Kelinci kedua pada mata sebelah kiri memiliki diameter 0,7 cm dan ditetesi obat
pilokarpin, yang telah diketahui bisa menyebabkan kontriksi pupil atau pengecilan pada
diameter pupil. Setelah pemberian pada 30 detik, 1 menit diameter pupil mata yaitu 0,8 cm.
kemudian pada menit ke 10 diameter pupil mata menjadi 0,7 cm. Pada menit ke 15 diameter
pupil adalah 0,8 cm. Dan pada menit ke 30 diameter pupil mata adalah 0,5 cm.

Kemungkinan kesalahan yang dilakukan pada saat praktikum pengaruh kerja obat
otonom terhadap mata yaitu, kesalahan pada saat mengukur diameter dari pupil mata kelinci,
ketidak tepatan atau jumlah tetesan berbeda sehingga menyebabkan efek yang berbeda.
BAB V

KESIMPULAN

Hasil yang didapat pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata yaitu :

1. Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi (SST). SSP
terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf somatik
(SSS) dan sistem saraf otonom (SSO).
2. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom, seperti jantung,
saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah, kelenjar, paru-paru
dan bronkus.
3. Jalur eferen dari SSO dibagi menjadi 2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik, yang
sering disebut sebagai sistem saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
4. Jenis obat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : atropin, pilokarpin, dn epinefrin.
5. Tiap-tiap obat memiliki efek yang berbeda, dari perbedaan efek tersebut dilakukan
pengujian dan perbandingan dengan efek yang sesuai yang diakibatkan oleh masing-
masing obat.
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Peterbit FKUI

Kee JI dan Hayes ER. 1993. Farmakologi. Jakarta : EGC

Priyanto, Lilin Batubara. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan.
Depok Jabar: Leskonfi

Tan. H.T dan Rahardja. 2002. Obat-obatan Penting. Jakarta : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai