Anda di halaman 1dari 20

JOURNAL READING

Telur pada Awal Pemberian Makanan Pendamping dan Pertumbuhan Anak: Uji
Coba Kontrol Acak

Pembimbing:
Dr. Riona Sari, MSc.,Sp.A

Oleh:
Annisa Shafira P
Geta Okta P
Intan Hardianti
Nisrina Aulia A
Semadela Solichin P

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2019
Telur pada Awal Pemberian Makanan Pendamping dan Pertumbuhan
Anak: Uji Coba Kontrol Acak

Lora L. Iannotti, Chessa K. Lutter, Christine P. Stewart,


Carlos Andres Gallegos Riofrío, Carla Malo, Gregory Reinhart, Ana
Palacios,Celia Karp, Melissa Chapnick,, Katherine Cox, William F. Waters

Abstrak
Latar Belakang: Telur baik sebagai sumber nutrisi untuk pertembuhsn dan
perkembangan. Kami menduga bahwa memperkenalkan telur sedini mungkin
pada saat pemberian makanan pendamping akan menambah nutrisi anak.
Metode: Uji coba kontrol acak telah diadakan di Provinsi Cotopaxi, Equador, dari
Maret hingga Desember 2015. Anak-anak umur 6 sampai 9 bulan secara acak
ditnetukan untuk perawatan (1 telur per hari untuk 6 bulan [n=83]) dan kelompok
kontrol (tidak ada intervensi [n=80]). Keduanya menerima pesan pemasaran sosial
untuk mendorong partisipasi di dalam Projek Lulun. (lulun adalah “telur” dalam
Kichwa). Seluruh rumah tangga didatangi sekali setiap minggu untuk mengontrol
gejala morbiditas, pembagian telur, dan kontrol asupan telur (hanya untuk
kelompok telur saja). Ukuran baseline dan titik akhir hasil disertakan
antropometri, frekuensi intake diet, dan gejala morbiditasnya.
Hasil: Ibu atau pengasuh lainnya melaporkan tidak ada reaksi alergi terhadap
telur. Pemodelan regresi linier umum menunjukkan intervensi telur mengalami
peningkatan panjang badan/umur pada z score yaitu 0,63 (95% interval
kepercayaan [CI], 0,38-0,88) dan z score berat badan/umur adalah 0,61 (95% CI,
0,45-0,77). Model log-binomial dengan robust poisson menunjukkan penurunan
prevalensi dari stunting yaitu 47% (prevalensi rasio [PR], 0,53; 95% CI, 0,10-
0,70). anak-anak dalam kelompok perawatan yang asupan telurnya lebih tinggi
(PR, 1,57; 95% CI, 1,28-1,92) dan mengurangi asupan makanan manis gula (PR,
0,71; 95% CI, 0,51-0,97) dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan: Penemuan yang didapatkan mendukung hipotesis bahwa
pengenalan awal telur secara signifikan meningkatkan pertumbuhan pada anak-
anak. Umumnya aksesibilitas ke kelompok rentan, telur memiliki potensi untuk
berkontribusi pada target global untuk mengurangi stunting.
PENDAHULUAN

The World Health Assembly menargetkan penurunan stunting pada anak-anak


sebesar 40% pada tahun 2025. Jika tren berlanjut, kita akan gagal memenuhi
target dengan jumlah anak sekitar 27 juta. Stunting adalah masalah kesehatan
masyarakat yang kompleks dari faktor lingkungan dan biologis. Dengan
demikian, pengurangannya telah menjadi: enigma program dan kebijakan dengan
kemajuan yang relatif lambat sejauh ini. Urutan stunting telah ditetapkan untuk
meningkatkan mortalitas dan kehilangan potensi perkembangan. Populasi tertentu
terpengaruh secara tidak proporsional. Penelitian kami berfokus pada pedesaan,
populasi asli dataran tinggi Ekuador di mana stunting intragenerasional terbukti
dan prevalensi di antara anak-anak <5 tahun (42,3%) melebihi rata-rata nasional
(25,2%).

Intervensi untuk mengatasi stunting sebagian besar menggunakan makanan atau


suplemen yang diperkaya, tetapi ada bukti terbatas untuk makanan bergizi yang
tersedia secara lokal. Telur menyediakan >50% dari asupan yang memadai untuk
nutrisi penting pada bayi yang menyusui dan mungkin juga menawarkan
perlindungan kekebalan. Mereka lebih terjangkau daripada makanan sumber
hewani lainnya dan relatif mudah untuk menyimpan dan menyiapkannya.
Terutama dari negara-negara berpenghasilan tinggi, menunjukkan bahwa telur
yang diperkenalkan pada masa bayi tidak meningkatkan risiko alergi atau
mengurangi kepekaan terhadap telur. Bayi yang hidup dengan pendapatan
menengah ke atas dengan alergi telur yang sudah ada sebelumnya lebih mungkin
mengalami reaksi. Studi kami bertujuan untuk menguji efikasi nutrisi dari
pemberian satu telur per hari untuk bayi 6 bulan sampai masa awal anak-anak di
umur 6 hingga 9 bulan. Hipotesis kami yaitu peningkatan konsumsi telur akan
meningkatkan biomarker (khususnya kolin, betain, dan vitamin B12) sebagai
pertumbuhan anak yang baik. Kami melaporkan penemuan-penemuan kami disini
dalam pertumbuhan anak dan stunting; hasil biomarker dilaporkan dalam
publikasi terpisah.
METODE

Desain Studi dan Peserta


Peneliti melakukan randomized controlled trial (RCT) dengan desain paralel di 5
pedesaan paroki (jemaah gereja) di Provinsi Cotopax, Ekuador: Pastocalle,
Toacaso, Guaytacama, Tanicuchi, dan Mulalo. Cotopaxi, terletak di sebelah
selatan Quito, memiliki populasi ∼457000 orang dan terdiri dari mayoritas etnis
mestizo, di mana ∼22% diidentifikasi sendiri sebagai penduduk asli di sensus
terakhir. The Universidad San Francisco de Quito (USFQ), bertanggung jawab
pada kegiatan lapangan, menyisir paroki-paroki untuk mengidentifikasi dan
merekrut ibu (Pengasuh) - pasangan bayi. Kriteria inklusinya adalah sebagai
berikut: bayi berusia 6 hingga 9 bulan, bayi tunggal, dan bayi dalam kesehatan
yang baik. Bayi yang di eksklusi adalah jika mereka memiliki kondisi jantung
bawaan, malnutrisi akut yang parah, atau alergi telur. Jika ibu bersedia, dicari
pengasuh lainnya yang terdaftar. Proses rekrutmen yang bergulir memakan waktu
5 bulan untuk memastikan ukuran sampel tercapai di kepadatan penduduk wilayah
pedesaan yang relatif rendah. Studi ini ditinjau dan disetujui oleh komite etika PT
USFQ, Universitas Washington di St Louis, dan Organisasi Pan American Health.
Informed consent tertulis diperoleh dari ibu atau pengasuh lain sebelum baseline
pengumpulan data dimulai.

Pengacakan dan Masking


Prosedur pengacakan blok dilakukan di situs pengumpulan data. Ibu yang
berpotensi memenuhi syarat (Pengasuh) - pasangan bayi diangkut ke situs
pengumpulan data berdasarkan lokasi geografis. Kelompok-kelompok ini dibagi
menjadi 8 sampai 10 pasangan secara acak dalam rasio 1: 1 melalui mekanisme
penyembunyian alokasi. Ibu atau pengasuh lainnya ditunjukkan dalam bentuk-
bentuk yang berlabel "alpha" dan "beta," yang kemudian disembunyikan, disegel,
dan ditempatkan dalam wadah. Setiap peserta kemudian menggambar formulir
untuk tugas kelompok. Tim studi lapangan menyamar dalam tugas kelompok
dengan pengecualian dari 1 orang yang bertanggung jawab untuk mendaftarkan
dan memantau peserta sepanjang penelitian. Karena sifat intervensi, itu mustahil
untuk membutakan peserta untuk mempelajari tugas kelompok setelah
pendaftaran. Selama tahap analisis data, peneliti terlibat dalam analisis sensitivitas
yang juga disembunyikan pada tugas grup.

Prosedur
Intervensi terdiri dari 1 telur ukuran sedang (∼50 g) per hari, dan persediaan telur
disediakan setiap minggu untuk anak - anak di kelompok perawatan di atas usia 6
bulan. Telur-telur diperoleh dari peternakan unggas ukuran kecil hingga menengah
di daerah sekitarnya.
Selama kunjungan mingguan, ibu atau pengasuh lain dalam perawatan Kelompok
diingatkan untuk memberi 1 butir telur per hari ke anak. Anggota dari tim studi
memperhatikan laporan log dari kunjungan mingguan mereka dengan informasi
tentang pengiriman telur, telur yang dikonsumsi oleh anak di minggu sebelumnya,
dan morbiditas apa pun yang dialami (misalnya, ruam kulit, diare, demam, atau
batuk) .Keluarga dalam kelompok kontrol juga dikunjungi setiap minggu dan
dimonitor morbiditasnya. Fasilitas kesehatan dibuat ketika anak-anak sakit parah.
USFQ, bekerja sama dengan perusahaan komunikasi lokal, mengembangkan dan
menerapkan strategi pemasaran sosial untuk mendukung rekrutmen, mengurangi
gesekan, dan promosi partisipasi penuh. Hasil utama dari pemasaran sosial adalah
penciptaan merek proyek, termasuk namanya, The Lulun Project (lulun berarti
"telur" dalam Kichwa). Komponen lain termasuk media sosial, hiburan untuk
anak-anak di situs pengumpulan data, didorong oleh permintaan lokakarya, dan
selebaran serta poster untuk memperkuat peran proyek di komunitas. Merek
proyek dan kegiatan dirancang dengan tradisi dan simbol asli namun tetap
bermakna untuk khalayak internasional. Tim lapangan membangun hubungan
baik dengan pengasuh dengan menggabungkan yang disebutkan strategi-strategi
di atas dengan teknik standar untuk menjelaskan penelitian alasan, prosedur,
risiko, dan manfaat.

Outcome
Hasil utama untuk studi longitudinal ini didukung dengan langkah-langkah
antropometrik pertumbuhan anak. Metode campuran digunakan, termasuk koleksi
data kuantitatif dan kualitatif. Di baseline dan pada titik akhir (6 bulan setelah
intervensi), pasangan pengasuh diangkut ke lokasi penelitian atau megunjungi
rumah anak. Informasi dikumpulkan pada sosial ekonomi dan variabel demografi,
termasuk air, kebersihan, dan kondisi sanitasi; morbiditas anak; nutrisi anak; dan
antropometri anak. Asupan makanan anak diukur dengan menggunakan frekuensi
recall 24 jam dari asupan makanan pada umumnya dikonsumsi di daerah tersebut.
Metode ini, digunakan secara global dalam Demografis dan Survei Kesehatan,
yang sebelumnya telah divalidasi dan didasarkan pada penelitian formatif yang
luas untuk makanan yang biasa dikonsumsi konteks ini. Morbiditas yang terjadi
dinilai melalui recall 2 minggu, dengan fokus khusus pada diare dan kondisi
pernapasan yang sangat lazim di wilayah ini dan gejala yang mungkin terkait
dengan alergi telur. Morbiditas lainnya termasuk demam; ruam kulit; batuk
persisten; hidung tersumbat atau berair; terengah-engah, mengi, atau kesulitan
pernafasan; dan sakit gigi atau tumbuh gigi.

Tindakan antropometri dikumpulkan pada awal dan titik waktu tindak lanjut
menurut protokol internasional. Sebelum mengawali penelitian, enumerator
berpartisipasi dalam pelatihan dan latihan validasi selama periode 3 hari.
Pasangan enumerator mengambil 2 ukuran panjang anak dengan menggunakan
seca 417 portable infantometer (seca GmbH & Co KG, Hamburg, Jerman) ukuran
terdekat 1 mm. Ketika hasil ukur berbeda dengan 5 mm atau lebih, ukuran ketiga
diambil dan dirata-rata dengan ukuran terdekat. Berat diukur dengan
menggunakan Model seca 874 Skala Digital Elektronik (seca GmbH & Co KG)
dengan fitur ibu anak tara ukuran terdekat 0,01 kg Sekali lagi, 2 langkah diambil
dan ketika mereka berbeda 0,05 kg atau lebih, pengukuran ketiga adalah diambil
dan dirata-rata dengan yang 2 lainnya untuk analisis. Ukuran antropometri ukuran
dikonversikan menjadi skor z untuk panjang-untuk-umur (PB per umur), berat-
untuk umur (BB per umur), berat untuk panjang (BB per PB), dan BMI
(BMIz) .Stunting didefinisikan apabila PB per umur <−2, kurang berat BB per
umur<−2, wasting BB per PB <−2, dan underweight (thin) BMIz <−2.
Analisis statistik
Perhitungan ukuran sampel asli peneliti didasarkan pada hipotesis ukuran efek
(perbedaan-dalam-perbedaan dengan kontrol) dari 0,35 pada periode 6 bulan (α
= .05 dan 1 − β = 0,90), besarnya yang peneliti pertimbangkan masuk akal untuk
biomarker mikronutrien berdasarkan literature yang ada. Peneliti memperkirakan
bahwa mereka akan membutuhkan 90 anak per kelompok, dengan asumsi tingkat
gesekan 20%. Ini ukuran efek untuk PB per umur sebanding dengan yang
dilaporkan dalam uji coba lain praktik pemberian makan tambahan.

Niat untuk menyelesaikan analisis diterapkan untuk semua analisis inferensi.


Prevalensi stunting dalam populasi ini melebihi yang dapat diterima ambang batas
untuk penggunaan odds rasio (0,2105). Dengan demikian, rasio prevalensi (PR)
digunakan untuk memeriksa efek telur dan dianggap analog untuk risiko relatif
dalam studi longitudinal ini. Untuk hasil binomial stunting dan underweight,
peneliti mengestimasi rasio prevalensi dengan menggunakan model Regresi Linier
Umum (RLU) dengan robust Poisson. RLU ini, juga diterapkan untuk hasil yang
kontinu, diizinkan untuk distribusi parameter yang tidak normal. Log model
binomial menggunakan kemungkinan maksimum estimasi dan logaritma dari
probabilitas sebagai fungsi tautan juga dilakukan, tetapi gagal mencakup. The
Poisson yang kuat, dengan penaksir sandwich klasik untuk mengurangi varian
Poisson standar yang meningkat, kurang terpengaruh oleh orang asing. Model
regresi yang disesuaikan termasuk usia dan jenis kelamin anak dan langkah-
langkah dasar yang sesuai. Untuk gejala morbiditas dan model asupan makanan,
baseline antropometri diuji tetapi tidak ditemukan signifikan. Analisis data
dilakukan dengan perangkat lunak Stata (versi 13.1; StataCorp, Perguruan Tinggi
Station, TX). Sidang terdaftar di clinicaltrials.gov, pengidentifikasi
NCT02446873.

RESULT

Melalui proses rekrutmen bergulir dari Februari hingga Juni 2015, 175 ibu
(Caregivers) -pasangan bayi dinilai untuk kelayakan. Empat pasangan ibu-bayi
tidak memenuhi semua kriteria inklusi, dan 8 ibu lainnya menolak untuk
berpartisipasi karena logistik atau pindah dari daerah itu, dan masalah
pengambilan darah, atau alasan yang tidak diketahui.(FIGURE 1.)

Seratus tiga puluh delapan (85%) dari 163 pasangan yang terdaftar dan ditugaskan
secara acak adalah pasangan ibu-bayi, sedangkan 25 (15%) dari yang terdaftar
adalah pengasuh lain, termasuk nenek (n = 12), bibi (n = 7), ayah (n = 4), dan
saudara perempuan berusia 15 dan 19 tahun (n = 2), tanpa perbedaan berdasarkan
kelompok perlakuan, Seratus enam puluh tiga anak diambil secara acak ke salah
satu kelompok kontrol (n = 83) atau kelompok intervensi (n = 80). Kurang follow
up/ tindak lanjut kurang dari yang semula diperkirakan (n = 11, 7% gesekan).
Alasan untuk mangkir termasuk penolakan untuk pengambilan darah akhir,
relokasi sementara, relokasi permanen, dan 2 pasangan dengan alasan yang tidak
diketahui.

Karakteristik dasar yang disajikan pada Tabel 1 sudah dibandingkan. Bayi rata-
rata berusia 7,6 bulan (SD 1.1), dan 66 (41%) dari 160 bayi adalah anak sulung.
Usia rata-rata ibu adalah 25,4 (SD 6,7) tahun, meskipun 36 (23%) dari 160 ibu
berusia <19 tahun. Dari 133 pelaporan, 24 ibu (18%) menunjukkan mereka masih
lajang (belum menikah dan tanpa pasangan). Ibu menyelesaikan rata-rata
pendidikan 9,0 (SD 3.1) tahun, dan 73 (46%) dari 160 ibu dipekerjakan di luar
rumah. Sebagian besar rumah tangga dilaporkan terlibat dalam beberapa bentuk
produksi makanan (134 [84%] dari 160 rumah tangga), dengan umbi-umbian
menjadi tanaman utama (121 [76%] dari rumah tangga). Demikian pula, 135
(84%) dari 160 rumah tangga melaporkan memiliki dan memelihara hewan untuk
makanan dan pendapatan, dengan hewan kecil, termasuk kelinci percobaan dan
kelinci, menjadi yang paling umum (100 rumah tangga, 63%). Selain itu, 93
(58%) rumah tangga memelihara unggas.
Kami meneliti efek intervensi telur pada asupan makanan anak dengan
menggunakan frekuensi 24 jam asupan makanan yang biasa dikonsumsi sebagai
salah satu hasil sekunder (Tambahan Tabel 4). Pada titik akhir, ada perbedaan
yang signifikan dan positif dalam prevalensi anak-anak dari kelompok intervensi
yang mengonsumsi telur dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kedua
kelompok penelitian, bagaimanapun, diamati telah meningkatkan frekuensi
konsumsi telur dalam 24 jam sebelumnya (Tambahan Tabel 4). Seiring waktu,
kedua kelompok melaporkan peningkatan konsumsi makanan manis, minuman,
dan minuman soda. Pada kelompok intervensi, prevalensi konsumsi makanan
manis yang dilaporkan, seperti cokelat, permen, permen, kue kering, kue, atau
kue, adalah 29% lebih rendah pada titik akhir ketika dibandingkan dengan
kelompok kontrol (P = 0,032). Prevalensi konsumsi soda juga sedikit (tetapi tidak
signifikan secara statistik) lebih rendah (10% vs 14%, P = 0,137). Tidak ada
perbedaan signifikan yang diamati untuk bahan makanan lain antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.

Prevalensi awal stunting adalah 38%, dan rata-rata LAZ adalah -1,90 (SD 1,01).
Anak-anak dalam kelompok telur menunjukkan prevalensi stunting dan
kekurangan berat badan yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol pada awal.
Hasil pertumbuhan anak meningkat pada kelompok telur dibandingkan dengan
kelompok kontrol di semua ukuran antropometrik (Tabel 2). LAZ meningkat
secara signifikan sebesar 0,63 (interval kepercayaan 95% [CI], 0,38-0,88) pada
titik akhir pada kelompok telur, dan prevalensi pengerdilan berkurang sebesar
47% (PR, 0,53; 95% CI, 0,37-0,77) setelah menyesuaikan untuk usia anak, jenis
kelamin, dan ukuran antropometri baseline yang sesuai. Kovariat lainnya,
termasuk morbiditas diare, tidak ditemukan sebagai prediktor signifikan atau
mediator hasil antropometrik.
Ada pergeseran dalam distribusi LAZ dari baseline ke titik akhir hanya untuk
kelompok telur, dengan perbedaan-perbedaan yang signifikan secara statistik
antara kelompok-kelompok (Gambar 2). Demikian pula, WAZ meningkat pada
kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol sebesar 0,61 (95%
CI, 0,45-0,77), dan prevalensi kekurangan berat badan berkurang sebesar 74%,
lagi-lagi menyesuaikan usia anak, jenis kelamin anak, dan baseline. antropometri.
Berat badan dan BMIzs juga meningkat secara signifikan pada kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Tidak ada anak yang mengalami reaksi alergi segera setelah mengonsumsi telur,
seperti yang diamati atau dilaporkan pada awal, titik akhir, atau dalam kunjungan
pemantauan mingguan yang dilakukan ke rumah tangga selama periode
penelitian. Gejala pernapasan batuk dan kongesti adalah morbiditas yang paling
sering dilaporkan pada titik awal dan akhir. Demam juga sangat lazim dan tidak
berbeda secara signifikan berdasarkan kelompok pada kedua titik waktu.
Prevalensi diare akut yang dilaporkan dalam 7 hari sebelumnya lebih tinggi pada
kelompok telur (20 [26%] dari 78 anak) dibandingkan dengan kelompok kontrol
(12 [15%] dari 82 anak) pada awal dan meningkat sebesar 5,5% poin hanya pada
kelompok telur, menghasilkan peningkatan PR yang signifikan (Tabel 3).
DISKUSI

RCT menguji intervensi berdasarkan makanan sederhana dengan menyediakan 1


telur per hari pada awal periode makanan pendamping ASI, dibandingkan dengan
kelompok kontrol atau pola makan anak biasa. Penulis menemukan bahwa hal ini
memberikan efek yang berarti secara biologis dan signifikan pada pertumbuhan
anak, terutama LAZ dan mengurangi stunting. Ukuran efek pada hasil
antropometri secara substansial lebih besar daripada percobaan makanan
pendamping ASI lainnya. Berdasarkan analisis longitudinal pada perbandingan
telur dengan kelompok kontrol menunjukan peningkatan LAZ sebanyak 0,63 dan
stunting menurun sebanyak 47%. Efek LAZ meningkat pada efek rata-rata global
dari percobaan makanan pendamping lain: 0,39. Meskipun frekuensi asupan
makanan yang dimaniskan meningkat pada kedua kelompok, ada penurunan
frekuensi asupan pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Tidak ada reaksi alergi segera pada konsumsi telur yang ditemukan pada
anak dengan sumber daya yang buruk, dimana prevalensi alergi makanan rendah.

Telur merupakan makanan yang lengkap, dikemas dengan aman dan terjangkau
oleh populasi miskin sumber daya daripada makanan pelengkap lain, khususnya
makanan yang difortifikasi. Ada beberapa penelitian pada anak yang meneliti efek
telur pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun penulis tidak
menemukan studi perbandingan intervensi pada anak dari populasi yang miskin
sumber daya yang mengukur pertumbuhan. Suatu studi di Australia meneliti
kuning telur kaya asam lemak n-3 selama periode makanan pendamping ASI
dibandingkan dengan telur biasa dan kelompok kontrol. Hasil menunjukkan
peningkatan konsentrasi DHA eritrosit pada intervensi telur yang kaya n-3
dibandingkan dengan grup lain dan juga peningkatan besi plasma dan saturasi
transferin pada kedua grup telur ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Studi lain menguji efek nutrisi telur yang dipromosikan melalui pendidikan dan
program pemasaran sosial dan produksi ternak kecil. Sebuah studi observasi yang
menghubungkan telur dan pertumbuhan anak termasuk studi skala besar di India,
yang menunjukkan bahwa semakin rendah konsumsi telur pada anak 0-23 bulan
meningkatkan kemungkinan pertumbuhan yang terlambat (stunting).
Penulis membuat hipotesa bahwa telur, sebagai makanan kualitas tinggi
dikenalkan lebih cepat selama periode makanan pendamping ASI memiliki
dampak positif pada pertumbuhan anak di populasi ini dengan diet marginal.
Kuning telur dan putih telur mengandung bahan yang secara terpisah berhubungan
dengan pertumbuhan, walaupun itu seperti kombinasi kuning dan putih telur yang
memberi efek. Dibandingkan dengan makanan lain, telur mengandung konsentrasi
kolin yang tinggi, nutrisi yang ditemukan sebelumnya untuk mempromosikan
pertumbuhan pada model hewan secara primer. Kumpulan asam amino dalam
telur telah lama dikenal karena kualitasnya dan bahkan diterapkan untuk
mengevaluasi kandungan protein dalam makanan lain. Protein diperlukan untuk
pertambahan jaringan otot, tetapi juga dapat meningkatkan kinetika penyerapan
mineral dan nutrisi penting lainnya. Akhirnya, senyawa bioaktif lain mungkin
berkontribusi pada efek yang besar, seperti insulin-like growth factor 1. Pada
penelitian kualitatif penulis (tidak dipublkasikan) menunjukkan bahwa ibu dan
pengasuh lain menawarkan anak telur rebus yang matang atau setengah matang,
walaupun metode memasak yang lain juga digunakan, termasuk menggoreng telur
dengan minyak, memasaknya menjadi omelet (dengan bit, brokoli, wortel,
sayuran hijau, atau lobak), atau menambah telur mentah pada sup atau minuman.

Penelitian kami secara cermat memonitor reaksi alergi terhadap telur, namun tidak
ada insiden yang ditemukan atau dilaporkan oleh pengasuh selama kunjungan
rumah mingguan. Alergi telur adalah salah satu alergi makanan yang paling umum
dimediasi oleh immunoglobulin-E pada bayi dan anak kecil, walaupun beberapa
penelitian secara realtif telah dilakukan pada populasi yang miskin sumber daya.
Oleh karena itu, meskipun terdapat banyak bukti, terdapat konsensus yang
mengemukakan bahwa telur dapat diperkenalkan lebih awal dalam masa
pemberian makanan tambahan tanpa risiko peningkatan insiden alergi,
sebagaimana tercermin dalam pedoman revisi dari American Academy of
Pediatrics 2008, secara global.
Perhatian tetap dipusatkan pada Ekuador, meskipun sebagai hasil dari penelitian
ini, Kementerian Kesehatan negara memperbarui pedoman pemberian makanan
pelengkap dengan merekomendasikan pengenalan telur mulai usia 7 bulan.
Penelitian ini menunjukkan intervensi pemberian telur tidak memiliki efek dalam
mengurangi gejala morbiditas, tetapi terdapat peningkatan prevalensi kejadian
diare akut yang dilaporkan oleh pengasuh pada kelompok intervensi. Hal ini
mungkin disebabkan oleh telur berpotensi menjadi pemicu alergi yang dimediasi
oleh immunoglobulin-E atau adanya penyakit yang disebabkan oleh makanan
karena penyajian telur yang tidak baik. Namun, terdapat kemungkinan adanya
beberapa bias dalam pelaporan kejadian diare, yang timbul dari sikap dan
kekhawatiran tentang masalah pencernaan terkait telur pada diet anak-anak,
seperti yang kami amati dalam penelitian kualitatif kami (WFW, CAGR, CK,
CKL, CPS, LLI, pengamatan tidak dipublikasikan). Studi sebelumnya juga
menunjukkan adanya laporan kejadian diare akut yang tidak akurat, terutama pada
anak-anak yang masih disusui. Mirip dengan banyak negara berpenghasilan
rendah dan menengah secara global, Ekuador berada dalam pergolakan transisi
nutrisi dan epidemiologis.

Baru-baru ini Survei Kesehatan dan Nutrisi Nasional Ekuador tahun 2012,
menunjukkan bahwa terdapat 8,6% anak-anak kelebihan berat badan atau
obesitas, dan 13,1% rumah tangga mengalami beban ganda dengan adanya ibu
yang kelebihan berat badan atau obesitas dan anak-anak <5 tahun yang stunting.
Kami mengamati adanya peningkatan frekuensi konsumsi makanan manis,
minuman, dan soda pada kedua kelompok pada akhir pengamatan. Namun,
kelompok intervensi tetap menunjukan prevalensi angka yang lebih rendah dalam
hal konsumsi makanan manis seperti coklat, permen, permen, kue kering, kue jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kami tidak memberikan pendidikan
nutrisi dalam penelitian ini yang diluar dari partisipasi dalam Proyek Lulun dan
kepatuhan untuk mengonsumsi telur. Makanan berkualitas tinggi seperti telur
dapat berperan sebagai vital replacement, baik melalui penggantian kalori atau
mekanisme nafsu makan lainnya dalam mengatasi masalah transisi nutrisi di
daerah lain di dunia.
Adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini harus diakui. Pertama,
meskipun proses randomisasi menghasilkan kelompok yang sebanding pada
semua karakteristik yang diamati, tetapi terdapat perbedaan awal dalam hal
antropometrik dan pelaporan gejala diare pada 2 kelompok. Mungkin ada
perbedaan dalam lintasan pertumbuhan atau pertumbuhan catch-up dengan variasi
dalam latar belakang prevalensi stunting. Kami memperhitungkan perbedaan-
perbedaan ini dengan menyesuaikan ukuran antropometrik dasar dalam semua
analisis dan hanya menemukan hanya ada pengurangan kecil dalam ukuran efek
intervensi. Demikian pula, gejala morbiditas awal dimasukkan dalam pemodelan
regresi dengan sedikit atau tanpa efek. Berat badan lahir dan usia kehamilan saat
lahir adalah 2 faktor yang mungkin juga mempengaruhi lintasan pertumbuhan
yang tidak diuji dalam penelitian kami, terutama karena informasi tersebut sering
tidak diketahui atau diingat dengan akurat. Keterbatasan lain mungkin adalah
bahwa penelitian ini awalnya dirancang dan dimanfaatkan untuk menguji efek
dari pemberian telur pada biomarker mikronutrien. Meskipun kampanye
pemasaran sosial menyertakan pesan yang mendorong ibu atau pengasuh lainnya
untuk memberikan telur kepada anak yang diteliti saja, tetapi kami menyadari
bahwa mungkin telah terjadi berbagi makanan dengan saudara kandung. Namun,
jika hal tersebut terjadi, hanya akan menyebabkan lemahnya efek yang
didapatkan. Akhirnya, meskipun telur adalah sumber makanan yang banyak
tersedia dan dapat diakses secara luas di sebagian besar dunia, hasil penelitian ini
mungkin tidak dapat digeneralisasikan ke konteks lain dikarenakan adanya
perbedaan latar belakang seperti, prevalensi stunting atau penerimaan budaya
yang berbeda, meskipun kampanye pemasaran sosial yang dirancang dengan baik
dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.

KESIMPULAN

RCT ini menunjukkan bahwa 1 telur per hari, dimulai sejak awal pemberian
makanan pendamping mulai dari usia 6 hingga 9 bulan dan berlanjut selama 6
bulan, secara signifikan dapat meningkatkan pertumbuhan linier dan mengurangi
stunting pada populasi Andes.
Ke depan, terdapat kebutuhan akan penelitian yang efektif dalam mengidentifikasi
strategi yang dapat diskalakan untuk meningkatkan ketersediaan telur dan akses
ke rumah tangga yang rentan serta mempromosikan konsumsi telur di awal
periode MP-ASI dalam konteks budaya yang berbeda.

Efikasi dari telur juga dapat diperiksa selama kehamilan untuk mengetahui
dampak pada pertumbuhan janin dan nutrisi ibu. Dalam pandangan kami, telur
berpotensi menjadi sumber makanan berkualitas tinggi yang terjangkau dan ramah
lingkungan pada populasi yang berisiko kekurangan gizi dan kelebihan berat
badan dan obesitas.
ANALISIS JURNAL
CRITICAL APPRAISAL

A. ANALISIS PICO
Jurnal ini telah menjawab pertanyaan dasar sebagai berikut:
1. Problem
Masalah utama yang ditampilkan dari jurnal ini adalah meningkatnya
angka stunting di Ekuador. Populasi asli dataran tinggi Ekuador di mana
stunting intragenerasional terbukti dan prevalensi di antara anak-anak <5
tahun (42,3%) melebihi rata-rata nasional (25,2%).

2. Intervention
Jurnal ini merupakan penelitian randomized controlled trial (RCT) yang
memiliki dua kelompok uji yaitu kelompok kontrol dan intervensi dengan
melakukan pemberian intervensi konsumsi telur setiap harinya selama 6
bulan. Mulai dari Maret hingga Desember 2015. Jurnal ini memantau
gejala morbiditas, mendistribusikan telur, dan memantau asupan telur
(untuk kelompok dengan intervensi saja). Serta mengamati ukuran hasil
baseline dan titik akhir termasuk antropometri, asupan makanan frekuensi,
dan gejala morbiditas.

3. Comparison
Pada penelitian ini terdapat perbandingan antara bayi yang rutin
mengkonsumsi telur setiap hari dan bayi tanpa pemberian telur.

4. Outcome
RCT ini menunjukkan bahwa 1 telur per hari, dimulai sejak awal
pemberian makanan pendamping dari 6 hingga 9 bulan dan berlanjut
selama 6 bulan, secara signifikan meningkatkan pertumbuhan linier dan
mengurangi stunting pada populasi Andes ini. Dalam pandangan kami,
telur memiliki potensi untuk menjadi terjangkau dan sumber makanan
berkualitas tinggi yang ramah lingkungan dalam populasi yang berisiko
kekurangan gizi dan kelebihan berat badan dan obesitas.

B. ANALISIS VIA
1. Validity
 Publisher:
Jurnal dengan judul “Eggs in Early Complementary Feeding and
Child Growth: A Randomized Control Trial” dipublikasikan pada
Journal of The American Academy of Pediatrics. Jurnal
dipublikasikan pada volume ke 140 pada tahun 2017

 Desain penulisan:
Merupakan studi Randomized Controlled Trial (RCT) dengan
proses pemberian perlakuan kepada subjek secara acak.

 Tujuan:
Untuk mengetahui pengaruh pemberian telur di awal sebagai
pelengkap makanan dan pertumbuhan anak.

 Metode:
Penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) dengan paralel
desain di 5 daerah pedesaan Provinsi Cotopaxi di Republik
Ekuador yang dilakukan mulai dari Maret sampai Desember 2015.
Kriteria inklusi: (1) Bayi berusia 6-9 bulan, (2) Bayi lahir tunggal,
(3) Bayi dalam keadaan sehat tanpa penyakit penyerta. Kriteria
ekslusi: (1) Bayi dengan penyakit jantung bawaan, (2) Bayi dengan
malnutrisi akut, (3) Bayi alergi telur, (4) Ibu tidak bersedia.

2. Importancy
Intervensi untuk mengatasi stunting sebagian besar telah dilakukan dengan
pemberian makanan yang diperkaya atau suplemen-suplemen tetapi untuk
penggunaan makanan nutrisi berasal dari lokal yang dapat diberikan
terbatas.

Jurnal Eggs in Early Complementary Feeding and Child Growth: A


Randomized Control Trial dinilai penting dengan beberapa poin sebagai
berikut:

Bagi klinisi
 Jurnal ini dapat digunakan sebagai wadah dalam menambah
wawasan klinisi terkait tentang pemberianawal makanan pelengkap
dan pertumbuhan anak.
 Jurnal ini dapat menjadi salah satu solusi bagi klinisi untuk
pemberian edukasi kepada orangtua dengan ekonomi rendah dalam
pemberian asupan nutrisi pada bayi.

Bagi peneliti
 Jurnal ini dapat digunakan sebagai acuan atau studi pustaka dalam
melakukan penelitian terkait asupan awal makanan, nutrisi serta
pertumbuhan anak.

3. Applicability
1. Apakah hasil penelitian dapat diterapkan di Indonesia?
Ya. Berdasarkan Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World
Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga
dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia
Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun
2005-2017 adalah 36,4%. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia
0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini
meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek
sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19% (Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2018).

2. Apakah hasil penelitian dapat diterapkan di RSAM?


Ya. Bisa diterapkan di RSAM Abdul Muluk jika terdapat keluasaan
waktu, dan memadainya subjek penelitian, mengingat angka stunting di
Lampung meningkat sejak 3 tahun terakhir ini (Dinkes Bandar Lampung,
2018).

3. Apakah penelitian ini dapat diterapkan pada pasien?


Ya. Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0 – 59 bulan, dimana
tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi (<-
2SD) dari standar median WHO. Lebih lanjut dikatakan bahwa stunting
akan berdampak dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang
terganggu, dimana dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan
kognitif. Jangka panjang mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih
baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang kerja dengan pendapatan
lebih baik. Data SKMI 2014 juga menunjukkan asupan anak > 6 bulan
cenderung mengonsumsi 95% dari kelompok serealia (karbohidrat), sangat
kurang dari kelompok protein, buah, dan sayur. Jadi sangat diperlukan
pemberian asupan makanan yang sederhana selain dengan suplemen-
suplemen sejak dini (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI,
2018).

Anda mungkin juga menyukai