Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Budaya Organisasi

Dari segi Bahasa, kata budaya atau kebudayaan berasal dari kata sansakerta

yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) di

artikan sebagai hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam Bahasa

Inggris, kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin colere yaitu

mengolah atau mengerjakan. Organisasi bisa diartikan sebagai wadah orang-orang

berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis dalam memanfaatkan

sumber daya organisasi secara efisien dan efektif untuk mecapai tujuan yang telah

ditentukan.

Penggunaan istilah budaya organisasi mengacu pada budaya yang berlaku

dalam perusahaan atau institusi, karena pada umumnya perusahaan atau institusi itu

dalam bentuk organisasi, yaitu kerja sama antara beberapa orang yang membentuk

kelompok satuan kerja sama tersendiri. Pada dasarnya manusia atau seseorang yang

berada dalam kehidupan organisasi akan berusaha menentukan atau membentuk

budaya dimana individu itu berada, seperti nilai, keyakinan, anggapan dan harapan

yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak agar pada saat menjalankan

aktivitasnya tidak berbenturan dengan berbagai sikap dan prilaku individu.

Pernyataan ini di dukung dengan beberapa teori menurut Cartwright (1999)

dalam Wibowo (2010) yang menyatakan bahwa budaya merupakan penentu yang

kuat dari keyakinan, sikap dan prilaku orang, dan pengaruhnya dapat di ukur
melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespon pada lingkungan budaya

mereka. Atas dasar itu, Cartwright mendefinisikan budaya sebagai sebuah

kumpulan orang yang terorganisasi yang berbagi tujuan, keyakinan dan nilai-nilai

yang sama dan dapat di ukur dalam bentuk pengaruhnya pada motivasi.

Robbins dan Judge dalam Wibowo (2010:256) berpendapat bahwa:

“Budaya oranisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-

anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasiorganisasi lain. Sistem

maksa bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat

karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.” Teori lain menurut Suwarto

dan Koesharto (2010) mengemukakan bahwa: “Secara umum, perusahaan atau

organisasi terdiri atas sejumlah orang dengan latar belakang, kepribadiam, emosi

dan ego yang beragam. Hasil penjumlahan dan interaksi berbagai orang tersebut

membentuk budaya organisasi. Secara sederhana, budaya organisasi dapat

didefinisikan sebagai kesatuan orang-orang yang memiliki tujuan, keyakinan

(beliefs), dan nilai-nilai yang sama.”

Berdasarkan teori para ahli diatas, meskipun konsep budaya organisasi

memunculkan perspektif yang beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli

dalam hal mendefinisikan budaya organisasi. Bahwa budaya organisasi merupakan

falsafah, ideology, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-

norma yang dimiliki oleh anggota organisasi serta bentuk bagaimana orang-orang

dalam organisasi berperilaku dan melakukan sesuatu hal yang bisa dilakukan

sehingga membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Budaya

organisasi dapat mempengaruhi cara karyawan dalam bertingkah laku, cara


menggambarkan pekerjaan, dan cara bekerja dengan karyawan lain. Budaya

organisasi berperan memperkuat eksistensi organisasi. Dalam setiap organisasi,

budaya organisasi selalu diharapkan baik karena baiknya budaya organisasi akan

berhubungan dengan berhasil tidaknya organisasi mencapai tujuannya.

Budaya organisasi dalam suatu organisasi yang satu dapat berbeda dengan

organisasi yang lainya, namun budaya organisasi menunjukan ciri-ciri, sifat, atau

karakteristik tertentu yang menunjukan kesamaannya terhadap budaya organisasi

tersebut. Terminologi yang di pergunakan para ahli untuk menunjukan karakteristik

budaya organisasi sangat berpariasi. hal tersebut menunjukan beragamnya ciri,

sifat, dan elemen yang terdapat dalam budaya organisasi.

Robbins (2010:256-257) mengemukakan tujuh karakteristik primer yang

membentuk budaya organisasi, yaitu:

1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para karyawan didorong agar

inovatif dan mengambil resiko.

2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana para karyawan diharapkan

memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhtian terhadap detail.

3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil

bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.

4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan

dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.


5. Organisasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasika berdasar tim,

buaknnya berdasar individu.

6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan

bukannya santai-santai.

7. Kemantapan. Sejauhan mana kegiatan organisasi menekankan

dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.

Beberapa pendapat para ahli lain mengatakan bahwa budaya organisasi

memiliki 4 ciri atau karakteristik yang perlu di deskripsikan seperti yang di kata

kan oleh Denisondan Mishra (1995) bahwa terdapat empat ciri budaya

organisasi yaitu :

1. Keterlibatan (involvement)

Organisasi yang efektif memberdayakan dan melibatkan orang-orang disekitar

mereka, membangun tim, dan mengembangkan kemampuan semua tingkatan.

Anggota organisasi berkomitmen untuk pekerjaan mereka, dan merasa kuat rasa

kepemilikan. Keterlibatan adalah faktor kunci dalam budaya organisasi, yang

merupakan karakteristik nilai dari organisasi yang menempatkan pandangan

tentang pentingnya keterlibatan seluruh pergawai yang bekerjasama dalam

mencapai tujuan organisasi. Dalam model ini, sifat ini diukur dengan tiga indeks:

Pemberdayaan (empowerment) Individu memiliki wewenang, inisiatif dan

kemampuan untuk mengelola pekerjaan mereka sendiri. Hal ini menciptakan rasa

kepemilikan dan tanggung jawab terhadap organisasi.


2. Orientasi tim (team orientation) Nilai ditempatkan pada bekerja secara kooperatif

menuju tujuan bersama bagi seluruh karyawan dan saling akuntabel. Organisasi

bergantung pada usaha tim untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan.

3. Pengembangan kemampuan (capability development) Organisasi terusmenerus

berinvestasi dalam pengembangan keterampilan karyawan agar tetap kompetitif

terus-menerus sesuai kebutuhan bisnis.

2. Penyesuaian (Adaptability)

Penyesuaian merupakan kebutuhan organisasi dalam melaksanakan kegiatan dalam

lingkungan organisasi tersebut, dimana organisasi memegang nilai dan

kepercayaan yang mendukung kapabilitas dalam menerima, menginterpretasikan

dan menterjemahkan tanda-tanda dari lingkungan kedalam perubahan prilaku

internal dari organisasi.

Dalam model ini, diukur dengan tiga indeks :

1. Membuat perubahan (creating change) Organisasi mampu menciptakan

cara-cara adaptif untuk memenuhi perubahan kebutuhan. hal ini dapat

membaca bisnis lingkungan, bereaksi dengan cepat terhadap tren saat ini,

dan mengantisipasi perubahan di masa depan.

2. Fokus pada pelanggan (costumer focus) Organisasi memahami dan

bereaksi terhadap pelanggan dan mengantisipasi kebutuhan masa depan

mereka. hal ini mencerminkan sejauh mana organisasi tersebut didorong

oleh kekhawatiran untuk memuaskan pelanggan mereka.


3. Belajar organisasi (organizational learning) Organisasi menerima,

menerjemahkan, dan menafsirkan sinyal dari lingkungan menjadi peluang

untuk mendorong inovasi,memperoleh pengetahuan, dan mengembangkan

kemampuan.

3. Misi (mission)

Misi adalah arahan pada pada pencapaian tujuan jangka panjang yang bermakna

pada organisasi (meaningfull long term). Misi menjelaskan tujuan dan arti yang

diterjemahkan dalam tujuan ekternal organisasi. Sebuah misi memberikan tujuan

dan arti dengan mendefinisikan peran sosial dan tujuan eksternal bagi organisasi.

Dalam model ini, sifat ini diukur dengan tiga indeks:

1. Arah strategis dan maksud (strategic direction and intent) Niat strategis

yang jelas menyampaikan tujuan organisasi dan membuat jelas berapa

orang dapat berkontribusi dan membuat tanda mereka pada industri.

2. Tujuan dan sasaran (goals and objectives) Satu kesatuan yang jelas dari

tujuan dan sasaran dapat dihubungkan dengan misi, visi dan strategi, dan

memberikan arah yang jelas dalam pekerjaan mereka kepada semua

orang.

3. Visi (vision) Organisasi memiliki pandangan bersama tentang masa

depan yang diinginkan. hal ini mewujudkan nilai-nilai inti dan

menangkap hati dan pikiran anggota organisasi, sambil memberikan

bimbingan dan arahan pada mereka.

4.Konsistensi (consistency)
Konsistensi adalah nilai dan sistem yang mendasari kekuatan suatu budaya.

Nilai ini memfokuskan pada integrasi sumber-sumber organisasi koordinasi dan

sistim kontrol dan konsistensi organisasi dalam mengembangkan sistim yang

efektif dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Karakteristik konsistensi meliputi

koordinasi, integrasi, kesepakatan dan nilainilai inti. Dalam model ini konsistensi

diukur dengan tiga indeks:

1. Nilai inti (core values) Anggota organisasi berbagi satu set nilai-nilai yang

menciptakan rasa identitas dan satu set harapan yang jelas.

2. Perjanjian (aggrement) Anggota organisasi mampu mencapai kesepakatan

tentang isu-isu penting. Ini mencakup baik tingkat yang mendasari kesepakatan dan

kemampuan untuk mendamaikan perbedaan ketika mereka terjadi.

3. Koordinasi dan integrasi (coordination and intergration) Fungsi dan unit

organisasi yang berbeda dapat bekerja sama dengan baik untuk mencapai tujuan

bersama. Batas-batas organisasi tidak mengganggu mendapatkan pekerjaan yang

dilakukan.

Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting, Fungsi budaya

organisasi adalah sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada di dalamnya.

Menurut Robbins (2010), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :

1. Budaya mempunyai suatu peran yang berbeda. Hal itu berarti bahwa

budaya kerja menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi

dengan yang lain.

2. Budaya organisasi membawa suatu rasa indentitas bagi anggota-anggota


organisasi.

3. Budaya organisasi mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada

suatu yang lebih luas dari pada kepentingan diri individual.

4. Budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.

5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang

memandu dan membentuk sikap serta pilaku tenaga kesehatan.

Tujuan penerapan budaya organisasi dalam Anwar Prabu mangkunegara

(2012) adalah agar seluruh individu dalam perusahaan atau organisasi mematuhi

dan berpedoman pada sistem nilai keyakinan dan norma-norma yang berlaku dalam

perusahaan atau organisasi tersebut serta merupakan bentuk bagaimana orang-

orang berprilaku dan melakukan hal-hal yang membedakan organisasi dengan

organisasi lain. Organisasi ini adalah sebagai wadah tempat individu bekerja sama

secara rasional dan sistematis untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan oleh

organisasi tersebut.

Terdapat tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan

hakikat-hakikat budaya organisasi, menurut Robbins dan Judge dalam

(Wibowo:2013) adalah sebagai berikut:

1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko

Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani

mengambil resiko.

2. Perhatian pada hal-hal rinci

Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis dan


perhatian pada hal-hal detail.

3. Orientasi hasil kerja

Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada

teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.

4. Orientasi pada anggota organisasi

Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek

dari hasil tersebut atas manusia yang ada dalam organisasi ketimbang

pada individu-individu.

5. Orientasi tim

Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang

individu-individu

6. Keagresifan

Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai dan

hanya diam saja.

7. Stabilitas (Stability)

Seberapa besar kegiatan organisasi melibatkan individu untuk

mempertahankan status quo dibandingkan dengan pertumbuhan.

Gambaran dimensi budaya organisasi ini bisa di jadikan acuan untuk sikap

pemahaman bersama yang di miliki oleh anggota organisasi itu sendiri.

Salah satu bentuk organisasi dengan karakteristik yang cukup kompleks dan

unik adalah Rumah sakit. Semakin meningkatnya jumlah rumah sakit membuat

persaingan antar rumah sakit yang semakin ketat, maka dibutuhkan peningkatan
kualitas pelayanan sebuah rumah sakit sangat penting diperhatikan. Persaingan ini

tidak hanya terjadi dari sisi teknologi peralatan kesehatan tetapi juga dalam

memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kualitas pelayanan

Menurut W. Edwards Deming, kualitas dapat didefinisikan sebagai apapun

yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen, menurut Crosby, kualitas adalah

nihil cacat, kesempurnaan dan kesesuainan terhadap peryaratan dan menurut Juran,

kualitas merupakan kesesuaian terhadapa spesifikasi (Yamit, 2004).

Kotler (2001), kualitas adalah total fitur dan karakteristik produk atau jasa

yang mempengaruhi kemampuanya untuk memenuhi keinginan yang dinyatakan

atau tersirat.

Tjiptono (2001), kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan

dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau

melebihi harapan.

Dari beberapa definisi teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa kualitas

adalah suatu standar mutu dimana setiap unsur saling berhubungan serta dapat

mempengaruhi kinerja dalam memenuhi harapan pelanggan. Kualitas bukan hanya

menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut

kualitas manusia, kualitas proses dan kualitas lingkungan.


Pendekatan pertama di kemukakan oleh Albrcht dalam yang mendasarkankan

pendekatannya pada dua konsep pelayanan berkualitas, yaitu (a) service tiangle dan

(b) total quality service (TQS). Service triangle di terjemahkan sebagai segitiga

layanan dan total quality service di terjemahkan sebagai layanan mutu terpadu

(Budi W, Soetjipto). Dikutip dari Yamit (2010)

Menurut Olsen dan Wyckoff (Yamit, 2010) definisi secara umum dari kualitas

jasa pelayanan adalah perbandingan antara harapan konsumen dengan kinerja

kualitas pelayanan.

Zeitham, Berry dan Parasuratman (2010) menyatakan bahwa service quality

dapat didefinisikan sebagai: “Seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan

harapan pelanggan atas pelayanan yang mereka terima/peroleh.” Harapan para

pelanggan pada dasarnya sama dengan layanan seperti apakah seharusnya diberikan

oleh perusahaan kepada pelanggan. Harapan para pelanggan ini didasarkan pada

informasi dari mulut ke mulut, kebutuhan pribadi, pengalaman di masa lampau, dan

komunikasi eksternal (iklan dan berbagai bentuk promosi perusahaan lainnya).

Dapat dikatakan bahwa pelayanan adalah perbandingan antara layanan yang

dirasakan (persepsi) konsumen dengan kualitas layanan yang diharapkan

konsumen. Jika kualitas layanan yang dirasakan sama atau melebihi kualitas

layanan yang diharapkan, maka layanan dikatakan berkualitas dan memuaskan, hal

tersebut berkaitan erat dengan kualitas layanan dimana seberapa jauh perbedaan

antara harapan dan kenyataan para pelanggan atas layanan yang mereka terima.

Service quality dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi pelanggan


atas layanan yang benar-benar mereka terima dengan layanan sesungguhnya yang

mereka harapkan. Bila pasien mendapati pelayanan yang sesuai harapannya,

pastinya pasien akan puas akan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit.

Kualitas total suatu jasa terdiri atas tiga komponen utama (Gronroos 1990:60)

yaitu :

1. Technical Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas output

ataupun keluaran jasa yang diterima oleh konsumen.

2. Functional Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas cara

penyampaian suatu jasa.

3. Corporate Image, yaitu profil, reputasi, citra umum, dan daya tarik khusus

suatu perusahaan.

Kualitas pelayanan kesehatan bersifat multi dimensi. Ditinjau dari pemakai

jasa pelayanan kesehatan health consumer maka pengertian kualitas pelayanan

lebih terkait pada ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran

komunikasi antara petugas dengan pasien, keprihatinan serta keramahtamahan

petugas dalam melayani pasien (Robert dan Prevest dalam Lupiyoa, 2001:231).

Dalam Yamit (2010), mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor

penghambat dalam pelayanan yang diidentifikasi sebagai berikut:

a. Kurang otoritas yang diberikan terhadap bawahan.

b. Terlalu birokrasi sehingga lambat dalam menghadapi keluhan konsumen.

c. Bawahan tidak berani mengambil keputusan sebelum ada izin dari atasan.
d. Petugas sering bertindak kaku dan tidak memberikan jalan keluar yang

baik.

e. Petugas sering tidak ada ditempat pada watu jam kerja sehingga sulit

untuk dihubungi.

f. Banyak interest pribadi.

g. Budaya tip.

h. Aturan yang tidak jelas dan terbuka.

i. Kurang professional (kurang terampil menguasai bidangnya).

j. Banyak instansi atau bagian lain yang terlibat.

k. Disiplin kerja sangat kurang dan tidak tepat waktu.

l. Tidak ada keselarasan antara bagian dalam memberikan pelayanan.

m. Kurang kontrol sehingga petugas agak “nakal”.

n. Ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan.

o. Belum ada sistem informasi manajemen (SIM) yang terintegrasi.

Factor-faktor penghambat dalam pelayanan tersebut diatas dapat dijadikan

dasar bagi manager untuk meningkatkan atau memperbaiki pelayanan agar dapat

mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan yang terjadi antara pihak

perusahaan dengan pelanggan. Zeitham, Berry dan Parasuratman (2010) telah

melakukan penelitian terhadap beberapa jenis jasa, dan berhasil mengidentifikasi


dimensi karakteristik yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi

kualitas pelayanan. Kelima karakteristik kualitas pelayanan itu adalah:

a. Tangibles (bukti langsung) yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,

pegawai dan sarana komunikasi.

b. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan

pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang telah

dijanjikan.

c. Responsivevess (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk

membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.

d. Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat

dapat dipercaya yang dimilik oleh para staf, bebas dari bahaya, resiko

ataupun keragu-raguan.

e. Empaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,

komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan

pelanggan.

Terdapat beberapa penelitian lain yang mengatakan bahwa kualitas

pelayanan rumah sakit dapat di lihat dari beberapa aspek yang berpengaruh, baik

yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Yacobalis (2009:14) beberapa

aspek yang berpengaruh tersebut adalah sebagai berikut :

a. Klinis, yaitu menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan

teknis medis.
b. Efisiensi dsn efektifitas, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tak ada

diagnosa dan terapi berlebihan.

c. Keamanan pasien, yaitu upaya perlindungan terhadap pasien, misalnya

perlindungan jatuh dari tempat tidur, kebakaran.

d. Kepuasan pasien, yaitu berhubungan dengan kenyamanan, keramahan

dan kecepatan pelayanan.

Sehingga berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima

faktor atau aspek kualitas pelayanan yaitu bukti fisik, reabilitas, daya tanggap,

jaminan, dan empati.

Menurut Zeithaml dkk, terdapat lima macam kesenjangan kualitas jasa yang

memungkinkan kegagalan penyampaian jasa, yaitu:

1) Gap antara harapan pelanggan dengan persepsi manajemen atas harapan

pelanggan.

2) Gap antara persepsi manajemen atas harapan pelanggan dengan

spesifikasi kualitas jasa.

3) Gap antara spesifikasi kualitas dengan kualitas jasa yang sebenarnya

diberikan.

4) Gap antara jasa yang diberikan dengan jasa yang dikomunikasikan

dengan pelanggan.

5) Gap antara harapan pelanggan dan persepsi yang dibentuk dengan apa

yang dia rasakan/diterima dari jasa tersebut


Hubungan dari kelima hal tersebut di atas dapat dilihat dari gambar Model

Konseptual Kualitas Jasa.

Model Konseptual Jasa

Komunikasi mulut Kebutuhan Pengalaman yang


ke mulut personal lalu

Jasa yang
diharapkan
Gap 5

Jasa yang
dirasakan

Pengguna jasa

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Penyedia layanan Penyampaian Gap 4 Komunikasi


jasa eksternal
Gap 3

Penjabaran jasa

Gap 2

Persepsi
manajemen

Sumber : Tjiptono fandy (2005)

Konsumen akan memilih penyediaan jasa atas dasar komunikasi dari mulut ke

mulut, kebutuhan pribadi dan pengalaman masa lalu dari setelah menerima jasa atau
pelayanan, lalu membandingkan harapan akan jasa tersebut dengan yang jelas

dirasakan. Gap akan selalu terjadi karena harapan pelanggan selalu baik terhadap

kualitas pelayana, sedangkan kinerja pelayanan yang ditawarkan perusahaan sulit

mengikuti perubahan tersebut.

Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas pelayanan kesehatan perlu dilakukan pembatasan yang secara

umum dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kualitas pelayanan

kesehatan adalah mengacu pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehata. Sesuai

dengan teori yang di katakana oleh Levey dan Loomba dalam Azwar (2006),

pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-

sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan,

keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Teori lain yaitu Azwar (1996) menerangkan bahwa pelayanan kesehatan

yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai

jasa pelayanan kesehatan dengan tingkat kepuasan rata – rata penduduk serta yang

penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi yang telah

ditetapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kualitas layanan adalah cara

melayani, membantu menyiapkan, mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan

seseorang atau sekelompok orang. Artinya objek yang dilayani adalah masyarakat

yang terdiri dari individu, golongan dan organisasi.


Suatu rumah sakit agar bisa operasional, tidak cukup mempunyai sumber

daya manusia saja, tetapi harus didukung pula oleh fasilitas penunjang Rumah Sakit

baik penunjang medis maupun non medis, serta. Sarana penunjang rumah sakit

antara lain meliputi : laboratorium, instalasi farmasi, radiologi, pelayanan makan

pasien, dan lain-lain. Fasilitas penunjang rumah sakit juga sangat menentukan

terhadap kualitas pelayanan rumah sakit. Kualitas pelayanan rumah sakit juga

ditentukan oleh lingkungan rumah sakit. Persyaratan kesehatan lingkungan rumah

sakit adalah:

a. Lokasi atau lingkungan rumah sakit: nyaman, tenang, aman,

terhindar dari pencemaran, selalu dalam keadaan bersih.

b. Ruangan : berlantai dan berdinding bersih, penerangan cukup,

tersedia tempat sampah, bebas bau yang tidak sedap, bebas dari

gangguan serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya, lubang

penghawaan yang cukup, manjamin pergantian udara dalam ruangan

dengan baik.

c. Atap, langit-langit, pintu sesuai dengan syarat yang telah

ditentukan.

Pelayanan jasa yang diselenggarakan oleh rumah sakit untuk melayani

kebutuhan masyarakat, khususnya di bidang perawatan adalah pelayanan rawat

inap dan pelayanan rawat jalan. Pelayanan rawat jalan, pasien memperoleh

pelayanan kesehatan pada jam-jam tertentu dan tidak perlu pemondokan, sedang

pelayanan rawat inap, pasien memperoleh pelayan an kesehatan yang berlangsung

lebih dari 24 jam. Selama perawatan di ruang rawat inap, pasien akan memperoleh
jasa pelayanan berupa pemeriksaan, dilakukan diagnosa penyakitnya, diberikan

pengobatan atau tindakan, asuhan keperawatan, dievaluasi kondisinya dan akhirnya

pasien diperbolehkan keluar rumah sakit (sembuh, cacat, meninggal, dirujuk).

Ruang rawat inap merupakan tempat yang paling lama bagi pasien untuk tinggal

dibandingkan unit-unit lainnya. Disinilah harapan serta keyakinan pasien akan

memperoleh pelayanan yang sebaikbaiknya, sedang rumah sakit berusaha

semaksimal mungkin dapat memberikan pelayanan sesuai harapan pasien.

Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008

menegaskan :

1. Pemberi pelayanan dirawat inap adalah Dokter spesialis dan perawat

minimal D3

2. Dokter penanggung jawab pasien rawat inap 100%

3. Ketersediaan pelayanan rawat inap terdiri dari anak, penyakit dalam,

kebidanan, dan bedah

4. Jam visite Dokter Spesialis 08.00 s/d 14.00 setiap hari kerja

5. Kejadian infeksi pasca operasi ≤ 1,5%

6. Kejadian infeksi nasokomial ≤ 1,5%

7. Tidak adanya kejadian pasien jatuh yang mengakibatkan kematian atau

kecacatan 100%

8. Kematian pasien > 48jam ≤ 0,24%

9. Kejadian pulang paksa ≤ 5%

10. Kepuasan pelanggan ≥ 90%

11. Penegakan diagnosis TB melalui pemeriksaan mikroskopis TB ≥ 60%


12. Terlaksana kegiatan pencatatan dan pelaporan penyakit TB di rumah

sakit ≥ 60%

13. Ketersediaan pelayanan rawat inap di rumah sakit yang memberikan

pelayanan jiwa

14. Tidak adanya kematian pasien gangguan jiwa dikarnakan bunuh diri

15. Kejadian re-admission pasien gangguan jiwa dalam waktu ≤ 1 bulan

16. Lama hari perawatan pasien gangguan jiwa ≥ 6 minggu

Kualitas pelayanan kesehatan memiliki beberapa factor yang berpengaruh, seperti

teori menurut Azwar (2010) , meliputi:

a. Masukan

Telah disebutkan yang dimaksud dengan unsur masukan adalah tenaga, dana dan

sarana. Secara umum disebutkan apabila tenaga dan sarana tidak sesuai dengan

standar yang diterapkan , serta jika dana yang tersedia tidak sesuai dengan

kebutuhan, maka sulitlah diharapkan baiknya mutu pelayanan.

b. Lingkungan

Telah disebutkan yang dimaksud dengan unsur lingkungan adalah kebijakan,

organisasi dan manajemen. Menurut Dona Bedian, secara umum disebutkan apabila

kebijkan , organisasi dan manajemen tersebut tidak sesuai dengan standar yang

telah ditetapkan dan atau tidak bersifat mendukung maka sulitlah diharapkan

baiknya mutu pelayanan kesehatan

c. Proses
Proses adalah tindakan medis dan tindakan non medis. Secara umum disebutkan

apabila kedua tindakan ini tidak sesuai dengan tindakan yang ditetapkan maka

sulitlah diharapkan baiknya mutu pelayanan kesehatan.Dengan kata lain terdapat

faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu faktor masukan yang

berupa tenaga, dana, dan sarana, kemudian faktor lingkungan yang berupa

kebijakan organisasi dan menejemen, lalu faktor proses yang berupa tindakan medis

maupun non medis.

Berdasarkan teori mengenai kualitas pelayanan dan factor yang memepengaruhinya

maka dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan adalah ukuran seberapa bagus

pelayanan yang diberikan kepada pasien melalui pemenuhan kebutuhan pasien

berupa tenaga dan sarana sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan pasien.

Kepuasan Pelanggan

Pengertian kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan dilihat dari kesesuaian

antara harapan (expectation) pelanggan dengan persepsi, pelayanan yang diterima

(kenyataan yang dialami). Sesuai dengan beberapa teori yang mengatakan tentang

kepuasan pelanggan seperti menurut (Tjptono, 2005) bahwa kepuasan (satisfaction)

berasal dari bahasa latin “Satis” (artinya cukup baik, memadai) dan “Factio“

(artinya melakukan atau membuat). Secara sederhana, kepuasan dapat diartikan

sebagai ‘Upaya pemenuhan sesuatu’ atau ‘membuat sesuatu memadai’ (Tjptono,

2005).

Sedangkan menurut Kotler dan Keller (2007) menyebutkan bahwa

kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah
membandingkan kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja yang

diharapkan. Dan menurut Zeithaml, Bitner & Gremler (2006), juga menyatakan

bahwa “satisfaction is the consumer’s fulfillment response. It is a judgement that

the product or service feature, or the product or service itself, provides a

pleasurable level of consumption-related fulfillment”. Artinya, kepuasan

merupakan respon pemenuhan dari konsumen. Hal ini merupakan penilaian

mengenai bentuk dari produk dan layanan, atau mengenai produk atau layanan itu

sendiri, dalam menyediakan tingkat kepuasan dari konsumsi yang terpenuhi.

Terdapat beberapa aspek mengenai kepuasan pelanggan seperti yang

diutarakan oleh Lupiyoadi (2006) pasien dalam mengevaluasi kepuasan terhadap

jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa aspek yaitu:

a. Kualitas produk atau jasa

Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi menunjukkan bahwa produk

atau jasa yang digunakan berkualitas.

b. Kualitas pelayanan

Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka

memperolehpelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan.

Salah satu konsep service quality adalah ServQual sangat tergantung dari 3

faktor yaitu : 1. Sistem , 2. Teknologi, 3. Manusia. Berdasarkan konsep

ServQual, komponen ini mempunyai banyak dimensi yaitu : reability,

responsiveness, assurance, emphaty, dan tangibles.


c. Faktor emosional

Pasien yang merasa yakin bahwa orang lain kagum terhadap pasien

yangmemilih rumah sakit dengan kategori rumah sakit mahal cenderung

memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.

d. Harga

Harga merupakan aspek penting. Semakin mahal harga perawatan

makapasien mempunyai harapan yang lebih besar dan menimbulkan

kepuasan pada pasien.

e. Biaya

Pasien yang mendapatkan produk atau jasa dengan tidak mengeluarkan

biaya tambahan cenderung puas terhadap jasa pelayanan tersebut.

Berdasarkan pemparan aspek-aspek kepuasan pasien yang telah dijelaskan,

dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan pasien dapat dipengaruhi oleh kualitas

dari produk atau jasa yang telah diberika, kelitas pelayanan, faktor emosional, harga

serta biaya yang dikeluarkan.

Menurut Hill, et.al (dalam Tjiptono, 2008), kepuasan merupakan ukuran

kinerja ‘produk total’ sebuah organisasi dibandingkan serangkaian keperluan

pelanggan (Costumer requirements). Kepuasan pelanggan bukanlah konsep

absolut, melainkan relatif atau tergantung pada apa yang diharapkan pelanggan.
Selain itu, Tjiptono (2008) menyebutkan prinsip dasar yang melandasi pentingnya

pengukuran kepuasan pelanggan adalah “doing best what matters most costumers”

yaitu mealakukan yang terbaik aspek – aspek terpenting bagi pelanggan.

Ada empat metode yang sering digunakan dalam mengukur kepuasan pelanggan:

a. Sistem keluhan dan saran seperti, kotak saran di lokasi – lokasi strategis, kartu

pos berprangko, Saluran telepon bebas pulsa, Website, Email, Fax, Blog.

b. Ghost Shopping

Yaitu salah satu bentuk riset observasi partisipatoris yang memakai jasa orang –

orang yang ‘menyamar’ sebagai pelanggan perusahaan dan pesaing sembari

mengamati secara rinci aspek – aspek layanan dan kualitas produk.

c. Lost Costumer analysis

Yaitu menghubungi atau mewawancarai pelanggan yang telah bersalin pemasok

dalam rangka memahami penyebabnya dan melakukan perbaikan layanan.

f. Survei Kepuasan pelanggan bisa dengan cara Via pos, Telepon, Email, Website,

Blog, maupun tatap muka langsung (survey penelitian).

Hingga saat ini survei merupakan metode yang paling populer dan

berkembang dalam literatur pengukuran kepuasan pelanggan menurut Martilla &

James (dalam Tjiptono, 2008) adalah “importance performance analysis” yakni

menggunakan importance ratings dan performance ratings.

Garis besar kepuasan pelanggan menurut Zeithaml dan Bitner (2006) yaitu,

Pada dasarnya terdapat 5 (lima) penilaian terhadap kualitas yaitu reliability


(keandalan), responsiveness (ketanggapan), assurance (keyakinan), empathy

(empati), dan tangibles (wujud), di mana semua itu mempengaruhi kualitas

pelayanan, kualitas produk dan harga produk. Selanjutnya, ketiga faktor tersebut,

baik secara bersamasama maupun sendiri akan mempengaruhi kepuasan pelanggan.

Namun selain dipengaruhi oleh kualitas, kepuasan pelanggan juga dipengaruhi oleh

factor lain, yaitu faktor situasi/keadaan dan faktor personal atau dari dalam diri

pelanggan itu (misalnya: keinginan/kebutuhan).

Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Pasien

Bagian penerimaan pasien di rumah sakit mempunyai pengaruh dan nilai

penting walaupun mungkin belum ada tindakan-tindakan pelayanan medis khusus

yang diberikan kepada pasien. Kesan pertama akan memberikan arti tersendiri bagi

pasien untuk melalui proses pelayanan selanjutnya. Kesiapan petugas, kelengkapan

sarana/prasarana di bagian penerimaan pasien haruslah optimal. Diperlukan

petugas-petugas yang mempunyai dedikasi tinggi, seperti : terampil, ramah, sopan,

simpati, luwes, penuh pengertian, mempunyai kemampuan komunikasi dengan

baik (Snook, 2001: 210).

Organisasi yang baik, diperlukan staf bagian penerimaan pasien yang

mempunyai keterampilan tertentu yaitu, pewawancara, pencatat, dapat melakukan

koordinasi dengan baik, mempunyai kemampuan umum tentang rumah sakit,

menguasai pekerjaannya, dan yang lebih penting adalah petugas yang mempunyai

kemampuan komunikasi dan interpersonal yang baik (Goldberg, 1996: 67).

Prosedur kerja yang jelas, tegas dan tersusun rapi, data tempat tidur yang tersedia,
tarif serta peralatan-peralatan sesuai standar pelayanan harus tersedia dan benar.

Petugas rumah sakit harus memancarkan sikap positif pada orang lain dalam

memberikan pelayanan pelanggan yang berkualitas (Budiyanto, 1991: 76).

Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Pasien

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah

kualitas layanan yang diberikan oleh organisasi. Hal tersebut juga akan

mempengaruhi keberlangsungan industri di bidang kesehatan seperti Rumah Sakit.

Kepuasan pasien berkaitan erat dengan hasil layanan kesehatan baik secara medis

maupun non medis, seperti kepatuhan terhadap pengobatan, pemahaman informasi

medis, dan kelangsungan perawatan.

Kepuasan pasien adalah hasil penilaian pasien berdasarkan perasaannya

terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang telah menjadi

bagian dari pengalaman pasien atau dapat dinyatakan sebagai cara pasien rumah

sakit mengevaluasi seberapa besar tingkat kualitas pelayanan di rumah sakit

sehingga dapat menimbulkan tingkat rasa kepuasan (Utama, 2003).

Mutu pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan tingkat kepuasan pasien dapat

bersumber dari faktor yang relatif spesifik, seperti pelayanan rumah sakit, petugas

kesehatan, atau pelayanan pendukung.

Aspek-aspek dari pelayanan kesehatan menurut Parasuraman (1988) adalah

aspek wujud fisik (tangible), aspek kehandalan (reliability), aspek daya tanggap

(responsiveness), aspek jaminan (assurance), dan aspek empati (emphaty).


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rumah sakit yang

memiliki kualitas layanan kesehatan akan memberikan bukti fisik yang tinggiuntuk

pasien, kehandalan dalam memberikan pelayanan kesehatan, daya tanggap yang

tinggi dalam memberikan respon terhadap keluhan pasien dengan segera,

memberikan jaminan atas setiap tindakan yang dilakukan, dan memiliki empati

yang besar terhadap pasien yang berobat disana.

Anda mungkin juga menyukai