Anda di halaman 1dari 3

9.

Cedera Otak Traumatik dan Hiperglikemia

Daftar Isi
9.1. Pendahuluan
9.2. Mekanisme Terjadinya Hiperglikemia Paska Cedera Otak Traumatik
9.3. Manajemen Hiperglikemia Pada Pasien Cedera Otak Traumatik

9.1 Pendahuluan

Cedera otak traumatik merupakan penyebab kematian tertinggi pada pasien usia dewasa muda. COT bertanggung
jawab atas kematian lebih dari 1/3 semua kematian karena trauma. COT dibagi dua berdasarkan mekanisme terjadinya
menjadi COT primer dan sekunder. COT primer disebabkan oleh dampak trauma secara langsung pada kepala,
menyebabkan adanya penekanan dan laserasi pada jaringan otak yang dapat disertai dengan hilangnya kesadaran.
Cedera sekunder disebabkan oleh proses yang kompleks yang terjadi beberapa jam hingga hari paska cedera otak
primer. Komplikasi kranium yang dapat terjadi meliputi adanya edema pada otak, peningkatan tekanan intrakranial,
infeksi, toksisitas ion kalsium, dan terjadinya vasospasme. Komplikasi sistemik yang timbul ialah iskemia,
hipoksemia, hipotensi, hipertensi, hiperglikemia, dan hipoglikemia. Diantara keseluruhan komplikasi sekunder ini
hiperglikemia memiliki keterkaitan yang kuat dengan derajat keparahan dari cedera dan outcome klinis. Karena itu
manajemen gula darah yang baik pada keadaan hiperglikemia mampu mengurangi komplikasi pada COT.

Glukosa merupakan sumber energi utama pada otak mamalia. Glukosa dapat masuk ke dalam sel otak difasilitasi oleh
glukosa transporter. GLUT1 yang terdapat pada blood brain barrier (BBB) berperan dalam memediasi pengambilan
glukosa dari cairan ekstraselular ke dalam astrosit, mikrolial, dan oligodedroglial, sedangkan GLUT3 berperan dalam
transpor glukosa ke neuron otak. Dibandingkan dengan sel lain pada otak orang dewasa, neuron dan astrosit
membutuhkan glukosa dalam jumlah yang lebih besar.

NALS (neuron-astrocyte lactate shuttle) dan ANLS( astrocyte neuron lactate shuttle) merupakan dua teori yang
diperdebatkan mengenai jalur penggunaan glukosa dan laktat antara sel astrosit dan neuron otak. Teori NALS
mengungkapkan bahwa neuron berperan dalam uptake glukosa dan metabolismenya menjadi laktat untuk kemudian
dilepaskan ke ekstraseluler untuk digunakan oleh sel astrosit sebagai sumber energi sedangkan teori ANLS
mengungkapkan jalur yang sebaliknya. Pada dasarnya sel neuron akan lebih memilih menggunakan laktat sebagai
sumber energinya bila ada ketersediaan laktat dan glukosa. Sel neuron dan astrosit memiliki demand yang besar akan
kebutuhan energi, sehingga gangguan pada suplai energi dapat menyebabkan berbagai patologi pada sistem syaraf.

9.2 Mekanisme terjadinya Hiperglikemia paska cedera otak traumatik

Kejadian hiperglikemia setelah cedera otak traumatik berkaitan dengan peningkatan mortalitas (37% pada kelompok
hiperglikemia vs 8% pada kelompok normoglikemia), dan menggambarkan hubungan yang kuat antara COT dan
kadar gula dalam darah. Karena itu dibutuhkan eksplorasi terhadap penyebab terjadinya hiperglikemia agar terapi
yang tepat dapat diberikan. Beberapa mekanisme hiperglikemia paska COT diantaranya ialah:
 Responstress
Hiperglikemia yang diinduksi oleh stress merupakan salah satu penyebab hiperglikemia paska COT. Pada studi
terhadap 626 pasien COT, 184 pasien dirawat dengan hiperglikemia, dimana 152 (82,6%) merupakan stress
induced hyperglycemia (SIH) dan 32 pasin (17,4%) dengan hiperglikemia karena diabetes (DH). Pasien dengan
SIH memiliki penignkatan angka mortlitas >50% bila dibandingkan dengan DH. Selama COT, axis hipotalamus-
pituitari-adrenaldan persyarafan simpatis mangalami aktivasi, sehingga terjadi penignkatan faktor neurohormonal
dan resistensi insulin. Peningkatan hormon stress dapat mempengaruhi kadar gula darah. Setelah COT ,hormonal
stress dapat mempengaruhi kadar gula dalam darah. Peningkatan aktivasi sistem syaraf simpatis dan axis
hipotalamus-pitiuitari-adrenal menyebabkan peningkatan katekolamin, kortisol, glukagon dan hormon
pertumbuhan, Peningkatan hormonal ini akan menyebabkan terjadinya glikogenolisis dan hipermetabolisme yang
menyebabkan produksi glukosa berlebihan. Katekolamin yang menempel pada reseptor alfa 2 sel islet beta akan
meningkatkan sekresi glukagon dan penurunan sekresi insulin. Terjadinya resistensi insulin (IR) karena stress
hormon dapat menyebabkan metabolisme glukosa.
 Respon inflamasi
Pada keadaan paska trauma adanya respon inflamasi dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Beberapa
sitokin yang disekresikan pada awal respon inflamasi yaitu TNFα, IL 6 dan CD11d. TNFα berperan dalam
meregulasi kwantitas dan fungsi glukosa dengan cara menekan adipocyte specific gen dan peningkatan pre-
adipocyte-specific gen berkontribusi terhadap resistensi insulin dan hiperglikemi. Respon inflamasi juga berperan
dalam pelepasan corticotrophin – releasing hormones (CRH) dan menstimulasi adrenocorticotropic hormon
(ACTH) dari bagian anterior pituitari, yang menginduksi peningkatan glukosa darah. Nitric Oxide(NO) yang aktif
pada proses inflamasi, berperan dalam jalur signal transduksi dalam pelepasan hormon corticosterone dari kelenjar
adrenal, dan menyebabkan hiperglikemia.
 DiabetesMellitus
Diabetes merupakan salah satu penyebab hiperglikemia pada COT. Resiko kematian pada penderita COT dengan
diabetes(14%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan COT tanpa diebates(8,2%), sedangkan pada kasus COT
dengan diabetes insulin dependent memiliki angka kematian ebih tinggi (17,1%) bila dibandingkan dengan
diabetes non-insulin dependent. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya defisiensi insulin dapat
berkontribusi terhadap peningkatan mortalitas setelah COT, dan diabetes merupakan salah satu faktor prediktor
mortalitas independent pada kasus COT. Pada COT dapat terjadi eksaserbasi gejala diabetes yang berat, dan
berkontribusi terhadap terjadinya gejala klinis resistensi insulin.
 Disfungsi Hipotalamus dan Hipofisis
Disfungsi hipofisis dan hipotalamus sering kali dialami setelah COT, namun sayangnya keadaan ini sering
terlewatkan oleh klinisi. Dewasa ini, perhatian akan tingginya prevalensi disfungsi hipofisis dan hipotalamus
setelah kejadian COT sedang-berat dihubungkan dengan peningkatan resiko morbiditas dan recovery pasien yang
buruk. Pada proses regulasi stress, axis hpofisis-hipotalamus memergang peranan vital dalam mengatur
keseimbangan homeostasis glukosa, dengan menurunkan glukoneogensis di hepar dan meningkatkan sensitivitas
insulin. Disfungsi hipofisis dapat menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan merupakan salah satu
penyebab terjadinya hiperglikemia. Selain itu, adanya kerusakan pada hipofisis dapat menyebabkan gangguan
fungsi neuroendokrin ( defisiensi hormon pertumbuhan dan gonadotropin) yang berakibat gangguan balans
metabolisme glukosa.
 FaktorIatrogenik.
Operasi, pemberian anestesi , terapi ( pemberian glukosa dalam jumlah tinggi), dan faktor psikologis dapat
berperan dalam terjadinya hiperglikemia pada pasien COT, terutama pasien dengan COT berat.

Pada kesimpulannya,peningkatan stress fisik dan respon inflamasi bukanlah satu satunya faktor predominan penyebab
terjadinya hiperglikemia pada pasien COT. Adanya disfungsi hipofisis dan hipotalamus, faktor iatrogenik, dan kondisi
diabetes pada pasien merupakan salah satu faktor pendukung lain yang harus selalu dipertimbangkan.

9.3 Manajemen Hiperglikemia Pada Pasien Cedera Otak Traumatik

Hiperglikemia setelah COT dapat menyebabkan perburukan outcome pasien karena berbagai respon. Disamping
menurunkan gula darah dengan insulin, seorang klinisi dapat menjaga homeostasis glukosa darah melalui beberapa
cara seperti:
 Dukungan Nutrisi
Pada pasien dengan COT akan mengalami hiperkatabolisme, hiperglikemia, serta gangguan fungsi sistem
gastrointestinal. Pada beberapa penelitan sebelumnya disebutkan bahwa keadaan malnutrisi berhubungan dengan
peningkatan angka mortalitas pada pasien dengan cedera otak berat, sehingga pemberian dukungan nutrisi secara
dini dapat memperbaiki prognosis dan resistensi insulin pada pasien. Pada studi yang lain juga disebutkan bahwa
pemberian nutrisi enteral memiliki dampak yang lebih baik dibandingkan dengan nutrisi parenteral. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh karena nutrisi enteral lebih mana, murah dan efektif dalam pembiayaan. Di samping itu
pemberian nutrisi enteral yangserupa dengan fungsi fisiologis manusaa, dapat menstimulasi fungsi dari sistem
gastrointestinal serta mempertahankan barrier imun pada sistem pencernaan. Pemberian glukosa ( baik secara
intravena maupun nutrisi enteral) memiliki dampak yang buruk pada outcome pasien dengan cedera otak , karena
itu pemberian glukosa harus di batasidengan cara mengurangi dosis cairan intra vena maupun pemberian nutrisi
enteral yang rendah karbohidrat.
 Kontrol Glukosa
Pemberian insulin dapat meningkatkan uptake glukosa oleh sel dan mengurangi dampak kerusakan sel otak akibat
hiperglikemia. Tingginya angka kejadian resistensi insulin paska COT, menyebabkan penggunaan insulin eksogen
dan monitor gula darah sebagai langkah untuk menurunkan kadar glukosa darah paska COT. Pada tahun 2001
penggunaan terapi insulin secara intensif sudah / Intensive Insulin Therapy (IIT) sudah diimplementasikan pada
seluruh ICU di dunia, namun beberapa tahun kemudian hasil penelitian membuktikan bahwa angka kematian dan
kejadian hipoglikemia justru meningkat akibat dari IIT. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa IIT
menyebabkan adanya penurunan dari mikrodialisis glukosa dan meningkatkan mikrodilaisis glutamat serta asam
laktat dan piruvat, sehingga menyebabkan gangguan pemulihan fungsi neurologi jangka panjang. Oleh karena itu,
pada pasien dengan COT berat, penurunan kadar glukosa darah secara agresif menggunakan insulin dapat
menginduksi terjadinya kerusakan otak sekunder.
Sebuah studi retrospektif dengan sampel 228 pasien cedera otak berat yang diterapi dengan insulin, pada minggu
pertama didapatkan target glukosa darah 90-144 mg/dl(5-8 mmol/L) berhubungan dengan penurunan angka
mortalitas dan tekanan intrakranial dibandingkan dengan pasien dengan glukosa darah 63-117 mg/dl (3,5 – 6,5
mmol/L). Pada minggu ke dua, terdapat hasil yang bertentangan yaiut, grup dengan target glukosa darah 63-117
mg/dl memiliki angka tekanan intrakranial dan komplikasi infeksi yang lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok dengan target glukosa darah 90-144 mg/dl. Oleh karena itu, kontrol gula darah pada masa akut / minggu
pertama disarankan jangan terlalu agresif (90-144 mg/dl), sedangkan pada masa pemulihan kadar glukosa darah
lebih rendah memiliki hasil yang lebih baik (63-117 mg/dl).Pada studi lain, kadar glukosa darah <6-11 mmol/L
dapat mngurangi angka mortalitas pada pasien dengan COT ringan, sedangkan pada COT berat disarankan target
glukosa darah 7,77-10.0 mmol/L.
 Terapi Lain
Ada beberapa strategi yang dapat meningkatkan kontrol glukosa darah. Strategi pertama ialah moderate
hypothermia dalam 24 jam setelah terjadinya trauma. Pada sebuah penelitian, kelompok pasien dengan hipotermi
(suhu rektal 32,0oC– 35,0oC) memiliki insiden kenaikan tekanan intrakranial dan glukosa darah yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok nomotermi (suhu rektal 36,5 oC– 37,0oC). Pada analisis regresi multivariat
didapatkan kadar glukosa darah lebih dari 10 mmol/L merupakan prediktor independen outcome pasien yang jelek
pada COT berat. Pada sebuah studi klinis, kadar glukosa darah pada pasien COT setelah hari ke 3 perawatan
dengan hipotermia, keseluruhan pasien(100%) memiliki glukosa darah di bawah 10mmol/L, sedangkan pada
pasien normotermi hanya 76% saja dari keseluruhan pasien yang memiliki glukosa darah di bawah 10mmol/L.
Strategi kedua ialah penggunaan naloxon (antagonis reseptor opioid) , yang memiliki efek sebagai anti-inflamasi
dan memperbaiki metabolisme sel otak pada fase awal dari OCT berat. Selain itu , naloxone juga memiliki
kemampuan dalam membuang kelebihan kalsium dan mencegah toksisitas dari asam amino eksitatori. Strategi
yang terakhir ialah penggunaan manitol atau larutan hipertonik untuk mengurangi permeabilitas dan peningkatan
tekanan intrakranial karena hiperglikemia akibat COT.

Anda mungkin juga menyukai