Anda di halaman 1dari 47

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 URAIAN UMUM

Jalan berperan sebagai prasarana yang menghubungkan antar tempat

melalui sarana transportasi darat. Jalan meliputi seluruh bagian utama jalan, dan

bagian pelengkapnya seperti bahu jalan, pedestarian dan saluran drainase. Jalan

menjadi prasarana utama dalam transportasi darat yang menyalurkan lalu lintas

orang, barang, dan jasa. Setiap tahunnya kebutuhan akan transportasi darat akan

selalu mengalami peningkatan dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor

baik roda dua, roda empat, ataupun lebih. Perkembangan lalu lintas setiap tahun

akan meningkatkan volume dan mobilitas lalu lintas di sepanjang jalur yang ada,

artinya jalan akan semakin sering dilalui kendaraan.

Perkerasan jalan sebagai lapisan yang menghubungkan tanah dasar dan

roda kendaraan merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan beban

kendaraan yang melalui diatasnya. Lapisan perkerasan jalan berfungsi

memberikan pelayanan terhadap lalu lintas dan menerima repetisi beban lalu

lintas setiap harinya dengan volume yang semakin meningkat setiap tahunnya

sesuai perkembangan yang ada. Oleh karena itu, lapisan perkerasan jalan selama

waktu penggunaannya diharapkan tidak mengalami kerusakan-kerusakan yang

dapat menurunkan kualitas pelayanan lalu lintas.

7
2.2 PERKERASAN LENTUR (FLEXIBLE PAVEMENT)

Konstruksi perkerasan lentur merupakan perkerasan yang menggunakan

aspal sebagai bahan pengikatnya dan bahan berbutir sebagai lapisan pondasi di

bawahnya. Konstruksi perkerasan lentur memiliki flexibilitas yang lebih nyaman

dibandingkan perkerasan kaku. Konstruksi jenis ini umumnya terbagi menjadi 3

lapisan yaitu lapisan pondasi bawah (sub base course), lapis pondasi (base

course) dan lapis permukaan (surface course).

Pada perkerasan lentur, lapisan-lapisan perkerasan berfungsi menerima

beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan dibawahnya. Beban disebarkan

ke perkerasan jalan melalui kontak roda berupa beban terbagi merata P0. Beban

tersebut diterima dari lapisan permukaan dan disebarkan ke tanah dasar menjadi

P1 yang lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. Oleh karena itu, kekuatan dan

keawetan konstruksi jalan juga sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung

tanah.

Gambar 2.1 Susunan Lapis Perkerasan Jalan Lentur


Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur dengan Metode Analisa Komponen,
1987

8
2.3 PENGELOMPOKKAN KENDARAAN

Pengelompokkan kendaraan dilakukan berdasarkan jenis kendaraan dan

jenis sumbu kendaraan. Pengelompokkan kendaraan bertujuan untuk

mempermudah dalam mengklasifikasikan kendaraan serta dampak yang akan

ditimbulkan akibat beban sumbu kendaraan. Adapun pengelompokkan kendaraan

terdapat beberapa versi diantaranya versi IRMS-Bina Marga, Manual Kapasitas

Jalan Indonesia 1997, Pedoman Teknis No. Pd. T-19-2004-B Survei pencacahan

lalu lintas dengan cara manual seperti pada table dibawah ini.

Tabel 2.1 Pengelompokkan Kendaraan Versi IRMS-Bina Marga

Sumber: Modul RDE-08 Rekayasa Lalu Lintas, 2005

9
Tabel 2.2 Pengelompokkan Kendaraan Berdasarkan MKJI

Sumber: Modul RDE-08 Rekayasa Lalu Lintas, 2005

Tabel 2.3 Pengelompokkan Kendaraan Berdasarkan Pedoman Teknis No. Pd. T-

19-2004-B

Sumber: Modul RDE-08 Rekayasa Lalu Lintas, 2005

10
2.4 PEMELIHARAAN JALAN

Pemeliharaan jalan adalah semua jenis pekerjaan yang dibutuhkan untuk

menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau pekerjaan

yang berkaitan dengan keduanya menurut NAASRA (1978) dalam Ali (2006)

dalam Rado Hotrin (2011). Upaya ini diharapkan dapat mencegah kemunduran

atau penurunan kualitas dengan laju perubahan yang terjadi segera setelah

konstruksi dilaksanakan. Oleh karena itu pemeliharaan jalan merupakan program

penanganan jalan yang berada dalam prioritas tertinggi.

2.4.1 Pemeliharaan Rutin

Pemeliharaan rutin merupakan kegiatan merawat serta memperbaiki

kerusakan yang terjadi pada suatu ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap

untuk mengantisipasi akibat dari pengaruh lingkungan. Skala pekerjaannya cukup

kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Pemeliharaan

rutin hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk

meningkatkan kualitas berkendaraan (riding quality) tanpa meningkatkan

kekuatan struktural dan dilakukan sepanjang tahun.

2.4.2 Pemeliharaan Berkala

Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan penanganan nonstruktural

terhadap setiap kerusakan yang diperhitungkan dalam desain perencanaan agar

penurunan kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan rencana.

Pemeliharaan periodik termasuk ke dalam tipe kegiatan pencegahan (preventive)

11
dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun dan diadakan menyeluruh untuk

satu atau beberapa seksi jalan dan sifatnya hanya mengembalikan fungsi jalan dan

tidak meningkatkan nilai struktural perkerasan.

Pemeliharaan berkala biasanya dilakukan penambahan lapis tipis aspal

pada permukaan guna memperbaiki integritas permukaan dan sebagai lapis kedap

air. Pemeliharaan periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai

dengan yang direncanakan selama masa layanannya tidak untuk meningkatkan

kekuatan struktur dari perkerasan.

2.4.3 Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan

yang tidak diperhitungkan dalam desain yang berakibat menurunnya kondisi

kemantapan pada bagian atau tempat tertentu dari suatu ruas jalan dengan kondisi

rusak ringan. Tujuannya agar penurunan kondisi kemantapan jalan dapat

dikembalikan pada kondisi kemantapan yang sesuai dengan rencana.

2.4.4 Peningkatan Jalan

Peningkatan jalan secara umum dibutuhkan untuk memperbaiki integritas

struktur perkerasan yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dan atau geometriknya

agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan. Secara umum peningkatan

jalan dilakukan dengan pemberian lapis tambahan struktural. Pekerjaan

peningkatan jalan adalah pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan

struktur jalan ke muatan sumbu terberat (MST) yang lebih tinggi atau menambah

12
kapasitas jalan.

2.4.5 Pembangunan Konstruksi Jalan Baru (Rekonstruksi)

Pembangunan konstruksi jalan baru adalah penanganan jalan dari kondisi

belum tersedia badan jalan sampai kondisi jalan dapat berfungsi. Pekerjaan

konstruksi jalan baru juga berarti pekerjaan membangun jalan baru berupa jalan

tanah atau jalan beraspal. Tahapan pembangunan jalan yang biasa dilakukan di

Indonesia menurut Sulaksono (2001) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) dimulai

dari tahap perencanaan (planning) selanjutnya dilakukan studi kelayakan

(feasibility study) dan perancangan detail (detail design) kemudian tahap

konstruksi (construction) dan tahap pemeliharaan (maintenance). Dalam hal

perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat tidak layak maka lapisan

tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya juga diperlukan.

Kegiatan rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan yang dapat

meningkatkan kelasnya.

Secara umum jalan akan mengalami penurunan kondisi semenjak

pertama kali digunakan hingga akhir umur rencana (Kodoatie, 2005) sehingga

dibutuhkan pemeliharaan yang tepat seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3

berikut :

13
Gambar 2.3 Tahap Penurunan Kondisi Jalan
Sumber : Robinson, 1998

Pada gambar 2.3 di atas menunjukkan proses penurunan kondisi jalan

secara teknis yang terjadi melalui beberapa tahapan atau fase. Fase A

menunjukkan kondisi sangat baik pada saat jalan selesai dibangun. Tahap

berikutnya fase B (kondisi baik) dimana proses kerusakan terjadi secara perlahan.

Pada tahap ini diperlukan pemeliharaan rutin untuk mempertahankan kondisi jalan

tetap pada kondisi baik. Fase C1 (kondisi sedang) merupakan tahapan kritis

(critical phase) karena percepatan kerusakan kasat mata mulai terjadi, pada

stadium ini memerlukan pelapisan ulang atau pemeliharaan periodik/berkala. Fase

14
C2 (kondisi buruk) dimana peningkatan kerusakan semakin tajam sehingga

memerlukan rehabilitasi dan fase D (kondisi sangat buruk) merupakan tahap

kerusakan total dimana peningkatan dan rekonstruksi jalan diperlukan.

2.5 KINERJA PERKERASAN JALAN

Penanganan jalan sangat berhubungan dengan kinerja perkerasan jalan

karena dalam menentukan jenis penanganan yang akan dilakukan pada suatu ruas

jalan harus sesuai dengan kondisi eksisting yakni kinerja perkerasan jalan. Secara

umum kondisi eksisting jalan dengan cara visual dapat dibedakan dalam 4

(empat) jenis (Dinas Bina Marga, 2003 dalam Radio Hotrin 2011) yaitu sebagai

berikut:

a. Jalan dalam kondisi baik adalah jalan dengan permukaan yang benar -

benar rata dimana tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan

permukaan jalan.

b. Jalan dalam kondisi sedang adalah jalan dengan kerataan permukaan

perkerasan sedang dimana tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan.

c. Jalan dalam kondisi rusak ringan adalah jalan dengan permukaan sudah

mulai bergelombang dimana mulai ada kerusakan permukaan dan

penambalan.

d. Jalan dalam kondisi rusak berat adalah jalan dengan permukaan

perkerasan sudah banyak kerusakan seperti bergelombang, retak-retak

buaya dan terkelupas yang cukup besar disertai kerusakan pondasi seperti

amblas dan sebagainya.

15
Tingkat kemantapan jalan ditentukan oleh dua kriteria yakni jalan mantap

secara konstruksi dan jalan tak mantap konstruksi dengan maksud sebagai berikut:

a. Jalan mantap konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam

koridor mantap yang mana untuk penanganannya hanya membutuhkan

kegiatan pemeliharaan. Jalan mantap konstruksi ditetapkan menurut

standar pelayanan minimal adalah jalan dalam kondisi sedang.

b. Jalan tak mantap konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor

mantap yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan

berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk

menambah nilai struktur konstruksi.

Konsep tingkat kemantapan jalan yang digunakan oleh direktorat

jenderal bina marga berdasarkan ketersediaan data adalah :

a. Parameter kerataan jalan atau International Roughness Index (IRI).

b. Parameter lebar jalan dan rasio volume/kapasitas (VCR).

c. Parameter lebar jalan dan volume lalulintas harian (LHR).

Menurut Saleh dkk (2008) dalam Efri Debby E Ritonga (2011) pada

dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang dimana dalam gambar

2.4 di bawah berada pada level IRI antara 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km

tergantung dari fungsi jalan. Adapun hubungan antara kondisi, umur dan jenis

penanganan jalan ditunjukkan pada gambar 2.4 berikut :

16
Gambar 2.4 Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan
Sumber : Saleh, 2008

2.6 JENIS KERUSAKAN PERKERASAN LENTUR

Indeks Kondisi Perkerasan adalah tingkat dari kondisi permukaan

perkerasan dan ukurannya yang ditinjau dari fungsi daya guna yang mengacu

pada kondisi dan kerusakan di permukaan perkerasan yang terjadi (Hardiyatmo,

2005). Menurut Hardiyatmo (2005) jenis-jenis kerusakan perkerasan lentur

(aspal), umumnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Deformasi berupa bergelombang, alur, amblas, sungkur, mengembang,

benjol dan turun.

2. Retak berupa retak memanjang, retak melintang, retak diagonal, retak

diagonal, retak reflektif, retak blok, retak kulit buaya, dan retak bulan

sabit.

3. Kerusakan tekstur permukaan berupa pelepasan butiran, kegemukan,

17
pengausan agregat, pengelupasan dan stripping.

4. Kerusakan lubang, tambalan dan persilangan rel

5. Kerusakan di pinggir perkerasan berupa retak pinggir dan penurunan

bahu jalan.

Adapun Jenis-jenis kerusakan jalan berdasarkan Manual Pemeliharaan

Jalan Direktorat Jenderal Bina Marga No. 03/MN/B/1983 akan dijelaskan pada

sub sub bab berikut.

2.6.1 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracking)

Kerusakan perkerasan lentur retak kulit buaya memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Retak-retak yang membentuk sebuah jaringan dari bidang bersegi banyak

(poligon) menyerupai kulit buaya.

2. Ukuran bidang bisa berkisar antara 5 cm sampai sekitar 50 cm.

3. Ukuran lebar celan lebih besat atau sama dengan 3 mm.

4. Daerah dengan retak kulit buaya dapat atau tidak dapat disertai oleh

penyimpangan dalam bentuk penurunan dan dapat terjadi di manapun

pada permukaan perkerasan.

5. Retak disebabkan oleh kelelahan akibat beban lalu lintas yang berulang-

ulang.

Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luasan retak kulit buaya yang

dinyatakan dalam meter persegi sepanjang segmen tinjauan.

18
Gambar 2.5 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracking)
Sumber: Ronald, 2012

2.6.2 Kegemukan (Bleeding)

Kerusakan jenis kegemukan dapat dikenali dengan terlihatnya lapisan

tipis aspal (tanpa agregat) pada permukaan perkerasan dan jika pada kondisi

temperatur permukaan perkerasan yang tinggi (terik matahari) atau pada lalu

lintas yang berat, akn terlihat jejak bekas batik bunga ban kendaraan yang

melewatinya. Hal ini akan membahayakan keselamatan lalu lintas karena jalan

akan menjadi licin. Adapun penyebab dari kegemukan (bleeding) yaitu:

1. Penggunaan aspal yang tidak merata atau berlebihan.

2. Tidak menggunakan binder (aspal) yang sesuai.

3. Akibat dari keluarnya aspal dari lapisan bawah yang mengalami

kelebihan aspal.

Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luasan kegemukan yang

dinyatakan dalam meter persegi sepanjang segmen tinjauan.

19
Gambar 2.6 Kegemukan (Bleeding)
Sumber: Bina marga no.03/MN/B/1983

2.6.3 Retak Kotak-Kotak (Block Cracking)

Kerusakan retak kotak-kotak memiliki bentuk blok atau kotak pada

perkerasan lentur. Retak ini terjadi umumnya pada lapisan tambahan (overlay),

yang menggambarkan pola retakan perkerasan di bawahnya. Ukuran blok

umumnya lebih dari 200 mm × 200 mm. Adapun parameter kerusakan ditinjau

dari luasan area retak yang dinyatakan dalam meter persegi. Adapun penyebab

dari retak kotak-kotak (block cracking) yaitu:

a. Perambatan retak susut yang terjadi pada lapisan perkerasan di

bawahnya.

b. Retak pada lapis perkerasan yang lama tidak diperbaiki secara benar

sebelum pekerjaan lapisan tambahan (overlay) dilakukan.

c. Perbedaan penurunan dari timbunan atau pemotongan badan jalan

dengan struktur perkerasan.

d. Perubahan volume pada lapis pondasi dan tanah dasar.

e. Adanya akar pohon atau utilitas lainnya di bawah lapis perkerasan.


20
Gambar 2.7 Retak Kotak-Kotak (Block Cracking)
Sumber : lgam, 2018

2.6.4 Cekungan (Bumps and Sags)

Cekungan pada perkerasan lentur berbentuk benjolan yang menonjol

keatas akibat pemindahan pada lapisan perkerasan disebabkan perkerasan tidak

stabil. Adapun penyebab terjadinya cekungan (bumps and sags) pada perkerasan

lentur dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Bendul atau tonjolan dibawah PCC slab pada lapisan AC.

2. Lapisan aspal bergelombang (membentuk lapisan lensa cembung).

3. Perkerasan yang menonjol keatas pada material disertai retakan yang

ditambah dengan beban lalu lintas yang melebihi muatan.

Longsor kecil dan retak pada lapisan perkerasan akan mendorong

terbentuknya cekungan. Longsor yang terjadi pada area yang lebih luas dengan

banyaknya cekungan dan cembungan pada permukaan perkerasan akan membuat

perkerasan menjadi bergelombang. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari

luasan area cekungan yang dinyatakan dalam meter persegi.

21
Gambar 2.8 Cekungan (Bumps and Sags)
Sumber: Bina marga no.03/MN/B/1983

2.6.5 Keriting (Corrugation)

Kerusakan ini dikenal juga dengan istilah lain yaitu, Ripples. Bentuk

kerusakan ini berupa gelombang pada lapis permukaan, atau dapat dikatakan

alur yang arahnya melintang jalan, dan sering disebut juga dengan plastic

Movement. Kerusakan ini umumnya terjadi pada tempat berhentinya kendaraan,

akibat pengereman kendaraan. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luasan

area keriting dinyatakan dalam meter persegi. Adapun penyebab dari keriting

(corrugation) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Stabilitas lapis permukaan yang rendah.

2. Penggunaan material atau agregat yang tidak tepat, seperti

digunakannya agregat yang berbentuk bulat licin.

3. Terlalu banyak menggunakan agregat halus.

4. Lapis pondasi yang memang sudah bergelombang.

5. Lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang

menggunakan aspal cair).

22
6. Pergerakan lalu lintas yang menggerakkan permukaan perkerasan ke

arah depan, belakang atau samping secara menerus.

Gambar 2.9 Keriting (Corrugation)


Sumber: Asep Sudrajat, 2017

2.6.6 Amblas (Depression)

Amblas merupakan kerusakan yang terjadi akibat turunnya permukaan

lapisan permukaan perkerasan pada lokasi-lokasi tertentu (setempat) dengan atau

tanpa retak. Kerusakan amblas pada umumnya berbentuk mangkuk pada jalur

roda bersamaan dengan dorongan ke samping dari material perkerasan.

Kedalaman kerusakan ini umumnya lebih dari 2 cm dan akan menampung atau

meresapkan air. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luasan area keriting

dinyatakan dalam meter persegi. Adapun penyebab dari kerusakan amblas

(depression) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Beban kendaran yang berlebihan, sehingga kekuatan struktur bagian

bawah perkerasan jalan itu sendiri tidak mampu memikulnya.

2. Penurunan bagian perkerasan dikarenakan oleh turunnya tanah dasar.

3. Pelaksanan pemadatan tanah yang kurang baik.

23
Gambar 2.10 Amblas (Depression)
Sumber: lgam, 2018

2.6.7 Retak Pinggir (Edge Cracking)

Retak pinggir adalah retak yang sejajar dengan jalur lalu lintas yang

umumnya berukuran 1 sampai 2 kaki (0,3 – 0,6 m) dari pinggir perkerasan.

Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh beban lalu lintas atau cuaca yang

memperlemah pondasi atas maupun pondasi bawah yang letaknya dekat dengan

pinggir perkerasan. Retak pinggir perkerasan dipengaruhi oleh jenis tanah dan

daya dukung tanah. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luasan area retak

pinggir dinyatakan dalam meter panjang. Adapun penyebab dari retak pinggir

(edge cracking) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Kurangnya dukungan dari arah lateral (dari bahu jalan).

2. Drainase kurang baik.

3. Bahu jalan turun terhadap permukaan perkerasan.

4. Konsentrasi lalu lintas berat di dekat pinggir perkerasan.

24
Gambar 2.11 Retak Pinggir (Edge Cracking)
Sumber: Martin, 2019

2.6.8 Retak Sambung (Joint Reflection Cracking)

Kerusakan retak sambung umumnya terjadi pada perkerasan aspal yang

telah dihamparkan di atas perkerasan beton semen portland. Retak terjadi pada

lapis tambahan (overlay) aspal yang mencerminkan pola retak dalam perkerasan

beton lama yang berbeda di bawahnya. Pola retak dapat kearah memanjang,

melintang, diagonal atau membentuk blok. Adapun parameter kerusakan ditinjau

dari panjang retak sambung yang terjadi dinyatakan dalam meter panjang.

Adapun penyebab dari retak sambung (joint reflection cracking) dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Gerakan vertikal atau horisontal pada lapisan bawah lapis tambahan,

yang timbul akibat ekspansi dan konstraksi saat terjadi perubahan

temperatur atau kadar air.

2. Gerakan tanah pondasi.

3. Hilangnya kadar air dalam tanah dasar yang kadar lempungnya tinggi.

25
Gambar 2.12 Retak Sambung (Joint Reflection Cracking)
Sumber: Martin, 2019

2.6.9 Pinggiran Jalan Turun Vertikal (Shoulder Drop Off)

Pinggiran jalan turun vertikal terjadi akibat terdapatnya beda ketinggian

antara permukaan perkerasan dengan permukaan bahu atau tanah sekitarnya,

dimana permukaan bahu lebih rendah terhadap permukaan perkerasan. Adapun

parameter kerusakan ditinjau dari panjang bagian retak pinggiran yang terjadi

dinyatakan dalam meter panjang. Penyebab dari pinggiran jalan turun vertikal

(lane/shoulder drop off) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Lebar perkerasan yang kurang.

2. Material bahu yang mengalami erosi atau penggerusan.

3. Dilakukan pelapisan lapisan perkerasan, namun tidak dilaksanakan

pembentukan bahu.

26
Gambar 2.13 Pinggiran Jalan Turun Vertikal (Shoulder Drop Off)
Sumber: Bina marga no.03/MN/B/1983

2.6.10 Retak Memanjang (Longitudinal/Transverse Cracking)

Retak memanjang atau melintang dapat terjadi pada perkerasan lentur

akibat beban yang bekerja diatasnya. Retak ini terbentuk sejajar yang terdiri dari

beberapa celah. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari panjang bagian retak

memanjang yang terjadi dinyatakan dalam meter panjang. Adapun penyebab dari

retak memanjang/melintang (longitudinal/trasverse cracking) juga dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Perambatan dari retak penyusutan lapisan perkerasan di bawahnya.

2. Lemahnya sambungan perkerasan.

3. Bahan pada pinggir perkerasan kurang baik atau terjadi perubahan

volume akibat pemuaian lempung pada tanah dasar.

4. Sokongan atau material bahu samping kurang baik.

27
Gambar 2.14 Retak Memanjang (Longitudinal/Transverse Cracking)
Sumber: lgam, 2018

2.6.11 Tambalan (Patching and Utility Cut Patching)

Tambalan adalah bidang permukaan perkerasan berbentuk tidak teratur

dimana lubang-lubang, amblas dan retak-retak telah diperbaiki dan diratakan

dengan material beraspal, batu-batu atau agregat lainnya. Tambalan bertujuan

untuk mengembalikan perkerasan yang rusak dengan material yang baru serta

memperbaiki perkerasan yang ada. Tambalan dilaksanakan pada seluruh atau

beberapa keadaan yang rusak pada badan jalan tersebut. Adapun parameter

kerusakan ditinjau dari luas bagian tambalan yang terjadi dinyatakan dalam

meter persegi. Adapun faktor dari tambalan (patching and utility cut patching)

dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Perbaikan akibat dari kerusakan permukaan perkerasan.

2. Penggalian pemasangan saluaran atau pipa.

Adapun tingkat keparahan kerusakan tambalan aspal adalah sebagai

berikut :

1. Tambalan berbentuk bujur sangkar, diisi dengan hotmix dan dipadatkan,

28
rata dengan permukaan perkerasan yang ada. Tidak ada kerusakan

terlihat pada tambalan.

2. Tambalan lebih rendah/tinggi dari permukaan yang ada, tidak secara

benar dibuat segi empat sebelum ditambal.

3. Tambalan dengan kerusakan-kerusakan yang terlihat seperti retak-retak

dalam dan/atau sekitar tambalan. Tambalan tidak dibuat dengan material

standar, seperti bahan bangunan tua, beton, batu-batu atau agregat yang

lain.

Gambar 2.15 Tambalan (Patching and Utility Cut Patching)


Sumber: lgam, 2018

2.6.12 Pengausan Agregat ( Polished Aggregate)

Pengausan agregar merupakan kerusakan yang disebabkan oleh

penerapan lalu lintas yang berulang-ulang dimana agregat pada perkerasan

menjadi licin dan perekatan dengan permukaan roda pada tekstur perkerasan

yang mendistribusikannya tidak sempurna. Pada pengurangan kecepatan roda

atau gaya pengereman, jumlah pelepasan butiran dimana pemeriksaan masih

menyatakan agregat itu dapat dipertahankan kekuatan dibawah aspal, permukaan

29
agregat yang licin. Kerusakaan ini dapat diindikasikan dimana pada nomor skid

resistence test adalah bernilai rendah. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari

luas area pengausan agregat yang terjadi dinyatakan dalam meter persegi.

Adapun penyebab dari pengausan agregat (polished aggregate) dapat disebabkan

oleh beberapa faktor yaitu :

1. Agregat tidak tahan aus terhadap roda kendaraan.

2. Bentuk agregat yang digunakan memeng sudah bulat dan licin (buakan

hasil dari mesin pemecah batu).

Gambar 2.16 Pengausan Agregat ( Polished Aggregate)


Sumber: Martin, 2019

2.6.13 Lubang (Potholes)

Kerusakan lubang (potholes) memiliki bentuk mangkuk (cekungan) pada

perkerasan yang dapat menampung dan meresapkan air pada badan jalan.

Kerusakan ini terkadang terjadi di dekat retakan, atau di daerah yang drainasenya

kurang baik (sehingga perkerasan tergenang oleh air). Adapun parameter

kerusakan ditinjau dari luas area lubang yang terjadi dinyatakan dalam meter

persegi. Adapun penyebab dari lubang (potholes) dapat disebabkan oleh beberapa

30
faktor yaitu :

1. Kadar aspal rendah.

2. Pelapukan aspal.

3. Penggunaan agregat kotor atau tidak baik.

4. Suhu campuran tidak memenuhi persyaratan.

5. Sistem drainase jelek.

6. Merupakan kelanjutan daari kerusakan lain seperti retak dan pelepasan

butir.

Gambar 2.17 Lubang (Potholes)


Sumber: Martin, 2019

2.6.14 Rusak Perpotongan Rel (Railroad Crossing)

Persilangan antara jalur rel dan jalan raya sering dijumpai terjadi

kerusakan perkerasan. Kerusakan pada perpotongan rel adalah penurunan atau

benjol sekeliling atau diantara rel yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik

bahan. Tidak bisanya menyatu antara rel dengan lapisan perkerasan dan juga

bisa disebabkan oleh lalu lintas yang melintasi antara rel dan perkerasan.

Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luas area perpotongan rel yang terjadi

31
dinyatakan dalam meter persegi. Adapun faktor dari rusak perpotongan rel

(railroad crossing) juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Amblasnya perkerasan, sehingga timbul beda elevasi antara permukaan

perkerasan dengan permukaan rel.

2. Pelaksanaan konstruksi pekerjaan atau pemasangan rel yang buruk.

Gambar 2.18 Rusak Perpotongan Rel (Railroad Crossing)


Sumber: Martin, 2019

2.6.15 Alur (Rutting)

Alur (rutting) juga disebut dengan jenis kerusakan longitudinal ruts,

atau channel/rutting. Bentuk kerusakan ini terjadi pada lintasan roda sejajar

dengan as jalan dan berbentuk alur. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari

luas area alur yang terjadi dinyatakan dalam meter persegi. Adapun penyebab

dari Alur (Rutting) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Ketebalan lapisan permukaan yang tidak mencukupi untuk menahan

beban lalu lintas.

2. Lapisan perkerasan atau lapisan pondasi yang kurang padat.

32
3. Lapisan permukaan atau lapisan pondasi memiliki stabilitas rendah

sehingga terjadi deformasi plastis.

Adapun tingkat keparahan kerusakan tambalan aspal adalah sebagai

berikut :

1. Kedalaman alur roda rata-rata < 20 mm.

2. Kedalaman alur roda rata-rata antara 20 – 50 mm

3. Kedalaman alur roda rata-rata > 50 mm

Gambar 2.19 Alur (Rutting)


Sumber: Martin, 2019

2.6.16 Sungkur (Shoving)

Sungkur adalah perpindahan lapisan perkerasan pada bagian tertentu

yang disebabkan oleh beban lalu lintas. Beban lalu lintas akan mendorong

berlawanan dengan perkerasan dan akan menghasilkan ombak pada lapisan

perkerasan. Kerusakan ini biasanya disebabkan oleh aspal yang tidak stabil dan

terangkat ketika menerima beban dari kendaraan. Adapun parameter kerusakan

ditinjau dari luas area sungkur yang terjadi dinyatakan dalam meter persegi.

Adapun penyebab dari sungkur (shoving) juga dapat disebabkan oleh beberapa
33
faktor yaitu :

1. Stabilitas tanah dan lapisan perkerasan yang rendah.

2. Daya dukung lapis permukaan yang tidak memadai.

3. Pemadatan yang kurang pada saat pelaksanaan.

4. Beban kendaraan yang melalui perkerasan jalan terlalu berat.

5. Lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap.

Adapun tingkat keparahan kerusakan tambalan aspal adalah sebagai

berikut :

1. Perbedaan elevasi antara tempat rendah dan tinggi: < 20 mm

2. Perbedaan elevasi antara tempat rendah dan tinggi: 20 - 50 mm

3. Perbedaan elevasi antara tempat rendah dan tinggi: > 50 mm

Gambar 2.20 Sungkur (Shoving)


Sumber: Asep Sudrajat, 2017

2.6.17 Patah Slip (Slippage Cracking)

Patah slip adalah retak seperti bulan sabit atau setengah bulan yang

disebabkan lapisan perkerasan terdorong atau meluncur merusak bentuk lapisan

perkerasan. Kerusakan ini biasanya disebabkan oleh kekuatan dan pencampuran

34
lapisan perkerasan yang rendah dan jelek. Adapun parameter kerusakan ditinjau

dari luas area patah slip yang terjadi dinyatakan dalam meter panjang. Adapun

penyebab dari patah slip (slippage cracking) dapat disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu :

1. Lapisan perekat kurang merata.

2. Penggunaan lapis perekat kurang.

3. Penggunaan agregat halus terlalu banyak.

4. Lapis permukaan kurang padat.

Gambar 2.21 Patah Slip (Slippage Cracking)


Sumber: Bina marga no.03/MN/B/1983

2.6.18 Mengembang Jembul (Swell)

Mengembang jembul mempunyai ciri menonjol keluar sepanjang

lapisan perkerasan yang berangsur-angsur mengombak kira-kira panjangnya 10

kaki (10m). Mengembang jembul dapat disertai dengan retak lapisan perkerasan

dan biasanya disebabkan oleh perubahan cuaca atau tanah yang menjembul

keatas. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luas area swell yang terjadi

35
dinyatakan dalam meter persegi. Adapun penyebab dari mengembang jembul

(swell) Menurut Hary Christady Hardiyatmo (2005) yaitu :

1. Mengembangnya material lapisan di bawah perkerasan atau tanah dasar.

2. Tanah das perkerasan mengembang, bila kadar air naik. Umumnya, hal

ini terjadi bila tanah pondasi berupa lempung yang mudah mengembang

(lempung mentmorillonite) oleh kenaikan kadar air.

Gambar 2.22 Mengembang Jembul (Swell)


Sumber: Asep Sudrajat, 2017

2.6.19 Pelepasan Butir (Weathering/Raveling)

Pelepasan butiran disebabkan lapisan perkerasan yang kehilangan aspal

atau cairan pengikat dan tercabutnya partikel-partikel agregat. Kerusakan ini

menunjukan aspal pengikat tidak kuat untuk menahan gaya dorong roda

kendaraan atau presentasi kualitas campuran aspal jelek. Hal ini dapat

disebabkan oleh tipe lalu lintas tertentu, melemahnya aspal pengikat lapisan

perkerasan dan tercabutnya agregat yang sudah lemah karena terkena tumpahan

minyak bahan bakar. Adapun parameter kerusakan ditinjau dari luas area

36
pelepasan butir yang terjadi dinyatakan dalam meter persegi. Adapun penyebab

dari pelepasan butir (weathering/raveling) dapat disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu :

1. Pelapukan material pengikat atau agregat.

2. Pemadatan yang kurang.

3. Penggunaan material yang kotor.

4. Penggunaan aspal yang kurang memadai.

5. Suhu pemadatan kurang.

Erosi lapis permukaan sebagai konsekuensi dari lalu-lintas, hujan dan

siklus pembekuan – pencairan. Hal ini terjadi lapis permukaan aspal dan

permukaan batuan.

Adapun tingkat keparahan kerusakan tambalan aspal adalah sebagai

berikut :

1. Kehilangan tebal lapis permukaan kurang dari 10 %.

2. Kehilangan tebal lapis permukaan antara 10 – 30 %.

3. Kehilangan tebal lapis permukaan lebih dari 30 %.

Gambar 2.23 Pelepasan Butir (Weathering/Raveling)


Sumber: Bina marga no.03/MN/B/1983
37
2.7 NILAI LENDUTAN PERKERASAN JALAN

Nilai lendutan perkerasan jalan merupakan salah satu faktor dalam

mengetahui kemampuan perkerasan untuk mendukung repetisi beban lalulintas

kendaraan selama umur rencana. Falling Weight Deflectometer (FWD)

merupakan suatu alat untuk mengukur lendutan jalan secara dinamik dan tidak

merusak (non destructive test), dimana pengoperasian dan evaluasinya dilakukan

secara komputerisasi. FWD adalah alat uji untuk mengevaluasi struktur

perkerasan jalan. Prinsip kerja FWD adalah memberikan beban impuls terhadap

struktur perkerasan terhadap struktur perkerasan, melalui pelat berbentuk sikular

(bundar) yang efeknya sama dengan kendaraan.

Nilai lendutan juga digunakan untuk menghitung nilai modulus elastisitas

tiap lapis perkerasan. Nilai modulus elastisitas dapat digunakan sebagai acuan

untuk menentukan jenis kondisi tiap lapis perkerasan.

2.8 MUATAN SUMBU TERBERAT (MST)

Muatan sumbu adalah jumlah tekanan roda dari satu sumbu kendaraan

terhadap jalan. Sedangkan, Muatan Sumbu Terberat (MST) ialah berat maksimal

yang diperbolehkan pada satu sumbu roda. Nilai muatan sumbu diperoleh dari

jumlah berat yang diijinkan (JBI) dibagi dengan jumlah sumbu roda kendaraan.

Pengelompokan jalan menurut kelas jalan berdasarkan Undang-Undang No. 22

Tahun 2009 ialah sebagai berikut:

1. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan

Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)

milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu)


38
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter,

dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton.

2. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang

dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi

2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi

12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu

dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton.

3. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang

dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi

2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000

(sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima

ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton, dan

4. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan

bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)

milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)

milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter,

dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.

39
Tabel 2.4 Muatan Sumbu Terberat (MST)

Khusus Kelas I Kelas II Kelas IIIA Kelas IIIB Kelas IIIC


Arteri/
Fungsi Jalan Arteri Arteri Arteri Kolektor Kolektor
Kolektor
Dimensi/
Maks Maks Maks Maks Maks Maks
Lebar
2,50 m 2,50 m 2,50 m 2,50 m 2,50 m 2,10 m
Kendaraan
Dimensi/
Maks Maks Maks Maks Maks Maks
Panjang
18,0 m 18,0 m 12,0 m 9,0 m 9,0 m 9,0 m
Kendaraan
Dimensi/
Maks Maks Maks Maks Maks Maks
Tinggi
4,20 m 4,20 m 4,20 m 3,50 m 3,50 m 3,50 m
Kendaraan
MST >10 ton 10 ton 10 ton 8 ton 8 ton 8 ton
Sumber : UU No. 22 Tahun 2009

2.9 BEBAN SUMBU STANDAR (STANDARD AXLE LOAD)

Konstruksi perkerasan jalan menerima beban lalu lintas yang dari roda-

roda kendaraan yang melintasi diatasnya. Besarnya beban yang diterima dapat

dipengaruhi oleh berat total berat kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontak

antara roda dan perkerasan, kecepatan kendaraan, dan lain-lain. Akibatnya, setiap

kendaraan akan memberikan efek kerusakan yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

diperlukan adanya beban standar sehingga semua beban lainnya dapat disertakan

ke dalam beban standar tersebut.

Angka ekivalen merupakan angka yang menunjukkan perbandingan

tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar sumbu

tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb).

40
Menurut Koestalam dan Sutoyo (2010) formulasi perhitungan angka

ekivalen (E) yang diberikan oleh Bina Marga dapat dilihat pada rumus berikut:

4
 L 
E = k 
 8,16 

Dimana:

E : Angka ekivalen beban sumbu kendaraan

L : Beban sumbu kendaraan (ton)

k : 1 untuk sumbu tunggal

k : 0,086 untuk sumbu tandem

k : 0,031 untuk sumbu triple

Konfigurasi beban sumbu pada berbagai jenis kendaraan beserta angka

ekivalen kendaraan dalam keadaan kosong (min) dan dalam keadaan bermuatan

(max), dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Nilai Vehicle Damage Factor (VDF) berdasarkan perhitungan dengan

konfigurasi sumbu seperti di Tabel 2.5 serta muatan sumbu terberat 10 ton

hasilnya diberikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Vehicle Damage Factor Berdasarkan Bina Marga MST-10

Sumber: Modul RDE-08 Rekayasa Lalu Lintas, 2005

41
Tabel 2.6 Konfigurasi Beban Sumbu

Sumber: Manual Perkerasan Jalan dengan Alat Benkelman Beam No.10/MN/BM/83

2.10 MUATAN LEBIH (OVERLOADING)

Muatan lebih (overloading) adalah semua angkutan (mobil penumpang,

mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan dan kereta tempelan) yang

jumlah berat muatan kendaraan yang diangkut melebihi dari jumlah yang

diizinkan (JBI) atau muatan sumbu terberat (MST) melebihi kemampuan kelas

jalan yang ditetapkan. Kerusakan dini pada struktur jalan menjadi suatu hal yang

kontroversial. Kerusakan dapat disebabkan kurangnya pengawasan pada masa

pelaksanaan sehingga menurunkan kualitas jalan, apalagi ditambah adanya

42
kendaraan dengan muatan lebih (overloading) yang biasanya terjadi pada

kendaraan berat.

Terdapat 4 (empat) kategori kendaraan dengan izin beroperasi di jalan-

jalan umum sebagai berikut:

1. Kendaraan kecil, Muatan Sumbu Terberat (MST) ≤ 8 ton, diizinkan

menggunakan jalan pada semua kategori fungsi jalan yaitu jalan

lingkungan, jalan lokal, jalan kolektor, dan jalan arteri

2. Kendaraan sedang, Muatan Sumbu Terberat (MST) ≤ 8 ton, diizinkan

terbatas hanya berfungsi di jalan kolektor, dan jalan arteri saja.

Kendaraan sedang dilarang memasuki jalan lokal dan jalan lingkungan.

3. Kendaraan besar, Muatan Sumbu Terberat (MST) ≤ 10 ton, diizinkan

terbatas beroperasi di jalan-jalan yang berfungsi arteri saja.

4. Kendaraan besar, Muatan Sumbu Terberat (MST) > 10 ton, diizinkan

sangat terbatas hanya beroperasi di jalan-jalan yang berfungsi arteri dan

kelas I (satu) saja. Baik kendaraan besar maupun kendaraan besar khusus

dilarang memasuki jalan lingkungan, jalan lokal dan jalan kolektor.

2.11 BEBAN SUMBU STANDAR KUMULATIF KENDARAAN

Beban sumbu standar (ESAL) adalah prediksi jumlah beban sumbu lalu

lintas desain pada lajur desain untuk setiap golongan kendaraan. Beban sumbu

standar merupakan nilai yang menyatakan jumlah beban gandar selama setahun.

Adapun niai faktor distribusi arah (DD) dan faktor distribusi Lajur (DL) dapat

dilihat pada tabel 2.7 dan penjelasan berikut.

43
Tabel 2.7 Faktor distribusi lajur (DL)

Jumlah Lajur
DL (%)
Setiap Arah
1 100
2 80-100
3 60-80
4 50-75
Sumber : Modul RDE-08 Rekayasa Lalu Lintas, 2005

Faktor distribusi arah (DD) memiliki nilai DD = 0,3 ̶ 0,7 dan umumnya diambil

0,5 (AASHTO, 1993 hal. II-9)

Beban sumbu standar (ESAL) pada masing-masing golongan kendaraan

ditentukan sebagai berikut:

ESALJK = (∑LHRJK × VDFJK) × 365 × DD × DL

Dimana :

ESAJK = Beban Sumbu Standar Ekivalen pada Golongan Kendaraan

= selama setahun.

VDFJK = Faktor Ekivalen Beban (Vehicle Damage Factor) jenis

= kendaraan.

LHRJK = Lintas harian rata-rata tiap jenis kendaraan (satuan kendaraan per

= hari).

DD = Faktor distribusi arah.

DL = Faktor distribusi lajur.

44
Beban sumbu standar kumulatif (CESAL) adalah prediksi jumlah

kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur desain selama umur rencana.

Lalu lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan adalah lalu-lintas

kumulatif selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan beban

gandar standar kumulatif pada jalur rencana selama setahun (ESAL) dengan

besaran kenaikan lalu lintas (traffic growth). Secara numerik rumusan lalu lintas

kumulatif ini sebagai berikut:

CESAL = ESAL × R

CESAL = ESAL ×
1  g n 1
g

Dimana :

R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif.

CESAL = Kumulatif beban sumbu standar ekivalen selama umur rencana.

n = Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun)

i = Perkembangan lalu-lintas (%)

2.12 PARAMETER PERENCANAAN PERKERASAN

Adapun parameter dalam perencanaan perkerasan lentur adalah sebagai

berikut:

45
2.13.1 Beban Lalu Lintas

Beban kendaraan disalurkan ke perkerasan jalan melalui roda-roda

kendaraan yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan. Beban yang

dilimpahkan tergantung dari berat total kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang

kontak antara roda dan perkerasan, kecepatan kendaraan dan lain sebagainya.

Setiap kendaraan memiliki konfigurasi sumbu yang berbeda-beda. Sumbu depan

dapat berupa sumbu tunggal roda, sedangkan sumbu belakang dapat berupa

sumbu tunggal, ganda maupun triple. Dengan demikian efek dari masing-masing

kendaraan terhadap kerusakan yang ditimbulkan tidaklah sama.

Beban yang sering digunakan sebagai batas maksimum yang diijinkan

untuk suatu kendaraan adalah beban gandar maksimum. Beban gandar maksimum

diambil sebesar 8,16 ton (18.000 lb) pada sumbu standar tunggal. Angka beban

gandar maksimum tersebut diartikan sebagai daya pengrusak yang ditimbulkan

beban gandar terhadap struktur perkerasan adalah bernilai satu.

46
2.13.2 Pertumbuhan Lalu Lintas

Faktor pertumbuhan lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang memakai

jalan dari tahun ke tahun yang dipengaruhi oleh perkembangan daerah,

bertambahnya kesejahteraan masyarakat, naiknya kemampuan membeli kendaraan

(Sukirman, 2009). Faktor pertumbuhan lalu lintas dapat diperoleh dari hasil

analisis data lalu lintas, perkembangan penduduk, pendapatan perkapita,

rancangan induk daerah, dan lain-lain. Selain itu, faktor pertumbuhan lalu lintas

selama umur rencana didasarkan pada analisa ekonomi dan sosial daerah

setempat.

Perhitungan pertumbuhan lalu lintas dapat dilakukan berdasarkan data

lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang diperoleh dari data survey yang dilakukan

selama 3x24 jam atau 3x16 jam secara terus menerus. Pertumbuhan lalu lintas

memperhatikan faktor hari, bulan dan musim, dimana perhitungan dilakukan

untuk memperoleh data lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang representatif.

Pertumbuhan lalu lintas dinyatakan dalam persen/tahun.

2.13.3 Umur Rencana (UR)

Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan

tersebut mulai dibuka, sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu

untuk diberi lapis permukaan yang baru. Umur rencana ditentukan dengan

mempertimbangkan pertumbuhan lalu lintas, dan biasanya diambil 20 tahun untuk

jalan baru, 10 tahun untuk peningkatan jalan dan 5 tahun untuk pemeliharaan

jalan.

47
Selama umur rencana, pemeliharaan jalan tetap harus dilakukan, seperti

pelapisan nonstruktural yang berfungsi sebagai lapisan aus. Umur rencana

dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya yaitu kepadatan lalu lintas, muatan

angkutan, dan volume lalu lintas.

2.13.4 Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan

Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan

raya yang menampung lalu lintas terbesar.

Jika jalan tidak memiliki tanda batas jalur, maka jumlah jalur ditentukan

dari lebar perkerasan menurut daftar berikut:

Tabel 2.8 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur dengan Metode Analisa Komponen,
1987

Adapun koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan

berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut tabel 5.8 berikut.

48
Tabel 2.9 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur dengan Metode Analisa Komponen,
1987

2.14 PENANGANAN PERKERASAN JALAN

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2013) salah satu kriteria desain

yang baik yaitu desain dengan life cycle cost yang minimum. Faktor-faktor yang

perlu dipertimbangkan untuk memperoleh desain penanganan dengan life cycle

cost yang minimum antara lain beban lalu lintas, nilai kerataan (IRI), kapasitas

struktur perkerasan eksisting (hasil survei FWD atau BB) dan kerusakan.

Manual desain tahun 2017 menyediakan metode pemilihan jenis

penanganan untuk perkerasan lentur dengan mempertimbangkan faktor-faktor

dalam dalam penentuan jenis penanganan. Faktor yang dipertimbangkan yaitu

ditinjau dari nilai ketidakrataan (IRI) dan nilai lendutan (FWD) serta beban lalu

lintas selama 10 tahun.

49
Tabel 2.10 Pemilihan Jenis Penanganan Perkerasan Lentur Eksisting dengan
Beban Lalu Lintas 10 tahun > 30 Juta ESA

Sumber : Manual Desain Perkerasan 2017

Tabel 2.11 Umur Rencana, Hubungan Nilai Pemicu Penanganan dan Jenis
Pelapisan Perkerasan

Sumber : Manual Desain Perkerasan 2017

50
2.15 DESAIN LAPIS TAMBAH (OVERLAY)

Desain lapis tambah dilakukan dengan 3 karakteristik yaitu tebal

berdasarkan kerataan (IRI), tebal berdasarkan lendutan maksimum dan lengkung

lendutan.

2.15.1 Tebal Overlay Berdasarkan Kerataan (IRI)

Lapisan overlay harus lebih besar atau sama dengan tebal minimum.

Permukaan yang tidak rata memerlukan lapis aspal yang lebih tebal untuk

mencapai level kerataan yang dikehendaki. Apabila overlay didesain hanya untuk

memperbaiki kerataan saja (non-struktural), gunakan tebal overlay dari tabel

berikut.

Tabel 2.12 Tebal Overlay untuk Menurunkan IRI (non-struktural)

Tebal Overlay Minimum Non-


IRI Rata-Rata Perkerasan
Struktural Untuk Mencapai
Eksisting
IRI=3 Setelah Overlay
4 40
5 45
6 50
7 55
8 60
Sumber: Manual Perkerasan Jalan, 2017

2.15.2 Tebal Overlay Berdasarkan Lendutan Maksimum

Untuk menentukan tebal overlay berdasarkan lendutan balik maksimum

(yang diukur dengan alat Benkelman Beam). Hitung dan masukkan nilai lendutan

karakteristik dan beban lalu lintas desain (ESA4). Adapun bagan desain dapat

dilihat pada gambar berikut.

51
Gambar 2.24 Tebal Overlay Berdasarkan Lendutan Balik Maksimum

Sumber: Manual Perkerasan Jalan, 2017

2.15.3 Tebal Overlay Berdasarkan Lengkung Lendutan

Tebal overlay berdasarkan lengkung lendutan dapat ditentukan

berdasarkan overlay tipis atau overlay tebal seperti ditunjukkan pada Gambar

berikut.

Gambar 2.25 Tebal Overlay Tipis Berdasarkan Lengkung Lendutan (FWD)

Sumber: Manual Perkerasan Jalan, 2017

52
Gambar 2.26 Tebal Overlay Tebal Berdasarkan Lengkung Lendutan (FWD)

Sumber: Manual Perkerasan Jalan, 2017

53

Anda mungkin juga menyukai