1
yang tidak spesifik. Di Jerman ditemukan kasus sympathetic ophthalmia
sebanyak 0,1% dari 3323 kasus trauma tembus mata dan 0,015% dari 21638
kasus operasi mata. 6,7,164,15
Walaupun lebih jarang, luka operasi juga dapat menimbulkan
sympathetic ophthalmia. Allen menemukan 0,015% kasus sympathetic
ophthalmia pada 6613 operasi mata (4540 ekstraksi katarak dan 1288 operasi
glaucoma). Michels dan Ryan (1975) melaporkan kasus sympathetic
ophthalmia secara ekstrim lebih jarang terjadi sebagai komplikasi sesudah
vitrektomi. Gass dkk melaporkan dari 14915 tindakan vitrektomi saja didapatkan
0,01% menjadi sympathetic ophthalmia sedangkan tindakan vitrektomi
ditambah luka tembus didapatkan kasus sympathetic ophthalmia sebanyak
0,06%. 1,4,6,7,8,14,15,17,19
Penelitian lain melaporkan 65% kasus sympathetic ophthalmia terjadi
sesudah trauma tembus, 25% akibat penetrasi akibat operasi dan 10% akibat
trauma lainnya, diantaranya ruptur sklera subkonjungtiva akibat kontusio, ulkus
kornea penetrasi, kontusio korpus siliaris tanpa ruptur, neoplasma intraokular
17,18
(melanoma nekrotik) parasintesis kamera okuli anterior .
Sympathetic ophthalmia lebih sering terjadi pada pria, tetapi hal ini
mungkin berkaitan dengan lebih seringnya pria mengalami trauma
dibandingkan wanita. Pada kasus sympathetic ophthalmia yang berkaitan
dengan luka operasi, insiden pria dan wanita relatif sama. Menurut golongan
umur insiden sympathetic ophthalmia relatif sama, tetapi anak –anak sedikit
lebih sering menderita sympathetic ophthalmia yang disebabkan trauma dan
orang tua sedikit lebih sering menderita sympathetic ophthalmia yang
6,7,12,15
disebabkan luka operasi .
ETIOLOGI
Penyebab pasti sympathetic ophthalmia tidak diketahui, tetapi banyak
penelitian menunjukkan kaitan erat antara sympathetic ophthalmia dengan
trauma tembus ( 60 – 70 %) dan perforasi akibat trauma operasi (30%). 1,8,14,15,18
Prosedur operasi dan trauma yang dapat menyebabkan sympathetic
ophthalmia adalah1 : Prosedur operasi seperti viterekromi, pemasangan IOL
sekunder, trabekulektomi, iridenkleisis, siklodestruksi laser YAG kontak dan non
2
kontak, siklokrioterapi, irradiasi proton beam dan ion helium pada melanoma
koroid, dan pada ekstraksi katarak. Tindakan intraokuli lain yang dapat menjadi
sympathetic ophthalmia adalah iridektomi, parasintesis, eviserasi, siklodialisis,
operasi ablasio retina, keratektomi, fotokoagulasi laser, dan radiasi lokal.
Sedangkan trauma yang dihubungkan dengan Sympathetic ophthalmia adalah
ulkus perforasi, kontusio hebat, ruptur sklera subkonjungtiva dan trauma
perforasi lainnya dengan atau tanpa melibatkan uvea atau prolaps uvea.
Ada beberapa teori yang diduga sebagai penyebab sympathetic
ophthalmia yakni 1,2 :
1. Hipersensitifitas terhadap melanin dan protein yang dikaitkan dengan
melanin
2. Adanya kuman penyebab infeksi
3. Sensitifitas terhadap antigen S retinal atau protein uvea.
Pada literature lain dikemukakan 2 hipotesa tentang etiologi penyakit ini
yaitu: autoimun (melanin uvea, melanosit uvea, epitel pigmen retina atau
antigen retina) dan suatu infeksi (seperti virus atau bakteri). 6,7 Konsep respon
inflamasi autoimun sebagai dasar timbulnya sympathetic ophthalmia telah lama
(1910)
dikenal. Elschnig menemukan adanya pigmen uvea melalui perangsangan
antigen putative. Respon imun didominasi oleh respon imun selular melalui
limfosit T. Sebaliknya respon imun humoral tidak begitu terlibat seperti yang
dinyatakan oleh Chan dkk bahwa tidak terdapat antibodi terhadap antiretinal S-
antigen dengan metode pemeriksaan enzymed linked immunosorbent assay
(ELISA).8,11,14,17,18
Rao dkk pada penelitiannya terhadap monyet menyatakan bahwa
antigen ekstraokuler saat terjadinya luka penetrasi berperan untuk terjadinya
sympathetic ophthalmia. Telah lama diduga bahwa agen infeksi dibutuhkan
secara bersama-sama dengan antigen untuk memulai respon imun agar terjadi
sympathetic ophthalmia.14
Telah dilaporkan adanya lens-induced endophthalmitis pada 23-46%
kasus sympathetic ophthalmia dan terdapat hubungan antara
phacoanaphylactic uveitis dengan penyakit ini. 6
Banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara antigen
histokompatibilitas spesifik dengan berbagai penyakit mata. Reynard dkk
3
melaporkan adanya peningkatan HLA A 11 pada 20 orang pasien sympathetic
ophthalmia yang sekaligus mencurigai keterlibatan factor genetic untuk
terjadinya sympathetic ophthalmia. HLA-DQw3 terlihat meningkat pada orang
Amerika yang menderita sympathetic ophthalmia sementara itu pada orang
Jepang yang terlihat adalah HLA-DRw53. . Kilmartin DJ dkk (2001) pada
penelitiannya menyimpulkan adanya hubungan antara HLA-DRB1*04 dan
DQA1*03 dengan pasien sympathetic ophthalmia berkebangsaan Inggris dan
Irlandia. 11,14,15
4
sympathetic ophthalmia. Nodul ini terdiri dari limfosit, histiosit dan sel epitel
pigmen yang terbentang dari dalam menuju membran Bruchs. 2, 6,7,12,13,14,16,15,17,19
Jakoebic dkk serta Chan dkk menggunakan antibodi monoklonal untuk
memperlihatkan nodul Dalllen – Fuchs. Infiltrasi limfosit pada koroid juga dapat
dilihat dengan tekhnik imunohistokimia. Jakoebic dkk serta Chan dkk
menemukan keterlibatan sel CD8 dan sel CD4. Penelitian histopatologi kasus
sympathetic ophthalmia yang klasik atau atipikal menunjukkan bahwa infiltrasi
koroid terutama disusun oleh limfoist T (CD3 +). Pada stadium dini penyakit yang
dominan adalah (CD4+), sedangkan pada stadium lanjut yang dominan adalah
(CD8 +). 5% - 15% infiltrasi koroid terdiri dari limfosit B. 7,11,14,19
GAMBARAN KLINIS
Interval antara sympathetic ophthalmia dan trauma mata penting untuk
diketahui. Dinyatakan bahwa sympathetic ophthalmia dapat terjadi dalam waktu
5 hari sampai dengan 66 tahun sesudah trauma mata. Secara umum 65 %
kasus sympathetic ophthalmia terjadi antara 2 minggu – 2 bulan dan 90 %
terjadi sebelum 1 tahun. 2,4,5,6,7,8,10,12,13,14,15,17,18,19
Perjalanan penyakit sympathetic ophthalmia bersifat insidious. Gejala
pada mata yang trauma berupa nyeri dan fotopobia yang disertai dengan
penurunan visus. Pada pemeriksaan okular terlihat gambaran uveitis low –
grade yang persisiten meskipun luka nya sudah menyembuh. Pada mata yang
non trauma (sympathizing) menjadi mudah terangsang dan kabur. Sympathetic
ophthalmia merupakan panuveitis bilateral yang dapat diketahui dengan
adanya nyeri, photophobia, keratik presipitat mutton – fat, sel dan flare pada
cairan aquos, ciliary flush, penebalan iris, sinekia posterior, sel dan kekeruhan
vitreus. Pada beberapa kasus, penyakit ini dimulai dari segmen posterior
berupa penebalan dan infiltrasi koroid, edema retina dan edema kepala nervus
optikus. 1,2,3,4,6,7,8,10,13,14,15,16,17,18,19
Gambaran khas sympathetic ophthalmia ditandai dengan spot infiltrasi
berwarna putih kekuningan, terletak antara membrana Bruch dan lapisan epitel
pigmen retina dan sebagian besar terdiri dari sel epitel yang disebut dengan
5
nodul Dalen–Fuchs yang sering terdapat dibagian perifer. Fuchs menemukan
nodul Dalen-Fuchs pada lebih kurang 25% kasus sympathetic ophthalmia,
Lubin dkk melaporkan terlihatnya nodul pada 33 dari 73 kasus (35,5%). 3,4,
6,7,12,13,14,15,16,17,18,19
Pada kasus yang berat dapat terjadi rubeosis iridis, katarak, pupilary
membrane formation, ablasio retina eksuatif dan optic atrophy. Pada akhirnya
dapat terbentuk jaringan parut korioretina yang dapat menimbulkan ptisis. Pada
kasus uveitis bilateral yang ringan atau transien dapat terjadi kesalahan
diagnosis. 4,6,7,8,10,12,1415,17,18,19
Pada pemeriksaan fluoresensi angiografi, sebagian besar kasus
sympathetic ophthalmia memperlihatkan gambaran kebocoran pada beberapa
area setingkat epitel pigmen retina (nodul Dallen – Fuchs) dan koroid
6
(granuloma koroid). Jika didapatkan ablasio retina serosa, pooling of dye
pada stadium lanjut harus diobservasi. Pada fase vena angiogram terlihatnya
area hipofluoresensi pada stadium dini diikuti dengan peningkatan
hiperfluoresensi pada stadium lanjut, ini menunjukkan obliterasi koriokapilaris
atau adanya nodul Dallen – Fuchs dan granulomata koroid. Angiogram ditandai
dengan pengisisan koroid yang ireguler dan menetap, patchy choroidal staining,
6,7,8,14,15,16,17,19
dan kebocoran dari nervus optikus saat retina tidak terlibat.
Pemeriksaan ultrasonografi memperlihatkan penebalan ringan hingga
sedang yang menyeluruh pada retinokoroidal, opasitas vitreus dan ablasio
retina serosa. 12,14
Dengan metode microlympphocytotoxicity , Reynard dkk menyatakan
bahwa antigen HLA-A11 terlihat pada 32 % pasien Sympathetic ophthalmia
sedangkan pada pasien perforasi okular tanpa sympathetic ophthalmia hanya
4% . Ohno dkk melaporkan HLA-DR4 dan HLA-DRw53 pada orang jepang
yang menderita sympathetic ophthalmia . 6
DIAGNOSIS
Tidak satupun alat diagnostik yang dapat memastikan diagnosis
sympathetic ophthalmia, Namun riwayat trauma atau operasi mata serta
6
penemuan tanda inflamasi pada mata sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis sympathetic ophthalmia. Dokter mata harus melakukan pemeriksaan
dengan hati – hati diantaranya pemeriksaan visus, tekanan bola mata, dan
tanda inflamasi pada mata dengan menggunakan alat khusus dengan
pembesaran dan dilatasi pada cahaya yang terang. Pemeriksaan khusus
seperti fluorescens angiograms, indocyanin green angiography dan
ultrasonografi dpat dilakukan. Pemeriksaan darah dan foto torak perlu dilakukan
untuk melihat kemungkinan lain, diantaranya sindroma VKH, sarkoidosis,
1,5,12,15,16
limfoma intraokular dan sindroma White dot.
Pemeriksaan kulit dengan ekstrak soluble jaringan uvea manusia atau
sapi memperlihatkan adanya respon hipersensitifitas yang lambat pada pasien
sympathetic ophthalmia. 14
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding sympathetic ophthalmia diantaranya adalah
sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, Uveitis fakoanafilaktik, sarkoidosis, uveitis
kronik idiopatik dan uveitis granulomatosa yang disebabkan oleh mikobakterium
dan jamur. Bagaimanapun riwayat trauma pada mata tanpa manifestasi
sistemik atau terlihatnya infeksi mata yang nyata sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis sympathetic ophthalmia. 6,7,12,14,18
Diagnosis banding sympathetic ophthalmia yang terpenting adalah
sindroma Vogt-Koyanagi-Harada ( VKH).7,14,15,19
7
Diagnosis banding lain dari sympathetic ophthalmia adalah acute
posterior multifocal placoid pigment epitheliopathy ( APMPPE), lupus
koroidopati, keganasan atau bula korioretinopati serosa sentral, skleritis
posterior, hiperplasia melanositik difus bilateral, multiple evanescent white dot
syndrome (MEWDS), limfoma intraokular primer dan penyakit sistemik lainnya
seperti toksemia gravidarum.12
PENATALAKSANAAN
Tindakan preventif untuk terjadinya sympathetic ophthalmia adalah
dengan enukleasi mata yang exiciting. Terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa resiko sympathetic ophthalmia sangat kecil jika mata yang exciting
dienukleasi dalam 2 minggu post trauma, karena itu direkomendasikan untuk
melakukan tindakan bedah vitreoretina sekunder dalam batas waktu tersebut
untuk menentukan apakah mata yang exciting masih bisa diselamatkan. Jika
diyakini visus mata yang exciting berpotensi menjadi 0 setelah vitrektomi, maka
dilakukan enukleasi.4 Masih kontroversi untuk melakukan enukleasi mata yang
exciting saat sudah terjadi sympathetic ophthalmia.3,4,6,7,8,12,14,16,18,19
Lubin dkk pada penelitiannya terhadap 55 orang pasien tanpa terapi
medis menyimpulkan bahwa enukleasi dalam 2 minggu sesudah trauma
memperbaiki visus secara bermakna (p = 0,007). Kuo dkk pada penelitiannya
di Cina terhadap 50 orang pasien didapatkan penurunan yang bermakna angka
kekambuhan pada pasien yang di enukleasi dini, tetapi tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna dalam visusnya. Raynaud dkk pada penelitiannya
menyatakan bahwa enukleasi dini pada mata yang exciting menghasilkan visus
yang lebih baik dari 20 / 50 dengan relaps yang lebih kecil dan lebih ringan ( p <
0,008 ). Penelitian lainnya menyatakan hal yang berlawanan dimana enukleasi
pada mata yang exciting tidak menguntungkan untuk mata yang sympathizing
ketika dilakukan sebelum, bersamaan, sesudah terjadinya sympathetic
ophthalmia, tetapi perlu ditekankan bahwa enukleasi harus dipertimbangkan
pada keadaan prognosis visus yang nol, karena dapat mengancam visus mata
yang sympathizing. Sympathetic ophthalmia dapat terjadi sesudah eviserasi
karena sisa jaringan uvea pada saluran sklera. Tidak dianjurkan untuk
melakukan eviserasi kecuali pada keadaan endophthalmitis atau pada keadaan
umum yang jelek. 3,4,6,14
8
Rumah sakit mata Moorfields melaporkan masih ditemukannya 1 kasus
sympathetic ophthalmia pada pasien yang menjalani enukleasi dini, sementara
itu penelitian AFIP menemukan 2 dari 29 kasus yang dienukleasi dini tetap
berkembang menjadi sympathetic ophthalmia. Pada kasus dengan trauma yang
ringan atau minimal disertai visus yang masih bagus maka enukleasi tidak
direkomendasikan, karena insiden untuk terjadinya sympathetic ophthalmia
yang rendah. Jika terlihat tanda-tanda inflamasi granulomatosa maka terapi
kortikosteroid dibutuhkan untuk mengontrol inflamasi. Jika keputusan untuk
pemberian terapi inflamasi sudah diambil, terapi awal adalah dengan
menggunakan kortikosteroid yang dapat diberikan topikal, subtenon, injeksi
transeptal dan sistemik. 1,5,6,10,12,14,15,19
Kortikosteroid sistemik yang direkomendasikan adalah yang kerja
singkat seperti prednison dengan dosis 1 – 1,5 mg / kgbb / hari. Evaluasi terapi
dilakukan setelah 3 bulan dan apabila efektif maka dosis diturunkan secara
bertahap.14 Prednison dosis tinggi (100-200 mg/hari) dapat diberikan setelah 7
sampai 10 hari pertama kemudian di tapering, terutama untuk prognosis pasien
yang memburuk.4 Terapi agresif dengan kortikosteroid dapat memperbaiki visus
hingga 20 / 50 atau lebih baik. 4,12,14,15,19
Literatur lain menganjurkan pemberian injeksi intravitreal triamcinolone
acetonide sebagai obat untuk sympathetic ophthalmia yang terbukti dapat
mengurangi inflamasi intraokular, memperbaiki visus, memperbaiki lapangan
pandang serta mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid sistemik. Sebagai
pertimbangan didapatkan komplikasi tindakan ini seperti hipertensi intraokular
yang dikaitkan dengan kortikosteroid, katarak, endoftalmitis pasca injeksi dan
lesi pada retina pasca injeksi. 6
Pada keadaan resisten kortikosteroid maka terapi imunosupresi lain
dapat dipertimbangkan seperti cyclosporine. Penelitian lain melaporkan 7 dari
32 pasien sympathetic ophthalmia memerlukan kombinasi kortikosteroid dan
cyclosporine. Dosis yang dianjurkan untuk kombinasi cyclosporine dan steroid
adalah, cyclosporine A 3 – 5 mg/kg/hari dengan prednison 15 – 20 mg/hr
diberikan selama 26 bulan (8-44 bulan). Pada keadaan sympathetic ophthalmia
yang berat pemberian klorambusil (6-8 mg, 1x/hari p.o) dan azatioprin (2-2,5
mg/kg/hari) dapat dipertimbangkan. Dalam hal ini dibutuhkan kolaborasi dengan
9
internist, rheumatologist dan hematologist . Karena obat-obat tersebut dapat
menyebabkan keracunan pada ginjal maka dilakukan monitoring dengan tes
fungsi ginjal. 4,5,6,7,8,12,14,15,16,19
PROGNOSIS
Sympathetic ophthalmia merupakan penyakit yang dapat berakibat
buruknya visus apabila tidak ada intervensi terapi. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa sympathetic ophthalmia menjadi lebih agresif pada
orang Amerika dan Afrika. Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang
5,14
tepat pasien sympathetic ophthalmia dapat mempunyai visus yang baik.
Sebelum era kortikosteroid, prognosis visus pasien sympathetic
ophthalmia adalah buruk. Makley dan Azar pada penelitiannya melaporkan
pada pasien sympathetic ophthalmia yang dapat terapi steroid, visus 20/60
atau lebih baik dapat dicapai pada 60 % pasien. Chan dkk melaporkan visus
20/40 atau lebih baik pada pasien sympathetic ophthalmia yang dapat terapi
steroid dan imunosupresif lain. 15
LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki, 25 tahun dirawat di bangsal mata RSUP Dr
M.Djamil Padang pada tanggal 28 April 2003 dengan keluhan :
Sejak lebih kurang 1,5 tahun yang lalu mata kanan terasa sangat kabur
sehingga untuk berrjalanpun harus dibimbing.
Mulanya sejak lebih kurang 5 tahun yang lalu mata kanan mulai terasa
kabur, namun masih bisa membaca dan berjalan sendiri. Pasien dibawa
berobat ke dokter mata kemudian berobat ke dukun dan diberi obat
tetes tapi mata terasa semakin kabur.
Mata kiri tidak bisa melihat sejak lebih kurang 12 tahun yang lalu dan
sebelumnya terdapat riwayat mata merah berair yang akhirnya
memutih. Pasien pernah dibawa ke dokter mata di Jambi dan
dianjurkan untuk mengangkat bola mata tapi pasien berkeberatan.
Ditemukan riwayat trauma mata kiri lebih kurang 17 tahun yang lalu.
Tidak ditemukan riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini
10
Pada pemeriksaan fisik terlihat keadaan umum sakit sedang, kesadaran
komposmentis kooperatif, TD 130/90 mmHg, nadi 84 x/mt, nafas 20 x/mt, suhu
afebris.
Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra
Visus : tanpa koreksi 1/300 p.b 0
Reflek fundus (+) / / (-)
Supersilia / silia tak ada kelainan tak ada kelainan
Palpebra : tak ada kelainan tak ada kelainan
Aparat lakrimalis normal normal
Konjungtiva : Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sklera putih putih
Kornea bening Keratopati(+),neovasc.(+)
Kamera okuli anterior Cukup dalam,flare(-) Dangkal,masa lensa(+)
Iris Memutih sebgn,rugae(+) Sukar dinilai
Pupil Bulat,rf (+) Sukar dinilai
Lensa Keruh sub.cap.post. Ruptur,mengisi COA
Korpus vitreum Keruh,sel(+),membran(+) Sukar dinilai
Fundus Detail tdk jelas Tidak tembus
Tensi bulbus okuli N-1 (digital) N-2 (digital)
Posisi bulbus okuli ortho ptisis
Gerak bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Diagnosa Kerja :
Observasi sympathetic ophthalmia + Katarak Immatur OD
Ptisis bulbi OS
Terapi : roboransia
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium : Pemeriksaan darah rutin (29/4), darah lengkap (29/4) dan urin
rutin (6/5) dalam batas normal. RF (-), CRP (-), ASTO (+), VDRL (-)
Ro foto thorax : dalam batas normal (29/4)
Pemeriksaan Three Mirror (3/5) : gambaran vaskulitis
Konsul :
(6/5)Peny. Dalam : tidak ada kelainan dan tidak ada kontra indikasi untuk
operasi
(7/5) gigi : ekstraksi gigi yang merupakan fokal infeksi 3buah (dilakukan 3 hari
berturut-turut)
11
Follow Up :
- kondisi pasien stq
- (10/5) ; diberi tambahan terapi Prednisom 8 tab. Dosis tunggal ganti hari
- (14/5) : terlihat perbaikan visus OD menjadi 1/60, jumlah sel dan
membran di vitreus berkurang
- (19/5) : visus OD : 1,5/60, terapi Prednison dan roboransia diteruskan
- (22/5) : visus OD : 2/60, direncanakan untuk enukleasi OS
Tindakan operasi Enukleasi bulbi OS dilakukan (27/5) dan di PA kan. Terapi
post op. Asam mefenamat 3x500 mg, Amoxicilin 3x500mg, Prednison 8 tab.
Ganti hari
Follow Up : 29/5
Okuli Dekstra Okuli Sinistra
Visus 2/60 0
Reflek fundus (+) / (-)
Supersilia / silia tak ada kelainan tak ada kelainan
Palpebra : tak ada kelainan tak ada kelainan
Aparat lakrimalis normal
Konjungtiva : Hiperemis (-)
Sklera putih Soket (+) baik
Kornea bening Perdarahan (-)
Kamera okuli anterior Cukup dalam,flare(-) Heachting (+) baik
Iris Memutih sebgn,rugae(+)
Pupil Bulat,rf (+)
Lensa Keruh sub.cap.post.
Korpus vitreum sel(+) / ,membran(+) /
Fundus Detail tdk jelas
Tensi bulbus okuli N-1 (digital) Tidak dinilai
Posisi bulbus okuli ortho Tidak dinilai
Gerak bulbus okuli Bebas ke segala arah Tidak dinilai
12
- gambaran eksudat pada keempat kwadran
Kesimpulan : Ablasio retina eksudatif
Terapi : Asam mefenamat stop, Amoksisilin stop, Prednison diteruskan
4/6 : OD : stq
OS : edema (-), socket baik
Terapi Prednison 6 tab. ganti hari
5/6 : Patologi anatomi mendiagnosa jaringan bola mata post enukleasi sebagai
”Radang Menahun Tidak Khas yang Berkista”
Rencana : Pasien berobat jalan
Diagnosa : OS : Post enukleasi bulbi a.i Ptisis bulbi dengan protease terpasang
OD : Observasi Sympathetic Ophthalmia dengan Ablasio Retina
Eksudatif + Katarak Immatur
Rencana : pasien dirujuk ke RSCM
DISKUSI
Telah dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki 25 tahun yang
didiagnosa dengan observasi sympathetic ophthalmia. Dari anamnesa
ditemukan riwayat trauma pada mata kiri lebih kurang 17 tahun yang lalu disaat
13
pasien berusia lebih kurang 8 tahun dan tidak diketahui dengan pasti apakah
terjadi perforasi atau tidak, namun ditemukan riwayat mata merah dan memutih
yang kemungkinan merupakan proses inflamasi yang berakhir dengan ptisis
bulbi OS. Setelah 12 tahun post trauma (5 tahun yang lalu) mulai terjadi
sympathizing pada mata kanan dengan keluhan awal mata kabur. Sesuai
dengan literatur yang menyatakan trauma yang terjadi pada mata yang exciting
dapat menimbulkan sympathizing pada mata yang lainnya dan dapat terjadi 5
hari sampai 66 tahun post trauma dan pada pasien ini terjadi 12-17 tahun post
trauma, dan sesuai dengan literatur juga terjadi pada laki-laki. Namun tidak
diketahui dengan pasti trauma yang terjadi apakah trauma perforasi atau ulkus
kornea yang mengalami perforasi yang berlanjut menjadi uveitis dan berakhir
dengan ptisis bulbi.
Pada mata yang sympathizing ditemukan gejala mata kabur dan dari
pemeriksaan terlihat adanya katarak, kekeruhan vitreus dan adanya ablasio
retina eksudatif pada pemeriksaan three mirror. Ini menunjukkan bahwa kasus
sympathetic ophthalmia pada mata pasien ini tergolong kasus yang berat Hal
ini sesuai dengan literatur yang menyatakan pada kasus yang berat dapat
terjadi komplikasi seperti rubeosis iridis, katarak, pupilary membrane formation,
ablasio retina eksudatif dan optic atrophy.
Meskipun menurut literatur banyak penelitian yang menunjukkan
hubungan sympathetic ophthalmia dengan keterlibatan faktor genetik namun
dari riwayat keluarga pasien ini tidak ditemukan anggota keluarga lain
menderita sakit seperti ini.
Telah dilakukan enukleasi pada mata kiri (exciting) pasien ini dan pada
follow up post operasi didapatkan tekanan intra okuler yang makin rendah (N-2)
dengan visus masih tetap 2/60. Pasien dirujuk ke RSCM.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Intraocular Inflammation and
Uveitis. Section 9. USA: Basic And Clinical Science Course; 2003-2004.
p. 196-199
14
2. American Academy of Ophthalmology. Ophthalmic Pathology and
Intraocular Tumor.. Section 4. USA: Basic And Clinical Science Course;
2003-2004. p. 160-162
3. Aaberg TM, Sternberg P. Blunt and Penetrating Ocular Traumaes. In
Vitreoretinal Disease the Essentials edited by Regillo CD, Brown GC,
Flynn HW. Beck AD, Lynnch MG. Thieme New York 1999. pp 519 – 534
4. Aaberg TM, Sternberg P. Trauma : Principles and Techniques of
treatment. In Retina 3 rd ed. Edited by Ryan SJ. Mosby Toronto. pp 2400
– 2424.
5. Chan CC. Sympathetic Ophthalmia. American Uveitis Society 2003. p 1
–2
6. Chan CC, Palestine AG, Nussenblatt RB. Sympathetic Ophthalmia and
Vogt – Koyanagi – Harada Synndrome. In: Duane’s clinical
ophthalmology . Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. (4) 51 : 1-5 .
7. Chan CC, Roberge FG. Sympathetic Ophthalmia. In Ocular Infection
Immunity. Edited by Pepose JS, Holland GN, Wilhelmus KR, Mosby
Toronto. Pp 724 – 730.
8. Forster DJ, Rao NA. Uveitis in Children. In Pediatric Ophthalmology and
Strabismus Edited by Wright KW. Mosby Toronto. Pp 409 – 422.
9. Jonas BJ. Intravitreal Triamcinolon Acetonide for Teatment of
Sympathetic Ophthalmia. In Am J Ophthalmol 2004. p 367-368
10. Kanski JJ. Enucleation and Sympathetic Ophthalmitis. In Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach 4th ed. Edited by Kansky JJ.
Butterworth Heinemann New Delhi. Pp 659 – 661.
11. Kilmartin DJ, Wilson D, Liversidge J et al. Immunogenetics an Clinical
Phenotype of Sympathetic Ophthalmia in British and Irish Patients. Br J
Ophthalmol 2001 ; 85 : 281 – 286.
12. Moorthy RS, Rao NA. Noninfectius Chorioretinal Inflamatory Conditions.
In In Vitreoretinal Disease the Essentials edited by Regillo CD, Brown
GC, Flynn HW. Beck AD, Lynnch MG. Thieme New York 1999. pp 423 -
426.
13. O’Connor GR. Immonologic Diseases of The Eye. In Lange Medical
Book General ophthalmology 13 th ed. Edited by Vaughan D, Asbury T,
Eva PR. Prentice – Hall Int. Inc. pp 337 – 344.
14. Power WJ. Symphathetic Ophthalmia. In Diagnosis and Treatment of
Uveitis. Edited by Foster CS, Vitale AT. WB Saunders Co Toronto 1980 ;
pp 743 – 746.
15. Rao NA. Symphathetic Ophthalmia. In Retina 3 rd ed, Vol 2. Edited by
Ryann SJ, Schachat AP. Mosby Inc Toronto 2001 ; pp 1756 – 1761.
16. Rutzen AR, Sith JA. Intraocular Inflamatory Diseases. In Clinical Guide to
Comprehensive Ophthalmology. Edited by Lee DA, Higginbotham EJ.
Thieme Medical Publisher Stuttgart 1999 ; pp 265 - 295.
17. Schuman JS. Cycloablation. In Principles and practice of ophthalmology
Vol 3. edited by Albert DM, Jacobiec FA. WB Saunders Co. Philadelphia
1994 ; pp 1667 – 1675.
15
18. Tessler H. Uveitis . In Principles and Practice of Ophthalmology Vol II.
Edited by Peyman GA, Sanders DR, Goldberg MF. WB Saunders Co
Toronto 1980. pp 1554 – 1620.
19. To KW, Jacobiec FA, Zimmerman LE. Symphathetic Ophthalmia. In
Principles and practice of ophthalmology Vol 1. edited by Albert DM,
Jacobiec FA. WB Saunders Co. Philadelphia 1994 ; pp 496 – 502.
16