Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“SUMBER-SUMBER AQIDAH ISLAMIYAH, SYAHADATAIN DAN SYIRIK”

DOSEN PENGAMPU:

MASKAB MUTU, S.Ag., M.Ag

OLEH

NAMA : RISKA AMELIA


NIM : 191120545
KELAS :C

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
KOLAKA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Puji dan syukur kami lantunkan kehadirat Allah SWT yang mana berkat nikmat
dan karunianya lah kami masih bisa diberikan kesehatan yang kita alami sampai detik
ini.Shalawat teriring salam selalu kami curahkan kepada hamba Allah yang maha
perkasa yaitu Nabi Muhammad SAW, berkat jasa beliau kita bisa mempelajari islam
semakin luas hingga sekarang ini.
Alangkah indahnya dalam penulisan makalah ini kami bisa mengetahui sedikit
demi sedikit kajian ilmu bahasa. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas kuliah
dalam Mata Kuliah ”al- islam” Jurusan teknik pertambangan , Universitas
muhammadiah mataram.
Adapun judul Penulisan makalah ini adalah “SUMBER-SUMBER AQIDAH
ISLAMIYAH, SYARAT, MAKNA DAN RUKUN SYAHADAT”. Walaupun banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, kami harap tulisan ini bisa bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2


DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4
A. Latar Belakang....................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5
C. Tujuan .................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 6
A. Sumber-Sumber Aqidah ........................................................................................ 6
B. Syarat-syarat “La ilaaha illallah” ........................................................................... 9
C. Makna Syahadat “La ilaaha illallah” ................................................................... 11
D. Rukun “La ilaaha illallah” ................................................................................... 13
E. Pengertian Syirik ................................................................................................. 13
F. Macam-macam Syirik.......................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 15
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 15
B. Saran .................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan Agama yang dikenal dengan istilah Rahmatan Lil ‘alamin.
Dalam Islam telah diatur kehidupan manusia sebaik mungkin, mulai dari hal yang
paling kecil hingga yang paling besar. Dalam memahami islam itu sendiri, ada
aspek awal yang harus diperhatikan, yang kadang hal ini di anggap sepele oleh
masyarakat luas, yaitu masalah aqidah. Akidah bukan hanya seperti tingkah laku,
tutur kata seseorang, tetapi aqidah yang harusnya dipahami yaitu bagaimana aqidah
yang harusnya dipahami yaitu kita mampu mengikat,menyimpul,atau bahkan
mengadakan perjanjian dengan diri sendiri yang kebenarannya diyakini oleh hati.
Namun, untuk memperkuat hal ini, dibutuhkan pondasi yang kuat yaitu ilmu.

Allah telah mewajibkan bagi seluruh hambanya untuk masuk ke dalam


Islam dan berpegang teguh dengan ajaran-Nya dan menjauhi segala sesuatu yang
menyimpang darinya. Ia juga telah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk
berdakwah terhadap hal tersebut, dan juga telah mengabarkan bahwa barang siapa
yang mengikutinya maka dia telah mendapatkan hidayah, namun barang siapa yang
menolak dakwahnya maka ia telah tersesat. dan Allah telah mewajibkan bagi
seluruh hambanya untuk masuk ke dalam Islam dan berpegang teguh dengan
ajaran-Nya dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang darinya. Ia juga telah
mengutus Muhammad untuk berdakwah terhadap hal tersebut, dan juga telah
mengabarkan bahwa barang siapa yang mengikutinya maka dia telah mendapatkan
hidayah, namun barang siapa yang menolak dakwahnya maka ia telah tersesat.

Ada tiga sebab fundamental munculnya perilaku syirik, yaitu al-jahlu


(kebodohan), dhai’ful iiman (lemahnya iman), dan taqliid (ikut-ikutan secara
membabi-buta). Al-jahlu sebab pertama perbuatan syirik. Karenanya masyarakat
sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab, mereka
tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh
dengan kebodohan itu, orang-orang cendrung berbuat syirik. Karenanya semakin
jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecenderungan berbuat syirik semakin kuat.
Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan
utama. Mengapa? Sebab mereka bodoh, dan dengan kobodohannya mereka tidak
tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Ujung-ujungnya para dukun sebagai narasumber yang sangat mereka agungkan.
Penyebab kedua perbuatan syirik adalah dhai’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang
yang imannya lemah cenderung berbuat maksiat. Sebab, rasa takut kepada Allah
tidak kuat. Lemahnya rasa takut kepada Allah ini akan dimanfaatkan oleh hawa
nafsu untuk menguasai diri seseorang. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa
nafsunya, maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik
seperti memohon kepada pohonan besar karena ingin segera kaya, datang ke
kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden, atau selalu
merujuk kepada para dukun untuk suapaya penampilannya tetap memikat hati
orang banyak.

Agar umat islam dapat memaksimalkan kualitas Syahadat dalam


kehidupannya, maka terlebih dahulu mereka haruslah mengetahui mengenai syarat
makna dan rukun yang terkandung dalam kalimat syahadat. Dan juga untuk
menghindari perilaku syirik maka perlu mengetahui hal-hal mengenai kesyirikan.
Maka dari itu makalah ini disusun agar pembaca mengerti mengenai hal tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan sumber-sumber aqidah yang terdapat dalam Islam?
2. Jelaskan beberapa sumber-sumber aqidah dalam Islam?
3. Apa saja syarat-syarat syahadatain,?
4. Apa makna syahadatain,?
5. Apa saja rukun syahadatain,?
6. Apa Pengertian syirik?
7. Apa saja macam-macam syirik?

C. Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui betapa pentingnya mengetahui Sumber-
Sumber aqidah Islam, syarat, makna dan rukun syahadat, juga syirik dan macam-
macamnya. makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan
tentang syarat, makna dan rukun syahadat serta syirik dan macam-macamnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Aqidah
Dua sumber pengambilan dalil penting jika ditelaah melalui tulisan para ulama
dalam menjelaskan aqidah.
a. Dalil asas dan inti yang mencakup Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ para
ulama.
b. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan
yang telah diberikan oleh ALLAH SWT.

1. Al-Qur’an sebagai sumber aqidah


Firman ALLAH SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah melalui perantara
malaikat Jibril. Di dalamnya ALLAH telah menjelaskan segala sesuatu yang telah
dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia dan di akhirat. Ia
merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi
orang-orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Sebagaimana
Firman ALLAH dalam QS.Al-An’am:115 yang artinya
“dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak
ada yang dapat mengubah Firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui”.
Al-imam Asy- Syatibi mengatakan Bahwa sesungguhnya ALLAH telah
menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang didalamnya terdapat penjelasan
atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan
yang dipikulkan diatas pundaknya, termasuk didalamnya perkara aqidah. Allah
menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum aqidah karena Allah mengetahui
kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah
kepada-Nya. Bahkan jika dicermati akan ditemui banyak ayat dalam Al-Qur’an
yang dijelaskan tentang aqidah, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh
karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami aqidah
yang bersumber dari Al-Qur’an. Kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung
dari Rabb manusia, yang hak dan tidak pernah sirna ditelan masa.
2. As-Sunnah sumber kedua
Seperti halnya Al-Qur’an, As-Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang
dari Allah Swt walaupun Lfadznya bukan dari Allah tapi maknanya datang darinya.
Hal ini diketahui dalam firman Allah QS. An-Najm: 3-4.
“dan tidaklah yang diucapkan-Nya itu (Al-Qur’an) menurut keinginan-Nya. Tidak
lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
Rasulullah saw bersabda,”tulislah demi dzat yang jiwaku berada ditangan-
Nya, tidak keluar dari-Nya kecuali kebenaran sambil menunjuk lidahnya” (HR.
Abu dawud)
Yang menjadi persoalan adalah banyaknya hadits lemah yang beredar ditengah
umat dianggap “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah saw dinisbahakan
kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh
musuh-musuh ALLAH untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi,
maha suci ALLAH yang telah menjaga kemurnian As-Sunnah hingga akhir zaman
melalui para ulama ahli ilmu.
Selain melakukan penjagaan terhadap ahli sunnah, ALLAH telah menjadikan
As-Sunnah sebagai sumber hukum.dalam Agama. Kekuatan As-Sunnah dalam
menetapkan syari’at termasuk perkara aqidah ditegaskan dalam banyak ayat Al-
Qur’an, diantaranya firman ALLAH dalam QS.An-nisa:59. Yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang
muslim untuk mengambil sumber-sumber hukum aqidah dari As-Sunnah dengan
pemahaman ulama. Ibnu Qayyim juga pernah berkata “Allah memerintahkan untuk
mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya dengan mengulangi kata kerja (taatilah)yang
menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independen tanpa harus
mencocokkan terlebih dahulu dengan Al-Qur’an, jika beliau memerintahkan
sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan
Sunnah.
3. Ijma’ para Ulama
Sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid Umat Muhammad
saw setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang
yang sekedar tahu tentang ilmu tetap juga memahami dan mengamalkan ilmu.
Berkaitan dengan ijma’, Allah swt berfirman dalam QS.An-Nisa:115.
“dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan
dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan masukkan ia kedalam
Neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Imam Syafi’I menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan
disunnatkannya Ijma’, yaitu diambil dari kalimat “Jalannya orang-orang yang
beriman” yang berarti Ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil
Syar’I yang wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan
dengan larangan menyelisihi Rasul.
Di dalam pengambilan Ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting
yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan
kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih karena perkara aqidah
adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu.
Sedangkan fungsi Ijma’ adalah menguatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga
menjadi qotha’i.
4. Akal Sehat Manusia
Selain ketiga sumber diatas, akal juga menjadi sumber hukum aqidah dalam
Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta
memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya, dengan cara memberikan
batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak kedalam pemahaman-
pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki
keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula
membenarkan membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti
yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “akal merupakan syarat untuk memahami ilmu
dan kesempurnaan beramal dengan keduanyalah ilmu dan dan amal menjadi
sempurna, hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri . di dalam jiwa ia berfungsi
sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika
mendapatkannya cahaya Iman dan Al-Qur’an seperti mendapat cahaya matahari
dan api. Tetapi jika berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu
dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur
kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang
perkara-perkara nyata yang memungkinkan panca indra untuk menangkapanya.
Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat disentuh oleh panca indra maka
tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak/gaib,
seperti akidah tidak dapat diketahui poleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan
petunjuk wahyu baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan
As-Sunnah menjelaskan bagaimana cara memahami dan melakukan masalah
tersebut. Salah satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surge dan
neraka karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan
yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maka akan dapat diketahui
bahwasanya setiap manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini ibnu taimiyah
mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
ijma’ yang menyelisih akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal
sehat adalah batil. Sedangkan tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan
ijma’. Tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak
memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.
5. Fitrah kehidupan
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda : “setiap anak yang lahir dalam
keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang membuat ia menjadi yahudi,
nasrani, atau majusi.( H. R. MUSLIM )
Dari hadits dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki
kecenderungan untuk menghamba kepada ALLAH. Akan tetapi bukan berarti
bahwa bayi yang lahir telah mengetahui rincian agama islam. Setiap bayi yang lahir
tidak mengetahui apa-apa. Tetapi setiap mamiliki fitrah untuk sejalan dengan islam
sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah
fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua penciptaalam yang
memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan ketika ditimpa musibah pun
banyak manusia yang menyeruh kepada ALLAH seperti dijelaskan dalam
firmannya: Q. S Al- Israa’:67.
“dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa
kamu seru, kecuali Dia. Tapi ketika Dia menyelamatkan kamu kedaratan, kamu
berpaling dari-Nya. Dan manusia memang selalu ingkar (tidak bersyukur).”

B. Syarat-syarat “La ilaaha illallah”


Kalimat ‫ الَ ِإلهَ ِإ اال هللا‬merupakan dasar agama Islam dan inti dari seluruh
syariat Islam, kalimat ini juga yang sering kita dengar dan ucapkan. Bahkan pada
zaman sekarang ini sering kita mendengar sebagian kaum muslimin mengucapkan
kalimat tersebut secara spontan tanpa mereka sadari keluar dari lisan mereka.
Setiap ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala tidak akan diterima kecuali
dengan memenuhi syarat-syaratnya, seperti sholat dan zakat tidak akan diterima
kecuali memenuhi syarat-syaratnya, demikian juga dengan kalimat la ilaha illallah
tidak akan diterima kecuali seorang hamba menyempurnakan syarat-syaratnya.

Seorang Tabi’in yang bernama Wahb Ibnu Munabbih pernah ditanya,

“Bukankah kunci surga itu kalimat la ilaha illallah? maka beliau menjawab ya,
akan tetapi tidaklah disebut kunci kecuali ia memiliki gigi-gigi, jika kamu
membawa kunci disertai gigi-giginya maka pintu tersebut akan terbuka, akan tetapi
apabila tidak memiliki gigi-gigi maka pintu tersebut tidak akan terbuka.” [Ibnu
rajab dalam kitab beliau kalimat ikhlas hal:14].

Beliau menjelaskan syarat la ilaha illlallah ibarat gigi-gigi kunci.

Syarat la ilaha illallah ada 7 yaitu :

1. Al-ilmu, yaitu mengetahui makna la ilaha illallah, sebagaimana firman Allah


Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:
“kecuali orang yang mengakui kebenaran dan mereka mengetahuinya.” [QS.
Az-Zukhruf: 86].
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami
dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia
mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu
tidak sah dan tidak berguna.
2. Al-Yaqiin, yaitu meyakini makna la ilaha illallah tanpa ada keraguan sedikit
pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.”[QS.
AL-Hujuraat: 15].
3. Al-Qobuul, yaitu menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat,
beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.
Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan mena’ati, maka ia
termasuk orang-orang yang difirmankan Allah:
“Sungguh, dahulu apabila dikatakan kepada mereka: la ilaha illallah, mereka
menyombongkan diri, dan mereka berkata:“Apakah kami harus meninggalkan
sesembahan kami karena seorang penyair yang gila”.[QS. Ash-Shoofaat: 35-
36].
4. Al-Inqiyaad, yaitu tunduk dan patuh. Seorang muslim harus tunduk dan patuh
terhadap isi kandungan kalimat ini, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang kokoh.” [QS. Luqman: 22].
Al-´Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan maka yuslim wajhahu
adalah yanqadu (patuh, pasrah).
5. Ash-Shidqu yaitu jujur, maksudnya adalah mengucapkan kalimat ini dengan
pembenaran di dalam hati. Barang siapa yang mengucapkan kalimat ini dengan
lisannya akan tetapi hatinya mendustakannya maka ia adalah seorang munafik
dan pendusta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang berkata: kami beriman kepada Allah dan
hari Akhir’, padahal sesungguhnya mereka bukanlah orang-orang yang
beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka
hanya menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada
penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih,
disebabkan mereka berdusta.” [QS. Al-Baqarah: 8-10]. Juga [QS. Al-
ankabut : 2].
6. Al-Ikhlas, Yaitu memurnikan seluruh ibadah hanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’la dan menjauhi kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, Allah
Subhanahu wa Ta’la berfirman yang artinya:
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan tulus, ikhlas beragama kepada-Nya.
Ingatlah! Hanya muilik Allah agama yang murni.” [QS. Az-Zumar; 2-3].
7. Al–Mahabbah (cinta), maksudnya mencintai kalimat ini dan apa yang
dikandungnya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan
konsekuensinya. Allah Subhannahu wa Ta´ala berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaima-na mereka mencintai
Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” [QS.
Al-Baqarah: 165].
Inilah 7 syarat kalimat ‫ الَ ِإلهَ ِإ اال هللا‬yang harus dipahami dan diamalkan oleh
setiap muslim, tidak hanya sekedar menghapalnya saja, akan tetapi hendaknya
diiringi dengan amal perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.

C. Makna Syahadat “La ilaaha illallah”

Makna Kalimat la ilaha illallah adalah ‫ق ِإالا هللا‬


ٍّ ‫( الَ َم ْعب ُْودَ ِب َح‬tidak ada
sesembahan yang benar untuk diibadahi kecuali Allah). Mayoritas kaum
muslimin mengartikan kalimat ini dengan ucapan “tiada Tuhan selain Allah”.
Namun pada nyatanya tuhan itu banyak, hanya saja semua tuhan yang dijadikan
sesembahan oleh kaum musyrikin adalah batil. Sedangkan Tuhan yang Haq
hanyalah satu; Tuhan saya, Tuhan anda, Tuhan kita semuanya, yaitu Allah Tuhan
semesta alam.

Allah ta’ala sendiri menyebutkan bahwa tuhan itu berbilang. Namun semuanya
adalah batil kecuali Dia semata. Firman-Nya:

ِ َ‫ق َوأَنَّ َما يَ ْدع ُْونَ ِم ْن د ُْونِ ِه ه َُو ا ْلب‬


‫اطل‬ َّ َّ‫َّللاَ ه َُو ا ْلعَ ِل ُّي ا ْل َكبِي ُْر ُُذَ ِلكَ بِأَن‬
ُّ ‫َّللاَ ه َُو ا ْل َح‬ َّ َّ‫ َوأَن‬.

“Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah Dia-lah Tuhan yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. al-Hajj:
62).

Maka itu tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak


kaumnya untuk meninggalkan tuhan-tuhan mereka yang batil dan mentauhidkan
Allah semata dengan serta merta mereka mengingkari dan berkata, sebagaimana
yang difirmankan Allah:

‫َاب‬
ٌ ‫عج‬ ِ ‫أ َ َجعَ َل اْآلَ ِلهَةَ ِإلَ ًها َو‬.
ُ ‫احدًا ِإنَّ َهذَا َلش َْي ٌء‬

“Mengapa ia (Muhammad) menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja?


Sesungguhnya Ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad:
5)

Adapun makna yang benar dari kalimat tauhid ini adalah “Tiada Tuhan
yang Haq kecuali Allah” atau “Tiada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali
Allah,” yang mana dalam bahasa Arabnya berbunyi “Laa ma’buuda bihaqqin
Illalllahu”. (asy-Syahadatan, Syaikh Abdullah Jibrin hal. 15)
Inilah makna yang benar yang menyatakan bahwa tiada Tuhan yang berhak untuk
dialamatkan kepada-Nya ibadah kecuali hanya Allah semata. Sebab hanya Allah-lah
satu-satunya Tuhan yang berhak untuk diibadahi, tiada sekutu bagi-Nya. Firman-
Nya:

‫س ْو ٍل إِالَّ نُ ْو ِح ْي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ الَ إِلَهَ إِالَّ أَنَا فَا ْعبُد ُْو ِن‬ َ ‫ َو َما أَ ْر‬.
ُ ‫س ْلنَا ِم ْن قَ ْب ِلكَ ِم ْن َر‬

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. al-Anbiya`: 25)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tuhan Yang Maha Menciptakan segala-galanya


itulah yang berhak untuk diibadahi.” (al-Ushul ats-Tsalatsah, Syaikh Muhammad
at-Tamimi)

Akan tetapi ada beberapa penafsiran yang keliru tentang kalimat la ilaha
illallah yang telah tersebar luas di dunia Islam di antaranya:

1. Menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan (‫)الَ َم ْعب ُْودَ إِ اال هللا‬: “Tidak ada yang
diibadahi selain Allah”. Padahal makna tersebut rancu, ini berarti setiap yang
diibadahi baik benar maupun salah adalah Allah subhanahu wata’ala. Karena
Allah subhanahu wata’ala menamakan semua yang disembah di muka bumi
sebagai ‫( إله‬Tuhan). Ketika Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
kepada orang-orang musyrik: La ilaha illallah maka meraka mengatakan

‫َاب‬
ٌ ‫عح‬ ِ ‫أ َ َجعَ َل اْآل ِلهَةَ إِل ًها َو‬
ُ ‫احدًا إِنَّ هذَا َلش َْي ٌء‬

“Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan yang banyak ini menjadi Tuhan yang satu
saja? sesungguhnya ini sesuatu yang mengharankan.” [QS. Shood: 5].
2. Menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan (‫“ )الَ خَالِقَ ِإالا هللا‬Tidak ada pencipta
kecuali Allah”, padahal makna tersebut adalah sebagian makna dari kalimat la
ilaha illallah dan ini masih berupa Tauhid Rububiyah (tauhid yang mengakui
keesaan Allah saja), sehinga belum cukup. Karena orang-orang kafir jahiliyah
dahulu telah meyakini Allah adalah Tuhan pencipta alam, sebagaimana Allah
jelaskan dalam al-Qur’an

ُ‫سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخ َلقَ ُه ْم لَ َيقَ ْولُنَّ للا‬


َ ‫َو ِلئِ ْن‬

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, sipakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka menjawab, Allah.” (QS. Az – Zuhkruf: 87).
3. Ada juga yang menafsirkan la ilaha illallah dengan (‫) الَ َحا ِك َم ِإالا هللا‬: “Tidak ada
hakim/penguasa kecuali Allah”. Pengertian ini pun tidak mencukupi makna
kalimat tersebut karena apabila mengesakan Allah hanya dengan pengakuan sifat
Allah Yang Maha Penguasa saja namun masih berdo’a kepada selain-Nya atau
menyelewengkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum
dikatakan (telah menjalankan makna kalimat tersebut, yaitu bertauhid kepada
Allah-red).

D. Rukun “La ilaaha illallah”

Ulama menjelaskan bahwa kalimat tauhid la ilaha illallah terdiri dari dua
rukun yaitu :
1. An-Nafyu (peniadaan) : menjauhi sesembahan selain Allah baik Malaikat yang
dekat dengan-Nya atau pun para Nabi dan Rasul yang diutus.
2. Al-Itsbat (penetapan) : menetapkan sesembahan yang benar hanya milik Allah
semata. Adapun sesembahan yang lain semuanya sesembahan yang batil.
Allah Subhannahu wa Ta´ala berfirman :
‫سكَ ِبا ْلعُ ْر َو ِة ا ْل ُوثْقَى‬ ْ ‫اَّلل فَقَ ِد ا‬
َ ‫ستَ ْم‬ ِ َّ ‫ت َويُؤْ ِم ْن ِب‬ ُ ‫فَ َم ْن يَ ْكفُ ْر ِبال َّطا‬.
ِ ‫غ ْو‬

“Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus.” (QS. al-Baqoroh: 256).

Firman Allah, “siapa yang ingkar kepada thaghut” itu adalah makna dari rukun
yang pertama. Sedangkan firman Allah, “dan beriman kepada Allah” adalah makna
dari rukun kedua.

E. Pengertian Syirik

Syirik dari segi bahasa artinya mempersekutukan, secara istilah adalah perbuatan
yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Orang yang melakukan
syirik disebut musyrik. Seorang musyrik melakukan suatu perbuatan terhadap
makhluk (manusia maupun benda) yang seharusnya perbuatan itu hanya ditujukan
kepada Allah seperti menuhankan sesuatu selain Allah dengan menyembahnya,
meminta pertolongan kepadanya, menaatinya, atau melakukan perbuatan lain yang
tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah SWT.

Perbuatan syirik termasuk dosa besar. Allah mengampuni semua dosa yang
dilakukan hambanya, kecuali dosa besar seperti syirik. Firman Allah SWT:

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-
Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar. (QS. An-Nisaa’: 48)
F. Macam-macam Syirik

Dilihat dari sifat dan tingkat sanksinya, syirik dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Syirik Akbar (Syirik Besar)

Syirik akbar merupakan syirik yang tidak akan mendapat ampunan Allah.
Syirik akbar dibagi menjadi dua, yang pertama yaitu Zahirun Jali (tampak
nyata), yakni perbuatan kepada tuhan-tuhan selain Allah atau baik tuhan yang
berbentuk berhala, binatang, bulan, matahari, batu, gunung, pohon besar, sapi,
ular, manusia dan sebagainya. Demikian pula menyembah makhluk-makhluk
ghaib seperti setan, jin dan malaikat.

Yang kedua yaitu syirik akbar Bathinun Khafi (tersembunyi) seperti


meminta pertolongan kepada orang yang telah meninggal. Setiap orang yang
menaati makhluk lain serta mengikuti selain dari apa yang telah disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, berarti telah terjerumus kedalam lembah
kemusyrikan. Firman Allah SWT:

Artinya: “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah


menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am: 121).

1. Syirik Asghar (Syirik Kecil)

Syirik asghar termasuk perbuatan dosa besar, akan tetapi masih ada
peluang diampuni Allah jika pelakunya segera bertobat. Seorang pelaku syirik
asghar dikhawatirkan akan meninggal dunia dalam keadaan kufur jika ia tidak
segera bertaubat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
sumber-sumber aqidah yang terdapat dalam islam yaitu Al-Qur’an, As-
Sunnah, Ijma’ para Ulama, Akal sehat manusia, dan fitrah kehidupan.
Syarat, makna dan rukun syahadat dalam islam sangat penting untuk diketahui
sehingga orang islam bukan sekedar namanya saja tapi memahami islam dari hal-hal
yang yang lebih mendalam seperti memahami syarat, makna dan rukun syahadat.
Setiap ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan diterima
kecuali dengan memenuhi syarat-syaratnya, seperti sholat dan zakat tidak akan
diterima kecuali memenuhi syarat-syaratnya, demikian juga dengan kalimat la ilaha
illallah tidak akan diterima kecuali seorang hamba menyempurnakan syarat-
syaratnya. Yang diantaranya adalah Al-ilmu, Al-Yaqiin, Al-Qobuul, Al-Inqiyaad,
Ash-Shidqu, Al-Ikhlas, Al–Mahabbah. Dan juga memahami makna dan rukun
syahadat “La ilaaha illallah”.

B. Saran
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran atau masukan demi untuk
penyempurnaan makalah kami dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Demikian makalah ini kami susun. Punulis menyadari dalam makalah ini
masih banyak Sekali kekurangan dan jauh dari kesan “sempurna”. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang kontruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah kami selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa
saja yang membcanya, Amien.
DAFTAR PUSTAKA

http://avbahriani.blogspot.com/2016/06/sumber-sumber-aqidah-islam.html

http://alhujjah.com/2013/05/tujuh-syarat-laa-ilaaha-illallah/

http://abumusa81.wordpress.com/2012/11/08/hakekat-syahadat-la-ilaha-illallahu/

Subhani, Ja’far, Tauhid Dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1996).

Wahhab, Muhammad Bin Abdul, Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik, (Yogyakarta:


Mitra Pustaka, 2000).

Tim Penyusun, Akidah Akhlak al-Hikmah, (Surabaya: Akik Pusaka, 2008).

Anda mungkin juga menyukai