Anda di halaman 1dari 52

MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL

makalah ini membahas tentang model pembelajaran sosial, ciri model pembelajaran, teori model
pembelajaran, model bermain peran (role playing), model simulasi sosial, telaah yurisprudensi

A. Pendahuluan
Dalam kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari berbagai variabel pokok yang saling
berkaitan yaitu kurikulum, guru/pendidik, pembelajaran, peserta. Dimana semua komponen ini
bertujuan untuk kepentingan peserta. Berdasarkan hal tersebut pendidik dituntut harus mampu
menggunakan berbagai model pembelajaran agar peserta didik dapat melakukan kegiatan
belajar. Hal ini dilatar belakangi bahwa peserta didik bukan hanya sebagai objek tetapi juga
merupakan subjek dalam pembelajaran. Peserta didik harus disiapkan sejak awal untuk mampu
bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga berbagai jenis model pembelajaran yang dapat
digunakan oleh pendidik. Model-model pembelajaran sosial merupakan pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan di kelas dengan melibatkan peserta didik secara penuh
(student center) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman dalam menuju kedewasaan,
peserta dapat melatih kemandirian, peserta didik dapat belajar dari lingkungan kehidupannya.
Dalam proses pembelajaran, guru dan peserta didik sering dihadapkan pada berbagai
masalah, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial.
Pemecahan masalah pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas,
tanya jawab antara guru dan peserta didik, penemuan dan inkuiri. Konsep yang dipakai sebagai
upaya pemecahan permasalahan itulah yang dimaksud dengan model pembelajaran.
Model Pembelajaran adalah an instructional model is a step-by-step procedure that
leads to specific learning outcomes.[1] (model pembelajaran adalah prosedurlangkah-demi-
langkah yang mengarah ke hasil belajar yang spesifik). Joyce & Weil (1980)
mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran
cenderung preskriptif (dalam mencapai tujuan), yang relatif sulit dibedakan dengan strategi
pembelajaran.[2] Dan strategi pembelajaran adalah An instructional strategy is a method for
delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective.[3]
(Strategi pembelajaran adalah metode untukmemberikan instruksi yang dimaksudkan untuk
membantu siswa mencapai tujuanpembelajaran). Memahami beberapa pernyataan di atas betapa
perlu dan penting model pembelajaran dihadirkan dalam proses pembelajaran agar situasi dan
kondisi pemebelajaran menjadi baik dan terarah.
Banyak model pembelajaran yang dapat dipakai oleh seorang guru untuk menunjang
kegiatan pembelajaran untuk menjadi lebih baik, dan jika seorang guru dapat memanfaatkan
media, sumber atau literatur tentang permodelan dalam pembelajaran tersebut, maka guru akan
menjadi profesional dalam menjalankan tugasnya. Satu contoh model yang dapat digunakan
adalah model pembelajaran sosial. Mengapa dikatakan model pembelajaran sosial? “Karena
pendekatan pembelajaran yang termasuk dalam kategori model ini menekankan hubungan
individu dengan masyarakat atau orang lain. Model-model dalam kategori ini difokuskan pada
peningkatan kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang lain, terlibat dalam proses
demokratis dan bekerja secara produktif dalam masyarakat”[4] Dengan demikian siswa dalam
proses belajar akan memasuki nuansa sebenarnya dimana problem sosial yang mungkin saja
dihadapinya setiap hari. Dalam proses pembelajaran itu siswa mencoba mengatasi sendiri
permasalahan-permasalahannya dengan baik.
Satu sisi dari eksistensi manusia itu adalah sebagai makhluk sosial, maka menjadi
sangat penting bila anak-anak itu diajarkan sedini mungkin pada pola kehidupan sosial.
Bahkan Elizabeth B. Hurlock mengungkapkan bahwa “ karena pola perilaku sosial atau perilaku
yang tidak sosial dibina pada masa kanak-kanak awal atau masa pembentukan, maka
pengalaman sosial itu sangat menentukan kepribadian setelah anak menjadi dewasa”.[5] Untuk
itu model pembelajaran sosial ini menitik beratkan terhadap tingkah laku anak pada peran,
simulasi dan tanggap serta dapat mengatasi problem-problem sosial yang dialami anak dengan
baik.
Untuk lebih jelas tentang apa sajakah yang tergolong dalam model pembelajaran sosial
ini, penulis akan merujuk pada konsep Hamzah B. Uno dalam bukunya model pembelajaran,
beliau membaginya menjadi 3 model pembelajaran sosial, yaitu (1) model pembelajaran bermain
peran, (2) model pembelajaran simulasi sosial dan (3) model pembelajaran telaah kajian
yurisprudensi.[6] Ketiga model inilah yang akan di bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian pendahuluan di atas, maka makalah tentang model pembelajaran sosial ini akan
membahas tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran bermain peran?
2. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran simulasi sosial?
3. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran telaah yurisprudensi?
C. Definisi Model Pembelajaran Menurut Para Ahli
Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Jadi, sebenarnya model pembelajaran memiliki arti
yang sama dengan pendekatan, strategi atau metode pembelajaran. Saat ini telah banyak
dikembangkan berbagaimacam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang
agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya.[7]
D. Ciri-ciri Model Pembelajaran
Ada beberapa ciri-ciri model pembelajaran secara khusus diantaranya adalah:[8]
1. Rasional teoritik yang logis yangdisusun oleh para pencipta atau pengembangnya.
2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar.
3. Tingkah laku mengajar yang diperlukanagar model tersebut dapat dilaksanakandengan berhasil.
4. Lingkungan belajar yang duperlukanagar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
E. Teori Model Pembelajaran menurut para ahli:[9]
1. Model pembelajaran menurut Kardi dan Nur ada lima model pembelajaran yang dapat digunakan
dalam mengelola pembelajaran, yaitu: pembelajaran langsung; pembelajaran kooperatif;
pembelajaran berdasarkan masalah; diskusi; dan learning strategi.
2. Menurut Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega (1990) mengetengahkan 4 (empat)
kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan
informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati
demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan
strategi pembelajaran.
3. Menurut E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai
dengan tuntutan Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (1) Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif
(Participative Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5)
Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction).
4. Menurut Joyce dan Weil (1986: 14-15) mengemukakan bahwa setiap model belajar mengajar
atau model pembelajaran harus memiliki empat unsur berikut.
a. Sintak (syntax) yang merupakan fase-fase (phasing) dari model yang menjelaskan model
tersebut dalam pelaksanaannya secara nyata (Joyce dan Weil, 1986:14). Contohnya, bagaimana
kegiatan pendahuluan pada proses pembelajaran dilakukan? Apa yang akan terjadi berikutnya?
b. Sistem sosial (the social system) yang menunjukkan peran dan hubungan guru dan siswa selama
proses pembelajaran. Kepemimpinan guru sangatlah bervariasi pada satu model dengan model
lainnya. Pada satu model, guru berperan sebagai fasilitator namun pada model yang lain guru
berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
c. Prinsip reaksi (principles of reaction) yang menunjukkan bagaimana guru memperlakukan siswa
dan bagaimana pula ia merespon terhadap apa yang dilakukan siswanya. Pada satu model, guru
memberi ganjaran atas sesuatu yang sudah dilakukan siswa dengan baik, namun pada model
yang lain guru bersikap tidak memberikan penilaian terhadap siswanya, terutama untuk halhal
yang berkait dengan kreativitas.
d. Sistem pendukung (support system) yang menunjukkan segala sarana, bahan, dan alat yang
dapat digunakan untuk mendukung model tersebut.
5. Menurut Toeti Soekamto dan Winataputra (1995:78) mendefinisikan ‘model pembelajaran’
sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa model-model pembelajaran merupakan
kerangka konseptual sedangkan strategi lebih menekankan pada penerapannya di kelas sehingga
model-model pembelajaran dapat digunakan sebagai acuan pada kegiatan perancangan kegiatan
yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa. Sedangkan sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, bahwa yang akan dibahas dalam makalah ini adalah model
pembelajaran sosial dengan berbagai macam bentuknya.
F. Model Pembelajaran Sosial
Mengapa dikatakan model pembelajaran sosial? Karena pendekatan pembelajaran yang
termasuk dalam kategori model ini menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau
orang lain. Model-model dalam kategori ini difokuskan pada peningkatan kemampuan individu
dalam berhubungan dengan orang lain, terlibat dalam proses demokratis dan bekerja secara
produktif dalam masyarakat. Dalam hal ini, akan dipelajari 3 model pembelajaran yang termasuk
ke dalam pendekatan pembelajaran sosial, yaitu (1) model pembelajaran bermain peran, (2)
model pembelajaran simulasi sosial, dan (3) model pembelajaran telaah atau kajian
yurisprudensi.
G. Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing)
model role playing (bermain peran) adalah model pembelajaran dengan cara
memberikan peran-peran tertentu kepada peserta didik dan mendramatisasikan peran tersebut
kedalam sebuah pentas. Bermain peran (role playing) adalah salah satu model pembelajaran
interaksi sosial yang menyediakan kesempatan kepada murid untuk melakukan kegiatan-kegiatan
belajar secara aktif dengan personalisasi.[10] Oleh karena itu, bentuk pengajaran role playing
memberikan pada murid seperangkat/serangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk
keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru. Selain itu, role playing sering
kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya
seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa
tutur.
Model pembelajaran bermain peran (role playing) dibuat berdasarkan asumsi bahwa
sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan
nyata, bermain peran dapat mendorong murid mengekspresikan perasaannya dan bahkan
melepaskannya, dan bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai dan keyakinan kita serta
mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis.[11]
Model role playing dapat membimbing anak didik untuk memahami prilaku dan peran
mereka dalam interaksi sosial, agar mampu memecahkan masalah-masalah dengan lebih efektif.
Role playing dirancang secara husus oleh Fannie dan George Shaftel untuk membantu anak
didik mempelajari dan merefleksikan nilai-nilai sosial, membantu mereka mengumpulkan dan
mengolah informasi, mengembangkan empati dan memperbaiki keterampilan sosial mereka.
Dengan penyesuaian yang cocok, model ini dapat diterapkan pada siswa di seluruh tingkat
umur.[12]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa model role
playing adalah model bermain peran dengan cara memberikan peran-peran tertentu atau
serangkaian situasi-situasi belajar kepada murid dalam bentuk keterlibatan pengalaman
sesungguhnya yang dirancang oleh guru dan didramatisasikan peran tersebut kedalam sebuah
pentas.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam model pembelajaran bermain peran
menurut Suherman adalah:[13]
1) Menyiapkan skenario pembelajaran
2) Menunjuk beberapa murid untuk mempelajari skenario tersebut
3) Pembentukan kelompok murid
4) Penyampaian kompetensi
5) Menunjuk murid untuk melakonkan skenario yang telah dipelajarinya
6) Kelompok murid membahas peran yang dilakukan oleh pelaku.
7) Presentasi hasil kelompok
8) Bimbingan penyimpulan dan refleksi.
Sedangkan menurut Hamzah B.Uno, Prosedur bermain peran terdiri atas sembilan
langkah, yaitu: (1) persiapan/pemanasan, (2) memilih partisipan, (3) menyiapkan pengamat
(observer), (4) menata panggung atau tempat bermain peran, (5) memainkan peran, (6) diskusi
dan evaluasi, (7) memainkan peran ulang, (8) diskusi dan evaluasi kedua, dan (9) berbagi
pengalaman dan kesimpulan.[14]
Manfaat yang dapat diambil dari model role playing adalah:[15]
1. Role playing dapat memberikan semacam hidden practise, dimana murid tanpa sadar
menggunakan ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah baku dan normatif terhadap materi yang
telah dan sedang mereka pelajari
2. Role playing melibatkan jumlah murid yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar.
3. Role playing dapat memberikan kepada murid kesenangan karena role playing pada dasarnya
adalah permainan. Dengan bermain murid akan merasa senang karena bermain adalah dunia
murid. Masuklah ke dunia murid, sambil kita antarkan dunia kita
H. Model Pembelajaran simulasi sosial
Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya pura- pura atau berbuat seolah- olah.
Kata simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura- pura. Dengan demikian, simulasi dalam
metode pembelajaran dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran)
melalui perbuatan yang bersifat pura- pura atau melalui proses tingkah laku lak imitasi. Atau
bermain peran mengenai tingkah laku yang dilakukan seolah- olah dalam keadaan yang
sebenarnya.[16]
Simulasi merupakan suatu metode pembelajaran praktek interaktif yang melibatkan
penciptaan situasi atau ruang belajar dalam suatu program pelatihan.Tujuan dari simulasi adalah
untuk memunculkan pengalaman pembelajaran selama mengikuti program pelatihan. Metode ini
mirip dengan permainan peran, tetapi dalam simulasi, peserta peserta lebih banyak berperan
sebagai dirinya sendiri saat melakukan kegiatan. Misalnya: sebelum melakukan praktek
penerbangan, seorang siswa sekolah penerbangan melakukan simulasi penerbangan terlebih
dahulu (belum benar-benar terbang).
Metode simulasi telah diterapkan dalam pendidikan lebih dari tiga puluh tahun.
Pelopornya adalah Sarene Boocock dan Harold Guetzkow. Walaupun model simulasi bukan dari
disiplin ilmu pendidikan, tetapi merupakan penerapan dari prinsip sibernetik, suatu cabang dari
psikologi sibernetik yaitu suatu study perbandingan antara mekanisme kontrol manusia (biologis)
dengan sistem elektro mekanik, seperti komputer. Jadi, berdasarkan teori sibernetika ahli
psikologi menganalogikan mekanisme kerja manusia seperti mekanisme mesin elektronik.
Menganggap siswa (pembelajar) sebagai suatu sistem yang dapat mengendalikan umpan balik
sendiri (self regulated feedback). Sistem kendali umpan balik ini, baik manusia maupun mesin
mempunyai tiga fungsi, yaitu (1) menghasilkan gerakan/ tindakan sistem terhadap target yang
diinginkan, (2)membandingkan dampak dari tindakannya tersebut, (3) memanfaatkan kesalahan
(error) untuk mengarahkan kembali ke jalur yang seharusnya. [17]
Prosedur Pembelajaran proses simulasi tergantung pada peran guru/fasilitator. Ada
empat prinsip yang harus dipegang oleh fasilitator/guru. Pertama adalah penjelasan. Untuk
melakukan simulasi, pemain harus benar- benar memahimi aturan mainnya, oleh karena itu
sebelum permainan dimulai, guru/ fasilitator harus menjelaskan tentang aturan permainan dalam
simulasi. Kedua adalah mengawasi (refeereing). Simulasi dirancang untuk tujuan tertentu dengan
aturan dan prosedur permainan tertentu. Oleh karena itu, fasilitator harus mengawasi jalannya
permainan agar dapat berjalan sesuai dengan ketentuan. Ketiga adalah melatih (Coaching).
Dalam simulasi, pemain akan melakukan kesalahan. Oleh karena itu, fasilitator harus
memberikan bimbingan, saran dan petunjuk agar pemain tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Keempat adalah diskusi. Dalam simulasi, refleksi menjadi bagian yang penting. Oleh karena itu,
setelah simulasi selesai, fasilitator harus mendiskusikan beberapa hal antara lain: kesulitan-
kesulitan, hikmah yang bisa diambil, bagaimana memperbaiki kekurangan simulasi dan
sebagainya.[18]
Dalam permainan simulasi, yang harus dilakukan oleh guru adalah: (1) Mempersiapkan
siswa yang menjadi pemeran simulasi, (2) Menyusun skenario dengan memperkenalkan siswa
terhadap aturan, peran, prosedur, pemberian skor (nilai), tujuan permainan dan lain- lain. Guru
menunjuk siswa untuk memegang peran- peran tertentu dan menguji cobakan simulasi untuk
memastikan bahwa seluruh siswa memahami aturan main simulasi tersebut, (3) Melaksanakan
simulasi, siswa berpartisipasi dalam permainan simulasi dan guru melakukan peranannya
sebagimana mestinya.[19]
Dalam simulasi, pemain/peserta akan mengalami kesalahan. Oleh karena itu
guru/fasilitator harus memberikan saran, petunjuk atau arahan sehingga memungkinkan mereka
tidak melakukan kesalahan yang, sama. Dan keempat adalah diskusi.
Kaitannya dengan kelompok model pembelajaran, simulasi diarahkan pada model
pembelajaran sosial. Simulasi sosial adalah simulasi yang dimaksudkan mengajak peserta
melalui suatu pengalaman yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial. Menurut
pengalaman sejumlah guru, metode simulasi dalam konteks model pembelajaran sosial sangat
efektif digunakan jika guru menghendaki agar siswa menemukan makna diri (jati diri) di dalam
dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Jenis model pembelajaran
sosial misalnya melalui bermain peran dan atau simulasi. Dalam bermain peran, siswa belajar
menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan
perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Fungsi model pembelajaran sosial adalah (1) untuk
menggali perasaan siswa, (2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap
sikap, nilai dan persepsi, (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan
masalah, dan (4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai cara.
Aplikasi permainan simulasi dapat merangsang berbagai bentuk belajar, seperti belajar
tentang persaingan (kompetisi), kerja sama, empati, sistem sosial, konsep, keterampilan,
kemampuan berpikir kritis, pengambilan keputusan dan lain-lain. Namun demikian, model
simulasi agak berbeda dengan model-model lain. Model ini agak rumit, tergantung pada
pengembangan simulasi yang tepat, baik yang melibatkan peneliti, pengembang, (sistem analis,
programer dan lain-lain), perusahaan komersial, guru atau kelompok guru dan lain-lain. Dewasa
ini, dengan semakin majunya teknologi komunikasi dan informasi, seperti komputer dan
multimedia, telah banyak permainan simulasi dihasilkan untuk berbagai kebutuhan yang
mencakup berbagai topik dari berbagai disiplin ilmu (mata pelajaran)[20]
I. I. Model Pembelajaran Telaah Yurisprudensi
Model ini dirancang untuk siswa dalam studi sosial dan menyiratkan metode kasus
sebuah studi, mengingatkan pendidikan hukum. Studi kasus yang melibatkan masalah sosial di
daerah-daerah di mana kebijakan publik harus dilakukan (keadilan dan kesetaraan, kemiskinan
dan kekuasaan dll) Mereka dituntun untuk mengidentifikasi kebijakan publik isu-isu serta pilihan
yang tersedia untuk berhubungan dengan mereka dan nilai-nilai yang mendasari orang-orang
pilihan. Model ini dapat digunakan di daerah manapun di mana ada isu-isu kebijakan publik,
karena etika misalnya dalam ilmu pengetahuan, bisnis dan olahraga dan lain-lain.
Model ini didasarkan pada konsepsi masyarakat di mana orang berbeda pandangan dan
prioritas dan nilai-nilai sosial yang sah bertentangan satu dengan lainnya. Menyelesaikan
kompleks, isu-isu kontroversial dalam konteks tatanan sosial yang produktif membutuhkan
warga negara yang dapat berbicara satu sama lain dan berhasil bernegosiasi tentang perbedaan
mereka.permasalahan daerah umum, masalah ras dan etnis, konflik keagamaan dan ideologis,
konflik keamanan individu, konflik antara kelompok-kelompok ekonomi, kesehatan, pendidikan
dan kesejahteraan keamanan bangsa.
Sintaks Model yurisprudensi:
1. Orientasi untuk kasus
2. Mengidentifikasi masalah
3. Mengambil posisi
4. Menjelajahi sikap yang mendasari posisi yang diambil
5. Refining dan kualifikasi posisi
6. Pengujian asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.
Reaksi dari model Yurisprudensi adalah:
1. Mempertahankan iklim intelektual yang kuat di mana semua pandangan dihormati; menghindari
evaluasi langsung pendapat siswa.
2. Lihat bahwa isu-isu yang benar-benar dieksplorasi
3. Substansi berpikir siswa melalui pertanyaan relevansi, konsistensi, spesifisitas, umum, kejelasan
definisi, dan kontinuitas.
Pengajaran Model yurisprudensi Menjaga gaya dialektis; gunakan dialog konfrontatif,
mempertanyakan asumsi siswa dan menggunakan contoh yang spesifik (analogi) untuk lebih
berfariasi dengan laporan yang umum.
hindari mengambil sikap keras kepala. konteks untuk mengeksplorasi situasi dari peristiwa
sejarah untuk menjelajahi adanya nilai hukum.
Peran guru selama latihan ini sangatlah penting. Siswa sebagai peneliti, juga
mendiskusikan, dan berdebat, guru harus mendorong siswa untuk melibatkan diri ke satu sisi
masalah ini, tapi akan mendukung jika mereka berubah pikiran ketika dihadapkan dengan bukti
baru, dan mendorong mereka untuk mempertimbangkan sudut pandang lain. Pada tiap saat, guru
harus tetap netral terhadap masalah ini, mendorong diferensiasi posisi, dan mempromosikan
sintesis dari posisi yang berbeda yang disajikan di depan kelas.
Aplikasi Akhir dari model ini adalah fase yang paling penting. Dalam fase ini bahwa
siswa mengambil apa yang telah dipelajari dan menerapkannya ke lingkungan mereka. Siswa
harus mampu melihat nilai dalam ilmu yang telah mereka pelajari dan melihat bahwa dengan
pengetahuan ini mereka dapat memiliki dampak yang muncul.
Langkah pertama dari proses ini adalah untuk setiap siswa mengusulkan sebuah rencana
aksi secara keseluruhan dengan resolusi. Beberapa cara siswa telah menerapkan apa yang telah
mereka pelajari dan menjadi terlibat dalam kegiatan masyarakat meliputi:
1. Menulis surat kepada dewan kota, perwakilan negara, negara senator, gubernur, atau walikota.
2. Terkemuka atau berpartisipasi dalam kegiatan seperti pembersihan masyarakat, kegiatan daur
ulang, atau petition drives.
3. Menghadiri pertemuan atau rapat dewan kota lingkungan lokal.
Apa pun tindakan siswa mengambil harus dinilai dalam keterangan laporan rencana aksi mereka.
Kunci untuk model instruksi adalah bahwa siswa mendapat kesempatan untuk
menerapkan keterampilan penyidikan dan strategi tindakan untuk masyarakat dimana mereka
tinggal.

[1] Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach.
Boston: Allyn and Bacon. hl. 67
[2] Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc
[3] Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition.
Boston: Allyn and Bacon. h. 85
[4] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang
Kreatif dan Efektif, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012) h. 25
[5] Elizabeth B Hurlock, 1978, Perkembangan Anak, (terj.Med Meitasari Tjandrasa &
Muslichah Zarkasi), Jakarta: Glora Aksara Pratama, h. 256.
[6] Elizabeth B Hurlock, 1978, Perkembangan Anak, h.256.
[10] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara, 2004) h.214
[11] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran..., h. 25
[12] Bruce Joice & Marsha Weil, Models of Teaching, Terj. Achmad Fawaid dan Ateilla
Mirza, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 36
[13] Suherman, E. 2009. Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi
Murid. Educare; Jurnal Pendidikan dan Budaya. ISSN 1412-579x, (Online) http://educare.e-
fkipunla.net, (diakses tanggal 20-09-2014), h. 7
[14] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran..., h. 26
[15] Bobby DePorter, & Hemacki, M, Quantum Learning. (Bandung: Kaifa, . 2000).
[16] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran..., h. 27
[17] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran..., h. 28
[18] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran..., h. 29
[19] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran..., h. 30
[20] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran..., h. 30

MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL

Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran, guru dan peserta didik sering dihadapkan pada berbagai masalah,
baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial.
Pemecahan masalah pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas,
tanya jawab antara guru dan peserta didik, penemuan dan inkuiri. Konsep yang dipakai sebagai
upaya pemecahan permasalahan itulah yang dimaksud dengan model pembelajaran.
Model Pembelajaran adalah an instructional model is a step-by-step procedure that leads
to specific learning outcomes.1[1](model pembelajaran adalah prosedur langkah-demi-langkah
yang mengarah ke hasil belajar yang spesifik). Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model
pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif (dalam mencapai
tujuan), yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran.2[2] Dan strategi pembelajaran
adalah An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help
students achieve a learning objective.3[3]( Strategi pembelajaran adalah metode untuk
memberikan instruksi yang dimaksudkan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran).
Memahami beberapa pernyataan di atas betapa perlu dan penting model pembelajaran dihadirkan
dalam proses pembelajaran agar situasi dan kondisi pemebelajaran menjadi baik dan terarah.
Banyak model pembelajaran yang dapat dipakai oleh seorang guru untuk menunjang
kegiatan pembelajaran untuk menjadi lebih baik, dan jika seorang guru dapat memanfaatkan
media, sumber atau literatur tentang permodelan dalam pembelajaran tersebut, maka guru akan
menjadi profesional dalam menjalankan tugasnya. Satu contoh model yang dapat digunakan
adalah model pembelajaran sosial. Mengapa dikatakan model pembelajaran sosial? “Karena
pendekatan pembelajaran yang termasuk dalam kategori model ini menekankan hubungan
individu dengan masyarakat atau orang lain. Model-model dalam kategori ini difokuskan pada
peningkatan kemampuan individu dalam berhubungan dengan orang lain, terlibat dalam proses
demokratis dan bekerja secara produktif dalam masyarakat”.4[4] Dengan demikian siswa dalam
proses belajar akan memasuki nuansa sebenarnya dimana problem sosial yang mungkin saja
dihadapinya setiap hari. Dalam proses pembelajaran itu siswa mencoba mengatasi sendiri
permasalahan-permasalahannya dengan baik.
Satu sisi dari eksistensi manusia itu adalah sebagai makhluk sosial, maka menjadi sangat
penting bila anak-anak itu diajarkan sedini mungkin pada pola kehidupan sosial. Bahkan
Elizabeth B. Hurlock mengungkapkan bahwa “ karena pola perilaku sosial atau perilaku yang
tidak sosial dibina pada masa kanak-kanak awal atau masa pembentukan, maka pengalaman
sosial itu sangat menentukan kepribadian setelah anak menjadi dewasa”5[5]. Untuk itu model
pembelajaran sosial ini menitik beratkan terhadap tingkah laku anak pada peran, simulasi dan
tanggap serta dapat mengatasi problem-problem sosial yang dialami anak dengan baik.
Untuk lebih jelas tentang apa sajakah yang tergolong dalam model pembelajaran sosial
ini, penulis akan merujuk pada konsep Hamzah B. Uno dalam bukunya model pembelajaran,
beliau membaginya menjadi 3 model pembelajaran sosial, yaitu (1) model pembelajaran bermain
peran, (2) model pembelajaran simulasi sosial dan (3) model pembelajaran telaah kajian
yurisprudensi6[6]. Ketiga model inilah yang akan di bahas dalam makalah ini.
Rumusan Masalah
Dari uraian pendahuluan di atas, maka makalah tentang model pembelajaran sosial ini akan
membahas tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran bermain peran?
2. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran simulasi sosial?
3. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran telaah yurisprudensi?

Pembahasan
Model Pembelajaran Bermain Peran
Pengertian

Bermain peran adalah sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa
menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan
kelompok. Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari
adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan prilaku dirinya dan prilaku orang lain.7[7]
Model pembelajaran bermain peran merupakan puncak (klimaks) pada model
pembelajaran berbicara. Artinya model pembelajaran ini sebagai tataran tertinggi dalam model
pembelajaran berbicara. Jika dalam model pembelajaran lainya masih terdapat campur tangan
guru, maka dalam bermain peran ini sudah hampir 100% murni dari inisiatif, spontanitas dan
pemikiran peserta didik. Dalam praktiknya bermain peran ini menyerupai sandiwara atau drama,
hanya saja dalam bentuk yang lebih kecil atau sederhana. Maka peserta didik akan memperoleh
peran dan teks dialog yang harus dihafalkan untuk ditampilkan di depan kelas.8[8]
Chasler (1966) mengatakan, these parts people play are called roles. A role is "a
patterned sequence of feelings, words, and actions.... It is a unique and accustomed manner of
relating to others" 9[9] Bagian-bagian orang bermain disebut peran. Peran adalah "urutan
bermotif perasaan, kata-kata, dan tindakan .... Ini adalah cara yang unik dan terbiasa
berhubungan dengan orang lain. Jadi dalam model pembelajaran ini sangat ditekankan anak-anak
untuk menggunakan perasaan dengan baik, kata-kata yang tegas dan yang lebih penting juga
adalah penghayatan karakter tokoh yang diperankan, dengan tujuan menimbulkan tingkah laku
yang sempurnah dalam action pemeran.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk
mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan model-model
mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:

1. Secara implicit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan
menitikberatkan isi pelajaran pada situasi “di sini pada saat ini”. Model ini percaya bahwa
sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy10[10] mengenai situasi
kehidupan nyata. Terhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik
dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
2. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya
yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk
mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran
yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan
antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam
konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri
merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama,
pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya,
dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada
bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
3. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk
kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang
tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan.
Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara
memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya
secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain
tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha
mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional.
Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah
sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang
sedang dihadapi.
4. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai,
perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan
secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang
sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau
diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang
dimilikinya.11[11]

Dari empat asumsi di atas terlihat dengan jelas dasar pembelajaran bermain peran itu
adalah untuk mengembangkan prilaku dan nilai-nilai sosial. Materi pembelajaran yang diberikan
disesuaikan dengan kehidupan kekinian para siswa, peserta didik dapat mengungkapkan
perasaannya drngan orientasi kebaikan dan kegagalan dari individu lain, peserta didik dapat
belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal, dan para pserta didik dapat
menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang
dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Dasar-dasar ini yang membuat model bermain
peran banyak disukai, baik oleh peserta didik maupun para pendidik itu sendiri. Model ini
disamping pelaksanaannya sangat menyentuh sampai ke asfek keterampilan yang dimiliki siswa,
model ini juga sangat mudah dan praktis dalam pelaksaannya, lebih praktisnya model ini dapat
digunakan dimana saja terutama di alam terbuka adalah suatu tempat yang sangat baik dalam
pelaksanaan pembelajaran dengan model bermain peran ini.
Selanjutnya dalam pelaksanaan proses model pembelajaran sosial ini keberhasilannya
akan bergantung kepada kualitas dan keefektifan siswa dalam memainkan peranya, disamping itu
perlu juga ditunjang oleh kualitas pemeranan, analisis dan diskusi serta pandangan peserta didik
terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan yang nyata.
Shaftel (1967) mengungkapkan “In role playing, students explore human relations
problems by enacting problem situations and then discussing the enactments.Together, students
can explore feelings, attitudes, values, and problem-solving strategies.12[12]. Dalam bermain
peran, siswa mengeksplorasi masalah hubungan manusia dengan memberlakukan situasi
masalah, kemudian mendiskusikan enactments (keadaan atau situasi atau hukum yang berlaku)
secara bersama, siswa dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, dan strategi dalam
pemecahan masalah. We have also incorporates ideas from the work of Mark Chesler and Robert
Fox (Kami juga telah menggabungkan ide dari karya Mark Chesler dan Robert Fox).
Role playing as a model of teaching has roots in both the personal and social dimensions of education. It attempts to
help individuals find personal meaning within their social worlds and to resolve personal dilemmas with the
assistance of the social group. In the social dimension, it allows individuals to work together in analyzing social
situations, especially interpersonal problems, and in developing decent and democratic ways of coping with these
situations. We have placed role playing in the social family of models because the social group plays such an
indispensable partin human development and because of the unique opportunity that role playing offers for
resolving interpersonal and social dilemmas. Bermain peran sebagai model pembelajaran memiliki akar di kedua
pribadi dan dimensi sosial pendidikan. Ia mencoba untuk membantu individu menemukan makna pribadi dalam
dunia sosial mereka dan untuk mengatasi dilema pribadi dengan bantuan dari kelompok sosial. Dalam dimensi
sosial, memungkinkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi sosial, terutama antar masalah
pribadi, dan dalam mengembangkan cara-cara yang layak dan demokratis untuk mengatasi situasi ini. Kami telah
menempatkan model bermain peran dalam keluarga sosial karena kelompok sosial memainkan peran seperti yang
diperlukan, karena kesempatan pengembangan pribadi manusia penting dan unik yang menawarkan permainan
peran untuk menyelesaikan dilema interpersonal dan sosial.13[13]

Shaftel mengungkapkan bahwa bermain peran ini sebagai model pembelajaran yang
berpusat pada dimensi pendidikan, model ini semaksimal mungkin membantu peserta didik
untuk menemui makna diri atau jati dirinya. Dalam dimensi sosial siswa dapat berdiskusi dan
menganalisa situasi sosial terutama antar masalah pribadi mereka, dengan demikian model
bermain peran ini sangat baik sekali diterapkan untuk menggali lebih jauh potensi apa yang
sebenarnya yang ada dalam diri peserta didik itu, serta permasalahan apa yang sebenarnya
dialami oleh siswa yang dapat dijadikan dasar bagi seorang guru untuk mencapai tujuan
pendidikan.

Bruce Joyce Marsha Weil dalam bukunya Models Of Teaching mengungkapkan bahwa
esensi atau inti sari dari model pembelajaran bermain peran adalah:

The essence of role playing is the involvement of participants and observers in a real problem situation and the
desire for resolution and understanding that this involvement engenders. The role-playing process provides a live
sample of human behavior that serves as a vehicle for students to: (1) explore their feelings; (2) gain insight into
their attitudes, values, and perceptions; (3) develop their problem-solving skills and attitudes; and (4) explore
subject matter in varied ways. Inti dari permainan peran adalah keterlibatan peserta dan pengamat dalam situasi
masalah yang nyata dan keinginan untuk resolusi dan pemahaman yang menimbulkan keterlibatan ini. Proses role-
playing menyediakan contoh hidup dari perilaku manusia yang berfungsi sebagai wahana bagi siswa untuk: (1)
mengeksplorasi perasaan mereka, (2) mendapatkan informasi tentang sikap, nilai-nilai, dan persepsi, mereka (3)
mengembangkan keterampilan dan sikap dalam pemecahan masalah mereka, dan (4) mengeksplorasi materi
pelajaran dengan cara yang bervariasi.14[14]

Sebagai sebuah kesimpulan, dimana hakikat atau intisari dari model bermain peran ini
adalah terletak pada keterlibatan peserta didik dan pengamat dalam situasi permasalahan yang
nyata, dan keterlibatan tersebut akan membuat personal menjadi paham akan permasalahan yang
akan diungkapkan. Seperti dengan bermain peran yang menyediakan contoh hidup dari prilaku
manusia (tampilan berbagai ekspresi dari tokoh yang diperankan) dapat berfungsi sebagai sarana
bagi siswa untuk mewujudkan perasaan mereka, mendapatkan informasi tentang sikap, nilai-nilai
dan persepsi mereka, serta dapat mengembangkan keterampilan dalam pemecahan masalah
mereka, dan tidak kalah pentingnya adalah dapat mengekplorasi (menyampaikan) materi
pelajaran dengan cara yang berpariasi.

Prosedur atau Hakikat Model Pembelajaran Bermain Peran

The Shaftels suggest that the role-playing activity consist of nine steps: (1) warm up the group,
(2) select participants, (3) set the stage, (4) prepare observers, (5) enact, (6) discuss and
evaluate, (7) reenact, (8) discuss and evaluate, and (9) share experiences and generalize
Menurut Shaftel (1967), Shaftels menunjukkan bahwa aktivitas bermain peran terdiri dari
sembilan langkah: (1) pemanasan kelompok, (2) memilih peserta, (3) mengatur panggung, (4)
menyiapkan pengamat, (5) memberlakukan, (6) mendiskusikan dan mengevaluasi, (7)
menghidupkan kembali, (8) membahas dan mengevaluasi, dan (9) berbagi pengalaman dan
generalisasi.15[15]
Hamzah Uno dalam bukunya Model Pembelajaran menjelaskan satu persatu tentang 9
prosedur Model Pembelajaran Bermain Peran yang diungkapkan oleh Shaftel di atas sebagai
berikut:
Pertama, pemanasan. Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang
mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu mempelajari dan menguasainya.
Selanjutnya menggambarkan permasalahan dengan jelas disertai contoh. Hal ini bisa dari
imajinasi siswa atau sengaja sudah dipersiapkan oleh guru. Contoh, guru menyediakan suatu
cerita untuk dibacakan di depan kelas. Pembacaan cerita berhenti jika cerita sudah menjadi jelas.
Kemudian dilanjutkan dengan pengajuan pertanyaan oleh guru yang membuat siswa berfikir
tentang hal tersebut dan memprediksi akhir dari cerita.
Langkah kedua, memilih pemain (partisipan). Siswa dan guru membahas karakter dari
setiap pemain dan menentukan siapa yang akan memainkannya.Dalam pemilihan pemain ini bisa
dilakukan oleh guru atau siswa sendiri yang menetapkan siapa yang akan memainkan peran siapa
dalam ide cerita yang akan dimainkan. Menyerahkan kepada siswa untuk menentukan peran
masing-masing adalah lebih baik, namun jika siswa fasif dan tidak mau memerankan sebagai
siapa saja barulah guru yang menetapkannya.Contoh seorang guru menunjuk siswa untuk
berperan sebagai seorang ayah yang galah dan berkumis tebal, guru menunjuk seorang anak
untuk memerankan seperti ilustrasi di atas.
Langkah ketiga menata panggung. Dalam hal ini guru mendiskusikan dengan siswa
dimana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan. Penata
panggung ini dapat sederhana atau kompleks. Yang paling sederhana adalah hanya membahas
sekenario (tanpa dialok lengkap) yang menggambarkan urutan permainan peran. Misalnya siapa
dulu yang muncul, kemudian diikuti oleh siapa, dan seterusnya. Sementara penataan panggung
yang lebih kompleks meliputi aksesoris lain seperti kostum dan lain-lain. Konsep sederhana
memungkinkan untuk dilakukan karena intinya bukan kemewahan panggung, tetapi proses
bermain peran itu sendiri.
Langkah keempat, menyiapkan pengamat. Guru menunjuk beberapa siswa sebagai
pengamat namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pengamatan disini harus juga terlibat
aktif dalam permainan peran. Untuk itu, walaupun mereka ditugaskan sebagai pengamat, guru
sebaiknya memberikan tugas peran terhadap mereka agar dapat terlibat aktif dalam permainan
peran tersebut.
Langkah kelima, memberlakukan ( Permainan peran dimulai). Permainan peran
dilaksanakan secara sepontan. Pada awalnya akan banyak siswa yang masih bingung memainkan
atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Bahkan, mingkin ada yang
memaikan peran yang bukan perannya. Jika permainan peran sudah terlalu jauh keluar jalur,
guru dapat menghentikannya untuk segera masuk kelangkah berikutnya.
Langkah keenam, diskusi dan evaluasi. Guru bersama siswa mendiskusikan permainan
tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan
muncul. Mungkin ada siswa yang meminta untuk berganti peran. Atau bahkan alur ceritanya
akan sedikit berubah. Apapun hasil diskusi dan evaluasi tidak jadi masalah. Setelah diskusi dan
evaluasi selesai, dilanjutkan kelangkah ketujuh, yaitu permainan peran ulang. Seharusnya, pada
permainan peran kedua yang akan berjalan lebih baik. Siswa dapat memainkan perannya lebih
sesuai dengan sekenario. Dalam diskusi dan evaluasi pada langkah kedelapan, pembahasan
diskusi dan evaluasi lebih diarahkan pada realitas. Mengapa demikian karena pada saat
permainan peran dilakukan, banyak peran yang melampaui batas kenyataan. Misalnya seorang
siswa memainkan peran sebagai pembeli. Dia membeli barang lain, seorang siswa memerankan
peran orang tua yang galak. Kegalakan yang dilakukan orang tua ini dapat dijadikan bahan
diskusi. Pada langkah kesembilan, siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema
permainan yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Misalnya siswa
akan berbagi pengalaman tentang bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Kemudian
guru membahas bagaimana sebaiknya siswa menghadapi situasi tersebut. Seandainya jadi ayah
dari siswa tersebut, sikap yang seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan cara ini, siswa
akan belajar tentang kehidupan.
Aplikasinya bahwa model bermain peran ini sangat fleksibel dan berlaku untuk beberapa
hal penting berhubungan dengan tujuan pendidikan. Melalui peran playihg, siswa dapat
meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali mereka sendiri dan perasaan orang lain,
mereka dapat memperoleh perilaku baru untuk menangani situasi yang sebelumnya sulit, dan
mereka dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah mereka. Selain banyak kegunaan,
model role-playing ini juga menyertakan serangkaian kegiatan yang menarik. Karena siswa
menikmati tindakan akting, lalu mudah untuk melupakan peran bermain sendiri dan akting itu
merupakan cara untuk mengembangkan isi instruksi. Tahapan model tidak berakhir dalam diri
mereka, tetapi mereka membantu mengekspos nilai siswa, tentang perasaan, sikap, dan solusi
masalah, yang guru kemudian harus dapat menanggapinya.16[16]
Model Pembelajaran Simulasi Sosial
Pengertian

Model ini dipelopori oleh Sarene Boocock dan Harold Guetzkow. Model simulasi bukan berasal
dari disiplin ilmu pendidikan, tetapi merupakan penerapan dari prinsip sibernetik, suatu cabang
dari psikologi sibernetik yaitu suatu studi perbandingan antara mekanisme kontrol manusia
dengan sistem elektromekanik seperti komputer.
Jadi, ahli sibernetik menginterpretasikan manusia sebagai suatu sistem kontrol yang dapat
mengarahkan tindakannya dan memperbaiki tindakannya dengan mendasarkan pada umpan
balik. Dengan demikian, belajar dalam konteks sibernetik merupakan proses mengalami
konsekuensi lingkungan secara sensorik dan melibatkan perilaku koreksi diri (self corrective
behavior). Oleh karena itu, pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga tercipta suatu
lingkungan yang dapat menghasilkan umpan balik yang optimal bagi siswa.17[17] Smith
mengungkapkan:

As a discipline, cybernetics "has been described as the comparative study of the human (or biological) control
mechanism,and electromechanical systems such as computers" The central focus is the apparent similarity between
the feedback control mechanisms of electromechanical systems and human systems: A feedback control system
incorporates three primary functions: it generates movement of the system toward a target or defined path; it
compares the effects of this action with the true path and detects error; and it utilizes this error signal to redirect the
system Sebagai suatu disiplin, cybernetics "telah digambarkan sebagai studi perbandingan mekanisme kontrol
manusia (atau biologis), dan sistem elektromekanis seperti komputer". Fokus utama adalah kesamaan jelas antara
mekanisme kontrol umpan balik dari sistem elektromekanis dan sistem manusia: Sebuah sistem kontrol umpan balik
menggabungkan tiga18[18] fungsi utama: menghasilkan gerakan sistem menuju target atau jalan yang ditetapkan,
itu membandingkan efek dari tindakan ini dengan jalan yang benar dan mendeteksi kesalahan, dan ini menggunakan
sinyal error (kesalahan) untuk mengarahkan sistem.19[19]
Model pembelajaran simulasi sosial merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip cybernetic
(cabang dari psikologi). Psikologi cybernetic menganalogikan manusia sebagai suatu sistem
kontrol yang menggerakkan jalannya tindakan dan membenarkan arah atau mengoreksi tindakan
tersebut dengan pengertian umpan balik. Menurut psikologi cybernetic, tingkah laku manusia
mencakup pola gerak yang dapat diamati baik berupa tingkah laku tak tampak seperti pikiran
maupun tingkah laku tampak. Pada bermacam-macam situasi yang diberikan, individu
memodifikasi tingkah laku sesuai dengan umpan balik yang mereka terima dari lingkungannya.
Esensi psikologi cybernetic adalah prinsip umpan balik yang berorientasi pada pendirian
individual yang dirasakan merupakan dampak yang ditimbulkan dari keputusannya sendiri dan
merupakan dasar untuk memperbaiki diri. Individu dapat merasakan pengaruh dari ketetapan
yang diambilnya akibat dari pemenuhan kebutuhan lingkungan dari pada hanya mengatakan
bahwa itu benar atau salah dan coba lagi. Hal ini merupakan konsekuansi lingkungan dari
pilihannya yang dikembalikan kepadanya. Belajar dalam pengertian cybernetic adalah
penginderaan tingkah laku individu yang mempunyai akibat pada lingkungan serta perbaikan
diri. Pengajaran dalam pengertian sybernetic dirancang untuk menciptakan lingkungan bagi
siswa dengan sitem umpan balik.
Para ahli psikologi cybernetic menemukan bahwa simulasi pendidikan memungkinkan
siswa belajar untuk pertama kalinya dari pengalaman yang disimulasikan dalam pembelajaran
dari pada yang dijelaskan guru. Bagaimanapun juga besarnya ketertiban keterlibatan siswa,
mungkin siswa masi belum siap mempelajari memahami apa yang mereka pelajari atau yang
mereka almi. Dengan demikian, guru memegang peranan penting dalam menumbuhnkan
kesadarab siswa tentang konsep dan prinsi-prinsip pendukung simulasi dan reaksi-reaksinya.
Selain itu guru berperan sebagai pelaku fungsi pengatur. Dengan isu-isu dan permainan yang
lebih komplek di dalam pembelajaran maka kegiatan guru lebih kritis.
Dengan demikian dalam menggunakan analogi sistem mekanik sebagai kerangka acuan
untuk menganalisis manusia, psikolog datang dengan ide sentral "bahwa kinerja dan
pembelajaran harus dianalisis dalam hal hubungan kontrol antara operator manusia dan situasi
instrumental. "Artinya, belajar dipahami akan ditentukan oleh sifat individu, serta dengan
desain situasi belajar.20[20]
Jadi simulator adalah suatu alat yang merepresentasikan realitas, dimana kerumitas
aktifitasnya dapat dikendalikan. Contoh simulator pilot pesawat terbang, simulator pengendara
mobil dan lain-lain.21[21] Aplikasinya bahwa simulasi dapat merangsang suatu pembelajaran
tentang: (1) kompetisi, (2) kerjasama, (3) empati, (4) sistem sosial, (5) konsep, (6) keterampilan,
(7) efikasi, (8) membayar hukuman, (9) peran kesempatan, dan (10) kemampuan untuk berpikir
kritis (memeriksa strategi alternatif dan mengantisipasi orang lain) dan membuat
keputusan.22[22] Setelah mengetahui dan memahami alur model pembelajaran ini secara umum
maka dirasa perlu membahas tentang prosedur atau hakikat model pembelajaran simulasi dalam
proses pembelajaran.

Prosedur atau Hakikat Model Pembelajaran Simulasi Sosial

Sangat mudah untuk mengasumsikan bahwa karena kegiatan pembelajaran telah dirancang dan
dikemas oleh para ahli, guru memiliki peran minimal untuk bermain dalam situasi belajar. Orang
cenderung percaya bahwa permainan yang dirancang dengan baik akan mengajarkan sendiri.
Tapi ini hanya sebagian benar. Psikolog Cybernetic menemukan bahwa simulasi pendidikan
memungkinkan siswa untuk belajar langsung dari pengalaman simulasi dibangun ke dalam
permainan dan bukan dari penjelasan atau ceramah guru. Namun, karena keterlibatan intens
mereka, siswa mungkin tidak selalu menyadari apa yang mereka pelajari dan alami. Dengan
demikian guru memiliki peran penting untuk bermain dalam meningkatkan kesadaran siswa
tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasari simulasi dan reaksi mereka sendiri.
Selain itu, guru memiliki fungsi manajerial yang penting. Dengan permainan (game) yang lebih
kompleks dan isu-isu, bahkan kegiatan guru adalah lebih penting jika terjadi untuk belajar. Bruce
Joyce Marsha Weil mengidentifikasi empat peran guru dalam model simulasi yaitu: (1)
menjelaskan (explaining) (2) mewasiti (refereeing), (3) melatih (coaching), dan (4) diskusi
(Discussing).23[23]
Menjelaskan (explaining). Untuk belajar dari simulasi, para pemain perlu memahami
aturan-aturan yang cukup untuk melaksanakan sebagian besar kegiatan. Namun, tidak penting
bahwa siswa memiliki pemahaman yang lengkap dari simulasi di awal. Seperti dalam kehidupan
nyata, banyak aturan menjadi relevan hanya sebagai kegiatan dilanjutkan.
Wasit (refereeing). Simulasi digunakan di dalam kelas yang dirancang untuk memberikan
manfaat pendidikan. Guru harus mengontrol partisipasi siswa dalam permainan untuk
memastikan bahwa simulasi ada manfaatnya dilakukan. Sebelum permainan ini dimainkan, guru
harus menetapkan siswa untuk tim (jika permainan melibatkan teamwork), sesuai kemampuan
individu dengan peran dalam simulasi untuk menjamin partisipasi aktif seluruh siswa. Siswa
pemalu dan tegas, misalnya, harus dicampur dalam satu tim. Salah satu hal yang harus dihindari
guru adalah hanya mengutamakan siswa yang aktif saja dan mengabaikan siswa yang fasif atau
tidak memiliki pengetahuan akademis. Guru harus menyadari terlebih dahulu situasi simulasi
pembelajaran aktif dan dengan demikian meminta kepada siswa untuk bebas berekspresi dan
bebas serta aktif bicara dibanding dari kegiatan kelas lainnya. Guru harus bertindak sebagai wasit
yang melihat aturan-aturan permainan dan lebih baik guru tidak terlibat dalam simulasi.
Melatih (coaching). Guru harus bertindak sebagai pelatih bila perlu memberikan nasihat
atau petunjuk pemainan agar siswa bermain lebih baik. Sebagai seorang pelatih hendaknya
bertindak sebagai seorang supervisor yang sportif bukan sebagai seorang yang otoriter. Dalam
simulasi, pemain mungkin memiliki kesalahan-kesalah dan mengandung beberapa resiko dan
guru dalam hal ini harus bersifat adil tidak memihak.
Mendiskusikan (Discussing). Setelah sesi simulasi selesai perlu ada diskusi,
membisarakan bagaimana permainan simulasi dinyatakan dalam kehidupan sebenarnya,
bagaimana tanggapan siswa, apa kesulitan-kesulitan yang dijumpai, dan hubungan apa yang
dapat diungkapkan antara simulasi dan bahan yang dimaksudkan dalam simulasi yang
dilaksanakan. Mungkin juga kelas mempunyai cara-cara yang baik untuk menguji kebenaran
simulasi yang telah dilakukan.

Dalam pelaksanaannya model simulasi sosial sebagaimana dikemukakan oleh Joyce dan
Weil (1986) mempunyai empat tahapan yaitu (1) orientasi), (2) partisipasi dalam latihan, (3)
simulasi dan (4) pemantapan. Berikut tabel tahapan pelaksanaan model pembelajaran simulasi
sosial.24[24]
Tabel Tahapan Model Pembelajaran Simulasi Sosial

NO TAHAPAN
1 Orientasi:
1. Menjelaskan pokok-pokok dari tema simulasi dan konsep yang akan dituangkan
dalam simulasi yang akan ditangani
2. Memberi contoh dalam simulasi dan permainan.
3. Memberikan penjelasan awal.

2 Partisipasi dalam latihan:


1. Penerapan sekenario (peraturan-peraturan, prosedur, penilaian, tipe keputusan yang
akan diambil).
2. Menunjuk peranan.
3. Meningkatkan sesi yang praktis.

3. Pelaksanaan Simulasi:
1. Melaksanakan kegiatan simulasi dan pengadministrasian pemain.
2. Mendapatkan umpan balik dan evaluasi dari penampilan efek-efek keputusan, serta
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan konsep.
3. Melanjutkan simulasi.

4. Pemantapan:
1. Menyimpulkan kejadian dan persepsi.
2. Menyimpulkan kesukaran dan pengamatan.
3. Proses analisa.
4. Membandingkan kegiatan simulasi dengan dunia nyata.
5. Menghubungkan kegiatan simulasi dengan isi pelajaran.
6. Menilai dan merencanakan kembali simulasi.
Dua hal yang dapat diperoleh siswa dari penerapan model pembelajaran simulasi sosial.
Pertama, pengalaman langsung yang diperoleh dari permainan simulasi dan yang kedua
pengalaman lanjutan yang diperoleh dari kegiatan diskusi setelah sumulasi. Permulaan yang baik
dalam berdiskusi adalah meminta siswa untuk mengevaluasi bagaimana pengalaman mereka
dalam permainan serta membandingkannya dengan mereka yakni tentang kebenaran dalam dunia
nyata.25[25]
Model Pembelajaran Telaah Yurisprudensi (Jurisprudential Inquiry)

Pengertian

Donald Oliver dan James P. Shaver (1966/1974) menciptakan model penyelidikan yurisprudensi
untuk membantu siswa belajar untuk berpikir secara sistematis tentang isu-isu kontemporer. Hal
ini membutuhkan mereka untuk merumuskan masalah ini sebagai masalah kebijakan publik dan
menganalisis posisi alternatif tentang mereka. Pada dasarnya, itu adalah model tingkat tinggi
untuk pendidikan kewarganegaraan. Sebagai masyarakat kita mengalami perubahan budaya dan
sosial, model penyelidikan yurisprudensi ini sangat berguna dalam membantu orang memikirkan
kembali posisi mereka pada pertanyaan hukum, etika, dan sosial yang penting. Warga perlu
memahami isu-isu kritis saat ini dan berbagi dalam perumusan kebijakan. Dengan memberi
mereka alat untuk menganalisis dan memperdebatkan isu-isu sosial, pendekatan yurisprudensi
membantu siswa dalam partisipasinya sebelum memberikan definisi atau rumusan yang tegas
mengenai nilai-nilai sosial (Shaver, 1995).26[26]
Model pembelajaran yang dipelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shafer ini di
dasarkan atas pemahaman masyarakat dimana setiap orang berbeda pandangan dan prioritas
satu sama lain, dan nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain. Memecahkan
masalah kompleks dan kontropersial di dalam konteks aturan sosial yang produktif
membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang
keberadaan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu menghasilkan individu calon
warga negara yang mampu membantu mengatasi konflik perbedaan dalam berbagai hal. Model
pembelajaran ini membantu siswa untuk belajar berfikir secara sistematis tentang isu-isu
kontemporer yang sedang terjadi dalam masyarakat. Dengan memberikan mereka cara-cara
menganalisis dan mendiskusikan isu-isu sosial, model pembelajaran ini membantu untuk
berpartisipasi dalam mendefinisikan ulang nilai-nilai sosial.27[27]
Jadi, model pembelajaran telaah jurisprudensial melatih siswa untuk pekah terhadap
permasalahan sosial, mengambil posisi (sikap) terhadap permasalahan tersebut, serta
mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi yang relefan dan valid. Model ini juga dapat
mengajarkan siswa untuk dapat menerima atau menghargai sikap orang lain terhadap suatu
masalah yang mungkin bertentangan dengan sikap yang ada pada dirinya. Atau sebaliknya, ia
bahkan menerima dan mengakui kebenaran sikap yang diambil orang lain terhadap suatu isu
sosial tertentu. Sebagai contoh, seorang siswa mengambil sikap tidak setuju atas kenaikan harga
bahan bakar minyak dengan berbagai argumentasi yang rasionalis dan logis. Tentunya yang
mengambil sikap sebaliknya (setuju) juga dengan berbagai argumentasi yang logis dan rasional.
Akhirnya, keduanya sama-sama dapat menganalisis kelebihan dan kelemahan dari masing-
masing posisi (sikap) yang diambilnya. Sebaliknya, bisa saja teman yang setuju kenaikan BBM
akan berubah sikapnya jadi tidak setuju setelah mendengar argumentasi dari temannya yang lain
yang menurutnya lebih baik, lebih rasional, dan yang lebih mempunyai implikasi yang positif
terhadap masyarakat.28[28]

Prosedur Pembelajaran Model Jurisprudensi

Meskipun perwujudan sikap siswa melalui dialog konfrontatif adalah jantung dari model
penyelidikan yurisprudensi, namun beberapa kegiatan lainnya sangat penting, seperti membantu
siswa merumuskan sikap (posisi) mereka, hal ini juga dapat membantu merevisi posisi mereka
setelah mereka berargumentasi. Seperti yang dikemukakan oleh Bruce Joyce Marsha Weil
tentang model dasarnya meliputi enam tahap:

The basic model includes six phases: (1) orientation to the case; (2) identifying the issues; (3) taking positions; (4)
exploring the stances underlying the positions taken; (5) refining and qualifying positions; and (6) testing
assumptions about facts, definitions, and consequences, model dasarnya meliputi enam tahap (1) orientasi kasus, (2)
mengidentifikasi masalah, (3) mengambil posisi, (4) yang menjelajahi sikap yang mendasari posisi yang diambil, (5)
memperbaiki dan posisi kualifikasi, dan (6 ) pengujian asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.29[29]

Pada tahap pertama, guru memperkenalkan kepada siswa materi-materi kasus dengan
cara membaca cerita, menonton film yang menggambarkan konflik nilai, atau mendiskusikan
kejadian-kejadian hangat dalam kehidupan sekitar, kehidupan sekolah atau sesuatu kemunitas
masyarakat. Langkah kedua yang termasuk ke dalam tahap orientasi adalah mengkaji ulang
fakta-fakta dengan menggambarkan peristiwa dalam kasus, menganalisis siapa yang melakukan
apa, dan mengapa terjadi seperti demikian.
Pada tahap kedua, siswa mensistesis fakta, mengaikannya dengan isu-isu umum dan
mengidentifikasi nilai-nilai yang terlibat dalam kasus tersebut (misalnya, isu tersebut berkaitan
dengan kebebasan mengemukakan pendapat, otonomi daerah, persamaan hak, dan lain-lain).
Dalam tahap satu dan dua ini siswa belum diminta untuk mengekpresikan pendapat atau
sikapnya terhadap kasus tersebut. Pada tahap ketiga, siswa diminta untuk mengambil posisi
(sikap atau pendapat) terhadap isu tersebut dan menyatakan sikapnya. Misalnya dalam kasus
bayaran uang sekolah, siswa mennyatakan sikapnya bahwa seharusnya pemerintah tidak
menentukan besarnya biaya sekolah yang harus diberlakukan untuk setiap sekolah karena hal itu
melanggar hak otonomi sekolah.
Pada tahap keempat, sikap (posisi atau pendapat) siswa digali lebih dalam. Guru sekarang
memainkan peran ala sokrates. Memperdebatkan pendapat yang diajukan siswa dengan
pendapat-pendapat konprontatif. Dalam hal ini siswa diuji konsistensi dalam mempertahankan
sikap atau pendapat yang telah diambilnya. Disini siswa dituntut untuk mengajukan argumentasi
logis dan rasional yang dapat mendukung pernyataan (posisi) yang telah dibuatbya.
Tahap kelima adalah tahap penentuan ulang akan posisi (sikap) yang telah diambil siswa.
Dalam tahap ini sikap (posisi) yang telah diambil siswa mungkin konsisten (tetap bertahan) atau
berubah (tidak konsisten), tergantung dari hasil atau argumentasi yang terjadi pada tahap
keempat. Jika argumen siswa kuat, mungkin konsisten. Jika tidak, mungkin siswa mengubah
sikapnya (posisinya).
Tahap keenam adalah pengujian asumsi faktual yang mendasari sikap yang diambil
siswa. Dalam tahap ini guru mendiskusikan apakah argumentasi yang digunakan untuk
mendukung pernyataan sikap tersebut relevan dan syah (valid).30[30]
Jadi model pembelajaran yurisprudensi ini menekankan pada argumentasi yang
dikemukakan oleh siswa terhadap pandangannya akan penomena yang sedang terjadi
dimasyarakat dengan mendahulukan pemikiran dan akal atau rasionalitas yang benar, sesuai
dengan disiplin ilmu atau hiukum-hukum yang berlaku. Dengan demikian model pembelajaran
ini sangat baik sekali melatih pemikiran dan keberanian siswa dalam mengungkapkan
pendapatnya untuk meyakini lawan bicaranya. Dalam pemebelajar agama Islam guru bisa
mencetak seorang da’i yang baik.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, model bermain
peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa menemui makna diri
(jati diri) di dalam lingkungan sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok.
Artinya, melalui permainan peran siswa dapat belajar menggunakan konsep peran, menyadari
adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan prilaku dirinya dan prilaku orang lain. Kedua
model permainan sismulasi dapat merangsang berbagai bentuk belajar, seperti belajar tentang
persaingan (kompetisi), kerjasama, empati, sistem sosial, konsep, keterampilan, kemampuan
berfikir kritis, pengambilan keputusan, dan lain-lain. Ketiga model pembelajaran yurisprudensi
ditujukan untuk membantu siswa belajar berfikir secara sistematis tentang isu-isu yang sedang
terjadi di masyarakat.
Daftar Pustaka

Bruce Joyce Marsha Weil, 2003, Models Of Teaching, Prentice.HaII of India New Private Limited.
Bruce Joyce Marsha Weil. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston: Allyn and
Bacon
Chesler, M., & Fox, R. (1966). Role-playing methods in the classroom. Chicago: Science Research
Associates.
Dahlan. M. D, 1984, Model-model dalam Mengajar, Bandung: Diponegoro. .
Daryanto S.S, 1997, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo.
Elizabeth B Hurlock, 1978, Perkembangan Anak, (terj.Med Meitasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasi),
Jakarta: Glora Aksara Pratama.
Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach.
Boston: Allyn and Bacon
Hamza B. Uno, 2012, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan
Efektif, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nesbitt, W. A. (1971). Simulation games for the social studies classroom. New York: Foreign Policy
Association. Hal. 35
Shaftel, F. & Shaftel, G. (1967). Role playing of social values: Decision making in the social studies.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentie-Hall.
Smith, K., & Smith, M. (1966). Cybernetic principles of learning and educational design. New York:
Holt, Rinehart, & Winston.
http://wyw1d.wordpress.com/2009/11/30/model-pembelajaran-bermain-peran/
27-04-2012
31[1] Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach.
Boston: Allyn and Bacon. Hal. 67
32[2] Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
33[3] Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston: Allyn and
Bacon. Hal. 85
34[4] Hamza B. Uno, 2012, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar
yang Kreatif dan Efektif, Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal 25
35[5] Elizabeth B Hurlock, 1978, Perkembangan Anak, (terj.Med Meitasari Tjandrasa &
Muslichah Zarkasi), Jakarta: Glora Aksara Pratama, hal. 256.

MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL

MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL

Mengapa dikatakan model pembelajaran sosial? Karena pendekatan pembelajaran yang


termasuk dalam kategori model ini menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau
orang lain. Model-model dalam kategori ini difokuskan pada peningkatan kemampuan individu
dalam berhubungan dengan orang lain, terlibat dalam proses demokratis dan bekerja secara
produktif dalam masyarakat.
Dalam hal ini, akan dipelajari 3 model pembelajaran yang termasuk ke dalam pendekatan
pembelajaran sosial, yaitu (1) model pembelajaran bermain peran, (2) model pembelajaran
simulasi sosial, dan (3) model pembelajaran telaah atau kajian yurisprudensi.
A. MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN
Model ini, Pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan
analogi otentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain
peran dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan. Ketiga,
bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai, dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan
pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis. Model ini dipelopori oleh
George Shaftel.
Dalam kehidupan nyata, setiap orang mempunyai cara yang unik dalam berhubungan
dengan orang lain. Masing-masing dalam kehidupan memainkan sesuatu yang dinamakan peran.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain (masyarakat) sangatlah
penting bagi kita untuk menyadari peran dan bagaimana peran tersebut dilakukan. Untuk
kebutuhan ini, kita mampu menempatkan diri dalam posisi atau situasi orang lain dan
mengalami/mendalami sebanyak mungkin pikiran dan perasaan orang lain tersebut. Kemampuan
ini adalah kunci bagi setiap individu untuk dapat memahami dirinya dan orang lain yang pada
akhirnya dapat berhubungan dengan orang lain (masyarakat).
Bermain peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa
menemukan makna diri (Jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan
kelompok. Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari
adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain.
Proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna
sebagai sarana bagi siswa untuk: (1) menggali perasaannya, (2) memperoleh inspirasi dan
pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya, (3) mengembangkan
keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan (4) mendalami mata pelajaran dengan
berbagai macam cara. Hal ini akan bermanfaat bagi siswa pada saat terjun ke masyarakat kelak
karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi di mana begitu banyak peran terjadi, seperti
dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan kerja, dan lain-lain.
1. Prosedur Pembelajaran
Keberhasilan model pembelajaran melalui bermain peran tergantung pada kualitas
permainan peran (enactment) yang diikuti dengan analisis terhadapnya. Di samping itu,
tergantung pula pada persepsi siswa tentang peran yang dimainkan terhadap situasi yang nyata
(real life situation).
Prosedur bermain peran terdiri atas Sembilan langkah, yaitu (1) pemanasan (warming
up), (2) memilih partisipan, (3) menyiapkan pengamat (observer), (4) menata panggung, (5)
memainkan peran (manggung), (6) diskusi dan evaluasi, (7) memainkan peran ulang (manggung
ulang), (8) diskusi dan evaluasi kedua, dan (9) berbagai pengalaman dan kesimpulan.
Langkah pertama, pemanasan. Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan
yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu mempelajari dan
menguasainya. Bagian berikutnya dari proses pemanasan adalah menggambarkan permasalahan
dengan jelas disertai contoh. Hal ini bisa muncul dari imajinasi siswa atau sengaja disiapkan oleh
guru. Sebagai contoh, guru menyediakan suatu cerita untuk dibaca di depan kelas. Pembacaan
cerita berhenti jika dilema dalam cerita menjadi jelas. Kemudian dilanjutkan dengan pengajuan
pertanyaan oleh guru yang membuat siswa berpikir tentang hal tersebut dan memprediksi akhir
dari cerita.
Langkah kedua, memilih pemain (partisipan). Siswa dan guru membahas karakter dari
setiap pemain dan menentukan siapa yang akan memainkannya. Dalam pemilihan pemain ini,
guru dapat memilih siswa yang sesuai untuk memainkannya atau siswa sendiri yang
mengusulkan akan memainkan siapa dan mendeskripsikan peran-perannya. Langkah kedua ini
lebih baik. Langkah pertama dilakukan jika siswa pasif dan enggan untuk berperan apa pun.
Sebagai contoh, seorang anak memilih peran sebagai ayah. Dia ingin memerankan seorang Ayah
yang galak dengan kumis tebal. Guru menunjuk salah seorang siswa untuk memerankan anak
seperti ilustrasi di atas.
Langkah ketiga, menata panggung. Dalam hal ini guru mendiskusikan dengan siswa di
mana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan. Penataan
panggung ini dapat sederhana atau kompleks. Yang paling sederhana adalah hanya membahas
scenario (tanpa dialog lengkap) yang menggambarkan urutan permainan peran. Misalnya siapa
dulu yang muncul, kemudian diikuti oleh siapa, dan seterusnya. Sementara penataan panggung
yang lebih kompleks meliputi aksesoris lain seperti kostum dan lain-lain. Konsep sederhana
memungkinkan untuk dilakukan karena intinya bukan kemewahan panggung, tetapi proses
bermain peran itu sendiri.
Langkah keempat, guru menunjuk beberapa siswa sebagai pengamat. Namur demikian,
penting untuk dicatat bahwa pengamat di sini hares juga terlibat aktif dalam permainan peran.
Untuk itu, walaupun mereka ditugaskan sebagai pengamat, guru sebaiknya memberikan tugas
peran terhadap mereka agar dapat terlibat aktif dalam permainan peran tersebut.
Langkah kelima, permainan peran di mulai. Permainan peran dilaksanakan secara
spontan. Pada awalnya akan banyak siswa yang masih bingung memainkan perannya atau
bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Bahkan, mungkin ada yang
memainkan peran yang bukan perannya. Jika permainan peran sudah terlalu jauh keluar jalur,
guru dapat menghentikannya untuk segera masuk ke langkah berikutnya.
Langkah keenam, guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan
evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul. Mungkin ada
siswa yang meminta untuk berganti peran. Atau bahkan alur ceritanya akan sedikit berubah. Apa
pun hasil diskusi dan evaluasi tidak jadi masalah.
Setelah diskusi dan evaluasi selesai, dilanjutkan ke langkah ketujuh, yaitu permainan
peran ulang. Seharusnya, pada permainan peran kedua ini akan ber jalan lebih baik. Siswa dapat
memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario,
Dalam diskusi dan evaluasi pada langkah kedelapan, pembahasan diskusi dan evaluasi
lebih diarahkan pada realitas. Mengapa demikian? Karena pada saat permainan peran dilakukan,
banyak peran yang melampaui batas kenyataan. Misalnya seorang siswa memainkan peran
sebagai pembeli. la membeli barang dengan harga yang tidak realistic. Hal ini dapat menjadi
bahan diskusi. Contoh lain, seorang siswa memerankan peran orang tua yang galak. Kegalakan
yang dilakukan orang tua ini dapat dijadikan bahan diskusi.
Pada langkah kesembilan, siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema
permainan peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Misalnya
siswa akan berbagi pengalaman tentang bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya.
Kemudian guru membahas bagaimana sebaiknya siswa menghadapi situasi tersebut. Seandainya
jadi ayah dari siswa tersebut, sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan cara ini, siswa
akan belajar tentang kehidupan.
2. Aplikasi
Melalui permainan peran, siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk mengenal
perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Mereka memperoleh cara berperilaku baru untuk
mengatasi masalah seperti dalam permainan perannya dan dapat meningkatkan keterampilan
memecahkan masalah.
36[6] Ibid.
37[7] Hamza B. Uno, Ibid., hal. 26
38[8] http://wyw1d.wordpress.com/2009/11/30/model-pembelajaran-bermain-peran/27-04-2012
39[9] Chesler, M., & Fox, R. (1966). Role-playing methods in the classroom. Chicago:
Science Research Associates. hlm 5, 8
40[10] Analogi dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar bentuk yang menjadi dasar
terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Analogi merupakan salah satu proses morfologi dimana
dalam analogi, pembentukan kata baru dari kata yang telah ada. Contohnya pada kata dewa-
dewi, putra-putri, pemuda-pemudi, dan karyawan-karyawati.
http://id.wikipedia.org/wiki/Analogi. Persesuaian antara dua benda yang berlainan (Daryanto
S.S, 1997, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo, hal. 40.
41[11] Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK.
Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 141.
42[12] Shaftel, F. & Shaftel, G. (1967). Role playing of social values: Decision making in the social
studies. Englewood Cliffs, N.J.: Prentie-Hall, hal. 91
43[13] Shaftel, F. & Shaftel, G. Ibid., hal. 91
44[14] Bruce Joyce Marsha Weil, 2003, Models Of Teaching, Prentice.HaII of India New Private Limited,
hal. 92
45[15] Bruce Joyce Marsha Weil, Ibid, hal. 94
46[16] Bruce Joyce Marsha Weil, Ibid, hal. 102
47[17] Hamza B. Uno, 2012, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar
yang Kreatif dan Efektif, Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal. 27
48[18] 1) menghasilkan gerakan atau tindakan sistem terhadap target yang diinginkan (untuk mencapai
tujuan tertentu yang diinginkan), (2) membandingkan dampak dari tindakannya tersebut apakah sesuai atau tidak
dengan jalur rencana yang seharusnya (mendeteksi kesalahan), dan (3) memanfaatkan kesalahan (error) untuk
mengarahkan kembali ke arah atau jalur yang seharusnya.
49[19] Smith, K., & Smith, M. (1966). Cybernetic principles of learning and educational design. New
York: Holt, Rinehart, & Winston. Hal. 203
50[20] Bruce Joyce Marsha Weil, Op. Cit., hal. 356
51[21] Hamza B. Uno, Op. Cit., hal. 29
52[22] Nesbitt, W. A. (1971). Simulation games for the social studies classroom. New York: Foreign
Policy Association. Hal. 35
53[23] Bruce Joyce Marsha Weil, Op. Cit., hal. 359
54[24] Bruce Joyce Marsha Weil, Op. Cit., hal. 360

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Model Pembelajaran


Strategi menurut Kemp (1995) adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan
guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Senada dengan
pendapatnya Kemp, Dick and Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu
adalah suatu perangkat materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama
untuk menimbulkan hasil belajar pada peserta didik atau siswa.Upaya mengimplementasikan
rencana pembelajaran yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun
dapat tercapai secara optimal, maka diperlukan suatu metode yang digunakan untuk
merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.Dengan demikian, bisa terjadi suatu strategi
pembelajaran menggunakan beberapa metode. Misalnya untuk melaksanakan strategi ekspositori
bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode tanya jawab atau bahkan diskusi dengan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran. Oleh
sebab itu, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjukan pada sebuah perencanaan untuk
mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanak
strategi. Dengan kata lain, setrategi adalah a plan of opration achieving something. Sedangkan
metode adalah a way in achieving something.
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses
yang sifatnya masih sangat umum. Roy Kellen ( 1998) mencatat bahwa terdapat dua pendekatan
dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru ( teacher-centered approaches).
Pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches).Pendekatan yang berpusat
pada guru yang menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruktion), pembelajaran
dedutif atau pembelajaran ekspositori.Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada
siswa menurunkan strategi pembelajaran inkuiri dan diskoveri serta pembelajaran induktif.
Sedangkan model-model pembelajaran sendiri biasanya disusun berdasarkan berbagai
prinsip atau teori pengetahuan. Para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan prinsip-
prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis, sosiologis, analisis sistem, atau teori-teori lain yang
mendukung ( Joyce& Weil; 1980). Joyce &weil mempelajari model-model pembelajaran
berdasarkan teori belajar yang dikelompokan menjadi empat model pembelajara. Model tersebut
merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
diharapkan. Joice & Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atu pola
yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),
merancang bahan – bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain
(Joyce & Weil, 1980;1). Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru
boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan
pendidikannya.

2.2 Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Pembelajaran


Sebelum menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan
pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru dalam memilihnya, yaitu:
1. Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai. Pertanyaan – pertanyaan yang dapat
diajukan adalah:
a. Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan kompetensi akademik,
keperibadian, sosial dan kompetensi vokasional atau yang dulu diistilahkan dengan domain
kognitif, afektif atau psikomotor?
b. Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai?
c. Apakah untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan akademik?
2. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahasa atau materi membelajaran:
a. Apakah materi pembelajaran itu berupa fakta, konsep, hukum atau teori tertentu?
b. Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat atau tidak?
c. Apakah tersedia bahan utuk sumber – sumber yang relevan untuk mempelajari materi itu?
3. Pertimbangan dari sudut peserta didik atau siswa
a. Apakah model pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan peserta didik?
b. Apakah model pembelajaran itu sesuai dengan minat, bakat, dan kondisi peserta didik?
c. Apakah model pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar peserta didik?
4. Pertimbangan lainnya yang bersifat non teknis
a. Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu model saja?
b. Apakah model pembelajaran yang kita tetapkan dianggap satu-satunya model yang dapat
digunakan ?
c. Apakah model pembelajaran itu memiliki nilai evektifitas atau efisien?

2.3 Pola – Pola Pembelajaran


Belajar adalah proses perubahan tingkah laku nindividu sebagai hasil dari pengalamannya
dalam berinteraksi dengan lingkungan. Belajar bukan hanya sekedar menghapal, melainkan suatu
proses mental yang terjadi dalam diri seseorang.
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi anatara guru dan siswa,
baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yaitu
dengan menggunakan berbagai media pembelajaran. Didasari oleh adanya perbedaan interaksi
tersebut, kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pola
pembelajaran.
Merry Morris (1963;11) mengklasifikasikan empat pola pembelajaran yang digambarkan
dalam bentuk bagan sebagai berikut :
1. Pola pembelajaran tradisional 1
Tujuan → Penetapan isi dan model → Guru → Siswa
2. Pola pembelajaran tradisional 2
Tujuan → Penetapan isi dan metode → Guru dengan media → Siswa
3. Pola membelajaran guru dan media

Guru

Media

Tujuan → penetapan isi dan metode Siswa


4. Pola pembelajaran bermedia
Tujuan → Penetapan isi dan metode → Media → Siswa

Pola – pola pembelajaran di atas memberikan gambaran bahwa seiring dengan pesatnya
perkembangn media pembelajaran, baik software maupun hadrware, akan membawa perubahan
bergesernya peranan guru sebagai penyampai pesan. Guru tidak lagi berperan sebagai satu –
satunya sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran. Siswa dapat memperoleh informasi dari
berbagai media dan sumber belajar, baik itu dari majalah, modul, siaran radio pembelajaran,
televisi pembelajaran, media komputer atau yang sering kita kenal dengan pembelajaran
berbasisi komputer, baik model drill, tutorial, simulasi, maupun instrctional games ataupun dari
internet. Sekarang ini atau di masa ang akan datang, para guru tidak hanya sebagai pengajar
(transmitter), tetapi ia harus mulai berperan sebagai director of learning, yaitu sebagai pengelola
belajar yang memfasilitasi kegiatan belajar siswa melalui pemanfaatan dan optimalisasi sebagai
sumber belajar, bahkan bukan tidak mungkin di masa yang akan datang peran media sebagai
sumber informasi utama dalam kegiatan pembelajaran (pola pembelajaran bermedia), seperti
halnya penerapan pembelajaran berbasis komputer, di sini peran guru hanya sebagai fasilitator
belajar saja.

2.4 Ciri-Ciri Model Pembelajaran


Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model
penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model ini
dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis.
2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berfikir induktif dirancang
untuk mengembangkan proses berfikir induktif.
3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. Misalnya, model
Synetic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam belajar mengajar.
4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan 1. Urutan langkah-langkah pembelajaran
(syntax) 2. Adanya prinsip-prinsip reaksi 3. Sistem sosial 4. Sistem pendukung. Keempat bagian
tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.
5. Memiliki dampak sebagai akibat model pembelajaran. Dampak tersebut melipuri 1. Dampak
pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur 2. Dampak pengiring, yaitu hasil belajar
jangka panjang.
6. Membuat persiapan mengajar (Desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang
dipilihnya.

2.5 Model Pembelajaran Berdasarkan Teori

1. Model interaksi sosial


Model ini didasari oleh teori belajar Gestalt (field theory).Model interaksi sosial
menitikberatkan hubungan yang harmonis antara individu dengan masyarakat.Teori
pembelajaran Gestalt dirintis oleh Max Wertheimer (1912) bersama dengan Kurt Koffka dan W.
Kohler, mengadakan eksperimen mengenai pengamatan visual dengan venomena fisik.
Percobaannya yaitu memproyeksikan titik-titik cahaya ( keseluruhan lebih penting daripada
bagian).
Pokok pandang Gestlat adalah objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai suatu
keseluruhan yang terorganisasikan. Makna suatu ojek / peristiwa adalah terletak pada
keseluruhan bentuk (gestalt) dan bukan bagian-bagiannya. Pembelajaran akan lebih bermakna
bila materi diberikan secara utuh, bukan bagian-bagian.
Aplikasi teori Gestalt dalam pembelajaran adalah :
1. Pengalaman (insight/tilikan). Dalam proses pembelajaran siswa hendaknya memiliki
kemampuan insight yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu objek.
Guru hendaknya mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan
insight.
2. Pembelajaran yang bermakna. Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait dalam suatu objek
akan menunjang pembentukan pemahaman dalam proses pembelajaran. Content yang dipelajari
siswa hendaknya memiliki makna yang jelas baik bagi dirinya maupun bagi kehidupannya di
masa yang akan datang.
3. Perilaku bertujuan. Perilaku yang terarah pada suatu tujuan. Perilaku di samping adanya kaitan
dengan SR-bond, juga terkait erat dengan tujuan yang hendaknya dicapai. Pembelajaran terjadi
karena siswa memiliki harapan tertentu. Sebab itu pembelajaran akan berhasil bila siswa
mengetahui tujuan yang akan dicapai.
4. Prinsip ruang hidup (life space). Dikembangkan oleh Kurt Lewin (teori medan / field theory).
Perilaku siswa terkait dengan lingkungan/medan dimana ia berada. Materi yang disampaikan
hendaknya memiliki kaitan dengan situasi lingkungan di mana siswa berada (kontekstual).
Model interaksi sosial ini mencakup strategi pembelajaran sebagai berikut:
1. Kerja Kelompok, bertujuan mengembangkan keterampilan berperan serta dalam proses
bermasyarakat dengan cara mengembangkan hubungan interpersonal dan discovery skills dalam
bidang akademik.
2. Pertemuan Kelas, bertujuan mengembangkan pemahaman mengenal diri sendiri dan rasa
tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kelompok.
3. Pemecahan Masalah Sosial atau Sosial Inquiry, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah-masalah sosial dengan cara berpikir logis
4. Bermain Peranan, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepafda peserta didik menemukan
nilai-nilai sosial dan pribadi melalui situasi tiruan.
5. Simulasi Sosial, bertujuan untuk membantu siswa mengalami berbagai kenyataan sosial serta
menguji reaksi mereka
Tabel 4.1 Rumpun Model Interaksi Sosial
NO Model Tokoh Tujuan
1 Penentuan Herbert Telen dan Perkembangan
Kelompok John Dewey keterampilan untuk
partisipasi dalam proses
sosial demokratis melalui
penekanan yang
dikombinasikan pada
keterampilan-
keterampilan antar
prinbadi (kelompok) dan
keterampilan-
keterampilan penentuan
akademik. Aspek
perkembangan pribadi
merupakan hal yang
penting dalam model ini.
2 Inquiri Sosial Byron Massialas Pemecahan masalah
dan Benjamin cox sosial, terutama melalui
penemuan sosial dan
penalaran logis.
3 Metode Bethel Maine Perkembangan
Laboratori (National Teaching keterampilan antar
Library) pribadi dan kelompok
melaui kesadaran dan
keluwesan pribadi.
4 Jurisprudensial Donald Oliver dan Dirancang terutama
James P.Shaver untuk mengajarkan
kerangka acuan
yurisprudensial sebagai
cara berpikir dan
penyelasaian isu-isu
sosial.
5 Bermain Peran Fainnie Shatel dan Dirancang untuk
George Fhatel mempengaruhi siswa
agar menemukan nilai –
nilai pribadi dan sosial.
Perilaku dan nilai –
nilainya diharapkan anak
menjadi sumber
penemuan berikutnya.
6 Simulasi Sosial Serene Bookock Dirancang untuk
dan Harold membantu siswa
Guetzkov mengalami bermacam –
macam proses dan
kenyataan sosial, dan
untuk menguji reaksi
mereka, serta untuk
memperoleh konsep
keterampilan pembuatan
keputusan.

2. Model Pemrosesan Informasi


Model ini berdasarkan teori belajar kognitif (Piaget) dan berorientasi pada kemampuan
siswa memproses informasi yang dapat memperbaiki kemampuannnya. Pemrosesan informasi
merujuk pada cara mengumpulkan/menerima stimuli dari lingkungan : mengorganisasi data,
memecahkan masalah, menemukan konsep dan menggunakan simbol verbal dan visual. Teori
pemrosesan informasi/kognitif dipelopori oleh Robert Gagne (1985).Asumsinya adalah
pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil komulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi
proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan output dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal (keadaan
individu, proses kognitif) dan kondisi – kondisi eksternal (rangsangan dari lingkungan) dan
interaksi antar keduanya akan menghasilkan hasil belajar. Pembelajaran merupakan keluaran dari
pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia (human capitalities) yang terdiri dari : (1)
Informasi Verbal, (2) Kecakapan Intelektual, (3) Startegi Kognitif, (4) Sikap, (5) Kecakapan
Motorik.
Delapan fase proses pembelajaran menutur Robert M. Gagne adalah :
1. Motifasi, fase awal memulai pembelajaran dengan adanya dorongan untuk melakukan suatu
tindakan dalam mencapai tujuan tertentu (motifasi intrinsik dan ekstrinsik).
2. Pemahaman, individu menerima dan memahami informasi yang di peroleh dari pembelajaran.
Pemahaman di dapat melaui perhatian.
3. Pemerolehan, individu memberikan makna/mempersepsi segala informasi yang sampai pada
dirinya sehingga terjadi proses penyimpanan dalam memori siswa.
4. Penahanan, menahan informasi/hasil belajar agar dapat di gunakan untuk jangka panjang.
Proses mengingat jangka panjang.
5. Ingatan Kembali, mengeluarkan kembali informasi yang telah di simpan, bila ada rangsangan.
6. Generalisasi, menggunakan hasil pembelajaran untuk keperluan tertentu.
7. Perlakuan, perwujudan perubahan prilaku individu sebagai hasil pembelajaran.
8. Umpan Balik, individu memperoleh feedback dari prilaku yang dilakukannya.
Ada sembilan langkah yang harus diperhatikan pendidik di kelas kaitannya dengan pembelajaran
pemrosesan informasi.
1. Melakukan tindakan untuk menarik perhatian siswa.
2. Memberikan informasi mengenai tujuan pembelajaran dan topik yang akan di bahas.
3. Merangsang siswa untuk memulai aktivitas pembelajaran.
4. Menyampaikan isi pembelajaran sesuai topik yang telah di rencanakan.
5. Memberikan bimbingan bagi aktivitas siswa dalam pembelajaran.
6. Memberikan penguatan pada prilaku pembelajaran.
7. Memberikan feedback terhadap prilaku yang di tunjukan siswa.
8. Melaksanakan penilaian proses dan hasil.
9. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan menjawab berdasarkan
pengalamannya.
Model Proses Informasi ini meliputi beberapa strategi pembelajaran diantaranya:
1. Mengajar Induktif, yaitu untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membentuk teori.
2. Latihan Inquiry, yaitu untuk memcari dan menemukan informasi yang memang diperlukan.
3. Inquiry Keilmuan, bertujuan untuk mengajarkan sistem penelitian dalam disiplin ilmu, dan
diharapkan akan memperoleh pengalaman dalam domain – domain disiplin ilmu lainnya.
4. Pembentukan Konsep, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir induktif,
mengembangkan konsep dan kemampuan analisis.
5. Model Pengembangan, bertujuan untuk mengembangkan intelegensi umum, terutama logis,
aspek sosial dan moral.
6. Advanced Organizer Model, bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memproses
informasi yang efisien untuk menyerap dan menghubungkan satuan ilmu pengetahuan secara
bermakna.

Implikasi teori belajar kognitif (Piaget) dalam pembelajaran diantaranya :


1. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa, oleh karena itu guru hendaknya
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak. Anak akan dapat belajar dengan
baik apabila ia mampu menghadapi lingkungan dengan baik.
2. Guru harus dapat membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan belajarnya sebaik
mungkin. (Fasilitator, ing arso sung tolado, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani).
3. Bahan yang harus dipelajari hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. Beri peluang kepada
anak untuk belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya.
4. Di kelas, berikan kesempatan pada anak untuk dapat bersosialisasi dan diskusi sebanyak
mungkin.
Tabel 4.2 Rumpun-rumpun Prosesan Informasi
NO. MODEL TOKOH TUJUAN
1. Model berpikir induktif Hilda Taba Dirancang untuk
pengembangan proses mental
induktif dan penalaran
akademik / pembentukan teori.
2. Model latihan inkuiri Richard Suchman Pemecahan masalah sosial ,
terutama melalui penemuan
sosial dan penalaran logis.
3. Inkuiri ilmiah Joseph.J.Schwab Dirancang untuk mengajar
sistem penelitian dari suatu
disiplin tetapi juga diharapkan
untuk mempunyai efek dalam
kawasan-kawasan lain
(metode-metode sosial
mungkin diajarkan dalam
upaya meningkatkan
pemahaman sosial dan
pemecahan masalah sosial).
4. Penemuan konsep Jerome Bruner Dirancang terutama untuk
mengembangkan penalaran
induktif , juga untuk
perkembangan dan analisis
konsep.
5. Pertumbuhan kognitif Jean Piaget Dirancan untuk mempengaruhi
Irving Sigel siswa agar menemukan nilai-
Edmund Sullvan nilai pribadi dan sosial.
Lawrence Kohlberg Perilaku dan nilai-nilainya
diharapkan anak menjadi
sumber bagi penemuan
berikutnya.
6. Model penata lanjutan David Ausubel Dirancang untuk meningkatkan
efisiensi kemampuan
pemrosesan informasi untuk
menyerap dan mengaitkan
bidang-bidang pengetahuan.
7. Memori Harry Lorayne Dirancang untuk meningkatkan
Jerry Lucas kemampuan mengingat.

3. Model Personal ( Personal Models )


Model ini bertitik tolak dari teori Humanistik yaitu berorientasi terhadap
pengembangan diri individu.Perhatian utamanya pada emosional siswa untuk mengembangkan
hubungan yang produktif dengan lingkungannya.Model ini menjadikan pribadi siswa yang
mampu membentuk hubungan yang harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif.
Model ini juga berorientasi pada individu dan perkembangan keakuan. Tokoh
humanistik adalah Abraham Maslow (1962), R.Rogers,C.Buhler dan Arthur Comb. Menurut
teori ini , guru harus berupaya menciptakan kondisi kelas yang kondusif , agar siswa merasa
bebas dalam belajar dan mengembangkan dirinya , baik emosional maupun intelektual . Teori
humanistik timbul sebagai gerakan memanusiakan manusia . Pada teori humanistik ini, pendidik
seharusnya berperan sebagai pendorong , bukan menahan sensitifitas siswa terhadap
perasaannya.
Implikasi teori humanistik dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Bertingkah laku dan belajar adalah hasil pengamatan;
2. Tingkah laku yang ada , dapat dilaksanakan sekarang (learning to do);
3. Semua individu memiliki dorongan dasar terhadap aktualisasi diri;
4. Sebagian besar tingkah laku individu adalah hasil dari konsepsinya sendiri;
5. Mengajar adalah bukan hal penting , tapi belajar siswa adalah sangat penting (learn how to
learn);
6. Mengajar adalah membantu individu untuk mengembangkan suatu hubungan yang produktif
dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap;
Model pembelajaran personal ini meliputi strategi pembelajaran sebagai berikut :
1. Pembelajaran non-direktif , bertujuan untuk membentuk kemampuan dan perkembangan pribadi
(kesadaran diri, pemahaman dan konsep diri);
2. Latihan kesadaran , bertujuan untuk meningkatkan kemampuan interpersonal atau kepedulian
siswa;
3. Sintetik; untuk mengembangkan kreatifitas pribadi dan memecahkan masalah secara kreatif;
4. Sistem konseptual , untuk meningkatkan kompleksitas dasar pribadi yang luwes.

Tabel 4.3 Rumpun Model Personal


NO MODEL TOKOH TUJUAN
1. Pengajaran non-direktif Carl Rogers Penekanan pada pembentukan
kemampuan untuk perkembangan
pribadi dalam arti kesadaran diri,
pemahaman diri , kemandirian dan
konsep diri.
2. Latihan kesadaran Fritz Perls Meningkatkan kemampuan
Willian Schultz seseorang untuk eksplorasi diri dan
kesadaran diri. Banyak menekankan
pada perkembangan kesadaran dan
pemahaman antar pribadi.
3. Sintetik William Gordon Perkembangan pribadi dalam
kreativitas dan pemecahan masalah
kreatif.
4. Sistem-sistem David Hunt Dirancang untuk meningkatkan
konseptual kekomplekan dan keluwesan
pribadi.
5. Pertemuan kelas William Glasser Perkembangan pemahaman diri dan
tanggung jawab kepada diri sendiri
dan kelompok sosial.
55[25] Dahlan. M. D, 1984, Model-model dalam Mengajar, Bandung: Diponegoro.
56[26] Bruce Joyce Marsha Weil, Op. Cit., hal. 110
57[27] Hamza B. Uno, Op. Cit., hal. 31-32

58[28] Hamza B. Uno, Ibid., hal. 31-32

4. Model Modifikasi Tingkah Laku (Behavioral)


Model ini bertitik tolak dari teori belajar behavioristik yaitu bertujuan mengembangkan
sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas-tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan
cara memanipulasi penguatan (reinforcement). Model ini lebih menekankan pada aspek
perubahan perilaku psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati.Karakteristik model ini
adalah dalam hal penjabaran tugas-tugas yang harus dipelajari siswa lebih efisien dan berurutan.
Ada empat fase dalam model modifikasi tingkah laku ini , yaitu :
1. Fase mesin pembelajaran (CAI dan CBI)
2. Penggunaan media ;
3. Pengajaran berprograma (linear dan branching);
4. Operant conditioning dan operant reinforcement.
Implementasi dari model modifikasi tingkah lakun ini adalah meningkatkan ketelitian
pengucapan pada anak. Guru selalu perhatian terhadap tingkah laku belajar siswa . Modifikasi
tingkah laku anak yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai reinforcement
pendukung. Penerapan prinsip pembelajaran individual terhadap pembelajaran klasikal.
59[29] Bruce Joyce Marsha Weil,Ibid., hal. 120

Anda mungkin juga menyukai