Anda di halaman 1dari 16

PAUTAN, PINDAH SILANG, GAGAL BERPISAH DAN GEN LETAL PADA

KROMOSOM

Pautan, pindah silang, dan gagal berpisah merupakan peristiwa yang terjadi ketika sel-sel
mengalami pembelahan meiosis (pembelahan sel untuk menghasilkan gamet) untuk
menghasilkan gamet. Pautan dan pindah silang umum terjadi pada pembelahan meiosis.
Sedangkan gagal berpisah merupakan kejadian langka yang dapat mengakibatkan kelainan
pada gamet yang dihasilkan. Penjelasan untuk masing-masing peristiwa adalah sebagai berikut.

1. Pautan
Gen-gen yang terletak pada lokus (tempat) yang berdekatan pada kromosom yang sama akan
tetap bersama saat diturunkan kepada keturunannya. Sebagai contoh adalah gen untuk warna
merah buah apel dan gen untuk daun berbulu. Kedua gen tersebut terletak berdekatan pada
kromosom yang sama, akibatnya kedua sifat tersebut tidak akan terpisahkan dalam
pembentukan gamet sehingga akan diturunkan bersama-sama pada keturunan berikutnya.

Apabila gen-gen tersebut letaknya berjauhan, semakin kecil kemungkinan terjadinya pautan
karena adanya peristiwa pindah silang yang akan dijelaskan nanti.

Pada proses miosis, kromosom yang telah mengganda akan ditarik menuju kutup yang
berlawanan. Apabila kedua gen terletak dalam kromosom yang sama dan berdekatan, maka
kedua gen tersebut akan ditarik menuju kutup yang sama.
Perhatikanlah bagan di bawah ini.
Gen G dan L terletak pada kromosom yang sama dan letaknya berdekatan, begitu pula dengan
geng dan l. Sehingga gen G dan L tidak akan terpisah ketika terjadi meiosis, demikian juga yang
terjadi pada gen g dan l.

2. PINDAH SILANG/CROSSING OVER

 Pindah silang adalah pertukaran antara dua segmen homolog.


 Peristiwa pindah silang umum terjadi pada setiap gametogenesis pada kebanyakan
mahluk hidup
 Berlangsung pada saat kromosom homolog berpasangan dalam profase I meisosis,
yaitu saat pakiten

Pindah silang menghasilkan kromosom rekombinan yang merupakan hasil dari


penyeberangan fragmen fragmen kromosom ke kromosom tetangganya
Pada waktu kromosom-kromosom hendak memisah (yaitu pada anafase I), kromatid-
kromatid yang bersilang itu melekat dan putus dibagian kiasma, kemudian tiap potongan itu
melekat pada kromatid sebelahnya secara timbal nalik. Berhubung dengan itu gen-gen yang
terletak pada bagian yang pindah itu akan berpindah pula tempatnya ke kromatid
sebelahnya (homolognya).

Faktor yang mempengaruhi pindah silang antara


lain:

1.Temperatur yang melebihi atau kurang dari suhu


normal memungkinkan untuk pindah silang

2.Makin tua individu makin kecil kemungkinan untuk


pindah silang

3.Makin jauh antara jarak gen gen yang terangkai


makin memperbesar kemungkinan untuk pindah
silang

4.Penyinaran terhadap sinar X dapat memperbesar


pindah silang

Cara menghitung Frekuensi Rekombinan atau Frekuensi pindah silang

Jumlah keturunan rekombinan X 100%

Seluruh Keturunan
Contoh soal

Dalam suatu eksperimen di peroleh keturunan sebagai berikut,

Fenotip tetua berbadan abu-abu sayap panjang : 965

berbadan hitam sayap pendek : 944

Fenotip Rekombinan berbadan hitam sayap panjang : 206

berbadan abu abu sayap pendek : 185

Berapakan Frekuensi Pindah silang nya?

FR = (206+185):(965+944)+(206+185) X 100% = 17%

3. Gagal Berpisah (Nondisjungsi)

Gagal berpisah adalah, kegagalan pemisahan sepasang kromosom homolog selama proses
anafase meiosis I, atau kegagalan pemisahan kromatid-kromatid selama proses anafase
meiosis II. Gagal berpisah mengakibatkan sel anak kelebihan atau kekurangan kromosom (
sel aneuploid ). Gagal berpisah dapa terjadi pada gonosom (Kromsom kelamin) maupun
autosom ( kromosom tubuh) .

CONTOH GAMBAR NONDISJUNGSI


 ANEUPLOIDI

Individu keturunan yang memiliki satu kromosom lebih (Trisomi (2n+1)) atau kurang satu
kromosom (Monosomi (2n-1)) dari jumlah kromosom milik induk parental

 POLIPLOIDI

Memiliki kelipatan jumlah kromosom induk parentalnya atau 3 kali/lebih dari setiap
kromosom haploid induk

 AUTOPOLIPLOIDI

 ALLOPOLIPLOIDI

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA NONDISJUNGSI

 Genetik ( keturunan )

Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap “non disjunction”. Bukti yang


mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan
adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom
Down.

 Radiasi

Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya “ non disjunctional” . Uchida
1981 (dikutip Ueschel dkk) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak
dengan abnormal(sindrom), pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya
konsepsi. Sedangkan penelitian lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi
dengan penyimpangan kromsom.

 Infeksi

Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya nondisjungsi.

 Autoimun

Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi nondisjungsi adalah autoimun. Terutama
autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 ( dikutip
dari Pueschel dkk), secacar konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibody tiroid
pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu control yang umurnya
sama

 Umur ibu

Apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat
menyebabkan “ non disjunction” pada kromosom. Perubahan endokrin seperti meningkatnya
sekresi androgen, menurunnya kadar hidropiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol
sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hosmon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (
Luteinizing hormone) dan FSH (follicular Stimulating hormone) secara tiba-tiba sebelum dan
selama menopause, dapat meningktkan kemungkinan terjadinya non disjunction.

 Umur ayah

Selain pengaruh umur ibu terhadap Nondisjungsi, juga dilaporkan adanya oengaruh dari
umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak yang lahir dari proses abnormal
mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi
korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.

Factor lain : gangguang intragametik, organisasi nucleolus, bahan kimia dan frekuensi
koitus. (Soetjiningsih, 1995)

Sindrom Down
SINDROM PATAU

SINDROM EDWARD
SINDROM CRI DU CHAT / LEJEUNE
SINDROM KLINEFELTER

SINDROM TURNER
SINDROM JACOB

SINDROM SUPER FEMALE


 Dampak non-disjunction pada tanaman jagung

4. Gen Letal
 Gen letal (gen kematian): gen yang dalam keadaan homozigotik atau homozigot
menyebabkan kematian pada individu.

 Gen letal pada suatu individu menyebabkan perbandingan fenotip dalam keturunan
menyimpang dari hukum Mendel.

 Namun ada batas penyimpangannya dari keadaan normal dimana suatu makhluk
hidup tidak mampu hidup. Kematian dari makhluk hidup dapat terjadi pada tingkat
perkembangan apapun mulai dari segera setelah pembuahan, selama proses
embrionik, saat kelahiran atau setelah kelahiran.

 Kematian dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti luka, penyakit, kekurangan
gizi, dan radiasi yang membahayakan seperti sinar X dan sinar Gamma. Satu
diantara demikian banyak penyebab kematian adalah perubahan gen yang tidak
sesuai. Gen-gen ini dikenal sebagai gen-gen letal.

 Terdapat gen-gen lain yang disebut semiletal atau subletal, menyebabkan kematian
muda setelah lahir atau sewaktu-waktu dalam masa kehidupannya. Ada juga gen
lain yang tidak menyebabkan kematian namun jelas sekali dapat menurunkan daya
hidup atau ketegaran. Gen-gen ini disebut sebagai gen-gen nonletal atau
detrimental.

 Penyebab Letal:

a. Gen-gen letal

b. Mutasi stuktur kromosom dan genom

c. Mutasi aneuploid

Letal Dominan

 Pada letal dominan, individu akan mati apabila memiliki gen homozigot dominan.
Contoh gen letal terdapat pada gen yang menyebabkan tikus berambut kuning
homozigot dominan (KK) mati sebelum lahir. Kematian sebelum lahir akan
mengubah perbandingan jumlah fenotip keturunan.

 Jika tikus berambut kuning heterozigot (Kk) dikawinkan dengan tikus kuning
heterozigot pula, maka akan menghasilkan keturunan lebih sedikit atau 25% lebih
kecil dari jumlah keturunan berambut kuning dengan berambut tidak kuning. Diagram
persilangannya dapat digambarkan sebagai berikut

Ayam Creeper

 Pada ayam dikenal gen dominan C yang bila homozigotik akan bersifat letal dan
menyebabkan kematian. Alelnya resesip c mengatur pertumbuhan tulang normal.
Ayam heterozigot Cc dapat hidup, tetapi memperlihatkan cacat yaitu memiliki kaki
pendek. Ayam demikian disebut ayam redep (Creeper).
 Meskipun ayam ini nampak biasa, tetapi ia sesungguhnya menderita penyakit
keturunan yang disebutachondroplasia. Ayam homozigot CC tidak pernah dikenal,
sebab sudah mati waktu embryo. Banyak kelainan terdapat padanya, sepeti kepala
rusak, rangka tidak mengalami penulangan, mata kecil dan rusak.

 Perkawinan antara dua ayam redep meghasilkan keturunan dengan perbandingan 2


ayam redep:1 ayam normal. Ayam redep Cc itu sebenarnya berasal dari ayam
normal (homozigot cc), tetapi salah satu gen resesip c mengalami mutasi gen
(perubahan gen) dan berubah menjadi gen dominan C.

P betina Cc x jantan Cc

Redep redep

C c

C CC mati Cc redep

c Cc redep cc normal

Brakhifalangi

 Pada manusia dikenal Brakhifalangi, adalah keadaan bahwa orang yang berjari
pendek dan tumbuh menjadi satu. Cacat ini disebabkan oleh gen dominan B dan
merupakan cacat keturunan. Penderita Brakhifalangi adalah heterozigot Bb, sedang
orang berjari normal adalah homozigot bb. Gen dominan gomozigotik (BB) akan
memperlihatkan sifat letal. Jika ada dua orang brakhifalangi kawin, maka anak-
anaknya kemungkinan memperlihatkan perbandingan 2 Brakhifalangi: 1 Normal.

P betina Bb x jantan Bb

Brakhifalangi Brakhifalangi

B b

B BB Letal Bb Brakhifalangi

b Bb Brakhifalangi bb normal

Pigmen Warna Pada Tikus


 Pada tikus dikenal gen letal dominan Y (Yellow) yang dalam keadaan heterozigotik
menyebabkan kulit tikus berpigmen kuning. Tikus homozigot YY tidak dikenal, sebab
letal. Tikus homozigot yy normal dan berpigmen kelabu. Perkawinan 2 tikus kuning
akan menghasilkan anak dengan perbandingan 2 tikus kuning:1 tikus kelabu
(normal). Dari ketiga contoh dimuka dapat diketahui bahwa gen dominan letal baru
akan nampak pengaruhnya letal apabila homozigotik. Dalam keadaan heterozigotik
gen dominan letal itu tidak mengakibatkan kematian, namun biasanya menimbulkan
cacat.

P betina Yy x jantan Yy

Kuning kuning

Y y

Y YY Letal Yy Kuning

y Yy Kuning yy Kelabu

Letal Resesif

 Pada letal resesif, individu akan mati jika mempunyai gen homozigot resesif,
contohnya tumbuhan albino dan ekor pendek mencit. Tumbuhan albino tidak
mempunyai klorofil. Misalnya, klorofil dikendalikan oleh gen A, maka tumbuhan
berklorofil memiliki gen AA, sedangkan tumbuhan albino memiliki gen aa. Tumbuhan
albino muncul dari persilangan heterozigot Aa dengan Aa. Untuk lebih memahami,
mari cermati diagram di bawah ini.

 Pada manusia terdapat gen letal, misalnya pada penderita sicklemia (eritrosit
berbentuk bulan sabit) dan talasemia (eritrosit berbentuk lonjong, ukurannya kecil,
dan jumlahnya lebih banyak).

Zea Mays
 Pada jagung (Zea mays) dikenal gen dominan G yang bila homozigotik
menyebabkan tanaman dapat membentuk klorofil (zat hijau daun) secara normal,
sehingga daun berwarna hijau benar.

 Alelnya resesip g bila homozigotik (gg) akan memperlihatkan pengaruhnya letal,


sebab klorofil tidak akan berbentuk sama sekali pada daun lembaga, sehingga
kecambah akan segera mati. Tanaman heterozigot Gg akan mempunyai daun hijau
kekuningan, tetapi dapat hidup terus sampai menghasilkan buah dan biji, jadi
tergolong normal.

 Jika 2 tanaman yang daunnya hijau kekuningan dikawinkan maka keturunannya


akan memperlihatkan perbandingan 1 berdaun hijau normal: 2 berdaun hijau
kekuningan.

P betina Gg x jantan Gg

normal normal

G g

G GG Normal Gg Normal

g Gg Normal gg Letal

Ichytosis Congenita

 Pada manusia dikenal gen letal resesip I yang bila homozigotik akan memperlihatkan
pengaruhnya letal, yaitu timbulnya penyakit Ichytosis congenita. Kulit menjadi kering
dan bertanduk. Pada permukaan tubuh terdapat bendar-bendar berdarah. Biasanya
bayi telah mati dalam kandungan.

P betina Ii x jantan Ii

normal normal

I i

I II Normal Ii Normal

i Ii Normal ii Letal

 Gen letal dominan dalam keadaan heterozigotik akan memperlihatkan sifat cacat,
tetapi gen letal resesip tidak demikian halnya. Berhubung dengan itu lebih mudah
kiranya untuk mendeteksi hadirnya gen letal dominan pada satu individu daripada
gen letal resesip.

 Gen-gen letal dapat dihilangkan (dieliminir) dengan jalan mengadakan perkawinan


berulang kali pada individu yang menderita cacat akibat adanya gen letal. Tentu saja
hal ini mudah dapat dilakukan pada hewan dan tumbuh-tumbuhan tetapi tidak pada
manusia.

 Karena gen letal selalu dalam keadaan homozigot maka jelas perkawinan hanya bisa
terjadi hanya pada individu hetero dengan individu hetero yang bisa menurunkan
keturunan yang bersifat letal. Dari perkawinan hetero yang memunculkan keturunan
letal itu dipastikan yang letal 25% sisanya individu yang hidup dengan rincian yang
normal sejati 25% dan yang hetero Carier 50%. Jadi yang hidup 1/3 normal sejati
dan 2/3 hetero pembawa letal.

 Jadi letal selalu didapat dari jika induknya heterozigot, jika keduanya tidak
heterozigot tidak bakal terjadi letal.

Anda mungkin juga menyukai