Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejarah dan perkembangan Ilmu Forensik tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan
perkembangan hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan yang terjadi di
muka bumi ini sama usia tuanya dengan sejarah manusianya itu sendiri. Luka merupakan
salah satu kasus tersering dalam kedokteran Forensik. Luka bisa terjadi pada korban hidup
maupun korban mati. Dalam sebuah survey di sebuah rumah sakit di selatan tenggara kota
London dimana didapatkan 425 pasien yang dirawat oleh karena kekerasan fisik yang
disengaja. Beberapa jenis senjata digunakan pada 68 dari 147 kasus penyerangan di jalan
raya, terdapat 12 % dari penyerangan menggunakan besi batangan dan pemukul baseball atau
benda – benda serupa dengan itu, lalu di ikuti dengan penggunaan pisau 18%, terdapat nilai
yang sangat berarti dari kasus penusukan, sekitar 47% kasus yang masuk rumah sakit dan
90% mengalami luka yang serius. 1
Hal yang harus dicatat bahwa terdapat 2 dari 3 penyerangan terjadi di dalam tempat tinggal
atau klub-klub dengan menggunakan pisau, kaca, dan bermacam-macam senjata. 40% kasus
penikaman terjadi di jalan raya dan 23% di dalam tempat tinggal dan klub-klub , 50% pasien
sedang mabuk atau minum pada saat sebelum waktu penyerangan, 27% pasien tersebut
adalah penganguran. Luka-luka yang disebabkan oleh pukulan (46%), tendangan (17%)
bermacam-macam senjata (17%), pisau dan pecahan kaca (15%) sisanya disebabkan oleh
gigitan manusia dan penyebab-penyebab lain yang tidak diketahui.1
Jumlah kejahatan di Indonesia meningkat 15 persen pada 2006. Rata-rata orang terkena
kejahatan pun naik di tahun ini. Selama 2006, jumlah kejahatan meningkat dari 256.543
(tahun 2005) menjadi 296.119. Inilah peningkatan kejahatan yakni sekitar 15,43 persen.
Jumlah penduduk yang beresiko terkena kejahatan rata-rata 123 orang per 100.000 penduduk
Indonesia di 2006. Bila dibandingkan tahun 2005 terjadi kenaikan 1,65 persen.1,2
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa penyidik
berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau
bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah Visum et Repertum, dimana di
dalamnya terdapat penjabaran tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun
mati yang diduga karena tindak pidana.2,3
Bagi dokter yang bekerja di Indonesia perlu mengetahui ilmu kedokteran Forensik termasuk
cara membuat Visum et Repertum. Seorang dokter perlu menguasai pengetahuan tentang
mendeskripsikan luka, tujuannya untuk mempermudah tugas-tugasnya dalam membuat
Visum et Repertum yang baik dan benar sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti yang
bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan suatu tindak pidana. Pada kenyataannya dalam
praktek, dokter sering mengalami kesulitan dalam membuat Visum et Repertum karena
kurangnya pengetahuan tentang luka. Padahal Visum et Repertum harus di buat sedemikian
rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan material , sehingga dapat dipakai sebagai alat
bukti yang sah di sidang pengadilan.1,2,3

B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi luka?
2. Bagaimana klasifikasi luka?
3. Bagaimana dasar hukum luka terhadap kepentingan forensik?
4. Bagaimana menentukan luka berdasarkan waktu terjadinya?
C. TUJUAN PENULISAN
Dengan penyusunan referat ini kami berharap seorang dokter atau calon dokter mampu
mendeskripsikan luka secara benar sehingga mampu membuat Visum et Repertum yang baik
dan benar sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti yang bisa meyakinkan hakim untuk
memutuskan suatu tindak pidana.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma
benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan
hewan. 4
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit Didalam melakukan pemeriksaan
terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan
untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan
yang menyebabkan luka, dan kualifikasi luka.1,4

II.2. Etiologi 5
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu).
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)

II.3. Klasifikasi Jenis Luka Berdasarkan Jenis Benda5,6,7


1. Jenis luka akibat kekerasan benda tumpul (blunt force injury).5,6
Benda tumpul bila mengenai tubuh dapat menyebabkan luka yaitu luka lecet, memar dan luka
robek atau luka robek atau luka terbuka. Dan bila kekerasan benda tumpul tersebut
sedemikian hebatnya dapat pula menyebabkan patah tulang.
a. Luka lecet (abrasion):
Luka lecet adalah luka yang superficial, kerusakan tubuh terbatas hanya pada lapisan kulit
yang paling luar/kulit ari. Walaupun kerusakan yang ditimbulkan minimal sekali, luka lecet
mempunyai arti penting di dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman, oleh karena dari luka tersebut
dapat memberikan banyak hal, misalnya:
1) Petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada alat-alat dalam tubuh, seperti
hancurnya jaringan hati, ginjal, atau limpa, yang dari pemeriksaan luar hanya tampak adanya
luka lecet di daerah yang sesuai dengan alat-alat dalam tersebut.
2) Petunjuk perihal jenis dan bentuk permukaan dari benda tumpul yang menyebabkan luka,
seperti :
a. Luka lecet tekan pada kasus penjeratan atau penggantungan, akan tampak sebagai suatu
luka lecet yang berwarna merah-coklat, perabaan seperti perkamen, lebarnya dapat sesuai
dengan alat penjerat dan memberikan gambaran/cetakan yang sesuai dengan bentuk
permukaan dari alat penjerat, seperti jalianan tambang atau jalinan ikat pinggang. Luka lecet
tekan dalam kasus penjeratan sering juga dinamakan “jejas jerat”, khususnya bila alat
penjerat masih tetap berada pada leher korban.
b. Di dalam kasus kecelakaan lalu lintas dimana tubuh korban terlindas oleh ban kendaraan,
maka luka lecet tekan yang terdapat pada tubuh korban seringkali merupakan cetakan dari
ban kendaraan tersebut, khususnya bila ban masih dalam keadaan yang cukup baik, dimana
“kembang” dari ban tersebut masih tampak jelas, misalnya berbentuk zig-zag yang sejajar.
Dengan demikian di dalam kasus tabrak lari, informasi dari sifat-sifat luka yang terdapat pada
tubuh korban sangat bermanfaat di dalam penyidikan.
c. Dalam kasus penembakan, yaitu bila moncong senjata menempel pada tubuh korban, akan
memberikan gambaran kelainan yang khas yaitu dengan adanya “jejas laras”, yang tidak lain
merupakan luka lecet tekan. Bentuk dari jejas laras tersebut dapat memberikan informasi
perkiraan dari bentuk moncong senjata yang dipakai untuk menewaskan korban.
d. Di dalam kasus penjeratan dengan tangan (manual strangulation), atau yang lebih dikenal
dengan istilah pencekikan, maka kuku jari pembunuh dapat menimbulkan luka lecet yang
berbentuk garis lengkung atau bulan sabit; dimana dari arah serta lokasi luka tersebut dapat
diperkirakan apakah pencekikan tersebut dilakukan dengan tangan kanan, tangan kiri atau
keduanya. Di dalam penafsiran perlu hati-hati khususnya bila pada leher korban selain
didapatkan luka lecet seperti tadi dijumpai pula alat penjerat; dalam kasus seperti ini
pemeriksaan arah lengkungan serta ada tidaknya kuku-kuku yang panjang pada jari-jari
korban dapat memberikan kejelasan apakah kasus yang dihadapi itu merupakan kasus bunuh
diri atau kasus pembunuhan, setelah dicekik kemudian digantung.
e. Dalam kasus kecelakaan lalu-lintas dimana tubuh korban bersentuhan dengan radiator,
maka dapat ditemukan luka lecet tekan yang merupakan cetakan dari bentuk radiator
penabrak.
3) Petunjuk dari arah kekerasan, yang dapat diketahui dari tempat dimana kulit ari yang
terkelupas banyak terkumpul pada tepi luka; bila pengumpulan tersebut terdapat di sebelah
kanan maka arah kekerasan yang mengenai tubuh korban adalah dari arah kiri ke kanan. Di
dalam kasus-kasus pembunuhan dimana tubuh korban diseret maka akan dijumpai
pengumpulan kulit ari yang terlepas yang mendekati ke arah tangan, bila tangan korban
dipegang; dan akan mendekati ke arah kaki bila kaki korban yang dipegang sewaktu korban
diseret.
Gambar 1. Luka lecet jenis geser akibat kecelakaan lalu lintas.
Dikutip dari: www.fk.uwks.ac.id

b. Luka memar (contusion)


Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan yang
terjadi sewaktu orang masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah kapiler akibat
kekerasan benda tumpul. Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan luka memar
terjadi pada daerah dimana jaringan longgar, seperti di daerah mata, leher, atau pada orang
yang lanjut usia, maka luka memar yang tampak seringkali tidaka sebanding dengan
kekerasan, dalam arti seringkali lebih luas; dan adanya jaringan longgar tersebut
memungkinkan berpindahnya “memar” ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi.
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai bentuk dari benda
tumpul, ialah apa yang dikenal dengan istilah “perdarahan tepi” (marginal haemorrhages),
misalnya bila tubuh korban terlindas ban kendaraan, dimana pada tempat yang terdapat
tekanan justru tidak menunjukkan kelainan, kendaraan akan menepi sehingga terbentuk
perdarahan tepi yang bentuknya sesuai dengan bentuk celah antara kedua kembang ban yang
berdekatan.
Hal yang sama misalnya bila seseorang dipukul dengan rotan atau benda yang sejenis, maka
akan tampak memar yang memanjang dan sejajar yang membatasi darah yang tidak
menunjukkan kelainan; darah antara kedua memar yang sejajar dapat menggambarkan
ukuran lebar dari alat pengukur yang mengenai tubuh korban.

Gambar 2. Luka memar akibat gigitan (Bite mark)


Dikutip dari: www.fk.uwks.ac.id

c. Luka robek, retak, koyak (laceration)


Luka robek atau luka terbuka yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul dapat terjadi bila
kekerasan yang terjadi sedemikian kuatnya hingga melampaui elastisitas kulit atau otot, dan
lebih dimungkinkan bila arah dari kekerasan tumpul tersebut membentuk sudut dengan
permukaan tubuh yang terkena benda tumpul. Dengan demikian bila luka robek tersebut
salah satu tepinya terbuka ke kanan misalnya, maka kekerasan atau benda tumpul tersebut
datang dari arah kiri; jika membuka ke depan maka kekerasan benda tumpul datang dari arah
belakang. Pelukisan yang cermat dari luka terbuka akibat benda tumpul dengan demikian
dapat sangat membantu penyidik khususnya sewaktu dilakukannya rekonstruksi; demikian
pula sewaktu dokter dijadikan saksi di meja hakim.
Luka robek atau luka terbuka akibat kekerasan benda tumpul dapat dibedakan dengan luka
terbuka akibat kekerasan benda tajam, yaitu dari sifat-sifatnya serta hubungan dengan
jaringan sekitar luka. Luka robek mempunyai tepi yang tidak teratur, terdapat jembatan-
jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur atau
tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut, di sekitar luka robek ssring tampak
adanya luka lecet atau luka memar.
Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri yang hebat dan lambat
mendatangkan kematian, maka jarang dijumpai kasus bunuh diri dengan membuat luka
terbuka dengan benda tumpul.

Gambar 3. Luka robek pada tungkai akibat kecelakaan lalu lintas


Dikutip dari: www.fk.uwks.ac.id
2. Jenis luka akibat benda tajam.5,7
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka seperti ini adalah benda yang memiliki sisi
tajam, baik berupa garis maupun runcing, yang bervariasi dari alat-alat seperti golok, pisau,
dan sebagainya hingga keeping kaca, gelas, logam, sembilu bahkan tepi kertas atau
rumput.5,7
Putusnya atau rusaknya continuitas jaringan karena trauma akibat alat/senjata yang bermata
tajam dan atau berujung runcing. Luka akibat benda tajam pada umumnya mudah dibedakan
dari luka yang disebabkan oleh benda tumpul dan dari luka tembakan senjata api.7
Pada kematian yang disebabkan oleh benda tajam, walaupun tetap harus dipikirkan
kemungkinan karena suatu kecelakaan; tetapi pada umumnya karena suatu peristiwa
pembunuhan atau peristiwa bunuh diri.
a. Luka iris / luka sayat (incised wound)
Adalah luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena alat ditekan pada
kulit dengan kekuatan relatif ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit.

Gambar 4. Luka Iris


Dikutip dari: www.fk.uwks.ac.id

b. Luka tusuk (stab wound)


Luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau tumpul yang terjadi dengan
suatu tekanan tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh. Contoh: belati, bayonet, keris,
clurit, kikir, tanduk kerbau
Selain itu, pada luka tusuk , sudut luka dapat menunjukkan perkiraan benda penyebabnya,
apakah berupa pisau bermata satu atau bermata dua.

Gambar 5. Luka tusuk


Dikutip dari: www.fk.uwks.ac.id

c. Luka bacok (chop wound)


Adalah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak tumpul yang
terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar. Contoh : pedang, clurit, kapak,
baling-baling kapal.

Gambar 6. Luka bacok


Dikutip dari: www.fk.uwks.ac.id

d. Luka akibat benda yang mudah pecah (kaca)


Kekerasan oleh benda yang mudah pecah (misalnya kaca), dapat mengakibatkan luka-luka
campuran; yang terdiri atas luka iris, luka tusuk, luka lecet.
Pada daerah luka atau sekitarnya biasanya tertinggal fragmen-fragmen dari benda yang
mudah pecah itu. Jika yang menjadi penyebabnya adalah kaca mobil maka luka-luka
campuran yang terjadi hanya terdiri atas luka lecet dan luka iris saja, sebab kaca mobil
sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga jika pecah akan terurai menjadi bagian-bagian
kecil.

3. Luka akibat tembakan senjata api


Luka tembak masuk (LTM) jarak jauh hanya dibentuk oleh komponen anak peluru,
sedangkan LTM jarak dekat dibentuk oleh komponen anak peluru dan butir-butir mesiu yang
tidak habis terbakar. LTM jarak sangat dekat dibentuk oleh komponen anak peluru, butir
mesiu, jelaga dan panas/api. LTM tempel/kontak dibentuk oleh seluruh komponen tersebut di
atas (yang akan masuk ke saluran luka) dan jejas laras. Saluran luka akan berwarna hitam dan
jejas laras akan tampak mengelilingi luka tembak masuk sebagai luka lecet jenis tekan, yang
terjadi sebagai akibat tekanan berbalik dari udara hasil ledakan mesiu.
Gambaran LTM jarak jauh dapat ditemukan pada korban yang tertembak pada jarak yang
dekat/sangat dekat, apabila di atas permukaan kulit terdapat penghalang misalnya pakaian
yang tebal, ikat pinggang, helm dan sebagainya sehingga komponen-komponen butir mesiu
yang tidak habis terbakar, jelaga dan api tertahan oleh penghalang tersebut.
Pada tempat anak peluru meninggalkan tubuh korban akan ditemukan luka tembak kleuar
(LTK). LTK umumnya lebih besar dari LTM akibat terjadinya deformitas anak peluru,
bergoyangnya anak peluru dan terikutnya jaringan tulang yang pecah keluar dari LTK.
LTK mungkin lebih kecil dari LTM dari LTM bila terjadi pada luka tembak tempel/kontak,
atau pada anak peluru yang telah kehabisan tenaga pada saat akan keluar meninggalkan
tubuh. Di sekitar LTK mungkin pula dijumpai daerah lecet bila pada tempat keluar tersebut
terdapat benda yang keras, misalnya ikat pinggang, atau korban sedang bersandar pada
dinding.7,8

4. Jenis luka akibat suhu / temperatur


a) Benda bersuhu tinggi.
Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan dapat menimbulkan luka bakar yang cirinya amat
tergantung dari jenis bendanya, ketinggian suhu serta lamanya kontak dengan kulit. Api,
benda padat panas atau membara dapat mengakibatkan luka bakar derajat I, II, III atau IV.
Zat cair panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II atau III. Gas panas dapat
mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III atau IV.
b) Benda bersuhu rendah.
Kekerasan oleh benda bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian tubuh yang terbuka;
seperti misalnya tangan, kaki, telinga atau hidung.
Mula-mula pada daerah tersebut akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah superfisial
sehingga terlihat pucat, selanjutnya akan terjadi paralise dari vasomotor kontrol yang
mengakibatkan daerah tersebut menjadi kemerahan. Pada keadaan yang berat dapat menjadi
gangren.

5. Luka akibat trauma listrik


Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai akibat
berubahnya energi listrik menjadi energi panas. Besarnya pengaruh listrik pada jaringan
tubuh tersebut tergantung dari besarnya tegangan (voltase), kuatnya arus (ampere), besarnya
tahanan (keadaan kulit kering atau basah), lamanya kontak serta luasnya daerha terkena
kontak.
Bentuk luka pada daerah kontak (tempat masuknya arus) berupa kerusakan lapisan kulti
dengan tepi agak menonjol dan disekitarnya terdapat daerah pucat dikelilingi daerah
hiperemis. Sering ditemukan adanya metalisasi.
Pada tempat keluarnya arus dari tubuh juga sering ditemukannya luka. Bahkan kadang-
kadang bagian dari baju atau sepatu yang dilalui oleh arus listrik ketika meninggalkan tubuh
juga ikut terbakar. Tegangan arus kurang dari 65 voltase biasanya tidak membahayakan,
tetapi tegangan antara 65-1000 volt dapat mematikan. Sedangkan kuat arus (ampere) yang
dapat mematikan adalah 100 mA.
Kematian tersebut terjadi akibat fibrilasi ventrikel, kelumpuhan otot pernapasan atau pusat
pernapasan. Sedang faktor yang sering memperngaruhi kefatalan adalah kesadaran seseorang
akan adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya. Bagi orang-orang tidak menyadari
adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya biasanya pengaruhnya lebih berat dibanding
orang-orang yang pekerjaannya setiap hari berhubungan dengan listrik.

6. Luka akibat petir


Petir terjadi karena adanya loncatan arus listrik di awan yang tegangannya dapat mencapai 10
mega Volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A ke tanah. Luka-luka karena sambaran petir
pada hakekatnya merupakan luka-luka gabungan akibat listrik, panas dan ledakan udara.
Luka akibat panas berupa luka bakar dan luka akibat ledakan udara berupa luka-luka yang
mirip dengan akibat persentuhan dengan benda tumpul.
Dapat terjadi kematian akibat efek arus listrik yang melumpuhkan susunan syaraf pusat,
menyebabkan fibrilasi ventrikel. Kematian juga dapat terjadi karena efek ledakan atau efek
dari gas panas yang ditimbulkannya. Pada korban mati sering ditemukan adanya arborescent
mark (percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi benda-
benda dari logam yang dipakai, magnetisasi benda-benda dari logam yang dipakai. Pakaian
korban terbakar atau robek-robek.9

7. Jenis luka akibat zat kimia korosif


Zat-zat kimia korosif dapat menimbulkan luka-luka apabila mengenai tubuh manusia.
Ciri-ciri lukanya amat tergantung dari golongan zat kimia tersebut, yaitu :
(a) Golongan Asam.
Termasuk zat kimia korosif dari golongan asam antara lain :
• Asam mineral, antara lain : H2SO4, HCl dan NO3.
• Asam organik, antara lain : asam oksalat, asam formiat dan asam asetat.
• Garam mineral, antara lain : AgNO3 dan Zinc Chlorida.
• Halogen, antara lain : F, Cl, Ba dan J.
Cara kerja zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka, ialah:
• Mengekstraksi air dari jaringan.
• Mengkoagulasi protein menjadi albuminat.
• Mengubah hemoglobin menjadi acid hematin.
Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam korosif tersebut di atas ialah:
• Terlihat kering.
• Berwarna coklat kehitaman, kecuali yang disebabkan oleh nitric acid berwarna kuning
kehijauan.
• Perabaan keras dan kasar.
(b) Golongan Basa.
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain :
• KOH
• NaOH
• NH4OH
Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah:
• Mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline albumin dan sabun.
• Mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin.
Ciri-ciri luka yang terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini :
• Terlihat basah dan edematus
• Berwarna merah kecoklatan
• Perabaan lunak dan licin.

II.4. Petunjuk Deskripsi Luka dan Lokasi 3


Dalam mendeskripsikan luka terbuka harus mencakup jumlah, lokasi, bentuk, ukuran, dan
sifat luka. Sedangkan untuk luka tertutup, sifat luka tidak perlu dicantumkan dalam
pendeskripsian luka. Untuk penulisan deskripsi luka jumlah, lokasi, bentuk, ukuran tidak
harus urut tetapi penulisan harus selalu ditulis diakhir kalimat.
Deskripsi luka meliputi :
1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian tertentu dari tubuh.
Menentukan lokasi berdasarkan garis koordinat dilakukan untuk luka pada regio yang luas
seperti di dada, perut, penggung. Koordinat tubuh dibagi dengan menggunakan garis khayal
yang membagi tubuh menjadi dua yaitu kanan dan kiri, garis khayal mendatar yang melewati
puting susu, garis khayal mendatar yang melewati pusat, dan garis khayal mendatar yang
melewati ujung tumit. Pada kasus luka tembak harus selalu diukur jarak luka dari garis
khayal mendatar yang melewati kedua ujung tumit untuk kepentingan rekonstruksi. Untuk
luka di bagian punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang
menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.

Gambar 7. Koordinat Tubuh


Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum

3. Bentuk luka, meliputi :


a. Bentuk sebelum dirapatkan
b. Bentuk setelah dirapatkan
4. Ukuran luka, meliputi sebelum dan sesudah dirapatkan ditulis dalam bentuk panjang x
lebar x tinggi dalam satuan sentimeter atau milimeter.
Contoh :

Gambar 8. Deskripsi Luka Dengan Ukuran Kecil


Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum

Gambar 9. Deskripsi Luka Dengan Ukuran Lebar


Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum

Gambar 10. Deskripsi Luka Dengan Ukuran Panjang


Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum

5. Sifat-sifat luka, meliputi :


a. Daerah pada garis batas luka, meliputi :
 Batas (tegas atau tidak tegas)
 Tepi (rata atau tidak rata)
 Sudut luka (runcing atau tumpul)
b. Daerah di dalam garis batas luka, meliputi:
 Jembatan jaringan (ada atau tidak ada)
 Tebing (ada atau tidak ada, jika ada terdiri dari apa)
 Dasar luka

c. Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi :


 Memar (ada atau tidak)
 Lecet (ada atau tidak)
 Tatoase (ada atau tidak)

Gambar 11. Bagian-bagian Luka


Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum

Contoh Beberapa Deskripsi Macam-Macam Luka :


1. Luka Iris
Pada pemeriksaan ditemukan luka.
Jumlahnya: Satu.
Lokasinya: Di perut kanan atas, ujung pertama sepuluh sentimeter sebelah kanan garis tengah
tubuh dan lima sentimeter di atas garis mendatar yang melewati pusat sedang ujung kedua
lima belas sentimeter dari garis tengah tubuh dan empat sentimeter di atas garis mendatar
yang melewati pusat.
Bentuknya: Sebelum dirapatkan terbuka dan ketika ditautkan rapat serta membentuk garis
lurus (atau sedikit lengkung) yang arahnya miring.
Ukurannya: Sebelum ditautkan panjang lima sentimeter, lebar dua sentimeter dan dalamnya
satu sentimeter. Ketika dirapatkan panjang luka menjadi lima koma tiga sentimeter.
Sifatnya: Garis batas luka bentuknya teratur, tepi rata dan kedua sudutnya runcing. Tebing
luka rata dan terdiri atas jaringan kulit, jaringan ikat, lemak serta otot. Jembatan jaringan
tidak ada. Dasar luka terdiri atas jaringan otot. Daerah di sekitar garis batas luka tidak
didapati memar

Gambar 12. Luka iris


Dikutip dari: A Color Atlas of Forensic Pathology
2. Luka Tusuk
Pada pemeriksaan ditemukan luka.
Jumlahnya: Satu.
Letaknya: Di dada bagian kanan atas, sepuluh sentimeter sebelah kanan garis tengah tubuh
dan tujuh sentimeter di atas garis mendatar yang melewati puting susu.
Bentuknya: Berupa luka tembus seperti celah dan ketika ditautkan rapat serta membentuk
garis lurus yang arahnya mendatar.
Ukurannya: Sebelum dirapatkan panjangnya dua koma lima sentimeter, lebar nol koma enam
sentimeter dan dalamnya belum dapat ditentukan pada pemeriksaan luar sebab luka
menembus dinding dada. Ketika dirapatkan panjangnya menjadi dua koma tujuh sentimeter.
Sifatnya: Garis batas luka bentuknya teratur dan simetris, tepinya rata serta kedua sudutnya
runcing. Tebing luka rata terdiri atas kulit, jaringan ikat, jaringan lemak dan otot. Tidak
ditemukan ada-nya jembatan jaringan dan dasar luka tidak terlihat pada pemeriksaan luar. Di
sekitar garis batas luka tidak ada memar.

Gambar 13. Luka Tusuk


Dikutip dari: Color Atlas of Forensic Pathology
3. Luka Tembak Masuk
Pada pemeriksaan ditemukan luka.
Jumlahnya: Satu.
Lokasinya: Di perut bagian kanan atas, delapan sentimeter di sebe¬lah kanan dari garis
tengah tubuh dan setinggi seratus sepuluh sentimeter dari tumit. (Pada luka tembak selalu
diukur setinggi berapa sentimeter dari tumit guna kepentingan rekonstruksi).
Bentuknya: Terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar berupa cincin lecet dan bagian
dalamnya berupa lubang. Posisi lubang terhadap cincin lecet konsentris (atau episentris).
Ukurannya: Diameter cincin lecet sebelas milimeter dan diameter lubang sembilan milimeter.
Sifatnya: Garis batas luar dari cincin lecet bentuknya teratur (bulat) serta tepinya tak rata dan
garis batas lubang bentuknya juga teratur serta tepi-nya tidak rata.
Tebing luka tak rata, berbentuk silinder dan terdiri atas jaringan kulit, jaringan ikat, otot dan
tulang.
Dasar cincin lecet adalah jaringan ikat sedang dasar lubang tidak dapat ditentukan pada pe-
meriksaan luar sebab menembus dinding perut. Daerah di sekitar cincin lecet terlihat memar
ber-warna merah kebiruan, jelaga dan tatoase.

Gambar 14. Contoh Deskripsi Luka Tembak


Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum

Gambar 15. Deskripsi Luka Tembak Masuk


Dikutip dari: Petunjuk Praktikum Pembuatan Visum Et Repertum

Gambar 16. Luka Tembak Masuk


Dikutip dari: A Color Atlas of Forensic Pathology

4. Memar (Kontusi)
Pada pemeriksaan ditemukan memar.
Jumlahnya: Dua buah.
Lokasinya: Memar pertama di sisi luar dari lengan bawah kiri, sepuluh sentimeter dari garis
pergelangan tangan. Memar kedua di pipi kiri, lima sentimeter sebelah kiri dari garis tengah
tubuh dan lima sentimeter sebelah bawah dari garis mendatar yang melewati kedua mata.
Bentuknya: Tidak teratur.
Ukurannya: Memar di lengan kiri tiga sentimeter kali empat sen¬timeter dan memar di pipi
tiga sentimeter kali tiga sentimeter.
Sifatnya: Garis batas memar tidak begitu tegas dan ben¬tuknya tidak teratur.
Daerah di dalam garis batas luka terlihat sedikit menonjol (bengkak), terdiri atas kulit yang
masih utuh. Di sekitar memar tidak ditemukan kelainan.4

Gambar 17. Kumpulan luka gores dan memar


Dikutip dari: A Color Atlas of Forensic Pathology

Gambar 18. Luka memar seminggu pada payudara


Dikutip dari: A Color Atlas of Forensic Pathology
II.5. WAKTU TERJADINYA KEKERASAN 5,7,8
Waktu terjadinya kekerasan merupakan hal yang sangat penting bagi keperluan penuntutan
oleh penuntut umum, pembelaan oleh penasehat hukum terdakwa serta untuk penentuan
keputusan oleh hakim. Dalam banyak kasus informasi tentang waktu terjadinya kekerasan
akan dapat digunakan sebagai bahan analisa guna mengungkapkan banyak hal, teerutama
yang berkaitan dengan alibi seseorang. Masalahnya ialah, tidak seharusnya seseorsng dituduh
atau dihukum jika pada saat terjadinya tindak pidana ia berada di tempat yang jauh dari
tempat kejadian perkara.
Dengan melakukan pemeriksaan yang teliri akan dapat ditentukan :
 Luka terjadi ante mortem atau post mortem
 Umur luka

a. Luka ante mortem atau post mortem


Jika pada tubuh jenazah ditemukan luka maka pertanyaannya ialah luka itu terjadi sebelum
atau sesudah mati. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dicari ada tidaknya tanda-
tanda intravital. Jika ditemukan berarti luka terjadi sebelum mati dan demikian pula
sebaliknya.
Tanda intravital itu sendiri pada hakekatnya merupakan tanda yang menunjukkan bahwa :
1. Jaringan setempat masih hidup ketika terjadi trauma.
Tanda-tanda bahwa jaringan yang terkena trauma masih dalam keadaan hidup ketika terjadi
trauma antara lain :
a. Retraksi jaringan.
Terjadi karena serabut-serabut elastis di bawah kulit terpotong dan kemudian mengkerut
sambil menarik kulit di atasnya. Jika arah luka memotong serabut secara tegak lurus maka
bentuk luka akan menganga, tetapi jika arah luka sejajar dengan serabut elastis maka bentuk
luka tidak begitu menganga.
b. Retraksi vaskuler.
Bentuk retraksi vaskuler tergantung dari jenis trauma, yaitu :
1. Pada trauma suhu panas, bentuk reaksi intravitalnya berupa:
 Eritema (kulit berwarna kemerahan)
 Vesikel atau bulla
2. Pada trauma benda keras dan tumpul, bentuk intravital berupa :
- Kontusio atau memar.
c. Retraksi mikroorganisme (infeksi)
Jika tubuh dari orang masih hidup mendapat trauma maka pada daerah tersebut akan terjadi
aktivitas biokimiawi berupa :
 Kenaikan kadar serotinin (kadar maksimal terjadi 10 menit sesudah trauma).
 Kenaikan kadar histamine (kadar maksimal terjadi 20-30 menit sesudah trauma)
 Kenaikan kadar enzime yang terjadi beberapa jam sesudah trauma sebagai akibat dari
mekanisme pertahanan jaringan.

2. Organ dalam masih berfungsi saat terjadi trauma


Jika organ dalam (jantung atau paru) masih dalam keadaan berfuungsi ketika terjadi trauma
maka tanda-tandanya antara lain :
a. Perdarahan hebat (profuse bleeding)
Trauma yang terjadi pada orang hidup akan menimbulkan perdarahan yang banyak sebab
jantung masih bekerja terus-menerus memompa darah lewat luka.Berbeda dengan trauma
yang terjadi sesudah mati sebab keluarnya darah secara pasif karena pengaruh gravitasi
sehingga jumlah lukanya tidak banyak.
Perdarahan pada luka intravital dibagi 2, yaitu :
 Perdarahan internal :
Mudah dibuktikan karena darah tertampung dirongga badan (rongga perut, rongga panggul,
rongga dada, rongga kepala dan kantong perikardium) sehingga dapat diukur pada waktu
otopsi.
 Perdarahan eksternal :
Darah yang tumpah di tempat kejadian, yang hanya dapat disimpulkan jika pada waktu otopsi
ditemukan tanda-tanda anemis (muka dan organ-organ dalam pucat) disertai tanda-tanda
limpa melisut, jantung dan nadi utama tidak berisi darah.
b. Emboli udara.
Terdiri atas emboli udara venosa (pulmoner) dan emboli udara arterial (sistemik). Emboli
udara venosa terjadi jika lumen dari vena yang terpotong tidak mengalami kolap karena
terfiksir dengan baik, seperti misalnya vena jugularis eksterna atau subclavia. Udara akan
masuk ketika tekanan di jantung kanan negatif. Gelembung udara yang terkumpul di jantung
kanan dapat terus menuju ke daerah paru-paru sehingga dapat mengganggu fungsinya.
Emboli arterial dapat terjadi sebagai kelanjutan dari emboli udara venosa pada penderita
foramen ovale persisten atau sebagai akibat dari tindakan pneumotorak artifisial atau karena
luka-luka yang menembus paru-paru. kematian dapat terjadi akibat gelembung udara masuk
pembuluh darah koroner atau otak.
c. Emboli lemak.
Emboli lemak dapat terjadi pada trauma tumpul yang mengenai jaringan berlemak atau
trauma yang mengakibatkan patah tulang panjang. Akibatnya jaringan jaringan lemak akan
mengalami pencairan dan kemudian masuk kedalam pembuluh darah vena yang pecah
menuju atrium kanan, ventrikel kanan dan dapat terus menuju daerah paru-paru.
d. Pneumotorak
Jika dinding dada menderita luka tembus atau paru-paru menderita luka, sementara paru-paru
itu sendiri tetap berfungsi maka luka berfungsi sebagai ventil. Akibatnya, udara luar atau
udara paru-paru akan masuk ke rongga pleura setiap inspirasi.
Semakin lama udara yang masuk ke rongga pleura semakin banyak yang pada akhirnya akan
menghalangi pengembangan paru-paru sehingga pada akhirnya paru-paru menjadi kolap.
e. Emfisema kulit krepitasi
Jika trauma pada dada mengakibatkan tulang iga patah dan menusuk pau-paru maka pada
setiap ekspirasi udara, paru-paru dapat masuk ke jaringan ikat di bawah kulit. Pada palpasi
akan terasa ada krepitasi disekitar daerah trauma. Keadaan seperti ini tidak mungkin terjadi
jika trauma terjadi sesudah orang meninggal.
b) Umur Luka 5,9,10
Untuk mengetahui kapan kapan terjadi kekerasan, perlu diketahui umur luka. Tidak ada
satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat kapan suatu kekerasan (baik
pada korban hidup atau mati) dilakukan mengingat adanya faktor individual, penyulit
(misalnya infeksi, kelainan darah, atau penyakit defisiensi).
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memperkirakannya, yaitu dengan
melakukan :
1. Pemeriksaan Makroskopik.
Pemeriksaan dengan mata telanjang atas luka dapat memperkirakan berapa umur luka
tersebut. Pada korban hidup, perkiran dihitung dari saat trauma sampai saat diperiksa dan
pada korban mati, mulai dari saat trauma sampai saat kematiannya.
Pada kekerasan dengan benda tumpul, umur luka dapat diperkirakan dengan mengamati
perubahan-perubahan yang terjadi. Mula-mula akan terlihat pembengkakan akibat ekstravasai
dan inflamasi, berwarna merah kebiruan. Sesudah 4 sampai 5 hari warna tersebut berubah
menjadi kuning kehijauan dan sesudah lebih dari seminggu menjadi kekuningan. Pada luka
robek atau terbuka dapat diperkirakan umurnya dengan mengamati perubahan-perubahannya.
Dalam selang waktu 12 jam sesudah trauma akan terjadi pembengkakan pada tepi luka.
Selanjutnya kondisi luka akan didominasi oleh tanda-tanda inflamasi dan disusul tanda
penyembuhan.
2. Pemeriksaan mikroskopik
Perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopik pada korban mati. Selain berari guna bagi
penentuan intravitalitas luka, juga dapat menentukan umur luka secara lebih teliti dengan
mengamati perubahan-perubahan histologiknya.
Menurut Walcher, Robertson dan hodge, infiltrasi perivaskular dari lekosit polimorfnuklear
dapat dilihat dengan jelas pada kasus dengan periode-periode survival sekitar 4 jam atau
lebih. Dilatasi kapiler dan marginasi sel lekosit mungkin dapat lebih dini lagi, bahkan
beberapa menit sesudah trauma.
Pada trauma dengan iinflamasi aseptik, proses eksudasi akan mencapai puncaknya dalam
waktu 48 jam.
Epitelisasi baru terjadi hati ketiga, sedang sel-sel fibroblas mulai menunjukkan perubahan
reaktif sekitar 15 jam sesudah trauma. Tingkat proliferasi tersebut serta pembentukan kapiler-
kapiler baru sangat variatif, biasanya jaringan granulasi lengkap dengan vaskularisasinya
akan terbentuk sesudah 3 hari. Serabut kolagen yang baru juga mulai terbentuk 4 atau 5 hari
sesudah trauma.
Pada luka-luka kecil, kemungkinan jaringan parut tampak pada akhir minggu pertama.
Biasanya sekitar 12 hari sesudah trauma, aktivitas sel-sel epitel dan jaringan di bawahnya
mengalami regresi. Akibatnya jaringan epitel mengalami atrofi, vaskularisasi jeringan di
bawahnya juga berkurang diganti serabut-serabut kolagen. Sampai beberapa minggu sesudah
penyembuhannya, serabut elastis masih lebih banyak dari jaringan yang tidak kena trauma.
Perubahan histologik dari luka sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya infeksi karena infeksi
akan menghambat proses penyembuhan luka.
3. Pemeriksaan histokemik
Perubahan morfologik dari jaringan hidup yang mendapat trauma adalah akibat dari
fenomena fungsional yang sejalan dengan aktifitas enzim, yaitu protein yang berfungsi
sebagai katalisator reaksi biologik.
Pemeriksaan histokemik ini didasarkan pada reaksi yang dapat dilihat dengan pemeriksaan
mikroskopik dengan menambahkan zat-zat tertentu.
Mula-mula luka atau bagian dari luka dipotong dengan menyertakan jaringan di sekitarnya,
kira-kira setengah inci. Separo dari potongan itu difiksasi dengan mengunakan formalin 10%
di dalam refrigerator dengan suhu 4 derajat celcius sepanjang malam untuk membuktikan
adanya aktifitas esterase dan fosfatase. Separonya lagi dibekukan dengan isopentane dengan
menggunakan es kering guna mendeteksi adanya adenosine triphosphatase dan
aminopeptidase.
Peningkatan aktifitas adenosine triphosphatase dan esterase dapat dilihat lebih dini setengah
jam setelah trauma. Peningkatan aktifitas aminopeptidase dapat dilihat sesudah 2 jam, sedang
peningkatan acid phosphatase alkali phophatase sesudah 4 jam.

4. Pemeriksaan biokemik
Meskipun pemeriksaan histokemik telah banyak menolong, tetapi reaksi trauma yang
ditunjukkan masih memerlukan waktu yang relatif panjang, yaitu beberapa jam sesudah
trauma. Padahal yang sering terjadi, korban mati beberapa saat sesudah trauma sehingga
belum dapat dilihat reaksinya dengan metode tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemeriksaan biokemik.
Histamin dan serotinin merupakan zat vasoaktif yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
inflamasi akut, terutama pada stadium awal trauma. Penerapannya bagi kepentingan forensik
telah diplubikasikan pertama kali pada tahun 1965 oleh Vazekas dan Viragos-Kis. Mereka
melaporkan adanya kenaikan histamin bebas pada jejas jerat antemortem pada kasus gantung.
Oleh peneliti lain kenaikan histamin terjadi 20-30 menit sesudah trauma, sedang serotonin
naik setelah 10 menit.

II.6. Akibat Trauma 9,11,12


1. Aspek Medik
Berdasarkan prinsip inersia (principle of inertia) dari Galileo Galilei, setiap benda akan tetap
pada bentuk dan ukurannya sampai ada kekuatan luar yang mampu merubahnya. Selanjutnya
Isaac Newton dengan 3 buah hukumnya berhasil menemukan metode yang dapat dipakai
untuk mengukur dan menghitung energi.
Dengan dasar-dasar tadi maka dapat diterangkan bagaimana suatu energi potensial dalam
bentuk kekerasan berubah menjadi energi kinetik yang mampu menimbulkan luka, yaitu
kerusakan jaringan yang dapat disertai atau tidak disertai oleh diskontinuitas permukaan
kulit.
Konsekuensi dari luka yang ditimbulkan oleh trauma dapat berupa :
1. Kelainan fisik / organik.
Bentuk dari kelainan fisik atau organik ini dapat berupa :
- Hilangnya jaringan atau bagian dari tubuh.
- Hilangnya sebagian atau seluruh organ tertentu.
2. Gangguan fungsi dari organ tubuh tertentu.
Bentuk dari gangguan fungsi ini tergantung dari organ atau bagian tubuh yang terkena
trauma. Contoh dari gangguan fungsi antara lain lumpuh, buta, tuli atau terganggunya fungsi
organ-organ dalam.
3. Infeksi.
Seperti diketahui bahwa kulit atau membrana mukosa merupakan barier terhadap infeksi.
Bila kulit atau membrana tersebut rusak maka kuman akan masuk lewat pintu ini. Bahkan
kuman dapat masuk lewat daerah memar atau bahkan iritasi akibat benda yang
terkontaminasi oleh kuman. Jenis kuman dapat berupa streptococcus, staphylococcus,
Eschericia coli, Proteus vulgaris, Clostridium tetani serta kuman yang menyebabkan gas
gangren.
4. Penyakit.
Trauma sering dianggap sebagai precipitating factor terjadinya penyakit jantung walaupun
hubungan kausalnya sulit diterangkan dan masih dalam kontroversi.
5. Kelainan psikik.
Trauma, meskipun tidak menimbulkan kerusakan otak, kemungkinan dapat menjadi
precipitating factor bagi terjadinya kelainan mental yang spektrumnya amat luas; yaitu dapat
berupa compensational neurosis, anxiety neurosis, dementia praecox primer (schizophrenia),
manic depressive atau psikosis. Kepribadian serta potensi individu untuk terjadinya reaksi
mental yang abnormal merupakan faktor utama timbulnya gangguan mental tersebut;
meliputi jenis, derajat serta lamanya gangguan. Oleh sebab itu pada setiap gangguan mental
post-trauma perlu dikaji elemen-elemen dasarnya yang terdiri atas latar belakang mental dan
emosi serta nilai relatif bagi yang bersangkutan atas jaringan atau organ yang terkena trauma.
Secara umum dapat diterima bahwa hubungan antara kerusakan jaringan tubuh atau organ
dengan psikosis post trauma didasrkan atas :
- Keadaan mental benar-benar sehat sebelum trauma.
- Trauma telah merusak susunan syaraf pusat.
- Trauma, tanpa mempersoalkan lokasinya, mengancam kehidupan seseorang.
- Trauma menimbulkan kerusakan pada bagian yang struktur atau fungsinya dapat
mempengaruhi emosi organ genital, payudara, mata, tangan atau wajah.
- Korban cemas akan lamanya waktu penderitaan.
- Psikosis terjadi dalam tenggang waktu yang masuk akal.
- Korban dihantui oleh kejadian (kejahatan atau kecelakaan) yang menimpanya.

2. Aspek Yuridis 9,12


Jika dari sudut medik, luka merupakan kerusakan jaringan (baik disertai atau tidak disertai
diskontinuitas permukaan kulit) akibat trauma maka dari sudut hukum, luka merupakan
kelainan yang dapat disebabkan oleh suatu tindak pidana, baik yang bersifat intensional
(sengaja), recklessness (ceroboh), atau negligence (kurang hati-hati). Untuk menentukan
berat ringannya hukuman perlu ditentukan lebih dahulu berat ringannya luka.
Kebijakan hukum pidana didalam penentuan berat ringannya luka tersebut didasarkan atas
pengaruhnya terhadap :
- Kesehatan jasmani.
- Kesehatan rohani.
- Kelangsungan hidup janin di dalam kandungan.
- Estetika jasmani
- Pekerjaan jabatan atau pekerjaan mata pencaharian.
- Fungsi alat indera :
1. Luka ringan.
Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya.
2. Luka sedang.
Luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencahariannya untuk sementara waktu.
3. Luka berat.
Luka yang sebagaimana diuraikan di dalam pasal 90 KUHP, yang terdiri atas:
a. Luka atau penyakit yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna.
Pengertian tidak akan sembuh dengan sempurna lebih ditujukan pada fungsinya. Contohnya
trauma pada satu mata yang menyebabkan kornea robek. Sesudah dijahit sembuh, tetapi mata
tersebut tidak dapat melihat.
b. Luka yang dapat mendatangkan bahaya maut. Dapat mendatangkan bahay maut
pengertiannya memiliki potenis untuk menimbulkan kematian, tetapi sesudah diobati dapat
sembuh.
c. Luka yang menimbulkan rintangan tetap dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencahariannya. Luka yang dari sudut medik tidak membahayakan jiwa, dari sudut hukum
dapat dikategorikan sebagai luka berat. Contohnya trauma pada tangan kiri pemain biola atau
pada wajah seorang peragawati dapat dikategorikan luka berat jika akibatnya mereka tidak
dapat lagi menjalankan pekerjaan tersebut selamanya.
d. Kehilangan salah satu dari panca indera. Jika trauma menimbulkan kebutaan satu mata
atau kehilangan pendengaran satu telinga, tidak dapat digolongkan kehilangan indera.
Meskipun demikian tetap digolongkan sebagai luka berat berdasarkan butir (a) di atas.
e. Cacat besar atau kudung.
f. Lumpuh.
g. Gangguan daya pikir lebih dari 4 minggu lamanya. Gangguan daya pikir tidak ahrus
berupa kehilangan kesadaran tetapi dapat juga berupa amnesia, disorientasi, anxietas, depresi
atau gangguan jiwa lainnya.
h. Keguguran atau kematian janin seorang perempuan. Yang dimaksud dengan keguguran
ialah keluarnya janin sebelum masa waktunya, yaitu tidak didahului oleh proses sebagaimana
umumnya terjadi seorang wanita ketika melahirkan. Sedang, kematian janin mengandung
pengertian bahwa janin tidak lagi menunjukkan tanda-tanda hidup. tidak dipersoalkan bayi
keluar atau tidak dari perut ibunya.

II.7. Kualifikasi Luka 5,9,13


Pengertian kualifikasi luka disini semata-mata pengertian Ilmu Kedokteran Forensik sesuai
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XX pasal 351 dan 352 serta Bab
IX pasal 90.

Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian,
diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi
bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 90
Luka berat berarti:
(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut
(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
(3) Kehilangan salah satu pancaindera;
(4) Mendapat cacat berat;
(5) Menderita sakit lumpuh;
(6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
(7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Luka pada Ilmu Kedokteran Forensik merupakan salah satu bagian terpenting. Luka bisa
terjadi pada korban hidup maupun korban mati. Luka bisa terjadi akibat kekerasan mekanik,
kekerasan fisik, & kekerasan kimiawi. Luka dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis benda,
yaitu akibat kekerasan benda tumpul, akibat benda tajam, akibat tembakan senjata api, akibat
benda yang muda pecah, akibat suhu/temperatur, akibat trauma listrik, akibat petir, dan akibat
zat kimia korosif.
Selain itu luka bisa diketahui waktu terjadinya kekerasan, apakah luka terjadi antemortem
atau postmortem. Terkadang dari luka kita bisa mengetahui umur luka. Walaupun belum ada
satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat kapan suatu kekerasan dilakukan
mengingat adanya berbagai macam faktor yang mempengaruhinya; seperti faktor infeksi,
kelainan darah, atau penyakit defisiensi.
Dari deskripsi luka kita sebagai dokter juga dapat membantu pihak hukum untuk menentukan
kualifikasi luka sesuai dengan KUHP Bab XX pasal 351 dan 352 serta Bab IX pasal 90. Yang
pada tindak pidana untuk menentukan hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan
dengan melihat deskripsi luka yang kita buat. Oleh karena itu diharapkan kita sebagai calon
dokter yang nantinya sebagai dokter di masyarakat umum akan banyak menemukan kasus
kekerasan yang menyebabkan luka baik pada korban hidup maupun korban mati, bisa
mendeskripsikan luka sebaik-baiknya dalam Visum et Repertum.

III.2 Saran
1. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter mampu mendiskripsikan luka sehingga
mampu membuat Visum et Repertum yang baik dan benar.
2. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter tidak hanya mempelajari ilmu kedokteran
tetapi juga mengetahui hukum kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai