Anda di halaman 1dari 5

Jawaban UTS Psikologi Perkembangan

Dosen : Elis Yulia Ningsih, M.Psi., Psikolog

Nama : Agus Eryanto ( 118207049 )

Analisa Kasus

Pada UTS kali ini, saya coba menganalisa kasus 2 dari 3 kasus yang ada. Pada kasus 2 ini
yang menjadi objek analisa adalah J, seorang anak laki-laki yang berusia 8 tahun. J memiliki
masalah dengan belajar di sekolah. Sekolah mengeluhkan akan kemampuan belajar J yang
mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Jika melihat kasus J, J sebetulnya melalui tahap
perkembangan dari aspek perkembangan hubungan dengan teman sebaya dengan baik. J bisa
diterima oleh teman sebayanya dan cenderung J bisa cepat bergaul dengan teman sebayanya
dengan cepat.

Masalah J dalam menulis tidak lepas dari masalah perkembangan motorik pada usia
sebelum masuk pertengahan dan akhir anak-anak. Sebelum masuk tahapan tersebut,
seharusnya J sudah mendapatkan stimuli dari keluarga berkaitan dengan menulis. Kenapa
demikian? Pada usia J yang sudah 8 tahun namun masih memiliki bentuk huruf yang belum
rapih yang seharusnya J sudah tidak ada masalah lagi dengan penggunaan tangan dalam
menulis. Pada usia 8 – 10 tahun, tangan sudah dapat digunakan secara bebas, mudah dan tepat
(Desmita, 2017). Hal ini lah efek dari kurangnya stimuli belajar J dari orang tua. Koordinasi
motorik halus juga sudah berkembang dan anak pada usia ini sudah bisa menulis dengan baik.
Huruf yang dituliskan oleh anak pada usia ini seharusnya sudah rapih dan lebih kecil
dibandingkan pada tahap prasekolah. Dalam kelanjutannya disebutkan bahwa pada usia 10 – 12
tahun, anak sudah memperlihatkan keterampilan gerakan-gerakan yang kompleks, rumit, dan
cepat. Hal ini diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan yang bermutu bagus atau
memainkan intrumen musik (Santock, 1995; dalam Desmita, 2017).

Melihat kasus J yang masih memiliki masalah dengan motorik halus, menjadi ragu
apakah J bisa mencapai tahap berikutnya. Sepintas terlihat masalah keluarga J yang tidak
konsisten dalam memberikan aturan, sepertinya keluarga J juga tidak begitu memperhatikan
stimuli-stimuli apa yang harus diberikan sebelum masuk tahap usia sekolah, akibatnya J
kesulitan dalam menulis. Pada usia prasekolah, anak seharusnya diberikan stimuli untuk
melatih motorik halus seperti belajar mewarnai suatu bentuk, mencoret-coret buku meskipun
bentuk yang dibuat tidak jelas, namun paling tidak anak mengenal alat-alat instrument untuk
menulis, serta kegiatan-kegiatan yang merangsang saraf motorik halus anak.

Permasalahan mengenai J yang susah dalam menerima pelajaran, J juga sepertinya


memiliki masalah dengan perkembangan memorinya. Pada usia J yang sudah 8 tahun, memori
jangka pendek J sudah berkembang dengan baik. Meskipun pada tahap ini memori jangka
panjang tidak mengalami peningkatan yang berarti, anak-anak mencoba menggunakan
beberapa strategi dalam mengasah memori jangka panjang mereka. Namun, terkadang strategi
mereka yang keliru dan tidak menggunakan strategi yang efektif. Pada masa ini peranan orang
tua sebagai tempat untuk memberikan saran dan membantu proses belajar mereka penting.
Pada permasalahan J yang kurang bisa dalam mengorganisasikan informasi agar bisa
memaksimalkan memori jangka panjangnya dalam menyimpan informasi pelajaran. Faktor lain
yang mungkin memengaruhi J dalam mengingat pelajaran adalah ketidakfokusan pada
pelajaran karena permasalah di rumah. Aturan rumah yang tidak konsisten terkadang menjadi
beban tersendiri bagi individu, sadar atau tidak hal tersebut akan dibawa dan dirasakan oleh J
dan mengganggu konsentrasi mengingatnya. Hal ini akan mengalihkan perhatian terhadap
pelajaran karena permasalahan di rumah tersebut. Jika melihat dari teori Erik Erickson, J berusia
8 tahun dan berada dalam tahapan industry versus inferiority. Tahap ini adalah tahap anak-anak
sudah masuk dalam lingkungan sekolah.

Pada usia ini anak mulai mengerahkan energi untuk penguasaan materi, pengetahuan,
keterampilan, dan lain-lain (Desmita, 2017). Namun pada tahap ini, J dengan kemampuan
akademisi dan daya ingat yang kurang, J tidak berhasil menguasai keterampilan dan tugas-tugas
yang dipilihnya. Ini lah faktor yang menyebabkan J tidak percaya diri dalam menjawab
pertanyaan atau dalam melaksanakan tugas-tugas. Rasa rendah diri dalam usia J yang 8 tahun
muncul ketika J tidak berhasil melalui tahapan psikososial Erik Erickson. Jika melihat satu step
kebelakang pada tahapan Erik Erickson, J sudah ada masalah juga pada tahap ketiga antara
prakarsa dan rasa bersalah. Dengan aturan rumah yang tidak konsisten, J menjadi anak yang
merasa bersalah karena ketidakkonsistenan aturan rumah. Ketidakkosnistenan itu bisa berupa,
perlakuan yang tidak adil antara J dan saudara kandungnya. Misalkan saat J pulang terlambat, J
kena hukuman namun saat adiknya terlambat, adiknya hanya diingatkan lisan saja. Efek dari
tidak terlaluinya tahap 3 ini juga salah satunya adalah yang terjadi pada J saat menemui
kesulitan, J langsung meminta bantuan orang lain dan J enggan mengambil inisiatif untuk
menyelesaikannya. Tidak sampai tahap ini saja, tahap ke dua juga antara otonimi versus rasa
malu dan ragu yang tergambar jelas dari J yang tidak percaya diri saat menghadapi kesulitan
(Desmita, 2017 h. 43).

Kondisi J yang merasa bahwa di rumah aturan yang diberikan cenderung tidak konsisten
akan berakibat pada bentuk kekecewaan dan protes J dalam keluarga. Dalam masa
perkembangan usia anak-anak terjadi kemerosotan hubungan dengan keluarga. Pada usia ini
anak menghabiskan 40% waktu bersama dengan teman sebayanya (Santock, 1995 dalam
Desmita 2017). Jika melihat pada tahap perkembangan di masa ini, perkembangan kognitif yang
semakin matang, maka pada masa pertengahan dan akhir, anak secara berangsur-angsur lebih
banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-
aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya
(Desmita, 2017, h. 183). Namun yang terjadi pada J adalah penolakan dengan menunjukkan
sikap semaunya dan sulit dikendalikan dan diarahkan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk respon
anak dalam keluarga karena ketidakkonsistenan aturan. Anak mungkin berpikir “buat apa juga
saya mematuhi aturan, aturan tersebut berlaku tidak pada semua anggota keluarga juga”.
Perspektif yang timbul dalam diri J ini yang nantinya akan memengaruhi dalam bersikap dan
berperilaku, itulah sebabnya J sulit diarahkan dan susah untuk patuh sebelum orang tuanya
marah dengan bernada tinggi.

Pada masa perkembangan prasekolah ada beberapa tugas perkembangan J yang tidak
selesai. Selain itu juga pada 8 tahapan menurut teori Erik Erickson juga ada tahapan yang tidak
dilalui dengan baik. Perkembangan kognitif J yang juga ada masalah dalam memori jangka
panjang, J tidak bisa mengingat dengan baik pelajaran yang diberikan. Kemudian J juga memiliki
masalah dalam perkembangan hubungan dengan orang tua. Banyak orang tua beranggapan
bahwa mereka bisa melepaskan anak mereka begitu saja. Padahal orang tua harus terus
memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam usaha memelihara diri mereka sendiri,
meskipun monitoring tersebut tidak dilakukan secara langsung.

Pandangan Lain

Dalam pandangan analisa lain mengenai kemampuan menulis J yang tidak baik sampai
tidak bisa terbaca, bahkan dalam satu kalimat tanpa spasi, huruf ada yang hilang. Bisa saja J
mengalami gangguan dyslexia. Dyslexia merupakan salah satu jenis kesulitan belajar, terutama
kesulitan dalam membaca dan menulis. Mulyadi, (2010: 164) menuliskan bahwa dyslexia
merupakan gangguan yang bersifat heterogen, dan masing - masing ahli memiliki pendapat
yang berbeda-beda dalam melakukan studi dyslexia.

Pendekatan kognitif diajukan oleh Piaget, yang memandang kemampuan bahasa


sebagai salah satu kemampuan yang berkembang dari proses pematangan kognitif. Penyebab
yang mungkin terjadi pada J adalah faktor kognitifnya, J yang mungkin kurang mendapatkan
pola artikulasi bahasa dan kurangnya kesadaran fonologi pada J selagi kecil. Namun jika melihat
perlakuan keluarga pada J, bisa juga penyebab dyslexia pada J adalah dari faktor perilaku, yaitu
masalah dalam hubungan sosial dengan keluarga, stress yang merupakan implikasi dari
kesulitan belajar, serta gangguan motorik. Seperti yang diketahui, J kerap mendapatkan akibat
dari ketidakkonsistenan aturan keluarga, selain itu J juga sering mendengarkan orang tua marah,
ada rasa ketidaknyamanan yang dirasakan J dalam dirinya. Memang pada masa pertumbuhan di
usia pertengahan dan akhir ini kesadaran akan diri dan pemahaman terhadap diri sendiri
mengalami perubahan sangat pesat (Desmita, 2017 ;181). Jika memang J ini mengidap
gangguan dyslexia, metode belajar yang dilakukan J juga harus pas. Metode belajar tidak bisa
disamakan dengan yang lain. Ada 3 metode yang disarankan berdasarkan dan mungkin salah
satunya bisa diberlakukan untuk J, yaitu:

1. Metode Fernald, metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata
yang diucapkan oleh anak, dan tiap kata diajarkan secara utuh
2. Gillingham, aktivitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan
perpaduan huruf-huruf tersebut

3. Analisis Glass, metode ini bertolak dari asumsi yang mendasari membaca sebagai
pemecahan sandi atau kode tulisan

Dari ketiga metode belajar yang paling cocok adalah metode Fernald. Pada metode ini, J
dilakukan bimbingan secara khusus. Metode ini sering dikenal dengan istilah VAKT (Visual,
auditory, kinestetik, dan tactile). Metode ini memiliki empat tahap yang harus dilalui, yaitu
pertama guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas. Selanjutnya anak menelusuri
tulisan tersebut dengan jarinya. Pada saat itu juga anak melihat, dan mengucapkan dengan
keras. Memang J tidak memiliki masalah dengan membaca, namun untuk bisa menulis juga
diawali membaca tulisan-tulisan. Hal seperti ini bisa dilakukan J berulang kali sampai informasi
yang disampaikan gitu.

Peran serta guru dan orang tua dalam membantu dan melengkapi tugas perkembangan
pada anak memang diperlukan. Jangan sampai ada satu tahapan yang hilang, jika memang
sudah terjadi dan terbentuk demikian. Maka penangan yang benar terhadap anak juga harus
segera dilakukan. Sekolah juga harus menjadi tempat yang nyaman bagi siswa sekolah. Seperti
yang digagas oleh Seifert dan Hoffnung (1994, dalam Desmita, 2017) bahwa sekolah juga
mempunyai pengaruh sangat penting bagi perkembangan selama masa pertengahan dan akhir.

Sekian analisa dari kasus J yang bisa dijelaskan.

Terimakasih

Salam

Agus Eryanto

Anda mungkin juga menyukai