Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN Di Ruang INTENSIV Dengan


“CKR (Cedera Kepala Ringan)”

Disusun oleh :

Di susun oleh :
Firda Nur Rosidah (14401.16.17013)

STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG


PAJARAKAN- PROBOLINGGO
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
Dengan CKR (Cedera Kepala Ringan)

1.1. Pengertian
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif , psikososial, bersifat
temporer atau permanen.
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do
sekitar jaringan otak.

1.2. Etiologi
1 Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang
dapat mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local.
Kerusakan local meliputi Contosio serebral,hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
2 Trauma tumpul trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer,cerebral,batang otak atau keduanya
1.3. Klasifikasi
Cedera Kepala menurut dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) adalah sebagai
berikut :
Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/ringan GCS 13-15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral dan
hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah
yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
Berat GCS 3-8
Kehilangan kesdaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi,
atau hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS
sebagai berikut :
 Eye : nilai 1 atau 2
 Motorik : nilai 5 taau <5
 Verbal : nilai 2 atau 1

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala


yang muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai
dalam penentuan derajat kepala.
Sedangkan menurut Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera
kepala dapat dibedakan menjadi :
a) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang
tengkorak dan jaringan otak. Luka kepala terbuka akibat cedera
kepala pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera
pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari
benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman/pathogen memiliki akses masuk langsung ke otak.
b) Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger
otak ringan dan oedem serebral yang luas.

1.4 Manifestasi klinis


1 Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani
perobital ecimos (brill haematoma), memar di daerah mastoid (battle
sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra
penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan vertigo.
2. Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari 5
menit, amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah.
Contusion dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam
contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai berikut :
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan
atau cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai
batang otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan
keabnormalam pupil.
1.5 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan
laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal
dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas
tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala
traumatik berat.
a) Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi.
Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas
akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang
diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan
tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses
primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung
pada daerah yang terkena.
b) Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma
menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab
sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia
dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi
menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan
terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak
sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan
hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal
bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan
gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera
kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus.
Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi
di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi
sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari
pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya
hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan
dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga
disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat
mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat
fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang
terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus,
regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber,
lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan
kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak
dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion
basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus
panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak
teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan
menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang
terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan
alkalosisi respirator
PATWHAY

Trauma Kepala

Cedera primer (langsung) Cedera sekunder (tak langsung)

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitus
jaringan kulit, otot dan Terputusnya kontinuitus Kerusakan saraf otak
jaringan (contusio, laserasi)
vaskuler

Gangguan Perdarahan
Perubahan sirkulasi Produl ATP
autoregulasi hematoma
CSS menurun

Kekurangan energi
Edema
cerebral Nyeri akut
Proses dalam
metabolisme otak
terganggu fatig

Resiko ketidakefektifan
Penurunan perfusi jaringan serebral Peningkatan TIK Defisit
suplai darah dan perawatan diri
oksigen

Mual dan muntah

Perubahan pola
nafas Sesak
Anoreksia

Ketidakefektifan
pola nafas Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
1.6 Pemeriksaan Penunjang
a) CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
d) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
f) MRI (Magnetic Resonance Imaging) : untuk mengevaluasi cedera
vascular serebral dengan cara noninvasive.
g) EEG (elektro ensefalogram) : mengukur aktivitas gelombang otak
disemua regio korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta
mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal.
h) BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP
(Somatosensory Evoked Potensial) : pemeriksaan prognostic yang
bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah satu
pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakan diagnosis disfungsi
batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional yang
bermakna.

1.7 Komplikasi
1 Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera
kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari
gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distress pernapasan
dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing.
2. Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan
fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau
hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang
temporal
3. Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
2) Gangguan penglihataN
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah
mengalami cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di
sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema
di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus,
skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative,
atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah
cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang
difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut
bersifat irreversible.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola
mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik.
Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa
diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.
5) Gangguan pendengaran
6) Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain
4. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan
untuk memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit
system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang
lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy
5. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
6. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala,
vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan
daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
7. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal
antara arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya
disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar pemeriksa dengan
menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan pembengkakan
konjungtiva, diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada
orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
8. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul
dalam minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.

1.8 Penatalaksanaan Medis


a. Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya
memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah
cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang
sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced
Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan
berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei
primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-
hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C
(circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control)
yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera
kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang
dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan
perfusi ke otak yang adekuat. Bila ada perdarahan eksterna, segera
hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah survei primer, hal
selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah
head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan
apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan
keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala
meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks
cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks
okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler)
dan refleks kornea.
b. Penatalaksanaan Khusus:
1) Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya
dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan
CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
a) Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental
dan gaya berjalan) dalam batas normal
b) Foto servikal jelas normal
c) Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati
pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk
segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan
d) Kriteria perawatan di rumah sakit:
e) Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada
CT Scan
f) Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
g) Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
h) Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
i) Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk
mengamati pasien di rumah
2) Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak
(komosio otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan
normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual,
muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial
lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
3) Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda
vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat
indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang
besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf
untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat
seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
a. Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
b. Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik
chin lift atau jaw trust.
c. Monitor tekanan darah
d. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien
dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
e. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin
normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada
pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan
dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
f. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons
hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100%
lebih tinggi dari normal.
g. Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak
dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau
kompres dingin.
h. Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena,
kemudian 300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak
menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10
hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil
pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan
komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai
pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-
72 jam).
i. Profilaksis trombosis vena dalam
j. Profilaksis ulkus peptic
k. Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien
dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi
dengan organisme yang lebih virulen.
l. CT Scan lanjutan

1.9 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan pengkajian psikososial. (Muttaqin, 2008)
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, nyeri kepala hebat,
bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat
kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya
terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak
sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan konia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan
lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh).
2. Pemeriksaan fisik
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi
dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala
2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan
dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan
menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit.
Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakahisokor atau anisokor serta bagaimana reflex
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis,
adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies
campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya
kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,
subconjunctival perdarahan, serta diplopia.
b. Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus,
pembengkakan, perdarahan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
c. Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
d. Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
e. Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap
tekstur, warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah
tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,
pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada
massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang
atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan,
cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal.Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.Kontrol
perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Toraks
1) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan
belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet,
memar, ruam , ekimosis, bekas luka, frekuensi dan kedalaman
pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan
otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral,
apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut
jantung, (Musliha, 2010)
2) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
3) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan.
4) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki,
wheezing, rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction
rub).
5) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan
sendorik.Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya
kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan
pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot),
rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon
sensori. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi penderita
dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat
imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan
fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita
masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Bila ada trauma
kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat
kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan
neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi
(ABC).Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural
atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Satyanegara,
2010).

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d Neuropati Perifer
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencendera fisik .
3. Defisit perawatan diri b.d gangguan muskuluskeletal.
INTERVENSI
No Dx Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Gangguan integritas Perawatan Integritas kulit (I.13531)
kulit/jaringan b.d 1. Observasi
Neuropati Perifer - Identifikasi penyebabb
gangguan integritas kulit
2. Terapeutik
- Gunakan produk
berbahan
petroleum/minyak pada
kulit kering
- Gunakan produk
berbahan ringan/alami
dan hipoalergic pada
kulit sensitive
- Hindari produk berbahan
dasar alcohol pada kulit
kering
3. Edukasi
- Ajnjurkan menggunakan
pelembab
- Anjurkan minum air yang
cukup
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatakan
asupan buah dan sayur
- Anjurkan mengindari
terpapar suhu ekstrim
- Anjurkan menggunakan
taber surya SPF mi,30
saat berda di luar rumah
Anjurkan mandi dan menggunakan
mandi secukupnya
2. Nyeri akut Setelah Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan dengan dilakukan 4. Observasi
agen pencendera tindakan - Identifikasi lokasi, karakteristik,
fisik .
keperawatan durasi, frekuensi, kualitas,
selama 2x 24 intensitas nyero
jam Nyeri - Identifikasi skala nyeri
berkurang dan - Identifikasi respon nyeri
mobilitas fisik - Non verbal
meningkat - Identifikasi faktir yang yang
memperberat dan memperingan
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan
keyaninan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
1. Terapeutik
- Berikan tekhnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
- Fasilitas istiraht dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
2. Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgesic secara tepat
- Ajarkan tekhnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
3. Kalaborasi
Kalaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
3. Defisit perawatan Dukungan perawatan diri
diri b.d gangguan 1. Observasi
muskuluskeletal. - Identifikasi kebiasaan
aktivitas perwatan diri sesuai
usia
- Monitor tingkat kemandirian
- Identifikasi kebutuhan alat
bantu kebersihan diri,
berpakaian, berhias,, dan
makan
2. Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang
terapeutik
- Siapkan keperluan pribadi
- Damping dalam perawatan
diri sampai mandiri
- Fasilitasi untuk menerima
keadaan ketergantungan
- Fasilitasi kemandirian, bantu
jika tidak mampu melakukan
perawatan diri
- Jadwalkan rutinitas
perawatan diri
3. Edukasi
- Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsistrn susai kemampuan
DAFTAR PUSTAKA

Adams, et al., (2007). American of Academy of Neurology affirms the value of this
guidelineasan Quality of Care Outcames in Research Interdiciplinary
Working. Groups. Stroke,;38:16655-1771. Journal Of Nursing 1(1).

Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda.


(2009). Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: ECG.

Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakranial &


gangguan peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.

Emergency Nurses Association. (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th


edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.

Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kementerian Kesehatan RI, (2013), Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafa. Jakarta : Salemba Medika.

Musliha.(2010). Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika.

RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta :


Media Aescupius.

Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2.Yogyakarta :
Salemba Medika.

Wilkinson, M. Judith. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC


NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC Medikal Publisher.

Anda mungkin juga menyukai