Anda di halaman 1dari 19

Awal mula penerbangan di Indonesia dimulai pada tahun 1913 yaitu

seorang penerbang asal Belanda bernama J.W.E.R Hilger berhasil


menerbangkan sebuah pesawat jenis Fokker dalam kegiatan
pameran yang berlangsung di Surabaya. Penerbangan tersebut
tercatat sebagai penerbangan pertama di Hindia Belanda (sekarang
Indonesia) meskipun berakhir dengan terjadinya kecelakaan namun
tidak menewaskan penerbangnya.
Melihat adanya prospek yang baik bagi penerbangan sipil maupun
militer di Indonesia, maka pada tahun 1924 sebuah pesawat jenis
Fokker F-7 milik maskapai penerbangan Belanda mencoba
melakukan penerbangan dari Bandara Schippol Amsterdam ke
Batavia (sekarang Jakarta). Penerbangan yang penuh petualangan
tersebut membutuhkan waktu selama 55 hari dengan berhenti di 19
kota untuk dapat sampai di Batavia dan berhasil mendarat di Cililitan
yang sekarang dikenal dengan Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
Pada tahun 1928 di Belanda telah berdiri sebuah perusahaan
patungan KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart
Maatschappij) yang terbentuk atas kejasama Deli Maatschappij,
Nederlandsch Handel Maatschappij, KLM, Pemerintah Hindia
Belanda dan perusahaan-perusahaan dagang lainnya yang
mempunyai kepentingan di Indonesia. Dengan mengoperasikan
pesawat jenis Fokker-F7/3B, KNILM membuka rute penerbangan
tetap Batavia-bandung sekali seminggu dan selanjutnya membuka
rute Batavia-Surabaya (pp) dengan transit di Semarang sekali setiap
hari. Setelah perusahaan ini mampu mengoperasikan pesawat udara
yang lebih besar seperti Fokker-F 12 dan DC-3 Dakota, rute
penerbangan pun bertambah yaitu Batavia-Palembang-Pekanbaru-
Medan bahkan sampai ke Singapura seminggu sekali.
Dengan suksesnya penerbangan pertama Belanda ke Jakarta, masih
diperlukan lima tahun lagi untuk dapat memulai penerbangan
berjadwal. Penerbangan tersebut dilakukan oleh perusahaan
penerbangan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij)
menggunakan pesawat Fokker F-78 bermesin tiga yang dipakai
untuk mengangkut kantong surat. Kemudian pada tahun 1931 jenis
pesawat yang dipakai diganti dengan jenis Fokker-12 dan Fokker-18
yang dilengkapi dengan kursi agar dapat mengangkut penumpang.
Pada tahun 1949, terjadi penerbangan bersejarah pesawat DC-3
dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair yang membawa
Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Kemayoran,Jakarta untuk
pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan
logo dan nama baru, Garuda Indonesian Airways, pemberian
Presiden Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.

ranspostasi Udara
Sejarah transportasi udara di Indonesia terkait dengan
sejarah kemerdekaan. Untuk kemudahan transportasi, pada
1948, mantan presiden Soekarno membeli dua pesawat tipe DC-
3 dari Singapura. Pembelian pesawat tersebut didanai para
pengusaha asal Aceh. Wilayah Aceh kala itu merupakan bagian
Indonesia yang belum tersentuh Belanda.
Sebagai bentuk penghargaan kepada Aceh, dua pesawat
tersebut dinamai RI-001 Seulawah Agam dan RI-002 Seulawah
Inong. Pesawat tersebut melakukan penerbangan pertama pada
26 Januari 1949 dengan rute penerbangan Calcutta-Rangoon.
Kedua pesawat tersebut menjadi cikal bakal perusahaan
penerbangan pertama tanah air yaitu Garuda Indonesia.
Industri penerbangan nasional dirintis tahun 1946 di
Yogyakarta oleh tim Angkatan Udara Republik Indonesia yang
dipelopori Wiweko Soepono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan J.
Sumarsono. Salah satu hasil rancangannya adalah pesawat Si
Kumbang yang melakukan penerbangan pertama pada 1 Agustus
1954.
Pada 26 April 1976 industri pesawat terbang itu berkembang
menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang
didirikan dengan DR. B.J. Habibie. Salah satu hasil karya IPTN
adalah prototipe pesawat turbo N-250 yang pertama kali terbang
selama 55 menit, pada 10 Agustus 1995. Namun industri pesawat
terbang ini harus berhenti karena kekurangan dana akibat krisis
moneter pada 1997.

Sebagai sebuah sistem, angkutan udara terdiri atas komponen-


komponen yang saling berkait dan berinteraksi satu dengan yang
lainnya. Komponen-komponen tersebut bersama-sama menjadi
sebuah sistem untuk menghasilkan sesuatu. Komponen-komponen
sistem angkutan udara, yaitu pengangkut atau pesawat udara,
terminal atau bandar udara, dan jalur udara (airways) sebagai media
terbang.
Bandar udara berinteraksi dengan pesawat udara, pesawat udara
berinteraksi dengan pengelola jalur udara, dan pengelola jalur udara
berinteraksi dengan bandar udara. Angkutan udara bertujuan untuk
memindahkan barang dan/atau penumpang melalui udara.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan
menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang,
kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu
bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar
udara.
Sementara perusahaan angkutan udara atau biasa disebut dengan
maskapai penerbangan dapat difenisikan yaitu sebuah organisasi
yang menyediakan jasapenerbangan bagi penumpang atau barang.
Mereka menyewa atau memiliki pesawat terbang untuk
menyediakan jasa tersebut dan dapat membentuk kerja sama atau
aliansi dengan maskapai lainnya untuk keuntungan bersama.
Jenis-Jenis Angkutan Udara yang Beroperasi Di Indonesia

Angkutan udara yang beroperasi di wilayah Indonesia terbagi


menjadi beberapa jenis sesuai peraturan dan regulasi yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan dijalankan oleh
Kementerian Perhubungan bagian Direktorat Perhubungan Udara
untuk dasar hukum bagi perusahaan angkutan udara yang
beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1. Angkutan Udara Niaga


Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan
memungut bayaran. Angkutan udara ini terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu :
Ø Angkutan Udara Niaga Dalam Negeri
adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan
udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah
NKRI.
Ø Angkutan Udara Niaga Luar Negeri
adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan
udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di
luar wilayah NKRI dan sebaliknya.

2. Angkutan Udara Bukan Niaga


Angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang digunakan
untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk
mendukung kegiatan pokoknya.

3. Angkutan Udara Perintis


Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara dalam
negeri yang melayani rute penerbangan untuk menghubungkan
daerah terpencil yang belum terlayani oleh moda transportasi lain
dan secara komersil belum menguntungkan.

1) Pengembangan Fasilitas Bandar Udara

Kegiatan pengembangan fasilitas bandar udara ditujukan untuk


meningkatkan kapasitas, tingkat keselamatan dan keamanan serta
kenyamanan transportasi udara. Pada tahun pertama Repelita VI telah
dilakukan perpanjangan landasan sepanjang 15.690 meter persegi di
Labuhan Bajo, Oksibil dan Fak-Fak, perluasan dan pembangunan
terminal di 9 lokasi seluas 10.674 meter persegi dan pembangunan
bangunan operasional seluas 2.454 meter persegi di 29 lokasi
terutama pada bandar udara kecil di kawasan timur Indonesia .
Di samping itu juga dilanjutkan perpanjangan landasan pada bandar
udara di Surakarta, Pangkalan Bun, Semarang dan Palu, persiapan
pengembangan bandar udara di Manado, Ambon, Ujung Pandang dan
Surabaya, dan pembangunan bandar udara perintis Pulau Batu
(Sumatera Utara).

Dalam upaya meningkatkan efisiensi maka pengembangan dan


investasi di bidang fasilitas bandar udara, dilaksanakan berpedoman pada
pengembangan pola jaringan hub dan spoke. Pada tahun 1994/95 telah
dilakukan penataan kelas bandar udara, termasuk beberapa bandar udara
yang semula melayani penerbangan khusus mulai difungsikan melayani
penerbangan umum dalam rangka membuka daerah terisolir dan daerah
terpencil terutama di kawasan timur Indonesia.

Pada tahun 1994/95 jumlah bandar udara meningkat menjadi 179


buah yang terdiri dari 59 bandar udara besar dan 120 bandar udara kecil.
Dari sejumlah 59 bandar udara besar tersebut, 6 bandar udara dapat
melayani pesawat sejenis B-747 yaitu bandar udara Polonia (Medan),
Juanda (Surabaya), Soekarno-Hatta (Jakarta), Halim Perdanakusuma
(Jakarta), Ngurah Rai (Bali) dan Frans Kaiseipo (Biak); 5 bandar udara
dapat didarati maksimum pesawat sejenis DC-10/A-300 masing-
masing bandar udara Hasanuddin (Ujung Pandang), Baucau (Timor-
Timur), Hang Nadim (Batam), Sam Ratulangi (Manado) dan El-Tari
(Kupang); 10 bandar udara untuk pesawat maksimum sejenis DC-9/B-737
yaitu Blang Bintang (Banda Aceh), Tabing (Padang), Simpang Tiga
(Pakanbaru), S.M. Badaruddin II (Palembang), Adi Sumarmo
(Surakarta), Adi Sucipto (Yogyakarta), Sepinggan (Balikpapan),
Pattimura (Ambon) dan Sentani (Jayapura); 18 bandar udara untuk
pesawat sejenis F-28 dan 20 bandar udara untuk pesawat F-27/CN-
235.

XIII/31
Di samping itu, untuk meningkatkan jasa penerbangan luar negeri
jumlah bandar udara yang melayani penerbangan ke luar negeri
ditambah dengan 4 bandar udara yaitu, di Banda Aceh, Bandung,
Mataram dan Ujung Pandang. Sejumlah 18 bandar udara telah
diserahkan pengelolaannya kepada BUMN untuk meningkatkan kerja
sama dengan swasta.

2) Pengembangan Keselamatan Penerbangan

Kegiatan pengembangan keselamatan penerbangan terutama


ditujukan untuk memenuhi persyaratan penerbangan internasional serta
meningkatkan kelancaran dan keamanan lalu lintas udara yang
mencakup upaya pengendalian lalu lintas penerbangan di seluruh
wilayah Indonesia. Peningkatan fasilitas keselamatan penerbangan dan
lalu lintas udara meliputi pemasangan dan rehabilitasi peralatan
telekomunikasi, navigasi udara, dan listrik.

Dalam rangka menunjang dan meningkatkan keselamatan


penerbangan yang memenuhi persyaratan internasional, kondisi dan
jumlah peralatan keselamatan terus ditingkatkan dan dilengkapi. Pada
tahun 1994/95 telah dipasang alat bantu navigasi penerbangan Non
Directional Beacon (NDB) pada 3 lokasi, alat komunikasi dari darat ke
pesawat berupa Very High Frequency-Extended Range (VHF-ER) di 5
lokasi, Aeronautical Fixed System - High Frequency Communication
System (AFS-HF Communication System) di 10 lokasi, Aeronautical
Fixed System - Leased Channel (AFS- Leased Channel) di 1 lokasi,
peralatan komunikasi yang digunakan pada jalur penerbangan domestik
(Regional-Domestic Air Route Area/R-DARA) pada 1 lokasi dan
peralatan untuk mendistribusikan berita secara otomatis (Automatic
Messages Switching Centre/AMSC) di 1 lokasi.

XIII/32
Dengan tambahan peralatan tersebut tingkat keselamatan bandar
udara akan meningkat. Peralatan navigasi udara, yang berupa NDB pada
tahun 1994/95, telah menjadi 238 unit. Peralatan komunikasi dari darat
ke pesawat yang terdiri dari VHF-ER, AFS-HF Communication System
dan AFS-Leased Channel meningkat, menjadi 353 unit. Alat komunikasi
R-DARA berada di 17 lokasi. Peralatan untuk mendistribusikan berita
secara otomatis (AMSC) telah digunakan pada 19 lokasi. Di samping
itu juga terus dilanjutkan peningkatan peralatan pengatur lalu lintas
udara di bandar udara Soekarno-Hatta/Jakarta.

3) Pembinaan dan Pengembangan Armada Udara

Kegiatan pembinaan dan pengembangan armada udara ditujukan


untuk meningkatkan pelayanan, keselamatan, dan keamanan serta
efisiensi pengoperasian armada udara. Untuk itu, kapasitas pelayanan,
baik oleh perusahaan penerbangan swasta maupun badan usaha milik
negara ditingkatkan dengan menambah pesawat baru maupun
mengganti pesawat udara yang sudah tua.

Pada tahun 1994/95 jumlah pesawat udara bertambah menjadi 889


buah yang terdiri dari 258 buah pesawat besar dan 631 buah pesawat
kecil, termasuk 212 helikopter. Jumlah pesawat yang beroperasi untuk
penerbangan berjadwal meningkat 3 persen, dari 230 pada tahun 1993/94
menjadi 237 pada tahun 1994/95. Peningkatan jumlah pesawat tersebut
merupakan hasil pengadaan pesawat sebanyak 10 buah pada tahun
1994/95, dan tidak beroperasinya 3 buah pesawat milik perusahaan
penerbangan swasta karena kecelakaan.

Perusahaan penerbangan berjadwal ada 6 perusahaan yang terdiri


dari 2 perusahaan milik pemerintah dan 4 perusahaan milik swasta.

XIII/33
Jumlah kota di luar negeri yang disinggahi perusahaan penerbangan
milik pemerintah sama dengan akhir Repelita V, namun yang disinggahi
oleh perusahaan milik swasta bertambah menjadi 9 kota, atau
meningkat sebesar 50 persen. Sedangkan jumlah perusahaan
penerbangan asing yang melayani penerbangan internasional di
Indonesia bertambah menjadi 37 perusahaan.

Kegiatan pengembangan armada tersebut telah meningkatkan pula


jumlah penumpang dalam negeri tahun 1994/95 sebesar 10,0 persen atau
naik menjadi 10.101 ribu orang. Meskipun jumlah barang yang diangkut
menurun menjadi 96.588 ton pada tahun 1994/95 atau turun sebesar 0,3
persen, namun efisiensi penggunaan ruang telah meningkat dari 48
persen pada tahun 1993/94 menjadi 55 persen pada tahun 1994/95.
Penurunan jumlah barang yang diangkut menunjukkan adanya kompetisi
angkutan antarmoda transportasi yang semakin tajam. Perkembangan
angkutan udara dalam negeri dapat dilihat pada Tabel XIII-14.

Jumlah penumpang rute luar negeri yang diangkut tahun 1994/95


juga telah meningkat sebesar 15,2 persen bila dibandingkan dengan
tahun 1993/94, atau menjadi 3.444 ribu orang. Demikian pula jumlah
barang yang diangkut meningkat dengan sebesar 22,8 persen bila
dibandingkan dengan tahun 1993/94, atau menjadi 119.540 ton.
Efisiensi penggunaan ruang pada penerbangan luar negeri juga makin
meningkat dilihat dari besarnya faktor muatan, yaitu pada tahun
1993/94 sebesar 45 persen dan pada tahun 1994/95 menjadi 52 persen.
Perkembangan angkutan udara luar negeri secara lebih rinci dapat
dilihat pada Tabel XIII-15.

Dalam upaya melayani penerbangan pada daerah terisolir,


penerbangan perintis terus meningkat. Penumpang yang diangkut pada
tahun 1994/95 berjumlah 262 ribu atau meningkat 15,9 persen.

XIII/34
Dalam rangka melayani para jemaah haji, pada tahun 1994/95 telah diangkut sebanyak 158 ribu orang
atau meningkat sebesar 26,4 persen dibanding tahun 1993/94.

ndonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau dan terpisahkan oleh
lautan.

Hal ini menyebabkan transportasi udara maupun laut memiliki peran yang vital dalam
menghubungkan berbagai daerah di nusantara baik untuk kepentingan sipil maupun militer.

Moda transportasi udara sendiri memiliki waktu tempuh yang sangat singkat dibandingkan
dengan moda transportasi laut.

Sehingga tidaklah mengherankan bila transportasi udara kita menjadi salah satu komponen yang
menjanjikan dengan peningkatan jumlah penumpang tertinggi se-Asia Pasifik yaitu sebesar 20%
setiap tahun.

Sebagai alat transportasi yang tumbuh dengan pesat, keamanan penerbangan di Indonesia tahun
ini mulai dipertanyakan.

Pasalnya, baru satu semester berjalan di tahun 2013, Indonesia telah dihantam dengan sejumlah
kecelakaan pesawat.

Kecelakaan pesawat pun baru saja dialami oleh Merpati M60 di Kupang yaitu peristiwa hantaman
keras saat mendarat (hard landing) yang mematahkan pesawat menjadi dua bagian.

Padahal, pada konferensi Indonesia Airline Safety Conference beberapa hari sebelumnya,
Menteri Perhubungan EE Mangindaan baru saja berpesan tentang pentingnya keselamatan
penerbangan dan menekankan banyaknya kecelakaan yang terjadi pada semester pertama tahun
ini.

Berkendara melalui jalur udara secara statistika memang merupakan jalur yang memiliki
presentase kecelakaan terendah.
Namun, perlu diingat bahwa setiap kecelakaan pesawat mengorbankan ratusan korban jiwa baik
penumpang maupun penduduk sekitar lokasi kecelakaan jika lokasi jatuh di pemukiman.

Selain itu, pesawat adalah sebuah kendaraan yang berharga sangat mahal, bahkan 1 pesawat
narrow body seperti Boeing 737 memiliki harga mendekati 1 triliun rupiah.

Kedua faktor tersebut sudah menjadi alasan yang kuat bagi sebuah armada penerbangan untuk
menjaga keselamatan penumpang dan aset mereka.

Penyebab kecelakaan pesawat ada bermacam-macam seperti kegagalan mesin, cuaca buruk,
kelalaian pilot maupun gangguan sistem navigasi.

Di antara permasalahan tersebut, kegagalan mesin adalah salah satu faktor yang paling mudah
dikontrol. Kita tidak bisa memprediksi kelalaian manusia dan perkiraan kondisi cuaca pun
memiliki kemungkinan untuk meleset, namun perawatan mesin adalah rutinitas wajib dan
terencana.

Memang, di bandara pesawat terlihat datang dan pergi begitu cepat, seakan tidak mengalami
fase istirahat dan perawatan.

Tidak semua orang tahu bahwa pesawat sebenarnya memiliki tahap pemeriksaan yang ketat dan
teratur sebelum pesawat tersebut dinyatakan layak terbang.

Sebuah pesawat memiliki perawatan berupa minor maintenance dan heavy maintenance. Minor
maintenance dilaksanakan sebelum keberangkatan (pre-fligt check), harian (daily\/overnight
check), dan mingguan (weekly check).
Perawatan minor, umumnya dilakukan hanya dalam orde puluhan menit hingga beberapa jam
dan difokuskan pada kerusakan yang dapat terlihat secara visual serta pembersihan kabin untuk
penerbangan berikutnya.

Heavy maintenance memiliki interval tertentu yang disebut sebagai clustering dan umumnya
dilakukan dalam hanggar perawatan pesawat. Clustering terdiri dari paket yang biasa disebut
sebagai A-Check, B-Check, C-Check dan D-Check.

Clustering merupakan proses perawatan yang rumit dan memerlukan tenaga ahli karena setiap
jenis pesawat memiliki komponen dan struktur yang berbeda. Tidak semua hanggar perawatan
dapat melakukan seluruh clustering tersebut bahkan untuk tipe pesawat yang banyak digunakan
sekalipun.

Besar interval dari clustering dapat ditentukan dari ukuran pesawat. Untuk pesawat narrow body
seperti Boeing 737, A-Check biasanya dilakukan dalam interval 250 FH (Flight Hours), B-Check
dalam interval 6 bulan, C-Check dalam interval sekitar 1 tahun, sedangkan D-Check biasanya
dilakukan setiap 4 tahun. Interval ini bervariasi sesuai kebijakan setiap maskapai penerbangan.

A-check adalah pengecekan secara visual bagian dalam dan bagian luar zona pesawat untuk
menyakinkan kelayakan terbang mesin pesawat dan sistem pesawat.

Selain itu, akan dilakukan peninjauan pada Aircraft Flight Log (AFL), Flight Data Recorder (FDR)
dan Cockpit Voice data Recorder (VDR).

A-check biasanya memakan waktu sekitar 20 man-hours. Man-hours adalah jumlah pekerja
dikalikan jumlah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

B-check terdiri dari pembersihan, lubrikasi, penggantian lampu-lampu luar dan dalam serta
pergantian baterai pesawat. B-check biasanya memakan waktu 150 man-hours dan membuat
pesawat harus tinggal di hanggar dalam waktu 1-3 hari.
C-check adalah pemeriksaan secara menyeluruh seluruh komponen pesawat termasuk
pemeriksaan fungsional sistem kabel di dalam pesawat.

Pada pengecekan ini pula dilakukan inspeksi terhadap kemungkinan munculnya korosi maupun
keretakan struktur pesawat. C-check memakan waktu hingga 6000 man-hours dan
mengharuskan pesawat untuk berada di dalam hanggar perawatan selama satu hingga dua
minggu.

D-check atau yang dikenal sebagai Heavy Maintenance Visit (HMV) adalah inspeksi untuk
mengecek seluruh bagian dari pesawat. Pada D-check pemeriksaan dilakukan terhadap korosi,
kelelahan logam, dan sistem listrik pesawat.

Selain itu, pembaruan kabin akan dilakukan, juga pengecatan untuk mencegah korosi dan
penggantian kabel kemudi. Biaya yang diperlukan mencapai beberapa juta dolar untuk setiap
pemeriksaan D-check.

Pemeriksaan ini memakan waktu hingga 50000 man-hours yang dikerjakan dalam waktu hampir
2 bulan. Untuk pengecekan D-check dibutuhkan hanggar perawatan yang memadai dan
peralatan yang berteknologi canggih.

Oleh karena besarnya biaya perawatan dan waktu yang dibutuhkan, pesawat yang dianggap
sudah tua umumnya dihentikan masa operasionalnya ketika masa D-check tiba.

Perawatan pesawat di Indonesia saat ini dapat dibilang tengah berada pada peningkatan pesat
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 lalu, 70% dari potensi omset
perawatan pesawat di Indonesia masih dipegang oleh pihak asing.

GMF AeroAsia sebagai pihak domestik pemegang 20% omset perawatan Indonesia di tahun 2011
kini telah mendirikan hanggar ke 4 nya yang akan beroperasi pada tahun 2014.

Hanggar ini merupakan hanggar terbesar GMF AeroAsia dengan kapasitas hingga 16 pesawat
narrow body seperti Boeing 737 dan Airbus 320. Lion Air yang merupakan maskapai dengan
kecepatan pertumbuhan terbesar kedua di dunia ini pun akan mendirikan hanggar perawatan
pesawat di Manado, setelah sebelumnya mendirikan hanggar pesawat di Batam.

Indonesia masih dapat mengalami pertumbuhan lebih jauh lagi pada bisnis perawatan pesawat
terbang. Sebagai negara kepulauan dengan pangsa lebih dari 240 juta penduduk, sudah
sewajarnya Indonesia dapat mengoptimalkan berbagai aspek di bidang transportasi udara.

Merawat pesawat secara mandiri, dengan bantuan asing seminimal mungkin adalah tugas yang
wajib diemban oleh industri penerbangan di Indonesia.

Hal ini akan menghemat devisa negara atau bahkan dapat menjadi sumber devisa bila kita
mampu menarik konsumen dari maskapai negara tetangga di kawasan ASEAN maupun Australia.
Kelak, industri penerbangan dapat menjadi ajang kebanggaan Indonesia di dunia internasional.

Dengan melihat potensi pasar penerbangan khususnya di bidang perawatan pesawat dan kelak
pada perakitan pesawat, hal ini perlu diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai.

Tenaga kerja sebagai teknisi maupun sarjana teknik yang berkualitas sangat diperlukan untuk
mengimbangi pertumbuhan pasar penerbangan.

Generasi penerus bangsa perlu mempersiapkan diri untuk menghadapinya baik dengan studi di
dalam negeri atau mengambil ilmu dari negara yang sudah selangkah lebih maju karena
perawatan bagian pesawat tertentu membutuhkan insinyur yang berlisensi dari industri pesawat
terbang yang bersangkutan.

Dalam hal ini, perhatian dari pemerintah sangat dibutuhkan dalam dukungan baik secara moral
maupun material.

Pemberian beasiswa dari pemerintah seperti program Beasiswa Unggulan maupun Bidik Misi
tentu akan membantu para mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan dana pembelajaran
sehingga terbentuklah Indonesia yang lebih maju, cerdas dan madani.
Sejarah
Monumen pesawat Dakota Seulawah 001 di lapangan Blang Padang, Banda Aceh

KSAU Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Biro
Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh
OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.

Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kemudian, Kepala Biro
Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam
rangka mencari dana.

Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaraja, Presiden Soekarno berhasil membangkitkan
patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said
Muhammad Alhabsji, berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg
emas.

Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi
pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota sumbangan dari rakyat
Aceh itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung
Emas".

Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra,


bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta
mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-
Payakumbuh-Maguwo.

Di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran
pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari
Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-
Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki
Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin
Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi
Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa
Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan
penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Burma (kini Myanmar).
Monumen
Berkas:Prasasti Replika Seulawah 001 di Blang Padang, Banda Aceh.jpg
Prasasti monumen pesawat Dakota Seulawah 001

Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan, beberapa jenis


pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa operasinya. Salah satunya adalah
jenis Dakota.

Namun, karena jasanya yang dinilai besar bagi cikal bakal berdirinya sebuah maskapai
penerbangan komersial di tanah air, TNI AU memprakarsai berdirinya sebuah monumen
perjuangan pesawat Dakota RI-001 Seulawah di Banda Aceh.

Pada tanggal 30 Juli 1984, Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani pun meresmikan monumen
yang terletak di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Pesawat aslinya tersimpan di Taman Mini
Indonesia Indah

Monumen ini menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi perjuangan
Republik Indonesia di awal berdirinya.

Sukarno dipersilakan menyebutkan kebutuhan urgen dari pemerintah. “Alangkah baiknya jika
Indonesia mempunyai kapal udara untuk membuat pertahanan negara dan mempererat
hubungan antara pulau dan pulau…” kata Sukarno.

Rakyat Aceh merogoh saku dan mencopot perhiasan yang ada di tubuh mereka. Begitu tingginya
semangat untuk berkorban, hingga konon antrian para donatur, baik orang kaya maupun rakyat
biasa, di beberapa masjid dan pusat pemerintahan Kotaradja (sekarang Banda Aceh) panjangnya
sampai ratusan meter. Beberapa jam kemudian terkumpulah dana sebesar 120.000 straits dollar
ditambah 20 kg emas. Dengan modal tersebut, Indonesia berhasil membeli RI-001 Seulawah
(Gunung Emas), pesawat kepresidenan pertama dalam sejarah Indonesia.
Baca juga:
Mempertanyakan Pengakuan Nyak Sandang

“Beureuh, setelah berhasil menghimpun dana untuk perjuangan RI, memohon kepada Sukarno
agar mengizinkan diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Bung Karno setuju, tetapi tidak bersedia
menandatangani surat persetujuan yang disodorkan Beureuh,” tulis Taufik Adnan Amal dan
Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syariat Islam Dari Indonesia sampai Nigeria.

Sayangnya, Sukarno kemudian tidak menepati janjinya. Demi alasan persatuan, dia menolak
pemberlakuan syariat Islam di wilayah manapun di Indonesia. Dia menegaskan dalam pidatonya
di hadapan rakyat Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953: “Indonesia adalah sebuah
negara nasional yang berideologi Pancasila, dan bukan sebuah negara teokrasi dengan haluan
agama tertentu,” demikian dikutip Mimbar Penerangan, Tahun IV, No.2, Februari 1953.

PRESIDEN Soekarno meminta rakyat Aceh membeli pesawat untuk memudahkan diplomasi dan
perhubungan udara. Rakyat Aceh menyanggupi membeli dua pesawat, Seulawah RI 001 dan
Seulawah RI 002, cikal bakal maskapai penerbangan Garuda Indonesia.

Pada pukul 14.00 siang 16 Juni 1948, usai defile angkatan perang dan Rapat Samoedra Esplanade
Koetardja di Lapangan Blangpadang, Kota Banda Aceh, Presiden Soekarno dan rombongan
dijamu makan siang oleh para saudagar Aceh dari Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh
(Gasida) di Aula Atjeh Hotel.

Sebelum jamuan makan, Presiden Soekarno menyampaikan pidato singkat di hadapan saudagar
dan pejabat Aceh. Saat itulah Soekarno meminta kepada saudagar Aceh untuk membeli sebuah
persawat terbang, untuk memudahkan diplomasi dan perjalanan ke berbagai daerah. Berikut ini
isi pidato singkat tersebut sebagaimana dimuat dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan.

Saudagar-saudagar adalah tonggak ekonomi kita, dan sebab itu bantulah usaha dan rancangan
Pemerintah Pusat untuk kebaikan perekonomian kita. Alangkah baiknya apa bila kaum saudagar
berusaha menyelenggarakan perhubungan-perhubungan antara satu pulau dengan pulau yang
lain, antara satu daerah dengan daerah yang lain, karena hal ini terasa oleh saya dalam perjalanan
ini betapa sukarnya perhubungan itu.

Antara satu kota dengan kota yang lain saja, sudah diceraikan oleh rimba raya yang memisahkan
kota-kota tersebut dengan jarak beratus-ratus kilometer. Sebab itu saya anjurkan, sebelum kita
memperkuat dan memperbaiki jalan-jalan mobil dan kereta api, ataupun perhubungan di laut,
sekarang kita usahakan membuka hubunga lalu-lintas di udara.

Di sini saya anjurkan supaya kaum saudagar akan membeli kapal udara, sebaiknya Dakota, dan
saya tidak berkeberatan tuan-tuan akan memberikan namanya sendiri untuk pesawat terbang
tersebut. di daerah-daerah yang saya kunjungi, telah disanggupi oleh daerah tersebut untuk
membeli kapal terbang untuk daerahnya. Kapal terbang itu dapat dipergunakan oleh saudagar-
saudagar guna keperluannya juga.

Yang sebaik-baiknya seluruh daerah mengumpulkan uang dan sekaligus membeli pesawat-
pesawat tersebut dari Amerika, yaitu pesawat-pesawat baru dan terjamin, yang mana pembelian
ini akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat sendiri yang mempunyai ahli-ahlinya yang cukup,
supaya kita jangan terkicuh dan mendapat barang yang usang, afgekeurd, yang semestinya sudah
masuk ke kuburan pesawat-pesawat udara. Satu Dakota harganya hanya 25 kilogram emas.

Kepada saudara-saudara saudagar yang sekarang menyanggupi untuk memasukkan uangnya


dalam pembelian kapal udara untuk daerah ini, dan bagi yang terbanyak menyerahkan uang
tersebut hari ini akan diizinkan untuk terbang di udara di atas Kutaradja dengan pesawat kita di
Lhoknga.

Seruan Presiden Soekarno mendapat sambutan serempak dari para saudagar Aceh, dengan
menyatakan menyanggupi membeli dua buah pesawat terbang Dakota. Seanjutnya Presiden
Soekarno memberikan kesepatan kepada pemuka-pemuka masyarakat dan saudagar yang hadir
untuk terbang dengan pesawat yang membawanya ke Aceh.

Sejarah kemudian mencatar bahwa para saudagar Aceh bersama masyarakat Aceh berhasil
mengumpulkan dana untuk pembelian dua buah pesawat terbang Dakota. Dana itu dikumpulkan
melalu Dakota Fond yang dibentuk di seluruh daerah di Aceh.
Masyarakat Aceh secara suka rela menyerahkan sumbangan hartanya untuk membeli dua
pesawat terbang bagi Republik Indonesia, mereka menyerahkan uang tunai dan perhiasan
kepada perwakilan Dakota Fond di setiap daerah di Aceh.

Sesuai janji Presiden Soekarno rakyat Aceh diberi hak untuk memberi nama pesawat terbang
yang dibeli tersebut. Maka dinamailah kedua pesawat Dakota itu Seulawah RI 001 dan Seulawah
RI 002. Nama Seulawah diambil dari nama gunung di Aceh Besar.

Namun ada juga yang menyebutkan, meski rakyat Aceh menyerahkan dana untuk pembelian dua
pesawat, Pemerintah Pusat hanya membeli satu pesawat saja, yakni Seulawah RI 001, satu
pesawat lagi tidak dibeli dan dananya tidak jelas dibawa kemana oleh Presiden Soekarno.

Meski demikian dalam catatan sejarah maskapai penerbangan di Indonesia, rakyat Aceh tercatat
menyumbang dua buah pesawat. Ada juga yang menyebutkan kalau pesawat Seulawah RI 001
yang disumbangkan oleh rakyat Aceh tersebut jenis Douglas C-47B, yang pada waktu aksi militer
kedua dipakai oleh Komodor Muda Udara Wiweko menjadi modal untuk mendirikan Indonesia
Airways sebagai cikal bakal maskapai penerbangan Garuda Indonesia.[] Sumber:steemit

Penulis: Iskandar Norman


Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul,” ucap Bung Karno seraya
melempar senyum, seperti di kutip kumparan (kumparan.com) dalam buku karya Tgk. AK Jakobi

Seulawah R-001 lalu dioperasikan Soekarno dan jajarannya melintas Jawa hingga Sumatera untuk
mengkordinasikan perjuangan RI melawan Belanda saat Agresi Militer II. Dengan pesawat itu,
pemerintah berhasil menerobos kepungan politik blokade ekonomi dan militer dari pihak
Belanda.
Puluhan tahun berlalu, Seulawah R-001 tak lagi beroperasi. Saksi bisu sejarah kemerdekaan RI itu
kini terpakir Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur. Memang terdapat
sejumlah monumen Seulawah R-001 di beberapa daerah, namun yang terparkir di TMII adalah
satu-satunya yang asli.

Anda mungkin juga menyukai