Iskandar Muda
Bandara ini juga pernah difungsikan sebagai basis pengiriman obat-obatan sesudah
Gempa bumi Samudera Hindia 2004, yang hilir mudik dari berbagai wilayah di Dunia,
kepada para pengungsi yang terisolir di berbagai wilayah yang dihantam Tsunami di Aceh.
Setelah dilanda Tsunami pada 26 Desember 2004, bandara ini telah direnovasi dan memiliki
landasan pacu sepanjang 3.000 meter yang mampu menampung pesawat berbadan lebar.
Pada 9 Oktober 2011 sebuah Boeing 747-400 berhasil melakukan take off dan landing, yang
membuktikan bahwa bandara ini bisa dijadikan tempat transit bagi perusahaan penerbangan
internasional.
Sejarah
Bandara Sultan Iskandar Muda dibangun oleh Pemerintah Jepang pada tahun 1943.
Saat itu, bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 1400 meter dan lebar 30 meter berupa
huruf T dari ujung selatan memanjang dari timur ke barat.
Pada tahun 1953 Bandara Sultan Iskandar Muda (pada waktu itu bernama Bandara
Blang Bintang) dibuka kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk tujuan pendaratan
pesawat. Landasan pacu hanya menggunakan landasan pacu dari Utara ke Utara sepanjang
1400 meter. Pesawat pertama yang mendarat setelah dibuka kembali adalah DC-3 Dakota,
dan beberapa tahun kemudian, Convair 240.
Pada tahun 1968, bandara ini telah mengembangkan perluasan landasan pacu hingga
1.850 meter dengan lebar 45 meter, dan celemek 90 x 120 meter, sehingga bisa menampung
pesawat yang lebih besar seperti Fokker F28.
Pada tahun 1993 dan 1994, Bandara Sultan Iskandar Muda kembali mengalami
perkembangan yang terkait dengan MTQ Nasional yang diadakan di Banda Aceh, dengan
perluasan landasan pacu 2250 x 45 meter, yang dapat menampung pesawat DC-9 dan B-737
dan didukung dengan pemasangannya. Dari Radar yang terletak di Gunung Linteung sekitar
14 & nbsp; km dari bandara.
Pada tanggal 9 April 1994, Bandara Sultan Iskandar Muda bergabung dengan PT
(Persero) Angkasa Pura II, berdasarkan surat Menteri Keuangan No. 533 / MK.016 / 1994
dan Surat Menteri Perhubungan A. 278 / AU.002 / SKJ / 1994
Perubahan nama Bandara Blang Bintang ke Bandara Sultan Iskandar Muda adalah:
1. Surat Legislatif Daerah Istimewa Aceh Nomor 553.2 / 661 tanggal 4 April 1995
2. Surat Gubernur Daerah Khusus Aceh Nomor 553.2 / 8424 tanggal 11 April 1995
3. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 1995 tanggal 11 Mei 1995 tentang
Perubahan nama Bandara Blang Bintang menjadi Bandara Sultan Iskandar Muda.
Pada tahun 1999, Bandara Sultan Iskandar Muda melanjutkan pengembangan dengan
menambahkan landasan pacu sepanjang 2.500 meter untuk dapat menampung pesawat A330,
untuk melayani keberangkatan para peziarah sehubungan dengan pemilihan Bandara Sultan
Iskandar Muda sebagai salah satu ziarah embarkasi / pelayaran .
Perkembangan terakhir dari bandara ini adalah pada tahun 2009 dimana panjang landasan
pacu kembali meningkat menjadi 3000 meter dengan lebar 45 meter, bangunan terminal baru
menggantikan bangunan terminal lama. Bandara ini diresmikan secara resmi oleh Presiden
Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Agustus 2009, saat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono datang ke Aceh secara resmi untuk membuka Pekan Budaya Aceh
tahunan kelima (Pekan Kebudayaan Aceh).
Bandar Udara Internasional Juanda
Bandar Udara Internasional Juanda (kode IATA: SUB, kode ICAO: WARR) atau
Bandar Udara Internasional Surabaya adalah bandar udara internasional yang terletak di
Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, 20 km sebelah selatan Surabaya. Bandara
Internasional Juanda dioperasikan oleh PT Angkasa Pura I. Namanya diambil dari Ir.
Djuanda Kartawidjaja, Wakil Perdana Menteri (Waperdam) terakhir Indonesia yang telah
menyarankan pembangunan bandara ini. Bandara Internasional Juanda adalah bandara
tersibuk kedua di Indonesia setelah Bandara Internasional Soekarno-Hatta berdasarkan
pergerakan pesawat dan penumpang. Bandara ini melayani rute penerbangan dari dan tujuan
Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.
Bandara ini memiliki panjang landasan 3000 meter dengan luas terminal sebesar
51.500 m², atau sekitar dua kali lipat dibanding terminal lama yang hanya 28.088 m².
Bandara baru ini juga dilengkapi dengan fasilitas lahan parkir seluas 28.900 m² yang mampu
menampung lebih dari 3.000 kendaraan. Bandara ini diperkirakan mampu menampung 13
juta hingga 16 juta penumpang per tahun dan 120.000 ton kargo/tahun.
Sejarah
Rencana untuk membangun satu pangkalan udara baru yang bertaraf internasional
sebenarnya sudah digagas sejak berdirinya Biro Penerbangan Angkatan Laut RI pada tahun
1956. Namun demikian, pada akhirnya agenda politik pula yang menjadi faktor penentu
realisasi program tersebut. Salah satu agenda politik itu adalah perjuangan pembebasan Irian
Barat. Berangkat dari tujuan membantu operasi TNI dalam pembebasan Irian Barat,
pemerintah menyetujui pembangunan pangkalan udara baru di sekitar Surabaya. Saat itu
terdapat beberapa pilihan lokasi, antara lain: Gresik, Bangil (Pasuruan) dan Sedati (Sidoarjo).
Setelah dilakukan survei, akhirnya pilihan jatuh pada Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Tempat ini
dipilih karena selain dekat dengan Surabaya, areal tersebut memiliki tanah yang sangat luas
dan datar, sehingga sangat memungkinkan untuk dibangun pangkalan udara yang besar dan
dapat diperluas lagi di kemudian hari.
Untuk membangun pangkalan udara dengan landasan pacu yang besar (panjang 3000
meter dan lebar 45 meter) ini membutuhkan pembebasan lahan yang luas keseluruhannya
mencapai sekitar 2400 hektar. Lahan tersebut tidak hanya berbentuk tanah, tetapi juga sawah
dan rawa. Selain itu juga dibutuhkan pasir dan batu dalam jumlah yang besar. Pasirnya digali
dari Kali Porong dan batunya diambil dari salah satu sisi Bukit Pandaan yang, kemudian
diangkut dengan ratusan truk proyek menuju Waru. Jumlah pasir dan batu yang diperlukan
sekitar 1.1200.000 meter kubik atau 1.800.000 ton. Konon Jumlah pasir sebanyak itu bisa
digunakan untuk memperbaiki jalan Jakarta-Surabaya sepanjang 793 Km dengan lebar 5 m
dan kedalaman 30 cm. Sedangkan jarak tempuh seluruh truk proyek, bila digabungkan adalah
sekitar 25 juta Km atau 600 kali keliling bumi.
Di tengah proses pembangunan bandara ini, sempat terjadi krisis masalah keuangan.
Ketika itu bahkan pihak Batignolles sempat mengancam untuk hengkang. Penanganan
masalah ini pun sampai ke Presiden Sukarno. Dan Presiden Sukarno kemudian memberikan
mandat kepada Waperdam I Ir. Djuanda untuk mengatasi masalah ini hingga proyek ini
selesai. Pada tanggal 15 Oktober 1963, Ir. Djuanda mendarat di landasan ini dengan
menumpangi Convair 990 untuk melakukan koordinasi pelaksanaan proyek pembangunan.
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 7 November 1963 Ir. Djuanda wafat. Karena dianggap
sangat berjasa atas selesainya proyek tersebut dan untuk mengenang jasa-jasa dia, maka
pangkalan udara baru tersebut diberi nama Pangkalan Udara Angkatan Laut (LANUDAL)
Djuanda dan secara resmi dibuka oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Agustus 1964.
Selanjutnya pangkalan udara ini digunakan sebagai pangkalan induk (home base) skuadron
pesawat pembom Ilyushin IL-28 dan Fairey Gannet milik Dinas Penerbangan ALRI.
Pada tahun 1942 kota Yogyakarta diduduki oleh Tentara Jepang dan pangkalan udara
Maguwo di ambil alih Tentara Jepang dari Pemerintah Hindia Belanda. Bulan November
1945 lapangan terbang beserta fasilitasnya dapat di kuasai oleh Badan Keamanan Rakyat
(BKR) Jogjakarta Timur yang di pimpin oleh Bapak Umar Slamet. Pada Tahun 1945
Pangkalan Udara Maguwo di ambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dijadikan
Pangkalan Angkatan Udara untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Lapangan terbang ini digunakan untuk operasional pesawat-pesawat AURI, serta untuk
latihan terbang bagi Kadet sekolah penerbang di Maguwo yang di pimpin oleh Agustinus
Adisutjipto.
Pada tanggal 29 Juli 1947 pesawat Dakota VT-CLA yang dikemudikan oleh Marsekal
Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto ditembak jatuh oleh pesawat Belanda. Pada tahun
1950 lapangan terbang Maguwo beserta fasilitas pendukungnya seperti pembekalan
diserahkan kepada AURI. Dengan adanya pertumbuhan dan perubahan pemerintahan
pangkalan udara Maguwo mengalami perubahan nama yang di sesuaikan dengan dinamika
fungsi dan peranan TNI AU. Berdasarkan keputusan kepala staff Angkatan Udara No.76
Tahun 1952. Tanggal 17 Agustus 1952 nama pangkalan udara Maguwo diubah menjadi
pangkalan udara Adisutjipto.
Semenjak tahun 1959 Bandara Adisutjipto dijadikan untuk Akademi Angkatan Udara
(AAU) Republik Indonesia .Tahun 1964 Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan
keputusannya dan atas persetujuan Angkatan Udara Indonesia, Pelabuhan Udara AdiSutjipto
Jogjakarta menjadi pelabuhan udara Gabungan Sipil dan Militer. Pada tahun 1972 dilakukan
perluasan Terminal Sipil yang pertama. Selanjutnya pada tahun 1977 dilakukan perluasan
terminal lagi karena volume penerbangan makin meningkat. Pada tanggal 1 April 1992,
sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun 1992, Bandar Udara Adisutjipto secara resmi masuk ke
dalam pengelolaan Perum Angkasa Pura I. Tanggal 2 Januari 1993 statusnya diubah menjadi
PT (PERSERO) Angkasa Pura I.
Penerbangan internasional
Bandar Udara Internasional Adisutjipto menjelma menjadi bandar udara internasional
pada tanggal 21 Februari 2004. Pada saat itu, Garuda Indonesia mengoperasikan rute
Yogyakarta - Kuala Lumpur. Sebulan selanjutnya, giliran Singapura yang dikunjungi oleh
Garuda Indonesia. Sekitar bulan November 2006, Garuda Indonesia menghentikan rute - rute
internasional.
Bulan April 2008, AirAsia membuat rute Yogyakarta - Kuala Lumpur menjadi setiap
hari.
Dan tanggal 16 Desember 2008, Garuda Indonesia kembali melayani rute Yogyakarta
- Singapore mulai pukul 18.00 WIB, setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.
Maskapai
Jumlah penumpang pesawat terbang yang naik maupun turun di Bandar Udara
Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, sepanjang 2016 meningkat sekitar 13 persen
dibanding 2015. Penumpang yang tercatat pada penghujung tahun 2016 berjumlah 7.208.557
orang. Sedangkan tahun 2015, tercatat 6.380.336 orang. Berikut ini adalah maskapai yang
melakukan penerbangan langsung dari Yogyakarta
Bandar Udara Internasional Pattimura
Sejarah
Pada tanggal 1 Januari 1920, karena suatu hal konsesi atas tanah perkebunan itu
berpindah tangan kepada Palembang Maatschappij (Palembang MIJ) atau NV Palembang
Maskapai. Tahun itu terdapat kabar pionir penerbang bangsa Belanda dikepalai oleh Jan
Pieterszoon Coen akan menerbangkan pesawat kecilnya Fokker dari Eropa ke wilayah Hindia
Belanda dalam waktu 20 jam terbang. Maka Palembang MIJ yang memegang konsesi atas
tanah itu, menyediakan sebidang lahan untuk diserahkan sebagai lapangan terbang pertama di
Kota Palembang.
Pada tanggal 1 Januari 1950, bandara ini menjadi lapangan udara bersama baik untuk
kegunaan sipil status bandara ini menjadi Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud
Badaruddin II.
Pada tanggal 1 Januari , bandara ini resmi dikelola oleh Manajemen PT (Persero)
Angkasa Pura II.
Pada saat Provinsi Sumatera Selatan resmi terpilih sebagai tuan rumah PON XVI
tahun 2004, pemerintah berupaya untuk memperbesar kapasitas bandara sekaligus mengubah
status bandara ini menjadi bandara internasional. Gedung terminal baru Bandara Sultan
Mahmud Badaruddin II akhirnya berhasil rampung dan diresmikan pada 1 Januari 1990.
Pada tanggal 28 Maret 1981, lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad
Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok ekstremis Islam "Komando Jihad",
membajak pesawat Penerbangan 206 Garuda Indonesia setelah lepas landas dari Pelabuhan
Udara Sipil Talangbetutu ke Bandara Polonia, Medan. Pembajakan yang terjadi di Pelud
Talang Betutu ini dikenal dengan sebutan Peristiwa Woyla. Penerbangan dengan pesawat
DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan
akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan,
pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar
sebagai penumpang. Setelah mendarat sementara untuk mengisi bahan bakar di Bandara
Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut terbang dan mengalami drama puncaknya di
Bandara Don Mueang di Bangkok, Muang Thai tanggal 31 Maret.[1]
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla yang berangkat dari Pelabuhan
Udara Sipil Talangbetutu ini menjadi peristiwa terorisme bermotif "jihad" pertama yang
menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.[1]
Pengembangan
Bandara ini telah resmi menjadi bandara bertaraf internasional dan bisa didarati oleh
pesawat yang berbadan besar pada 1 Januari 1970. Pengembangan bandara tersebut mulai
dilakukan pada 1 Januari 1990 dengan total biaya Rp366,7 miliar yang berasal dari ';'Japan
International Bank Corporation';' Rp251,9 miliar dan dana pendamping dari APBN sebesar
Rp114,8 miliar Dengan 12 Kota Dengan Penerbangan Domestik Langsung Dan 3 Kota
Dengan Penerbangan Internasional Langsung.