Anda di halaman 1dari 10

Bandar Udara Internasional Sultan

Iskandar Muda

Foto Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda

Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, dikenal juga dengan


Bandara Sultan Iskandar Muda adalah sebuah bandar udara yang melayani Kota Banda
Aceh dan sekitarnya, yang terletak di wilayah Kecamatan Blang Bintang, Aceh Besar,
Provinsi Aceh. Nama bandara ini diambil dari nama Sultan Iskandar Muda, seorang pahlawan
Nasional Indonesia dari Aceh. Bandara ini dikelola oleh PT Angkasa Pura II, untuk melayani
rute domestik dan internasional. Saat ini sudah ada dua penerbangan internasional, yaitu Air
Asia ke Kuala Lumpur dan Firefly ke Penang.

Bandara ini juga pernah difungsikan sebagai basis pengiriman obat-obatan sesudah
Gempa bumi Samudera Hindia 2004, yang hilir mudik dari berbagai wilayah di Dunia,
kepada para pengungsi yang terisolir di berbagai wilayah yang dihantam Tsunami di Aceh.
Setelah dilanda Tsunami pada 26 Desember 2004, bandara ini telah direnovasi dan memiliki
landasan pacu sepanjang 3.000 meter yang mampu menampung pesawat berbadan lebar.
Pada 9 Oktober 2011 sebuah Boeing 747-400 berhasil melakukan take off dan landing, yang
membuktikan bahwa bandara ini bisa dijadikan tempat transit bagi perusahaan penerbangan
internasional.

Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda mendapatkan Bandara Terbaik Dunia


untuk Wisatawan Halal di Dunia Halal Tourism Awards 2016.

Sejarah
Bandara Sultan Iskandar Muda dibangun oleh Pemerintah Jepang pada tahun 1943.
Saat itu, bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 1400 meter dan lebar 30 meter berupa
huruf T dari ujung selatan memanjang dari timur ke barat.

Pada tahun 1953 Bandara Sultan Iskandar Muda (pada waktu itu bernama Bandara
Blang Bintang) dibuka kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk tujuan pendaratan
pesawat. Landasan pacu hanya menggunakan landasan pacu dari Utara ke Utara sepanjang
1400 meter. Pesawat pertama yang mendarat setelah dibuka kembali adalah DC-3 Dakota,
dan beberapa tahun kemudian, Convair 240.
Pada tahun 1968, bandara ini telah mengembangkan perluasan landasan pacu hingga
1.850 meter dengan lebar 45 meter, dan celemek 90 x 120 meter, sehingga bisa menampung
pesawat yang lebih besar seperti Fokker F28.

Pada tahun 1993 dan 1994, Bandara Sultan Iskandar Muda kembali mengalami
perkembangan yang terkait dengan MTQ Nasional yang diadakan di Banda Aceh, dengan
perluasan landasan pacu 2250 x 45 meter, yang dapat menampung pesawat DC-9 dan B-737
dan didukung dengan pemasangannya. Dari Radar yang terletak di Gunung Linteung sekitar
14 & nbsp; km dari bandara.

Pada tanggal 9 April 1994, Bandara Sultan Iskandar Muda bergabung dengan PT
(Persero) Angkasa Pura II, berdasarkan surat Menteri Keuangan No. 533 / MK.016 / 1994
dan Surat Menteri Perhubungan A. 278 / AU.002 / SKJ / 1994

Perubahan nama Bandara Blang Bintang ke Bandara Sultan Iskandar Muda adalah:

1. Surat Legislatif Daerah Istimewa Aceh Nomor 553.2 / 661 tanggal 4 April 1995
2. Surat Gubernur Daerah Khusus Aceh Nomor 553.2 / 8424 tanggal 11 April 1995
3. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 1995 tanggal 11 Mei 1995 tentang
Perubahan nama Bandara Blang Bintang menjadi Bandara Sultan Iskandar Muda.

Pada tahun 1999, Bandara Sultan Iskandar Muda melanjutkan pengembangan dengan
menambahkan landasan pacu sepanjang 2.500 meter untuk dapat menampung pesawat A330,
untuk melayani keberangkatan para peziarah sehubungan dengan pemilihan Bandara Sultan
Iskandar Muda sebagai salah satu ziarah embarkasi / pelayaran .

Perkembangan terakhir dari bandara ini adalah pada tahun 2009 dimana panjang landasan
pacu kembali meningkat menjadi 3000 meter dengan lebar 45 meter, bangunan terminal baru
menggantikan bangunan terminal lama. Bandara ini diresmikan secara resmi oleh Presiden
Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Agustus 2009, saat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono datang ke Aceh secara resmi untuk membuka Pekan Budaya Aceh
tahunan kelima (Pekan Kebudayaan Aceh).
Bandar Udara Internasional Juanda

Menara Kontrol Lalu Lintas Udara Bandar Udara


Juanda

Bandar Udara Internasional Juanda (kode IATA: SUB, kode ICAO: WARR) atau
Bandar Udara Internasional Surabaya adalah bandar udara internasional yang terletak di
Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, 20 km sebelah selatan Surabaya. Bandara
Internasional Juanda dioperasikan oleh PT Angkasa Pura I. Namanya diambil dari Ir.
Djuanda Kartawidjaja, Wakil Perdana Menteri (Waperdam) terakhir Indonesia yang telah
menyarankan pembangunan bandara ini. Bandara Internasional Juanda adalah bandara
tersibuk kedua di Indonesia setelah Bandara Internasional Soekarno-Hatta berdasarkan
pergerakan pesawat dan penumpang. Bandara ini melayani rute penerbangan dari dan tujuan
Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.

Bandara ini memiliki panjang landasan 3000 meter dengan luas terminal sebesar
51.500 m², atau sekitar dua kali lipat dibanding terminal lama yang hanya 28.088 m².
Bandara baru ini juga dilengkapi dengan fasilitas lahan parkir seluas 28.900 m² yang mampu
menampung lebih dari 3.000 kendaraan. Bandara ini diperkirakan mampu menampung 13
juta hingga 16 juta penumpang per tahun dan 120.000 ton kargo/tahun.
Sejarah
Rencana untuk membangun satu pangkalan udara baru yang bertaraf internasional
sebenarnya sudah digagas sejak berdirinya Biro Penerbangan Angkatan Laut RI pada tahun
1956. Namun demikian, pada akhirnya agenda politik pula yang menjadi faktor penentu
realisasi program tersebut. Salah satu agenda politik itu adalah perjuangan pembebasan Irian
Barat. Berangkat dari tujuan membantu operasi TNI dalam pembebasan Irian Barat,
pemerintah menyetujui pembangunan pangkalan udara baru di sekitar Surabaya. Saat itu
terdapat beberapa pilihan lokasi, antara lain: Gresik, Bangil (Pasuruan) dan Sedati (Sidoarjo).
Setelah dilakukan survei, akhirnya pilihan jatuh pada Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Tempat ini
dipilih karena selain dekat dengan Surabaya, areal tersebut memiliki tanah yang sangat luas
dan datar, sehingga sangat memungkinkan untuk dibangun pangkalan udara yang besar dan
dapat diperluas lagi di kemudian hari.

Proyek pembangunan yang berikutnya disebut sebagai “Proyek Waru” tersebut


merupakan proyek pembangunan lapangan terbang pertama sejak Indonesia merdeka. Proyek
ini bertujuan menggantikan pangkalan udara yang tersedia di Surabaya adalah landasan udara
peninggalan Belanda di Morokrembangan dekat Pelabuhan Tanjung Perak, yang sudah
berada di tengah permukiman yang padat dan sulit dikembangkan. Pelaksanaan proyek Waru,
melibatkan tiga pihak utama, yaitu: Tim Pengawas Proyek Waru (TPPW) sebagai wakil
pemerintah Indonesia, Compagnie d’Ingenieurs et Techniciens (CITE) sebagai konsultan,
dan Societe de Construction des Batinolles (Batignolles) sebagai kontraktor. Kedua
perusahaan asing terakhir, merupakan perusahaan asal Perancis. Dalam kontrak yang
melibatkan tiga pihak tersebut, ditentukan bahwa proyek harus selesai dalam waktu empat
tahun (1960-1964).

Untuk membangun pangkalan udara dengan landasan pacu yang besar (panjang 3000
meter dan lebar 45 meter) ini membutuhkan pembebasan lahan yang luas keseluruhannya
mencapai sekitar 2400 hektar. Lahan tersebut tidak hanya berbentuk tanah, tetapi juga sawah
dan rawa. Selain itu juga dibutuhkan pasir dan batu dalam jumlah yang besar. Pasirnya digali
dari Kali Porong dan batunya diambil dari salah satu sisi Bukit Pandaan yang, kemudian
diangkut dengan ratusan truk proyek menuju Waru. Jumlah pasir dan batu yang diperlukan
sekitar 1.1200.000 meter kubik atau 1.800.000 ton. Konon Jumlah pasir sebanyak itu bisa
digunakan untuk memperbaiki jalan Jakarta-Surabaya sepanjang 793 Km dengan lebar 5 m
dan kedalaman 30 cm. Sedangkan jarak tempuh seluruh truk proyek, bila digabungkan adalah
sekitar 25 juta Km atau 600 kali keliling bumi.

kegiatan proyek yang berlangsung siang-malam dan dukungan kerjasama dari


berbagai pihak (Pemerintah Kota Surabaya, Komando Resor Militer (Korem) Surabaya,
Otoritas Pelabuhan dan masyarakat pada umumnya), akhirnya proyek tersebut dapat
diselesaikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Pada tanggal 22 September 1963, berarti
tujuh bulan lebih cepat, landasan tersebut sudah siap untuk digunakan. Sehari kemudian satu
sortie penerbangan, yang terdiri empat pesawat Fairey Gannet ALRI, di bawah pimpinan
Mayor AL (Pnb) Kunto Wibisono melakukan uji coba pendaratan untuk pertama kalinya.

Di tengah proses pembangunan bandara ini, sempat terjadi krisis masalah keuangan.
Ketika itu bahkan pihak Batignolles sempat mengancam untuk hengkang. Penanganan
masalah ini pun sampai ke Presiden Sukarno. Dan Presiden Sukarno kemudian memberikan
mandat kepada Waperdam I Ir. Djuanda untuk mengatasi masalah ini hingga proyek ini
selesai. Pada tanggal 15 Oktober 1963, Ir. Djuanda mendarat di landasan ini dengan
menumpangi Convair 990 untuk melakukan koordinasi pelaksanaan proyek pembangunan.
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 7 November 1963 Ir. Djuanda wafat. Karena dianggap
sangat berjasa atas selesainya proyek tersebut dan untuk mengenang jasa-jasa dia, maka
pangkalan udara baru tersebut diberi nama Pangkalan Udara Angkatan Laut (LANUDAL)
Djuanda dan secara resmi dibuka oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Agustus 1964.
Selanjutnya pangkalan udara ini digunakan sebagai pangkalan induk (home base) skuadron
pesawat pembom Ilyushin IL-28 dan Fairey Gannet milik Dinas Penerbangan ALRI.

Dalam perkembangannya muncul keinginan maskapai Garuda Indonesia Airways


(GIA) untuk mengalihkan operasi pesawatnya (Convair 240, Convair 340 dan Convair 440)
dari lapangan terbang Morokrembangan yang kurang memadai ke Djuanda. Namun, karena
dalam pembangunannya tidak direncanakan untuk penerbangan sipil, Lanudal Djuanda tidak
memiliki fasilitas untuk menampung penerbangan sipil sehingga kemudian otoritas
pangkalan saat itu berinisiatif merenovasi gudang bekas Batignolles untuk dijadikan terminal
sementara. Dan jadilah Lanudal Djuanda melayani penerbangan sipil yang pengelolaannya
sejak 7 Desember 1981 dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen
Perhubungan RI. Pada 1 Januari 1985, pengelolaan bandara komersial ini dialihkan kepada
Perum Angkasa Pura I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1984. Seiring
waktu berjalan, frekuensi penerbangan sipil disana pun bertambah. Hingga akhirnya
dibangun terminal khusus untuk melayani penerbangan sipil dan melayani juga penerbangan
internasional. Pada 24 Desember 1990, Bandara Juanda ditetapkan sebagai bandara
internasional dengan peresmian terminal penerbangan internasional.
Bandar Udara Internasional Adisutjipto
Sejarah
Bandar Udara Internasional Adisutjipto dulu dinamakan Maguwo, sesuai dengan
nama desa tempatnya berada Maguwoharjo. Pangkalan udara Maguwo dibangun sejak tahun
1940 lalu dipergunakan oleh Militaire Luchtvaart pada tahun 1942.

Pada tahun 1942 kota Yogyakarta diduduki oleh Tentara Jepang dan pangkalan udara
Maguwo di ambil alih Tentara Jepang dari Pemerintah Hindia Belanda. Bulan November
1945 lapangan terbang beserta fasilitasnya dapat di kuasai oleh Badan Keamanan Rakyat
(BKR) Jogjakarta Timur yang di pimpin oleh Bapak Umar Slamet. Pada Tahun 1945
Pangkalan Udara Maguwo di ambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dijadikan
Pangkalan Angkatan Udara untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Lapangan terbang ini digunakan untuk operasional pesawat-pesawat AURI, serta untuk
latihan terbang bagi Kadet sekolah penerbang di Maguwo yang di pimpin oleh Agustinus
Adisutjipto.

Pada tanggal 29 Juli 1947 pesawat Dakota VT-CLA yang dikemudikan oleh Marsekal
Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto ditembak jatuh oleh pesawat Belanda. Pada tahun
1950 lapangan terbang Maguwo beserta fasilitas pendukungnya seperti pembekalan
diserahkan kepada AURI. Dengan adanya pertumbuhan dan perubahan pemerintahan
pangkalan udara Maguwo mengalami perubahan nama yang di sesuaikan dengan dinamika
fungsi dan peranan TNI AU. Berdasarkan keputusan kepala staff Angkatan Udara No.76
Tahun 1952. Tanggal 17 Agustus 1952 nama pangkalan udara Maguwo diubah menjadi
pangkalan udara Adisutjipto.

Semenjak tahun 1959 Bandara Adisutjipto dijadikan untuk Akademi Angkatan Udara
(AAU) Republik Indonesia .Tahun 1964 Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dengan
keputusannya dan atas persetujuan Angkatan Udara Indonesia, Pelabuhan Udara AdiSutjipto
Jogjakarta menjadi pelabuhan udara Gabungan Sipil dan Militer. Pada tahun 1972 dilakukan
perluasan Terminal Sipil yang pertama. Selanjutnya pada tahun 1977 dilakukan perluasan
terminal lagi karena volume penerbangan makin meningkat. Pada tanggal 1 April 1992,
sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun 1992, Bandar Udara Adisutjipto secara resmi masuk ke
dalam pengelolaan Perum Angkasa Pura I. Tanggal 2 Januari 1993 statusnya diubah menjadi
PT (PERSERO) Angkasa Pura I.
Penerbangan internasional
Bandar Udara Internasional Adisutjipto menjelma menjadi bandar udara internasional
pada tanggal 21 Februari 2004. Pada saat itu, Garuda Indonesia mengoperasikan rute
Yogyakarta - Kuala Lumpur. Sebulan selanjutnya, giliran Singapura yang dikunjungi oleh
Garuda Indonesia. Sekitar bulan November 2006, Garuda Indonesia menghentikan rute - rute
internasional.

Tetapi pada tanggal 30 Januari 2008, penerbangan internasional dilanjutkan kembali


dengan menghadirkan AirAsia yang mengoperasikan Airbus A320 dengan rute Yogyakarta -
Kuala Lumpur. Sejak 1 Februari 2008, Malaysia Airlines turut datang ke Yogyakarta dengan
mengoperasikan Boeing 737-400.

Bulan April 2008, AirAsia membuat rute Yogyakarta - Kuala Lumpur menjadi setiap
hari.

Dan tanggal 16 Desember 2008, Garuda Indonesia kembali melayani rute Yogyakarta
- Singapore mulai pukul 18.00 WIB, setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.

Maskapai
Jumlah penumpang pesawat terbang yang naik maupun turun di Bandar Udara
Internasional Adisutjipto, Yogyakarta, sepanjang 2016 meningkat sekitar 13 persen
dibanding 2015. Penumpang yang tercatat pada penghujung tahun 2016 berjumlah 7.208.557
orang. Sedangkan tahun 2015, tercatat 6.380.336 orang. Berikut ini adalah maskapai yang
melakukan penerbangan langsung dari Yogyakarta
Bandar Udara Internasional Pattimura

Bandara Internasional Pattimura adalah Bandara internasional yang terletak di


Kota Ambon, Provinsi Maluku, Indonesia. Bandara ini juga melayani kedatangan dalam
negeri dengan luas landasan 2.500 m² dan luar negeri dengan luas landasan 400 m2. Bandara
ini berjarak 38 kilometer dari kota Ambon. Pada bandara ini terdapat fasilitas imigrasi,
karantina, bea cukai, gedung kargo, restoran, telepon umum dan kantor pos. Bandar Udara
Internasional Pattimura Ambon yang terdapat pada salah satu pulau di kepulauan Maluku
merupakan daerah yang sangat strategis. Kepulauan Maluku mempunyai banyak pulau yang
terbagi dalam 2 (dua) Provinsi yaitu Maluku Utara dengan ibu kota Sofifi dan Maluku dengan
ibu kota Makarikil.

Bandar Udara Internasional Pattimura Ambon berada di pulau Ambon Provinsi


Maluku terletak pada posisi koordinat 03° 42’ 25’’ S dan 128° 05’ 23’’ T yang dikelilingi
oleh lautan disebelah Utara laut Seram, Selatan laut Banda dan Timur laut Arafura. Bandar
Udara Pattimura yang dahulu bernama Lapangan Terbang Laha Ambon dibangun pada tahun
1939 oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Pada tahun 1942 Lapangan Terbang Laha dikuasai
oleh pendudukan Jepang untuk melawan pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II. setelah
kemerdekaan RI tahun 1945 Lapangan Terbang Laha dikuasai oleh Pemerintah Republik
Indonesia.

Tahun 1975 berdasarkan surat keputusan bersama Menhankam/Pangab, Menteri


Perhubungan dan Menteri Keuangan. Pelabuhan Udara Pattimura ditetapkan sebagai
Lapangan terbang sipil dan sepenuhnya dikuasai oleh Departemen Perhubungan. Sejak tahun
1975 Pelabuhan Udara Pattimura telah didarati pesawat asing Air North dari Darwin sampai
tahun 1998. Pada tanggal 11 Oktober 1995 Pengelolaan bandar udara Pattimura Ambon
dialihkan sepenuhnya kepada PT. Angkasa Pura I (Persero) dan berstatus sebagai bandar
Udara Kelas I. Pada tanggal 3 Maret 2004 Proyek Pengembangan Bandar Udara Internasional
Pattimura diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia.
Bandar Udara Internasional Sultan
Mahmud Badaruddin II
Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II (kode IATA: PLM)
adalah Landas Pacu aspal ukuran landas pacu 9.843ft dan 3.000m Dari bandar udara
internasional yang melayani kota Palembang, Sumatera Selatan dan sekitarnya. Bandara ini
terletak di wilayah KM.10 Kecamatan Sukarame. Bandara Internasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dioperasikan oleh PT Angkasa Pura 2. Nama bandara ini diambil dari nama
Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862), seorang Pahlawan Nasional Indonesia melawan
VOC-Belanda yang pernah memimpin Kesultanan Palembang Darussalam (1803-1819).
Panjang landasan pacu (runway) Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II sehingga menjadi
11/29 berukuran 3.571 by 45 meter (11.716 × 148 ft), lebar 45 meter di atas permukaan Aspal
sejak September 2014

Sejarah
Pada tanggal 1 Januari 1920, karena suatu hal konsesi atas tanah perkebunan itu
berpindah tangan kepada Palembang Maatschappij (Palembang MIJ) atau NV Palembang
Maskapai. Tahun itu terdapat kabar pionir penerbang bangsa Belanda dikepalai oleh Jan
Pieterszoon Coen akan menerbangkan pesawat kecilnya Fokker dari Eropa ke wilayah Hindia
Belanda dalam waktu 20 jam terbang. Maka Palembang MIJ yang memegang konsesi atas
tanah itu, menyediakan sebidang lahan untuk diserahkan sebagai lapangan terbang pertama di
Kota Palembang.

Pada tanggal 1 Januari 1950, bandara ini menjadi lapangan udara bersama baik untuk
kegunaan sipil status bandara ini menjadi Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud
Badaruddin II.

Pada tanggal 1 Januari , bandara ini resmi dikelola oleh Manajemen PT (Persero)
Angkasa Pura II.

Pada saat Provinsi Sumatera Selatan resmi terpilih sebagai tuan rumah PON XVI
tahun 2004, pemerintah berupaya untuk memperbesar kapasitas bandara sekaligus mengubah
status bandara ini menjadi bandara internasional. Gedung terminal baru Bandara Sultan
Mahmud Badaruddin II akhirnya berhasil rampung dan diresmikan pada 1 Januari 1990.

Pada tanggal 28 Maret 1981, lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad
Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok ekstremis Islam "Komando Jihad",
membajak pesawat Penerbangan 206 Garuda Indonesia setelah lepas landas dari Pelabuhan
Udara Sipil Talangbetutu ke Bandara Polonia, Medan. Pembajakan yang terjadi di Pelud
Talang Betutu ini dikenal dengan sebutan Peristiwa Woyla. Penerbangan dengan pesawat
DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan
akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan,
pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar
sebagai penumpang. Setelah mendarat sementara untuk mengisi bahan bakar di Bandara
Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut terbang dan mengalami drama puncaknya di
Bandara Don Mueang di Bangkok, Muang Thai tanggal 31 Maret.[1]
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla yang berangkat dari Pelabuhan
Udara Sipil Talangbetutu ini menjadi peristiwa terorisme bermotif "jihad" pertama yang
menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.[1]

Pengembangan

Suasana lobi check-in.

Bandara ini telah resmi menjadi bandara bertaraf internasional dan bisa didarati oleh
pesawat yang berbadan besar pada 1 Januari 1970. Pengembangan bandara tersebut mulai
dilakukan pada 1 Januari 1990 dengan total biaya Rp366,7 miliar yang berasal dari ';'Japan
International Bank Corporation';' Rp251,9 miliar dan dana pendamping dari APBN sebesar
Rp114,8 miliar Dengan 12 Kota Dengan Penerbangan Domestik Langsung Dan 3 Kota
Dengan Penerbangan Internasional Langsung.

Antara perkembangan yang dilaksanakan adalah perpanjangan landas pacu sepanjang


300 meter x 60 meter menjadi 3.000 meter x 60 meter, pembangunan tempat parkir
kendaraan seluas 20.000 meter yang dapat menampung 1.000 kendaraan serta pembangunan
gedung terminal penumpang tiga lantai seluas 13.000 meter persegi yang dapat menampung
1250 penumpang, dilengkapi garbarata (aerobridge) dan terminal kargo dan bangunan
penunjang lainnya seluas 1.900 meter persegi.

Hasil pengembangan ini membuat Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin


II dapat didarati pesawat Airbus A330 dan sejenisnya serta Boeing 747 . Selain itu, arus
penumpang diproyeksikan akan naik dari 7.720 penumpang menjadi 16.560 penumpang.
Setelah itu akan ada pembangunan jalan tol Indralaya-Palembang-Bandara Sultan Mahmud
Badarudin II untuk mempermudah akses ke Bandara.

Anda mungkin juga menyukai