Anda di halaman 1dari 39

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

LEGALITAS ASAM BORAT DAN EFEK TERHADAP KESEHATAN

Disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Dosen Penguji: dr. Santosa Sp.F, MH (Kes)


Residen Pembimbing I: dr. Risma Gayanti
Residen Pembimbing II: dr. Nurul Ummi Rofiah

Disusun Oleh:
Andika Setio Nugroho 030.14.012
Gustianto Hutama Putra H. 030.15.083
Rayhanna Nur Asyiah 030.14.163
Noferly Gina Jessica Go 030.14.142
Tiffany Octavia Sandra P. 030.13.192
Jaya Saraswati 030.13. 102

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER KARIADI SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
PERIODE 2 - 28 DESEMBER 2019

i
LEMBAR PENGESAHAN
LEGALITAS ASAM BORAT DAN EFEK TERHADAP KESEHATAN

Disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Disusun oleh:

Andika Setio Nugroho 030.14.012


Gustianto Hutama Putra H. 030.15.083
Rayhanna Nur Asyiah 030.14.163
Noferly Gina Jessica Go 030.14.142
Tiffany Octavia Sandra P. 030.13.192
Jaya Saraswati 030.13. 102

Mengetahui,

Dosen Penguji Residen Residen


Pembimbing I Pembimbing II

dr. Santosa, Sp.F, MH (Kes) dr. Risma Gayanti dr. Nurul


Ummi Rofiah

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih
dan karunia-Nya, referat ini dapat terselesaikan. Penulisan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh
Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Kami menyadari
sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan referat ini tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Bersama ini kami menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. dr. Santosa, Sp.F, MH (Kes) sebagai dosen penguji yang telah bersedia
meluangkan waktu.
2. dr. Risma Gayanti dan dr. Fia sebagai residen pembimbing yang telah
memberikan masukkan, petunjuk serta bantuan dalam menyusun referat ini.
3. Segenap staf Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro dan RSUP Dr. Kariadi Semarang
4. Orang tua beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan dukungan moral
maupun material
5. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro dan RSUP Dr. Kariadi Semarang yang
telah memberikan bantuan bagi kami
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Semarang, 15 Desember 2019


Penulis

iii
iv
v
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1 Definisi Asam Borat .....................................................................................3


2.2 Struktur dan Sifat Asam Borat ...................................................................3
2.3 Kadar boron dalam lingkungan dan paparan terhadap manusia ...........4
2.4 Toksikokinetik .............................................................................................5
2.5 Dosis ..............................................................................................................6
2.6 Pemeriksaan Keracunan Secara Umum ....................................................8
2.7 Penggunaan Asam Borat Dalam Masyarakat .........................................17
2.8 Aspek Hukum Penyalahgunaan Asam Borat ..........................................18
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................30

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asam borat (H3BO3) atau biasa yang juga disebut hidrogen borat, asam borakat, asam
ortoborat dan acidum boricum merupakan suatu asam lemah dari boron yang sering digunakan
sebagai antiseptik, insektisida, atau penyangga pH. Senyawa ini ada dalam bentuk serbuk halus
bewarna putih atau tidak mengkilap atau tidak berwarna, kasar, tidak berbau, larut dalam air
dan rasa agak asam.1 Asam borat berbeda dengan boraks. Boraks merupakan garam dari asam
borat. Keduanya memiliki banyak kesamaan dalam segi fungsi. Asam borat dapat dibuat
dengan menambahkan asam sulfat atau klorida pada boraks.
Asam borat sering disalahgunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP). Asam borat
digunakan sebagai bahan pengawet makanan, seperti dalam pembuatan mie basah, lontong,
ketupat, tahu, bakso sosis, bahkan dalam pembuatan kecap. Hal ini sering dilakukan
masyarakat mengingat sifat asam borat dapat menghambat kerusakan makanan oleh
mikroorganisme terutama oleh bakteri dan jamur sehingga proses pembusukan dan
pengasaman akibat penguraian dapat dicegah.2
Asam borat sebetulnya sudah dilarang penggunaannya sebagai BTP oleh pemerintah sejak
Juli 1978. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 33 tahun 2012 tentang BTP, asam
borat dan senyawanya merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP
karena asam borat yang terkandung dalam makanan dapat menimbulkan keracunan.3
Gejala keracunan asam borat yang dapat timbul berupa gangguan pada sistem pencernaan,
sistem urogenital, sistem saraf, sistem pernapasan hingga kematian.4
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait penambahan asam borat pada makanan.
Penelitian yang dilakukan terhadap daging olahan bakso yang diperoleh dari pasar tradisional
dan pedagang kaki lima disekitar wilayah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sebanyak 10 sampel
yang diambil, seluruh sampel positif mengandung asam borat.1
Dari latar belakang tersebut maka penulis ingin membahas tentang legalitas asam borat di
Indonesia dan efek asam borat terhadap kesehatan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam penulisan referat ini adalah:
1. Apa definisi, struktur, dan sifat dari asam borat?
2. Apa saja penggunaan asam borat dalam masyarakat?
3. Bagaimana toksikokinetik dari asam borat?
4. Apa saja tanda dan gejala yang dapat timbul akibat keracunan asam borat?
5. Bagaimana pemeriksaan, cara mengidentifikasi dan penanganan kasus
keracunan boraks?
6. Bagaimana perlindungan hukum di Indonesia mengenai asam borat?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui aspek medis dan hukum tentang asam borat
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi, struktur, dan sifat dari asam borat
2. Mengetahui penggunaan asam borat dalam masyarakat
3. Mengetahui toksikokinetik dari asam borat
4. Mengetahui tanda dan gejala yang dapat timbul akibat keracunan asam borat
5. Mengetahui pemeriksaan, cara mengidentifikasi dan penanganan kasus keracunan
boraks
6. Mengetahui perlindungan hukum di Indonesia mengenai asam borat

1.4 Manfaat
Penyusunan referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak:
1. Bagi civitas akademika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai kasus
keracunan asam borat terutama dalam aspek medis dan hukum.
2. Membantu perkembangan ilmu kedokteran dan sebagai bahan reevaluasi terhadap
penggunaan asam borat sebagai bahan tambahan pangan di Indonesia.
3. Sebagai dasar untuk penyusunan karya tulis maupun penelitian lain selanjutnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asam Borat


Asam Borat biasa dikenal dengan asam boraks, hidrogen borat, acidum boricum, dan
asam ortoborat yang merupakan suatu monobasa dari asam Lewis boron lemah yang dapat
digunakan sebagai antiseptik, insektisida, penyangga pH, atau penyerap neutron. Asam borat
akan larut dalam air mendidih, jika suhu pemanasan di atas 170 °C, senyawa ini akan
kehilangan air dan membentuk asam metaborat atau HBO2. Senyawa dengan rumus kimia
H3BO3 terkadang ditulis B(OH)3 berbentuk serbuk putih yang terlarut di dalam air dan kristal
padat yang tidak berwarna. Pada saat senyawa ini berbentuk mineral, senyawa ini dikenal
dengan nama sasolit. 5

2.2 Struktur dan Sifat Asam Borat


Asam borat memiliki massa molar 61,832 gram/mol dan densitas sebesar 1,435 g/cm3
. Asam borat larut dalam air dengan kelarutan 5,7 gram tiap 100 ml air pada temperatur 250○C.
Fasa kristalin asam borat terdiri dari layer-layer molekul B(OH)3 yang diikat bersama oleh
ikatan hydrogen. 6

Gambar 1. Bentuk molekul asam borat


Asam Borat memiliki bentuk molekul segitiga datar dengan momen dipol nol. Molekul
dikatakan bersifat polar jika memiliki momendipol >0 atau ≠0 dan dikatakan non polar jika
momen dipolnya .

3
2.2.1 Sifat Asam Borat
a. Asam borat akan larut jika dilarutkan dengan air mendidih. Namun, ketika dipanaskan
di atas 170 °C, asam borat akan kehilangan air, membentuk HBO2 atau yang dikenal
dengan asam metaborat.
i. H3BO3 → HBO2 + H2O
ii. Asam metaborat merupakan senyawa berwarna putih berbentuk kristal kubik
padat dan akan larut di dalam air.
b. Asam metaborat akan mencair jika diberikan pemanasan sekitar 236 °C
c. dipanaskan pada suhu di atas 300 °C dia akan kehilangan air lebih lanjut,
membentuk asam tetraborat atau asam piroborat (H2B4O7):
i. 4 HBO2 → H2B4O7 + H2O
d. Pemanasan yang berkelanjutan akan membentuk boron trioksida.
i. H2B4O7 → 2 B2O3 + H2O. 6

2.2.2 Sifat Fisika dan Kimia Asam Borat


Tabel 1 : sifat fisika dan kimia asam borat

2.3 Kadar boron dalam lingkungan dan paparan terhadap manusia


2.3.1 Udara
Atom boron tidak terdapat pada atmosfer dalam tingkat tertentu. Atom boron memiliki
tingkat volatilitas yang rendah, maka dari itu atom boron diharapkan tidak ditemukan pada
atmosfer di suhu tertentu. Emisi boron dan asam borat pada atmosfer memiliki ukuran kurang
lebih (1 - 45 μm ) atau uap air terbentuk oleh karena sifat volatilitas boron yang rendah yang
berasal dari laut, aktivitas vulkanik, pertambangan, industri dan lain lain. 7
2.3.2 Air
Mayoritas dari boron yang terdapat di bumi berada di laut, dengan rerata konsentrasi
sebanyak 4.5 mg/l, 8 sedangkan untuk konsentrasi boron pada air tanah di dunia mengandung
konsentrasi boron sebanyak < 0.3 sampai dengan > 100 mg/l. Seringkali konsentrasi boron

4
yang tinggi terdapat pada air yang mengandung kadar mineral yang tinggi, air yang
terkarbonisasi secara alami.9
2.3.3 Makanan
Konsentrasi boron tertinggi pada makanan terdapat pada buah buahan, sayuran dan
kacang kacangan, sedangkan untuk produk berbahan dasar susu, ikan, daging dan gandum
merupakan sumber boron yang rendah.9 Perkiraan konsumsi boron yang diteliti pada beberapa
kelompok orang dengan jenis kelamin dan usia yang berbeda oleh United Kongdom Expert
Group on Vitamins and Minerals didapatkan hasil konsumsi boron untuk seluruh kelompok
rata-rata sebnayak 0.75, 0.93 dan 2.19 mg/hari, dan sebanyak 2.33 mg/hari pada dewasa yang
berusia 17 keatas. Dari air minum rata rata dewasa mengonsumsi boron sebanyak 1.2 mg.10
Tabel 1. Kadar Boron Pada Makanan

2.4 Toksikokinetik 11,12,13


2.4.1 Absorbsi
Absorbsi dari boraks umumnya dapat melalui jalur saluran pernafasan, saluran pencernaan
dan kulit yang terluka.
a) Saluran Pencernaan
Dari beberapa studi yang dilakukan boraks umumnya diabsorbsi secara baik melalui
saluran pencernaan, umumnya boraks akan diabsorbsi secara cepat dalam saluran cerma yaitu
>90% boraks yang masuk secara oral akan diabsorbsi melalui saluran cerna dalam waktu 3 jam
dan akan terabsorbsi secara lengkap dalam 24 jam.

5
b) Saluran Pernafasan
Boraks dapat diabsorbsi melalui saluran pernafasan, dan umumnya jumlah inhalasi boraks
melalui saluran pernafasan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya kapasitas reservoir
di saluran nafas bagian atas dan sistem pernafasan di saluran natas berupa sistem mukosillier.
c) Kulit
Dari studi yang dilakukan terhadap manusia boraks tidak dapat diabsorbsi melalui kulit
yang utuh, walaupun didapatkan bukti bahwa boraks dapat diabsorbsi melalui kulit apabila
terjadi kerusakan pada kulit.
2.4.2 Distribusi
Dari studi yang dilakukan terhadap binatang didapatkan bahwa distribusi dari senyawa
boraks adalah dalam bentuk asam borat yang tidak terdisossiasi dan akan terdistribusi pada
semua jaringan. Terutama distribusi dari boraks adalah di tulang, dimana konsentrasinya bisa
mencapai 2-3 kali lipat dari konsentrasi di plasma dan di jaringan adiposa dimana
konsentrasinya mencapai 20% dari plasma.
2.4.3 Metabolisme
Boraks umumnya tidak dimetabolisme di dalam tubuh, hal Ini disebabkan oleh karena
diperlukan energi yang besar (523kJMol) untuk memecah ikatan antara oksigen dengan boron.
2.4.4 Ekskresi
Boraks umumnya akan diekskresikan >90% melalui urire dalam bentuk yang tidak
dimetabolisir. Waktu paruh dari senyawa kimia boraks adalah sekitar 20 jam, namun pada
kasus dimana terjadi konsumsi dalam jumlah yang besar maka waktu eliminasi senyawa boraks
akan berbentuk
bifasik yaitu 50% dalam 12 jam serta 50% lainnya akan diekskresikan dalam waktu 1-3
minggu. Selain dickskresi melalui urine, boraks juga diekskresikan dalam jumlah yang
minimal melalui saliva, keringat dan feces.

2.5 Dosis 14
2.5.1Terapeutik
a. Oral
Diet tinggi boron kurang lebih sekitar 3.25 mg/ 2000 kcal per hari, sedangkan
untuk diet rendah boron sebanyak 0.25 mg boron/ 2000 kcal per hari
b. Vaginal
i. Infeksi vagina : 600 mg bedak mengandung asam borat, 1 - 2 kali sehari
ii. Pencegahan kekambuhan infeksi Kandida : 600 mg, 2 kali dalam seminggu
6
2.5.2 Tolerable Upper Intake Level 15
a. Dewasa berusia 19 tahun atau lebih dan wanita hamil / menyusui : 20 mg/ hari
b. Remaja berusia 14 - 18 tahun dan wanita hamil / menyusui : 17 mg/ hari
c. Anak berusia 9 - 13 tahun : 11 mg/ hari
d. Anak berusia 4 - 8 tahun : 6 mg/ hari
e. Anak berusia 1 -2 tahun : 3 mg/ hari

2.5.3 Letal
Menurut data yang didapatkan dosis letal untuk asam borat per oral yaitu sebanyak 640
mg/KgBB, 8600mg/KgBB per dermal dan 29mg/KgBB melalui jalur intravena. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Stokinger menyatakan bahwa kematian disebabkan oleh kadar
asam borat sebesar 5 - 20 g pada dewasa dan <5 g pada anak.16
a. Paparan jangka pendek 17
i. Terhirup
Dapat mengiritasi saluran hidung dan pernapasan. Konsentrasi tinggi dari debu
dapat menyebabkan batuk, mimisan, sesak napas. Jika paparan berat atau
berkepanjangan dapat menyebabkan efek sistemik dengan muntah dan diare
persisten, depresi sirkulasi, ruam kulit dan pernafasan yang buruk pada akhirnya
syok dan koma.
ii. Kontak dengan kulit
Tidak mengiritasi atau menembus kulit yang utuh. Penyerapan ke dalam aliran
darah melalui kulit yang luka mengakibatkan eritema, macular rash, efek saraf pusat
terjadi setelah 24 jam.
iii. Kontak dengan mata
Iritasi dan konjungtivitis yang bersifat reversibel
iv. Tertelan
Mengiritasi saluran pencernaan, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, kram
perut, dosis yang besar dapat menyebabkan peredaran darah yang buruk, takikardia,
sianosis, delirium, kejang-kejang dan koma. Kematian telah dilaporkan kepada
terjadi pada orang dewasa dari dosis 5 sampai 20 gram.

7
b. Paparan jangka panjang
Terhirup Paparan jangka panjang dapat mengakibatkan efek sistemik, seperti mual dan
muntah persisten, dapat terabsorpsi menyebabkan gangguan sistemik, depresi sirkulasi darah,
syok, dan koma.
i. Kontak dengan kulit
Dapat menimbulkan kerusakan kulit lokal dan dermatitis
ii. Kontak dengan mata
Tidak ada data yang tersedia
iii. Tertelan
Pada dosis tinggi dapat mngakibatkan depresi sirkular, takikardia, sianosis,
kejang, hingga koma. Kematian dilaporkan pada orang dewasa pada dosis 5-20 gram.

2.6 Pemeriksaan Keracunan Secara Umum


2.6.1 Intoksikasi
a. Intoksikasi akut
Umumnya intoksikasi akut pada senyawa boraks mempunyai waktu laten yaitu
umumnya dibutuhkan waktu beberapa jam untuk menimbulkan gejala-gejala keracunan
boraks. Boraks memiliki dosis lethal (LD50 untuk orang dewasa adalah 15-20 gram,
LD50 untuk untuk anak-anak adalah 5 gram dan LD50 untuk bayi adalah 1-3 gram).
Gejala intoksikasi akut boraks :
i. Gejala saluran pencernaan : mual, muntah, nyeri perut dan diare.
ii. Gejala neurologis : nyeri kepala, halusinasi, tremor dan kejang.
iii. Gejala sistem urinarius : menimbulkan gagal ginjal akut (ATN/ Acute
Tubular Necrosis) sehingga dapat menyebabkan oligouria sampai anuria.
iv. Gejala pada sistem intergumentum : pada konsumsi boraks dalam dosis
tinggi secara oral dapat menimbulkan erythema pada kulit wajah, telapak
tangan, telapak kaki, daerah bokong dan skrotum dalam waktu 24 jam,
kemudian diikuti proses deskuamasi atau dermatitis eksfoliatif setelah 1-2
hari timbul perubahan warna gejala tersebut mirip penyakit Ritter’s
syndrome.
v. Gejala intoksikasi akut yang berat : umumnya akan menimbulkan gangguan
neurologis yang berat (penurunan kesadaran sampai koma) bahkan sampai
meninggal. Umumnya pada pasien yang meninggal akibat intoksikasi akut

8
boraks ditemukan adanya edema serebri, gagal ginjal akut akibat ATN dan
hepatitis.(18,19)

b. Intoksikasi kronik
i. Gejala intoksikasi kronik pada saluran pernafasan: gejala intoksikasi kronik
saluran pernafasan berupa iritasi saluran pernafasan seperti rhinitis dan
umumnya gejala iritasi pada saluran bersifat transient tidak bersifat
menetap.
ii. Gejala intoksikasi kronik pada saluran pencernaan: gejala intoksikasi
kronik pada saluran pencernaan berupa gejala mual, muntah, nyeri perut,
kadang-kadang terdapat perubahan warna lidah menjadi kemerahan (red
glossy tongue) dan sering mengalami sariawan yang berulang.
iii. Gejala intoksikasi kronik pada sistem neurologis: gejala intoksikasi kronik
sistem neurologis dapat berupa letargi, tremor, kejang dan penurunan
kesadaran sampai terjadinya koma.
iv. Gejala intoksikasi kronik pada sistem intergumentum: gejala intoksikasi
kronik sistem intergumentum dapat berupa erythema pada kulit bahkan
sampai terjadi ulseratif, bahkan dapat menyebabkan rontoknya rambut
sampai terjadi alopesia.
v. Gejala intoksikasi kronik pada sistem immunologik: gejala intoksikasi
kronik pada sistem immunologik berupa gangguan proliferasi dari sel
limfosit sehingga dapat menimbulkan kerentanan terhadap infeksi.
vi. Gejala intoksikasi kronik pada sistem endrokrin: pada penelitian yang
dilakukan pada tikus percobaan gejala intoksikasi kronik pada sistem
endrokrin berupa gangguan pada hormon LH (Luteinezing Hormone) dan
FSH (Folikel Stimulation Hormone) sehingga dapat menggangu kesuburan,
namun efek tersebut pada manusia masih dalam tahap penelitian oleh US.
EPA.
vii. Gejala intoksikasi pada sistem reproduksi: pada hasil percobaan yang
dilakukan pada tikus percobaan didapatkan hasil bahwa pada tikus jantan
didapatkan adanya gangguan spermatogenesis, hal ini diduga karena sel
sertoli yang terdapat pada testis merupakan salah satu target organ pada
senyawa boraks dan tikus betina didapatkan adanya gangguan ovulasi,
akibat terganggunya hipothalamus-pituitary axis.
9
viii. Efek reproduktif dan teratogenik pada intoksikasi kronik: efek terhadap
sistem reproduktif akibat intoksikasi kronik boraks yang didapat dari hasil
penelitian terhadap tikus biasanya disebabkan oleh karena terganggunya
hipothalamus-pituitary axis yang menyebabkan gangguan ovulasi pada
tikus betina serta degeratif dari epitel spermatogenik atau sel sertoli, namun
efek terhadap sistem reproduktif tersebut sangat bergantung pada dosis.
ix. Efek karsinogenik dan mutagenik: dari hasil studi yang dilakukan selama 2
tahun pada binatang percobaan tidak didapat kan adanya aktifitas
karsinogenik yang disebabkan oleh senyawa boraks.asam boraks dan
boraks diklasifikasikan oleh US.EPA melalui carcinogen assessment
guidelines 2005 tidak bersifat karsiogenik pada manusia (18,19,20)

2.6.2 Pemeriksaan Luar


a. Bau yang tercium
Ini dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya yang ditelan oleh korban. Pemeriksa
dapat mencium bau minyak tanah pada penelanan larutan insektisida, bau kutu busuk
pada malation, mau amonia, fenol (asam karbolat), lisol, alkohol, eter, kloroform dan
lain-lain.
b. Adanya busa atau buih halus sukar pecah
Pada mulut dan hidung dapat ditemukan adanya busa, kadang-kadang disertai bercak
darah.
c. Bercak coklat
Kadang dapat ditemukan luka bakar kimiawi berupa bercak berwarna coklat agak
mencekung di kulit yang terkena insektisida bersangkutan.
d. Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh tercecernya racun
yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena asam sulfat
atau kuning karena asam nitrat.
e. Bercak-bercak racun
Dari distribusi racun dapat diperkirakan cara kematian, bunuh diri, kecelakaan atau
pembunuhan. Pada kasus bunuh diri distribusi bercak biasanya teratur pada bagian
depan dan tengah dari pakaian, pada kecelakaan tidak khas, sedangkan pada kasus
pembunuhan distribusi bercak racun biasanya tidak beraturan (seperti disiram).
10
f. Lebam mayat
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap. Kadang warna lebam mayat yang tidak
biasa juga mempunyai makna, karena pada dasarnya adalah manifestasi warna darah
yang tampak pada kulit.

2.6.3 Pemeriksaan Dalam


a. Darah berwarna lebih gelap dan encer.
b. Busa halus di dalam saluran nafas.
c. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
d. Ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikuler, subpleura visceralis paru terutama di lobus bawah
pars diafragmatika dan fissura interlobularis, kulit kepala sebelah dalam terutama
daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.
e. Edema paru : bau dari zat pelarut mungkin dapat dideteksi, misalnya bau minyak tanah,
bensin, terpentin atau bau seperti mentega yang tengik. Dalam lambung akan
ditemukan cairan yang terdiri dari dua lapis, yang satu adalah cairan lambung dan
lapisan lainnya adalah lapisan larutan insektisida.

2.6.4 Pemeriksaan Toksikologi


Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya tidak akan dijumpai
kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan pegangan untuk menegakkan diagnosa atau
menentukan sebab kematian karena racun suatu zat. Jadi pemeriksaan toksikologi mutlak harus
dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setiap kasus keracunan atau yang diduga mati
akibat racun. Setelah mayat korban dibedah oleh dokter kemudian diambil dan dikumpulkan
jaringan-jaringan atau organ-organ tubuh si korban untuk dijadikan barang bukti dan bahan
pemeriksaan toksikologi. Prinsip pengambilan sampel pada keracunan adalah diambil
sebanyak-banyaknya setelah disishkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis.
Secara umum sampel yang harus diambil adalah :
1) Lambung dengan isinya.
2) Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada usus
setiap jarak sekitar 60 cm.

11
3) Darah yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer (v.jugularis, a.
femoralis dan sebagainya) masing-masing 50 ml dan dibagi 2 yang satu diberi bahan
pengawet (NaF 1%), yang lain tidak diberi bahan pengawet.
4) Hati sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan, hati yang diambil sebanyak
500 gram.
5) Ginjal, diambil keduanya, yaitu pada kasus keracunan dengan logam berat khususnya,
dan bila urine tidak tersedia.
6) Otak diambil 500 gram, khusus untuk keracunan khloroform dan keracunan sianida, hal
tersebut dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembusukan.
7) Urine diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya racun akan dieksresikan
melalui urine, khususnya untuk tes penyaring pada keracunan narkotika, alkohol, dan
stimulan.
8) Empedu sama halnya dengan urine diambil oleh karena tempat ekskesi berbagai racun
terutama narkotika.
9) Pada kasus khusus dapat diambil :
a. Jaringan sekitar suntikan dalam radius 5-10 sentimeter.
b. Jaringan otot, yaitu dari tempat yang terhindar dari kontaminasi, misalnya muskulus
psoas sebanyak 200 gram.
c. Lemak di bawah kulit dinding perut sebanyak 200 gram.
d. Rambut yang dicabut sebanyak 10 gram.
e. Kuku yang dipotong sebanyak 10 gram.
f. Cairan otak.
Cairan tubuh sebaiknya diperiksa dengan jarum suntik yang bersih atau baru.
1) Darah seharusnya selalu diperiksa pada gelas kaca, jka pada gelas plastik darah yang
bersifat asam dapat melumerkan polimer plastik dari plastik itu sendiri, karena dapat
membuat keliru pada analisa gas kromatografi.
2) Pada pemeriksaan spesimen darah, selalu diberi label pada tabung sampel darah :
a. Pembuluh darah femoral
b. Jantung

12
Pada kasus mayat yang tidak diotopsi :
1) Darah diambil dari vena femoral. Jika vena ini tidak berisi, dapat diambil dari subclavia.
2) Pengambilan darah dengan cara jarum ditusuk pada trans-thoracic secara acak, secara
umum tidak bisa diterima, karena bila tidak berhati-hati darah bisa terkontaminasi
dengan cairan dari esophagus, kantung pericardial, perut atau cavitas pleura.
3) Urine diambil dengan menggunakan jarum panjang yang dimasukkan pada bagian
bawah dinding perut terus sampai pada tulang pubis.
Pada mayat yang diotopsi :
1) Darah diambil dari vena femoral.
2) Jika darah tidak dapat diambil dari vena femoral, dapat diambil dari vena subklavia,
aorta, arteri pulmonalis, vena cava superior dan jantung.
3) Darah seharusnya diberi label sesuai dengan tempat pengambilan.
4) Pada kejadian yang jarang terjadi biasanya berhubungan dengan trauma massif, darah
tidak dapat diambil dari pembuluh darah tetapi terdapat darah bebas pada rongga badan.
Bahan pengawet yang dipergunakan adalah :
1) Alkohol absolute.
2) Larutan garam jenuh.
3) Natrium fluoride 1%.
4) Natrium fuorida + natrium sitrat.
5) Natrium benzoate dan phenyl mercuri nitrate.
Alkohol dan larutan garan jenuh digunakan untuk sampel padat atau organ. Naf 1% dan
campuran NaF dengan Na sitrat digunakan untuk sample cair, sedangkan natrium benzoate dan
phenyl mercuri nitrat khusus untuk pengawetan urin.
Untuk wadah pemeriksaan toksikologi idealnya diperllukan minimal 9 wadah, karena
masing-masing bahan pemeriksaan ditempatkan secara tersendiri, tidak boleh dicampur yaitu :
1) Dua buah toples masing-masing 2 liter untuk hati dan usus.
2) Tiga buah toples masing-masing 1 liter untuk lambung beserta isinya, otak dan ginjal.
3) Empat buah botol masing-masing 25 ml untuk darah (2 buah) urine dan empedu.
Apabila pemeriksaan toksikologi dilakukan di institusi lain, maka pengiriman bahan
pemeriksaan harus memenuhi kriteria :
1) Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan.
2) Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk control.
3) Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label yang memuat keterangan
mengenai tempat pengambilan bahan, nama korban, bahan pengawet dan isinya.
13
4) Disertakan hasil pemeriksaan otopsi secara singkat jika mungkin disertakan anamnesis
dan gejala klinis.
5) Surat permintaan pemeriksaan dari penyidik harus disertakan dan memuat identitas
korban dengan lengkap dan dugaan racun apa yang menyebabkan intoksikasi.
6) Hasil otopsi dikemas dalam kotak dan harus dijaga agar botol tertutup rapat sehingga
tidak ada kemungkinan tumpah atau pecah pada saat pengiriman. Kotak diikat dengan
tali yang setiap persilangannya diikat mati serta diberi lakban pengaman.
7) Penyegelan dilakukan oleh Polisi yang mana juga harus dibuat berita acara penyegelan
dan berita acara ini harus disertakan dalam pengiriman. Demikian pula berita acara
penyegelan barang bukti lain seperti barang bukti atau obat. Dalam berita acara tersebut
harus terdapat contoh kertas pembungkus, segel, atau materi yang digunakan.
8) Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alkohol tidak dapat dipakai untuk
desinfektan local saat pengambilan darah, hal ini untuk menghilangkan kesulitan dalam
penarikan kesimpulan bila kasus menyangkut alkohol. Sebagai gantinya dapat
digunakan sublimate 1% atau mercuri klorida 1%.
Setelah semua proses pemeriksaan diatas dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman
maka hasil pemeriksaan tersebut dituangkan ke dalam sebuah surat yaitu surat visum et
repertum. Setelah dibuat berdasarkan aturan yang berlaku maka surat tersebut sudah dapat
digunakan sebagai alat bukti di dalam proses peradilan.21

d. Pemeriksaan Khusus Intoksikasi Boraks


Pemeriksaan intoksikasi boraks dapat diperiksa kadar senyawa boron didalam darah,
jaringan dan urine dengan menggunakan metode kolorimetrik atau spektrometrik atom
bertemperatur tinggi, namun kadar dari boron yang diukur umumnya tidak berkorelasi dengan
manifestasi klinis yang timbul. (22,23)
2.6.5 Analisis Kandungan Asam Ortoborat dalam Makanan
a. Analisis Kualitatif
Deteksi boraks telah banyak dilakukan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif
seperti: uji nyala api, uji kertas kurkuma, titrasi volumetrik maupun spektofotometri. Telah
dipublikasikan oleh Kementerian Riset dan Teknologi bahwa identifikasi kandungan boraks
pada makanan dapat dilakukan dengan menggunakan kertas kunyit yang kemungkinan dapat
dilakukan sendiri oleh masyarakat dirumah.22
Metode analisis kualitatif secara kimia-fisika untuk mengetahui hadirnya zat kimia
berbahaya asam ortoborat dalam produk pangan khusunya bakso, dilakukan pengujian dengan
14
menggunakan senyawa kurkumin. Senyawa kurkumin dapat ditemukan dalam kunyit
(Curcuma longa)24. Kurkumin dapat digunakan pada berbagai media untuk mendeteksi
senyawaan unsur boron, seperti menggunakan kertas yang telah dikurkuminkan dalam larutan
kunyit3, lempeng thin layer chromatography 25
. Kertas yang dikurkuminkan disebut dengan
kertas turmerik, yang dapat mendeteksi kadar senyawaan unsur boron minimal 200 ppm 25.
Kurkumin bereaksi dalam jumlah stoikiometris dengan asam ortoborat [B(OH)3] untuk
membentuk kompleks 2:1.
Kompleks 2:1 yang terbentuk yaitu senyawa rososianin (rosocyanine) Rososianin
merupakan tetrahedral dan dalam fase cair terlarut berwarna merah terang. Karakteristik warna
kurkumin berubah dari kuning menjadi merah pada pembentukan rososianin dapat digunakan
untuk medeteksi boron berkonsentrasi rendah secara kolorimetri (persepsi warna manusia).
Metode kurkumin dapat digunakan apabila konsentrasi kandungan unsur boron minimal 0,1 –
1,0 mg/L. Rososianin memiliki rumus kimia [B(C21H19O6)2]Cl sebagai klorida sebab terbentuk
dalam suasana asam klorida .(26,27)

Gambar 2.4. – Kompleks rososianin sebagai klorida ([B(C21H19O6)2]Cl)

Untuk uji kimiawinya,


(Sumber: boraks dan 2012)
Lawrence, asam ortoborat dapat dideteksi dengan menggunakan
prinsip reaksi nyala api. Reaksi ini akan muncul apabila zat yang diduga mengandung senyawa
boraks dan asam ortoborat dalam cawan penguap dipanaskan hingga melebur, kemudian
ditambahkan asam sulfat (H2SO4(l)) pekat dan metanol (CH3O), lalu dinyalakan; alkohol akan
terbakar dengan nyala yang pinggirannya hijau, disebabkan oleh pembentukan metil borat
B(OCH3)3 (28).

b. Analisis Kuantitatif
Metode analisis kuantitatif kimiawi melibatkan proses preparasi sampel untuk
mendapatkan kadar dan konsentrasi asam ortoborat baik dalam persen maupun massa
terkandung antara lain dengan metode ekstraksi 29, pengabuan 30, dan pelarutan dalam air 25.
15
Analisis kuantitatif untuk menguji kandungan asam ortoborat pada makanan dapat
menggunakan metode volumetri. Titrasi asam-basa (asidi-alkalimetri) digunakan untuk
menentukan konsentrasi asam ortoborat, walaupun metode ini memiliki keterbatasan yaitu
kurang spesifik dalam menentukan kandungan zat tersebut 25.
Sampel yang mengandung boraks harus diasam kuatkan terlebih dahulu sebelum
dilakukan titrasi asam-basa. Boraks atau natrium tetraborat merupakan garam yang terbentuk
dari asam lemah, sehingga dapat dititrasi dan direaksikan dengan asam klorida untuk
mendapatkan asam ortoborat 2.
Na2B4O7.10 H2O + 2 HCl → 2 NaCl + 4 H3BO3 + 5 H2O
Reaksi antara boraks dan asam klorida menghasilkan asam ortoborat – yaitu asam
lemah yang membutuhkan peningkatan derajat keasamannya – dengan mengubahnya menjadi
asam kompleks yang kuat, sehingga dapat dititrasi menggunakan natrium hidroksida.
Pengubahan menjadi kompleks kuat ini dapat dilakukan dengan menambahkan D-manitol. D-
manitol merupakan alkohol polihidrat atau poliol yang dapat membentuk kompleks anionik
monovalen yang stabil dengan nilai pKa ≈ 4,5 pada suasana asam. Kompleks manitol-boron
juga secara drastis menaikkan harga derajat disosiasi elektrolit. Reaksi langsung antara asam
ortoborat dan natrium hidroksida dengan penambahan manitol menghasilkan senyawa natrium
metaborat sebagai produk (31,32).
Dalam titrasi dapat ditambahkan asam klorida untuk menstabilkan pembentukan asam
ortoborat, namun boron dalam larutan yang asam sangat mudah menguap selama proses
evaporasi atau pengeringan. Penguapan boron ini juga dipicu setelah proses titrasi, dimana pH
larutan relatif netral-ke-basa. Namun, pada beberapa studi telah menyatakan bahwa
penambahan D-manitol dapat menekan jumlah boron yang mudah menguap tersebut dalam air,
larutan asam klorida, dan asam nitrat selama proses evaporasi. Bagaimanapun, penguapan
boron dan pembentukan fraksinasi isotop tidak ditemukan sebab belum ada penelitian lebih
lanjut mengenai kompleks manitol-boron dalam asam fluorida dan asam klorida pekat dengan
jumlah boron yang kecil. Indikator fenolftalein ditambahkan untuk memberikan warna merah-
muda yang jelas pada titik akhir titrasi (30,32).
Reaksi langsung adalah reaksi yang mungkin terjadi namun data empiris yang akan
diperoleh bersifat buruk, tidak akurat dan presisi. Pada umumnya metode titrimetri untuk
menentukan kadar dan konsentrasi boron melibatkan reaksi tidak langsung antara senyawa-
senyawa dari turunan boron – terutama asam ortoborat dan asam boronik lainnya – dengan
senyawa yang mengandung banyak gugus hidroksil atau yang disebut poliol, misalnya D-
manitol. Reaksi ini membentuk kompleks manitol-boron dalam bentuk monokelat dan dikelat,
16
dan kompleks tersebut bersifat anionik di dalam air dengan pH netral. Dengan karbohidrat dan
bentuk 1,2-diol dari kebanyakan poliol, ion borat membentuk mono (1:1) dan bis (1:2) jenis
diol-monoborat anionik. Stabilitas pembentukan kompleks boron bergantung pada jenis diol.
Diol yang biasa bereaksi dengan ion borat adalah 1,2- atau 1,3-diol. Diol melibatkan gugus
hidroksil (-OH) terorientasi sehingga kompleks tersebut secara akurat sesuai dengan parameter
struktural yang diperlukan oleh boron tetrahedral terkoordinasi, maka kompleks yang bersifat
(31)
relatif stabil akan terbentuk . Sebutan umum oleh peneliti dalam berbagai literatur untuk
pembentukan kompleks manitol-boron adalah mannitoboric acid atau mannitoloboric acid dan
memiliki rumus molekul C6H15O8B, namun hal ini masih belum disepakati bersama secara
ilmiah (32).
Pembentukan kompleks manitol-boron relatif lebih baik dibanding dengan senyawa
murni asam ortoborat, walaupun kompleks tersebut juga tergolong asam lemah di mana nilai
pKa ≈ 4,5 (21)
. Ananthanarayanan, et al menggunakan teknik titrasi yang lebih baik untuk
menentukan konsentrasi boron dalam air berat yaitu digital conductometry titration, yaitu
teknik titrasi konduktometri dengan penyajian data citra digital.32

Gambar 2.8. – Reaksi asam ortoborat dengan D-manitol menghasilkan kompleks dikelat anionik
monovalen yang stabil dengan nilai pKa ≈ 4,5
(Sumber: Hongguo, 2015)

2.7 Penggunaan Asam Borat Dalam Masyarakat


Asam borat merupakan suatu senyawa kimia anorganik yang dapat digunakan sebagai
bahan baku untuk industri kimia lain seperti industri farmasi, industri keramik, industri kaca,
dan lain-lain. Kegunaan asam borat antara lain:
a. Sebagai antiseptik dan terkadang digunakan dalam salep, bedak, larutan kompres, obat
oles mulut, bahkan juga pencuci mata dan pembalut. Tetapi bahan ini tidak boleh
diminum atau digunakan pada bekas luka luas, karena beracun bila terserap oleh
tubuh.33

17
b. Sebagai pestisida untuk membasmi serangga dimana senyawa ini bertindak sebagai
racun perut yang akan mempengaruhi metabolisme dari serangga, dan sebagai serbuk
kering abrasif bagi serangga bercangkang.34
c. Sebagai bahan pelapis tahan air, bahan pembersih, pengawet dan antiseptik kayu.33
d. Bila ditambahkan ke dalam garam mampu mengawetkan kulit hewan dimana campuran
ini dapat membantu untuk mengontrol perkembangan bakteri, dan membantu
mengendalikan serangga.34
e. Sebagai sistem penyangga PH pada kolam renang dimana berperan untuk menjaga
keseimbangan dengan basa konjugasinya (konsentrasi ion borat 50-100 ppm setara
dengan boron).34
f. Dapat digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir dan tidak menyumbang emisi
karbon sehingga tidak menyebabkan global warming. Namun bahayanya jika
penanganan tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hidup dan fisik akibat
limbahnya yang bersifat radioaktif.33
g. Sebagai bahan pematri logam, pembuatan kaca (gelas dan fiber glass), enamel dan
produk keramik lainnya.35

Bahan berbahaya ini haram digunakan untuk makanan. Asam borat sebetulnya sudah
dilarang penggunaannya oleh pemerintah sejak juli 1978 dan diperkuat lagi dengan SK Menteri
Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/Per/IX/1988.36 Namun asam borat telah lama digunakan
sebagai aditif dalam berbagai makanan oleh masyarakat dan industri kecil dari pangan. Sejak
asam borat diketahui efektif terhadap ragi, jamur dan bakteri, asam borat mulai digunakan
untuk mengawetkan produk makanan. Selain itu, zat aditif ini dapat digunakan untuk
meningkatkan elastisitas dan kerenyahan makanan serta mencegah udang segar berubah
menjadi hitam. Asam borat juga dapat berfungsi mengenyalkan makanan.37 Berdasarkan data
yang dihimpun oleh BPOM pada tahun 2011 bahwa makanan yang menduduki peringkat
teratas mengandung formalin dan boraks adalah mie basah, bakso, kudapan dan makanan
ringan

2.8 Aspek Hukum Penyalahgunaan Asam Borat


a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan 38
Pasal 1
(1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun

18
tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Pasal 73
(1) Bahan tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat dan/atau bentuk Pangan.
Pasal 74
(1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan
tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan
atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk mendapatkan izin peredaran.
4. Pasal 75
(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan:
(a) bahan tambahan Pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
dan/atau
(b) bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan.
(2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dilarang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
5. Pasal 76
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
(a) denda;
(b) penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
(c) penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
(d) ganti rugi; dan/atau
(e) pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah
B.Menurut Permenkes Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan 39
Pasal 1

19
(1) Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan
ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
Pasal 2
BTP yang digunakan dalam pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(a) BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diperlakukan
sebagai bahan baku pangan.
(b) BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke
dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan,
pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk
menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi
sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.
(c) BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempertahankan atau meningkatkan nilai glzi.
Pasal 3
a. BTP yang digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut:
1. Antibuih
2. Antikempal
3. Antioksidan
4. Bahan pengkarbonasi
5. Garam pengemulsi
6. Gas untuk kemasan
7. Humektan
8. Pelapis
9. Pemanis
10. Pembawa
11. Pembentuk gel
12. Pembuih
13. Pengatur keasaman
14. Pengawet
15. Pengembang
16. Pengemulsi
17. Pengental
18. Pengeras
19. Penguat rasa
20
20. Peningkat volume
21. Penstabil
22. Peretensi warna
23. Perisa
24. Perlakuan tepung
25. Pewarna
26. Propelan dan
27. Sekuestran
Pasal 14
Pada label sediaan BTP wajib dicantumkan
1) Tulisan “Bahan Tambahan Pangan”;
2) Nama golongan BTP
3) Nama jenis BTP; dan
4) Nomor pendaftaran produsen BTP, kecuali untuk sediaan pemanis dalam bentuk table
top.
5. Lampiran Bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP dalam Permenkes No 33
Tahun 2012
1. Asam borat dan senyawanya
2. Asam salisilat dan garamnya
3. Dietilpirokarbonat
4. Dulsin
5. Formalin
6. Kalium bromat
7. Kalium klorat
8. Kloramfenikol
9. Minyak nabati yang dibrominasi
10. Nitrofurazon
11. Dulkamara
12. Kokain
13. Nitrobenzen
14. Sinamil antranilat
15. Dihidrosafrol
16. Biji tonka
17. Minyak kalamus
21
18. Minyak tansi
19. Minyak sasafras

Selain Permenkes No 33 Tahun 2012, terdapat peraturan bersama menteri dalam negeri RI
dan kepala badan pengawas obat dan makanan RO Nomor 2 tahun 2013 tentang pengawasan
bahan berbahaya yang disalahgunakan dalam pangan.
Telah diketahui selama ini bahwa pemerintah telah menerbitkan peraturan mengenai
pelarangan bahan tambahan pangan yang berbahaya seperti pada SK Menteri Kesehatan RI
No. 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tampahan Pangan maupun yang telah di
perbaharui pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1168/MENLES/PER/X/1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menles/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Pangan juga telah dijelaskan bahan
tambahan pangan apa saja yang diizinkan digunakan pada makanan berupa antioksidan,
antikempal. Pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi,
pemantap, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa,
sekuestran. Dimana pada kedua peraturan tersebut telah disebutkan secara jelas bahwa
penggunaan asam borat ataupun senyawanya sebagai bahan tambahan pangan tidak
diperbolehkan.40

C. PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA


DAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 201341
Pasal 2
1. Menteri dan Kepala Badan POM menyusun rencana pengawasan bahan berbahaya yang
disalahgunakan dalam pangan
2. Gubernur dan Bupati/walikota menyusun rencana pengawasan bahan berbahaya yang
disalahgunakan dalam pangan
3. Rencana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Pasal 3
Pengawasan Bahan Berbahaya yang disalahgunakan dalam pangan dilakukan terhadap jenis
bahan berbahaya antara lain:
a) Asam Borat
b) Boraks
22
c) Formalin
d) Paraformaldehid
e) Pewarna Merah Rhodamin B
f) Pewarna merah Amaranth
g) Pewarna Kuning metanil
h) Pewarna Kuning Auramin
Pasal 4
1. Pengawasan terhadap jenis bahan berbahaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
dilakukan terhadap penyalahgunaan peruntukan bahan berbahaya dalam pangan
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sejak saat pengadaan
sampai dengan peredaran
Pasal 5
1. Menteri, Kepalda Badan POM, Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
2. Menteri dan Kepala Badan POM dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim Pengawas Terpadu Pusat
3. Gubernur dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membentuk Tim Pengawas Terpadi Provinsi
4. Bupati/walikota dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada auat
(1) membentuk Tim Pengawas Terpadu Kabupaten/Kota.
Pasal 10
Pelaku usaha yang diduga mengadakan, mengedarkan, dan/atau menyalahgunakan
bahan berbahaya dalam pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memberikan akses
yang seluas-luasnya kepada Tim Pengawas Terpadu yang melakukan pemeriksaan.
Selain itu pemerintah telah mengeluarkan peraturan berkaitan dengan makanan lainnya
baik di tingkat produksi maupun di tingkat distribusi.
Dari peraturan diatas dapat disimpulkan pula bahwa telah terdapat peraturan bersama
antara Menteri Dalam Negeri dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan akan dibentuk Tim
Pengawas Terpadu baik dari tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota yang terdiri dari Anggota
badan pengawas obat dan makanan dengan pejabat Eselon II sampai II pada SKPD yang
membidangi berbagai urusan mulai dari urusan perencanaan dan pembangunan daerah, urusan
perdagangan dan/atau perindustrian, urusan kelautan dan perikanan, urusan kesehatan, urusan
peternakan, urusan pertanian, dan urusan ketahanan pangan.

23
Tim pengawas terpadu yang telah disebutkan diatas memiliki tugas untuk melakukan
pemeriksaan terhadap pengadaan, peredaran, dan penggunaan di sarana produksi, importasi,
distribusi, pengecer, pengguna akhir bahan berbahaya dan tempat tempat sumber pasokan
bahan berbahaya. Jika ditemukan laporan kasus maka tim pengawas terpadu wajib diberikan
akses seluas-luasnya oleh pelaku usaha untuk melakukan pemeriksaan dan tim wajib
melakukan pengamanan setempat terhadap bahan berbahaya dengan cara inventarisasi,
larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan pengambilan contoh untuk uji laboratorium.

D. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.42


Pasal 109
(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan
makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi
rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang
dimakan manusia, dan lingkungan.
Pasal 110
(2) Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk
makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil
olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim
yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada
standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
(a) Nama produk;
(b) Daftar bahan yang digunakan;
(c) Berat bersih atau isi bersih;
(d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman
kedalam wilayah Indonesia; dan
(e) Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara
benar dan akurat.

24
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan,
dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 112
(1) Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi,
pengolahan, pendistribusian makanan, dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109,
Pasal 110, dan Pasal 111.

E. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan 43


Pasal 8
(1) Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses peoduksi, penyimpanan,
pengangkutan dan atau peredaran makanan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan
sanitasi
Pasal 20
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan
sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi
Pasal 21
(a) orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau
yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia
Pasal 26
(b) Setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama
dengan mutu yang dijanjikan
Pasal 55
Barang siapa dengan sengaja bertentangan dengan pasal 8, pasal 21 huruf (a), pasal 26 huruf
(b) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)

25
G. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 44
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa yang:
(a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
(b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
(c) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;
(d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
(e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
(f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
(g) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
(h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang
dicantumkan dalam label;
(i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat;
(j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 61
(1) Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya
Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat 2 dan
pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atua pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

26
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua ) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berdasarkan penjelasan undang-undang diatas dapat pula dsimpulkan bahwa telah terdapat
peraturan perlindungan konsumen mengenai bahan pangan yang tidak memenuhi standar
sesuai Pasal 8 Huruf a dan dimana dalam kasus-kasus ini dapat dikaitkan dengan kasus yang
berurusan dengan bahan tambahan pangan yang tidak tepat dan jika ditemukan pelanggaran
sesuai dengan pasal 62 ayat 1 pelaku usaha dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak 2 milyar rupiah.

27
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan
Asam Borat (H3BO3) atau yang biasa dikenal dengan asam boraks, hidrogen borat, acidum
boricum dan asam ortoborat yang merupakan suatu monobasa dari asam Lewis boron lemah.
Asam borat berbeda dengan boraks. Boraks merupakan garam dari asam borat. Keduanya
memiliki banyak kesamaan dalam segi fungsi. Asam borat dapat dibuat dengan menambahkan
asam sulfat atau klorida pada boraks.
Asam borat biasa digunakan sebagai antiseptik dan terkadang digunakan dalam salep,
bedak, larutan kompres, obat oles mulut, bahkan juga pencuci mata dan pembalut namun
penggunaannya tidak boleh berlebih karena jika melebihi dosis yang dianjurkan dapat
menyebabkan keracunan bagi Tubuh. Walaupun asam borat haram digunakan untuk makanan
namun asam borat telah lama digunakan sebagai aditif dalam berbagai makanan oleh
masyarakat dan industri kecil dari pangan.
Asam borat dapat terserap ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan
maupun kulit yang terluka. Pemeriksaan intoksikasi boraks dapat diperiksa kadar senyawa
boron didalam darah, jaringan dan urine dengan menggunakan metode kolorimetrik atau
spektrometrik atom bertemperatur tinggi.
Pemerintah dalam undang-undang kesehatan telah mengatur tentang BTP, dan telah diatur
dalam Permenkes serta dalam peraturan bersama Mendagri dan Kepala BPOM RI bahwa asam
borat merupakan bahan berbahaya yang dilarang untuk digunakan dalam BTP.

3.2 Saran

1. Masyarakat diharapkan secara proaktif meningkatkan pengetahuannya mengenai

penyalahgunaan asam borat sebagai bahan tambahan pangan dan harus lebih jeli dalam

memilih makanan dalam upaya menghindari efek buruk dari asam borat dalam tubuh.

2. Pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan perlu menyusun program kegiatan

sebagai bentuk edukasi dalam upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai

penyalahgunaan asam borat sebagai bahan tambahan pangan yang pada gilirannya dapat

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dalam konteks makro.

28
3. Pengawasan yang lebih ketat oleh pemerintah dan pengambilan tindakan tegas sangat

dibutuhkan, seperti mengirimkan pengawas-pengawas pemerintah ke daerah-daerah tertentu

dan membuat undang-undang mengenai asam borat

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Septiani T, Roswiem AP. Analisis Kualitatif Kandungan Boraks Pada Bahan Pangan
Daging Olahan dan Identifikasi Sumber Boron Dengan FTIR-ATR. Indonesian Journal
of Halal. 2017.
2. Nasution A. Analisa Kandungan Boraks Pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan
Kota Medan. Medan: Universitas Sumatra Utara. 2010.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan.
4. Sentra Informasi Keracunan Nasional. Asam Borat (Boric Acid). Pusat Informasi Obat
dan Makanan, Badan POM RI. 2011.
5. Padmaningrum RT, Marwati S. Tester kit uji boraks dalam makanan. Universitas negeri
yogyakarta; 2013; hal 25
6. Dwinda I, zainul R, boric Acid recognise the molecular interaction in solution.
Universitas negeri padang . Hal 4-5
7. Sprague RW (1972) The ecological significance of boron. Anheim, CA, United States
Borax Research Corporation, 58 pp.
8. Weast RC, Astle mj, Beyer WH, eds (1985) CRC handbook of chemistry and physics,
69th ed. Boca Raton, FL, CRC Press, Inc., pp B-77, B-129
9. United Kingdom Expert Group on Vitamins and Minerals (2002) Revised review of
boron. London Food Standards Agency (EVM/99/23/P.Revised Aug 2002;
http://www.food.gov.uk/multimedia/pdfs/boron.pdf).
10. World Health Organization, International Programme on Chemical Safety. Boron.
Geneva (Environmental Health Criteria 2014;
http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc204.htm).
11. National Pesticide Information Center. Boric Acid Technical Fact Sheet. A vailable a
http://npic.orst,edu/factsheets/borictech.pdf . Accessed 18 Desember 2019.
12. United States Enviromental Protection Agency. Health Effects Support Document fo
Boron. Available at: http://www.epa.govlogwdwlcc/pdfs/rep determine2/hea ltheffects
_col2 reg2 boron.pdf. Accessed 18 Desember 2019
13. Forest Health Protection USDA Forest Service, Human Health and Ecological Risk
Assessment for Borax Final Report, Available at http://www.fs.fed, us
/foresthealth/pesticide/pdfs/022406 borax.pdf. Accessed 18 Desember 201

30
14. Stokinger HE. Boron. In: Clayton GD, Clayton FE, eds. Patty's industrial hygiene and
toxicology. Vol.28. Toxicology, 3rd ed. New York,NY, john Wiley & Sons, pp 2978 -
3005.
15. Sitting, Marshal, Handbook of Toxic and Hadous Chemicals and Carcinogens
Volume I A-F,1991, Noyes Publication, New Jersey, USA.
16. Naghii MR, Mofid M, Asgari AR, Hedayati M, Daneshpour MS. Comparative effects
of daily and weekly boron supplementation on plasma steroid hormones and
proinflammatory cytokines. J Trace Elem Med Biol. 2011;25(1):54–58.
17. Institute of Medicine. Panel on Micronutrients. Dietary Reference Intakes for Vitamin
A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese,
Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington, DC: National
Academy Press; 2001.
18. National Pesticide Information Center. Boric Acid Technical Fact Sheet. Available at:
http://npic.orst.edu/factsheets/borictech.pdf . Accessed 18 November 2012.
19. United States Enviromental Protection Agency. Health Effects Support Document for
Boron. Available at:
http://www.epa.gov/ogwdw/ccl/pdfs/reg_determine2/healtheffects_ccl2-
reg2_boron.pdf . Accessed 18 November 2012.
20. Forest Health Protection USDA Forest Service. Human Health and Ecological Risk
Assessment for Borax Final Report. Available at :
http://www.fs.fed.us/foresthealth/pesticide/pdfs/022406_borax.pdf
21. Kementrian Riset dan Teknologi. 2013. Artikel Paper Test Kit Sederhana Untuk
Analisis Kadar Boraks Dalam Makanan. http://www.ristek.go.id
22. Aggarwal BB, Kumar A, Aggarwal MS, Shishodia S. Curcumin derived from
turmeric (Curcuma longa): a spice for all seasons. Phytopharmaceuticals in cancer
chemoprevention. 2005;23:351-87.
23. Fuad NR. Identifikasi Kandungan Boraks pada Tahu pasar Tradisional di Daerah
Ciputat. 2015.
24. Lawrence K, Flower SE, Kociok-Kohn G, Frost CG, James TD. A simple and
effective colorimetric technique for the detection of boronic acids and their
derivatives. Analytical Methods. 2012;4(8):2215-7.
25. Salman TM, Qasim MA. The measurements of boron concentration rate in water
using curcumin method and SSNTDs Techniques. Advances in Applied Science
Research. 2013;4(1):105-12.
31
26. Vogel AI, Svehla G. Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic
Analysis: Longman Scientific & Technical; 1987.
27. See A, Abu BS, Fatimah AB, Nor AY, Ahmed SA, Heng L. Risk and health effect of
boric acid. American Journal of Applied Sciences. 2010;7(5):620-7.
28. Silalahi J, Meliala I, Panjaitan L. Pemeriksaan Boraks di dalam Bakso di Medan.
Majalah Kedokteran Indonesia. 2010;11:521-5.
29. Hongguo Z, Renyong L, Qun X, Rohrer J. Determination of Trace Amounts of Boric
Acid in Cosmetics.
30. Ishikawa T, Nakamura E. Formation of Boron-mannitol Complex in the Hydrofluoric
Acid Solution and a Possibility of the Use of Acids in the Separation of Boron from
the Natural Rock Samples. Proceedings of the Japan Academy, Series B.
1990;66(5):91-5.
31. Dydo P, Turek M, Milewski A. Removal of boric acid, monoborate and boron
complexes with polyols by reverse osmosis membranes. Desalination.
2014;334(1):39-45.
32. Ananthanarayanan R, Sahoo P, Murali N. Digital conductometry for determination of
boron in light water and heavy water at trace levels. 2012.
33. Budi FM. Laporan Resmi Praktikum Analisis Senyawa Kimia Pengujian Boraks Dan
Asam Borat Dalam Bahan Pangan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. 2015.
34. Dwynda I, Zainul R. Boric Acid (H3(BO3)): Recognize The Molecular Interactions in
Solutions.
35. Badan Pengkajian Dan Penerapan Tekhnologi. Asam Borat (Acidium Boricum).
http://www.kelair.bppt.go.id/sib3pop/B3/AsamBorat.htm
36. Widayat D. Uji Kandungan Boraks Pada Bakso: Studi pada Warung Bakso di
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Jember: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember. 2011.
37. Paratmanitya Y, Aprilia V. Kandungan Bahan Tambahan Pangan Berbahaya pada
Makanan Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Bantul. Yogyakarta: Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Alma Ata. 2016; 50.
38. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
39. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tentang Bahan Tambahan Pangan. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012.
http://kesmas.kemkes.go.id/perpu/konten/permenkes/pmk-nomor-033-tahun-2012-
bahan-tambahan-pangan
32
40. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Pangan.
http://hukum.unsrat.ac.id/men/menkes_1168_1999.pdf
41. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Tentang Pengawasan Bahan
Berbahaya Yang Disalahgunakan Dalam Pangan.
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=802
42. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.
https://www.depkes.go.id/resources/download/general/UU%20Nomor%2036%20Tah
un2%20009%20tentang%20Kesehatan.pdf
43. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/47/477.bpkp
44. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen

33

Anda mungkin juga menyukai