Hipofungsi Ovarium

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 17

Co-Asistensi Bidang Reseptir

‘HIPOFUNGSI OVARIUM
PADA SAPI BALI (Bos sondaicus)’

Senin, 6 Januari 2020

GENNA PRAMA NUGROHO, S.KH


C024191003

PEMBIMBING
Drh. Baso Yusuf M.Sc

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDIN
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN Co-Asistensi BIDANG RESEPTIR

Co-Asistensi Bidang : Reproduksi


Angkatan : V (Lima)
Tahun Ajar : 2020
Nama Mahasiswa : Genna Prama Nugroho
NIM : C024191003

Makassar, 6 Januari 2020

Mengetahui,

Pembimbing Kasus Bidang Reproduksi Koordinator Bidang Reproduksi

Drh. Baso Yusuf, M. Sc Drh. Muhammad Muflih Nur

NIK. 19880515 201904 3 001

Menyetujui,
Ketua Program Profesi Dokter Hewan

Drh. A. Magfira Satya Apada, M. Sc


NIP. 19850807 201012 2 008
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, karena atas segala limpahan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan pada kasus mandiri
Koasistensi Bidang Reseptir dengan judul “HIPOFUNGSI OVARIUM PADA
SAPI BALI (Bibos sondaicus)”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Drh. Baso Yusuf. M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, semoga
laporan ini bermanfaat untuk semua pihak. Semoga Allah SWT melimpahkan
berkah dan karunia-Nya kepada kita semua, Aamiin.

Makassar, 6 Januari 2020

Penulis
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi Bali telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomer :
325/Kpts/OT.140/1/2010, sebagai sapi asli Indonesia dan telah tersebar diseluruh
wilayah Indonesia. Sapi Bali memiliki peranan penting dalam penyediaan daging
nasional. Aspek penting dalam proses produksi usaha peternakan sapi adalah
ketersediaan bibit yang sesuai standar. Oleh karena itu, standar bibit Sapi Bali perlu
ditetapkan sebagai acuan untuk pelaku usaha dalam upaya mengembangkan Sapi
Bali. Standarisasi Sapi Bali menetapkan persyaratan mutu dan cara pengukuran
bibit Sapi Bali.
Bibit Sapi Bali adalah sapi yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan
sifat tersebut kepada keturunananya dan memenuhi persyaratan tertentu untuk
dikembangbiakkan. Persyaratan mutu produk mencakup persyaratan kualitatif dan
persyaratan kuantitatif. Persyaratan kualitatif sapi betina meliputi warna bulu,
tanduk pendek, bentuk kepala panjang dan leher ramping. Sedangkan yang jantan
warna badan kehitaman, lutut ke bawah putih, pantat putih berbentuk setengah
bulan, ujung ekor hitam, bentuk tanduk baik mengarah ketengah berwarna hitam,
serta bentuk kepala lebar, leher kompak dan kuat. Adapun persyaratan kuantitatif
Sapi Bali betina dan jantan mencakup umur, tinggi pundak minimum, berat badan
minimum, lingkar dada minimum, dan lingkar scrotum (BSN, 2017).
Salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan
fungsional yakni organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik. Infertilitas bentuk
fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Beberapa kasus
gangguan fungsional, di antaranya: 1. Sista ovarium; 2. Subestrus dan birahi tenang;
3. Anaestrus (Corpus Luteum Persisten dan Hipofungsi Ovarium) dan 4. Ovulasi
tertunda (Lukman et al., 2007).
Anestrus akibat hipofungsi ovarium sering berhubungan dengan gagalnya
sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas
maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan
dengan fungsi hipotalamus-pituitaria-ovarium yang akan menyebabkan
menurunnya sekresi gonadotropin, sehingga tidak ada aktivitas ovarium setelah
melahirkan. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofise anterior
sehingga produksi dan sekresi hormon Follicle Stimulating Hormon (FSH)
dan Luteinizing Hormon (LH) rendah, yang menyebabkan ovarium tidak
berkembang ataupun mengalami hipofungsi (Hafez, 2000).
Penanganan pada kasus hipofungsi ovarium diantaranya perbaikan pakan dan
nutrisi untuk rekondisi berat badan ternak dan menjaga kestabilan metabolisme
tubuhnya. Terapi selanjutnya yang diberikan saat penanganan kasus tersebut adalah
pemberian GnRH seperti buserelin untuk menginduksi estrus. Hormon tersebut
merangsang sekresi gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior sehingga
terjadi pertumbuhan dan perkembangan folikel (Suartini et al., 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang dapat disimpulkan dari
kegiatan ini adalah bagaimana penanganan kasus hipofungsi ovarium pada Sapi
Bali (Bos sondaicus).
1.3 Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menjadi acuan ilmu pengetahuan
dan bagaimana penanganan kasus hipofungsi ovarium yang benar dan tepat pada
Sapi Bali (Bos sondaicus).
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Sapi Bali

Sapi Bali merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai
penghasil daging dan biasanya disebut sebagai sapi tipe pedaging (sapi potong).
Adapun ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, kualitas dagingnya maksimum,
laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai dewasa, efisiensi pakannya tinggi, dan
mudah dipasarkan. Sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara untuk
digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan
kualitas daging (Abidin, 2002).

Menurut Romans et al., (1994) dan Blakely & Bade, (1992) bangsa sapi
mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminantia
Famili : Bovidae
Genus : Bos (cattle)
Group : Taurinae
Spesies : Bos sondaicus (banteng/Sapi Bali)

Gambar 1. Sapi Bali (Bos sondaicus) (BSN, 2017)


Sapi potong yang banyak tersebar dan dikembangkan di Indonesia adalah
Sapi Bali yang merupakan rumpun asli Indonesia, yang mempunyai karakteristik
bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan beradaptasi pada berbagai
lingkungan di Indonesia (BSN, 2017). Sapi Bali (Bos sondaicus) yang ada saat ini
diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bos banteng). Proses
domestikasi Sapi Bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia. Asal mula Sapi
Bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi Sapi
Bali di Indonesia. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2017), Sapi Bali
mempunyai ciri-ciri yaitu :

1. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah
agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa,
kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis
kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah
(perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam
telinga dan pada pinggiran bibir atas.

2. Kaki di bawah persendian telapak kaki depan (articulatio carpo metacarpeae)


dan persendian telapak kaki belakang (articulatio tarco metatarseae) berwarna
putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha
bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Bulu
Sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.

3. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.

4. Badan padat dengan dada yang dalam.

5. Tidak berpunuk dan seolah-olah tidak bergelambir.

6. Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.

7. Pada tengah-tengah punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis


memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.

8. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam.


9. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk
jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kejadian anestrus pada


sapi. Faktor tersebut dapat ditemukan pada hewan berusia muda atau hewan
dewasa, dari sisi waktu terjadinya dapat berjalan lama dan dapat berjalan singkat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi anestrus adalah umur hewan, dalam periode
kebuntingan dan laktasi, kekurangan pakan, musim, lingkungan yang kurang
mendukung, adanya kondisi patologis pada ovarium dan uterus serta penyakit
kronis (budiyanto, 2012).

II.2 Sistem Reproduksi

Siklus reproduksi diawali dengan datangnya masa pubertas. Dimana masa


pubertas diawali dari semua siklus reproduksi adalah dihasilkannya Gonadotropin
Releasing Hormone oleh hypothalamus. Gonadotropin Releasing Hormone
(GnRH) memacu pembentukan Follice Stimulating Hormone (FSH) pada fase
folikuler untuk proses folikulogenesis pada folikel ovarium. Tahapan
folikulogenesis adalah dari folikel primer, sekunder, tertier, dan sampai de graaf
(Peter, 2009).

Mekanisme pengendalian masa pubertas dan permulaan dari siklus ovarium


adalah sekresi dari GnRH dari hipotalamus pada jumlah yang tercukupi dan jumlah
yang tepat untuk merangsang hormon GnRH, yaitu luteinizing hormone (LH), rilis
dari hipofisis anterior. Peningkatan frekuensi rangsangan GnRH ini merupakan
faktor kunci dalam meningkatkan sirkulasi LH, perkembangan folikel, dan
menghasilkan sintesis dan sekresi hormon estrogen untuk proses reproduksi yang
semestinya. Hal ini diketahui bahwa frekuensi rangsangan GnRH di sapi
prapubertas jauh lebih rendah daripada frekuensi rangsangan GnRH di sapi
pascapubertas (Peter, 2009).

Sekresi estrogen pada masa pubertas dengan jumlah yang besar, dengan
konsentrasi tinggi dari ovarium menyebabkan kelainan dari umpan balik negatif
untuk umpan balik positif terhadap hipotalamus, menghasilkan GnRH dalam
jumlah yang tinggi sehingga bertanggung jawab untuk memicu sekresi LH. Hasil
dari sekresi LH adalah; a) memunculkan tanda - tanda estrus dan, b) ovulasi.
Hormon-hormon yang terlibat dalam ovulasi menghasilkan serangkaian peristiwa
fisiologis yang mengarah ke pengembangan lebih lanjut dari saluran reproduksi dan
pembentukan siklus estrus (Achjadi, 2013).

II.3 Hipofungsi Ovarium

Hipofungsi ovarium merupakan suatu kejadian dimana ovarium mengalami


penurunan fungsinya sehingga tidak terjadi perkembangan folikel dan tidak terjadi
ovulasi. Anestrus akibat hipofungsi ovarium sering berhubungan dengan gagalnya
sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas
maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan
dengan fungsi hipotalamus-pituitaria ovarium yang akan menyebabkan
menurunnya sekresi GnRH, sehingga tidak ada aktivitas ovarium setelah
melahirkan. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisa anterior
sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah, yang menyebabkan
ovarium tidak berkembang ataupun mengalami hipofungsi (Suartini et al., 2013).

Gambar 2. Ovarium normal dan hipofungsi ovarium (Disnakkeswan 2014).


Birahi atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari banyak
faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Anestrus sering merupakan penyebab
infertilitas pada induk sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya terjadi pada sapi
induk sesudah partus atau inseminasi/perkawinan secara berulang tanpa terjadi
konsepsi. Kegagalan reproduksi merupakan salah satu faktor utama yang dapat
menghambat laju perkembangan populasi ternak. Ditinjau dari kondisi pakan
yang buruk, maka hipofungsi ovarium mungkin adalah penyebab utama kegagalan
reproduksi sapi potong, khususnya yang terjadi pada sistem pemeliharaan
penggembalaan atau ekstensif yang kekurangan pakan (Pemayun, 2009).

Hipofungsi ovarium pada sapi periode postpartum disebabkan oleh


kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal sehingga terjadi anestrus atau birahi
tenang (silent heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi. Pada keadaan hipofungsi,
ovarium berukuran normal namun permukaannya licin sewaktu dipalpasi per
rektal yang artinya tidak ada folikel dominan yang siap untuk ovulasi. Kondisi
semacam ini menandakan bahwa pada ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan
folikel apalagi korpus luteum. Untuk mengatasi kondisi ovarium seperti ini maka
dapat dilakukan melalui penyuntikan hormon GnRH (Pemayun, 2009).

Gambar 3. Ovarium normal dan hipofungsi ovarium (Suartini., 2013).

Namun penggunaan hormon GnRH ini tidak ekonomis untuk ternak yang
digembalakan karena memerlukan biaya yang relatif mahal sehingga sebagai
penggantinya dapat dipakai hormon progesteron. Dasar fisiologi dari penggunaan
progesteron adalah melalui reaksi umpan balik negatifnya terhadap hipothalamus
yang bersifat sementara dan setelah efek hambatan hilang, maka akan terjadi
sekresi FSH dan LH dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya disebut dengan
LH surge. Dengan demikian akan terjadi proses pertumbuhan dan pematangan
folikel menjadi follikel de graaf sehingga terjadi ovulasi (Herry, 2015).
II.4 Faktor Predisposisi

Faktor yang mempengaruhi terjadinya hipofungsi adalah lamanya pedet


menyusui sehingga menyebabkan kekurusan terhadap induk sehingga kondisi
tubuh yang harusnya mencukupi untuk melakukan aktifitas hormonal di alihkan ke
sistem perbaikan kondisi tubuh sehingga kejadian hipofungsi ovarium sangat
rentan terjadi terhadap hewan yang kurang nutrisinya. Menyusui pedet dalam
jangka waktu lama akan menunda ovulasi dan memberikan kontribusi terhadap
panjang periode anestrus setelah postpartum, sehingga efisiensi reproduksi
hormonal menurun (Gitonga, 2010).

Anestrus setelah postpartum adalah periode setelah kelahiran di mana sapi


tidak menunjukkan gejala atau perilaku estrus. Anestrus pada sapi postpartum
adalah periode anestrus normal. Anestrus postpartum dianggap sebagai abnormal
bila melampaui rata-rata 90 hari.

Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung memicu timbulnya stres pada
ternak sehingga fisiologis tubuh berubah. Sebagai contoh, ternak yang
diletakkan pada kandang sempit, dengan ventilasi udara yang tidak baik dan sanitasi
yang buruk akan lebih mudah mengalami stres dibandingkan ternak yang
ditempatkan di lingkungan yang nyaman.

Tingkat stres yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus


hormonal. Defisiensi hormon dapat terjadi ketika kelenjar endokrin tidak dapat
mensekresikan hormon dalam jumlah yang cukup sehingga fungsi-fungsi normal
organ tubuh tidak dapat bekerja dengan optimal. Dalam hal ini, hormon yang
disekresi di hipotalamus, hipofisa anterior, dan ovarium sehingga terjadinya
hipofungsi ovarium (Deden, 2000).

II.5 Gejala Klinis

Sapi yang mengalami hipofungsi ovarium tidak terlihat gejala estrus


(anestrus) atau menampakkan silent heat dalam jangka waktu yang lama karena
estrogen yang berperan dalam gejala birahi dihasilkan dalam jumlah sedikit
dimana belum mencapai batas yang dibutuhkan. Selain itu, ternak betina tidak
terlihat bunting setelah dilakukan inseminasi buatan (IB) berulang kali (Deden
2000).

Ovulasi pada ternak tersebut bisa jadi tertunda karena gangguan hormon FSH
dan LH sehingga tidak terdapat folikel yang cukup matang untuk diovulasikan.
Ovarium yang mengalami hipofungsi berukuran normal, tetapi permukaannya
teraba licin ketika dilakukan palpasi perektal. Ovarium yang mengalami hipofungsi
berukuran minimal 8-15 mm ketika dilakukan dua kali pemeriksaan dalam jedah
waktu 7 hari, dan tidak ditemukan CL atau kista serta tanda estrus (Herry, 2015;
Lo´pez-Gatius et al. 2001)

II.6 Diagnosa

Hewan tidak menunjukkan gejala birahi baik itu dara maupun indukan (dapat
terjadi selama beberapa siklus). Pada pemeriksaan palpasi rektal yang dilakukan
dokter hewan atau petugas kesehatan hewan, ovarium teraba kecil, rata dan halus,
khususnya pada dara, folikel masih premature sebesar 1.5 cm; tidak teraba adanya
CL baik yang sedang berkembang maupun regresi; pada sapi, terkadang ovarium
teraba dengan bentuk yang tidak beraturan karena sa CL dan korpus albican yang
telah lama teregresi sehingga terkadang tuk membedakannya dengan folikel yang
baru berkembang (Deden, 2000). Untuk meneguhkan diagnosis, pemeriksaan
kedua dapat dilakukan pada hari ke 10 setelah pemeriksaan pertama, jika ovarium
tersebut hipofungsi maka tidak akan ada perubahan yang terjadi dari pemeriksaan
pertama, namun jika ovarium tersebut normal, maka akan terbentuk CL (Deden
2000).

II.7 Deferensial Diagnosa

Gejala utama yang terlihat pada hipofungsi ovarium adalah anestrus yang
berkepanjangan. Fase anestrus pada siklus estrus normalnya terjadi selama 1 – 6
bulan. Ditandai dengan inaktivitas ovarium, Kondisi ini juga terjadi pada sistik
ovari, korpus luteum persisten dan hipoplasia ovarium (Syarifudin, 2015).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1. Signalment
Pemilik : Abdulrahman
Spesies : Sapi (Bibos sondaicus)
Tempramen : Normal
Warna bulu : Coklat Pucat
Jenis kelamin : Betina
Umur : ±2 tahun
Bcs : -
Jumlah anak : -
Terakhir diinseminasi : belum pernah diinseminasi
Gejala klinis : belum pernah estrus
III.2. Pemeriksaan Secara Palpasi Rektal
Pemeriksaan secara palpasi perektal saat perabaan organ reproduksi
ditemukan bahwa serviks dalam keadaan normal, uterus memiliki konsistensi yang
tidak kaku, akan tetapi ovarium tidak menunjukkan adanya perkembangan folikel
dan corpus luteum. Saat perabaan ovarium, jika ditemukan adanya perkembangan
folikel akan terasa seperti adanya lubang-lubang kecil yang mengindikasikan
adanya folikel yang sedang berkembang. Sedangkan untuk mengetahui ada
tidaknya corpus luteum pada ovarium dapat dirasakan jika adanya tonjolan yang
agak keras pada bagian ujung tonjolan tersebut.

Hipofungsi ovarium adalah keadaan dimana tidak terjadi pertumbuhan


folikel dan corpus luteum pada ovarium ditandai dengan permukaan ovarium yang
licin. Hipofungsi ovarium terjadi karena gagalnya kelenjar hipofis anterior
untuk memproduksi FSH (follicle stimulating hormone) dalam jumlah yang cukup
untuk pertumbuhan dan pembentukan folikel di ovarium. Umumnya sapi yang
mengalami hipofungsi ovarium tidak menunjukkan gejala estrus lebih dari 60
hari setelah melahirkan (Hafez, 2000). Dalam kasus ini tidak ditemukan adanya
perkembangan folikel pada ovarium, oleh sebab itu dinyatakan bahwa sapi tersebut
mengalami hipofungsi ovarium.
III.3. Terapi
Perbaikan pakan dan nutrisi harus dilakukan, khususnya peningkatan asupan
energi, untuk rekondisi berat badan ternak dan menjaga kestabilan metabolisme
tubuhnya. Stimulasi aktivitas ovarium dapat dilakukan dengan menginduksi
pertumbahan folikel dan siklus birahi normal menggunakan obat-obatan hormonal
berdasarkan dari pemeriksaan dokter hewan sebelumnya. Pengobatan ini juga akan
mengakibatkan terjadinya superovulasi, karena itu pada birahi pertama yang
terjadi setelah pengobatan tidak disarankan untuk mengawinkan ternak tersebut
(Suartini et al., 2013).
Terapi yang diberikan pada saat penanganan kasus tersebut adalah
pemberian GnRH seperti lutrelin, fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan buserelin
untuk menginduksi estrus. Hormon-hormon tersebut berfungsi merangsang
pelepasan gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior sehingga terjadi
pertumbuhan dan perkembangan folikel. Pertumbuhan dan perkembangan
folikel menghasilkan estrogen sehingga sapi menunjukkan tanda - tanda birahi
(Suartini et al., 2013).

Gambar 4. GnRH analogue (networkunion, 2015)


Pencegahan pada kasus hipofungsi ovarium ini adalah dengan memperbaiki
sistem pemeliharaan berupa pemberian asupan nutrisi yang baik untuk
memperbaiki metabolisme tubuh sehingga tidak menyebabkan gangguan
hormonal yang dapat menyebabkan hipofungsi ovarium.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1. Kesimpulan
Hipofungsi ovarium atau ovarium yang kurang aktif adalah suatu keadaan
dimana tidak terjadinya perkembangan yang dapat menyebabkan terjadinya
kasus anestrus. Perkembangan folikel yang menurun diakibatkan oleh gagalnya
kelenjar hipofise anterior untuk mensekresikan follicle stimulating hormone (FSH)
dalam jumlah yang cukup. Keadaan ini sering terjadi pada sapi dara menjelang
pubertas dan sapi dewasa post partus atau setelah inseminasi tapi tidak terjadi
konsepsi. Ovarium yang mengalami hipofungsi memiliki permukaan yang licin
karena tidak terjadi pertumbuhan folikel dan corpus luteum, meski memiliki
ukuran yang normal.

IV.2. Saran
Setelah dilakukan pengamatan dengan beberapa literatur bahwa perlu
adanya pemberian pakan yang dapat mencukupi kebutuhan tubuh hewan sehingga
ketika kebutuhan tubuh dari hewan tersebut terpenuhi maka diharapkan kejadian
hipofungsi ovarium tidak terulang lagi.
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standar Nasional. 2017. Bibit Sapi Potong Bagian 4. SNI 7651
4:2017
[BALIVET] Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Laporan Pelaksanaan Kegiatan
: Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong.
Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
No. 530/2014.
[DISNAKKESWAN] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Jawa Tengah. 2014. Penanganan Hipofungsi Ovaria pada Ternak Sapi.
[Internet]. [diakses 6 januari 2020]. Tersedia pada:
http://disnakkeswan.jatengprov.go.id/berita-penanganan-hipofungsi
ovaria-pada-ternak-sapi-.html.

Achjadi, K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekuriti.


Yogyakarta (ID): Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di
Indonesia.

Abidin, Z. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Penggemukan Sapi


Potong. Agromedia Pustaka.Jakarta.

Blakely, J dan Bade D.H. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Budiyanto, A. 2012. Peningkatan tingkat kebuntingan dan kelahiran sapi di


Indonesia dan masalah-masalah yang terkait. Seminar Updating Penyakit
Gangguan Reproduksi dan Penanganannya pada Ruminansia Besar, 8
Maret 2012.

Deden, S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada


Kasus Hipofungsi Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor. [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hafez, E.S.E. 2000. Anatomy of Male Reproduction. “In Reproduction in


Farm Animals”. 7thed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia.

Herry, A.H. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju


Kemandirian Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan
Pangan Di Indonesia. Makalah. Dalam: Pidato Guru Besar Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, 25 April.
Lo´pez-Gatius, F., Santolaria P., Ya´niz J., Rutllant J., dan Lo´pez- Be´ jar M.
2001. Persistent ovarian follicles in dairy cows: a therapeutic
approach. Theriogenology. 56: 649–659.

Lukman, A.S., Wulan C.P., dan Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Marawali, A., Hine M.T, Burhanuddin H.L.L, Belli. 2001. Dasar-dasar


ilmu reproduksi ternak. Jakarta(ID). Departemen pendidikan nasional
direktorat pendidikan tinggi badan kerjasama perguruan tinggi negeri
Indonesia timur.

Pemayun, T.G.O. 2007. Kadar Prostaglandin F2α pada Cairan Vesikula Seminalis
dan Produk Sel Monolayer Vesikula Seminalis Sapi Bali. J Veteriner.
8(4):167-172.

Peter, A.T., Vos P.L.A.M., Ambrose D.J. 2009. Postpartum Anestrus in Dairy
Cattle. Theriogenology 71: 1333–1342.

Putro, P. P. 2006. Gangguan Reproduksi pada Sapi Brahman-Cross. Bagian


Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta.

Romans, J.R., Costello W.J., Carlson C.W, Greaser M.L., Jones K.W. 1994. The
Meat We Eat.Interstate Publishers, Inc., Danville, Illinois.

Syarifuddin, N. 2005. Laporan Kegiatan Aplikasi Teknologi Reproduksi Ternak


dan Kesehatan Ternak pada Program Pendayagunaan dan Pengembangan
Iptek Nuklir Bidang Peternakan Di Daerah Kalimantan Selatan Tahun
2005. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

Suartini, N.K., Trilaksana I.G.H.B., Pemanyun T.G.O. 2013. Kadar estrogen dan
munculnya estrus setelah pemberian Buserelin (Agonis GnRH) pada sapi
Bali yang mengalami anestrus postpartum akibat hipofungsi ovarium.
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan.

Stevenson, J.S., K.E. Thompont, W.L. Fobes, G.C.Lamb, D.M. Grieger and L.R.
Corah. 2000. Synchronizing estrus and (or) ovulation in beef cows after
combinations of GnRH, norgestomet, and prostaglandin F2alpha with or
withaout timed insemination. J. Anim. Sci. 78, Issue 7: 1747 – 1758.

Anda mungkin juga menyukai