Hipofungsi Ovarium
Hipofungsi Ovarium
Hipofungsi Ovarium
‘HIPOFUNGSI OVARIUM
PADA SAPI BALI (Bos sondaicus)’
PEMBIMBING
Drh. Baso Yusuf M.Sc
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Profesi Dokter Hewan
Segala puji bagi Allah SWT, karena atas segala limpahan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan pada kasus mandiri
Koasistensi Bidang Reseptir dengan judul “HIPOFUNGSI OVARIUM PADA
SAPI BALI (Bibos sondaicus)”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Drh. Baso Yusuf. M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, semoga
laporan ini bermanfaat untuk semua pihak. Semoga Allah SWT melimpahkan
berkah dan karunia-Nya kepada kita semua, Aamiin.
Penulis
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi Bali telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomer :
325/Kpts/OT.140/1/2010, sebagai sapi asli Indonesia dan telah tersebar diseluruh
wilayah Indonesia. Sapi Bali memiliki peranan penting dalam penyediaan daging
nasional. Aspek penting dalam proses produksi usaha peternakan sapi adalah
ketersediaan bibit yang sesuai standar. Oleh karena itu, standar bibit Sapi Bali perlu
ditetapkan sebagai acuan untuk pelaku usaha dalam upaya mengembangkan Sapi
Bali. Standarisasi Sapi Bali menetapkan persyaratan mutu dan cara pengukuran
bibit Sapi Bali.
Bibit Sapi Bali adalah sapi yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan
sifat tersebut kepada keturunananya dan memenuhi persyaratan tertentu untuk
dikembangbiakkan. Persyaratan mutu produk mencakup persyaratan kualitatif dan
persyaratan kuantitatif. Persyaratan kualitatif sapi betina meliputi warna bulu,
tanduk pendek, bentuk kepala panjang dan leher ramping. Sedangkan yang jantan
warna badan kehitaman, lutut ke bawah putih, pantat putih berbentuk setengah
bulan, ujung ekor hitam, bentuk tanduk baik mengarah ketengah berwarna hitam,
serta bentuk kepala lebar, leher kompak dan kuat. Adapun persyaratan kuantitatif
Sapi Bali betina dan jantan mencakup umur, tinggi pundak minimum, berat badan
minimum, lingkar dada minimum, dan lingkar scrotum (BSN, 2017).
Salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan
fungsional yakni organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik. Infertilitas bentuk
fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Beberapa kasus
gangguan fungsional, di antaranya: 1. Sista ovarium; 2. Subestrus dan birahi tenang;
3. Anaestrus (Corpus Luteum Persisten dan Hipofungsi Ovarium) dan 4. Ovulasi
tertunda (Lukman et al., 2007).
Anestrus akibat hipofungsi ovarium sering berhubungan dengan gagalnya
sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas
maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan
dengan fungsi hipotalamus-pituitaria-ovarium yang akan menyebabkan
menurunnya sekresi gonadotropin, sehingga tidak ada aktivitas ovarium setelah
melahirkan. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofise anterior
sehingga produksi dan sekresi hormon Follicle Stimulating Hormon (FSH)
dan Luteinizing Hormon (LH) rendah, yang menyebabkan ovarium tidak
berkembang ataupun mengalami hipofungsi (Hafez, 2000).
Penanganan pada kasus hipofungsi ovarium diantaranya perbaikan pakan dan
nutrisi untuk rekondisi berat badan ternak dan menjaga kestabilan metabolisme
tubuhnya. Terapi selanjutnya yang diberikan saat penanganan kasus tersebut adalah
pemberian GnRH seperti buserelin untuk menginduksi estrus. Hormon tersebut
merangsang sekresi gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior sehingga
terjadi pertumbuhan dan perkembangan folikel (Suartini et al., 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang dapat disimpulkan dari
kegiatan ini adalah bagaimana penanganan kasus hipofungsi ovarium pada Sapi
Bali (Bos sondaicus).
1.3 Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menjadi acuan ilmu pengetahuan
dan bagaimana penanganan kasus hipofungsi ovarium yang benar dan tepat pada
Sapi Bali (Bos sondaicus).
II. TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Bali merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai
penghasil daging dan biasanya disebut sebagai sapi tipe pedaging (sapi potong).
Adapun ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, kualitas dagingnya maksimum,
laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai dewasa, efisiensi pakannya tinggi, dan
mudah dipasarkan. Sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara untuk
digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan
kualitas daging (Abidin, 2002).
Menurut Romans et al., (1994) dan Blakely & Bade, (1992) bangsa sapi
mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminantia
Famili : Bovidae
Genus : Bos (cattle)
Group : Taurinae
Spesies : Bos sondaicus (banteng/Sapi Bali)
1. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah
agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa,
kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis
kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah
(perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam
telinga dan pada pinggiran bibir atas.
Sekresi estrogen pada masa pubertas dengan jumlah yang besar, dengan
konsentrasi tinggi dari ovarium menyebabkan kelainan dari umpan balik negatif
untuk umpan balik positif terhadap hipotalamus, menghasilkan GnRH dalam
jumlah yang tinggi sehingga bertanggung jawab untuk memicu sekresi LH. Hasil
dari sekresi LH adalah; a) memunculkan tanda - tanda estrus dan, b) ovulasi.
Hormon-hormon yang terlibat dalam ovulasi menghasilkan serangkaian peristiwa
fisiologis yang mengarah ke pengembangan lebih lanjut dari saluran reproduksi dan
pembentukan siklus estrus (Achjadi, 2013).
Namun penggunaan hormon GnRH ini tidak ekonomis untuk ternak yang
digembalakan karena memerlukan biaya yang relatif mahal sehingga sebagai
penggantinya dapat dipakai hormon progesteron. Dasar fisiologi dari penggunaan
progesteron adalah melalui reaksi umpan balik negatifnya terhadap hipothalamus
yang bersifat sementara dan setelah efek hambatan hilang, maka akan terjadi
sekresi FSH dan LH dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya disebut dengan
LH surge. Dengan demikian akan terjadi proses pertumbuhan dan pematangan
folikel menjadi follikel de graaf sehingga terjadi ovulasi (Herry, 2015).
II.4 Faktor Predisposisi
Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung memicu timbulnya stres pada
ternak sehingga fisiologis tubuh berubah. Sebagai contoh, ternak yang
diletakkan pada kandang sempit, dengan ventilasi udara yang tidak baik dan sanitasi
yang buruk akan lebih mudah mengalami stres dibandingkan ternak yang
ditempatkan di lingkungan yang nyaman.
Ovulasi pada ternak tersebut bisa jadi tertunda karena gangguan hormon FSH
dan LH sehingga tidak terdapat folikel yang cukup matang untuk diovulasikan.
Ovarium yang mengalami hipofungsi berukuran normal, tetapi permukaannya
teraba licin ketika dilakukan palpasi perektal. Ovarium yang mengalami hipofungsi
berukuran minimal 8-15 mm ketika dilakukan dua kali pemeriksaan dalam jedah
waktu 7 hari, dan tidak ditemukan CL atau kista serta tanda estrus (Herry, 2015;
Lo´pez-Gatius et al. 2001)
II.6 Diagnosa
Hewan tidak menunjukkan gejala birahi baik itu dara maupun indukan (dapat
terjadi selama beberapa siklus). Pada pemeriksaan palpasi rektal yang dilakukan
dokter hewan atau petugas kesehatan hewan, ovarium teraba kecil, rata dan halus,
khususnya pada dara, folikel masih premature sebesar 1.5 cm; tidak teraba adanya
CL baik yang sedang berkembang maupun regresi; pada sapi, terkadang ovarium
teraba dengan bentuk yang tidak beraturan karena sa CL dan korpus albican yang
telah lama teregresi sehingga terkadang tuk membedakannya dengan folikel yang
baru berkembang (Deden, 2000). Untuk meneguhkan diagnosis, pemeriksaan
kedua dapat dilakukan pada hari ke 10 setelah pemeriksaan pertama, jika ovarium
tersebut hipofungsi maka tidak akan ada perubahan yang terjadi dari pemeriksaan
pertama, namun jika ovarium tersebut normal, maka akan terbentuk CL (Deden
2000).
Gejala utama yang terlihat pada hipofungsi ovarium adalah anestrus yang
berkepanjangan. Fase anestrus pada siklus estrus normalnya terjadi selama 1 – 6
bulan. Ditandai dengan inaktivitas ovarium, Kondisi ini juga terjadi pada sistik
ovari, korpus luteum persisten dan hipoplasia ovarium (Syarifudin, 2015).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1. Signalment
Pemilik : Abdulrahman
Spesies : Sapi (Bibos sondaicus)
Tempramen : Normal
Warna bulu : Coklat Pucat
Jenis kelamin : Betina
Umur : ±2 tahun
Bcs : -
Jumlah anak : -
Terakhir diinseminasi : belum pernah diinseminasi
Gejala klinis : belum pernah estrus
III.2. Pemeriksaan Secara Palpasi Rektal
Pemeriksaan secara palpasi perektal saat perabaan organ reproduksi
ditemukan bahwa serviks dalam keadaan normal, uterus memiliki konsistensi yang
tidak kaku, akan tetapi ovarium tidak menunjukkan adanya perkembangan folikel
dan corpus luteum. Saat perabaan ovarium, jika ditemukan adanya perkembangan
folikel akan terasa seperti adanya lubang-lubang kecil yang mengindikasikan
adanya folikel yang sedang berkembang. Sedangkan untuk mengetahui ada
tidaknya corpus luteum pada ovarium dapat dirasakan jika adanya tonjolan yang
agak keras pada bagian ujung tonjolan tersebut.
IV.2. Saran
Setelah dilakukan pengamatan dengan beberapa literatur bahwa perlu
adanya pemberian pakan yang dapat mencukupi kebutuhan tubuh hewan sehingga
ketika kebutuhan tubuh dari hewan tersebut terpenuhi maka diharapkan kejadian
hipofungsi ovarium tidak terulang lagi.
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standar Nasional. 2017. Bibit Sapi Potong Bagian 4. SNI 7651
4:2017
[BALIVET] Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Laporan Pelaksanaan Kegiatan
: Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong.
Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
No. 530/2014.
[DISNAKKESWAN] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Jawa Tengah. 2014. Penanganan Hipofungsi Ovaria pada Ternak Sapi.
[Internet]. [diakses 6 januari 2020]. Tersedia pada:
http://disnakkeswan.jatengprov.go.id/berita-penanganan-hipofungsi
ovaria-pada-ternak-sapi-.html.
Blakely, J dan Bade D.H. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Lukman, A.S., Wulan C.P., dan Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Pemayun, T.G.O. 2007. Kadar Prostaglandin F2α pada Cairan Vesikula Seminalis
dan Produk Sel Monolayer Vesikula Seminalis Sapi Bali. J Veteriner.
8(4):167-172.
Peter, A.T., Vos P.L.A.M., Ambrose D.J. 2009. Postpartum Anestrus in Dairy
Cattle. Theriogenology 71: 1333–1342.
Romans, J.R., Costello W.J., Carlson C.W, Greaser M.L., Jones K.W. 1994. The
Meat We Eat.Interstate Publishers, Inc., Danville, Illinois.
Suartini, N.K., Trilaksana I.G.H.B., Pemanyun T.G.O. 2013. Kadar estrogen dan
munculnya estrus setelah pemberian Buserelin (Agonis GnRH) pada sapi
Bali yang mengalami anestrus postpartum akibat hipofungsi ovarium.
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan.
Stevenson, J.S., K.E. Thompont, W.L. Fobes, G.C.Lamb, D.M. Grieger and L.R.
Corah. 2000. Synchronizing estrus and (or) ovulation in beef cows after
combinations of GnRH, norgestomet, and prostaglandin F2alpha with or
withaout timed insemination. J. Anim. Sci. 78, Issue 7: 1747 – 1758.