Pertolongan pertama pada fraktur yaitu ABCD (airway, breathing, circulation, defibrillation)
yang bersifat life saving.
Reduction atau reposisi yaitu mengembalikan posisi fraktur ke posisi semula. Reposisi
tertutup yaitu dapat dilakukan dengan pembiusan atau tidak tergantung letak fraktur
kemudian tekniknya dengan tarikan, tekanan secara perbaan kemudaian memakai C Arm
(portable radiologis) atau terbuka (dengan pembedahan). Reposisi terbuka indikasinya gagal
reposisi tertutup, avulsion fracture, epifisial fracture, interposisi jaringan, disertai gagguan
vascular dan fraktur patologis. Reposisi terbuka pada fraktur terbuka harus didahului dengan
dilusi atau irigasi, debrideman, dan reposisi.
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta
kekuatan normal dengan rehabilitasi (smeltzer, 2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi
fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk
mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan
logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang solid terjadi.
Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan mempertahankan
fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips. Sedangkan implant
logam digunakan untuk fiksasi interna.
Menurut Price (1995), konsep dasar yang harus dipertimbangkan saat menangani fraktur
adalah 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. Fraktur
tungkai akan terasa nyeri dan bengkak.
2. Reduksi (Manipulasi/Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin kembali lagi ke tempat asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang agar
kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
pendarahan.
Reduksi ialah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimum. Reduksi fraktur (setting tulang) dapat juga diartikan sebagai
pengembalian fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis (Brunner & Suddarth,
2002). Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya
tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Reduksi tertutup pada kebanyakan kasus dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai dan alat lain
dipasang oleh dokter (Brunner & Suddarth, 2002). Reduksi juga dapat dipertahankan dengan
memasang traksi (Sjamsuhidajat & De Jong, 2005). Traksi dapat digunakan untuk
mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot
yang terjadi.
Reduksi terbuka pada fraktur tertentu memerlukan pendekatan bedah. Fragmen tulang
direduksi oleh alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan
logam yang digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid dapat terjadi. Alat ini dapat diletakkan disisi tulang atau
dipasang melalui fragmen tulang atau langsung kerongga sumsum tulang. Alat tersebut juga
menjaga aproksimal dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang (Brunner & Suddarth, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Imobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus di
imobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Hal
ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan
dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan
pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.
Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna dan interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan
untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2005).
4. Rehabilitasi
DAPUS
Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC