Anda di halaman 1dari 39

KEPUTUSAN DIREKTUR RSIA NORFA HUSADA

Nomor : NH-PM/SEK/SK/V/2018/______

TENTANG
PEDOMAN PENGENDALIAN / PEMERIKSAAN MEKANIS DAN TEKNIS
RSIA NORFA HUSADA

DENGAN MEMOHON TAUFIK DAN HIDAYAH


ALLAH YANG MAHA KUASA

DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK NORFA HUSADA,

Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, diperlukan
penyelenggaraan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang bermutu tinggi;
c. bahwa dalam upaya mengendalikan dan mencegah infeksi di RSIA Norfa Husada
diperlukan pedoman pengendalian /pemeriksaan mekanis dan teknis ;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud dalam huruf a dan b,
perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur RSIA Norfa Husada;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;


2. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya da Beracun;
7. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit;
8. Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 Tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit
;
9. Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar
Pelayanan Kedokteran;
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit;
12. . Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pengendalian Pencegahan Infeksi di Fasilitas Pelayan Kesehatan
13. Akta pendirian PT BUMI DAMAI MANDIRI oleh Notaris PPATK Neni Sanitra SH
Nomor 25 Tanggal 19 Februari 2008;
14..Keputusan Direktur PT. BUMI DAMAI MANDIRI Nomor
BDM/DIR/SK/V/2018/03.A tentang Pembentukan Struktur Organisasi Rumah
Sakit Ibu Dan Anak Norfa Husada;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN


/PEMERIKSAAN MEKANIS DAN TEKNIS RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK NORFA
HUSADA
KESATU : pedoman pengendalian /pemeriksaan mekanis dan teknis RSIA Norfa Husada
tercantum dalam Lampiran Surat Keputusan ini..
KEDUA pedoman pengendalian /pemeriksaan mekanis dan teknis dilakukan secara
konsisten pada semua situasi dan lokasi Rumah Sakit Ibu Dan Anak Norfa Husada;
KETIGA Pembinaan dan pengawasan pelayanan pedoman pengendalian /pemeriksaan
mekanis dan teknis Rumah Sakit Ibu Dan Anak Norfa Husada dilaksanakan oleh
kepala bidang pelayanan medis.
KEEMPAT : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila dikemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam penetapan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya;
Ditetapkan di : Bangkinang
pada tanggal : 11 juli 2018
DIREKTUR RSIA NORFA HUSADA,

dr. A. FITRAH ABADI


NIK:NH-D. 19720911.1.1

Tembusan:
1. Direktur PT Bumi Damai Mandiri di Bangkinang.
Lampiran :Surat Keputusan Direktur RSIA Norfa Husada
Nomor : NH-PM/SEK/SK/V/2018/____
Tanggal : 11 juli 2018
Tentang : pengendalian/pemeriksaan mekanis dan
teknis

PEDOMAN PENGENDALIAN /PEMERIKSAAN MEKANIS DAN TEKNIS


DI RUMAH NORFA HUSADA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare Associated Infection (HAIs)
merupakan salah satu masalah kesehatan diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam
forum Asian Pasific Economic Comitte (APEC) atau Global health Security Agenda (GHSA)
penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan telah menjadi agenda yang di bahas. Hal ini
menunjukkan bahwa HAIs yang ditimbulkan berdampak secara langsung sebagai beban ekonomi
negara.
Secara prinsip, kejadian HAIs sebenarnya dapat dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan
secara konsisten melaksanakan program PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi merupakan
upaya untuk memastikan perlindungan kepada setiap orang terhadap kemungkinan tertular infeksi
dari sumber masyarakat umum dan disaat menerima pelayanan kesehatan pada berbagai fasilitas
kesehatan.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pelayanan kesehatan,
perawatan pasien tidak hanya dilayani di rumah sakit saja tetapi juga di fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, bahkan di rumah (home care).
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan sangat
penting bila terlebih dahulu petugas dan pengambil kebijakan memahami konsep dasar penyakit
infeksi. Oleh
karena itu perlu disusun pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatanagar terwujud pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat menjadi acuan bagi semua
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di dalam fasilitas
pelayanan kesehatan serta dapat melindungi masyarakat dan mewujudkan patient safety yang
pada akhirnya juga akan berdampak pada efisiensi pada manajemen fasilitas pelayanan kesehatan
dan peningkatan kualitas pelayanan.

B. TUJUAN DAN SASARAN


Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga melindungi sumber daya manusia
kesehatan, pasien dan masyarakat dari penyakit infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Sasaran Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan disusun untuk digunakan oleh
seluruh pelaku pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi tingkat pertama, kedua,
dan ketiga.

C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan PPI terkait pelayanan
kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs) berupa langkah yang harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya HAIs (bundles), surveilans HAIs, pendidikan dan pelatihan serta penggunaan
anti mikroba yang bijak. Disamping itu, dilakukan monitoring melalui Infection Control Risk
Assesment (ICRA), audit dan monitoring lainya secara berkala. Dalam pelaksanaan PPI, Rumah
Sakit, Puskesmas, Klinik, Praktik Mandiri wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan yang di
lakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

ICRA adalah proses multidisiplin yang berfokus pada pengurangan infeksi, pendokumentasian bahwa dengan
mempertimbangkan populasi pasien, fasilitas dan program:

1) Fokus pada pengurangan risiko dari infeksi,

2) Tahapan perencanaan fasilitas, desain, konstruksi, renovasi, pemeliharaan fasilitas, dan

3) Pengetahuan tentang infeksi, agen infeksi, dan lingkungan perawatan, yang memungkinkan
organisasi untuk mengantisipasi dampak potensial.
ICRA merupakan pengkajian yang di lakukan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap risiko infeksi
terkait aktifitas pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan serta mengenali
ancaman/bahaya dari aktifitas tersebut.

2. Tujuan:
Untuk mencegah dan mengurangi risiko terjadinya HAIs pada pasien, petugas dan pengunjung di rumah sakit
dengan cara :

a) Mencegah dan mengontrol frekuensi dan dampak risiko terhadap :


1) Paparan kuman patogen melalui petugas, pasien dan pengunjung
2) Penularan melalui tindakan/prosedur invasif yang dilakukan baik melalui peralatan,tehnik
pemasangan, ataupun perawatan terhadap HAIs.
b) Melakukan penilaian terhadap masalah yang ada agar dapat ditindak lanjuti berdasarkan hasil
penilaian skala prioritas

3. Infection Control Risk Assessment, terdiri dari:


a) External
1) Terkait dengan komunitas: Kejadian KLB dikomunitas yang berhubungan dengan penyakit
menular: influenza, meningitis.
2) Penyakit lain yg berhubungan dengan kontaminasi pada makanan, air seperti hepatitis A dan
salmonela.
3) Terkait dengan bencana alam : tornado, banjir, gempa, dan lain-lain.
4) Kecelakaan massal : pesawat, bus, dan lain-lain.

b) Internal
1) Risiko terkait pasien : Jenis kelamin, usia, populasi kebutuhan khusus
2) Risiko terkait petugas kesehatan
- Kebiasaan kesehatan perorangan
- Budaya keyakinan tentang penyakit menular
- Pemahaman tentang pencegahan dan penularan penyaki
- Tingkat kepatuhan dalam mencegah infeksi (Kebersihan
tangan, pemakaian APD , tehnik isolasi),
- Skrening yang tidak adekuat terhadap penyakit menular
- Kebersihan tangan
- NSI
3) Risiko terkait pelaksanaan prosedur
- Prosedur invasif yang dilakukan
- Peralatan yang dipakai
- Pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan suatu
tindakan
- Persiapan pasien yang memadai
- Kepatuhan terhadap tehnik pencegahan yang direkomendasikan
4) Risiko terkait peralatan
Pembersihan, desinfektan dan sterilisasi untuk proses peralatan:
- Instrumen bedah
- Prostesa
- Pemrosesan alat sekali pakai
- Pembungkusan kembali alat
- Peralatan yang dipakai
5) Risiko terkait lingkungan
- Pembangunan / renovasi
- Kelengkapan peralatan
- Pembersihan lingkungan
Pengkajian Risiko Infeksi (Infection Control Risk Assesment/ICRA) terdiri dari 4 (empat) langkah, yaitu
:
1. Identifikasi risiko
Proses manajemen risiko bermula dari identifikasi risiko dan melibatkan:
a) Penghitungan beratnya dampak potensial dan kemungkinan frekuensi munculnya risiko.
b) Identifikasi aktivitas-aktivitas dan pekerjaan yang menempatkan pasien, tenaga kesehatan dan
pengunjung pada risiko.
c) Identifikasi agen infeksius yang terlibat, dan
d) Identifikasi cara transmisi.

2. Analisa risiko
a) Mengapa hal ini terjadi ?
b) Berapa sering hal ini terjadi ?
c) Siapa saja yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut ?
d) Dimana kejadian tersebut terjadi
e) Apa dampak yang paling mungkin terjadi jika tindakan yang sesuai tidak dilakukan ?
f) Berapa besar biaya untuk mencegah kejadian tersebut ?

3. Kontrol risiko
a) Mencari strategi untuk mengurangi risiko yang akan mengeliminasi atau mengurangi risiko atau
mengurangi kemungkinan risiko yang ada menjadi masalah.
b) Menempatkan rencana pengurangan risiko yang sudah disetujui pada masalah.

4. Monitoring risiko
a) Memastikan rencana pengurangan risiko dilaksanakan.
b) Hal ini dapat dilakukan dengan audit dan atau surveilans dan memberikan umpan balik kepada staf dan
manajer terkait.
Dalam bentuk skema langka-langkah ICRA digambarkan sebagai berikut:
Sumber: Basic Consepts of Infection Control, IFEC, 2011

Dibawah ini ada tabel yang menerangkan cara membuat perkiraan

risiko, derajat keparahan dan frekuensi terjadinya masalah:


Jenis risiko dan tingkat risiko berbeda di setiap unit fasilitas pelayanan kesehatan, seperti di IGD, ICU,
instalasi bedah, rawat inap, laboratorium, renovasi/pembangunan, dan lainnya. Pencatatan risiko adalah
pencatatan semua risiko yang sudah diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan pemeringkatan (grading)
untuk menentukan matriks risiko dengan kategori merah, kuning dan hijau. Pemeringkatan (grading)
dalam bentuk table sebagai berikut
SKOR : Nilai Probabilitas X Nilai Risiko/Dampak X Nilai Sistem yang ada
Untuk Kasus yang Membutuhkan Penanganan Segera

Tindakan sesuai Tingkat dan Band Risiko


Pengkajian risiko pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan didapatkan melalui
masukan dari lintas unit yaitu :

a. Pimpinan
b. Anggota Komite PPIRS, IPCN / IPCN-link
c. Staf medik
d. Perawat
e. Laboratorium
f. Unit Produksi Makanan
g. Unit Pelayanan Laundri
h. Unit Perawatan Intensif
i. Unit Rawat Jalan
j. Unit Sanitasi dan Lingkungan
k. Instalasi Sterilisasi Pusat
l. Instalasi Laboratorium
m. Instalasi Farmasi
n. Instalasi Jenazah
o. Koordinator lain yang diperlukan
p. Komite Mutu
q. Staf PPIRS
r. IPCD/IPCO/IPCN/IPCN-link
s. Petugas kesehatan lain
t. Staf medik
u. Bidang Keperawatan
v. Bidang Teknik
w. Administrasi
Gambar 37. Prioritas Pengaturan

4. Infection Control Risk Assessmen Renovasi/Pembangunan Gedung Baru Penilaian Risiko Dampak Renovasi
atau Konstruksi yang dikenal

sebagai Infection Control Risk Assessment (ICRA) adalah suatu proses terdokumentasi yang dilakukan sebelum
memulai kegiatan pemeliharaan, perbaikan, pembongkaran, konstruksi, maupun renovasi untuk mengetahui risiko
dan dampaknya terhadap kualitas udara dengan mempertimbangkan potensi pajanan pada pasien.

Sistem HVAC (heating, ventilation, air conditioning) adalah sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin
udara di sarana pelayanan kesehatan yang dirancang untuk: a) menjaga suhu udara dan kelembaban dalam
ruangan pada tingkat yang nyaman untuk petugas, pasien, dan pengunjung; b) kontrol bau, c) mengeluarkan udara
yang tercemar, d) memfasilitasi penanganan udara untuk melindungi petugas dan pasien dari patogen airborne,
dan e) meminimalkan risiko transmisi patogen udara dari pasien infeksi. Sistem HVAC mencakupudara luar inlet,
filter, mekanisme modifikasi kelembaban (misalnya kontrol kelembaban musim panas, kelembaban musim dingin),
pemanas dan pendingin peralatan, exhaust, diffusers, atau kisi-kisi untuk distribusi udara. Penurunan kinerja sistem
fasilitas kesehatan HVAC, inefisiensi filter, pemasangan yang tidak benar, dan pemeliharaan yang buruk dapat
berkontribusi pada penyebaran infeksi airborne.
a) RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penilaian kriteria risiko akibat dampak renovasi atau konstruksi menggunakan metode ICRA
adalah:

1) Identifikasi Tipe Proyek Konstruksi

Tahap pertama dalam kegiatan ICRA adalah melakukan identifikasi tipe proyek konstruksi dengan
menggunakan Tabel 10.Tipe proyek konstruksi ditentukan berdasarkan banyaknya debu yang dihasilkan,
potensi aerosolisasi air, durasi kegiatan konstruksi, dan sistem sharing HVAC.
2) Identifikasi Kelompok Pasien Berisiko

Selanjutnya identifikasi Kelompok Pasien Berisiko (Tabel 11.) yang dapat terkena dampak konstruksi. Bila
terdapat lebih dari satu kelompok pasien berisiko, pilih kelompok berisiko yang paling tinggi.Pada semua
kelas konstruksi, pasien harus dipindahkan saat pekerjaan dilakukan.
3) Menentukan Kelas Kewaspadaan dan intervensi PPI

Kelas Kewaspadaan ditentukan melalui pencocokan Kelompok Pasien Berisiko (R,S,T,ST) dengan Tipe
Proyek Konstruksi (A,B,C,D) berdasarkan matriks pencegahan dan pengendalian infeksi.

4) Menentukan Intervensi Berdasarkan Kelas Kewaspadaan

Penentuan intervensi PPI dilakukan setelah Kelas Kewaspadaan diketahui. Apabila Kelas Kewaspadaan
berada pada Kelas III dan IV, maka diperlukan Perizinan Kerja dari Komite Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi dan dilakukan identifikasi dampak lain di daerah sekitar area proyek.
-144-
5) Identifikasi area di sekitar area kerja dan menilai dampak potensial Pada Kelas Kewaspadaan III dan IV,
perlu dilakukan identifikasi daerah sekitar area proyek dan tingkat risiko lokasi tersebut. Identifikasi
dampak potensial lain dapat diketahui dengan mengisi Tabel 14.
Dengan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat, tuntutan pengelolaan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di rumah sakit semakin tinggi. Tenaga kerja di rumah sakit, pasien,
pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat disekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari
gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik karena dampak kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi
sarana dan prasarana di rumah sakit yang tidak standar.
Agar dapat tercipta sistem manajemen K3 yang baik, dibutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi
yang baik pula terutama untuk mendeteksi dan menangani risiko bahaya yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk dapat
mencapai hal tersebut karyawan rumah sakit harus mengetahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit dan cara
pengendaliannya, sehingga rumah sakit yang aman bagi tenaga kerja, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta
didik dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terwujud.

Tujuan
1.Peserta pelatihan mampu mengenal resiko bahaya yang ada di rumah sakit.
2.Peserta pelatihan mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada di satuan kerja masing-masing.
3.Peserta pelatihan mampu mengenal sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan di rumah sakit khususnya
di satuan kerja masing-masing.
4.Peserta pelatihan mampu mengikuti prosedur pengendalian resiko bahaya dan menerapkan kepada pengunjung,
keluarga pasien dan peserta didik yang ada di lingkungan rumah sakit.

RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT

Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita tidak dapat mengenalinya, terutama resiko
bahaya biologi, karena keberadaan micro organisme patogen tidaklah nampak seperti resiko bahaya fisik atau kimia. Akan
tetapi dampak dari resiko bahaya biologi di rumah sakit jika tidak dikendalikan, maka dapat berdampak serius baik
terhadap kesehatan maupun terhadap keselamatan pekerja dan pengunjung serta masyarakat disekitar rumah sakit.
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok sebagai berikut;
a. Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:
1) Resiko bahaya mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a. Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk, terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko
bahaya ini termasuk salah satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik / jarum
jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum
bekas yang menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat bahaya akibat tertular penyakit
tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska tertusuk jarum yang akan dibahas dibagian lain
dalam pelatihan ini.

b. Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di rumah sakit banyak digunakan kereta dorong
untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien jatuh dari brankart/
tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.

c. Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu
sering. Hal-hal yang perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang perawatan jiwa. Pastikan tidak
ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.

d. Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai
yang miring baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko licin sudah ditandai
dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.

e. Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada
pekerjaan konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan
pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang
perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang teralis pengaman
dan anak-anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.

2) Resiko bahaya radiasi


Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
a) Bahaya radiasi pengion
Yaitu elektromagnetik atau partikel yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di
rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b) Bahaya radiasi non pengion
Adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau
radiasi gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta didik, pengunjung dan pasien hamil.
Pekerja radiasi harus sudah mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara pengendaliannya. Selain APD
yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal
yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus memakai personal dosimetri untuk
mengukur tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan tingkat paparan tidak boleh melebihi
ambang batas yang diijinkan. Untuk pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau therapy
radiasi terpasang rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada petugas”.

3) Resiko bahaya akibat kebisingan


Adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini
mungkin berada di ruang boiler, generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat
kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar peraturan menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004 tentang
pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien harus dipantau dan dikendalikan tingkat
kebisingannya minimal 3 bulan sekali.
Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan yang tidak memenuhi persyaratan di analisa
dan dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.

4) Resiko bahaya akibat pencahayaan


Adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang atau berlebih. Tingkat pencahayaan diseluruh area
rumah sakit juga telah dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang harus diperhatikan
adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu
sebelumnya, sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area tersebut.

5) Resiko bahaya listrik


Adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus listrik. Pengendalian yang telah dilakukan adalah
melakukan preventif maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS. Kalibrasi peralatan medis dan
penggantian peralatan yang telah out off date. Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa
peserta didik dan keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh peserta didik pada saat orientasi dan untuk
keluarga pasien informasi diberikan pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya pasien rawat inap.

6) Resiko bahaya akibat iklim kerja


Adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak
dikendalikan dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan secara berkala telah dilakukan
oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi tidak memenuhi peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit
K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.

7) Resiko bahaya akibat getaran


Adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang
menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping / rumah tangga yang menggunakan mesin
pemotong rumput (bagian taman).

b. Resiko Bahaya Biologi


1) Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di rumah sakit sudah dikendalikan oleh
bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi
Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
2) Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini dikendalikan oleh ISLRS dan harus
didukung dengan housekeeping yang baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
c. Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1) Desinfektan
Yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel
lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2) Antiseptik
Yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine
povidone, dan lain-lain.
3) Detergen
Yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya.
4) Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi
anatomi.
5) Obat-obat sitotoksik
Yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
6) Gas medis
Yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon
dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang
perludiperhatikan adalah pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan
pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3
wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang mengelola
harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki
daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani
tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang kompeten untuk memjamin kualitas
B3 dan keakuratan serta standar pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh
pimpinan rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja.
Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur
yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk
selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
d. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi
Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak
sesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala oleh
Unit K3.
e. Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan hubungan antar manusia didalam rumah
sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

3. HIERARCHY PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA


Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5 hierarchy sebagai berikut;
a. Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan
kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain.
Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya mengandalkan prilaku pekerja dalam
menghindari resiko, namun demikian, penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di eliminasi ketika hollow fiber tidak perlu reuse
lagi atau single use.
b. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun peralatan dari yang berbahaya
menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem
ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi pada mesin untuk mengurangi
interaksi mesin-mesin berbahaya dengan operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya,
mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat yang menimbulkan debu menjadi bahan
yang cair atau basah.
c. Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja serta untuk mencegah terjadinya
kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada ruang perawatan air borne dissease,
penggunaan laminar airflow, pemasangan shield /sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.
d. Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang akan melakukan pekerjaan. Dengan dikendalikan metode
kerja diharapkan orang akan mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara
aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar operasional Prosedur (SOP), pelatihan,
pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, dan
lain-lain.
e. Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang paling tidak efektif dalam pengendalian
bahaya. APD hanya dipergunakan oleh pekerja yang akan berhadapan langsung dengan resiko bahaya dengan
memperhatikan jarak dan waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin jauh dengan resiko bahaya maka resiko
yang didapat semakin kecil, begitu juga semakin singkat kontak dengan resiko bahaya resiko yang didapat juga semakin
kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja seperti kurang leluasa dalam bekerja,
keterbatasan komunikasi dengan pekerja lain, alergi terhadap APD tertentu, dan lain-lain. Beberpa pekeerja yang kurang
faham terhadap dampak resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan dalam penggunaan APD juga
menjadi rendah. APD reuse memerlukan perawatan dan penyimpanan yang baik sehingga kualitas perlindungan dari APD
tersebut tetap optimal.

Hierarchy pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Hierarchy pengendalian resiko bahaya.


4.PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA.
Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata seluruh resiko bahaya tersebut terdapat
di rumah sakit. Beberapa contoh sistem pengendalian resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah sakit adalah sebagai
berikut:
1.Resiko bahaya fisik
a. Mekanik
Resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan terpeleset atau menabrak dinding / pintu kaca.
Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang menutup
kembali jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring, pemasangan rambu “awas licin”,
pemasangan kaca film dan stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan penggunaan sabuk keselamatan
pada pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-lain.
b. Resiko bahaya radiasi
Resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi, kedokteran nuklir, ruang cath lab dan beberapa kamar
operasi yang memiliki fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: pemasangan rambu
peringatan bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan APD radiasi, pengecekan tingkat paparan
radiasi secara berkala dan pemantauan paparan radiasi pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas
radiasi.
c.Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik dan ruang chiller. Pengendalian yang telah
dilakukan antara lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru dengan ambang kebisingan yang lebih rendah,
penggunaan pelindung telinga dan pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi Lingkungan
Rumah Sakit (ISLRS).
d.Resiko bahaya pencahayaan
Resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan pekerjaan teliti seperti di kamar operasi dan laboratorium.
Pengendalian yang sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh ISLRS dan hasil
pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut ruangan yang tingkat pencahayaannya
tidak memenuhi persyaratan.
e. Resiko bahaya listrik
Resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum. Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan
penggunaan peralatan listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan harus dipasang oleh bagian IPSRS
atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr Sardjito secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian
IPSRS dan seluruh peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai berupa stiker warna hijau, sedangkan
yang tidak layak pakai akan diberikan stiker merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain itu unit K3
dan IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke seluruh satuan kerja tentang perilaku aman dalam menggunakan
listrik di rumah sakit.
f. Resiko bahaya akibat iklim kerja
Resiko ini meliputi kondisi temperatur dan kelembaban ruang kerja. Pemantauan temperatur dan kelembaban
dilakukan oleh ISLRS. Acuan dari standar temperatur dan kelembaban mengacu pada keputusan menteri kesehatan RI
no 1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.
Masalah yang sering muncul adalah temperatur melebihi standar seperti di Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi,
karena belum memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang dilakukan dengan pemberian minum yang cukup.
Masalah kelembaban yang tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman patogen sehingga meningkatkan angka infeksi
baik bagi pasien maupun bagi pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan tetapi pada musim tertentu
kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang
perawatan pasien, ICU dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering dan pemantauan angka
kuman secara berkala.
g. Resiko bahaya akibat getaran
Resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan. Dari telaah yang telah dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran
ditemukan di bagian taman akibat dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi akibat dari mesin bor gigi, tetapi tingkat
getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas yang diijinkan.
2. Resiko bahaya biologi
Resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman patogen dari pasien yang ditularkan melalui
darah dan cairan tubuh, dropet dan udara. Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) akan tetapi termasuk dalam area pemantauan Unit K3. Resiko air borne dissease
dikendalikan dengan rekayasa ruangan tekanan negatif beserta peraturan administratif dan APD. Resiko penularan
melalui droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi petugas, pengantar pasien dan pasien yang batuk, serta
sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko blood borne dissease dikendalikasn dengan penggunaan alat-alat single use
beserta persturan administratif dan APD. Selain itu untuk mencegah pe nularan penyakit blood borne dissease
khususnya Hepatitis B dilakukan Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas pada karyawan dengan kadar titer anti HBs <
0,2 u/L terutama yang bekerja pada tindakan invasif terhadap pasien. Selain itu juga telah dilakukan penanganan paska
pajanan infeksi khususnya pada HIV dan Hepatitis B. Bila pekerja atau peserta didik mengalami kecelakaan kerja berupa
tertusuk jarum bekas pasien atau terkena percikan darah dan cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena
pada luka, maka wajib melaporkan kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu dan setelah melakukan
pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar dilakukan telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai
prosedur untuk mengurangi resiko tertular.
3.Resiko bahaya kimia
Resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya dan beracun (B3). Pengendalian yang telah
dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-bahan B3, pelabelan standar, penyimpanan standar, penyiapan MSDS,
penyiapan P3K, APD dan safety shower serta pelatihan teknis bagi petugas pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan
dengan penggunaan Laminary Airflow pada pengelolaan obat dan B3 lainnya.
4.Resiko bahaya ergonomi
Resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik pasien maupun barang. Sosialisasi
cara mengangkat dan mengangkut yang benar selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana dan prasarana
rumah sakit juga harus mempertimbangkan faktor ergonomi tersebut terutama peralatan yang dibeli dari negara lain
yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran badan.
5.Resiko bahaya psikologi
Resiko psikologi teidak terlalu kelihatan akan tetapi selalu ada meskipun kadarnya tidak terlalu
mencolok. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff dan pimpinan
dan pada acara-acara bersama seperti saat ulang tahun RS dan lain-lain yang bertujuan agar terjalun komunikasi yang
baik sehingga secara psikologi menjadi lebih akrab denganharapan resiko bahaya psikologi dapat ditekan seminimal
mungkin
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Resiko bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi, fisik, kimia, fisiologi/ergonomi dan psikologi
dapat menyebabkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat disekitar
lingkungan rumah sakit. Pekerja rumah sakit memiliki resiko kerja yang lebih tinggi dibanding pekerja industri lain sehingga
resiko bahaya tersebut harus dikendalikan.
Salah satu upaya pengendalian adalah dengan melakukan sosialisasi kepada seluruh pekerja rumah sakit tentang
resiko bahaya tersebut sehingga seluruh pekerja mampu mengenal resiko bahaya tersebut. Dengan mengenal resiko
bahaya diharapkan pekerja mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang ada disatuan kerjanya dan mengetahui upaya
pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan oleh rumah sakit sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pekerja
terhadap sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan.

Ditetapkan di : Bangkinang
pada tanggal : 11 juli 2018
DIREKTUR RSIA NORFA HUSADA,

dr. A. FITRAH ABADI


NIK: NH-D. 19720911.1.1

Anda mungkin juga menyukai