Anda di halaman 1dari 14

PEMBUATAN TEMPE

LAPORAN PRAKTIKUM

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Mikrobiologi


Yang Dibina oleh Agung Witjoro, S.Pd., M.Kes.

Disusun oleh :
Kelompok 1 / Offering A 2017

Alfia Nur Anisa (170341615060)


Ij’al Ausi Arrizki (170341615107)
I Wayan Agung Krishnananda (160341606070)
Noviansyah Kusmahardhika (170341615112)
Titania Arenda (170341615044)
Wachidah Hayuana (170341615105)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI
APRIL 2019
A. Topik
Pembuatan tempe

B. Waktu dan Tempat


Selasa, 23 April 2019 dan Kamis, 25 April 2019. Laboraturium Mikrobiologi FMIPA
Universitas Negeri Malang

C. Tujuan
1. Untuk memperoleh keterampilan membuat tempe
2. Untuk mngetahui pengaruh aerasi dalam pembuatan tempe

D. Dasar Teori
Salah satu makanan hasil fermentasi oleh jamur adalah tempe. Fermentasi tempe
dibantu oleh jamur Rizhopus oryzae. Fermentasi menghasilkan perubahan fisik dan
kimiawi dari kedelai hingga menjadi tempe (Hastuti, 2015). Keberhasilan dalam
pembuatan tempe dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya aerasi (Novi, 2007).
Tempe memiliki ciri teksturnya yang padat dan warnanya putih. Warna putih tersebut
disebabkan karena adanya miselia-miselia jamuur yang menjadi penghubung biji kedelai
satu dengan lainnya. Adanya degradasi komponen di dalam kedelai menyebabkan
terbentuknya flavor spesifik setelah fermentasi (Hastuti, 2015).
Tahap pembuatan tempe meliputi tahap sortasi dan pembersihan biji, fermentasi
asam, penghilangan kulit ari, perebusan, penirisan, pendinginan, inokulasi menggunakan
ragi tempe, pengemasan dan inkubasi selama 26-30 jam. Tahap fermentasi atau inokulasi
merupakan tahap yang melibatkan jamur. Fermentasi dapat berlangsung ketika diberi
starter berupa ragi tempe yang mengandung biakan jamur bakteri. Tumbuhnya jamur
pada kedelai yang sudah direbus menyebabkan perubahan karakteristik dari kedelai
menjadi tempe (Novi, 2007).
Inokulum tempe merupakan kumpulan spora kapang tempe yang digunakan dalam
pembuatan tempe. Adapun cara memperoleh inokulum tempe menurut Kamidjo (2000)
sebagai berikut.
1. Berupa tempe segar yang dikeringkan di bawah sinar matahari atau mengalami
lifolirasi
2. Berupa tempe dari batch sebelumnya atau telah mengalami sporulasi
3. Berupa ragi tempe yang merupakan pulungan beras yang mengandung miselia &
jamur tempe (berbentuk bundar pipih)
4. Biakan murni jamur yang disiapkan secara aseptis
Secara konvensional inokulum tempe dapat diperoleh dari bekas pembungkus
tempe yang dikeringkan atau diambil dari irisan tipis tempe yang dikeringkan di bawah
sinar matahari. Selain itu, inokulum tempe dapat diperoleh dari penggunaan daun pisang,
daun jati dan daun waru yang ditumbuhi oleh jamur tempe dan kemudian dikeringkan
(Hidayat, 2008).
Tempe mengandung senyawa genistein yang merupakan senyawa antioksidan.
Konstribusi daya antioksidan dalam senyawa genistein di dalam ekstrak ethanol pada
tempe segar sebesar 17,5%, sedangkan tempe busuk sekitar 25% (Hidayat, 2008). Selain
itu juga terdapat perubahan fisik dari kedelai yang akan berubah teksturnya. Tekstur
kedelai yang semakin lunak disebabkan karena adanya penurunan selulosa menjadi
bentuk yang lebih sederhana. Hifa kapang dapat menembus permukaan kedelai sehingga
dapat menggunakan nutrisi dari kedelai. Hifa kapang mengeluarkan berbagai enzim
ekstraseluler dimana biji kedelai sebagai sumber nutrisinya (Kasmidjo, 2000). Selain itu,
terjadi perubahan fisik berkaitan dengan peningkatan jumlah kapang yang menyelebungi
kedelai.
Perubahan kimia pada tempe terjadi karena adanya protein penghasil enzim
proteolitik yang mengakibatkan adanya degradasi protein kedelai menjadi asam
amino yang menyebabkan meningkatnya jumlah nitrogen terlarut yakni dari 0,5%
menjadi 2,5%. Kapang akan menguraikan sebagaian lemak yang berada di dalam kedelai
selama fermentasi. Selain itu, kapang juga menghasilkan enzim amilase, selulase, dan
xylanase yang akan mendegradasi karbohidrat (Hidayat, 2008).
Kapang dipengaruhi oleh kadar air dalam kedelai sebelum fermentasi. Pada saat
fermentasi mencapai 24 jam, terjadi perubahan kadar air yang mengalami penurunan
sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan menghasilkan penurunan kadar air
sekitar 64%. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang diantaranya temperatur,
oksigen dan kadar air. Kebutuhan oksigen yang terlalu banyak akan memnyebabkan
pertumbuhan kapang yang terlalu cepat sehingga panas yang dihasilkan akan membunuh
kapang. Difusi oksigen secara perlahan dan merata akan menghasilkan pertumbuhan
kapang pada titik optimum. Adapun kadar air yang terlalu tinggi dapat menghalangi
difusi oksigen (Novi, 2007).
E. Alat dan Bahan
Alat :
1. Sendok
2. Pelubang kertas
3. Timbangan
4. Jarum Kasur
5. Rak kayu
Bahan :
1. Kedelai
2. Ragi tempe
3. Kantung plastik
4. Isolasi
F. Prosedur Kerja

Kedelai dicuci hingga bersih, direbus selama ± 1 jam

Dikupas kulit arinya dan dibersihkan dari kepingan kedelai

Biji kedelai direndam semalam, dan direbus kembali hingga lunak

Biji kedelai ditiriskan dan ditunggu sampai dingin

Disiapkan 6 plastik, dan diberi kode A B C, kantong plastik A diberi lubang dengan
jarak 1 cm, kantong plastik B diberi tubang dengan jarak 2 cm, dan kantong plastik C
diberi lubang dengan jarak 3 cm

Kedelai yang sudah dingin, ditebarkan di atas kembaran plastik bersih, dan dicampurkan
dengan ragi tempe, dengan cara ragi tempe dihaluskan kemudian ditebarkan secara
merata dan diaduk pada kedelai

Dimasukan biji biji kedelai kedalam lembaran plastik yang sudah dilubangi, plastik
dilipat sehingga kedelai menjadi rapat satu sama lain, dan dipasang isolasi pada lipatan
tepi plastik, kemudian diletakan pada rak besi

Setelah 26-30 jam dilakukan pengamatan pada tempe, dengan dibandingkan aroma,
warna, dan tekstur, dan dibandingkan juga dengan cara digoreng, dan dicatat hasilnya.

G. Data Pengamatan
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Warna Tekstur Aroma dan Rasa Tempe
Kode Warna Tekstur Aroma Rasa
Tempe P1 P2 P3  P1 P2 P3  P1 P2 P3  P1 P2 P3 
A ++ ++ ++ ++ +++ +++ +++ +++ + + + + + + + +
B ++ ++ +++ ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++
C +++ +++ ++ +++ ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
Keterangan :
A = Jarak antar lubang pada kantong plastik kurang lebih 1 cm
B = Jarak antar lubang pada kantong plastik kurang lebih 2 cm
C = Jarak antar lubang pada kantong plastik kurang lebih 3 cm
P1, P2, P3 = Penguji organoleptik
 = rata-rata
 Skor warna tempe
+ = putih kehitaman
++ = putih kecoklatan
+++ = putih kekuningan
++++ = putih cerah
 Skor terkstur tempe
+ = lunak
++ = cukup padat
+++ = padat
++++ = sangat padat
 Skor aroma tempe
+ = tidak enak/busuk
++ = tidak beraroma
+++ = enak tidak ada aroma kedelai
++++ = sangat enak
 Skor rasa tempe
+ = tidak enak/busuk
++ = tidak beraroma
+++ = enak tidak ada aroma kedelai
++++ = sangat enak
Tabel 2. Hasil Pengukuran Berat dan Suhu Tempe
Kode Tempe Suhu Awal Suhu Akhir Berat Awal Berat Akhir
A 26 ‘ C 34 ‘ C 100 g 90 g
B 26 ‘ C 36 ‘ C 100 g 90 g
C 26 ‘ C 36 ‘ C 100 g 90 g
Rerata 26 ‘ C 35,3 ‘ C 100 g 90 g

H. Analisis Data
Pembuatan tempe pada praktikum ini dilakukan selama 3 hari. Setelah tiga hari
terjadi perubahan pada warna, aroma, suhu, dan tekstur kedelai. Suhu awal kedelai dibuat
sama yaitu 260C dan berat awal kedelai setiap plastic adalah 100 gram. Berdasarkan data
yang diperoleh dari ketiga orang panelis organileptik tempe yang dihasilkan pada plastic
A dengan jarak lubang 1cm dihasilkan suhu tempe berubah menjadi 340C dan berat
akhir turun menjadi 90 gram. Penilaian organoleptic dilakukan oleh 3 panelis dan
diperoleh hasil rata-rata panelis memberikan penilaian terhadap warna tempe putih
kecoklatan. Tekstur tempe A berdasarkan rerata penilaian tiga orang panelis termasuk
dalam kategori padat. Rata-rata penilaian aroma tempe tidak enak atau berbau busuk,
begitu pula dengan penilaian rasa ketiga manelis berpendapat bahwa rasa tempe setelah
digoreng tidak enak.
Tempe B dengan jarak antar lubang 2 cm memiliki suhu akhir yaitu 360C dan
berak akhir 90 gram. Tektur tempe B berdasarkan hasil rata-rata dari penilaian ketiga
panelis termasuk dalam kategori padat dengan warna tempe putih kecoklatan. Tempe B
memiliki aroma enak tetapi masih tercium aroma kedelai, setelah digoreng tempe B
memiliki rasa yang enak dan gurih tetapi sediki aroma kedelai.
Tempe C memiliki berat akhir sama dengan tempe A dan tempe B yaitu 90 gram.
Suhu akhir tempe C sebesar 360C. Rata-rata panelis menilai bahwa tempe C memiliki
tekstur yang padat. Aroma tempe tidak beraroma. Warna tempe C setelah tiga hari
berdasarkan penilaian ketiga orang panelis deperoleh rata-rata hasil penilaian bahwa
tempe C berwarna putih kekuningan. Rasa tempe C setelah digoreng rerata penilaian
panelis menunjukkan bahwa tempe C tidak berasa atau hambar.
Berdasarkan hasil yang diperoleh setiap tempe memiliki sifat yang berbeda,
kualitas tempe dapat ditentukan dari segi warna, tekstur, aroma, dan rasa. Perbedaan sifat
ketiga tempe ini dipengaruhi oleh jarak antar lubang pada plastic (Aerasi).

I. Pembahasan
Tempe merupakan makanan yang berbahan baku kedelai dan merupakan hasil dari
proses fermentasi oleh jamur Rhizopus oryzae. Jamur Rhizopus inilah yang dapat
mengubah senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana. Dalam proses
pembuatan tempe, kedelai membutuhkan starter agar dapat menjadi tempe. Starter tempe
adalah biakan jamur tempe yang dapat mengubah kedelai yang telah direbus menjadi
tempe melalui proses fermentasi (Hidayat, 2006). Menurut Kustyawati (2009),
fermentasi dalam pembuatan tempe merupakan fermentasi yang melalui dua tahap, yaitu
fermentasi oleh aktivitas bakteri yang berlangsung selama proses perendaman kedelai
dan fermentasi yang dilakukan oleh kapang.
Proses pembuatan tempe yang pertama dilakukan adalah proses pencucian
yang bertujuan agar kacang tidak menjadi asam dan menghilangkan lendir yang
dihasilkan bakteri asam laktat. Adanya bakteri dan lendir akan menghalangi proses
fermentasi pada tahap akhir. Kemudian tahap perendaman yang bertujuan agar terjadi
fermentasi asam laktat pada kondisi asam sehingga mendorong pertumbuhan jamur
tempe, yang akan tercapai pada pH sekitar 3,5–5,2 (Radiati, 2016). Selanjutnya yaitu
perebusan yang dilakukan sampai 2 kali, perebusan yang pertama membutuhkan waktu
selama 30 menit dan perebusan yang kedua dilakukan sampai kedelai menjadi lunak.
Menurut Radiati (2016), tahap perebusan bertujuan agar kedelai dapat menyerap air
sebanyak mungkin, sehingga membuatnya lebih lunak dan memudahkan proses
fermentasi. Perebusan yang ideal dalam pembuatan tempe dilakukan sebanyak 2 kali
dengan tujuan akhir memaksimalkan jumlah isoflavon tempe. Selanjutnya kedelai harus
dihilangkan kulit arinya, dengan tujuan agar asam laktat bisa masuk lebih mudah ke
dalam biji kedelai dan miselium tumbuh selama fermentasi (Herman, 1999). Selanjutnya
yaitu pendinginan dan peragian. Sebelum diberi ragi, kacang harus dalam keadaan kering
terlebih dahulu, kemudian dilakukan pengemasan.
Dalam proses pembuatan tempe, tentunya terdapat beberapa faktor yang
menentukan berhasil atau tidaknya proses pembuatan tempe tersebut, misalnya suhu,
jenis kemasan yang digunakan untuk membungkus tempe, dan aerasi. Jenis kemasan
yang digunakan dalam pembuatan tempe menjadi faktor penentu kualitas tempe yang
baik. Hal tersebut sesuai dengan Sari (2018) bahwa faktor penentu kualitas tempe yang
baik adalah jenis kemasannya dengan aerasi dan kelembaban yang baik. Menurut Sari
(2018), pengemasan tempe dengan menggunakan plastik memiliki kelebihan yaitu kuat
dan ringan, sedangkan kelemahannya yaitu molekul kecil yang terkandung di dalam
plastik dapat masuk ke dalam bahan makanan yang dikemas.
Pada praktikum pembuatan tempe yang telah dilakukan, kemasan yang digunakan
untuk membuat tempe yaitu plastik dengan perlakuan aerasi yang berbeda, yaitu plastik
yang dilubangi dengan jarak 1 cm, 2 cm, dan 3 cm. Aerasi yang berbeda inilah yang akan
menghasilkan kualitas tempe yang berbeda. Tempe yang sudah dibuat (fermentasi
selama 26 – 30 jam) kemudian digoreng dan diamati, dibandingkan warna, tekstur,
aroma, dan rasa dengan uji organoleptik. Uji organoleptik disebut sebagai uji kesukaan
yang dilakukan dengan menggunakan panca indra (organ sensorik) yang meliputi warna,
aroma, rasa dan tekstur dari masing-masing perlakuan (Sayuti, 2015).
Hasil dari aerasi yang berbeda pada plastik dalam praktikum pembuatan tempe
menunjukkan bahwa tempe yang dikemas menggunakan plastik dengan aerasi jarak 1 cm
memiliki hasil yang sama pada tiga ulangan yaitu berwarna putih kecoklatan, tekstur
padat, aroma tidak enak, dan rasa tidak enak. Tempe yang dikemas menggunakan plastik
dengan aerasi jarak 2 cm memiliki hasil yang hampir sama yaitu berwarna putih
kecoklatan pada ulangan 1 dan 2 sedangkan pada ulangan 3 warnanya putih kekuningan,
tekstur padat, aroma enak, dan rasa enak. Tempe yang dikemas menggunakan plastik
dengan aerasi jarak 3 cm memiliki hasil yang hampir sama yaitu berwarna putih
kekuningan, tekstur cukup padat pada ulangan 1 dan 2 sedangkan pada perlakuan 3
teksturnya lunak, tidak beraroma , dan rasa hambar.
Hasil uji organoleptik tersebut menunjukkan bahwa plastik dengan jarak aerasi 2
cm menghasilkan tempe dengan rasa yang unggul dibandingkan dengan tempe dengan
aerasi yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada plastik dengan aerasi 2 cm
memiliki tingkat kelembaban yang paling sesuai untuk proses fermentasi tempe dan
proses fermentasi dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan Hidayat (2006)
bahwa tempat pengemasan dengan aerasi yang merata secara terus-menerus dengan
tingkat kelembaban yang tinggi dapat menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik.
Pada tempe dengan aerasi 3 cm masih berupa kedelai, karena kurangnya oksigen untuk
proses fermentasi tempe. Sesuai dengan Winanti (2014) bahwa kemasan yang
pemeramannya kurang tertutup baik memungkinkan gagalnya dalam pembuatan tempe,
hal ini disebabkan karena kurangnya keseimbangan dalam pertukaran oksigen sehingga
pertumbuhan miselium kapang terhambat.
Suhu awal pada proses pembuatan tempe dari semua perlakuan yaitu 26°C,
sedangkan pada suhu akhir suhu tempe naik menjadi 34°C pada tempe kemasan plastik
dengan jarak aerasi 1 cm, suhu 36°C pada tempe kemasan plastik dengan jarak aerasi 2
cm, dan suhu 36° pada tempe kemasan plastik dengan jarak aerasi 3 cm. Perbedaan suhu
pada saat awal dan akhir proses fermentasi berhubungan dengan jarak aerasi dari plastik
yang digunakan untuk mengemas tempe. Pada tempe yang dikemas dengan plastik jarak
aerasi 1 cm, suhunya lebih rendah daripada tempe yang dikemas dengan plastik jarak
aerasi 2 cm dan 3 cm. Hal tersebut dapat terjadi karena pada plastik dengan jarak aerasi 1
cm, proses fermentasi tidak berjalan maksimal (diakibatkan aerasi yang terlalu besar)
sehingga proses fermentasi tidak berjalan dengan baik dan suhu yang dihasilkan menjadi
lebih rendah dibandingkan dengan proses fermentasi pada jarak aerasi 2 cm dan 3 cm.
Suhu pemeraman tempe saat fermentasi juga berpengaruh terhadap kualitas tempe
dan kecepatan fermentasinya. Menurut Mukhoyaroh (2015) bahwa kecepatan fermentasi
ditentukan oleh temperatur inkubasi, inkubasi temperatur di bawah 40˚ C dan di atas 25˚
C tidak menghasilkan tempe yang baik. Suhu 37-38˚ C butuh waktu 22 jam untuk
menghasilkan tempe yang baik, suhu 28-30˚ C perlu waktu 48 jam untuk menghasilkan
tempe yang baik.
Pada hasil proses fermentasi tempe, terjadi penyusutan berat. Berat awal (sebelum
terjadinya proses fermentasi) sebesar 100 gr dan berat akhir (setelah terjadinya proses
fermentasi) sebesar 90 gr. Penyusutan berat terjadi akibat adanya proses fermentasi yang
dilakukan oleh starter jamur tempe. Proses fermentasi pada tempe menguraikan protein
kompleks dari kedelai menjadi protein yang lebih sederhana yang mudah dicerna oleh
manusia.

J. Bahan Diskusi
1. Apakah peranan aerasi dalam proses pembuatan tempe?
Jawab: Proses melubangi kemasan tempe merupakan proses pembuatan aerasi dalam
proses pembuatan tempe. Proses ini berpengaruh terhadap proses pertukaran oksigen
pada saat tahap fermentasi. Standar proses pengemasan, dikemas dalam kemasan yang
tertutup baik dan proses melubangi kemasan tempe dengan jarak 2x2 cm untuk
membantu menyeimbangkan pertukaran oksigen ketika proses fermentasi. Kapang
pada umumnya dapat tumbuh dalam keadaan mikroaerobik, yaitu membutuhkan
oksigen dalam jumlah yang sedikit untuk pertumbuhannya.
2. Jelaskan perubahan-perubahan fisika dan kimiawi yang terjadi dalam proses
pembuatan tempe?
Jawab: perubahan fisika pada tempe dapat dilihat berdasarkan perubahan suhu dan
berat. Suhu awal sebesar 26 °C sedangkan ketika dihitung suhu akhirnya masing
masing sebesar 34°C, 36°C, dan 36°C. Berat awal dari tempe masing2 adalah 100
gram, sedangkan setelah terjadinya proses frmentasi menjadi 90 gram. Perubahan
tersebut dihasilkan melalui adanya peristiwa kimia yaitu fermentasi kapang.
Perubahan kimia pada tempe terjadi pada saat proses fermentasi karena selama
fermentasi terjadi pemecahan protein kompleks oleh enzim proteolitik yang dihasilkan
jamur Rhizopus oligosporus sehingga kadar protein terlarut akan meningkat. Hal
tersebut menyebabkan nilai gizi tempe lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi
kedelai. Akibat adanya proses kimiawi dapat meningkatkan suhu pada tempe dari
proses awal ke proses akhir. Hal ini disebabkan karena adanya aktifitas mikroba
aerobik menyebabkan peningkatan suhu (Babu et al., 2009).
K. Kesimpulan
Tahap pembuatan tempe meliputi tahap sortasi dan pembersihan biji, fermentasi
asam, penghilangan kulit ari, perebusan, penirisan, pendinginan, inokulasi menggunakan
ragi tempe, pengemasan dan inkubasi selama 26-30 jam. Dalam proses pembuatan
tempe, tentunya terdapat beberapa faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya proses
pembuatan tempe tersebut, salah satunya aerasi. Perlakuan aerasi yang berbeda akan
menghasilkan kualitas tempe yang berbeda.
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa plastik dengan perlakuan jarak aerasi 2
cm menghasilkan tempe dengan rasa yang unggul dibandingkan dengan tempe dengan
aerasi yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada plastik dengan aerasi 2 cm
memiliki tingkat kelembaban yang paling sesuai untuk proses fermentasi tempe dan
proses fermentasi dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN

Babu, P.D., R. Bhakyaraj and R. Vidhyalakshmi. 2009. A Low Cost Nutritious Food
“Tempeh” - A Review. World Journal of Dairy and Food Science, 4 (1): 22–27.

Hastuti, S. U.2015. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Malang: UMM Press

Hidayat, N.B.2008.Fermentasi Tempe. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB

Kasmidjo, R. B. 2000. Tempe: Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan serta Pemanfaatannya.


Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM

Novi, D. S. 2007. Studi Pendahuluan Daya Antioksidan Ekstrak Metanol Tempe Segar dann
Tempe Busuk Kota Malang terhadap Radikal Bebas DPPH. Malang: UM

Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Andi Offset.

Herman & Karmini, M., 1999. The Development of Tempe Technology. In J. Agranoff, ed.
The Complete Handbook of Tempe. Singapura: The American Soybean
Association, pp. 80–92.

Kustyawati, M. E. 2009. Kajian Peran Yeast dalam Pembuatan Tempe. Bandar Lampung:
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Mukhoyaroh, H. 2015. Pengaruh Jenis Kedelai, Waktu dan Suhu Pemeraman Terhadap
Kandungan Protein Tempe Kedelai. Merauke: Florea Volume 2 No. 2, Nopember
2015 (47-51).

Radiati, A., Sumarto. 2016. Analisis Sifat Fisik, Sifat Organoleptik, dan Kandungan Gizi
pada Produk Tempe dari Kacang Non-Kedelai. Tasikmalaya: Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan 5 (1) 2016.

Sari, N. 2018. Pengaruh Jenis Bahan Kemasan terhadap Kualitas Organoleptik dan Daya
Simpan Tempe Kedelai (Glycine max L). Mataram: Jurusan Pendidikan IPA
Biologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Mataram.

Sayuti. 2015. Pengaruh Bahan Kemasan dan Lama Inkubasi terhadap Kualitas Tempe
Kacang Gude sebagai Sumber Belajar IPA. Lampung: Universitas
Muhammadiyah Metro.
Winanti, R., Bintari, S. H., Mustikaningtyas. D. 2014. Studi Observasi Higienitas Produk
Tempe Berdasarkan Perbedaan Metode Inokulasi. Semarang: Jurusan Biologi
Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang, Indonesia.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai